32

PKL- Kontroversi Kota dan Solusi Bersama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pamflet ini disebarkan sebagai bentuk media masyarakat akar rumput yang independen. Mari kita bongkar bersama pandangan, pertanyaan, dan pendapat umum soal PKL, khususnya di Kota Bandung.

Citation preview

“PKL – Kontroversi Kota dan Solusi Bersama”*Sanggaré - Creative Collective Resistance Studio Penulis Konten : Gio Austriningrum, Farush Sobandi, Naufal RofiIlustrator : Rosyad I., Gio Austriningrum, Andi BhataraTata Letak : Fatchur Rohman

*)Copyleft Komune Rakapare

Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu isu yang paling sering dibahas dalam sebuah kota. Banyak sekali kontroversi yang melingkupi para manusia yang biasa menggelar lapak di pinggir jalan ini. Surat kabar harian, media massa online, televisi, media sosial, hingga obrolan sehari-hari tak pernah luput membahasnya. Ada yang menganggapnya masalah, ada pula yang menganggapnya unik nan khas Indonesia.

Ah, PKL memang topik diskusi yang menarik! :)

Di Kota Bandung sendiri, belakangan tengah ramai wacana tentang relokasi 4 titik PKL, yaitu PKL Dayang Sumbi, PKL Purnawarman, PKL Otista, dan PKL Cicadas. Isu relokasi ini tentu bukanlah yang pertama ada. Banyak titik PKL yang direlokasi sebelumnya. Sebut saja PKL Alun-Alun yang direlokasi ke basement parkir Alun-Alun dan PKL Jalan Merdeka yang dipindahkan ke basement Bandung Indah Plaza (BIP). Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam isu bersama ini? Ingat, diskusi tidak akan bermakna jika hanya berhenti di meja sendiri. Kritik harus dibarengi dengan solusi yang tak hanya tepat, tapi juga melibatkan suara pihak-pihak yang terlibat. Berani bertanya, cerdas berpendapat, keterbukaan pikir dan rasa untuk menyelesaikan konflik, serta tandas bertindak menjadi kunci solusi bersama.

Karena itulah pamflet ini disebarkan sebagai bentuk media masyarakat akar rumput yang independen. Untuk memahami isu ini lebih jernih, mari kita bongkar bersama stigma, pandangan, pertanyaan, dan pendapat umum soal PKL, khususnya di Kota Bandung, supaya kita bisa tahu apa sih yang sebenarnya jadi akar masalah. Dengan begitu, kita bisa lanjut diskusi soal alternatif solusi apa saja yang bisa kita lakukan bersama untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik dan berimbang.

PKL (Pedagang Kaki Lima)PKL (Pedagang Kreatif Lapangan)Pedagang yang menggelar lapak di pinggir jalan. Disebut Pedagang Kaki Lima karena saat jaman penjajahan trotoar dibuat selebar 5 kaki. Pedagangan yang biasa berdagang di pinggir jalan saat naik ke trotoar akhirnya disebut Pedagang Kaki Lima (PKL).

Ada juga yang menyebutnya Pedagang Kreatif Lapangan karena PKL dianggap kreatif dalam menarik pembeli dan memberi warna khas tersendiri bagi kehidupan kota atau wilayah ia berada :)

PKL Bikin Macet (?) PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota Bandung (?)

PKL Melanggar dan Merebut Hak Pejalan Kaki (?)

PKL Merusak Estetika Kota (?)

PKL Tidak Tahu Diri, Pemerintah, kan Sudah Susah-Susah Negosiasi (?)

Pemerintah Butuh Waktu buat Mendesain Tempat Relokasi (?)

Barang Dagangan PKL KW, bukan Ori! (?)

*)Pernyataan dan pertanyaan yang tertulis di pamflet ini dicatut dari cetusan yang paling sering kita temui di media sosial, media cetak, pertemuan dengan pegawai pe-merintahan, ataupun obrolan dengan kawan sepermainan.

senarai isi

“Gara-gara PKL, jalanan jadi macet!” adalah ungkapan yang sering dilontarkan oleh masyarakat kita. Jalan Otista dan Jalan Purnawarman merupakan contoh-contoh dimana kemacetan dan PKL ada bersamaan. Menurut Peraturan Daerah dan Walikota Bandung (Perda dan Perwal), Jalan Otista disebut “Zona Merah” karena berbagai alasan, seperti jalan utama, dekat dengan lembaga pendidikan, dekat rumah sakit, dan lain sebagainya yang bisa kamu baca di Perda dan Perwal, sementara Jalan Purnawarman adalah “Zona Kuning” namun padat.

Tapi, jika dipikir lebih baik dan mendalam dapatkah kita langsung menyimpulkan bahwa PKL adalah penyebab utama macet? Jika PKL tidak ada lagi, apakah jalanan serta merta bebas macet? ...

Setiap Senin, para PKL di Jalan Otista sepakat untuk libur jualan demi menjalankan “Senin Bebas PKL”, program seminggu sekali yang dijalankan berdasarkan hasil diskusi pemerintah dengan beberapa perwakilan PKL, salah satunya Pak Tarno. Para PKL Otista pun setuju untuk menggunakan hari Senin sebagai hari kerja bakti untuk membersihkan jalanan dari sampah.

