Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRINSIP KESANTUNAN BERBAHASA MENURUT LEECH PADA NOVEL
PERTEMUAN DUA HATI KARYA NH. DINI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana
Pendidikan
Oleh
Mia Nurdaniah
NIM 1110013000095
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ABSTRAK
MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. Skripsi. Prinsip Kesantunan Berbahasa
Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA, Program Studi Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A.
Kesantunan berbahasa merupakan aspek yang sangat penting saat berinteraksi
dengan lawan tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, kesantunan berbahasa memiliki
peran penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Novel sebagai media ajar dapat
digunakan pengajar untuk menyampaikan pengajaran mengenai kesantunan
berbahasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prinsip kesantunan
berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini dan
implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Manfaat dari
penelitian ini meliputi dua hal, yaitu manfaat teoritis yang dapat memberikan
wawasan tentang kesantuan berbahasa terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di
Sekolah Menengah Atas dan manfaat praktis yang dapat memberikan sumber
referensi baru untuk penelitian selanjutnya.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan pragmatik.
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu sumber
data primer yang merupakan sumber data pokok berupa novel karya Nh. Dini yang
berjudul Pertemuan Dua Hati dan sumber sekunder yang merupakan buku ataupun
sumber lain yang berhubungan dengan permasalahan objek penelitian. Metode
pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut (1)
membaca keseluruhan data primer sambil memahami isi dari data tersebut, (2)
pengumpulan data, yaitu menandai hal-hal penting yang terdapat pada sumber primer.
Hasil penelitian menunjukkan lebih banyak tuturan yang mematuhi maksim
kesantunan berbahasa menurut Leech. Berikut adalah jumlah hasil penelitian, terdapat
45 tuturan yang mematuhi prinsip kesantunan dan 38 tuturan yang melanggar prinsip
kesantunan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dikatakan bahwa novel Pertemuan
Dua Hati karya Nh. Dini sangat layak untuk dijadikan bahan ajar Bahasa Indonesia
pada materi yang berhubungan dengan novel, terutama mengenai membaca novel.
Walaupun novel Nh. Dini adalah novel lama, namun Nh. Dini sangat piawai
menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca dan memiliki nilai
kehidupan untuk pembacanya, terutama untuk guru dan orang tua dalam mendidik
anak-anak. Selain siswa dapat mengusai materi pelajaran mengenai membaca novel,
siswa pun dapat mempelajari kesantunan berbahasa yang terdapat dalam novel dan
dapat langsung dipraktekkan pada kehidupan sehari-harinya dalam segala situasi
sosial, baik dalam lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan sekolah.
Kata kunci: kesantunan berbahasa, prinsip kesantunan, novel Pertemuan Dua Hati
ii
ABSTRACT
MIA NURDANIAH. NIM: 1110013000095. The title of the research paper is
“Language Politeness Principle Based on Leech in the Novel Entitled Pertemuan Dua
Hati by Nh. Dini and its Implication towards Teaching Learning Process in Senior
High School”, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen
Pembimbing: Djoko Kentjono, M. A.
Language politeness is the important aspect when someone interact with other
people. In the education environment, language politeness has an important role in
the students speaking ability. Novel as the media of teaching learning process can be
used by the teacher to convey materials about language politeness. The aim of this
research is to know language politeness principle based on Leech in the novel entitled
Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini and its implication towards teaching and learning
process in Senior High School. The benefit of this research includes two aspects; the
theoretic benefit which could give knowledge about language politeness on teaching
and learning process in Senior High School, and practical benefit which could give
new reference source for the next research.
This research used descriptive method with pragmatic approach. The source
of data that used in this research is divided into two: the primary source of the data
that is the main source in the form of novel by Nh. Dini entitled Pertemuan Dua Hati,
and secondary source of the data in the form of book or another source related to the
problem of object research. Collecting data technique that is used in this research
were in this following list; (1) read overall the primary source and try to understand
about its content, (2) collected the data, marking important things in the primary
source.
Result of the research showed that most of the discourses obey the language
politeness maxim based on Leech. The following is the amount of research result,
there were forty-five discourses which obey the politeness principle and thirty-eight
discourses which contravene the politeness principle. Based on the result of the
research, it could be said that the novel entitled Pertemuan Dua Hati by Nh. Dini is
very suitable to be used as a material for teaching and learning Bahasa Indonesia in
the topic related with novel, especially about reading a novel. Even though this novel
belongs to old novel, Nh. Dini is very adept of using language style that is easy to be
understood by the readers and has so many life values for the readers, especially for
the teacher and the parents who educate their children. Students are not only able to
acquir the material about reading novel, but also able to study about language
politeness from the novel and able to practice it directly in their daily life in every
social situation, not only in the society environment but also in the school
environment.
Keywords: language politeness, politeness principle, novel entitle Pertemuan Dua
Hati
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang, atas segala nikmat dan karunia-Nya serta limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
yang berjudul ”Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada Novel
Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”, sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Sarjana Strata (S1) pada jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Faktultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai
hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak,
skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan
inipenulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1) Dra. Nurlena Rifai, M. A., P.h.D., selaku Dekan FTIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2) Didin Syafruddin, M. A., Ph.D., selaku PLT Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia;
3) Dra. Hindun, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi;
4) Djoko Kentjono, M.A selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan ilmu, bimbingan serta kesabaran dalam membimbing
penulis;
5) Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia,
yang telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan;
iv
6) Ayahanda Cuparno, S. Sos dan Ibunda Aidah selaku orangtua penulis,
serta adik-adik Agung Permana dan M. Argya. Raffa yang senantiasa
mendoakan, memberikan dorongan moral, dan moril, serta memotivasi
penulis sehingga penelitian dapat terselesaikan dengan baik;
7) Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2010,
terimakasih atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis
dapatkan selama ini;
8) Aris Fadilah, Deby Rachma Rizka, Nisa Kurniasih, Rizka Amalia
Sapitri, Widia Cahya Pratami, Ajeng Rosmala, Siti Halimatussadiah,
Anggi Pramesti. Terimakasih telah mundukung, mengingatkan,
membantu, menyemangati penulis dalam proses pembuatan skripsi;
9) Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan
kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Amin.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca, dan semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi para pembaca.
Jakarta, 21 November 2014
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ..................................................... 4
D. Perumusan Masalah ...................................................... 5
E. Tujuan Penelitian .......................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ........................................................ 5
G. Sistematika Penulisan ................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................... 7
A. Pragmatik ...................................................................... 7
1. Pengertian Pragmatik .............................................. 7
2. Kesantunan .............................................................. 8
3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech ........................ 8
4. Konteks ................................................................... 15
B. Sastra .............................................................................. 17
a. Pengertian Sastra ..................................................... 17
b. Pengertian Novel .................................................... 18
c. Jenis-Jenis Novel ..................................................... 20
d. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel ...................... 21
e. Biografi Nh. Dini ..................................................... 23
f. Sinopsis Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh.
Dini ........................................................................ 25
C. Penelitian Relevan ......................................................... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................... 30
A. Metode Penelitian.......................................................... 30
B. Sumber Data .................................................................. 31
C. Metode Pengumpulan Data ........................................... 31
D. Teknik Analisis Data ..................................................... 31
vi
BAB IV HASIL PENELITIAN ....................................................... 33
A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati
Karya Nh. Dini .............................................................. 33
B. Analisis Deskriptif Prinsip Kesantunan Berbahasa
Menurut Leech pada Novel Pertemuan Dua Hati
Karya Nh. Dini .............................................................. 60
C. Hasil Analisis Prinsip Kesantunan dalam Novel
Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini ............................ 103
D. Implikasi Penelitian dengan Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMA ......................................................... 103
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................... 106
A. Simpulan ....................................................................... 106
B. Saran .............................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Surat Pernyataan Karya Sendiri
Lampiran 2 Lembar Uji Referensi
Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Lampiran 4 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 5 Cover novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini
Lampiran 6 Profil Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu tata bahasa yang
berkaitan erat dengan tindak tutur. Konteks dalam suatu tindak tutur
adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila seorang mitra tutur
menafsirkan maksud dari penutur tanpa memperhatikan konteks maka
dapat dikatakan orang itu belum sepenuhnya menangkap informasi atau
tujuan apa yang disampaikan oleh penutur. Begitu pula dengan penutur,
jika ia berbicara seenaknya saja sekedar basa-basi tanpa memperhatikan
konteks, maka tujuan dari tuturan tersebut pun tidak tercapai.
Agar tercapainya tujuan penutur kepada mitra tutur maka penutur
harus memiliki kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan bukan hal yang
asing lagi bagi masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang kental akan
budaya dan adat istiadat. Kesantunan dapat berupa tindak tutur, sikap dan
sebagainya yang menggambarkan identitas diri seseorang. Maka dari itu
kesantunan merupakan hal yang sangat penting saat berinteraksi dengan
orang lain agar hubungan baik selalu terjaga. Pragmatik, dalam hal ini
kesantunan berbahasa dapat dilihat dari karya sastra, misalnya novel.
Sastra merupakan karya lisan ataupun tulisan yang
menggambarkan, dan membahas segala macam kehidupan manusia.
Kehidupan dalam sastra dibangun oleh tema, penokohan, alur cerita, latar
maupun gaya bahasa pengarang dalam penciptaannya. Bahasa yang
digunakan pada sastra pun bukan bahasa sehari-hari, tapi bahasa yang
memiliki ciri khas, ciri khas tersebut diciptakan oleh para pengarang agar
menambah keindahan dari karya sastra yang dihasilkan.
Novel berisi tentang gambaran kehidupan sehari-hari yang
biasanya diangkat dari realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Ide-ide
yang pengarang ekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari
situasi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, pengalaman, kejadian,
2
dan situasi yang pengarang alami diolah sedemikian rupa sehingga
menciptakan karya sastra berupa novel.
Totalitas ekspresi pengarang yang dituangkan dalam karyanya
yang berupa novel menjadi lebih hidup karena disisipkan interaksi antar
tokoh dalam suatu konteks atau situasi kehidupan sehari-hari. Konteks
atau situasi kehidupan sehari-hari pada novel biasanya berkaitan dengan
masalah pendidikan, percintaan, kemiskinan, kekuasaan, kekeluargaan,
dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, novel dapat dikaji menggunakan ilmu
pragmatik tentang kesantunan berbahasa karena terdapat interaksi antar
tokoh dengan konteks atau situasi seperti pada kehidupan sehari-hari.
Aspek kesantunan sangat penting saat berinteraksi dengan lawan
tutur. Apalagi pada dunia pendidikan, aspek kesantunan memiliki peran
penting dalam kemampuan berbahasa siswa. Hal tersebut berkaitan dengan
buku yang digunakan dalam pengajaran terutama pada pelajaran Bahasa
Indonesia. Pada siswa SMA kelas XI terdapat pelajaran tentang
“menceritakan isi novel”, maka dapat dijadikan media untuk siswa
mendapatkan pengajaran kesantunan. Siswa dapat mengetahui kesantunan
dari buku yang bahasanya santun, dan memiliki amanat yang bermanfaat
bagi kehidupan siswa.
Novel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Pertemuan Dua
Hati karya seorang pengarang wanita bernama Nh. Dini. Novel ini
bertema tentang kehidupan guru sekolah dasar yang mengalami konflik
batin dengan siswa, dan keluarganya. Walaupun novel ini bukan novel
yang baru, karena cetakan pertamanya tahun 1986, namun konflik yang
terkandung dalam novel ini masih menarik pada era modern ini yaitu
masalah pada dunia pendidikan, keprofesionalan guru yang dipertaruhkan.
Sekilas tentang novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini
menceritakan tentang kehidupan guru Sekolah Dasar yang bijak, dan
sepenuh hati dalam menjalankan tugasnya. Ia menjadi guru baru di suatu
sekolah dasar, ada siswa yang menarik perhatiannya bernama Waskito.
Waskito merupakan murid yang nakal. Hati bu Suci pun tergerak untuk
3
menyelesaikan masalah Waskito, dan ingin membantu membimbingnya
agar menjadi anak yang lebih baik. Namun, disaat yang bersamaan anak
kedua bu Suci dinyatakan menyidap penyakit ayan oleh dokter, maka
harus dijaga dan tidak boleh beraktivitas. Bu Suci pun merasa ingin di
kelas untuk mengetahui perkembangan Waskito, namun di sisi lain dia
harus mengantar anaknya ke rumah sakit. Karena bu Suci tidak memiliki
informasi yang cukup tentang Waskito, akhirnya ia memutuskan untuk ke
kediaman kakek, dan nenek Waskito. Di sana bu Suci mendapatkan
informasi, bahwa Waskito sebenarnya bukanlah anak nakal hanya saja
orangtuanya salah mendidiknya. Dari situ bu Suci mulai mendekati
Waskito, ia membuat Waskito lebih dianggap ada keberadaannya oleh
teman-teman sekelasnya. Waskito dipercayakan oleh bu Suci melakukan
hal-hal yang sebelumnya belum pernah ia lakukan, termasuk
mengantarkan makanan kepada anak bu Suci yang sedang di rumah sakit.
Di akhir cerita, Waskito berhasil menjadi anak yang baik, dan dapat naik
kelas.
Terdapat banyak nilai kehidupan dari novel Pertemuan Dua Hati
karya Nh. Dini, sehingga penulis tertarik memilih novel ini sebagai
sumber penelitian. Perjuangan seorang guru untuk muridnya sangat
terlihat pada novel ini. Selain isi dari novel ini peneliti pun tertarik karena
pengarang novel ini adalah Nh. Dini, seorang sastrawan wanita yang
berjaya pada masanya. Novel ini pun bisa menjadi bahan bacaan siswa
pada pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA dalam materi yang
membahas novel. Maka dari itu peneliti memilih judul Prinsip
Kesantunan “Berbahasa Menurut Leech Pada Novel Pertemuan Dua
Hati Karya N.H Dini dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Bahasa Indonesia di SMA”.
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut.
1. Kurangnya siswa dalam menggunakan kesantunan dalam berbahasa.
2. Kurangnya minat siswa terhadap pembelajaran bahasa.
3. Keterbatasan kemampuan siswa dalam memahami kesantunan
berbahasa.
4. Rendahnya minat siswa dalam membaca karya sastra.
5. Kurangnya presentase pengajaran sastra pada siswa SMA.
6. Tindak tutur tidak hanya terjadi pada karya sastra.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan suatu masalah dalam suatu penelitian sangat penting
agar permasalahan yang akan diteliti lebih terarah dan tidak menyimpang
dari masalah yang diterapkan. Peneliti lebih berfokus pada prinsip
kesantunan menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh.
Dini yang diimplikasikan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di
Sekolah Menengah Atas.
D. Perumusan Masalah
Untuk mencapai hasil penelitian yang maksimal dan terarah, maka
diperlukan rumusan masalah dalam suatu penelitian. Adapun rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prinsip kesantunan
berbahasa menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya N.H Dini
dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Menengah Atas?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya maka
tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan prinsip kesantunan
5
berbahasa menurut Leech dalam novel Pertemuan Dua Hati karya Nh.
Dini dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah
Menengah Atas.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat teoretis
Dapat memberikan wawasan tentang kesantunan berbahasa
terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas.
Manfaat praktis
Dapat memberikan sumber referensi baru untuk mahasiswa lain
yang ingin meneliti hal yang sama dengan penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini penulis membagi
dalam lima bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan
Dalam bab pendahuluan ini penulis akan memaparkan
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian sastra,
pengertian novel, jenis-jenis novel, unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel, biografi Nh. Dini, sinopsis novel
Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini, pengertian
pragmatik, kesantunan, prinsip kesantunan Leech,
penelitian relevan, serta implikasi penelitian dengan
pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.
BAB III : Metodologi Penelitian
Dalam bab ini penulisakan menguraikan tentang metode
penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, dan
6
teknik analisis data.
BAB IV : Hasil Penelitian
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang
gambaran umum prinsip kesantunan berbahasa dalam
novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini serta deskripsi,
data, analisis data dan interpretasi data.
BAB V : Penutup
Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan dan saran-
saran.
7
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pragmatik
1. Pengertian Pragmatik
Menurut Leech pada tahun 1983, fonologi, sintaksis dan semantic
merupakan bagian dari tata bahasa atau gramatika, sedangkan pragmatik
merupakan bagian dari pengunaan tata bahasa (language use).1 Telah banyak
ahli yang mendefinisikan pengertian pragmatik. Istilah pragmatik berasal dari
pragmatika diperkenalkan oleh Charles Moris (1938).2 Dalam sumber lain
dikatakan pula, :‖… pragmatik adalah tindakan aliran struktural yang
berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam
komunikasi.‖3
Pragmatik adalah telaah umum tentang cara kita menafsirkan kalimat
dalam suatu konteks (unsur waktu dan tempat mutlak dituntut oleh suatu
ujaran).4 Menurut Heatherington (1980:155), pragmatik adalah ilmu yang
menelaah mengenai ucapakan-ucapan khusus dalam situasi-situasi tertentu dan
memandang performasi ujaran sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh
aneka ragam konvensi sosial.5 Pragmatik adalah studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations). 6 Menurut Ninio
dan Snow pada tahun 1998 dan Verschueren pada tahun 1999, pragmatik
adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan orang lain
dalam masyarakat yang sama. 7
Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan pragmatik adalah ilmu
yang merupakan bagian dari linguistik, meneliti ujaran yang memiliki konteks
dan digunakan dalam berkomunikasi. Cara penutur menafsirkan kalimat dalam
1 Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik, (Yogjakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h.20.
2 Fatimah Djajasudarma, Wacana dan Pragmatik (Bandung: PT Refika Aditama, 2012),
h.60.
3 Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum
1984 (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h.16.
4 Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi (Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012), h.3.
5 Ibid., h. 3.
6 Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh
M. D. D. Oka, (UI-Press, 2011), h.8.
7 Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia,
(Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 264.
8
suatu konteks bergantung pada tanda yang melibatkan unsur waktu dan tempat
yang digunakan setiap ujaran.
2. Kesantunan
Leech mengatakan bahwa ―kesantunan merupakan ujaran yang membuat
orang lain dapat menerima dan tidak menyakiti perasaannya.‖ Sedangkan Yule
menyatakan bahwa ―kesantunan adalah usaha mempertunjukan kesadaran yang
berkenaan dengan muka orang lain. Kesantunan dapat dilakukan dalam situasi
yang bergayut dengan jarak sosial dan keintiman.‖8 Selanjutnya, Baryadi
dalam PELBBA 18 mengartikan kesantunan sebagai ―salah satu wujud
penghormatan seseorang kepada orang lain‖.9
Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, kesantunan adalah suatu usaha
pola penyampaian pesan dengan menjaga perasaan mitra tutur dengan
menghomati mitra tutur agar tidak menyakiti perasaannya dalam situasi
tertentu. Cara penghormatan guna menjaga perasaan mitra tutur dilakukan
dengan menjaga bahasa yang digunakan dalam berinteraksi, tidak asal bicara
dan menyampaikan ujaran dengan bahasa yang sopan.
3. Prinsip Kesantunan Menurut Leech
Prinsip kesantunan yang dianggap paling lengkap adalah prinsip
kesantunan menurut Leech pada tahun 1983. Prinsip kesantunan ini dituangkan
dalam enam maksim.
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual.
Kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan
interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucaapan mitra tuturnya.
Selain itu, maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip
kerja sama dan prinsip kesantunan. Berikut ini enam maksim yang merupakan
prinsip kesantunan menurut Leech:
8 George Yule dalam buku Hindun, “Pragmatik untuk Perguruan Tinggi”, (Depok: Nofa
Citra Mandiri, 2012), h. 67.
9 Yassir Nasanius (peny.), PELBBA 18:Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan
Budaya Atmajaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h.101.
9
1) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Kurangi kerugian orang lain, tambahi keuntungan orang lain.
Contoh:
Ibu : ―Ayo dimakan bakminya! Di dalam masih banyak, kok.‖
Rekan Ibu : ―Wah, segar sekali. Siapa yang memasak ini tadi, Bu?‖
Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seorang ibu kepada teman dekatnya pada
saat ia berkunjung ke rumahnya.
Kalau dalam tuturan penutur berusaha memaksimalkan keuntungan orang
lain, maka mitra tutur harus pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan
sebaliknya.. Bandingkan pertuturan (25) yang mematuhi maksim
kebijaksanaan dan petuturan (26) yang melanggarnya.
(25) A: Mari saya bawakan tas Bapak!
B: Jangan, tidak usah!
(26) A: Mari saya bawakan tas Bapak!
B: Ini, begitu dong jadi mahasiswa!10
2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Menurut Leech dalam The Principles Of Pragmatics, maksim
kedermawanan mengacu pada, “Minimize benefit to self: maximize cost to
self.”11
Kurangi keuntungan diri sendiri, tambahi pengorbanan diri sendiri.
Contoh:
Bapak A : ―Wah, oli mesin mobilku agak sedikit kurang.‖
Bapak B : ―Pakai oliku juga boleh. Sebentar, saya ambilkan dulu!‖
Informasi Indeksal: Dituturkan oleh seseorang kepada tetangga dekatnya di
sebuah perumahan ketika mereka sedang sama-sama merawat mobil masing-
masing di garasi.12
10 Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h. 57.
11
Geoffrey Leech, The Principles Of Pragmatics (London and New York: Longman, 1989), h. 133.
10
Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, maksim ini disebut
juga sebagai maksim penerimaan, yaitu maksim yang menghendaki setiap
peserta pertuturan untuk memaksimalkan kerugian diri sendiri dan
meminimalkan keuntungan diri sendiri. Tuturan (27) dan (28) dipandang
kurang santun bila dibandingkan dengan tuturan (29) dan (30).
(27) Pinjami saya uang seratus ribu rupiah!
(28) Ajaklah saya makan di restaurant itu!
(29) Saya akan meminjami Anda uang seratus ribu rupiah.
(30) Saya ingin mengajak Anda makan siang di restaurant.
Tuturan (27) dan (28) serasa kurang santun karena penutur berusaha
memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan mengusulkan orang lain.
Sebaliknya tuturan (29) dan (30) serasa lebih santun karena penutur berusaha
memaksimalkan kerugian diri sendiri.13
3) Maksim Penghargaan (Approbation Maxim)
Menurut Leech pada The Princiles Of Pragmatics, approbation maxim adalah
sebagai berikut.
Minimize dispraise of other; maximize praise of other. An unflattering subtitle
for the Approbation Maxim would be „the Flattery Maxim‟ – but the term
„flattery‟ is generally reserved for insincere approbation. In its more important
negative aspect, this maxim says „avoid saying unpleasant things about others,
and more particulary, about h‟. Hence whereas a compliment like What a
marvelous meal you cooked! Is highly valued according to the Aprobation
Maxim, †What an awful meal you cooked! Is not.14
Approbation maxim yang telah dijelaskan di atas berarti kurangi cacian pada
orang lain, tambahi pujian pada orang lain. Approbatin maxim bisa diberi nama
lain, namun kurang baik, yaitu, ‗Maksim Rayuan‘ – tetapi istilah ‗rayuan‘
biasanya digunakan untuk pujian tidak tulus. Pada approbation maxim, aspek
negatif yang paling penting, yaitu jangan mengatakan hal-hal yang tidak
menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai mitra tutur. Karena
itu, menurut approbation maxim, sebuah pujian seperti ―Masakanmu enak
12 Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 2005), h.59.
13 Chaer, op. cit., h.57.
14
Leech, op. cit., h. 135.
11
sekali‖ sangat dihargai, sedangkan ucapan ―Masakanmu samasekali tidak
enak!‖ tidak dihargai.
Contoh:
Dosen A : ―Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Business English.‖
Dosen B : ―Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari
sini.‖
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen
dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.
Abdul Chaer menyatakan bahwa Approbation Maxim disebut juga maksim
kemurahan. Maksim kemurahan menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak
hormat kepada orang lain.
(31) A: Sepatumu bagus sekali!
B: Wah, ini sepatu bekas; belinya juga di pasar loak.
(32) A: Sepatumu bagus sekali!
B: Tentu dong, ini sepatu mahal; belinya juga di Singapura!
Penutur A pada (31) dan (32) bersikap santun karena berusaha
memaksimalkan keuntungan pada (B) mitra tuturnya. Lalu, mitra tutur pada
(31) juga berupaya santun dengan berusaha meminimalkan penghargaan diri
sendiri; tetapi (B) pada (32) melanggar kesantunan dengan berusaha
memaksimalkan keuntungan diri sendiri. Jadi, (B) pada (32) tidak berlaku
santun.15
4) Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
15 Chaer, op. cit., h. 58.
12
Kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri.
Contoh:
Sekretaris A: ―Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya! Anda yang
memimpin!
Sekretaris B: ― Ya, Mbak. Tapi, saya jelek, lho.‖
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior
pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka.
Dalam Kesantunan berbahasa, Modesty Maxim disebut sebagai maksim
kerendahan hati. Maksim kerendahan hati menuntut setiap peserta pertuturan
untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan
rasa hormat pada diri sendiri.
(40) A: Kamu memang sangat berani.
B: Ah tidak; tadi ‗kan cuma kebetulan saja.
5) Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang orang lain, tingkatkan
persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Contoh:
Noni: ―Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!‖
Yuyun: ―Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.‖
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa
pada saat mereka sedang berada di sebuah ruang kelas.16
16 Ibid,. h. 64.
13
Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa menyebut Agreement Maxim
dengan sebutan maksim kecocokan, yang berarti menghendaki agar setiap
penutur dan mitra tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka; dan
meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka.
(41) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat
memalukan.
B: Ya, memang!
(42) A: Kericuhan dalam Sidang Umum DPR itu sangat
memalukan.
B: Ah, tidak apa-apa. Itulah dinamikanya demokrasi.
Tuturan B pada (41) lebih santun dibandingkan dengan tuturan B pada
(42), mengapa? Karena pada (42), B memaksimalkan ketidaksetujuan dengan
pernyataan A. Namun bukan berarti orang harus senantiasa setuju dengan
pendapat atau pernyataan mitra tuturnya. Dalam hal ia tidak setuju dengan
pernyataan mitra tuturnya, dia dapat membuat pernyataan yang mengandung
ketidaksetujuan parsial (partial agreement) seperti tampak pada pertuturan
berikut.
(43) A: Kericuhan dalam siding umum DPR itu sangat
memalukan.
B: Memang, tetapi itu hanya melibatkan beberapa oknum
anggota DPR saja.
Pertuturan (43) terasa lebih santun daripada pertuturan (42) karena
ketidaksetujuan B tidak dinyatakan secara total, tetapi secara parsial sehingga
tidak terkesan bahwa B adalah orang yang sombong.17
6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
17 Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.59-61.
14
Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain, perbesar simpati antara
diri sendiri dengan orang lain. (Tarigan, 1990: 82-83).
Contoh:
Ani: ―Tut, nenekku meninggal.‖
Tuti: ―Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.‖
Informasi Indeksal:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah
berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka. 18
Menurut Abdul Chaer dalam Kesantunan Berbahasa, Sympathy Maxim
disebut juga sebagai maksim kesimpatian. Maksim ini mengharuskan semua
peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa
antipasti kepada mitra tuturnya. Bila mitra tutur memperoleh keberuntungan
atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika mitra tutur
mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan
rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Simak pertuturan
(45) dan (46) yang cukup santun karena si penutur mematuhi maksim
kesimpatian, yakni memaksimalkan rasa simpati kepada mitra tuturnya yang
mendapatkan kebahagiaan pada (45) dan kedukaan pada (46).
