Upload
buithuan
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA
BELUT SAWAH Monopterus albus DAN PENGENDALIANNYA
MENGGUNAKAN MEBENDAZOLE DAN EKSTRAK BATANG
PISANG AMBON Musa paradisiaca
FENTI NURUL
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Persistensi Cacing
Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut Sawah Monopterus albus dan
Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon
Musa paradisiaca”adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Fenti Nurul
NIM C14110028
ABSTRAK
FENTI NURUL. Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut
Sawah Monopterus albus dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan
Ekstrak Batang Pisang Ambon Musa paradisiaca. Dibimbing oleh SRI
NURYATI dan YANI HADIROSEYANI.
Belut merupakan ikan konsumsi air tawar yang memiliki nilai gizi baik,
namun belut menjadi inang antara cacing Gnathostoma sp. yang bersifat zoonosis,
sehingga dapat menimbulkan masalah pada konsumen. Penelitian ini bertujuan
menginventarisasi keberadaan cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah di Jawa
Barat dan mencari konsentrasi yang tepat dalam mengendalikan cacing
Gnathostoma sp. menggunakan mebendazole 500 mg dan ekstrak batang pisang
ambon melalui metode perendaman. Perendaman cacing secara in vitro, baik
dalam larutan mebendazole maupun ekstrak batang pisang ambon menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan maka kematian cacing semakin cepat.
Hasil penelitian menunjukkan perendaman secara in vitro menggunakan bahan
aktif mebendazole mengakibatkan kematian lebih cepat yaitu 2-3 hari dan ekstrak
batang pisang ambon 6-7 hari, sedangkan perendaman dalam larutan fisiologis
(tanpa pemberian mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon) cacing mati 11-
12 hari.
Kata Kunci: Belut sawah, Gnathostoma sp, in vitro, mebendazole, Musa
paradisiaca.
ABSTRACT
FENTI NURUL. Persistance of Endoparasite Gnathostoma sp. in Ricefield Eel
Monopterus albus and controling use Mebendazole and banana Musa paradisiaca
stem extract. Supervised by SRI NURYATI and YANI HADIROSEYANI.
Rice field eel (Monopterus albus) is a freshwater fish which contained
good nutritional values. However, M. albus becomes host for worm (Gnathostoma
sp) and zoonosis to consumer. Aim of this research was to inventory existence of
Gnathostoma sp. in M. albus, examine effectivity both mebendazole 500 mg and
banana (Musa paradisiaca) stem extract by in vitro trials to control the worm.
Immersion of Gnathostoma sp. by in vitro, either in mebendazole and
M.paradisiaca stem extract indicated positive correlation both solution
concentration and mortality rate of the worm. The result of this study showed that
immersion using mebendazole and M. paradisiaca affected to mortality of the
Gnathostoma sp. in 2-3 days and 6-7 days immersion respectively. In other hand,
immersion by physiological solution caused mortality of Gnathostoma sp in 11-12
days immersion.
Keywords: Ricefield eel (Monopterus albus), Gnathostoma sp, in vitro,
mebendazole, Musa paradisiaca
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
Pada
Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERSISTENSI CACING ENDOPARASIT Gnathostoma sp. PADA
BELUT SAWAH Monopterus albus DAN PENGENDALIANNYA
MENGGUNAKAN MEBENDAZOLE DAN EKSTRAK BATANG
PISANG AMBON Musa paradisiaca
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
September 2014 sampai Februari 2015 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan
Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor adalah parasit, dengan
judul Persistensi Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. pada Belut Sawah
Monopterus albus dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak
Batang Pisang Ambon Musa paradisiaca.
Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini terdapat pihak yang
membantu dan memberikan motivasi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Ibu Dr Sri Nuryati, SPi MSi dan Ibu Ir Yani
Hadiroseyani, MM sebagai dosen pembimbing yang selalu memberikan motivasi,
dukungan baik secara material maupun dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini,
serta saran dan kritikan dalam pembuatan penulisan penelitian ini. Ibu Ir Iis
Diatin, MM sebagai dosen penguji tamu, dan Bapak Ir Dadang Shaffrudin, MS
sebagai wakil dosen komisi pembimbing skripsi yang telah memimpin jalannya
sidang serta memberikan saran dalam penulisan ini. Ibu Dr Ir Mia Setiawati, MSi
sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan saran
dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini serta arahan dalam pelaksanaan
penelitian. Kedua orang tua tercinta yang saya banggakan, (Almarhum) Udin
Djamaludin dan (Almarhumah) Anon Saribanon yang telah memberikan
dukungan dan kasih sayang serta mendoakan selama hidupnya. Saudara tercinta
Kahfi Wijaya, Lukman Hakim, Dzikri Maulana, Fitria Maryati, Yani Maryani,
Mariam, Nia, dan Solihin yang telah memberikan dukungan secara moral dan
semangat dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Ka Dendi 45, Ka Rahman,
Bapak Ranta, M Firdaus, Anisa Rahmia, Ibu Oca, Selia Hermawati, Ka Sepriadi,
Fadhilatun, Iqbal, Ermianus, Ka Dian, Hana, Maysilvani, Kiki, Ridhana, Risma,
Yodi, Adel, Mulyati, Syifa, Mita, Yuri, Ka Ike, Ka Nadia, Asda, Syifa, dan Irma
yang telah membantu dalam penelitian ini. Keluarga besar Asrama Putri Dramaga
IPB atas kebersamaannya dan motivasi yang telah diberikan selama penelitian.
