20
PM 10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos Tahun 2017 Fuad Najar Mukti, Sri Tjahyani Budi Utami Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia. Email : [email protected] Abstrak Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita masih menjadi masalah yang besar di Indonesia. ISPA balita menjadi penyebab kematian balita urutan kedua di Jawa Barat dan di kota Depok menempati urutan pertama dari 10 penyakit yang di rawat jalan di Puskesmas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh PM 10 udara dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tapos Kota Depok tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan disain cross sectional. Jumlah sampel 100 balita dengan metode cluster sampling yang diambil secara acak pada 2 kelurahan. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ISPA pada balita tergolong tinggi (57,7% dan 66,7%), Konsentrasi PM 10 dalam rumah (OR = 3,477; 1,077-11,229), suhu ruangan (OR = 2,333; 1,017-5,351), kelembaban ruangan (OR = 1,119; 0,443-2,827), luas ventilasi ruangan (OR = 1,233; 0,108-14,082), dan status imunisasi (OR = 1,233; 0,108-14,082) menjadi faktor risiko penyebab kejadian ISPA balita. Kata kunci : Balita; ISPA; PM 10 PM 10 Inside The House Which Acute Respiratory Infection (ARI) Occurred in Infant Within Tapos Puskesmas in Depok Area in 2017 Abstract Acute Respiratory Infection (ARI)’s occurrence in infant remains a prominent problem in Indonesia. ARI are the second largest cause of death in West Java Province, and are the first cause of 10 diseases commonly occurred in patients coming to Community Health Clinic within Depok area. This research conducted aiming at observing PM 10 factor in the air inside the house towards ARI’s occurrence in infant within Tapos Community Health Clinic in Depok area in 2017. This research conducted using quantitative methods with cross sectional design. The samples were randomly chosen in 2 districts using cluster sampling method, collected 100 infants in total. Chi-square test applied to measure the statistical data. The result suggests that ARI’s occurrence in infant is utterly high (57,7% and 66,7%), PM 10 concentration (OR = 3,477; 1,077-11,229), temperature (OR = 2,333; 1,017-5,351), humidity (OR = 1,119; 0,443-2,827), ventilation (OR = 1,233; 0,108-14,082), and immunization status (OR = 1,233; 0,108-14,082) be risk factors cause the ARI occurred in infant. Keywords: ARI; infant; PM 10 PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos Tahun 2017

Fuad Najar Mukti, Sri Tjahyani Budi Utami

Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI,

Depok, 16424, Jawa Barat, Indonesia.

Email : [email protected]

Abstrak

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita masih menjadi masalah yang besar di Indonesia. ISPA balita menjadi penyebab kematian balita urutan kedua di Jawa Barat dan di kota Depok menempati urutan pertama dari 10 penyakit yang di rawat jalan di Puskesmas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh PM10 udara dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tapos Kota Depok tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan disain cross sectional. Jumlah sampel 100 balita dengan metode cluster sampling yang diambil secara acak pada 2 kelurahan. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ISPA pada balita tergolong tinggi (57,7% dan 66,7%), Konsentrasi PM10 dalam rumah (OR = 3,477; 1,077-11,229), suhu ruangan (OR = 2,333; 1,017-5,351), kelembaban ruangan (OR = 1,119; 0,443-2,827), luas ventilasi ruangan (OR = 1,233; 0,108-14,082), dan status imunisasi (OR = 1,233; 0,108-14,082) menjadi faktor risiko penyebab kejadian ISPA balita.

Kata kunci : Balita; ISPA; PM10

PM10 Inside The House Which Acute Respiratory Infection (ARI) Occurred in Infant

Within Tapos Puskesmas in Depok Area in 2017

Abstract

Acute Respiratory Infection (ARI)’s occurrence in infant remains a prominent problem in Indonesia. ARI are the second largest cause of death in West Java Province, and are the first cause of 10 diseases commonly occurred in patients coming to Community Health Clinic within Depok area. This research conducted aiming at observing PM10 factor in the air inside the house towards ARI’s occurrence in infant within Tapos Community Health Clinic in Depok area in 2017. This research conducted using quantitative methods with cross sectional design. The samples were randomly chosen in 2 districts using cluster sampling method, collected 100 infants in total. Chi-square test applied to measure the statistical data. The result suggests that ARI’s occurrence in infant is utterly high (57,7% and 66,7%), PM10 concentration (OR = 3,477; 1,077-11,229), temperature (OR = 2,333; 1,017-5,351), humidity (OR = 1,119; 0,443-2,827), ventilation (OR = 1,233; 0,108-14,082), and immunization status (OR = 1,233; 0,108-14,082) be risk factors cause the ARI occurred in infant. Keywords: ARI; infant; PM10

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 2: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Pendahuluan

Berdasarkan laporan kinerja KLHK bidang lingkungan hidup tahun 2014 tentang

konsentrasi Particulate Matter 10 (PM10) di 45 kota pada tahun 2013 dan 2014, di Indonesia

masih terdapat kota-kota yang memiliki konsentrasi PM10 di atas batas normal yaitu 150

𝜇g/m3. Sedangkan data pengukuran PM10 di 17 titik oleh BPLHD kota Depok pada tahun

2013, terdapat 4 titik pengukuran yang memiliki konsentrasi PM10 di atas batas normal (150

𝜇g/m3), yaitu Rumah Sakit Meilina (196 𝜇g/m3), Kecamatan Limo (185 𝜇g/m3), Kecamatan

Tapos (279 𝜇g/m3), dan Kecamatan Cinere (185 𝜇g/m3). Pada tahun 2014, terdapat 2 titik

pengukuran yang memiliki konsentrasi PM10 berada di atas normal yaitu Kecamatan Pancoran

Mas (176 𝜇g/m3) dan Terminal Depok (173 𝜇g/m3).

Kejadian ISPA pada balita di kota Depok tahun 2012 menempati urutan pertama dari

10 penyakit terbanyak pada pasien yang dirawat jalan di Puskesmas yaitu sebesar 14%. Pada

tahun 2013, pasien rawat jalan yang menderita ISPA di Puskesmas pada kelompok umur 0 - <

1 tahun sebanyak 43,97%, pada kelompok umur 1 – 4 tahun sebanyak 44,73%. Pada tahun

2013, terdapat 11 balita meninggal 1 diantaranya meninggal karena ISPA. Pada tahun 2014,

kejadian ISPA menempati urutan pertama pada pasien yang melakukan rawat jalan di rumah

sakit yaitu sebesar 23,8%. Kasus ISPA pada balita pun menjadi urutan pertama pada sepuluh

penyakit terbanyak yang melakukan rawat jalan di Puskesmas yaitu sebesar 18,9% (Profil

Kesehatan Kota Depok tahun 2012, 2013, dan 2014).

