Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/30/2019 Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

    1/7

    Perjalanan Industri Gula di Indonesia: (Tidak)Selalu Terasa Manis

    OlehFootball Fandom|Newsroom Blog Sel, 2 Apr 2013

    Email

    Cetak

    Oleh Sirajudin Hasbi

    Sejarah panjang Indonesia, sejak zaman penjajahan hingga merdeka, tak bisa lepas dari industri

    gula. Betapa tidak, industri ini pernah terasa begitu manis dan pahit baik bagi penjajah, pendatang,

    maupun pribumi. Gula juga telah mengirim suatu suku mengarungi lautan dan menetap di sana.

    Robert Cribb dan Audrey Kahin dalam kamus sejarah Indonesia menyebutkan, tebu (Saccharum

    officinarum) kemungkinan adalah tanaman asli Indonesia. Walau demikian, masyarakat zaman dulu

    lebih memilih menggunakan aren, madu atau lontar sebagai pemanis. Bukan tebu.

    Pemakaian tebu sebagai bahan baku gula baru dimulai setelah VOC mendukung pemukim Cina di

    Jawa untuk menghasilkan tebu komersial pertama di pedesaan sekitar Batavia pada abad ke-17. Gula

    mulai menjadi komoditas perdagangan yang diekspor ke Eropa dan Jepang. Dari 150 penggilingan

    tebu yang ada di Jawa pada 1710, hanya empat yang bukan milik orang Cina.

    Bagaimanapun, produksi gula tebu pernah meredup akibat pasar luar negeri yang lesu, pergolakan

    politik di Jawa, dan kekurangan bahan baku.

    Industri gula kemudian bangkit lagi menjelang abad ke-19. Nederlandsche Handel Maatschappij

    (NHM) melakukan monopoli gula dan didukung oleh pemerintah kolonial untuk melakukan

    program tanam paksa sehingga bahan baku bisa diperoleh dengan mudah. Pada masa ini

    penggilingan tebu swasta kebanyakan dimiliki pengusaha asal Eropa (yang kemudian menjual hasil

    gulanya kepada NHM).

    http://id.berita.yahoo.com/blogs/author/football-fandom-20130221/http://id.berita.yahoo.com/blogs/author/football-fandom-20130221/http://id.berita.yahoo.com/blogs/author/football-fandom-20130221/http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/http://id.berita.yahoo.com/_xhr/mtf/panel/http://id.berita.yahoo.com/_xhr/mtf/panel/http://id.berita.yahoo.com/_xhr/mtf/panel/http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/http://id.berita.yahoo.com/blogs/author/football-fandom-20130221/
  • 7/30/2019 Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

    2/7

    Walaupun harga ditetapkan oleh NHM, keuntungan tetap diperoleh oleh pengusaha. Pada awal abad

    ke-19, gula menjadi komoditas ekspor utama dari Jawa dan porsinya mencapai 77,4 persen dari nilai

    total ekspor pada 1840.

    Seiring menggeliatnya industri gula di Jawa, mobilisasi tenaga kerja untuk industri gula tidak hanya

    dilakukan oleh Belanda di Jawa, tetapi juga Suriname. Beribu-ribu pekerja dari Afrika, Cina, India,

    serta Jawa didatangkan. Mungkin dari sinilah riwayat keturunan Jawa banyak kita temui di

    Suriname hingga hari ini.

    Tahun 1883, perusahaan gula swasta berskala kecil mulai stop berusaha karena krisis dunia

    membuat ekspor menurun. Tapi ini justru berdampak baik bagi NHM karena waktu ini

    dimanfaatkan untuk investasi modal dalam jumlah besar. Tidak lama setelah krisis dunia, NHM

    mulai mendirikan dan memperbaiki pabrik gula di Jawa dengan teknologi baru. Pabrik gula

    mencapai kejayaannya setelah program ini karena menjadikan pabrik gula di Jawa yang paling

    efisien di dunia. Industri gula di Jawa juga tercatat sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia

    pada tahun 1931.

    Memasuki masa pendudukan Jepang, produksi gula di Jawa mulai menurun. Jepang mengurangi

    produksi karena kebutuhan kekaisaran Jepang sudah tercukupi dari produksi Filipina dan Taiwan.

    Mulai dari sinilah industri gula di Jawa mengalami kesulitan untuk kembali meraih kejayaannya.

    Pada masa revolusi, lahan produksi tebu berkurang karena tanah desa tidak lagi bisa dipaksakan

    menjadi lahan tebu (seperti sebelumnya). Tenaga kerja pun, yang tadinya tersedia, mulai tersendat.

