92
PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (STUDI PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA DAN THAILAND) SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh : SYIFA SALSABILA NASUTION NIM: 11160453000022 PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M/ 1441 H

PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

  • Upload
    others

  • View
    15

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA PERADILAN

TATA USAHA NEGARA (STUDI PERBANDINGAN

ANTARA INDONESIA DAN THAILAND)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

SYIFA SALSABILA NASUTION

NIM: 11160453000022

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/ 1441 H

Page 2: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADAPERADILAN TATA

USAHA NEGARA (STUDI PERBANDINGAN

ANTARA INDONESIA DAN THAILAND)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020 M/ 1441 H

i

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

SYIFA SALSABILA NASUTION

NIM: 11160453000022

Pembimbing :

Fathudin, S.H.I, S.H, M.H, M.A.Hum

NIP. 19850610 201903 1 007

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

Page 3: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN
Page 4: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

iii

Page 5: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

iv

ABSTRAK

Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA

PELAKSANAN PUTUSAN PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

(Studi Perbandingan antara Indonesia dan Thailand) ”, Program Studi Hukum

Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2020 / 1441 H. Skripsi ini bertujuan untuk

mengetahui persamaan dan perbedaan model pelaksanaan putusan Peradilan Tata

Usaha Negara (PTUN) antara Indonesia dengan Thailand, mengetahui kelebihan

dan kelemahan dari proses pelaksanaan putusanya, serta urgensi lembaga

eksekutorial bagi PTUN di Indonesia. Alasan yang melatarbelakangi penelitian ini

adalah, karena Indonesia sangat memerlukan lembaga eksekutorial untuk

melaksanakan putusan PTUN (eksekusi) agar implementasi hukum khususnya

dalam dinamika peradilan tata usaha negara dapat berjalan dengan lebih efektif.

Selain itu, studi perbandingan dengan Thailand diharapkan mampu dijadikan

sebagai salah satu rujukan baik oleh pemerintah, civitas akademika, maupun

masyarakat umum dalam bidang hukum administrasi.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan

perundang-undangan (statute approach),dan Pendekatan Komparatif. Bahan

hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, dan

sekunder serta didukung oleh bahan non hukum yang relevan.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Indonesia dan Thailand memiliki

persamaan dan perbedaan dalam pelaksanaan putusan (eksekusi) PTUN-nya,

kelebihan dan kelemahan masing-masing, serta dapat disimpulkan bahwa Indonesia

perlu memiliki lembaga eksekutorial yang khusus menangani pelaksanaan eksekusi

dari pengadilan. Selain itu, lembaga eksekutorial memiliki kedudukan penting

dalam menunjang kelengkapan lembaga peradilan di Indonesia.

Kata Kunci : Peradilan Tata Usaha Negara, Lembaga Eksekutorial

Pembimbing : Fathudin, S.H.I, S.H, M.H, M.A.Hum

Daftar Pustaka: Dari tahun 1971 sampai 2019

Page 6: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt. berkat nikmat,

anugerah dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “

PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA PERADILAN TATA

USAHA NEGARA (Studi Perbandingan antara Indonesia dan Thailand) ”.

Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad saw. yang

telah memimpin umat Islam menuju jalan yang diridhai Allah swt. Dalam

penyelesaian skripsi ini, tak luput peran pihak-pihak yang senantiasa sabar dan setia

membantu, membimbing serta mendoakan. Sehingga dengan rasa hormat, penulis

ingin mengucapakan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis., Lc, MA, Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah);

4. Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata

Negara (Siyasah);

5. Fathudin, S.H.I., S.H., M.H., M.A.Hum, Dosen Pembimbing dalam penulisan

skripsi ini;

6. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Rasa terima kasih dan hormat

atas segala ilmu, pengalaman, bimbingan, dan arahan yang diberikan kepada

penulis selama menempuh pendidikan Strata Satu (S1) nya.

7. Pimpinan dan seluruh pengurus Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberi kontribusi berupa literasi dan

pustaka sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baiK

8. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Rasa terima kasih dan hormat

Page 7: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

vi

atas segala ilmu, pengalaman, bimbingan, dan arahan yang diberikan kepada

penulis selama menempuh pendidikan Strata Satu (S1) nya;

9. Keluarga besar penulis, terutama Ayahanda, Ir. Mustafa Nasution dan Ibunda,

Sri Handayani yang selalu memberikan motivasi, dan kasih sayang penuh

kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan pendidikan strata satu (S1)

dengan pencapaian yang luar biasa;

10. Rekan-rekan guru dan staff Pride Homeschooling yang banyak membantu saya

dalam memberikan fasilitas tempat yang nyaman untuk mengerjakan skripsi;

11. Dan pihak lain yang turut terlibat dalam penulisan skripsi ini. Semoga Tuhan

Yang Maha Esa selalu membalas kebaikan rekan-rekan semua.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi

penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 22 Juni 2020 M/ 1441 H

Syifa Salsabila Nasution

Page 8: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................... v

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................

A. Latar Belakang Penelitian ........................................................................ 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 9

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ....................................................... 10

E. Teknik Pengolahan dan Metode Penelitian ............................................. 13

F. Sistematika Pembahasan ......................................................................... 18

BAB II KERANGKA TEORITIS DAN KONSEP ..........................................

A. Teori Kedaulatan Hukum .......................................................................... 19

B. Konsep Negara Hukum ............................................................................. 21

C. Lembaga Eksekutorial ............................................................................... 25

D. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ...................................................... 27

BAB III MODEL PELAKSANAAN PUTUSAN OLEH PERADILAN TATA

USAHA NEGARA ...............................................................................

A. Sistem Hukum dan Ketatanegaraan di Thailand ...................................... 30

B. Mekanisme Pelaksanaan Putusan PTUN di Thailand ............................... 43

C. Mekanisme Pelaksanaan Putusan PTUN di Indonesia ............................. 47

Page 9: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

viii

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN MODEL PELAKSANAAN

PUTUSAN PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

(PTUN)...........................................................................................

A. Persamaan dan Perbedaan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN .............. 52

B. Kelebihan dan Kelemahan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN ............. 60

C. Urgensi Lembaga Eksekutorial PTUN di Indonesia ................................. 67

BAB V PENUTUP...............................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................... 74

B. Saran .......................................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 76

LAMPIRAN ......................................................................................................... 81

Page 10: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum yang dinyatakan dengan tegas dalam

Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 “Negara Indonesia

adalah negara hukum”. Penggunaan istilah negara hukum ternyata memiliki

perbedaan di antara para ahli ketatanegaraan di dunia. Para ahli di Eropa Barat

(Kontinental) seperti Immanuel Kant dan F.J. Stahl menggunakan istilah

rechtsstaat, sedangkan A.V. Dicey menggunakan istilah rule of law. Secara formil,

tidak ada perbedaan mengenai definisi dari sistem negara hukum tersebut, namun

secara materiil penggunaan istilah rechstaat dan rule of law memiliki perbedaan di

antara keduanya. Hal ini disebabkan oleh sejarah dan pandangan hidup suatu

bangsa.1

A.V. Dicey mensyaratkan tiga unsur pokok dalam rule of law adalah:

Supremasi hukum (supermacy of law), Persamaan di hadapan hukum (equality

before the law, Terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam konstitusi.2

F.J Stahl menungkapkan konsep negara hukum atau rechtsstaat itu

mencangkup empat unsur penting, yaitu: Perlindungan hak asasi manusia,

Pembagian kekuasaan, Pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan Peradilan

Tata Usaha Negara.3

Pernyataan yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dan F.J Stahl memiliki

persamaan dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan supremasi hukum. Di

sisi lain, terlihat adanya perbedaan mengenai konsep negara hukum rechstaat

dengan rule of law. Dalam konsep negara hukum yang menggunakan istilah rule of

1H. Salmon, Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam Mewujudkan Suatu

Pemerintahan yang Baik, (Jurnal Sasi, 2010), h. 16.

2 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, (Jurnal Hukum, 2013), h.3.

Diunduh.melalui https://pn-gunungsitoli.go.id.

3EndraWijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pusat Kajian

Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila, 2011), Cet. Ke-1, h. 2.

Page 11: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

2

law pada sistem anglo saxon4 tidak terdapat peradilan administrasi negara (PTUN)

yang terpisah dari peradilan umum. Lain halnya dengan rechtsstaat pada sistem

Eropa Kontinental yang menempatkan peradilan administrasi negara (PTUN)

berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan umum.5

Indonesia yang sudah secara tegas dikatakan sebagai negara hukum, sudah

tentu menerapkan konsep negara hukum yang telah dikemukakan oleh ahli

ketatanegaraan dunia. Pertanyaannya, konsep apakah yang diterapkan dalam sistem

hukum di Indonesia? Berdasarkan pendapat pendapat Garry F. Bell dalam bukunya

The New Indonesion Laws Relating To Regional Autonomy Good Intentions,

Confusing Laws yang menyatakan: “Dalam konteks hukum Indonesia lebih

mendekati konsep hukum Eropa Kontinental (rechstaat) jika dibandingkan konsep

rule of law di negara-negara anglo-saxon”.6

Salah satu aspek penting yang harus ada dalam konsep negara hukum adalah

adanya lembaga peradilan sebagai salah satu bentuk supremasi hukum

(supremation of law). Namun yang menarik dalam kajian ini, bawasanya tidak

semua negara di dunia memiliki peradilan khusus yang sama/baku. Karena adanya

peradilan khusus pada suatu negara didasarkan atas kebutuhan personal oleh

masing-masing negara, dan tidak semua negara memiliki Peradilan Tata Usaha

Negara (PTUN) dalam sistem yudikasinya, termasuk Republik Indonesia yang

menganut sistem rechstaat / rule of law.

4 Sistem hukum anglo saxon (common law) memiliki akar sejarah.pada kerajaan Inggris yang

dalam pemutusan perkaranya hakim memiliki posisi dominan dan absolut. Ketika ada sebuah.perkara

yang diputuskan oleh.hakim, putusan tersebut tidak hanya mengikat pihak yang berperkara tetapi juga

berlaku umum untuk kasus yang serupa. Putusan hakim tersebut menjadi sangat penting karena

ketiadaan undang-undang yang disahkan oleh.parlemen. Beberapa negara besar yang menganut sistem

ini antara lain adalah.Amerika Serikat dan Inggris. Choky R Rramadhan, Konvergensi Civil Law dan

Common Law di Indonesia dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum, (Depok: Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Press, 2018), h.214

5H. Salmon, Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam Mewujudkan Suatu

Pemerintahan yang Baik, (Jurnal Sasi, 2010), h.17. Diakses pada 17 November 2019, Pukul 14.38 WIB.

6 Gary F. Bell, The New Indonesian Laws Relating to Regional Autonomy: Good Intentions,

Confusing Laws (Asian-Pasific Law and Policy Journal), (William S Ricardson of Law Press 2001), h.

27

Page 12: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

3

Secara umum, keberadaan PTUN dalam suatu negara memiliki fungsi

sebagai pihak yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa antara pejabat tata

usaha negara dengan rakyat7. Pengaturan sengketa tata usaha negara diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Peradilan Tata Usaha

Negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkara-perkara administrasi negara

murni. Pokok permasalahannya bagaimana bentuk Pengawasan Peradilan Tata

Usaha Negara terhadap aparatur negara/pemerintah, bagaimana peranan Peradilan

Tata Usaha Negara sebagai pelaksana fungsi pengawasan terhadap aparatur negara.

Pemerintah dan apa saja yang menjadi hambatan atau masalah dalam pelaksanaan

Peradilan Tata Usaha Negara dalam upaya mengontrol mengawasi aparatur

negara/pemerintah.8

Tidak hanya di Indonesia, keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

menjadi penting bagi mayoritas negara terutama bagi negara yang menerapkan

sistem hukum rechstaat. Salah satunya adalah Thailand. Adapun, eksistensi

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dilatarbelakangi oleh kebutuhan masyarakat

akan lembaga kehakiman yang dapat menjamin hak-hak mereka terhadap pejabat

negara, baik itu secara individu maupun kooperasi.

Kendati negara Thailand dengan Indonesia berbeda dalam sistem

pemerintahannya9, namun Thailand menganut sistem hukum Eropa Kontinental

7 Dalam tinjauan yuridis, adaya PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan, kebenaran,

ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat,

khususnya hubungan antara badan atau pejabat negara dengan masyarakat. Lihat ketentuan menimbang

huruf (d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

8 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sistem Negara Hukum Indonesia,

(Sulawesi Barat: Universitas Sulawesi Barat Press, 2014), h. 46

9 Thailand merupakan negara dengan sistem pemerintahan monarki konstitusional. Dalam

sistem pemerintah.Thailand, secara konstitusional raja merupakan kepala negara. kedudukan raja

sebagai kepala negara tidak bersifat politis, namun lebih.sebagai simbol budaya dan agama. Pasca

runtuhnya dinasti monarki Chakri, Thailand tetap mempertahankan sistem monarkinya dengan raja

sebagai kepala negara saja yang berfungsi sebagai pemersatu dan menjaga kebudayaan Thailand. Untuk

pemegang urusan kepemerintahan ditunjuk seorang perdana menteri melalui Pemilihan umum. Dengan

begitu, walaupun sistem monarki masih.dipertahankan namun tetap ada pembatasan kekuasaan seorang

Page 13: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

4

(rechstaat) dengan pengaruh yang kuat dari Anglo-Saxon (rule of law). Secara

umum, Thailand dapat dikatakan role mode yang demokratis walaupun dipimpin

dengan sistem monarkhi. Di Thailand terdapat empat jenis peradilan, yaitu:

Mahkamah Konstitusi, Court of Justice, Peradilan Tata Usaha Negara, dan

Peradilan Militer.10

Berbicara mengenai PTUN Indonesia dan Thailand, secara historis Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia benar-benar terbentuk pada tahun 1991

sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara di Thailand baru dibentuk pada tahun

2001. Meskipun secara institusional Indonesia lebih dahulu mendirikan Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN) dibandingkan Thailand, namun, Indonesia masih harus

belajar banyak dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Thailand terutama

menangani prosedur eksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

terhadap tergugat karena Indonesia tidak memiliki Lembaga eksekutorial dalam

struktur Lembaga PTUN. Salah satu permasalahan yang sempat viral adalah:

Permasalahan yang terjadi antara PT. Solo Elpiji sebagai penggugat

melawan Bupati Purowejo dalam perkara Nomor 043/G/2014/PTUN. SMG

merupakan contoh kasus di mana tergugat tidak melaksanakan putusan Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal,

ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan bisa dipidanakan dengan dalil

contempt of court11. Adapun objek sengketa dari kasus tersebut ialah sikap diam

(fiktif negatif) dari Bupati Purwerejo terhadap permohonan izin pendirian SPBE

(Stasiun Pengsisian Bahan Bakar Elpiji). Pada tanggal 17 September 2014, PTUN

raja, dalam arti kekuasaan raja tidaklah.bersifat absolut. Baca, Neil Schlager and Jayne Weisblatt,

World Encyclopedia of Political Systems and Parties, h 1379

10 https://www.nyulawglobal.org/globalex/Thailand.html diakses pada 1 April 2020 pukul

21.42 WIB

11 Contemp of Court secara sederhana dapat dipahami sebagai perbuatan tercela (Pasal 12 ayat

1 huruf (b)) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan tercela” adalah.perbuatan atau sikap,

baik di dalam maupun di luar pengadilan yang dapat merendahkan martabat hakim. Lebih.lanjut h

tersebut dapat dikategorikan kedalam tiga aspek; pertama, penghinan terhadap keadilan. Diskripsi

tersebut dikutip dari Pamo Wahjono, Contempt of Court dalam Proses Peradilan di Indonesia, (Jakarta:

Yayasan LBH.Indonesia Press, 1986), h. 328

Page 14: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

5

Semarang memenangkan PT. Solo Elpiji. Selanjutnya, pihak tergugat mengajukan

banding atas perkara tersebut dan PTUN Surabaya memberikan putusan

menguatkan putusan pada tingkat pertama. Pembacaan putusan PTTUN Surabaya

pada tanggal 4 Februari 2015 dengan nomor perkara 09/B/2015/PT. TUN. SBY

kemudian pihak tergugat tidak mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung,

sehingga perkara nomor 043/G/2014/PTUN. SMG telah berkekuatan hukum tetap.

