49
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perubahan pola penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi sosial ekonomi dan sosial budaya. Kecenderungan perubahan ini menjadi salah satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK. Semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja (Depkes, 2008). Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke–6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke–3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Di Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 32 juta US$ dalam setahun untuk menanggulangi penyakit ini, dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal. Hasil survei penyakit 1

PPOK ASEEEG

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PPOK  ASEEEG

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Perubahan pola penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan demografi

sosial ekonomi dan sosial budaya. Kecenderungan perubahan ini menjadi salah

satu tantangan dalam pembangunan bidang kesehatan. Penyakit Paru Obstruktif

Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang

telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh

meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,

seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK. Semakin

banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta

pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja

(Depkes, 2008).

Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa pada tahun 1990

PPOK menempati urutan ke–6 sebagai penyebab utama kematian di dunia,

sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke–3 setelah penyakit

kardiovaskuler dan kanker. Di Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 32 juta

US$ dalam setahun untuk menanggulangi penyakit ini, dengan

jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang

meninggal. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM dan

PL di rumah sakit (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung dan Sumatra

Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama

penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru

(23%) dan lainnya (12%) Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi

Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5% penduduk laki–laki dan 1,2% perempuan

merupakan perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di

dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian

sebagian besar merupakan perokok pasif. Jumlah perokok yang menderita PPOK

atau kanker paru berkisar antara 20–25%. Hubungan antara perokok dengan

PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang

dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut, maka risiko

1

Page 2: PPOK  ASEEEG

penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar (SK Menkes, 2008). Dari hal tersebut

di atas penulis ingin mengkaji mengenai konsep dasar dan konsep asuhan

keperawatan pasien dengan PPOK.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Konsep Dasar PPOK?

2. Bagaimanakah Konsep Asuhan Keperawatan Pasien dengan PPOK?

1.3 Tujuan

1 Untuk mengatahui Konsep Dasar PPOK

2 Untuk mengatahui Konsep Asuhan Keperawatan Pasien dengan PPOK

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Penulis

Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan penulis mampu

menjelaskan dan menguraikan Konsep dasar Penyakit Pru Obstruktif

Kronis (PPOK) serta melakukan asuhan keperawatan yang benar

sesuai dengan konsep asuhan keperawatan yang ada..

1.4.2 Bagi Masyarakat Umum

Dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan masyarakat mampu

mengenali terutama mampu mencegah terjadinya macam penyakit

paru terutama yang berorientasi pada faktor resiko timbulnya penyakit

ini. Serta komplikasi yang mungkin muncul. Masyaakat juga

diharapkan tahu mengenai langkah-langkah yang penting dalam

memberikan asuhan pada penderita PPOK.

1.4.3 Bagi Pengembangan penulisan yang akan datang

Haisl penulisan makalah ini diharapkan dat dijadikan acuan baik

sebagai bahan refrensi dan literatur serta perbandingan dengan teori-

teori lain yang relevan.

2

Page 3: PPOK  ASEEEG

BAB 2

KONSEP DASAR PPOK

2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic

Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan

yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau

kedua-duanya (Snider, 2003). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah

penyakit tunggal, tetapi merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru

kronis yang mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan.

Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik

yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara

emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol

yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta

tanpa fibrosis yang jelas. The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan

gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon

inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas

yang berbahaya (Kamangar, 2010).

Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien Heru

Wiyono (2009), PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak sepenuhnya reversibel,

progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal terhadap partikel

dan gas yang berbahaya. Kata “progresif” disini berarti semakin memburuknya

keadaan seiring berjalannya waktu (National Heart Lung and Blood Institute, 2009).

2.2 Epidemiologi

Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,

dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1.

Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak tertutup

kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil

penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta

selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia

termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok,

3

3

Page 4: PPOK  ASEEEG

hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi

sebesar 90,83%.

Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih

banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil

Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa

sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%

perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan

kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga

lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan

perokok pasif.

Menurut hasil penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya

pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 46 penderita yang paling banyak

adalah penderita pada kelompok umur lebih dari 60 tahun sebesar 39 penderita

(84,8%), dan penderita yang merokok sebanyak 29 penderita dengan proporsi

63,0%. Menurut hasil penelitian Manik (2004) dalam Rahmatika (2009) di RS.

