33
19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pancasila merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.Pancasila juga jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Hal ini dikarena bangsa Indonesia memilki keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi hal-hal atau perbedaan di atas harus dipersatukan. Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamnya. Ada pula sebagian pihak yang sudah hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan yang dimiliki oleh Pancasila. Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Mungkin kita masih ingat dengan kasus kudeta Partai Komunis Indonesia yang menginginkan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Juga kasus kudeta DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan

Presentasi Pancasila

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pancasila

Citation preview

19

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahPancasila merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.Pancasila juga jati diri bangsa Indonesia, sebagai falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Hal ini dikarena bangsa Indonesia memilki keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi hal-hal atau perbedaan di atas harus dipersatukan. Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamnya. Ada pula sebagian pihak yang sudah hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan yang dimiliki oleh Pancasila. Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.

Mungkin kita masih ingat dengan kasus kudeta Partai Komunis Indonesia yang menginginkan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis. Juga kasus kudeta DI/TII yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan sebuah negara Islam. Atau kasus yang masih hangat di telinga kita masalah pemberontakan tentara GAM. Dan juga ada kejadian beberapa sekolah yang melarang muridnya untuk hormat kepada bendera karena apabila mereka hormat kepada bedera itu sama saja dengan menyamakan Tuhan dengan bendera atau biasanya sering di sebut dengan mempersekutukan Tuhan dan orang orang yang mempersekutukan Tuhan di sebut musyirik. 1

jika kita melihat semua kejadian di atas, kejadian-kejadian itu bersumber pada kurangnya peMahaman tentang ideologi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dengan ideologi yang mereka anut. Dengan kata lain mereka yang melakukan perbuatan atas dasar keyakinan akan prinsip yang mereka anut adalah yang paling baik, khususnya bagi orang-orang yang berlatar belakang prinsip agama.

Berdasarkan Latar Belakang permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul PANCASILA DAN AGAMA. Dan Mengapa banyak orang yang menetang pancasila dengan alasan agama. Masalah pokoknya adalah kurangnya peMahaman mereka tentang ideologi pancasila dan juga kesalahan merekadalam menafsirkan pelajaran pelajaran atau ilmu agama yang mereka dapatkan. atau mungkin juga mereka mudah dipengaruhi dan di hasut dengan alasan agama atau kebebasan.dengandemikian sangat mudah bagi orang orang yang ingin menghancurkan negri ini memanfaatkan mereka.

1.2 Rumusan MasalahBagaimana proses kelahiran pancasila berkaitan dengan agama.Bagaimana hubungan pancasila dengan agama setelah kemerdekaan.Apa makna dan butir-butir isi kandungan sila ke-1.Bagaimana penerapan sila ke-1 di masyarakat.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian1.3.1 Tujuan1. Agar pembaca mengetahui sejarah lahirnya pancasila yang berkaitan dengan agama;2. Agar pembaca mengetahui hubungan antara pancasila dan agama;3. Agar pembaca mengetahui apakah pancasila dan agama dapat disaatukan;4. Agar pembaca mengetahui makna sila ke-1 dan butir-butir isi kandungannya;5. Agar pembaca mengetahui p6. enerapan pancasila dan agama di kehidupan bermasyarakat;

1.3.2 Manfaat1. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai lahirnya pancasila2. Untuk meyakinkan pembaca mengenai kebenaran pancasila dan agama.3. Untuk mengetahui pembaca hubungan antara pancasila dan agama.4. Untuk menyadarkan pembaca pentingnya menerapkan pancasila dan agama di masyarakat.

1.4 Metode PenelitianDalam makalah ini metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan cara studi pustaka.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Makna dan Lahirnya Pancasila Berkaitan Dengan AgamaPancasila sebagai dasar atau ideologi negara adalah sebuah harga mati Yang tidak boleh di tawar lagi. Pancasila pun merupakan rumusan dan pendoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia. Salah satu tujuan pancasila yaitu untuk mengikat beragam agama di Indonesia menjadi satu prinsip dan tujuan yang sama. Sebagaimana pancasila yang merupakan landasan atau fondasi Negara begitu pula Agama yang merupakan fondasi kehidupan manusia. Dalam maknaya prinsip pancasila tidak berbeda dengan hukum agama yang harus dijalankan, salah satunya Pemikiran Bung karno mengenai istilah pancasila yang mengadopsi istilah praktek-praktek moral orang Jawa kuno yang di dasarkan pada ajaran Buddhisme yang tidak boleh dilakukan seperti yang terdapat dalam 5 makna jawa yaitu Mateni(membunuh), Maling(mencuri), Main(berjudi), Madon(berzinah) dan Mabok(minum-minuman keras). Jauh sebelum kemerdekaan, pancasila sudah lahir pada zaman-zaman sebelumnya. zaman-zaman tersebut yang mendukung kelahiran pancasila antara lain zaman kuno, zaman kolonial,dan zaman kemerdekaan.