(45) A: Bukuku yang kedua puluh sudah terbit.
B: Selamat ya, Anda memang orang hebat.
(46) A: Aku tidak terpilih jadi anggota legislatif; padahal uangku sudah banyak
keluar.
B: Oh, aku ikut prihatin; tetapi bisa dicoba lagi dalam pemilu
mendatang.19
Berdasarkan pemaparan di atasa dapat disimpulkan bahwa
menurut Leech prisip kesantunan ada 6, yaitu tact maxim (maksim
kebijaksanaan), generosity maxim (maksim kedermawanan atau maksim
penerimaan), approbation maxim (maksim penghargaan atau maksim
18 Kunjana Rahardi, Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 2005), h.59.
19
Chaer, op.cit., h. 61
15
kemurahan), modesty maxim (maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan
hati), agreement maxim (maksim permufakatan atau maksim kecocokan), dan
sympathy maxim (maksim simpati atau maksim kesimpatian). Keenam maksim
pada prinsip kesantunan, dilihat dari keuntungan terhadap diri sendiri,
pengorbanan, pujian, cacian, penyesuaian diri dan simpati serta antisimpati.
Maksim kemufakatan dan maksim simpati berhubungan dengan
penilaian penutur kepada dirinya sendiri ataupun pada mitra tuturnya.
Sedangkan maksim kebijaksanaan dan maksim kesederhanaan mempunyai
kesamaan, karena keduanya berpusat pada orang lain. Maksim kedermawanan
dan maksim kesederhanaan berpusat pada diri sendiri, baik penutur ataupun
mitra tutur.
4. Konteks
Dalam pragmatik, konteks sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan.
Menurut KBBI, konteks adalah bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna.20
Sedangkan menurut Mey pada
tahun 1993, dalam F.X. Nadar adalah the surrounding, in the widest sense, that
enable the participants the communication process their interaction
intelligible, yang berarti situasi lingkungan dalam arti luas yang
memungkinkan peserta pertuturan untuk dapat berinteraksi, dan yang membuat
ujaran mereka dapat dipahami. Selain itu, pentingnya konteks dalam pragmatik
ditekankan oleh Wijana pada tahun 1996, yang menyebutkann bahwa
pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks.21
Leech mengartikan konteks
sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan mitra tutur, dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna
tuturan.22
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konteks sangat penting dalam
pragmatik yang mengkaji makna dari setiap ujaran dalam suatu situasi.
Konteks merupakan latar belakang yang sama-sama diketahui oleh penutur dan
mitra tutur.
20 Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), Edisi ke-3, h. 728.
21 F.X. Nadar, Pragmatik & Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.3-4.
22
Geoffrey Leech, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Terj. Dari The Principles Of Pragmatics oleh M. D. D. Oka, (UI-Press, 2011), h.20.
16
Menurut John. J. Gumperz dan Dell Hymes, konteks dapat mempermudah
pola-pola komunikatif dengan menggunakan klasifikasi kisi-kisi yang diajukan
Hymes yang dikenal dengan istilah SPEAKING. Istilah SPEAKING,
merupakan akronim yang tiap hurufnya merupakan unsur dari konteks. Unsur-
unsur itu adalah:
1) Setting dan scene / adegan (S). Setting mengacu pada waktu dan tempat.
Contohnya adalah lingkungan yang secara fisik dapat dilihat pada
peristiwa tutur berlangsung. Sedangkan dapat pula terjadi suatu ujaran
tertentu menjelaskan scene/ adegan.
2) Participant/ peserta (P), termasuk penutur dan mitra tutur, yang
menuturkan dan yang mendengarkan, pengirim dan penerima. Tuturan
tersebut antara penutur dan mitra tutur dan pedengar yang saling berganti
peran.
3) End/ hasil akhir (E), mengacu pada hasil akhir dari respon dalam
percakapan yang dilakukan dan juga tujuan akhir personal yang dicari oleh
peserta percakapan.
4) Act sequence/ urutan tindakan (A), mengacu pada bentuk dan isi yang
actual dari kata-kata yang digunakan, sehingga terhubung antara apa yang
dituturkan dengan urutan tindakan dengan tema yang actual saat itu.
5) Key/ Kunci (K), mengacu pada nada/ tone, perilaku atau semangat saat
pesan tersebut digunakan, di antaranya adalah serius, bahagia, mencekam,
menakutkan, kegembiraan, kelembutan. Kunci yang dimaksud adalah
body language atau bahasa tubuh yaitu dengan perilaku gerak tubuh.
6) Instrument (I), mengacu pada pilihan channel/ jalur yaitu sesuatu yang
digunakan agar pesan itu dapat tersampaikan seperti ujaran lisan, tulisan,
sms, dan bentuk ujaran yang digunakan seperti bahasa, simbol-simbol,
kode dan dialek.
7) Norm/ cara interaksi dan interpretasi (N), merupakan perilaku tertentu
yang berkaitan erat dengan peristiwa tutur, baik dari volume suara,
ekspresi dan gerak tubuh bahkan diam.
8) Genre (G), merupakan jenis bahasa ujaran, seperti ungkapan pantun,
peribahasa, motto, nasihat, lelucon, kampanye yang keseleluruhannya
17
ditandai dengan cara yang tidak biasa. 23
Menurut Swales pada tahun 1990
dirangkum dalam bahasa Indonesia, menyatakan bahwa suatu genre terdiri
atas suatu kelas peristiwa-peristiwa komunikatif yang para anggotanya
bersama-sama memiliki beberapa perangkat tujuan komunikatif.24
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hymes memberikan penjelas
pada setiap unsur dengan akurat. Unsur dari akronim SPEAKING tersebut
digunakan untuk memperjelas konteks setiap tuturan dalam analisis deskriptif
pada BAB IV, yaitu peristiwa tutur, tempat, waktu, tujuan, mitra tutur dan
situasi.
B. Sastra
1. Pengertian Sastra
Sastra adalah bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-
kitab, bukan bahasa sehari-hari.25
Karya sastra adalah karya imajinatif
pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat pada waktu karya
sastra itu diciptakan.26
Secara etimologis sastra atau sastera berasal dari bahasa Sansekerta yang
terdiri dari akar kata Ças atau sâs dan –tra. Ças dalam bentuk kata kerja yang
diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk
ataupun intruksi. Akhiran –tra menunjukan satu sarana atau alat. Sastra secara
harfiah berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi ataupun
pengajaran.27
Karya sastra (novel, cerpen, dan puisi) adalah karya imajinatif, fiksional,
dan ungkapan ekspresi pengarang. Karya sastra adalah produk budaya, dan
sebagai produk budaya karya sastra mencerminkan ataupun merepresentasikan
realitas masyarakat sekitarnya dan pada zamannya. Dengan asumsi itu, karya
23 Nuri Nurhaidah, Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia, (Yogyakarta: Smart
Writing, 2014), h. 55-56.
24 Fatimah Djajasudarma, Wacana- Pemahaman dan Hubungan Antarunsur, (Bandung:
Refika Aditama, 2006), h.29.
25
A.A. Waskito, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: WahyuMedia, 2009), h. 508.
26 Yuana Agus Dirgantara, Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia, (Garudhawaca,
2012), h. 123.
27 Dwi Susanto S.S., M. Hum. Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: Caps, 2012), h. 1
18
sastra hanya mencerminkan jiwa zamannya saja.28
Dapat dikatakan bahwa sastra adalah karya imajinatif yang
menggambarkan kehidupan sehari-hari namun bahasa yang digunakannya
bukan bahasa sehari-hari. Bahasa yang digunakan pada karya sastra adalah
bahasa yang mempunyai ciri khas pengarang, karena itu karya sastra disebut
karya yang mempunyai keorsinilan pada penciptaannya. Bahasa yang
digunakan mempunyai ciri khas karena sastra diciptakan untuk dinikmati
pembacanya.
2. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa latin novellus yang diturunkan pula dari
kata novies yang berarti ―baru‖. Dikatakan baru karena jika dibandingkan
dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama dan lain-lain maka jenis
novel ini muncul kemudian. 29
Novel merupakan genre sastra baru dibandingkan puisi, drama, dan lain-
lain, karena novel baru muncul setelah jenis sastra lainnya. Novel merupakan
karya sastra yang mempunyai konteks seperti kehidupan sehari-hari. Ada
beberapa pengertian novel yang dikemukakan oleh para ahli.
The American College Dictionary of Current English yang disebut dalam
buku Henry Guntur Tarigan, menyebut novel adalah suatu cerita yang fiktif
dalam panjang yang tertentu, yang menuliskan para tokoh, gerak, serta adegan
kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang
agak kacau atau kusut.30
Dewasa ini novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan
istilah Indonesia novelette (Inggris: novelette, yang berarti sebuah karya prosa
fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang namun tidak juga terlalu
pendek.31
Novel merupakan cerita fiktif yang panjang. Di dalam novel terdapat
28 Ibid., h. 32-33.
29
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa,
2011), h. 164.
30
Ibid,. h. 164.
31
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 9-10.
19
tokoh, gerakan, dan kehidupan nyata yang diwakilkan pada jalan cerita yang
mempunyai konflik.
Pengertian selanjutnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel
adalah karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang sekelilingnya dengan menonjolkan watak
sifat pelaku.32
Pengertian novel menurut R.J. Rees pada tahun 1973, “A
fictitious prose narrative of considerable length in which characters and
actions representative of real life are portrayed in a plot of more or less
complexity.” Dapat diartikan, menurut R.J. Rees novel merupakan sebuah
cerita fiksi dalam bentuk prosa yang cukup panjang, yang tokoh dan
perilakunya merupakan cerminan kehidupan nyata, dan yang digambarkan
dalam suatu plot yang cukup kompleks.33
Berdasarkan penjabaran dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa
novel merupakan karangan prosa yang mencerminkan kehidupan seseorang
dengan orang-orang di sekelilingnya yang digambarkan dalam suatu alur yang
cukup kompleks dengan beragam bahasa keseharian yang mengandung ciri
khas dari kepribadian pengarangnya. Dalam novel, setiap pelaku mempunyai
watak dan berinterkasi antara tokoh satu dengan tokoh lainnya, hal itu yang
menonjol dalam novel dibandingkan dengan puisi. Dapat dibuktikan pada puisi
tidak terdapat tokoh pun bisa dinikmati oleh pembaca.
3. Jenis-Jenis Novel
Novel memiliki kategori yang beragam, walaupun kategorisasi novel kerap
kali menimbulkan pertentangan karena perbedaan pendapat antara pihak satu
dengan pihak lainnya. Namun kategorisasi novel sangatlah diperlukan untuk
mengetahui serta memahami karakteristik, dan cerita novel. Berikut ini adalah
jenis novel dalam Teori Pengkajian Fiksi.
a. Novel serius
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru
32 Pusat Bahasa Depdiknas, op.cit., h. 788.
33
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 1.
20
dengan cara pengucapan yang baru pula. Novel serius memerlukan daya
konsentrasi yang tinggi, dan kemauan jika ingin memahaminya. Novel ini
merupakan makna sastra yang sebenarnya. Pengalaman, dan permasalahan
kehidupan yang ditampilkan dalam novel jenis ini disoroti, dan diungkapkan
sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius
mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan
sebuah ―dunia-baru‖ lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi
yang khusus.34
Novel serius biasanya mengangkat cerita yang lebih kompleks,
bukan hanya kisah asmara antara sejoli. Kisah asmara atau kisah cinta yang
diangkat pada novel serius bukan hanya kepada pasangan tetapi bisa saja
kepada keluarga, orang tua, teman dan lain sebagainya. Cerita yang disuguhkan
dalam novel popular pun lebih rumit. Novel popular tidak berkiblat pada selera
pembaca seperti novel popular. Karya novel popular biasanya lebih abadi dari
novel popular yang tidak akan diingat pembaca dalam waktu yang lama.
b. Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan
banyak penggemarnya. Khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia
menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun
hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan
kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Novel ini
pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan
zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Biasanya
banyak dilupakan orang, apalagi denhan munculnya novel-novel baru yang
lebih populer pada asa sesudahnya. Menurut Stanton dalam Teori Pengkajian
Fiksi, novel popular lebih mudah dibaca, dan lebih mudah dinikmati karena ia
memang semata-mata menyampaikan cerita.35
Novel popular tidak masuk dalam masalah kehidupan yang rumit,
kebanyakan novel popular hanya menunjukan emosi-emosi yang biasa remaja
34 Nurgiyantoro, op. cit., h. 18-20.
35
Ibid., h. 18.
21
alami, misalnya masalah asmara. Maka dari itu, jenis novel ini banyak diminati
oleh kalangan remaja. Jika sudah habis jamannya, novel jenis ini tidak lagi
diingat lagi. Jalan cerita novel popular biasanya sederhana karena novel
popular mengincar selera pembaca.
Dari jenis-jenis novel yang disampaikan, maka novel Pertemuan
Dua Hati karya Nh. Dini merupakan novel serius. Hal tersebut karena
Pertemuan Dua Hati mengangkat masalah yang perlu direnungkan oleh para
pembaca. Novel ini memiliki nilai kehidupan, dan nilai pendidikan yang tidak
habis dimakan zaman.
4. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel
Unsur-unsur pembangun sebuah novel—yang kemudian secara bersama
membentuk sebuah totalitas itu— di samping unsur formal bahasa, masih
banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur
tersebut secara tradisional dapat dikelompokan menjadi dua bagian, walau
pembagian ini tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud adalah
unsur intrinsik dan ekstrinsik.
a. Unsur Intrinsik
Unsur Intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir
sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang
(secara langsung) turut serta membangun cerita. 36
Unsur intrinsik yang
dimaksud dalam Wellek & Warren adalah sebagai berikut,
1) Sastra dan seni;
2) modus keberadaan karya sastra;
3) efoni, irama dan matra;
4) gaya dan stilistika;
5) citra, metafora, symbol, dan mitos;
6) sifat dan ragam fiksi naratif;
7) genre sastra;
36 Ibid., h. 23.
22
8) penilaian;
9) sejarah sastra;37
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan
sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra,
namun sendiri, tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur
ekstrinsik cukup berpengaruh (untuk tidak dikatakan: cukup menentukan)
terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Sebagaimana halnya unsur
intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang
dimaksud (Wellek & Warren, 1956 : 75—135) antara lain adalah keadaan
subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan
pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang
ditulisnya. Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak
karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik
psikologi pengarang, psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi
dalam karya. 38
5. Biografi Nh. Dini
Bernama pena Nh. Dini atau N.H Dini, penulis novel dan biografi yang
bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, lahir di Sekay Semarang,
Jawa Tengah pada tanggal 29 Februari 1936. Ia mengenyam pendidikan di
SMA Sastra Bojong pada tahun 1956, selanjutnya Kursus Pramugari Darat
GIA Jakarta pada tahun 1956, dan dilanjutkan Kursus B-1 Jurusan Sejarah
pada tahun 1957.
Nh. Dini menikah dengan Yves Coffin, seorang diplomat yang bekerja di
Konsulat Perancis di Kobe, Jepang pada tahun 1960, namun bercerai pada
37Renne Wellek and Austin Wareen, Teori Kesusastraan, oleh Melani Budianta, (Jakarta:
PT Gramedia Pusaka Utama, 1993), h.160-338
38Nurgiyantoro, op.cit., h. 23-24.
23
tahun 1984. Dari pernikahannya tersebut Nh. Dini dikaruniai dua orang anak
bernama Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang Coffin, sutradara dan
animator film Despicable Me dan Despicable Me 2.
Nh. Dini diakui sebagai salah seorang penulis pertama yang
mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara blak-blakan ke dalam
tulisan. Kini ia tinggal di Yogyakarta walaupun kenangannya berpusat pada
kehidupannya di Semarang dan Paris. Ia mulai menulis sajak dan prosa
berirama pada tahun 1951 dan membacakannya sendiri di RII Semarang, Jawa
Tengah.
Pada tahun 1952, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke siaran nasional RRI
Jakarta, dan karyanya mulai ditebitkan di majalah. Cerita-cerita pendeknya
mulai diterbitkan majalah Kisah, Mimbar Indonesia, dan Siasat pada tahun
1953. Nh. Dini menulis naskah sandiwara radio yang dimainkan oleh
kelompoknya sendiri yang diberi nama Kuncup Berseri di RRI Semarang, Jawa
Tengah (1953). Ia sempat membentuk sandiwara di sekolahnya, SMA Sastra
Bojong dan diberi nama Pura Bhakti pada tahun 1954. 39
Lebih dari 20 tahun ia berpindah-pindah tinggal di Jepang, Kamboja,
Filipina, Amerika Serikat, Belanda, dan Prancis. Tahun 1980 kembali ke
Indonesia dan segera aktif dalam Wahana Lingkungan Hidup dan Forum
Komunikasi Generasi Muda Keluarga Berencana. Tahun 1986 ia mendirikan
Pondok Baca Nh. Dini, taman bacaan untuk anak-anak.
Pada tahun 1988, ia memenangkann hadiah pertama lomba penulisan
cerpen dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan surat kabar Le Monde,
Kedutaan Prancis di Jakarta, dan Radio Franche Internationale, dengan cerpen
berjudul Le Nid de Poison dans le Bale de Jakarta.
Berbagai penghargaan telah diterimanya, antara lain: ―Hadiah Seni untuk
Sastra, 1989‖ (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan); ―Bhakti Upapradana
39Taman Ismail Marzuki, ‘Tokoh nh dini’, 2013, h.1,
(http://www.tamanismailmarzuki.com).
24
Bidang Sastra‖ (1991, Pemerintah Daerah Jawa Tengah); dan ―South-East Asia
Writes‘ Award‖ (2003).
Karya:
a) Seri Cerita Kenangan
Sebuah Lorong di Kotaku (1989)
Padang Ilalang di Belakang Rumah (1987)
Langit dan Bumi Sahabat Kami (1988)
Sekayu (1988)
Kuncup Berseri (1996)
Kemayoran (2000)
Jepun Negerinya Hiroko (2001)
Dari Parangakik ke Kampuchea (2003)
Dari Fontenay ke Magallianes (2005)
La Grande Borne (2007)
Hidup Memisahkan Diri (2008)
b) Novel-novel lain
Pada Sebuah Kapal (1985)
Pertemuan Dua Hati (1986)
Namaku Hiroko (1986)
Keberangkatan (1987)
Tirai Menurun (1993)
25
Jalan Bandungan (2009)40
Nh. Dini merupakan pengarang wanita yang menempati kedudukan
istimewa. Nh. Dini berhasil menerobos dan menempatkan dirinya sebagai
novelis wanita yang sejajar dengan novelis pria pada zamannya.41
6. Sinopsis Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini
Bu Suci adalah seorang guru Sekolah Dasar di Purwodadi. Purwodadi
merupakan kota kecil yang gersang tetapi kota itu tempat kelahirannya. Ia
adalah seorang guru yang bijak dan sangat menyayangi keluarganya serta
murid-muridnya.
Bu Suci pindah ke Semarang karena tempat bekerja suaminya dipindahkan
ke sana. Di Semarang ia tinggal dengan suami, ketiga anaknya, dan bibi yang
menjaga anak-anaknya. Suami bu Suci orang yang pengertian dan selalu
mendukung keinginan bu Suci. Semenjak pindah ke Semarang, bu Suci belum
bekerja hanya di rumah saja menjaga anak-anaknya. Ia pun rindu dengan
pekerjaannya, hingga suatu hari ia mengantar anaknya ke Sekolah dan ditawari
menjadi guru di sana, bu Suci pun menerimanya.
Hari pertama dilalui bu Suci baik-baik saja, namun ada yang mengganjal
dalam pikirannya. Hari kedua pun dilalui bu Suci dengan lancar, namun ia
mulai mengetahui apa yang mengganjal dalam pikirannya itu. Seorang murid
bernama Waskito telah menarik perhatiannya. Ia pun bertanya tentang Waskito
pada teman-teman sekelasnya, namun tidak ada yang mau membuka mulut. Bu
Suci semakin bingung dengan apa yang terjadi pada Waskito.
Sampai suatu saat, bu Suci akhirnya mendapatkan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaannya. Ternyata Waskito adalah anak yang sukar,
begitulah bu Suci menyebutnya. Sukar menurut bu Suci adalah anak yang
nakal dan selalu membuat keonaran. Teman-teman Waskito merasa segan dan
tidak mau bermasalah dengannya. Mengetahui hal tersebut, bu Suci semakin
40 Nh. Dini, Pertemuan Dua Hati, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 87-88.
41
Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, (Jakarta: PR Raja Grafindo Persada, 2007), h. 60-61.
26
ingin masuk lebih dalam ke masalah Waskito dan ingin menyelesaikannya.
Hatinya terdorong untuk melakukan lebih dari apa yang dilakukannya
sekarang.
Seolah-olah cobaan sedang menghampiri bu Suci. Anak kedua bu Suci
dinyatakan mengidap penyakit ayan oleh dokter, sehingga harus dijaga dan
tidak boleh banyak beraktivitas. Bu Suci pun harus menjaga anaknya, tapi di
sisi lain, ia ingin sekali di kelas mengetahui perkembangan Waskito dan dia
pun harus mengantar anaknya ke rumah sakit untuk berobat.
Untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut, bu Suci mendatangi rumah
kakek dan nenek Waskito. Ia pun mendapatkan informasi tentang asal usul
kenapa Waskito bersikap seperti itu. Menurut kakek dan neneknya, Waskito
sebenarnya adalah anak yang baik tetapi karena orangtuanya
memperlakukannya kurang baik maka Waskito menjadi anak yang nakal.
Neneknya mengatakan bahwa ayahnya sering memukuli Waskito tanpa sebab
yang jelas ketika Waskito melakukan kesalahan, bukan pengarahan yang
diberikannya malah pukulan. Sementara ibunya terlalu memanjakan Waskito
sehingga ia tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dahulu,
sewaktu Waskito tinggal bersama kakek dan neneknya Waskito jadi anak yang
disiplin dan tahu aturan, namun semenjak ia kembali kepada orang tuanya ia
kembali menjadi anak yang nakal.
Bu Suci berusaha membantu permasalahan Waskito. Ia selalu
memperhatikan sikap Waskito ketika sedang berada di kelas. Perlahan bu Suci
mendekati Waskito, lalu memintanya mengantarkan makanan ke anaknya yang
sedang sakit di rumah sakit. Hal tersebut dimaksudkan bu Suci agar Waskito
tahu bahwa ia masih beruntung karena masih diberikan kesehatan dan dapat
menjalankan aktivitas sebagaimana mestinya tanpa harus melakukan hal-hal
yang tidak berguna dalam hidupnya.
Awalnya keberadaan Waskito tidak dihiraukan oleh teman-temannya,
namun kini bu Suci membuat Waskito ada keberadaannya. Waskito dipercayai
27
bu Suci untuk membuat sesuatu, hingga pekerjaannya mendapatkan
penghargaan dari teman-temannya.
Kini Waskito tinggal bersama bibinya, sehingga sudah mulai mendapatkan
pelajaran tentang kasih sayang. Waskito senang tinggal di sana meskipun
keadaan ekonomi mereka sulit, bahkan kadang mereka harus berbagi makanan.
Bu Suci mulai sedikit tenang melihat perubahan yang Waskito tunjukan.
Namun hal itu tidaklah berlangsung lama. Pada suatu hari, Waskito marah
kepada seeorang yang menghina tanaman yang ia tanam. Padahal maksud dari
seseorang itu hanyalah bercanda. Waskito mengacungkan sebuah cutter,
namun bu Suci mengambil cutter dari tangan Waskito dengan berani. Karena
kejadian tersebut, semua guru di sekolah sepakat untuk mengeluarkan Waskito
dari sekolah. Hal itu dihalangi oleh bu Suci, ia meminta agar diberi waktu
untuk membimbing Waskito dan mempertaruhkan pekerjaannya jika ia gagal.
Ia pun menekankan kepada Waskito bahwa ia bisa berubah, jika ia gagal, selain
Waskito harus pindah dari sekolah itu, pekerjaannya pun dipertaruhkan.
Hal buruk tersebut membuat Waskito dan bu Suci semakin dekat. Waskito
sudah mulai memberanikan diri berbagi cerita kepada bu Suci. Waskoto naik
kelas pada akhir semester, seluruh keluarganya sangat berterimakasih kepada
bu Suci karena dapat membuat Waskito mengubah sikapnya bahkan dapat naik
kelas. Seusai itu, Waskito ikut berlibur ke desa Purwodadi bersama keluarga bu
Suci sesuai dengan janji bu Suci. Semenjak bertemu dengan Waskito, bu Suci
merasa hatinya telah dipertemukan dengan hati Waskito.
C. Penelitian Relevan
Suatu penelitian yang baik, merupakan penelitian hasil dari diri sendiri,
tidak boleh menyadur dari hasil penelitian orang lain. Sebuah penelitian
diharapkan mampu memberikan informasi baru. Informasi baru tentu saja
didapatkan dari penelitian yang baru. Untuk menghindari adanya penyaduran,
maka diperlukan penelitian yang relevan.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, peneliti menemukan
beberapa judul skripsi yang terkait dengan permasalahan serupa. Berikut ini
28
adalah judul skripsi yang terkait.
Pertama, Skripsi yang berudul ‗Realisasi Kesantunan Berbahasa Anak
Kelas X di SMA Muhammadyah 8 Ciputat‘ disusun oleh Lilis Suci Melati pada
tahun 2012, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Peneliti menganalisis kesantunan berbahasa menggunakan
prinsip kesantunan Geoffrey Leech. Hasil dari analisis peneliti adalah bentuk
petuturan yang terjadi pada kelas X-A di SMA Muhammadiyah 8 Ciputat
menunjukan lebih banyak yang melanggar prinsip kesantunan (politeness
principle) di bandingkan yang mematuhinya.
Kedua, Skripsi yang berjudul ‗Bentuk Kesantunan Berbahasa Dalam
Interaksi Verbal Pada Kegiatan Pembelajaran Nonformal Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB), Studi Kasus pada Kelas VII SMP Cilandak Jakarta Selatan
Tahun Pelajaran 2011-2012‘ di susun oleh Ina pada tahun 2012, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Peneliti
menganalisis bentuk kesantunan berbahasa pada kegiatan pembelajaran
nonformal Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Dalam penelitiannya, peneliti
memasukan empat maksim, yaitu maksim kedermawanan, maksim
penghargaan, maksim kebijaksanaan, dan maksim kesederhanaan.
Ketiga, skripsi yang berjudul „Kesantunan Berbahasa Dalam Novel Saman
Karya Ayu Utami (Suatu Kajian Pragmatik) dan Implementasinya terhadap
Pembelajaran Sastra di SMA‘ disusun oleh Nurul Syaefitri pada tahun 2012,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Penulis memfokuskan permasalahan pada penelitian pragmatik
terkait kesantunan berbahasa dalam tindak tutur percakapan antar tokoh di
dalam novel Saman karya Ayu Utami dengan menggunakan prinsip kesantunan
yang dirumuskan oleh Leech. Penulis juga mengaitkannya dengan
implementasi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang ada di SMA
dengan membuat RPP. Kesimpulan yang penulis peroleh adalah tidak
selamanya kata-kata seks atau segala sesuatu yang berhubungan dengan seks
itu menjadi kata-kata yang tidak sopan dalam prinsip maksim kesantunan
berbahasa menurut Leech.
