34
PERSPEKTIF PERAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH MENGHADAPI TANTANGAN EKONOMI GLOBAL SERTA UPAYA HUKUM PENYELESIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH PADA PERADILAN AGAMA By Timur Abimanyu,SH.MH Industri perbankan syariah menghadapi tantangan ekonomi global dengan pertumbuhan aset perbankan syariah yang semakin naik dan berkembang pesat pada tahun 2013 serta beberapa tahun mendatang, yang dikemukakan dalam seminar ekonomi syariah dalam rangka menghadapi tranformasi industri keuangan era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tema "Strategi dan Tantangan Pertumbuhan Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah Non Bank di Era OJK". 1 Andi bukhari (Direktur Bank Muamalat) mengatakan, sektor perbankan syariah akan menhadapi tantangan ekonomi global dimana tantanngan itu akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat serta terjadinya krisis ekonomi. Dimana “Sektor perbankan syariah sedang menghadapi tantangan dengan krisis ekonomi global yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat dan krisis keuangan di Asia telah berdampak terhadap krisis ekonomi, serta harus bersaing dengan perbankan nasional dan internasional“ dan dalam menghadapi tantangan krisis ekonomi global perlu adanya strategi bersaing dengan pemberian layanan yang setara dengan standar industri, juga perlu adanya dukungan kuat serta peningkatan produk dan perluasan jangkauan distribusi. Menurut Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK(Firdaus Djaelani), bahwa produk syariah bukan lagi sebagai produk alternatif melainkan menjadi solusi terhadap produk-produk lembaga konvensional bagi masyarakat. Begitu pula menurut Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) juga ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D. Hadad, dimana perbankan syariah harus membangun sinergi dan integrasi pelayanan jasa keuangan yang harus dibenahi dalam pertumbuhan perekonomian syariah melalui pasar modal, asuransi serta 1 . John C. Coffee, Jr.1.”Market Faklure and the Economic Case for A Man datory Disclosure System, Virginia Law Review, (Vol 79, 1984), hal. 721-722.

Perspektif Peran Industri Perbankan Syariah Hadapi Tantangan Ekonomi Global Dan Penangan Sengketa

Embed Size (px)

Citation preview

PERSPEKTIF PERAN INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH MENGHADAPI TANTANGAN EKONOMI GLOBAL SERTA UPAYA HUKUM PENYELESIAN SENGKETA

EKONOMI SYARIAH PADA PERADILAN AGAMA

By Timur Abimanyu,SH.MH

Industri perbankan syariah menghadapi tantangan ekonomi global dengan pertumbuhan aset perbankan syariah yang semakin naik dan berkembang pesat pada tahun 2013 serta beberapa tahun mendatang, yang dikemukakan dalam seminar ekonomi syariah dalam rangka menghadapi tranformasi industri keuangan era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tema "Strategi dan Tantangan Pertumbuhan Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah Non Bank di Era OJK".1Andi bukhari (Direktur Bank Muamalat) mengatakan, sektor perbankan syariah akan menhadapi tantangan ekonomi global dimana tantanngan itu akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat serta terjadinya krisis ekonomi. Dimana “Sektor perbankan syariah sedang menghadapi tantangan dengan krisis ekonomi global yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat dan krisis keuangan di Asia telah berdampak terhadap krisis ekonomi, serta harus bersaing dengan perbankan nasional dan internasional“ dan dalam menghadapi tantangan krisis ekonomi global perlu adanya strategi bersaing dengan pemberian layanan yang setara dengan standar industri, juga perlu adanya dukungan kuat serta peningkatan produk dan perluasan jangkauan distribusi.

Menurut Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK(Firdaus Djaelani), bahwa produk syariah bukan lagi sebagai produk alternatif melainkan menjadi solusi terhadap produk-produk lembaga konvensional bagi masyarakat. Begitu pula menurut Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) juga ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman D. Hadad, dimana perbankan syariah harus membangun sinergi dan integrasi pelayanan jasa keuangan yang harus dibenahi dalam pertumbuhan perekonomian syariah melalui pasar modal, asuransi serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), hal ini dikarenakan Negara Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terstabil di dunia, “Aset Perbankan Indonesia naik menjadi 6,3 persen hingga 6,7 persen pada tahun 2013 dan dalam delapan tahun terakhir pertumbuhan ekonomi  Indonesia sekitar 6,1 hingga 6,2 persen. Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terstabil di dunia,” kata Nawawi.

Stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia itu juga diiringi dengan pertumbuhan ekonomi syariah yang berkembang pesat dengan terlihat dari meningkatnya pasar modal, asuransi syariah, obligasi syariah dalam membangun sinergi bisnis model dengan pelayanan akses OJK lebih ditingkatkan dan pembiayaan mikro membentuk model bisnis serta pembiayaan ekonomi syariah. Kedepan Negara Indonesia akan menjadi rujukan pertama sebagai sentral ekonomi syariah dunia dan sebagai pusat Industri keuangan syariah.

Menurut pakar ekonomi makro yang mengharapkan Indonesia lebih berperan dan dapat bersaing dengan negara-negara berkembang dalam sektor perbankan syariah dan Indonesia

1. John C. Coffee, Jr.1.”Market Faklure and the Economic Case for A Man datory Disclosure System, Virginia Law Review, (Vol 79, 1984), hal. 721-722.

yang merupakan mayoritas  masyarakat Muslim menjadi penggerak utama perbankan syariah.

Berdasarkan data, Deputi Gubernur Bank Indonesia (Halim Alamsyah)2 bahwa sektor perbankan syariah menghadapi tiga tantangan yang harus dibenahi agar industri ini makin tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahun mendatang. Dimana "Ke tiga tantangan tersebut adalah pemenuhan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia3, peningkatan inovasi produk dan layanan kompetitif serta berbasis kekhususan untuk kebutuhan masyarakat dan keberlangsungan program sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat.4

Ada beberapa pelaku perbankan yang telah memiliki program untuk meningkatkan kebutuhan dan kualitas sumber daya manusia dalam industri keuangan syariah, yang salah satunya adalah terbatasnya sumber daya insani tersebut, lanjut dia, bahkan menyebabkan para pelaku perbankan saling membajak pekerja yang memiliki keahlian dalam bidang keuangan syariah. Wlaupun canggih dan lengkap peralatan, tetap unsur perbankan sangat penting dikuasai sumber daya insani yang mumpuni. Oleh karena itu asosiasi perlu memikirkan untuk menjawab tantangan ini secara lebih sistematis dan terukur serta terarah.5

Tantangan ke dua adalah pemenuhan inovasi produk dan layanan kompetitif yang lebih optimal karena saat ini produk perbankan syariah yang ditawarkan masih sangat terbatas.Pengembangan inovasi tersebut juga harus didorong karena sektor perbankan belum memiliki kreativitas dalam mengembangkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena siklus kehidupan suatu produk yang ditawarkan oleh industri keuangan itu pendek dan dengan mudah bank atau lembaga keuangan lain akan meniru dari apa yang sudah ada dan berhasil pada bank yang lain.

Terhadap masalah tersebut maka peran regulator dan asosiasi sangat penting untuk memberikan kepastian agar pelaku perbankan dapat berinovasi tanpa rasa khawatir bahwa kreativitas tersebut akan ditiru. Hal ini menjadi tantangan bagi industri dan pelaku industri, agar tetap bisa berinovasi tanpa khawatir temuan maupun kreativitas tersebut akan ditiru dan digunakan tanpa susah payah.