Akan tetapi, tergugat tidak kunjung melaksanakan putusan PTUN perkara nomor

043/G/2014/PTUN.SMG. Sampai saat ini, Perkara nomor

043/G/2014/PTUN.SMG belum juga dieksekusi oleh pihak tergugat yakni Bupati

Purworejo12.

Contoh lainnya dapat ditemukan pada kasus Pengadilan TUN Mataram

dengan Nomor 31/G/2010/PTUN-MTR, tanggal 21 September 2010 Jo. Putusan

Pengadilan TUN Surabaya No.180/B/2010/PT. TUN.SBY, tanggal 1 Maret 2011.

Penggugat adalah H. Lalu Wiratmaja, S.H., dan M. Bajuri Najamudin melawan

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok Tengah yang dalam hal ini pihaknya

adalah H. Moh. Suhaili ,FT, S.H., dam Drs. Lalu Normal Suzana sebagai tergugat

intervensi dengan objek sengketanya berupa Keputusan Komisi Pemilihan Umum

Kabupaten Lombok Tengah Nomor. 27 Tahun 2010 tentang Penetapan Pasangan

Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan Umum

Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Daerah Kabupaten Lombok Tengah

Tahun 2010 atas nama H. Moh. Suhaili FT, S.H. dan Drs. Lalu Normal Suzana

yang ditetapkan pada tanggal 21 April 2010.

Problematika mendasar dalam kasus ini adalah pihak tergugat tidak

menjalankan hasil putusan PTUN Mataram yang telah berkekuatan hukum tetap

untuk mencabut putusan KPU Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010 tentang

Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten

Lombok Tengah Tahun 2010 atas nama H.Moh. Suhaili FT, SH dan Drs. Lalu

Normal Suzana.

12 https://lib.unnes.ac.id/30125/1/8111413032.pdf diakses pada 2 April 2020 pukul 17.01 WIB

Page 15: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

6

Berdasarkan atas kedua kasus tersebut, dapat digambarkan bahwa

masyarakat Indonesia masih memiliki kesadaran hokum yang rendah. Selain itu,

citra penegakkan hokum Indonesia, terkhusus pada lembaga tata usaha negara, baik

pihak pemerintah maupun masyarakat Indonesia masih dapat dikatakan kurang

maksimal. Lebih ironi, keadaan tersebut jika dikaitkan dengan aspek hokum maka

dapat dikatakan penegakkan hokum pada PTUN tidak mencapai tujuan dan asas

hokum yang pasti (kepastian hokum).

Di sisi lain, peradilan Tata Usaha Negara Thailand dapat melakukan

eksekusi dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis13

terhadap harta kekayaan yang bersangkutan (tergugat PTUN)14. Selain itu, terdapat

Legal Excution Department yang berada dalam struktur Kementrian Kehakiman

Thailand15.

Keberadaan peradilan tata usaha negara harus dijalankan dengan sistem dan

mekanisme yang baik. Karena hal tersebut juga menjadi salah satu asas dan

komponen penting dalam menciptakan good governance16. Terlebih Presiden

13 Menurut Black’s Law Dictionary 7th.Edition, menyebutkan istilah.Mutais Mutandis is an all

necessary changes having been made; with.the necessary changes, what was said regarding the first

contract applies mutais mutandis to all the later ones” yang jika diterjemahkan kedalam Bahasa

Indonesia memiliki arti yakni semua perubahan yang diperlukan telah.dilakukan; dengan perubahan

yang diperlukan apa yang dikatakan mengenai kontrak pertama berlaku mutais mutandis untuk semua

yang mendatang. (https://www.google.com/amp/s/dictionary.thelaw.com/mutais-mutandis/amp/)

diakses pada 2 April 2020 Pukul 18.34 WIB.

14 Mohammad Afifudin Soleh, Eksekusi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

yang berkekuatan Hukum Tetap, (Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945 Press, Mimbar Keadilan

Jurnal Ilmu Hukum, 2018).

15 http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf diakses pada 2 April 2020 Pukul 18.34 WIB.

16 Beberapa asas dalam good governance oleh.Koentjoro Purbopranoto diklasifikasikan

keadalam 13 asas penting, antara lain: kepastian hukum (principle of legal security), keseimbangan

(principle of proportionality), kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality), bertindak

cermat (principle of carefulness), motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation), jangan

menyampuradukkan kewenangan (principle of non misuse of competence), permainan yang layak

(principle of fair play), keadilan atau kewajaran (principle of reasonable or prohibition of

arbritrariness), menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raisedeexpectation),

meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled

decision), perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi (principle of protecting the personal way

of life), kebijaksanaan (sapienta), asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).

Page 16: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

7

Amerika Serikat pada 24 Februari 2020 telah mendeklarasikan Indonesia sebagai

salah satu negara maju di dunia.17 Sehingga hal apapun yang berkaitan dengan

intensitas dan kualitas penyelenggaraan negara harus dilakukan dengan maksimal

dan baik.

Melihat fenomena tersebut, penulis tertarik untuk melakukan sebuah

penelitian secara komperehensif untuk melakukan komparasi terhadap sistem

peradilan tata usaha negara dari kedua negara tersebut. Untuk itu, penelitian ini

ditulis dengan judul PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA (STUDI PERBANDINGAN

ANTARA INDONESIA DAN THAILAND).

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Salah satu bentuk upaya pemerintah dalam mewujudkan good

governance adalah dengan berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara agar

tercipta kepastian hukum di Indonesia. Namun tidak dipungkiri dalam

perjalanannya, masih ditemukan beberapa permasalahan baik sistem maupun

teknis pelaksanaanya. Sebagaimana telah dituliskan dalam latar belakang

masalah tersebut diatas, maka dapat penulis uraikan beberapa identifikasi

masalah untuk diteliti lebih lanjut, sebagai berikut:

a. Sanksi berupa uang paksa (dwangsom) tidak dapat berjalan secara efektif

dan efisien karena belum ada ketentuan hukum lanjutan yang membahas

lebih rinci mengenai mekanisme pembayaran uang paksa.

b. Belum ada ketentuan hukum yang secara tegas membahas tentang subjek

yang menanggung pembebanan uang paksa tersebut.

c. Sanksi administratif tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien karena

SF. Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok Pokok Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta Liberti,

2000), h. 58.

17 https://www.worldbank.org diakses pada 2 April 2020 Pukul 18.34 WIB.

Page 17: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

8

tidak ada ketentuan hukum yang menetapkan jenis sanksi administratif apa

yang harus diberlakukan.

d. Belum ada ketentuan lanjutan yang mengatur tentang mekanisme

penerapan sanksi administratif.

e. Ketiadaan lembaga yang dengan tegas mempunyai wewenang untuk

mengeksekusi putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum

tetap.

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,

penulis membatasi masalah yang akan dibahas agar pembahasannya lebih

jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Adapun fokus

permasalahan yang akan dibahas oleh penulis ialah urgensi pembentukan

lembaga eksekutorial yang berwewenang untuk mengawasi tergugat (pejabat

tata usaha negara) dalam menjalankan putusan Peradilan TUN yang telah

berkekuatan hukum tetap dan tidak tertera dalam UU No. 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas UU N0. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

serta perbandingan sistem Peradilan TUN Indonesia dengan Thailand serta

perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan Thailand.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang diuraikan di

atas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut:

a. Bagaimana problematika pelaksanaan putusan di Peradilan TUN ?

b. Bagaimana perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan

Thaildand ?

Page 18: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakanya penelitian mengenai urgensi pembentukan lembaga

eksekutorial yang berwewenang untuk mengawasi tergugat (pejabat tata usaha

negara) dalam menjalankan putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan

hukum tetap dan tidak tertera dalam UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas UU N0. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta

perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan Thailand adalah

sebagai berikut:

a. Mengetahui problematika pelaksanaan putusan di Peradilan TUN.

b. Menjelaskan perbandingan sistem Peradilan TUN antara Indonesia dengan

Thaildand.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian yang berjudul Lembaga

Eksekutorial Dalam Peradilan Tata Usaha Negara (Studi Komparatif Antara

Indonesia Dengan Thailand) adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk penelitian lebih

lanjut guna menambah wawasan dan pengetahuan di bidang politik, hukum,

dan pemerintahan terkhusus mengenai Peradilan Tata Usaha Negara dan

bentuk komparasinya dengan Thailand yang masih belum banyak diketahui

oleh masyarakat luas. Selain itu penelitian ini juga menjadi penguat pada

mata kuliah yang relevan dengan hukum.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara

praktis kepada semua pihak yang terkait dalam penelitian ini, diantaranya:

1) Sebagai saran kepada pemerintah Indonesia, sehingga kedepanya cita-

cita untuk mewujudkan good and clean goverment dapat terealisasi,

karena dapat menjamin hak-hak dan keadilan tidak hanya untuk

beberapa golongan namun untuk seluruh warganya.Penelitian ini juga

Page 19: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

10

diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam

pembentukan produk hukum agar tidak ada lagi ketiadaan hukum.

Selain itu, dengan penelitian ini diharapkan mampu menyadarkan

pejabat tata usaha negara untuk mempunyai kesadaran hukum yang

tinggi.

2) Sebagai masukan kepada civitas akademika Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya program studi Hukum

Tata Negara (Siyasah) agar lebih aware terhadap permasalahan

peradilan di lingkup peradilan tata usaha negara. Selain itu, kiranya

penting bagi Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) untuk

menyediakan mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

maupun pratikum beracara Peradilan Tata Usaha Negara. Mengingat

studi Hukum Tata Negara membahas kewenangan lembaga negara,

terlebih Peradilan Tata Usaha Negara adalahh lembaga peradilan yang

tidak hanya menyelesaikan sengketa antara warga negara dan atau/

badan hukum dengan pejabat tata usaha negara namun juga Peradilan

Tata Usaha Negara merupakan salah satu pilar penting dalam rechstaat.

3) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi

dalam bidang hukum dan pemerintahan yang membahas tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.

4) Penelitian ini secara pribadi menjadi salah satu bentuk implementasi

dari ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti

program perkuliahan sarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha melakukan

penelusuran terhadap berbagai karya ilmiah baik dalam bentuk buku, jurnal, dan

sebagainya yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Adapun hasil

penelusuran yang didapatkan oleh peneliti sebagai berikut:

Page 20: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

11

“Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang Telah

Berkekuatan Hukum Tetap (Analisis Putusan Nomor 043/G/2014/PTUN.SMG)”,

oleh Nurul Hidayah, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri

Semarang. Skripsi ini mengkaji permasalahan eksekusi terhadap putusan Peradilan

TUN Semarang No. 043/G/2014/PTUN.SMG. Hal ini terjadi karena eksekusi

terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap menitikberatkan pada tingkat

kesadaran hukum pihak tergugat, belum adanya peraturan mengenai kepada siapa

denda tersebut dibebankan karena tidak melaksanaan putusan, dan perbedaan

penafsiran dalam Perda No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Purworejo. Adapun, menurut Nurul Hidayah seharusnya sebagai

pejabat negara harus ditingkatkan lagi kesadaran dan kepatuhan hukum serta

Undang-undang yang mengatur konsekuensi Peradilan TUN harus dipertegas dan

diperjelas, kemudian dalam Perda No. 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kabupaten Purwerejo pasal yang ditulis harus jelas sehingga tidak

menimbulkan penafsiran hukum, dan lembaga pengawas internal daerah

seharusnya berjalan seiringan.

“Eksekusi Terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang

Berkekuatan Hukum Tetap ”, Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum oleh

Mohammad Afifudin Soleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus

1945 Surabaya. Jurnal ini membahas mengenai bagaimana Peradilan TUN sebagai

kontrol yuridis dalam pemerintahan tidak memiliki daya paksa atau kekuatan

eksekutorial. Akibatnya, pelaksanaan putusan Peradilan TUN hanya bergantung

pada itikad baik Badan atau Pejabat Negara dalam menaati hukum. Dalam

jurnalnya tersebut, untuk menjaga wibawa Peradilan TUN dapat dipatuhi dan

dilaksanakan sebaik-baiknya, maka diperlukan revisi terhadap Pasal 116 Undang-

Undang No. 51 Tahun 2009 perlu ditambahkan ketentuan mengenai

pemberlakukan secara mutatis mutandis hukum acara perdata dalam hal

pembayaran uang paksa (dwangsom) dan penambahan pasal penghinaan terhadap

pengadilan (contempt of court) agar Badan atau Pejabat Negara patuh dan menaati

putusan Peradilan TUN.

Page 21: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

12

“Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakan Hukum di

Indonesia”, Jurnal Hukum Peratun oleh Yulius, Mahkamah Agung Republik

Indonesia Press. Jurnal ini mengemukakan pendapat dari penulis bahwa kendala

dalam pelaksanaan putusan Peradilan TUN secara in abstracto terletak pada norma

pengaturan pelaksanaan putusan yang masih belum tegas, sedangkan secara in

concreto penyebabnya adalah ketidakpatuhan badan dan/atau pejabat pemerintahan

terhadap hukum. Untuk itu, dalam jurnalnya penulis memberikan solusi dengan

mendirikan Lembaga Eksekutif Negara yang memiliki khusus menjalankan fungsi

eksekutorial yang tidak hanya diperuntukkan bagi Peradilan TUN, tapi juga

lembaga peradilan lainnya.

“Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Era

Otonomi”, oleh Dezonda Rosiana Pattipawae, mahasiswa Program Doktor Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur. Jurnal ini menerangkan bahwa

otonomi daerah membawa implikasi terhadap pelaksanaan penyelenggaraan

pemerintah daerah, termasuk mengenai kebijakan Gubernur maupun

Bupati/Walikota. Namun, di antara kebijakan tersebut ada kalanya merugikan

masyarakat. Dalam hal ini, Peradilan TUN mempunyai wewenang terhadap

kebijakan tersebut. Faktanya, pemberian otonomi daerah secara luas dan kurangnya

pemahaman oleh Kepala Daerah mengenai pelaksanaan Putusan Peradilan TUN,

mengakibatkan pada tidak ditaati dan dipenuhinya putusan Peradilan TUN tersebut.

Selain itu, masih banyak kendala yang terjadi dalam lingkup daerah, misalnya

bagaimana mekanisme pembayaran uang paksa jika Kepala Daerah tersebut

ditugaskan ke daerah lain. Selain itu, dalam jurnal ini lebih fokus membahas

Putusan Peradilan TUN dan otonomi daerah.