Berdasarkan data profil kesehatan dari UPT PKM Tapos, kejadian ISPA tahun 2013

pada balita adalah 1276 kasus atau 60,62 % dengan kasus baru 520 atau 64, 68%. Kejadian

ISPA pun menempati urutan pertama dari 10 penyakit yang diderita oleh pasien rawat jalan

kelompok balita tahun 2013-2014.

Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian PM10 dalam Rumah dengan

Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Tapos Tahun 2017. Melalui penelitian ini, penulis ingin menjelaskan pengaruh PM10 udara

dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaaat

bagi puskesmas dan dinas kesehatan untuk mengetahui faktor penyebab kejadian ISPA balita

sehingga dapat menentukan prioritas program penanggulangan ISPA balita. Melalui

penelitian ini pula, masyarakat dapat mengetahui faktor-risiko penyebab ISPA balita dan

pencegahannya. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh institusi sebagai gambaran awal

penelitian selanjutnya terkait kejadian ISPA balita

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 3: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Tinjauan Teoritis

Particulate Matter 10 (PM10) Particulate Matter (PM) merupakan polutan udara yang terdiri atas campuran partikel

padat dan cair tersuspensi di udara. Indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan

konsentrasi PM yang relevan dengan kesehatan merujuk pada konsentrasi massa partikel

dengan diameter kurang dari 10 pm (PM10). Particulate Matter (PM) merupakan campuran

yang memiliki karakteristik fisik dan kimia yang berbeda-beda menurut lokasi. Kandungan

kimia yang umum dari PM antara lain sulfat, nitrat, amonium, dan ion anorganik lainnya

seperti ion natrium, kalium, kalsium, magnesium dan klorida, karbon organik dan unsur,

materi kerak, partikel air terikat, logam (termasuk kadmium, tembaga, nikel, vanadium, dan

seng) dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs). Selain itu, komponen biologis seperti

alergen dan senyawa mikroba yang dapat ditemukan juga pada PM (WHO, 2005).

Upaya pengendalian PM10 di lingkungan rumah dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Cara pertama dengan penyaringan (filtrasi). Penyaringan digunakan untuk memisahkan

partikel dari udara. Apabila pemasukan udara dalam ruang menggunakan sistem ventilasi

mekanik, biasanya telah dilengkapi dengan media penyaringan. Cara kedua dengan

pengaturan letak pemasukan udara (ventilasi). Sistem ventilasi dapat dibuat dengan cara

sistem silang sehingga terjadi aliran udara. Adapun untuk rumah yang dekat dengan sumber

pencemaran seperti jalan raya, ventilasi tidak diletakkan pada dinding yang berhadapan

dengan sumber tersebut. Selanjutnya, waktu pengaturan masuknya udara segar. Udara pagi

diupayakan masuk sebanyak-banyaknya agar terjadi pertukaran dengan udara yang berada di

dalam rumah. Cara ketiga dengan menanami sekeliling rumah dengan tanaman hias. Hal ini

dapat membantu memperindah dan menyejukkan ruangan selain itu juga untuk mengurangi

masuknya bahan pencemar yang berasal dari udara luar.

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Infeksi Saluran pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan akut yang

menyerang saluran pernapasan yang meliputi saluran pernapasan bagian atas. Penyakit yang

terjadi pada saluran pernapasan bagian atas antara lain rhinitis, fharingitis, dan ototis serta

saluran pernapasan bagian bawah antara lain laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan

pneumonia, yang dapat berlangsung selama 14 hari. Batas waktu 14 hari diambil untuk

menentukan batas akut dari penyakit tersebut. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 4: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

hidung sampai alveoli beserta organ seperti sinus, ruang telinga tengah dan pleura (Depkes RI,

2009).

Penyakit ISPA disebabkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebab ISPA

adalah Haemophilus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan lain-lain

(Widoyono, 2008). Bakteri Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab

paling umum pneumonia. Virus yang dapat menyebabkan ISPA pada balita adalah rhinovirus,

respiratory syncytial virus, parain influenzaenza virus, severe acute respiratory syndrome

associated coronavirus (SARS-CoV), dan virus Influenza (WHO, 2007). Jamur penyebab

ISPA adalah Aspergilosis sp, Candida albikans, Hitoplasma dan lain-lain. Balita dapat

menderita ISPA sebanyak 6 – 8 kali dalam setahun.

Berdasarkan Depkes RI (2002), tanda dan gejala ISPA balita pada klasifikasi bukan

Pneumonia mencakup kelompok penderita balita dengan batuk yang tidak menunjukkan

gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam. Selain itu, seseorang balita ditemukan satu atau lebih dari gejala-

gejala seperti batuk, serak, pilek, panas atau demam. Serak adalah suara parau pada balita

ketika balita berbicara atau menangis. Pilek adalah keluarnya lendir atau ingus dari hidung

balita dan demam atau panas adalah ketika suhu badan balita lebih dari 37oC. Dengan

demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup penyakit penyakit ISPA lain di luar

Pnemonia seperti batuk pilek bukan Pneumonia (common cold, pharyngitis, tonsilitis, otitis).

Gejala dominan pada common cold antara lain meler, mampet, bersin, dan nyeri tenggorokan

dan batuk.

Dalam Kusetiarini, 2012, beberapa faktor risiko ISPA di antaranya faktor risiko

pencemar udara dalam rumah dan faktor risiko individu balita. Faktor risiko pencemar udara

dalam rumah meliputi asap rokok dan penggunaan obat nyamuk bakar. Faktor risiko individu

balita mencakup umur balita, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, dan ASI eksklusif.

Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak

pada bayi dan balita. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12 bulan. Hal ini dipengaruhi oleh

faktor imunitas pada bayi yang masih rentan dengan pajanan dari lingkungan luar. Selain itu,

bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar

dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran

karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena

penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.

Status imunisasi pun menjadi salah satu faktor risiko kejadian ISPA balita.

Pelaksanaan imunisasi ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 5: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Setiap anak mendapatkan

imunisasi dasar terhadap 7 penyakit utama sebelum usia 1 tahun. Peningkatan cakupan

imunisasi penyakit ISPA dengan menggalakkan imunisasi difteri, pertusis dan morbilitas

sangat berperan dalam usaha pemberantasan ISPA (Daulay, 1992 dalam Afandi 2012).

Adapun pemberian ASI eksklusif kepada bayi selama enam bulan pertama terbukti

menurunkan angka kematian pada anak balita. Selain itu, ASI juga memberi keuntungan

terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi dan terbukti dapat mencegah berbagai

penyakit akut dan menahun. WHO menganjurkan agar bayi diberikan ASI eksklusif selama

enam bulan pertama. Sebab, terbukti bahwa menyusui eksklusif selama enam bulan

menurunkan angka kematian dan kesakitan pada umumnya dibandingkan dengan menyusu

ASI selama empat bulan (Lindawaty, 2010).