Lalu, apakah Jalan Otista menjadi bebas macet? Ternyata tidak! Tanpa PKL, Jalan Otista tetap macet seperti biasa! “Kita melihat dengan mata kepala sendiri bahwa tanpa kami berdagang pun, Jalan Otista tetap macet merayap pada jam-jam padat”, terang Pak Tarno, salah seorang PKL Otista yang ikut mendiskusikan “Senin Bebas PKL” dengan pemerintah. Hal serupa terjadi di Jalan Purnawarman. Selama proses relokasi yang hingga sekarang masih dinegosiasikan, sebagian PKL Purnawarman telah pindah ke tempat relokasi yang ditunjuk Pemerintah Kota (Pemkot), sementara sebagian lain masih berjuang agar bisa bertahan di tempat dagangan semula. Dengan pengurangan jumlah PKL pun, Jalan Purnawarman ternyata masih macet-macet saja.

PKL Bikin Macet (?)

Telisik punya telisik, berdasarkan penyelidikan lapangan yang dilakukan di Jalan Otista dan Purnawarman, ternyata kemacetan ini memang disebabkan oleh hal-hal selain PKL, lho.

Arus Pengunjung dan Antrian Parkir

Arus kendaraan pribadi yang keluar masuk parkiran pusat perbelanjaan Pasar Baru dan BEC ternyata memang padat. Antrian masuk dan keluar parkir menyebabkan adanya jeda waktu tunggu. Di Jalan Otista, hal ini digabung dengan adanya lampu lalu lintas di perempatan jalan. Hal inilah yang mengakibatkan arus macet yang merembet hingga Jalan Suniaraja.

Di Jalan Purnawarman, pola serupa turut terjadi. Jalan Purnawarman menjadi jalur parkir masuk dan keluar Bandung Electronic Centre (BEC). Jalan Purnawarman jugalah yang menjadi muara keluar dari Gramedia. Tak hanya itu, pengunjung Gramedia dan BEC seringkali menyeberang jalan Purnawarman untuk berpindah tempat, sehingga membuat arus lalu lintas lamban. “Di Jalan Purnawarman, orang dan motor sudah susah dibedakan,” cetus Naufal, seorang mahasiswa ITB yang sering melintasi Jalan Purnawarman.

Volume Kendaraan Pribadi yang Berlebihan

Akar masalah dari kemacetan di kota besar sejatinya hanya satu: Terlampau banyaknya jumlah kendaraan pribadi bermotor digabung dengan tidak adanya sistem transportasi publik yang baik. Keberadaan angkot dan bus kota sebagai alternatif transportasi publik sebenarnya merupakan langkah awal yang baik dalam pemecahan masalah kemacetan yang patut kita apresiasi. Namun, sistem halte yang tidak terintegrasi sehingga terbukti terbengkalai menjadikan sistem ini tidak efisien dalam mengurangi kemacetan. Di satu sisi, tidak ada pengendalian jumlah kendaraan pribadi dari pemerintah. Saat akhir pekan, apalagi. Volume mobil pribadi membludak karena kedatangan wisatawan dari luar kota.

Jika mau belajar dari negara lain, di Tokyo, misalnya, pajak mobil dan ongkos parkirnya dibuat mahal oleh pemerintah agar warga lebih memilih menggunakan moda transportasi lain untuk solusi kemacetan. Di samping solusi macet, pengurangan volume kendaraan pribadi bermotor juga dapat mengurangi polusi dan emisi karbon, sehingga membantu kita melestarikan alam.

Setelah mengetahui akar masalah kemacetan, seharusnya kita belajar untuk tidak serta merta mengkambinghitamkan PKL sebagai biang kerok

kemacetan, bukan? Mari belajar untuk tidak salah fokus. Lebih baik, kita mendukung pemerintah untuk berfokus pada perwujudan sistem transportasi publik yang efisien dan penciptaan kebijakan pengurangan volume kendaraan pribadi, sehingga mampu menyelesaikan masalah kemacetan sampai akar-akarnya. Selain membantu kesejahteraan supir angkot, kebijakan transportasi yang baik akan menjadikan kota kita lebih manusiawi dan lestari.

Berdasarkan pernyataan “PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota” inilah relokasi PKL 4 titik yang sedang digalakkan oleh Pemkot Bandung dilakukan. Kota Bandung mengamini kebijakan Zero Growth yang diberlakukan oleh negara Indonesia. Kebijakan Zero Growth diadopsi sebagai sebuah kebijakan yang menyetop pertumbuhan jumlah PKL di kota. Selain kebijakan Zero Growth, Kota Bandung memberlakukan kebijakan zonasi PKL. PKL dilarang keras berjualan di Zona Merah. Di Zona Kuning, PKL boleh berjualan pada waktu-waktu tertentu. Sementara di Zona Hijau, PKL diperbolehkan berjualan. Kebijakan-kebijakan ini pun dilengkapi dengan ancaman sanksi yang tak ringan.