“Self-Respect dan Kesadaran Hukum Pejabat Tata Usaha Negara Menuju

Keadilan”, Jurnal Pandecta oleh Untoro, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Islam Jakarta. Jurnal ini membahas tentang belum optimalnya pelaksanaan putusan

Peradilan TUN yang telah in kracht dikarenakan self-respect dan kesadaran hukum

pejabat tata usaha negara yang masih rendah. Hal tersebut adalah akibat dari tiga

faktor berikut ini, yaitu: regulasi eksekusi putusan Peradilan TUN, kualitas

Page 22: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

13

Peradilan TUN, dan kesadaran hukum pejabat tata usaha negara terhadap

pelaksanaan putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap

berpengaruh terhadap terwujudnya keadilan.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat jelas perbedaanya. Penelitian yang

ditulis oleh penulis merupakan studi perbandingan antara Peradilan TUN di

Indonesia dan di Thailand. Selain itu, tidak hanya membandingkan saja, tapi

penulis juga mencoba untuk memberikan solusi terhadap problematika yang

selama ini belum bisa diselesaikan yaitu berupa pelaksanaan putusan Peradilan

TUN. Setelah mengetahui bagaimana pelaksanaan Peradilan TUN di Thailand,

penulis berpendapat bahwa Peradilan TUN Indonesia sedikit banyak dapat belajar

dari bagaimana peraturan mengenai prosedur pelaksanaan putusan Peradilan TUN

di Indonesia.

E. METODE PENELITIAN

Untuk membantu memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka

disusun metode18 penelitan petunjuk dalam mengarahkan penulisan skripsi ini,

atau dengan kata lain sebagai cara dalam mencari data yang akan digunakan

untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam skripsi ini, antara lain sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif dengan

pendekatan qualitatif berupa studi kasus terhadap pelaksanaan putusan

Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji

hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,

18 Metode adalah.suatu cara atau jalan sehubungan dengan usaha ilmiah, metode menyangkut

masalah.cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2015), h. 5.

Page 23: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

14

perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup materi, dan konsistensi.19 Dalam

literatur lain disebutkan bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari:

penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,

penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan penelitian

perbandingan hukum.20 Sedangkan penelitian empiris atau sosiologis terdiri

atas penelitian terhadap identifikasi hukum, dan penelitian terhadap efektivitas

hukum.21

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara mengkaji hukum

tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya dengan pokok

bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris dilakukan dengan cara

mengkaji teknis pelaksanaan putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan

hukum tetap.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai

berikut22:

a. Pendekatan Undang-undang (Statue Approach)

Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua

peraturan dn regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang

ditangani.23 Adapun, dalam skripsi ini pendekatan perundang-undangan

dilakukan dengan melakukan telaah terhadap Undang-undang Peradilan

Tata Usaha Negara dan Undang-undang Administrasi Pemerintah yang

keduanya memiliki kaitan dengan mekanisme pelaksanaan putusan

Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: UI Presss, 1990), h. 15.

20 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003),

h. 41.

21 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 12.

22 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 133-177. 23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93.

Page 24: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

15

b. Pendekatan Komparatif

Pendekatan Komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-

undang atau peraturan dari suatu negara dengan undang-undang atau

peraturan dari satu atau lebih negara dalam hal yang sama.24 Dalam skirpsi

ini, pendekatan komparatif dilakukan dengan cara membandingkan dua

variable dan objek penelitian yakni PTUN Indonesia dan Thailand secara

komprehensif untuk diambil persamaan, perbedaan, dan membuat

kesimpulan dari hasil perbandingan tersebut..

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai

berikut:

a. Sumber Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas atau kewenangan tertentu. Bahan-

bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-

putusan hakim.25

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan hukum primer antara lain:

Naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945,

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

dan

Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan

Thailand’s of Constitution 2017 (Konstitusi Thailand 2017)

24 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 93. 25 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.

Page 25: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

16

Act on Establishment of Administrative Court and Administrative

Court Procedure B.E 2542 (1999 M) (Undang-Undang tentang

Pembentukan Pengadilan Administratif dan Prosedur Pengadilan

Administratif tahun 2542 B.E (1999 M)

b. Sumber Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penelitian berupa semua publikasi

tentang hukum yang bukan merupkan dokumen-dokumen resmi. Publikasi

tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-

jurnal hukum, komentar-komentar (respon) atas putusan pengadilan.26

Dalam penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah

skripsi, tesis, jurnal/artikel, buku dll sebagaimana termaktub dalam poin D

penelitian ini yakni Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu. Selain itu penulis

juga menggunakan kamus insiklopedi hukum, berita, kasus-kasus hukum

yang pernah terjadi sebelumnya, sehingga penelitian yang dilakukan

memiliki kajian pustaka yang relevan dan memumpuni.

c. Bahan Non-Hukum

Bahan-bahan non hukum dalam penetian hukum dapat berupa buku-

buku mengenai ilmu pemrintahan, hukum, politik, filsafat atau laporan-

laporan penelitian non hukum di Indonesia maupun penelitian, dan laporan-

laporan mengenai negara Thailand baik dari Kedutaan Besar Republik

Indonesia yang berada di Bangkok, Thailand serta buku-buku mengenai

Thailand yang memiliki relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan

non hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas

wawasan bagi peneliti.27

26 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 181-195.

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 204-208.

Page 26: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

17

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa bahan non

hukum antara lain: buku-buku tentang pemerintahan di perpustakaan,

dialog interaktif dengan responden, laporan dan penelitian dari Indonesian

Embassy in Bangkok, Thailand, Buku yang ditulis oleh Andrew Harding

and Peter Layland yang berjudul Constitution System of Thailand : A

Contextual Analysis, dll.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara

lain sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau pembahasan

penelitian, dalam penelitian ini studi pustaka dilakukan terhadap buku-

buku dan jurnal di perpustakaan.

b. Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan salah satu metode pengumpulan data

dengan meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan

analisis dan ditujukan langsung kepada subjek penelitian.Dokumen yang

diganakan dalam penelitian ini selain naskah salinan peraturan, juga

mengamati secara langsung proses beracara di Peradilan TUN. Metode ini

dilakukan untuk memastikan data yang didapatkan benar dan valid.

5. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok

bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis

data bertujuan untuk menginterprestasikan data yang sudah disusun secara

sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara

bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih,

Page 27: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

18

dan efektif, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam menganalisis dan

mengolah data.

F. Sistematika Penulisan

Agar lebih mudah dalam memahami penelitian ini, maka peneliti menyusun

sistematika penelitiannya sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis memaparkan latar belakang

penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, teknik pengolahan dan

metode penelitian, sistematika pembahasan.

Bab II Kerangka Teoritis dan Konsep, bab ini menjelaskan mengenai Teori

Kedaulatan Hukum, Konsep Negara Hukum, Lembaga Eksekutorial, dan Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN).

Bab III Model Pelaksanaan Putusan oleh Peradilan Tata Usaha Negara

menjelaskan mengenai Sistem Hukum dan Ketatanegaraan di Thailand,

Mekanisme Pelaksanaan Putusan PTUN di Thailand, dan Mekanisme Pelaksanaan

Putusan PTUN di Indonesia .

Bab IV Analisis Perbandingan Model Pelaksanaan Putusan pada Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN) , pada bab ini penulis memaparkan poin yakni

Persamaan dan Perbedaan model pelaksanaan putusan PTUN antara Indonesia dan

Thailand, Kelebihan dan Kelemahannya , serta Urgensi Lembaga Eksekutorial

PTUN di Indonesia.

Bab V penutup, pada bab ini peneliti akan membahas kesimpulan dari hasil

penelitian dan saran yang diberikan oleh penulis.

Page 28: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

19

BAB II

KERANGKA TEORITIS DAN KONSEP

A. TEORI KEDAULATAN HUKUM

Kedaulatan merupakan unsur penting dalam suatu negara, dan keberadaan

suatu negara tidak akan lepas dari konsep kedaulatan. Secara etimologis kata

“Kedaulatan” berasal dari beberapa bahasa asing yakni sovereignity (Bahasa

Inggris), souverainete (Bahasa Perancis), sovereignitiet (Bahasa Jerman),

souvereyn (Bahasa Belanda), dan sprenus (Bahasa Italia )1. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia kedaulatan bermakna kekuasaan yang tertinggi atau hak

dipertuan (atas pemerintahan negara).2 Menurut Amiruddin, kata kedaulatan

berasal dari bahasa Arab yakni dari kata dạla yadulu atau dalam bentuk jamak

duwal yang makna berganti-ganti atau perubahan.3

Teori kedaulatan hukum menjadikan hukum sebagai sumber kedaulatan,

karena itu baik raja, penguasa, rakyat, bahkan negara itu sendiri harus tunduk

kepada hukum. Segala tingkah laku dan perbuatan tidak akan lepas dari hukum.4

Teori Kedaulatan Hukum mendalilkan bahwa hukum lahir dari kesadaran individu.

Kesadaran hukum inilah yang membedakan mana yang adil dan mana yang tidak

adil.

Definisi lain yang dijelaskan dalam buku“Lectures on Jurisprudence”,

Austin memiliki pandangan yang berbeda mengenai kedudukan penguasa dalam

kedaulatan hukum. Austin menjelaskan selalu terdapat seorang atau beberapa orang

yang berdaulat, yakni mereka yang ditaati oleh bagian terbesar dari rakyat negara

itu dan yang tidak mentaati sesamanya. Bagi Austin juga yang berdaulat adalah

1 Jauhari, Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Islam, (Semarang: Universitas Islam Sultas

Agung Semarang Press, 20015), h. 210.

2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005) h.

269 -270.

3M. Hasbi Amirudin, Konsep Negara Islam menurut Fazlu Rahman, (Yogyakarta:Universitas

Islam Indonesia Press, 2001), h. 101.

4 H. Salim, HS, 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajagrafindo Persada, Cetakan

Kedua, Jakarta, h. 135.

Page 29: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

20

“pembentuk hukum yang tertinggi (supreme legislator) dan hukum positif adalah

hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu.5

Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena

perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini dapat diasumsikan

sebagai hal negatif apabila hukum positif yang dihasilkan tidak mencerminkan

keadilan, karena lebih mengedepankan aspek formilnya. Pemikiran yang

dicetuskan oleh John Austin ini merupakan Teori Etatis, yang menyatakan hukum

adalah hakekat perintah (command) yang berasal dari negara/badan yang

berdaulat.6

Berbeda halnya dengan Hugo Krabbe yang mendalilkan bahwa hukum

bukanlah ketentuan-ketentuan yang dibuat penguasa. Penguasa hanya memberikan

perumusan formil saja kepada hukum yang telah ada pada kesadaran hukum orang,

Sebaliknya, kekuasaan penguasa pun berasal dari hukum dan harus sesuai dengan

kesadaran hukum orang. Kelemahan dari Teori Kedaulatan Hukum ini adalah

bahwa anggapan tentang hukum, yaitu anggapan tentang apa yang adil dan apa

yang tidak adil, tidaklah mutlak sama pada semua orang sehingga hukum tidak

sama dan secara mutlak pada setiap tempat dan setiap waktu.7

Namun, teori Krabbe tidak dapat diterima, karena kaidah yang berasal dari

perasaan hukum seseorang hanya berlaku baginya saja. Jadi apabila tiap orang

mempunyai anggapan sendiri tentang hukum, maka hukum yang berdasarkan

anggapan sendiri itu jumlah dan macamnya tidak terkira banyaknya.

Sedangkan tata tertib masyarakat menghendaki adanya hukum yang sama

bagi semua orang; jika tidak demikian, maka masyarakat menjadi kacau (anarki).

Setelah mengetahui kekurangan ini, maka Krabbe mengubah teori tersebut dan

membuat batasan yang baru yang berbunyi: “Hukum berasal dari perasaan hukum

h. 16.

167.

5 F. Isjrawa, Pengantar Ilmu Politik (Cetakan ke-7), (Bandung: Bina Cipta, 1980), h. 107-110.

6 O Notohamidjojo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, (Salatiga: Penerbit Griya Media, 2011),

7 Muchtar Affandi, Himpunan Kuliah Ilmu Kenegaraan, (Bandung: Alumni Press, 1971), h.

Page 30: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

21

yang ada pada bagian besar dari anggota suatu masyarakat.” (Menurut Krabbe,

maka negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat)). Tiap tindakan negara harus

dapat dipertanggung jawabkan pada hukum.

Adapun, Georg Jellinek seorang filsuf dan ahli tata negara dari Jerman

berpendapat lain. Teori Selbstbindung yang dicetuskannya menyatakan bahwa

negara secara sukarela mengikatkan diri atau mengharuskan dirinya tunduk kepada

hukum sebagai penjelmaan dari kehendak sendiri.8 Teori Jellinek ini merupakan

bentuk kritik terhadap teori Krabbe, bahwa bukanlah negara yang memiliki

kedaulatan melainkan kesadaran hukum yang memiliki kedaulatan.

Inti teori kedaulatan hukum yang mengajarkan tunduknya negara kepada

hukum, membawa konsekuensi bahwa setiap kekuasaan yang ada dalam negara

harus tunduk tehadap hukum. jadi hukum merupakan kekuasaan tertinggi dalam

negara, oleh karena itu berpegang pada inti teori kedaulatan hukum, maka

kekuasaan kehakiman pun harus tunduk pada hukum. konsekuensi semua

kekuasaan yang berada di bawah tetanan negara hukum juga harus tunduk pada

hukum.

B. KONSEP NEGARA HUKUM

Konsep negara hukum menjadi cita-cita kenegaraan pada zaman modern.

Jadi perbedaan antara kedaulatan negara dengan kedaulatan hukum adalah:

penganut teori kedaulatan negara, mengatakan bahwa negara menciptakan hukum,

sedangkan penganut teori kedaulatan hukum, justru sebaliknya, hukumlah yang

menciptakan negara. Negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan

hukum dinamakan negara hukum atau nomokrasi (nomoi = hukum; kratein =

menguasai, memerintah).9

8 Dossy Iskandar & Bernard L. Tanya, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”, (Surabaya:

Srikandi, 2005), h.127.

9 Azis Setyagama, Pembaruan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung di

Indonesia, (Surabaya: CV. Jakad Media Publishing, 2017), h. 54-55

Page 31: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

22

Dasar-dasar (asas-asas) negara hukum itu sendiri adalah: asas legaliteit,

asas perlindungan kebebasan dan hak pokok manusia atas semua orang yang ada

di wilayah negara, dalam hal kebebasan dan hak ini sesuai dengan kesejahteraan

umum. Yang dimaksud dengan asas legaliteit adalah bahwa semua tindakan alat-

alat negara (staatsorganen) harus didasarkan atas dan dibatasi oleh peraturan

perundang- undangan.10

Yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam negara ialah Undang-Undang

Dasar yang terdiri atas peraturan- peraturan hukum dan asas-asas hukum. Negara

hukum modern (moderne rechsstaat) sendiri bertugas melindungi kebebasan dan

hak pokok tiap orang yang berada di wilayahnya. Perlindungan tersebut tidak hanya

bersifat pasif tetapi juga harus bersifat aktif dalam rangka menyelenggarakan

kesejahteraan bagi rakyat.11

Seiring dengan berkembangnya zaman, berkembang pula konsep negara

hukum di zaman modern. Adapun tokoh yang mengembangkannya di Eropa

Kontinental ialah Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain

dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.12

Para pemikir Hukum Eropa Kontinental menyatakan lahirnya konsep

Negara Hukum rechstaat adalah absolutisme raja pada saat itu. Sedangkan,

gagasan terpenting dari negara hukum rechstaat terletak pada kehendak untuk

membatasi kekuasaan raja-raja yang memerintah secara absolut tanpa ada kekuatan

yang dapat menjadi kontrol, sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa pada

saat itu. Immanuel Kant, dalam karyanya yang berjudul “Mathaphysiche

Ansfangsgrunde der Rechtslehre” berpendapat bahwa negara harus bertindak pasif

dan harus tunduk pada peraturan-peraturan negara.13

10 Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, Penerbit Armico:1986, h. 148

11 Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, Penerbit Armico:1986, h. 148

12 Siti Merida Hutagalung, Penegakkan Hukum di Indonesia: Apakah Indonesia Negara

Hukum?, (Jakarta: Universitas Kristen Indonesia Press, 2011) h. 110.