Keluarga besar BDP 48 dan keluarga besar LKI yang telah memberikan semangat
dalam kegiatan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Juni 2015
Fenti Nurul
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 1
METODE ............................................................................................................... 2
Prosedur Penelitian .............................................................................................. 2
Parameter Penelitian dan Analisis Data .............................................................. 6
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 6
Hasil ..................................................................................................................... 6
Pembahasan ....................................................................................................... 11
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14
LAMPIRAN .......................................................................................................... 17
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 19
DAFTAR TABEL
1 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp (n=10) .......................... 7
2 Prevalensi dan intensitas rata-rata cacing Gnathostoma sp. pada belut
sawah Monopterus albus (n=51) ....................................................................... 8
3 Persentase organ terinfeksi cacing Gnathostoma sp ........................................... 9
4 Nilai hematologi belut tidak terinfeksi dan belut terinfeksi cacing
Gnathostoma sp. (n=51) ..................................................................................... 9
DAFTAR GAMBAR
1 Skema tahapan pengerjaan penelitian bahan uji belut sawah .......................... 2
2 Pengukuran kista cacing Gnathostoma sp .......................................................... 4
3 Pengukuran cacing Gnathostoma sp. .................................................................. 5
4 Bahan perendaman cacing yang digunakan untuk pengendalian secara in
vitro . ................................................................................................................... 6
5 Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista (preparat segar) ................ 7
6 Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan
awetan ................................................................................................................ 7
7 Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan kelompok ukuran
panjang belut ....................................................................................................... 8
8 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman
mebendazole secara in vitro ................................................................................ 9
9 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman ekstrak
batang pisang ambon secara in vitro ................................................................ 10
10 Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon serta larutan
fisiologis ........................................................................................................... 10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tahapan pembuatan larutan mebendazole ...................................................... 17
2 Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang ambon ............................ 17
3 Tahapan pengumpulan cacing Gnathostoma sp ................................................ 18
4 Siklus hidup Gnathostoma ............................................................................... 18
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Belut sawah Monopterus albus merupakan salahsatu komoditas perikanan
asli Indonesia yang hidup di perairan berlumpur. Belut memiliki prospek sangat
tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein masyarakat, menurut Alit (2009)
kebutuhan protein masyarakat Indonesia sekitar 80 gram/orang/hari berasal dari
protein hewani ikan. Oleh karena itu dalam memenuhi kebutuhan protein tersebut,
belut dapat menjadi pilihan bahan pangan sumber protein hewani. Bahkan di pasar
ekspor penjualan belut meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 ekspor
belut sebesar 2.676 ton meningkat menjadi 4.744 ton tahun 2009 (WPI 2010).
Ekspor belut yang membaik merupakan indikasi manfaat belut yang tinggi dan
digunakan sebagai bahan obat untuk penyakit manusia salah satunya penyakit
kardiovaskuler (Freije dan Awadh 2010).
Permasalahan belut saat ini adalah belut bertindak sebagai inang antara
cacing Gnathostoma sp. merupakan cacing nematoda yang bersifat zoonosis. Hal
ini memicu penolakan ekspor Indonesia untuk komoditas belut ke Cina seperti
berita dari kantor Xin Hua tanggal 17 Mei 2011 yang melaporkan telah ditemukan
cacing parasitik Gnathostoma spinigerum pada belut yang berasal dari Thailand
dan Indonesia (Puspasari 2013). Importir dari Cina kini menghentikan impor belut
dari Indonesia, hal ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi Indonesia.
Nugroho (2013) menyatakan bahwa belut sawah yang diperiksa di Balai Uji
Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Jakarta Timur positif terinfeksi cacing Gnathostoma
dengan nilai prevalensi 26.61% (n=124) dan intensitas 2 ind/ekor. Khati et al.
(2014) menyatakan bahwa belut sawah yang berasal dari hasil tangkapan alam di
daerah Kabupaten Kampar Riau positif terinfeksi cacing Gnathostoma dengan
prevalensi 46.68% (n=30) dan intensitas 31 ind/ekor. Oleh karena itu, perlu
adanya pengendalian unuk mengurangi keberadaan cacing parasitik tersebut pada
belut.
Cacing nematoda parasitik umumnya dapat dikendalikan menggunakan obat
berbahan aktif mebendazole 500 mg (Bossche dan Nollin 1973) dan fitofarmaka
ekstrak batang pisang ambon. Batang pisang ambon merupakan salah satu limbah
yang tidak termanfaatkan dan tidak bernilai ekonomis akan tetapi berguna untuk
kesehatan (Prasetyo 2008). Menurut Apriasari et al. (2013) kandungan getah
pisang ambon terdapat bahan aktif tanin 67.6%, saponin 14.5 %, fenol 0.3% dan
flavonoid 0.2%. Bahan aktif tersebut sebagai zat anti cendawan, antiseptik dan
antibakteri.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menginventarisasi keberadaan cacing
Gnathostoma sp. pada belut sawah di Jawa Barat dan mencari konsentrasi yang
tepat dalam mengendalikan Gnathostoma sp. menggunakan bahan aktif
mebendazole 500 mg dan ekstrak batang pisang ambon Musa paradisiaca melalui
metode perendaman secara in vitro.
2
Pengambilan sampel
darah belut
Hematologi
Hb
SDM SDP
Pemeriksaan cacing
Gnathostoma sp.
Pengendalian cacing
secara in vitro
Identifikasi Persistensi
Morfologi Morfometrik
I P
MB EB
PA
Gambar 1 Skema tahapan pengerjaan penelitian bahan uji belut sawah
Hb= Hemoglobin, Hc= Hematokrit, SDM = Sel darah merah, SDP = Sel darah
putih, P= Prevalensi, I= Intensitas, MB= Mebendazole, EBPA = Ekstrak batang
pisang ambon.
Hc
METODE PENELITIAN
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dibagi ke dalam 3 tahap pengerjaan yaitu pengamatan
sampel darah belut, pemeriksaan cacing, dan pengendalian cacing (Gambar 1).
Belut merupakan hasil tangkapan alam dari sawah dan dibawa ke laboratorium
untuk pemeriksaan. Belut dibiarkan hidup sampai pengambilan darah belut dan
cacing.
Hematologi Belut
Pengambilan Darah
Belut dipingsankan menggunakan larutan bius merk Arowana stabilizer
(Qian Hu Corporation Ltd, Singapore) sebanyak 3 ml yang dilarutkan dalam 1
Belut sawah hasil tangkapan
3
liter air. Ember yang berukuran panjang 30 cm diisi larutan bius dan ditutup
bagian atas ember menggunakan serbet sampai tidak ada udara yang masuk,
kemudian ditunggu 8-10 menit. Darah diambil dengan cara belut disimpan pada
baki, selanjutnya jarum suntik (syringe) dibilas dengan antikoagulan (Na-sitrat
3.8%). Jarum suntik diarahkan ke bagian intravena sebelah anus. Darah dihisap
sebanyak 0.3 ml dan jarum suntik dicabut, kemudian darah ditempatkan ke dalam
eppendorf yang telah dibilas dengan natrium sitrat.
Kadar Hemoglobin
Kadar hemoglobin dibaca dengan cara HCl 0.1 N dimasukkan pada tabung
hemometer sampai skala 10 merah. Darah diambil sebanyak 0.02 ml dan diaduk
sampai berwarna kecoklatan selama 3-5 menit. Kemudian ditambahkan aquades
sampai warna sama dengan kedua warna larutan standar dan dibaca pada skala
kuning jalur g% (Wedemeyer dan Yasutake 1977).