2.Halim Alamsyah, Panelist Workshop on Enhancing Access to Formal Financial Services in Indonesia, World Bank, Jakarta, Desember, 2009.

3.Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes,III, Islamic Law and Finance-Religion, Risk, and Return, Kluwer Law International, The Hague, London, Boston, hal.19.

4.David L, Ratner and Thomas Lee Hazen, Securities Regulation Case and Materials (St.Paul Minn : West Publishing, 1991), hal 79.

5.Op.cit., hal.21-22. Dinyatakan pula bahwa pekerjaan di bidang ini akan memberikan model untuk pengembangan di bidangbidang lain yang lebih sulit seperti di bidang politik, hukum internasional, dan ilmu sosial Islam. Potensi jangka panjang dalam keberhasilan studi keuangan Islam memiliki nilai yang berarti untuk menilai potensi hukum Islam dalam mewarnai kehidupan duniawi kalangan muslim.

Di sini peran regulator6 akan lebih menonjol dan asosiasi penting untuk menjembatani permasalahan ini. Terakhir, tantanga ketiga adalah industri perbankan syariah masih memiliki kendala sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sehingga belum banyak yang mengetahui produk perbankan syariah. Sangat mengharapkan agar para pelaku perbankan syariah di masa mendatang dapat lebih mandiri dan kreatif dalam melakukan fungsi sosialisasi dan edukasi sehingga tidak lagi bergantung kepada Bank Indonesia."Banyak ide-ide yang dilakukan Bank Indonesia, diikuti industri perbankan syariah, tetapi mungkin (dipertimbangkan) bagaimana peran tersebut secara perlahan-lahan digantikan industri dan Bank Indonesia harus menarik mundur perlahan-lahan.

Perkembangan dan pertumbuhan perbankan syariah diiukuti dengan landasan hukum dan cara penanganan sengketa ekonomi syariah yaitu dengan berlakunya Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka lembaga Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman telah mempunyai paradigma baru  karena selama ini Pengadilan Agama adalah identik Peradilan Keluarga akan tetapi sejak diundangkannya Undang-undang tersebut, sengketa dalam bidang ekonomi syariah  menjadi

kewenangan Peradilan Agama. Dalam pasal 497 Undang-undang Peradilan Agama tersebut adalah perbuatan atau kegiatan usaha  yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah. Kegiatan perbankan syari’ah merupakan salah satu kegiatan ekonomi syariah.

Berhubungan erat dengan dunia perbankan di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat  telah mensahkan dan menjadikan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah sebagai landasan operasional dunia perbankan syari’ah. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada sektor perbankan syari’ah ini merupakan sebuah konteks pembinaan dan pengembangan system hukun nasional maupun terhadap penguatan fundamental perekonomian bangsa secara nyata,  yang bersumber dari al-qur’an dan As-Sunnah maupun dari fatwa-fatwa Dewan Syariah

6. Halim Alamsyah, Seminar ISEI tentang Indonesia Economic Outlook 2010, Jakarta, Desember, 2009/Panelis Seminar Tahunan Riset Stabilitas Sistem Keuangan, Jakarta, Desember, 2009/ISEAS Public Seminar on Indonesian Economy In Globalized Recession,Singapore, Juni 2009, Seminar SEACEN/BIS Executive Seminar on Global Shocks and Economic Stability, Yogyakarta, Januari, 2009/Seminar Telkom Solution tentang Trend Pertumbuhan Industri Perbankan, Kebijakan Arsitektur Perbankan Indonesia dan Trend ICT Perbankan Tahun 2009-2011, Jakarta, Januari, 2009/Seminar Warta Ekonomi tentang IT di Indus tri Pembiayaan & Asuransi Meningkatkan Revenue Assurance & Collection Dalam Kondisi Krisis Global dengan Aplikasi IT yang Efektif dan Efisien, Jakarta, Januari, 2009/Pembicara High Level Policy Dialogue Meeting Depkeu BKF-Australia, Jakarta, Februari, 2009/Pembicara Seminar FKDKP tentang Penerapan PSAK 50 (revisi 2006) dan PSAK 55 (revisi 2006) serta Implikasi Terhadap Laporan Bulanan Bank Umum , Jakarta, Februari,2009/ Seminar BARa tentang Managing Opportunity and Risk in Crisis, Jakarta, Maret, 2009/Seminar ISEI tentang Indonesia Economic Ou tlook 2010, Jakarta, Desember, 2009;

7.Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pasal 49 Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a. perkawinan, b. waris,c. wasiat, d.hibah, e.wakaf, f. Zakat, g.infaq, h. Shadaqah dan, i.ekonomi syariah.Penjelasan : Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi dibidang perbankansyari’ah, melainkan juga dibidang ekonomi syari’ah lainnya.Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang ataubadan hukum yang dengan sendirinya menundukkan dir idengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Nasional (DSN) dari majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah ditranformasikan kedalam hukum positif Indonesia melalui berbagai instrument Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).8

Aspek penghimpunan dana masyarakat, bank syariah bukan saja dalam bentuk dana komersial melalui program tabungan, deposito dn lain-lain tetapi juga dalam bentuk dana-dana kebajikan  yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah dan social lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (2) Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Sk/DIR tentang Bank Umum berdasarkan prinsip Syariah dan Nomor 32/36/SK/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip Syariah.Sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak perbankan dengan para nasabahnya, munculnya permasalahan dan sengketa terkadang tidak dapat dihindari  walaupun antara para pihak tersebut telah terikat dalam suatu perjanjian. Dalam menjalankan perjanjian tersebut sering muncul ketidak sefahaman  berupa wanprestasi (melanggar hukum ) atau adanya perbuatan melanggar hukum. Situasi ini menimbulkan ketegangan di antara para pihak dan hal ini harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

Pada Bab IX pasal 55 ayat (1)  Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam linkungan Peradilan Agama. Pasal 55 ayat (2) undang-undang tersebut menjelaskan bahwa dalam  hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  maka penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan isi akad. Upaya penyelesaian yang dimaksud sesuai akad adalah dapat berupa upaya musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah (  Basarnas ) atau lembaga arbitrase lainnya maupun melalui lembaga pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum. Dengan Pemberlakuan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008, akan menimbulkan kembali pilihan hukum terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah ini karena satu sisi menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama. Pada sisi yang lain menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terutama pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah ini dapat diselesaikan melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Dalam industri perbankan syariah di Indonesia dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah harus dilihat dari jenis usaha perbankan syariah seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 yang ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh pihak Bank Indonesia sebagaimana surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Sk/DIR dan Nomor 32/36/SK/DIR bahwa bentuk usaha perbankan syariah terdiri dari 2 kegiatan yaitu Bank Umum Syariah (BUS)  dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

8.Syahrir, 2, Tinjauan Pasar Modal, (jakarta :PT.Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal 292-293. Justarian Naiborhu, “Perilaku Investor dalam Membeli Saham :Berlakukah Fundamental Analysis?” dalam syarir dan Marzuki Usman,ed,Op.cit hal. 5-86.

Kegiatan Bank Umum Syariah ini mempunyai kegiatan dalam bentuk :9

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi Giro berdasarkan prinsip wadi’ah, tabungan dengan prinsip wadi’ah atau mudharabah, deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah dan bentuk lain berdasarkan prinsip wadi’ah dan mudaharabah.

2. Melakukan penyaluran dana yang meliputi a.    Transaksi jual beli berdasarkan prinsip murabahah, istisna, ijarah, salam dan jual beli

lainnya.b.    Pembiayaan bagi hasil berdasarkan  prinsip mudharabah, musyarakah, bagi hasil

lainnya.c.    Pembiayaan lainnnya berdasarkan prinsip hiwalah, rahn dan qard.

