Upload
piety-mey
View
69
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Perkembangan Psikologi yang Terjadi pada Anak Prasekolah, Sekolah, dan Pubertas
Disusun oleh:
Piety Meysawati
S.11.931
IIC
AKADEMI KEBIDANAN SARI MULIA
BANJARMASIN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup akan berkembang sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dalam
perkembangannya akan mengalami suatu perubahan, salah satunya adalah terjadinya suatu
perubahan secara psikologis. Dimana perkembangan psikologis yang terjadi pada anak tersebut
terbagi dalam 3 fase, yaitu pada masa prasekolah, sekolah, dan pubertas.
Masa prasekolah merupakan fase perkembangan individu pada usia 2-4 tahun, ketika
anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri
dalam buang air (toilet training), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya
(mencelakakan dirinya).
Masa sekolah berlangsungdari usia 6 tahun hingga tiba saatnya individu menjadi matang
secara seksual. Permulaan masa ini ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu sekolah dasar.
Setelah anak mencapai usia 6 atau 7 tahun perkembangan jasmani dan rohaninya mulai
sempurna.
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase) remaja. Masa ini
merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan individu, dan
merupakan transisi yang dapat diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat.
BAB II
ISI
A. Perkembangan dalam Masa Prasekolah
1. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya.
Dengan meningkatnya pertumbuhan tubuh, baik yang menyangkut ukuran berat dan
tinggi, maupun kekuatannya, memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan
keterampilan fisiknya dan mengeksplorasi lingkungannya dengan atau tanpa bantuan dari
orang tuanya. Perkembangan system saraf pusat memberikan kesiapan kepada anak untuk
dapat lebih meningkatkan pemahaman dan penguasaan terhadap tubuhnya.
Proporsi tubuhnya berubah secara dramatis, seperti pada usia tiga tahun, rata-rata
tingginya sekitar 80-90 cm, dan beratnya sekitar 10-13 kg, sedangkan usia lima tahun
tingginya mencapai 100-110 cm. Tulang kakinya tumbuh dengan cepat, namun
pertumbuhan tengkoraknya tidak secepat usia sebelumnya. Pertumbuhan tulang-
tulangnya semakin besar dan kuat. Pertumbuhan giginya semakin lengkap/komplit,
sehingga dia sudah menyenangi makanan padat, seperti daging, sayuran, buah-buahan,
dan kacang-kacangan.
Pertumbuhan otaknya pada usia lima tahun sudah mencapai 75% dari ukuran
orang dewasa, dan pada usia enam tahun sudah mencapai 90%. Pada usia ini juga
terjadinya pertumbuhan myelinization (lapisan urat saraf dalam otak yang terdiri atas
bahan penyekat berwarna putih yaitu mielin) secara sempurna. Lapisan urat saraf ini
membantu transmisi impuls-impuls saraf secara cepat, yang memungkinkan
pengontrolan terhadap kegiatan-kegiatan motorik lebih seksama dan efisien. Di samping
itu, pada usia ini banyak juga perubahan fisiologis lainnya, seperti pernapasan menjadi
lebih lambat dan mendalam, serta denyut jantung lebih lambat dan menetap.
Perkembangan fisik anak ditandai juga dengan berkembangnya keterampilan
motorik, baik yang kasar maupun yang halus. Keterampilan motorik adalah segala
sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan-gerakan tubuh.
2. Perkembangan Emosi
Pada masa ini, emosi anak sangat kuat, ditandai oleh ledakan amarah, ketakutan
yang hebat atau iri hati yang tidak masuk akal. Hal ini dikarenakan kelemahan anak
akibat lamanya bermain, tidak mau tidur siang atau makan terlalu sedikit. Di samping itu,
anak menjadi marah karena tidak dapat melakukan suatu kegiatan yang dianggap dapat
dilakukan dengan mudah. Ketegangan emosi dapat juga terjadi pada anak jika anak
diharapkan mencapai standar yang tidak masuk akal.
Pada usia 4 tahun anak sudah mulai menyadari “aku”-nya, bahwa akunya
(dirinya) berbeda dengan bukan aku (orang lain). Kesadaran ini diperoleh dari
pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain. Dia
menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang lain, sehingga orang
lain tidak selamanya memenuhi keinginannya. Bersamaan dengan itu, berkembang pula
perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari lingkungannya. Jika lingkungannya
(terutama orang tuanya) tidak mengakui harga diri anak, seperti memperlakukan anak
secara keras, atau kurang menyayanginya, maka pada diri anak akan berkembang sikap-
sikap keras kepala/menentang atau menyerah menjadi penurut yang diliputi rasa harga
diri kurang dengan sifat pemalu.