Karakteristik Rumah Sehat Rumah sehat memungkinkan penghuni untuk dapat hidup sehat, dan menjalankan

kegiatan hidup sehari-hari secara layak. Menurut Permenkes nomor 1077 tahun 2011 faktor

fisik yang harus diperhatikan untuk rumah sehat antara lain :

1) Suhu

Suhu ruangan yang disyaratkan adalah 18o – 30oC. Perubahan suhu udara dalam

rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penggunaan bahan bakar biomassa,

ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian, bahan dan struktur bangunan,

kondisi geografis, dan kondisi topografi.

2) Pencahayaan

Pencahayaan ruangan yang disyaratkan adalah minimal 60 lux. Cahaya yang terlalu

tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Faktor resiko pencahayaan adalah

intensitas cahaya yang rendah, baik cahaya yang bersumber dari alamiah maupun buatan.

Pencahayaan alamiah diperoleh dari sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui

jendela. Cahaya matahari berguna untuk mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk,

dan membunuh kuman penyakit.

3) Kelembaban

Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan suburnya

pertumbuhan mikroorganisme. Spora-spora dan virus merupakan jenis mikroorganisme yang

dapat lebih bertahan di udara bebas (Slamet, 2000 dalam Sinaga, 2012). Kelembaban ruangan

sangat dipengaruhi oleh aliran udara dan pencahayaan. Aliran udara yang kurang atau tidak

lancar akan menjadikan ruangan terasa pengap atau sumpek dan akan menimbulkan

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 6: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

kelembaban tinggi dalam ruangan. Kelembaban udara rendah dapat menyebabkan kerusakan

pada lapisan epitel saluran pernapasan dan atau mengurangi kebersihan siliamukosa, sehingga

meningkatkan risiko terinfeksi virus influenza, dimana stabilitas virus ini mencapai nilai

maksimal pada kelembaban yang relatif rendah (20-40%) dan stabilitas minimum pada

kondisi dengan kelembaban relatif sedang (50%) dan tinggi (60-80%) (Sinaga, 2012).

Kelembaman dalam rumah yang memenuhi syarat adalah 40 – 60% Rh.

4) Laju Ventilasi

Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya

pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia.

Laju ventilasi yang disyaratkan adalah 0,15 – 0,25 m/detik. Faktor resiko dari laju ventilasi

antara lain kurangnya ventilasi (jumlah dan luas ventilasi tidak cukup, sesuai persyaratan

kesehatan), tidak ada pemeliharaan AC secara berkala. Luas ventilasi yang disyaratkan adalah

10% dari luas lantai dengan sistem ventilasi silang. Saluran ventilasi pada sebuah rumah

mempunyai berbagai fungsi, fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam

rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi

menyebabkan kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah

untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen dan

menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo 2007 dalam

Afandi 2012).

Metode Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional untuk melihat hubungan

antara variabel dependen dan independen yang diamati secara bersama-sama pada saat dan

satu periode pengamatan. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Tapos Kota

Depok yaitu kelurahan Tapos dan Leuwinanggung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Februari – Maret 2017. Populasi penelitian ini adalah seluruh balita yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Tapos dengan unit informasinya adalah ibu balita tersebut. Sampel penelitian ini

adalah balita. Kriteria inklusi sampel adalah ibu yang memiliki balita laki-laki/perempuan

usia 24-59 bulan, bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tapos dan bersedia menjadi

responden. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ibu balita laki-laki/perempuan bertempat

tinggal di luar wilayah kerja Puskesmas Tapos dan ibu tidak bersedia menjadi responden.

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 7: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Jumlah sampel minimal adalah 100 orang. Seratus sampel tersebut dibagi dengan

proporsi 52 orang di Kelurahan Tapos dan 48 orang di Kelurahan Leuwinanggung. Sampel

yang dilakukan pengukuran tidak mendapatkan asuransi selama penelitian.

Penentuan pengambilan sampel dilakukan dengan metode cluster sampling yaitu

dengan membagi membagi 2 klaster (sesuai dengan jumlah kelurahan yang menjadi wilayah

kerja Puskesmas Tapos). Dari 2 klaster tersebut dipilih secara simple random sampling yaitu

pemilihan sampel secara acak pada ibu yang memiliki balita.

Jumlah sampel balita menjadi dasar sampel PM10. Titik sampel PM10 dalam rumah

adalah ruangan paling sering balita beraktifitas. Jumlah titik sampel sebanyak 100 titik yang

terbagi 52 titik di Kelurahan Tapos yang tersebar pada 20 RW dan 48 titik di Kelurahan

Leuwinanggung yang tersebar pada 14 RW. Sebelum turun ke lapangan, beberapa persiapan

dilakukan, seperti survey awal lokasi penelitian, menyiapkan surat izin penelitian,

menyiapkan kuesioner penelitian, mengecek kelengkapan identitas, mengecek isian data, dan

peminjaman alat.

Pada penelitian ini terdapat dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Data

primer pada penelitian ini didapatkan dari hasil pengukuran konsentrasi PM10 udara dalam

rumah, hasil pengukuran kondisi rumah tinggal (suhu, kelembaban, pencahayaan, luas

ventilasi), dan kuesioner hasil wawancara dan observasi langsung pada 100 rumah yang

meliputi faktor lain yang diteliti adalah faktor imunitas balita yaitu status imunisasi dan ASI

eksklusif. Sementarar itu, data sekunder penelitian ini didapatkan dari data Profil Kesehatan

Puskesmas Tapos.

Pengukuran PM10 dilakukan selama 30 menit bersama dengan pengukuran

kelembaban, pencahayaan, luas ventilasi, dan suhu serta wawancara dan observasi langsung

terhadap responden. Pengukuran PM10 dilakukan dengan menggunakan alat Haz Dust dengan

metode direct sampling (hasil dapat langsung diketahui), kelembaban diukur menggunakan

Hygrometer, dan pencahayaan diukur dengan Luxmeter. Luas ventilasi diukur dengan

menggunakan meteran.

Data primer dan sekunder tersebut diolah secara statistik kemudian dianalisis. Pada

penelitian ini dilakukan analisis univariat untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran

sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna

berupa ukuran statistik, tabel, grafik. Adapun analisis bivariat untuk mengetahui hubungan

dua variabel. Adanya hubungan atau tidak dapat dilihat dari nilai p (p-value), kemudian

dibandingkan dengan α = 0,05. Apabila nilai p < α, maka ada hubungan antara dua variabel

tersebut. Apabila ada hubungan, maka dilakukan langkah berikutnya yaitu perhitungan nilai

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 8: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Odds Ratio (OR) untuk melihat besar resiko (efek size). Bila nilai OR < 1. maka faktor resiko

sebagai faktor pencegah timbulnya penyakit. Bila nilai OR = 1. maka faktor resiko tidak

berhubungan dengan timbulnya penyakit. Bila nilai OR > 1. maka faktor resiko sebagai faktor

penyebab/faktor resiko timbulnya penyakit.