Berdasarkan tiga penelitian relevan yang peneliti temukan, maka
29
penelititian yang berjudul Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada
Novel Pertemuan Dua Hati Karya N.H Dini dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA) penting
dilakukan. Hal tersebut karena penelitian ini diimplikasikan pada pembelajaran
bahasa Indonesia siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Peneliti juga belum
menemukan adanya penelitian tentang prinsip kesantunan berbahasa yang
dikaji melalui novel Pertemuan Dua Hati karya Nh.Dini. Prinsip kesantunan
sangat penting diketahui oleh siswa SMA, dengan penelitian ini guru dapat
menjadikan novel Pertemuan Dua Hati sebagai buku bacaan siswa pada saat
pembelajaran tentang novel berlangsung.
30
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat, prosedur, dan teknik yang
dipilih dalam melaksanakan penelitian (dalam mengumpulkan data).1
Metode penelitian yang dipakai peneliti adalah metode deskriptif dengan
pendekatan pragmatik. Metode deskriptif merupakan suatu cara yang
digunakan untuk membahas objek penelitian secara apa adanya
berdasarkan data-data yang diperoleh. Metode deskriptif disebut juga
sebagai metode yang bertujuan membuat deskripsi; maksudnya membuat
gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data,
sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.2
Pendekatan pragmatik mempelajari strategi-strategi yang ditempuh oleh
penutur di dalam mengkomunikasikan maksud-maksud pertuturannya
(I Dewa Putu Wijana dalam Kris Budiman (ed.), 2002: 57-58).
Pendekatan Pragmatik mengasumsikan bahwa setiap tuturan dilandasi
tujuan tertentu, dan setiap peserta tutur bertanggung jawab atas segala
penyimpangan bentuk tuturan yang dibuatnya. Berdasarkan pernyataan
tersebut, maksud-maksud tuturan, terutama maksud yang tersirat, hanya
dapat teridentifikasi melalui penggunaan bahasa secara konkret dengan
mempertimbangkan secara seksama komponen situasi tutur atau
konteks (I Dewa Putu Wijana, 1996:3). 3
Pendekatan pragmatik mempelajari proses penutur dalam
berkomunikasi untuk menyampaikam maksud pada tuturannya. Pada
pendekatan pragmatik, semua tuturan memiliki maksud tertentu dan
dipertimbangkan konteks ujaran saat tuturan berlangsung.
1 Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan Kajian,
(Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h.4
2 Ibid,. h.9
3 Nurhayati, “Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya
Ahmad Tohari”, 2014, h.57, (http://eprints.uns.ac.id/9482/1/185730811201110211.unlocked.pdf).
31
B. Sumber Data
Terdapat dua sumber data pada penelitian ini, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data-data
yang didapatkan dari sumber data yang utama. Adapun sumber data primer
dalam penelitian ini adalah
Judul Buku : Pertemuan Dua Hati
Penulis : N.H Dini
Jumlah Halaman : 88 Halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Keempat belas, Desember 2009
Sumber data sekunder adalah sumber data yang digunakan peneliti
untuk menganalisis sumber data primer. Adapun data sekunder dalam
penelitian ini adalah sumber yang berhubungan dengan permasalahan
objek penelitian.
C. Metode Pengumpulan Data
1. Membaca
Membaca adalah melihat lalu melafalkan apa yang tertulis. Dalam
membaca, seorang pembaca bukan hanya melafalkan namun harus
memahami isi dari yang tertulis. Pada penelitian ini, peneliti membaca
sumber primer yaitu novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
2. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti membaca sumber
primer. Pada tahap ini peneliti menentukan klasifikasi maksim kesantunan
yang terdapat pada sumber primer.
D. Teknik Analisis Data
Dalam teknik analisis data, peneliti berusaha untuk memberikan
uraian mengenai hasil penelitian. Tahap ini merupakan tahap lanjutan
32
setelah peneliti membaca novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
Teknik ini dilakukan dengan mendata hasil temuan satu persatu, lalu
menganalisisnya. Agar pembaca lebih mudah memahami analisis, maka
penulis memberi kode penamaan tuturan untuk setiap bagian dari novel,
beserta halamannya. Terdapat enam bagian dalam novel, yaitu dengan
judul Pindah, Waskito, Tugas, Perkenalan, Lingkungan, dan Pertemuan.
Maka penulis memberi kode sebagai berikut: B.1: untuk tuturan yang
terdapat pada bagian berjudul Pindah; B.2: untuk tuturan yang terdapat
pada bagian yang berjudul Waskito; B.3: untuk tuturan yang terdapat pada
bagian yang berjudul Tugas; B.4: untuk tuturan yang terdapat pada bagian
yang berjudul Perkenalan; B.5: untuk tuturan yang terdapat pada bagian
yang berjudul Lingkungan; B.6: untuk tuturan yang terdapat pada bagian
yang berjudul Pertemuan.
1. Tuturan (B.2, hlm.23)
“Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku.
“Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku.
“Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu
satunya lagi?”
“Gadung.” Jawabku, dan kuteruskan, “Di tempat kakek lebih banyak
lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.”
“Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah
rumah kita!”4
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh anak sulung dan Bu Suci
membandingkan tempat tinggalnya yang dulu (Purwodadi) dengan tempat
tinggal yang sekarang (Semarang); (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi
hari, saat perjalan menuju sekolah; (4) tujuan: untuk mengenang
Purwodadi; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: ….
4 Nh. Dini, Pertemuan Dua Hati, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 23
30
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Tabel Tuturan dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini
Berdasarkan landasan teori pada Bab II, maka diperoleh tabel tuturan sebagai
berikut.
No.
Kode,
Hlm
Penutur Tuturan Keterangan
1.
B.2,
hlm. 23
Anak
Sulung Bu
Suci
Disana lebih banyak pohon
buah ya, Bu.
Bu Suci Karena kebanyakan rumah di
sana punya pekarangan.
Mematuhi maksim
kesederhanaan dan
maksim
permufakatan
Anak
Sulung Bu
Suci
Di rumah kita malahan ada
tiga macam: golek, lalijiwo,
lalu apa Bu satunya lagi?
Bu Suci Gadung. Di tempat kakek
lebih banyak lagi. Hampir
semua jenis mangga, ada.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
Anak
Sulung Bu
Suci
Karena tempat kakek lebih
luas dari rumah kita di sana.
Mematuhi maksim
kesederhanaan dan
permufakatan
Bu Suci Di sana itu bukan rumah kita,
Sayang. Sekarang, di
Semarang inilah rumah kita!
Melanggar maksim
permufakatan
2. B.2,
hlm. 23
Anak
Sulung Bu
Suci
Di Purwodadi, Bapak tidak
pernah pulang terlambat
Bu Suci Purwodadi kota kecil. Kantor
Bapak dipergunakan hanya
sebagai tempat singgah. Di
sini lain halnya. Semua
kendaraan berangkat dari sini,
atau menuju kemari.
Mematuhi maksim
kesimpatisan
3. B.2,
hlm.24
Bu Suci Lihat! Di Purwodadi tidak
ada sekolah sebagus ini!
Anak
Sulung Bu
Apanya yang bagus? Melanggar maksim
permufakatan
34
Suci
Bu Suci Perhatikan baik-baik!
Atapnya lain dari atap yang di
sana itu. Gedungnya
demikian pula. Bentuk tiang
dan pintunya! Tidakkah kamu
menyukainya? Di zaman
sekarang tidak banyak gedung
seperti ini.
4. B.2,
hlm. 24
Kepala
Sekolah
Ini Bu Suci. Selama beberapa
hari, dua kelas digabung.
Berusahalah tenang, jangan
nakal. Tunjukkan kepada Bu
Suci bahwa kalian anak-anak
kota besar juga sepatuh anak-
anak kota kecil Purwodadi di
mana Bu Suci sudah
mengajar sepuluh tahun
lamanya.
Mematuhi maksim
penghargaan
Murid-
murid
(diam) Mematuhi maksim
kedermawanan
5. B.2,
hlm.25-
26
Bu Suci Siapa tahu di mana rumah
Waskito?
Murid-
murid
(Tangan-tangan juga tidak
diacungkan, dua kelompok
berbisik-bisik).
Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Ya? Siapa yang tahu?
Rumahnya jauh atau dekat?
Murid-
murid
(Tidak ada jawaban). Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Kalau ada yang tahu, cobalah
menengok ke sana. Jangan-
jangan dia sakit.
Mematuhi maksim
kesimpatisan
6. B.2,
hlm. 26
Bu Suci Raharjo! Pergilah ke rumah
Waskito sepulang dari
sekolah nanti! Atau sore,
sambil jalan-jalan! Tanyakan
mengapa dia lama tidak
masuk!
Mematuhi maksim
kesimpatisan
Raharjo (Tidak menjawab) Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Ya Raharjo?
35
Raharjo (Menghindari pandangan Bu
Suci)
Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Mengapa tidak menjawab,
Raharjo? Kamu tidak tahu
rumah Waskito?
Raharjo Tahu, Bu. Mematuhi maksim
permufakatan Bu Suci Lalu? Terlalu jauh buat
kamu?
Raharjo Oh, tidak, Bu! Saya selalu
melaluinya kalau berangkat
atau pulang!
Melanggar maksim
permufakatan
7. B.2,
hlm. 26
Bu Suci Mengapa kamu tidak singgah
selama ini? Apakah kamu
tidak ingin mengetahui
mengapa dia tidak masuk?
Raharjo (Menggerakan badan ke
kanan, ke kiri).
Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Siapa lagi yang mengetahui
rumah Waskito?
Murid-
murid
(Tidak ada yang
mengacungkan lengan).
Melanggar maksim
kedermawanan
8. B.2,
hlm. 27
Bu Suci Marno! Coba, tolonglah Bu
Suci! Beritahu mengapa kamu
tidak mau menengok
Waskito.
Marno Takut, Bu. Mematuhi maksim
kesederhanaan
Bu Suci Mengapa? Raharjo! Ganti
kamu yang menjelaskan!
Mengapa kalian takut pergi ke
rumah Waskito!
Raharjo Marno saja, Bu! Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Kamu yang menjadi ketua
kelas di sini. Saya kira kamu
seharusnya memberitau apa
yang terjadi di dalam
kelasmu. Bu Suci orang baru
di sini, bukan? Kamulah yang
memberi penjelasan apa yang
saya perlukan mengenai kelas
36
ini.
Raharjo (Menghindari pandangan Bu
Suci)
Melanggar maksim
kedermawanan
9. B.2,
hlm. 27
Raharjo Rumahnya besar, Bu. Selalu
ada anjing yang
menggonggong di
halamannya.
Murid lain Dia orang kaya, Bu.
Bu Suci Hanya itu? Apa lagi lain-
lainnya? Tentunya kalian
sudah mengetahui bahwa
orang kaya tidak perlu
ditakuti. Kalau takut kepada
anjing, lain persoalannya.
Melanggar maksim
permufakatan
10. B.2,
hlm.
27-28
Murid
perempuan
Biar Waskito tidak masuk,
Bu! Kami malahan senang!
Melanggar maksim
kedermawanan
Murid laki-
laki
Ya betul, Bu! Kelas tenang
kalau dia tidak ada.
Mematuhi maksim
permufakatan
Bu Suci O, ya? Mengapa? Karena
Waskito suka bergurau?
Membikin keributan?
Murid
perempuan
Oh, tidak! Bukan bergurau!
Kalau itu, kami juga suka!
Melanggar maksim
permufakatan
Murid
perempuan
Dia jahat! Jahat sekali, Bu! Melanggar maksim
penghargaan
Bu Suci Ah, masa! Tidak ada anak-
anak yang jahat, kalian masih
tergolong tingkatan umur
yang dapat dididik. Memang
kalian bukan kanak-kanak
lagi! Tetapi kalian sudah bisa
diajar berpikir teratur,
ditunjukkan mana yang baik
dan mana yang buruk. Jadi,
Bu Suci beritahu sejelas-
jelasnya: tidak ada anak jahat.
Kalaupun seandainya terjadi
kenakalan yang keterlaluan,
anak itu mempunyai kelainan.
Tapi dia nakal. Bukan jahat!
Melanggar maksim
permufakatan
37
Seorang
murid
Waskito jahat atau nakal, saya
tidak tahu, Bu! Tapi dia
mempunyai kelainan. Suka
memukul! Menyakiti siapa
saja!
Mematuhi maksim
kesederhanaan
Melanggar maksim
penghargaan
11. B.2,
hlm. 28
Bu Suci Siapa yang pernah dipukul?
Disakiti?
Murid-
murid
(Sepertiga kelas
mengacungkan lengan)
Bu Suci Bagaimana terjadinya? Kalian
bergelut? Bertengkar
kemudian berkelahi?
Murid Tidak, Bu! Melanggar maksim
permufakatan
Raharjo Kalau saya, memang
bertengkar! Lalu dipukul!
Mematuhi maksim
permufakatan
Raharjo Kebanyakan kali tanpa ada
yang dipersoalkan, Bu. Tiba-
tiba saja saya memecut atau
memukul. Yang paling sering
menjegal. Sesudah itu dia
pura-pura tidak tahu!
Bu Suci Bagaimana dia memukul?
Sampai berdarah?
Murid-
murid
(Tidak ada jawaban) Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Menurut peraturan, kalau ada
luka berdarah, harus lapor
kepada Kepala Sekolah.
12. B.2,
hlm. 29
Seorang
murid
Satu kali, dahi saya dipukul.
Sorenya, bengkak sebesar
telur!
Bu Suci Apa kata orang tuamu?
Seorang
murid
Saya bilang jatuh, Bu. Melanggar maksim
kebijaksanaan
Bu Suci Mengapa berdusta?
Seorang
murid
Saya takut dimarahi karena
bertengkar di sekolah.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
38
13. B.2,
hlm. 29
Bu Suci Siapa lagi yang pernah
berurusan dengan Waskito?
Murid Saya dilempari batu-batu
besar, Bu. Untung tidak kena.
Tetapi lampu sepeda saya
pecah. Saya kena marah di
rumah!
Bu Suci Kamu katakan bahwa
Waskito yang
memecahkannya?
Murid Saya bilang tabrakan dengan
teman.
Melanggar maksim
kebijaksanaan
Bu Suci Mengapa?
Murid Saya tidak suka Bapak bikin
perkara di sekolah.
14. B.2,
hlm. 29
Seorang
murid
Lebih baik dia tidak masuk,
Bu!
Murid lain Ya, mudah-mudahan dia
pindah!
Mematuhi maksim
permufakatan
Murid lain
(2)
Untung kalau begitu! Tanpa
dikeluarkan, dia keluar
sendiri!
Melanggar maksim
kedermawanan
15. B.2,
hlm. 29
Raharjo Dulu dia pernah dikeluarkan
sekolah lain.
Bu Suci Dari sekolah mana?
Raharjo Sekolah swasta, Bu.
Murid lain Bukan! SD negeri juga tapi di
kota.
Melanggar maksim
permufakatan
Murid lain
(2)
Sekolah swasta, betul! Mematuhi maksim
permufakatan
Raharjo Memang SD swasta. Mematuhi maksim
permufakatan
Raharjo Neneknya yang memasukan
dia di sana. Tetapi karena
sering membolos, lalu
dikeluarkan.
39
16. B.2,
hlm.
29-30
Bu Suci Waskito tinggal bersama
neneknya?
Murid
perempuan
Dulu, Bu. Sekarng sudah
diambil kembali oleh bapak
dan ibunya.
Bu Suci Diambil kembali?
Raharjo Ya, Bu. Mematuhi maksim
permufakatan
Bu Suci Apakah orang tuanya pernah
pindah ke kota lain atau
bagaimana?
Raharjo Tidak tahu, Bu!
Bu Suci Dari siapa kalian mengetahui
semua ini?
Raharjo (Tidak menjawab)
17. B.2,
hlm. 30
Bu Suci Kamu pernah ke rumah
neneknya? Lalu pindah ke
tempat orang tuanya?
Raharjo Tidak, Bu. Saya belum kenal
ketika dia tinggal bersama
neneknya.
Melanggar maksim
permufakatan
Bu Suci Jadi dari mana kamu tahu
semua itu?
Raharjo Waskito sendiri yang
mengatakannya. Setiap dia
kambuh menjadi bengis, lalu
berteriak-teriak. Macam-
macam yang dikatakan. Yang
sering diulang-ulang: Seperti
barang. Nih, begini, dilempar
ke sana kemari. Dititipkan!
Apa itu! Persetan! Aku tidak
perlu kalian semua!
Murid
lelaki
Kemudian menyebut
kakeknya, neneknya, orang
tuanya. Semua dicaci-maki!
Kami yang ada di dekatnya
terkena cambukan atau
pukulan.
Bu Suci Apa kata-kata lainnya lagi?
40
Murid
Perempuan
Tidak semua jelas, Bu.
Paling-paling: aku benci! Aku
benci!
18. B.2,
hlm. 30
Murid
perempuan
Anehnya, kalau dia kambuh
begitu, yang menjadi sasaran
pertama selalu Raharjo,
Marno, Denok.
Rini Aku juga! Selalu kalau aku
berada jauh pun, seolah-olah
dia sengaja mencari aku untuk
kena sabetannya!
Mematuhi maksim
permufakatan
Marno Saya tidak pernah tahu apa
kesalahan saya.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
Raharjo Saya juga tidak tahu. Mematuhi maksim
permufakatan
Denok Apalagi kami anak
perempuan! Kami tidak
pernah main dengan dia!
Mematuhi maksim
permufakatan
19. B.3,
hlm. 36
Bu Suci Tua-tua masih paktek, Jeng.
Nenek
Waskito
Hanya dua kali seminggu. Dia
bergantian dengan dokter
muda, muridnya sendiri.
Sekalian menolong, hasilnya
buat tambah-tambah belanja.
Mematuhi maksim
kesedrhanaan
Bu Suci Di samping itu Bapak tidak
bekerja di mana-mana lagi,
Bu?
Nenek
Waskito
Masih. Setiap pagi ke Rumah
Sakit Karyadi. Gaji
pemerintah, Jeng! Katanya
hanya supaya tidak
ketinggalan metode-metode
baru. Diminta ke rumah sakit
lain yang lebih dapat
menghasilkan uang, tetapi
sudah cape. Katanya biar
yang muda-muda saja. Yang
pentingkan sekarang
mengajar.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
20. B.3,
hlm. 36
Nenek
Waskito
Bekas sopir kami tadi datang,
Jeng. Memberitahu anaknya
ketabrak kolt, sekarang di
rumah sakit. Dia sama tua
dengan Bapak, tidak bekerja
41
lagi. Jaga warung bersama
isterinya. Bayangkan, akan
masuk rumah sakit orang
harus bayar dulu sebagian.
Mau cari hutangan ke mana!
Bu Suci Untung dia kenal Anda
berdua!
Mematuhi maksim
penghargaan
Nenek
Waskito
Ya, kami bantu sebisanya.
Tadi Bapak sudah menelepon
rumah sakit. Kami yang
menanggung pondokan dan
dokternya. Tapi pengeluaran
untuk lain-lainnya pasti juga
bertambah. Harus menengok
setiap hari, naik bis atau
Daihatsu.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
42
21. B.3,
hlm.
37-38
Nenek
Waskito
Anak kami belum pernah
menghukum, apalagi memukul
Waskito! Barangkali inilah
kesalahannya. Ada anak-anak
yang memerlukan perhatian,
yang menganggap hukuman
jasmaniahsebagai ganti
perhatian yang diinginkan. Saya
pernah menyaksikan sendiri
anak-anak saudara saya. Mereka
baru sadar akan kekeliruannya
jika kena tangan ayah dan ibu
mereka. Waskito sudah terlanjur
tidak mendapatkan kata-kata
manis atau bujukan, dia
mungkin harus dipukul. Ah,
kalau Anda melihat dia di
rumah mereka, Jeng! Tidak
pernah ditegur, tidak pernah
diberitahu mana yang baik dan
mana yang jelek. Seumpama
anak berjalan, kaki menyuntuh
pot sehingga jatuh pecah. Di
rumah kami, saya bilang: hati-
hati kalau berjalan, Sayang!
Tolong sekarang tanaman dan
pot pecah itu dibenahi!
Seumpama ibunya ada,
langsung dia akan membela: ah,
enggak apa-apa, nanti saya
ganti. Biar pembantu yang
membenahi! Nah begitu setiap
kali waskito berbuat kekeliruan.
Maksud saya, saya hanya ingin
mendidik anak bersikap rapi dan
teratur, Jeng.
Bu Suci (Mendengarkan Nenek Waskito)
Nenek
Waskito
Saya akui bahwa bapaknya
Waskito menjadi laki-laki yang
seperti sekarang karena didikan
serta pengaruh suami saya. Dia
cerdas, pandai, tetapi kaku dan
sukar bergaul. Oleh karena itu,
setelah kawin lalu mempunyai
anak, menjadi bapak yang kakau
pula. Didampingi istri yang
tidak tahu-menahu soal
Melanggar maksim
penghargaan
43
pendidikan! Naluri punwanita
itu tidak punya! Kalau anak
rewel, dia mau menggendong,
mau memberi makanan atau
barang permainan. Tetapi
permainan itu diberikan saja
begitu! Tidak ditunjukan
bagaimanacaranya supaya benda
itu menarik bagi si anak. Jadi,
bayi hanya memegangi benda
permainan tanpa dapat
mempergunakannya. Jika
memang anak sudah memiliki
dasar aktif, lain halnya. Tetapi
yang umum, anak-anak
memerlukan diajak bicara,
dibujuk dengan kata-kata
ataupun ciuman, belaian. Saya
menjadi cerewet mengulang-
ulanginya memberitahukan hal
ini kepada mereka, Jeng. Baik
secara diskusi serius maupun
bergurau. Dengan Bapak
sendiri, berpuluh-puluh tahun
hidup bersama, saya tidak
berhasil mempengaruhi dia.
Ketika anak kami masih muda,
bapaknya terlalu mengarahkan
dia ke berbagai lapangan.
Semua serba bersungguh-
sungguh. Di antaranya, katanya
harus bisa memaikan satu alat
musik!
Bu Suci (Memperhatikan tuturan Nenek
Waskito)
44
Nenek
Waskito
Katanya lagi, yang paling
anggun dan kelihatan serius
adalah biola. Maka bapaknya
Waskito pun dileskan supaya
dapat menggesek biola. Dengan
sendirinya dijubeli dengan serba
pengetahuan musik klasik.
Tidak itu saja! Pergaulannya
juga diteliti. Suami saya
berpendapat bahwa anaknya
“hanya” boleh bergaul dengan
anak-anak yang berorang tua
saderajat dengan kami.
Artinya sependidikan. Kalau
bisa malahan suami saya
mengenal orang tua itu! Waktu
kawin pun, seumpama bapaknya
bilang tidak menyetujui pilihan
anak kami, pastilah tidak jadi!
Melanggar maksim
kesederhanaan
Nenek
Waskito
Padahal kalau keputusan-
keputusan lain, saya dapat
mempengaruhi Bapak, Jeng!
Bu Suci (Bu Suci terdiam)
22. B.3,
hlm.
40-41
Nenek
Waskito
Anak kami hanya satu, Jeng. Ya
bapak Waskito itu!”
demikianlah si nenek menjawab
pertanyaanku. Dialah satu-
satunya yang hidup setelah saya
mengalami lima kali keguguran.
Kata orang saya lemah.
Maklumlah kita wanita, selalu
menjadi tumpuan kesalahan. Kalau suami-isteri tidak punya
anak, katanya si isteri gabuk,
steril. Kalau terus-menerus
keguguran, katanya
kandungannya yang lemah.
Sekarang sudah banyak bacaan
medical, saya baru tahu bahwa
hal itu bisa saja disebabkan
karena bibit laki-laki yang steril
atau yang lemah. Zaman saya
dulu, belum ada pendalaman
pemeriksaan yang macam-
macam di sini. Jadi, ya semua
salah saya. Tetapi akhirnya,
Mematuhi maksim
kesederhanaan
45
setelah banyak tinggal di tempat
tidur, anak saya bisa selamat
seorang. Dapat dimengerti
mengapa suami saya ingin
menjadikan anak itu manusia
yang diidamkannya. Apalagi
anak lelaki.
Bu Suci Tetapi Ibu „kan juga
memberikan didikan!
Nenek
Waskito
Oh, tidak banyak, Jeng!
Sewaktu bayi, kemudian kanak-
kanak, saya memang turut
membesarkannya. Tetapi
sebegitu dia dapat berpikir
sendiri, bapaknyalah yang
menjadi model. Suami saya
menjadi pusat dunia, dicontoh
segala-galanya. Kalau anak saya
duduk sambil menggoyangkan
kursi, saya tegur karena
gerakannya membahayakan
selain mungkin merusak kursi
pula. Jawabnya: Bapak juga
begitu. Kalau saya jelaskan
karena bapaknya memakai gigi
depan palsu sehingga tidak
mudah menahan untuk tidak
membunyikan suara hirupannya,
dia tidak percaya. Hingga dia
besar, menjadi insinyur, tepat
segala-galanya adalah potret
bapaknya.
Nenek
Waskito
Suami yang mencari makan,
Jeng. Biar dia yang memutuskan
dan mengambil prakarsa dalam
hidup ini.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
23. B.3,
hlm.
41-43
Nenek
Waskito
Seminggu sekali, dia kami beri
„upah‟ untuk kepatuhannya
Bu Suci Padahal kelakuan sopan dan
menolong mengerjakan tugas-
tugas kecil itu sebenarnya
kewajiban biasa, Bu. Apakah
dengan memberi upah uang itu
tidak membuat anak menjadi
mata-duitan?
Nenek
Waskito
Semula juga kami berpikir
begitu, Jeng! Tetapi teman
kami, ahli ilmu jiwa anak
46
mempunyai debatan yang
meyakinkan kami. Katanya,
anak seperti Waskito berada
dalam umur-umuran yang masih
bisa dirobah. Dan cara terbaik
untuk merobahnyaadalahdengan
jalan ini. Dia biasa memegang
ribuan rupiah tanpa berbuat
sesuatu pun yang berguna bagi
orang lain. Cukup merengek,
mengatakan kebohongan, tiba-
tiba lima ribu diulurkan ke
tangannya. Dia harus
disadarkan, bahwa hidup tidak
selamanya demikian mudah,
apalagi berlangsung seperti
kehendaknya! Jadi, uang
merupakan keperluan utama.
Kemudian, setelah sebulan dua
bulan tinggal bersama kami
ternyata kami melihat bahwa dia
juga memerlukan perhatian dan
dialog.
Bu Suci (Mendengarkan Nenek Waskito)
Nenek
Waskito
Itu semua disebabkan karena
omongan pembantu, Jeng.
Bu Suci (Mendengarkan Nenek Waskito)
Nenek
Waskito
Waskito mengatakan ingin
mempunyai burung parkit. Dia
sering bercerita bahwa teman
sekelasnya memilikinya.
Kadang-kadang cucu kami
bermain ke sana, dan kami tahu
siapa anak itu. Untuk membeli
dengan uangnya sendiri,
tabungannya belum mencapai.
Burung itu cukup mahal,
sebaiknya dibeli berpasangan.
Lalu kakeknya berunding
dengan saya. Sejak Waskito
tinggal bersama kam, suami
saya banyak berobah.
