22
4 TINJAUAN PUSTAKA Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara dapat diketahui dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen IPM yang dijadikan ukuran kualitas SDM suatu bangsa terdiri atas tingkat ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Posisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 108 dari 177 negara (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Jika dilihat dari tingkat kemiskinan, sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan akan berdampak pada penurunan kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal tersebut akan berakibat pada kekurangan gizi diindikasikan dari status gizi anak balita dan wanita hamil. Pada akhirnya berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam mencapai pembangunan nasional yang optimal. Pangan merupakan modal dasar pembangunan, berperan sebagai sumber zat gizi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 1999-2004, pembangunan pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Investasi pembangunan tidak hanya terbatas pada sarana fisik, tetapi mencakup kebutuhan pokok, kesehatan dan kesejahteraan sosial (Karsin 2004). Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan tersebut adalah melalui Indonesia Sehat 2010 dengan difokuskan pada terbentuknya manusia yang berkualitas. Indikator manusia yang berkualitas tersebut adalah: a. manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dari umur harapan hidup) b. dapat menikmati hidup sehat (terukur dari angka kesakitandan kurang gizi), c. mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan) d. hidup dengan sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) Sejalan dengan itu, tujuan dan arah pembangunan pangan dan gizi adalah perbaikan konsumsi pangan menuju pola pangan harapan Indonesia dan status gizi untuk meningkatkan kualitas SDM. Adapun startegi pencapaiannya

Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

  • Upload
    lammien

  • View
    241

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

4

TINJAUAN PUSTAKA

Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi

Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas

sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara

dapat diketahui dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen IPM yang

dijadikan ukuran kualitas SDM suatu bangsa terdiri atas tingkat ekonomi,

pendidikan, dan kesehatan. Posisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 108 dari

177 negara (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Jika dilihat dari tingkat

kemiskinan, sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan.

Kemiskinan akan berdampak pada penurunan kemampuan rumah tangga

dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal

tersebut akan berakibat pada kekurangan gizi diindikasikan dari status gizi anak

balita dan wanita hamil. Pada akhirnya berdampak pada lahirnya generasi muda

yang tidak berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan mengalami

kesulitan dalam mencapai pembangunan nasional yang optimal.

Pangan merupakan modal dasar pembangunan, berperan sebagai

sumber zat gizi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam

Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 1999-2004, pembangunan

pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Investasi

pembangunan tidak hanya terbatas pada sarana fisik, tetapi mencakup

kebutuhan pokok, kesehatan dan kesejahteraan sosial (Karsin 2004).

Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah terwujudnya

masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan

tersebut adalah melalui Indonesia Sehat 2010 dengan difokuskan pada

terbentuknya manusia yang berkualitas. Indikator manusia yang berkualitas

tersebut adalah:

a. manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dari umur harapan hidup)

b. dapat menikmati hidup sehat (terukur dari angka kesakitandan kurang gizi),

c. mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur

dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan)

d. hidup dengan sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang

cukup memadai atau bebas kemiskinan)

Sejalan dengan itu, tujuan dan arah pembangunan pangan dan gizi

adalah perbaikan konsumsi pangan menuju pola pangan harapan Indonesia dan

status gizi untuk meningkatkan kualitas SDM. Adapun startegi pencapaiannya

Page 2: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

5

adalah melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, pengawasan

disteribusi pangan serta partisipasi masyarakat (Karsin 2004).

Dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010

terdapat strategi untuk mengatasi masalah gizi, baik itu strategi jangka pendek

maupun jangka panjang. Strategi jangka pendek terdiri atas kebijakan yang

mendorong ketersediaan pelayanan, kebijakan yang meningkatkan akses

masyarakat terhadap layanan, dan kebijakan yang mendorong perubahan ke

arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan

kesehatan.

Kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, diantaranya

pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat (contoh posyandu),

pemberian suplemen zat gizi mikro, pemberian bantuan pangan kepada anak

kurang gizi dari keluarga miskin, fortifikasi bahan dan biofortifikasi. Kebijakan

yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, meliputi bantuan

langsung tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin, pemberian kredit mikro

untuk pengusaha kecil dan menengah, pemberian makanan, khususnya pada

waktu darurat, pemberian suplemen zat gizi mikro, khususnya zat besi, vitamin A

dan zat yodium, bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin, dan

pemberian kartu miskin untuk keperluan berobat. Kebijakan yang mendorong

perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui

pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan anggota keluarga khususnya kaum perempuan tentang gizi

seimbang, memantau berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun,

pengasuhan bayi dan anak yang benar, air bersih dan kebersian diri serta

lingkungan, dan pola hidup sehat lainnya seperti berolah raga, tidak merokok,

makan sayur dan buah setiap hari.