Kadar Hematokrit
Darah dihisap sebanyak ¾ bagian menggunakan tabung mikrohematokrit
dan disumbat dengan cristoseal 1 mm. Darah disentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 5 menit. Nilai hematokrit dihitung dengan rumus (Anderson dan
Siwicki 1993).
Hematokrit = Panjang endapan darah x 100%
Panjang volume darah
Sel Darah Merah
Darah dihisap sampai skala 0.5 menggunakan pipet berisi bulir warna
merah. Setelah itu, darah diberi larutan hayem’s sampai skala 101 ml dan
dihomogenkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit. Darah dibuang 2
tetes pertama kemudian diteteskan pada haemacytometer tipe Neubaeur dan
ditutup dengan kaca penutup. Sel darah merah diamati menggunakan mikroskop
cahaya perbesaran 400x dan dihitung sebanyak 5 kotak kecil (Nabib dan Pasaribu
1989).
Sel darah merah = Jumlah sel terhitung x faktor pengencer
Kotak yang dihitung
Sel Darah Putih
Darah dihisap sampai skala 0.5 menggunakan pipet yang berisi bulir warna
putih. Darah diberi larutan turk’s sampai skala 11 dan dihomogenkan membentuk
angka delapan selama 3-5 menit. Darah dibuang 2 tetes pertama kemudian
diteteskan pada haemacytometer tipe Neubaeur dan ditutup dengan kaca penutup.
Sel darah putih diamati menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x dan
dihitung sebanyak 5 kotak kecil (Nabib dan pasaribu 1989).
Sel darah putih = Jumlah sel yang terhitung x faktor pengencer
Kotak yang dihitung
4
Identifikasi Cacing Gnathostoma sp.
Identifikasi cacing dilakukan pada cacing yang berasal dari belut. Belut
dibedah dari anterior kepala sampai posterior anus. Organ internal belut
dipisahkan bagian hati, usus, otot, dan gonad yang dimasukkan kedalam larutan
fisiologis. Organ tersebut diamati menggunakan mikroskop stereo dan organ yang
terkena cacing diambil menggunakan jarum dan pinset. Dalam organ belut cacing
yang terbungkus kista, kista dilepaskan dari organ cacing untuk dilakukan
pengukuran. Pengukuran panjang dan lebar kista disajikan pada Gambar 2. Kista
kemudian dipecahkan untuk mengeluarkan cacing. Identifikasi cacing
Gnathostoma sp. meliputi pengamatan morfometrik dan morfologi yang terdiri
dari pengukuran panjang dan lebar cacing serta panjang dan lebar kista.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan pada cacing yang sudah diawetkan.
Pembuatan Preparat Cacing Gnathostoma sp.
Cacing difiksasi menggunakan BNF 10% selama 24 jam (Jung et al.
2008; Guerrero et al. 2014). Kemudian dilakukan proses hidrasi yaitu cacing
direndam dalam alkohol bertingkat mulai 70%, 50%, dan 35% masing-masing
selama 5 menit, kemudian dilakukan pewarnaan dengan merendam cacing dalam
larutan acetocarmine selama 10-15 menit. Spesimen cacing dari tahap pewarnaan
dilanjutkan pembilasan menggunakan aquades selama 5 menit. Kemudian proses
dehidrasi yaitu cacing direndam dalam alkohol 35%, 50%, 70%, 80%, 90%, dan
100% masing-masing selama 5 menit. Kemudian dilanjutkan proses penjernihan
yaitu cacing direndam dalam xylol 1,2, dan 3 masing-masing selama 1 menit.
Tahap mounting dilakukan dengan cara spesimen cacing disimpan pada kaca
objek dan diberi 1 tetes xylol agar spesimen tidak kering dan ditutup dengan kaca
penutup yang direkatkan entellan (Soulbsy 1982; LKI 2013). Preparat cacing
dikeringkan selama 24 jam dan diamati menggunakan mikroskop cahaya
perbesaran 10 x.
Gambar 2 Pengukuran kista cacing Gnathostoma sp. P= panjang kista cacing,
L= lebar kista cacing.
Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. mengikuti Lee
(1988) seperti disajikan pada Gambar 3.
P
L
5
Gambar 3 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. PA= panjang
anterior, LA= lebar anterior, PE= panjang esofagus, LE= lebar
esofagus, PTT= panjang total tubuh LTK= lebar tubuh kecil, LTB =
lebar tubuh besar, PP= panjang posterior, LP= lebar posterior.
Prevalensi dan Intensitas Parasit
Keberadaan cacing dihitung dari 51 ekor belut yang diperiksa pada bagian
organ hati, usus, otot, dan gonad. Masing-masing organ tersebut diambil dari
tubuh cacing menggunakan jarum dan pinset dan direndam dalam larutan NaCl
0.85%. Berikut ini merupakan rumus perhitungan prevalensi dan intensitas parasit
(Dogiel et al. 1970 ; Kabata 1985).
Prevalensi = Jumlah ikan yang terinfeksi x 100%
Jumlah ikan yang diperiksa
Intensitas rata-rata = Jumlah parasit tertentu yang ditemukan
Jumlah ikan yang terinfeksi
Potensi Pengendalian: Mebendazole dan Ekstrak Batang Pisang Ambon
Pembuatan larutan mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon untuk
merendam cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan rumus:
M1.V2 = M2.V2
Pembuatan larutan stok mebendazole dibuat dengan cara 25 mg
mebendazole ditumbuk menggunakan mortar, setelah itu dilarutkan dalam 1 liter
larutan fisiologis. Kemudian dimasukkan ke dalam rumus pengenceren untuk
pembuatan larutan konsentrasi 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, dan 20 ppm dengan
volume perendaman masing-masing perlakuan sebesar 20 ml. Tahapan pembuatan
larutan mebendazole dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengukuran pH dilakukan
sebelum cacing direndam.
Pembutan larutan ekstrak batang pisang ambon dilakukan dengan cara
batang pisang ambon 500 gram dipotong kecil-kecil dengan ukuran 1 cm.