Kebanyakan kali,keputusan
tentang anak itu dipasrahkan
kepada saya. Tiba-tiba saya
merasa lebih berguna dalam
47
hidup ini, Jeng! Barangkali
karena suami saya terpengaruh
dengan umur, atau oleh rekan-
rekannya yang banyak
mengetahui dalam persoalan
anak-anak. Begitulah, kami
berdua setuju akan membelikan
burung parkit, asal Waskito
berjanji mengurus sendiri
peliharaannya. Dia harus
memberi makanan dan
minuman sebelum berangkat ke
sekolah, sore membersihkan
kurungan dan sebagainya.
Waskito sanggup. Nah, begitu,
Jeng. Pada suatuhari,dia sedang
mencuci sangkar si parkit,
datang seorang pembantu dari
rumah orang tuanya. Sudah
biasa demikian, sering ada yang
membawakan pakaian, makanan
atau buah. Saya tidak dapat
mencegah ibunya mengirim
sesuatu, bukan? Ketika kembali
di rumah sana, si ibu tanya
kepada pembantu Waskito
sedang apa, jawabannya ya
jujur: sedang mencuci kurungan
burung. Katanya, langsung saja
menantu saya menjadi gusar!
Dia mengadu kepada suaminya
bahwa Waskito di rumah kakek
dan neneknya diperlakukan
seperti pembantu. Anak itu
harus diambil kembali!
Bu Suci (Bu Suci merasa kasihan
terhadap Waskito, mendengar
cerita Nenek Waskito)
Nenek
Waskito
Bukan maksud kami menyiksa
cucu, Jeng! Betul-betul kami
sangat mencintainya!
Mematuhi maksim
kesimpatisan
Bu Suci (Mendengarkan cerita Nenek
Waskito)
Nenek
Waskito
Dua hari sebelum kejadian itu,
Waskito pulang dari sekolah
48
mengatakan, bahwa penjaga
halaman di sana sedang
membuat cangkokan kembang
soka. Yang saya punyai di
kebun ini berwarna merah dan
satu lagi putih. Sedangkan di
sekolah, berwarna kuning. Kata
Waskito, Jeng, penjaga sekolah
dia beri uang supaya membikin
cangkokan buat saya.
Bu Suci (Bu Suci mendengarkan Nenek
Waskito)
Nenek
Waskito
Dia anak baik, Jeng.Walaupun
pemberian itu belum saya
terima, saya sudah sangat
bahagia rasanya! Ketika dia
mengatakan maksud pemberian
tersebut, langsung saya peluk
dan saya ciumi. Baru kali itulah
saya merasa rangkulan
lengannya yang tidak ragu-ragu
dan erat. Dulu, kalau saya cium,
tidak pernah mau ganti
menunjukan kesayangannya.
Tangannya terlukai saja di
samping tubuh.
Mematuhi maksim
penghargaan
24. B.4,
hlm. 54
Waskito Tidak, Bu! Saya disini saja! Melanggar maksim
permufakatan
Bu Suci Mengapa? (sambil mengatur
anak-anak lain)
Bu Suci Narsih ke bangku
sana,dibelakang! Di samping
Rusidah!
Bu Suci Kalau kamu tidak mau pindah,
coba katakan apa sebabnya!
Pasti ada alasanmu, bukan?
(mengarah pandangan pada
Waskito)
Waskito (Tetap tinggal di tempat semula)
Bu Suci Baiklah! Saya kira, saya tahu
mengapa kamu tidak mau
pindah!
49
25. B.4,
hlm. 55
Bu Suci Raharjo! Buku bacaan akan
dipergunakan kelas lain setelah
istirahat ini. Kamu cepat
mengembalikannya ke lemari
kantor, ya! Waskito Tolong
bawakan buku-buku tugas! Saya
tidak dapat membawa semuanya
sendiri.
Waskito (Beberapa saat kemudian,
Waskito datang ke kantor
membawa buku tugas)
Bu Suci Terimakasih! Nanti akan saya
periksa.
Mematuhi maksim
penghargaan
26. B.4,
hlm. 56
Murid
perempuan
Ah, Waskito! Mengapa sih
kamu!
Bu Suci Kalau terdengar lagi kapur yang
dilempar, Waskito, akan saya
geledah dirimu! Saya akan
ambil sejumlah uang dari
sakumu sebagai pembayar kapur
yang kau hambur-hamburkan.
Sekolah bisa rugi karena
kehabisan kapur buat main-main
begitu!
Mematuhi maksim
permufakatan
Waskito Bukan saya! Mengapa selalu
saya yang salah!
Mematuhi maksim
kesederhanaan
Bu Suci Itu tidak benar! Melanggar maksim
permufakatan
Bu Suci Yang bersalah tidak selalu
kamu. Ingat kemarin? Ada pot
pecah, itu bukan salahmu. Dan
seisi kelas mengetahuinya! Kali
ini, seisi kelas juga tahu bahwa
hanya kamu yang kaya,
sehingga dapat membayar kapur
hanya buat dibuang-buang!
27. B.5,
hlm.
65-66
Bu Suci Kalian ke tukang pateri untuk
melekatkan lobang buat pipa
ini?
Wahyudi Tidak, Bu! Melanggar maksim
permufakatan
Wahyudi Waskito mempunyai alat
sendiri.
50
Bu Suci Bahan-bahannya dari dia?
Murid lain Waskito memberi potongan
seng yang ditempel.
Wahyudi Kalengnya, saya yang minta
dari kelurahan, Bu. Kalengnya,
saya yang minta dari kelurahan,
Bu.
Wahyudi Saya lihat bertumpuk di
belakang tempat kami bermain
ping-pong. Dulu bekas latihan
pemadam kebakaran di
kampung.
Bu Suci Diminta atau dipinjam?
Bu Suci Kalau pinjam harus
dikembalikan. Kelak kalau
latihan lagi mereka kekurangan.
Wahyudi Di sana masih banyak
sekali,Bu!
28. B.5,
hlm. 66
Murid lain Nampaknya dia biasa sekali
mengerjakan kerajinan tangan
begitu, Bu!
Mematuhi maksim
penghargaan
Murid lain Semua terbuat dari kayu tipis,
Bu! Dicat, bagus! Wah saya iri
melihat perlengkapannya buat
mengerjakan kayu sedemikian
tipis dan rapuh. Semua kecil!
Mematuhi maksim
penghargaan
Bu Suci Jangan iri!
Bu Suci Sudah kuterangkan, Waskito
sangat menderita batinnya
karena kekurangan perhatian.
Untuk mengimbanginya, Tuhan
memberi hiburan benda-benda
tersebut.
29. B.5,
hlm.
67-68
Seorang
Murid
Bu Suci! Waskito kambuh, Bu!
Dia mengamok! Dia mau
membakar kelas!
Bu Suci Mengapa begitu? Apa yang
menyebabkan dia marah? Kalian
bertengkar?
Seorang Tidak, Bu! Melanggar maksim
51
Murid permufakatan
Seorang
Murid
Dia tidak mau keluar istirahat.
Wahyudi dan beberapa kawan
mau menemaaninya, juga tidak
kluar. Tadinya saya ikut-ikut,
tapi saya hanya sebentar terus
keluar. Tidak tahu lagi apa yang
terjadi! Saya kembali dari kamar
kecil, dari jauh terdengar
Waskito berteriak-teriak seperti
dulu! Betul sama, Bu! Katanya:
aku benci! Aku benci kalian
semua! Saya masuk kelas,
Waskito menodongkan gunting!
Entah dari mana! Begitu tiba-
tiba, saya berbalik, lari ke
kantor!
30. B.5,
hlm. 68
Kepala
Sekolah
Berikan gunting itu, Waskito!
Bu Suci Ah, kamu ini ada-ada saja! Dari
mana kau dapatkan gunting ini!
Mematuhi maksim
kedermawanan
31. B.5,
hlm.
69-70
Bu Suci Berilah saya waktu sebulan lagi.
Seorang
Guru
Sebulan! (suaranya jengkel)
Seorang
Guru
Sementara itu, sebelum waktu
satu bulan habis, barangkali
besok atau tiga hari lagi dia
membakar kelas Anda!
Membakar sekolah kita!
Melanggar maksim
penghargaan
Bu Suci Pastilah telah terjadi sesuatu di
rumah, di antara keluarganya
atau di kelas sehingga dia
menjadi geram. Kemarahannya
dilampiaskannya kepada siapa
kalau tidak kepada kita,
lingkungannya terdekat? Karena
dia tidak memiliki orang tua
yang dapat disebutnya sebagai
lingkungan terdekatnya!
Mematuhi maksim
kesimpatisan
Seorang
Guru
Kalau setiap kali dia marah, kita
yang menanggung
akibatnya,kita menjadi
korbannya, itu tidak adil! Tidak
Melanggar maksim
permufakatan
52
termasuk dalam program
maupun kurikulum! Tugas kita
mengajar!
Bu Suci Berbicara mengenai tugas, saya
kira tugas kita juga termasuk
menolong murid-murid sukar.
Selama hampir tiga bulan, ya
hampir tiga bulan sekarang saya
bertanggung-jawab akan kelas
dan murid ini, saya merasa
mulai mengenal dan mengerti
dia. Barangkali dia juga
demikian terhadap saya. Tetapi
kami berdua masih memerlukan
waktu lagi.
Melanggar maksim
permufakatan
Bu Suci Satu bulan, Pak! Saya mohon
diberi satu bulan lagi!
Bu Suci Kalau dalam batas waktu itu
tidak ada perobahan yang
membaik, kalau malahan terjadi
kekambuhan dengan sikap yang
membahayakan, terserahlah!
Kalau boleh sekali lagi saya
mengingatkan, bukan tugas kita
mengucilkan anak yang malang
seperti Waskito. Dia betul-betul
sangat menderita. Hanya
pelampiasannya yang meledak
begitu, lalu semua orang takut
kepadanya.
Mematuhi maksim
kesimpatisan
53
32. B.5,
hlm.
70-71
Bu Suci Karsih! Mulai hari ini saya
minta kamu ganti tempat duduk
di belakang. Waskito maju,
menempati bangku Karsih! Jadi
kamu duduk paling depan, di
muka Bu Suci! Guru-guru
memutuskan bahwa mulai hari
ini saya bertanggung jawab
langsung dan sepenuhnya akan
segala yang kamu kerjakan,
Waskito! Kalau kamu berbuat
sesuatu yang keji, yang
membahayakan kamu sendiri
atau kawan-kawan serta
gurumu, Bu Suci dikeluarkan!
Kamu juga!
Waskito (Waskito tidak bergerak dari
tempatnya)
Melanggar maksim
kedermawanan
Bu Suci Ketika saya datang di hari
pertama sudah saya jelaskan
bagaimana kedudukan saya di
sini. Saya dalam masa
percobaan karena menunggu
surat keputusan pindah dari
Departemen. Belum sebagai
guru tetap. Sekarang, sekali lagi
di sini saya mengulangi:
kedudukan saya tidak kuat di
sekolah ini. Tetapi meskipun
begitu, Bu Suci orang yang
nekad! Saya berani berjanji
kepada guru-guru lain bahwa
selama sebulan akan dicoba lagi
kemampuan saya, apakah dapat
memiliki murid-murid yang
berdisiplin, berbudi dan
berprestasi. Kalau ada seorang
anak yang mengacau keadaan,
biar! Bu Suci dikeluarkan tidak
apa-apa. Tentu saja keluarga
saya akan rugi karena kalau
saya tidak bekerja, tidak ada
pemasukan gaji. Kami harus
hidup lebih menghemat.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
Bu Suci (Bu Suci menoleh ke arah
Waskito, lalu meneruskan
54
tuturannya)
Bu Suci Tetapi belum tentu Waskito
akan membuat tontonan yang
mengagetkan lagi seperti tadi!
Siapa tahu dia mempunyai
sedikit pengertian bahwa Bu
Suci juga turut menanggung
biaya hidup tiga anaknya dan
dua saudaranya di sekolah
kejuruan di kota lain.
Mematuhi maksim
penghargaan
33. B.5,
hlm. 72
Bu Suci Buku-buku tugas harus
dibungkus dengan sampul yang
sama. Waskito! Tolong
ambilkan gulungan kertas yang
ada di meja Bu Suci di kantor!
Waskito (berdiri dan pergi ke kantor
guru)
34. B.6,
hlm. 76
Bu Suci Betul, bukan? Seorang ibu yang
memanjakan anaknya secara
berlebihan itu dapat dimengerti.
Bu Suci memastikan, bahwa
ibumu berusaha menyenangkan
hatimu.
Waskito (Diam sambil menundukan
kepala menggarisi buku tulis
besar)
Bu Suci Hanya, kadang-kadang
keinginan memanjakan itu salah
karena terlalu berlebihan.
Waskito (Tidak menjawab)
Bu Suci Ya, bukan?
Waskito Ya, Bu. Mematuhi maksim
permufakatan
Bu Suci Ya yang bagaimana? Ibu
memberi kamu uang atau
membawakan makanan lezat-
lezat!
Waskito Bawa makanan. Tapi itu saya
taruh di meja makan, buat
55
semua.
Bu Suci Uangnya kamu tabung?
Waskito Saya tidak punya tabungan.
Kalau Ibu memberi uang, saya
teruskan kepada Bu De.
Sewaktu-waktu saya
memerlukan, saya minta. Setiap
hari saya minta uang kendaraan
dan jajan sedikit.
35. B.6,
hlm.
76-77
Bu Suci Mengapa tidak diperbolehkan?”
Waskito Tidak tahu!
Bu Suci Mereka tidak menerangkan
alasan larangan itu?
Waskito Tidak! Mematuhi maksim
permufakatan
Bu Suci Barangkali karena orangtuamu
khawatir kamu terjatuh ke
dalam sungai, atau hanyut, atau
mendapat kecelakaan?
Waskito Entah, Bu! Mereka kalau sudah
berkata tidak boleh, ya tidak
boleh! Dulu saya selalu
bertanya, mengapa saya tidak
seperti kawan-kawan lain?
Orangtua mereka membiarkan
mereka bersepedahan ke mana-
mana. Di waktu liburan, mereka
diizinkan naik gunung, jalan
kaki jauh. Kalau saya mau ikut,
dijawab: Nanti saja bersama-
sama sekeluarga, naik mobil ke
Bandungan, ke Kopeng!
Bu Suci Jadi kamu tidak pernah
berpergian bersama-sama
teman-teman sebayamu?
Waskito Tidak, Bu! Kecuali kalau
mencuri-curi waktu sebentar
seperti membolos.
Mematuhi maksim
permufakatan
Bu Suci Kalau membolos, dengan siapa
kamu pergi?
56
Waskito Dengan anak-anak kampung.
Siapa saja yang mau diajak buat
teman.
36. B.6,
hlm. 77
Bu Suci Kamu bisa berenang?
Seumpama jatuh ke sungai?
Waskito Dulu saya ingin belajar
berenang, tapi tidak boleh oleh
Ibu. Katanya kolam renang
umum selalu kotor. Orang-orang
pada kencing dan sebagainya di
sana. Harus tunggu sampai kami
bikin kolam sendiri.
Melanggar maksim
kesederhanaan
Bu Suci Akan membuat kolam renang?
Waskito Ya, katanya begitu. Di belakang
rumah masih ada tempat luas.
Mematuhi maksim
permufakatan
37. B.6,
hlm. 78
Bu Suci Mengapa kamu suka
memancing?
Waskito Karena makan ikan hasil jerih
payah sendiri, Bu. Rasanya
lebih enak. Kata Kakek dan
Nenek, memancing juga baik
buat melatih kesabaran.
Mematuhi maksim
kesederhanaan
Bu Suci Mereka tahu kamu suka
memancing?
Waskito Ya, Bu. Mereka yang membawa
saya memancing pertama
kalinya dulu.
Mematuhi maksim
permufakatan
Bu Suci Kalau kamu naik kelas, kelak
kubawa ke kota kecil kami. Di
sana masih ada sungai yang
berair jernih. Ikannya banyak
sekali! Kita bersama-sama
memancing. Keluargaku juga
suka makan ikan hasil jerih
payah sendiri!
Mematuhi maksim
kesederhanaan
Mematuhi maksim
permufakatan
38. B.6,
hlm. 80
Wahyudi Waskito, Bu!
Bu Suci Mengamuk lagi dia?
Wahyudi (Tertawa terkikih) Tidak, Bu. Melanggar maksim
permufakatan
57
Tanaman kami dirusak!
Bu Suci Tanaman mana? Pot-pot di
sudut kelas? Di samping pintu?
Wahyudi Bukan! Tanaman percobaan
yang tadi pagi kita letakan di
jendela supaya kena panas.
Melanggar maksim
permufakatan
Bu Suci Dicabuti? semua?
Wahyudi Hanya kepunyaan beberapa
orang, dibanting kalengnya!
Melanggar maksim
permufakatan
39. B.6,
hlm. 81
Bu Suci Di mana Waskito?
Seorang
murid
Keluar, Bu?
Murid lain Saya cari, Bu?
Bu Suci
Tidak! Jangan! Biarkan dulu!
Dia harus datang atas
kemauannya sendiri. Kita
tunggu sebentar.
Melanggar maksim
permufakatan
Wahyudi
dan
seorang
anak
perempuan
(Hendak membersihkan tebaran
tanah serta kaleng)
Bu Suci Jangan! Sementara ini biar
kotor, tidak apa-apa sebentar
saja.
Melanggar maksim
permufakatan
Bu Suci Nanti dibersihkan bersama-
sama.
40. B6,
hlm.
82-83
Bu Suci Sedang mengapa kamu di sini?
Waskito (Tidak menjawab)
58
Bu Suci Sejak tadi seisi kelas
mencarimu. Kami semua
khawatir! Jangan-jangan kamu
mengamuk di tempat lain!
Malahan ada yang mengatakan
barangkali kamu tidak akan mau
masuk sekolah lagi, setiap hari
ke Banjirkanal, memancing!
Mematuhi maksim
kesimpatisan
Waskito (Tidak menjawab dan dibawa
Bu Suci ke kantor)
Bu Suci Apakah kau menyadari telah
melakukan pembunuhan?
Melanggar maksim
penghargaan
Waskito (Membelalakan mata, wajahnya
cemberut, bibirnya bergerak
seperti hendak mengatakan
sesuatu, tetapi tidak ada suara
yang keluar)
Bu Suci Ya, betul! Pembunuhan!
Bu Suci Kamu membanting dan
menginjak-nginjak tanaman
yang tidak berdosa! Bayi-bayi
tanaman itulah yang kamu
bunuh. Bu Suci tidak mengira
kamu bisa berbuat sekejam itu.
Kamu yang demikian sayang
kepada kucing, kepada parkit
dan anak-anak kecil! Sudah
berapa kali Bu Suci mengulangi,
alam ini serba penuh keajaiban.
Biji yang kecil mungil, hanya
satu, kamu masukan ke dalam
tanah. Itu dapat tumbuh
bertunas, bercabang, yang
kadang-kadang lebih dari satu.
Keluar daunnya yang bentuknya
pun bermacam-macam. Kalau
sudah cukup dewasa, memberi
buah atau akar yang dimakan
makhluk sedunia. Manusia
demikian pula. Seoerti adik-
adikmu, seperti anak-anak Bu
59
De, seperti anakku yang kedua,
kamu semua yang masih anak-
anak. Kalian juga akan menjadi
besar. Kamu membantu
mengawasi anak-anak Bu De,
menemani anakku. Mereka akan
menjadi sebesar kamu, dan
kamu akan menjadi dewasa.
Tetapi dewasa tidak hanya
berarti berbadan besar, tinggi.
Pikiran dan perasaan harus
tumbuh dengan baik pula. Coba
kalau kamu dewasa, apakah kau
kira akan menjadi manusia yang
baik?Apakah kamu akandapat
hidup bersama-sama orang lain
kalau tetap tidak mampu
mengendalikan kemarahanmu?
41. B.6,
hlm.
83-85
Bu Suci Ceritakan apa yang terjadi!
Waskito (Tetap bungkam)
Bu Suci Aku ingin mendengar sebabnya
mengapa kamu berbuat
semacam itu. Anak-anak lain
sudah bercerita, tetapi mereka
bukan kamu. Pikiran mereka
lain dari pikiranmu.
Waskito Mereka mengejek saya. Mematuhi maksim
kesederhanaan
Bu Suci Kalau memang betul
tanamanmu kurang subur,
jangan malu mengakui
kenyataan.
Bu Suci Bagaimana yang sesungguhnya?
Subur atau tidak?
Waskito (Tidak menjawab)
Bu Suci Kutunggu jawabanmu,
bagaimana menurut pendapatmu
apakah tanamanmu subur atau
tidak?
60
Waskito (Tetap tidak menjawab,
badannya tidak tenang)
Bu Suci Tidak ada orang yang baik atau
pandai atau cekatan dalam
segala-galanya. Kamu terampil
dalam hal pertukangan,
otakmu cerdas meskipun
pelajaranmu biasa-biasa saja. Bukankah itu sudah sangat
mencukupi? Kalau memang
kamu hendak membalas dendam
terhadap teman-temanmu, tidak
dengan cara membanting dan
menginjak-nginjak tanaman
mereka. Bikinlah presentasi
dalam hal lain yang kamu kira
lebih mampu. Tekunilah
pelajaranmu misalnya!
Bejanamu dipasang di ruang
keterampilan, dipergunakan
sebagai contoh untuk kelas-
kelas lain! Itulah prestasimu!
Tunjukan lain-lainnya! Kalau
memang kamu lemah dalam
tumbuh-menumbuhkan biji, itu
bukan merupakan masalah. Cari
sebab-sebabnya. Barangkali
kurang air, atau kurang
matahari. Anak seperti ksmu
tidak seharusnya cepat berputus
asa. Memalukan sekali!
Mematuhi maksim
penghargaan
B. Analisis Deskriptif Prinsip Kesantunan Berbahasa Menurut Leech Pada
Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini
Agar dapat mengetahui lebih jelas mengenai bentuk prinsip kesantunan
berbahasa pada novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini beserta
alasannya, peneliti menganalisis dengan analisis deskriptif, berikut adalah
hasilnya.
1. Tuturan (B.2, hlm. 23) :
“Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku.
“Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku.
61
“Di rumah kita malahan ada tiga macam: golek, lalijiwo, lalu apa Bu
satunya lagi?”
“Gadung.” Jawabku, dan kuteruskan, “Di tempat kakek lebih banyak lagi.
Hampir semua jenis mangga, ada.”
“Karena tempat Kakek lebih luas dari rumah kita di sana!”
“Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di Semarang inilah
rumah kita!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh anak sulung dan Bu Suci membandingkan
tempat tinggalnya yang dulu (Purwodadi) dengan tempat tinggal yang sekarang
(Semarang); (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari, saat perjalan menuju
sekolah; (4) tujuan: untuk mengenang Purwodadi; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6)
situasi: non formal.
Analisis:
“Disana lebih banyak pohon buah ya, Bu,” kata sulungku.
“Karena kebanyakan rumah di sana punya pekarangan,” sahutku.
Tuturan di atas mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim). Tokoh
anak sulung bu Suci memuji rumah di Purwodadi memiliki banyak pohon buah,
namun tokoh bu Suci menjawab karena kebanyakan rumah di sana punya
pekarangan. Bukan hanya rumah yang ditempatinya saja memiliki banyak buah.
Selain itu juga, tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan (agreement
maxim), saat tokoh anak sulung mengatakan “Disana lebih banyak pohon buah
ya, Bu,”. Tokoh Bu Suci menyetujuinya walaupun tidak berkata “iya” sebagai
tanda setuju tapi tokoh Bu Suci mengatakan sebab dari di sana banyak pohon
buah.
“Di tempat kakek lebih banyak lagi. Hampir semua jenis mangga, ada.”
Tuturan tersebut mematuhi maksim kesederhanaan, karena tokoh bu Suci
mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri dengan membandingkan di rumah
kakek lebih banyak memiliki pohon buah ketimbang rumahnya. Selain itu,
“Karena tempat Kakek lebih luas dari rumah kita di sana!” mematuhi maksim
kemufakatan. Walaupun tokoh anak sulung Bu Suci tidak mengatakan “ya” atau
“setuju” tetapi melalui tuturan tersebut sudah digambarkan kesetujuan anak
62
sulung Bu Suci atas pernyataan Bu Suci dengan mengutarakan alasan mengapa di
rumah kakek lebih banyak pohon buah.
Selain itu, terdapat juga tuturan yang melanggar Agreement Maxim atau
maksim permufakatan, yang ditunjukan dalam kutipan, berikut.
Anak sulung Bu Suci : “Karena tempat Kakek lebih luas dari rumah kita di
sana!”
Bu Suci : “Di sana itu bukan rumah kita, Sayang. Sekarang, di
Semarang inilah rumah kita!.”
Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan karena bu Suci tidak
menyetujui pernyataan anak sulungnya bahwa rumah di Purwodadi adalah rumah
mereka. Tokoh anak sulung bu Suci sering membandingkan dan beranggapan di
Purwodadi lebih baik dan lebih bagus. Bu Suci tidak ingin anaknya terus
tenggelam pada kenangan masa lalunya di Purwodadi. Sesuai dengan kutipan
berikut. Dia terlalu sering mengingat kembali suasana di Purwodadi. Menurut
pendapatnya, semua yang ada di sana lebih baik dan lebih bagus. Aku tidak mau
memberiarkan dia tenggelam dalam kenangan yang terlalu berlarur-larut.(hlm.
23)
2. Tuturan (B.2, hlm.23) :
“Di Purwodadi, Bapak tidak pernah pulang terlambat,” tanpa kuduga anak
sulungku menambahkan.
Aku agak terkejut. Kalimat itu merupakan keluhan yang belum pernah
kudengar selama ini. Barangkali telah lama dia menahannya!
“Purwodadi kota kecil. Kantor Bapak dipergunakan hanya sebagai tempat
singgah. Di sini lain halnya. Semua kendaraan berangkat dari sini, atau
menuju kemari.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh Anak sulung mengeluh kepada Bu Suci; (2)
tempat: becak; (3) waktu: pagi hari; (4) tujuan: mengungkapkan perasaannya
tentang ayahnya yang semenjak pindah rumah sering pulang terlambat; (5) mitra
tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
63
Analisis:
“Di Purwodadi, Bapak tidak pernah pulang terlambat,” tanpa kuduga
anak sulungku menambahkan. “Purwodadi kota kecil. Kantor Bapak
dipergunakan hanya sebagai tempat singgah. Di sini lain halnya. Semua
kendaraan berangkat dari sini, atau menuju kemari.” Tuturan tersebut mematuhi
maksim kesimpatisan (sympathy maxim). Hal itu karena tokoh Bu Suci simpati
terhadap keluhan anaknya dan memberi penjelasan agar tokoh anak sulung
memahami sebab dari bapaknya selalu pulang terlambat.
3. Tuturan (B.2, hlm.24) :
“Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini!”
“Apanya yang bagus?” suara anakku kedengaran lugu.
“Perhatikan baik-baik! Atapnya lain dari atap yang di sana itu. Gedungnya
demikian pula. Bentuk tiang dan pintunya! Tidakkah kamu menyukainya?
Di zaman sekarang tidak banyak gedung seperti ini.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci mengatakan bahwa sekolah baru tempat
anaknya sekolah, bagus; (2) tempat: becak; (3) waktu: pagi hari; (4) tujuan:
agar anak sulung menyukai sekolah baru; (5) mitra tutur: anak sulung (6)
situasi: non formal.
