Upload
aldila-kurnia-p
View
217
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
DBD
Citation preview
BAB 1. LATAR BELAKANG
1.1 Latar Belakang
Penyakit demam berdarah (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan
oleh infeksi virus dengue, yang terdiri dari empat tipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN
3, DEN 4, dan ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegyti dan Aedes
albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue. Kejadian luar
biasa (KLB) pertama penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Asia ditemukan
di Manila pada tahun 1954 dan wabah demam berdarah masuk ke Indonesia pada
tahun 1968 yaitu di Surabaya dan Jakarta. Pada pengamatan selama kurun waktu
20 sampai 25 tahun sejak awal ditemukannya kasus DBD, kejadian luar biasa
penyakit ini diperkirakan terjadi setiap lima tahun dengan angka kematian
terbanyak terjadi pada anak-anak.
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, data penderita DBD
Jawa Timur pada tahun 2010 mencapai 25.762 orang dan yang meninggal
sebanyak 230 orang. Pada tahun 2011 jumlah kasus meninggal akibat penyakit
demam berdarah di provinsi Jawa Timur sejumlah 65 orang. Pada tahun 2012,
penderita DBD mencapai 8.258 dan yang meninggal sebanyak 120 orang. Hingga
tahun 2013 sebanyak 13.033 orang dan yang mati sebanyak 117 orang (Dinkes
Jawa Timur, 2013). Data tersebut menunjukkan adanya jumlah penderita yang
fluktuatif yakni dengan puncak serangan pada tahun 2010.
Beberapa kota di Jawa Timur yang kerap terjadi insiden DBD Kota
Surabaya, Kabupaten Kediri, Kota Sumenep serta Kota Jember. Pada wilayah
Jember pada tahun 2011, insiden DBD sebesar 3,21 per 1000 penduduk dengan
jumlah kasus sebesar 77. Insiden DBD mengalami penurunan dibandingkan pada
tahun 2007, dimana insidensinya sebesar 0,52 per 1000 penduduk dengan jumlah
kasus sebesar 1.214 dan tahun 2008 yang insidensinya sebesar 0,34 per 1000
penduduk dengan jumlah kasus sebesar 780 (Depkes, tanpa tahun). Pada wilayah
Kabupaten Jember, daerah endemik penyakit DBD yang patut diwaspadai,
1
menurut Dokter Burhan ada di lima kecamatan. Untuk wilayah kota ada di
Kecamatan Sumbersari dan Kecamatan Kaliwates. Sedang tiga lainnya meliputi
Kecamatan Wuluhan, Puger dan Kecamatan Balung.
Saat ini penanganan kasus DBD sudah mengalami beberapa penurunan.
Hal ini dikarenakan adanya penurunan jumlah kasus sesuai data diatas. Namun
demikian, penanganan terutama pencegahan DBD harus tetap dilakukan oelh
masyarakat maupun pemerintah. Hal ini dikarenakan masih banyak masyarakat
yang tidak mematuhi cara pencegahan DBD secara berkelanjutan. Maka dari itu
harus terdapat inovasi pencegahan DBD sehingga data penurunan kasus
khususnya di Jember ini bisa berkurang. Misalnya dengan melakukan inovasi baru
dari program sebelumnya yakni pencegahan dengan menggunakan 3M.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Meningkatkan upaya program pencegahab DBD.
b. Tujuan Khusus
1. Membentuk Gerakan Masyarakat Peduli dan Memerangi DBD (Gema
Perang DBD);
2. Membentuk kader terlatih untuk program Gerakan Masyarakat Peduli
dan Memerangi DBD (Gema Perang DBD).
1.3 Manfaat
a. Untuk Mahasiswa
Manfaat untuk mahasiswa adalah untuk mengaplikasikan kompetensi
keilmuan analisis manajemen layanan kesehatan
b. Untuk masyarakat
Adapun manfaat untuk masyarakat adalah:
1. dapat menanggulangi wabah penyakit DBD;
2. mempermudah masyarakat dalam menjangkau pelayanan kesehatan;
3. membantu masyarakat mengenali penyakit DBD;
4. menjadikan masyarakat mandiri dan memiliki status kesehatan baik.
2
c. Untuk pemerintah
Manfaat untuk pemerintah adalah sebagai berikut:
1. membantu pemerintah untuk melakukan deteksi, pencatatan, dan
pelaporan kasus demam berdarah dengue.
2. Membantu pemerintah untuk menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas dari DBD.
3
BAB 2. PENGKAJIAN
2.1 Gambaran umum dan perilaku penduduk
1. Keadaan penduduk
Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah
penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah
ini terdiri atas 132.240.055 laki-laki dan 127.700.802 perempuan. Selain itu,
persebaran kependudukan di indonesia berdasarkan luas pulau-pulau besarnya,
yaitu:
1. Pulau Sumatera dengan luas 25,2% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 21,3% dari total penduduk;
2. Pulau Jawa dengan luas 6,8% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 57,5% dari total penduduk;
3. Pulau Kalimantan dengan luas 28,5% dari total luas wilayah Indonesia
memiliki penduduk sebesar 7,3% dari total penduduk;
4. Pulau Sulawesi dengan luas 9,9% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 7,3% dari total penduduk;
5. Pulau Maluku dengan luas 4,1% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 1,1% dari total penduduk;
6. Pulau Papua dengan luas 21,8% dari total luas wilayah Indonesia memiliki
penduduk sebesar 1,5% dari total penduduk (BPS, 2010).