2.1.1 Zaman KunoZaman Kuno merupakan zaman dimana masuknya kerajaan-kerjaan atau kesultanan dan penyebaran agama Hindu, Budha dan Islam di Nusantara. Pada zaman ini unsur-unsur Pancasila sudah ada di masyarakat yang terkait dengan sistem kepercayaan dimana kerjaan yang mendominasi sistem tersebut yaitu kerjaan kutai dengan beragamakan hindu.

2.1.2 Zaman KolonialZaman kolonial merupkan zaman dimana bangsa Indonesia dijajah oleh negara komunis yaitu Negara Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan jepang bangsa Indonesia melakukan perlawanan. Perlawanan tersebut ditandai dengan dibentuknya sidang BPUPKI I ; II dan pembentukan panitia Sembilan(PPKI). Pada saat sidang BPUPKI I pada tanggal 29 Mei 1 Juni tahun 1994 dirumuskanlah pancasila oleh Moh.Yamin, Mr.Soepomo, dan Ir.Soekarno. Dari ketiga usulan tersbut yang mengandung makna Ketuhanan yaitu Moh.Yamin dan Ir.Soekarno. Dalam usulan Moh.Yamin yang berkonsep Ketuhanan berbunyi Peri KeTuhana yang bermakna Sedangkan usulan Ir.Soekarno yang bermakna Ketuhanan berbunyi Ketuhanan Yang Berkebudayaan yang bermakana4

Pada tanggal 1 Juni 1945 dibentuk panitia kecil yang beranggotakan 8 orang. Anggota tersebut yaitu Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutardjo, A. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Moh.Yamin, dan Mr.A.A.Maramis. Tugas panitia 8 ini adalah menampung dan mengidentifikasi usulan anggota BPUPKI. Berdasarkan usulan yang masuk terdapat beberapa perbadaan antara golongan Islam yang menghendaki landasan Negara berdasarkan syariat islam dan golongan nasionalis menghendaki landasan Negara bukan atas dasar hukum syariat islam. Untuk mengtasi perbedaan tersbut dibentuklah panitia 9 yang beranggotakan yaitu Ir.Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Sutardjo, Mr. A.A. Maramis, Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Mr.Moh.Yamin, Drs. Wachid Hasyim, dan H. Agus Salim. Panitia Sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945, menghasilkan kesepakatan dasar negara yang tertuang dalam alinea keempat rancangan Preambule, yaitu Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Isi selengkapnya kesepakatan itu disebut Rancangan Preambule Hukum Dasar. Mr. Moh. Yamin mempopulerkan kesepakatan tersebut dengan nama Piagam Jakarta. Belum beres!!!!

2.1.3 Zaman KemerdekaanPada zaman kemerdekaan banyak kontro versi dari berbagai golongan dan perubahan mengenai 7 kata dalam isi pancasila yang terdapat dalam sila ke-1 Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.Untuk lebih jelasnya akan di bahas pada Sub BAB selanjutnya.2.2 Kontroversi Pancasila dan Agama Setelah KemerdekaanPada masa menjelang kemerdekaan sampai munculnya pemberontakan PKI pada tahun 1965 panggung sejarah Indonesia lebih banyak diwarnai ketegangan antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam ketimbang Islam vis--vis Kristen. Namun begitu, tidak bisa dikatakan bahwa pada masa ini sama sekali tidak ada ketegangan antara Islam vis--vis Kristen. Perjuangan para elit Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta menyebabkan suatu pergulatan yang tiada henti-hentinya antara kelompok nasionalis (yang tidak menghendaki Islam sebagai dasar Negara termasuk di dalamnya wakil Kristen) berhadapan dengan kelompok Islam dari masa menjelang kemerdekaan sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Isu tentang Piagam Jakarta ini juga menjadi salah satu faktor penentu bagi hubungan Islam dengan Kristen di Indonesia pada masa-masa berikutnya bahkanterus berlangsung sampai sekarang (era Reformasi).

Di tingkat grass roots sejak tahun 1948 berlangsung ketegangan antarapendukung PKI yang kebanyakan berasal dari kalangan abangan dengan santri2(Islam) dan mencapai puncaknya pada tahun 1965. Akibat peristiwa G 30 S PKIdan setelah pemerintah mengharuskan setiap rakyat Indonesia harus memilihsalah satu dari agama yang diakui oleh pemerintah dan supaya tidak dianggap PKI(atheis) banyak kalangan abangan mengalami konversi ke Kristen. Peristiwakonversi ini menjadi titik awal konflik fisik3 antara Islam vis--vis Kristen padamasa awal Orde Baru.

