Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA PERADILAN
TATA USAHA NEGARA (STUDI PERBANDINGAN
ANTARA INDONESIA DAN THAILAND)
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
SYIFA SALSABILA NASUTION
NIM: 11160453000022
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1441 H
PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADAPERADILAN TATA
USAHA NEGARA (STUDI PERBANDINGAN
ANTARA INDONESIA DAN THAILAND)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/ 1441 H
i
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
SYIFA SALSABILA NASUTION
NIM: 11160453000022
Pembimbing :
Fathudin, S.H.I, S.H, M.H, M.A.Hum
NIP. 19850610 201903 1 007
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
iii
iv
ABSTRAK
Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA
PELAKSANAN PUTUSAN PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(Studi Perbandingan antara Indonesia dan Thailand) ”, Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2020 / 1441 H. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan model pelaksanaan putusan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) antara Indonesia dengan Thailand, mengetahui kelebihan
dan kelemahan dari proses pelaksanaan putusanya, serta urgensi lembaga
eksekutorial bagi PTUN di Indonesia. Alasan yang melatarbelakangi penelitian ini
adalah, karena Indonesia sangat memerlukan lembaga eksekutorial untuk
melaksanakan putusan PTUN (eksekusi) agar implementasi hukum khususnya
dalam dinamika peradilan tata usaha negara dapat berjalan dengan lebih efektif.
Selain itu, studi perbandingan dengan Thailand diharapkan mampu dijadikan
sebagai salah satu rujukan baik oleh pemerintah, civitas akademika, maupun
masyarakat umum dalam bidang hukum administrasi.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach),dan Pendekatan Komparatif. Bahan
hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, dan
sekunder serta didukung oleh bahan non hukum yang relevan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Indonesia dan Thailand memiliki
persamaan dan perbedaan dalam pelaksanaan putusan (eksekusi) PTUN-nya,
kelebihan dan kelemahan masing-masing, serta dapat disimpulkan bahwa Indonesia
perlu memiliki lembaga eksekutorial yang khusus menangani pelaksanaan eksekusi
dari pengadilan. Selain itu, lembaga eksekutorial memiliki kedudukan penting
dalam menunjang kelengkapan lembaga peradilan di Indonesia.
Kata Kunci : Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaga Eksekutorial
Pembimbing : Fathudin, S.H.I, S.H, M.H, M.A.Hum
Daftar Pustaka: Dari tahun 1971 sampai 2019
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt. berkat nikmat,
anugerah dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “
PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA (Studi Perbandingan antara Indonesia dan Thailand) ”.
Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang
telah memimpin umat Islam menuju jalan yang diridhai Allah swt. Dalam
penyelesaian skripsi ini, tak luput peran pihak-pihak yang senantiasa sabar dan setia
membantu, membimbing serta mendoakan. Sehingga dengan rasa hormat, penulis
ingin mengucapakan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis., Lc, MA, Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah);
4. Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah);
5. Fathudin, S.H.I., S.H., M.H., M.A.Hum, Dosen Pembimbing dalam penulisan
skripsi ini;
6. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Rasa terima kasih dan hormat
atas segala ilmu, pengalaman, bimbingan, dan arahan yang diberikan kepada
penulis selama menempuh pendidikan Strata Satu (S1) nya.
7. Pimpinan dan seluruh pengurus Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberi kontribusi berupa literasi dan
pustaka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baiK
8. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Rasa terima kasih dan hormat
vi
atas segala ilmu, pengalaman, bimbingan, dan arahan yang diberikan kepada
penulis selama menempuh pendidikan Strata Satu (S1) nya;
9. Keluarga besar penulis, terutama Ayahanda, Ir. Mustafa Nasution dan Ibunda,
Sri Handayani yang selalu memberikan motivasi, dan kasih sayang penuh
kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan pendidikan strata satu (S1)
dengan pencapaian yang luar biasa;
10. Rekan-rekan guru dan staff Pride Homeschooling yang banyak membantu saya
dalam memberikan fasilitas tempat yang nyaman untuk mengerjakan skripsi;
11. Dan pihak lain yang turut terlibat dalam penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa selalu membalas kebaikan rekan-rekan semua.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 22 Juni 2020 M/ 1441 H
Syifa Salsabila Nasution
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................
A. Latar Belakang Penelitian ........................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ....................................................... 10
E. Teknik Pengolahan dan Metode Penelitian ............................................. 13
F. Sistematika Pembahasan ......................................................................... 18
BAB II KERANGKA TEORITIS DAN KONSEP ..........................................
A. Teori Kedaulatan Hukum .......................................................................... 19
B. Konsep Negara Hukum ............................................................................. 21
C. Lembaga Eksekutorial ............................................................................... 25
D. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ...................................................... 27
BAB III MODEL PELAKSANAAN PUTUSAN OLEH PERADILAN TATA
USAHA NEGARA ...............................................................................
A. Sistem Hukum dan Ketatanegaraan di Thailand ...................................... 30
B. Mekanisme Pelaksanaan Putusan PTUN di Thailand ............................... 43
C. Mekanisme Pelaksanaan Putusan PTUN di Indonesia ............................. 47
viii
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN MODEL PELAKSANAAN
PUTUSAN PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(PTUN)...........................................................................................
A. Persamaan dan Perbedaan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN .............. 52
B. Kelebihan dan Kelemahan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN ............. 60
C. Urgensi Lembaga Eksekutorial PTUN di Indonesia ................................. 67
BAB V PENUTUP...............................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................................... 74
B. Saran .......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 76
LAMPIRAN ......................................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum yang dinyatakan dengan tegas dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Penggunaan istilah negara hukum ternyata memiliki
perbedaan di antara para ahli ketatanegaraan di dunia. Para ahli di Eropa Barat
(Kontinental) seperti Immanuel Kant dan F.J. Stahl menggunakan istilah
rechtsstaat, sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah rule of law. Secara formil,
tidak ada perbedaan mengenai definisi dari sistem negara hukum tersebut, namun
secara materiil penggunaan istilah rechstaat dan rule of law memiliki perbedaan di
antara keduanya. Hal ini disebabkan oleh sejarah dan pandangan hidup suatu
bangsa.1
A.V. Dicey mensyaratkan tiga unsur pokok dalam rule of law adalah:
Supremasi hukum (supermacy of law), Persamaan di hadapan hukum (equality
before the law, Terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam konstitusi.2
F.J Stahl menungkapkan konsep negara hukum atau rechtsstaat itu
mencangkup empat unsur penting, yaitu: Perlindungan hak asasi manusia,
Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan Peradilan
Tata Usaha Negara.3
Pernyataan yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dan F.J Stahl memiliki
persamaan dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan supremasi hukum. Di
sisi lain, terlihat adanya perbedaan mengenai konsep negara hukum rechstaat
dengan rule of law. Dalam konsep negara hukum yang menggunakan istilah rule of
1H. Salmon, Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam Mewujudkan Suatu
Pemerintahan yang Baik, (Jurnal Sasi, 2010), h. 16.
2 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, (Jurnal Hukum, 2013), h.3.
Diunduh.melalui https://pn-gunungsitoli.go.id.
3EndraWijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pusat Kajian
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, 2011), Cet. Ke-1, h. 2.
2
law pada sistem anglo saxon4 tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN)
yang terpisah dari peradilan umum. Lain halnya dengan rechtsstaat pada sistem
Eropa Kontinental yang menempatkan peradilan administrasi negara (PTUN)
berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum.5
Indonesia yang sudah secara tegas dikatakan sebagai negara hukum, sudah
tentu menerapkan konsep negara hukum yang telah dikemukakan oleh ahli
ketatanegaraan dunia. Pertanyaannya, konsep apakah yang diterapkan dalam sistem
hukum di Indonesia? Berdasarkan pendapat pendapat Garry F. Bell dalam bukunya
The New Indonesion Laws Relating To Regional Autonomy Good Intentions,
Confusing Laws yang menyatakan: “Dalam konteks hukum Indonesia lebih
mendekati konsep hukum Eropa Kontinental (rechstaat) jika dibandingkan konsep
rule of law di negara-negara anglo-saxon”.6
Salah satu aspek penting yang harus ada dalam konsep negara hukum adalah
adanya lembaga peradilan sebagai salah satu bentuk supremasi hukum
(supremation of law). Namun yang menarik dalam kajian ini, bawasanya tidak
semua negara di dunia memiliki peradilan khusus yang sama/baku. Karena adanya
peradilan khusus pada suatu negara didasarkan atas kebutuhan personal oleh
masing-masing negara, dan tidak semua negara memiliki Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN) dalam sistem yudikasinya, termasuk Republik Indonesia yang
menganut sistem rechstaat / rule of law.
4 Sistem hukum anglo saxon (common law) memiliki akar sejarah.pada kerajaan Inggris yang
dalam pemutusan perkaranya hakim memiliki posisi dominan dan absolut. Ketika ada sebuah.perkara
yang diputuskan oleh.hakim, putusan tersebut tidak hanya mengikat pihak yang berperkara tetapi juga
berlaku umum untuk kasus yang serupa. Putusan hakim tersebut menjadi sangat penting karena
ketiadaan undang-undang yang disahkan oleh.parlemen. Beberapa negara besar yang menganut sistem
ini antara lain adalah.Amerika Serikat dan Inggris. Choky R Rramadhan, Konvergensi Civil Law dan
Common Law di Indonesia dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum, (Depok: Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2018), h.214
5H. Salmon, Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam Mewujudkan Suatu
Pemerintahan yang Baik, (Jurnal Sasi, 2010), h.17. Diakses pada 17 November 2019, Pukul 14.38 WIB.
6 Gary F. Bell, The New Indonesian Laws Relating to Regional Autonomy: Good Intentions,
Confusing Laws (Asian-Pasific Law and Policy Journal), (William S Ricardson of Law Press 2001), h.
27
3
Secara umum, keberadaan PTUN dalam suatu negara memiliki fungsi
sebagai pihak yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa antara pejabat tata
usaha negara dengan rakyat7. Pengaturan sengketa tata usaha negara diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Peradilan Tata Usaha
Negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara
murni. Pokok permasalahannya bagaimana bentuk Pengawasan Peradilan Tata
Usaha Negara terhadap aparatur negara/pemerintah, bagaimana peranan Peradilan
Tata Usaha Negara sebagai pelaksana fungsi pengawasan terhadap aparatur negara.
Pemerintah dan apa saja yang menjadi hambatan atau masalah dalam pelaksanaan
Peradilan Tata Usaha Negara dalam upaya mengontrol mengawasi aparatur
negara/pemerintah.8
Tidak hanya di Indonesia, keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
menjadi penting bagi mayoritas negara terutama bagi negara yang menerapkan
sistem hukum rechstaat. Salah satunya adalah Thailand. Adapun, eksistensi
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat
akan lembaga kehakiman yang dapat menjamin hak-hak mereka terhadap pejabat
negara, baik itu secara individu maupun kooperasi.
Kendati negara Thailand dengan Indonesia berbeda dalam sistem
pemerintahannya9, namun Thailand menganut sistem hukum Eropa Kontinental
7 Dalam tinjauan yuridis, adaya PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat,
khususnya hubungan antara badan atau pejabat negara dengan masyarakat. Lihat ketentuan menimbang
huruf (d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sistem Negara Hukum Indonesia,
(Sulawesi Barat: Universitas Sulawesi Barat Press, 2014), h. 46
9 Thailand merupakan negara dengan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Dalam
sistem pemerintah.Thailand, secara konstitusional raja merupakan kepala negara. kedudukan raja
sebagai kepala negara tidak bersifat politis, namun lebih.sebagai simbol budaya dan agama. Pasca
runtuhnya dinasti monarki Chakri, Thailand tetap mempertahankan sistem monarkinya dengan raja
sebagai kepala negara saja yang berfungsi sebagai pemersatu dan menjaga kebudayaan Thailand. Untuk
pemegang urusan kepemerintahan ditunjuk seorang perdana menteri melalui Pemilihan umum. Dengan
begitu, walaupun sistem monarki masih.dipertahankan namun tetap ada pembatasan kekuasaan seorang
4
(rechstaat) dengan pengaruh yang kuat dari Anglo-Saxon (rule of law). Secara
umum, Thailand dapat dikatakan role mode yang demokratis walaupun dipimpin
dengan sistem monarkhi. Di Thailand terdapat empat jenis peradilan, yaitu:
Mahkamah Konstitusi, Court of Justice, Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Peradilan Militer.10
Berbicara mengenai PTUN Indonesia dan Thailand, secara historis Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia benar-benar terbentuk pada tahun 1991
sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara di Thailand baru dibentuk pada tahun
2001. Meskipun secara institusional Indonesia lebih dahulu mendirikan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dibandingkan Thailand, namun, Indonesia masih harus
belajar banyak dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Thailand terutama
menangani prosedur eksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
terhadap tergugat karena Indonesia tidak memiliki Lembaga eksekutorial dalam
struktur Lembaga PTUN. Salah satu permasalahan yang sempat viral adalah:
Permasalahan yang terjadi antara PT. Solo Elpiji sebagai penggugat
melawan Bupati Purowejo dalam perkara Nomor 043/G/2014/PTUN. SMG
merupakan contoh kasus di mana tergugat tidak melaksanakan putusan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal,
ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan bisa dipidanakan dengan dalil
contempt of court11. Adapun objek sengketa dari kasus tersebut ialah sikap diam
(fiktif negatif) dari Bupati Purwerejo terhadap permohonan izin pendirian SPBE
(Stasiun Pengsisian Bahan Bakar Elpiji). Pada tanggal 17 September 2014, PTUN
raja, dalam arti kekuasaan raja tidaklah.bersifat absolut. Baca, Neil Schlager and Jayne Weisblatt,
World Encyclopedia of Political Systems and Parties, h 1379
10 https://www.nyulawglobal.org/globalex/Thailand.html diakses pada 1 April 2020 pukul
21.42 WIB
11 Contemp of Court secara sederhana dapat dipahami sebagai perbuatan tercela (Pasal 12 ayat
1 huruf (b)) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan tercela” adalah.perbuatan atau sikap,
baik di dalam maupun di luar pengadilan yang dapat merendahkan martabat hakim. Lebih.lanjut h
tersebut dapat dikategorikan kedalam tiga aspek; pertama, penghinan terhadap keadilan. Diskripsi
tersebut dikutip dari Pamo Wahjono, Contempt of Court dalam Proses Peradilan di Indonesia, (Jakarta:
Yayasan LBH.Indonesia Press, 1986), h. 328
5
Semarang memenangkan PT. Solo Elpiji. Selanjutnya, pihak tergugat mengajukan
banding atas perkara tersebut dan PTUN Surabaya memberikan putusan
menguatkan putusan pada tingkat pertama. Pembacaan putusan PTTUN Surabaya
pada tanggal 4 Februari 2015 dengan nomor perkara 09/B/2015/PT. TUN. SBY
kemudian pihak tergugat tidak mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung,
sehingga perkara nomor 043/G/2014/PTUN. SMG telah berkekuatan hukum tetap.
Akan tetapi, tergugat tidak kunjung melaksanakan putusan PTUN perkara nomor
043/G/2014/PTUN.SMG. Sampai saat ini, Perkara nomor
043/G/2014/PTUN.SMG belum juga dieksekusi oleh pihak tergugat yakni Bupati
Purworejo12.
Contoh lainnya dapat ditemukan pada kasus Pengadilan TUN Mataram
dengan Nomor 31/G/2010/PTUN-MTR, tanggal 21 September 2010 Jo. Putusan
Pengadilan TUN Surabaya No.180/B/2010/PT. TUN.SBY, tanggal 1 Maret 2011.
Penggugat adalah H. Lalu Wiratmaja, S.H., dan M. Bajuri Najamudin melawan
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok Tengah yang dalam hal ini pihaknya
adalah H. Moh. Suhaili ,FT, S.H., dam Drs. Lalu Normal Suzana sebagai tergugat
intervensi dengan objek sengketanya berupa Keputusan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Lombok Tengah Nomor. 27 Tahun 2010 tentang Penetapan Pasangan
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan Umum
Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Daerah Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 2010 atas nama H. Moh. Suhaili FT, S.H. dan Drs. Lalu Normal Suzana
yang ditetapkan pada tanggal 21 April 2010.
Problematika mendasar dalam kasus ini adalah pihak tergugat tidak
menjalankan hasil putusan PTUN Mataram yang telah berkekuatan hukum tetap
untuk mencabut putusan KPU Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010 tentang
Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Lombok Tengah Tahun 2010 atas nama H.Moh. Suhaili FT, SH dan Drs. Lalu
Normal Suzana.
12 https://lib.unnes.ac.id/30125/1/8111413032.pdf diakses pada 2 April 2020 pukul 17.01 WIB
6
Berdasarkan atas kedua kasus tersebut, dapat digambarkan bahwa
masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran hokum yang rendah. Selain itu,
citra penegakkan hokum Indonesia, terkhusus pada lembaga tata usaha negara, baik
pihak pemerintah maupun masyarakat Indonesia masih dapat dikatakan kurang
maksimal. Lebih ironi, keadaan tersebut jika dikaitkan dengan aspek hokum maka
dapat dikatakan penegakkan hokum pada PTUN tidak mencapai tujuan dan asas
hokum yang pasti (kepastian hokum).
Di sisi lain, peradilan Tata Usaha Negara Thailand dapat melakukan
eksekusi dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis13
terhadap harta kekayaan yang bersangkutan (tergugat PTUN)14. Selain itu, terdapat
Legal Excution Department yang berada dalam struktur Kementrian Kehakiman
Thailand15.
Keberadaan peradilan tata usaha negara harus dijalankan dengan sistem dan
mekanisme yang baik. Karena hal tersebut juga menjadi salah satu asas dan
komponen penting dalam menciptakan good governance16. Terlebih Presiden
13 Menurut Black’s Law Dictionary 7th.Edition, menyebutkan istilah.Mutais Mutandis is an all
necessary changes having been made; with.the necessary changes, what was said regarding the first
contract applies mutais mutandis to all the later ones” yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia memiliki arti yakni semua perubahan yang diperlukan telah.dilakukan; dengan perubahan
yang diperlukan apa yang dikatakan mengenai kontrak pertama berlaku mutais mutandis untuk semua
yang mendatang. (https://www.google.com/amp/s/dictionary.thelaw.com/mutais-mutandis/amp/)
diakses pada 2 April 2020 Pukul 18.34 WIB.