Hasil Penelitian

Hasil Pengukuran Konsentrasi PM10, Kelembaban, Pencahayaan, dan Suhu dalam Rumah

Balita Tabel 5. 2. 1 Hasil Pengukuran Konsentrasi PM10, Kelembaban, Pencahayaan, dan Suhu

Variabel N Min – Max Mean SD 95% CI Mean Konsentrasi PM10 100 4,0 – 309,0 51,4 59,0 39,6 – 63,0 Kelembaban 100 44,0 – 79.8 66,7 7,2 65,3 – 68,2 Pencahayaan 100 0,5 – 664,0 58,2 89,6 40,5 – 76,0 Suhu 100 24,1 – 32,6 29,8 1,4 29,6 – 30,1

Dari hasil pengukuran pada 100 ruangan dalam rumah balita, rata-rata konsentrasi

PM10 51,4 µg/m3. Konsentrasi terendah adalah 4,0 µg/m3 dan konsentrasi tertinggi adalah

309,0 µg/m3. Rata-rata kelembaban ruangan dalam rumah adalah 66,7%. Kelembaban

terendah adalah 44,0% dan kelembaban tertinggi adalah 79,8%. Adapun untuk rata-rata

pencahayaan ruangan rumah adalah 58,2 lux. Pencahayaan tertinggi adalah 664,0 lux dan

pencahayaan terendah adalah 0,5 lux. Rata-rata suhu ruangan adalah 29,8oC. Suhu ruangan

tertinggi adalah 32,6oC dan suhu ruangan terendah adalah 24,1oC.

GambaranKonsentrasiPM10Tabel 5. 2. 2 Gambaran Distribusi Variabel Penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos Tahun 2017.

Variabel N Tapos Leuwinanggung Total

Keberadaan PM10 Memenuhi Syarat 44 34 78 Tidak Memenuhi Syarat 8 14 22 Kejadian ISPA Balita Tidak Sakit 22 16 38 Sakit 30 32 62 Faktor Kondisi Rumah Suhu Memenuhi Syarat 32 8 40 Tidak Memenuhi Syarat 20 40 60 Pencahayaan Memenuhi Syarat 10 16 26 Tidak Memenuhi Syarat 42 32 74 Kelembaban Memenuhi Syarat 1 24 25 Tidak Memenuhi Syarat 51 24 75 Luas Ventilasi

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 9: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Memenuhi Syarat 51 46 97 Tidak Memenuhi Syarat 1 2 3 Faktor Imunitas Balita Status imunisasi Lengkap 51 46 97 Tidak Lengkap 1 2 3 ASI eksklusif Ya 25 27 52 Tidak 27 21 48

Konsentrasi PM10 yang dipersyaratkan berdasarkan Permenkes no 1077 tahun 2011

adalah ≤ 70 µg/m3. Dari 100 rumah responden yang diukur konsentrasi PM10nya, rumah

yang memenuhi syarat sebanyak 78 rumah dan 22 rumah tidak memenuhi syarat karena

memiliki kadar di atas 70 µg/m3. Dari 78 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 44 rumah

berada di Kelurahan Tapos dan 34 rumah di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan dari 22

rumah yang tidak memenuhi syarat, 8 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 14 rumah berada

di Kelurahan Leuwinanggung.

Gambaran Kejadian ISPA pada Balita

Penentuan kejadian ISPA pada balita suatu gejala infeksi yang berupa batuk, pilek,

dan demam selama 2 minggu terakhir. Hasil wawancara pada 100 responden didapatkan

balita yang tidak menderita penyakit ISPA sebanyak 38 orang dan balita yang menderita

penyakit ISPA sebanyak 62 orang. Dari 38 balita yang tidak menderita ISPA tersebut, 22

balita terdapat di Kelurahan Tapos dan 16 balita di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan

dari 62 balita yang menderita ISPA, 30 balita berada di Kelurahan Tapos dan 32 balita di

Kelurahan Leuwinanggung.

Gambaran Faktor Kondisi Rumah

Faktor kondisi rumah terhadap kejadian ISPA balita yang diteliti dalam penelitian ini

adalah suhu, pencahayaan, kelembaban, dan luas ventilasi ruangan. Berdasarkan Permenkes

no 1077 tahun 2011, syarat suhu ruangan adalah berkisar antara 18 – 30oC, pencahayaan

adalah < 60 lux, kelembaban adalah berkisar antara 40–60%, dan luas ventilasi adalah > 10%

dari luas lantai.

Dari 100 rumah yang diukur suhunya didapati 40 rumah responden memenuhi syarat

dan 60 rumah yang tidak memenuhi syarat. Dari 40 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 32

rumah berada di Kelurahan Tapos dan 8 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung.

Sedangkan dari 60 rumah yang tidak memenuhi syarat, 20 rumah berada di Kelurahan Tapos

dan 40 berada di Kelurahan Leuwinanggung. Adapun untuk pencahayaan, dari 100 rumah

resonden terdapat 26 rumah responden memenuhi syarat dan 74 rumah yang tidak memenuhi

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 10: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

syarat (lebih dari 60 lux). Dari 26 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 10 rumah berada di

Kelurahan Tapos dan 16 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan dari 74

rumah yang tidak memenuhi syarat, 42 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 32 berada di

Kelurahan Leuwinanggung.

Dari 100 rumah responden yang diukur kelembabannya terdapat sebanyak 25 rumah

responden yang memiliki kelembaban ruangan yang memenuhi syarat dan 75 rumah tidak

memenuhi syarat. Dari 25 rumah yang memenuhi syarat tersebut, 1 rumah berada di

Kelurahan Tapos dan 24 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan dari 75

rumah yang tidak memenuhi syarat, 51 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 24 berada di

Kelurahan Leuwinanggung.

Sedangkan untuk luas ventilasi, dari 100 rumah didapati rumah yang memenuhi syarat

sebanyak 97 rumah dan 3 rumah tidak memenuhi syarat. Dari 97 rumah yang memenuhi

syarat tersebut, 51 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 46 rumah berada di Kelurahan

Leuwinanggung. Sedangkan dari 3 rumah yang tidak memenuhi syarat, 1 rumah berada di

Kelurahan Tapos dan 2 berada di Kelurahan Leuwinanggung.