2.2.1 Sekitar Proklamasi Kemerdekaan RI-Dekrit Presiden 5 Juli Pada akhir masa penjajahan Jepang elit modern politik Indonesia terbagi dalam beberapa kelompok: Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, Islam sekular meskipun mereka Islam namun mereka tidak menginginkan Islam sebagai dasar negara, komunis, dan Kristen. Masing-masing kelompok ini mengusung ideologinya sendiri-sendiri. Namun dalam perjuangan ideologi Negara faksi-faksi ini bisa disederhanakan menjadi dua kelompok. Kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan agama yaitu kelompok Islam dan kelompok yang menginginkan Indonesia berdasarkan ideologi non-agama yaitu kelompok nasionalis. Akibatnya ketegangan pada masa sekitar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia lebih banyak disebabkan oleh perbedaan ideologi negara dan ketegangan tersebut hanya terjadi pada tingkat elit politik para pendiri negara. Hal ini tampak pada perumusan ideologi negara Republik Indonesia yang akan dibentuk. Dengan kian mendekatnya invasi negara-negara sekutu, tanggal 1 Maret 1945 Jepang mengulangi janjinya yang pernah di sampaikan pada tanggal 7 September 1944 tentang kemerdekaan Indonesia. Deklarasi pada tanggal 1 Maret tersebut kemudian menghasilkan suatu panitia yang disebut dengan panitia 62. Pada hari terakhir sidang ini tepatnya tanggal 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan suatu pidato yang terkenal dengan lahirnya Pantja Sila (Boland 1985:23). Perbedaan dua kelompok tentang dasar negara tampak ketika bunyi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dipersoalkan oleh kelompok Islam. Menurut kelompok Islam pencantuman sila pertama tidaklah jelas, maka perlu ditambah dengan kata-kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Penambahan tujuh kata ini kemudian menimbulkan perdebatan yang alot antara kelompok nasionalis (di dalamnya terdapat juga tokoh Kristen) dengan kelompok Islam. Untuk memecahkan ketegangan tersebut dibentuk panitia 94 (Maarif 1985:107; Boland 1985:27; Anshari 1997:28). Melalui pergumulan yang sulit pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai satu modus vivendi dengan merumuskan suatu gentlements agreement tentang Pembukaan Undang-undang Dasar yang oleh Yamin dokumen ini dinamakan Piagam Jakarta The Jakarta Charter (Maarif 1985:107; Boland 1985:27; Anshari 1997:27-43). Dalam Piagam Jakarta ini tujuh kata yang berbunyi dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya tetap dipertahankan. Ini berarti keinginan kelompok Islam sampai pada detik ini paling tidak cukup terakomodasi dan bisa dianggap sebagai kemenangan politik kelompokIslam.