    Kondisi politik saat itu banyak berubah, sehingga industri gula kesulitan beroperasi.

    Setelah Indonesia merdeka, pemerintah lebih suka menerapkan kebijakan menstabilkan harga gula

    agar tetap rendah (agar gula tetap bisa didapatkan di pasar). Kondisi ekonomi masyarakat saat itu

    memang masih buruk sehingga perlu dilindungi. Namun di sisi lain, kebijakan ini berdampak pada

    kurangnya investasi bagi industri dan rendahnya hasil panen secara umum.

    Kebijakan ini terus berjalan meski sudah ada perpindahan kekuasaan pemerintahan. Industri gula

    semakin terpuruk karena tidak ada peremajaan teknologi. Dibandingkan dengan industri gula

    negara lain seperti Belanda dan Brasil, pabrik gula di Indonesia ketinggalan zaman. Begitu pula dari

  • 7/30/2019 Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

    3/7

    sisi riset.

    Tahun 1971 ketika masa Orde Baru, Badan Urusan Logistik Nasional (Bulog) mengambil alih

    distribusi dan penetapan harga. Setelah itu mulai ada program perbaikan industri gula di Indonesia.

    Pada 1972, pemerintah meluncurkan program intensifikasi pemilihan lahan tebu kecil, yang

    termasuk pengurangan pajak dan perbaikan sistem pemasaran.

    Tiga tahun kemudian, ada rencana menghilangkan sistem penyewaan tanah kepada perkebunan

    tebu besar. Meski program tersebut bisa membawa kemajuan bagi industri gula, tetap tidak efisien.

    Industri gula mampu menyerap 20 persen total kredit pertanian tetapi produksinya hanya 3 persen

    dari nilai total hasil pertanian.

    Lahan tebu sudah banyak berkurang karena berganti jadi perumahan dan budidaya padi demi

    memperbesar produksi beras. Hal ini memaksa pemerintah untuk mulai memindahkan sentra

    produksi tebu ke luar Jawa. Langkah yang cukup berani mengingat pada 1988, Jawa menghasilkan

    83 persen gula Indonesia. Namun, tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan pemerintah

    walaupun terjadi sejumlah perluasan di luar Jawa, terutama Lampung.

    Jumlah pabrik gula di Jawa pun menyusut dalam dua dekade terakhir. Pabrik gula yang berada di

    bawah PTP Nusantara IX (Persero) memang ada 13 pabrik, tetapi yang beroperasi tinggal delapan.

    Apa saja? Yakni PG Jatibarang di Brebes, PG Pangka di Slawi/Tegal, PG Sumberharjo di Pemalang,

    PG Sragi di Pekalongan, PG Rendeng di Kudus, PG Mojo di Sragen, PG Tasikmadu di

    Karanganyar/Solo, dan PG Gondang Baru di Klaten. Sementara lima PG non operasional adalah PG

    Banjaratma di Brebes, PG Kalibagor di Banyumas, PG Cepiring di Kendal, PG Colomadu di

    Karanganyar/Solo, dan PG Ceper Baru di Klaten.

    Industri gula Indonesia yang dahulunya dikenal sebagai yang paling canggih dari sisi teknologi dan

    mampu menjadi pengekspor kedua terbesar dunia, kini terpuruk sebagai negara paling kuno dalam

    teknologi industri gula sekaligus sebagai pengimpor terbesar kedua di dunia. Suka atau tidak suka,

    memang inilah yang sedang terjadi pada industri gula nasional.

    Ada banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah dan kita semua untuk kembali mengembalikan

    kejayaan gula nusantara. Jika, memang gula masih dipandang sebagai komoditas seksi yang bisa

  • 7/30/2019 Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

    4/7

    menyangga perekonomian nasional, maka sepantasnya perlu revitalisasi industri gula, mulai dari

    investasi modal, peremajaan teknologi, mengembangkan varietas tebu unggulan, serta

    memprioritaskan tebu untuk bahan baku industri.

    Namun, jika industri gula hanya dipandang sebagai warisan masa lalu yang hanya pantas untuk

    dikenang, maka jangan harap industri gula bisa kembali jaya.

