19
BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai persalinan kira- kira adalah 40 minggu dan tidak lebih dari 42 minggu. Usia kehamilan yang dianggap cukup bulan adalah 38 – 40 minggu, sementara bila lebih dari 42 minggu maka disebut kehamilan post matur. Bila persalinan terjadi pada usia kehamilan di bawah 37 minggu, maka disebut partus prematurus. Ada pula yang membagi usia kehamilan kurang bulan menjadi kehamilan imatur, yaitu usia kehamilan 20 – 27 minggu, dan kehamilan prematur bila usia kehamilan 28 – 36 minggu. Persalinan yang terjadi pada kehamilan yang belum cukup bulan dapat mempengaruhi viabilitas bayi yang dilahirkan karena bayi masih terlalu muda dan oragan-organnya belum cukup matur untuk dapat bertahan hidup di luar kandungan. Persalinan merupakan proses yang terjadi karena koordinasi dari kontraksi uterus yang secara teratur menyebabkan dilatasi serviks sehingga bayi dan plasenta dapat keluar dari uterus melalui jalan lahir. Kontraksi uterus harus teratur dalam suatu interval tertentu, yaitu 4 kali dalam 1 jam, dan harus cukup adekuat untuk dapat menyebabkan dilatasi serviks. I.2 EPIDEMIOLOGI Persalinan prematur terjadi pada 10 – 15% dari seluruh kehamilan. Prematuritas adalah penyebab utama terjadinya 1

Persalinan Preterm.doc

Embed Size (px)

DESCRIPTION

khjgk

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

I.1LATAR BELAKANG

Lamanya kehamilan mulai dari ovulasi sampai persalinan kira-kira adalah 40 minggu dan tidak lebih dari 42 minggu. Usia kehamilan yang dianggap cukup bulan adalah 38 40 minggu, sementara bila lebih dari 42 minggu maka disebut kehamilan post matur. Bila persalinan terjadi pada usia kehamilan di bawah 37 minggu, maka disebut partus prematurus. Ada pula yang membagi usia kehamilan kurang bulan menjadi kehamilan imatur, yaitu usia kehamilan 20 27 minggu, dan kehamilan prematur bila usia kehamilan 28 36 minggu.

Persalinan yang terjadi pada kehamilan yang belum cukup bulan dapat mempengaruhi viabilitas bayi yang dilahirkan karena bayi masih terlalu muda dan oragan-organnya belum cukup matur untuk dapat bertahan hidup di luar kandungan.

Persalinan merupakan proses yang terjadi karena koordinasi dari kontraksi uterus yang secara teratur menyebabkan dilatasi serviks sehingga bayi dan plasenta dapat keluar dari uterus melalui jalan lahir. Kontraksi uterus harus teratur dalam suatu interval tertentu, yaitu 4 kali dalam 1 jam, dan harus cukup adekuat untuk dapat menyebabkan dilatasi serviks.

I.2EPIDEMIOLOGI

Persalinan prematur terjadi pada 10 15% dari seluruh kehamilan. Prematuritas adalah penyebab utama terjadinya morbiditas maupun mortalitas neonatal dan merupakan 75% penyebab kematian neomatal yang tidak berhubungan dengan anomali kongenital.

13% bayi memiliki berat badan lahir yang rendah, yaitu kurang dari 2500 gram. 3% di antaranya merupakan bayi yang cukup bulan, dan sekitar 10% merupakan bayi prematur. Bayi prematur dengan BBLR merupakan 2/3 penyebab kematian bayi, yakni sekitar 25.000 kasus per tahun.

30% persalinan prematur terjadi akibat kesalahan perhitungan usia kehamilan atau karena tindakan intervensi medis terhadap ibu maupun janin.

Penyebab utama terjadinya partus preterm adalah infeksi pada cairan atau selaput ketuban yang meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini. Sekitar 80% wanita yang mengalami partus preterm memiliki riwayat korioamnionitis selama kehamilannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1DEFINISI

Partus prematur adalah proses persalinan yang sudah terjadi pada usia kehamilan di bawah 37 minggu, namun sudah lebih dari 20 minggu.