Gambaran Faktor Imunitas Balita

Faktor imunitas balita terhadap kejadian ISPA balita yang diteliti dalam penelitian ini

adalah status imunisasi balita dan pemberian ASI eksklusif. Status imunisasi pada penelitian

ini disebut lengkap apabila KMS balita menunjukkan bahwa balita tersebut sudah di imunisasi

DPT dan dan campak. Dari 100 balita yang dilihat KMSnya didapati bahwa hampir seluruh

balita mendapatkan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 97 orang balita sudah terimunisasi DPT

dan campak, hanya 3 orang balita yang memiliki status imunisasi tidak lengkap yaitu terlewat

imunisasi campaknya. Dari 97 balita yang sudah lengkap imunisasinya tersebut, 51 rumah

berada di Kelurahan Tapos dan 46 rumah berada di Kelurahan Leuwinanggung. Sedangkan

dari 3 balita yang tidak lengkap imunisasinya, 1 rumah berada di Kelurahan Tapos dan 2

berada di Kelurahan Leuwinanggung.

ASI eksklusif pada penelitian ini didasarkan pada riwayat balita mendapatkan ASI

eksklusif dari usia 0–6 bulan balita tidak diberikan makanan dan atau minuman lain selain air

susu ibu saja kecuali obat sirup. Hasil wawancara dengan 100 responden didapati bahwa

balita yang mendapat ASI Eksklusif sebanyak 52 orang balita dan balita yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 48 orang balita. Dari 52 balita yang mendapat ASI

eksklusif tersebut, 25 balita berada di Kelurahan Tapos dan 27 balita berada di Kelurahan

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 11: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Leuwinanggung. Sedangkan dari 48 balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, 27 balita

berada di Kelurahan Tapos dan 21 balita berada di Kelurahan Leuwinanggung.

Hasil Analisis Bivariat Tabel 5.3. 1 Distribusi Berdasarkan Hubungan Variabel di Puskesmas Tapos Tahun 2017

Variabel ISPA P Value OR (95% CI) Tidak Sakit % Sakit %

Keberadaan PM10 Memenuhi Syarat 34 43,6 44 56,4

0,045* 3,477 1,077-11,229 Tidak Memenuhi

Syarat 4 18,2 18 81,8

Faktor Kondisi Rumah Suhu Memenuhi Syarat 20 50,0 20 50,0

0,059 2,333 1,017-5,351 Tidak Memenuhi

Syarat 18 30,0 42 70,0

Pencahayaan Memenuhi Syarat 8 30,8 18 69,2

0,483 0,652 0,251-1,691 Tidak Memenuhi

Syarat 30 40,5 44 59,5

Kelembaban Memenuhi Syarat 10 40,0 15 60,0

0,816 1,119 0,443-2,827 Tidak Memenuhi

Syarat 28 37,3 47 62,7

Luas Ventilasi Memenuhi Syarat 37 38,1 60 61,9

1,000 1,233 0,108-14,082 Tidak Memenuhi

Syarat 1 33,3 2 66,7

Faktor Imunitas Balita Status imunisasi Lengkap 37 38,1 60 61,9 1,000 1,233 0,108-

14,082 Tidak Lengkap 1 33,3 2 66,7 ASI eksklusif Ya 19 36,5 33 63,5 0,838 0,879 0,392-

1,972 Tidak 19 39,6 29 60,4 Keterangan : * signifikan pada level ≤ 0,05

Hubungan keberadaan PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita

Responden yang konsentrasi PM10 dalam rumahnya memenuhi syarat dan balitanya

menderita ISPA sebanyak 44 (56,4%), sedangkan responden yang konsentrasi PM10 dalam

rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 18 (81,8%).

Selanjutnya p-value sebesar 0,045 berarti ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi

atau keberadaan PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 3,477

artinya rumah yang memiliki konsentrasi PM10 tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,5

kali lebih besar balitanya menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang memiliki

konsentrasi PM10 yang memenuhi syarat. Nilai OR > dari 1, hal ini menunjukkan bahwa

keberadaan atau konsentrasi PM10 merupakan faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita

pada penelitian ini.

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 12: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Hubungan suhu ruang dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita

Responden yang suhu ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita

ISPA sebanyak 20 (50,0%), sedangkan responden yang suhu ruangan rumahnya tidak

memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 42 (70,0%). Selanjutnya p-

value sebesar 0,059 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara suhu ruangan dengan

kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 2,33 artinya rumah yang suhu ruang dalam rumahnya

tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,6 kali lebih besar balitanya menderita ISPA

dibandingkan dengan rumah yang suhu ruang dalam rumahnya memenuhi syarat. Nilai OR >

1, hal ini menunjukkan bahwa suhu ruangan merupakan faktor risiko timbulnya penyakit

ISPA balita pada penelitian ini.

Hubungan pencahayaan ruang dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita

Responden yang pencahayaan ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya

menderita ISPA sebanyak 18 (69,2%), sedangkan responden yang pencahayaan ruangan

rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 44 (59,5%).

Selanjutnya p-value sebesar 0,483 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara

pencahayaan ruangan dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 0,652 nilainya < 1, hal

ini menunjukkan bahwa pencahayaan merupakan bukan faktor risiko timbulnya penyakit

ISPA balita pada penelitian ini.

Hubungan kelembaban ruang dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita

Responden yang kelembaban ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya

menderita ISPA sebanyak 15 (60,0%), sedangkan responden yang kelembaban ruangan

rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 47 (62,7%).

Sedangkan p-value sebesar 0,816 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara

kelembaban ruangan dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 1,119 artinya rumah yang

memiliki kelembaban ruangan tidak memenuhi syarat memiliki risiko 1,1 kali lebih besar

balitanya menderita ISPA dibandingkan dengan rumah yang memiliki kelembaban yang

memenuhi syarat. Nilai OR > dari 1, hal ini menunjukkan bahwa kelembaban merupakan

faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita pada penelitian ini.

Hubungan luas ventilasi ruangan dengan kejadian ISPA pada balita

Responden yang ventilasi ruangan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya

menderita ISPA sebanyak 60 (61,9%), sedangkan responden yang ventilasi rumahnya tidak

memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 2 (66,7%). Selain itu, p-

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 13: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

value sebesar 1,000 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara ventilasi ruangan

dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 1,233 artinya rumah yang memiliki luas

ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki risiko 1,2 kali lebih besar balitanya menderita ISPA

dibandingkan dengan rumah yang memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat. Nilai OR >

dari 1, hal ini menunjukkan bahwa luas ventilasi merupakan faktor risiko timbulnya penyakit

ISPA balita pada penelitian ini.