Kemudian metode selanjutnya mengacu (Nurfitrianingrum 2014) yaitu batang
pisang ambon di haluskan menggunakan hand blender sampai hancur hingga
didapatkan cairan segar batang pisang ambon. Larutan stok dibuat dengan cara
cairan segar batang pisang ambon diambil 25 ml dan dilarutkan dalam 100 ml
LTK
PP
LE LA
PA
LTB
LP PTT
PE
6
larutan fisiologis. Kemudian dimasukkan kedalam rumus pengenceran untuk
pembuatan larutan konsentrasi 4%, 8%, 12 %, dan 16% dengan volume masing-
masing perendaman 20 ml. Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang
ambon dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengukuran pH dilakukan sebelum cacing
direndam.
Perendaman Cacing secara In Vitro
Perendaman cacing dilakukan pada 3 jenis larutan yaitu larutan fisiologis
sebagai kontrol, larutan mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon. Cacing
dikeluarkan dari kista menggunakan jarum dan pinset (Lampiran 3). Kemudian
setiap 3 ekor cacing dimasukkan ke dalam wadah masing-masing perlakuan sesuai
metode Fitriana (2008) seperti terlihat pada Gambar 4. Kematian cacing
berdasarkan pengamatan visual dilihat dari pergerakan cacing dan warna cacing
diamati setiap jam menggunakan mikroskop stereo. Cacing yang mati diketahui
dari tubuh yang lurus, tidak bergerak, berwarna putih dan lama kelamaan menjadi
hancur.
Larutan Fisiologis Mebendazole Estrak Batang Pisang Ambon
Analisis Data
Data kuantitatif yang diperoleh dari penelitian ini meliputi morfometrik,
keberadaan, dan kelangsungan hidup parasit serta hematologi belut. Data tersebut
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Identifikasi Cacing Gnathostoma sp.
Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista berdasarkan preparat
segar disajikan pada Gambar 5.
8
%
%
5
ppm
10
ppm
4
%
0
20
ppm 15
ppm
12
%
16
%
Gambar 4 Bahan perendaman cacing untuk pengendalian secara in vitro
7
Gambar 5 Tahapan cacing Gnathostoma sp. keluar dari kista (preparat segar)
a= kista cacing utuh, b= cacing mulai keluar dari kista, c= cacing
memisah dari kista.
Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan
awetan disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Morfologi cacing Gnathostoma sp. berdasarkan preparat segar dan
awetan. a= preparat segar anterior cacing, b= preparat segar tubuh
cacing, c= preparat segar posterior cacing, d= preparat awetan anterior
cacing, e= preparat awetan tubuh cacing, f= preparat awetan posterior
cacing.
Hasil pengukuran panjang dan lebar kista cacing Gnathostoma sp.
tercantum pada Tabel 1
Tabel 1 Pengukuran panjang dan lebar cacing Gnathostoma sp. (n=10) Bagian organ
cacing
Panjang (mm) Lebar tubuh
kecil (mm)
Lebar tubuh
besar (mm)
Anterior 0.09+0.02 0.06+0.02 -
Esofagus 1.22+0.10 0.20+0.02 -
Tubuh 7.96+1.33 0.23+0.04 0.29+0.06
Posterior
Kista
0.16+0.04
1.67+0.35
0.10+0.04
1.48+0.42
-
-
Cacing yang ditemukan pada penelitian ini berukuran panjang 7.96+1.33
mm lebar tubuh cacing dibagi menjadi 2 bagian yaitu lebar tubuh kecil berukuran
0.23+0.04 mm dan lebar tubuh besar berukuran 0.29+0.06 mm.
Prevalensi Cacing Gnathostoma sp.
8
Nilai prevalensi dan intensitas rata-rata cacing Gnathostoma sp. dari 51
ekor belut sawah yang diperiksa mencapai 60.78% dan 1.6 (Tabel 2).
Tabel 2 Prevalensi dan intensitas rata-rata Gnathostoma sp. belut sawah
Monopterus albus (n=51) Kelompok ukuran belut (cm) Prevalensi % Intensi Intensitas rata-rata ind/ekor
Kelompok 1 : 17.5-20.2 cm 1.96 (n=1) 1 (n=1)
Kelompok 2 : 20.3-23 cm 13.75 (n=7) 1.42 (n=10)
Kelompok 3 : 23.1-25.8 cm 13.75 (n=7) 1.57 (n=11)
Kelompok 4 : 25.9-28.6 cm 19.61 (n=10) 1.5 (n=15)
Kelompok 5 : 28.7-31.4 cm 7.84 (n=4) 2.25 (n=9)
Kelompok 6 : 31.5-34.2 cm 1.96 (n=1) 5 (n=5)
Kelompok 7 : 34.3-37 cm 1.96 (n=1) 1 (n=1)
Total 60.78 1.6
Berdasarkan 7 kelompok ukuran panjang ternyata masing-masing ukuran
bervariasi dalam prevalensi dan intensitas tersebut. Prevalensi terendah terjadi
pada kelompok ukuran 1, 6 dan 7. Prevalensi tertinggi pada kelas 4. Intensitas
terendah pada kelompok 1, dan 7. Intensitas tertinggi terdapat pada kelompok 6.
Keberadaan Cacing Gnathostoma sp. Berdasarkan Ukuran Belut
Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan masing-masing
kelompok ukuran panjang belut menunjukkan pada semua kelompok ukuran
terdapat belut yang tidak terinfeksi cacing (Gambar 7).
Gambar 7 Keberadaan cacing Gnathostoma sp. berdasarkan kelompok ukuran
panjang belut.
Belut berdasarkaan kelompok ukuran terpendek (17.5-20.2 cm) dan
terpanjang (31.5-37 cm) paling sedikit terinfeksi cacing. Jumlah cacing yang
paling banyak ditemukan yaitu pada kelompok ukuran 3, 4 dan 5.
Gambar 7 Frekuensi kejadian cacing Gnathostoma sp. berdasarkan
masing-masing kelompok panjang belut
0
2
4
6
8
10
12
14
16
17.5-20.2 20.3-23 23.1-25.8 25.9-28.6 28.7-31.4 31.5-34.2 34.3-37
Ke
be
rad
aan
Cacin
g (e
kor)
Kelompok Ukuran Panjang (cm)
5 cacing
4 cacing
3 cacing
2 cacing
1 cacing
0 cacing
9
0
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jum
lah
cac
ing
(eko
r)
Hari ke-
0 ppm
5 ppm
10 ppm
15 ppm
20 ppm
Persentase Organ Belut yang terinfeksi Cacing Gnathostoma sp.