Sayangnya, ada dua hal yang ternyata seringkali kita abaikan ketika berdiskusi mengenai hal ini:

Hukum dan perundangan bisa berubah sesuai konteks zaman, dan kita punya daya untuk mempengaruhinya bersama

Dahulu di Amerika, praktik perbudakan dilindungi oleh hukum. Di Jawa, pernah hukum adat melarang perempuan untuk mengenyam pendidikan sekolah. Namun, karena masyarakat mengumpulkan kekuatan bersama untuk mengubah hukum dan peraturan yang dirasa tidak berperikemanusiaan ini, hukum-hukum tersebut pun berubah menjadi lebih manusiawi seiring berjalannya waktu dan konsistensi perjuangan. Karena pada dasarnya, hukum dan peraturan perundangan bukanlah sesuatu yang mutlak. Tugas kitalah untuk terus berjuang agar hukum dan peraturan perundangan tersebut mengarah ke tujuan ideal kita bersama.

Setiap warga masyarakat sejatinya punya hak dan daya untuk terlibat secara aktif dalam setiap prosesnya, mulai dari penyusunan, pelaksanaan, pengawasan, hingga perubahan/revisi. Hak-hak kita untuk melakukan hal ini pun dijamin penuh dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu, jika kita merasa dibatas-batasi dalam menyampaikan pendapat, kritik, atau masukan bagi hukum serta peraturan dan perundangan yang sedang berlaku, kita harus berani menyatakan sikap keberatan dan memperjuangkan hak kita, khususnya hak untuk menyampaikan pendapat dan berdiskusi.

PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota Bandung (?)

Karena apalah artinya hukum, peraturan, dan perundangan jika pada akhirnya mencederai esensi kemanusiaan itu sendiri?

Bahasa hukum dan peraturan perundangan yang bersifat teknis belum akrab bagi telinga dan ruh sebagian besar warga masyarakat kita

Sebab akibatnya beruntun dan ternyata berhubungan dengan poin kita sebelumnya. Pertama, masyarakat umum enggan membaca dokumen hukum dan peraturan perundangan semacam ini karena merasa menganggap bahasanya “susah”, atau menganggap diri mereka “orang bodoh” yang tidak akan paham urusan begituan. Di lain sisi, tidak banyak mahasiswa hukum, ilmu pemerintahan (atau siapapun yang paham) yang mau membantu memberikan pendidikan literasi hukum perundangan bagi masyarakat. Kebanyakan mahasiswa lebih memilih asyik berkegiatan di dalam himpunan atau unit kampus, nongkrong di kafe, atau belajar sangat tekun di perpustakaan dan kamar kosan buat menaikkan grafik IP. Sementara lulusannya cenderung lebih memilih masuk lembaga hukum, pemerintahan, atau perusahaan yang secara finansial aman karena bergaji mahal.

Konsekuensinya, masyarakat jadi tidak bisa membaca dokumen-dokumen hukum perundangan tersebut, tidak bisa menginterpretasikan, tidak mampu mengkajinya dengan kritis, sehingga tidak mampu memberi masukan bagi hukum perundangan tersebut.

Padahal, hukum dan perundangan seharusnya merupakan panduan bagi kehidupan bersama. Jika paham saja tidak, bagaimana kita bisa berjuang jika ada pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memanipulasi hukum perundangan? Sebaliknya, jika kita berbuat sesuai hati nurani, sudah pasti ada payung hukum yang melindungi. Tinggal bagaimana kita berusaha bersama untuk memperjuangkan literasi hukum dan perundangan yang sekarang jadi barang langka ini. Bukankah hukum dan perundangan disusun untuk memanusiakan manusia?

Hal yang sama terjadi pula dalam diskusi tentang PKL dan aneka peraturannya. Tahukah kamu apakah PKL ataupun pengguna jalan benar-benar dilibatkan secara aktif dalam penyusunan hukum perundangan yang mengatur hal ikhwal kehidupan mereka? Kita semua pasti tidak ingin siapapun menjadi “pemain pasif” dalam sebuah diskusi. Tapi pada kenyataannya, banyak diskusi semacam ini membuat beberapa pesertanya merasa minder karena merasa diri “tidak paham bahasa hukum”, “orang kecil” atau “orang kurang penting”, sehingga mereka tidak berani mengungkapkan suara hatinya yang sejati. Apalagi mereka biasanya berpendapat bahwa pemerintah adalah sekumpulan

orang pintar yang selalu punya niat baik. Hal ini tidaklah salah sepenuhnya, namun juga tidak sepenuhnya benar. Sebagai sesama manusia, menjadi kewajiban kita bersama untuk saling mengingatkan jika ada yang dirasa kurang baik.