1. Membeli, menjual dan / atau menjamin atas resiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga  yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata  yang berdasarkan prinsip jual beli atau hiwalah.

2. Membeli surat-surat berharga pemerintah dan / atau Bank Indonesia yang diterbitkan atas dasar prinsip syariah.

3. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan / atau nasabah berdasarkan prinsip wakalah. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga beradasarkan prinsip wakalah.

4. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat – surat berharga berdasarkan prinsip wadiah yad amanah.

5. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah.

6. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam bentuk surat berharga  yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip ujr.

7. Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip wakalah, murabahah, musyarakah dan wadi’ah  serte memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip  kafalah.

8. Melakukan kegiatan usaha kartu  debit berdasarkan prinsip ujr.9. Melakukan kegiatan  wali amanat berdasarkan prinsip wakalah.10. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh

Dewan Syariah Nasional (DSN).

Disamping itu, Bank Umum Syariah dapat pula melakukan kegiatan :1. Melakukan kegiatan  dalam bentuk valuta asing berdasarkan prinsip  sharf.2. Melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah dan / atau

mudharabah pada bank atau perusahaan lain yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip musyarakah dan / atau mudharabah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya.

9.Anton Hermanto dan Sri Mulyani Indrawat, menyatakan bahwa salah satu titik lemahnya fundamental Indonesia adalah pada sisi neraca ekonomi eksternal yang ditandai dengan defisit transaksi berjalan meningkat. Defisit transaksi berjalan ini dibiayai oleh arus modal masuk yang memang cukup besr sejak awl tahun 1990an, sehingg secara keseluruhan neraca pembayaran masih mengalami surplus.Kompas, 11 Juli 1998, hal. 3.

4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah .

5. Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat , infak, sedekah , wakaf, hibah dan dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk pinjaman kebijakan atau santunan.

Adapun kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat Syariah ( BPRS ) meliputi :1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang terdiri dari :

a.      Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah.b.     Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah.c. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadi’ah atau mudharabah.

2. Melakukan penyaluran dana melalui :a.     Transaksi jual beli beradasarkan prinsip murabahah, istisna’, ijarah, salam dan jual

beli lainnya.b.    Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah, musyarakah, bagi hasil

lainnya.c.    Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip rahn, qard dan melakukan kegiatan lain

yang lazim dilakukan BPRS sepanjang  disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.3. Disamping itu Bank Perkreditan Rakyat Syariah dapat juga bertindak sebagai lembaga

baitul maal yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah , wakaf, hibah atau dana sosial lainnya serta menyalurkannya kepada pihak yang berhak dalam bentuk santunan dan pinjaman kebajikan.

Kewenangan Lembaga Yang Menyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah

Secara yuridis normatif, penyelesaian sengketa perbankan syariah telah diatur dalam beberapa ketentuan antara lain :1. Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa ( APS ).2.  Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan perubahan terhadap

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, maka sejak itu pula penyelesaian sengketa perbankan menjadi kewenangan Peradilan Agama sebagaimana dijelaskan dalam pasal 49 Undang-undang tersebut.

3. Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terutama dalam pasal 55 ayat (1), bahwa penyelesaian sengketa perbankan dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan ayat (2) bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain dimaksud ayat (1) maka penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Dalam penjelasan ayat (2) yang dimaksud sesuai dengan isi akad adalah berupa upaya (a) musyawarah (b) mediasi perbankan (c) melalui badan arbitrase syariah (Basarnas) atau lembaga arbitrase lain dan (d) melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, serta ayat (3) bahwa penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.

Yang dimaksud dengan arbitrase dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar Peradilan Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase dipadankan dengan tahkim dalam konsep fikih walau pengunaan tahkim jauh lebih luas dari arbitrase

karena arbitrase hanya  menyelesaikan sengketa dalam lapangan harta kekayaan khususnya dalam masalah bisnis dan tidak menyentuh perselisihan yang bersifat immateri seperti perkawinan.

Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 08 tahun 2008 tentang eksekusi putusan arbitrase syariah pada point 1 disebutkan bahwa badan arbitrase syariah adalah lembaga yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu dalam bidang ekonomi syariah. Selanjutnya point 3 menegaskan bahwa putusan badan arbitrase  syariah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak ( sebagaimana pasal 60 Undang0undang Nomor 30 tahun 1999 ). Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela maka putusan tersebut harus dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan atas dasar permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Pengadilan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 adalah Pengadilan Agama.

Memang sebelum disahkan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Peradilan Agama, bahwa sengketa dalam perbankan syariah diselesaikan melalui jalur arbitrase, akan tetapi sejak tanggal 21 Februari 2006, sengketa perbankan syariah ini menjadi kewenangan absolut Peradilan Agama. Ketentuan ini memposisikan Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga yang bertugas  dan berwenang menyelesaikan sengketa yang timbul dalam ekonomi syariah tanpa mempersoalkan lagi siapa subjek hukum yang mengadakan perikatan dengan Bank Syariah, sama ada perorangan atau badan  hukum. Namun demikian, proses penyelesaian sengketa perbankan syariah  di Peradilan Agama selain berdasarkan putusan atas sengketa  yang diajukan para pihak, dapat juga ditempuh melalui cara mediasi  dengan memilih  mediator  yang tersedia di Pengadilan Agama atau yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.

Mahkamah Agung RI menganjurkan agar penyelesaian perkara perselisihan diupayakan melalui proses tahkim atau arbitrase.10 Ketentuan pasal 130 HIR yang menegaskan bahwa boleh menyelesaikan  sengketa melalui aribtrase dengan catatan dikehendaki dan disepakati oleh para pihak. Diharapkan lembaga Basarnas  dapat berperan secara optimal  sehingga

10.Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 2 :Undang-undang ini mengatur penyelesaian s engketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 3:Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 4: (1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dok umen yang ditandatangani oleh para pihak. (3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Pasal 5 :(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. (2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

mampu menyelesaikan segala bentuk muamalah dan perdata yang muncul di kalangan umat islam. Satu sisi terkait dengan pelaksanaan (eksekusi) putusan basarnas yang tidak dilaksanakan secara suka rela oleh para pihak, maka menurut Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 8 tahun 2008 maka hal itu menjadi kewenangan dan yurisdiksi Peradilan Agama untuk menyelesaikannya. Pada sisi yang lain, menurut pasal 59 ayat 3 dan pasal 59 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa apabila para pihak tidak melaksanakan putusan basarnas tersebut secara sukarela maka berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak .

Sehubungan dengan muatan norma tersebut di atas maka nampak jelas telah terjadi konflik norma antara pasal 59 ayat 3 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman  berikut penjelasan ayat satunya dengan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah11

dengan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 08 tahun 2008 tentang pelaksanaan eksekusi putusan basarnas.12 Disamping itu bertentangan pula dengan fatwa Dewan Syariah Nasional  yang menekankan pentingnya penyelesaian sengketa perbankan syariah atau masalah ekonomi syariah melalui basarnas  dan yang lebih penting daripada itu adalah penyelesaian sengketa tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

Menurut Mutammimal Ula (salah seorang anggota DPR-RI ) bahwa ketika persoalan penyelesaian sengketa perbankan syariah ini dibawa ke peradilan umum dirasakan berjalan agak lamban penanganannya. Salah satu penyebabnya adalah karena majelis hakim peradilan umum kurang memahami hukum islam. Oleh karena itu, agar terciptanya kepastian hukum yang berkaitan dengan sengketa perbankan syariah maka penyelesaian sengketa perbankan syariah diserahkan kepada lembaga Basarnas. Penulis sangat sependapat dengan pernyataan anggota DPR-RI tersebut. Hal itu didorong oleh fakta empiris di lapangan dan beberapa ketentuan perundang-undangan yang telah mendukung kompetensi absolute Peradilan Agama dalam melaksanakan eksekusi putusan arbitrase syariah yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak.