Persentase organ yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. pada belut sawah
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Persentase organ belut sawah terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Organ
Persentase Infeksi Gnathostoma sp.
(n=31)
Hati 80.64
Otot
Usus
Gonad
19.36
0
0
Dari 4 organ belut yang diperiksa cacing ditemukan pada organ internal
hati 80.64 % dan otot 19.36%, sedangkan organ usus dan gonad tidak di infeksi
oleh cacing Gnathostoma sp.
Parameter Hematologi Belut
Nilai hematologi belut sawah terinfeksi dan tidak terinfeksi cacing
Gnathostoma sp. disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Nilai hematologi belut tidak terinfeksi dan belut terinfeksi cacing
Gnathostoma sp. (n=51)
Parameter Belut tidak terinfeksi (n=20) Belut terinfeksi (n=31)
Hematokrit % 48.91 + 12.32 47.40 + 9.60
Hemoglobin g% 18.24 + 1.42 16.66 + 2.14
SDM (106
sel/mm3) 3.94 + 1.22 2.55 + 0.93
SDP (105
sel/mm3) 0.71 + 0.19 0.87 + 0.28
Belut yang tidak terinfeksi cenderung memiliki nilai hematologi yang
lebih besar dibandingkan dengan belut yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp.
kecuali nilai sel darah putih.
Potensi Pengendalian Cacing Gnathostoma sp.
Kelangsungan Hidup Cacing dengan Perlakuan Mebendazole
Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman secara in
vitro menggunakan mebendazole disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman
mebendazole secara in vitro.
10
Pengendalian cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan bahan
aktif mebendazole mengakibatkan kematian dalam jumlah dan waktu yang
berbeda-beda. Dimana semakin tinggi konsentrasi mebendazole kematian cacing
semakin cepat.
Kelangsungan Hidup Cacing dengan Perlakuan Ekstrak Batang Pisang
Ambon Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. perendaman secara in vitro
menggunakan ekstrak batang pisang ambon disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Kelangsungan hidup cacing Gnathostoma sp. akibat perendaman
ekstrak batang pisang ambon secara in vitro.
Pengendalian cacing Gnathostoma sp. secara in vitro menggunakan
ekstrak batang pisang ambon mengakibatkan kematian dalam jumlah dan waktu
yang berbeda-beda. Nilai pH disajikan pada Gambar 10.
Nilai pH : Mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon
Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon serta larutan
fisiologis disajikan pada Gambar 10.
7.28 7.14 6.98 6.83
1
3
5
7
9
11
13
4% 8% 12% 16%
Nil
ai p
H
Konsentrasi EBPA
7.36 7.38 7.41 7.45
1
3
5
7
9
11
13
5 ppm 10 ppm 15 ppm 20 ppm
Nila
i p
H
Konsentrasi MB
11
Gambar 10 Nilai pH mebendazole dan ekstrak batang pisang ambon. MB=
perlakuan mebendazole, EBPA= perlakuan ekstrak batang pisang
ambon
Nilai pH bahan aktif mebendazole menunjukkan semakin tinggi
konsentrasi peningkatan terhadap nilai pH, sedangkan ekstrak batang pisang
ambon semakin tinggi konsentrasi menunjukkan penurunan nilai pH. Larutan
fisiologis sebanyak 4 kali pengukuran menunjukkan nilai pH yang sama.
Pembahasan
Belut yang diteliti terbukti mengandung cacing parasitik Gnathostoma sp.
Hal ini diketahui dari hasil identifikasi morfologi dan morfometrik; keberadaan
pada organ hati dan otot; serta prevalensi dan intensitas parasit tersebut. Menurut
Janwan et al. (2014) cacing parasit tersebut termasuk kelompok parasit zoonosis
phylum nematoda yang mengakibatkan penyakit human Gnathhostomiasis, dan
penyakit ini merupakan penyakit endemik Asia dan Amerika. Cacing tersebut
merupakan parasit internal yang memiliki banyak inang dalam hidupnya dan
manusia sebagai inang yang tidak normal atau incidental host bagi cacing tersebut
(Lucey dan Rusnak 1993).
Gnathostoma sp. pada belut sawah yang ditemukan terbungkus dalam kista
bewarna putih dengan dimensi 1.67+0.35 x 1.48+0.42 mm. Cacing memiliki
ukuran panjang tubuh 7.96+1.33 mm berada dalam kisaran ukuran cacing hasil
penelitian Khati et al. (2013) yaitu 5-20 mm. Saluran pencernaan cacing
Gnathostoma sp. terdiri dari esofagus, usus dan anus. Saluran pencernaan tersebut
sesuai dengan hasil penelitian Lee (1988) dan Nugroho (2013) bahwa saluran
pencernaan cacing Gnathostoma spinigerum cukup sederhana terdiri dari
esofagus, usus dan anus.
Prevalensi Gnathostoma mencapai 60.78% dengan intensitas rata-rata 1-2
ind/ekor. Keberadaan cacing dengan nilai tersebut tidak dapat dibiarkan karena
berpotensi mengganggu kesehatan belut. Menurut Fitriana (2008) cacing yang
terdapat dalam tubuh hewan tidak menimbulkan kematian akan tetapi
menyebabkan kerugian berupa penurunan produksi karena mengakibatkan
pertumbuhan terhambat. Infeksi Gnathostoma sp. tertinggi pada kelompok ukuran
panjang 25.9-28.6 cm dan infeksi terendah pada kelompok ukuran 17.5-20.2 cm
dan 34.3-37 cm. Keadaan ini diduga diakibatkan oleh pakan alami di alam. Secara
alamiah belut kecil memakan zooplankton dan zoobenthos, setelah mulai dewasa
7.19 7.19 7.19 7.19
1
3
5
7
9
11
13
1 2 3 4
Nila
i p
HLarutan fisiologis
12
belut memakan larva serangga, cacing, siput, kodok, benih ikan (Sarwono 1999).