Namun keputusan ini tidak berarti mengakhiri perdebatan yang ada. Dalam rapat-rapat berikutnya terdapat keberatan-keberatan baik yang berasal dari Kristen maupun orang Islam yang berpendidikan barat dan abangan seperti Latuharhary (seorang yang beragama Kristen Protestan, anggota BPUPKI), Hoesein Djajadiningrat (pemeluk Islam berpendidikan barat) dan Wongsonegoro (orang Jawa berpaham liberal) (Maarif 1985:208; Boland 1985:31; Anshari 1997:31-32). Namun keberatan-keberatan ini dapat dikendalikan oleh Soekarno. Kemenangan kubu Islam ini berubah ketika pada tanggal 18 Agustus 1945 tepat sehari setelah Indonesia menyatakan kemedekaannya atas keberatan dari kelompok nasionalis dan orang Kristen dari Indonesia bagian Timur tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut dihapus dari naskah pembukaan UUD 1945 Karena yang dianggap penyebab pertama pencoretan tujuh kata ini adalah orang Kristen maka peristiwa ini menjadi titik awal ketegangan antara Islam vis--vis Kristen. Peristiwa tersebut menyebabkan sejumlah kelompok Islam merasa dikhianati. Sebagaimana diungkapkan oleh Anshari: Segera setelah para nasionalis yang Islami mengetahui bahwa, Indonesia merdeka, yang turut mereka perjuangkan, bahkan berdasarkan Piagam Jakarta pun tidak, maka the majority of the Muslim population felt disappointed (1997:57) Kekalahan ini oleh generasi Islam berikutnya dipandang sebagai kekalahan dan keleMahan politik wakil-wakil umat Islam (Maarif 1985:109; Latif 2005:342-345). Natsir melihat keberatan orang Kristen dari Indonesia Timur tersebut disebut sebagai ultimatum. Isi pEsan itu pendek saja. Yaitu: ada 7 kata yang tercantum dalam Muqaddimah Undang-undang Dasar Republik, yang harus dicabut, katanya. Kalau tidak, Umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia, yang baru diproklamirkan itu. Tujuh kata-kata itu berbunyi: ...... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Utusan tersebut tidak untuk mengadakan diskusi tentang persoalannya. Hanya menyampaikan satu peringatan. Titik!. Tak perlu bicara lagi. Terserah apakah pEsan diterima atau tidak. Asal tahu apa konsekuensinya. Ini berupa ultimatum (Natsir 1991:45). Peristiwa ini menjadi salah satu ingatan buruk bagi kelompok Islam yang menginginkan Indonesia berdasar Syariat Islam. Meskipun tidak terjadi konflik terbuka secara langsung Islam vis--vis Kristen, namun peristiwa ini menjadi faktor yang sangat menentukan bagi hubungan Islam-Kristen di Indonesia pada masa mendatang. Bagi sebagian kelompok Islam radikal di Indonesia kelompok Kristen diyakini sebagai salah satu pengganjal sulitnya diberlakukannya Piagam Jakarta (Suara Hidayatullah September 2000). Masalah Piagam Jakarta ini menjadi salah satu faktor penting penyebab disharmonis hubungan Islam-Kristen pada masa pasca-kolonialisme. Bentuk kekecewaan umat Islam pada keputusan tersebut muncul ke permukaan dalam bentuk pemberontakan di beberapa daerah dengan tujuan mendirikan negara Islam. Misalnya, di Jawa Barat Kartosuwirjo pada tanggal 7 Agustus 1949 memproklamasikan Negara Islam Indonesia.6 Kahar Muzakar7 mengadakan pemberontakan di Sulawesi Selatan pada tahun 1952 dan Daud Beureeh memproklamasikan Negara Islam di Aceh sebagai bagaian dari Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan oleh Kartosuwirjo. Namun pemberontakan-pemberontakan ini justru melemahkan perjuangan politik Islam pada masa Orde Baru dan menguntungkan bagi kelompok abangan dan Kristen karena penguasa Orde Baru selalu curiga terhadap politik Islam. Hal ini tampak pada kebijakan militer Orde Baru yang memerangi kekuatan ekstrim kiri (komunis) dan ekstrim kanan (separatis Muslim) (Hefner 2000:173). Pada masa Pemilu 1955 perbedaan-perbedaan antar kelompok di seluruh ranah tanah air lebih dipertajam dan dipertegas lagi lewat pembentukan partai politik. Karena partai politik tidak hanya melibatkan kelompok elit tetapi juga dukungan massa maka jika pada masa seputar proklamasi kemerdekaan RI yang bersitegang hanya ditingkat elit, pada masa pasca-pemilu 1955 ketegangan tersebut melibatkan seluruh komponen kelompok masyarakat Indonesia termasuk perbedaan komponen kelompok keagamaan. Hal ini diperparah ketika banyak partai politik mengusung bendera agama. Sehingga konflik politik selalu tumpang tindih dengan konflik agama, begitu juga sebaliknya. Pada masa Pemilu 1955 jika dilihat dari perjuangan dasar negara partai yang mengikuti Pemilu bisa dibagi dalam tiga kubu yaitu: kubu Islam, Nasionalis, dan Sosial-ekonomi. Pada masa ini lagi-lagi sebagian kubu Islam yang menginginkan Indonesia berdasarkan Syariat Islam mengalami kekecewaan. Hal ini disebabkan dalam Pemilu 1955 tidak ada satupun di antara aliran-aliran pokok dalam masyarakat Indonesia yang tampil sebagai pemenang. Sehingga dalam konstituante tidak ada mayoritas tunggal. Partai-partai Islam atau blok Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara yaitu Masjumi, NU, PSII, Perti, AKUI, PPTI, Gerakan Pilihan Sunda, L.M.Idrus Effendi meraih 230 kursi. Mereka harus berhadapan dengan Blok nasionalis yang memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara yaitu PNI, PKI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, PRN, dll., meraih 274 kursi, dan blok sosial-ekonomi memperoleh kursi 10.8 Dengan perolehan kursi sebanyak 230 maka harapan blok Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara menjadi semakin tidak realistik. Hal ini terbukti ketika Konstituante yang sudah terbentuk memulai sidangnya pada tanggal 10 November 1956 di Bandung tidak bisa mencapai kata sepakat tentang masalah rumusan dasar negara yaitu, Negara Pancasila atau Negara Islam (Maarif 1985:75; Boland 1985:85; Anshari 1997:65-107). Kebuntuan membuahkan dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959. Presiden Sukarno menyatakan kembali ke UUD1945 dan setelah ini Indonesia memasuki masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin (Maarif 1985:75; Anshari 1997:109-115). Meskipun begitu perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara RI tidak berarti sudah berakhir. Karena dalam setiap tahapan sejarah RI selalu ada kelompok Islam yang berjuang untuk cita-cita tersebut.2.2.2 Revolusi PKI 1965 Awal Orde Baru (1970)Revolusi PKI tahun 1965 bisa dikatakan merupakan titik awal perubahan dalam banyak bidang kehidupan di Indonesia baik kehidupan politik maupun kehidupan agama. Dalam kehidupan politik, penguasa Orde Baru berusaha melenyapkan ideologi Komunis di Indonesia. Pelenyapan ideologi Komunis ini tentunya mendapat sambutan secara baik dari kelompok Islam. Bahkan kelompok Islam banyak membantu pemerintah dalam menumpas anggota PKI. Setelah ideologi Komunis dilarang, Islam menghadapi kelompok baru yaitu kelompok Kristen. Maka sejak tahun 1965 konflik agama yang lebih dominan muncul ke permukaan adalah konflik antara Islam vis--vis Kristen. Konflik Islam vis--vis Kristen terjadi bukan hanya pada tataran elit seperti yang terjadi pada seputar pembentukan Piagam Jakarta dan sedudahnya.namun juga merambah pada aras grass roots.