Strategi jangka panjang terdiri atas kebijakan yang mendorong

penyediaan pelayanan, kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan

atau kebutuhan pangan dan gizi, dan kebijakan yang mendorong perubahan

perilaku hidup sehat dan gizi yang baik bagi anggota keluarga. Kebijakan yang

mendorong penyediaan pelayanan meliputi, pelayanan kesehatan dasar,

penyediaan air bersih dan sanitasi, pengaturan pemasaran susu formula,

kebijakan pertanian pangan untuk menjamin ketahanan pangan, kebijakan

pembangunan industri pangan, memperbanyak fasilitas olah raga bagi

masyarakat. Kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau

Page 3: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

6

kebutuhan pangan dan gizi, seperti pembangunan ekonomi yang meningkatkan

pendapatan rakyat miskin, pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan

dan memberdayakan masyarakat miskin, pembangunan yang menciptakan

lapangan kerja, kebijakan fiskal, dan harga pangan yang meningkatkan daya beli

masyarakat miskin, dan pengaturan pemasaran pangan yang sehat dan aman.

Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hidup sehat

dan gizi baik bagi anggota keluarga, seperti meningkatkan kesetaraan gender,

mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil, dan meningkatkan

pendidikan wanita baik pendidikan sekolah maupun diluar sekolah.

Strategi-strategi di atas tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,

melainkan melibatkan banyak pelaku, yaitu pemerintah, masyarakat dan sektor

swasta. Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dan swasta

menunjukkan adanya proses pembangunan yang berkelanjutan dalam

memanfaatkan sember daya yang ada sehingga dapat terwujud tujuan

pembangunan nasional yaitu ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga.

Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita

Pengertian KEP

Selama empat dekade terakhir, terjadi transisi penggunaan istilah KEP

pada anak balita di Indonesia. Pada masa Repelita I (1970) sampai akhir

Repelita V (1993) istilah yang sering digunakan untuk masalah kekurangan gizi

makro pada anak balita adalah KKP atau Kurang Kalori dan Protein. Istilah

tersebut berubah pada masa Repelita VI (1994-1998) menjadi KEP atau Kurang

Energi Protein dan kembali berubah menjadi gizi kurang (baku WHO NCHS)

pada masa Propenas (1999-2004) hingga saat ini. Adanya perubahan istilah KEP

menjadi gizi kurang disebabkan oleh beberapa hal seperti, adanya perbedaan

pengertian dan istilah yang digunakan pada tiap periode pembangunan serta

adanya perbedaan dalam pengukuran antropometri untuk mengklasifikasikan

status gizi balita.

Kurang Energi Protein (KEP) didefinisikan sebagai masalah gizi kurang

akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta

karena gangguan kesehatan (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2001), KEP

merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami sindroma gabungan antara

kekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang

adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi

badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan pada balita (Atmarita

Page 4: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

7

dan Tatang S. Fallah 2004). Selain perbedaan tersebut, istilah KEP dan gizi

kurang juga dibedakan karena metode pengukuran dalam mengklasifikasikan

status gizi balita juga berbeda. Pada pengklasifikasian masalah KEP, metode

pengukuran yang digunakan adalah persentase terhadap nilai median,

sedangkan untuk klasifikasi masalah gizi kurang digunakan metode pengukuran

terhadap skor simpangan baku/standar deviasi.

Klasifikasi KEP

Manifestasi KEP dapat ditentukan dengan mengukur status gizi balita.

Status gizi balita mencerminkan status gizi masyarakat, oleh karena itu untuk

menilainya dapat menggunakan pendekatan penilaian status gizi golongan anak

balita. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan,

antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Penilaian status gizi antropometri

merupakan penilaian yang umum digunakan.

Ada dua jenis baku acuan dalam mengklasifikasikan status gizi, yaitu

baku lokal dan internasional. Terdapat beberapa baku acuan internasional, yaitu

Havard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan Kanada. Havard dan WHO-NCHS

adalah yang paling umum digunakan di seluruh negara. Data baku rujukan WHO-

NCHS disajikan dalam dua versi yaitu persentil dan Z-score.

Sejak tahun 80-an Indonesia menggunakan dua baku acuan

internasional, yaitu Havard dan WHO-NCHS. Semiloka Antropometri Ciloto

(1991) menyarankan pengajuan penggunaan secara seragam baku rujukan

WHO-NCHS sebagai pembanding dalam penilaian status gizi dan pertumbuhan

baik perorangan maupun masyarakat.

Pada penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat

beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut:

1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS

Tabel 1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS

Klasifikasi KEP BB/U BB/TB

Ringan 70-80% 80-90% Sedang 60-70% 70-80% Berat <60% <70%

2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI

Klasifikasi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan

umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:

Page 5: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

8

Tabel 2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI

BB/TB TB/U (berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur)

Mild 80-90% 90-94% Moderate 70-79% 85-89% Severe <70% <85%

3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956)

Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan

berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.