Kebiasaan makan alami belut menurut Bahri (2000) berdasarkan kelompok
ukuran panjang 17-21.7 cm belut lebih banyak memakan Insekta sebesar 64.1%
dan Oligochaeta 28.57% serta tidak teridentifikasi 7.34%, kemudian kelompok
ukuran panjang 21.8-26.2 Insekta 15.04%, Oligochaeta 28.8%, tidak
teridentifikasi 51.63%, Pisces 3.54%, kelompok ukuran panjang 26.5-30.7 cm
pakan alami belut yaitu Insekta 35.71%, Oligochaeta 33.34%, tidak teridentifikasi
4.75%, Pisces 7.14% dan Crustasea 19.04%, kelompok ukuran panjang 30.8-35.2
cm pakan alami belut yaitu Insekta 5.2%, Oligochaeta 51.99%, Gastropoda
28.07%, Pisces 5.25% dan Hirudinea 8.32%, dan kelompok ukuran panjang 35.3-
39.7 cm pakan alami belut yaitu Insekta 81.23%, Gastropoda 36,37% dan tidak
teridentifikasi 2.04% (Bahri 2000). Berdasarkan CDC (2009) hewan yang menjadi
inang antara Gnathostoma antara lain Copepoda (Crustasea) dan ikan (Lampiran
4). Keberadaan Gnathostoma pada penelitian ini berkaitan dengan pakan alami
yang menjadi inang antara.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 31 ekor belut yang terinfeksi
cacing Gnathostoma sp. persentase tertinggi ditemukan dalam organ hati yaitu
80.64% dan persentase infeksi pada organ otot 19.36%. Nico et al. (2011)
menyatakan infeksi parasit tertinggi pada belut sawah ditemukan pada organ
internal belut seperti hati, otot, dan usus dengan nilai prevalensi 84%. Sedangkan
hasil penelitian Nugroho (2013) menyatakan infeksi Gnathostoma tertinggi
ditemukan pada organ intenal belut adalah organ hati dengan persentase 91.43%
dan otot 8.57% . Infeksi parasit di suatu wilayah yang tinggi diakibatkan oleh
musim, curah hujan, suhu, sinar matahari, keadaan geografis, dan manajemen
pemeliharan (Labarthe et al. 2004).
Parameter hematologi sering digunakan untuk mengetahui kondisi dan
kesehatan ikan. Berdasakan hasil penelitian ini, belut yang tidak terinfeksi cacing
Gnathostoma sp. memiliki nilai hematokrit lebih tinggi dibandingkan dengan nilai
hematologi belut yang terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Akan tetapi nilai sel
darah putih pada belut tidak terinfeksi cacing Gnathostoma sp. lebih rendah
dibandingkan belut terinfeksi cacing Gnathostoma sp. Menurut Nuryati et al.
(2010) infeksi dapat meningkatkan sel darah putih untuk pertahanan terhadap
infeksi pathogen. Hasil penelitian Chandrawati (2014) menyatakan ikan yang
terinfeksi bakteri Aeromonas hidrophilla akan mempengaruhi parameter
hematologi belut yaitu hemoglobin darah sel darah merah. Menurut Alamanda et
al. (2000) sel darah merah yang rendah mengakibatkan terhambatnya
metabolisme ikan serta suplai makanan yang diperoleh. Metabolisme yang baik
menyebabkan pertumbuhan ikan yang lebih baik.
Cacing Gnathostoma sp. dapat menginfeksi belut dan manusia melalui
makanan yang dimakan. Manusia diinfeksi dari ikan sebagai inang antara kedua,
seperti makanan sushi dan daging mentah tanpa dimasak terlebih dahulu (Janwan
et al. 2014). Cacing Gnathostoma sp. bersifat membahayakan bagi manusia serta
bagi inang belut tersendiri. Hal ini karena cacing Gnathostoma sp. tersebut dapat
bermigrasi ke dalam jaringan tubuh manusia yang menyebabkan penyakit
Gnathostomiasis dan gejala penyakit pernapasan saraf bahkan kematian (Rusnak
dan Lucey 1993). Infeksi cacing tersebut pada manusia menyerang dapat
mengakibatkan penyakit viseral larva migran yaitu penyakit yang menyerang
fungsi organ akibat migrasi cacing Gnathostoma. Selain itu dapat mengakibatkan
13
penyakit cutanaeus larva migran yaitu penyakit yang menyerang bagian kulit
akibat migrasi cacing nematoda (Rojekittikhun et al. 2002). Ciri belut terinfeksi
cacing Gnathostoma sp. sama dengan ikan yang teserang cacing cestoda yaitu
bobot tubuh berkurang serta warna daging berubah menjadi kuning (Ahmad dan
Sanaaullah 1977). Akan tetapi pengamatan yang dilakukan pada belut warna
tubuh kekuningan tidak ditemukan, hal ini disebabkan intensitas rata-rata yang
didapatkan 1-2 ind/ekor atau cukup rendah sehingga tidak berdampak langsung
terhadap perubahan warna daging pada belut. Menurut (Ompusunggu 1996)
kurang lebih 20 spesies ikan sebagai hospes perantara diantaranya 3 spesies ada di
Filipina, 6 spesies di Cina dan 8 spesies di Jepang. Menurut Rojekittikun et al.
(2004) terdapat 8 spesies ikan yang di infeksi cacing Gnathostoma sp. yaitu
Monopterus albus prevalensi 30.1%, Anabas testidineus 7.7%, Channa striata
7.4%, Clarius macrocephalus 6.7%, Chana micropeltes 5.1%, Chana lucius
4.0%, Clarias bathrachus 1.4%, dan Ompok krattensis 0.6%.
Upaya untuk menghindari gangguan kesehatan akibat serangan
Gnathostoma perlu dilakukan pengendalian agar tidak merugikan konsumen.
Pengendalian secara in vitro yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektivitas dan lama waktu kematian cacing menggunakan obat bahan
aktif mebendazole dan fitofarmaka ekstrak batang pisang ambon. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian mebendazole berpengaruh lebih cepat terhadap
kematian cacing Gnathostoma sp. dibandingkan dengan ekstrak batang pisang
ambon dan larutan fisiologis. Peningkatan konsentrasi kedua bahan perlakuan
menunjukkan kematian yang lebih cepat. Keadaan ini diduga terkait dengan nilai
pH. Tampaknya larutan basa membunuh cacing lebih cepat dibandingkan dengan
larutan asam. Kematian yang terjadi pada larutan fisiologis diduga akibat tidak
adanya nutrisi bagi cacing sebagai sumber energi untuk hidup.
Menurut Bossche dan Nollin (1973) bahan aktif mebendazole 500 mg
menghambat pengambilan glukosa cacing. Sehingga terjadi pengosongan
glikogen pada cacing dan mengakibatkan kematian. Kematian cacing tersebut
disebabkan oleh adanya rangsangan dari zat anti cacing atau zat anthelmintik.