13 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sisten Hukum Negara Indonesia,

(Semarang: Universitas Diponegoro Press, 2014), h. 365-366.

Page 32: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

23

Pada abad ke-19, Julius Stahl merumuskan konsep Negara Hukum

rechstaat mencakup empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.

4. Peradilan tata usaha Negara.14

Sedangkan A.V. Dicey sebagai pelopor Negara Hukum rule of law dalam

tradisi Anglo-Saxon menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara

Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

1. Supremacy of Law.

2. Equality before the law.

3. Due Process of Law.15

Walaupun terdapat perbedaan di anatar dua konsep Negara Hukum

tersebut, namun keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius

Stahl dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan

oleh A.V. Dicey untuk dijadikan ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman

sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, menambahkan

prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of

judiciary) yang di zaman sekarang diperlukan dalam setiap negara demokrasi.

Prinsip-prinsip Negara Hukum menurut “The International Commission of

Jurists” itu adalah:

1. Negara harus tunduk pada hukum.

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.

3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.16

14 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, (Gunungsitoli: Pengadilan Negeri

Gunungsitoli Press, 2017), h. 2.

15 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 3.

16 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h. 3.

Page 33: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

24

Konsepsi tentang Negara Hukum di kalangan mayoritas ahli hukum masih

sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian dari konsep Negara Hukum itu

sendiri yang dikembangkan pada abad ke-19 sampai dengan abad ke-20. Sebagai

contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara Hukum Rechtsstaat, para

ahli selalu saja mengemukakan empat unsur ‘rechtsstaat’, di mana unsur yang

keempat adalah adanya ‘administratieve rechtspraak’ atau Peradilan TUN sebagai

ciri pokok dari rechstaat.17

Seperti yang telah dijabarkan di atas, konsep negara hukum rechstaat

menempatkan Peradilan TUN sebagai salah satu elemen penting dalam negara

hukum. Keberadaan Peradilan TUN diharapkan mampu untuk menegakkan

keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, dengan begitu pengayoman

kepada masyarakat dapan berjalan dengan baik, khususnya dalam hubungan antara

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. Selain untuk

memberikan pengayoman atau perlindungan hukum bagi masyarakat, ditegaskan

pula bahwa keberadaan Peradilan TUN adalah untuk membina, menyempurnakan,

dan menertibkan aparatur di bidang Tata Usaha Negara, agar mampu menjadi alat

yang efisien, efektif, bersih, serta berwibawa, dan yang dalam melaksanakan

tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan dilandasi semangat dan sikap

pengabdian untuk masyarakat.18

Dalam setiap Negara Hukum, setiap warga memiliki hak dan kesempatan

untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya

putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi

negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah

yang memiliki kewenangan dan berkompeten agar warga negara tidak didzalimi

oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang

berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan

tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan

17 Jimly Asshidiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia, h.4.

18 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sisten Hukum Negara Indonesia,

(Semarang: Universitas Diponegoro Press, 2014), h. 364.

Page 34: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

25

hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha

Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha

negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip

‘independent and impartial judiciary’.19

C. LEMBAGA EKSEKUTORIAL

Di Indonesia, eksekusi riil dalam lingkungan Peradilan Umum dilakukan

oleh Kepaniteraan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan untuk perkara perdata

(Pasal 195 s.d. Pasal 208 HIR dan Pasal 1033 Rv). Dalam putusan perkara pidana,

Pasal 270 KUHAP menyebutkan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,yang untuk itu panitera

mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Pada lingkup peradilan Militer

wewenang diberikan kepada Oditur Militer untuk mengeksekusi putusan Hakim

Militer. Sedangkan, di Peradilan Agama, menurut ketentuan pasal 95, 98 dan 103

UU No. 7 Tahun 1989 juga sudah dapat melaksanakan secara paksa (Eksekusi) atas

penetapan dan putusannya termasuk melaksanakan segala macam bentuk sita

(beslag).20

Mengenai eksekusi riil dalam Peradilan TUN sebenarnya belum ditentukan

secara tegas dan jelas dalam undang-undang terkait. Juru sita di PTUN hanya

memiliki fungsi sebatas administratif, yakni dalam hal surat menyurat dan tidak

mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk memaksa pejabat TUN

(tergugat) agar eksekusi upaya paksa dapat dilaksanakan. Berlaku demikian juga

terhadap Ketua Peradilan TUN yang memiliki fungsi sebatas mengawasi dalam arti

pasif dan tidak dapat menjatuhkan hukuman (sanksi) apapun seandainya badan

h. 364.

19 Putera Astomo, Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sisten Hukum Negara Indonesia,

20 Pridly Nataniel Boneka, Tinjauan Hukum Putusan PTUN dalam Rangka Eksekusi Putusan

yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, (Manado: Universitas Sam Ratulangi Press, 2014), h.

145.

Page 35: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

26

dan/atau pejabat pemerintahan tetap tidak melaksanakan isi putusan Peradilan

TUN.21

Berkaca dari negara lain, seperti di Thailand pelaksanaan putusan Peradilan

Perdata dan Peradilan TUN dilaksanakan oleh lembaga yang terpisah dari Peradilan

dan berada di bawah Kementrian.22 Sedangkan, di Belanda lembaga yang

bertanggungjawab atas eksekusi putusan pengadilan dilaksanakan oleh Koninklijke

Beroeporganisatie van Gerechtsdeurwaarders23.

Konsep dasarnya pembentukan lembaga eksekusi ini bertujuan untuk

menciptakan aktualisasi penegakan hukum.24 Lembaga Eksekusi yang

mekanismenya dianggap sebagai “taat asas” dan menghormati hak-hak warga

negara. Demikian juga keberadaan Lembaga Eksekusi lebih tepat sebagai

pelaksana urusan pemerintahan badan dan/atau pejabat pemerintahan terhadap

tergugat yang tidak mau melaksanakan putusan badan peradilan TUN, karena

penerbitan dan pencabutan objek sengketa administrasi pemerintahan yang digugat

di PTUN termasuk dalam lingkup urusan eksekutif.25

Jenis Lembaga Eksekutif Negara ini sebaiknya berkedudukan sejajar

dengan Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945,

yaitu Presiden, Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Fungsi

utama dari lembaga ini nantinya khusus menangani pelaksanaan eksekusi

pengadilan.26 Selanjutnya, agar pengaturan dan pelaksanaan eksekusi yang

21 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia,

(Jakarta: Mahkamah Agung RI Press, 2018), h. 31.

22 http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf diakses pada 13 Juni 2020. Pukul 11.52 WIB.

23https://katadata.co.id/analisisdata/2019/10/01/menuju-pelaksanaan-eksekusi-putusan-

perdata-yang-efektif melalui penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Indepedensi

Peradilan (LeIP) diakses pada 13 Juni 2020. Pukul 11.59 WIB.

24 Makmur, Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan, PT. Refika Aditama, Bandung,

2011, hlm. 151.

25 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 27.

26 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 27.

Page 36: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

27

dilaksanakan oleh Lembaga Eksekusi Negara dapat berjalan secara efisien dan

komprehensif, lembaga ini juga diperuntukkan bagi semua lingkup peradilan di

Indonesia.27

D. PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu lembaga peradilan di

bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat

terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Sedangkan, sengketa Tata Usaha Negara

adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau

badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat

maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,

termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.28

Adapun yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

adalah adan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam memutus sengketa Tata

Usaha Negara, Peradilan TUN akan menetapkan suatu ketetapan tertulis yang

berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.29

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa perbuatan atau

wewenang dari badan atau pejabat tata usaha Negara yang dapat digugat oleh

masyarakat hanyalah berupa keputusan (beschikking) dari badan atau pejabat

tata usaha Negara. Selain mengeluarkan keputusan (beschikking), wewenang

27 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 31.

28 Lihat Pasal 1 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

29 Lihat Pasal 1 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Page 37: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

28

pemerintah termasuk juga mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan

perbuatan materiil (materiil daad).30

Keberadaan Peradilan TUN dikatakan penting karena bertujuan untuk:

1. Sarana kontrol yuridis yang mempunyai peran untuk mengawasi pelaksanaan

wewenang pejabat TUN (dalam hal ini pemerintah berada dalam posisi

eksekutif) dengan tujuan agar para pejabat TUN tidak melakukan perbuatan

yang dapat merugikan warga negara.

2. Menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah dan warga negaranya.

Sengketa yang diakibatkan dari tindakan-tindakan pemerintah yang dinilai

melanggar hak-hak warga negaranya.

3. Merupakan salah satu sarana untuk menciptakan good governance di Indonesia.

Peradilan TUN diharapkan mampun mewujudkan pemerintahan yang bersih,

berwibawa, efektif, dan efesien dalam melaksanakan tugasnya yang

berdasarkan pada hukum.31

Perihal nama yang digunakan di Indonesia, terdapat 2 (dua) macam nama

yakni citeertitel yang dianggap bermakna sama yang mengacu kepada pengertian

Peradilan TUN. Berdasarkan Pasal 144 UU Nomor 5 Tahun 1986, maka selain

dapat disebut dengan “Peradilan Tata Usaha Negara,” dapat pula digunakan

sebutan “Peradilan Administrasi Negara.”32

Penggunaan 2 (dua) nama tersebut muncul karena perbedaan pendapat

pada saat pembahasan pembentukan UU Nomor 5 Tahun 1986. Saran dari pihak

pemerintah ialah menggunakan nama “Peradilan Tata Usaha Negara”. Sedangkan

saran dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

dan para akademisi seperti dari Universitas Andalas, Universitas Sumatera Utara,

Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin,

menggunakan nama “Peradilan Administrasi Negara”.

30 Lihat Pasal 2 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara

31 Endra Wijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h. 3.

32 Endra Wijaya, Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,h. 11.

Page 38: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

29

Berdasarkan berbagai pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki kedudukan yang sangat vital

dalam suatu negara. Tolak ukur penilaian Judicial Control pada Common Law

sistem terikat pada kaedah-kaedah karena tidak terkodifikasi, disamping itu di-

kenaI prinsip natural justice, dan asas-asas tidak tertulis, sedangkan pada sistem

Civil-Law yang sudah mengenal kodifikasi, juga terdapat prinsip-prinsip

pemerintahan yang baik, general principle of good administration33.

33 Anna Erliyana, Hukum dan Pembangunan, (Depok: Universitas Indonesia Press, 2017), h.

110.

Page 39: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

30

BAB III

MODEL PELAKSANAAN PUTUSAN OLEH PERADILAN TATA USAHA

NEGARA

A. SISTEM HUKUM DAN KETATANEGARAAN DI THAILAND

Secara geografis1, Thailand merupakan negara yang mempunyai letak

strategis, yakni berada di tengah semenanjung Indochina di Asia Tenggara.

Wilayah bagian utara Thailand berbatasan dengan Myanmar dan Laos, sebelah

timur berbatasan langsung dengan Laos dan Kamboja, di bagian selatan adalah

Teluk Thailand dan Malaysia, sedangkan di bagian barat oleh laut Andaman dan

ujung Selatan Myanmar. Luas keseluruhan negara Thailand yaitu 513,120 km2

terdiri dari daratan seluas 510,890 km2 dan perairan seluas 2,230 km2. Ibukota

Thailand adalah Bangkok yang juga diperuntukkan sebagai pusat politik,

perdagangan, industry, dan budaya. Thailand terbagi menjadi 77 provinsi.2

Populasi penduduk Thailand pada Mei 2020 sebanyak 69,773,717 jiwa dan

semakin meningkat dari tahun ke tahun. Komposisi dari populasi tersebut

didominasi oleh orang Thailand sebanyak 80%, 10% orang Cina, 3% orang

Melayu dan sisanya adalah minoritas termasuk Suku Mons, Suku Khmer, dan

suku lainnya. Populasi tertinggi menenpati kota Bangkok sebagai ibukota dari

Thailand yaitu sebanyak 5,104,476 jiwa.3

Mayoritas agama yang dianut oleh penduduk di Thailand adalah Budha

yang menganut tradisi Theravada4 sebanyak 89% dari total penduduk Thailand,

1 Sebagai data dan referensi lebih lanjut, peta Negara Thailand telah penulis lampirkan pada

bagian akhir skripsi ini.

2 Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Thailand, Market Brief Perdagangan Perbatasan

Thailand, (Bangkok: Office of Commercial Attache, Embassy of the Republic of Indonesia for Kingdom

Thailand, 2013), h. 3.

3 https://www.worldometers.info/demographics/thailand-demographics/ berdasarkan data

yang dieloberasi dengan Divisi Kependudukan, Departemen Ekonomi dan Sosial, United Nations

diakses pada 6 Mei 2020 Pukul 14.23 WIB.

4 Tradisi (aliran Theravada) secara harfiah merupakan ajaransesepuh atau pengajaran terdahulu

yang merupakan mazhab tertua dari agama Buddha yang ditemukan di India. Theravada merupakan

ajaran yang konservatif dan mayoritas dipeluk oleh Sri Lanka dan beberapa di negara Asia Tenggara

seperti Laos, Kamboja, dan Thailand. Secara umum prinsip dasar Theravada adalah: 1. Dukkha; Duka

Page 40: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

31

diikuti dengan Muslim sebanyak 10% dari populasi, Kristen (terutama katolik)

sebanyak 0,7% dari populasi. Kemudian terdapat juga komunitas kecil Sikh,

Hindu, dan Yahudi. Adapun raja Thailand adalah seorang Buddha, meskipun

begitu kehidupan bertoleransi diterapkan di Thailand dan kebebasan beragama

dijamin oleh konstitusi.5

Warisan kebudayaan Thailand dipengaruhi oleh peninggalan adat

kebiasaan Kerajaan Siam, Kerajaan Ayyuthaya, dan berbagai cerita rakyat

Thailand. Juga dipengaruhi oleh ajaran Agama Budha Theravada, tradisi India,

Cina, Khmer, dan bagian Asia Tenggara lainnya. Budaya merupakan elemen

penting dari tatanan sosial Kerajaan dan perekonomiannya yang dinamis.

Sehingga memungkinkan semua warga negara untuk menjunjung tinggi nilai-nilai

budaya mereka, bertoleransi dan untuk terus beradaptasi dengan perubahan.