Tabel 3 Klasifikasi KEP menurut Gomez

Derajat KEP Berat badan % dari baku

0 (normal) 90% 1 (ringan) 89-75% 2 (sedang) 74-60% 3 (berat) <60%

4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967)

McLaren mengklasifikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya.

Gejala klinis disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati

diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein

serum.

Tabel 4 Klasifikasi KEP menurut McLaren

Gejala klinis/laboratoris Angka

Edema 3 Dermatosis 2 Edema disertai dermatosis 6 Perubahan pada rambut 1 Hepatomegali 1 Albumin serum atau protein total serum/g %

<1.00 <3.25 7 1.00-1.49 3.25-3.99 6 1.50-1.99 4.00-4.74 5 2.00-2.49 4.75-5.49 4 2.50-2.99 5.50-6.24 3 3.00-3.49 6.25-6.99 2 3.50-3.99 7.00-7.74 1

>4.00 >7.75 0

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan

tiap penderita:

0-3 angka : marasmus

4-8 angka : marasmic-kwashiorkor

9-15 angka : kwashiorkor

Page 6: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

9

Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalaahan jika dibandingkan

dengan cara Welcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter

dengan bantuan laboratorium.

5. Klasifikasi Menurut Welcome Trust Party (1970)

Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini

diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat

pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnosa yang salah. Seperti pada

penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang

lain) yang sudah dirawat satu minggu, edema pada tubuh pasien tidak terlihat

lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu

akan didiagnosis sebagai penderita marasmus.

Tabel 5 Klasifikasi KEP menurut Trust Party

Berat badan % dari baku Edema

Tidak ada Ada

>60% Gizi kurang Kwashiorkor <60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor

6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)

Waterflow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan

menahun. Waterflow berpendapat bahwa defisit berat menurut tinggi

mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting

(kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat

kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan

akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.

Tabel 6 Klasifikasi KEP menurut Waterflow

Derajat Gangguan Stunting (BB/U) Wasting (BB/TB)

0 > 95% >90% 1 95-90% 90-80% 2 89-85% 80-70% 3 <85 <70%

7. Klasifikasi Menurut Jellife

Jellife mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)

menurut umur (U) sebagai berikut:

Tabel 7 Klasifikasi KEP menurut Jellife

Kategori BB/U (% baku)

KEP I 90-80 KEP II 80-70 KEP III 70-60 KEP IV <60

Page 7: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

10

Menurut Depkes (1997), terdapat beberapa istilah yang digunakan di

lapangan dalam mengklasifikasikan KEP, seperti KEP nyata dan KEP total. KEP

total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U <

80% baku median WHO-NCHS). Sedangkan KEP nyata adalah menghitung

strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah

(tidak ada pemisah antara KEP sedang dan KEP berat pada KMS).

Adanya transisi perubahan istilah KEP, maka sejak awal periode

Propenas (1999) semua data berat badan dan tinggi badan setiap balita sejak

tahun 1989 dikonversikan ke dalam bentuk nilai tertandar (Z-score) dengan

menggunakan baku antropometri. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-

masing indeks maka status gizi balita dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Tabel 8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score

Indeks Nilai Z-score Kategori

BB/U Z-score <-3.0 Gizi buruk -3.0<-Z-score<2.0 Gizi kurang -2.0≤ Z-score ≤2.0 Gizi baik Z-score >2.0 Gizi lebih TB/U Z-score <-3.0 Sangat pendek -3.0≤ Z-score <-2.0 Pendek Z-score ≥-2.0 Normal BB/TB Z-score <-3.0 Sangat kurus -3.0≤ Z-score <-2.0 Kurus -2.0 ≤ Z-score ≤2.0 Normal Z-score >2.0 Sangat kurus IMT/U Z-score ≥ 3.0 severe obese 2.0 ≤ Z-score ≤ 3.0 obese 1.0 ≤ Z-score < 2.0 Overweight -2.0 < Z-score < 1.0 Normal -2.0 ≤ Z-score < -3.0 Thinness Z-score ≤ -3.0 severe thinness Sumber: Riskesdas 2007

Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya

umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan

gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak

memberikan indikasi apakah masalah balita tersebut bersifat kronis atau akut.

Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis

sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan,

perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari

sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.

Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang

sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak

Page 8: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

11

lama (singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan

(kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus (Depkes 2010a).

Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:

Penyebab KEP

Menurut UNICEF (1998) dalam Soekirman (2000), penyebab timbulnya

KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung,

penyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. UNICEF (United

Nations Children’s Found) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung

terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat

terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyakit tersebut saling

berpengaruh. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan

sumber energi dan protein yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi

yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Faktor

penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan

tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk

itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi

kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersediaanya air minum bersih

dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung

(Bappenas 2010a).

Menurut Soekirman (2000), penyebab langsung diatas muncul akibat

faktor tidak langsung, yaitu tidak cukup tersedianya pangan dalam keluarga,

pola pengasuhan anak yang kurang memadai, keadaan sanitasi yang buruk,

tidak tersedianya air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak

memadai. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan

Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air

bersih, yaitu kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban,

tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang

baik, ruangan dalam terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih.

Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola

Page 9: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

12

asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan

masyarakat turut menjadi penyebab tidak langsung KEP. Pola asuh, sanitasi

lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses

informasi dan tingkat pendapatan keluarga

Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial dapat disebabkan oleh

rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari rendahnya

konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengatasi

masalah gizi masyarakat seperti KEP merupakan salah satu tumpuan penting

dalam pembangunan ekonomi, politik dan kesejahteraan sosial yang

berkelanjutan (Bappenas 2010a).

Permasalahan KEP di Indonesia

Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat

dikatakan tidak sakit tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi.

Kejadian kekurangan gizi sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa,

akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu,

angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan

hidup (Atmarita & Fallah 2004).

Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan ketika "bencana"

kelaparan dan gizi buruk terus mewarnai berita-berita di media massa sepanjang

tahun 2005. Belum reda dengan pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di

berbagai daerah yang dimulai awal tahun 2005, menjelang akhir tahun 2005 lagi-

lagi masyarakat dikejutkan oleh munculnya pemberitaan mengenai kelaparan di

Yahukimo, sebuah kabupaten pemekaran di Propinsi Papua yang

mengakibatkan tak kurang dari 50 orang meninggal akibat kurang pangan

(Martianto & Soekirman 2006 ).

Gencarnya pemberitaan mengenai masalah kelaparan dan gizi buruk

sangat memprihatinkan mengingat masalah kurang pangan dan gizi buruk ini

bukan masalah baru, bisa terdeleksi secara dini dan dilakukan upaya-upaya

pencegahan dan penanggulangannya. Kejadian serupa, khususnya untuk gizi

buruk, juga "baru" saja terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998-2000 lalu.

Padahal pada saat itu media massa juga sangat gencar memberitakan masalah

gizi buruk ini. Dalam hal ini nampaknya kita telah menjadi bangsa yang cepat

"lupa" tentang permasalahan yang dihadapi sehingga menjadi tidak waspada

bahwa masalah gizi buruk ini bisa mencuat lagi ke permukaan kapan saja.

Soekirman (2005), menyebutkan bahwa merebaknya masalah gizi buruk

Page 10: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

13

ini adalah karena kita semua tidak waspada. Ketidakwaspadaan ini disebabkan

instrumen-instrumen yang selama ini dikembangkan unluk mencegah dan

menanggulangi masalah pangan dan gizi cenderung tidak dimanfaatkan, bahkan

ditinggalkan. Selama ini di Indonesia telah dikembangkan suatu sistem isyarat

dini (early warning system) untuk mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan

gizi yang disebut dengan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG

yang dikembangkan mencakup SKPG untuk mengantisipasi terjadinya

kerawanan pangan/ kelaparan dan SKPG untuk mengantisipasi masalah gizi

buruk yang implementasinya dilakukan melalui pemantauan berat badan anak

balita di Posyandu. Karena masalah gizi buruk yang merebak akhir-akhir ini

tidaklah "instan” atau terjadi begitu saja, melainkan merupakan suatu proses

yang cukup panjang sejak terjadinya eksposure (intake makanan yang rendah

dan infeksi penyakit hingga manifestasinya dalam bentuk marasmus,

kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor), maka masalah ini seharusnya bisa

dicegah bila sistem kewaspadaan tersebut berjalan dengan baik (Martianto

2006).

Kajian gizi kurang lainnya adalah beberapa studi yang melakukan

pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran

BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif

dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti

terlihat pada Tabel 9, prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2

SD) setelah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi

wasting diatas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi

yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita

(Atmarita dan Fallah 2004).

Tabel 9 Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) 1990-2001

IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev. JPS, 99 SKRT, 01

Total 9.7 8.6 13.4 11.6 13.7 15.8 Laki-laki 10.8 9.5 13.9 13.3 16.9 Perempuan 8.7 7.6 12.7 10.0 14.5 Kota 13.5 14.0 15.2 Desa 13.3 13.7 16.2 IBT = Survei Indonesia Bagian Timur, Suvita – Survei Nasional Vitamin A; SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS = Evaluasi Jaring Pengaman Sosial; SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga; Sumber: Atmarita & Fallah dalam WKNPG VIII (2004).