Adapun dalam getah pisang ambon terkandung zat alami antibiotik dalam
menghambat pertumbuhan jamur dan zat flavones, flavonols, dopamin (Pothavorn
et al.2010). Ekstrak batang pisang ambon telah terbukti dapat digunakan sebagai
bahan pengendalian infeksi cendawan Saprolegnia sp. pada larva ikan gurame
(Aulia 2014). Nurfitrianingrum (2014) menunjukkan bahwa ekstrak pelepah
pisang ambon dapat digunakan sebagai bahan pengendalian infeksi bakteri
Aeromonas hydrophila pada benih ikan gurame. selain itu, dalam penelitian ini
menunjukkan ekstrak batang pisang ambon dapat mematikan cacing Gnathostoma
sp. pada belut sawah secara in vitro.
Bahan aktif mebendazole 500 mg dan ekstrak batang pisang ambon
berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengendalian cacing Gnathostoma sp.
karena terbukti mampu mengakibatkan kematian cacing endoparasit tersebut pada
belut sawah melalui perendaman secara in vitro. Mengingat batang pisang ambon
lebih mudah diperoleh, dan melimpah di alam dibandingkan dengan mebendazole
yang komersial, tampaknya pemanfaatan ekstrak batang pisang lebih ekonomis.
14
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Belut sawah yang berasal dari pesawahan di Jawa Barat dapat terinfeksi
Gnathostoma sp. dengan prevalensi 60.78% dan intensitas rata-rata 1.6 ind/ekor
dan mengakibatkan perubahan pada hematologi belut. Pengendalian secara in
vitro dapat mematikan cacing tersebut, dimana konsentrasi tertinggi dari
mebendazole 20 ppm dan ekstrak batang pisang ambon 16 % mengakibatkan
kematian cacing terjadi lebih cepat.
Saran
Penelitian selanjutnya disarankan pengendalian Gnathostoma sp.
menggunakan ekstrak batang pisang ambon secara in vivo melalui oral maupun
perendaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad AT, Sanaaullah M. 1977. Observation on the incidence and intensity of
infestations of some helminth in different lenght-group of H. Fosilis (B)
and C Batrachus (L). Dhaka Univ. Studies 25: 91-98
Alamanda IE, Noor SH, Agung B. 2007. Penggunaan metode hematologi belut
dan pengamatan endoparasit darah untuk penetapan kesehatan ikan lele
dumbo (Clarias gariepinus) di kolam budidaya Desa mangkubumen
boyolali. Biodiversitas. 8 (1) : 34-38
Alit, IGK. 2009. Pengaruh padat penebaran terhadap pertambahan berat dan
panjang badan belut sawah (Monopterus albus). J Biol. Universitas
Udayana. 12 (1): 25-28.
Anderson D P, Siwicki AK. 1993. Basic hematology and serology for fish health
program. Paper presented in second symposium on diseases in asian
aquakultur “aquatic animal and the enviromental”. Phuket, Thailand. 25-
29 th Oktober 1993. 185-202.
Apriasari LM, Iskandar, Suhartono E. 2013. Bioactive compound and antoxidant
activity of methanol ekstract mauli as (Musa sp.) stem. Biochem
4(2):110-115.
Aulia N. 2014. Efektivitas ekstrak batang pisang ambon Musa paradisiaca untuk
pengendalian infeksi Saprolegnia pada larva ikan gurame Osphronemus
gouramy [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
Bahri F. 2000. Studi mengenai aspek biologi ikan belut sawah (Monopterus albus)
di Kecamatan parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Bossche HVD, Nollin SD. 1973. Effect of mebendazole on the absoption low
molecular weight nutrient by Ascaris suum. International J F Parasitol.
Belgium. 3: 401-407.
15
[CDC] Centres for disease control and prevalention. 2009. Parasites health
Gnathostomiasis [Internet]. Bogor (ID): [diunduh 2014 Maret]. Tersedia
pada: http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/Gnathostomiasis.htm.
Chandrawati ND. 2014. Evaluasi penambahan ragi bir limbah produksi bir dalam
pakan terhadap kinerja pertumbuhan dan daya tahan tubuh ikan lele
(Claris sp.) akibat infeksi Aeromonas hydrophilla [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Dogiel VAG, Petrushevski GK, Polyanski I. 1970. Parasitology of fishes T.F.H.
Publisher, Hongkong. 384 p
Fitriana S 2008. Penapisan fitokimia dan uji aktivitas anthelmintik ekstrak daun
jarak (Jatropha cucas I) terhadap cacing Ascaridia galli secara in vitro
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Freiji AM, Awadh MN. 2010. Fatty acid composition of turbo Coronatus Gmelin
1973. Brit Fo J. 112 (10): 1049-1062.
Guerrero CA, Guzman MAM, Hurtado FA. 2014. Pathological and parasitological
traits in experimentally infected cat Gnathostoma binucleatum (Spiruida:
Gnathostomatidae).Vetpar.204:279284.doi:10.1016/j.vetpar.2014.04.027.
Jung BK, Lee JJ, Pyo KH, Yoon CH, Lee SH, Shin EH, Chai JY. 2008. Detection
of Gnathostoma spinigerum third-stage in snake heads puchased from a
central part of myanmar. Korean J Parasitol. 46(4): 285-288. doi:
10.3347/kjp.2008.46.4.285
Kabata Z. 1985. Parasites and disease of fish cultured in the tropics. London and
Philadelphia : Taylor and Prancis.
Khati SA, Mahatma R, Windarti. 2014. Parasit pada belut sawah (Monopterus
albus, zuiew 1793) di Desa Sawah Kecamatan Kampar Utara. J onl
mahasis. 1(2). ISSN : 2355-6862.
Kuswanto GA. 2013. Pengaruh pemberian rebon dan keong sawah sebagai pakan
tambahan pada belut sawah (Monopterus albus) dalam media air bersih
terhadap kandungan protein dan berat tubuh [Skripsi] Semarang (ID):
IKIP PGRI Semarang.
[LKI] Laboratorium Kesehatan Ikan. 2013. Teknik pencegahan dan pengobatan
penyakit ikan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Labarthe N, Serrao ML, Ferreira AMR, Almeida NKO, Guerrero J. 2004. A
survey of gastrointestinal helminths in cats of the metropolitan region of
rio de janeiro, Brazil. Vet parasitol. 123: 133-139. doi: 10.1016/j. vetpar.
2004.06.002.