11.Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008Bab IX, Penyelesaian Sengketa, Pasal 55 : (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad, (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

12.Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor :08 Tahun 2010 Tentang Penegasan Tidak Berlakunya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 08 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari'ah memperhatikan ketentuan pada angka 4 (empat) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 08 Tahun 2008 yang intinya berisi bahwa Ketua Pengadilan Agama berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan Badan Arbitrase Syari' ah. Bahwa berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya ditentukan bahwa, dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase (termasuk arbitrase syari' ah) secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintahKetua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Bahwa sehubungan dengan Hal tersebut di atas, maka diberitahukan kepada Saudara, bahwa terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor : 08 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syari’ah tersebut berdasarkan 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasannya, dinyatakan tidak berlaku.

Dengan demikian agar tegaknya kepastian hukum yang adil dan terjaminnya konstitusionalitas Undang-undang Perbankan Syariah  yang juga akan berimplikasi kepada dunia usaha dan bisnis syariah maka ketentuan pasal 59 ayat 3 Undang-undang kekuasaan kehakiman berikut penjelasan pasal 59 ayat 1 Undang-undang tersebut harus dicabut  atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar tahun 1945 maupun  peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Fakta hukum menunjukan pengaturan dan pembentukan perundang-undangan di Indoensia tidak sedikit yang saling bertentangan sehingga sulit untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi dan pada gilirannya  menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dalam masyarakat.

Analisa Kebijakan Secara Faktor Internal :- Kebijakan pemberlakuan berdasarkan faktor internl, merupakan suatu kebijakan dasar

tranformasi industri keuangan era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam strategi dan Tantangan Pertumbuhan Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah Non Bank di Era OJK. Dimana secara faktor internal pada sektor perbankan syariah menghadapi berbagai tantangan dalam ekonomi global yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat serta terjadinya krisis ekonomi sebagai jalan keluarnya adalah harus dapat bersaing dengan perbankan nasional dan internasional (bersaing secara internal maupun eksternal) dengan upaya pemberian layanan yang setara dengan standar industri serta perlu adanya dukungan kuat serta peningkatan produk dan perluasan jangkauan distribusi industri perbankan syariah.

- Kebijakan pemberlakukan berdasarkan faktor internal bahwa produk syariah bukan lagi sebagai produk alternatif melainkan menjadi solusi terhadap produk-produk lembaga konvensional bagi masyarakat dan perbankan syariah harus membangun sinergi dan integrasi pelayanan jasa keuangan yang harus dibenahi dalam pertumbuhan perekonomian syariah melalui pasar modal, asuransi serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), hal ini dikarenakan Negara Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terstabil di dunia.

- Kebijakan pemberlakuan berdasarkan faktor internal dikarena stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi syariah dengan terlihat dari meningkatnya pasar modal, asuransi syariah, obligasi syariah dalam membangun sinergi bisnis model dengan pelayanan akses OJK lebih ditingkatkan dan pembiayaan mikro membentuk model bisnis serta pembiayaan ekonomi syariah dan menjadi rujukan pertama sebagai sentral ekonomi syariah dunia dan sebagai pusat Industri keuangan syariah. Bahwa sektor perbankan syariah menghadapi tiga tantangan yang harus dibenahi agar industri ini makin tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahun mendatang. Dimana "Ke tiga tantangan tersebut adalah pemenuhan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, peningkatan inovasi produk dan layanan kompetitif serta berbasis kekhususan untuk kebutuhan masyarakat dan keberlangsungan program sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat. Pelaku perbankan yang telah memiliki program untuk meningkatkan kebutuhan dan kualitas sumber daya manusia dalam industri keuangan syariah, yang salah satunya adalah terbatasnya sumber daya insani tersebut, dan menyebabkan para pelaku perbankan saling membajak pekerja yang memiliki keahlian dalam bidang keuangan syariah. Faktor kebijakan dasar secara internal inilah yang perlu dipertimbangkan secara medalam. Begitupula tantangan pemenuhan inovasi produk dan layanan kompetitif yang lebih optimal karena saat ini produk perbankan syariah yang ditawarkan masih sangat terbatas.

- Jelaslah bahwa kebijakan pemberlakukan secara internal harus sejalan dan harmonis dengan kebijakan dasar terhadap peran regulator dan asosiasi sangat penting untuk memberikan kepastian agar pelaku perbankan dapat berinovasi tanpa rasa khawatir bahwa kreativitas tersebut akan ditiru, peran regulator akan lebih menonjol dan asosiasi penting untuk menjembatani permasalahan tersebut dan industri perbankan syariah masih memiliki kendala sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sehingga belum banyak yang mengetahui produk perbankan syariah. Sangat mengharapkan agar para pelaku perbankan syariah di masa mendatang dapat lebih mandiri dan kreatif dalam melakukan fungsi sosialisasi dan edukasi sehingga tidak lagi bergantung kepada Bank Indonesia.

- Kebijakan13 pemberlakuan sekaligus sebagai kebijakan dasar yang berdasarkan faktor internal dikuti dengan pemberlakukan landasan hukum dan cara penanganan sengketa ekonomi syariah yaitu Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama maka lembaga Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman dalam menangani sengketa dalam bidang ekonomi syariah  menjadi kewenangan Peradilan Agama, yang dalam pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama tersebut adalah perbuatan atau kegiatan usaha  yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah. Kegiatan perbankan syari’ah merupakan salah satu kegiatan ekonomi syariah. Begitupula pada dunia perbankan di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat  telah mensahkan dan menjadikan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah sebagai landasan operasional dunia perbankan syari’ah. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada sektor perbankan syari’ah ini merupakan sebuah konteks pembinaan dan pengembangan system hukun nasional maupun terhadap penguatan fundamental perekonomian bangsa Indonesia.

- Kebijakan dasar berdasarkan faktor internal dilihat dari Aspek penghimpunan dana masyarakat, bank syariah bukan saja dalam bentuk dana komersial melalui program tabungan, deposito dan lain-lain tetapi juga dalam bentuk dana-dana kebajikan  yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah dan social lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 29 ayat (2) Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Sk/DIR tentang Bank Umum berdasarkan prinsip Syariah dan Nomor 32/36/SK/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip Syariah.Sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak perbankan dengan para nasabahnya, munculnya permasalahan dan sengketa terkadang tidak dapat dihindari  walaupun antara para pihak tersebut telah terikat dalam suatu perjanjian. Dalam Bab IX pasal 55 ayat (1)  Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditegaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh Pengadilan dalam linkungan Peradilan Agama. Pasal 55 ayat (2) undang-undang tersebut menjelaskan bahwa dalam  hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  maka penyelesaiannya

13.Putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PUU-X/2012 : Pendapat Mahkamah [3.17], menimbang bahwa isu konstitusional dalam permohonan a quo adalah apakah Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU Perbankan Syariah mengandung ketidakpastian hukum yang menciderai hak-hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan apakah adanya pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah, yaitu: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, juga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum yang menciderai hak-hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945?

dilakukan sesuai dengan isi akad. Upaya penyelesaian yang dimaksud sesuai akad adalah dapat berupa upaya musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah (Basarnas) atau lembaga arbitrase14 lainnya maupun melalui lembaga pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum. Seharusnya dengan Pemberlakuan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tidak ada lagi pilihan hukum terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah ini karena satu sisi menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama, yang menyebabkan masih ada keragu-raguan didalam melaksanakan kebijakan pemberlakukan seperti apa yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terutama pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah ini dapat diselesaikan melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum (hal ini masih terlihat bahwa kebijakan pemberlakukan masih belum tegas yang dapat membingungkan investor asing atau dunia perbankan di Internasional).