Hasil RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan

gizi kurang secara nasional sebesar 18.4%. Angka prevalensi gizi buruk pada

Page 11: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

14

balita di Indonesia yang umumnya tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu

tingginya prevalensi gizi kurang, pola pengasuhan anak yang buruk, balita tidak

cukup mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, serta pelayanan

kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat.

Upaya Penanggulangan KEP

Menurut Soekirman (2000), upaya pencegahan dan penanggulangan

KEP tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya saja misalnya dengan

meningkatkan produksi dan persediaan pangan, tetapi juga dengan mengkaji

tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga untuk mengatasi masalah kurang gizi

yang terjadi. Pada umumnya, KEP pada orang dewasa lebih banyak

menceminkan kemiskinan. Pada anak-anak, selain ekonomi terdapat faktor lain

yang menyebabkan timbulnya KEP. Berbagai upaya lain di luar ekonomi harus

berjalan bersama-sama saling melengkapi (komplementer) dengan upaya

perbaikan ekonomi khususnya pengentasan kemiskinan. Upaya lain yang

dimaksud adalah upaya yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh

sasaran yaitu masyarakat beresiko tinggi menderita KEP (terutama anak balita).

Sedangkan upaya perbaikan ekonomi merupakan upaya tidak langsung karena

hasilnya tidak hanya dirasakan oleh kelompok sasaran, tetapi juga oleh

masyarakat umum.

Upaya yang langsung ke sasaran berupa pelayanan dasar gizi,

kesehatan, dan pendidikan. Upaya tidak langsung meliputi: (a) jaminan

ketahanan pangan (food security) sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin

dapat dipenuhi hak asasinya yaitu hak untuk memperoleh makanan yang cukup,

(b) memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli, dan (c)

membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah untuk

memberikan kesempatan kepada penduduk miskin meningkatkan pendapatan

melalui produksi barang dan jasa. Disamping upaya langsung dan tidak

langsung, terdapat upaya lain untuk memantau status gizi masyarakat di tingkat

keluarga dan perorangan dari waktu ke waktu. Upaya pemantauan ini merupakan

salah satu program gizi yang dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia

dan disebut sebagai program kewaspadaan pangan dan gizi atau food and

nutritional survelance.

Menurut Arisman (2004), penanggulangan KEP harus dilakukan pada

taraf makro dan taraf mikro. Penanggulangan taraf makro meliputi perbaikan

ekonomi negara, peningkatan pendidikan umum, dan pendidikan gizi, penerapan

Page 12: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

15

serta penyuluhan gizi, peningkatan produksi bahan makanan dan peningkatan

upaya-upaya pasca panen untuk menghindarkan penghamburan bahan

makanan (waste) dan peningkatan hygiene lingkungan maupun perorangan.

Selain itu, Keluarga Berencana (KB) juga merupakan faktor yang berpengaruh

signifikan terhadap prevalensi KEP dalam masyarakat. Penanggulangan pada

taraf makro ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara serempak oleh

berbagai instansi yang memerlukan koordinasi. Penanggulangan dalam lingkup

mikro bberhubungan dengan kondisi keluarga dan para anggota keluarga.

Faktor-faktor penyebab KEP disini adalah kurangnya konsumsi, daya beli

keluarga yang rendah, infeksi cacing, pendidikan umum, dan pengetahuan gizi

yang rendah, dan terlalu banyak anak dalam keluarga. Faktor-faktor kelompok

mikro ini harus ditinjau satu per satu dan dicari alternatif perbaikan atau

pemecahannya.

Faktor yang Berpengaruh Pada KEP

Kerangka konsep UNICEF memperlihatkan faktor yang erat kaitannya

dengan perubahan status kesehatan dan gizi buruk. Mulai dari krisis sosial

ekonomi dan politik, kemiskinan, pendidikan, pola asuh, kesehatan lingkungan,

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan penyakit infeksi/non-infeksi.

Ditinjau dari sudut pandang nasional, studi mengenai masalah kurang gizi

memerlukan analisis sosial ekonomi yang luas dan bukan pendekatan secara

diagnostis dan pengobatan perseorangan. Keadaan sosial ekonomi berkaitan

dengan akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar terdiri atas pangan,

pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Akses pangan terdiri atas 3 (tiga) aspek

yaitu aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Aspek ekonomi dapat dilihat dari

pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari PDB atau dari tingkat kemiskinan. Aspek

sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan. Ketiga aspek tersebut tidak hanya

berpengaruh terhadap akses masyarakat terhadap pangan tetapi berpengaruh

pula terhadap kebutuhan dasar yang lainnya, termasuk kesehatan. Berikut

diuraikan akses pangan dilihat dari dimensi sosial dan ekonomi.