2.2.3 Kebijakan-kebijakan PemerintahMelihat potensi ketegangan yang semakin memuncak dan menurut Alwi Shihab sebagai tanggapan pemerintah atas tuntutan anggota DPR (1998:179) maka pada tanggal 30 November 1967 atas nama pemerintah Menteri Agama K.H.Muhammad Dachlan (seorang Muhammadiyah) mengadakan musyawarah antar agama di Jakarta (Boland 1985:244; Shihab 1998:179). Sebagai bahan acuan musyawarah tersebut pemerintah membuat suatu konsep piagam yang diberikan kepada Dr. J. Leimena, Ketua Umum DGI Dr. J.L. Ch. Abineno dan Ketua DGI T.B. Simatupang. Adapun isi pokok piagam tersebut memutuskan tiga hal penting yaitu:Menetapkan dibentuknya Badan Musyawarah Agama yang bertugas: a. Membantu Pemerintah untuk menyarankan usaha-usaha penyelEsaian masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan umat beragama;b. Mengusahakan segala upaya yang bertujuan terciptanya saling pengertian dan saling menghormati antara semua umat beragama satu dengan yang lainnya; c. Saling membantu satu dengan lainnya, moril spiritual dan materil, dan berlomba-lomba untuk meyakinkan golongan atheis untuk berkepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak menjadikan umat yang telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing (Sairin, ed., 2000:100-101)

Adapun yang menjadi masalah bagi kelompok Kristen dalam ketetapan piagam di atas adalah poin c khususnya pada kalimat tidak menjadikan umat yang telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing. Sebelum diadakan musyawarah pada tanggal 30 November 1967 pada tanggal 28 November 1967 Menteri Agama mengundang wakil-wakil golongan Islam (Muhammad Natsir, Marzuki Jatim, K.H. Masjkur, Drs. Lukman Harun, Saleh Suadi, Rusli Halil, Mustafa Basir, Abdul Azis), dan wakil Kristen Protestan dan Katolik (Dr. A.M. Tambunan, S.H., T.B. Simatupang, Dr. S.A.E Nababan, Ds. W.J. Rumambi-I.J. Kasimo, B. Mang Reng Sai, Pater A. Hardo Widagdo O. Carm). Berdasarkan isi pidato sambutan dari DR. A.M. Tambunan, S.H. pada musyawarah antar agama pada tanggal 30 November 1967, sebenarnya sejak tanggal 28 November sudah mulai terjadi perdebatan antara kelompok Islam dengan kelompok Kristen tentang isi piagam terutama poin c. Kelompok Islam cenderung menerima isi piagam tersebut. Hal ini bisa dipahami karena piagam tersebut akan melindungi umat Islam dari sasaran kristenisasi. Sebaliknya kelompok Kristen merasa keberatan. Keberatan atas poin c tersebut jika dilihat dari isi pidato D.R. A.M. Tambunan, S.H. karena:. . . sebagai orang-orang Kristen kami terikat kepada perintah Illahi yang antara lain dirumuskan sebagai berikut: dan kamu akan menjadi saksi bagiKu, baik di Yerusalem, baik di seluruh Tanah Yudeaatau di Samaria, sehingga sampai keujung bumi (Kisah Rasul-rasul 1:8). Pada tempat lain dikatakan: Pergilah keseluruh dunia dan maklumkanlah Injil kepada segala mahluk (Markus 16:15) (Sairin, ed., 2000:118). Keberatan dari kelompok Kristen ini tampaknya mendapat tanggapan dari pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari alternatif yang diberikan oleh pemerintah tentang isi piagam khususnya bagian c. Adapun alternatif isi piagam tersebut sebagai berikut:C.1Berlakunya toleransi satu dengan yang lain dan tidak menjadikan umat yang telah beragama sasaran penyebaran agama masing-masing.C.2Dengan tidak mengurangi hak azasi manusia dalam kebebasannya memilih agamanya masing-masing menjamin/menghindari caracara penyebaran agama masing-masing yang dapat mendatangkan prasangka seolah-olah akan saling merebut umat masing-masing.C.3. Dengan tidak mengurangi hak azasi manusia dalam kebebasannya memilih agamanya masing-masing menjamin berlakunya toleransi satu dengan yang lain dengan menghindari usaha-usaha penarikan umat masing-masing.C.4.Dengan tidak mengurangi hak azasi manusia dalam kebebasannya memilih agamanya masing-masing setiap golongan agama berlaku toleran satu terhadap lainnya, dan menghindarkan kegiatan-kegiatan penyebaran agama masing-masing yang dapat menimbulkan sengketa-sengketa antara sEsama umat beragama (Sairin, ed.2000:105).