II.2KLASIFIKASI

Berdasarkan usia kehamilannya, persalinan preterm dapat diklasifikasikan menjadi :

PrematuritasUsia kehamilan Frekuensi

Ringan32 36 minggu85%

Sedang 28 31 minggu< 1%

Berat20 27 minggu< 5%

Tabel 1. Klasifikasi prematuritas

Ada pula pembagian yang mengatakan usia kehamilan 20 27 minggu adalah kehamilan imatur dan 28 36 minggu termasuk kehamilan prematur.

II.3ETIOLOGI

Partus prematur berhubungan dengan masalah penyakit sistemik, obstetrik, dan anatomi. 50% penyebab partus prematur adalah idiopatik. Namun demikian, ada beberapa faktor resiko yang diduga sebagai penyebab terjadinya partus prematur :

1. Kondisi ibu

Usia ibu kurang dari 18 tahun atau lebih dari 40 tahun

Multipara

Kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol

2. Masalah obstetrik saat ini

Hipertensi dalam kehamilan

Kelainan plasenta (solusio plasenta, plasenta previa)

Ketuban pecah dini akibat korioamnionitis

Organisme yang ditemukan pada cairan amnion antara lain :

Ureaplasma urealyticum

Mycoplasma hominus

Bacteroides species

Gardnerella vaginalis.

Polihidramnion atau oligohidramnion

Berat badan kurang atau berlebih selama kehamilan

3. Riwayat kehamilan sebelumnya

Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah

Jarak kehamilan terlalu dekat (> 3 bulan)

Riwayat abortus

Riwayat laserasi serviks atau uterus

4. Penyakit sistemik

Hipertensi sistemik atau pulmonal

Penyakit jantung dan ginjal

Infeksi

Saluran kemih: pielonefritis

Genitalia: gonorrhea, herpes simpleks

Gastrointestinal: appendisitis, kolesistitis, divertikulitis

Sistemik: pneumonia, influenza, malaria

Infeksi janin: sitomegalovirus, toksoplasmosis, listeriosis

Anemia

Ulkus peptikum

Trauma

5. Komplikasi tindakan medis

Tindakan bedah abdomen

Konisasi serviks

Riwayat tindakan bedah pada uterus atau serviks (sectio caesarea)

6. Kelainan anatomi

Uterus bikornu atau unikornu

Uterus subseptal

Inkompetensi serviks kongenital

II.4PATOFISIOLOGI

Persalinan preterm dapat terjadi melalui beberapa mekanisme tergantung dari penyebabnya. Korioamnionitis merupakan penyebab utama terjadinya ketuban pecah dini yang kemudian merangsang kontraksi sehingga terjadi partus preterm. Ketuban Pecah Dini atau spontaneus/early/Premature Rupture of the Membran (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum partus, yaitu bila pembukaan pada primigravida kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Bila organisme ditemukan pada cairan amnion dari wanita hamil sebelum 20 minggu, kehamilan biasanya akan berakhir 4 8 minggu kemudian. Neonatus prematur dengan amnionitis memiliki resiko 3 4 kali lebih tinggi untuk mengalami perdarahan intraventrikel.

Bagan 2. Hubungan infeksi dengan persalinan preterm

II.5 DIAGNOSIS

Perhitungan usia kehamilan merupakan hal yang penting dilakukan untuk menentukan persalinan yang terjadi adalah sebuah partus prematur atau bukan. Perhitungan dapat berdasarkan dari hari pertama haid terakhir atau berdasarkan gambaran USG janin.

Bila usia kehamilan antara 20 27 minggu, maka tanda-tanda persalinan harus diperhatikan untuk mengetahui apakah ibu hamil sudah inpartu atau belum.

Kontraksi uterus merupakan hal yang cukup menetukan apakah persalinan akan berlangsung atau tidak. Kontraksi harus dihitung interval, lama dan diinilai kekuatannya. Perhitungan dapat dinilai dengan tokometer atau melalui palpasi uterus. Apabila kontraksi uterus sudah lebih dari 2x dalam 1 jam, maka pengawasan harus diperketat untuk mempersiapkan bila ibu sudah inpartu.