Haji Medan pada tahun

2000-2002 menunjukkan bahwa dari 132 penderita yang paling banyak

adalah proporsi penderita pada kelompok umur lebih dari 55 tahun sebanyak 121

penderita (91,67%). Menurut penelitian Rahmatika (2009) di RSUD Aceh

Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009, proporsi usia pasien PPOK

tertinggi pada kelompok usia 60 tahun (57,6%) dengan proporsi laki-laki 43,2%

dan perempuan 14,4%. Proporsi gejala pasien tertinggi adalah batuk berdahak dan

sesak napas (100%), disusul nyeri dada (73,4%), mengi (56,8%), demam (31,0%),

dan terendah mual sebanyak 11 pasien (8%). Menurut Ilhamd (2000) dalam

Parhusip (2008), penderita PPOK menduduki proporsi terbesar yaitu 31,5% dari

seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam RSUP H.

Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 1999 dari keseluruhan

penyakit paru yang ada.

2.3 Gejala-gejala PPOK

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala

eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi

4

Page 5: PPOK  ASEEEG

sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang

khas, seperti sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan

volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas

seperti malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut

ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala

respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan

purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat.

Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi

serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).

Diagnosis PPOK dipertimbangkan apabila pasien mengalami gejala batuk,

sputum yang produktif, sesak nafas, dan mempunyai riwayat terpajan faktor risiko.

Diagnosis memerlukan pemeriksaan spirometri untuk mendapatkan nilai volume

forced expiratory maneuver (FEV 1) dan force vital capacity (FVC). Jika hasil bagi

antara FEV 1 dan FVC kurang dari 0,7, maka terdapat pembatasan aliran udara yang

tidak reversibel sepenuhnya (Fahri, Sutoyo, Yunus, 2009). Pada orang normal volume

forced expiratory maneuver (FEV 1) adalah 28ml per tahun, sedangkan pada pasien

PPOK adalah 50 - 80 ml. Menurut National Population Health Study (NPHS), 51%

penderita PPOK mengeluhkan bahwa sesak nafas yang mereka alami menyebabkan

keterbatasan aktivitas di rumah, kantor dan lingkungan social (Abidin, Yunus,

Wiyono, 2009).

2.4 Faktor- faktor resiko PPOK

2.4.1 Merokok

Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States

menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis

kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu

detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam

volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara

penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan

kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang

tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan

pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat akibat

peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro,

2008).

5

Page 6: PPOK  ASEEEG

PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,

jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok

memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami

penurunan pada FEV1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita

PPOK (Kamangar, 2010).

Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem

pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru

(Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok

menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan

asap rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin

semasa gestasi.

2.4.2 Hiperesponsif saluran pernafasan

Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi

penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan lingkungan.

Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua

kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses

inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai

hubungan tingkat respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru

membuktikan bahwa peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur

yang signifikan bagi penurunan fungsi paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

Meskipun begitu, hubungan hal ini dengan individu yang merokok masih

belum jelas. Hiperesponsif salur pernafasan ini bisa menjurus kepada remodeling

salur nafas yang menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita

PPOK (Kamangar, 2010).

2.4.3 Infeksi saluran pernafasan

Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk

perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur

nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan

PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya

eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-anak dengan

perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

2.4.4 Pemaparan akibat pekerjaan

Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas

juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan

6

Page 7: PPOK  ASEEEG

seperti melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas

berisiko untuk mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan

kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force

vital capacity; DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi

seiring dengan peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun

beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko

untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan

efek akibat merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

2.4.5 Polusi udara

Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan

pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi

udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan

terjadinya PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap

hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya

PPOK pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah

faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).

2.4.6 Faktor genetik

Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk

terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1-antitripsin di

Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-antitripsin merupakan

inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil

elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada

umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar,

2010).

2.5 Klasifikasi

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran

udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel

parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan

keduanya. (PDPI:2003)

1. Bronkitis Kronis

Bronkitis kronis sering terjadi pada perokok dan penduduk di kota-kota yang

dipenuhi oleh kabut-asap; beberapa penelitian menunjukkan bahwa 20%

7

Page 8: PPOK  ASEEEG

hingga 25% laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit

ini. Diagnosis bronkitis kronis ditegakkan berdasarkan data klinis; penyakit ini

didefenisikan sebagai batuk produktif persisten selama paling sedikit 3 bulan

berturut-turut pada paling sedikit 2 tahun berturut-turut. (Robin Kumar)

Terdapat beberapa bentuk dari bronkitis kronis, yaitu:

a. Bronkitis kronis sederhana

Gejala yang mungkin timbul adalah batuk produktif yang akan meningkatkan

sputum mukoid, namun jalan napas tidak terhambat.