Thailand memiliki sistem pendidikan yang membebaskan anak-anak di

Thailand untuk berpendidikan, terlepas dari latar belakang dan kewarganegaraan

mereka.6 Selain itu seiring dengan keberadaan umat Islam di Thailand, maka

muncul dan berkembang pula pendidikan Islam di daerah yang bermayoriatas

muslim, terutama di empat provinsi yakni Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun.

Empat provinsi tersebut menjadi provinsi yang menyediakan lembaga

pendidikan Islam seperti pesantren yang dipimpin oleh seorang Tu’guru (Kyai)

dan dibantu dengan beberapa orang ustadz. Kegiatan belajar mengajar dilakukan

secara tradisional dengan mata pelajaran , seperti al-Qur’an, tafsir, asas-asas ilmu

hukum (ushul-al- figh), fiqih, tata bahasa, tauhid, dan sebainya, sumber

atau Penderitaan, 2. Duhka Samudya; Sebab penderitaan, 3. Dukkha Nirodha; berakhirnya penderitaan,

4. Dukkha Nirodha Gamini Patipada; Cara menghentikan penderitaan, yang dirangkum ke dalam tiga

ajaran utama, yakni kebijaksanaan, kemoralan, dan konsentrasi melalui meditasi. (Sumber:

www.ignca.nic.in)

5 http://www.thailandtoday.in.th/culture-and-society/overview diakses pada 6 Mei 2020, Pukul

14.46 WIB.

6 https://www.unicef.org/thailand/what-we-do/education diakses pada 6 Mei 2020. Pukul 15.04

WIB.

Page 41: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

32

referensinya kebanyak diambil dari kitab-kitab khazanah pemikiran klasik.7

Sektor ekonomi Thailand bergantung pada ekspor produk industri yang

menyumbang 2/3 dari total pendapatan nasional. Dengan infrastruktur yang

memadai, kebijakan yang pro investasi, dan ekonomi terbuka; Thailand menjadi

negara kuat dalam ekspor produk-produk industri dan pertanian. Produk-produk

utama yakni elektronik, komoditas pertanian, otomotif, dan makanan olahan.8

Thailand merupakan negara kesatuan dengan sistem monarki konstitusional

dan demokrasi parlementer. Walaupun bentuk pemerintahannya monarki,

Thailand menerapkan trias politika yang terbagi menjadi kekuasaan eksekutif,

yudikatif, dan legislatif. Secara structural, organisasi kepemerintahan di Thailand

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Lembaga Eksekutif

Dalam sistem kepemerintahan di Thailand, Lembaga eksekutif memiliki

dua kluster yakni raja dan perdana menteri. Raja merupakan kepala negara,

dalam hal ini raja menjalankan beberapa kekuasaan antara lain: kekuasaan

legislatif mealui parlemen, kekuasaan eksekutif melalui kabinet, dan

kekuasaan yudikatif melalui peradilan. Pada ketentuan yang termaktub dalam

1924 Law of Palace on Succession menyebutkan bahwa penggantian kepala

negara (dalam hal ini raja) harus seorang laki-laki. Namun, raja memiliki hak

untuk merubah aturan tersebut. Selain seorang Budist, figur raja Thailand juga

merupakan penegak hak dan keadilan bagi berbagai aspek kehidupan

bermasyarakat di Thailand, baik urusan keagamaan maupun persoalan sosial

dan tradisi budaya masyarakat Thailand.9

Kluster kedua yang memiliki kedudukan sebagai lembaga eksekutif

7 Surin Pitsuwan, Islam di Muangthai, (Jakarta: LP3ES, 1998), h. 145.

8 Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Thailand, Market Brief Potensi Produk Jasa di

Pasar Thailand, (Bangkok: Office of Commercial Attache, Embassy of the Republic of Indonesia for

Kingdom Thailand, 2015), h. 15.

9 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, (New York: Facts on Filem Inc.,

2007), h. 915.

Page 42: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

33

adalah perdana menteri yang berkedudukan sebagai pusat dan bertanggung

jawab penuh atas sebagian besar yang berkaitan dengan perumusan kebijakan

nasional selain itu, perdana menteri juga bertugas sebagai ketua dari Kabinet

Thailand. Beberapa subdivisi yang membantu kerja dari kantor perdana

menteri antara lain: biro anggaran, dewan keamanan nasional, dewan yuridis,

dewan ekonomi-sosial, badan penanaman modal, komisi pelayanan sipil, dan

beberapa bagian lainnya yang terkait dengan perumusan kebijakan nasional.10

Terdapat dua puluh kementrian di Thailand, yaitu: Kementrian Pertanian

dan Koperasi, Kementrian Perdagangan, Kementrian Kebudayaan,

Kementrian Pertahanan, Kementrian Pendidikan, Kementrian Energi,

Kementrian Keuangan, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Industri,

Kementrian Riset, Teknonogi, dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Dalam

Negeri, Kementrian Kehakiman, Kementrian Tenaga Kerja, Kementrian

Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Kementrian Kesehatan, Kementrian

Ekonomi Digital dan Masyarakat, Kementrian Sosial dan Kemanusiaan,

Kementrian Olahraga dan Pariwisata, dan Kementrian Transportasi.11

Selain itu, dalam jajaran kementerian terdapat Dewan Negara atau

Dewan Penasihat (Khana Ongkhamontri Thai). Dewan ini dipimpin oleh

Presiden Dewan Penasihat Thailand, yang saat ini ditempati oleh mantan

Perdana Menteri Surayud Chulanont sejak 27 Mei 2019. Terdiri dari 18 orang

yang ditunjuk dan diberhentikkan oleh raja. Namun, jika ingin mengangkat

dan memberhentikan Presiden Dewan Penasihat, harus diketahui dan

ditandatangani oleh Presiden Majelis Nasional. Adapun Dewan Penasihat

10 Funsten, John. Government and politics in South East Asia. Singapore : Institute of Asia

Studies, Singapore, 2001. h. 344

11 Funsten, John. Government and politics in South East Asia. Singapore : Institute of Asia

Studies, Singapore, 2001. h. 345

Page 43: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

34

memiliki banyak peran dan kekuasaan seputar kepala negara dan kerajaan.12

2. Lembaga Legislatif

Parlemen Thailand (Rathasapha) adalah bicameral yang terdiri dari

Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua dari DPR Thailand merupakan

presiden majelis nasional, sedangkan ketua senat adalah wakil presiden dari

majelis nasional. Fungsi utama Majelis Nasional adalah; menyebarluaskan

peraturan, mengawasi keadministrasian urusan negara, dan menerima atau

menolak program administrasi.13

Dewan Perwakilan Rakyat Thailand (Sapha Phuthaen Ratsadon)

adalah majelis rendah Parlemen Thailand, yang juga cabang legislatif

pemerintah Thailand dengan masa jabatan selama empat tahun. Dewan

Perwakilan Rakyat memiliki 500 anggota, 350 anggota dipilih langsung

berdasarkan konstituensi, sementara 150 lainnya ditunjuk melalui representasi

partai politik.14

Peran dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat Thailand telah dicatat

melalui konstitusi tahun 2007. Dewan Perwakilan Rakyat Thailand didirikan

setelah revolusi 1932, yaitu ketika Partai Rakyat pada waktu itu

menggulingkan monarki absolut dan menggantikannya dengan monarki

konstitusional. Ketika itu Dewan Perwakilan Rakyat sebenarnya telah

dibentuk oleh Raja Prajadhipok yang waktu itu menandatangani konstitusi

sementara pada tahun 1932, namun fungsi dari House of Representative

sendiri belum sepenuhnya dijalankan, hingga pada tanggal 28 Juni 1932

diadakan sesi pertama dari Majelis Rakyat di Ananda Samakhom Throne

12 Diakses melalui situs resmi pemerintah Thailand di

https://web.archive.org/web/20090209084722/http://kanchanapisek.or.th/ohmpc/pc-house.en.php pada

8 Mei 2020. Pukul 00.40 WIB.

13 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, h. 915

14 Thailand Constitution 2017, yang diterjemahkan oleh Foreign Law Division, Office of

the Council of State. Diakses melalui http://constitutionnet.org/sites/default/files/2017-

05/CONSTITUTION+OF+THE+KINGDOM+OF+THAILAND+(B.E.+2560+(2017)).pdf pada 8 Mei 2020. Pukul 01.27 WIB.

Page 44: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

35

Hall.15

Fungsi utamanya menginisiasi dan memberi persetujuan RUU,

merancang anggaran, memilih Perdana Menteri dari antara anggota parlemen,

memberhentikan menteri, memonitor administrasi negara, serta

bersama Senat memutuskan masalah-masalah substansial negara seperti

masalah konstitusi, prosedur pemerintahan yang penting, deklarasi perang dan

damai, serta meratifikasi perjanjian internasional. Uniknya, untuk

menginisiasi mosi tidak percaya kepada perdana menteri, cukup dilakukan

lewat 1/5 dukungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat.16

Di sisi lain, Senat (Wuthisapha) terdiri atas 200 anggota untuk masa

jabatan sealam 5 tahun.17 Fungsi utama Senat adalah melegalisasi RUU yang

sudah diproses oleh Dewan Perwakilan Rakyat, memonitor administrasi

negara, menominasikan pejabat-pejabat yudikatif, memecat politisi negara

yang korup. Setiap anggota Senat punya hak bertanya kepada setiap menteri

atas tanggungjawabnya. Jika Dewan Perwakilan Rakyat bubar, maka kuasa

membuat UU ada di tangan Senat. Namun, Senat tidak dapat dibubarkan.18

3. Lembaga Yudikatif

Sebagaimana lembaga yudikatif pada seluruh negara di dunia, lembaga

ini memiliki fungsi untuk penanganan peradilan dan penegakkan keadilan

negara. Namun dalam hal ini beberapa struktural dan fungsi mungkin akan

memiliki perbedaan yang mendasar dan menarik untuk dibahas. Sistem

peradilan di Thailand, secara umum dapat penulis gambarkan dalam tabel

sebagai berikut:

15 Diakses melalui https://www.parliament.go.th/english/pada 8 Mei 2020. Pukul 01.33 WIB.

16 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, h.916.

17 Thailand Constitution 2017, diakses melalui

https://www.constituteproject.org/constitution/Thailand pada 8 Mei 2020. Pukul 01.27 WIB.

18 Robbers, Gerhard, Encyclopedia of World Constitutions, h.915-916.

Page 45: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

36

a. Pengadilan Umum

Peradilan umum diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan :

1) Peradilan Tingkat Pertama

Pengadilan Tingkat Pertama dikategorikan sebagai Pengadilan

Umum, Pengadilan Anak, Pengadilan Keluarga, dan Pengadilan

Khusus.19 Pengadilan Umum adalah pengadilan biasa yang menangani

kasus perdata dan pidana, yaitu: Pengadilan Sipil, Pengadilan Kriminal,

Pengadilan Provnsi, dan Pengadilan Kota (Pengadilan Kwaeng).20

Di dalam yuridiksi pengadilan umum, kecuali Pengadilan

Kwaneng, setidaknya hakim terdiri dari dua orang.21 Adapun Pengadilan

Perdata memiliki keleluasaan untuk mengadili kasus-kasus perdata yang

19 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

20 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

21 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

Page 46: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

37

terjadi di luar yuridiksi teritorial atau memindahkan kasus tersebut ke

pengadilan yang memiliki yuridiksi teritorial.22 Sedangkan dalam

Pengadilan Pidana, kasus pidana dapat diadili di mana

pelanggaran/kejahatan tersebut dilakukan, diduga atau diyakini telah

dilakukan, di tempat terdakwa tinggal atau di tempat di mana terdakwa

ditangkap, maupun tempat di mana penyelidikan terjadi.23

2) Pengadilan Kwaeng

Pengadilan ini berfungsi untuk menyelesaikan kasus-kasus kecil

dengan cepat dan biaya minimum. Yurisdiksi pengadilan ini mencakup

kasus pidana dan perdata. Kasus-kasus pidana yang jatuh dalam

yurisdiksi harus berurusan dengan pelanggaran pidana yang dapat

dihukum maksimal tiga tahun penjara, atau denda tidak melebihi 60.000

baht atau keduanya. Untuk kasus perdata, jumlah klaim tidak boleh

melebihi 300.000 baht.24

3) Pengadilan Anak dan Keluarga

Pengadilan ini terdiri dari Pengadilan Pusat Anak dan Keluarga,

Pengadilan Provinsi Anak dan Keluarga, dan Pengadilan Provinsi, Divisi

Anak dan Keluarga. Terdiri dari dua hakim karir dan dua hakim awam

(lay judge), yang satu di antaranya harus perempuan.25

4) Pengadilan Khusus

Terdapat empat Pengadilan Khusus di Thailand, yaitu: Pengadilan

Pajak, Pengadilan Kekayaan Intelektual dan Pengadilan Perdagangan

22 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

23 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

24 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

25 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

Page 47: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

38

Internasional, dan Pengadilan Kepailitan, dan Pengadilan Pekerja.

Pendirian Pengadilan Khusus bertujuan agar masalah yang spesifik dan

teknis diselesaikan oleh adjudikator yang tepat. Hakim yang berada di

Pengadilan Khusus ditunjuk oleh seorang hakim yang memiliki

pengetahuan yang kompeten mengenai hal-hal itu..26

b. Pengadilan Tinggi

Pengadilan Tinggi terdiri dari Pengadilan Tinggi dan sembilan

Pengadilan Tinngi Regional. Pengadilan Tinggi menangani banding

putusan atau perintah dari Pengadilan Perdata dan Pengadilan Pidana,

sedangkan Pengadilang Tingkat Banding Regional menangani putusan dari

Pengadilan Tingkat Pertama yang berada di wilayahnya. Pengadilan Tinggi

memiliki kekuasaan untuk mengadili kasus-kasus yang relevan dengan

pemilu dan pencabutan hak-hak pemilu dalam pemilihan dewan lokal dan

administrator lokal. Pengadilan Tinggi dikepalai oleh Presiden Pengadilan

dan dibantu oleh Wakil Presiden Pengadilan.27

c. Mahkamah Agung

Mahkamah Agung adalah pengadilan banding yang putusannya final

terhadap kasus perdata dan pidana di Thailand. Terdiri dari Presiden, enam

wakil presiden, sekretaris, dan sejumlah hakim. Presiden Mahkamah Agung

adalah Ketua Pengadilan Umum. Sama seperti Pengadilan Tinggi,

Mahkamah Agung memiliki divisi riset. Setidaknya tiga hakim agung dari

Mahkamah Agung dapat membentuk kuorum. Mahkamah Agung dapat

melakukan sidang paripurna yang jumlahnya tidak kurang dari setengah

hakim di Mahkamah Agung untuk kasus yang sangat penting dan kasus-

26 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

27 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

Page 48: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

39

kasus yang mempunyai alasan untuk dipertimbangkan kembali atau

mengesampingkan presedennya.28

Divisi Kriminal diperuntukan dalam Mahkamah Agung yang

bertindak sebagai Pengadilan Tingkat Pertama untuk seseorang yang

memangku jabatan politik, yaitu Perdana Menteri, Parlemen, anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Senat, atau pejabat politik lainnya yang dituduh

melakukan kejahatan laur biasa, penyimpangan dalam jabatan menurut

KUHP, melakukan tugas secara tidak jujur, atau korupsi. Pada Pengadilan

Tingkat Pertama ini, senat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat

menggunakan hak imunitas yang diberikan konstitusi. Divisi Kriminal yang

terdapat di Mahkamah Agung ini harus berdasarkan dari catatan Komisi

Antikorupsi Nasional dan mendapatkan fakta dan bukti tambahan, jika

memang diperlukan. Putusan menjadi final, kecuali jika terdapat bukti

baru.29

d. Pengadilan Administrasi

Selain pengadilan yang telah disebutkan di atas, terdapat juga

Pengadilan Administrasi yang terpisah. Berdasarkan Pasal 9 Undang-

undang Peradilan Administrasi Thailand Tahun 1999 {Act on Establishment

ofAdministrative Court and Administrative Court Procedure B.E.2542

(1999), kompetensi Peradilan TUN adalah memeriksa dan mengadili serta

memerintahkan atau menetapkan (order) yang berkaitan dengan hal-hal

sebagai berikut:

1) sengeketa yang berkaitan dengan tindakan yang melanggar aturan

(unlawfull act) yang dilakukan oleh Pejabat administrasi

28 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

29 Diakses melalui laman resmi Pengadilan Umum Thailand

https://www.coj.go.th/th/content/page/index/id/91994 pada 10 Mei. Pukul 05.40 WIB.