Hubungan status imunisasi balita dengan kejadian ISPA pada balita

Responden yang balitanya diimunisasi secara lengkap dan menderita ISPA sebanyak

60 (61,9%), sedangkan responden yang balitanya tidak diimunisasi secara lengkap menderita

ISPA adalah sebanyak 2 (66,7%). Selain itu, p-value sebesar 1,000 berarti tidak ada hubungan

yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 1,233

artinya balita yang tidak lengkap imunisasinya memiliki risiko 1,3 kali lebih besar balitanya

menderita ISPA dibandingkan balita yang lengkap imunisasinya. Nilai OR > dari 1, hal ini

menunjukkan bahwa status imunisasi merupakan faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita

pada penelitian ini.

Hubungan ASI eksklusif balita dengan kejadian ISPA pada balita

Responden yang balitanya diberikan ASI eksklusif dan menderita ISPA sebanyak 33

(63,5%), sedangkan responden yang balitanya tidak diberikan ASI eksklusif dan menderita

ISPA adalah sebanyak 29 (60,4%). Selain itu, p-value sebesar 0,838 berarti tidak ada

hubungan yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita.

Nilai OR = 0,879 < 1, hal ini menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusi merupakan bukan

faktor risiko timbulnya penyakit ISPA balita pada penelitian ini.

Pembahasan

Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan yang ditemui dalam penelitian ini antara lain jenis desain

penelitian dan bias informasi. Dalam penelitian ini digunakan desain penelitian cross

sectional yang mempunyai kelemahan sulitnya membedakan variabel penyebab dengan

variabel akibat. Hal itu karena kedua variabel diukur pada saat yang bersamaan. Hubungan

yang bisa digambarkan melalui desain ini hanya menunjukkan keterkaitan atau hubungan saja,

bukan menunjukkan sebab akibat. Sehingga apabila penelitian dilakukan pada waktu yang

berbeda kemungkinan hasil dari penelitian tersebut akan berbeda.

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 14: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Kelemahan dalam sampel penelitian pun dapat dilihat dari hasil sampel yang kurang

representatif. Hal itu karena sebaran sampel penelitian (responden) yang cukup berjauhan

sedangkan pengambilan data terbatas pada waktu dan dana dalam penelitian. Selain itu,

sampel yang diambil pun secara acak tidak mengikuti data yang diberikan oleh puskesmas.

Kelemahan lain adalah bias informasi yang berasal dari alat ukur maupun sampel

penelitian. Alat yang dipergunakan (hygrometer dan luxmeter) tidak terkalibrasi secara teratur

dan pengukuran yang dilakukan hanya satu kali. Bias informasi pada sampel penelitian

berupa recall bias karena wawancara terkait definisi ISPA balita dilakukan oleh peneliti

sendiri tanpa tenaga kesehatan. Bias yang terjadi ketika responden tidak memberikan jawaban

yang sebenarnya ataupun kurang memahami pertanyaan yang disampaikan peneliti.

Gambaran Keberadaan PM10 dalam Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos Tahun

2017

Pengukuran PM10 pada 100 rumah di wilayah kerja Puskesmas Tapos didapati

sebanyak 78 rumah memenuhi syarat dan 22 rumah tidak memenuhi syarat. Secara proporsi,

52 rumah di Kelurahan Tapos, sebanyak 44 rumah (84%) memenuhi syarat dan 8 rumah

(15,4%) tidak memenuhi syarat. Sedangkan di Kelurahan Leuwinanggung dari 48 rumah,

yang memenuhi syarat 34 rumah (70,8%) dan yang tidak memenuhi syarat 14 rumah (29,2%).

Presentase rumah yang memenuhi syarat lebih banyak di Kelurahan Tapos dan rumah yang

tidak memenuhi syarat lebih banyak di Kelurahan Leuwinanggung. Hal itu karena secara

jarak pada pada UPT Puskesmas, Kelurahan Tapos lebih dekat (2 km). Sedangkan Kelurahan

Leuwinanggung berjarak 7 km ke UPT Puskesmas. Jarak yang berbeda memberikan

jangkauan program penyehatan UPT Puskesmas yang berbeda.

Gambaran Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tapos 2017

Hasil wawancara dengan 100 responden tentang kejadian penyakit ISPA pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Tapos didapati 62 balita yang sakit ISPA dan 31 balita yang tidak

menderita penyakit ISPA. Secara proporsi, dari 52 sampel balita di Kelurahan Tapos, 30

balita (57,7%) menderita ISPA dan 22 balita (42,3%) tidak menderita ISPA. Sedangkan dari

48 sampel balita di Kelurahan Leuwinanggung, 32 balita (66,7%) menderita ISPA dan 16

balita (33,3%) tidak menderita ISPA. Presentase berdasarkan proporsi dari setiap kelurahan

menunjukkan Kelurahan Leuwinanggung lebih banyak yang sakit dari pada Kelurahan Tapos.

Hal itu karena jarak UPT Puskesmas Tapos dengan Kelurahan Tapos paling jauh 2 km

sedangkan dengan Kelurahan Leuwinanggung paling berjauh 7 km. Selain itu, akses

penduduk di Kelurahan Leuwinanggung menuju UPT Puskesmas Tapos ditempuh dengan dua

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 15: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

kali naik angkutan umum. Hal itu menyebabkan biaya yang harus ditanggung penduduk

cukup besar.

Hubungan antara Variabel Dependen dengan Variabel Independen

Kejadian ISPA dengan Keberadaan PM10 dalam Rumah

Hasil p-value dari konsentrasi PM10 dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,045 (<

0,05) menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian ISPA balita. Selain itu, nilai OR yang

didapatkan 3,477 (> 1) menunjukkan bahwa konsentrasi PM10 menjadi faktor penyebab dari

kejadian ISPA balita. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian

Wahyuni (2014) bahwa PM10 dalam rumah memiliki hubungan yang signifikan dengan

kejadian ISPA pada balita.

Keberadaan PM10 dalam rumah dapat disebabkan dari pembakaran sampah yang

masih sering dilakukan oleh penduduk. Dari observasi yang dilakukan, penduduk Kelurahan

Tapos dan Leuwinanggung masih memiliki kebiasaan membakar sampah. Hal itu karena tidak

adanya petugas dan sarana kebersihan dari pemerintah desa dan kecamatan. Pada 62 balita

yang sakit ISPA, terdapat 44 balita yang sakit ISPA dengan konsentrasi PM10 dalam rumah

memenuhi persyaratan. Hal tersebut dapat dimungkinkan karena faktor lain yaitu kelembaban,

dimana terdapat 75 rumah yang kelembabannya tidak memenuhi syarat. Kelembaban yang

tinggi dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Adupun ISPA pada balita

disebabkan oleh mikroorganisme. Selain itu, dari 100 rumah yang diukur suhunya, terdapat

60 rumah yang tidak memenuhi syarat. Suhu udara yang tinggi dapat mengakibatkan pertikel

debu di udara melayang lebih lama. Sehingga kemungkinan terhirup oleh balita menjadi lebih

besar.