Tingkat Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian

semua negara. Pada kerangka UNICEF (1990), kemiskinan dianggap sebagai

akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa

apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang

Page 13: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

16

terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan

merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa.

BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan

memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut

memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi

pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memilki rata-rata

pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan

terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis

kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai

pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal

per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis makanan non

makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan

dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis

untuk pedesaan.

World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk

membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hai ini bermanfaat dalam

menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganailisi kemajuan

dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan Bank Dunia ada dua,

yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per

hari.

Selain menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs

approach), BPS juga membedakan penduduk miskin menurut sifatnya yaitu

kemiskinan sementara (transient poverty) dan kemiskinan kronis (chronic

poverty). Penduduk yang termasuk dalam kemiskinan sementara adalah mereka

yang pengeluaran konsumsinya sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Pada

umumnya, penduduk miskin sementara (transient poor) disebabkan oleh

memburuknya keadaan perekonomian sehingga pendapatan orang tersebut tidak

dapat memenuhi kebutuhan minimum. Sedangkan penduduk miskin kronis

adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya berada jauh di bawah garis

kemiskinan. Mereka pada umumnya tidak mempunyai akses yang cukup

terhadap sumber daya ekonomi (BPS 2008a).

Penduduk miskin dalam penelitian ini diartikan sebagai penduduk yang

memiliki nilai konsumsi di bawah garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan

dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk dapat memenuhi konsumsi

Page 14: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

17

sebesar 2.100 kalori serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Tingkat

kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah

penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah total penduduk wilayah

tersebut, dinyatakan dalam persen.

Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan

“lingkaran setan” yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara.

Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan

makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan

sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan

proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi

kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada

kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran.

Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan

seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989b).

Bappenas (2007) menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab

masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal

balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang

kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi

memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan

melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya

produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung

menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat

pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga

karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat.

Produk Domestik Bruto (PDB)

Menurut pengertian ekonomi, produk domestik bruto (PDB) atau Gross

Domestic Product (GDP) adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi

oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode

untuk menghitung pendapatan nasional. PDB berbeda dari produk nasional bruto

karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di

negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu

negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai

faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal

usul faktor produksi yang digunakan.

Page 15: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

18

Menurut McEachern (2000), GDP artinya mengukur nilai pasar dari

barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam

suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga

dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau

untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat.

Gross Domestic Product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu

barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan

jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate)

tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau

penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali.

Tipe-tipe GDP

Ada dua tipe GDP, yaitu :

1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa

yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang

berlaku pada tahun tersebut.

2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang

dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku

pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang

dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP

merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan

harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka

besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut

menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya

disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau

merosot.

Indikator Pendidikan (BPS 2009)

Indikator pendidikan yang digunakan oleh BPS bersumber dari data hasil

Susenas Kor tahun 1994 - 2010. Susenas merupakan survei tahunan yang

dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan dengan cakupan

relatif luas. Indikator pendidikan tersebut yaitu, partisipasi pendidikan formal,

partisipasi pendidikan formal dan nonformal, pendidikan yang ditamatkan

penduduk 15 tahun ke atas, rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun

ke atas penduduk 15 tahun ke atas, partisipasi pra sekolah (sedang), partisipasi

pra sekolah (pernah dan sedang), dan buta huruf (BPS 2009).

Page 16: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

19

Rata-rata Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas

Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk

15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas merupakan salah satu indikator

penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan

kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Oleh karena itu penelitian ini

menggunakan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas

penduduk 15 tahun ke atas sebagai indikator pendidikan yang dianggap

berpengaruh terhadap masalah gizi KEP.

Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah

pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam

menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga. Berg (1986)

menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi

kualitas dan kuantitas makan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi

diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih

baik.

Almarita & Fallah (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan sangat

berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat

pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat

untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan

gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat

pendidikan, khususnya pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan.

Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi,

kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan

bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku

hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang

atau masyarakat untuk mengimplementasi pengetahuannya dalam perilaku dan

gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.

Kesehatan Lingkungan

Depkes (2010b) mengelompokkan data kesehatan lingkungan meliputi

data kebutuhan air keperluan rumah tangga, sanitasi dan kesehatan perumahan.

Data keperluan air rumah tangga meliputi jenis sumber utama air yang digunakan

untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk minum dan memasak, jumlah

pemakaian air per orang per hari, jenis sumber air minum, jarak dan waktu

tempuh ke sumber air minum dari sumbernya, cara pengolahan air minum dalam

Page 17: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

20

rumah tangga, cara penyimpanan air minum serta akses terhadap sumber air

minum.

Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum

yang Terlindungi dan Berkelanjutan. Berdasarkan berbagai survei mengenai

kesehatan lingkungan seperti dalam SKRT, SUPAS, Susenas, dan Riskesdas,

air dikelompokkan menjadi air bersih, air minum bersih, dan air minum yang

terlindung dan berkelanjutan. Terdapat dua definisi air bersih menurut Susenas

dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat, yaitu (1) Air bersih terdiri dari air pipa,

pompa, air kemasan, air dari sumur terlindung, air dari mata air terlindung, dan

air hujan dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja ≥ 10 m; (2) Air bersih

terdiri dari air kemasan, air isi ulang, leding, dan sumur bor/pompa, sumur

terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan akhir

tinja ≥ 10 m (BPS 2009). Sedangkan Depkes (2008b) mendefinisikan air bersih

berasal dari sumber terlindung dan sarana sumber air yang digunakan improved

serta berada dalam radius 1 km dari rumah.

Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS

mengkategorikan sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga menjadi

dua kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung.

Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa air, mata air

terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak

terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan

lainnya (Depkes 2008b).

Air minum bersih menurut Susenas dalam Indikator Kesejahteraan

Rakyat didefinisikan menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Air minum bersih bersumber dari

sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (2) Air

minum bersih bersumber dari pompa, sumur/mata air yang jaraknya ke tempat

pembuangan limbah > 10 m; (3) Air minum bersih bersumber dari leding,

kemasan, dan pompa, sumur/mata air terlindung yang jaraknya ke tempat

pembuangan limbah > 10 m (BPS 2008b).

Sedangkan untuk air minum yang terlindung dan berkelanjutan memiliki

dua definisi, yaitu menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) dan

SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) serta menurut Susenas. SKRT 1980,

SUPAS 1985 dan SKRT 1986 mendefinisikan air minum yang terlindung dan

berkelanjutan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata

air, dan air hujan (Depkes 1988).

Page 18: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

21

Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sanitasi

yang Layak. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini berkaitan

dengan faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu indikator PHBS yang

memiliki keterkaitan dengan masalah gizi adalah akses terhadap sanitasi layak

(Bappenas 2010b).

Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) dalam nomenklatur

MDGs meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset

yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs

2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas

tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis „latrine‟

dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana

pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP

WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu „improved‟,

„shared‟, „unimproved‟ dan „open defecation‟. Dikategorikan sebagai „improved‟

bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan

tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Depkes 2010a).

Selain itu terdapat beberapa definisi sanitasi layak. Menurut SKRT 1980

dan SKRT 1986, sanitasi layak adalah bila penggunaan sarana BAB berupa

jamban (Depkes 1988). Sedangkan Susenas mendefinisikan sanitasi layak

menjadi 2, yaitu (1) penggunaan sarana BAB berupa septik tank dan lubang

pembuangan tinja; (2) Sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana

yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan

lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset

dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki

septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan

ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a).

Pelayanan Kesehatan Dasar

Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat

penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat.

Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat,

diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat dapat diatasi.

Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan

kesehatan yaitu, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga

berencana, dan pelayanan imunisasi (Depkes 2008a).

Page 19: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

22

Cakupan Imunisasi Lengkap. Cakupan imunisasi lengkap adalah

besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1

kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Imunisasi

merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian pada

bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang wajib diberikan pada

bayi adalah imunisasi polio, BCG, DPT, dan campak. BCG seringkali digunakan

sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk tuberkulosis

yang parah selama satu tahun pertama hidupnya, dan juga digunakan sebagai

salah satu indikator akses ke pelayanan kesehatan (Depkes 2008a).

Selain BCG, vaksin lain yang wajib diberikan pada bayi adalah polio.

Imunisasi polio merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit polio. Tidak

seperti imunisasi BCG atau campak yang membutuhkan 1 dosis, imunisasi polio

membutuhkan 3 dosis. Maka untuk mengukur keberhasilan upaya kesehatan

yang dilakukan adalah polio3, yaitu ketika bayi telah mendapatkan imunisasi

polio sebanyak 3 dosis (3 kali) (Depkes 2008a).

Diantara penyakit pada anak-anak yang dapat dicegah dengan vaksin,

campak adalah penyebab utama kematian anak. Oleh karena itu pencegahan

campak merupakan faktor penting dalam mengurangi angka kematian balita. Dari

dua tujuan yang disepakati dalam pertemuan dunia tentang anak, salah satunya

adalah mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Di seluruh

negara ASEAN dan SEARO, imunisasi campak diberikan rata-rata umur 9-12

bulan dan merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara

imunisasi wajib lainnya (BCG, DPT, Polio, Hepatitis, dan Campak). Dengan

demikian diasumsikan bayi yang mendapat imunisasi campak telah

mendapatkan imunisasi lengkap.