Lee SH, Hong ST, Chai JY. 1988. Description of male Gnathostoma spinigerum
recovered from a Thai woman with Meningoencephalitis. The Korean J
of Parasitol. 6 (1): 33-38.
Nabib R, Pasaribu FH. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan.
Nico LG, Sharp P, Collins TM. 2011. Import asian swamp eel (Synbranchidae :
Monopterus) in North American live food martkets: potensial vectors of
non-native parasite. Aquatic invasions. 6: 69-76. doi:
10.399/ai.2011.1.08.
Nugroho SW. 2013. Hubungan ukuran tubuh dan kejadian kecacingan
Gnathostoma spinigerum pada belut sawah Monopterus albus [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
16
Nurfitrianingrum IDN. 2014. Efektivitas perendaman benih ikan gurame
Osphronemus gouramy dengan esktak pelepah pisang ambon putih Musa
paradisiaca untuk pengendalian infeksi bakteri Aeromonas hydrophila.
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryati S, Maswan NA, Alimudin, Sukenda, Sumantadinata, Pasaribu FH,
Soejoedono RD, Santika A. 2010. Gambaran darah ikan mas setelah
divaksinasi dengan vaksin DNA dan diuji tantang dengan koi
herpesvirus. J Aku Indones. 9(1): 9-15.
Ompusunggu S. 1996. Cacing-cacing manusia yang ditularkan melalui ikan.
Buletin penelitian kesehatan. Jakarta (ID) : VI (3).
Pothavorn P, Kitdamrongsongt K, Swangpol S, Wongniam S, Atawongsa K,
Svasti J, Somana J. 2010. Phytochemical composition of some banana in
Thailand. Agriculuture Food Chemical. 58:15.doi : 10.1021/jf.
Puspasari K. 2013. Karakterisasi protein antigenik larva 3 Gnathostoma
spinigerum pada ikan belut rawa (Monopterus alba) menggunakan teknik
immunoblotting [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Presetyo BF. 2008. Aktivitas dan uji stabilitas sediaan gel ekstrak batang pisang
ambon Musa paradisiaca var.sapientum dalam proses persembuhan luka
pada mencit Mus musculus albinus [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rojekittikun W, Chaiyasith T, Nuamtanong S, Komalamisra C. 2002. Fish as the
natural second intermediate host of Gnathostoma spinigerum. Southeast
Asian. J Trop Med Parasitol. 33 (3) : 63-89.
Rojekittikun W, Chaiyasith T, Nuamtanong S, Komalamisra C. 2004.
Gnathostoma infection in fish caughat for local consumption in Nakhon
Nayok Province Thailand prevalensi and fish species. Southeast Asian. J
Trop Med Parasitol. 35 (3): 523-730.
Rusnak JM, Lucey DR. 1993. Clinical gnathostomiasis: case report and review of
the english-language literatur. Clin infect dis 16: 33-50.
Sarwono B. 1999. Budidaya belut dan sidat. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya
Suolby EJL. 1982. Helminth antropods and protozoa of domesticated animals.
Edisi ke-7. London : Bailiere-Tindall.
[WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan sidat permintaannya semakin meningkat
Edisi April vol 80. Jakarta (ID) : Direktorat Pemasaran Dalam Negeri.
Wedemeyer GA, Yasutake WT.1977. Clinical methods for theof the assessment of
the effect enviroment stress on the fish health. Technical papers of the
US fish and wildlife service US depart of the interior fish and wildlife
service 89 :1-17
17
Lampiran 1 Tahapan pembuatan larutan mebendazole
Keterangan : a= mebendazole tablet, b= Mortar sebagai alat
penumbuk bahan mebendazole, c= Bahan
pembuatan larutan fisiologis d= botol
plastik sebagai wadah perendaman cacing
Lampiran 2 Tahapan pembuatan larutan ekstrak batang pisang ambon
Keterangan : a.Belut sawah, b.Belut dibedah dari bagian anterior kepala,
c. Kista cacing diambil pada organ hati dan otot
Keterangan : a= batang pisang ambon , b= batang pisang ambon
di blender, c = dilarutkan menggunakan bahan
larutan fisiologis, d= botol plastik sebagai wadah
perendaman cacing.
18
Lampiran 3 Tahapan pengumpulan cacing Gnathostoma sp.
Keterangan : a= belut sawah, b= belut dibedah dari bagian
anterior kepala, c= kista cacing diambil pada
organ internal, d= menggunakan alat bedah
(jarum dan pinset).
Lampiran 4 Siklus hidup Gnathostoma
Sumber: [CDC] Centres for disease control and prevalention (2009)
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 27 Juli 1992. Penulis adalah
anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan (Alm) Udin Djamaludin dan
(Almh) Anon Saribanon.Penulis mengawali pendidikan di SDN Neglasari tahun
1999-2005. Kemudian melanjutkan pendidikan SMP Negeri 1 Cikakak tahun
2005-2008 dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Palabuhanratu tahun
2008-2011. Tahun 2011 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), memilih Departemen Budidaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi intra
dan ekstra kampus. Kegiatan tersebut diantaranya sebagai Anggota Gugus
Disiplin Asrama dan Enterpreneurship TPB IPB tahun 2011/2012. Staf Divisi
Pengembangan Sumberdaya Manusia HIMAKUA periode 2012/2013 dan periode
2013/2014. Staff divisi Forum Rohis Departemen FKM FPIK periode 2013/2014,
Koordinator kebersihan Asrama Putri Dramaga IPB tahun 2012/2013.Serta
penulis juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Penyakit Organisme
Akuatik tahun 2014, asisten praktikum mata kuliah Manajemen Kesehatan
Organisme Akuatik tahun 2015. Penulis aktif mengikuti lomba Program
Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang didanai oleh Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi (DIKTI). Penulis merupakan penerima beasiswa Bidikmisi IPB tahun
2011/2015.
Penulis pernah melaksanakan magang di CV Sakana Bogor, dan
melakukan kegiatan praktik lapang akuakultur (PLA) di PT.Surya Windu Kartika
Unit Bomo C Banyuwangi-Jawa Timur dengan tulisan yang berjudul
“Pembesaran Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di PT Surya Windu
Kartika Unit Bomo C Banyuwangi-Jawa Timur’’. Tugas akhir dalam
pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Persistensi
Cacing Endoparasit Gnathostoma sp. Pada Belut Sawah Monopterus albus
dan Pengendaliannya Menggunakan Mebendazole dan Ekstrak Batang
Pisang Ambon Musa paradisiaca.”