Dari ke empat alternatif ini kelompok Kristen memilih alternatif c-4. Pilihan ini dicantumkan dalam naskah pernyataan bersama sebagai pedoman bagi wakil-wakil Protestan dan Katolik pada musyawarah antaragama tanggal 30 November 1967. Ketegangan antara wakil Islam dengan wakil Kristen tampak dalam pidato sambutan para wakil Islam dan wakil Kristen. Misalnya dalam pidato Rasjidi, dia menekankan bahwa dalam Islam memang dianjurkan untuk menghormati agama lain namun dalam batas jika tidak merongrong agama Islam (Sairin, ed., 2000:193). Dalam menanggapi pidato Tambunan, Rasjidi mengatakan: Saya mengatakan bahwa walau pun bapak Doktor Tambunan mengatakan tidak ada, saya mengatakan ada. Saya baru saja selEsai membaca buku karangannya dr (Sic). Hendrik Kraemer yang berjudul The Christian message in a non Christian world tugas Kristen dalam dunia bukan Kristen; dalam buku itu kita baca dengan jelas bagaimana rencana dan usaha Kristen untuk mengkristenkan Dunia dan khususnya Indonesia (Sairin, ed., 2000:194). Sudah dapat diduga sejak awal bahwa musyawarah ini akan berakhir dengan tanpa hasil yang memuaskan. Pihak Kristen tetap menolak untuk menandatangani piagam terutama berkaitan dengan kalimat tidak menjadikan umat yang beragama sebagai sasaran penyebaran agama. Dalam musyawarah ini juga terjadi perbedaan pendapat antara kelompok Islam dengan kelompok Kristen terutama tentang posisi kaum abangan. Menurut kelompok Islam kaum abangan secara formal sudah menjadi Islam tinggal dibersihkan dari unsur syirik atau bidah. Sebaliknya menurut kelompok Kristen, kaum abangan masih dianggap belum mempunyai agama sehingga berhak ditawari agama Kristen (Feillard 1999:143). Musyawarah yang bertujuan untuk menyelEsaikan ketegangan Islam-Kristen ini justru semakin membuat hubungan kedua agama tersebut semakin memanas. Hamka mengomentari penolakan kelompok Kristen sebagai berikut: Bagi golongan Kristen musyawarah membawa hasil positif, sebab sejak merdeka sampai sekarang barulah mereka dapat mengatakan terus terang dihadapan pemimpin-pemimpin dan para pemuka Islam, ulama atau zuamanya, bahwa mengkristenkan seluruh umat Islam adalah mission sacre mereka, tugas suci mereka. Kalau bangsa penjajah dahulu mengatakan bahwa mereka juga datang membawa mission sacre ke Indonesia, sekarang setelah penjajah tidak ada, tugas itu digantikan golongan Kristen bangsa kita sendiri, dengan diberi bantuan uang dan orang oleh Barat (Hasyim dikutip oleh Sairin 2000:215).

NU menyatakan bahwa umat lain tidak memiliki kejujuran dalam melaksanakan toleransi kehidupan beragama (Duta Masyarakat 21-12-1967). Kegagalan musyawarah ini semakin menambah ketegangan yang baru antara pemeluk Islam dengan Kristen. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya literatur-literatur yang bersifat apologetik dan polemik paska-musyawarah antar agama.21 Bahkan Natsir mengatakan bahwa semenjak itu berlaku apa yang disebut dengan free fight for all, dengan survival of the fittest di bidang agama (1969:248). Pada segmen grass roots terjadi lagi perusakan gereja pada tahun 1968 di Jatibarang (Jawa Barat) (Naim 1983:73) dan awal tahun 1969 sebuah gereja Protestan di Slipi Jakarta dirusak (Natsir 1969:238). Insiden seperti ini juga terjadi di Purwodadi (Jawa Tengah) (Boland 1985:241). Natsir melihat bahwa insiden-insiden tersebut di atas disebabkan oleh: Usaha kristenisasi yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan uang dan pendirian gereja dilingkungan penduduk yang mayoritas Muslim. Misalnya di Slipi sudah ada 5 gereja untuk 350 orang Kristen di antara 36.650 orang Islam dan gereja-gereja tersebut berdiri tanpa izin dari pemerintah (1969:238). Untuk menghindari agar insiden-insiden tersebut tidak terulang kembali Natsir menyarankan:1. Golongan Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk membawa pekabaran Injil sampai ke ujung bumi- supaya menahan diri dari pada maksud dan tujuannya dari program kristenisasi itu.2. Orang Islam pun harus dapat menahan diri, jangan cepat-cepat untuk melakukan tindakan-tindakan fisik. Tapi ini hanya bisa, apabila orang Kristen pun dapat menahan diri. 3. Sementara itupun pemerintah harus bertindak cepat dalam hal pihak Kristen telah tidak mematuhi larangan-larangan pemerintah, agar pada orang Islam tidak timbul perasaan tidak berdaya, seolah-olah mereka tidak mendapat perlindungan dan jaminan hukum terhadap rong-rongan pihak lain (1969:239-240).