Analisa Kebijakan Secara Faktor Eksternal :

- Kebijakan pemberlakuan berdasarkan faktor eksternal adalah merupakan kebijakan dasar tranformasi industri keuangan era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam strategi dan ekonomi syariah Non Bank di Era OJK yang berusaha mempengaruh perbankan dunia Internasional. Dimana secara faktor eksternal pada sektor perbankan syariah dapat bersaing dalam ekonomi global yang dapat menstabilkan pertumbuhan ekonomi syariah secara faktor internal.

- Kebijakan pemberlakukan berdasarkan faktor eksternal dimana seharusnya produk syariah sudah menjadi komoditi pokok produk-produk lembaga konvensional bagi masyarakat dan perbankan syariah dalam membangun sinergi dan integrasi pelayanan

14.Putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PUU-X/2012 : Pendapat Mahkamah [3.18]Menimbang bahwa terhadap isu konstitusional tersebut Mahkamahterlebih dahulu perlu mengutip Penjelasan Umum dalam Undang-Undang a quo yang menyatakan tentang adanya pilihan forum untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Perbankan Syariah, yaitu: “...penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase, atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang disepakati di dalam Akad oleh para pihak.”[3.19] Menimbang bahwa timbulnya sengketa dalam perbankan syariah yang, terjadi antara nasabah dan Unit Usaha Syariah, disebabkan adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki sesuai dengan prinsip syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah; Unit Usaha Syariah dalam perbankan syariah sebelum menyalurkan pembiayaan dari Bank Syariah ke nasabah diwajibkan untuk membuat kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah yang selanjutnya disebut akad; Proses penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perbankan Syariah telah memberikan tugas dan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama. Hal tersebut juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 49 huruf (i) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dimana penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya;

jasa keuangan dalam pertumbuhan perekonomian syariah melalui pasar modal, asuransi serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

- Kebijakan pemberlakukan berdasarkan faktor eksternal dapat menjaga stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan adanya pertumbuhan ekonomi syariah dengan meningkatnya pasar modal, asuransi syariah, obligasi syariah dalam membangun sinergi bisnis model dengan pelayanan akses OJK lebih meningkat serta pembiayaan mikro syariah dalam model bisnis serta pembiayaan ekonomi syariah.

- Begitupula Kebijakan dasar dari Gubernur Bank Indonesia15 yang sejalan, membimbing dan mengotrol sektor perbankan syariah industri perbankan syariah semakin bertumbuh dan berkembang dengan pesat dan dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari Bank Indonesia maupun dipercaya dengan dunia perbankan Intetnasional.

- Baik kebijakan dasar maupun kebijakan pemberlakukan secara faktor internal dan eksternal harus sejalan harmonis dan adanya kepastian hukum, agar dunia perbankan

15.Putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PUU-X/2012 : Pendapat Mahkamah [3.20].Menimbang bahwa secara sistematis, pilihan forum hukum untuk penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua bilamana para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan agama. Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). Para pihak harus bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan agama. Persoalannya muncul bilamana dalam akad tidak tertera secara jelas forum hukum yang dipilih; Persoalan tidak jelasnya pilihan forum hukum tidak hanya dialami oleh Pemohon, tetapi terdapat beberapa kasus serupa yang terjadi, hingga akhirnya timbul konflik hukum dan terdapat beberapa putusan pada tingkat arbitrase atau pengadilan yang mengadili perkara yang sama. Akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang, terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Oleh sebab itu, kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan. Para pihak seharusnya secara jelas menyebutkan salah satu forum hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa. Pada dasarnya, Undang-Undang telah mengatur secara normatif dengan memberikan contoh forum hukum yang dapat dipilih oleh para pihak yang membuat perjanjian; [3.21] Menimbang bahwa pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalamPenjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah membuka ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU a quo pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sedangkan dalam Undang-Undang yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah; [3.22] Menimbang bahwa dengan merujuk sengketa yang dialami oleh Pemohon dan praktik dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Apabila kepastian dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak dapat diwujudkan oleh lembaga yang benar-benar kompeten menangani sengketa perbankan syariah, maka pada akhirnya kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga tidak akan pernah terwujud; Menurut Mahkamah, adalah hak nasabah dan juga unit usaha syariah untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian hukum. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkrit, telah cukup bukti bahwa ketentuan Penjelasan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi;

Internasional percaya kepada Industri perbankan syariah, dengan adanya kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakukan dari Bank Indonesia yang member keleluasaan kepada Industri Perbankan Syariah untuk melebarkan sayapnya di Dunia Internasional.

- Kebijakan kebijakan dasar yang berdasarkan faktor eksternal merupakan sebagai dasar hukum didalam penangan sengketa ekonomi syariah, yang selama ini terkesan belum adanya kepastian hukum menurut pandangan dunia perbankan Internasional. Hal ini mengingat masih ada pilihan-pilihan hukum didalam penangan sengketa ekonomi syariah yang terkesan pula adanya ketidak selarasan didalam penerapan kebijakan pemberlakuan jika terjadi sengketa masih ada pilihan hukum apakah akan diselesaikan pada Peradilan Agama atau oleh Peradilan Umum. Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PPU-X/2012 : mengenai kewenangan peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, maka benturan-benturan mengenai kewenangan mengadili pada peradilan umum dan peradilan agama, tidak akan terjadi lagi.

P E N U T U P

Kesimpulan 1. Kebijakan pemberlakuan merupakan suatu kebijakan dasar tranformasi industri

keuangan era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam strategi dan Tantangan Pertumbuhan Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah Non Bank di Era OJK. Dimana secara faktor internal pada sektor perbankan syariah menghadapi berbagai tantangan dalam ekonomi global yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Produk alternatif melainkan menjadi solusi terhadap produk-produk lembaga konvensional bagi masyarakat dan perbankan syariah harus membangun sinergi dan integrasi pelayanan jasa keuangan yang harus dibenahi dalam pertumbuhan perekonomian syariah melalui pasar modal, asuransi serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), hal ini dikarenakan Negara Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terstabil di dunia.

2. Stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi syariah dengan terlihat dari meningkatnya pasar modal, asuransi syariah, obligasi syariah dalam membangun sinergi bisnis model dengan pelayanan akses OJK lebih ditingkatkan dan pembiayaan mikro membentuk model bisnis serta pembiayaan ekonomi syariah dan menjadi rujukan pertama sebagai sentral ekonomi syariah dunia dan sebagai pusat Industri keuangan syariah.