Secara geografis, Kabupaten Jember terletak di Provinsi Jawa Timur
dengan luas wilayah 3.293,34 km2. Di sebelah utara, Kabupaten Jember
berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso, di sebelah selatan dengan Samudera
Indonesia, di sebelah barat dengan Kabupaten Lumajang, dan di sebelah timur
dengan Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Jember terdiri dari 3 kecamatan kota
dengan 22 Kelurahan; dan 28 kecamatan desa dengan 225 desa. Dari segi
topografi, sebagian Kabupaten Jember di bagian selatan merupakan dataran
rendah yang relatif subur untuk tanaman pangan, sedangkan di bagian utara
merupakan daerah perbukitan dan bergunung-gunung yang relatif baik bagi
pengembangan tanaman.
4
2. Keadaan Ekonomi
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2012 mencapai 28,59 juta
orang (11,66 persen) dan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada
Maret 2012 , maka selama enam bulan tersebut terjadi penurunan jumlah
penduduk miskin sebesar 0,54 juta orang (BPS, 2013). Berdasarkan daerah tempat
tinggal, pada periode Maret 2012–September 2012, baik penduduk miskin di
daerah perkotaan maupun perdesaan sama-sama mengalami penurunan, yaitu
masing-masing turun sebesar 0,18 persen (0,14 juta orang) dan 0,42 persen (0,40
juta orang) (BPS, 2013).
Tumbuh dan berkembangnya suatu daerah akan banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor internal dan eksternal, salah satunya adalah faktor perekonomian.
Kegiatan ekonomi di suatu daerah dapat mempengaruhi perkembangan daerah.
Salah satunya adalah sector pertanian. Kondisi ini juga terjadi di Jember dimana
sektor pertanian baik pertanian tanaman pangan. Gambaran tersebut
memperlihatkan bahwa perekonomian kota Jember masih dipengaruhi oleh
kegiatan pertanian.
3. Keadaan pendidikan
Fasilitas pendidikan di Kabupaten Jember meliputi TK, SD, SLTP,
SLTA dan Perguruan tinggi. Fasilitas-fasilitas pendidikan ini telah tersebar secara
merata di wilayah Kabupaten Jember. Dan jumlah fasilitas pendidikannya sendiri
semakin mengecil sejalan dengan semakin tingginya tingkat pendidikan
Di kabupaten Jember terdapat beberapa perguruan tinggi baik negeri
maupun swasta, diantaranya Universitas Jember, Universitas Muhammadyah
Jember, Politeknik Negeri Jember, STAIN, STIE Mandala dan lain-lain yang ada
di kabupaten Jember.
Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, Jember
memiliki jumlah penduduk yang melek huruf pada tahun 2011 sebesar 13,80
persen dengan penduduk laki-laki yang melek huruf sebesar 14,27 persen dan
5
penduduk perempuan yang melek huruf sebesar 13,36 persen. (Depkes, tanpa
tahun)
4. Keadaan Kesehatan Lingkungan
Kabupaten Jember merupakan daerah di Jawa Timur dengan penduduk
dengan jumlah penduduk yang tinggi. Kabupaten Jember menempati urutan ketiga
dalam hal jumlah penduduk setelah kota Surabaya dan Malang Raya.
Pengembangan prasarana dasar di Kabupaten Jember adalah
pengembangan sistem setempat secara komunal untuk limbah rumah tangga,
perbaikan dan peningkatan jumlah sarana sanitasi dan program penyuluhan
mengenai sanitasi (Dhokhikah, 2007 dalam Mediawati, 2011). Oleh karena itu,
pemerintah Kabupaten Jember berupaya untuk mengatasi masalah kesehatan
lingkungan melalui program pemerintah dalam bidang pengelolaan lingkungan
seperti pengelolaan sampah, perbaikan saluran drainase dan pembangunan
fasilitas MCK umum.
5. Keadaan Perilaku Masyarakat
Kabupaten Jember merupakan suatu daerah di Jawa Timur dengan
mayoritas penduduknya adalah suku Jawa dan Madura. Pekerjaan mayoritas
masyarakat kabupaten Jember adalah bertani. Masyarakat Jember yang notabene
adalah petani dan pekebun, merupakan suatu kondisi ataupun situasi yang
memerlukan suatu tindakan preventif dalam pelaksanaan aktivitasya
Sumbersari adalah salah satu kecamatan di kabupaten Jember yang
merupakan daerah perkotaan. Dari catatan medis jumlah penderita demam
berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari pada tahun 2009 dari
bulan Januari – Desember dengan jumlah total kasus sebanyak 110 orang,
penderita tersebut menyebar di 5 kelurahan yaitu kelurahan Sumbersari 78 orang,
Tegalgede 23 orang, Wirolegi 6 orang, Karangrejo 3 orang, dan di tidak terdapat
penderita di kecamatan antirogo.