b. Bronkitis mukopurulenta kronis

Namun apabila sputum penderita mengandung pus yang mungkin disebabkan

oleh infeksi sekunder, maka pasien dikatakan mengidap bronkitis

mukopurulenta kronis.

c. Bronkitis asmatik kronis

Beberapa pasien dengan bronkitis kronis mungkin memperlihatkan

hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma intermiten. Keadaan ini yang

disebut sebagai bronkitis asmatik kronis, dalam hal ini sulit dibedakan dengan

asma atopik.

d. Bronkitis obstruktif kronis

Mereka dikatakan mengidap bronkitis obstruktif kronis apabila suatu

subpopulasi pasien bronkitis kronis mengalami obstruksi aliran keluar udara

yang kronis berdasarkan uji fungsi paru. (Robin Kumar)

Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mucus, yang

dimulai dari jalur napas besar. Berbagai faktor/bahan iritan ini akan memicu

hipersekresi kelenjar mukosa bronkus dan menyebabkan hipertrofi kelenjar

mukosa, dan menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil

mucin di epitel permukaan bronkus. Selain itu, zat tersebut juga

menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan

neutrofil. (Robin Kumar)

2. Emfisema

Emfisema ditandai dengan adanya pembesaran permanen rongga udara yang

terletak distal dari bronkiolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut.

Terdapat beberapa penyakit dengan pembesaran rongga udara yang tidak disertai

8

Page 9: PPOK  ASEEEG

desktruksi; hal ini lebih tepat disebut “overinflation”. Contohnya adalah

peregangan rongga udara di paru kontralateral setelah pneumonektomi unilateral.

(Robin Kumar)

Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Meskipun beberapa

bentuk morfologik telah diperkenalkan, ada dua bentuk yang paling penting

sehubungan dengan PPOK. Yaitu:

a. Emfisema Sentrilobular (CLE)

Secara spesifik CLE menyerang bagian bronkiolus respiratorius dan duktus

alveolaris. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan

akhirnya cenderung menjadi satu ruang sewaktu dinding-dinding mengalami

integrasi.

b. Emfisema panlobular (PLE)

Bentuk yang penting berikutnya adalah emfisema panlobular (PLE) atau

emifsema panasinar. Merupakan bentuk morfologik yang jarang., alveolus

yang sebelah distal mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata;

mengenai bagian asinus sentral dan perifer.

c. Emfisema Asinar Distal (Paraseptal)

Pada keadaan ini bagian proksimal dari asinus normal, namun bagian

distalnya yang terkena. Emfisema tampak nyata pada daera dekat pleura, di

sepanjang septum jaringan ikat lobules dan tepi lobulus. (Robin Kumar)

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

2008, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dibagi atas 4 derajat berdasarkan

tingkat keparahannya. Yakni:

1. Derajat 1 (PPOK ringan)

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasan aliran

udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,

orang tersebut mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.

2. Derajat 2 (PPOK sedang)

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <

VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam

tingkat ini pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas

yang dialaminya.

9

Page 10: PPOK  ASEEEG

3. Derajat 3 (PPOK berat)

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan6y aliran udara yang semakin

memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% Ł VEP1 < 50% prediksi). Terjadi

sesak nafas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan

eksaserbasi yang berulang yang berdampak pada kualitas hidup pasien.

4. Derajat 4 (PPOK sangat berat)

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1

< 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal

nafas kronik dan gagal jantung kanan. (GOLD, 2008)

2.6 Patogenesis PPOK

Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan

parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan

makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh

antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif

yang disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan

oleh fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel

yang terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran

dalam patogenesis PPOK (Kamangar, 2010).

2.6.1 Bronkitis kronik

Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan

termasuk atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik,

proses inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis

kronik. Neutrofilia terjadi di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil

berkumpul di submukosa. Di bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi

lumen oleh mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat

fibrosis. Semua perubahan ini dikombinasikan bersama kehilangan supporting

alveolar attachments menyebabkan pernafasan yang terbatas akibat penyempitan

lumen saluran pernafasan dan deformitas dinding saluran pernafasan (Kamangar,

2010).

2.6.2 Emfisema

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan

disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya:

10

Page 11: PPOK  ASEEEG

1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan

meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering

terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama.

2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal

dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah.

Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien

dengan defisiensi α1-antitripsin.