Analisis: Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim).
“Lihat! Di Purwodadi tidak ada sekolah sebagus ini!”. “Apanya yang bagus?”
suara anakku kedengaran lugu. Tokoh anak sulung bu Suci tidak menanggapi
dengan jawaban setuju. Tokoh anak bu Suci tidak melihat apa yang dikatakan
ibunya, menurutnya sama saja. Ditandai dengan kata “Apanya yang bagus?”.
4. Tuturan (B.2, hlm. 24):
“Ini Bu Suci,” katanya kepada murid.
“Selama beberapa hari, dua kelas digabung. Berusahalah tenang, jangan
nakal. Tunjukan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga
sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah
mengajar sepuluh tahun lamanya.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Kepala sekolah mengenalkan Bu Suci kepada
murid; (2) tempat: dalam kelas; (3) waktu: jam pelajaran pertama; (4) tujuan:
64
agar seisi kelas mengenal Bu Suci; (5) mitra tutur: Bu Suci, murid; (6) situasi:
formal.
Analisis: Tunjukan kepada Bu Suci bahwa kalian anak-anak kota besar juga
sepatuh anak-anak kota kecil Purwodadi di mana Bu Suci sudah mengajar
sepuluh tahun lamanya.Tuturan yang sampaikan oleh tokoh kepala sekolah
mematuhi approbation maxim atau maksim penghargaan, karena kepala sekolah
memuji anak-anak kota kecil yang patuh dihadapan Bu Suci dan memaparkan
pengalaman mengajar bu Suci yan sudah sepuluh tahun.
5. Tuturan (B.2, hlm.25-26):
“Siapa tahu di mana rumah Waskito?” tanyaku.
Suaraku biasa. Pertanyaan itu sebenarnya kutunjukan kepada ketua kelas.
Tetapi aku melayangkan pandang ke seluruh ruang, memberi kesempatan
kepada murid-murid lain. Tidak ada yang menyahut.
Tangan-tangan juga tidak diacungkan. Kuperhatikan dua kelompok
berbisik-bisik.
“Ya? Siapa yang tahu? Rumahnya jauh atau dekat?”
Tetap tidak ada jawaban.
“Kalau ada yang tahu, cobalah menengok ke sana. Jangan-jangan dia
sakit.”
Aku kembali menundukan kepala, pura-pura sibuk dengan buku catatan.
Tetapi aku masih mendengar beberapa murid saling berbisik. Tiba-tiba
kusebut nama ketua kelas.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Tokoh Bu Suci sebagai penanggung jawab kelas
menanyakan kabar Waskito dan rumahnya kepada teman-teman sekelasnya,
namun tidak ada yang menjawab; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari
keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: mengetahui kabar dan alamat rumah
Waskito; (5) mitra tutur: murid; (6) situasi: non formal.
Analisis: Suaraku biasa. Pertanyaan itu sebenarnya kutunjukan kepada ketua
kelas. Tetapi aku melayangkan pandang ke seluruh ruang, memberi kesempatan
kepada murid-murid lain. Tidak ada yang menyahut. Tangan-tangan juga tidak
diacungkan. Kuperhatikan dua kelompok berbisik-bisik. Kutipan tersebut
menunjukan bahwa siswa melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim),
karena tidak ada yang mau menjawab pertanyaan Bu Suci. Siswa tidak
menghormati Bu Suci dengan mengacuhkan pertanyaan bu Suci.
65
Selain itu, terdapat tuturan yang mematuhi maksim kesimpatisan
(sympathy maxim). Hal itu ditunjukan pada tuturan bu Suci, “kalau ada yang
tahu, cobalah menengok ke sana. Jangan-jangan dia sakit”. Bu Suci meminta
teman-teman Waskito untuk menongok, khawatir terjadi sesuatu kepada Waskito.
6. Tuturan (B.2, hlm. 26) :
“Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti! Atau
sore, sambil jalan-jalan! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!
Perintah itu kuberi tekanan lembut. Kuucapkan perlahan namun tegas.
Karena tidak menerima sahutan, aku mengangkat muka, melihat ke tempat
Raharjo.
“Ya Raharjo?”
Anak laki-laki itu menghindari pandanganku. Tubuhnya beringsut ke
kanan ke kiri. Teman di sampingnya mengatakan sesuatu, mulutnya
hampir tidak bergerak. Aku tidak dapat menerka satu kata pun.
“Mengapa tidak menjawab, Raharjo? Kamu tidak tahu rumah Waskito?”
“Tahu, Bu.”
“Lalu? Terlalu jauh buat kamu?”
“Oh, tidak, Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!”
Jawaban itu langsung, jujur dan kedengaran keluar tanpa dipikir. Namun
justru menambah rasa keherananku. Mengapa sejak tadi dia diam, pura-
pura tidak mengenal tempat tinggal kawannya!
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan rumah Waskito kepada
Raharjo dan menyuruhnya ke sana; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari
keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk mengetahui letak rumah
Waskito dan agar Raharjo pergi ke rumah Waskito; (5) mitra tutur: Raharjo; (6)
situasi: formal.
Analisis: “Raharjo! Pergilah ke rumah Waskito sepulang dari sekolah nanti!
Atau sore, sambil jalan-jalan! Tanyakan mengapa dia lama tidak masuk!.”
Kalimat yang dituturkan oleh Bu Suci tersebut merupakan kalimat perintah.
Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat Tanya dipandang lebih santun
dibandingkan dengan kalimat perintah (imperative).1 Jadi, berdasarkan pernyataan
tersebut dapat dikatakan tuturan bu Suci kurang santun. Namun menurut prinsip
kesantunan Leech, tuturan bu Suci mematuhi maksim kesimpatisan (sympathy
1 Abdul Chaer, Kesantunan Berbahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010). h. 57.
66
maxim), dapat dilihat pada kutipan tuturan“Tanyakan mengapa dia lama tidak
masuk!”. Bu Suci merasa khawatir akan keadaan Waskito, maka menyuruh
Raharjo pergi ke rumah Waskito.
Raharjo tidak menghiraukan apa yang dikatakan bu Suci, hal itu
menunjukan tokoh Raharjo melanggar maksim kedermawanan (generosity
maxim). Sebagai guru di sekolah yang bertanya kepada siswa, seharusnya siswa
menjawabnya. Hal ini terkait pada skala keotoritasan yang merupakan skala
pengukur kesantunan menurut Leech, hubungan sosial antara Bu Suci dan Raharjo
terbilang berjarak jauh, seorang guru baru dan siswa. Sehingga Raharjo tidak
terbuka kepada bu Suci.
Tuturan Raharjo melanggar maksim permufakatan, ditunjukan pada tuturan
berikut.
Bu Suci: “Mengapa tidak menjawab, Raharjo? Kamu tidak tahu rumah
Waskito?”.
Raharjo: “Tahu, Bu”.
Bu Suci mengira Raharjo tidak mengetahui rumah Waskito, ternyata Raharjo
mengetahuinya. Tuturan Raharjo yang melanggar maksim permufakatan juga
terdapat pada kutipan tuturan berikut, Bu Suci: “Lalu? Terlalu jauh buat kamu?”
Raharjo: “Oh, tidak, Bu! Saya selalu melaluinya kalau berangkat atau pulang!”
Tuturan tersebut dikatakan melanggar maksim permufakatan ditandai dengan kata
“tidak”. Raharjo menyatakan tidak sepakat dengan ada yang ditanyakan Bu Suci.
Namun, tuturan “Tahu, Bu” dan “Oh, tidak, Bu…” merupakan tuturan yang
berkaitan dengan pengetahuan penutur mengenai hal yang ditanyakan oleh peserta
tutur lain.
7. Tuturan (B.2, hlm. 26) :
“Mengapa kamu tidak singgah selama ini? Apakah kamu tidak ingin
mengetahui mengapa dia tidak masuk?”
Sekali lagi Raharjo menggerakan badan ke kanan, ke kiri. Aku merasa
kasihan, mencoba mengalihkan perhatian.
67
“Siapa lagi yang mengetahui rumah Waskito?”
(Tidak ada yang mengacungkan lengan).
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci bertanya kepada Raharjo, namun Ia tidak
tidak menjawab, begitu pula murid di kelas; (2) tempat: di dalam kelas; (3)
waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: mengetahui rumah
Waskito; (5) mitra tutur: Raharjo dan murid di kelas; (6) situasi: formal.
Analisis: Sekali lagi Raharjo menggerakan badan ke kanan, ke kiri. Aku merasa
kasihan, mencoba mengalihkan perhatian. Sikap Raharjo yang tidak menjawab
pertanyaan bu Suci melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim).
Karena tidak seharusnya Raharjo sebagai murid, tidak menjawab pertanyaan Bu
Suci sebagai guru. Selain pelanggaran maksim kedermawanan yang di lakukan
Raharjo, semua murid di kelas juga melanggar maksim kedermawanan pada
tuturan berikutnya, ketika bu Suci menanyakan kepada semua murid mengenai
rumah Waskito, karena tidak ada satu pun yang mengacungkan lengan untuk
menjawab saat Bu Suci mengajukan pertanyaan maka semua murid dapat
dikatakan melanggar maksim kedermawanan.
8. Tuturan (B.2, hlm. 27) :
“Marno! Coba, tolonglah Bu Suci! Beritahu mengapa kamu tidak mau
menengok Waskito.”
“Takut, Bu.”
“Mengapa?”
“Raharjo! Ganti kamu yang menjelaskan! Mengapa kalian takut pergi ke
rumah Waskito!”
“Marno saja, Bu!”
“Kamu yang menjadi ketua kelas di sini.”
“Saya kira kamu seharusnya memberitau apa yang terjadi di dalam
kelasmu. Bu Suci orang baru di sini, bukan? Kamulah yang memberi
penjelasan apa yang saya perlukan mengenai kelas ini.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan alasan Marno dan Raharjo
yang tidak mau menengok Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari
keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: mengetahui alasan Marno dan
Raharjo yang tidak mau menengok Waskito; (5) mitra tutur: Marno dan Raharjo;
(6) situasi: formal.
68
Analisis: Tuturan Marno yang menyatakan takut untuk menengok Waskito,
memenuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim). Hal itu karena pada maksim
kesederhanaan, peserta tutur diharapkan untuk mengurangi pujian pada dirinya
sendiri.
Raharjo: “Marno saja, Bu!”, kutipan tuturan tersebut melanggar maksim
kedermawanan. Hal tersebut karena, tokoh Raharjo memaksimalkan keuntungan
bagi dirinya sendiri, dengan tidak mau menjawab pertanyaan Bu Suci. Raharjo
melemparkan yang menjadi keharusannya untuk menjawab kepada tokoh Marno.
9. Tuturan (B.2, hlm. 27) :
“Rumahnya besar, Bu. Selalu ada anjing yang menggonggong di
halamannya,” kata anak didikku itu.
“Dia orang kaya, Bu,” seorang murid lain tiba-tiba berani menyeletuk.
“Hanya itu? Apa lagi lain-lainnya?”
“Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu ditakuti.
Kalau takut kepada anjing, lain persoalannya.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Siswa di kelas memberi alasan mengapa mereka
tidak mau menengok Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari
keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar bu Suci mengetahui alasan siswa
yang tidak ma menengok Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: Raharjo dan seorang murid lain memberikan alasan mengapa mereka
tidak mau menengok Waskito, namun bu Suci tidak sependapat dengan
pernyataan mudid-muridnya itu. Bu Suci berusaha menghindari
ketidaksetujuannya dengan kata, “Hanya itu? Apa lagi lain-lainnya?.
Selanjutnya, bu Suci memberikan pernyataan bahwa orang kaya itu tidak perlu
ditakuti, yang bertentangan dengan pernyataan murid-muridnya, dapat dilihat
pada kutipan, “Tentunya kalian sudah mengetahui bahwa orang kaya tidak perlu
ditakuti. Kalau takut kepada anjing, lain persoalannya.” Maka tuturan bu Suci
pada konteks tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim)
dengan penjelasan yang sudah dipaparkan di atas.
69
10. Tuturan (B.2, hlm. 27-28) :
“Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!”
“Ya betul, Bu! Kelas tenang kalau dia tidak ada,” suara murid laki-laki
lain yang sama tegasnya menguatkan pendapat itu.
“O, ya?”
“Mengapa? Karena Waskito suka bergurau? Membikin keributan?”
“Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu, kami juga suka!”
“Dia jahat! Jahat sekali, Bu!”
“Ah, masa!”
“Tidak ada anak-anak yang jahat, kalian masih tergolong tingkatan umur
yang dapat dididik. Memang kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi
kalian sudah bisa diajar berpikir teratur, ditunjukkan mana yang baik dan
mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu sejelas-jelasnya: tidak ada anak
jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalana yang keterlaluan, anak itu
mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!”
“Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia mempunyai
kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Siswa mengutarakan pendapat tentang Waskito
yang sedang tidak masuk sekolah; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari
keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: Agar Bu Suci mengetahui tentang
Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: “Biar Waskito tidak masuk, Bu! Kami malahan senang!” Tuturan
tersebut dikatakan oleh siswa perempuan, menurut prinsip kesantunan Leech,
tuturan tersebut melanggar maksim kedermawanan (generosity maxim). Karena
murid perempuan tersebut menambah keuntungan bagi dirinya sendiri dan
meminimalkan keuntungan bagi Waskito yang sedang dibicarakan. Untuk
keuntungan dirinya sendiri, tokoh murid perempuan mengorbankan Waskito agar
tidak masuk sekolah saja, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan maksim
kedermawanan. Selanjutnya, respon dari murid laki-laki yang menanggapi
pernyataan tersebut mematuhi maksim permufakatan, karena murid laki-laki
sepakat serta sepemikiran dengan murid perempuan tadi. Ditunjukan dengan
kalimat berikut, “Ya betul, Bu! Kelas tenang kalau dia tidak ada,”.
Seanjutnya, terdapat tuturan yang melanggar maksim permufakatan karena peserta
tutur tidak saling membina kecocokan atau kemufakatan, berikut tuturan yang
menunjukan melanggar maksim permufakatan pada tuturan 2.10:
70
Bu Suci : Mengapa? Karena Waskito suka bergurau? Membikin
keributan?
Murid perempuan : Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu, kami juga suka!
Melanggar maksim permufakatan pada tuturan di atas di tunjukan dengan
pernyataan “Oh, tidak! Bukan bergurau…..”.
“Dia jahat! Jahat sekali, Bu!”. Tuturan tersebut dituturkan oleh murid
perempuan, melanggar maksim penghargaan (approbation maxim). Dalam
maksim penghargaan (approbation maxim), penutur harus sopan tidak hanya pada
waktu menyuruh ataupun menawarkan sesuatu, tetapi dalam mengungkapkan
perasaan, dan menyatakan pendapatnya.2
Setelah murid perempuan mengatakan bahwa Waskito jahat, bu Suci berkata “Ah,
masa!”. Menandakan bu Suci tidak sependapat dengan pernyataan murid
perempuan tersebut. Diteruskan dengan pernyataan bu Suci, Tidak ada anak-anak
yang jahat, kalian masih tergolong tingkatan umur yang dapat dididik. Memang
kalian bukan kanak-kanak lagi! Tetapi kalian sudah bisa diajar berpikir teratur,
ditunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Jadi, Bu Suci beritahu
sejelas-jelasnya: tidak ada anak jahat. Kalaupun seandainya terjadi kenakalana
yang keterlaluan, anak itu mempunyai kelainan. Tapi dia nakal. Bukan jahat!.
Maka tuturan bu Suci tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement
maxim), karena peserta tutur tidak membina kecocokan atau kemufakatan dalam
tuturan.
Selai itu, terdapat juga tuturan yang melanggar maksim penghargaan namun
mematuhi maksim kesederhanaan, “Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu,
Bu! Tapi dia mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa saja!.” Pada
tuturan tersebut, tokoh seorang murid dalam kelas mengungkapkan keluhannya
dengan kalimat yang kurang santun. Namun, tookoh seorang murid mengakui
bahwa dirinya tidak tahu harus menyebut Waskito nakal atau jahat, menandakan
tokoh tersebut meminimalkan pujian terhadap dirinya sendiri.
2 F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h.30.
71
11. Tuturan (B.2, hlm. 28) :
“Siapa yang pernah dipukul? Disakiti?”
(Sepertiga kelas mengacungkan lengan)
“Bagaimana terjadinya? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian
berkelahi?”
“Tidak, Bu!”
“Kalau saya, memang bertengkar! Lalu dipukul!”
“Kebanyakan kali tanpa ada yang dipersoalkan, Bu. Tiba-tiba saja saya
memecut atau memukul. Yang paling sering menjegal. Sesudah itu dia
pura- pura tidak tahu!”
“Bagaimana dia memukul? Sampai berdarah?”
(Tidak ada jawaban)
“Menurut peraturan, kalau ada luka berdarah, harus lapor kepada Kepala
Sekolah.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci bertanya kepada seisi kelas, lalu beberapa
murid mengutarakan keluhannya mengenai sikap Waskito; (2) tempat: di dalam
kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk
mengetahui lebih banyak mengenai Waskito; (5) mitra tutur: murid-murid; (6)
situasi: formal.
Analisis:
Bu Suci : Bagaimana terjadinya? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian
berkelahi?
Murid : Tidak, Bu!
Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim), karena
tokoh murid mengatakan kata “tidak” sebagai tanda tidak mufakat, atau tidak
sepakat dengan apa yang ditanyakan oleh Bu Suci.
Terdapat juga, tuturan Raharjo yang mematuhi maksim permufakatan (agreement
maxim), “Kalau saya, memang bertengkar! Lalu dipukul!”. Tuturan tersebut
menyatakan kecocokan atau kemufakatan dengan pertanyaan yang disampaikan
oleh bu Suci, Bagaimana terjadinya? Kalian bergelut? Bertengkar kemudian
berkelahi?.
Selanjutnya, terapat juga tuturan yang melanggar maksim kedermawanan
(generosity masim) pada konteks 2.11, yaitu pada kutipan berikut,
72
Bu Suci : Bagaimana dia memukul? Sampai berdarah?
Murid-murid : (Tidak ada jawaban)
Respon murid-murid yang tidak memberi tanggapan terhadap pertanyaan bu suci,
melanggar maksim kedermawanan karena murid-murid meminimalkan rasa
hormat terhadap Bu Suci. Murid-murid meminimalkan keuntungan Bu Suci,
untuk mengetahui sebernarnya apa yang terjadi dalam kelas tersebut.
12. Tuturan (B.2, hlm. 29) :
“Satu kali, dahi saya dipukul. Sorenya, bengkak sebesar telur!”
“Apa kata orang tuamu?”
“Saya bilang jatuh, Bu.”
“Mengapa berdusta?”
“Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: seorang murid laki-laki mengeluh kepada Bu Suci
akibat perbuatan Waskito kepadanya; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari
keempat jam pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui perbuatan
buruk Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang melanggar maksim kebijaksanaan (taxt maxim),
yaitu pada tuturan, “Saya bilang jatuh, Bu.” Dituturkan oleh seorang murid laki-
laki kepada bu Suci, murid laki-laki tersebut berbohong kepada orangtuanya
sehingga ia memaksimalkan keuntungan diri sendiri dan meminimalkan
keuntungan pihak lain. Hal yang dimaksud dengan memaksimalkan keuntungan
diri sendiri adalah ia berbohong agar tidak dimarahi dapat dilihat dalam kutipan,
“Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.” Selanjutnya, meminimalkan
keuntungan pihak lain, adalah ia meminimalkan keuntungan orangtuanya
sehingga tidak mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Kebohongan yang
dilakukan oleh tokoh murid laki-laki tersebut bertujuan untuk menyelamatkan
dirinya sendiri dari situasi tang tidak menyenangkan baginya.
Selain itu, terdapat juga tuturan yang mematuhi maksim kesederhanaan,
“Saya takut dimarahi karena bertengkar di sekolah.” Tuturan tersebut masih
dituturkan oleh murid laki-laki, tokoh murid laki-laki mengurangi pujian terhadap
73
dirinya sendiri dengan mengatakan takut dimarahi jika berkata jujur kepada
orangtuanya.
13. Tuturan (B.2, hlm. 29) :
“Siapa lagi yang pernah berurusan dengan Waskito?”
“Saya dilempari batu-batu besar, Bu. Untung tidak kena. Tetapi lampu
sepeda saya pecah. Saya kena marah di rumah!”
“Kamu katakana bahwa Waskito yang memecahkannya?”
“Saya bilang tabrakan dengan teman.”
“Mengapa?”
Sebentar murid itu berdiam diri. Lalu menyahut:
“Saya tidak suka Bapak bikin perkara di sekolah.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan siapa saja yang bernah
berurusan dengan Waskito dan seorang murid menceritakan pengalamannya; (2)
tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4)
tujuan: agar Bu Suci lebih mengetahui mengenai sikap Waskito selama ini; (5)
mitra tutur: seorang murid; (6) situasi: formal.
Analisis: Seorang murid menceritakan pengalamannya tentang akibat perbuatan
Waskito yang mengakibatkan lampu sepedanya pecah. Lalu murid tersebut
dimarahi oleh orangtuanya, tapi ia berbohong mengenai penyebab pecahnya
lampu sepedanya, “Saya bilang tabrakan dengan teman.” Kebohongan yang
dilakukan oleh murid itu melanggar maksim kebijaksanaan, karena murid tersebut
berbohong demi keuntungan dirinya sendiri agar Bapaknya tidak datang ke
sekolah untuk membuat perkara, dapat dilhat dalam kutipan “Saya tidak suka
Bapak bikin perkara di sekolah.” Tokoh murid tersebut meminimalkan
keuntungan orangtuanya, sehingga orangtuanya tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi.
14. Tuturan (B.2, hlm. 29) :
Sesaat kelas menjadi sepi. Mendadak terdengar seorang murid berkata
perlahan:
“Lebih baik dia tidak masuk, Bu!”
“Ya, mudah-mudahan dia pindah!” sambung murid lain.
“Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar sendiri!” kawannya
menyahuti.
74
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Beberapa murid lebih menyukai Waskito tidak
masuk sekolah; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam
pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui keinginan murid
mengenai Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis:
Seorang murid :Lebih baik dia tidak masuk, Bu!
Murid lain :Ya, mudah-mudahan dia pindah!
Tuturan murid lain menanggapi tuturan seorang murid, Ya, mudah-
mudahan dia pindah! mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim). Hal
tersebut karena tokoh murid lain sebagai mitra tutur berusaha membina kecocokan
atau kemufakatan dengan penutur.
Selanjutnya terdapat juga tuturan yang melanggar maksim kedermawanan
(generosity maxim), yaitu Untung kalau begitu! Tanpa dikeluarkan, dia keluar
sendiri!, tuturan tersebut diucapkan oleh Murid Lain (2). Tuturan tersebut
melanggar maksim kedermawanan karena berpusat pada diri sendiri, hal tersebut
menguntungkan dirinya sendiri namun tidak demikian dengan Waskito. Maksim
kedermawanan mengharuskan peserta tutur mengurangi keuntungan diri sendiri,
tetapi pada tuturan tersebut sebaliknya.
15. Tuturan (B.2, hlm. 29) :
“Dulu dia pernah dikeluarkan sekolah lain,” kata Raharjo.
“Dari sekolah mana?” tanyaku.
“Sekolah swasta, Bu.”
“Bukan!” bantah murid lain, “SD negeri juga tapi di kota.”
“Sekolah swasta, betul!” murid lain membenarkan ketua kelas.
“Memang SD swasta,” Raharjo menjelaskan lagi. “Neneknya yang
memasukan dia di sana. Tetapi karena sering membolos, lalu dikeluarkan.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: murid-murid sedang menceritakan masa lalu
Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran
pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui informasi mengenai Waskito; (5)
mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: formal.
75
Analisis: Raharjo mengatakan bahwa Waskito pernah dikeluarkan sekolah lain,
yaitu sekolah swasta. Namun ada murid lain yang membantah, yang menunjukan
adanya tuturan yang melanggar maksim permufakatan (agreement maxim), yaitu
pada kutipan “Bukan! SD Negeri juga tapi di kota”. Ada juga murid lain yang
membenarkan pernyataan Raharjo, yang menunjukan bahwa penutur tersebut
mematuhi maksim permufakatan antara dirinya dan Raharjo, yaitu “Sekolah
swasta, betul”. Dan Raharjo menegaskan kembali, “memang SD swasta” yang
menunjukan tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan. Bantahan ataupun
persetujuan pada tuturan 2.15 di atas, merupakan bantahan ataupun persetujuan
yang merupakan opini dan pengetahuan penutur, tidak dapat dipastikan mana
tuturan yang benar dan mana yang salah.
16. Tuturan (B.2, hlm. 29-30) :
“Waskito tinggal bersama neneknya?” tanyaku.
“Dulu, Bu,” murid perempuan ganti memberi keterangan.
“Sekarng sudah diambil kembali oleh bapak dan ibunya.”
“Diambil kembali?”
“Ya, Bu,” suara Raharjo membenarkan.
“Apakah orang tuanya pernah pindah ke kota lain atau bagaimana?”
“Tidak tahu, Bu!
“Dari siapa kalian mengetahui semua ini?”
Raharjo tidak menjawab. Seperti ada kesepakatan, murid-murid lain juga
diam.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan mengenai tempat tinggal
Waskito; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran
pertama; (4) tujuan: untuk mengetahui tempat tinggal Waskito; (5) mitra tutur:
murid-murid; (6) situasi: non formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang mematuhi maksim permufakatan (agreement
maxim), yaitu pada tuturan, “Ya, Bu.” Yang di tuturkan oleh Raharjo, ketika bu
Suci bertanya mengenai Waskito yang diambil kembali oleh orangtuanya dari
rumah neneknya. Tokoh Raharjo memaksimalkan kecocokan atau kemufakatan
terhadap mitra tuturnya, sehingga dapat dikatakan tuturan Raharjo tersebut
mematuhi maksim permufakatan.
76
Saat Bu Suci bertanya dari siapa murid-murid mengetahui semua
informasi mengenai Waskito, Raharjo dan murid lainnya pun diam. Maka sikap
diam Raharjo beserta teman-temannya melanggar maksim kedermawanan
(generosity maxim).
17. Tuturan (B.2, hlm. 30) :
“Kamu pernah ke rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat orang tuanya?”
Sambil mengucapkan ini aku tetap memandang ke arah ketua kelas.
“Tidak, Bu. Saya belum kenal ketika dia tinggal bersama neneknya.”
“Jadi dari mana kamu tahu semua itu?”
Setelah membungkam sesaat dia menatap mataku dan menjawab:
“Waskito sendiri yang mengatakannya. Setiap dia kambuh menjadi bengis,
lalu berteriak-teriak. Macam-macam yang dikatakan. Yang sering diulang-
ulang: Seperti barang. Nih, begini, dilempar ke sana kemari. Dititipkan!
Apa itu! Persetan! Aku tidak perlu kalian semua!”
“Kemudian menyebut kakeknya, neneknya, orang tuanya. Semua dicaci-
maki! Kami yang ada di dekatnya terkena cambukan atau pukulan,”
seorang murid laki-laki menyambung.
“Apa kata-kata lainnya lagi?” Mataku mengedar ke seisi kelas.