Kejadian ISPA dengan Suhu Dalam Ruang

Hasil p-value dari suhu ruangan dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,059 (> 0.05)

menunjukkan tidak adanya hubungan suhu ruangan dengan kejadian ISPA balita. Akan tetapi,

nilai OR yang didapatkan besarnya 2,333 (> 1) menunjukkan bahwa suhu ruangan dapat

menjadi faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Lindawaty (2010). Keadaan suhu dalam ruang dipengaruhi oleh adanya

pencahayaan dan sirkulasi udara. Suhu akan meningkat apabila cahaya yang masuk terlalu

tinggi. Begitu dengan sirkulasi udara, apabila udara di dalam ruangan tidak berganti dengan

baik akan membuat mikroorganisme pencetus ISPA tetap bertahan dalam udara. Selain itu,

hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar ventilasi yang terpasang tidak berfungsi

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 16: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

dengan baik. Ventilasi terdiri dari jendela dan lubang angin. Dalam observasi ditemukan

banyak jendela yang tidak dapat dibuka serta lubang angin yang ditutup oleh kertas atau

kardus atau pun sangat dipenuhi oleh debu. Hal itu dapat menyebabkan peningkatan suhu

karena udara dalam ruangan tidak bersirkulasi dengan baik.

Kejadian ISPA dengan Pencahayaan Dalam Ruang

Hasil p-value dari pencahayaan ruangan dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,483 (>

0.05) menunjukkan tidak adanya hubungan pencahayaan ruangan dengan kejadian ISPA

balita. Selain itu, nilai OR yang didapatkan besarnya 0,652 (< 1) menunjukkan bahwa

pencahayaan ruangan bukan faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Tidak ada

hubungan yang bermakna antara pencahayaan dalam ruang rumah dengan kejadian ISPA pada

balita sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012).

Pencahayaan yang cukup didapatkan dengan pengaturan cahaya alami dan buatan.

Pencahayaan alami ditentukan oleh letak dan luas jendela. Pencahayaan alami diperoleh dari

sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui jendela. Cahaya matahari berguna untuk

mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk, dan membunuh kuman penyakit.

Cahaya yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Pencahayaan

yang terlalu rendah akan menimbulkan suasana gelap dan pengap. Untuk mengatasi

pencahayan yang tidak memenuhi syarat dapat dilakukan dengan membiasakan membuka

jendela dan pintu pada pagi hari. Hal lainnya adalah dengan memperbanyak jumlah ventilasi.

Selain itu, dapat dilakukan dengan mengganti genteng dengan genteng kaca sehingga cahaya

matahari dapat masuk ke dalam ruangan.

Kejadian ISPA dengan Kelembaban Dalam Ruang

Hasil p-value dari kelembaban ruangan dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,816 (>

0.05) menunjukkan tidak adanya hubungan kelembaban ruangan dengan kejadian ISPA balita.

Akan tetapi, nilai OR yang didapatkan besarnya 1,119 (> 1) menunjukkan bahwa kelembaban

ruangan dapat menjadi faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Tidak adanya yang

hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita sejalan

dengan penelitian yang dilakukan Sinaga (2012).

Hasil pengukuran kelembaban pada 100 rumah responden, 25 rumah memenuhi syarat

dan 75 rumah tidak memenuhi syarat. Dari 75 rumah yang kelembabannya tidak memenuhi

syarat tersebut terdapat 62,7% (47 rumah) yang balitanya sakit. Hal tersebut dapat

dimungkinkan karena pencahayaan yang rendah, ventilasi yang kurang berfungsi dengan baik.

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 17: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat mengakibatkan suburnya

pertumbuhan mikroorganisme. Konstruksi rumah yang tidak baik seperti atap yang bocor,

lantai dan dinding rumah yang tidak kedap air serta kurangnya pencahayaan dapat

menyebabkan kelembaban dalam ruang rumah tidak memenuhi syarat. Untuk mendapatkan

kelembaban yang memenuhi syarat dapat dilakukan dengan membuka jendela rumah,

menambah jumlah dan luas jendela rumah, meningkatkan pencahayaan serta sirkulasi udara.

Hal ini dapat mungkin terjadi apabila para pemiliki rumah memiliki pengetahuan yang cukup

tentang kelembaban.

Kejadian ISPA dengan Luas Ventilasi Ruangan

Nilai p-value luas ventilasi terhadap kejadian ISPA balita sebesar 1,000 (> 0.05)

menunjukkan tidak adanya hubungan luas ventilasi dengan kejadian ISPA balita. Akan tetapi,

nilai OR yang didapatkan besarnya 1,233 (> 1) menunjukkan luas ventilasi ruangan dapat

menjadi faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita. Hasil ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Sinaga (2012).

Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya

pertumbuhan mikroorganisme sehingga dapat mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan.

Hal itu dapat terjadi apabila kurangnya ventilasi baik dari jumlah maupun luasnya. Ventilasi

dapat berupa lubang angin, pintu, dan jendela. Untuk lebih memberikan aliran udara dengan

baik, ventilasi dibuat secara menyilang atau cross ventilation. Ventilasi membuat udara yang

mengalir dari luar ke dalam ataupun sebaliknya tidak mengendap terlebih dahulu di dalam

ruangan. Udara yang masuk dari satu ventilasi langsung dialirkan keluar oleh ventilasi yang

ada di hadapannya sehingga udara terus berganti dengan udara yang baru.

Dalam pengamatan di lapangan, hasil pengukuran menunjukkan bahwa luas ventilasi

warga hampir seluruhnya sudah lebih dari 10% luas lantai. Akan tetapi, masih banyak dari

semua ventilasi tersebut tidak dapat dibuka dan dalam keadaan yang jarang dibersihkan.

Hanya sebagian kecil rumah yang sering melakukan pembersihan ventilasi secara berkala.

Selain itu, bagian lubang angin banyak yang masih ditutup dengan kertas maupun kardus.

Kejadian ISPA dengan Status Imunisasi Balita

Status imunisasi balita dengan kejadian ISPA balita p-value nya sebesar 1,000 (> 0.05).

menunjukkan tidak adanya hubungan dengan kejadian ISPA balita. Hasil ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Kusetiarini (2012) dan Wahyuni (2014). Akan tetapi, nilai OR

yang didapatkan besarnya 1,233 (> 1) menunjukkan bahwa status imunisasi dapat menjadi

faktor risiko penyebab dari kejadian ISPA balita.