14 Mohammad Afifudin Soleh, Eksekusi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang berkekuatan Hukum Tetap, (Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945 Press, Mimbar Keadilan
Jurnal Ilmu Hukum, 2018).
15 http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf diakses pada 2 April 2020 Pukul 18.34 WIB.
16 Beberapa asas dalam good governance oleh.Koentjoro Purbopranoto diklasifikasikan
keadalam 13 asas penting, antara lain: kepastian hukum (principle of legal security), keseimbangan
(principle of proportionality), kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality), bertindak
cermat (principle of carefulness), motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation), jangan
menyampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence), permainan yang layak
(principle of fair play), keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or prohibition of
arbritrariness), menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raisedeexpectation),
meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled
decision), perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way
of life), kebijaksanaan (sapienta), asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
7
Amerika Serikat pada 24 Februari 2020 telah mendeklarasikan Indonesia sebagai
salah satu negara maju di dunia.17 Sehingga hal apapun yang berkaitan dengan
intensitas dan kualitas penyelenggaraan negara harus dilakukan dengan maksimal
dan baik.
Melihat fenomena tersebut, penulis tertarik untuk melakukan sebuah
penelitian secara komperehensif untuk melakukan komparasi terhadap sistem
peradilan tata usaha negara dari kedua negara tersebut. Untuk itu, penelitian ini
ditulis dengan judul PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA (STUDI PERBANDINGAN
ANTARA INDONESIA DAN THAILAND).
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mewujudkan good
governance adalah dengan berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara agar
tercipta kepastian hukum di Indonesia. Namun tidak dipungkiri dalam
perjalanannya, masih ditemukan beberapa permasalahan baik sistem maupun
teknis pelaksanaanya. Sebagaimana telah dituliskan dalam latar belakang
masalah tersebut diatas, maka dapat penulis uraikan beberapa identifikasi
masalah untuk diteliti lebih lanjut, sebagai berikut:
a. Sanksi berupa uang paksa (dwangsom) tidak dapat berjalan secara efektif
dan efisien karena belum ada ketentuan hukum lanjutan yang membahas
lebih rinci mengenai mekanisme pembayaran uang paksa.
b. Belum ada ketentuan hukum yang secara tegas membahas tentang subjek
yang menanggung pembebanan uang paksa tersebut.
c. Sanksi administratif tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien karena
SF. Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta Liberti,
2000), h. 58.
17 https://www.worldbank.org diakses pada 2 April 2020 Pukul 18.34 WIB.
8
tidak ada ketentuan hukum yang menetapkan jenis sanksi administratif apa
yang harus diberlakukan.
d. Belum ada ketentuan lanjutan yang mengatur tentang mekanisme
penerapan sanksi administratif.
e. Ketiadaan lembaga yang dengan tegas mempunyai wewenang untuk
mengeksekusi putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum
tetap.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
penulis membatasi masalah yang akan dibahas agar pembahasannya lebih
jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Adapun fokus
permasalahan yang akan dibahas oleh penulis ialah urgensi pembentukan
lembaga eksekutorial yang berwewenang untuk mengawasi tergugat (pejabat
tata usaha negara) dalam menjalankan putusan Peradilan TUN yang telah
berkekuatan hukum tetap dan tidak tertera dalam UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas UU N0. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
serta perbandingan sistem Peradilan TUN Indonesia dengan Thailand serta
perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan Thailand.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di
atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:
a. Bagaimana problematika pelaksanaan putusan di Peradilan TUN ?
b. Bagaimana perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan
Thaildand ?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakanya penelitian mengenai urgensi pembentukan lembaga
eksekutorial yang berwewenang untuk mengawasi tergugat (pejabat tata usaha
negara) dalam menjalankan putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan
hukum tetap dan tidak tertera dalam UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas UU N0. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta
perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan Thailand adalah
sebagai berikut:
a. Mengetahui problematika pelaksanaan putusan di Peradilan TUN.
b. Menjelaskan perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan
Thaildand.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang berjudul Lembaga
Eksekutorial Dalam Peradilan Tata Usaha Negara (Studi Komparatif Antara
Indonesia Dengan Thailand) adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian lebih
lanjut guna menambah wawasan dan pengetahuan di bidang politik, hukum,
dan pemerintahan terkhusus mengenai Peradilan Tata Usaha Negara dan
bentuk komparasinya dengan Thailand yang masih belum banyak diketahui
oleh masyarakat luas. Selain itu penelitian ini juga menjadi penguat pada
mata kuliah yang relevan dengan hukum.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara
praktis kepada semua pihak yang terkait dalam penelitian ini, diantaranya:
1) Sebagai saran kepada pemerintah Indonesia, sehingga kedepanya cita-
cita untuk mewujudkan good and clean goverment dapat terealisasi,
karena dapat menjamin hak-hak dan keadilan tidak hanya untuk
beberapa golongan namun untuk seluruh warganya.Penelitian ini juga
10
diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam
pembentukan produk hukum agar tidak ada lagi ketiadaan hukum.
Selain itu, dengan penelitian ini diharapkan mampu menyadarkan
pejabat tata usaha negara untuk mempunyai kesadaran hukum yang
tinggi.
2) Sebagai masukan kepada civitas akademika Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya program studi Hukum
Tata Negara (Siyasah) agar lebih aware terhadap permasalahan
peradilan di lingkup peradilan tata usaha negara. Selain itu, kiranya
penting bagi Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) untuk
menyediakan mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
maupun pratikum beracara Peradilan Tata Usaha Negara. Mengingat
studi Hukum Tata Negara membahas kewenangan lembaga negara,
terlebih Peradilan Tata Usaha Negara adalahh lembaga peradilan yang
tidak hanya menyelesaikan sengketa antara warga negara dan atau/
badan hukum dengan pejabat tata usaha negara namun juga Peradilan
Tata Usaha Negara merupakan salah satu pilar penting dalam rechstaat.
3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi
dalam bidang hukum dan pemerintahan yang membahas tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
4) Penelitian ini secara pribadi menjadi salah satu bentuk implementasi
dari ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti
program perkuliahan sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha melakukan
penelusuran terhadap berbagai karya ilmiah baik dalam bentuk buku, jurnal, dan
sebagainya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Adapun hasil
penelusuran yang didapatkan oleh peneliti sebagai berikut:
11
“Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang Telah
Berkekuatan Hukum Tetap (Analisis Putusan Nomor 043/G/2014/PTUN.SMG)”,
oleh Nurul Hidayah, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri
Semarang. Skripsi ini mengkaji permasalahan eksekusi terhadap putusan Peradilan
TUN Semarang No. 043/G/2014/PTUN.SMG. Hal ini terjadi karena eksekusi
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap menitikberatkan pada tingkat
kesadaran hukum pihak tergugat, belum adanya peraturan mengenai kepada siapa
denda tersebut dibebankan karena tidak melaksanaan putusan, dan perbedaan
penafsiran dalam Perda No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Purworejo. Adapun, menurut Nurul Hidayah seharusnya sebagai
pejabat negara harus ditingkatkan lagi kesadaran dan kepatuhan hukum serta
Undang-undang yang mengatur konsekuensi Peradilan TUN harus dipertegas dan
diperjelas, kemudian dalam Perda No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Purwerejo pasal yang ditulis harus jelas sehingga tidak
menimbulkan penafsiran hukum, dan lembaga pengawas internal daerah
seharusnya berjalan seiringan.
“Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
Berkekuatan Hukum Tetap ”, Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum oleh
Mohammad Afifudin Soleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya. Jurnal ini membahas mengenai bagaimana Peradilan TUN sebagai
kontrol yuridis dalam pemerintahan tidak memiliki daya paksa atau kekuatan
eksekutorial. Akibatnya, pelaksanaan putusan Peradilan TUN hanya bergantung
pada itikad baik Badan atau Pejabat Negara dalam menaati hukum. Dalam
jurnalnya tersebut, untuk menjaga wibawa Peradilan TUN dapat dipatuhi dan
dilaksanakan sebaik-baiknya, maka diperlukan revisi terhadap Pasal 116 Undang-
Undang No. 51 Tahun 2009 perlu ditambahkan ketentuan mengenai
pemberlakukan secara mutatis mutandis hukum acara perdata dalam hal
pembayaran uang paksa (dwangsom) dan penambahan pasal penghinaan terhadap
pengadilan (contempt of court) agar Badan atau Pejabat Negara patuh dan menaati
putusan Peradilan TUN.
12
“Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakan Hukum di
Indonesia”, Jurnal Hukum Peratun oleh Yulius, Mahkamah Agung Republik
Indonesia Press. Jurnal ini mengemukakan pendapat dari penulis bahwa kendala
dalam pelaksanaan putusan Peradilan TUN secara in abstracto terletak pada norma
pengaturan pelaksanaan putusan yang masih belum tegas, sedangkan secara in
concreto penyebabnya adalah ketidakpatuhan badan dan/atau pejabat pemerintahan
terhadap hukum. Untuk itu, dalam jurnalnya penulis memberikan solusi dengan
mendirikan Lembaga Eksekutif Negara yang memiliki khusus menjalankan fungsi
eksekutorial yang tidak hanya diperuntukkan bagi Peradilan TUN, tapi juga
lembaga peradilan lainnya.
“Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Era
Otonomi”, oleh Dezonda Rosiana Pattipawae, mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur. Jurnal ini menerangkan bahwa
otonomi daerah membawa implikasi terhadap pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintah daerah, termasuk mengenai kebijakan Gubernur maupun
Bupati/Walikota. Namun, di antara kebijakan tersebut ada kalanya merugikan
masyarakat. Dalam hal ini, Peradilan TUN mempunyai wewenang terhadap
kebijakan tersebut. Faktanya, pemberian otonomi daerah secara luas dan kurangnya
pemahaman oleh Kepala Daerah mengenai pelaksanaan Putusan Peradilan TUN,
mengakibatkan pada tidak ditaati dan dipenuhinya putusan Peradilan TUN tersebut.
Selain itu, masih banyak kendala yang terjadi dalam lingkup daerah, misalnya
bagaimana mekanisme pembayaran uang paksa jika Kepala Daerah tersebut
ditugaskan ke daerah lain. Selain itu, dalam jurnal ini lebih fokus membahas
Putusan Peradilan TUN dan otonomi daerah.
“Self-Respect dan Kesadaran Hukum Pejabat Tata Usaha Negara Menuju
Keadilan”, Jurnal Pandecta oleh Untoro, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Islam Jakarta. Jurnal ini membahas tentang belum optimalnya pelaksanaan putusan
Peradilan TUN yang telah in kracht dikarenakan self-respect dan kesadaran hukum
pejabat tata usaha negara yang masih rendah. Hal tersebut adalah akibat dari tiga
faktor berikut ini, yaitu: regulasi eksekusi putusan Peradilan TUN, kualitas
13
Peradilan TUN, dan kesadaran hukum pejabat tata usaha negara terhadap
pelaksanaan putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap
berpengaruh terhadap terwujudnya keadilan.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat jelas perbedaanya. Penelitian yang
ditulis oleh penulis merupakan studi perbandingan antara Peradilan TUN di
Indonesia dan di Thailand. Selain itu, tidak hanya membandingkan saja, tapi
penulis juga mencoba untuk memberikan solusi terhadap problematika yang
selama ini belum bisa diselesaikan yaitu berupa pelaksanaan putusan Peradilan
TUN. Setelah mengetahui bagaimana pelaksanaan Peradilan TUN di Thailand,
penulis berpendapat bahwa Peradilan TUN Indonesia sedikit banyak dapat belajar
dari bagaimana peraturan mengenai prosedur pelaksanaan putusan Peradilan TUN
di Indonesia.
E. METODE PENELITIAN
Untuk membantu memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka
disusun metode18 penelitan petunjuk dalam mengarahkan penulisan skripsi ini,
atau dengan kata lain sebagai cara dalam mencari data yang akan digunakan
untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam skripsi ini, antara lain sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan
pendekatan qualitatif berupa studi kasus terhadap pelaksanaan putusan
Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap.
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji
hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,
18 Metode adalah.suatu cara atau jalan sehubungan dengan usaha ilmiah, metode menyangkut
masalah.cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2015), h. 5.
14
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup materi, dan konsistensi.19 Dalam
literatur lain disebutkan bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari:
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan penelitian
perbandingan hukum.20 Sedangkan penelitian empiris atau sosiologis terdiri
atas penelitian terhadap identifikasi hukum, dan penelitian terhadap efektivitas
hukum.21
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum
tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya dengan pokok
bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris dilakukan dengan cara
mengkaji teknis pelaksanaan putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan
hukum tetap.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai
berikut22:
a. Pendekatan Undang-undang (Statue Approach)
Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua
peraturan dn regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang
ditangani.23 Adapun, dalam skripsi ini pendekatan perundang-undangan
dilakukan dengan melakukan telaah terhadap Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara dan Undang-undang Administrasi Pemerintah yang
keduanya memiliki kaitan dengan mekanisme pelaksanaan putusan
Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap.
19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: UI Presss, 1990), h. 15.
20 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 41.
21 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 12.
22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 133-177. 23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93.
15
b. Pendekatan Komparatif
Pendekatan Komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-
undang atau peraturan dari suatu negara dengan undang-undang atau
peraturan dari satu atau lebih negara dalam hal yang sama.24 Dalam skirpsi
ini, pendekatan komparatif dilakukan dengan cara membandingkan dua
variable dan objek penelitian yakni PTUN Indonesia dan Thailand secara
komprehensif untuk diambil persamaan, perbedaan, dan membuat
kesimpulan dari hasil perbandingan tersebut..
3. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Sumber Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas atau kewenangan tertentu. Bahan-
bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim.25
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan hukum primer antara lain:
Naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945,
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dan
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
Thailand’s of Constitution 2017 (Konstitusi Thailand 2017)
24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93. 25 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.
16
Act on Establishment of Administrative Court and Administrative
Court Procedure B.E 2542 (1999 M) (Undang-Undang tentang
Pembentukan Pengadilan Administratif dan Prosedur Pengadilan
Administratif tahun 2542 B.E (1999 M)
b. Sumber Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupkan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-
jurnal hukum, komentar-komentar (respon) atas putusan pengadilan.26
Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
skripsi, tesis, jurnal/artikel, buku dll sebagaimana termaktub dalam poin D
penelitian ini yakni Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu. Selain itu penulis
juga menggunakan kamus insiklopedi hukum, berita, kasus-kasus hukum
yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga penelitian yang dilakukan
memiliki kajian pustaka yang relevan dan memumpuni.
c. Bahan Non-Hukum
Bahan-bahan non hukum dalam penetian hukum dapat berupa buku-
buku mengenai ilmu pemrintahan, hukum, politik, filsafat atau laporan-
laporan penelitian non hukum di Indonesia maupun penelitian, dan laporan-
laporan mengenai negara Thailand baik dari Kedutaan Besar Republik
Indonesia yang berada di Bangkok, Thailand serta buku-buku mengenai
Thailand yang memiliki relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan
non hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas
wawasan bagi peneliti.27
26 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.
27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 204-208.
17
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa bahan non
hukum antara lain: buku-buku tentang pemerintahan di perpustakaan,
dialog interaktif dengan responden, laporan dan penelitian dari Indonesian
Embassy in Bangkok, Thailand, Buku yang ditulis oleh Andrew Harding
and Peter Layland yang berjudul Constitution System of Thailand : A
Contextual Analysis, dll.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain sebagai berikut:
a. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau pembahasan
penelitian, dalam penelitian ini studi pustaka dilakukan terhadap buku-
buku dan jurnal di perpustakaan.
b. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan salah satu metode pengumpulan data
dengan meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan
analisis dan ditujukan langsung kepada subjek penelitian.Dokumen yang
diganakan dalam penelitian ini selain naskah salinan peraturan, juga
mengamati secara langsung proses beracara di Peradilan TUN. Metode ini
dilakukan untuk memastikan data yang didapatkan benar dan valid.
5. Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok
bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis
data bertujuan untuk menginterprestasikan data yang sudah disusun secara
sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara
bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih,
18
dan efektif, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam menganalisis dan
mengolah data.
F. Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah dalam memahami penelitian ini, maka peneliti menyusun
sistematika penelitiannya sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis memaparkan latar belakang
penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, teknik pengolahan dan
metode penelitian, sistematika pembahasan.
Bab II Kerangka Teoritis dan Konsep, bab ini menjelaskan mengenai Teori
Kedaulatan Hukum, Konsep Negara Hukum, Lembaga Eksekutorial, dan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN).
Bab III Model Pelaksanaan Putusan oleh Peradilan Tata Usaha Negara
menjelaskan mengenai Sistem Hukum dan Ketatanegaraan di Thailand,
Mekanisme Pelaksanaan Putusan PTUN di Thailand, dan Mekanisme Pelaksanaan
Putusan PTUN di Indonesia .
Bab IV Analisis Perbandingan Model Pelaksanaan Putusan pada Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) , pada bab ini penulis memaparkan poin yakni
Persamaan dan Perbedaan model pelaksanaan putusan PTUN antara Indonesia dan
Thailand, Kelebihan dan Kelemahannya , serta Urgensi Lembaga Eksekutorial
PTUN di Indonesia.
Bab V penutup, pada bab ini peneliti akan membahas kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran yang diberikan oleh penulis.
19
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEP
A. TEORI KEDAULATAN HUKUM
Kedaulatan merupakan unsur penting dalam suatu negara, dan keberadaan
suatu negara tidak akan lepas dari konsep kedaulatan. Secara etimologis kata
“Kedaulatan” berasal dari beberapa bahasa asing yakni sovereignity (Bahasa
Inggris), souverainete (Bahasa Perancis), sovereignitiet (Bahasa Jerman),
souvereyn (Bahasa Belanda), dan sprenus (Bahasa Italia )1. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kedaulatan bermakna kekuasaan yang tertinggi atau hak
dipertuan (atas pemerintahan negara).2 Menurut Amiruddin, kata kedaulatan
berasal dari bahasa Arab yakni dari kata dạla yadulu atau dalam bentuk jamak
duwal yang makna berganti-ganti atau perubahan.3
Teori kedaulatan hukum menjadikan hukum sebagai sumber kedaulatan,
karena itu baik raja, penguasa, rakyat, bahkan negara itu sendiri harus tunduk
kepada hukum. Segala tingkah laku dan perbuatan tidak akan lepas dari hukum.4
Teori Kedaulatan Hukum mendalilkan bahwa hukum lahir dari kesadaran individu.
Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang adil dan mana yang tidak
adil.
Definisi lain yang dijelaskan dalam buku“Lectures on Jurisprudence”,
Austin memiliki pandangan yang berbeda mengenai kedudukan penguasa dalam
kedaulatan hukum. Austin menjelaskan selalu terdapat seorang atau beberapa orang
yang berdaulat, yakni mereka yang ditaati oleh bagian terbesar dari rakyat negara
itu dan yang tidak mentaati sesamanya. Bagi Austin juga yang berdaulat adalah
1 Jauhari, Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Islam, (Semarang: Universitas Islam Sultas
Agung Semarang Press, 20015), h. 210.
2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005) h.
269 -270.
3M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam menurut Fazlu Rahman, (Yogyakarta:Universitas
Islam Indonesia Press, 2001), h. 101.
4 H. Salim, HS, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada, Cetakan
Kedua, Jakarta, h. 135.
20
“pembentuk hukum yang tertinggi (supreme legislator) dan hukum positif adalah
hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu.5
Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena
perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini dapat diasumsikan
sebagai hal negatif apabila hukum positif yang dihasilkan tidak mencerminkan
keadilan, karena lebih mengedepankan aspek formilnya. Pemikiran yang
dicetuskan oleh John Austin ini merupakan Teori Etatis, yang menyatakan hukum
adalah hakekat perintah (command) yang berasal dari negara/badan yang
berdaulat.6
Berbeda halnya dengan Hugo Krabbe yang mendalilkan bahwa hukum
bukanlah ketentuan-ketentuan yang dibuat penguasa. Penguasa hanya memberikan
perumusan formil saja kepada hukum yang telah ada pada kesadaran hukum orang,
Sebaliknya, kekuasaan penguasa pun berasal dari hukum dan harus sesuai dengan
kesadaran hukum orang. Kelemahan dari Teori Kedaulatan Hukum ini adalah
bahwa anggapan tentang hukum, yaitu anggapan tentang apa yang adil dan apa
yang tidak adil, tidaklah mutlak sama pada semua orang sehingga hukum tidak
sama dan secara mutlak pada setiap tempat dan setiap waktu.7
Namun, teori Krabbe tidak dapat diterima, karena kaidah yang berasal dari
perasaan hukum seseorang hanya berlaku baginya saja. Jadi apabila tiap orang
mempunyai anggapan sendiri tentang hukum, maka hukum yang berdasarkan
anggapan sendiri itu jumlah dan macamnya tidak terkira banyaknya.
Sedangkan tata tertib masyarakat menghendaki adanya hukum yang sama
bagi semua orang; jika tidak demikian, maka masyarakat menjadi kacau (anarki).
Setelah mengetahui kekurangan ini, maka Krabbe mengubah teori tersebut dan
membuat batasan yang baru yang berbunyi: “Hukum berasal dari perasaan hukum
h. 16.
167.
5 F. Isjrawa, Pengantar Ilmu Politik (Cetakan ke-7), (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 107-110.
6 O Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Salatiga: Penerbit Griya Media, 2011),
7 Muchtar Affandi, Himpunan Kuliah Ilmu Kenegaraan, (Bandung: Alumni Press, 1971), h.
21
yang ada pada bagian besar dari anggota suatu masyarakat.” (Menurut Krabbe,
maka negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat)). Tiap tindakan negara harus
dapat dipertanggung jawabkan pada hukum.
Adapun, Georg Jellinek seorang filsuf dan ahli tata negara dari Jerman
berpendapat lain. Teori Selbstbindung yang dicetuskannya menyatakan bahwa
negara secara sukarela mengikatkan diri atau mengharuskan dirinya tunduk kepada
hukum sebagai penjelmaan dari kehendak sendiri.8 Teori Jellinek ini merupakan
bentuk kritik terhadap teori Krabbe, bahwa bukanlah negara yang memiliki
kedaulatan melainkan kesadaran hukum yang memiliki kedaulatan.
Inti teori kedaulatan hukum yang mengajarkan tunduknya negara kepada
hukum, membawa konsekuensi bahwa setiap kekuasaan yang ada dalam negara
harus tunduk tehadap hukum. jadi hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam
negara, oleh karena itu berpegang pada inti teori kedaulatan hukum, maka
kekuasaan kehakiman pun harus tunduk pada hukum. konsekuensi semua
kekuasaan yang berada di bawah tetanan negara hukum juga harus tunduk pada
hukum.
B. KONSEP NEGARA HUKUM
Konsep negara hukum menjadi cita-cita kenegaraan pada zaman modern.
Jadi perbedaan antara kedaulatan negara dengan kedaulatan hukum adalah:
penganut teori kedaulatan negara, mengatakan bahwa negara menciptakan hukum,
sedangkan penganut teori kedaulatan hukum, justru sebaliknya, hukumlah yang
menciptakan negara. Negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan
hukum dinamakan negara hukum atau nomokrasi (nomoi = hukum; kratein =
menguasai, memerintah).9
8 Dossy Iskandar & Bernard L. Tanya, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”, (Surabaya:
Srikandi, 2005), h.127.
9 Azis Setyagama, Pembaruan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di
Indonesia, (Surabaya: CV. Jakad Media Publishing, 2017), h. 54-55
22
Dasar-dasar (asas-asas) negara hukum itu sendiri adalah: asas legaliteit,
asas perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia atas semua orang yang ada
di wilayah negara, dalam hal kebebasan dan hak ini sesuai dengan kesejahteraan
umum. Yang dimaksud dengan asas legaliteit adalah bahwa semua tindakan alat-
alat negara (staatsorganen) harus didasarkan atas dan dibatasi oleh peraturan
perundang- undangan.10
Yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara ialah Undang-Undang
Dasar yang terdiri atas peraturan- peraturan hukum dan asas-asas hukum. Negara
hukum modern (moderne rechsstaat) sendiri bertugas melindungi kebebasan dan
hak pokok tiap orang yang berada di wilayahnya. Perlindungan tersebut tidak hanya
bersifat pasif tetapi juga harus bersifat aktif dalam rangka menyelenggarakan
kesejahteraan bagi rakyat.11
Seiring dengan berkembangnya zaman, berkembang pula konsep negara
hukum di zaman modern. Adapun tokoh yang mengembangkannya di Eropa
Kontinental ialah Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain
dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.12
Para pemikir Hukum Eropa Kontinental menyatakan lahirnya konsep
Negara Hukum rechstaat adalah absolutisme raja pada saat itu. Sedangkan,
gagasan terpenting dari negara hukum rechstaat terletak pada kehendak untuk
membatasi kekuasaan raja-raja yang memerintah secara absolut tanpa ada kekuatan
yang dapat menjadi kontrol, sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa pada
saat itu. Immanuel Kant, dalam karyanya yang berjudul “Mathaphysiche
Ansfangsgrunde der Rechtslehre” berpendapat bahwa negara harus bertindak pasif
dan harus tunduk pada peraturan-peraturan negara.13
10 Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, Penerbit Armico:1986, h. 148
11 Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, Penerbit Armico:1986, h. 148
12 Siti Merida Hutagalung, Penegakkan Hukum di Indonesia: Apakah Indonesia Negara
Hukum?, (Jakarta: Universitas Kristen Indonesia Press, 2011) h. 110.
13 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sisten Hukum Negara Indonesia,
(Semarang: Universitas Diponegoro Press, 2014), h. 365-366.
23
Pada abad ke-19, Julius Stahl merumuskan konsep Negara Hukum
rechstaat mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha Negara.14
Sedangkan A.V. Dicey sebagai pelopor Negara Hukum rule of law dalam
tradisi Anglo-Saxon menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara
Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.15
Walaupun terdapat perbedaan di anatar dua konsep Negara Hukum
tersebut, namun keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius
Stahl dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan
oleh A.V. Dicey untuk dijadikan ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman
sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, menambahkan
prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of
judiciary) yang di zaman sekarang diperlukan dalam setiap negara demokrasi.
Prinsip-prinsip Negara Hukum menurut “The International Commission of
Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.16
14 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, (Gunungsitoli: Pengadilan Negeri
Gunungsitoli Press, 2017), h. 2.
15 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 3.
16 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 3.
24
Konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan mayoritas ahli hukum masih
sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian dari konsep Negara Hukum itu
sendiri yang dikembangkan pada abad ke-19 sampai dengan abad ke-20. Sebagai
contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara Hukum Rechtsstaat, para
ahli selalu saja mengemukakan empat unsur ‘rechtsstaat’, di mana unsur yang
keempat adalah adanya ‘administratieve rechtspraak’ atau Peradilan TUN sebagai
ciri pokok dari rechstaat.17
Seperti yang telah dijabarkan di atas, konsep negara hukum rechstaat
menempatkan Peradilan TUN sebagai salah satu elemen penting dalam negara
hukum. Keberadaan Peradilan TUN diharapkan mampu untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, dengan begitu pengayoman
kepada masyarakat dapan berjalan dengan baik, khususnya dalam hubungan antara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. Selain untuk
memberikan pengayoman atau perlindungan hukum bagi masyarakat, ditegaskan
pula bahwa keberadaan Peradilan TUN adalah untuk membina, menyempurnakan,
dan menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara, agar mampu menjadi alat
yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan
tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap
pengabdian untuk masyarakat.18
Dalam setiap Negara Hukum, setiap warga memiliki hak dan kesempatan
untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya
putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi
negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah
yang memiliki kewenangan dan berkompeten agar warga negara tidak didzalimi
oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang
berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan
tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan
17 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h.4.
18 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sisten Hukum Negara Indonesia,
(Semarang: Universitas Diponegoro Press, 2014), h. 364.
25
hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha
Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha
negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip
‘independent and impartial judiciary’.19
C. LEMBAGA EKSEKUTORIAL
Di Indonesia, eksekusi riil dalam lingkungan Peradilan Umum dilakukan
oleh Kepaniteraan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan untuk perkara perdata
(Pasal 195 s.d. Pasal 208 HIR dan Pasal 1033 Rv). Dalam putusan perkara pidana,
Pasal 270 KUHAP menyebutkan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,yang untuk itu panitera
mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Pada lingkup peradilan Militer
wewenang diberikan kepada Oditur Militer untuk mengeksekusi putusan Hakim
Militer. Sedangkan, di Peradilan Agama, menurut ketentuan pasal 95, 98 dan 103
UU No. 7 Tahun 1989 juga sudah dapat melaksanakan secara paksa (Eksekusi) atas
penetapan dan putusannya termasuk melaksanakan segala macam bentuk sita
(beslag).20
Mengenai eksekusi riil dalam Peradilan TUN sebenarnya belum ditentukan
secara tegas dan jelas dalam undang-undang terkait. Juru sita di PTUN hanya
memiliki fungsi sebatas administratif, yakni dalam hal surat menyurat dan tidak
mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk memaksa pejabat TUN
(tergugat) agar eksekusi upaya paksa dapat dilaksanakan. Berlaku demikian juga
terhadap Ketua Peradilan TUN yang memiliki fungsi sebatas mengawasi dalam arti
pasif dan tidak dapat menjatuhkan hukuman (sanksi) apapun seandainya badan
h. 364.
19 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sisten Hukum Negara Indonesia,
20 Pridly Nataniel Boneka, Tinjauan Hukum Putusan PTUN dalam Rangka Eksekusi Putusan
yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, (Manado: Universitas Sam Ratulangi Press, 2014), h.
145.
26
dan/atau pejabat pemerintahan tetap tidak melaksanakan isi putusan Peradilan
TUN.21
Berkaca dari negara lain, seperti di Thailand pelaksanaan putusan Peradilan
Perdata dan Peradilan TUN dilaksanakan oleh lembaga yang terpisah dari Peradilan
dan berada di bawah Kementrian.22 Sedangkan, di Belanda lembaga yang
bertanggungjawab atas eksekusi putusan pengadilan dilaksanakan oleh Koninklijke
Beroeporganisatie van Gerechtsdeurwaarders23.
Konsep dasarnya pembentukan lembaga eksekusi ini bertujuan untuk
menciptakan aktualisasi penegakan hukum.24 Lembaga Eksekusi yang
mekanismenya dianggap sebagai “taat asas” dan menghormati hak-hak warga
negara. Demikian juga keberadaan Lembaga Eksekusi lebih tepat sebagai
pelaksana urusan pemerintahan badan dan/atau pejabat pemerintahan terhadap
tergugat yang tidak mau melaksanakan putusan badan peradilan TUN, karena
penerbitan dan pencabutan objek sengketa administrasi pemerintahan yang digugat
di PTUN termasuk dalam lingkup urusan eksekutif.25
Jenis Lembaga Eksekutif Negara ini sebaiknya berkedudukan sejajar
dengan Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu Presiden, Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Fungsi
utama dari lembaga ini nantinya khusus menangani pelaksanaan eksekusi
pengadilan.26 Selanjutnya, agar pengaturan dan pelaksanaan eksekusi yang
21 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Mahkamah Agung RI Press, 2018), h. 31.
22 http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf diakses pada 13 Juni 2020. Pukul 11.52 WIB.
23https://katadata.co.id/analisisdata/2019/10/01/menuju-pelaksanaan-eksekusi-putusan-
perdata-yang-efektif melalui penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Indepedensi
Peradilan (LeIP) diakses pada 13 Juni 2020. Pukul 11.59 WIB.
24 Makmur, Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan, PT. Refika Aditama, Bandung,
2011, hlm. 151.
25 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 27.
26 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 27.
27
dilaksanakan oleh Lembaga Eksekusi Negara dapat berjalan secara efisien dan
komprehensif, lembaga ini juga diperuntukkan bagi semua lingkup peradilan di
Indonesia.27
D. PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu lembaga peradilan di
bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sedangkan, sengketa Tata Usaha Negara
adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.28
Adapun yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah adan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam memutus sengketa Tata
Usaha Negara, Peradilan TUN akan menetapkan suatu ketetapan tertulis yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.29
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan atau
wewenang dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang dapat digugat oleh
masyarakat hanyalah berupa keputusan (beschikking) dari badan atau pejabat
tata usaha Negara. Selain mengeluarkan keputusan (beschikking), wewenang
27 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 31.
28 Lihat Pasal 1 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
29 Lihat Pasal 1 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara
28
pemerintah termasuk juga mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan
perbuatan materiil (materiil daad).30
Keberadaan Peradilan TUN dikatakan penting karena bertujuan untuk:
1. Sarana kontrol yuridis yang mempunyai peran untuk mengawasi pelaksanaan
wewenang pejabat TUN (dalam hal ini pemerintah berada dalam posisi
eksekutif) dengan tujuan agar para pejabat TUN tidak melakukan perbuatan
yang dapat merugikan warga negara.
2. Menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dan warga negaranya.
Sengketa yang diakibatkan dari tindakan-tindakan pemerintah yang dinilai
melanggar hak-hak warga negaranya.
3. Merupakan salah satu sarana untuk menciptakan good governance di Indonesia.
Peradilan TUN diharapkan mampun mewujudkan pemerintahan yang bersih,
berwibawa, efektif, dan efesien dalam melaksanakan tugasnya yang
berdasarkan pada hukum.31
Perihal nama yang digunakan di Indonesia, terdapat 2 (dua) macam nama
yakni citeertitel yang dianggap bermakna sama yang mengacu kepada pengertian
Peradilan TUN. Berdasarkan Pasal 144 UU Nomor 5 Tahun 1986, maka selain
dapat disebut dengan “Peradilan Tata Usaha Negara,” dapat pula digunakan
sebutan “Peradilan Administrasi Negara.”32
Penggunaan 2 (dua) nama tersebut muncul karena perbedaan pendapat
pada saat pembahasan pembentukan UU Nomor 5 Tahun 1986. Saran dari pihak
pemerintah ialah menggunakan nama “Peradilan Tata Usaha Negara”. Sedangkan
saran dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan para akademisi seperti dari Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara,
Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin,
menggunakan nama “Peradilan Administrasi Negara”.
30 Lihat Pasal 2 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara
31 Endra Wijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h. 3.
32 Endra Wijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,h. 11.
29
Berdasarkan berbagai pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki kedudukan yang sangat vital
dalam suatu negara. Tolak ukur penilaian Judicial Control pada Common Law
sistem terikat pada kaedah-kaedah karena tidak terkodifikasi, disamping itu di-
kenaI prinsip natural justice, dan asas-asas tidak tertulis, sedangkan pada sistem
Civil-Law yang sudah mengenal kodifikasi, juga terdapat prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik, general principle of good administration33.
33 Anna Erliyana, Hukum dan Pembangunan, (Depok: Universitas Indonesia Press, 2017), h.
110.
30
BAB III
MODEL PELAKSANAAN PUTUSAN OLEH PERADILAN TATA USAHA
NEGARA
A. SISTEM HUKUM DAN KETATANEGARAAN DI THAILAND
Secara geografis1, Thailand merupakan negara yang mempunyai letak
strategis, yakni berada di tengah semenanjung Indochina di Asia Tenggara.
Wilayah bagian utara Thailand berbatasan dengan Myanmar dan Laos, sebelah
timur berbatasan langsung dengan Laos dan Kamboja, di bagian selatan adalah
Teluk Thailand dan Malaysia, sedangkan di bagian barat oleh laut Andaman dan
ujung Selatan Myanmar. Luas keseluruhan negara Thailand yaitu 513,120 km2
terdiri dari daratan seluas 510,890 km2 dan perairan seluas 2,230 km2. Ibukota
Thailand adalah Bangkok yang juga diperuntukkan sebagai pusat politik,
perdagangan, industry, dan budaya. Thailand terbagi menjadi 77 provinsi.2
Populasi penduduk Thailand pada Mei 2020 sebanyak 69,773,717 jiwa dan
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Komposisi dari populasi tersebut
didominasi oleh orang Thailand sebanyak 80%, 10% orang Cina, 3% orang
Melayu dan sisanya adalah minoritas termasuk Suku Mons, Suku Khmer, dan
suku lainnya. Populasi tertinggi menenpati kota Bangkok sebagai ibukota dari
Thailand yaitu sebanyak 5,104,476 jiwa.3
Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk di Thailand adalah Budha
yang menganut tradisi Theravada4 sebanyak 89% dari total penduduk Thailand,
1 Sebagai data dan referensi lebih lanjut, peta Negara Thailand telah penulis lampirkan pada
bagian akhir skripsi ini.