3. Sektor perbankan syariah ada tiga tantangan yang harus dibenahi agar industri ini makin tumbuh dan berkembang dalam beberapa tahun mendatang. Dimana "Ke tiga tantangan tersebut adalah pemenuhan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, peningkatan inovasi produk dan layanan kompetitif serta berbasis kekhususan untuk kebutuhan masyarakat dan keberlangsungan program sosialisasi serta edukasi kepada masyarakat. Pelaku perbankan yang telah memiliki program untuk meningkatkan kebutuhan dan kualitas sumber daya manusia dalam industri keuangan syariah, yang salah satunya adalah terbatasnya sumber daya insani tersebut, dan menyebabkan para pelaku perbankan saling membajak pekerja yang memiliki keahlian dalam bidang keuangan syariah. Faktor kebijakan dasar secara internal inilah yang perlu dipertimbangkan secara medalam. Begitupula tantangan pemenuhan inovasi produk dan layanan kompetitif yang lebih optimal karena saat ini produk perbankan syariah yang ditawarkan masih sangat terbatas.

4. Kebijakan dasar terhadap peran regulator dan asosiasi sangat penting untuk memberikan kepastian agar pelaku perbankan dapat berinovasi tanpa rasa khawatir bahwa kreativitas tersebut akan ditiru, peran regulator akan lebih menonjol dan asosiasi penting untuk menjembatani permasalahan tersebut dan industri perbankan syariah masih memiliki kendala sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sehingga belum banyak yang mengetahui produk perbankan syariah. Sangat mengharapkan agar para pelaku perbankan syariah di masa mendatang dapat lebih mandiri dan kreatif dalam melakukan fungsi sosialisasi dan edukasi sehingga tidak lagi bergantung kepada Bank Indonesia.

5. Upaya penyelesaian yang dimaksud sesuai akad adalah dapat berupa upaya musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah(Basarnas) atau lembaga arbitrase lainnya maupun melalui lembaga pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum. Seharusnya dengan Pemberlakuan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tidak ada lagi pilihan hukum terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah ini karena satu sisi menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menegaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan Peradilan Agama, yang menyebabkan masih ada keragu-raguan didalam melaksanakan kebijakan pemberlakukan seperti apa yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah terutama pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah ini dapat diselesaikan melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum (hal ini masih terlihat bahwa kebijakan pemberlakukan masih belum tegas yang dapat membingungkan investor asing atau dunia perbankan di Internasional).

6. Tranformasi industri keuangan era Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam strategi dan Tantangan Pertumbuhan Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah Non Bank di Era OJK yang berusaha mempengaruh perbankan dunia Internasional. Dimana secara faktor eksternal pada sektor perbankan syariah dapat bersaing dalam ekonomi global yang dapat menstabilkan pertumbuhan ekonomi syariah secara faktor internal.

7. Produk syariah sudah menjadi komoditi pokok produk-produk lembaga konvensional bagi masyarakat dan perbankan syariah dalam membangun sinergi dan integrasi pelayanan jasa keuangan dalam pertumbuhan perekonomian syariah melalui pasar modal, asuransi serta Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), serta dapat menjaga stabilnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan adanya pertumbuhan ekonomi syariah pada pasar modal, asuransi syariah, obligasi syariah dalam membangun sinergi bisnis model dengan pelayanan akses OJK lebih meningkat serta pembiayaan mikro syariah dalam model bisnis serta pembiayaan ekonomi syariah.Kebijakan dasar dari Bank Indonesia yang sejalan, membimbing dan mengotrol sektor perbankan syariah agar dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dari Bank Indonesia maupun dipercaya dengan dunia perbankan Intetnasional.

8.   Sudah seharusnya sejak disahkannya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 maka penyelesaian sengketa perbankan syariah sudah menjadi kewenangan Peradilan Agama dan benturan dari kebijakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah harus segera diselesaikan agar adanya ketegasan didalam menerpakan kebijakan pemberlakuan, sehingga tidak ada lagi pilihan hukum tentang kewenangan peradlan yang memrksa sengketa ekonomi syaraiah, jika dibiarkan berkelanjutan maka akan terkesan adanya keragu-raguan dan menimbulkan ketidak pastian hukum.

9. Kebijakan pemberlakukan setelah Putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PUU-X/2012 : Pendapat Mahkamah, bahwa secara sistematis, pilihan forum hukum untuk penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua bilamana para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan agama. Dengan demikian pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). Para pihak harus bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan agama. Persoalannya muncul bilamana dalam akad tidak tertera secara jelas forum hukum yang dipilih; Persoalan tidak jelasnya pilihan forum hukum tidak hanya dialami oleh Pemohon, tetapi terdapat beberapa kasus serupa yang terjadi, hingga akhirnya timbul konflik hukum dan terdapat beberapa putusan pada tingkat arbitrase atau pengadilan yang mengadili perkara yang sama. Akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Oleh sebab itu, kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan. Para pihak seharusnya secara jelas menyebutkan salah satu forum hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa. Pada dasarnya, UndangUndang telah mengatur secara

normatif dengan memberikan contoh forum hukum yang dapat dipilih oleh para pihak yang membuat perjanjian;

10.Putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PUU-X/2012 : bahwa pilihan forum hukum sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret telah membuka ruang adanya pilihan forum penyelesaian yang juga telah menimbulkan adanya persoalan konstitusionalitas yang pada akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah tetapi juga pihak Unit Usaha Syariah. Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU a quo pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sedangkan dalam Undang-Undang yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah;

11.Dengan merujuk sengketa yang dialami oleh Pemohon dan praktik dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Apabila kepastian dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak dapat diwujudkan oleh lembaga yang benar-benar kompeten menangani sengketa perbankan syariah, maka pada akhirnya kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga tidak akan pernah terwujud; Menurut Mahkamah, adalah hak nasabah dan juga unit usaha syariah untuk mendapatkan kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak memberi kepastian hukum. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun Mahkamah tidak mengadili perkara konkrit, telah cukup bukti bahwa ketentuan Penjelasan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945] yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi;

Daftar Pustaka

-----------Putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PPU-X/2012 : Pengujian Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UUD Republik Indonesia 1945.Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Hukum Bisnis : Kepailitan. Jakarta : PT.Rajagrafindo

Persada, 1999.A. Pilto, Pembuktian dan Daluwarsa menurut KUH Perdata Belanda, terjemahan M.Isa

Arief, Jakarta:Internusa, 19978.---------Abadulkadir Muhammad, Hukum Perikatan.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,

1992.Arsyad, Lincolin. “ Ekonomi Pembangunan”, Penerbit : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi

YKPN, Edisi ke 4, tahun 2004.Amrizal, Hukum Bisnis: Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia Teori dan

Praktik.Jakarta : Penerbit : Jambatan, 1996.Anton Hermanto dan Sri Mulyani Indrawat, menyatakan bahwa salah satu titik lemahnya

fundamental Indonesia adalah pada sisi neraca ekonomi eksternal yang ditandai dengan defisit transaksi berjalan meningkat. Defisit transaksi berjalan ini dibiayai oleh arus modal masuk yang memang cukup besr sejak awl tahun 1990an, sehingg secara keseluruhan neraca pembayaran masih mengalami surplus.Kompas, 11 Juli 1998.

-----------Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah, Refika Aditama, Bandung 2009.

-----------Ahmad Kamil dan M. Fauza, Kearah Pembaharuan Hukum Acara Perdata dalam Sema dan Perma, Kencana Prenata Media Group, Jakarta, 2008.

Ascarya dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, Seri Kebanksentralan No.14, Bank Indonesia, Cetakan Pertama, April 2005.