Penilaian dilatasi serviks atau pembukaan melalui pemeriksaan dalam harus dilakukan secara berkala. Apabila terjadi dilatasi serviks bertambah 1 cm dalam 1 2 jam, maka harus dipersiapkan untuk proses persalinan.

Adanya bloody show yang merupakan tanda inpartu harus dibedakan dari terjadinya perdarahan yang mungkin disebabkan oleh solutio plasenta atau plasenta previa.

II.6PEMERIKSAAN PENUNJANG

Seperti pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam setiap proses persalinan, pemeriksaan hematologi dan utinalisa lengkap harus dilakukan untuk mengetahui adanya anemia, infeksi atau proteinuria.

Pemeriksaan USG juga perlu dilakukan untuk mengetaui ukuran dan posisi janin, serta letak plasenta. Apabila letak janin atau plasenta tidak memungkinkan untuk dilakukan partus per vaginam, maka perlu dilakukan persiapan untuk sectio caesarea.

Amniosintesis mungkin berguna untuk menilai kematangan paru janin apabila usia kehamilan tidak dapat ditentukan secara pasti karena ketidaksesuaian ukuran janin dengan usia kehamilan. Cairan amnion diperiksa rasio lesitin sfingomielin, adanya kandungan fosfatidilgliserol, dan perhitungan lamellar body. Apabila dicurigai adanya korioamnionitis, maka perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pewarnaan gram, kultur bakteri, kadar glukosa, hitung sel, dan kadar interleukin 6.

Apabila dicurigai adanya infeksi genitalia, maka perlu dilakukan kultur terhadap jaringan serviks untuk pemeriksaan terhadap gonorrhea, chlamydia, dan kemungkinan penyebab vaginosis bakterial lainnya. Sementara sediaan kultur untuk Streptococcus grup B diambil dari mukosa vagina dan rektum.

Food and Drug Administration menyarankan pemeriksaan fetal fibronectin enzyme immunoassay untuk memprediksi persalinan preterm. Bahan diambil dari sediaan hapus serviks. Hasil negatif menandakan persalinan dapat terjadi dalam waktu 2 minggu, sementara hasil positif kurang memiliki makna untuk memprediksi partus preterm.

II.7 PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan pada kehamilan yang belum mencapai cukup bulan tergantung pada usia kehamilan, perkiraan berat badan janin, dan ada tidaknya kontraindikasi untuk mempertahankan kehamilan sampai usia kehamilan cukup bulan. Kondisi yang mengharuskan terminasi kehamilan antara lain :

Maternal Fetal

Hipertensi berat

Preeklampsia berat

Eklampsia

Eksaserbasi hipertensi kronis

Penyakit jantung dan paru

Udem pulmonary

Adult respiratory distress syndrome

Kelainan katup jantung

Takiaritmia

Perdarahan

Solusio plasenta

Plasenta previa

DIC

Dilatasi serviks > 4 cm Kematian janin Anomali kongenital berat Korioamnionitis TBJ > 2500 gram Erythroblastosis fetalis IUGR

Tabel 2. Indikasi terminasi kehamilan prematur

Pada usia kehamilan 24 34 minggu atau taksiran berat janin 600 2500 gram, maka kehamilan diusahakan untuk dipertahankan sampai keadaan janin lebih memungkinkan untuk hidup di luar kandungan. Tirah baring sangat dianjurkan pada ibu hamil yang memiliki resiko untuk mengalami persalinan preterm.

Pemberian kortikosteroid bermanfaat untuk mempercepat proses pematangan paru janin sehingga dapat mengurangi insiden neonatal respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular, dan kematian neonatal. Ada 2 protokol pemberian kortikosteroid pada ibu hamil dengan resiko kehamilan preterm :

1. Betametason 12 mg/24 jam IM hingga 2x pemberian

2. Deksametason 6 mg/24 jam IM hingga 4x pemberian

Manfaat pemberuan kortikosteroid mulai tampak 24 jam setelah pemberian, kemudian kerja obat mencapai puncak setelah 48 jam dan akan bertahan selama 7 hari. Apabila setelah pemberian kortikosteroid berhasil dan kehamilan dapat dipertahankan hingga 1 minggu, maka tidak perlu diberikan kortikosteroid ulang karena pemberian yang berlebihan dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan dan keterlambatan perkembangan psikomotor pada janin.