2 Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Thailand, Market Brief Perdagangan Perbatasan
Thailand, (Bangkok: Office of Commercial Attache, Embassy of the Republic of Indonesia for Kingdom
Thailand, 2013), h. 3.
3 https://www.worldometers.info/demographics/thailand-demographics/ berdasarkan data
yang dieloberasi dengan Divisi Kependudukan, Departemen Ekonomi dan Sosial, United Nations
diakses pada 6 Mei 2020 Pukul 14.23 WIB.
4 Tradisi (aliran Theravada) secara harfiah merupakan ajaransesepuh atau pengajaran terdahulu
yang merupakan mazhab tertua dari agama Buddha yang ditemukan di India. Theravada merupakan
ajaran yang konservatif dan mayoritas dipeluk oleh Sri Lanka dan beberapa di negara Asia Tenggara
seperti Laos, Kamboja, dan Thailand. Secara umum prinsip dasar Theravada adalah: 1. Dukkha; Duka
31
diikuti dengan Muslim sebanyak 10% dari populasi, Kristen (terutama katolik)
sebanyak 0,7% dari populasi. Kemudian terdapat juga komunitas kecil Sikh,
Hindu, dan Yahudi. Adapun raja Thailand adalah seorang Buddha, meskipun
begitu kehidupan bertoleransi diterapkan di Thailand dan kebebasan beragama
dijamin oleh konstitusi.5
Warisan kebudayaan Thailand dipengaruhi oleh peninggalan adat
kebiasaan Kerajaan Siam, Kerajaan Ayyuthaya, dan berbagai cerita rakyat
Thailand. Juga dipengaruhi oleh ajaran Agama Budha Theravada, tradisi India,
Cina, Khmer, dan bagian Asia Tenggara lainnya. Budaya merupakan elemen
penting dari tatanan sosial Kerajaan dan perekonomiannya yang dinamis.
Sehingga memungkinkan semua warga negara untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
budaya mereka, bertoleransi dan untuk terus beradaptasi dengan perubahan.
Thailand memiliki sistem pendidikan yang membebaskan anak-anak di
Thailand untuk berpendidikan, terlepas dari latar belakang dan kewarganegaraan
mereka.6 Selain itu seiring dengan keberadaan umat Islam di Thailand, maka
muncul dan berkembang pula pendidikan Islam di daerah yang bermayoriatas
muslim, terutama di empat provinsi yakni Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun.
Empat provinsi tersebut menjadi provinsi yang menyediakan lembaga
pendidikan Islam seperti pesantren yang dipimpin oleh seorang Tu’guru (Kyai)
dan dibantu dengan beberapa orang ustadz. Kegiatan belajar mengajar dilakukan
secara tradisional dengan mata pelajaran , seperti al-Qur’an, tafsir, asas-asas ilmu
hukum (ushul-al- figh), fiqih, tata bahasa, tauhid, dan sebainya, sumber
atau Penderitaan, 2. Duhka Samudya; Sebab penderitaan, 3. Dukkha Nirodha; berakhirnya penderitaan,
4. Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara menghentikan penderitaan, yang dirangkum ke dalam tiga
ajaran utama, yakni kebijaksanaan, kemoralan, dan konsentrasi melalui meditasi. (Sumber:
www.ignca.nic.in)
5 http://www.thailandtoday.in.th/culture-and-society/overview diakses pada 6 Mei 2020, Pukul
14.46 WIB.
6 https://www.unicef.org/thailand/what-we-do/education diakses pada 6 Mei 2020. Pukul 15.04
WIB.
32
referensinya kebanyak diambil dari kitab-kitab khazanah pemikiran klasik.7
Sektor ekonomi Thailand bergantung pada ekspor produk industri yang
menyumbang 2/3 dari total pendapatan nasional. Dengan infrastruktur yang
memadai, kebijakan yang pro investasi, dan ekonomi terbuka; Thailand menjadi
negara kuat dalam ekspor produk-produk industri dan pertanian. Produk-produk
utama yakni elektronik, komoditas pertanian, otomotif, dan makanan olahan.8
Thailand merupakan negara kesatuan dengan sistem monarki konstitusional
dan demokrasi parlementer. Walaupun bentuk pemerintahannya monarki,
Thailand menerapkan trias politika yang terbagi menjadi kekuasaan eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Secara structural, organisasi kepemerintahan di Thailand
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Lembaga Eksekutif
Dalam sistem kepemerintahan di Thailand, Lembaga eksekutif memiliki
dua kluster yakni raja dan perdana menteri. Raja merupakan kepala negara,
dalam hal ini raja menjalankan beberapa kekuasaan antara lain: kekuasaan
legislatif mealui parlemen, kekuasaan eksekutif melalui kabinet, dan
kekuasaan yudikatif melalui peradilan. Pada ketentuan yang termaktub dalam
1924 Law of Palace on Succession menyebutkan bahwa penggantian kepala
negara (dalam hal ini raja) harus seorang laki-laki. Namun, raja memiliki hak
untuk merubah aturan tersebut. Selain seorang Budist, figur raja Thailand juga
merupakan penegak hak dan keadilan bagi berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat di Thailand, baik urusan keagamaan maupun persoalan sosial
dan tradisi budaya masyarakat Thailand.9
Kluster kedua yang memiliki kedudukan sebagai lembaga eksekutif
7 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 145.
8 Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Thailand, Market Brief Potensi Produk Jasa di
Pasar Thailand, (Bangkok: Office of Commercial Attache, Embassy of the Republic of Indonesia for
Kingdom Thailand, 2015), h. 15.
9 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, (New York: Facts on Filem Inc.,
2007), h. 915.
33
adalah perdana menteri yang berkedudukan sebagai pusat dan bertanggung
jawab penuh atas sebagian besar yang berkaitan dengan perumusan kebijakan
nasional selain itu, perdana menteri juga bertugas sebagai ketua dari Kabinet
Thailand. Beberapa subdivisi yang membantu kerja dari kantor perdana
menteri antara lain: biro anggaran, dewan keamanan nasional, dewan yuridis,
dewan ekonomi-sosial, badan penanaman modal, komisi pelayanan sipil, dan
beberapa bagian lainnya yang terkait dengan perumusan kebijakan nasional.10
Terdapat dua puluh kementrian di Thailand, yaitu: Kementrian Pertanian
dan Koperasi, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kebudayaan,
Kementrian Pertahanan, Kementrian Pendidikan, Kementrian Energi,
Kementrian Keuangan, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Industri,
Kementrian Riset, Teknonogi, dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Dalam
Negeri, Kementrian Kehakiman, Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian
Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Kementrian Kesehatan, Kementrian
Ekonomi Digital dan Masyarakat, Kementrian Sosial dan Kemanusiaan,
Kementrian Olahraga dan Pariwisata, dan Kementrian Transportasi.11
Selain itu, dalam jajaran kementerian terdapat Dewan Negara atau
Dewan Penasihat (Khana Ongkhamontri Thai). Dewan ini dipimpin oleh
Presiden Dewan Penasihat Thailand, yang saat ini ditempati oleh mantan
Perdana Menteri Surayud Chulanont sejak 27 Mei 2019. Terdiri dari 18 orang
yang ditunjuk dan diberhentikkan oleh raja. Namun, jika ingin mengangkat
dan memberhentikan Presiden Dewan Penasihat, harus diketahui dan
ditandatangani oleh Presiden Majelis Nasional. Adapun Dewan Penasihat
10 Funsten, John. Government and politics in South East Asia. Singapore : Institute of Asia
Studies, Singapore, 2001. h. 344
11 Funsten, John. Government and politics in South East Asia. Singapore : Institute of Asia
Studies, Singapore, 2001. h. 345
34
memiliki banyak peran dan kekuasaan seputar kepala negara dan kerajaan.12
2. Lembaga Legislatif
Parlemen Thailand (Rathasapha) adalah bicameral yang terdiri dari
Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua dari DPR Thailand merupakan
presiden majelis nasional, sedangkan ketua senat adalah wakil presiden dari
majelis nasional. Fungsi utama Majelis Nasional adalah; menyebarluaskan
peraturan, mengawasi keadministrasian urusan negara, dan menerima atau
menolak program administrasi.13
Dewan Perwakilan Rakyat Thailand (Sapha Phuthaen Ratsadon)
adalah majelis rendah Parlemen Thailand, yang juga cabang legislatif
pemerintah Thailand dengan masa jabatan selama empat tahun. Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki 500 anggota, 350 anggota dipilih langsung
berdasarkan konstituensi, sementara 150 lainnya ditunjuk melalui representasi
partai politik.14
Peran dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Thailand telah dicatat
melalui konstitusi tahun 2007. Dewan Perwakilan Rakyat Thailand didirikan
setelah revolusi 1932, yaitu ketika Partai Rakyat pada waktu itu
menggulingkan monarki absolut dan menggantikannya dengan monarki
konstitusional. Ketika itu Dewan Perwakilan Rakyat sebenarnya telah
dibentuk oleh Raja Prajadhipok yang waktu itu menandatangani konstitusi
sementara pada tahun 1932, namun fungsi dari House of Representative
sendiri belum sepenuhnya dijalankan, hingga pada tanggal 28 Juni 1932
diadakan sesi pertama dari Majelis Rakyat di Ananda Samakhom Throne
12 Diakses melalui situs resmi pemerintah Thailand di
https://web.archive.org/web/20090209084722/http://kanchanapisek.or.th/ohmpc/pc-house.en.php pada
8 Mei 2020. Pukul 00.40 WIB.
13 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, h. 915
14 Thailand Constitution 2017, yang diterjemahkan oleh Foreign Law Division, Office of
the Council of State. Diakses melalui http://constitutionnet.org/sites/default/files/2017-
05/CONSTITUTION+OF+THE+KINGDOM+OF+THAILAND+(B.E.+2560+(2017)).pdf pada 8 Mei 2020. Pukul 01.27 WIB.
35
Hall.15
Fungsi utamanya menginisiasi dan memberi persetujuan RUU,
merancang anggaran, memilih Perdana Menteri dari antara anggota parlemen,
memberhentikan menteri, memonitor administrasi negara, serta
bersama Senat memutuskan masalah-masalah substansial negara seperti
masalah konstitusi, prosedur pemerintahan yang penting, deklarasi perang dan
damai, serta meratifikasi perjanjian internasional. Uniknya, untuk
menginisiasi mosi tidak percaya kepada perdana menteri, cukup dilakukan
lewat 1/5 dukungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.16
Di sisi lain, Senat (Wuthisapha) terdiri atas 200 anggota untuk masa
jabatan sealam 5 tahun.17 Fungsi utama Senat adalah melegalisasi RUU yang
sudah diproses oleh Dewan Perwakilan Rakyat, memonitor administrasi
negara, menominasikan pejabat-pejabat yudikatif, memecat politisi negara
yang korup. Setiap anggota Senat punya hak bertanya kepada setiap menteri
atas tanggungjawabnya. Jika Dewan Perwakilan Rakyat bubar, maka kuasa
membuat UU ada di tangan Senat. Namun, Senat tidak dapat dibubarkan.18
3. Lembaga Yudikatif
Sebagaimana lembaga yudikatif pada seluruh negara di dunia, lembaga
ini memiliki fungsi untuk penanganan peradilan dan penegakkan keadilan
negara. Namun dalam hal ini beberapa struktural dan fungsi mungkin akan
memiliki perbedaan yang mendasar dan menarik untuk dibahas. Sistem
peradilan di Thailand, secara umum dapat penulis gambarkan dalam tabel
sebagai berikut:
15 Diakses melalui https://www.parliament.go.th/english/pada 8 Mei 2020. Pukul 01.33 WIB.
16 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, h.916.
17 Thailand Constitution 2017, diakses melalui
https://www.constituteproject.org/constitution/Thailand pada 8 Mei 2020. Pukul 01.27 WIB.
18 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, h.915-916.
36
a. Pengadilan Umum
Peradilan umum diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan :
1) Peradilan Tingkat Pertama
Pengadilan Tingkat Pertama dikategorikan sebagai Pengadilan
Umum, Pengadilan Anak, Pengadilan Keluarga, dan Pengadilan
Khusus.19 Pengadilan Umum adalah pengadilan biasa yang menangani
kasus perdata dan pidana, yaitu: Pengadilan Sipil, Pengadilan Kriminal,
Pengadilan Provnsi, dan Pengadilan Kota (Pengadilan Kwaeng).20
Di dalam yuridiksi pengadilan umum, kecuali Pengadilan
Kwaneng, setidaknya hakim terdiri dari dua orang.21 Adapun Pengadilan
Perdata memiliki keleluasaan untuk mengadili kasus-kasus perdata yang
19 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
20 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
21 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
37
terjadi di luar yuridiksi teritorial atau memindahkan kasus tersebut ke
pengadilan yang memiliki yuridiksi teritorial.22 Sedangkan dalam
Pengadilan Pidana, kasus pidana dapat diadili di mana
pelanggaran/kejahatan tersebut dilakukan, diduga atau diyakini telah
dilakukan, di tempat terdakwa tinggal atau di tempat di mana terdakwa
ditangkap, maupun tempat di mana penyelidikan terjadi.23
2) Pengadilan Kwaeng
Pengadilan ini berfungsi untuk menyelesaikan kasus-kasus kecil
dengan cepat dan biaya minimum. Yurisdiksi pengadilan ini mencakup
kasus pidana dan perdata. Kasus-kasus pidana yang jatuh dalam
yurisdiksi harus berurusan dengan pelanggaran pidana yang dapat
dihukum maksimal tiga tahun penjara, atau denda tidak melebihi 60.000
baht atau keduanya. Untuk kasus perdata, jumlah klaim tidak boleh
melebihi 300.000 baht.24
3) Pengadilan Anak dan Keluarga
Pengadilan ini terdiri dari Pengadilan Pusat Anak dan Keluarga,
Pengadilan Provinsi Anak dan Keluarga, dan Pengadilan Provinsi, Divisi
Anak dan Keluarga. Terdiri dari dua hakim karir dan dua hakim awam
(lay judge), yang satu di antaranya harus perempuan.25
4) Pengadilan Khusus
Terdapat empat Pengadilan Khusus di Thailand, yaitu: Pengadilan
Pajak, Pengadilan Kekayaan Intelektual dan Pengadilan Perdagangan
22 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
23 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
24 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
25 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
38
Internasional, dan Pengadilan Kepailitan, dan Pengadilan Pekerja.
Pendirian Pengadilan Khusus bertujuan agar masalah yang spesifik dan
teknis diselesaikan oleh adjudikator yang tepat. Hakim yang berada di
Pengadilan Khusus ditunjuk oleh seorang hakim yang memiliki
pengetahuan yang kompeten mengenai hal-hal itu..26
b. Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi terdiri dari Pengadilan Tinggi dan sembilan
Pengadilan Tinngi Regional. Pengadilan Tinggi menangani banding
putusan atau perintah dari Pengadilan Perdata dan Pengadilan Pidana,
sedangkan Pengadilang Tingkat Banding Regional menangani putusan dari
Pengadilan Tingkat Pertama yang berada di wilayahnya. Pengadilan Tinggi
memiliki kekuasaan untuk mengadili kasus-kasus yang relevan dengan
pemilu dan pencabutan hak-hak pemilu dalam pemilihan dewan lokal dan
administrator lokal. Pengadilan Tinggi dikepalai oleh Presiden Pengadilan
dan dibantu oleh Wakil Presiden Pengadilan.27
c. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung adalah pengadilan banding yang putusannya final
terhadap kasus perdata dan pidana di Thailand. Terdiri dari Presiden, enam
wakil presiden, sekretaris, dan sejumlah hakim. Presiden Mahkamah Agung
adalah Ketua Pengadilan Umum. Sama seperti Pengadilan Tinggi,
Mahkamah Agung memiliki divisi riset. Setidaknya tiga hakim agung dari
Mahkamah Agung dapat membentuk kuorum. Mahkamah Agung dapat
melakukan sidang paripurna yang jumlahnya tidak kurang dari setengah
hakim di Mahkamah Agung untuk kasus yang sangat penting dan kasus-
26 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
27 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
39
kasus yang mempunyai alasan untuk dipertimbangkan kembali atau
mengesampingkan presedennya.28
Divisi Kriminal diperuntukan dalam Mahkamah Agung yang
bertindak sebagai Pengadilan Tingkat Pertama untuk seseorang yang
memangku jabatan politik, yaitu Perdana Menteri, Parlemen, anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Senat, atau pejabat politik lainnya yang dituduh
melakukan kejahatan laur biasa, penyimpangan dalam jabatan menurut
KUHP, melakukan tugas secara tidak jujur, atau korupsi. Pada Pengadilan
Tingkat Pertama ini, senat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat
menggunakan hak imunitas yang diberikan konstitusi. Divisi Kriminal yang
terdapat di Mahkamah Agung ini harus berdasarkan dari catatan Komisi
Antikorupsi Nasional dan mendapatkan fakta dan bukti tambahan, jika
memang diperlukan. Putusan menjadi final, kecuali jika terdapat bukti
baru.29
d. Pengadilan Administrasi
Selain pengadilan yang telah disebutkan di atas, terdapat juga
Pengadilan Administrasi yang terpisah. Berdasarkan Pasal 9 Undang-
undang Peradilan Administrasi Thailand Tahun 1999 {Act on Establishment
ofAdministrative Court and Administrative Court Procedure B.E.2542
(1999), kompetensi Peradilan TUN adalah memeriksa dan mengadili serta
memerintahkan atau menetapkan (order) yang berkaitan dengan hal-hal
sebagai berikut:
1) sengeketa yang berkaitan dengan tindakan yang melanggar aturan
(unlawfull act) yang dilakukan oleh Pejabat administrasi
28 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
29 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand
https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.