Sebagai orang yang punya kesempatan belajar, kita harus membantu mereka menyadari bahwa perasaan minder berlebihan hanya menyebabkan kita terus menerus tertindas, yang artinya membiarkan pihak yang menyalahkgunakan kekuasaan langgeng. Ingatlah kata-kata almarhum Munir sang pejuang HAM: “Orang Baik Harus Berani”. Lagipula, bukankah setiap manusia itu besar dan penting dalam ranahnya masing-masing?...Nah, karena itu, sebelum kamu mencetuskan, “PKL Melanggar Hukum dan Aturan Perda Kota!”, merenung dan berpikirlah sebentar, posisikan dirimu di semua pihak—bukan cuma PKL, tetapi juga pemerintah, pelaku bisnis, peneliti, dan lain sebagainya: apakah kebijakan Zero Growth manusiawi jika dilakukan dalam kondisi seperti sekarang, dimana penduduk desa terus terdesak untuk berpindah ke kota? Apakah dalam penentuan zonasi serta butir Perda lainnya, PKL betul-betul dilibatkan dan didorong untuk mengungkapkan aspirasi sejatinya? Apakah pemerintah betul-betul memihak kepentingan bersama atau hanya kepentingan pihak-pihak tertentu saja? Dalam pelaksanaannya, apakah butir-butir Perda tersebut dijalankan dan diawasi secara efektif? Dan akhirnya, siapkah kamu untuk terlibat secara aktif dalam perumusan kebijakan, hukum, dan peraturan perundangan tentang PKL menjadi lebih mengakomodasi, partisipatif, dan manusiawi? :)

PKL merebut hak pejalan kaki bikin keki? “Iya, Kasihan Pejalan Kaki. Saya beberapa kali hampir ditabrak karena terpaksa jalan di pinggir jalan umum dan trotoarnya diambil PKL! Ketersediaan fasilitas trotar, kan merupakan hak pejalan kaki yang telah disebut dalam Pasal 131 ayat (1) UU LLAJ”, komentar Hanif, seorang pemuda yang aktif berkomentar di media sosial. Seperti Hanif, banyak warga masyarakat lain yang merasa bahwa selain membuat trotoar semrawut, PKL jelas melanggar hak pejalan kaki.

Bagaimana kalau kita coba selidiki lagi asal mula PKL dan trotoar?

Jadi begini, Akang dan Teteh. Aktivitas perdagangan di pinggir jalan sejatinya sudah ada sejak zaman nenek moyang kita. Selain di pasar, mereka juga membawa barang dagangan ke rumah-rumah atau menghamparkannya di pinggir jalan untuk mengejar pembeli, entah dengan gerobak atau keranjang pikulan. Tapi sejak kapan pedagang yang ngemper ini disebut Pedagang Kaki Lima (PKL)? Istilah Kaki Lima muncul saat jaman penjajahan Inggris, tepatnya saat Inggris mulai membangun jalan. Jalan beserta trotoar ini dibuat sesuai dengan konsep kota-kota di Eropa yang saat itu memang sedang gegap gempita karena revolusi industri, makannya jalanan dibuat dari aspal dan bebatuan untuk kendaraan bermotor. Trotoar dibuat lebih tinggi untuk kaum borjuis yang suka berjalan-jalan menikmati kota. Ini jelas berbeda dari kondisi sosial budaya masyarakat kita yang tidak mengalami revolusi industri. Karena falsafah hidup yang dekat dengan alam, jalanan kita tanah aseli! Cikar, gerobak, pedagang, dan pejalan kaki berjalan beriringan sambil bertegur sapa.

Penjajahan (terutama penjajahan pikiran bawah sadar) pun menggerus nilai dan kebiasaan autentik tersebut dengan halus perlahan. Namun, memori kolektif dan nilai-nilai budaya komunal ternyata tidak mudah dihilangkan! Dengan dibuatnya trotoar yang lebarnya lima kaki, pedagang tetap ngemper di pinggir jalan. Makannya oleh orang Barat, pedagang pribumi ini disebut Pedagang Kaki Lima, yang maksudnya Lima Kaki dari jalan!

Sampai sekarang pun, budaya komunal di trotoar ternyata tetap terpelihara. Sayangnya, hukum dan perundangan kita jarang mengindahkan hal-hal halus dan tidak kelihatan seperti kebudayaan, makannya mereka gagal “mengatur”

PKL di Trotoar Merebut Hak Pejalan Kaki (?)

manusia-manusia ini dengan efisien. Selain untuk pejalan kaki, trotoar juga berfungsi sebagai ruang publik dimana kita dapat bebas berdiskusi dan membicarakan kemungkinan-kemungkinan perubahan sosial (sambil makan nasi telur kuah Sedap Malam atau lesehan bawah langit berbintang). Selain ruang lalu lalang, trotoar adalah tempat PKL berjuang dengan berdagang. Trotoar juga digunakan tunawisma untuk tidur diam-diam saat malam, atau pemulung yang istirahat di sela-sela pencarian sampah. Semua mereka dilakukan agar bisa bertahan hidup di kejamnya kota saat urbanisasi terus menerus mendesak orang desa, sampai mereka tidak punya pilihan lain kecuali ke kota. Ada yang bisa memperbesar untung, ada pula yang malah memperbesar hutang—semua tergantung kesempatan serba tidak rata yang mutlak terjadi dalam sistem kapitalisme seperti sekarang.

Dengan kondisi seperti ini, manusiawikah menurutmu jika kita menggusur mereka seluruhnya demi ruang pejalan kaki? Seberapa banyakkah ruang yang dibutuhkan pejalan kaki untuk berjalan? Hayu, lah, kita negosiasikan perebutan ruang-ruang publik ini dengan lebih partisipatif. Jadi, tidak cuma beberapa gelintir pihak saja yang bisa memaksakan kepentingannya.