Sumber Daya Kesehatan. Gambaran mengenai situasi sumber daya

kesehatan dikelompokkan menjadi sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan

pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit

(rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya Kesehatan

Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan

alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan.

Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat, berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan

sumber daya yang ada, termasuk yang ada di masyarakat. Upaya Kesehatan

Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di antaranya adalah Posyandu (Pos

Page 20: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

23

Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat

Keluarga), POD (Pos Obat Desa), dan sebagainya.

Posyandu merupakan salah satu UKBM yang paling terkenal di

masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu

kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan

penanggulangan diare. Untuk memantau perkembangannya, Posyandu

dikelompokkan ke dalam 4 (empat) strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu

Madya, Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri. Jumlah posyandu

merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana

pelayanan kesehatan sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat

(UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a).

Anggaran Perbaikan Gizi

Pembiayaan kesehatan di Indonesia terdiri atas pembiayaan kesehatan

oleh pemerintah dan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat yaitu mengenai

pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dan jaminan pemeliharaan

kesehatan. Pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dituangkan dalam Anggaran

Departemen Kesehatan Republik indonesia (Depkes 2008a).

Anggaran Departemen Kesehatan tiap tahun digunakan untuk berbagai

program kesehatan dan salah satu diantaranya dialokasikan pada program

perbaikan gizi. Program perbaikan gizi yang dilakukan yaitu Usaha Perbaikan

Gizi Keluarga, Pencegahan Gondok Endemik, Pencegahan Defisiensi Vitamin A,

Pencegahan dan Penanggulangan AGB, serta peningkatan kemampuan tenaga

gizi, pengadaan prasana, sarana pengendalian dan penilaian (Bappenas 1983).

Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen

kesehatan. Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen

kesehatan adalah banyaknya jumlah anggaran perbaikan gizi tiap tahun dibagi

dengan jumlah total anggaran departemen kesehatan tiap tahun dikalikan

dengan 100 persen. Adapun rumus yang digunakan yaitu :

Page 21: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

24

Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi

Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk

mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten

dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan setiap instansi pemerintah bervariasi

menurut substansi permasalahan, tujuan kelompok sasaran, dan lingkup

permasalahan (Wahab 2004).

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan

adalah masalah eksternal dan internal. Permasalahan eksternal berkaitan

dengan upaya pemantapan ketahanan pangan yang dihadapkan pada

keterbukaan ekonomi dan perdagangan global. Pada tataran internal,

pemantapan ketahanan pangan menghadapi masalah yang terkait dengan masih

banyaknya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan kronis dan

transien. Kerawanan pangan ini berdampak langsung pada rendahnya status

gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia masyarakat, yang berkorelasi positif

dengan kemiskinan.

Konferensi Dewan Ketahanan Pangan sebagai lembaga koordinatif telah

merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan

nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju

konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya

penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan

pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk masalah ini sangat

berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian

dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan.

Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural

maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (Dewan Ketahanan

Pangan 2004).

Menurut Nainggolan (2008), untuk mengatasi berbagai masalah

ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan langkah operasional terpadu

lintas sektoral dan bahkan dengan menyertakan seluruh komponen masyarakat

guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait

haruslah secara sadar mengarahkan kebijakan maupun program kegiatan pada

sistem ketahanan pangan yang handal

Pada sisi ketersediaan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: a)

meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air; b)

menjamin kelangsungan produksi pangan utamanya dari produksi dalam negeri;

Page 22: Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan

25

c) mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan

masyarakat; d) meningkatkan kapasitas produksi nasional dengan menetapkan

lahan abadi untuk produksi pangan. Pada aspek distribusi, kebijakan ketahanan

pangan diarahkan untuk; a) mengembangkan sarana dan prasarana distribusi

pangan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan, termasuk disalamnya

mengurangi kerusakan bahan pangan dan kerugian akibat distribusi yang tidak

efisien; b) mengurangi atau menghilangkan peraturan daerah yang mengambat

distribusi pangan antar daerah; c) mengembangkan kelembagaan pengelolaan

dan pemasaran di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

distribusi pangan serta mendorong peningkatan nilai tambah. Pada aspek

konsumsi, kebijakan ketahan pangan diarahkan untuk: a) menjamin pemenuhan

pangan bagi setiap rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai aman

dikonsumsi dan bergizi seimbang; b) mendorong dan mengembangkan

membangun serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan

pangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan; c) mengembangkan

jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan; d)

meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan

bersubsidi kepada golongan masyarakat tertentu (golongan miskin, ibu hamil,

balita gizi buruk dan sebagainya) (Dewan Ketahanan Pangan 2006).