40
(administrative agency) atau pegawai pemerintah yang mendapat tugas
pemerintahan (State official), berupa:
a) Penerbitan suatu keputusan/kebijakan (issuance of a rule) atau
perintah (order) atau berkenaan dengan tindakan lainnya tanpa
kewenangan atau melampaui batas kewenangan (Without or beyond
the scope of power and duties),
b) Tidak konsisten terhadap hukum (inconsistence with the law) atau
bentuk {the form) atau proses (process) yang dipersyaratkan untuk
itu,
c) Tidak dipercaya (bad faith ),
d) Ada indikasi diskriminatif (indicating unfair discrimination),
e) Melakukan ketidakpastian proses (Unnecessery process),
f) Merugikan publik (excessive burden to the publik), atau sekelompok
orang,
g) Melakukan ketidak pantasan dalam pembuatan suatu
keputusan (undue exercise of discretion).
2) Sengketa yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan pejabat
pemerintahan atau pegawai pemerintahan yang melalaikan tugasnya
(neglecting official duties) yang seharusnya dilakukan sesuai yang
ditentukan hukum yang berlaku, atau melakukan penundaan
pelaksanaan tugasnya dengan tidak masuk akal (unreasonable delay).
3) Sengketa yang berkaitan dengan tindakan yang salah/melanggar hukum
(wrongful) atau berkenaan dengan suatu tanggung jawab (liabilities )
dari pejabat pemerintahan atau pegawai pemerintahan yang timbul
akibat penggunaan kewenangan menurut hukum (under the law or from
a law), perintah/keputusan administratif atau perintah lain, atau atas
kelalaian pelaksanaan tugasnya yang menurut ketentuan seharusnya
dilakukan, atau melakukan penundaan tugasnya tanpa suatu alasan yang
masuk akal (unreasonable delay).
41
4) Sengketa yang berkaitan dengan kontrak administrasi (administrative
contract).
5) Sengketa yang ditentukan oleh hukum untuk diajukan ke peradilan oleh
instansi pemerintah atau pegawai pemerintah atas pemberian mandat
kepada seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
tindakan tertentu.
6) Sengketa yang menurut hukum yang berlaku ditentukan sebagai
kewenangan peradilan administrasi.30
e. Peradilan Militer (San Thanan)
Adalah badan peradilan dengan yurisdiksi kriminal atas anggota
Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand dan juga atas warga sipil
sebagaimana telah ditentukan oleh hukum. Hakim dalam Peradilan Militer
terdiri dari dua jenis hakim, yaitu hakim umum; petugas yang dalam
persyaratannya tidak dicantumkan harus mempunyai pelatihan hukum,
sedangkan hakim-advokat terakreditasi hukum dan pernah mengikuti
pelatihan hukum yang terdiri dari tiga tingkatan; Pengadilan Tingkat
Pertama, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Banding.31
f. Komisi Yudusial
Di Thailand, masing-masing badan peradilan mempunyai Komisi
Judisial sendiri-sendiri. Komisi judisial untuk Peradilan Administrasi
dinamakan Judicial Commision ofAdministrative Court (disingkat
J.C.A.C).32
Komposisi Komisi Judisial terdiri dari 13 orang yakni Presiden
30 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 3-4.
31 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 3.
32 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h.8.
42
Supreme Administrative Court otomatis sebagai Ketuanya, 6 orang dari
Hakim Agung , 3 orang dari Hakim tingkat pertama, 2 orang yang dipilih
oleh Senat, 1 orang ditunjuk oleh Council of Minister, Sekretaris Jenderal
Supreme Administrative , Court otomatis menjadi Sekretaris
Jenderal I.C.A.C.33
Tugas Komisi Judisial antara lain : mengadakan seleksi terhadap
Calon Hakim Agung dan mengajukannya kepada Perdana Meneteri untuk
mendapat persetujuan Senat dan penetapan Raja, Memilih diantara Hakim
Agung untuk menjadi President Of Supreme Administrative Court (Ketua
MA) dan mengajukan kepada Perdana Menteri untuk mendapat persetujuan
Senat dan penetapan Raja, Memilih diantara Hakim Agung untuk diusulkan
menjadi Wakil Ketua MA dan untuk menjadi Ketua Majelis MA serta
mengajukan kepada Perdana Menteri untuk selanjutnya mendapat
penetapan Raja,
Mengadakan seleksi calon hakim untuk dipilih menjadi Hakim tingkat
pertama danmengajukan kepada Perdana Menteri untukselanjutnyaditunjuk
oleh Raja, Memilih diantara Hakim tingkat I untuk diusulkan menjadi
Ketua, Wakul Ketua dan Ketua Majelis serta mengajukan kepada Perdana
Menteri untuk ditetapkan oleh Raja, Menetapkan Kode Etik Hakim,
Menbentuk Komite pemeriksa hakim yang dianggap melakukan
pelanggaran etik hakim. (komite mana terdiri dari empat orang hakim dan
seorang pegawai Civil Service)
Mengusulkan pemberhentian Hakim yang berdarakan periksaan
Komite Pemeriksa dipandang bahwa yang bersangkutan telah terbukti
melalaikan tugasnya atau melanggar etik hakim, atau mengalami sakit yang
permanen atau dihukum pidana dipenjara akibat kejahatan yang dilakukan
dengan sengaja, Memberi persetujuan permutasian jabatan hakim,
33 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 8.
43
Mengadakan seleksi atas hakim yang perlu perpanjangan usia pensiunnya
hingga 70 tahun,
Membuat berbagai aturan berkenaan dengan hakim seperti pengaturan
pakaian seragam, pengaturan jam kerja, pembuatan kode etik hakim,
ketentuan- ketentuan menganai pegawai yang membantu persidangan
(admistrative case official) dan berbagai hal lainnya.34
B. MEKANISME PELAKSANAAN PUTUSAN PTUN DI THAILAND
Pemutusan suatu perkara dilakukan dengan cara pengambilan suara
terbanyak. Apabila dalam memutus suatu perkara terdapat hakim yang memiliki
pendapat berbeda, maka hakim tersebyt harus menuliskan dissenting opinion. Jika
diperlukan, Ketua Mahkamah Agung dapat mengadakan peradilan yang perkara
tersebut diputus oleh Majelis Lengkap (General Assembly). Majelis lengkap harus
dihadiri oleh separuh dari jumlah hakim, selain Ketua Mahkamah Agung.35
Adapun, suatu putusan setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:
1. nama penggugat
2. pejabat yang digugat
3. akibat perbuatan (tergugat)
4. fakta hukum
5. alasan yang melandasi putusan
6. pertimbangan hukum
7. keputusan pejabat bila ada, dan hal yang harus dilakukan pejabat (yang
digugat)
Saat putusan dibacakan, terlebih dahulu harus memberitahukan hari dan
tanggal secara lisan diumumkan kepada para pihak yang berperkara. Apabila para
pihak tidak hadir pada pengucapan putusan, maka harus diberikan salinannya.
34 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 9.
35 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 13.
44
Penyerahan itu dianggap sebagai hari pengucapan putusan. Setelah itu, putusan
tersebut dipublikasikan oleh Sekretaris Jenderal kepada publik, yang di dalamnya
terdapat jugaopino hakim komisioner pada perkara yang bersangkutan.
Putusan Pengadilan mengikat dapat dilaksanakan sejak hari yang dalam
putusan secara khusus ditetapkan. Akan tetapi pelaksanaan Putusan Pengadilan
tingkat pertama ditunda hingga habis tenggang masa kasasi (appiel) yang ditentukan.
Masa pengajuan kasasi ditentukan 30 hari.
Putusan pengadilan juga mengikat kepada pihak ketiga dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Putusan mengenai perintah mendeportasi seseorang dari suatu tempat dapat
dilakukan tanpa perlu pembuktian gelar khusus untuk masalah ini.
2. Jika seseorang telah memberi jaminan di pengadilan terhadap suatu tindakan
yang telah ditentukan dalam putusan, maka jaminan itu harus dilaksanakan
dan putusan itu tidak perlu lagi dilakukan kepada si penjamin.
3. Putusan menganai hukum atau kapasitas seseorang dapat ditetapkan
kepada pihak ketiga kecuali bila pihak ketiga tersebut menunjukkan gelar
hukum yang lebih baik atau lebih tinggi
4. Putusan yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dapat diterapkan oleh para
pihak kepada pihak ketiga kecuali pihak ketiga mempunyai gelar hukum yang
lebih baik/tinggi36
Dalam melaksanakan putusan pengadilan, pengadilan berwenang sebagai
berikut:
1. Jika keputusan pejabat tersebut melanggar hukum, pengadilan dapat
memerintahkan pencabutan keputusan atau penundaan sebagian atau
seluruhnya
2. Apabila pejabat melakukan suatu kelalaian atau menunda pelayanan dengan
alasan yang irasional, maka pengadilan dapat memerintahkan pimpinan
36 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 13-14.
45
pejabat administrasi yang bersangkutan untuk melakukan kewajiban yang
telah ditentukan oleh pengadilan.
3. Jika keputusan pejabat diterbitkan dan melanggar hukum atau menyalahi
kewajibannya atau yang berkaitan dengan kontrak administrasi, maka
pengadilan dapat memerintahkan pembayaran sejumlah uang atau
penyerahan barang atau melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan
dengan atau tanpa memberi jangka waktu atau keadaan/kondisi tertentu.
4. Berkaitan dengan suatu permohonan mengenai hak dan kewajiban seseorang,
maka pengadilan dapat memerintahkan pemulihan hak dan kewajiban.
5. Memerintahkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang ditentukan hukum.
6. Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat harus diumumkan dalam
lembaran negara (Gaverment Gazette ).
7. Apabila putusan pengadilan menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah
uang atau penyerahan barang, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi
terhadap harta kekayaan yang bersangkutan.
8. Apabila putusan pengadilan menyangkut suatu perintah untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu perbutan, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi
dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis.37
Perbedaan yang sangat mendasar pada mekanisme PTUN antara Indonesia
dengan India adalah bahwa di Negara Thailand terdapat Lembaga Eksekusi (Legal
Execution Department). Lembaga Ekekusi ini merupakan lembaga yang di bawah
Kementrian Kehakiman (Minister of Justice) dan berada dalam Cluster Peradilan
Administrasi.38 Lembaga Eksekusi tersebut memiliki misi antara lain:39
37 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi
Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 14.
38 Diakses melalui http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf pada 10 Mei 2020 pukul
09.02 WIB.
39 Diakses melalui http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf pada 10 Mei 2020 pukul
09.02 WIB.
46
1. Untuk memberikan pelayanan kepada publik dalam menegakkan hukum-
hukum perdata, kepailitan, dan administrasi mengenai kasus reorganisasi
bisnis, likuidasi, serta penyimpanan properti.
2. Memberikan informasi hukum tentang penegakkan putusan hukum publik dan
penyimpanan properti kepada publik.
3. Sebagai pelayanan mediasi pasca peradilan.
4. Menstandarisasi dan meningkatkan praktik-praktik peradilan secara nasional
5. Memperbaharui hukum dan peraturan dalam mengatasi perkembangan
ekonomi dan sosial.
6. Mengembangkan dan meningkatkan proses administrasi agar lebih efektif dan
efesien
7. Membekali petugas dengan pengetahuan dan keterampilan secara profesional
Secara struktural, kedudukan Lembaga tersebut dapat penulis paparkan dalam
tabel dibawah ini
47
C. MEKANISME PELAKSANAAN PUTUSAN PTUN DI INDONESIA
Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh
putusan hakim atau lazimnya disebut dengan putusan pengadilan.40 Sebab dengan
putusan hakim tersebut, pihak-pihak yang bersen gketa dapat memperoleh
keadilan dan kepastian hukum.41
Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim merupakan suatu pernyatan
yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu
sengketa antara para pihak.42
Mengenai Putusan pada PTUN, telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 dan
UU No. 9 Tahun 2004. Putusan pada PTUN dapat dibedakan menjadi 4 (empat)
kategori, yaitu:43
1. Putusan Pokok yaitu pernyataan batal atau tidak sah keputusan administrasi
negara yang disengketakan.
2. Putusan Tambahan
Jika gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut dapat ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan
keputusan. Kewajiban tersebut berupa:
a. Pencabutan keputusan administrasi negara yang bersangkutan;
b. Pencabutan keputusan administrasi yang bersangkutan dan menerbitkan
keputusan baru;
c. Penerbitan keputusan dalam hal obyek gugatan keputusan fiktif negatif.
40 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), h. 48
41 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I, (Jakarta: Rieneka Cipta,
2004), h.124
42 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh, (Yogyakarta:
Liberty, 2006), h. 158
43 Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,
(Jakarta: Alumni, 2004), h. 3.
48
3. Putusan Remidial (pemulihan) yaitu bertujuan untuk memulihkan akibat yang
telah ditimbulkan oleh keputusan pemerintah yang dinyatakan batal atau tidak
sah, berupa ganti rugi dan rehabilitasi.
4. Putusan Penguat (pengefektifan) yaitu putusan sebagai alat pemaksa, supaya
putusan yang bersifat kondemnatoir dapat terlaksana, yaitu:
a. Kewajiban pembayaran sejumlah uang paksa;
b. Penjatuhan sanksi administratif;
c. Perintah mengumumkan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pada
media massa cetak;
d. Mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan;
e. Mengajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi
pengawasan.
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah
pemeriksaan sengketa tata usaha negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut.
Dalam hal putusan diatur pula mengenai keharusan putusan yang memuat
hal-hal sebagai berikut:44
a. Kepala putusan yang berbunyi : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa;
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempaat kediaman, atau tempat kedudukan
para pihak yang bersengketa;
c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi
dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. Hari, tanggal, putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta
44 Lihat Pasal 109 UU. No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
49
keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.
Pelaksanaan putusan PTUN (Eksekusi) adalah aturan mengenai prosedur dan
persyaratan yang digunakan oleh perlengkapan negara dengan tujuan untuk
membantu pihak yang berkepentingan menjalankan putusan hakim apabila pihak
yang kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan.45
Dalam pelaksanaan putusan PTUN, Indonesia mengenal berbagai bentuk
eksekusi pengadilan diantaranya adalah eksekusi otomatis, eksekusi hierarkis, dan
eksekusi upaya paksa. Hal menjadi perbincangan umum oleh para sarjana hukum
Indonesia adalah bahwa aturan yang terkait putusan dan eksekusi tersebut hanya
bersifat normatif tanpa adanya kekuatan institusional yang turut mendukung
terselenggaranya eksekusi oleh pengadilan. Indonesia merupakan salah satu negara
yang tidak memiliki Lembaga eksekutorial PTUN untuk menangani putusannya.
Problematika mengenai pelaksanaan putusan PTUN dapat kita telaah dari
kasis-kasus yang sempat viral di bawah ini:
Pertama, permasalahan yang terjadi antara PT. Solo Elpiji sebagai penggugat
melawan Bupati Purowejo dalam perkara Nomor 043/G/2014/PTUN. SMG
merupakan contoh kasus di mana tergugat tidak melaksanakan putusan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal,
ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan bisa dipidanakan dengan dalil
contempt of court11. Adapun objek sengketa dari kasus tersebut ialah sikap diam
(fiktif negatif) dari Bupati Purwerejo terhadap permohonan izin pendirian SPBE
(Stasiun Pengsisian Bahan Bakar Elpiji). Pada tanggal 17 September 2014, PTUN
Semarang memenangkan PT. Solo Elpiji. Selanjutnya, pihak tergugat mengajukan
banding atas perkara tersebut dan PTUN Surabaya memberikan putusan
menguatkan putusan pada tingkat pertama. Pembacaan putusan PTTUN Surabaya
pada tanggal 4 Februari 2015 dengan nomor perkara 09/B/2015/PT. TUN. SBY
kemudian pihak tergugat tidak mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung,
45 R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Prdanya Paramita, 1993), h. 105
50
sehingga perkara nomor 043/G/2014/PTUN. SMG telah berkekuatan hukum tetap.
Akan tetapi, tergugat tidak kunjung melaksanakan putusan PTUN perkara nomor
043/G/2014/PTUN.SMG. Sampai saat ini, Perkara nomor
043/G/2014/PTUN.SMG belum juga dieksekusi oleh pihak tergugat yakni Bupati
Purworejo12.
Contoh lainnya dapat ditemukan pada kasus PTUN Mataram dengan Nomor
31/G/2010/PTUN-MTR, tanggal 21 September 2010 Jo. Putusan Pengadilan TUN
Surabaya No.180/B/2010/PT. TUN.SBY, tanggal 1 Maret 2011. Penggugat adalah
H. Lalu Wiratmaja, S.H., dan M. Bajuri Najamudin melawan Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Lombok Tengah yang dalam hal ini pihaknya adalah H. Moh.
Suhaili ,FT, S.H., dam Drs. Lalu Normal Suzana sebagai tergugat intervensi dengan
objek sengketanya berupa Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Lombok Tengah Nomor. 27 Tahun 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan Umum
Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Daerah Kabupaten Lombok Tengah
Tahun 2010 atas nama H. Moh. Suhaili FT, S.H. dan Drs. Lalu Normal Suzana
yang ditetapkan pada tanggal 21 April 2010.
Problematika mendasar dalam kasus ini adalah pihak tergugat tidak
menjalankan hasil putusan PTUN Mataram yang telah berkekuatan hukum tetap
untuk mencabut putusan KPU Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010 tentang
Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Lombok Tengah Tahun 2010 atas nama H.Moh. Suhaili FT, SH dan Drs. Lalu
Normal Suzana
Pada dimensi lain dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008
juga masih bersifat umum (general) dan memungkinkan terjadi bias tasfir atau
berbagai macam penafsiran. Sehingga pelaksanaan putusan oleh PTUN di
Indonesia masih berjalan dengan tidak efesien. Dampak signifikan dari kondisi
tersebut adalah dapat menciderai citra hukum Indonesia sebagai salah satu negara
hukum dunia. Di sisi lain hal tersebut menggambarkan bahwa pemerintah
Indonesia kurang serius dalam mengatur urusan hukum pemerintahan, serta dapat
51
memicu timbulnya pernyataan di masyarakat bahwa pemerintah melindungi
dirinya dari jeratan hukum. Hal ini karena jika dibandingkan dengan peradilan lain
yang mengatur masyarakat sipil negara, maka terlihat bahwa PTUN tidak memiliki
struktur dan aturan sekompleks peradilan lainya di Indonesia.