Di mata orang-orang Muslim kegiatan misi orang-orang Kristen merupakan pelanggaran terhadap Pancasila. Menurut orang Muslim Pancasila bagi orang-orang Kristen bukanlah Pancasila tetapi Pancasalah atau Pencaksilat (Kim 1998a:264). Rasjidi mengkritik kegiatan misi Kristen di Indonesia dengan ungkapan bahwa orang-orang Kristen di Indonesia adalah Kristen beras (orang menjadi Kristen bukan karena percaya tetapi karena materi). Umat Islam merasa bahwa pemerintah terkEsan mengacuhkan kegelisahan mereka (Suhadi 2002), meskipun sebenarnya sudah ada campur tangan dari pemerintah dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan tugas aparatur pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya. Peraturan ini dikeluarkan untuk menentukan bahwa sebelum sebuah tempat ibadah dapat dibangun, persetujuan harus didapat dari penduduk lokal yang tinggal dekat tempat pembangunan, dan sebuah ijin harus diperoleh dari kantor wilayah kementrian agama. Sebagian umat Kristiani mengklaim bahwa peraturan ini digunakan untuk mendiskriminasikan mereka dan mencegah mereka untuk membangun gereja-gereja. Sedangkan Umat Islam berpendapat bahwa umat Kristiani, dalam beberapa hal, sengaja mendirikan gereja-gereja di daerah-daerah dengan populasi umat Kristiani yang sedikit dengan tujuan untuk menciptakan sebuah basis di daerah umat Islam untuk menarik mereka masuk agama Kristen.

2.3 Makna dan Butir-butir Isi Kandungan Sila Ketuhanan Yang Maha EsaDari berbagai kontroversi perumusan pancasila sebagai landasan ideologi Negara Indonesia khusunya pada sila ke-1 yang sebelumnya berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang sekarang ditetapkan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki banyak makna bagi bangsa Indonesia. Namun masih banyak diantara kita khususnya rakyat Indonesia yang belum mengetahui atau salah mengartikan makna dan arti isi kandungan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat sila pertama ini menggunakan bahasa sansekerta. Awalnya banyak yang mengartikan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Satu, atau Tuhan Yang jumlahnya satu. Jika kita membahasnya dari sudut pandang bahasa senksekerta maka Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah bermakna Tuhan yang satu. Ketuhanan berasal dari kata Tuhan yang diberi imbuhan berupa awalan ke- dan akhiran an. Penggunaan awalan ke- dan akhiran an pada suatu kata dapat merubah makna dari kata itu dan membentuk makna baru. Penambahan awalan ke- dan akhiran an dapat memberi perubahan makna menjadi antara lain : mengalami hal., sifat-sifat . Contoh kalimat : ia sedang kepanasan. Kata panas diberi imbuhan ke- dan an maka menjadi kata kepanasan yang bermakna mengalami hal yang panas. Begitu juga dengan kata Ketuhanan yang berasal dari kata Tuhan, berimbuhan ke_ dan _ an yang maknanya sifat siafat Tuhan atau sifat sifat yang berhubungan dengan Tuhan. Kata Maha berasal dari bahasa Sanskerta yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata Maha bukan berarti sangat. Jadi salah jika penggunaan kata Maha di samakan dengan kata seperti besar menjadi Maha besar yang berarti sangat besar. Kata Esa juga berasal dari bahasa Sanskerta . Kata Esa bukan berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata Esa berasal dari kata etad yang lebih mengarah pada pengertian keberadaan yang mutlak atau mengacu pada kata ini. Sedangkan kata satu dalam pengertian jumlah dalam bahasa Sankserta adalah kata eka. Jika yang dimaksud dalam sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata yang seharusnya digunakan adalah eka, bukan kata Esa. Arti dari Ketuhanan Yang Maha Esa sesungguhnya bukan Tuhan yang jumlahnya hanya satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya, Ketuhanan Yang Maha Esa berarti Sifat-sifat Luhur / Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur / mulia, bukan Tuhan-Nya. Perwujudan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa ialah dari sikap hidup, pandangan hidup taat dan taklim kepada Tuhan dengan Di bimbing oleh ajaran ajaran-Nya. Oleh karena itu, walaupun berbeda dalam hal beragama, sesungguhnya tujuannya adalah sama yaitu beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja pada hal ini terdapat perbedaan tata caranya yaitu sesuai syariat agama masing masing. Tidak ada alasan untuk menyalahkan agama lain.Adapun butir-butir pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut ketetapan MPR no.II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa. Berikut butir-butir sila Ketuhanan Yang Maha Esa :1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuaidengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhannya.6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalani ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.7. Tidak memaksa satu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan kepada orang lain.