Ingat juga kalau budaya nongkrong di pinggir jalan, seperti angkringan di Jogja, ngariung di Bandung, atau cangkrukan di Surabaya menjadi nilai sosial budaya yang menjunjung tinggi kolektivitas atau kebersamaan, hal yang perlu kita perjuangkan bersama di tengah gelombang individualisme yang masif. Makannya kita memperjuangkan untuk mempengaruhi kebijakan PKL untuk ditata dan diorganisir di tempat. Ini penting juga untuk membangkitkan kesadaran politik. Disitu pula kita dapat memasukkan nilai-nilai pendidikan, mulai dari ekonomi yang betulan kerakyatan, wawasan lingkungan, desain partisipatif, hingga kesehatan.

Karena sudah terlampau banyak contoh relokasi yang terbukti tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya memindahkan masalah. Proses relokasinya sendiri serba tidak adil dan sepihak. PKL diperlakukan seperti obyek dalam diskusi. Kalau kamu jeli mendengar kabar burung belakangan, kamu akan dengar bahwa PKL Merdeka-BIP (yang seringkali dijadikan contoh kesuksesan relokasi dari trotoar) tengah siap memberontak. Mengapa? Karena janji pemerintah untuk membina mereka pasca relokasi ternyata palsu. Banyak pedagang yang sakit paru-paru, stres, hingga stroke karena kondisi basement yang tidak layak untuk beraktivitas. 10 Pedagang gulung tikar. Mereka pun dirudung konflik internal karena munculnya kecemburuan sosial. Kamu bisa berkunjung kesana kapan-kapan dan berdiskusi dengan mereka sendiri.

Sayangnya, pemerintah kurang peduli dengan hal-hal semacam ini—masih

banyak rakyat yang lapar, belum memiliki kualitas hidup baik, atau konflik internal dalam kelompok PKL. “Pegangan sama hukum dan aturan” jadi kalimat andalan tanpa menyentuh kemanusiaan dan kompleksitas sosial. (Ridwan Kamil sendiri bilang ia tidak akan melanggar hukum demi apapun, bahkan jika itu kemanusiaan). Belum lagi persoalan bahwa banyak relokasi orderan pengusaha seperti hotel, mall, dan kampus.

Tapi kalau ada hotel ilegal, ATM, atau pos Satpol PP melintang di trotoar, kamu berani tidak bilang hal yang sama? Adakah yang kira-kira berani menggusur mereka? #tanyakenapa :)apakah butir-butir Perda tersebut dijalankan dan diawasi secara efektif? Dan akhirnya, siapkah kamu untuk terlibat secara aktif dalam perumusan kebijakan, hukum, dan peraturan perundangan tentang PKL menjadi lebih mengakomodasi, partisipatif, dan manusiawi? :)

Sejak dahulu hingga kini, Kota Bandung dikenal akan keindahannya: banyak taman bunga dan hiasan di sepanjang jalan. Kotanya bersih, tertib, dan nyaman. Aneka bangunan dengan arsitektur gaya Belanda kuno membuat kota Bandung mirip dengan kota-kota di Eropa, seperti Paris contohnya. Kira-kira begitu definisi keindahan menurut banyak media. Seperti sering diungkapkan oleh Walikota Ridwan Kamil sendiri, Bandung memang berniat untuk meningkatkan kebahagiaan warganya dengan memperbanyak jumlah taman, sehingga kita bisa bebas stres dengan rajin piknik dan selfie disana. Di jalan-jalan Kota Bandung pun, kita bisa melihat batu-batu bulat, tanaman gantung berukuran besar, tanaman dalam pot bertingkat, dan kursi-kursi taman.

Nah, keberadaan PKL di pingir jalan seringkali dianggap merusak keindahan kota Bandung ini. Meski masyarakat bahkan Walikota Bandung tak mengelak mereka suka makan di PKL karena lezat, murah, dan khas, mereka juga beranggapan bahwa gerobak PKL, tempat cuci piringnya, serta tenda non-permanen dari bambu dan terpal (ada juga yang bilang bahkan raut muka PKL) kadang tidak cocok dengan konsep keindahan kota Bandung. Seperti disinggung sebelumnya, mereka serta merta menganggap PKL melanggar Perda dan aturan, dan karenanya akan setuju-setuju saja jika pemerintah mengeluarkan kebijakan relokasi PKL. Dengan kecanggihan teknologi informasi seperti sekarang, sebagian masyarakat Bandung yang menginginkan keindahan pun memotret PKL yang melanggar zonasi Perda dan melaporkannya secara online kepada aparat pemerintahan (apalagi walikota kita yang sekarang gandrung Instagram :)).

Pihak ITB, misalnya, tak henti-hentinya mendesak Satpol PP Kecamatan Coblong untuk meggusur PKL Ganeca dan Dayang Sumbi dengan alasan keindahan area kampus. Mereka mengusahakan segala cara agar hal ini bisa segera terlaksana, meskipun surat ijin operasi dan prosedur relokasi belum sesuai dengan undang-undang yang sedang berlaku. Tak hanya PKL, kampung kota juga kerap kali menjadi sasaran penggusuran sepihak atau relokasi atas nama keindahan.