52
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN MODEL PELAKSANAAN PUTUSAN PADA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
A. Persamaan dan Perbedaan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN
Setiap negara di seluruh dunia memiliki model dan sistem pelaksanaan
putusan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa perbedaan
tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain adalah perbedaan sistem
hukum antar negara, bentuk dan sistem pemerintahan suatu negara, kondisi
geografis, sosial budaya, dan politik suatu negara, serta tingkat dominasi elite poltik
dalam pemerintahan. Namun, kendati demikian tidak dapat dipungkiri bahwa
model pelaksanaan putusan suatu negara memiliki titik kesamaan/kemiripan baik
dari struktur, model, sampai mekanisme pelaksanaan putusan yang oleh penulis
akan dibahas lebih komprehensif dalam paragraf lain di bab ini.
Dalam literasi hukum, secara etimologi, eksekusi berasal dari bahasa
Belanda “executive1” yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan. Pengertian
yang sama juga dikemukakan oleh J.C.T. Simorangkir dan Retno Wulan Sutantio.
Dengan demikian pengertian eksekusi etimologi sama dengan pengertian
menjalankan putusan.2 Menurut terminologi hukum acara, eksekusi adalah
“tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.
Eksekusi pada hakikatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak
yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan
tersebut3.
1 Definisi lain yang dikutip langsung dari web ste resmi kamus hukum online di
https://dictionary.thelaw.com/executive, menyebutkan kata executive diartikan sebagai distinguished
from the legislative and judicial departments of government, the executive department is that which is
charged with the detail of carrying the laws into effect and securing their due observance. The word
“executive” is also used as an impersonal designation of the chief executive officer of a state or nation.
Diakses pada 18 Juni 2020, pukul 8.25 WIB.
2 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:Djambatan,2003), h.194
3 Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata,
(Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h.328
53
Pada dasarnya putusan hakim yang telah incrach sudah dapat dilaksanakan,
tetapi tidak semua putusan itu dapat dilaksanakan (dieksekusi). Pada prinsipnya,
hanya putusan yang bersifat comdemnatoir (putusan yang berisi penghukuman)
saja yang dapat dieksekusi. Sedangkan terhadap putusan declaratoir dan
konstitutif tidak dapat dieksekusi, karena tidak dimuat atau tidak adanya hak atas
sesuatu prestasi atau putusan yang mengandung sifat dan keadaan baru, sehingga
tidak memerlukan sarana-sarana memaksa untuk dijalankan4.
Hal tersebut sudah menjadi sebuah konsensus dalam aspek hukum, sehingga
salah satu titik persamaan dalam pelaksanaan putusan PTUN antara Indonesia dan
Thailand adalah adanya persamaan perspektif mengenai klasifikasi putusan
sebagaimana yang telah dipaparkan dalam paragraf sebelumnya. Putusan yang
dapat dieksekusi oleh suatu pengadilan harus memenuhi beberapa asas antara lain:
in kracht van gewijsde (Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap), Condemnatoir (Putusan hakim
yang akan dieksekusi harus bersifat menghukum)5.
Persamaan lain yang ada dalam aspek pelaksanaan putusan PTUN antara
Indonesia dan Thailand adalah adanya tiga jenis eksekusi dalam pengadilan antara
lain:
1. Eksekusi riil yaitu penghukuman pihak secara langsung,6
2. Eksekusi membayar sejumlah uang / denda,
3. Eksekusi melakukan suatu perbuatan.7
4 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan Penegakan Hukum,
(Jakarta; Akademika Pressindo, 1987), h.19-20
5 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan Penegakan Hukum,
h.19-20
6 Dalam konteks PTUN di Indonesia, eksekusi riil ini memiliki beberapa klasifikasi lebih lanjut
antara lain : penerapan eksekusi melalui pencabutan KTUN yang bersangkutan, eksekusi melalui
instansi atasan, eksekusi melalui pengumuman di media masa dan penyampaian surat kepada presiden
sebagai atasan yang paling tinggi dalam struktur pemerintahan, dan penerapan sanksi administrasi.
7 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan Penegakan Hukum,
h.19-20
54
Kendati Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan dalam
mengklasifikasikan jenis eksekusi dalam PTUN, namun hal tersebut tidak
menjamin bahwa sistem dan model pelaksanaan dari putusan tersebut juga sama.
Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan, penulis berhasil memaparkan
beberapa perbedaan dalam beberapa aspek mengenai Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) antara Indonesia dan Thailand sebagai berikut.
1. Di Indonesia, salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera
pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat- lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
Sedangkan di Thailand, Saat putusan dibacakan, terlebih dahulu harus
memberitahukan hari dan tanggal secara lisan diumumkan kepada para pihak
yang berperkara.
Apabila para pihak tidak hadir pada pengucapan putusan, maka harus
diberikan salinannya. Penyerahan itu dianggap sebagai hari pengucapan
putusan. Setelah itu, putusan tersebut dipublikasikan oleh Sekretaris Jenderal
kepada publik, yang di dalamnya terdapat jugaopini hakim komisioner pada
perkara yang bersangkutan.Putusan Pengadilan mengikat dapat dilaksanakan
sejak hari yang dalam putusan secara khusus ditetapkan. Akan tetapi
pelaksanaan Putusan Pengadilan tingkat pertama ditunda hingga habis tenggang
masa kasasi (appiel) yang ditentukan. Masa pengajuan kasasi ditentukan 30
hari.
2. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia terdiri dari tiga tingkatan,
yaitu:Peradilan Tata Usaha Negara tingkat I, Peradilan Tinggi Tata Usaha
Negara tingkat banding, Mahkamah Agung. Sedangkan struktur kelembagaan
PTUN di Thailand hanya memiliki dua tingkatan yakni Peradilan Administrasi
tingkat Pertama (Administrative Court of first instance), dan Mahkamah Agung
Peradilan Administrasi (Supreme Administrative Court).
3. Indonesia tidak memiliki Komisi Yudisial khusus di setiap peradilan, dalam hal
ini tidak memiliki Komisi Yudisial Peradilan Administratif (Tata Usaha
55
Negara), sedangkan Tthailand terdapat Komisi Yudisial pada setiap Peradilan,
dalam hal ini memiliki Komisi Yudisial Peradilan Administratif (Judicial
Commission of Administrative Court).
4. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung, sedangkan Hakim Peradilan Tata
Usaha Negara di Thailand diangkat oleh Komisi Yudisial Peradilan
Administratif (Judicial Commission of Administrative Court).
5. Dalam menjalankan kewenanganya, sanksi yang diberikan oleh pengadilan
TUN di Indonesia tidak diklasifikasikan menurut sengketa yang diajukan,
karena Peradilan TUN hanya menangani sengketa berupa keputusan
(beschikking) dari badan atau pejabat tata usaha Negara. Sedangkan Thailand
memberikan sanksi yang berbeda berdasarkan perbuatan yang dilakukan,
demham diskripsi sebagai berikut:
a. Gugatan yang diajukan akibat dari tindakan pejabat, gugatan ini dilakukan
dalam waktu 90 hari sejak penggugat mengetahui akibat dari tindakan
pejabat. Selain itu, masa tenggang ini juga diberlakukan jika si pejabat tidak
memberikan penjelasan atau jawaban dari si penggugat atas tindakannya
itu. Dalam hal ini gugatan dapat dilakukan setelah 90 hari sejak
penggunggat melakukan gugatan atas tindakan pejabat tersebut.
b. Sengketa yang terjadi karena pejabat melanggar undang-undang, atau
bersikap lalai, atau menunda pelayanan public dengan alasan yang tidak
masuk akal. Selain itu, perbuatan yang berkaitan dengan kontrak
administrasi maka gugatan dapat diajukan dalam waktu satu tahun.
c. Selanjutnya apabila sengketa tersebut menyangkut persoalan yang
berkaitan dengan perlindungan kepentingan umum atau menyangkut status
seseorang, gugatan dapat diajukan setiap waktu
6. Putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap mengandung
unsur kewajiban bagi tergugat untuk melaksanakannya. Adapun, terdapat tiga
penetapan kewajiban (berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
TUN):
56
a. Mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
(disengketakan). Namun, jika setelah 60 hari kerja putusan pengadilan
TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tersebut telah diterima oleh
tergugat dan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya untuk mencabut
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan maka keputusan tata
usaha negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi. Kewajiban untuk mencabut Keputusan TUN yang
disengketakan ini dapat disertai pula dengan pembebanan ganti rugi. Atau;
b. Mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
(disengketakan) dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
Atau;
c. Menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam sengketa obyek negatif8.
Pada point 2 dan 3 di atas, setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata
kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat dapat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut. Adapun, kewajiban pada point 2 dan 3 dapat pula
disertai dengan pembebanan ganti rugi.
Berbeda dengan sistem pelaksanaan putusan di Thailand, dalam hal
keputusan pejabat melanggar hukum, pengadilan mempunyai wewenang
memerintahkan pejabat tersebut untuk
a. mencabut keputusan, atau
b. penundaan keputusan sebagaian atau seluruhnya.
Berdasarkan pengklasifikasian waktu gugatan seperti yang telah
8 Fiktif negatif adalah istilah yang digunakan karena memuat konteks tentang “fiktif” yang
menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat sebenarnya tidak berwujud. Ia hanya
merupakan sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara yang kemudian dianggap disamakan
dengan sebuah keputusan Tata Usaha Negara yang nyata tertulis. Sedangkan istilah “negatif”
menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dianggap berisi penolakan terhadap
permohonan yang telah diajukan oleh orang atau badan hukum perdata. Apabila badan atau pejabat tata
usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan (diam saja), sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka
sikap diamnya tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat.
(Sumber: Budiamin Rodding, Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik, (Medan: PTUN Medan Press, 2017) h. 29.
57
dijelaskan di atas, maka pemberian sanksi pun berbeda disesusaikan dengan
sengketa yang diajukan penggugat yang secara sederhana dapat digambarkan
sebagai berikut:
a. Jika hal yang disengketakan adalah kelalaian pejabat atau penundaan
pelayanan publik dengan alasan yang tidak masuk akal, maka dalam hal
ini pengadilan berwewenang untuk memerintahkan pimpinan pejabat
administrasi tersebut melakukan suatu kewajiban yang telah ditentukan
pengadilan.
b. Berkaitan dengan suatu permohonan mengenai hak dan kewajiban
seseorang, maka pengadilan dapat memerintahkan pemulihan hak dan
kewajiban dengan cara memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang ditentukan hukum.
7. Dalam PTUN di Indonesia, Jika tergugat masih tidak bersedia untuk
melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tersebut,
maka tergugat (dalam hal ini pejabat TUN yang bersangkutan) akan diberikan
sanksi berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanski administratif. Namum,
sayangnya hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas dan komperehensif
mengenai mekanisme pembayaran sanksi administrative tersebut. Sedangkan
di Thailand, dalam hal keputusan pejabat melanggar hukum atau menyalahi
kewajibannya maupun yang berkaitan dengan kontrak administrasi, maka
pengadilan dapat memerintahkan pembayaran sejumlah uang atau penyerahan
barang. Selain itu, pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu perbuatan dengan jangka waktu tertentu dan kondisi
tertentu. Atau tanpa pemberian jangka waktu dan tanpa kondisi tertentu.
8. Dalam peraturan mengenai PTUN Indonesia, PTUN tidak dapat melakukan
eksekusi terhadap putusannya. Tidak adanya eksekusi dengan menggunakan
Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis maupun tidak adanya peraturan
yang mengatur bahwa PTUN dapat melaksanakan eksekusi terhadap uang atau
penyerahan barang tergugat. Karena, UU mengenai pembayaran uang
paksa/sanksi administrative lainnya belum dijelaskan secara gambling dan
58
normatif dalam UU, di Thailand Berkenaan dengan kewajiban yang diberikan
oleh pengadilan, pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan
Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis9. Apabila putusan pengadilan
menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah uang atau penyerahan
barang, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi terhadap harta kekayaan
yang bersangkutan.
9. Di Indonesia, pengadilan tidak memiliki wewenang untuk memaksa tergugat
melaksanakan putusan pengadilan, selain itu tidak ada ketetapan mengenai
tindakan displiner bagi tergugat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan.
Namun, di Thailand pengadilan dapat memberi paksaan atau menetapkan
tindakan displiner.
10. Di Indonesia peraturan mengenai contempt of court10 masih dalam
pembahasan di DPR, padahal RUU tersebut merupakan Prolegnas 2015-2019,
sedangkan di Thailand jika pihak yang bersangkutan tidak melaksanakan
putusan pengadilan merupakan tindakan pidana dengan alasan contempt of
court.
Selain pemaran tersebut diatas, penulis juga menemukan beberapa
persamaan dalam mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara
antara Indonesia dengan Thailand sebagai berikut:
1. Kedua negara sama-sama menggunakan mekanisme upaya paksa agar
dipatuhinya putusan PTUN oleh tergugat. Upaya paksa ini merupakan sebuah
alternative terakhir sebagai bentuk tindakan tegas terhadap pihak yang
berperkara untuk lebih menghargai intensitas hukum dan paham akan
posisinya yang salah.
9 Dengan melakukan perubahan-perubahan jika memang diperlukan. Sumber:
http://hukum.untan.ac.id diakses pada 19 Juni 2020. Pukul 21.04 WIB.
10 Contempt of Court atau penghinaan terhadap pengadilan merupakan setiap perbuatan,
tingkah laku, sikap dan atau/ ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat
dan kehormatan badan peradilan. Sumber: Naskah Akademik Penelitian Contempt of Court 2002
(Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Press, 2002), h. 8
59
2. Kedua negara menggunakan mekanisme uang paksa (dwangsom).
3. Kedua negara menggunakan mekanisme perintah kepada pejabat administrasi
yang berkedudukan diatasnya untuk kemudian memerintahkan kepada pejabat
TUN terkait (tergugat) untuk menjalankan putusan Pengadilan.
Sedangkan perbedaan mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan tata
usaha negara antara Indonesia dengan Thailand adalah sebagai berikut:
1. Di Indonesia dengan tegas menyebut pejabat administrasi di atasnya adalah
presiden selaku kepala pemerintahan (eksekutif) sedangkan di Thailand tidak.
Thailand hanya menyebutkannya sebagai pimpinan pejabat administrasi yang
bersangkutan.
2. Penggunaan mekanisme uang paksa antara kedua negara berbeda, di Thailand
uang paksa diterapkan apabila putusan pengadilan menyangkut kewajiban
untuk membayar sejumlah uang atau penyerahan barang dan menyangkut
suatu perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbutan terkait
kontrak administrasi, sedangkan di Indonesia uang paksa diterapkan dalam hal
tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, penggunaan mekanisme
uang paksa di Thailand lebih luas penerapannya dibandingkan dengan di
Indonesia.
3. Di Indonesia digunakan mekanisme sanksi administratif bagi pejabat tata
usaha Negara yang tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan di Thailand tidak.
Thailand mengatur sanksi dengan menyebutkan bahwa Pengadilan
memerintahkan pimpinan pejabat administrasi yang bersangkutan untuk
melakukan suatu kewajiban yang ditentukan pengadilan. Selain itu juga diatur
mengenai tindakan disipliner bagi pejabat TUN yang tidak taat pada
persidangan maupun tidak mengindahkan perintah hakim.
4. Di Thailand Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat tata usaha
negara harus diumumkan dalam lembaran negara (Gaverment Gazette) namun
di Indonesia tidak melainkan dipublikasikan ke dalam media massa cetak
60
setempat.
5. Di Thailand, pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan
Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis terhadap harta kekayaan yang
bersangkutan (tergugat PTUN), sementara di Indonesia belum jelas mengingat
belum ada peraturan secara normatif mengenai pelaksanaan pembayaran uang
paksa (dwangsom).
6. Di Thailand dikenal mekanisme penghinaan terhadap institusi peradilan
(contemp of court) bagi para pihak yang tidak melaksanakan perintah
pengadilan sedangkan di Indonesia Contempt of Court masih dalam
pembahasan di DPR, padahal RUU tersebut merupakan Prolegnas 2015-
2019.11
7. Di Indonesia menggunakan mekanisme publikasi media massa untuk
memberikan sanksi sosial bagi pejabat TUN yang mengabaikan putusan
pengadilan sedangkan di Thailand tidak.
8. Thailand memiliki lembaga atau institusi khusus dalam memaksa pihak yang
bersangkutan melakukan eksekusi pengadilan, sedangkan di Indonesia tidak,
ironisnya lagi dalam Peradilan TUN juru sita atau Ketua Pengadilan tidak
memiliki wewenang.
B. Kelebihan dan Kelemahan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan sebuah komponen
penting dalam suatu negara. Eksistensinya sebagai lembaga peradilan
admininistrasi memiliki kedudukan vital dalam menjaga stabilitas sistem politik
dan pemerintahan suatu negara. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa
PTUN merupakan salah satu lembaga kontrol pemerintah. Dalam sub bab
kelebihan dan kelemahan model pelaksanaan putusan PTUN dengan studi
perbandingan antara Indonesia dan Thailand ini, penulis turut menyampaikan
bahwa pemaparan dalam skripsi ini merupakan subjektivitas penulis yang
11 http://www.dpr.go.id diakses pada 19 Juni 2020. Pukul 21.46 WIB.
61
didasarkan atas data, dan hasil penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan
putusan (eksekusi) PTUN.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara pengajuan
dari proses pemeriksaan perkara. Hakekat dari eksekusi putusan adalah realisasi
kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di
dalam putusan tersebut. Eksekusi dengan kata lain merupakan pelaksanaan isi
putusan hakim yang dilakukan secara paksa dengan bantuan pengadilan, apabila
pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.12
Pelaksanaan putusan PTUN diserahkan kepada kesukarelaan pejabat untuk
melaksanakannya. Berdasarkan hal-hal yang telah penulis sampaikan di dalam bab-
bab sebelumnya, menunjukkan bahwa, pelaksanaan (eksekusi) putusan PTUN
bukan merupakan bagian dari fungsi PTUN, tidak seperti lembaga peradilan seperti
peradilan perdata, peradilan pidana, peradilan agama, di mana pelaksanaan atau
eksekusi putusan merupakan bagian dari sistem peradilan itu sendiri. Dapat
disimpulkan bahwa, sistem peradilan tata usaha negara tidak tuntas dalam
mengatur proses penyelesaian sengketa hingga eksekusi putusan. Padahal secara
umum, semua proses peradilan seperti peradilan perdata, peradilan pidana, dan
peradilan agama, mengatur penyelesaian sengketa hingga pengaturan mengenai
eksekusinya. Hal ini dapat disimpulkan dari tugas dan wewenang PTUN yaitu
“menyelesaikan sengketa TUN”. 13
Berdasarkan pemaparan di atas, tentu problematika utama yang sering
dialami PTUN khususnya di Indonesia adalah rendahnya kesadaran pihak yang
berperkara terhadap pelaksanaan putusan PTUN. Padahal, PTUN hadir sebagai
lembaga peradilan yang mempunyai wewenang untuk menggugat keputusan
eksekutif jika eksekutif berlaku sewenang-wenang melalui kebijakan yang
12 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 614.