“Tidak semua jelas, Bu. Paling-paling: aku benci! Aku benci!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan lebih jauh mengenai
Waskito, dan murid bergantian menyampaikan apa yang mereka ketahui; (2)
tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam pelajaran pertama; (4)
tujuan: untuk mengetahui keseharian Waskito; (5) mitra tutur: murid-murid; (6)
situasi: non formal.
Analisis:
Bu Suci : Kamu pernah ke rumah neneknya? Lalu pindah ke tempat
orang tuanya?
Raharjo : Tidak, Bu. Saya belum kenal ketika dia tinggal bersama
neneknya.
Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan (agreement maxim) karena
ditunjukan oleh tuturan Raharjo “Tidak, Bu….”. Bu Suci mengira Raharjo pernah
mengunjungi rumah nenek Waskito sebelumnya, lalu pindah ke tempat
orangtuanya, namun Raharjo menampik hal itu, bahwa dia tidak pernah ke rumah
nenek Waskito karena saat itu mereka belum saling kenal.
77
Selanjutnya, Bu Suci ingin mengetahui kata-kata apa lagi yang sering
diucapkan oleh Waskito ketika kambuh. Seorang murid perempuan menjawabnya,
“Tidak semua jelas, Bu….”. Tuturan tersebut menunjukan murid perempuan
tersebut tidak memiliki pengetahuan banyak mengenai hal yang ditanyakan mitra
tuturnya.
18. Tuturan (B.2, hlm. 30) :
“Anehnya, kalau dia kambuh begitu, yang menjadi sasaran pertama selalu
Raharjo, Marno, Denok,” kata murid perempuan.
“Aku juga! Selalu kalau aku berada jauh pun, seolah-olah dia sengaja
mencari aku untuk kena sabetannya!” Rini mengadu kepada kawannya.
“Saya tidak pernah tahu apa kesalahan saya,” kata Marno.
“Saya juga tidak tahu,” Raharjo menyambung.
“Apalagi kami anak perempuan! Kami tidak pernah main dengan dia!”
Denok yang duduk di belakang menyeletuk perlahan.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Beberapa murid mengeluhkan perlakuan Waskito
terhadap mereka; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari keempat jam
pelajaran pertama; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui perilaku Waskito; (5)
mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang mematuhi maksim permufakatan (agreement
maxim) pada tuturandi atas, yaitu pada kutipan berikut “Aku juga!...” yang
dituturkan oleh Rini. Rini memaksimalkan kemufakatan terhadap pernyataan yang
dituturkan oleh tokoh Murid Perempuan di kelasnya yang menyatakan kalau
Waskito kambuh selalu Raharjo, Marno dan Denok. Tokoh Rini pun menyatakan
bahwa dia juga menjadi sasaran Waskito.
“Saya tidak pernah tahu apa kesalahan saya,” kata Marno. Tuturan
tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim) sebab Marno
mengurangi terhadap dirinya sendiri di depan murid-murid lain dan juga Bu Suci.
Marno mengatakan tidak pernah tahu kesalahannya, kenapa selalu menjadi
sasaran Waskito. Selanjutnya, terdapat juga tuturan yang mematuhi maksim
permufakatan (agreement maxim), Raharjo “Saya juga tidak tahu”. Terdapat kata
“juga” dalam tuturan tokoh Raharjo yang berarti Raharjo juga tidak tahu apa
kesalahannya sehingga Waskito menjadikannya sasaran kemarahannya jika
78
kambuh. “Apalagi kami anak perempuan! Kami tidak pernah main dengan dia!”,
kata Denok. Kata “apalagi” yang dituturkan oleh denok menguatkan pernyataan
Marno dan Raharjo. Denok juga tidak tahu apa kesalahannya, apalagi denok dan
anak perempuan lainnya tidak pernah bermain dengan Waskito. Sehingga, tuturan
Denok dapat dikatakan mematuhi maksim permufakatan (agreement maxim).
19. Tuturan (B.3, hlm. 36) :
“Tua-tua masih paktek, Jeng,” kata nenek muridku.
“Hanya dua kali seminggu. Dia bergantian dengan dokter muda, muridnya
sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja.”
“Di samping itu Bapak tidak bekerja di mana-mana lagi, Bu?” tanyaku
untuk basa-basi.
“Masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji pemerintah, Jeng!
Katanya hanya supaya tidak ketinggalan metode-metode baru. Diminta ke
rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah cape.
Katanya biar yang muda-muda saja. Yang pentingkan sekarang
mengajar.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci mengunjungi rumah Kakek dan Nenek
Waskito; (2) tempat: rumah kakek dan nenek Waskito; (3) waktu: sore hari; (4)
tujuan: untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang Waskito; (5) mitra tutur:
Nenek Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: “Hanya dua kali seminggu. Dia bergantian dengan dokter muda,
muridnya sendiri. Sekalian menolong, hasilnya buat tambah-tambah belanja,”
kata Nenek Waskito. Tuturan nenek Waskito tersebut mematuhi maksim
kesederhanaan (modesty maxim), karena Nenek waskito meminimalkan pujian
terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan “…sekalian menolong, hasilnya buat
tambah-tambah belanja.” Nenek Waskito terkesan merendah, penghasilan dokter
dikatakannya buat menambah uang belanja, seakan-akan hasilnya tidak seberapa.
Maksim kesederhanaan (modesty maxim) juga terpenuhi pada tuturan Nenek
Waskito berikutnya, “Masih. Setiap pagi ke Rumah Sakit Karyadi. Gaji
pemerintah, Jeng! Katanya hanya supaya tidak ketinggalan metode-metode baru.
Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat menghasilkan uang, tetapi sudah
cape. Katanya biar yang muda-muda saja. Yang pentingkan sekarang mengajar.”
Nenek Waskito mengatatakan “… gaji pemerintah, Jeng…”, kutipan tuturan
79
tersebut singkat dikatakan oleh Nenek Waskito, seakan-akan mitra tutur juga
mengetahui makna dari gaji pemerintah, gaji yang tidak seberapa, sehingga Nenek
Waskito terlihat tidak menyombongkan diri yang menjadi salah satu ketentuan
maksim kesederhanaan. “…Diminta ke rumah sakit lain yang lebih dapat
menghasilkan uang, tetapi sudah cape. Katanya biar yang muda-muda saja. Yang
pentingkan sekarang mengajar.” Nenek Waskito menceritakan bahwa suaminya
diminta ke rumah sakit lain, namun katanya itu bagian yang muda dan ia yang tua
yang penting mengajar saja. Tuturan tersebut juga menandakan memenuhi
maksim kesederhanaan.
20. Tuturan (B.3, hlm. 36) :
“Bekas sopir kami tadi datang, Jeng,” si nenek menjelaskan. Memberitahu
anaknya ketabrak kolt, sekarang di rumah sakit. Dia sama tua dengan
Bapak, tidak bekerja lagi. Jaga warung bersama isterinya. Bayangkan,
akan masuk rumah sakit orang harus bayar dulu sebagian. Mau cari
hutangan ke mana!”
“Untung dia kenal Anda berdua!” sahutku.
“Ya, kami bantu sebisanya. Tadi Bapak sudah menelepon rumah sakit.
Kami yang menanggung pondokan dan dokternya. Tapi pengeluaran
untuk lain-lainnya pasti juga bertambah. Harus menengok setiap hari, naik
bis atau Daihatsu.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito membicarakan mengenai anak
bekas sopirnya yang mendapat musibah; (2) tempat: rumah Nenek Waskito; (3)
waktu: sore hari; (4) tujuan: untuk mengisi pembicaraan; (5) mitra tutur: Bu
Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: “Untung dia kenal Anda berdua!” Tuturan tersebut diujarkan oleh Bu
Suci, mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim). Hal itu karena Bu
Suci memberikan pujian terhadap mitra tutur. Kata “untung” yang diujarkan oleh
Bu Suci berarti guna atau manfaat bekas sopir Nenek Waskito mengenal Nenek
dan Kakek Waskito tersebut.
“Ya, kami bantu sebisanya. Tadi Bapak sudah menelepon rumah sakit.
Kami yang menanggung pondokan dan dokternya. Tapi pengeluaran untuk lain-
lainnya pasti juga bertambah. Harus menengok setiap hari, naik bis atau
Daihatsu.” Nenek waskito mengatakan mereka membantu bekas sopirnya
80
sebisanya saja, menangung biaya menginap dan dokternya. Tuturan tersebut
mematuhi maksim kesederhanaan ditandai dengan kalimat awal dari tuturan “Ya,
kami bantu sebisanya…”, Nenek Waskito mengurangi pujian terhadap dirinya
sendiri sehingga terakesan Nenek Waskito orang yang rendah hati.
21. Tuturan (B.3, hlm. 37-38):
“Anak kami belum pernah menghukum, apalagi memukul Waskito!”
“Barangkali inilah kesalahannya. Ada anak-anak yang memerlukan
perhatian, yang menganggap hukuman jasmaniahsebagai ganti perhatian
yang diinginkan. Saya pernah menyaksikan sendiri anak-anak saudara
saya. Mereka baru sadar akan kekeliruannya jika kena tangan ayah dan
ibu mereka. Waskito sudah terlanjur tidak mendapatkan kata-kata manis
atau bujukan, dia mungkin harus dipukul. Ah, kalau Anda melihat dia di
rumah mereka, Jeng! Tidak pernah ditegur, tidak pernah diberitahu mana
yang baik dan mana yang jelek. Seumpama anak berjalan, kaki menyuntuh
pot sehingga jatuh pecah. Di rumah kami, saya bilang: hati-hati kalau
berjalan, Sayang! Tolong sekarang tanaman dan pot pecah itu dibenahi!
Seumpama ibunya ada, langsung dia akan membela: ah, enggak apa-apa,
nanti saya ganti. Biar pembantu yang membenahi! Nah begitu setiap kali
waskito berbuat kekeliruan. Maksud saya, saya hanya ingin mendidik anak
bersikap rapi dan teratur, Jeng.”
“Saya akui bahwa bapaknya Waskito menjadi laki-laki yang seperti
sekarang karena didikan serta pengaruh suami saya. Dia cerdas, pandai,
tetapi kaku dan sukar bergaul. Oleh karena itu, setelah kawin lalu
mempunyai anak, menjadi bapak yang kakau pula. Didampingi istri yang
tidak tahu-menahu soal pendidikan! Naluri punwanita itu tidak punya!
Kalau anak rewel, dia mau menggendong, mau memberi makanan atau
barang permainan. Tetapi permainan itu diberikan saja begitu! Tidak
ditunjukan bagaimanacaranya supaya benda itu menarik bagi si anak. Jadi,
bayi hanya memegangi benda permainan tanpa dapat mempergunakannya.
Jika memang anak sudah memiliki dasar aktif, lain halnya. Tetapi yang
umum, anak-anak memerlukan diajak bicara, dibujuk dengan kata-kata
ataupun ciuman, belaian. Saya menjadi cerewet mengulang-ulanginya
memberitahukan hal ini kepada mereka, Jeng. Baik secara diskusi serius
maupun bergurau. Dengan Bapak sendiri, berpuluh-puluh tahun hidup
bersama, saya tidak berhasil mempengaruhi dia. Ketika anak kami masih
muda, bapaknya terlalu mengarahkan dia ke berbagai lapangan. Semua
serba bersungguh-sungguh. Di antaranya, katanya harus bisa memaikan
satu alat musik!”
“Katanya lagi, yang paling anggun dan kelihatan serius adalah biola. Maka
bapaknya Waskito pun dileskan supaya dapat menggesek biola. Dengan
sendirinya dijubeli dengan serba pengetahuan musik klasik. Tidak itu saja!
Pergaulannya juga diteliti. Suami saya berpendapat bahwa anaknya
81
“hanya” boleh bergaul dengan anak-anak yang berorang tua saderajat
dengan kami. Artinya sependidikan. Kalau bisa malahan suami saya
mengenal orang tua itu! Waktu kawin pun, seumpama bapaknya bilang
tidak menyetujui pilihan anak kami, pastilah tidak jadi!”
“Padahal kalau keputusan-keputusan lain, saya dapat mempengaruhi
Bapak, Jeng!”
(Bu Suci terdiam)
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito menceritakan perlakuan orang tua
Waskito terhadap Waskito; (2) tempat: rumah Nenek Waskito; (3) waktu: sore
hari; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui didikan orang tua Waskito terhadap
Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: Nenek Waskito bertutur sendiri pada tuturan ini, Bu Suci sebagai mitra
tutur hanya mendengarkan cerita dari Nenek Waskito. Berikut adalah kutipan
tuturan Nenek Waskito yang tidak menyukai menantunya yaitu, Ibu Waskito, “…
Didampingi istri yang tidak tahu-menahu soal pendidikan! Naluri pun wanita itu
tidak punya!....” . Kutipan tuturan tersebut menunjukan bahwa melanggar maksim
penghargaan. Hal itu terjadi karena Nenek Waskito mencela Ibu Waskito. Dirasa
kurang santun, apabila dalam budaya Indonesia membicarakan keburukan orang
lain kepada orang yang baru saja dikenalnya.
Selanjutnya terdapat kutipan tuturan Nenek Waskito yang melanggar
maksim kesederhanaan, yaitu sebagai berikut, “… Suami saya berpendapat
bahwa anaknya “hanya” boleh bergaul dengan anak-anak yang berorang tua
sederajat dengan kamu….” Tuturan tersebut melanggar maksim kesederhanaan,
sebab tidak santun apabila sebagai makluk sosial membeda-bedakan hanya karena
status sosial saja, dan tidak santun jika kita berbicara dengan tinggi hati kepada
orang lain. Tokoh Nenek Waskito, menceritakan tentang didikan suaminya
terhadap Ayah Waskito yang terkesan sempurna.
22. Tuturan (B.3, hlm. 40-41) :
“Anak kami hanya satu, Jeng. Ya bapak Waskito itu!” demikianlah si
nenek menjawab pertanyaanku. Dialah satu-satunya yang hidup setelah
82
saya mengalami lima kali keguguran. Kata orang saya lemah. Maklumlah
kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan. Kalau suami-isteri tidak
punya anak, katanya si isteri gabuk, steril. Kalau terus-menerus
keguguran, katanya kandungannya yang lemah. Sekarang sudah banyak
bacaan medical, saya baru tahu bahwa hal itu bisa saja disebabkan karena
bibit laki-laki yang steril atau yang lemah. Zaman saya dulu, belum ada
pendalaman pemeriksaan yang macam-macam di sini. Jadi, ya semua
salah saya. Tetapi akhirnya, setelah banyak tinggal di tempat tidur, anak
saya bisa selamat seorang. Dapat dimengerti mengapa suami saya ingin
menjadikan anak itu manusia yang diidamkannya. Apalagi anak lelaki.”
“Tetapi Ibu „kan juga memberikan didikan!” aku tidak kuasa menahan
menyelakan isi hatiku.
“Oh, tidak banyak, Jeng! Sewaktu bayi, kemudian kanak-kanak, saya
memang turut membesarkannya. Tetapi sebegitu dia dapat berpikir
sendiri, bapaknyalah yang menjadi model. Suami saya menjadi pusat
dunia, dicontoh segala-galanya. Kalau anak saya duduk sambil
menggoyangkan kursi, saya tegur karena gerakannya membahayakan
selain mungkin merusak kursi pula. Jawabnya: Bapak juga begitu. Kalau
saya jelaskan karena bapaknya memakai gigi depan palsu sehingga tidak
mudah menahan untuk tidak membunyikan suara hirupannya, dia tidak
percaya. Hingga dia besar, menjadi insinyur, tepat segala-galanya adalah
potret bapaknya.”
“Suami yang mencari makan, Jeng. Biar dia yang memutuskan dan
mengambil prakarsa dalam hidup ini.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito bercerita lebih banyak mengenai
keluarganya, terutama tentang didikan suaminya terhadap ayah Waskito; (2)
tempat: rumah Nenek Waskito; (3) waktu: sore hari; (4) tujuan: agar Bu Suci
mengetahui tentang didikan keluarganya; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi:
non formal.
Analisis: “…kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan…” kutipan tuturan
tersebut diujarkan oleh Nenek Waskito, mematuhi maksim kesederhanaan
(modesty maxim). Tuturan tersebut mematuhi maksim kesederhanaan sebab
maksim kesederhanaan berpusat pada dirinya sendiri, Ia mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri, berbicara seakan-akan posisi wanita rendah di mata
lelaki.
83
23. Tuturan (B.3, hlm. 41-43) :
“Seminggu sekali, dia kami beri „upah‟ untuk kepatuhannya,” kata nenek
itu kepadaku.
“Padahal kelakuan sopan dan menolong mengerjakan tugas-tugas kecil itu
sebenarnya kewajiban biasa, Bu. Apakah dengan memberi upah uang itu
tidak membuat anak menjadi mata-duitan?”
“Semula juga kami berpikir begitu, Jeng! Tetapi teman kami, ahli ilmu
jiwa anak mempunyai debatan yang meyakinkan kami. Katanya, anak
seperti Waskito berada dalam umur-umuran yang masih bisa dirobah. Dan
cara terbaik untuk merobahnyaadalahdengan jalan ini. Dia biasa
memegang ribuan rupiah tanpa berbuat sesuatu pun yang berguna bagi
orang lain. Cukup merengek, mengatakan kebohongan, tiba-tiba lima ribu
diulurkan ke tangannya. Dia harus disadarkan, bahwa hidup tidak
selamanya demikian mudah, apalagi berlangsung seperti kehendaknya!
Jadi, uang merupakan keperluan utama. Kemudian, setelah sebulan dua
bulan tinggal bersama kami ternyata kami melihat bahwa dia juga
memerlukan perhatian dan dialog.”
“Itu semua disebabkan karena omongan pembantu, Jeng.” Kata Nenek,
sambil matanya berkaca-kaca mengenangkan kejadian yang mematahkan
hatinya.
“Waskito mengatakan ingin mempunyai burung parkit. Dia sering
bercerita bahwa teman sekelasnya memilikinya. Kadang-kadang cucu
kami bermain ke sana, dan kami tahu siapa anak itu. Untuk membeli
dengan uangnya sendiri, tabungannya belum mencapai. Burung itu cukup
mahal, sebaiknya dibeli berpasangan. Lalu kakeknya berunding dengan
saya. Sejak Waskito tinggal bersama kam, suami saya banyak berobah.
Kebanyakan kali,keputusan tentang anak itu dipasrahkan kepada saya.
Tiba-tiba saya merasa lebih berguna dalam hidup ini, Jeng! Barangkali
karena suami saya terpengaruh dengan umur, atau oleh rekan-rekannya
yang banyak mengetahui dalam persoalan anak-anak. Begitulah, kami
berdua setuju akan membelikan burung parkit, asal Waskito berjanji
mengurus sendiri peliharaannya. Dia harus member makanan dan
minuman sebelum berangkat ke sekolah, sore membersihkan kurungan dan
sebagainya. Waskito sanggup. Nah, begitu, Jeng. Pada suatuhari,dia
sedang mencuci sangkar si parkit, datang seorang pembantu dari rumah
orang tuanya. Sudah biasa demikian, sering ada yang membawakan
pakaian, makanan atau buah. Saya tidak dapat mencegah ibunya
mengirim sesuatu, bukan? Ketika kembali di rumah sana, si ibu tanya
kepada pembantu Waskito sedang apa, jawabannya ya jujur: sedang
mencuci kurungan burung. Katanya, langsung saja menantu saya menjadi
gusar! Dia mengadu kepada suaminya bahwa Waskito di rumah kakek dan
neneknya diperlakukan seperti pembantu. Anak itu harus diambil
kembali!”
84
“Bukan maksud kami menyiksa cucu, Jeng! Betul-betul kami sangat
mencintainya!”
“Dua hari sebelum kejadian itu, Waskito pulang dari sekolah mengatakan,
bahwa penjaga halaman di sana sedang membuat cangkokan kembang
soka. Yang saya punyai di kebun ini berwarna merah dan satu lagi putih.
Sedangkan di sekolah, berwarna kuning. Kata Waskito, Jeng, penjaga
sekolah dia beri uang supaya membikin cangkokan buat saya.”
“Dia anak baik, Jeng.Walaupun pemberian itu belum saya terima, saya
sudah sangat bahagia rasanya! Ketika dia mengatakan maksud pemberian
tersebut, langsung saya peluk dan saya ciumi. Baru kali itulah saya merasa
rangkulan lengannya yang tidak ragu-ragu dan erat. Dulu, kalau saya cium,
tidak pernah mau ganti menunjukan kesayangannya. Tangannya terlukai
saja di samping tubuh.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Nenek Waskito bercerita kepada Bu Suci
menganai Waskito ketika masih tinggal bersamanya; (2) tempat: rumah Nenek
Waskito; (3) waktu: sore hari; (4) tujuan: agar Bu Suci mengetahui sisi baik dari
Waskito; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: Nenek dan Kakek Waskito sangat menyayangi Waskito, “Bukan
maksud kami menyiksa cucu, Jeng! Betul-betul kami sangat mencintainya!.”
Tuturan tersebut diujarkan oleh Nenek Waskito kepada Bu Suci dan memenuhi
maksim kesimpatisan (sympathy maxim), hal itu karena Nenek Waskito
memaksimalkan rasa simpati terhadap cucunya, Waskito. Nenek Waskito
menyadari bahwa didikan dari orangtua Waskito tidaklah baik bagi cucunya,
sehingga Ia dan suaminya mendidik Waskito dengan cara yang berbeda, namun
Ibu Waskito menganggap hal itu adalah cara yang kejam, maksud dari Nenek dan
Kakek Waskito adalah menjadikan cucunya lebih baik lagi.
“Dia anak baik, Jeng….,” begitulah tuturan yang dikatakan oleh Nenek
Waskito mengenai cucunya, Waskito. Tuturan tersebut memenuhi maksim
penghargaan (approbation maxim), sebab Nenek Waskito memberikan pujian
untuk cucunya sesuai dengan maksim penghargaan yang mengharuskan peserta
tutur memberikan penghargaan terhadap peserta tutur lain tidak saling mengejek
ataupun merendahkan. Jika mengejek ataupun merendahkan peserta tutur lain itu
terjadi, maka dapat dikatakan penutur tersebut tidak santun dalam bertutur.
85
24. Tuturan (B.4, hlm. 54) :
“Tidak, Bu! Saya disini saja!”
“Mengapa?”
“Narsih ke bangku sana,dibelakang! Di samping Rusidah!”
“Kalau kamu tidak mau pindah, coba katakan apa sebabnya! Pasti ada
alasanmu, bukan?”
“Baiklah!” kataku.
“Saya kira, saya tahu mengapakamu tidak mau pindah!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menyuruh murid-murid pindah tempat
duduk, semua menuruti pindah ke bangku yang ia tunjuk, kecuali Waskito; (2)
tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari itu; (4) tujuan: agar murid dalam kelas
berpribadi; (5) mitra tutur: Narsih, Waskito; (6) situasi: formal.
Analisis: Semua murid menuruti perintah Bu Suci, namun Waskito membantah,
“Tidak, Bu! Saya disini saja!”. Bantahan Waskito tersebut menurut Leech pada
prinsip kesantunan berbahasa, melanggar maksim permufakatan (agreement
maxim). Hal tersebut karena pada konteks tersebut, Waskito tidak memaksimalkan
kecocokan atau kemufakatan terhadap ujaran Bu Suci, malah membantah.
Seharusnya, Waskito menyertakan alasannya mengapa ia tidak mau pindah, agar
Bu Suci tidak tersinggung dengan sikap Waskito.
25. Tuturan (B.4, hlm. 55) :
“Raharjo! Buku bacaan akan dipergunakan kelas lain setelah istirahat ini.
Kamu cepat mengembalikannya ke lemari kantor, ya! Waskito Tolong
bawakan buku-buku tugas! Saya tidak dapat membawa semuanya sendiri.”
“Terimakasih! Nanti akan saya periksa.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci meminta tolong kepada Raharjo untuk
mengmbalikan buku bacaan ke ruang kantor dan kepada Waskito untuk
membawakanbuku-buku tugas; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam
istirahat; (4) tujuan: untuk mempermudah Bu Suci, karena Ia tidak bisa
membawanya sendiri; (5) mitra tutur: Raharjo, Waskito; (6) situasi: formal.
Analisis: Waskito mengantarkan buku-buku tugas kepada Bu Suci, lalu Bu Suci
berkata, “Terimakasih! Nanti akan saya periksa.” Ucapan terimakasih yang
86
diujarkan Bu Suci adalah sesuatu bentuk penghargaan kepada Waskito yang telah
menolongnya membawakan buku tugas murid kelas ke kantor guru. Bentuk
kesantunan yang ditunjukan Bu Suci dalam tuturan 2.25 merupakan kebiasaan
baik dan dapat menciptakan keakraban antara penutur dan mitra tuturnya. Maka
dari itu, tuturan Bu Suci tersebut mematuhi maksim penghargaan (approbation
maxim).
26. Tuturan (B.4, hlm. 56) :
“Ah, Waskito! Mengapa sih kamu!”
“Kalau terdengar lagi kapur yang dilempar, Waskito, akan saya geledah
dirimu! Saya akan ambil sejumlah uang dari sakumu sebagai pembayar
kapur yang kau hambur-hamburkan. Sekolah bisa rugi karena kehabisan
kapur buat main-main begitu!”
“Bukan saya! Mengapa selalu saya yang salah!”
“Itu tidak benar!”
“Yang bersalah tidak selalu kamu. Ingat kemarin? Ada pot pecah, itu
bukan salahmu. Dan seisi kelas mengetahuinya! Kali ini, seisi kelas juga
tahu bahwa hanya kamu yang kaya, sehingga dapat membayar kapur
hanya buat dibuang-buang!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Waskito mengganggu murid lain dengan
melempari kapur, dan seorang murid perempuan mengeluh, kemudian Bu Suci
bertindak; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: di tengah-tengah waktu
pelajaran; (4) tujuan: agar Waskito menghentikan tindakannya; (5) mitra tutur:
murid lain, Bu Suci; (6) situasi: formal.
Analisis: Di tengah jam pelajaran, Waskito mengganggu murid lain dengan
melempar kapur, “Kalau terdengar lagi kapur yang dilempar, Waskito, akan saya
geledah dirimu! Saya akan ambil sejumlah uang dari sakumu sebagai pembayar
kapur yang kau hambur-hamburkan. Sekolah bisa rugi karena kehabisan kapur
buat main-main begitu!,” kata Bu Suci. Tuturan Bu Suci mematuhi maksim
permufakatan terhadap tuturan murid lain yang dilempari kapur oleh Waskito.
Tujuan pertuturan tokoh murid dengan Bu Suci mempunyai kesamaan, yaitu
menghentikan tindakan Waskito.
“…Mengapa selalu saya yang salah!” tuturan tersebut diujarkan oleh
Waskito ketika ditegur oleh Bu Suci ditengah waktu belajar dalam kelas. Tuturan
87
tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim) sebab tokoh Waskito
merasa dia selalu salah di mata Bu Suci ataupun teman-temannya. Respon Bu
Suci, tidak membenarkan bahwa selalu Waskito yang salah, dapat dilihat pada
kutipan, “itu tidak benar!.” Respon Bu Suci atas tuturan Waskito tersebut
melanggar maksim permufakatan. Sebab Bu Suci tidak menjalin kecocokan
terhadap tuturan Waskito. Namun, Bu Suci memberi penjelasan agar Waskito
tidak kecil hati pada tuturan selanjutnya.