Salah satu penyebab terjadinya kejadian diatas adalah kurang sadarnya
masyarakat menjaga lingkungan. Masyarakat di kecamatan Sumbersari masih
banyak yang membuang sampah di sungai. Misalnya sungai Bedadung. Keadaan
6
sungai ini kotor, banyak sampah di pinggiran sungai. Selain itu, kurangnya
pengetahuan masyarakat terkait demam berdarah serta kurangnya kepedulian
masyarakat dalam pembersihan sarang nyamuk juga merupakan penyebab dari
kejadian demam bedarah.
2.2 Situasi derajat kesehatan
1. Mortalitas
Pada tahun 2004 terjadi KLB DBD di Indonesia. Pemerintah melalui
Departemen Kesehatan dalam press release tanggal 16 Februari 2004, menetapkan
bahwa telah terjadi KLB di Indonesia dan ditetapkan 12 propinsi sebagai propinsi
KLB, sementara itu Kalimantan Tengah dan 8 delapan propinsi lainnya
ditetapkan sebagai propinsi dengan peningkatan kasus.
Pada tahun 2007 jumlah kasus demam berdarah dengue adalah sebnyak
158.115 kasusu dengan jumlah kematian 1.559 kasus kematian penduduk
Indonesia dengan nilai prosentase Jawa Timur adalah 1,43%. Case Fatality Rate
(CFR) pada tahun 2007 sebessar 1,01%. CFR DBD pada tahun 2003 berfluktuasi,
namun dalam dua tahun terakhr cenderung menurun.(depkes, 2007).
Pada tahun 2011 menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
jumlah kasus meninggal akibat penyakit demam berdarah di provinsi Jawa Timur
sejumlah 62 orang dari total kasus 5.372.
2. Morbiditas
Indonesia masih memiliki peningkatan transisi epidemiologi yang
menyebabkan beban ganda (double burden) yang dihadapkan pada penyakit
infeksi (baik re-emerging maupun new emerging) dan gizi kurang, serta
meningkatnya penyakit non infeksi dan degeneratif. Apabila morbiditas terjadi
pada kelompok usia produktif, maka akan mempengaruhi produktivitas dan
pendapatan keluarga yang dapat mempengaruhi status ekonomi dan peningkatan
kemiskinan.
7
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat diperoleh dari
laporan pada sarana pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun di
puskesmas melalui pencatatan dan pelaporan maupun dari community based data
dari hasil pengamatan (surveilance). Berdasarkan pengamatan penyakit
brpotensial KLB dan penyakit tidak menular yang diamati di Puskesmas dan
Rumah Sakit sentinel yang merupakan gardu pandang suatu pola dan trend
penyakit didapatkan 10 besar kunjungan kasus sebagai berikut (Depkes, tanpa
tahun)
Tabel 1. Penyakit terbanyak di Rumah Sakit Sentinel
di Provinsi Jawa Timur 2008-2011
NoTahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010Penyakit % Penyakit % Penyakit %
1. Diare 33,06 Diare 21,58 Diare 19,762. DBD 23,75 DBD 14,15 DBD 18,753. Demam dengue 8,38 Kecelakaan
lalu lintas11,57 Kecelakaan lalu
lintas9,60
4. Pneumonia 6,70 TBC paru BTA (+)
5,43 Demam dengue 6,04
5. TBC paru BTA (+)
6,47 Pneumonia 5,05 Hipertensi esensial
4,89
6. Tifus perut klinis
5,45 Hipertensi esensial
4,20 TBC paru BTA (+)
4,21
7. Hepatitis klinis 3,06 Demam dengue
4,12 Pneumonia 4,04
8. Tersangka TBC paru
2,69 DM YTT 3,93 DM YTT 3,11
9. Tetanus 1,99 Tifus perut klinis
3,36 Tifus perut widal (-)
2,999
10. Influenza 0,82 Tifus perut widal (-)
3,35 DM tak bergantung
2,81
insulinSumber: Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010
Tabel diatas menunjukkan kejadian DBD masih tinggi di provinsi Jawa
Timur. DBD menempati urutan kedua setelah diare. Hal ini menunjukkan keadaan
lingkungan di provinsi jawa timur masih menjadi favorit nyamuk untuk bersarang.
Pada tahun 2011, insiden DBD di jember sebesar 3,21 per 1000 penduduk dengan
jumlah kasus sebesar 77. Insiden DBD mengalami penurunan dibandingkan pada
8
tahun 2007 yang insidensinya sebesar 0,52 per 1000 penduduk dengan jumlah
kasus sebesar 1.214 dan tahun 2008 yang insidensinya sebesar 0,34 per 1000
penduduk dengan jumlah kasus sebesar 780 (Depkes, tanpa tahun).
3. Dampak kesehatan akibat penyakit
Demam berdarah adalah penyakit yang diakibatkan oleh gigitan nyamuk.