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law-Common Law-Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

-----------Amir Mahmud dan Rukmana, Bank Syari’ah, PT Gelora Aksara Pratama, Surabaya, 2010.Allen, Linda. “ Capital Markets And Institutions “: A Global View.New York, Brisbane,

Singapore : Jhon Wiley & Sons’s, Inc., 1997.Asmon, I.E.” Pemilikan Saham Oleh Karyawan: Suatu Sistem Demokrasi Ekonomi Bagi

Indonesia”, dalam Didik J.Rachbini, ed , Pemikiran Kea rah Demokrasi Ekonomi. Jakarta, LP3ES, 1990.

-----------Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syarian Indonesia, Jakarta, 2005.

Boediono, ”Ekonomi Mikro, seri sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi” No.1, BPFE Yogyakarta, 1987.

Bernadette Waluto. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung : CV Mandar Maju, 1999.

Black and Daniel, “ Money and Bangkok”, Contemporary Pranctices, Politik and Isues Business Publication INC.Plano, Texas 1991.

Beach, Mary E.T.” Developments In Securities Refistration and Prospektus Delivery”. ALI-BABA Course Materiels Journal, February 1997.

Beaver, William H. “ The Nature of Mandated Disclosure”, dalam Richard A. Posner dan Kenneth E.Scott, ed, Economic of Corporation Law and Securities Regulation.Boston, Toronto : Little Brown & Company, 1980.

Black, Henry Campbell.Black’s Law Dictionary, Sixt Edition.ST.Paul. Minn: West Publishing Co, 1990.

Bromberg, Alan R.” Corporate Information: Texas Gulf Sulphur and Its Implications”. South-Western Law Journal, vol 22, 1968.

Bunch, Gary.” Chiarella : The Need For Equal Access Under Section 10(b)”. San Diego Law Review, vol 17, 1980.

Bank Indonesia, Direktorat Perbankan Syariah, Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun 2004.

Bank Indonesia: ”Perekonomian Tahun 2007 Bertambah Baik dengan 8 Syarat”. KOMPAS, Jakarta. 2007.

BPS Provinsi Kalimantan Tengah. “Pemerintah Janji Entaskan 1,5 juta Pengangguran”. CyberNews. Yogyakarta.

Bronkhorst,C; ”L’atat de necessite.In : Netherlands Report, etc.Pescara 1970 (See Bibl.No. 63)pp.341-352.On Necessity.`

Black and Daniel, “ Money and Bangkok”, Contemporary Pranctices, Politik and Isues Business Publication INC.Plano, Texas 1991.

Beaver, William H. “ The Nature of Mandated Disclosure”, dalam Richard A. Posner dan Kenneth E.Scott, ed, Economic of Corporation Law and Securities Regulation.Boston, Toronto : Little Brown & Company, 1980.

Black, Henry Campbell.Black’s Law Dictionary, Sixt Edition.ST.Paul. Minn: West Publishing Co, 1990.

Coffe, Jhon C.Jr.” Market Failure And The Economic Case For A Mandatory Disclosure System”.Virginia Law Review, vol. 70, 1984.

Corgill, Dennis.S.” Insider Trading, Price Signals, and Noisy Information”. Indiana Law Journal, vol. 71, 1996.

Chatamarrassjid. Menyingkap Tabir Perseroan (Pencieng the Corporate Veil).Kapita Selekta Hukum Perusahaan.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Carl, Bernd Kaeblig, Indonesia Intellectual Property Law, First Edition., editor : Gregory J.Churchill, Maret 1993.

Coffe, Jhon C.Jr.” Market Failure And The Economic Case For A Mandatory Disclosure System”.Virginia Law Review, vol. 70, 1984.

Corgill, Dennis.S.” Insider Trading, Price Signals, and Noisy Information”. Indiana Law Journal, vol. 71, 1996.

Dewi Nurul Mustari, Penyelesaian Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah, Parama Publishing, Yogjakarta, 2012.

Davis, Jeffry L.” Disorgement in Insider Trading Cases : A Proposed Rule”. Securities Regulation Law Journal, vol.22, 1994.

Downes, John dan Jordan Elliot Gooman, “ Dictionary of Finance and Investment Term “. Diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo. Jakarta : PT.Elex Media Komputindo, 1991.

David L, Ratner and Thomas Lee Hazen, Securities Regulation Case and Materials (St.Paul Minn : West Publishing, 1991).

-----------E. Suherman. Faillissement (Kepailitan).Bandung : Bina Cipta, 1988.Eisert, Edward G “ Legal Strategis for Avoiding Class Action Law Suit Against Mutual

Funds”. Securities Regulation Law Journal. Vol.24, 1996.Frank E.Vogel And Samuel L.Hayes,III, Kluwer Law International, The HaqueLondon-

Boston, 1998.

Frederic.S.Mishkin, The Economics of Money, Bangking and Financial Market, Sixth Edition, Addison Wesley Longman USA, 2001.

Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.

Freilich, Harold I. dan Ralph S,Janvery.” Understanding’Best Efforts’Of ferings”. Securities Regulation Law Journal, vol .17, 1989.

Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.

Freilich, Harold I. dan Ralph S,Janvery.” Understanding’Best Efforts’Of ferings”.Fischel, Daniel R.” Efficient Capital Markets, The Crash, and the Fraud on the Market

Theory”. Delaware Journal of Corporate Law, vol. 74, 1989.Frederic.S.Mishkin, The Economics of Money, Bangking and Financial Market, Sixth

Edition, Addison Wesley Longman USA, 2001.Goelzer, Daniel L. Esq.” Management’s Discussion and Analysis and Environmental

Disclosure”.Preventive Law Reporter, Summer, 1995.Grossfeld, Berhard.” The Strenght and Weakness of Comparative Law”.Oxford :

Clarendon, Press, 1990.Gilson, Ronald J.dan reiner H. Kraakman.” The Mechanisms of Market Efficiency”.Virginia

Law Journal, vol. 24, 1997.Gunawan Wijaya. ”Aspek Hukum Dalam Bisnis Pemilikan, Pengurusan. Perwakilan dan

Pemberian Kuasa (dalam sudut Pandang KUH Perdata)”. Ed.1, Cet.2 Jakarta: Kencana, 2006.

Gunarto Suhadi. ”Risiko Kriminalitas Kredit Perbankan”. Ed1, Cet.1. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, 2006.

Gallant, Peter.” The Eurobond Market, First Publishied”.New York :New York Institute of Finance, 1988.

Goelzer, Daniel L. Esq.” Management’s Discussion and Analysis and Environmental Disclosure”.Preventive Law Reporter, Summer, 1995.

http://www.mirajnews.com/id/ekonomi/3390-industri-perbankan-syariah-hadapi tantangan-mekonomi-global.html.

-----------http://www.antaranews.com/berita/ 302481/ bi- perbankan- syariah- hadapi- tiga-tantangan.

Hartono, Sunarjati. “ Capita Selecta Perbandingan Hukum”. Alumni (Stensil) Bandung, 1970.

Harzel Leo & Richard Shepro.” Setting the Boundaries for Disclosure”.Delevare Journal of Corporate Law, vol. 74 1989.

------------Iskandar Putong, ”Pengantar Ekonomi: Mikro & Makro”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.

Islamic Development Bank, Islamic Research and Training Institute, Corporate Governance In Islamic Financial Institutions, Occasional Paper No.6,2002.

----------I. Jerry Hoff, Indonesia Bankruptcy Law, editor: Gregory.J, Churchill, Januari 1999.

J. Eggens, In En Uittreden Van Leden Bij Vennoot Schappen Onder Firma, (Praeadvies) untuk Konggres ke 4 Ned Indise Juristen Vereeniging di zaman tahun 1936 di Jakarta : diumumkan dalam lampiran pada T.144.