27. Tuturan (B.5, hlm. 65-66) :
“Kalian ke tukang pateri untuk melekatkan lobang buat pipa ini?”
“Tidak, Bu!” kata Wahyudi yang termasuk dalam kelompok itu.
“Waskito mempunyai alat sendiri.”
“Bahan-bahannya dari dia?” tanyaku penuh kecurigaan.
“Waskito memberi potongan seng yang ditempel,” kata murid lain.
“Kalengnya, saya yang minta dari kelurahan, Bu,” kata Wahyudi lagi.
“Saya lihat bertumpuk di belakang tempat kami bermain ping-pong. Dulu
bekas latihan pemadam kebakaran di kampung.”
“Diminta atau dipinjam?”
“Kalau pinjam harus dikembalikan. Kelak kalau latihan lagi mereka
kekurangan!”
“Di sana masih banyak sekali, Bu!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Murid-murid mengumpulkan hasil karya
kelompok mereka, hasil kelompok Waskito yang terbaik; (2) tempat: di dalam
kelas; (3) waktu: hari pengumpulan hasil karya; (4) tujuan: agar dinilai oleh Bu
Suci; (5) mitra tutur: Wahyudi, murid lain; (6) situasi: formal.
Analisis:
Bu Suci : Kalian ke tukang pateri untuk melekatkan lobang buat pipa ini?
Wahyudi : Tidak, Bu! Waskito mempunyai alat sendiri.
Bu Suci menyangka bahwa kelompok Waskito dalam pengerjaan bejana pergi ke
tempat patri untuk membuat lobang pada pipa. Namun Wahyudi sebagai anggota
kelompok menampiknya, dengan mengatakan “Tidak, Bu! Waskito mempunyai
alat sendiri.”Tuturan tersebut melanggar maksim permufakatan, karena mitra
tutur menyambut negatif pertanyaan dari penutur. Namun, terdapat penyelesaian
88
dalam tuturan tersebut, dengan mengatakan kejadian yang sebenarnya terjadi, agar
kecurigaan Bu Suci tidak berkelanjutan.
28. Tuturan (B.5, hlm. 66) :
“Nampaknya dia biasa sekali mengerjakan kerajinan tangan begitu, Bu!”
kata murid yang lain.
“Semua terbuat dari kayu tipis, Bu! Dicat, bagus! Wah saya iri melihat
perlengkapannya buat mengerjakan kayu sedemikian tipis dan rapuh.
Semua kecil!”
“Jangan iri!” selaku memotong pembicaraan mereka. “Sudah kuterangkan,
Waskito sangat menderita batinnya karena kekurangan perhatian. Untuk
mengimbanginya, Tuhan memberi hiburan benda-benda tersebut.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Seorang murid yang sempat ke rumah Waskito
menceritakan kemahiran Waskito mengenai kerajinan tangan dan menceritakan
ada model-model pesawat karya sendiri yang bergantungan di sebuah kamar
khusus; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: hari pengumpulan hasil karya; (4)
tujuan: untuk memberitahu Bu Suci; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non
formal.
Analisis: “Nampaknya dia biasa sekali mengerjakan kerajinan tangan begitu,
Bu!.” Tuturan tersebut diujarkan oleh seorang murid Bu Suci. Ia mengatakan
bahwa Waskito mahir membuat kerajinan tangan, ia mengakui kelebihan yang
dimiliki Waskito. Maka tuturan tersebut mematuhi maksim penghargaan
(approbation maxim), sebab tokoh murid tersebut mengakui kelebihan pihak lain,
Waskito. Tokoh murid mengatakan Waskito seperti terbiasa mengerjakan
kerajinan tangan, sebab hasil kerajinan tangannya bagus.
Tokoh murid menambahkan pujiannya terhadap kemahiran Waskito
namun ia merasa iri. Tuturan tersebut mematuhi maksim penghargaan seperti
tuturan sebelumnya, ditandai dengan kutipan tuturan berikut, “Semua terbuat dari
kayu tipis, Bu! Dicat, bagus!”. Tuturan tersebut mematuhi maksim penghargaan
karena tokoh Murid memberikan penghargaan berupa pujian terhadap kemahiran
Wasakito dalam mengerjakan kerajinan pertukangan.
89
29. Tuturan (B.5, hlm. 67-68) :
“Bu Suci! Waskito kambuh, Bu! Dia mengamok! Dia mau membakar
kelas!”
“Mengapa begitu? Apa yang menyebabkan dia marah? Kalian
bertengkar?”
“Tidak, Bu!” bantah anak itu keras.
“Dia tidak mau keluar istirahat. Wahyudi dan beberapa kawan mau
menemaaninya, juga tidak kluar. Tadinya saya ikut-ikut, tapi saya hanya
sebentar terus keluar. Tidak tahu lagi apa yang terjadi! Saya kembali dari
kamar kecil, dari jauh terdengar Waskito berteriak-teriak seperti dulu!
Betul sama, Bu! Katanya: aku benci! Aku benci kalian semua! Saya
masuk kelas, Waskito menodongkan gunting! Entah dari mana! Begitu
tiba-tiba, saya berbalik, lari ke kantor!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Seorang murid Bu Suci mendatangi Bu Suci dan
membawa kabar buruk; (2) tempat: di kantor guru; (3) waktu: jam istirahat
sekolah; (4) tujuan: untuk memberitahu Bu Suci tentang Waskito; (5) mitra
tutur: Bu Suci; (6) situasi: non formal.
Analisis: Terdapat tuturan yang melangar maksim permufakatan pada tuturan
seorang murid yang datang membawa kabar buruk tentang Waskito, yaitu
tanggapan negatif terhadap pertanyaan yang diajukan padanya. Bu Suci
menanyakan apakah penyebab dari sikap Waskito adalah pertengkaran antar
murid, tokoh Murid tersebut mengatakan, “Tidak, Bu!.” Walaupun melanggar
maksim permufakatan, tokoh Murid tersebt menjelaskan kejadian sebelum
Waskito mengamuk tersebut. Hal tersebut agar tokoh Bu Suci dapat mengetahui
kejadian yang sebenarnya, tidak seperti perkiraan yang Bu Suci ungkapkan
sebelumnya.
30. Tuturan (B.5, hlm. 68) :
Suara Kepala Sekolah menggelegar: “Berikan gunting itu, Waskito!”
“Ah, kamu ini ada-ada saja! Dari mana kau dapatkan gunting ini!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Waskito mengamuk, memegang gunting. Lalu Bu
Suci dan Kepala sekolah datang; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam
istirahat sekolah; (4) tujuan: untuk memberhentikan Waskito berbuat yang tidak
baik; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
90
Analisis: Bu Suci khawatir suara kasar Kepala Sekolah membuat Waskito gelap
mata, maka Bu Suci mendahului Kepala Sekolah untuk mendekati Waskito lalu
mengambil gunting yang ada ditangan Waskito sambil berkata, “Ah, kamu ini
ada-ada saja! Dari mana kau dapatkan gunting ini!.” Tuturan Bu Suci tersebut
mematuhi maksim kedermawanan, karena Bu Suci meminimalkan keuntungan
dirinya sendiri dan berkorban untuk orang lain. Bisa saja Bu Suci mengalami hal
yang membahayakan dirinya sendiri dengan mengambil tindakan nekad tersebut.
31. Tuturan (B.5, hlm. 69-70) :
“Berilah saya waktu sebulan lagi,” itulah permintaanku dalam rapat.
“Sebulan!” seru seorang guru, suaranya jengkel. “Sementara itu, sebelum
waktu satu bulan habis, barangkali besok atau tiga hari lagi dia membakar
kelas Anda! Membakar sekolah kita!”
Aku menambahkan pembelaan:
“Pastilah telah terjadi sesuatu di rumah, di antara keluarganya atau di kelas
sehingga dia menjadi geram. Kemarahannya dilampiaskannya kepada
siapa kalau tidak kepada kita, lingkungannya terdekat? Karena dia tidak
memiliki orang tua yang dapat disebutnya sebagai lingkungan
terdekatnya!”
“Kalau setiap kali dia marah, kita yang menanggung akibatnya, kita
menjadi korbannya, itu tidak adil! Tidak termasuk dalam program maupun
kurikulum! Tugas kita mengajar!”
“Berbicara mengenai tugas,” aku cepat menyela, karena terlalu bersenang
hati mendapat kesempatan mengutarakan isi hatiku mengenai
pendidikan. “Saya kira tugas kita juga termasuk menolong murid-murid
sukar. Selama hampir tiga bulan, ya hampir tiga bulan sekarang saya
bertanggung-jawab akan kelas dan murid ini, saya merasa mulai mengenal
dan mengerti dia. Barangkali dia juga demikian terhadap saya. Tetapi kami
berdua masih memerlukan waktu lagi.”
“Satu bulan, Pak! Saya mohon diberi satu bulan lagi!”
“Kalau dalam batas waktu itu tidak ada perobahan yang membaik, kalau
malahan terjadi kekambuhan dengan sikap yang membahayakan,
terserahlah! Kalau boleh sekali lagi saya mengingatkan, bukan tugas kita
mengucilkan anak yang malang seperti Waskito. Dia betul-betul sangat
menderita. Hanya pelampiasannya yang meledak begitu, lalu semua orang
takut kepadanya.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci memohon waktu untuk Waskito agar
diberi kesempatan untuk memperbaiki sikapnya; (2) tempat: di ruang guru; (3)
waktu: setelah kejadian mengamuknya Waskito; (4) tujuan: agar Kepala Sekolah
91
dan guru lain menyetujui usulannya; (5) mitra tutur: Kepala Sekolah, Guru; (6)
situasi: formal.
Analisis: Ketika Bu Suci memohon untuk diberi waktu sebulan, rekan guru
menanggapi dengan suara jengkel, “Sebulan! Sementara itu, sebelum waktu satu
bulan habis, barangkali besok atau tiga hari lagi dia membakar kelas Anda!
Membakar sekolah kita!.” Tanggapan negatif disampaikan oleh rekan guru
tersebut melanggar maksim penghargaan, karena terdapat kata-kata yang
menyudutkan pihak lain, Waskito. Tidak seharusnya tokoh Guru mengira-ngira
keonaran akan dilakukan lagi oleh Waskito.
“Pastilah telah terjadi sesuatu di rumah, di antara keluarganya atau di
kelas sehingga dia menjadi geram. Kemarahannya dilampiaskannya kepada siapa
kalau tidak kepada kita, lingkungannya terdekat? Karena dia tidak memiliki
orang tua yang dapat disebutnya sebagai lingkungan terdekatnya!” adalah
pembelaan Bu Suci. Pembelaan tersebut mematuhi maksim kesimpatisan
(sympath maxim), sebab tokoh Bu Suci merasa ikut merasakan penderitaan yang
dialami oleh Waskito dan menjelaskannya kepada Kepala sekolah dan rekan guru.
Rekan guru menyanggah pembelaan Bu Suci, “Kalau setiap kali dia
marah, kita yang menanggung akibatnya, kita menjadi korbannya, itu tidak adil!
Tidak termasuk dalam program maupun kurikulum! Tugas kita mengajar!.”
Sanggahan rekan guru tersebut melanggar maksim permufakatan, sebab tidak
memaksimalkan kecocokan dengan penutur. Rekan guru merasa tidak adil jika
harus menanggung akibat dari ulah Waskito, bertentangan dengan pembelaan Bu
Suci sebelumnya.
Tuturan dilanjutkan dengan sanggahan Bu Suci, tetap pada pendiriannya
yang ingin mempertahankan Waskito, Bu Suci berkata, “Berbicara mengenai
tugas (Bu Suci menyela). Saya kira tugas kita juga termasuk menolong murid-
murid sukar. Selama hampir tiga bulan, ya hampir tiga bulan sekarang saya
bertanggung-jawab akan kelas dan murid ini, saya merasa mulai mengenal dan
mengerti dia. Barangkali dia juga demikian terhadap saya. Tetapi kami berdua
masih memerlukan waktu lagi.” Tuturan tersebut melanggar maksim
92
permufakatan, karena tokoh Bu Suci dan tokoh Rekan guru saling bertentangan
pendapatnya, terlebih lagi tokoh Bu Suci menyela karena terlalu bersemangat.
“…Kalau boleh sekali lagi saya mengingatkan, bukan tugas kita
mengucilkan anak yang malang seperti Waskito. Dia betul-betul sangat
menderita. Hanya pelampiasannya yang meledak begitu, lalu semua orang takut
kepadanya.” Tuturan tersebut diujarkan oleh Bu Suci dengan tujuan meyakinkan
Kepala Sekolah dan Rekan Guru untuk mengabulkan permintaannya. Tuturan
tersebut mematuhi maksim kesimpatisan (sympath maxim), karena tokoh Bu Suci
merasa simpati terhadap anak sukar seperti Waskito.
32. Tuturan (B.5, hlm. 70-71) :
“Karsih! Mulai hari ini saya minta kamu ganti tempat duduk di belakang.
Waskito maju, menempati bangku Karsih! Jadi kamu duduk paling depan,
di muka Bu Suci! Guru-guru memutuskan bahwa mulai hari ini saya
bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya akan segala yang kamu
kerjakan,Waskito! Kalau kamu berbuat sesuatu yang keji, yang
membahayakan kamu sendiri atau kawan-kawan serta gurumu, Bu Suci
dikeluarkan! Kamu juga!”
“Ketika saya datang di hari pertama sudah saya jelaskan bagaimana
kedudukan saya di sini. Saya dalam masa percobaan karena menunggu
surat keputusan pindah dari Departemen. Belum sebagai guru tetap.
Sekarang, sekali lagi di sini saya mengulangi: kedudukan saya tidak kuat
di sekolah ini. Tetapi meskipun begitu, Bu Suci orang yang nekad! Saya
berani berjanji kepada guru-guru lain bahwa selama sebulan akan dicoba
lagi kemampuan saya, apakah dapat memiliki murid-murid yang
berdisiplin, berbudi dan berprestasi. Kalau ada seorang anak yang
mengacau keadaan, biar! Bu Suci dikeluarkan tidak apa-apa. Tentu saja
keluarga saya akan rugi karena kalau saya tidak bekerja, tidak ada
pemasukan gaji. Kami harus hidup lebih menghemat.”
“Tetapi belum tentu Waskito akan membuat tontonan yang mengagetkan
lagi seperti tadi! Siapa tahu dia mempunyai sedikit pengertian bahwa Bu
Suci juga turut menanggung biaya hidup tiga anaknya dan dua saudaranya
di sekolah kejuruan di kota lain.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci kembali ke kelas dan memindahkan
tempat duduk Waskito di kelas, namun Waskito tidak menuruti Bu Suci; (2)
tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam pelajaran; (4) tujuan: untuk merubah
sikap Waskito menjadi anak yang baik; (5) mitra tutur: Karsih, Murid; (6)
situasi: formal.
93
Analisis: Bu Suci menjelaskan kedudukannya di sekolah kepada murid di
kelasnya dengan tujuan murid mengerti, terutama Waskito. “… kedudukan saya
tidak kuat…” itulah yang diujarkan oleh Bu Suci mengenai kedudukan dirinya
yang menunjukan tuturan Bu Suci mematuhi maksim kesederhanaan (modesty
maxim) yang mengharuskan penutur bersikap rendah hati. Dilanjutkan dengan
tuturan, “…Bu Suci dikeluarkan tidak apa-apa. Tentu saja keluarga saya akan
rugi karena kalau saya tidak bekerja, tidak ada pemasukan gaji. Kami harus
hidup lebih menghemat.” Tuturan tersebut pun mematuhi maksim keseerhanaan,
sebab Bu Suci merendakan hatinya di hadapan murid dalam kelas. Bu Suci
mengatakan tidak apa-apa jika dikeluarkan dari sekolah,agar Waskito dapat
tersentuh hatinya.
Tuturan dilanjutkan dengan, “Tetapi belum tentu Waskito akan membuat
tontonan yang mengagetkan lagi seperti tadi! Siapa tahu dia mempunyai sedikit
pengertian bahwa Bu Suci juga turut menanggung biaya hidup tiga anaknya dan
dua saudaranya di sekolah kejuruan di kota lain.” Bu Suci berpikir positif
mengenai Waskito, ia tidak mengejek ataupun mencaci Waskito meskipun Ia tahu
Waskito lah yang selalu membuat onar. Hal tersebut menandakan tuturan Bu Suci
mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim). Di depan umum Bu Suci
tidak mencaci Waskito, agar Waskito tidak semakin merasa tersudutkan dan
teman-teman menyayangi Waskito.
33. Tuturan (B.5, hlm. 72) :
“Buku-buku tugas harus dibungkus dengan sampul yang sama. Waskito!
Tolong ambilkan gulungan kertas yang ada di meja Bu Suci di kantor!”
Waskito berdiri dan pergi.
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Waskito sudah duduk ditempat yang perintahkan
oleh Bu Suci kemarin, Bu Suci meminta tolong kepada Waskito dan Waskito
menuruti keinginan Bu Suci; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam
pelajaran pertama; (4) tujuan: untuk menunjukan kepada Bu Suci perubahan
sikap Waskito; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: formal.
94
Analisis: Bu Suci meminta tolong kepada Waskito dengan sopan santun sebab
disertai dengan kata tolong, tidak langsung saja dengan kalimat imperatif,
sehingga dirasa lebih santun. Waskito pun berdiri dan pergi mengambil gulungan
kertas yang berada di meja Bu Suci di kantor guru.
34. Tuturan (B.6, hlm. 76) :
“Betul, bukan? Seorang ibu yang memanjakan anaknya secara berlebihan
itu dapat dimengerti. Bu Suci memastikan, bahwa ibumu berusaha
menyenangkan hatimu.”
“Hanya, kadang-kadang keinginan memanjakan itu salah karena terlalu
berlebihan,” sambutku lagi.
“Ya, bukan?”
“Ya, Bu,” sahutnya.
“Ya yang bagaimana? Ibu memberi kamu uang atau membawakan
makanan lezat-lezat!”
“Bawa makanan. Tapi itu saya taruh di meja makan, buat semua.”
“Uangnya kamu tabung?”
“Saya tidak punya tabungan. Kalau Ibu memberi uang, saya teruskan
kepada Bu De. Sewaktu-waktu saya memerlukan, saya minta. Setiap hari
saya minta uang kendaraan dan jajan sedikit.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci sedang mengawasi Waskito menggarisi
buku besar sambil bercengkrama tentang keluarga Waskito; (2) tempat: di dalam
kelas; (3) waktu: jam istirahat; (4) tujuan: untuk mengetahui keseharian
Waskito; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: “Ya, Bu,” jawaban itulah yang keluar dari mulut Waskito saat Bu Suci
mendesaknya untuk menjawab pendapatnya mengenai seorang ibu yang
memanjakan anaknya itu adalah sesuatu hal yang salah karena berlebihan.
Waskito memaksimalkan kecocokan dengan peserta tutur lain, Bu Suci. Sehingga
dapat dikatakan, tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan (agreement
maxim).
35. Tuturan (B.6, hlm. 76-77) :
“Mengapa tidak diperbolehkan?”
“Tidak tahu!” sahut murid sukarku.
“Mereka tidak menerangkan alasan larangan itu?”
“Tidak!”
95
“Barangkali karena orangtuamu khawatir kamu terjatuh ke dalam sungai,
atau hanyut, atau mendapat kecelakaan?”
“Entah, Bu! Mereka kalau sudah berkata tidak boleh, ya tidak boleh! Dulu
saya selalu bertanya, mengapa saya tidak seperti kawan-kawan lain?
Orangtua mereka membiarkan mereka bersepedahan ke mana-mana. Di
waktu liburan, mereka diizinkan naik gunung, jalan kaki jauh. Kalau saya
mau ikut, dijawab: Nanti saja bersama-sama sekeluarga, naik mobil ke
Bandungan, ke Kopeng!”
“Jadi kamu tidak pernah berpergian bersama-sama teman-teman
sebayamu?”
“Tidak, Bu!”
“ Kecuali kalau mencuri-curi waktu sebentar seperti membolos.”
“Kalau membolos, dengan siapa kamu pergi?”
“Dengan anak-anak kampung. Siapa saja yang mau diajak buat teman.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan kegiatan Waskito selama
membolos sepekan penuh berserta alasannya; (2) tempat: di dalam kelas; (3)
waktu: jam istirahat; (4) tujuan: untuk mengetahui kegiatan Waskito selama
membolos sepekan penuh beserta alasannya; (5) mitra tutur: Waskito; (6)
situasi: non formal.
Analisis: Waskito tidak pernah diperbolehkan memancing oleh orangtuanya.
Ketika Bu Suci bertanya, mengapa tidak diperbolehkan. Namun, Waskito tidak
megetahui apa alasan kedua orangtuanya melarangnya. Peruturan dapat dikatakan
gagal jika mitra tutur tidak mengetahui apa yang dibicarakan penutur.
“Mereka tidak menerangkan alasan larangan itu?,” kata Bu Suci.
Dijawab oleh Waskito, “tidak.” Tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan
(agreement maxim) sebab peserta tutur saling memaksimalkan kecocokannya. Bu
Suci mengira-ngira bahwa alasan Waskito tidak mengetahui sebab orangtuanya
melarangnya memancing, karena orangtuanya tidak menerangkan alasannya
kepada anak itu. Waskito menyatakan benar, dengan jawaban “tidak.” Yang
dimaksudkan “tidak” oleh Waskito adalah tidak menerangkan alasan larangan itu.
Tuturan yang memenuhi maksim permufakatan juga terdapat dalam
tuturan ketika Bu Suci menanyakan apakah Waskito tidak pernah pergi bersama
teman-temannya, dapat dilihat pada kutipan berikut:
96
Bu Suci : Jadi kamu tidak pernah berpergian bersama-sama teman-teman
sebayamu?
Waskito : Tidak, Bu! Kecuali kalau mencuri-curi waktu sebentar seperti
membolos.
Waskito menyatakan benar terhadap dugaan Bu Suci, dengan mengatakan “Tidak,
Bu!”. Maksud dari Waskito mengatakan tidak adalah benar kalau ia tidak pernah
bepergian dengan
36. Tuturan (B.6, hlm. 77) :
“Kamu bisa berenang? Seumpama jatuh ke sungai?”
“Dulu saya ingin belajar berenang, tapi tidak boleh oleh Ibu. Katanya
kolam renang umum selalu kotor. Orang-orang pada kencing dan
sebagainya di sana. Harus tunggu sampai kami bikin kolam sendiri.”
“Akan membuat kolam renang?”
“Ya, katanya begitu. Di belakang rumah masih ada tempat luas.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci dan Waskito berbincang mengenai
berenang; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: jam istirahat; (4) tujuan: untuk
mengetahui minat Waskito terhadap berenang; (5) mitra tutur: Waskito; (6)
situasi: non formal.
Analisis: Ibu Waskito menganggap kolam renang umum selalu kotor, sehingga
anaknya yaitu Waskito tidak boleh belajar berenang. Tuturan tersebut melanggar
maksim kesederhanaan (modesty maxim) sebab Ibu Waskito dari tuturan yang
diujarkan Waskito, sombong dan tidak mau anaknya berbaur dengan teman-teman
sebayanya, tidak rendah hati karena mereka adalah orang kaya. Dilanjutkan
dengan tuturan Bu Suci yang mengulangi pernyataan Waskito, untuk meyakinkan
bahwa yang didengarnya adalah hal yang benar, “Akan membuat kolam
renang?”. Waskito pun membenarkan, “Ya, katanya begitu. Di belakang rumah
masih ada tempat luas.” Tuturan tersebut mematuhi maksim permufakatan
(agreement maxim), sebab peserta tutur memaksimalnya kemufakatannya.
97
37. Tuturan (B.6, hlm. 78) :
“Mengapa kamu suka memancing?”
“Karena makan ikan hasil jerih payah sendiri, Bu. Rasanya lebih enak.
Kata Kakek dan Nenek, memancing juga baik buat melatih kesabaran.”
“Mereka tahu kamu suka memancing?”
“Ya, Bu. Mereka yang membawa saya memancing pertama kalinya dulu.”
“Kalau kamu naik kelas, kelak kubawa ke kota kecil kami. Di sana masih
ada sungai yang berair jernih. Ikannya banyak sekali! Kita bersama-sama
memancing. Keluargaku juga suka makan ikan hasil jerih payah sendiri!”
(hlm. 78)
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci mengetahui Waskito suka memancing
karena cerita sebelumnya. Bu Suci menanyakan alasannya; (2) tempat: di dalam
kelas; (3) waktu: sebelum pulang sekolah; (4) tujuan: untuk mengatahui alasan
Waskito menyukai memancing; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non
formal.
Analisis: Bu Suci menanyakan kepada Waskito, mengapa Ia menyukai
memancing. Waskito pun menjawab, “Karena makan ikan hasil jerih payah
sendiri, Bu. Rasanya lebih enak. Kata Kakek dan Nenek, memancing juga baik
buat melatih kesabaran.” Waskito menjawabnya dari hati, dan alasannya begitu
masuk akal. Tuturan Waskito tersebut mematuhi maksim kesederhanaan , Waskito
merasa ikan hasil jerih payahnya sendiri lebih enak dibandingkan hasil dari
membeli meskipun Waskito adalah orang yang berkecukupan.
Tuturan selanjutnya, Bu Suci menanyakan apakah Kakek dan Neneknya
mengetahui kesukaan cucunya. Waskito menjawab, “Ya, Bu.” Tuturan Waskito
santun karena menyebutkan nama Bu dalam jawabannya, pertanda Ia
menghormati gurunya dan memaksimalkan kecocokan dengan peserta tutur lain
yaitu, Bu Suci. Waskito pun menyertakan alasan mengapa Kakek dan Neneknya
mengetahui kesukaannya itu. Dengan demikian, tuturan Waskito mematuhi
maksim permufakatan (agreement maxim).
Tuturan selanjutnya diujarkan oleh Bu Suci, “Kalau kamu naik kelas,
kelak kubawa ke kota kecil kami….” Tuturan tersebut mematuhi maksim
kesederhanaan (modesty maxim) , karena Bu Suci tidak hanya menyebut kampung
98
halamannya dengan kota saja, namun kota kecil. Masih pada tuturan yang sama,
Bu Suci mengatakan “… keluargaku juga suka makan ikan hasil jerih payah
sendiri.” Maksud dari tuturan Bu Suci adalah keluarga Bu Suci dan Waskito
mempunyai kesukaan yang sama yaitu makan ikan hasil jerih payah sendiri.
Tuturan Bu Suci tersebut yang menyatakan kesukaan yang sama memenuhi
maksim permufakatan (agreement maxim), karena Bu Suci berusaha
memaksimalkan kecocokan dengan peserta tutur lain, yaitu Waskito.
38. Tuturan (B.6, hlm. 80) :
“Waskito, Bu!”
“Mengamuk lagi dia?”
(Wahyudi tertawa terkikih) “Tidak, Bu. Tanaman kami dirusak!”
“Tanaman mana? Pot-pot di sudut kelas? Di samping pintu?”
“Bukan! Tanaman percobaan yang tadi pagi kita letakan di jendela supaya
kena panas.”
“Dicabuti? semua?”
“Hanya kepunyaan beberapa orang, dibanting kalengnya!”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Wahyudi memberitahukan bahwa Waskito
merusak tanaman percobaan yang telah murid-murid kerjakan; (2) tempat: di
jalan menuju kelas; (3) waktu: setelah jam istirahat; (4) tujuan: agar Bu Suci
segera ke kelas mendamaikan keadaan; (5) mitra tutur: Bu Suci; (6) situasi: non
formal.