Pola emosi umum yang terjadi pada masa anak-anak antara lain adalah sebagai berikut.
a. Takut, yaitu perasaan terancam oleh suatu objek yang dianggap membahayakan.
b. Cemas, yaitu perasaan takut yang bersifat khayalan, yang tidak ada objeknya.
c. Marah, merupakan perasaan tidak senang, atau benci baik terhadap orang lain, diri
sendiri atau objek tertentu yang diwujudkan dalam bentuk verbal (kata-kata
kasar/makiab/sumpah/ serapah) atau nonverbal (seperti mencubit, memukul,
menampar, menendang, dan merusak).
d. Cemburu, yaitu perasaan tidak senang terhadap orang lain yang dipandang telah
merebut kasih saying dari seseorang yang telah mencurahkan kasih saying
kepadanya.
e. Kegembiraan, Kesenangan, Kenikmatan, yaitu perasaan yang positif, nyaman karena
terpenuhi keinginannya.
f. Kasih Sayang, yaitu perasaan senang untuk memberikan perhatian atau perlindungan
terhadap orang lain, hewan, atau benda.
g. Fobia, yaitu perasaan takut terhadap objek yang tidak patut untuk ditakutinya (takut
yang abnormal) seperti takut ulat, kecoa, dan lain-lain.
h. Ingin Tahu, yaitu perasaan ingin mengenal, mengetahui segala sesuatu atau objek-
objek, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
3. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan sebuah kelebihan umat manusia. Dengan menggunakan bahasa, orang
mampu membedakan antara subjek dan objek.
Berikut adalah beberapa perkembangan bahasa menurut Clara dan William Stern.
a. Prastadium(Tahun Pertama)
Kata pertama yang diucapkan anak dimulai dari suara-suara raban seperti yang kita
dengar dengan keluar dari mulut seorang bayi. Dalam masa ini, anak cenderung
mengucapkan pengulangan suara. Contoh sebagai penjelasan, ma-ma, mi-mi (artinya
saya mau minum), pa-pa, pi-pi, bi-bi, dan sebagainya.
b. Kalimat Satu Kata (12-18 bulan)
Satu perkataan dimaksudkan untuk mengungkapkan satu perasaan atau satu
keinginan. Seperti kata “mama” dimaksudkan untuk “mama, saya minta makan”.
c. Masa Memberi Nama (18-24 Bulan)
Perkembangan bahasa ini seakan-akan terhenti selama beberapa bulan karena anak
memusatkan perhatiannya untuk belajar berjalan. Sesudah pertengahan tahun kedua,
timbullah dorongan untuk mengetahui nama semua benda. Di masa ini anak
menyadari bahwa setiap benda mempunyai nama.
d. Masa Kalimat Tunggal (24-30 Bulan)
Bahasa dan bentuk kalimat makin baik dan sempurna. Anak telah menggunakan
kalimat tunggal. Sekarang ia mulai menggunakan awalan dan akhiran yang
membedakan bentuk dan warna bahasanya. Sehubungan dengan bentuk dan warna
bahasa itu, anak memerlukan waktu untuk mempelajarinya.
e. Masa Kalimat Majemuk ( > 30 Bulam)
Anak mengucapkan kalimat yang makin panjang dan bagus. Anak telah mulai
menyatakan pendapatnya dengan kalimat majemuk. Sesekali ia menggunakan kata
perangkai, akhirnya timbullah anak kalimat. Dalam hal ini anak sering berbuat
kesalahan, namun tampaknya ia tidak berputus asa. Kadang-kadang orang dewasa
sukar memahami bahasa anak-anak. Kita harus mengenalnya lebih dahulu agar lebih
mudah memahami bahasanya.
4. Perkembangan Bermain
Usia anak prasekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya
diisi dengan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang dimaksud adalah suatu kegiatan
yang dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan.
a) Teori Bermain
Teori rekreasi, permainan merupakan kesibukan untuk menenangkan pikiran atau
beristirahat. Orang akan bermain bila ia telah bekerja, maksudnya untuk
menggantikan kesibukan bekerja dengan kegiatan lain yang dapat memulihkan
tenaga kembali.
Teori pelepasan, bahwa dalam diri anak terdapat kelebihan tenaga. Sewajarnya ia
harus mempergunakan tenaga itu melalui kegiatan bermain. Dengan demikian
dapat tercapai keseimbangan di dalam dirinya. Teori pelepasan ini juga disebut
teori kelebihan tenaga.