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 18: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Kematian karena ISPA sebagian besar berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi misal difteri, pertusis dan campak. Imunisasi

lengkap berguna untuk mengurangi mortalitas ISPA, sehingga balita yang mempunyai status

imunisasi lengkap jika terkena ISPA maka diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan

menjadi berat. (Achmadi, 2006). Hasil wawancara dan observasi KMS dari 100 orang

responden menunjukkan 97 orang telah di imunisasi secara lengkap dan 3 orang tidak di

imunsasi dengan lengkap. Hal ini sesuai dengan data cakupan imunisasi Puskesmas Tapos

yang mencapai lebih dari 80% setiap tahunnya. Adapun alasan status imunisasi tidak lengkap

adalah karena ketika jadwal imunisasi balita mereka sedang sakit.

Kejadian ISPA dengan ASI Eksklusif Balita

Hasil p-value dari ASI eksklusif dengan kejadian ISPA balita sebesar 0,838 (> 0.05)

menunjukkan tidak adanya hubungan dengan kejadian ISPA balita. Selanjutanya nilai OR

yang didapatkan besarnya 0,879 (< 1) menunjukkan bahwa ASI eksklusif bukan faktor risiko

penyebab dari kejadian ISPA balita. Hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara

pemberian ASI eksklusi dengan kejadian ISPA pada balita dengan penelitian yang dilakukan

oleh Kusetiarini (2012). Dalam uji statistik tersebut proporsi yang mendapat ASI ekslusif

(63,5%) dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (60,4%) semuanya menderita ISPA

balita. Hal tersebut menunjukkan faktor lain yang berpengaruh yaitu faktor lingkungan rumah.

Faktor kondisi rumah tersebut antara lain suhu, pencahayaan dan kelembaban.

Kesimpulan

Kesimpulan penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tapos, Depok tahun 2017 ini antara lain :

1) Keberadaan PM10 dalam rumah dari 52 sampel rumah di Kelurahan Tapos, 44 rumah

(84,6%) memenuhi syarat dan 8 rumah (15,4%) tidak memenuhi syarat. Sedangkan dari

48 sampel rumah di Kelurahan Leuwinanggung, 34 rumah (70,8%) memenuhi syarat dan

14 rumah (29,2%) tidak memenuhi syarat.

2) Kejadian ISPA balita dari 52 sampel balita di Kelurahan Tapos, 30 balita (57,7%)

menderita ISPA dan 22 balita (42,3%) tidak menderita ISPA. Sedangkan dari 48 sampel

balita di Kelurahan Leuwinanggung, 32 balita (66,7%) menderita ISPA dan 16 balita

(33,3%) tidak menderita ISPA.

3) Faktor-faktor risiko kejadian ISPA balita di wilayah kerja Puskesmas Tapos antara lain :

Keberadaan PM10 dalam rumah (OR = 3,477; 1,077-11,229), suhu ruangan (OR = 2,333;

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 19: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

1,017-5,351), kelembaban ruangan (OR = 1,119; 0,443-2,827), luas ventilasi ruangan (OR

= 1,233; 0,108-14,082), status imunisasi (OR = 1,233; 0,108-14,082).

Saran

Saran berdasarkan penelitian yang telah dilakukan antara lain :

1) Oleh karena konsentrasi PM10 dalam rumah dan faktor kondisi rumah berhubungan secara

bermakna dan menjadi faktor penyebab terjadinya ISPA pada balita, maka dirasa perlu

dilakukan penyuluhan tentang rumah sehat untuk penyehatan lingkungan rumah.

2) Program P2 ISPA perlu ditunjang dengan pelaksanaan program rumah sehat dan kerja

sama lintas sektor dan lintas program.

3) Kelembaban dalam ruang rumah mayoritas responden tidak memenuhi syarat, dapat

digunakan genting kaca untuk menambah pencahayaan dalam ruangan ataupun dengan

membuka jendela dan memodifikasi sirkulasi udara.

4) Luas ventilasi yang sudah memenuhi syarat hendaknya didukung dengan jendela yang

bisa dibuka dan ditutup, lubang angin ditutup dengan kawat nyamuk dan dilakukan

pembersihan berkala.

5) Untuk penelitian yang akan selanjutnya dilakukan sebaiknya analisis dilakukan hingga

multivariat sehingga diketahui faktor yang paling berhubungan dengan kejadian ISPA

balita.

Daftar Referensi

Anthony, Fery. (2008). Partikulat Debu (PM10) dalam Rumah dengan Gangguan Infeksi

Saluran Penapasan Akut (ISPA) pada Balita. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia. Depok.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset

Kesehatan Dasar 2013. Jakarta

Badan Pusat Statistik Jawa Barat. 2014. Jawa Barat dalam Angka.

Depkes RI. (2002). Pedoman pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut

untuk menanggualngi Pneumonia pada Balita. Depkes RI, Jakarta

Dinas Kesehatan Kota Depok. 2012. Profil Kesehatan Kota Depok 2012. Depok.

Dinas Kesehatan Kota Depok. 2013. Profil Kesehatan Kota Depok 2013. Depok.

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017

Page 20: PM10 dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran

Dinas Kesehatan Kota Depok. 2014. Profil Kesehatan Kota Depok 2014. Depok.

Faruli Welly.(2014). Partikulat (PM10) Udara Dalam Rumah dan Infeksi Saluran

Pernapasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Karawang Kabupaten

Karawang Tahun 2014. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universiatas

Indonesia. Depok.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Profil Kesehatan Indonesia

2015.Jakarta.

Kusetiarini Aprilia. (2012). Infeksi Saluran Pernapasan Akut Non Pneumonia pada Balita

di Puskesmas Simo Kabupaten Madiun Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Lindawaty. (2010). Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal yang Mempengaruhi

Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita (Penelitian di

Kecamatan Mampang Prapatan Jakarta Selatan tahun 2009-2010). Tesis.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077 / MENKES / PER / V /

2011 Tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah. Jakarta

Puskesmas Tapos. 2013. Profil Kesehatan 2013 UPT Puskesmas Tapos. UPT Puskesmas

Tapos. Depok.

Puskesmas Tapos. 2014. Profil Kesehatan 2014 UPT Puskesmas Tapos. UPT Puskesmas

Tapos. Depok.

Puskesmas Tapos. 2015. Profil Kesehatan 2014 UPT Puskesmas Tapos. UPT Puskesmas

Tapos. Depok.

Ria Kristina Sinaga Epi. (2012). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara Tahun 2011. Skripsi.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

WHO. (2005b). Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide

and Sulfur Dioxide: Summary Of Risk Assessment WHO

Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan

Pemberantaasannya. Jakarta : Penerbit Erlangga.

PM 10 dalam ..., Fuad Najar Mukti, FKM UI, 2017