Analisis: Bu Suci terkejut ketika Wahyudi memberitahukan padanya mengenai
Waskito. Bu Suci menduga, Waskito mengamuk lagi. Namun, dugaannya tidak
benar. Wahyudi menjawab, “Tidak, Bu. Tanaman kami dirusak!.” Dengan begitu,
tuturan Wahyudi yang tidak memaksimalkan kecocokan tersebut melanggar
maksim permufakatan karena Wahyudi tertawa terkikih seperti meledek itu tidak
santun jika membuat oranglain panik, namun Wahyudi mengatakan hal yang
sebenarnya terjadi. Walaupun maksud dari tuturannya benar, tetap saja tuturan
Wahyudi tersebut melanggar maksim permufakatan.
Dilanjutkan dengan tuturan Bu Suci dengan kepanikannya menuturkan
dugaan demi dugaan, “Tanaman mana? Pot-pot di sudut kelas? Di samping
pintu?.” Wahyudi pun menjawab, “Bukan! Tanaman percobaan yang tadi pagi
99
kita letakan di jendela supaya kena panas.” Dengan demikian, tuturan Wahyudi
yang menepis dugaan Bu Suci melanggar maksim permufakatan sebab tidak
memaksimalkan kecocokan diantara Bu Suci dan Wahyudi sebagai peserta tutur.
Tuturan yang melanggar maksim permufakatan pun terdapat pada tuturan
Wahyudi yang selanjutnya, yaitu “Hanya kepunyaan beberapa orang, dibanting
kalengnya!.”
39. Tuturan (B.6, hlm. 81) :
“Di mana Waskito?”
“Keluar, Bu?”
“Saya cari, Bu?”
“Tidak! Jangan!” “Biarkan dulu! Dia harus datang atas kemauannya
sendiri. Kita tunggu sebentar.”
“Jangan! Sementara ini biar kotor, tidak apa-apa sebentar saja.”
“Nanti dibersihkan bersama-sama.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci ke dalam kelas melihat hasil perbuatan
Waskito, tetapi Waskito tidak ada di bangkunya, kemudian Bu Suci menanyakan
kepada murid-murid yang lain; (2) tempat: di dalam kelas; (3) waktu: setelah
jam istirahat; (4) tujuan: untuk mengetahui keberadaan Waskito; (5) mitra tutur:
murid-murid; (6) situasi: formal.
Analisis: “Tidak! Jangan! Biarkan dulu! Dia harus datang atas kemauannya
sendiri. Kita tunggu sebentar.” Tuturan tersebut diujarkan oleh Bu Suci ketika
seorang murid berinisiatif ingin mencari Waskito yang keluar kelas. Tuturan
tersebut melanggar maksim permufakatan sebab Bu Suci melarang murid tersebut
mencari Waskito, namun Bu Suci memberi alasan sebagai pengertian terhadap
muridnya tersebut.
“Jangan! Sementara ini biar kotor, tidak apa-apa sebentar saja.” Tuturan
tersebut diujarkan oleh Bu Suci ketika Wahyudi dan seorang murid perempuan
ingin membersihkan tebaran kaleng dan tanah akibat ulah Waskito. Tuturan
tersebut melanggar maksim permufakatan sebab peserta tutur tidak
memaksimalkan kecocokan. Wahyudi dan seorang murid perempuan bermaksud
ingin membersihkan tebaran kaleng dan tanah akibat ulah Waskito, namun Bu
Suci melarangnya dengan alasan agar dibersihkan bersama-sama, namun
100
sepertinya kedua muridnya tersebut dan murid lainnya belum memahami maksud
Bu Suci.
40. Tuturan (B6, hlm. 82-83) :
“Sedang mengapa kamu di sini?”
“Sejak tadi seisi kelas mencarimu. Kami semua khawatir! Jangan-jangan
kamu mengamuk di tempat lain! Malahan ada yang mengatakan
barangkali kamu tidak akan mau masuk sekolah lagi, setiap hari ke
Banjirkanal, memancing!”
“Apakah kau menyadari telah melakukan pembunuhan?”
“Ya, betul! Pembunuhan!”
“Kamu membanting dan menginjak-nginjak tanaman yang tidak berdosa!
Bayi-bayi tanaman itulah yang kamu bunuh. Bu Suci tidak mengira kamu
bisa berbuat sekejam itu. Kamu yang demikian sayang kepada kucing,
kepada parkit dan anak-anak kecil! Sudah berapa kali Bu Suci mengulangi,
alam ini serba penuh keajaiban. Biji yang kecil mungil, hanya satu, kamu
masukan ke dalam tanah. Itu dapat tumbuh bertunas, bercabang, yang
kadang-kadang lebih dari satu. Keluar daunnya yang bentuknya pun
bermacam-macam. Kalau sudah cukup dewasa, memberi buah atau akar
yang dimakan makhluk sedunia. Manusia demikian pula. Seoerti adik-
adikmu, seperti anak-anak Bu De, seperti anakku yang kedua, kamu semua
yang masih anak-anak. Kalian juga akan menjadi besar. Kamu membantu
mengawasi anak-anak Bu De, menemani anakku. Mereka akan menjadi
sebesar kamu, dan kamu akan menjadi dewasa. Tetapi dewasa tidak hanya
berarti berbadan besar, tinggi. Pikiran dan perasaan harus tumbuh dengan
baik pula. Coba kalau kamu dewasa, apakah kau kira akan menjadi
manusia yang baik?Apakah kamu akan dapat hidup bersama-sama orang
lain kalau tetap tidak mampu mengendalikankemarahanmu?”(hlm. 82- 83)
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan kepada Waskito tentang
mengapa Ia tidak di kelas; (2) tempat: di pinngir selokan kelas di arah depan
kelas-kelas termuda, kantor guru; (3) waktu: setelah kejadian merusak tanaman;
(4) tujuan: untuk mengetahui alasan Waskito tidak masuk kelas; (5) mitra tutur:
Waskito; (6) situasi: non formal.
Analisis: Bu Suci mengatakan kepada Waskito bahwa seisi kelas khawatir dan
mencarinya. Tuturan Bu Suci mematuhi maksim kesimpatisan (sympathy maxim),
sebab Bu Suci memaksimalkan sikap simpati kepada pihak lain yaitu, Waskito.
Tuturan Bu Suci yang mematuhi maksim kesimpatisan dapat dilihat, sebagai
berikut “Sejak tadi seisi kelas mencarimu. Kami semua khawatir! Jangan-jangan
101
kamu mengamuk di tempat lain! Malahan ada yang mengatakan barangkali kamu
tidak akan mau masuk sekolah lagi, setiap hari ke Banjirkanal, memancing!.”
Selanjutnya, tuturan Bu Suci “Apakah kau menyadari telah melakukan
pembunuhan?,” Tuturan tersebut adalah tuturan yang langsung dan kurang
santun. Sebab, tidak seharusnya Bu Suci berkata demikian, walaupun maksud Bu
Suci benar. Akibat dari kata-kata Bu Suci tersebut, mata Waskito pun terbelalak
dan wajahnya cemberut. Bibir Waskito pun seperti ingin mengatakan sesuatu,
namun disambar oleh Bu Suci sebelum Waskito membantahnya. “Ya, betul!
Pembunuhan!,” itulah yang diucapkan Bu Suci sebelum muncul pembelaan dari
Waskito atas perbuatannya. Dengan demikian tuturan Bu Suci melanggar maksim
penghargaan, sebab tidak seharusnya kata-kata langsung seperti itu diucapkan
kepada anak muridnya. Namun, Bu Suci pun menjelaskan, maksud dari
pembunuhan yang Ia tuduhkan.
41. Tuturan (B.6, hlm. 83-85)
“Ceritakan apa yang terjadi!”
“Aku ingin mendengar sebabnya mengapa kamu berbuat semacam itu.
Anak- anak lain sudah bercerita, tetapi mereka bukan kamu. Pikiran
mereka lain dari pikiranmu.”
“Mereka mengejek saya.”
“Kalau memang betul tanamanmu kurang subur, jangan malu mengakui
kenyataan.”
“Bagaimana yang sesungguhnya? Subur atau tidak?”
“Kutunggu jawabanmu, bagaimana menurut pendapatmu apakah
tanamanmu subur atau tidak?”
“Tidak ada orang yang baik atau pandai atau cekatan dalam segala-
galanya. Kamu terampil dalam hal pertukangan, otakmu cerdas meskipun
pelajaranmu biasa-biasa saja. Bukankah itu sudah sangat mencukupi?
Kalau memang kamu hendak membalas dendam terhadap teman-
temanmu, tidak dengan cara membanting dan menginjak-nginjak
tanaman mereka. Bikinlah presentasi dalam hal lain yang kamu kira lebih
mampu. Tekunilah pelajaranmu misalnya! Bejanamu dipasang di ruang
keterampilan, dipergunakan sebagai contoh untuk kelas-kelas lain! Itulah
prestasimu! Tunjukan lain-lainnya! Kalau memang kamu lemah dalam
tumbuh-menumbuhkan biji, itu bukan merupakan masalah. Cari sebab-
sebabnya. Barangkali kurang air, atau kurang matahari. Anak seperti ksmu
tidak seharusnya cepat berputus asa. Memalukan sekali!”
“Kita semua cenderung memuaskan nafsu kekesalan dan kemarahan
semau kita. Itu memang sifat manusia. Bu Suci berusaha memberi didikan
102
kerendahan hati dan menahan perasaan kepada murid-murid. Hingga saat
ini kamu berhasil mendapat pujian para guru dan Kepala Sekolah.
Pertahankanlah ini! Jangan selalu membuat seisi kelas dan aku ketakutan
semacam tadi.”
“Ayo, kembali ke kelas! Tadi kawan-kawanmu akan menyapu dan
membenahi hasil pelampiasan kemarahanmu. Baik hati mereka, bukan?
Meskipun tadi mereka mengejekmu, ternyata mereka mau membantu juga.
Tapi mereka kularang menyapu. Aku yakin, sebegitu kamu akan
membersihkan lantai, pastilah ada yang menolongmu tanpa kusuruh.”
Konteks: (1) Peristiwa tutur: Bu Suci menanyakan apa yang terjadi sebenarnya
sehingga Waskito begitu marah dan merusak tanaman teman-temannya; (2)
tempat: kantor guru; (3) waktu: setelah kejadian merusak tanaman; (4) tujuan:
untuk mengetahui alasan Waskito; (5) mitra tutur: Waskito; (6) situasi: non
formal.
Analisis: Bu Suci mendesak Waskito agar Ia menceritakan kepadanya mengenai
sebab Waskito berbuat ulah seperti itu. Bu Suci mengatakan, “Aku ingin
mendengar sebabnya mengapa kamu berbuat semacam itu. Anak-anak lain sudah
bercerita, tetapi mereka bukan kamu. Pikiran mereka lain dari pikiranmu.”
Tuturan tersebut bertujuan, agar Waskito lebih terbuka kepada Bu Suci dan
menjawab pertanyaan Bu Suci. Waskito menjawab, “Mereka mengejek saya.”
Jawaban Waskito tersebut mematuhi maksim kesederhanaan (modesty maxim)
sebab Waskito mengakui bahwa Ia diejek.
Bu Suci menasihati Waskito agar tidak lagi berbuat hal seperti itu, “Tidak
ada orang yang baik atau pandai atau cekatan dalam segala-galanya. Kamu
terampil dalam hal pertukangan, otakmu cerdas meskipun pelajaranmu biasa-
biasa saja. Bukankah itu sudah sangat mencukupi?….” Kutipan tutran tersebut
diujarkan oleh Bu Suci agar Waskito menyadari kelebihannya. Tuturan tersebut
mematuhi maksim penghargaan (approbation maxim). Bu Suci tidak mencaci
maki Waskito karena malah menyadarkannya dengan cara menasehatinya dengan
mengingatkan kelebihan yang dimiliki oleh murid sukarnya itu.
103
C. Tabel Jumlah Tuturan yang Mematuhi dan Melanggar Prinsip
Kesantunan Menurut Leech.
Agar dapat mengetahui jumlah maksim kesantunan yang mematuhi dan
melanggar pada novel Pertemuan Hati karya Nh. Dini maka peneliti membuat
tabel sebagai berikut.
No Maksim Mematuhi Melanggar
1. Maksim kebijaksanaan (Tact maxim) - 2
2. Maksim kedermawanan
(Generosity Maxim)
2 11
3. Maksim penghargaan
(Approbation maxim)
7 5
4. Maksim kesederhanaan
(Modesty maxim)
15 2
5. Maksim permufakatan
(Agreement Maxim)
15 18
6. Maksim kesimpatisan (Sympathy
Maxim)
7 -
Jumlah 46 38
D. Implikasi Penelitian dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.
Lembaga pendidikan yang memiliki moto tut wuri handayani bertujuan
untuk mencerdaskan anak bangsa dengan segala komponen di dalamnya yang
tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Siswa mendapatkan pelajaran mengenai
banyak hal yang mendukung kehidupannya kelak, termasuk pelajaran mengenai
kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tidak dapat dipisahkan alam
kehidupan sehari-hari karena setiap makhluk sosial berinteraksi satu sama lain
setiap harinya. Melalui pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di lembaga
pendidikan, kesantunan berbahasa dapat disisipkan menjadi pembelajaran yang
menyenangkan.
104
Terdapat materi “menceritakan isi novel” pada pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia kelas XI. Untuk mengajarkan materi tersebut, guru harus menyediakan
novel sebagai bahan ajar yang memiliki bahasa yang mudah dipahami dan
memiliki nilai-nilai moral. Agar setelah pelajaran selesai siswa selain mencapai
kompetensi juga dapat mempraktekannya dalam kehidupannya sehari-hari. Maka
dari itu, penelitian ini memilih novel Pertemuan Dua Hati sebagai objek
penelitian dan diharapkan bagi guru bahasa dan sastra Indonesia untuk
mempertimbangkan tentang penggunaan novel tersebut sebagai bahan ajar.
Pada penelitian ini, peneliti memfokuskan pada masalah bentuk prinsip
kesantunan menurut Leech pada novel Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini.
Peneliti melihat seberapa banyak jumlah tuturan yang mematuhi maksim
kesantunan berbahasa dan yang tidak mematuhi. Salah satu novel yang memiliki
tuturan sehari-hari seperti pada tuturan kehidupan sehari-hari adalah novel
Pertemuan Dua Hati. Selain terdapat tuturan sehari-hari, bahasanya pun mudah
dipahami sehingga tidak menyulitkan siswa dalam memahami isi novel dan
menceritakan isi novel kepada teman sekelas di depan kelas, dan mendiskusikan
hal-hal yang menarik di dalamnya bersama teman-teman sekelas. Terdapat tuturan
antar teman sebaya, tuturan antara murid dengan guru, tuturan dengan orang yang
lebih tua pada novel Pertemuan Dua Hati.
Dari hasil analisis kesantunan berbahasa, lebih banyak tuturan yang
mematuhi kesantunan berbahasa sehingga dapat dijadikan bahan ajar untuk siswa
pada saat pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas. Hal itu karena novel
Pertemuan Dua Hati karya Nh. Dini memiliki bahasa yang santun, mudah
dipahami, dan memiliki nilai-nilai kehidupan yang dapat menjadi cerminan untuk
kehidupan sehari-hari para pembacanya, terutama untuk guru dan orang tua agar
dapat mengetahui cara mendidik anak. Selain guru dan orang tua yang dapat
mengetahui cara mendidik anak pada novel Pertemuan Dua Hati, siswa juga
dapat mempergunakan kesantunan berbahasa untuk berinteksi pada segala situasi
sosial, baik di lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan tempat tinggal.
Berkaitan dengan kesantunan berbahasa dapat digunakan dalam situasi
sosial, berikut adalah beberapa situasi sosial yang dapat siswa terapkan
105
kesantunan berbahasanya, dikutip dari A Study Dictionary Of Social English.
Siswa dapat memakai kesantunan berbahasa untuk menyatakan kemampuan atau
ketidakmampuannya dalam mengerjakan sesuatu (ability / inability), pada saat
siswa menasihati teman sebayanya atau orang yang lebih muda darinya (advising),
saat siswa menyatakan kesetujuannya atau ketidak setujuannya dalam kegiatan
diskusi di kelas atau berdiskusi dengan keluarga (agreeing / disagreeing), saat
siswa meminta maaf saat melakukan kesalahan (apolozing / making excuses), saat
siswa memberikan apresiasi (appreciation), saat siswa menanyakan suatu
informasi kepada mitra tutur (asking for information), saat siswa menarik
perhatian mitra tuturnya (attracting someone’s), saat siswa mengoreksi temannya
dalam segala hal (correcting), saat siswa mengambil kesimpulan (deducting,
drawing a conclusions), saat siswa menyangkal atau mengakui apa yang mitra
tuturnya katakana (denying / admitting), saat siswa menyatakan kekecewaannya
(disappointment), saat siswa mengungkapkan rasa takut atau khawatir ataupun
gelisah (fearing, expressing worry, anxiety), saat siswa mengidentifikasi mitra
tuturnya (identifying), saat siswa menyatakan kesukaannya ataupun
ketidaksukaannya kepada mitra tutur (liking / disliking), saat siswa bersimpati
ataupun tidak bersimpati terhadap mitra tuturnya (sympathizing / not
sympathizing), saat siswa memuji mitra tuturnya (praising) saat siswa
berterimakasih terhadap mitra tuturnya (thanking).3 Jadi, kesantunan berbahasa
dapat digunakan dalam berbagai situasi sosial agar komunikasi tetap terjaga tanpa
menyakiti hati mitra tutur.
3 William R. Lee, A study Dictionary Of Social English, (Oxford: Pergamon Press, 1983), h.
vii-viii.
106
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan
bentuk prinsip kesantunan berbahasa dalam novel Pertemuan Dua Hati
karya Nh. Dini dan dianalisis menggunakan prinsip kesantunan Geoffrey
Leech dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, yaitu lebih banyak tuturan
yang mematuhi prinsip kesantunan daripada yang melanggarnya. Berikut
adalah jumlah hasil penelitian, terdapat 46 tuturan yang mematuhi prinsip
kesantunan dan 38 tuturan yang melanggar prinsip kesantunan. Prinsip
kesantunan yang dipatuhi adalah maksim kedermawanan, maksim
penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan dan maksim
kesimpatisan. Sedangkan, prinsip kesantunan yang dilanggar adalah
maksim kebijaksanaan, maksim kedermawaan, maksim penghargaan,
maksim kesederhanaan, dan maksism permufakatan. Namun, tuturan tidak
ada yang mematuhi maksim kebijaksanaan dan melanggar maksim
kesimpatisan. Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dikatakan bahwa
novel Pertemuan Dua Hati karya Nh Dini sangat layak untuk dijadikan
bahan ajar Bahasa Indonesia pada materi menceritakan isi novel, sebab
walaupun novel lama namun Nh. Dini sangat piawai menyajikannya
dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca dan memiliki
nilai-nilai kehidupan bagi pembacanya, terutama untuk guru dan orangtua
untuk mendidik anak-anak. Selain siswa dapat mengusai materi pelajaran
mengenai menceritakan isi novel, siswa pun dapat mempelajari kesantunan
berbahasa yang terdapat dalam novel dan dapat langsung dipraktekkan
pada kehidupan sehari-harinya dalam segala situasi sosial, baik dalam
lingkungan masyarakat ataupun di lingkungan sekolah.
107
B. Saran
Saran yang perlu penulis berikan terkait penelitian yang telah
dilakukan, yaitu:
1. Bagi siswa, penerapan prinsip kesantunan berbahasa perlu
ditingkatkan bukan hanya dengan media komunikasi langsung,
melainkan dengan media pembelajaran seperti novel.
2. Bagi penelitian selanjutnya, penelitian mengenai kesantunan
berbahasa perlu diperbanyak mengingat kesantunan berbahasa
sangat berguna bagi kehidupan bermasyarakat.
3. Bagi pembelajaran di sekolah, prinsip kesantunan berbahasa dapat
disisipkan untuk menambah wawasan siswa dan ilmu siswa
berkaitan dengan muatan pendidikan karakter.
4. Bagi pembaca, sopan santun dalam bermasyarakat perlu
ditingkatkan agar hubungan antar peserta tutur dapat terjaga
dengan baik.
108
Daftar Pustaka
Aziez, Furqonul., dan Hasim, Abdul. Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Chaer, Abdul. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Dini, Nh. Pertemuan Dua Hati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Dirgantara, Yuana Agus. Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia.
Garudhawaca, 2012.
Djajasudarma, Fatimah. Metode Linguistik- Ancangan Metode Penelitian dan
Kajian. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
___. Wacana- Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: PT Refika
Aditama, 2006
___. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT Refika Aditama, 2012.
Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Depok: Nofa Citra Mandiri, 2012.
Lee, William R. A study Dictionary Of Social English. Oxford: Pergamon Press,
1983.
Leech, Geoffrey. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terj. Dari The Principles Of
Pragmatics oleh M. D. D. Oka. UI-Press, 2011.
___. The Principles Of Pragmatics . London and New York:
Longman, 1989.
Mahayana, Maman S. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: PR Raja
Grafindo Persada, 2007.
Nadar, F.X. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Nurhaidah, Nuri. Wacana Politik Pemilihan Presiden di Indonesia. Yogyakarta:
Smart Writing, 2014.
Nasanius, Yassir (peny.). PELBBA 18:Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa
dan Budaya Atmajaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012.
109
Nurhayati, “Realisasi Kesantunan Berbahasa dalam Novel Ronggeng Dukuh
Paruk Karya Ahmad Tohari”.
http://eprints.uns.ac.id/9482/1/185730811201110211.unlocked.pdf. 2014
Purwo, Bambang Kaswanti. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak
Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
2002. Edisi ke-3.
Rahardi, R. Kunjana. Sosiopragmatik. Yogjakarta: Penerbit Erlangga, 2009.
___. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.Jakarta: Erlangga,
2005.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: Caps, 2012.
Taman Ismail Marzuki, „Tokoh nh dini‟, (http://www.tamanismailmarzuki.com),
2013.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit
Angkasa, 2011.
Wellek, Renne and Warren, Austin. Teori Kesusastraan. Oleh Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Waskito, A. A. Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: WahyuMedia, 2009.
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
( RPP )
Sekolah : SMA Negeri 7 Tangerang
Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester : XI / 2
Alokasi Waktu : 2 X 45 Menit
A. Standar Kompetensi:
11. Membaca isi novel
B. Kompentensi Dasar:
11.1. Menceritakan isi novel Pertemuan Dua Hati dan menentukan nilai-nilai
yang terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati
11.2. Mengetahui maksim kesantunan berbahasa dalam novel Pertemuan Dua
Hati dan merealisasikan kesantunan berbahasa saat pelajaran berlangsung.
C. Materi Pembelajaran:
Membaca novel.
Nilai-nilai yang terkandung dalam novel.
Kesantunan berbahasa menurut Leech.
D. Indikator Pencapaian
NO Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
Kewirausahaan/E
konomi kreatif
1 Mampu membaca serta memahami
novel Pertemuan Dua Hati secara
menyeluruh.
Kreatif
Rasa ingin tahu
Rasa hormat
Percaya Diri
Kemandirian
Keorsinilan
Dapat dipercaya
2
Mampu merangkum dan
menceritakan kembali isi novel.
3 Mampu mengomentari hal-hal yang
menarik serta nilai-nilai yang
terkandung dalam novel Pertemuan
Dua Hati.
4 Mengetahui maksim kesantunan
berbahasa dalam novel Pertemuan
Dua Hati, membedakan antar
maksim dan mempraktekannya saat
berdiskusi dalam kelas.
E. Tujuan Pembelajaran
Siswa dapat:
Membaca serta memahami isi novel Pertemuan Dua Hati.
Merangkum dan menceritakan kembali isi novel Pertemuan Dua Hati.
Mengomentari dan menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam novel
Pertemuan Dua Hati.
Membedakan maksim kesantunan berbahasa.
F. Metode Pembelajaran
Tanya jawab
Diskusi
Ceramah
Penugasan
Presentasi
G. Strategi Pembelajaran
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Membaca novel
Pertemuan Dua
Hati
Menandai hal-hal
yang menarik
dalam novel
Pertemuan Dua
Hati.
Siswa dapat
menceritakan
kembali isi
novel
Pertemuan
Dua Hati di
depan kelas.
Siswa dapat
membedakan
maksim
kesantunan
berbahasa.
H. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
NO Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan
Karakter Bangsa
1. Kegiatan awal :
Guru mengucapkan salam.
Guru tersenyum dan
menanyakan kabar.
Guru mengabsen siswa.
Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran.
Guru menanyakan pembelajaran
tentang materi lalu.
Guru menanyakan mengenai
pengalaman membaca novel
siswa.
Bersahabat/Komunikatif
2. Kegiatan ini :
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi :
Guru menjelaskan tentang
pengertian novel, sekilas tentang
novel Pertemuan Dua Hati,
menjelaskan tentang pentingnya
kesantunan berbahasa.
Siswa membaca novel
Pertemuan Dua Hati..
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi ,
Membentuk kelompok kecil 5-6
orang.
Mendiskusikan materi pokok
dengan teman sekelompok
Menentukan hal-hal yang
menarik yang terdapat dalam
Kreatif
Bersahabat/Komunikatif
novel Pertemuan Dua Hati dan
menentukan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
Berdiskusi dengan kesantunan
berbahasa yang telah dijabarkan
sekilas pada eksplorasi.
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:
Menyimpulkan tentang hal-
hal yang belum diketahui.
Menjelaskan tentang hal-hal
yang belum diketahui
3. Kegiatan akhir:
Refleksi
Guru meminta siswa
menyimpulkan pelajaran.
Guru memberi penguatan pada
kesimpulan pembelajaran.
Penugasan
Bersahabat/ Komunikatif
I. Alokasi Waktu
2 X 45 Menit
J. Sumber Belajar/ Alat/ Bahan
Buku Belajar Efektif Bahasa Indonesia 2 Kelas XI
K. Penilaian
Jenis Tagihan:
Tugas Kelompok
Tugas Individu
Bentuk Instrumen:
1. Bacalah novel Pertemuan Dua Hati!
2. Buatlah ringkasan ceritanya dan ceritakan kembali isi cerita novel di
depan kelas!
3. Sebutkan masing-masing contoh maksim kesantunan berbahasa yang
terdapat pada novel Pertemuan Dua Hati!
Jakarta, 21 November 2014
Guru Bahasa Indonesia
(Mia Nurdaniah)
PROFIL PENULIS
Mia Nurdaniah, lahir di Cianjur 19 Juli 1992. Anak pertama dari tiga
bersaudara dari Bapak Cuparno dan Ibu Aidah. Ia menuntaskan
pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDN Cikokol 4 Tangerang, lulus
pada tahun 2004. Kemudian Ia melanjutkan pendidikannya ke SMP
Negeri 13 Tangerang. Setelah lulus pada tahun 2007, pendidikannya
pada jenjang Sekolah Menengah Akhir ditempuhnya di SMA Negeri 7 Tangerang dan
mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Sejak kecil Ia bercita-cita ingin menjadi seorang
dokter, namun setelah memasuki bangku SMA, ia lebih tertarik dengan profesi guru, sehingga ia
melanjutkannya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan 2014.