Page 49: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

40

(administrative agency) atau pegawai pemerintah yang mendapat tugas

pemerintahan (State official), berupa:

a) Penerbitan suatu keputusan/kebijakan (issuance of a rule) atau

perintah (order) atau berkenaan dengan tindakan lainnya tanpa

kewenangan atau melampaui batas kewenangan (Without or beyond

the scope of power and duties),

b) Tidak konsisten terhadap hukum (inconsistence with the law) atau

bentuk {the form) atau proses (process) yang dipersyaratkan untuk

itu,

c) Tidak dipercaya (bad faith ),

d) Ada indikasi diskriminatif (indicating unfair discrimination),

e) Melakukan ketidakpastian proses (Unnecessery process),

f) Merugikan publik (excessive burden to the publik), atau sekelompok

orang,

g) Melakukan ketidak pantasan dalam pembuatan suatu

keputusan (undue exercise of discretion).

2) Sengketa yang berkaitan dengan tindakan yang dilakukan pejabat

pemerintahan atau pegawai pemerintahan yang melalaikan tugasnya

(neglecting official duties) yang seharusnya dilakukan sesuai yang

ditentukan hukum yang berlaku, atau melakukan penundaan

pelaksanaan tugasnya dengan tidak masuk akal (unreasonable delay).

3) Sengketa yang berkaitan dengan tindakan yang salah/melanggar hukum

(wrongful) atau berkenaan dengan suatu tanggung jawab (liabilities )

dari pejabat pemerintahan atau pegawai pemerintahan yang timbul

akibat penggunaan kewenangan menurut hukum (under the law or from

a law), perintah/keputusan administratif atau perintah lain, atau atas

kelalaian pelaksanaan tugasnya yang menurut ketentuan seharusnya

dilakukan, atau melakukan penundaan tugasnya tanpa suatu alasan yang

masuk akal (unreasonable delay).

Page 50: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

41

4) Sengketa yang berkaitan dengan kontrak administrasi (administrative

contract).

5) Sengketa yang ditentukan oleh hukum untuk diajukan ke peradilan oleh

instansi pemerintah atau pegawai pemerintah atas pemberian mandat

kepada seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

tindakan tertentu.

6) Sengketa yang menurut hukum yang berlaku ditentukan sebagai

kewenangan peradilan administrasi.30

e. Peradilan Militer (San Thanan)

Adalah badan peradilan dengan yurisdiksi kriminal atas anggota

Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand dan juga atas warga sipil

sebagaimana telah ditentukan oleh hukum. Hakim dalam Peradilan Militer

terdiri dari dua jenis hakim, yaitu hakim umum; petugas yang dalam

persyaratannya tidak dicantumkan harus mempunyai pelatihan hukum,

sedangkan hakim-advokat terakreditasi hukum dan pernah mengikuti

pelatihan hukum yang terdiri dari tiga tingkatan; Pengadilan Tingkat

Pertama, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Banding.31

f. Komisi Yudusial

Di Thailand, masing-masing badan peradilan mempunyai Komisi

Judisial sendiri-sendiri. Komisi judisial untuk Peradilan Administrasi

dinamakan Judicial Commision ofAdministrative Court (disingkat

J.C.A.C).32

Komposisi Komisi Judisial terdiri dari 13 orang yakni Presiden

30 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 3-4.

31 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 3.

32 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h.8.

Page 51: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

42

Supreme Administrative Court otomatis sebagai Ketuanya, 6 orang dari

Hakim Agung , 3 orang dari Hakim tingkat pertama, 2 orang yang dipilih

oleh Senat, 1 orang ditunjuk oleh Council of Minister, Sekretaris Jenderal

Supreme Administrative , Court otomatis menjadi Sekretaris

Jenderal I.C.A.C.33

Tugas Komisi Judisial antara lain : mengadakan seleksi terhadap

Calon Hakim Agung dan mengajukannya kepada Perdana Meneteri untuk

mendapat persetujuan Senat dan penetapan Raja, Memilih diantara Hakim

Agung untuk menjadi President Of Supreme Administrative Court (Ketua

MA) dan mengajukan kepada Perdana Menteri untuk mendapat persetujuan

Senat dan penetapan Raja, Memilih diantara Hakim Agung untuk diusulkan

menjadi Wakil Ketua MA dan untuk menjadi Ketua Majelis MA serta

mengajukan kepada Perdana Menteri untuk selanjutnya mendapat

penetapan Raja,

Mengadakan seleksi calon hakim untuk dipilih menjadi Hakim tingkat

pertama danmengajukan kepada Perdana Menteri untukselanjutnyaditunjuk

oleh Raja, Memilih diantara Hakim tingkat I untuk diusulkan menjadi

Ketua, Wakul Ketua dan Ketua Majelis serta mengajukan kepada Perdana

Menteri untuk ditetapkan oleh Raja, Menetapkan Kode Etik Hakim,

Menbentuk Komite pemeriksa hakim yang dianggap melakukan

pelanggaran etik hakim. (komite mana terdiri dari empat orang hakim dan

seorang pegawai Civil Service)

Mengusulkan pemberhentian Hakim yang berdarakan periksaan

Komite Pemeriksa dipandang bahwa yang bersangkutan telah terbukti

melalaikan tugasnya atau melanggar etik hakim, atau mengalami sakit yang

permanen atau dihukum pidana dipenjara akibat kejahatan yang dilakukan

dengan sengaja, Memberi persetujuan permutasian jabatan hakim,

33 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 8.

Page 52: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

43

Mengadakan seleksi atas hakim yang perlu perpanjangan usia pensiunnya

hingga 70 tahun,

Membuat berbagai aturan berkenaan dengan hakim seperti pengaturan

pakaian seragam, pengaturan jam kerja, pembuatan kode etik hakim,

ketentuan- ketentuan menganai pegawai yang membantu persidangan

(admistrative case official) dan berbagai hal lainnya.34

B. MEKANISME PELAKSANAAN PUTUSAN PTUN DI THAILAND

Pemutusan suatu perkara dilakukan dengan cara pengambilan suara

terbanyak. Apabila dalam memutus suatu perkara terdapat hakim yang memiliki

pendapat berbeda, maka hakim tersebyt harus menuliskan dissenting opinion. Jika

diperlukan, Ketua Mahkamah Agung dapat mengadakan peradilan yang perkara

tersebut diputus oleh Majelis Lengkap (General Assembly). Majelis lengkap harus

dihadiri oleh separuh dari jumlah hakim, selain Ketua Mahkamah Agung.35

Adapun, suatu putusan setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:

1. nama penggugat

2. pejabat yang digugat

3. akibat perbuatan (tergugat)

4. fakta hukum

5. alasan yang melandasi putusan

6. pertimbangan hukum

7. keputusan pejabat bila ada, dan hal yang harus dilakukan pejabat (yang

digugat)

Saat putusan dibacakan, terlebih dahulu harus memberitahukan hari dan

tanggal secara lisan diumumkan kepada para pihak yang berperkara. Apabila para

pihak tidak hadir pada pengucapan putusan, maka harus diberikan salinannya.

34 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 9.

35 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 13.

Page 53: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

44

Penyerahan itu dianggap sebagai hari pengucapan putusan. Setelah itu, putusan

tersebut dipublikasikan oleh Sekretaris Jenderal kepada publik, yang di dalamnya

terdapat jugaopino hakim komisioner pada perkara yang bersangkutan.

Putusan Pengadilan mengikat dapat dilaksanakan sejak hari yang dalam

putusan secara khusus ditetapkan. Akan tetapi pelaksanaan Putusan Pengadilan

tingkat pertama ditunda hingga habis tenggang masa kasasi (appiel) yang ditentukan.

Masa pengajuan kasasi ditentukan 30 hari.

Putusan pengadilan juga mengikat kepada pihak ketiga dengan ketentuan

sebagai berikut:

1. Putusan mengenai perintah mendeportasi seseorang dari suatu tempat dapat

dilakukan tanpa perlu pembuktian gelar khusus untuk masalah ini.

2. Jika seseorang telah memberi jaminan di pengadilan terhadap suatu tindakan

yang telah ditentukan dalam putusan, maka jaminan itu harus dilaksanakan

dan putusan itu tidak perlu lagi dilakukan kepada si penjamin.

3. Putusan menganai hukum atau kapasitas seseorang dapat ditetapkan

kepada pihak ketiga kecuali bila pihak ketiga tersebut menunjukkan gelar

hukum yang lebih baik atau lebih tinggi

4. Putusan yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dapat diterapkan oleh para

pihak kepada pihak ketiga kecuali pihak ketiga mempunyai gelar hukum yang

lebih baik/tinggi36

Dalam melaksanakan putusan pengadilan, pengadilan berwenang sebagai

berikut:

1. Jika keputusan pejabat tersebut melanggar hukum, pengadilan dapat

memerintahkan pencabutan keputusan atau penundaan sebagian atau

seluruhnya

2. Apabila pejabat melakukan suatu kelalaian atau menunda pelayanan dengan

alasan yang irasional, maka pengadilan dapat memerintahkan pimpinan

36 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 13-14.

Page 54: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

45

pejabat administrasi yang bersangkutan untuk melakukan kewajiban yang

telah ditentukan oleh pengadilan.

3. Jika keputusan pejabat diterbitkan dan melanggar hukum atau menyalahi

kewajibannya atau yang berkaitan dengan kontrak administrasi, maka

pengadilan dapat memerintahkan pembayaran sejumlah uang atau

penyerahan barang atau melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan

dengan atau tanpa memberi jangka waktu atau keadaan/kondisi tertentu.

4. Berkaitan dengan suatu permohonan mengenai hak dan kewajiban seseorang,

maka pengadilan dapat memerintahkan pemulihan hak dan kewajiban.

5. Memerintahkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu

yang ditentukan hukum.

6. Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat harus diumumkan dalam

lembaran negara (Gaverment Gazette ).

7. Apabila putusan pengadilan menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah

uang atau penyerahan barang, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi

terhadap harta kekayaan yang bersangkutan.

8. Apabila putusan pengadilan menyangkut suatu perintah untuk melakukan atau

tidak melakukan suatu perbutan, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi

dengan menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis.37

Perbedaan yang sangat mendasar pada mekanisme PTUN antara Indonesia

dengan India adalah bahwa di Negara Thailand terdapat Lembaga Eksekusi (Legal

Execution Department). Lembaga Ekekusi ini merupakan lembaga yang di bawah

Kementrian Kehakiman (Minister of Justice) dan berada dalam Cluster Peradilan

Administrasi.38 Lembaga Eksekusi tersebut memiliki misi antara lain:39

37 Ahmad Sukardja dan Tim, Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan Administrasi

Thailand di Bangkok, (Bangkok: Mahkamah Agung RI Press, 2009), h. 14.

38 Diakses melalui http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf pada 10 Mei 2020 pukul

09.02 WIB.

39 Diakses melalui http://www.led.go.th/inter/pdf/1_Thailand.pdf pada 10 Mei 2020 pukul

09.02 WIB.

Page 55: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

46

1. Untuk memberikan pelayanan kepada publik dalam menegakkan hukum-

hukum perdata, kepailitan, dan administrasi mengenai kasus reorganisasi

bisnis, likuidasi, serta penyimpanan properti.

2. Memberikan informasi hukum tentang penegakkan putusan hukum publik dan

penyimpanan properti kepada publik.

3. Sebagai pelayanan mediasi pasca peradilan.

4. Menstandarisasi dan meningkatkan praktik-praktik peradilan secara nasional

5. Memperbaharui hukum dan peraturan dalam mengatasi perkembangan

ekonomi dan sosial.

6. Mengembangkan dan meningkatkan proses administrasi agar lebih efektif dan

efesien

7. Membekali petugas dengan pengetahuan dan keterampilan secara profesional

Secara struktural, kedudukan Lembaga tersebut dapat penulis paparkan dalam

tabel dibawah ini

Page 56: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

47

C. MEKANISME PELAKSANAAN PUTUSAN PTUN DI INDONESIA

Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh

putusan hakim atau lazimnya disebut dengan putusan pengadilan.40 Sebab dengan

putusan hakim tersebut, pihak-pihak yang bersen gketa dapat memperoleh

keadilan dan kepastian hukum.41

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim merupakan suatu pernyatan

yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di

persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau suatu

sengketa antara para pihak.42

Mengenai Putusan pada PTUN, telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986 dan

UU No. 9 Tahun 2004. Putusan pada PTUN dapat dibedakan menjadi 4 (empat)

kategori, yaitu:43

1. Putusan Pokok yaitu pernyataan batal atau tidak sah keputusan administrasi

negara yang disengketakan.

2. Putusan Tambahan

Jika gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut dapat ditetapkan

kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat pemerintah yang mengeluarkan

keputusan. Kewajiban tersebut berupa:

a. Pencabutan keputusan administrasi negara yang bersangkutan;

b. Pencabutan keputusan administrasi yang bersangkutan dan menerbitkan

keputusan baru;

c. Penerbitan keputusan dalam hal obyek gugatan keputusan fiktif negatif.

40 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2003), h. 48

41 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I, (Jakarta: Rieneka Cipta,

2004), h.124

42 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ketujuh, (Yogyakarta:

Liberty, 2006), h. 158

43 Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,

(Jakarta: Alumni, 2004), h. 3.

Page 57: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

48

3. Putusan Remidial (pemulihan) yaitu bertujuan untuk memulihkan akibat yang

telah ditimbulkan oleh keputusan pemerintah yang dinyatakan batal atau tidak

sah, berupa ganti rugi dan rehabilitasi.

4. Putusan Penguat (pengefektifan) yaitu putusan sebagai alat pemaksa, supaya

putusan yang bersifat kondemnatoir dapat terlaksana, yaitu:

a. Kewajiban pembayaran sejumlah uang paksa;

b. Penjatuhan sanksi administratif;

c. Perintah mengumumkan pejabat yang tidak melaksanakan putusan pada

media massa cetak;

d. Mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah

tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan

pengadilan;

e. Mengajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi

pengawasan.

Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah

pemeriksaan sengketa tata usaha negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut.