2.4 Penerapan Sila Pertama di MasyarakatSila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila yang sangat penting dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Negara kebangsaan menurut pancasila adalah negara Berketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu setiap warga negara juga Berketuhanan Yang Maha Esa dalam arti memiliki kebebasan dalam memeluk agama sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing masing sesuai dengan pasal (29) ayat (1) dan (2 Bahwa Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan yang demikian ini menunjukan bahwa Negara Indonesia Yang berdasar pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan agama dan negara. Pasal 29 ayat (1) juga mengandung pengertian bahwa Negara Indonesia bukan hanya mendasarkan pada suatu agama tertentu dan juga bukan negara Theokrasi. Pasal 29 ayat (2) memberikan kebebasan kepada seluruh warga negara dalam memeluk agama. Negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa adalah negara penjelmaan dari hakikat kodrat manusia sebagai makhluk individu, sosial, makhluk pribadi,dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian dalam penerapannya setiap warga Negara harus memiliki kepercaya tanpa ada unsur paksaan.

Contohnya pengamalan ini bisa dilihat bagi kalangan pemuda. Dimana pemuda sebagai generasi penerus bangsa indonesia ini. Maka setiap jiwa pemuda harus mengerti dan mengamalkan setiap aturan dan larang yang ada dalam agama yang mereka anut. Dengan adanya pemuda yang mengamalkan agamanya dengan baik dan benar maka indonesia akan mudah untuk mencapai keberhasilan dan generasi yang baik serta terjamin.

Perlunya pembelajaran agama sejak dini adalah hal utama. Dimana saat ini agama sudah di ajarkan di jenjang usia 7 tahun. Hal ini adalah cara agar pemuda generasi selanjutnya faham dan mengerti mengenai agama yang mereka anut selama ini. Dengan di berinya suatu pembelajaran ini membuktikan bahwa indonesia berusaha membuat ideologi pancasila ini dapat berjalan sesuai yang di harapkan.

BAB IIIPENUTUP3.1 Simpulan dan Saran3.1.1 SimpulanMeskipun terdapat beragam agama dan menimbulkan banyak konflik saat awal perumusan pancasila pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi dengan adanya usaha keras untuk mempersatukan bangsa ini makna sila pertama saat ini sangat memiliki arti yang begitu besar dan suatu faktor utama dalam menentukan keberhasilan Pengamalan pancasila kepada warga Negara Indonesia. Dimana dalam sila ini mengajarkan suatu kebaikan untuk menuju Indonesia yang baik dan maju. Oleh karena itu pemuda adalah generasi masa depan bangsa indonesia . Oleh karena itu sejak dari dini agama harus di ajarkan dan setiap warga negara Indonesia harus faham akan agama mereka masing masing.3.1.2 SaranSebagai saran untuk membangun negara kita hendaknya semua kritik dan saran terbuka untuk semua orang dan siapa pun berhak menyampaikan aspirasinya. Kemajuan suatu bangsa itu juga karena ada kerjasama yang baik dari masyarakat kita dengan wakil rakyat. Hubungan yang baik itu dapat aling memperbaiki saling menilai satu sama lain. Negara tanpa penduduk apa artinya sebuah negara, dan apa jadinya jika negara tanpa ada pemerintahan yang baik . Antara pihak pemerintah dan kalangan masyarakat harus ada kerjasama yang baik sebagai perwujudan kita dalam persatuan. Kita harus menyamakan tujuan kita untuk memajukan negara bersama-sama, jadi semua orang dapat berpatisipasi. Kepedulian dengan rakyat harus juga diperhatikan, karena mereka juga bagian dari negara kita. Mereka adalah manusia yang mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasinya, dan kita sebagai pemerintah yang baik kepedualian, perhatian, harus selalu dicurahkan. Banyaknya penduduk yang ada di Indonesia harus disama ratakan, adil sesuai denga porsi. Disnilah kebijakan itu sangat berperan penting dalam perwujudan haka asasi setiap warga negara. Kerukunan yang diajarkan agama dan pancasila juga menjadi unsur penting yang harus dijaga sampai kapanpun. Negara kita punya karakteristik yang berbeda dari bangsa yang lain. Pancasila menjadi corak khas kita, bukti Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Tidak bisa dibeli dengan apapun. Untuk itu kita harus bisa menjaga segala yang dimilliki bangsa kita tercinta ini, kita harus bahu-membahu mewujudkan cita-cita negara kita, turut serta dalam pembangunan bangsa khususnya yang diutamakan adalah sumber daya manusia yang menjadi penggerak negara dengan segala pemikirannya, kreatifitasnya, kecerdasannya dan tenaganya untuk berpartisipasi untuk terus melakukan perbaikan negara kita.

20

DAFTAR PUSTAKANo name.2013. Ketegangan Antar Kelompok Agama PadaMasa Orde Lama Sampai Awal Orde Baru.Juli.Jakarta. Jurnal Teologi Indonesia : hal.1Mustamin, Syaiful Bachri.2012. Hubungan Pancasila dan Agama.no date.Makalah.yogykarta

Kurniawan, Gigih Fajar.2012. Butir Pengamalan Pancasila.no date.makalah.yogykarta