Teori avatisme, bahwa di dalam perkembangannya anak melalui seluruh taraf
kehidupan umat manusia. Dalam bahasa latin, avatisme artinya dalam dalam
permainan timbul bentuk-bentuk kehidupan yang pernah dialamai nenek moyang.
Teori biologis, yaitu permainan merupakan tugas biologis. Permainan merupakan
latihan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan kehidupan di masa
yang akan dating.
Teori psiko dalam, bahwa permainan itu merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang
terdapat di daerah bawag sadar, sumbernya berasal dorongan nafsu seksual.
b) Faedah permainan
Sarana untuk membawa anak kea lam bermasyarakat. Dalam suasana permainan,
mereka saling mengenal, menghargai satu dengan yang lainnya, dan dengan
perlahan-lahan tumbuhlah rasa kebersamaan yang menjadi landasan bagi
pembentukan perasaan social.
Mampu mengenal kekuatan sendiri. Anak-anak yang sudah terbiasa bermain
dapat mengenal kedudukannya di kalangan teman-temannya, dapat mengenal
bahan atau sifat-sifat benda yang mereka mainkan.
Mendapatkan kesempatan mengembangkan fantasi dan menyalurkan
kecenderungan pembawaannya. Jika anak laki-laki dan anak perempuan diberi
bahan-bahan yang sama berupa kertas-kertas, perca, gunting, tampaknya mereka
akan membuat sesuatu yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa anak laki-laki
berbeda bentuk-bentuk permainannya dengan permainan anak perempuan.
Berlatih menempa perasaannya. Dalam keadaan bermain-main mereka mengalami
bermacam-macam perasaan. Ada anak yang dapat menikmati suasana permainan
itu, sebaliknya sementara anak yang lain merasa kecewa.
Memperoleh kegembiraan, kesenangan, dan kepuasan. Suasana kegembiraan
dalam permainan dapat menjauhkan diri dari perasaan-perasaan rendah, misalnya
perasaan dengki atau rasa iri hati.
5. Perkembangan Kepribadian
Masa ini lazim disebut masa “trotzalter” yaitu periode perlawanan atau masa krisis
pertama. Krisis ini terjadi karena ada perubahan yang hebat dalam dirinya, yaitu dia
mulai sadar akan “aku”-nya, dia menyadari bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau
orang lain, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan
kesadaran ini anak menemukan bahwa ada dua pihak yang berhadapan yaitu “aku”-nya
dan orang lain.
Pada masa ini berkembang kesadaran dan kemampuan untuk memenuhi tuntutan
dan tanggung jawab. Oleh karena itu, agar tidak berkembang sikap membandel anak yang
kurang terkontrol, pihak orang tua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih
saying dan tidak bersikap keras. Meskipun mereka mulai menampakkan keinginan untuk
bebas dari tuntutan orang tua, namun pada dasarnya mereka masih sangat membutuhkan
perawatan, asuhan, bimbingan atau curahan kasih sayang orang tua.
Aspek-aspek perkembangan kepribadian anak meliputi beberapa hal berikut ini.
Ketergantungan vs Citra Diri (Dependency vs Self Image).
Konsep anak prasekolah tentanf dirinya sulit dipahami dan dianalisis, karena
keterampilan bahasanya belum jelas dan pandangannya terhadap orang lain masih
egosentris. Mereka memiliki sistem pandangan dan persepsi yang kompleks,
tetapi belum dapat menyatakannya. Perkembangan sikap “independensi” dan
kepercayaan diri anak terkait dengan cara perlakuan orang tuanya. Sebagai orang
tua, mereka memberikan perlindungan kepada anak dari sesuatu yang
membahayakan dan dari kefrustasian. Gaya perlakuan orang tua kepada anak
ternyata sangat beragam, ada yang terlalu memanjakan, bersikap keras,
penerimaan dan kasih sayang, serta acuh tak acuh (permisif). Masing-masing
perlakuan itu cenderung memberikan dampak yang beragam bagi kepribadian
anak.
Inisiatif vs Rasa Bersalah (Initiative vs Guilt)
Erik Erikson mengemukakan suatu teori bahwa anak prasekolah mengalami satu
krisis perkembangan, karena mereka menjadi kurang dependen dan mengalami
konflik antara initiative dan guilt. Kemampuan anak berkembang, baik secara
fisik maupun intelektual. Selain itu, rasa percaya diri juga berkembang untuk
melakukan sesuatu. Mereka jadi lebih mampu mengontrol tubuhnya. Anak mulai
memahami bahwa orang lain memiliki perbedaan dengan dirinya, baik
menyangkut persepsi maupun motivasi dan mereka menyenangi kemampuan
dirinya untuk melakukan sesuatu.