Dalam hal putusan diatur pula mengenai keharusan putusan yang memuat

hal-hal sebagai berikut:44

a. Kepala putusan yang berbunyi : Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa;

b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempaat kediaman, atau tempat kedudukan

para pihak yang bersengketa;

c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;

d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi

dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;

e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;

f. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;

g. Hari, tanggal, putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta

44 Lihat Pasal 109 UU. No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Page 58: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

49

keterangan tentang hadir atau tidaknya para pihak.

Pelaksanaan putusan PTUN (Eksekusi) adalah aturan mengenai prosedur dan

persyaratan yang digunakan oleh perlengkapan negara dengan tujuan untuk

membantu pihak yang berkepentingan menjalankan putusan hakim apabila pihak

yang kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan.45

Dalam pelaksanaan putusan PTUN, Indonesia mengenal berbagai bentuk

eksekusi pengadilan diantaranya adalah eksekusi otomatis, eksekusi hierarkis, dan

eksekusi upaya paksa. Hal menjadi perbincangan umum oleh para sarjana hukum

Indonesia adalah bahwa aturan yang terkait putusan dan eksekusi tersebut hanya

bersifat normatif tanpa adanya kekuatan institusional yang turut mendukung

terselenggaranya eksekusi oleh pengadilan. Indonesia merupakan salah satu negara

yang tidak memiliki Lembaga eksekutorial PTUN untuk menangani putusannya.

Problematika mengenai pelaksanaan putusan PTUN dapat kita telaah dari

kasis-kasus yang sempat viral di bawah ini:

Pertama, permasalahan yang terjadi antara PT. Solo Elpiji sebagai penggugat

melawan Bupati Purowejo dalam perkara Nomor 043/G/2014/PTUN. SMG

merupakan contoh kasus di mana tergugat tidak melaksanakan putusan Peradilan

Tata Usaha Negara (PTUN) yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal,

ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan bisa dipidanakan dengan dalil

contempt of court11. Adapun objek sengketa dari kasus tersebut ialah sikap diam

(fiktif negatif) dari Bupati Purwerejo terhadap permohonan izin pendirian SPBE

(Stasiun Pengsisian Bahan Bakar Elpiji). Pada tanggal 17 September 2014, PTUN

Semarang memenangkan PT. Solo Elpiji. Selanjutnya, pihak tergugat mengajukan

banding atas perkara tersebut dan PTUN Surabaya memberikan putusan

menguatkan putusan pada tingkat pertama. Pembacaan putusan PTTUN Surabaya

pada tanggal 4 Februari 2015 dengan nomor perkara 09/B/2015/PT. TUN. SBY

kemudian pihak tergugat tidak mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung,

45 R. Soepomo, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Prdanya Paramita, 1993), h. 105

Page 59: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

50

sehingga perkara nomor 043/G/2014/PTUN. SMG telah berkekuatan hukum tetap.

Akan tetapi, tergugat tidak kunjung melaksanakan putusan PTUN perkara nomor

043/G/2014/PTUN.SMG. Sampai saat ini, Perkara nomor

043/G/2014/PTUN.SMG belum juga dieksekusi oleh pihak tergugat yakni Bupati

Purworejo12.

Contoh lainnya dapat ditemukan pada kasus PTUN Mataram dengan Nomor

31/G/2010/PTUN-MTR, tanggal 21 September 2010 Jo. Putusan Pengadilan TUN

Surabaya No.180/B/2010/PT. TUN.SBY, tanggal 1 Maret 2011. Penggugat adalah

H. Lalu Wiratmaja, S.H., dan M. Bajuri Najamudin melawan Komisi Pemilihan

Umum Kabupaten Lombok Tengah yang dalam hal ini pihaknya adalah H. Moh.

Suhaili ,FT, S.H., dam Drs. Lalu Normal Suzana sebagai tergugat intervensi dengan

objek sengketanya berupa Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten

Lombok Tengah Nomor. 27 Tahun 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan Umum

Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Daerah Kabupaten Lombok Tengah

Tahun 2010 atas nama H. Moh. Suhaili FT, S.H. dan Drs. Lalu Normal Suzana

yang ditetapkan pada tanggal 21 April 2010.

Problematika mendasar dalam kasus ini adalah pihak tergugat tidak

menjalankan hasil putusan PTUN Mataram yang telah berkekuatan hukum tetap

untuk mencabut putusan KPU Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010 tentang

Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten

Lombok Tengah Tahun 2010 atas nama H.Moh. Suhaili FT, SH dan Drs. Lalu

Normal Suzana

Pada dimensi lain dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008

juga masih bersifat umum (general) dan memungkinkan terjadi bias tasfir atau

berbagai macam penafsiran. Sehingga pelaksanaan putusan oleh PTUN di

Indonesia masih berjalan dengan tidak efesien. Dampak signifikan dari kondisi

tersebut adalah dapat menciderai citra hukum Indonesia sebagai salah satu negara

hukum dunia. Di sisi lain hal tersebut menggambarkan bahwa pemerintah

Indonesia kurang serius dalam mengatur urusan hukum pemerintahan, serta dapat

Page 60: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

51

memicu timbulnya pernyataan di masyarakat bahwa pemerintah melindungi

dirinya dari jeratan hukum. Hal ini karena jika dibandingkan dengan peradilan lain

yang mengatur masyarakat sipil negara, maka terlihat bahwa PTUN tidak memiliki

struktur dan aturan sekompleks peradilan lainya di Indonesia.

Page 61: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

52

BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN MODEL PELAKSANAAN PUTUSAN PADA

PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)

A. Persamaan dan Perbedaan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN

Setiap negara di seluruh dunia memiliki model dan sistem pelaksanaan

putusan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa perbedaan

tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain adalah perbedaan sistem

hukum antar negara, bentuk dan sistem pemerintahan suatu negara, kondisi

geografis, sosial budaya, dan politik suatu negara, serta tingkat dominasi elite poltik

dalam pemerintahan. Namun, kendati demikian tidak dapat dipungkiri bahwa

model pelaksanaan putusan suatu negara memiliki titik kesamaan/kemiripan baik

dari struktur, model, sampai mekanisme pelaksanaan putusan yang oleh penulis

akan dibahas lebih komprehensif dalam paragraf lain di bab ini.

Dalam literasi hukum, secara etimologi, eksekusi berasal dari bahasa

Belanda “executive1” yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan. Pengertian

yang sama juga dikemukakan oleh J.C.T. Simorangkir dan Retno Wulan Sutantio.

Dengan demikian pengertian eksekusi etimologi sama dengan pengertian

menjalankan putusan.2 Menurut terminologi hukum acara, eksekusi adalah

“tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara.

Eksekusi pada hakikatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak

yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan

tersebut3.

1 Definisi lain yang dikutip langsung dari web ste resmi kamus hukum online di

https://dictionary.thelaw.com/executive, menyebutkan kata executive diartikan sebagai distinguished

from the legislative and judicial departments of government, the executive department is that which is

charged with the detail of carrying the laws into effect and securing their due observance. The word

“executive” is also used as an impersonal designation of the chief executive officer of a state or nation.

Diakses pada 18 Juni 2020, pukul 8.25 WIB.

2 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:Djambatan,2003), h.194

3 Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata,

(Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h.328

Page 62: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

53

Pada dasarnya putusan hakim yang telah incrach sudah dapat dilaksanakan,

tetapi tidak semua putusan itu dapat dilaksanakan (dieksekusi). Pada prinsipnya,

hanya putusan yang bersifat comdemnatoir (putusan yang berisi penghukuman)

saja yang dapat dieksekusi. Sedangkan terhadap putusan declaratoir dan

konstitutif tidak dapat dieksekusi, karena tidak dimuat atau tidak adanya hak atas

sesuatu prestasi atau putusan yang mengandung sifat dan keadaan baru, sehingga

tidak memerlukan sarana-sarana memaksa untuk dijalankan4.

Hal tersebut sudah menjadi sebuah konsensus dalam aspek hukum, sehingga

salah satu titik persamaan dalam pelaksanaan putusan PTUN antara Indonesia dan

Thailand adalah adanya persamaan perspektif mengenai klasifikasi putusan

sebagaimana yang telah dipaparkan dalam paragraf sebelumnya. Putusan yang

dapat dieksekusi oleh suatu pengadilan harus memenuhi beberapa asas antara lain:

in kracht van gewijsde (Putusan hakim yang akan dieksekusi haruslah putusan

hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap), Condemnatoir (Putusan hakim

yang akan dieksekusi harus bersifat menghukum)5.

Persamaan lain yang ada dalam aspek pelaksanaan putusan PTUN antara

Indonesia dan Thailand adalah adanya tiga jenis eksekusi dalam pengadilan antara

lain:

1. Eksekusi riil yaitu penghukuman pihak secara langsung,6

2. Eksekusi membayar sejumlah uang / denda,

3. Eksekusi melakukan suatu perbuatan.7

4 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan Penegakan Hukum,

(Jakarta; Akademika Pressindo, 1987), h.19-20

5 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan Penegakan Hukum,

h.19-20

6 Dalam konteks PTUN di Indonesia, eksekusi riil ini memiliki beberapa klasifikasi lebih lanjut

antara lain : penerapan eksekusi melalui pencabutan KTUN yang bersangkutan, eksekusi melalui

instansi atasan, eksekusi melalui pengumuman di media masa dan penyampaian surat kepada presiden

sebagai atasan yang paling tinggi dalam struktur pemerintahan, dan penerapan sanksi administrasi.

7 Djazuli Bachar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan Penegakan Hukum,

h.19-20

Page 63: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

54

Kendati Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan dalam

mengklasifikasikan jenis eksekusi dalam PTUN, namun hal tersebut tidak

menjamin bahwa sistem dan model pelaksanaan dari putusan tersebut juga sama.

Dari hasil pengolahan data yang telah dilakukan, penulis berhasil memaparkan

beberapa perbedaan dalam beberapa aspek mengenai Peradilan Tata Usaha Negara

(PTUN) antara Indonesia dan Thailand sebagai berikut.

1. Di Indonesia, salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera

pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam

tingkat pertama selambat- lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.

Sedangkan di Thailand, Saat putusan dibacakan, terlebih dahulu harus

memberitahukan hari dan tanggal secara lisan diumumkan kepada para pihak

yang berperkara.

Apabila para pihak tidak hadir pada pengucapan putusan, maka harus

diberikan salinannya. Penyerahan itu dianggap sebagai hari pengucapan

putusan. Setelah itu, putusan tersebut dipublikasikan oleh Sekretaris Jenderal

kepada publik, yang di dalamnya terdapat jugaopini hakim komisioner pada

perkara yang bersangkutan.Putusan Pengadilan mengikat dapat dilaksanakan

sejak hari yang dalam putusan secara khusus ditetapkan. Akan tetapi

pelaksanaan Putusan Pengadilan tingkat pertama ditunda hingga habis tenggang

masa kasasi (appiel) yang ditentukan. Masa pengajuan kasasi ditentukan 30

hari.

2. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia terdiri dari tiga tingkatan,

yaitu:Peradilan Tata Usaha Negara tingkat I, Peradilan Tinggi Tata Usaha

Negara tingkat banding, Mahkamah Agung. Sedangkan struktur kelembagaan

PTUN di Thailand hanya memiliki dua tingkatan yakni Peradilan Administrasi

tingkat Pertama (Administrative Court of first instance), dan Mahkamah Agung

Peradilan Administrasi (Supreme Administrative Court).

3. Indonesia tidak memiliki Komisi Yudisial khusus di setiap peradilan, dalam hal

ini tidak memiliki Komisi Yudisial Peradilan Administratif (Tata Usaha

Page 64: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

55

Negara), sedangkan Tthailand terdapat Komisi Yudisial pada setiap Peradilan,

dalam hal ini memiliki Komisi Yudisial Peradilan Administratif (Judicial

Commission of Administrative Court).

4. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia diangkat dan diberhentikan

oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung, sedangkan Hakim Peradilan Tata

Usaha Negara di Thailand diangkat oleh Komisi Yudisial Peradilan

Administratif (Judicial Commission of Administrative Court).

5. Dalam menjalankan kewenanganya, sanksi yang diberikan oleh pengadilan

TUN di Indonesia tidak diklasifikasikan menurut sengketa yang diajukan,

karena Peradilan TUN hanya menangani sengketa berupa keputusan

(beschikking) dari badan atau pejabat tata usaha Negara. Sedangkan Thailand

memberikan sanksi yang berbeda berdasarkan perbuatan yang dilakukan,

demham diskripsi sebagai berikut:

a. Gugatan yang diajukan akibat dari tindakan pejabat, gugatan ini dilakukan

dalam waktu 90 hari sejak penggugat mengetahui akibat dari tindakan

pejabat. Selain itu, masa tenggang ini juga diberlakukan jika si pejabat tidak

memberikan penjelasan atau jawaban dari si penggugat atas tindakannya

itu. Dalam hal ini gugatan dapat dilakukan setelah 90 hari sejak

penggunggat melakukan gugatan atas tindakan pejabat tersebut.

b. Sengketa yang terjadi karena pejabat melanggar undang-undang, atau

bersikap lalai, atau menunda pelayanan public dengan alasan yang tidak

masuk akal. Selain itu, perbuatan yang berkaitan dengan kontrak

administrasi maka gugatan dapat diajukan dalam waktu satu tahun.

c. Selanjutnya apabila sengketa tersebut menyangkut persoalan yang

berkaitan dengan perlindungan kepentingan umum atau menyangkut status

seseorang, gugatan dapat diajukan setiap waktu

6. Putusan Peradilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap mengandung

unsur kewajiban bagi tergugat untuk melaksanakannya. Adapun, terdapat tiga

penetapan kewajiban (berdasarkan UU. No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

TUN):

Page 65: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

56

a. Mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan

(disengketakan). Namun, jika setelah 60 hari kerja putusan pengadilan

TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tersebut telah diterima oleh

tergugat dan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya untuk mencabut

Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan maka keputusan tata

usaha negara yang disengketakan tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum lagi. Kewajiban untuk mencabut Keputusan TUN yang

disengketakan ini dapat disertai pula dengan pembebanan ganti rugi. Atau;

b. Mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan

(disengketakan) dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.

Atau;

c. Menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam sengketa obyek negatif8.

Pada point 2 dan 3 di atas, setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata

kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat dapat mengajukan

permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan

Pengadilan tersebut. Adapun, kewajiban pada point 2 dan 3 dapat pula

disertai dengan pembebanan ganti rugi.

Berbeda dengan sistem pelaksanaan putusan di Thailand, dalam hal

keputusan pejabat melanggar hukum, pengadilan mempunyai wewenang

memerintahkan pejabat tersebut untuk

a. mencabut keputusan, atau

b. penundaan keputusan sebagaian atau seluruhnya.

Berdasarkan pengklasifikasian waktu gugatan seperti yang telah

8 Fiktif negatif adalah istilah yang digunakan karena memuat konteks tentang “fiktif” yang

menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat sebenarnya tidak berwujud. Ia hanya

merupakan sikap diam dari badan atau pejabat tata usaha negara yang kemudian dianggap disamakan

dengan sebuah keputusan Tata Usaha Negara yang nyata tertulis. Sedangkan istilah “negatif”

menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat dianggap berisi penolakan terhadap

permohonan yang telah diajukan oleh orang atau badan hukum perdata. Apabila badan atau pejabat tata

usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan (diam saja), sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka

sikap diamnya tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat digugat.