Lingkungan yang kurang bersih adalah tempat bersarang nyamuk. Demam
berdarah merupakan penyakit yang mematikan, karena demam berdarah bisa
mengakibatkan panas yang tinggi, pendarahan dan gangguan sirkulasi darah.
Demam berdarah bisa mengakibatkan kematian jika tidak segera mendapatkan
pertolongan dari pihak kesehatan.
2.3 Situasi upaya kesehatan
1. Pelayanan kesehatan dasar
Di kabupaten Jember yaitu meliputi Puskesmas dengan jumlah 49 buah,
Puskesmas Pembantu 131 buah, Puskesmas Keliling 28 buah, dan Posyandu 2.755
buah.
2. Pelayanan kesehatan rujukan
Rumah sakit Dr. Soebandi Jember merupakan rumah sakit rujukan untuk
penyakit demam berdarah yang merupakan rumah sakit tipe B yang ditetapkan
sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1162/Menkes/SK/IX/1992. Rumah
sakit Dr. Soebandi Jember merupakan rumah sakit rujukan utama di jawa timur
bagian timur yang meliputi kabupaten Jember, kabupaten Banyuwangi, kabupaten
Bondowoso, kabupaten Situbondo dan kabupaten Lumajang.
3. Pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat
Bentuk jaminan pemeliharaan kesehatan prabayar yang sampai saat ini
dikenal masyarakat antara lain kartu sehat, dana sehat, tabulin, jamkesmas, askes,
jamsostek sampai asuransi kesehatan swasta. Namun kesadaran masyarakat untuk
mengikuti sistem prabayar ini masih rendah. Sampai dengan tahun 2010 jumlah
peserta jaminan kesehatan pra bayar di Jawa Timur sebanyak 15.414.714 orang
atau mencapai 40,54% dari jumlah penduduk Jawa Timur. Sebagian besar peserta
9
jaminan kesehatan pra bayar adalah peserta Jamkesmas (67,73%) dan Askes
(15,52%) (Dinkes Prov.Jawa Timur: 2010).
Pada tahun 2010 pemegang kartu Jamkesmas di Jember berjumlah
382.229 orang, sedang penerima Jamkesda 13.061 orang dan pada tahun 2011
pemegang Jamkesmas meningkat menjadi 395.360 orang dan Jamkesda menjadi
33.061 orang.
4. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Upaya pencagahan dan pemberantasan penyakit demam berdarah telah
dilakukan oleh pemerintah dengan cara 3M yaitu menguras, menutup dan
mengubur barang bekas dan dengan fogging. Tapi keadaan penyakit DBD di jawa
timur masih tinggi, yaitu urutan kedua setelah diare. Ini menunjukkan bahwa
masyarakat kurang berpartisipasi dalam program yang telah ada.
2.4 Situasi sumber daya kesehatan
1. Sarana kesehatan
Kabupaten Jember memiliki 31 kecamatan dan memiliki 49 Puskesmas
yang tersebar di 31 kecamatan di kabupaten Jember. pada tahun 2011, jumlah
polindes belum terdata, jumlah posyandu sebesar 2.819 buah, dan jumlah pustu
tidak terdata.
Terdapat beberapa rumah sakit di kabupaten Jember, baik rumah sakit
pemerintah maupun swasta. Diantaranya RS dr. Soebandi, RS. Bina Sehat, Rumah
Sakit Jember Klinik, Rumah Sakit Kaliwates, RSD Balung dan lain-lain yang ada
di daerah kabupaten Jember.
2. Tenaga Kesehatan
Berdasarkan database kesehatan per kabupaten dari Kemenkes RI, tenaga
kesehatan yang tersedia di Jember berupa tenaga medis, perawat dan bidan, tenaga
farmasi, tenaga gizi, tenaga teknisi medis, tenaga sanitasi, tenaga kesmas, dan
dokter gigi. Berikut ini merupakan daftar tenaga kesehatan yang ada di Jember
(Dinkes, 2011).
Tabel 2. Jumlah tenaga kesehatan Kabupaten Jember
10
No. Jenis tenaga kesehatanTahun
2007 20081. Tenaga medis 102 3912. Perawat dan bidan 618 15003. Tenaga farmasi 22 1434. Tenaga gizi 14 565. Tenaga teknisi medis 9 26. Tenaga sanitas 22 347. Tenaga kesmas 1 148. Dokter gigi - 114
Sumber: database kesehatan per kabupaten Kemenkes RI
3. Pembiayaan Kesehatan
Kebanyakan masyarakat Jember dalam pembiayaan kesehatan lebih
condong dalam penggunaan JAMKESMAS atau asuransi kesehatan saat
mengunjungi pelayanan kesehatan. Hal ini dikarenakan garis kemiskinan di
Jember yang masih tinggi. Dalam penggunaan pelayanaan kesehatan juga masih
banyak warga Jember yang menggunakan surat keterangan miskin untuk
mengakses layanan kesehatan. Selain itu, sebanyak 3% menggunakan Jamkesda
(Jaminan Kesehatan Daerah), sebanyak 8% menggunakan Askes (Ansuransi
Kesehatan), sebanyak 2% menggunakan Jamsostek. Selain itu pembiayaan
kesehatan bisa didapatkan dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK).