  • 7/30/2019 Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

    5/7

    Harga Minyak Goreng dan

    Distribusi Gula

    Thursday, 10 December 2009

    Kondisi stok gula pasir untuk konsumsi sampai akhir tahun mulai mengkhawatirkan. Bahkan,diperkirakan cadangan gula yang ada tidak akan mampu memasok kebutuhan awal pada tahun depan.Saat ini cadangan gula hanya mencapai 500.000 ton. Padahal, kebutuhan gula diperkirakan mencapai250.000 ton per bulan. Peringatan ini ternyata telah membuat pemerintah waspada, antara lain denganterus melakukan pemantauan terhadap harga gula di pasaran. Selain itu, Departemen Perdagangansecara rutin juga melakukan pemantauan terhadap harga komoditi pokok lainnya. Berikut pantauanharga komoditi pokok hingga tanggal 30 November 2009:

    Perbandingan Harga Rata-Rata Nasional (Rp/Kg) Komoditi Kebutuhan Pokok Hingga 30 November2009

    Pada seminggu terakhir terjadi kenaikan harga pada beberapa komoditi pokok yang diamati yaitukomoditi gula pasir lokal Rp. 63,- (0,66%), minyak goreng kemasan Rp. 33,- (0,39%), minyak gorengcurah sebesar Rp. 115,- (1,33%) dan kedelai lokal sebesar Rp. 62,- (0,74%). Sedangkan penurunanharga terjadi pada komoditi beras sebesar Rp. 3,- (0,06%) dan tepung terigu sebesar Rp. 5,-(0,06%).Komoditi kedelai impor tidak mengalami perubahan harga. Dibandingkan dengan harga rata-rata bulan Oktober 2009, pada 30 November 2009 terjadi penurunan

    harga pada seluruh komoditi pokok yang diamati, yaitu beras, tepung terigu, gula pasir lokal, minyakgoreng kemasan, minyak goreng curah, kedelai impor dan kedelai lokal.Jika dibandingkan dengan harga rata-rata bulan September 2009, pada 30 November 2009 kenaikanharga hanya terjadi pada komoditi beras. Sedangkan penurunan harga terjadi pada komoditi tepungterigu, gula pasir lokal, minyak goreng kemasan, minyak goreng curah, kedelai impor dan kedelai lokal. Pergerakan harga komoditi tersebut juga dapat digambarkan melalui grafik berikut:

    http://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209agrafik1.jpghttp://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209atabel1.jpghttp://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=4173&pop=1&page=0&Itemid=29http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4173http://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209agrafik1.jpghttp://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209atabel1.jpghttp://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=4173&pop=1&page=0&Itemid=29http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4173http://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209agrafik1.jpghttp://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209atabel1.jpghttp://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=4173&pop=1&page=0&Itemid=29http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4173http://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209agrafik1.jpghttp://www.setneg.go.id/images/stories/image-news/kontributor/dujak/101209atabel1.jpghttp://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&task=view&id=4173&pop=1&page=0&Itemid=29http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=4173
  • 7/30/2019 Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

    6/7

    Komoditi Minyak GorengHarga minyak goreng tergolong masih tinggi yaitu diatas Rp 8.000, bahkan sempat Rp10.000.Seharusnya bisa berada pada kisaran Rp 7.000 bahkan di bawah Rp 7.000 per kg karena bahan

    bakunya berupa minyak sawit mentah adalah produk dalam negeri. Masih tingginya harga minyakgoreng tersebut diindikasikan karena adanya praktek kartel. Indikasi tersebut didukung fakta dimanaharga minyak goreng selalu tinggi dan sangat sulit untuk turun meskipun ketika harga CPO telah turun.Padahal seharusnya harga minyak goreng dan harga bahan bakunya bergerak searah. Sehubungandengan hal tersebut, diperlukan penguatan posisi instansi terkait (terutama Departemen Perdagangan)dalam menghadapi produsen berupa intervensi terhadap harga minyak goreng yang dilepas ke pasaransehingga tidak ada permainan harga oleh pihak produsen. KPPU menilai tingginya harga minyak goreng juga dikarenakan tingginya keuntungan yang diambilprodusen, sehingga membebani konsumen. Salah satu indikasi kartel adalah terjadinya pengelompokanprodusen yang menguasai perkebunan kelapa sawit dan produksi minyak goreng sekaligus, sehinggasemakin mudah memainkan harga minyak goreng sekaligus pasokan CPO.