Pernahkah kamu melewati Jalan Sunda Kosambi? Atau Kota Bandung bagian pinggiran? Disana, masih banyak ditemui orang-orang yang hidup di pinggiran sungai yang kotor, gang sempit, dan kondisi menyedihkan lainnya. Kondisi

PKL Merusak Estetika Kota (?)

inilah yang biasanya disebut kumuh dan tidak indah. Jangankan untuk piknik dan selfie, untuk bertahan hidup dan makan saja mereka harus bekerja keras. Namun apakah kita harus mencerabut mereka begitu saja dari situ demi tempat yang terlihat indah? Kampung Kolase di Babakan Siliwangi dipaksa untuk relokasi ke Rumah Susun Sadang Serang demi Taman Wisata Sungai Cikapundung. Seperti halnya warga kampung, PKL akhirnya mendapat cap “liar”, “ilegal”, dan “perusak estetika”. Ruang mereka untuk mengembangkan kehidupan digantikan dengan ruang untuk berlibur. ...

Sebelum kita melanjutkan diskusi, mari pikirkan beberapa hal ini lebih dulu.

Keindahan itu tidak mutlak dan bisa dikonstruksi, tinggal bagaimana kita membuatnya autentik dan orisinil

Seperti halnya seni, ada banyak ragam dan ukuran tentang standar keindahan atau estetika. Sayangnya, kadang ada pihak-pihak tertentu yang ingin memaksakan standar keindahannya pada pihak lain. Padahal, ragam seni dan keindahan seharusnya berakar dari identitas, yang terbentuk dari pergulatan dengan lingkungan sekitar, dan berani jadi independen (autentik). Pelukis Indonesia legendaris Oesman Effendi pernah mengatakan, jika hasil cipta, rasa, dan karsa mampu mengartikulasi pergulatan tersebut dengan baik, terwujudlah sebuah esensi keindahan yang orisinil. Karya seni dan keindahan yang dihasilkan dari meniru-niru, serta terbawa arus modernitas atau budaya pop semata lebih baik tidak usah dibuat sama sekali, karena inilah yang membuat bangsa kita pelan-pelan semakin kehilangan identitas kebudayaannya! (Pak Oesman Effendi memang terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya, hal yang jarang ditemui pada seniman)

Keindahan tidaklah terputus dari permasalahan kehidupan lainnya

Selama kita hidup, masalah akan terus datang menghampiri. Masalah menjadi pembelajaran untuk menjadi manusia dan masyarakat yang lebih baik. Masalah-masalah tersebut harus diselesaikan satu persatu dengan baik, bukannya ditutup-tutupi, dihindari, atau sekedar dipindahkan. Keindahan merupakan salah satu rona dalam kehidupan ini, dan karenanya tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran kita bersama dalam menghadapi setiap permasalahan. Jika keindahan tersebut akhirnya malah tidak menyelesaikan apalagi abai terhadap permasalahan kehidupan , maka esensi “seni” dan “rasa” perlahan menghilang.

Sekarang kita bisa bersama-sama memahami bahwa keindahan itu holistik

(menyeluruh) dan tidak bisa terlepas dari masalah lainnya. Karena itu, keindahan yang diciptakan di atas penggusuran atau relokasi sepihak bukanlah keindahan lagi: ia sebatas pemanjaan sebagian indera (terutama visual) saat ada manusia lain menderita, artinya ia tidak sampai ke hati, rasa, apalagi jiwa :)

Yuk, bersama mewujudkan Bandung yang indah secara keseluruhan!

[Lipatan atau seperti amplop di samping]

Penyair terkenal W.S. Rendra pernah menulis sajak di Bandung pada 19 Agustus 1977. Sajak ini adalah curahan hati tentang keprihatinannya akan potret pembangunan yang hanya mengutamakan estetika, tapi miskin etika:

Sajak Sebatang Lisong – W.S. Rendra

Menghisap sebatang lisongMelihat Indonesia Raya,mendengar 130 juta rakyatdan di langitdua tiga cukong mengangkang,berak di atas kepala mereka

Matahari terbit Fajar tiba.Dan aku melihat delapan juta kanak-kanaktanpa pendidikan

Aku bertanya,tetapi pertanyaan-pertanyaankumembentur meja kekuasaan yang macet,dan papantulis-papantulis para pendidikyang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak-kanakmenghadapi satu jalan panjang,

tanpa pilihan,tanpa pepohonan,tanpa dangau persinggahan,tanpa ada bayangan ujungnya...

Menghisap udarayang disemprot deodorant,aku melihat sarjana-sarjana menganggurberpeluh di jalan raya;aku melihat wanita buntingantri uang pensiun

Dan di langit;para tekhnokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas,bahwa bangsa mesti dibangun;mesti di-up-gradedisesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.Langit pesta warna di dalam senjakalaDan aku melihat

protes-protes yang terpendam,terhimpit di bawah tilam

Aku bertanya,tetapi pertanyaankumembentur jidat penyair-penyair salon,yang bersajak tentang anggur dan rembulan,sementara ketidakadilan terjadi di sampingnyadan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikantermangu-mangu di kaki dewi kesenian

Bunga-bunga bangsa tahun depanberkunang-kunang pandang matanya,di bawah iklan berlampu neon,Berjuta-juta harapan ibu dan bapakmenjadi gemalau suara yang kacau,menjadi karang di bawah muka samodra...