2.5 Perbandingan Indonesia dengan negara anggota ASEAN dan SEARO
1. Kependudukan
Perbandingan beberapa data kependudukan negara Indonesia dengan
negara anggota ASEAN dan SEARO yaitu jumlah penduduk (juta jiwa)
pertengahan tahun 2012 adalah 238,2 juta jiwa (hasil sensus penduduk tahun
2010: 237,6 juta jiwa).
Indonesia menduduki peringkat ke dua dari jumlah 18 anggota ASEAN
dan SAERO yang meliputi Brunei Darussalam sebanyak 0,4 juta jiwa; Filifina
sebanyak 95,7 juta jiwa; Kamboja 14,7 juta jiwa; Laos 6,3 juta jiwa, Malaysia
28,9 juta jiwa, Singapura 5,2 juta jiwa; Vietnam 87,9 juta jiwa ; Myanmar 54,0
juta jiwa; Thailand 69,5 juta jiwa; Bangladesh 150,7 juta jiwa; Bhutan 0,7 juta
11
jiwa; India 1241,3 juta jiwa; Korea Utara 24,5 juta jiwa; Maladewa 0,3 juta jiwa;
Nepal 30,5 juta jiwa; Sri Langka 20,9 juta jiwa; dan Timor Leste 1,2 juta jiwa.
2. Derajat Kesehatan
Pada tahun 2007 angka kematian bayi di lima negara ASEAN yaitu
Singapura, Brunei Darussalam, Malysia, Vietnam, dan Thailand termasuk negara
dengan angka kematian bayi rendah. 2 negara yaitu Filifina dan Indonesia
termasuk kelompok sedang. Sedangkan 3 negara lainnya masukdalam kelompok
negara yang memiliki angka kematian bayi tinggi. Tidak ada negara yang masuk
ke dalam kelompok anggka kematian bayi sangat tinggi (.100 per 1000 kelahiran
hidup).
Berdasarkan klasifikasi yang sama maka 2 negara di SEARO, yaitu Sri
Lngka dan Thailand masuk dalam kategori negara dengan angka kematian bayi
rendah, 5 kategori sedang dan sisanya, yaitu 4 termasuk kategori tingi.
Berdasarkan angka kematian bayi di negara-negara ASEAN dan SEARO
antara 2,4 dan 88 . Indonesia memilki angka kematian bayi 34 per 1000 kelahiran
hidup dan berada di peringkayt 10 di antara 18 negara tersebut.
3. Upaya kesehatan
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi presentase KB aktif pada
PUS pada tahun 2011 Brunei Darrussalam dan Malaysia sebanyak 0%, Filifina
sebanyak 34%, Kamboja 35%, Laos 29%, Singapura 55%%, Vietnam 68%,
Myanmar 38%, Thailand 77%, Bangladesh 48, Bhutan 65%, India 47%, Korea
Utara 58%, Maladewa 27%, Nepal 44%, Sri Langka 53%, Timor Leste 21%, dan
Indonesia mempunyai presentase KB aktif pada PUS yaitu sebanyak 57%.
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi pemeriksaan antenatal pada
tahun 2000 samapi 2010 yaitu Brunei Darrussalam, Malaysia, Singapura, Laos
dan Bhutan adalah sebanyak 0%, Filifina sebanyak 78%, Kamboja 27%, Vietnam
29%, Myanmar 43, Thailand 80%, Bangladesh 21, India 50%, Korea Utara 95%,
Maladewa 27%, Nepal 29%, Sri Langka 93%, Timor Leste 55%, dan Indonesia
mempunyai presentase pemeriksaan antenatal yaitu sebanyak 82%.
12
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi presentase persalianan oleh
tenaga kesehatan pada tahun 2011 Brunei Darrussalam 100%, Malaysia sebanyak
62%, Filifina sebanyak 44%, Kamboja 20%, Laos 100%, Singapura 100%,
Vietnam 88%, Myanmar 37%, Thailand 99%, Bangladesh 18%, Bhutan 72%,
India 47%, Korea Utara 97%, Maladewa 95%, Nepal 19%, Sri Langka 99%,
Timor Leste 30%, dan Indonesia mempunyai presentase persalinan oleh tenaga
kesehatan yaitu sebanyak 73%.
Perbandingan upaya kesehatan di negara Indonesia dengan ASEAN dan
SEARO pada tahun 2000 sampai 2010 yang meliputi anak dengan ASI eksklusif
(6 bulan) pada tahun 2000 sampai 2012 yaitu Brunei Darrussalam, Singapura,
Malaysia adalah sebanyak 0%, Filifina sebanyak 34%, Kamboja 34%, Laos 66%,
Singapura 26%, Vietnam 17%, Myanmar 31, Thailand 15%, Bangladesh 43,
Bhutan 10%, India 46%, Korea Utara 65%, Maladewa 48%, Nepal 53%, Sri
Langka 76%, Timor Leste 52%, dan Indonesia mempunyai presentase anak
dengan ASI eksklusif (6 bulan)yaitu sebanyak 32%.