    Selain itu, lonjakan harga minyak goreng juga terjadi karena lemahnya posisi pemerintah, khususnya

    Departemen Perdagangan (Depdag) terhadap produsen. Sebaiknya harga minyak goreng tak dilepasbegitu saja ke pasar, tetapi perlu diintervensi. Hal ini juga dilakukan di Malaysia dengan mengawasipegerakan harga CPO dan minyak goreng, sehingga harga minyak goreng di Malaysia jauh lebih murahdibanding Indonesia.Namun di pihak lain ada yang berpendapat bahwa harga minyak goreng masih bertahan tinggidisebabkan harga tebus dari distributor belum juga turun. Tingginya harga tebus dari pabrikan mengikutikenaikan harga minyak sawit di pasar internasional. Harga CPO saat ini naik berkisar Rp 7.200-an dariharga sebelumnya yang masih Rp 7.011 per kg. Tingginya harga tebus dari pabrikan tersebut tidakberarti keuntungan produsen minyak goreng sangat besar atau di atas 20 persen. Dengan harga CPOyang mahal, keuntungan produsen hanya 5% atau bahkan dibawah itu jika ada kendali dari pemerintahlewat operasi pasar. Padahal standar keuntungan yang ditetapkan oleh KPPU berada dalam toleransi20-30 persen.

    Distribusi GulaBulog sebagai agen pemasaran gula PT Perkebunan Negara (PTPN) dan PT Rajawali NusantaraIndonesia (RNI) dinilai belum berjalan maksimal, sehingga lebih dari 50% gula produksi BUMN tersebutmasih dijual ke pedagang besar. Untuk meningkatkan perannya sebagai stabilisator gula, disarankanBulog juga bertindak sebagai pedagang, tetapi tidak mencari keuntungan yang besar, sehingga dapatmengimbangi harga gula yang diperdagangkan pihak swasta. Bulog memiliki beberapa keunggulan,antara lain memiliki jaringan pemasaran di seluruh wilayah dan memiliki outlet di divisi regional di setiapkabupaten dan kota.Pemerintah dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sedang menyiapkan peta jalan (roadmap)

    pola distribusi dan perdagangan negara kita. Harapannya, acuan bisnis ini bakal membenahi juga alurpenyaluran bahan-bahan kebutuhan pokok yang saat ini masih kurang maksimal. Saat ini, rekam jejakdistribusi dan perdagangan Indonesia termasuk bahan pokok sudah diketahui. Khusus komoditas gulapasir, ada beberapa daerah yang memiliki surplus produksi, tapi ada juga yang minus. Contohnya, diSulawesi Selatan mengalami minus produksi gula. Sebab, konsumsi di provinsi ini mencapai 120.000ton, sedang produksinya hanya 30.000 ton. Daerah yang surplus produksi, misalnya, Jawa Timur.Soalnya, konsumsi di provinsi ini cuma 500.000 ton, adapun produksinya mencapai 1,2 juta ton. Diharapkan roadmap distribusi dan perdagangan tersebut dapat mengatasi permasalahan gula dankomoditas lainnya. Pola distribusi yang baik juga harus diimbangi dengan peningkatan jumlah produksi,

  • 7/30/2019 Perjalanan Industri Gula Di Indonesia

    7/7

    sehingga pasar domestik bisa terpenuhi. Yang juga menjadi masalah, sekarang ini terlalu banyak badanatau lembaga yang mengurusi distribusi gula. Dulu, ketika distribusi gula di kuasai Perum Bulog, tataniaga dan harga komoditas ini cenderung stabil. Bulog bisa mengatur berapa besar yang harus diimpor.Karena itu, Asosiasi Gula Indonesia (AGI) meminta, dalam roadmap distribusi dan perdagangan,pemerintah tidak membeda-bedakan antara gula yang diproduksi BUMN dan perusahaan swasta.Termasuk, menghilangkan batasan antara gula rafinasi dan bukan rafinasi. Berdasarkan data pemasaran gula oleh Bulog, rencana pemasaran berdasar kontrak yang telahdisepakati oleh PTPN dan RNI diperkirakan tidak tercapai, karena terjadi penurunan produksi yangdiproyeksikan mencapai 10%. Dari total gula yang dipasarkan melalui Bulog, sebagian besar dijualkepada pedagang gula pada level distributor pertama atau pedagang besar mencapai 259.100 ton(50,1%), padahal jumlah pedagang kecil jauh lebih banyak. Diharapkan Kementerian Negara BUMNkembali menugasi Bulog untuk memasarkan bahkan menjadi pedagang gula dari PTPN, RNI dan gulapetani. Dengan demikian, PTPN, RNI hanya fokus pada produksi. ( Ibnu Purna / Hamidi / Elis )