Pada kehamilan 34 37 minggu atau taksiran berat janin sudah lebih dari 2500 gram, maka morbiditas janin akan lebih rendah dan pemberian kortikosteroid untuk membantu pematangan paru janin sudah kurang efektif.

Bila pasien tetap mengalami kontraksi serta pada pemeriksaan didapati serviks yang memendek dan mengalami dilatasi, maka dapat diberikan tokolitik. Tujuan jangka pendek pemberian tokolitik adalah mempertahankan kehamilan minimal 48 jam sesudah pemberian kortikosteroid sudah mencapai puncaknya. Sementara tujuan jangka panjangnya adalah mempertahankan kehamilan hingga usia 34 36 minggu sehingga resiko morbiditas dan mortalitas janin dapat dikurangi.

Tokolitik bekerja secara efektif apabila diberikan pada pasien yang mengalami kontraksi dengan frekuensi 4 6 kali dalam 1 jam tanpa adanya dilatasi serviks. Pilihan jenis tokolitik berdasarkan pertimbangan adanya kontraindikasi dan efek samping yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis obat tokolitik, antara lain :

1. Beta mimetik adrenergik

Obat golongan ini bekerja secara langsung pada reserptor 2 sehingga menyebabkan relaksasi uterus. Contoh obat golongan ini yang sering digunakan adalah ritodrin dan terbutalin.

Kontraindikasi pemberian obat beta mimerik adrenergik pada ibu adalah adanya penyakit jantung, hepar, dan ginjal, hipertiroid, hipertensi dan diabetes yang tidak terkontrol, serta adanya riwayat asma.

Pemberian obat ini harus berhati-hati mengingat adanya efek samping terhadap sistem kardiavaskular termasuk udem pulmonar, adult respiratory distress syndrome, peningkatan tekanan darah sistolik dengan penurunan tekanan diastolik, serta kemungkinan takikardi pada ibu maupun janin. Efek samping lain yang dapat terjadi adalah penurunan kadar kalium serum, peningkatan kadar gula darah, dan asidosis laktat.

Pemberian obat secara intravena dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping berupa palpitasi, tremor, rasa gugup, dan insomnia. Untuk mengurangi efek tersebut maka pemberian obat sebaiknya melali injeksi subkutan secara intermiten.

Nama generikNama barang Dosis i.v (ug/menit)Dosis oral (mg/hari)

IsoxuprineDuvadilan 50 2004 8 x 10

Salbutamol Ventolin 20 - 502 4 x 4

Terbutalin Brikasma10 - 203 x 5

Hexoprenaline Ipradol 0,075 0,38 x 0,5

Tabel 3. Contoh obat golongan beta mimetik

2. Magnesium Sulfat

Magnesium sulfat bekerja menghambat pengambilan kalsium oleh sel-sel otot halus sehingga mengurangi kontraktilitas, termasuk kontraksi uterus.

Obat pada awalnya diberikan sebanyak 4 gram melalui infus, yaitu sebanyak 40 mL larutan 10%. Dosis lanjutan sebanyak 2 gram/jam berupa infus 200mL larutan 10% kalsium glukonas dalam 800 mL dextrose 5%. Pemberian tokolitik dihentikan bila kontraksi uterus berkurang hingga 4 6 kali/jam atau dinyatakan gagal, yaitu bila dilatasi serviks sudah mencapai 5 cm.

Magnesium sulfat memberikan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat beta mimetik adrenergik. Namun dosis terapeutiknya sangat sempit dan hanya berbeda sedikit dengan dosis yang dapat menimbulkan depresi pernapasan dan kardiovaskuler.

Pasien yang diberikan magnesium sulfat harus dilakukan observasi untuk mencegah terjadinya toksisitas melalui pemeriksaan refleks tendon dalam, pemeriksaan paru, dan perhitungan balans cairan. Bila pemberian magnesium sulfat telah melewati dosis terapeutik, maka dapat diberikan antidotum berupa kalsium glukonas 10% sebanyak 10 mL secara intravena untuk mencegah terjadinya efek samping yang berbahaya.