2.6 Analisa Situasi
1. Perencanaan
Program pemerintah untuk memberantas DBD adalah dengan membunuh
nyamuk dewasa dengan pengasapan dan dengan 3M. Pemerintah berupaya untuk
mengatasi masalah DBD ini melalui pencegahan yang terbukti efektif untuk
memberantas sarang nyamuk, yaitu dengan membentuk program P2DBD, yaitu
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Program PSN ini merupakan program
prioritas pemerintah yang berbasis masyarakat dan dilaksanakan oleh
masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Hal ini dikarenakan
wabah DBD dipengaruhi oleh lingkungan sehingga pelibatan masyarakat dalam
pemberantasan sarang nyamuk diharapkan dapat menurunkan kasus DBD.
Program PSN ini awalnya direncanakan untuk periode 2005-2010 melalui
Gerakan Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (Gertak PSN). Tujuan dari
pembentukan PSN ini yaitu meningkatkan kesadaran dan kemauan hidup sehat
13
bagi setiap masyarakat agar terhindar dari penyakit DBD melalui terciptanya
masyarakat yang hidup dengan perilaku dan lingkungan yang sehat terbebas dari
penyakit DBD, serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu dan merata (Depkes RI, 2004). Tujuan khusus yang
ditetapkan oleh Depkes RI (2004), yaitu:
1. Menurunnya angka insiden kasus DBD sebesar 20/100.000 penduduk di
daerah endemis
2. Dicapainya penurunan insiden kasus DBD sebesar 5/100.000 penduduk pada
tahun 2010.
3. Tercapainya angka bebas jentik > 95%
4. Tercapainya angka kematian DBD < 1%
5. Daerah KLB DBD < 5%
Kegiatan PSN yang dapat dilakukan meliputi gerakan 3M plus,
pemeriksaan jentik berkala oleh petugas jumantik, dan abatisasi. Contoh anggaran
yang ditulis oleh Depkes RI (2005) untuk sasaran per desa/kelurahan per 100
sampel, yaitu:
Tabel 3. Contoh analisis satuan harga tahun 2005
Kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
No. Uraian volume Satuan Satuan harga (Rp)
Jumlah biaya (Rp)
1. Pemeriksaan jentik berkala:
1. Gaji/upaha. Petugas: 100/20 rmh x 4
klb. Kepala regu: 100/100
rmh x 4 kl2. Bahan3. Perj. Pengawasan
teknis ops. Kab.a. Petugas puskesmas: 1 or
x 1 klb. Petugas kabupaten: 1 or
x 1 kl
20
4
1
1
1
OH
OH
PT
OH
OH
20.000
25.000
75.000
50.000
75.000
400.000
100.000
75.000
50.000
75.000
14
Jumlah 700.000
Untuk di wilayah Jember sendiri, penggalakan program PSN melalui
penyebaran JUMANTIK sebanyak 2.819 relawan selama musim hujan (Antara
News, 2009). Penyebaran jumantik ini bertujuan untuk mengajak masyarakat
melakukan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di setiap wilayah
RT/RW dengan membentuk kegiatan “Jumat Bersih”. Meskipun demikian,
penyebaran petugas jumantik belum dapat memberikan hasil yang optimal. Hal ini
diakibatkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat dalam melakukan PSN.
Terbukti dengan adanya sanitasi lingkungan yang buruk sehingga menyebabkan
peningkatan sarang nyamuk. Program selama ini yang sebenarnya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat justru belum berjalan dengan optimal akibat
kurangnya kesadaran masyarakat mengenai lingkungan sehat.
2. Pengorganisasian
Sistem administratif dalam upaya pengendalian DBD di Indonesia berada
di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasiona (Bappenas) yang bekerja
sama dengan Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen P2PL) dan Departemen Kesehatan RI (Depkes RI).
Penanggulangan wabah DBD ini dimonitoring langsung oleh sub unit Ditjen
P2PL, yaitu unit penanggulangan penyakit menular akibat binatang. Unit ini akan
bekerjasama dengan perusahaan pemberantasan hama untuk memberantas hama
dengan menggunakan pestisida hygiene lingkungan.
Untuk di Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, program pengendalian
DBD dipegang oleh bagian Bidang Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan yang menaungi Puskesmas pada sub unit Pemberantasan Penyakit
Menular (P2M). Selain itu, Dinkes Kabupaten Jember juga membawahi rumah
sakit pemerintah dan rumah sakit swasta dalam rangka pengendalian DBD, serta
unit pelayanan kesehatan lain, seperti Balai Pengobatan, Poliklinik, dokter praktek
swasta, dan lain sebagainya.
15
Akan tetapi, pengorganisasian untuk penanggulangan DBD selama ini
kurang melibatkan TOGA dan TOMA. Selama ini, penjalanan program hanya
melibatkan sektor swasta/dunia usaha, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang
memiliki komitmen dalam penanggulangan penyakit. Masyarakat Jember yang
cenderung lebih menghormati TOGA dan TOMA seharusnya dapat terlibat dalam
program P2-DBD ini. Kemitraan bersama TOGA dan TOMA diharapkan mampu
menggerakkan masyarakat dalam penyehatan lingkungan, khususnya untuk
menanggulangi wabah DBD.