----------Kartohadiprodjo, Soedirman. “ Hukum Nasional” beberapa catatan, Bina tjipta, 1968,

Koentjaraningrat. “ Rintangan-Rintangan mental dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.” Terbitan tak berkala, seri no. 12, Lembaga Reasearch Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1969.

Kansil, C.S.T. Hukum Perusahaan Indonesia (aspek Hukum Dalam Ekonomi),Jakarta : Pradnya Paramita, 1995.

Kartini Mujadi. Hakim Pengawas dan Kurator dalam Kepailitan dan dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Newslleter No. 33 Tahun IX, Jakarta : Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 1998.

Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafe’I Antonio, “Apa dan Bagaimana Bank Islam”, PT.Dara Bhakti Prima Yasa Yogyakarta, 1992.

Karmel, Roberta S.” Is the Shingle Theory Dead”.Washington & Lee Law Review, vol 52, 1995.

John C. Coffee, Jr.1.”Market Faklure and the Economic Case for A Man datory Disclosure System, Virginia Law Review, (Vol 79, 1984), hal. 721-722.

Kaligis, OC dan Associates. ”The Politicization of The Nation B anking Case”. Jakarta : OC. Kaligis dan Associates, 2006.

Karmel, Roberta S.” Is the Shingle Theory Dead”.Washington & Lee Law Review, vol 52, 1995.

Koesnadi Hardjasoemantri. “Hukum Tata Lingkungan. Edisi ke.7.Cet. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafe’I Antonio, “Apa dan Bagaimana Bank Islam”, PT.Dara Bhakti Prima Yasa Yogyakarta, 1992., Kasmir, “ Bank dan Lembaga Keuangan lainnya”, Pt.Raja Grafindo, Jakarta, 1997.

Lynn A. Stout, Op.cit, hal 615.lihat juga Marvin G. Pickholz dan Edwar B.Horahan III, “The SEC’s Version of the Efficient Market Theory and Its Impact on Securities Law Liabilities”,Washington and Lee Law Review.(Vo;.39, 1982).

Marc I. Steinberg, I. Understanding Securities Law, Second Edition, (New York, San Fransisco : Matthew Bender & Co.Inc, (1996).

Muhammad Al-Bashir Muhammad Al-Amine, Istisna (Manufacturing Contract) In Islamic Banking and Finance, Law and Practice, A.S.Noordeen, Kuala Lumpur, 2000.

M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid.8 : Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pebayaran. Jakarta : PT. Djambatan, 1992.

Martiman Prodjohamidjo. Proses Kepailitan menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. I Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, Bandung : CV Mandar Maju, 1999.

M. Polak, Handboek voor het Ned. Handels-en Faillis-sementsrecht. Jilid I, cetakan ke 5, cetakan ke 4 dan cetakan ke 3.Disingkat dengan Polak I(5), Polak I(4) dan Polak I(3) , cetakan ke 3 ini adalah yang masih paling cocok dengan KUHD.

Muhammad Syafe’I Antonio,”Bank Syariah”, dari Teori kePraktik, Gema Insani, 2001.Nsngoi, Ronald.Peningkatan Produktifitas Organisasi Perusahaan, Analisis Nomor 3 Vol.

15 Maret 1986,p.232-239.N. Lapolwa dan Daniel S. Kuswandi, “ Akuntansi Bank”, Lembaga Pengembangan

Perbankan Indonesia, Jakarta, 1993.Paul A. Samuelson & William D. Nordhaus, ”Economics, fourteenth edition”, Mg Graw-

Hill International editions, 1992.Pa-jakartatimur.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=317: dikotomi-

penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah&catid=62:artikel.

Proyeksi Bank Dunia “pertumbuhan ekonomi Indonesia 2007 sebesar 6,3 persen dan 6,5 persen pada 2008”. ANTARA News. Jakarta, 11 april 2007.

Parwoto Wignjosumarto, Tugas dan Wewenang Hakum Pemeriksa/Pemutus Perkara Hakim Pengawas dan Kuratir/Pengurus, Juli 2001.

Retnowulan Sutantio. Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan. Jakarta : Mahkamah Agung RI, 1996.

Rachmadi Usman. Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah. Jakarta : PT. Djambatan, 1998.

---------Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

---------Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

R.M. Mac Iver dan Charles H.Page. “ Society an Introductory analysis.” Mac Millian & Co,Ltd.London, 1961, hal 213.

----------Subekti. Hukum Perjanjian.Jakarta : Internusa, 1980.Sudin Haron, Bala Shanmugam, Islamic Banking System-Concepts & Applications,

Pelanduk Publications, Malaysia, 1997.

Sudin Haron, Islamic Banking-Rules & Regulations, Pelanduk Publications, Malaysia, 1997.

Subekti dan R Tjitrosudibio. KUH Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, terjemahan Wetboek van Koophandel en Faillissementsverodening. Jakarta : Pradnya Paramita, 1982.

Sukrisno, “ Perencanaan Strategis Bank”, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Jakarta 1992.

Suyud Margono, ”Hukum Perusahaan Indonesia: Catatan Atas Undang-Undang PerseroanTerbatas”. Cet. 1. Jakarta : Novindo Pustaka Mandiri, 2008.

Ramlan Ginting. ”Letter Of Credit : Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis”.Jakarta : Universitas Trisakti, 2007.

Sudin Haron, Bala Shanmugam, Islamic Banking System-Concepts & Applications, Pelanduk Publications, Malaysia, 1997.

Sudin Haron, Islamic Banking-Rules & Regulations, Pelanduk Publications, Malaysia, 1997.

Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi : Pembahasan Dilengkapi dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007, tentang Penanaman Modal”.Cet.1.Bandung : Nuasa Aulia, 2007.

Star Nauta Carsten, C- Verwer, J. ” Proe Advies Derde Juristen Conggres”. Di Jakarta disertai Verwer J 1934. De Bataviasche Gronthuur, Een Europeesch Gewoonterechtelijke Opstalfiguur.NV.Drukkerij J.de Boer, Tegal, 1934.

Sadono Sukirno, ”Pengantar Teori Mikroekonomi”, Edisi ketiga, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2002.

Syahrir, Tinjauan Pasar Modal, (jakarta :PT.Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal 292-293. Justarian Naiborhu, “Perilaku Investor dalam Membeli Saham :Berlakukah Fundamental Analysis?” dalam syarir dan Marzuki Usman,ed,Op.cit.

Soediyono Reksoprayitno, ”Ekonomi Makro: analisis IS-LM dan permintaan-penawaran agregatif”, Liberty, Yogyakarta, 2000.

Ter Haar, Bzn.B. “ Beginselen En Stelsel Van Het Adar Recht”. J.B. Woters Groningen. Jakarta, 1950.

Thomas Suryono DKK, “ Kelembagaan Perbankan”, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1998.Tirole, Jean. The Theory of Industrial Organisasi.USA Masachusetts Institute of

Technology, 1989.----------Treuman, Walter et al.US Busness Law, 2nd Verlag Otto Schmidi KG Koeln, 1990.----------Wirjono Prodjodikoro. Azasazas Hukum Perjanjian.Bandung: Sumur, 1993.-------------www. investorindonesia. com, 12/11/2007, 17:08:06 WIB Whittaker, David. J. ”Terorits and Terorism : In The Contemporary world”. Singapore :

ISEAS, 2006.Zainal Asikin. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia. Jakarta : PT

Rajagrafindo Persada, 2001.