3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus

dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

2.7 Penatalaksanaan PPOK

Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap PPOK, seorang dokter harus

dapat membedakan keadaan pasien. Apakah pasien tersebut mengalami serangan

(eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan pentalaksanaan dari

kedua jenis ini berbeda.

Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil antara lain mempertahankan

fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan terakhir mencegah eksaserbasi.

Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di Poliklinikklinik sebagai evaluasi

berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan mencegah

eksaserbasi.

Penatalaksanaan PPOK stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi,

nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru/rumah sakit. Dalam

penatalaksanaan PPOK yang stabil termasuk disini melanjutkan pengobatan

pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru baik setelah mengalami

serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru,

analisis gas darah, kardiologi dll. Obat-obatan diberikan dengan tujuan

mengurangi laju beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah

tercapai dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Obat-

obatan yang digunakan antara lain:

1. Bronkodilator

Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan

golongan xantin. Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai dengan

11

Page 12: PPOK  ASEEEG

berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya

aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol 1 mg atau

terbutalin 1 mg

2. Kortikosteroid

Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk

oral, setiap hari atau selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama

bagi penderita dengan uji steroid positif.

3. Ekspektoran

Gunakan obat batuk hitam (OBH)

4. Mukolitik

Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mukoid

5. Antitusif

Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu

Manfaatkan obat-obatan yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis

yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian

untuk menghindari efek samping obat.

2.8. Komplikasi

a. Hipoksemia

Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 <55 mmHg, dengan

nilai saturasi oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalamimperubahan

mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan

timbul sianosis.

b.      Asidosis Respiratori

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang

muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea.

c.       Infeksi respiratori

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan

rangsangan otot polos brakial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran udara

akan menyebabkan peningkatan kerja nafas dan timbulnya dispnea.

12

Page 13: PPOK  ASEEEG

d.      Gagal Jantung

Terutama kor pulmonal (gagal jantungkanan akibat penyakit paru ), harus

diobservasi terutama pada klien dispnea berat. Komplikasi ini sering kali

berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat

juga dapat mengalami masalah ini.

e.       Kardiak Disritmia

Timbul karena hipoksemi,penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respirator.

f.       Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronchial.

Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, sering kali tidak

berespon terhadap terapi yang bisa diberikan. Pengunaan aoyo bantu

pernafasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan

asma. (Somantri, 2009)

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,

gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale.

Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60

mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada

gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume

sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien

PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,

hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini

imunitas tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit

darah. Adanya kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50

%, dan dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).

13

Page 14: PPOK  ASEEEG

WOC BRONKITIS KRONIS

14

MK : BERSIHAN JALAN NAFAS INEFEKTIF

Merokok, Polutan

Iritasi jalan nafas

Hipertorfi kelenjar mucus & peningkatan sel goblet, fungsi silia menurun

Hipersekresi lendir

Inflamasi

Bronkiolus rusak dindingnya melebar

Alveolus rusak

Fungsi makrofag menurun

fibrosis

MK : RESIKO TINGGI INFEKSI PERNAFASAN

Perubahan paru yang irreversibel

Batuk produktif

MK : KERUSAKAN PERTUKARAN GAS

Hipoksia

Penurunan difusi gas

Kadar oksigen dalam darah menurun

Dispnea

MK >Pola nafas inefektif

Page 15: PPOK  ASEEEG

WOC EMFISEMA

15

Merokok, sensitife terhadap factor2 lingkungan (merokok, polusi udara, agen infeksisus, allergen)

Inflamasi

Pembengkakan bronkus

Produksi lender yang berlebihanhilangan recoil elastic jalan nafas

Kolaps bronkiolus

Kerusakan dinding alveolus

Permukaan alveolus yang kontak dengan apiler berkurang

Kerusakan dinding alveolus

Kerusakan kapiler pulmonal

Aliran darah pulmonal meningkat

Beban ventrikel kanan meningkat

Gagal jantung kanan

Kongesti, edema, distensi vena leher

Peningkatan ruang rugi

MK : KERUSAKAN PERTUKARAN GAS

Hipoksemia

Gangguan eliminasi CO2

Hiperkapnia

Asidosis respiratorik

Batuk produktif

MK : BERSIHAN JALANNAFAS INEFEKTIF

Ronchi

Page 16: PPOK  ASEEEG

BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

a. Ada faktor risiko

Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia pertengahan), dan

adanya riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi udara, maupun polusi

tempat kerja. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan

riwayat merokok perlu diperhatikan apakah pasien merupakan seorang perokok

aktif, perokok pasif, atau bekas perokok. Penentuan derajat berat merokok dengan

Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap

sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi hasilnya adalah derajat

ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat ( >600) (PDPI, 2003)

Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai

berikut:

1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?