3. Nifedipin

Nifedipin sebagai calcium-channel blockers bekerja menghambat pengambilan kalsium oleh sel otot halus uterus sehingga mengurangi kontraktilitas uterus. Beberapa hasil studi menyatakan nifedipin lebih efektif sebagai tokolitik dibandingkan beta mimetik adrenergik dan memiliki efek samping yang lebih sedikit.

Efek samping yang dapat terjadi antara lain hipotensi, takikardi, sakit kepala, mual, dan muntah.

Dosis awal biasanya diberikan sebanyak 20 mg per oral dan kemudian dilanjutkan 10 20 mg setiap 6 jam sampai kontraksi uterus berkurang secara bermakna.

4. Indometasin

Indometasin bekerja menghambat sintesis prostaglandin yang merupakan mediator penting untuk kontraksi otot uterus. Indometasin memiliki efektivitas yang sama seperti ritodine namun memiliki efek samping terhadap janin yang jauh lebih besar seperti disfungsi ginjal yang menyebabkan oligohidramnion, hipertensi pulmonal, penutupan duktus arteriosus sebelum waktunya, perdarahan intraventrikuler, dan enterokolitis nekrotikans.

Untuk mengurangi terjadinya efek samping yang tidak diinginkan, maka indometasin sebaiknya tidak diberikan pada usia kehamilan di bawah 32 minggu dan lamanya pemberian tidak lebih dari 48 jam.

Keuntungan indometasin adalah cara pemberian yang mudah, yaitu per oral maupun per rektal. Awalnya diberikan 50 mg indometasin per oral atau 100 mg per rektal, kemudian dosis dilanjutkan 25 50 mg per oral maupun rektal setiap 4 6 jam. Pemberian indometasin harus disertai pemantauan USG setiap 48 72 jam untuk mendeteksi adanya oligohidramnion.

Apabila pemberian tokolitik gagal, yaitu setelah pemberian tokolitik selama 48 jam tetap terjadi dilatasi serviks hingga mencapai 5 cm, maka kemungkinan adanya efek samping dari obat-obatan yang masih tersisa harus diwaspadai. Beta mimetik adrenergik dapat menyebabkan hipotensi, hipoglikemik, hipokalemia dan ileus pada neonatus. Sementara magnesium sulfat dapat menyebabkan depresi pernapasan dan kardiovaskular pada janin.

Pemberian antibiotik pada ibu hamil dengan resiko persalinan preterm tidah bermanfaat untuk memperpanjang masa kehamilan, namun bermanfaat untuk mencegah infeksi Streptococcus grup B pada neonatus. Antibiotik yang menjadi pilihan pertama adalah penisilin atau ampisilin. Sementara apabila ibu alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, eritromisin, atau vankomisin. Apabila kehamilan dapat dipertahankan dengan pemberian tokolitik dan tidak ada tanda-tanda terjadinya partus prematurus, maka pemberian antibiotik dapat dihentikan.

Apabila usaha mempertahankan kehamilan tidak berhasil, maka harus dipersiapkan untuk proses persalinan. Bila persalinan terjadi pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu, maka sebaiknya persalinan dilakukan di rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU (Neonatal Intensive Care Unit).

Keputusan untuk dilakukannya sectio caesarea ditentukan berdasarkan tingkat kematangan janin dan prognosisnya untuk dapat bertahan hidup. Umumnya SC dilakukan bila taksiran berat janin masih kurang dari 2000 gram. Insisi uterus yang dilakukan harus cukup untuk mengeluarkan janin tanpa menimbulkan trauma. Biasanya dilakukan insisi secara vertikal apabila segmen bawah uterus belum terbentuk secara sempurna.

II.8PROGNOSISSemakin muda usia kehamilan dan semakin rendah berat badan bayi saat lahir, maka semakin besar risiko kecacatan dan kematian bayi. Namun melalui penanganan yang baik terhadap ibu dengan partus prematurus dan bayi prematur dapat memperbaiki prognosis ibu maupun bayi.