13 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 615.
62
diterapkan.
Adapun, hal tersebut terjadi karena rendahnya daya paksa pelaksanaan
putusan dan budaya kepatuhan pejabat pemerintahan terhadap Putusan PTUN.
Berdasarkan analisis Enrico Simanjuntak, faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas penegakan hukum di antaranya adalah budaya hukum yang berupa disiplin
dan sadar hukum, patuh dan taat terhadap hukum.14
“Negara seharusnya memberikan kewajiban kepada eksekutif untuk
melaksanakan putusan pengadilan. Pengadilan seharusnya diberikan kekuasaan
untuk mengawasi terhadap pelaksanaan atau eksekusi putusan pengadilan”.
Standar tersebut justru yang menjadi kelemahan PTUN hingga saat ini, yaitu bahwa
pengadilan tidak mempunyai kekuatan untuk memaksakan agar Putusan PTUN
dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa PTUN belum memenuhi standar independensi lembaga
peradilan yang ideal.15
Ketika fungsi PTUN sebagai lembaga peradilan tidak memiliki kekuatan
yang besar, maka perlindungan hukum bagi pencari keadilan tidak dapat
diwujudkan secara optimal. Manakala pejabat pemerintahan mempunyai kesadaran
yang tinggi untuk melaksanakan putusan pengadilan, maka pencari keadilan
mendapatkan perlindungan hukum yang adil. Sebaliknya manakala pejabat
pemerintahan tidak mempunyai kesadaran untuk melaksanakan putusan maka
pencari keadilan tidak akan mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang kuat
dan tidak mendapatkan keadilan.16
Ditambah dengan tidak adanya lembaga yang dapat memaksa tergugat
14 Enrico Simanjuntak, Ospek Ombudsman Republik Indonesia Dalam Rangka Memperkuat
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, artikel dalam Jurnal Hukum dan
Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014, hlm. 167.
15 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta:
Universitas Janabadra Yogyakarta Press, 2017), h. 610.
16 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 616.
63
untuk melaksanakan putusan Peradilan TUN. Sehingga, hal tersebut memperburuk
keadaan dan menyusahkan pihak Peradilan. Tidak hanya itu, peraturan mengenai
sanksi bagi tergugat yang tidak melaksanakan putusan PTUN masih sangat
mengambang dan tidak jelas. Banyak pasal yang semestinya harus direvisi,
mengingat undang-undang mengenai PTUN terbilang sudah cukup lama. Yaitu UU
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Selain berfungsi sebagai lembaga Peradilan, PTUN mempunyai fungsi
sebagai lembaga pengawasan yuridis terhadap pemerintah. Sebagai lembaga
pengawasan, PTUN mempunyai tugas untuk mengawasi pejabat pemerintahan,
apakah pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau melakukan tindakan
sesuai dengan perauran perundang- undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AUPB) atau tidak.17
Adapun Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) termaktub dalam
UU No. 30 Tahun 2014. AUPB terdiri dari 8 asas yaitu, 1. Asas kepastian hukum,
2. Asas Kemanfaatan, 3. Asas Ketidaberpihakkan, 4. Asas kecermatan, 5. Asas
tidak menyalahgunakan kewenangan, 6. Asas keterbukaan, 7. Asas kepentingan
umum, 8. Asas pelayanan yang baik.
UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memang mengatur mengenai sanksi
yang diberlakukan apabila tergugat tidak melaksanakan putusan PTUN. Seperti
yang telah penulis jelaskan di atas, dalam PTUN Indonesia sanksi yang diberikan
adalah pembayaran uang paksa (dwangsom) atau sanksi administrative.
Berdasarkan Pasal 81 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintah, sanski administrative dibagi menjadi 3 kategori:
1. Sanksi administratif ringan berupa:
a. teguran lisan;
17 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 611.
64
b. teguran tertulis; atau
c. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan.
2. Sanksi administratif sedang berupa:
a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;
b. pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; atau;
c. pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.
3. Sanksi administratif berat berupa:
a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya;
b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya;
c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau
d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas
lainnya serta dipublikasikan di media massa.
e. Sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sayangnya, bahkan dalam UU ini tidak mencantumkan secara jelas dan
detail mengenai jumlah uang paksa yang ditetapkan, pembebanan uang paksa
tersebut apakah ke individu atau menggunakan anggaran daerah/negara, atau
menggunakan kas institusi pejabat yang bersangkutan. Mengingat kebijakan yang
dilakukan pejabat pasti membawa nama institusi. Dari sini saja, kita bisa melihat
bahwa tidak adanya kepastian hukum dalam uu yang mengatur administrasi
pemerintahan.
Pelaksanaannya juga tergantung pada kesukarelaan pada pejabat
pemerintahan atau atasannya. Sepanjang mereka juga tidak melaksanakan, maka
tidak ada lembaga atau pejabat yang diberikan wewenang untuk memaksa supaya
pejabat melaksanakan putusan. 18 Padahal, Pemerintahan yang baik diperlukan
18 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 616.
65
kepastian hukum dalam setiap peraturan yang ada.
Selain itu, dengan diberlakukannya otonomi daerah, setiap pejabat kepala
daerah di kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola
daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan
administrative.
Pengaduan kepada presiden selaku kepala eksekutif dan DPR pun tidak
akan efektif, mengingat DPR dan Presiden memiliki tugas dan wewenang yang
cukup banyak. Tapi, lagi-lagi ketua pengadilan TUN dan/ atau juru sita tidak
memiliki kewenangan untuk memaksa tergugat melaksanakan putusan PTUN yang
telah berkekuatan hukum tersebut. Lain halnya dengan Peradilan lain, yang juru
sitanya memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa terhadap pihak yang
dijatuhkan hukuman.
Selain masalah-masalah di atas, menurut penulis peraturan mengenai
contempt of court dirasa perlu diberlakukan terutama bagi pejabat yang tidak patuh
terhadap hukum. Namun, lagi-lagi pasal tersebut masih dalam pembahasan di DPR.
Padahal pasal tersebut merupakan Prolegnas 2015-2019. Ini mencerminkan bahwa
memang hukum di Indonesia selain telat juga bobrok. Tidak hanya penegak
hukumnya saja bahkan hingga ke legislator lambat menangani dinamika hukum
yang terjadi di Indonesia. Padahal masalah terkait eksekusi di PTUN ini telah ada
sejak PTUN berdiri, yang mana sudah puluhan tahun masalah ini belum ada
solusinya.
Tapi setidaknya, menurut penulis sanksi berupa pengumuman di media
cetak setempat telah tepat. Karena dengan begitu, public tahu bahwa pejabat
tersebut tidak taat hukum dan menjadi teguran bagi pejabat untuk lebih taat hukum.
Selain itu, public pun akan tahu bahwa kebijakan/keputusan tersebut sudah tidak
berlaku lagi/ akan adanya keputusan baru menggantikan keputusan sebelumnya.
Namun, di era modern seperti ini, ada baiknya jika pembulikasian
dipersebarluaskan di media daring, sehingga tidak hanya masyarakat setempat saja
yang mengetahui hal ini. Ini akan menjadi pukulan bagi pejabat agar lebih taat
hukum dan merasa malu, karena yang mengetahui hal ini tidak hanya di daerahnya
66
saja.
Selain itu, jika daerah lain mengetahui bagi daerah yang memang belum
baik tingkat pendidikannya, daerah lain dapat mengkritik pejabat tersebut agar
jangan sewenang-wenang walaupun rakyatnya belum dapat berpendidikan secara
baik, namun masih ada mereka di daerah lain yang memiliki akses pendidikan baik
dan mengkritik pejabat tersebut. Jika dibandingkan dengan Thailand, walaupun
negara tersebut berbentuk monarkhi namun demokrasi mendapat tempat yang luas.
Hal tersebut terbukti dengan banyaknya revolusi yang terjadi, bahkan konstitusi
Thailand telah terganti sebanyak 19x. Walaupun PTUN Thailand lebih muda
daripada PTUN Indonesia, namun banyak yang dapat dipelajari dari PTUN
Thailand.
Thailand sudah memiliki pasal contempt of court, sehingga bagi siapa pun
yang tidak melaksanakan putusan PTUN akan dikenakan sanksi pidana. Selain itu,
sanksi yang diharuskan menyerahkan uang atau harta benda dapat dilakukan secara
perdata. Pengadilan pun dapat memutus kewajiban apa yang harus dilakukan atau
tidak dilakukan, ini berarti pengadilan dapat menentukan juga besaran sanksi yang
diberikan, sehingga wewenang PTUN Thailand terbilang luas dan mendeteil. Jika
tergugat tetap tidak melaksanakan putusan PTUN, Thailand memiliki lembaga
yang dapat mengeksekusi yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan
Peradilan. Di sini memang lembaga tersebut tidak hanya untuk PTUN namun juga
untuk lembaga lainnya.
Kewenangan PTUN Thailand juga tidak hanya sengketa yang berkaitan
dengan kebijakan pejabat, melainkan juga tindakan pejabat, nama baik, dan kontrak
administrasi. Di sini dapat kita lihat wewenang PTUN memang terfokus untuk
menangani permasalahan antara pejabat dengan masyarakat, sehingga masyarakat
tidak akan kesulitan jika memiliki permasalahan dengan pejabat maka pengadilan
yang berwewenang adalah PTUN.
67
C. Urgensi Lembaga Eksekutorial PTUN di Indonesia
Lembaga eksekutorial dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
merupakan elen vital yang harus ada agar peradilan administrasi di Indonesia dapat
berjalan dengan lebih baik. Sebagaimana hasil komparasi yang dilakukan penulis
terhadap sistem PTUN di Indonesia dan Thailand, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Thailand memiliki dinamika yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia dalam
pelaksanaan PTUN.
Salah satu indikasi tersebut dapat dilihat dari adanya lembaga eksekutorial
yakni legal execution department yang fokus menangani hasil putusan dari
pengadilan (eksekusi) terhadap pihak yang berperkara. Disisi lain, Indonesia yang
lebih dulu memiliki peradilan tata usaha negara secara institusional masih belum
mendirikan lembaga eksekutorial, sehingga pelaksanaan putusan oleh PTUN di
Indonesia berjalan dengan tidak efektif.
Secara fungsional lembaga eksekutorial dalam PTUN merupakan tindak
lanjut dari putusan pengadilan (gerechtelijke tenuitvoerlegging atau execution
force) yang bertujuan untuk mengefektifkan pelaksanaan suatu putusan yang
isinya membebankan kewajiban (prestasi) bagi pihak yang dikalahkan di
pengadilan. Dari norma hukum positif dan praktek yang berlangsung hingga saat
ini, permasalahan eksekusi terus mengemuka, bahkan menjadi perdebatan antara
para pihak yang berperkara dan diskusi yang tiada henti di kalangan akademisi.
Terutama apabila yang dimohonkan untuk patuh terhadap isi putusan pengadilan
itu adalah Pemerintah yang kalah dalam proses persidangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Adriaan Bedner19 mengenai PTUN di
Indonesia, mengemukakan permasalahan mengenai eksekusi. Menurutnya,
pengaturan eksekusi dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
menimbulkan kesalahpahaman mengenai kemandirian lembaga peradilan, yaitu
agar dilaksanakan isi putusan PTUN harus meminta kepada atasan pejabat
19 Merupakan Professor dari Leiden University, Belanda pada bidang Hukum dan Masyarakat
di Indonesia.
68
eksekutif yang dijadikan tergugat agar dipatuhi isi putusannya tersebut, karena
atasan pejabat eksekutif lah yang dianggap memiliki hak veto. Pengaturan prosedur
ini karena penyusun undang-undang sadar bahwa pejabat-pejabat di Indonesia
enggan mematuhi perintah pengadilan. Selain itu, ada beberapa kasus yang
menurut atasan pejabat yang dijadikan tergugat tidak berkenan melaksanakan isi
putusan karena bersifat sensitif yang diasumsikan dapat membahayakan stabilitas
masyarakat dan politik. Dalam banyak kasus akan tetapi sulit pembuktiannya,
bahwa pejabat mencoba menekan hakim, namun tidak diragukan lagi bahwa
pertimbangan politik telah mempengaruhi sejumlah putusan.20
Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa tidak semua negara memiliki
nilai urgensi yang tingi terhadap lembaga ini. Tidak semua negara memiliki
lembaga di luar peradilan yang bertugas untuk mengeksekusi putusan Peradilan,
seperti di Italia eksekusi dilakukan oleh hakim eksekusi. Sedangkan di Jerman,
pelaksanaan putusan peradilan dilakukan oleh pelayan hukum (rechtspfleger).21
Kendati demikian, Jerman memiliki prinsip pertanggung jawaban
Pemerintah atas kesalahannya dalam tugas (faute de service) diatur sepenuhnya
dalam hukum perdata, dan hal ini sudah berlaku sejak abad ke-19 yang lalu dalam
Pasal 839 Kitab Undang-Undang Hukum Sipil mereka (B.G.B.). Berdasarkan suatu
yurisprudensi tahun 1963 prinsip pertanggung jawab Pemerintah tersebut
mengandung arti bahwa pelaksanaan tugas seorang pegawai Pemerintah harus
senantiasa obyektif, adil, tidak memihak, cermat, melaksanakan wewenang
dikresionernya secara konkret dan tidak pilih kasih, sehingga secara umum
tindakannya itu harus semata-mata didasarkan pada kepentingan masyarakat, tanpa
adanya penyalah gunaan kekuasaan atau wewenang.22
20 Adrian Bedner, Administrative Courts in Indonesia : A Socio-Legal Study (Terjemahan),
(London: The Hague: Kluwer International, 2003), h.151 dan 252.
21 www.katadata.co.id diakses pada 25 Juni 2020. Pukul 11.23 WIB.
22 Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap
Pemerintah, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986), h. 47.
69
Sehingga, Hakim Administrasi dapat menerapkan prinsip-prinsip tersbebut
menilai dan menguji tindakan Pemerintah. Dapat dikatakan, kesadaran hukum
pejabat negara Jerman tergolong tinggi, karena walaupun tidak ada lembaga
eksekutorial khusus, namun dengan prinsip Pertanggung jawaban Pemerintah yang
telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil Jerman, pejabat di Jerman
tidak bisa berlaku sewenang-wenang dalam mengeluarkan kebijakan dan
keputusan, serta taat terhadap putusan Peradilan.
Lain halnya di Perancis. Sebagai salah satu kiblat hukum, PTUN Prancis
terpisah secara utuh dari Peradilan Umum. Jika pada negara Thailand dan
Indonesia, PTUN tertinggi ada di Mahkamah Agung, Prancis memiliki Dewan
Negara sebagai salah satu lembaga tertua di Prancis dan merupakan jantung dari
pengadilan administrasi.23
Berbeda dengan negara Inggris, sistem pengadilan di negara-negara rule of
law tidak mengenal eksistensi PTUN sebagai lembaga sendiri, semua sengketa
diadili di peradilan umum. Sementara sengketa-sengketa tata usaha negara tertentu
diselesaikan melalui administrative appeal tribunal semacam komisi khusus yang
independen (kuasi pengadilan) tetapi mereka diklasifikasikan sebagai bagian dari
pemerintahan dan bukan pengadilan. 24 Prinsip pada sistem hukum rule of law yang
berbunyi “equality before the law” mengkhendaki bahwa hukum berlaku bagi
siapa pun, tidak peduli masyarakat atau pejabat. Karena itu, sanksi tetap berlaku
sekalipun yang melanggar hukum atau berbuat tindak pidana adalah pejabat.
Berdasarkan pemaparan dari perbandingan PTUN di berbagai negara,
penulis dapat menyimpulkan setiap negara memiliki bentuk dan sistem tersendiri
terhadap PTUN. Satu hal yang menarik, ketaatan terhadap hukum merupakan
faktor utama keberhasilan suatu negara dalam menerapkan sistem hukum yang
23 M Patrick Frydman, 11th
Annual AIJA Tribunals Conference, in Association with the Council
of Australian Tribunals, 5-6 June 2008, (Queensland: Council of Australian Tribunals, 2008). h. 2
24 Umar Dani, Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia: Sistem
Unity of Jurisdiction atau Duality of Jurisdiction? Sebuah Studi tentang Struktur dan Karakteristiknya,
(Jakarta: PTUN Jakarta Press, 2018). h. 62.
70
efektif. Sayangnya, fakta telah menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum
pejabat Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan
rendahnya pelaksanaan putusan PTUN dan Peradilan Umum. Untuk itu, diperlukan
suatu lembaga khusus yang dapat mengawasi dan memaksa pihak yang
bersangkutan untuk menerapkan putusan peradilan.
Konsekuensinya jika tidak mengingkan adanya lembaga khusus, maka
ketaatan hukum harus ditingkatkan oleh pihak yang bersangkutan. Otomatis,
pendidikan moral dan sanksi yang terkesan lebih kejam harus dilaksanakan karena
dengan begitu, mereka akan berfikir dua kali untuk berlaku sewenang-wenang
terhadap keputusan atau kebijakan yang akan dikeluarkan
Penulis berpendapat bahwa keberadaan lembaga eksekutorial akan sangat
bermanfaat di Indonesia. Mengingat belum jelasnya peraturan mengenai sanksi
bagi pejabat yang enggan melaksanakan putusan Peradilan TUN. Kelembagaan
tersebut dibentuk karena tidak adanya lembaga negara di luar lembaga eksekutif
yang dapat mengeksekusi badan dan/atau pejabat pemerintahan yang dijadikan
Tergugat dan tidak berfungsinya lembaga juru sita di PTUN dalam pelaksanaan
putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.