2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?

3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?

4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?

5. Barrel chest?

6. Apakah tampak sianosis?

7. Apakah ada batuk?

8. Apakah ada edema perifer?

9. Apakah vena leher tampak membesar?

10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?

11. Bagaimana status sensorium pasien?

12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?

13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :

1. Chest X-RayDapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened

diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda

16

16

Page 17: PPOK  ASEEEG

vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular

(bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)

2. Pemeriksaan Fungsi Paru : Dilakukan untuk menentukan penyebab

dari dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah

akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi

dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misal : bronchodilator.

3. TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,

menurun pada emfisema.

4. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema

5. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap

tekanan kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan

asthma.

6. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2

menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan

emfisema) tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau

asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap

hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).

7. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat

inspirasi, kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema),

pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)

8. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat),

peningkatan eosinofil (asthma).

9. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan

kurang pada emfisema primer.

10. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi,

mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan

penyakit keganasan atau allergi.

11. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat),

atrial disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang,

tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)

17

Page 18: PPOK  ASEEEG

12. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi

pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,

merencanakan/evaluasi program.

3.2 Pengkajian Spesifik

Keluhan Utama : Keluhan Utama biasanya sesak, dispneu, dan kelelahan

Riwayat Penyakit:

1. Riwayat atau faktor penunjang :

a. Merokok merupakan faktor penyebab utama.

b. Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.

c. Riwayat alergi pada keluarga

d. Riwayat Asthma pada anak-anak.

2. Riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi :

a. Alergen.

b. Stress emosional.

c. Aktivitas fisik yang berlebihan.

d. Polusi udara.

e. Infeksi saluran nafas.

3. Pemeriksaan fisik :

a. Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :

1) Peningkatan dispnea.

2) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot

abdominal, mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).

3) Penurunan bunyi nafas.

4) Takipnea.

b. Gejala yang menetap pada penyakit dasar

1) Bronkhitis

a) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan,

yang biasanya terjadi pada pagi hari.

b) Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.

c) Sesak nafas

18

Page 19: PPOK  ASEEEG

2) Bronkhitis (tahap lanjut)

a) Penampilan sianosis

b) Pembengkakan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh

edema asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal).

3) Emphysema

a) Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter

thoraks anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi

paru-paru).

b) Fase ekspirasi memanjang.

4) Emphysema (tahap lanjut)

a) Hipoksemia dan hiperkapnia.

b) Penampilan sebagai “pink puffers”

c) Jari-jari tabuh.

4. Pemeriksaan diagnostik

a. Test faal paru

1) Kapasitas inspirasi menurun

2) Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan asthma

3) FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru

Obstruktif Kronik

4) FVC awal normal menurun pada bronchitis dan astma.

5) TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emphysema).

b. Transfer gas (kapasitas difusi).

Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif baik.

Pada emphysema : area permukaan gas menurun.

Transfer gas (kapasitas difusi).menurun

c. Darah :

Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.

Jumlah darah merah meningkat

Eo dan total IgE serum meningkat.

Analisa Gas Darah gagal nafas kronis.

Pulse oksimetri SaO2 oksigenasi menurun.

19

Page 20: PPOK  ASEEEG

Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada cor pulmunale.

d. Analisa Gas Darah

PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH normal

asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.

e. Sputum :

Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.

Kuman patogen >> :

Streptococcus pneumoniae.

Hemophylus influenzae.

Moraxella catarrhalis.

f. Radiologi :

Thorax foto (AP dan lateral).

Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-paru.

Pada emphysema paru :1) Distensi >

2) Diafragma letak rendah dan mendatar.

3) Ruang udara retrosternal > (foto lateral).

4) Jantung tampak memanjang dan menyempit.

g. Bronkogram : menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi

kuat.

h. EKG.

Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah

terdapat Kor Pulmonal terdapat deviasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada

hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1

dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.