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asingDiktat-diktat hanya boleh memberi metode,tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaanKita mesti keluar ke jalan raya,keluar ke desa-desa,mencatat sendiri semua gejala,dan menghayati persoalan yang nyata

Inilah sajakkuPamplet masa darurat.Apakah artinya kesenian,bila terpisah dari derita lingkunganApakah artinya berpikir,bila terpisah dari masalah kehidupan

19 Agustus 1977ITB BandungPotret Pembangunan dalam Puisi

Pemerintah memang harus selalu menjadi penengah atas polemik kota, menyediakan ruang dan solusi yang tepat untuk semua masalah yang terjadi. Negosiasi dengan berbagai pemangku kepentingan menjadi bagian dalam menyusun solusi yang tepat agar tercipta win-win solution. Tapi lantas apakah kita bisa menyebut PKL tidak tahu diri, ibarat tidak menghargai usaha pemerintah?

Jika kita melihat bahwa PKL sepertinya sebegitu susahnya untuk dicarikan solusi, entah mereka banyak mengajukan tuntutan atas solusi yang diajukan pemerintah, hal ini menunjukkan bahwa keputusan yang dicapai masih

belum bisa mengakomodasi semua pihak. Mungkin contohnya relokasi yang terjadi di Jalan Purnawarman belakangan ini. PKL Purnawarman akhirnya dipindahkan ke parkiran luar BEC, dimana keputusan ini merupakan hasil negosiasi lanjut atas keputusan untuk merelokasi mereka ke basement 5 BEC. Meski sudah bersifat final dan tidak punya pilihan lain, tidak ada yang bisa menjamin bahwa relokasi semacam ini akan membawa keuntungan yang sama dengan ketika mereka berjualan di lokasi semula. Di Purnawarman, buktinya PKL mengalami penurunan pendapatan minus 145%! Selama sebulan menunggu itikad baik pemerintah, tidak ada satu pun janji

PKL Tidak Tahu Diri, Pemerintah, kan Sudah Susah-Susah Negosiasi (?)

ataupun tuntutan yang direalisasikan di tempat relokasi. Jawaban pemerintah selalu diplomatis: “Sabar dan tunggu prosesnya”. Padahal perut anak, suami, istri, keluarga, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan harian lainnya tidak bisa menunggu.

Disini kita melihat masih ada kemampuan pemerintah dan pihak lain yang terkait dalam mengusahakan peraturan yang lebih bersifat win-win solution, dalam artian menjanjikan solusi dimana PKL masih dapat memperoleh keuntungan yang sama, bahkan kalau bisa lebih baik. Karena bagaimanapun juga, meski dibawa ke tataran hukum sekalipun, PKL tetaplah manusia dimana mereka pasti juga akan terus menyuarakan kekuatan mereka, agar mereka juga bisa dijembatani, entah oleh pemerintah atau pihak lain, supaya keadilan tetaplah menjadi keadilan, tanpa adanya intervensi berlebih dari salah satu pihak. Nah, jika kamu masih berpikir demikian, cobalah berada di posisi mereka yang kamu rasa tidak menghargai pemerintah itu, atau lebih “keras” lagi, menganggap mereka tidak tahu diri. Mereka malah tahu diri kok, karena masih mau memperjuangkan hak-hak mereka, bahkan dengan cara-cara yang masih bisa dibilang wajar dan sopan, karena mereka sadar bahwa negosiasi bukan hal yang mudah dilakukan. Dan mereka bukannya tidak menghargai, karena emosi

dan kemampuan bertahan hidup sejatinya bersemayam di tiap-tiap manusia. Perubahan bukan perkara mudah, tinggal kitanya saja yang harus kritis dan tidak ikut dalam arus perubahan yang semena-mena.

Ya, memang tidak mudah dalam menyajikan sebuah solusi yang bersifat fisik. Banyak yang harus dipertimbangkan seperti ketersediaan lahan, izin, desain, sampai pembiayaan. Tapi ini semua bukan menjadi hambatan jika dilaksanakan dengan perencanaan dan manajemen yang baik.

Variabel waktu agaknya menjadi rancu, karena seharusnya pemerintah sudah mempersiapkan ini jauh-jauh hari. Dari sini kita bisa melihat bahwa perencanaan menjadi sebuah proses yang diabaikan, setidaknya dalam menangani permasalahan PKL ini. Pertanyakan kembali, apakah sebenarnya relokasi PKL melibatkan proses perencanaan? Atau memang kita bisa seenaknya merelokasi PKL tanpa adanya solusi yang matang?

Dalam Perda yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima, dicantumkan bahwa terdapat Satuan Tugas Khusus (Satgasus) yang berfungsi membantu walikota dalam pelaksanaan penataan dan pembinaan PKL yang meliputi perencanaan, penataan, pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan penegakan hukum. Lebih lanjut lagi terdapat bagian bidang perencanaan dan bidang penataan yang membantu dalam proses perencanaan penataan dan pembinaan PKL.