3. Pengarahan
Pengorganisasian mengenai upaya pengendalian DBD di Indonesia
berfokus pada sistem desentralisasi. Optimalisasi pendelegasian wewenang
pengelola program kepada kabupaten/kota karena angka kesakitan akibat DBD
bervariasi antar daerah masing-masing akibat perbedaan situasi dan kondisi
wilayah. Pengoordinasian pengendalian DBD meliputi koordinasi antar
pemerintah daerah karena penyebaran DBD tidak mengenal batas daerah. Bentuk
koordinasi antar pemerintah daerah meliputi pencegahan dan penanggulangan,
serta tular-menukar informasi (cross notification).
Selain berfokus pada pemerintah daerah dan instansi kesehatan daerah,
pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam
pencegahan dan penanggulangan DBD merupakan kunci keberhasilan program.
Untuk itu, pemberdayaan masyarakat dalam dilakukan melalui KIE, sosial
marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya yang
dilakukan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai sarana dan
media massa. Namun upaya pemberantasan DBD tidak hanya berfokus pada
sektor kesehatan, tetapi juga perlu melibatkan kemitraan melalui identifikasi
stake-holder untuk memadukan berbagai sumber daya yang tersedia.
Selain itu, perlunya pengadaan kemitraan bersama sektor terkait, yaitu
swasta/dunia usaha, LSM, dan organisasi kemasyarakatan yang komitmen dalam
penanggulangan DBD bersama kepala wilayah/pemerintah daerah untuk
menerapkan pembangunan yang berwawasan bebas penularan penyakit.
16
Hal ini juga perlu pemberdayaan SDM bidang kesehatan, berupa tenaga kesehatan
RS dan Puskesmas untuk mampu meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam
rangka penurunan angka kematian akibat DBD.
4. Pengawasan
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian penyakit DBD dilakukan
secarta bertingkat, yaitu tingkat kota/kabupaten oleh wali kota/bupati, tingkat
kecamatan oleh camat, dan tingkat kelurahan oleh lurah.
Sistem pencatatan dan pelaporan kasus DBD berawal dari unit pelayanan
kesehatan selain puskesmas yang menemukan tersangka atau pasien DBD.
Pelaporan ke dinas kesehatan kabupaten/kota harus dilakukan sesegera mungkin
selambat-lambatnya 24 jam dengan tembusan ke puskesmas wilayah setempat.
Hal ini dilakukan untuk tindakan kewaspadaan dan perencanaan tindak lanjut
penanggulangannya. Puskesmas setempat juga wajib lapor kepada dinas kesehatan
kabupaten/kota sehingga pelaporan dapat dilakukan secara berjenjang ke dinas
kesehatan provinsi dan pusat. Untuk situasi Kejadian Luar Biasa (KLB),
pelaporan juga dilakukan berjenjang mulai dari unit pelayanan kesehatan selain
puskesmas hingga ke Ditjen PPM dan PL. Setelah dilakukan pengolahan laporan,
maka umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualiatas dan
memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan, dan ketepatan waktu
pelaporan, serta analisis terhadap laporan (Dinkes, 2006). Frekuensi umpan balik
oleh masing-masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan, minimal
dua kali dalam setahun (Dinkes, 2006).
Namun kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan
penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD, yaitu:
a) Koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam
penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan
surveilans dan penanggulangan DBD
b) Koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan
operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-
masing
17
c) Sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi
pusat
d) Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan
dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular
(Bappenas, 2006).
18
BAB 3. MASALAH PROGRAM MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN
3.1 Analisis Masalah Fish Bone
19
Kurangnya pelibatan TOGA, TOMA dalam pelaksanaan program
Masalah Manajemen:
1. Sistem pelaporan belum terintegrasi dan belum ada mekanisme transfer data antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota.
2. Koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD
3. Koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-masing
4. Sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi oleh pusat
5. Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular
planning organizing
Kurangnya pelibatan kemitraan untuk penanggulangan DBD
Belum adanya kejelasan koordinasi program sebelumnya
Keterbatasan dana untuk pelaksanaan program
Belum adanya kejelasan pembagian wewenang dalam pelaksanaan program
Kurang optimalnya program pemberdayaan masyarakat
Kurangnya motivasi masyarakat melaksanakan program 3M sebelumnya
Kurang optimalnya program pemberdayaan SDM bidang kesehatan
Keterlambatan pelaporan kasus DBD
Kurangnya koordinasi antar pemerintah daerah
Belum optimal kegiatan supervisi program sebelumnya
actuatingcontrolling
3.2 Daftar Masalah Manajemen Pelayanan Kesehatan
1. Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam
implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular
berhubungan dengan kurang optimalnya program pemberdayaan masyarakat.