5. Lain-lain perlu dikaji Berat badan, rata-rata intake cairan dan diet harian.

20

Page 21: PPOK  ASEEEG

Aktivitas dan IstirahatGejala Keletihan, kelelahan, malaise

Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas. Perlu tidur dalam posisi duduk cukup tingi. Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan

Tanda Kelelahan, gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan masa otot

SirkulasiGejala Pembengkakan pada ekstremitas bawahTanda Peningkatan tekanan darah. Peningkatan frekuensi jantung

Distensi vena leher, sianosis periferIntegritas egoGejala/tanda Ansietas, ketakutan dan peka rangsangMakanan/cairanGejala Mual/muntah, Nafsu makan menurun, ketidakmampuan makan

karena distress pernafasanPenurunanan BB menetap (empisema) dan peningkatan BB karena edema (Bronkitis)

Tanda Turgor kulit buruk, edema, berkeringat, penurunan BB, penurunan massa otot

HygieneGejala Penurunan Kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan

melakukan aktivitas tubuhTanda Kebersihan buruk, bau badanPernafasanGejala Nafas pendek, khususnya pada saat kerja, cuaca atau episode

serangan asthma, rasa dada tertekan/ketidakmampuan untuk bernafas. Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari selama 3 bulan berturut-turut selam 3 tahun sedikitnya 2 tahun. Sputum hijau, putih, kuning dengan jumlah banyak (bronchitis)Episode batuk hilang timbul dan tidak produktif (empisema), Riwayat Pneumonia, riwayat keluarga defisiensi alfa antitripsin

Tanda Respirasi cepat dangkal, biasa melambat, fas ekspirasi memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (empisema)Pengguanaan otot Bantu pernafasan, Dada barell chest, gerakan diafragma minimal. Bunyi nafas, Ronki, wheezing, redupPerkusi hypersonor pada area paru (udara terjebak, dan dapat juga redup/pekak karena adanya cairan).Kesulitan bicara 94 – 5 kalimat 0Sianosis bibir dan dasar kuku, jari tabuh.

Seksualitas Libido menurunInteraksi sosialGejala Hubungan ketergantungan, kurang sisitem pendukungtanda Keterbatasan mobilitas fisik

Kelalaian hubungan antar keluargaTabel 3.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

21

Page 22: PPOK  ASEEEG

Skala Sesak

Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat 2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga 1

tingkat 3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak 4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah

beberapa menit 5 Sesak bila mandi atau berpakaian

14. Sumber: British Medical Research Council (MRC)

3.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP

(%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak

tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat

dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore,

tidak lebih dari 20%.

b. Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa

hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler

meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-

kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi

pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis

penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien

(GOLD, 2009).

c. Laboratorium darah rutin

d. Analisa gas darah

e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan

klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):

Tabel 3.2. Klasifikasi PPOK

22

Page 23: PPOK  ASEEEG

Klasifikasi Penyakit

Gejala Klinis Spirometri

PPOK Ringan

Dengan atau tanpa batuk Dengan atau tanpa produksi

sputum Sesak napas derajat sesak 1

sampai derajat sesak 2

VEP1 ≥ 80% prediksi (nilai normal spirometri)

VEP1/KVP < 70%

PPOK Sedang

Dengan atau tanpa batuk Dengan atau tanpa produksi

sputum Sesak napas derajat 3

VEP1/KVP < 70% 50% ≤ VEP1 < 80%

prediksi

PPOK Berat

Sesak napas derajat sesak 4 dan 5

Eksaserbasi lebih sering terjadi

VEP1/KVP < 70% 30% ≤ VEP1 < 50%

prediksi

PPOK Sangat Berat

Sesak napas derajat sesak 4 dan 5 dengan gagal napas kronik

Eksaserbasi lebih sering terjadi

Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan

VEP1/KVP <70% VEP1 < 30% prediksi,

atau VEP1 < 50% dengan

gagal napas kronik

3.4 Diagnosis Banding

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma pasca

TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma bronkial atau gagal

jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik

dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PDPI, 2003).

Tabel 2.3. Perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma bronkial dan gagal jantung kronik

PPOK Asma BronkialGagal Jantung Kronik

Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usiaRiwayat keluarga Tidak ada Ada Tidak adaPola sesak napas Terus menerus,

bertambah berat dengan aktivitas

Hilang timbulTimbul pada waktu aktivitas

Ronki Kadang-kadang + ++Mengi Kadang-kadang ++ +Vesikular Melemah Normal MeningkatSpirometri Obstruksi ++

Restriksi +Obstruksi ++

Obstruksi +Restriksi ++

23

Page 24: PPOK  ASEEEG

Reversibilitas < ++ +Pencetus

Partikel toksik Partikel sensitifPenyakit jantung kongestif

3.5 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan produksi

mukus

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan

produksi mukus/peningkatan sekresi lendir

3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan Intake makanan yang kurang

4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya

5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan

pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

dengan kebutuhan oksigen.

7. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan

posisi.

8. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat

peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi,

ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk

bekerja.

10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak

mengetahui sumber informasi.

Masalah kolaboratif/Potensial komplikasi yang dapat terjadi termasuk:

1. Gagal/insufisiensi pernapasan

2. Hipoksemia

3. Atelektasis

4. Pneumonia

5. Pneumotoraks

6. Hipertensi paru

24

Page 25: PPOK  ASEEEG

7. Gagal jantung kanan

25

Page 26: PPOK  ASEEEG

3.6 Intervensi Keperawatan

NODIAGNOSA

KEPERAWATANTUJUAN RENCANA TINDAKAN RASIONAL

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan produksi mukus.

Klien mampu menunjukkan perbaikan oksigenasi.Kriteria hasil1. Warna kulit perifer

membaik (tidak cianosis)2. RR : 12 – 24 x /menit3. Nafas panjang4. Tidak menggunakan otot

bantu pernafasan.5. Ketidaknyamanan dada

(–)6. Nadi 60 – 100 x/menit.7. Dyspnea (–)

1. Observasi status pernafasan, hasil gas darah arteri, nadi dan nilai oksimetri.

2. Awasi perkembangan membran mukosa / kulit (warna).

3. Observasi tanda vital dan status kesadaran.

4. Evaluasi toleransi aktivitas dan batasi aktivitas klien.

5. Berikan oksigenasi yang telah dilembabkan.

6. Pertahankan posisi fowler dengan tangan abduksi dan disokong dengan bantal atau duduk condong ke depan dengan ditahan meja.

7. Kolaborasi untuk pemberian obat yang telah diresepkan.

1. Memantau perkembangan kegawatan pernafasan.

2. Gangguan Oksigenasi perifer tampak cianosis.

3. Menentukan status pernafasan dan kesadaran.

4. Mengurangi penggunaan energi berlebihan yang membutuhkan banyak Okigen.

5. Memenuhi kebutuhan oksiegen.

6. Meningkatkan kebebasan suplay oksiegn.

7. Obat mukolitik dan ekspektoransia akan mengencerkan produksi mukus yang mengental.

26

Page 27: PPOK  ASEEEG

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi mukus/peningkatan sekresi lendir

Klien dapat meningkatkan bersihan jalan nafasKriteria hasil1. Bunyi nafas

bersih/Vesikuler2. Batuk (-)3. Mampu

mendemonstrasikan batuk terkontrol.

4. Intake cairan adekuat

1. Kaji kemampuan klien untuk memobilisasi sekresi, jika tidak mampu :a. Ajarkan metode batuk

terkontrolb. Gunakan suction (jika perlu

untuk mengeluarkan sekret)c. Lakukan fisioterapi dada

2. Secara rutin tiap 8 jam lakukan auskultasi dada untuk mengetahui kualitas suara nafas dan kemajuannya.

3. Berikan obat sesuai dengan resep; mukolitik, ekspektorans

4. Anjurkan minum kurang lebih 2 liter per hari bila tidak ada kontra indikasi

5. Anjurkan klien mencegah infeksi / stressora. Cegah ruangan yang ramai pengunjung

atau kontak dengan individu yang menderita influenza

b. Mencegah iritasi : asap rokok

c. Imunisasi : vaksinasi Influensa.

1. Memantau tingkat kepatenan jalan nafas dan meningkatkan kemampuan klien merawat diri / membersihkan/membebaskan jalan nafas.

2. Memantau kemajuan bersihan jalan nafas.

3. Mengencerkan secret agar mudah dikeluarkan.

4. mengencerkan sekert.

5. Menghindarkan bahan iritan yang menyebabkan kerusakan jalan nafas

27

Page 28: PPOK  ASEEEG

3. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Intake makanan yang kurang.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi Kriteria hasil :1. Berat badan dan tinggi

badan ideal.2. Pasien mematuhi dietnya.

1. Kaji status nutrisi dan kebiasaan makan.

2. Anjurkan pasien untuk mematuhi diet yang telah diprogramkan.

3. Timbang berat badan setiap seminggu sekali.

4. Identifikasi perubahan pola makan.

5. Kerja sama dengan tim kesehatan lain untuk pemberian diet Tinggi Kalori dan Tinggi Protein.

1. Untuk mengetahui tentang keadaan dan kebutuhan nutrisi pasien sehingga dapat diberikan tindakan dan pengaturan diet yang adekuat.