Pada tahap ini, anak sudah siap dan berkeinginan untuk belajar dan
bekerja sama dnegan orang lain guna mencapai tujuannya. Hal yang berbahaya
pada tahap ini adalah tidak tersalurkannya energy yang mendorong anak untuk
aktif (dalam rangka memenuhi keinginannya), karena mengalami hambatan atau
kegagalan, sehingga anak mengalami rasa bersalah (guilt). Perasaan bersalah itu
berdampak kurang baik bagi perkembangan kepribadian anak, dia bias menjadi
nakal atau pendiam.
6. Perkembangan Moral
Pada masa ini anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap
kelompok sosialnya (orang tua, saudara, dan teman sebaya). Melalui pengalaman
berinteraksi dengan temannya, anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku
mana yang baik/boleh/diterimai/disetujui atau buruk/tidak boleh. Berdasarkan
pengalamannya itu, maka pada masa ini anak harus bertingkah laku (seperti mencuci
tangan sebelum makanm menggosok gigi sebelum tidur).
Pada saat ini mengenalkan konsep-konsep baik-buruk, benar-salah atau
menanamkan disiplin pada anak, orang tua atau guru hendaknya memberikan penjelasan
tentang alasannya. Penanaman disiplin dengan disertai alasannya ini diharapkan akan
mengembangkan self control atau self discipline pada anak. Apabila penanaman disiplin
ini tidak diiringi penjelasan tentang alasannya, atau bersifat doktrin, biasanya akan
melahirkan sikap disiplin buta, apalagi jika disertai dengan perkataan yang kasar.
B. Perkembangan pada Masa Usia Sekolah
1. Perkembangan Intelektual
Pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan
intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan kognitif,
seperti membaca, menulis dan menghitung. Pada usia SD daya pikirnya sudah
berkembang kea rah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Piaget
menamakannya sebagai masa operasi konkret, masa berakhirnya berpikir khayal dan
mulai berpikir konkret (berkaitan dengan dunia nyata).
Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu
mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun atau mengasosiasikan (menghubung
atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan yang berkaitan sengan
perhitungan (angka), seperti menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi. Di
samping itu, pada akhir masa ini anak sudah memiliki kemampuan memecahkan masalah
(problem solving) yang sederhana. Untuk mengembangkan daya nalarnya, orang tua
dapat melatih anak dengan mengungkapkan pendapat, gagasan atau penilainya terhadap
berbagai hal, baik yang dialaminya maupun peristiwa yang terjadi di lingkungan.
Misalnya, yang berkaitan dengan materi pelajara, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik
dengan teman sebaya atau orang lain dan sebagainya.
2. Perkembangan Bahasa
` Bahasa adalah sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini
tercakup semua cara untuk berkomunikasi, di mana pikiran dan perasaan dinyatakan
dalam bentuk tulisan, lisan, istirahat, atau gerak dengan menggunakan kata-kata, kalimat
bunyi, lambang, gambar atau lukisan. Dengan bahasa, semua manusia dapat mengenal
dirinya, sesame manusia, alam sekitar, ilmu pengetahuan, dan nilai moral atau agama.
Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang
kain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang
perjalanan/petualangan, riwayat para pahlawan, dan sebagainya). Pada masa ini tingkat
berpikir anak sudah lebih maju, dia banyak menanyakan soal waktu dan sebab akibat.
Oleh sebab itu, kata Tanya yang dipergunakan pun yang semula hanya “apa”, sekarang
sudah diikuti dengan pertanyaan, “dimana, dari mana, kemana, dan bagaimana.”
Terdapat dua factor penting yang memengaruhi perkembangan bahasa, yaitu
sebagai berikut.
Proses menjadi matang. Dengan kata lain anak itu menjadi matang (organ-organ
suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata.
Proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu
mempelajari bahasa orang lain dengan jalan mengimitasi atau meniru
ucapan/kata-kata yang didengarkannya.
Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak sehingga pada
usia anak memasuki sekolah dasar, sudah sampai pada tingkat dapat membuat
kalimat yang lebih sempurna, dapat membuat kalimat majemuk dan dapat
menyusun serta mengajukan pertanyaan.
3. Perkembangan Sosial
Perkembangan social ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan social.
Dapat juga dikatakan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-
norma kelompok, tradisi, dan moral (agama). Perkembangan social pada anak sekolah
dasar ditandai dengan adanya perluasan hubungan, disamping dengan keluarga anak juga
mulai membentuk ikatan baru dengan teman sebaya atau teman sekelas, sehingga ruang
gerak hubungan sosialnya telah bertambah luas.