Argumentasi lain, bahwa lembaga eksekutorial dapat menunjang
kelengkapan dalam sistem peradilan di Indonesia. Hal tersebut juga sangat
berpengaruh terhadap kedudukan Indonesia sebagai negara hukum. Terlebih,
Amerika Serikat (USA) telah mendeklarasikan Indonesia sebagai salah satu negara
maju (developed country) pada 10 Ferbuari 2020. Sehingga dalam hal ini Indonesia
harus memiliki kondisi yang strategis dan menunjukan kualitasnya sebagai good
government. Salah satu komponen yang wajib diperhatikan adalah penataan hukum
dan regulasi.
Dengan adanya lembaga eksekutorial dalam yuridiksi PTUN maka
pelaksanaan hukum terkait yuridiksi PTUN akan berjalan dengan maksimal dan
sesuai tujuan yang diharapkan. Urgensi lembaga eksekutorial dalam suatu sistem
hukum memiliki peran yang sangat penting. Eksistensimya sebagai lembaga pasca
putusan pengadilan memiliki fungsi yang cukup penting.
71
Fungsi utama dari lembaga ini nantinya khusus menangani pelaksanaan
eksekusi dari pengadilan. Pejabat Lembaga Eksekutorial Negara (PLEN)
merupakan Pejabat Negara yang melaksanakan fungsi penegakan hukum. Adapun
penulis berpendapat, bahwa LEN haruslah lembaga yang independen dan
berkedudukan sejajar dengan lembaga yang dibentuk oleh UUD (yaitu Presiden,
Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY), mengingat fungsinya
sebagai lembaga eksekusi Peradilan yang sudah pasti mengeksekusi tergugat,
dalam hal ini pejabat (eksekutif). Adapun, pejabat LEN terdiri dari akademisi
hukum dalam hal ini bisa peneliti, ahli, pengacara, dan dosen yang dipilih oleh Tim
Panitia Seleksi dan diangkat oleh presiden melalui seleksi ketat yang diadakan oleh
negara (pemerintah pusat).
Adapun, Tim Panitia Seleksi merupakan para mantan hakim dan hakim pada
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta jajarannya. Sebelum
pengukuhan Pejabat LEN, ada baiknya dilakukan training agar mereka bisa
professional dalam bekerja saat di lapangan, seperti tidak hanya sekedar
mengetahui peraturan mengenai sanksi tapi juga bisa menghadapi pejabat
(tergugat) yang enggan melaksanakan putusan dengan berbagai dalih yang
dikeluarkan. Masing-masing Pejabat LEN bersifat kolektif-kolegial, yang dipimpin
oleh Ketua LEN yang dipilih dari internal anggota LEN sendiri. Masa Pejabat LEN
5 (lima) tahun, setelah itu dapat mencalonkan lagi untuk dipilih melalui seleksi Tim
Panitia Seleksi.
Penulis beprendapat baiknya setiap daerah memiliki LEN Daerah, karena
LEN juga mempunyai kewenangan pada pejabat tingkat daerah. Pejabat daerah ini
seperti yang kita ketahui memiliki otonomi daerah untuk mengatur daerahnya
sendiri. Sehingga ada perhatian khusus mengenai pelaksanaan putusan PTUN pada
tingkat daerah. Pertimbangan selanjutnya karena wilayah Indonesia yang sangat
luas, nampaknya jika hanya ada satu LEN di Indonesia akan menyusahkan LEN itu
sendiri, karena akan terhalang mobilisasi di daerah itu. Jadi tidak akan efektif dan
efisien. Lokasi LEN daerah dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-
masing. Jadi LEN Pusat difokuskan menangani pejabat di tingkat pusat
72
Dalam konteks pelaksanaan putusan (eksekusi) pengadilan dalam ranah
hukum administrasi, perlu ada pengembangan konsep pengenaan sanksi yang
berbeda dengan norma sebagaimana diatur oleh Pasal 116 Undang-Undang
Peradilan TUN, yang hanya mengatur sanksi upaya paksa dalam bentuk pengenaan
uang paksa dan/atau sanksi administratif.25
Ketentuan Undang-Undang Peradilan TUN tersebut mempunyai banyak
kelemahan dalam implementasinya, yaitu tidak menjelaskan lebih lanjut atau
memerinci jenis sanksi uang paksa dan/atau sanksi administratif seperti apa dan
pejabat yang berwenang siapa. Untuk menjelaskannya, menurut penulis perlu
pemahaman lebih lanjut dengan menginterpretasi undang-undang lainnya yang
berkenaan dengan kedua sanksi tersebut.26
Dari aspek substansi hukum, pengaturan eksekusi upaya paksa di PTUN
yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan TUN belum cukup memadai,
sehingga pelaksanaan eksekusinya tidak dapat berjalan efektif dan efisien. Tingkat
keberhasilan pelaksanaan eksekusi relatif sangat rendah, masih terdapat putusan
tidak dilaksanakan. Ketentuan pasal 116 Undang-Undang Peradilan TUN pada saat
ini tidak didukung oleh perangkat norma hukum lainya yang mengatur mengenai
eksekusi, khususnya upaya paksa. Belum ada satu pun peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai mekanisme penerapan eksekusi upaya paksa,
berupa pengenaan uang paksa maupun sanksi administrasi, sebagai tindak lanjut
dari ketentuan pasal 116 ayat (4) dan (7) Undang-Undang Peradilan TUN, sehingga
ketentuan tersebut sama sekali tidak dapat diterapkan. Adapun pengaturan dalam
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, khususnya pasal 80 sampai dengan
pasal 84 juga belum dapat digunakan, karena masih memerlukan pengaturan lebih
lanjut, yakni dalam bentuk Peraturan Pemerintah.27
25 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 28
26 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h.
Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 28.
27 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 28.
73
Begitu juga dengan struktur hukum lembaga eksekusi di PTUN, yang selama
ini pengaturannya hanya berpedoman pada juru sita dan pengawasan ketua PTUN,
tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Juru sita di PTUN tidak mempunyai
tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seperti layaknya juru sita di PN, karena sifatnya
hanya menjalankan fungsi administratif dalam hal surat-menyurat saja, tanpa ada
kewenangan “memaksa” agar eksekusi upaya paksa dapat dilaksanakan. Sama juga
dengan fungsi pengawasan ketua PTUN, yang sifatnya hanya mengawasi dalam
arti pasif, tidak dapat menjatuhkan hukuman (sanksi) apapun seandainya badan
dan/atau pejabat pemerintahan tetap tidak melaksanakan isi putusan PTUN.28
Konsep upaya paksa pada PTUN di masa yang akan datang tetap harus
berpedoman pada sistem hukum yang ada, khususnya substansi dan struktur
hukum. Penguatan substansi dan struktur hukum di sini dalam rangka
pengembangan hukum nasional. Faktor-faktor hambatan dalam eksekusi upaya
paksa di PTUN (baik dari segi substansi dan struktur hukumnya), dapat diatasi
dengan adanya pengaturan dibentuknya lembaga hukum baru yang khusus
menjalankan fungsi eksekutorial lembaga peradilan.29
Selain itu penulis berharap agar LEN ini tidak hanya diperuntukan bagi
PTUN, mengingat penulis temukan masih banyak permasalahan eksekusi dalam
Peradilan Umum.30 Namun juga bagi lembaga peradilan lainnya, sehingga masing-
masing peradilan dapat dengan fokus menyelesaikan sengketa yang bersangkutan
sedangkan permasalahan eksekusi akan dilaksanakan oleh LEN ini. Dengan
demikian implementasi hukum di Indonesia diharapkan dapat berjalan sesuai
dengan tujuan penegakan hukum yakni keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian
hukum.
28 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 31.
29 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 31.
30 Diakses melalui https://leip.or.id pada 24 Juni 2020. Pukul 15.25. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Indepedensi Peradilan
74
A. KESIMPULAN
BAB V
PENUTUP
1. Problematika yang marak terjadi sejak PTUN berdiri di Indonesia adalah tidak
terlaksananya putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, padahal
putusan PTUN memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dalam negara hukum
rechstaat dalam hal Indonesia. Selain itu, PTUN didirikan dengan tujuan agar
terwujudnya good government dan modernisasi pada sistem hukum Indonesia.
Adapun, problematika tersebut terjadi karena beberapa faktor, antara lain adalah:
belum ada peraturan yang jelas dan spesifik yang menyebutkan mengenai sanksi
bagi tergugat yang tidak melaksanakan putusan PTUN, kesadaran hukum yang
dimiliki oleh pejabat tata usaha negara di Indonesia masih terbilang cukup
rendah, peraturan mengenai Contempt of Court belum ada di Indonesia, adapun
peraturan tersebut dapat memidanakan bagi mereka yang tidak melaksanakan
putusan PTUN seperti di Thailand, serta tidak ada lembaga eksekutorial negara
yang khusus didirikan untuk menangani permasalahan eksekusi peradilan di
Indonesia.
2. Jika dibandingkan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) antara PTUN di
Indonesia dan Thailand memiliki perbedaan antara lain: Thailand sudah memiliki
lembaga eksekutorial yang secara fungsional melaksanakan eksekusi kepada
pihak yang berpekara, sedangkan di Indonesia masih belum ada; Dalam
pelaksanaan hukumnya, Thailand telah memiliki regulasi bagi pihak yang tidak
melaksanakan hasil putusan pengadilan (contempt of court/penghinaan terhadap
pengadilan), sedangkan di Indonesia aturan tersebut masih belum ada; Selain itu,
Thailand memiliki komisi yudisial (judicial commission of administrative court)
dalam setiap peradilan, sedangkan Indonesia hanya terdapat satu komisi yudisial.
75
B. SARAN
Terkait dengan penelitian ini, penulis memberikan saran sebagai berikut:
1. Dalam rangka mewujudkan good governance dan kemajuan dalam sistem
hukum Indonesia, sepertinya para penegak hukum dan legislator harus saling
berkoordinasi antar lembaga, sehingga fungsi dari masing-masing lembaga
dapat berjalan dengan baik dan efisien.
2. Pejabat negara, seharusnya mempunyai tanggung jawab besar atas ketaatan
terhadap hukum dan sikap jujur. Sebagai pemimpin rakyat atau orang yang
dipercaya rakyat, akan sangat memalukan jika tidak memiliki rasa tanggung
jawab, jujur, dan taat hukum. Nampaknya, pendidikan moral terhadap pejabat
negara harus dilakukan dan nilai-nilainya harus tertanam kiat sebelum mereka
menjabat sebagai pejabat negara.
3. Memiliki lembaga instutisional lebih dahulu, tidak berarti lembaga tersebut
telah sempurna. Masih diperlukannya pembaharuan terhadap Peradilan di
Indonesia, terutama PTUN. Dalam hal ini, tidak ada salahnya jika melakukan
penelitian dan kajian akademis demi terciptanya gagasan yang inovatif dan
terlaksananya gagasan-gagasan tersebut. Sehingga, hukum di Indonesia tidak
lagi usang dan dapat mengikuti dinamika perkembangan masyarakat.
4. Lembaga eksekutorial dalam lingkup PTUN di Indonesia sangat diperlukan
demi terwujudnya implementasi hukum yang lebih efektif dan efisien. Selain
berperan penting dalam melaksanakan putusan oleh pengadilan, urgensi LEN
antara lain sebagai menunjang kelengkapan dalam sistem peradilan di
Indonesia. Tanpa lembaga tersebut, maka eksistensi PTUN dalam menjalankan
tugas negara dianggap tidak tuntas, karena hanya sekedar memutuskan perkara
tanpa eksekusi lebih lanjut, kondisi tersebut tidak sejalan dengan tujuan
penegakan hukum yakni keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian hukum.
Padahal keberadaan LEN dapat dijadikan sebagai salah satu ikhtiar Indonesia
dalam membangun citra hukum yang baik dalam konsep good governance.
Karena salah satu indikasi dari konsep good governance adalah penegakan
hukum yang baik dan efisien.
76
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Muchtar. Himpunan Kuliah Ilmu Kenegaraan. Bandung: Alumni Press. 1971.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.
Amirudin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam menurut Fazlu Rahman.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press. 2001.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Gunungsitoli: Jurnal
Hukum Press. 2013.
Astomo, Putera. Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sistem Negara
Hukum Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro Press. 2014.
Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Thailand. Market Brief Perdagangan
Perbatasan Thailand. Bangkok: Office of Commercial Attache, Embassy of the
Republic of Indonesia for Kingdom Thailand. 2013.
Bachar, Djazuli. Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan
Penegakan Hukum. Jakarta: Akademika Pressindo. 1987.
Bedner, Adriaan. Administrative Courts in Indonesia : A Socio-Legal Study
(Terjemahan). London: The Hague: Kluwer International. 2003.
Bell, Gary F. The New Indonesian Laws Relating to Regional Autonomy: Good
Intentions, Confusing Laws (Asian-Pasific Law and Policy Journal). William S
Ricardson of Law Press. 2001.
Boneka, Prildy Nataniel. Tinjauan Hukum Putusan PTUN dalam Rangka
Eksekusi Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Manado:
Universitas Sam Ratulangi Press. 2014.
Dani, Umar. Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di
Indonesia: Sistem Unity of Jurisdiction atau Duality of Jurisdiction? Sebuah Studi
tentang Struktur dan Karakteristiknya. Jakarta: PTUN Jakarta Press. 2018.
Erliyana, Anna. Hukum dan Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press. 2017.
Fachrudin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Jakarta: Alumni. 2004.
77
Frydman, M Patrick. 11th Annual AIJA Tribunals Conference, in Association
with the Council of Australian Tribunals, 5-6 June 2008. Queensland: Council of
Australian Tribunals. 2008.
Funsten, John. Government and politics in South East Asia. Singapore: Institute
of Asia Studies. 2001.
Gerhard, Robbers. Encyclopedia of World Constitutions. New York: Facts on
File Inc. 2007.
Hajiyanti, Francisca Romana & Suswoto. Implikasi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata
Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press. 2017.
Harding, Andrew and Peter Layland, Constitution System of Thailand : A
Contextual Analysis. United Kingdom: Hart Publishing. 2011.
HS. H. Salim. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta: Rajagrafindo
Persada. 2012.
Hutugalung, Siti Merida. Penegakkan Hukum di Indonesia: Apakah Indonesia
Negara Hukum?. Jakarta: Universitas Kristen Indonesia Press. 2011.
Isjrawa, F. Pengantar Ilmu Politik (Cetakan ke-7). Bandung: Bina Cipta. 1980.
Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, (Jakarta: Alumni, 2004
Iskandar, Dossy dan L. Bernard. Tanya, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”.
Surabaya: Srikandi. 2005.
Jauhari, Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Islam. Semarang: Universitas
Islam Sultan Agung Semarang Press. 2015.
Lotulung, Paulus Efendi. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum
Terhadap Pemerintah. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 1986.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik Penelitian Contempt
of Court 2002. Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Press.
2002.
Makarao, Moh Taufik. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I. Jakarta: Rieneka Cipta, 2004.
78
Makmur. Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan. Bandung: PT.
Refika Aditama. 2011.
Marbun, SF. dan Moh. Mahfud, MD. Pokok Pokok Hukum Administrasi
Negara. Yogyakarta: Liberti. 2000.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2014.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi ketujuh.
Yogyakarta: Liberty. 2006.
Nasir, Muhammad. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan. 2003.
Notohamidjojo, O. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga: Penerbit Griya
Media. 2011.
Pitsuwan, Surin. Islam di Muangthai. Jakarta: LP3ES. 1998.
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka. 2005.
Ramadhan, Choky R. Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia
dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum. Depok: Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia Press. 2018.
Rasaid, M. Nur. Hukum Acara Perdata cet. ke- III. Jakarta: Sinar Grafika
Offset. 2003.
Rodding, Budiamin. Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Medan: PTUN Medan Press. 2017.
Salmon, H. Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam
Mewujudkan Suatu Pemerintahan yang Baik. Maluku: Jurnal Sasi. 2010.
Samidjo. Ilmu Negara. Bandung: Penerbit Armico. 1986.
Samosir, Djamanat. Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian
Perkara Perdata. Bandung: Nuansa Aulia. 2011.
Schlager, Neil. and Weisblatt, Jayne. World Encyclopedia of Political Systems
and Parties. New York: Facts on File Publisher. 2006.
79
Setyagama, Azis. Pembaruan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung di Indonesia. Surabaya: CV. Jakad Media Publishing. 2017.
Simajuntak, Enrico. Ospek Ombudsman Republik Indonesia Dalam Rangka
Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung:
Universitas Padjajaran Press, 2014
Soekanto, Soerjono. dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1990.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
Press. 2015.
Soepomo, R. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: Prdanya Paramita.1993.
Soleh, Mohammad Afifudin. Eksekusi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara yang berkekuatan Hukum Tetap. Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945 Press.
2018.
Sukardja, Ahmad dan Tim. Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan
Administrasi Thailand di Bangkok. Bangkok: Mahkamah Agung RI Press. 2009.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2003
Wahjono, Pamo. Contempt of Court dalam Proses Peradilan di Indonesia.
Jakarta: Yayasan LBH. Indonesia Press. 1986.
Wijaya, Endra. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila Press. 2011.
WEBSITE
http://constitutionnet.org
http://hukum.untan.ac.id
http://www.dpr.go.id
http://www.led.go.th
http://www.thailandtoday.in.th
https://dictionary.thelaw.com
80
https://kanchanapisek.or.td
https://katadata.co.id
https://leip.or.id
https://lib.unnes.ac.id
https://pn-gunungsitoli.go.id
https://www.coj.go.th
https://www.constituteproject.org
https://www.google.com
https://www.nyulawglobal.org
https://www.unicef.org
https://www.worldbank.org
https://www.worldometers.info
www.ignca.nic.in
www.parliament.go.th
REGULASI
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Thailand’s of Constitution 2017 (Konstitusi Thailand 2017)
Act on Establishment of Administrative Court and Administrative Court Procedure B.E
2542 (1999 M)
81
LAMPIRAN
1. Peta Negara Thailand
82
2. Struktur Pemerintahan Thailand
83