2. Kepatuhan terhadap diet dapat mencegah komplikasi terjadinya hipoglikemia/hiperglikemia.

3. Mengetahui perkembangan berat badan pasien (berat badan merupakan salah satu indikasi untuk menentukan diet).

4. Mengetahui apakah pasien telah melaksanakan program diet yang ditetapkan.

5. Pemberian diet yang sesuai dapat mempercepat proses penyembuhan dan mencegah komplikasi.

4. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.

Tujuan : rasa cemas berkurang/hilang.Kriteria Hasil :1. Pasien dapat

mengidentifikasikan sebab kecemasan.

2. Emosi stabil., pasien tenang.3. Istirahat cukup.

1. Kaji tingkat kecemasan yang dialami oleh pasien.

2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa cemasnya.

3. Gunakan komunikasi terapeutik.

1. Untuk menentukan tingkat kecemasan yang dialami pasien sehingga perawat bisa memberikan intervensi yang cepat dan tepat.

1 Dapat meringankan beban pikiran pasien.

2 Agar terbina rasa saling percaya antar

28

Page 29: PPOK  ASEEEG

4. Beri informasi yang akurat tentang proses penyakit dan anjurkan pasien untuk ikut serta dalam tindakan keperawatan.

5. Berikan keyakinan pada pasien bahwa perawat, dokter, dan tim kesehatan lain selalu berusaha memberikan pertolongan yang terbaik dan seoptimal mungkin.

6. Berikan kesempatan pada keluarga untuk mendampingi pasien secara bergantian.

7. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.

perawat-pasien sehingga pasien kooperatif dalam tindakan keperawatan.

3 Informasi yang akurat tentang penyakitnya dan keikutsertaan pasien dalam melakukan tindakan dapat mengurangi beban pikiran pasien.

4 Sikap positif dari timkesehatan akan membantu menurunkan kecemasan yang dirasakan pasien.

5 Pasien akan merasa lebih tenang bila ada anggota keluarga yang menunggu.

6 Lingkung yang tenang dan nyaman dapat membantu mengurangi rasa cemas pasien.

5. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, diet, perawatan, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi.

Tujuan : Pasien memperoleh informasi yang jelas dan benar tentang penyakitnya.Kriteria Hasil :1. Pasien mengetahui tentang

proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatannya dan dapat menjelaskan kembali bila ditanya.

1. Kaji tingkat pengetahuan pasien/keluarga tentang penyakit paru obstruktif kronik.

2. Kaji latar belakang pendidikan pasien.

1. Untuk memberikan informasi pada pasien/keluarga, perawat perlu mengetahui sejauh mana informasi atau pengetahuan yang diketahui pasien/keluarga.

2. Agar perawat dapat memberikan penjelasan dengan menggunakan kata-kata dan kalimat yang dapat dimengerti pasien sesuai tingkat pendidikan pasien.

29

Page 30: PPOK  ASEEEG

2. Pasien dapat melakukan perawatan diri sendiri berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.

3. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan dan pengobatan pada pasien dengan bahasa dan kata-kata yang mudah dimengerti.

4. Jelasakan prosedur yang kan dilakukan, manfaatnya bagi pasien dan libatkan pasien didalamnya.

3. Agar informasi dapat diterima dengan mudah dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.

4. Dengan penjelasdan yang ada dan ikut secra langsung dalam tindakan yang dilakukan, pasien akan lebih kooperatif dan cemasnya berkurang.

30

Page 31: PPOK  ASEEEG

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic

Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi saluran pernafasan

yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau

kedua-duanya (Snider, 2003). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah

penyakit tunggal, tetapi merupakan satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru

kronis yang mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan

Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik

yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara

emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol

yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta

tanpa fibrosis yang jelas. The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan

gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan respon

inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel udara atau gas-gas

yang berbahaya (Kamangar, 2010).

31

31

Page 32: PPOK  ASEEEG

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih, edisi 6, Jakarta: EGC

Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.

Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai penerbit FKUI

Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3, Jakarta: EGC

G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.

Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page : 346-379.

Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging, second edition, Churchil Livingstone, page :122.

Harrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.

Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta8.20003, hal :1347-1353.

http://kapukpkusolo.blogspot.com/2010/10/askep-ppok-penyakit-paru-obstruktif.html

Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal : 480-482.

Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan, alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung, Bandung.

Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.

Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-993.

Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI

32

Page 33: PPOK  ASEEEG

Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC 15.

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC

33