2. Koordinasi antar instasi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam
penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan
surveilans dan penanggulangan DBD berhubungan dengan kurangnya
pelibatan kemitraan untuk penanggulangan DBD.
20
BAB 4. PERENCANAAN
4.1 Perencanaan
Tabel 5. Rencana Program Manajemen Pelayanan Kesehatan Penyakit Global
No Diagnosa Tujuan Rencana Kegiatan Aktivitas EvaluasiIndikator Evaluator
1. Tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular berhubungan dengan kurang optimalnya
TUM:Program pencegahan penyakit DBD di RW X berjalan efektif setelah dilakukan program Gema Perang DBD selama 1 minggu
TUK:Tersedianya layanan kesehatan DBD di komunitas yang terhimpun dalam program
Pembentukan program Gema Perang DBD
1.1 Membentuk mini organisasi Gema Perang DBD beserta struktur dan pembagian kerjanya.
1.2 Menyusun program kerja Gema Perang DBD
1.1.1. terdapatnya struktur Gema Perang DBD di RW X.
1.1.2. terdapatmya pembagian kerja dan penanggung jawab program.
1.1.3. terdapatnya struktur pengurus Gema Perang DBD di RW X.
1.2.1 Terbentuknya rencana kegiatan minor Gema Perang DBD di tingkat RW
1.2.2 Tersedianya
MahasiswaMasyarakatPetugas puskesmas
MahasiswaMasyarakatPetugas puskesmas
21
program pemberdayaan masyarakat yang ditandai dengan:Tidak terlaksananya program 3M sebelumnya, SDM dalam pelaksanaan program 3M sebelumnya masih kurang, dan kurangnya peran serta masyarakat dalam penanggulangan DBD.
Gema Perang DBD dan difasilitasi oleh tenaga kesehatan, kader dan TOMA
2.1 Mengadakan pelatihan kader
pelayanan DBD melalui Gema Perang DBD
2.1.1 Terdapatnya relawan kader per RT
2.1.2 Terlaksanakannya pelatihan kader
2.1.3 Terdapatnya penyusunan program kerja yang dilakukan kader
2.1.4 Terdapatnya pemahaman kader tentang P2-DBD
2.1.5 Terbentuknya kemampuan kader dalam mengimplementasikan program kerja
2. Koordinasi antar instasi dan antar unit yang bertanggung
TUM:Pembentukan kemitraan TOGA/TOMA terkait program
2 Pembentukan kemitraan melalui pemberdayaan
2.1 Membentuk pelatihan TOGA/TOMA dan kader terkait program Gema
2.1.1 Terlaksanakannya pelatihan TOMA/TOGA dan kader secara berkala
MahasiswaMasyarakat
22
jawab dalam penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD berhubungan dengan kurangnya pelibatan kemitraan untuk penanggulangan DBD yang ditandai dengan: tidak adanya pelibatan TOMA/TOGA dalam implementasi program.
P2-DBD di RW X berjalan efektif setelah dilakukan pembinaan selama 1 minggu
TUK:Tersedianya layanan kesehatan DBD di komunitas yang terhimpun dalam program P2-DBD dan difasilitasi oleh kader DBD
TOGA/TOMA. Dan Kader
Perang DBD 2.1.2 Terdapat pembagian kerja dan tanggung jawab pada TOMA/TOMA dan kader
2.1.3 Terdapatnya kerjasama antara TOGA/TOMA dan kader
23
DAFTAR PUSTAKA
Antara News. 2011. Dinkes Jember Siagakan 2.819 Jumantik Antisipasi DB. http://jatim.antaranews.com/lihat/berita/75422/dinkes-jember-siagakan-2819-jumantik-antisipasi-db [3 Maret 2013].
Bappenas. 2006. Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular: Studi Kasus DBD. Jakarta: Bappenas.
BPS. 2013. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan II Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7, 24 persen. Surabaya: BPS Provinsi Jawa Timur [serial on line]. http://jatim.bps.go.id/index.php/pelayanan-statistik/brs-jawa-timur/brs-pdrb-jatim/241-pertumbuhan-ekonomi-jawa-timur-triwulan-iii-tahun-2012-y-on-y-mencapai-724-persen [1 Maret 2013].
BPS. 2010. Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik Indonesia [serial online]. http://sp2010.bps.go.id/ [26 Februari 2013].
Depkes. Tanpa tahun. Database Kesehatan Per Kabupaten. Kemenkes RI [serial on line]. http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/ [1 Maret 2013].
Depkes. 2005. Pencegahan Dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Ditjen P2PL.
Depkes. 2004. Kebijakan Program P2-DBD Dan Situasi terkini DBD Di Indonesia. Jakarta: Dirjen P2M PL.
Dinkes Jawa Timur. 2013. DBD Mengancam, Dinkes Jatim Larang Fogging Sembarangan!. http://m.beritajatim.com/government_news/186513/dbd_mengancam,_dinkes_jatim_larang_fogging_sembarangan!.html#.UybaOc4Ve_I [17 Maret 2014].
Kemenkes RI. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi. Jakarta: Kemenkes RI.
24