Nah, dari sini kita tahu bahwa bahkan Pemkot Bandung telah mengupayakan penataan PKL yang berlandaskan proses perencanaan yang baik pula. Maka seharusnya hal itu dimanfaatkan untuk menciptakan sebuah solusi yang matang dan memperhitungkan waktu sehingga relokasi tidak menjadi solusi yang malah merugikan dengan membuat iklim yang tidak pasti bagi para PKL. Tempat relokasi juga hendaknya dipersiapkan jauh sebelum proses relokasi dilakukan, tentunya diiringi oleh sosialisasi berkelanjutan kepada para PKL dan melibatkan mereka dalam proses relokasi tersebut.

Jadi, waktu bukan merupakan alasan, kan? PKL juga butuh waktu yang tidak sebentar, bahkan bertahun-tahun untuk bisa memperbaiki hidup mereka. Maka perlu usaha yang sama besarnya dari pemangku kuasa untuk menyediakan tempat yang layak dengan “desain” yang tidak hanya berlandaskan estetika, tapi juga memberi kepastian dalam menyambung hidup bagi para PKL.

Pemerintah Butuh Waktu buat Mendesain Tempat Relokasi (?)

Pernah membayangkan PKL menjual Converse Chuck Taylor Original di atas hamparan terpal? Atau PKL menjual jaket denim Levis Original digantung di bawah tenda biru? Jadi kenapa PKL hanya menjual sepatu kulit imitasi seharga 100 ribuan, alih-alih menjual sepatu kulit Hush Puppies seharga 1 jutaan?

Permasalahannya bukan terletak di label KW atau palsu atau Ori, tapi ada di modal ekonomi dan harga jual dari barangnya itu sendiri. Dengan kita mengesampingkan label tersebut, dan lebih melihat fenomena ini sebagai fenomena daya beli dan mekanisme pasar, niscaya kita akan mengerti kenapa PKL dagangannya KW, bukan Ori.

Pasar yang mendominasi arus perekomian dunia ini sekarang, bertumpu pada kebebasan tiap individu untuk berbondong-bondong mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka dari itu fenomena ini muncul, sebagai bentuk persaingan antara mereka yang kurang mampu dan mereka yang terlampau mampu. Perusahaan-perusahaan besar dengan modal yang cukup besar (tidak hanya uang, tapi sumber daya manusia dan pengetahuan), tentunya mampu mengembangkan produk-produk dengan bentuk dan fungsi yang memadai. Bahannya tentunya juga sophisticated, dibentuk sedemikian rupa dengan riset yang belibet untuk memenuhi kebutuhan manusia yang juga semakin kompleks. Dari sanalah datang produk-produk yang berharga tinggi, dimana tidak semua juga bisa mengusahakan membeli barang tersebut.

Kemasan yang menarik dan kekinian juga menjadi daya tariknya, tidak hanya fungsi yang menjadi sorotan. Tren ini menimbulkan sebuah pemikiran “saya juga bisa bikin yang seperti itu dengan modal yang lebih murah, kan yang penting bentuknya sama”. Nah, dari sini pula datang barang-barang yang menjadi imitasi produk-produk yang sedang ngetop terpampang di etalase mal.

Namun nyatanya, masih banyak masyarakat yang melihat bahwa yang penting adalah bentuk fisiknya, sehingga menegasikan kebutuhan dasar. Contohnya, kita butuh pakaian untuk menutupi tubuh, tapi kita terjebak dalam label-label Topman, Giordano, dan sebagainya. Selanjutnya orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli barang tersebut, juga terjebak dalam

Barang Dagangan PKL KW, bukan Ori! (?)

pemikiran itu, dan akhirnya mengusahakan untuk membeli barang-barang sejenis, agar mereka bisa tetap bisa dipandang sama dengan mereka yang berpunya. Konsumen barang-barang KW pun bermunculan. Disini, PKL tadi melihat kesempatan untuk menjual barang-barang tersebut. Maka tidak heran mereka juga menggantungkan penghidupan mereka pada perilaku masyarakat seperti tadi.

Jika kita lihat dari segi apa yang diperjualbelikan juga akan kurang lebih sama ceritanya. Tidak semua orang bisa membeli donat JCo atau kapucino Starbucks. Maka kita lihat, bagaimana kreatifitas dari para PKL dalam menjajakan donat bakar dan kapucino cincau yang tidak bikin kantong kering, dan bahkan lebih enak!

Stigma PKL hanya menjual barang KW, bukan merupakan sesuatu hal yang salah. Jika kita memang mampu membeli barang orisinil, ya silahkan. Yang perlu kita pahami bahwa ini bukan hanya masalah KW atau Ori, tapi masalah persaingan dan kesempatan yang sebenarnya tidak heran dimanfaatkan mereka yang tidak bisa bersaing kuat dengan yang memiliki modal luar biasa besarnya. Coba renungi lagi, berapa barang KW yang kalian punya, dan berapa barang ori yang kalian punya.

“Pergilah! Bebas-lepaslah di alam raya, alam kata-kata. Merdekalah dari alam pikiran. Jadilah sebuah perbuatan!”