Usia kehamilan (minggu)Berat lahir

(gram)Presentase kemampuan

Bertahan hidupTidak cacat

24 25

25 27

28 29

30 31

32 33

>34500 750

751 1000

1001 1250

1251 1500

1501 1750

1751 - 200060 %

75 %

90 %

96 %

99 %

100 %35 %

60 %

80 %

90 %

98 %

99 %

Tabel 4. Prognosis bayi prematur

BAB III

RINGKASAN

Partus prematurus adalah proses persalinan yang sudah terjadi pada usia kehamilan di bawah 37 minggu, namun sudah lebih dari 20 minggu. Persalinan yang terjadi pada kehamilan yang belum cukup bulan dapat memperngaruhi viabilitas bayi yang dilahirkan karena bayi masih terlalu muda dan organ-organnya belum cukup matur untuk dapat bertahan hidup di luar kandungan.

Persalinan preterm dapat terjadi karena faktor dari kondisi ibu, riwayat kehamilan saat ini maupun sebelumnya, adanya penyakit sistemik dan kelainan anatomi, serta komplikasi dari tindakan medis.

Untuk memastikan kehamilan sudah cukup bulan atau belum maka perhitungan usia kehamilan harus dilakukan secara tepat berdasarkan hari pertama haid terakhir maupun dati gambaran USG. Kemudian untuk menentukan apakah kehamilan akan segera berakhir dengan persalinan perlu dipantau tanda-tanda inpartu seperti adanya bloody show, kontraksi uterus, dan dilatasi serviks.

Pemeriksaan penunjang berupa USG selain berguna memastikan usia kehamilan, juga bermanfaat untuk menentukan posisi dan letak janin serta plasenta sehingga terminasi kehamilan dapat ditentukan akan dilakukan per vaginam atau melalui sectio caesarea.

Cairan amnion yang diambil melalui amniosintesis perlu diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya infeksi korioamnionitis yang merupakan penyebab tersering ketuban pecah dini dan untuk menentukan tingkat kematangan paru janin.

Terminasi kehamilan harus segera dilakukan apabila ibu memiliki penyakit jantung atau paru, hipertensi berat, adanya perdarahan, atau bila dilatasi serviks sudah lebih dari 4 cm.

Apabila kondisi ibu memungkinkan, maka kehamilan diusahakan untuk dipertahankan agar kondisi janin lebih baik dengan organ yang sudah cukup matur untuk bertahan hidup di luar kandungan. Pemberian kortikosteroid bermanfaat untuk merangsang pematangan paru janin agar apabila kehamilan harus diakhiri, risiko repiratory distress pada bayi dapat dikurangi.

Selain itu dapat diberikan tokolitik untuk mengurangi kontraksi uterus sehingga proses persalinan dapat ditunda. Jenis tokolitik yang digunakan dapat ditentukan berdasarkan kontraindikasi pada ibu dan kemungkinan efek samping yang dapat terjadi. Pemberian antibiotik bermanfaat untuk mencegah terjadinya infeksi pada neonatus.

Bila terminasi kehamilan harus dilakukan, maka tindakan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan trauma pada janin. Bila harus dilakukan sectio caesarea, maka kemungkinan insisi dilakukan secara vertikal karena segmen bawah uterus belum terbentuk sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Gant NF, Lenovo KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Williams Obstetrics 21st edition. Mc Graw Hill : 2001

2. Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta : 2006

3. Alan H DeCherney, Lauren Nathan, Murphy Goodwin, Neri Laufer. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology 10th Edition. The McGraw Hill Companies. United States of America : 2007

4. Goldenberg RL. The Management of Preterm Labor : 2002

5. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and Preterm Delivery : 2000

6. Michael G Ross. Preterm Labor. Available from : http://www.emedicine.medscape.com.260998-overview.htm.31juli2009

Infeksi

Makrofag sel desidua

Corticotrophin releasing hormone

Sitokin

Sirkulasi janin

Saluran napas janin

Infiltrat granulosit

Produksi prostaglandin m

Sawar darah otak

Akselerasi pematangan paru

protease

Ketuban pecah dini

Perlunakan serviks

Perdarahan intraserebral / periventrikular

Bronkopulmonar displasia

FETAL

MATERNAL

PAGE 1