(Sumber: Budiamin Rodding, Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam Peningkatan Kualitas

Pelayanan Publik, (Medan: PTUN Medan Press, 2017) h. 29.

Page 66: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

57

dijelaskan di atas, maka pemberian sanksi pun berbeda disesusaikan dengan

sengketa yang diajukan penggugat yang secara sederhana dapat digambarkan

sebagai berikut:

a. Jika hal yang disengketakan adalah kelalaian pejabat atau penundaan

pelayanan publik dengan alasan yang tidak masuk akal, maka dalam hal

ini pengadilan berwewenang untuk memerintahkan pimpinan pejabat

administrasi tersebut melakukan suatu kewajiban yang telah ditentukan

pengadilan.

b. Berkaitan dengan suatu permohonan mengenai hak dan kewajiban

seseorang, maka pengadilan dapat memerintahkan pemulihan hak dan

kewajiban dengan cara memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang ditentukan hukum.

7. Dalam PTUN di Indonesia, Jika tergugat masih tidak bersedia untuk

melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tersebut,

maka tergugat (dalam hal ini pejabat TUN yang bersangkutan) akan diberikan

sanksi berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanski administratif. Namum,

sayangnya hingga saat ini belum ada peraturan yang jelas dan komperehensif

mengenai mekanisme pembayaran sanksi administrative tersebut. Sedangkan

di Thailand, dalam hal keputusan pejabat melanggar hukum atau menyalahi

kewajibannya maupun yang berkaitan dengan kontrak administrasi, maka

pengadilan dapat memerintahkan pembayaran sejumlah uang atau penyerahan

barang. Selain itu, pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan atau

tidak melakukan suatu perbuatan dengan jangka waktu tertentu dan kondisi

tertentu. Atau tanpa pemberian jangka waktu dan tanpa kondisi tertentu.

8. Dalam peraturan mengenai PTUN Indonesia, PTUN tidak dapat melakukan

eksekusi terhadap putusannya. Tidak adanya eksekusi dengan menggunakan

Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis maupun tidak adanya peraturan

yang mengatur bahwa PTUN dapat melaksanakan eksekusi terhadap uang atau

penyerahan barang tergugat. Karena, UU mengenai pembayaran uang

paksa/sanksi administrative lainnya belum dijelaskan secara gambling dan

Page 67: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

58

normatif dalam UU, di Thailand Berkenaan dengan kewajiban yang diberikan

oleh pengadilan, pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan

Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis9. Apabila putusan pengadilan

menyangkut kewajiban untuk membayar sejumlah uang atau penyerahan

barang, maka pengadilan dapat melakukan eksekusi terhadap harta kekayaan

yang bersangkutan.

9. Di Indonesia, pengadilan tidak memiliki wewenang untuk memaksa tergugat

melaksanakan putusan pengadilan, selain itu tidak ada ketetapan mengenai

tindakan displiner bagi tergugat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan.

Namun, di Thailand pengadilan dapat memberi paksaan atau menetapkan

tindakan displiner.

10. Di Indonesia peraturan mengenai contempt of court10 masih dalam

pembahasan di DPR, padahal RUU tersebut merupakan Prolegnas 2015-2019,

sedangkan di Thailand jika pihak yang bersangkutan tidak melaksanakan

putusan pengadilan merupakan tindakan pidana dengan alasan contempt of

court.

Selain pemaran tersebut diatas, penulis juga menemukan beberapa

persamaan dalam mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha negara

antara Indonesia dengan Thailand sebagai berikut:

1. Kedua negara sama-sama menggunakan mekanisme upaya paksa agar

dipatuhinya putusan PTUN oleh tergugat. Upaya paksa ini merupakan sebuah

alternative terakhir sebagai bentuk tindakan tegas terhadap pihak yang

berperkara untuk lebih menghargai intensitas hukum dan paham akan

posisinya yang salah.

9 Dengan melakukan perubahan-perubahan jika memang diperlukan. Sumber:

http://hukum.untan.ac.id diakses pada 19 Juni 2020. Pukul 21.04 WIB.

10 Contempt of Court atau penghinaan terhadap pengadilan merupakan setiap perbuatan,

tingkah laku, sikap dan atau/ ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat

dan kehormatan badan peradilan. Sumber: Naskah Akademik Penelitian Contempt of Court 2002

(Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Press, 2002), h. 8

Page 68: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

59

2. Kedua negara menggunakan mekanisme uang paksa (dwangsom).

3. Kedua negara menggunakan mekanisme perintah kepada pejabat administrasi

yang berkedudukan diatasnya untuk kemudian memerintahkan kepada pejabat

TUN terkait (tergugat) untuk menjalankan putusan Pengadilan.

Sedangkan perbedaan mekanisme pelaksanaan putusan pengadilan tata

usaha negara antara Indonesia dengan Thailand adalah sebagai berikut:

1. Di Indonesia dengan tegas menyebut pejabat administrasi di atasnya adalah

presiden selaku kepala pemerintahan (eksekutif) sedangkan di Thailand tidak.

Thailand hanya menyebutkannya sebagai pimpinan pejabat administrasi yang

bersangkutan.

2. Penggunaan mekanisme uang paksa antara kedua negara berbeda, di Thailand

uang paksa diterapkan apabila putusan pengadilan menyangkut kewajiban

untuk membayar sejumlah uang atau penyerahan barang dan menyangkut

suatu perintah untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbutan terkait

kontrak administrasi, sedangkan di Indonesia uang paksa diterapkan dalam hal

tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, penggunaan mekanisme

uang paksa di Thailand lebih luas penerapannya dibandingkan dengan di

Indonesia.

3. Di Indonesia digunakan mekanisme sanksi administratif bagi pejabat tata

usaha Negara yang tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan di Thailand tidak.

Thailand mengatur sanksi dengan menyebutkan bahwa Pengadilan

memerintahkan pimpinan pejabat administrasi yang bersangkutan untuk

melakukan suatu kewajiban yang ditentukan pengadilan. Selain itu juga diatur

mengenai tindakan disipliner bagi pejabat TUN yang tidak taat pada

persidangan maupun tidak mengindahkan perintah hakim.

4. Di Thailand Putusan mengenai pembatalan keputusan pejabat tata usaha

negara harus diumumkan dalam lembaran negara (Gaverment Gazette) namun

di Indonesia tidak melainkan dipublikasikan ke dalam media massa cetak

Page 69: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

60

setempat.

5. Di Thailand, pengadilan dapat melakukan eksekusi dengan menggunakan

Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis terhadap harta kekayaan yang

bersangkutan (tergugat PTUN), sementara di Indonesia belum jelas mengingat

belum ada peraturan secara normatif mengenai pelaksanaan pembayaran uang

paksa (dwangsom).

6. Di Thailand dikenal mekanisme penghinaan terhadap institusi peradilan

(contemp of court) bagi para pihak yang tidak melaksanakan perintah

pengadilan sedangkan di Indonesia Contempt of Court masih dalam

pembahasan di DPR, padahal RUU tersebut merupakan Prolegnas 2015-

2019.11

7. Di Indonesia menggunakan mekanisme publikasi media massa untuk

memberikan sanksi sosial bagi pejabat TUN yang mengabaikan putusan

pengadilan sedangkan di Thailand tidak.

8. Thailand memiliki lembaga atau institusi khusus dalam memaksa pihak yang

bersangkutan melakukan eksekusi pengadilan, sedangkan di Indonesia tidak,

ironisnya lagi dalam Peradilan TUN juru sita atau Ketua Pengadilan tidak

memiliki wewenang.

B. Kelebihan dan Kelemahan Model Pelaksanaan Putusaan PTUN

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan sebuah komponen

penting dalam suatu negara. Eksistensinya sebagai lembaga peradilan

admininistrasi memiliki kedudukan vital dalam menjaga stabilitas sistem politik

dan pemerintahan suatu negara. Dalam bahasa sederhana dapat dikatakan bahwa

PTUN merupakan salah satu lembaga kontrol pemerintah. Dalam sub bab

kelebihan dan kelemahan model pelaksanaan putusan PTUN dengan studi

perbandingan antara Indonesia dan Thailand ini, penulis turut menyampaikan

bahwa pemaparan dalam skripsi ini merupakan subjektivitas penulis yang

11 http://www.dpr.go.id diakses pada 19 Juni 2020. Pukul 21.46 WIB.

Page 70: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

61

didasarkan atas data, dan hasil penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan

putusan (eksekusi) PTUN.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada

pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara pengajuan

dari proses pemeriksaan perkara. Hakekat dari eksekusi putusan adalah realisasi

kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di

dalam putusan tersebut. Eksekusi dengan kata lain merupakan pelaksanaan isi

putusan hakim yang dilakukan secara paksa dengan bantuan pengadilan, apabila

pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela.12

Pelaksanaan putusan PTUN diserahkan kepada kesukarelaan pejabat untuk

melaksanakannya. Berdasarkan hal-hal yang telah penulis sampaikan di dalam bab-

bab sebelumnya, menunjukkan bahwa, pelaksanaan (eksekusi) putusan PTUN

bukan merupakan bagian dari fungsi PTUN, tidak seperti lembaga peradilan seperti

peradilan perdata, peradilan pidana, peradilan agama, di mana pelaksanaan atau

eksekusi putusan merupakan bagian dari sistem peradilan itu sendiri. Dapat

disimpulkan bahwa, sistem peradilan tata usaha negara tidak tuntas dalam

mengatur proses penyelesaian sengketa hingga eksekusi putusan. Padahal secara

umum, semua proses peradilan seperti peradilan perdata, peradilan pidana, dan

peradilan agama, mengatur penyelesaian sengketa hingga pengaturan mengenai

eksekusinya. Hal ini dapat disimpulkan dari tugas dan wewenang PTUN yaitu

“menyelesaikan sengketa TUN”. 13

Berdasarkan pemaparan di atas, tentu problematika utama yang sering

dialami PTUN khususnya di Indonesia adalah rendahnya kesadaran pihak yang

berperkara terhadap pelaksanaan putusan PTUN. Padahal, PTUN hadir sebagai

lembaga peradilan yang mempunyai wewenang untuk menggugat keputusan

eksekutif jika eksekutif berlaku sewenang-wenang melalui kebijakan yang

12 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 614.

13 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 615.

Page 71: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

62

diterapkan.

Adapun, hal tersebut terjadi karena rendahnya daya paksa pelaksanaan

putusan dan budaya kepatuhan pejabat pemerintahan terhadap Putusan PTUN.

Berdasarkan analisis Enrico Simanjuntak, faktor-faktor yang mempengaruhi

kualitas penegakan hukum di antaranya adalah budaya hukum yang berupa disiplin

dan sadar hukum, patuh dan taat terhadap hukum.14

“Negara seharusnya memberikan kewajiban kepada eksekutif untuk

melaksanakan putusan pengadilan. Pengadilan seharusnya diberikan kekuasaan

untuk mengawasi terhadap pelaksanaan atau eksekusi putusan pengadilan”.

Standar tersebut justru yang menjadi kelemahan PTUN hingga saat ini, yaitu bahwa

pengadilan tidak mempunyai kekuatan untuk memaksakan agar Putusan PTUN

dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa PTUN belum memenuhi standar independensi lembaga

peradilan yang ideal.15

Ketika fungsi PTUN sebagai lembaga peradilan tidak memiliki kekuatan

yang besar, maka perlindungan hukum bagi pencari keadilan tidak dapat

diwujudkan secara optimal. Manakala pejabat pemerintahan mempunyai kesadaran

yang tinggi untuk melaksanakan putusan pengadilan, maka pencari keadilan

mendapatkan perlindungan hukum yang adil. Sebaliknya manakala pejabat

pemerintahan tidak mempunyai kesadaran untuk melaksanakan putusan maka

pencari keadilan tidak akan mendapatkan jaminan perlindungan hukum yang kuat

dan tidak mendapatkan keadilan.16

Ditambah dengan tidak adanya lembaga yang dapat memaksa tergugat

14 Enrico Simanjuntak, Ospek Ombudsman Republik Indonesia Dalam Rangka Memperkuat

Pelaksanaan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, artikel dalam Jurnal Hukum dan

Peradilan, Volume 3, Nomor 2 Juli 2014, hlm. 167.

15 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta:

Universitas Janabadra Yogyakarta Press, 2017), h. 610.

16 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 616.

Page 72: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

63

untuk melaksanakan putusan Peradilan TUN. Sehingga, hal tersebut memperburuk

keadaan dan menyusahkan pihak Peradilan. Tidak hanya itu, peraturan mengenai

sanksi bagi tergugat yang tidak melaksanakan putusan PTUN masih sangat

mengambang dan tidak jelas. Banyak pasal yang semestinya harus direvisi,

mengingat undang-undang mengenai PTUN terbilang sudah cukup lama. Yaitu UU

No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara.

Selain berfungsi sebagai lembaga Peradilan, PTUN mempunyai fungsi

sebagai lembaga pengawasan yuridis terhadap pemerintah. Sebagai lembaga

pengawasan, PTUN mempunyai tugas untuk mengawasi pejabat pemerintahan,

apakah pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau melakukan tindakan

sesuai dengan perauran perundang- undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang

Baik (AUPB) atau tidak.17

Adapun Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) termaktub dalam

UU No. 30 Tahun 2014. AUPB terdiri dari 8 asas yaitu, 1. Asas kepastian hukum,

2. Asas Kemanfaatan, 3. Asas Ketidaberpihakkan, 4. Asas kecermatan, 5. Asas

tidak menyalahgunakan kewenangan, 6. Asas keterbukaan, 7. Asas kepentingan

umum, 8. Asas pelayanan yang baik.

UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara memang mengatur mengenai sanksi

yang diberlakukan apabila tergugat tidak melaksanakan putusan PTUN. Seperti

yang telah penulis jelaskan di atas, dalam PTUN Indonesia sanksi yang diberikan

adalah pembayaran uang paksa (dwangsom) atau sanksi administrative.

Berdasarkan Pasal 81 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintah, sanski administrative dibagi menjadi 3 kategori:

1. Sanksi administratif ringan berupa:

a. teguran lisan;

17 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 611.

Page 73: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

64

b. teguran tertulis; atau

c. penundaan kenaikan pangkat, golongan, dan/atau hak-hak jabatan.

2. Sanksi administratif sedang berupa:

a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;

b. pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; atau;

c. pemberhentian sementara tanpa memperoleh hak-hak jabatan.

3. Sanksi administratif berat berupa:

a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas

lainnya;

b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas

lainnya;

c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas

lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau

d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas

lainnya serta dipublikasikan di media massa.

e. Sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, bahkan dalam UU ini tidak mencantumkan secara jelas dan

detail mengenai jumlah uang paksa yang ditetapkan, pembebanan uang paksa

tersebut apakah ke individu atau menggunakan anggaran daerah/negara, atau

menggunakan kas institusi pejabat yang bersangkutan. Mengingat kebijakan yang

dilakukan pejabat pasti membawa nama institusi. Dari sini saja, kita bisa melihat

bahwa tidak adanya kepastian hukum dalam uu yang mengatur administrasi

pemerintahan.

Pelaksanaannya juga tergantung pada kesukarelaan pada pejabat

pemerintahan atau atasannya. Sepanjang mereka juga tidak melaksanakan, maka

tidak ada lembaga atau pejabat yang diberikan wewenang untuk memaksa supaya

pejabat melaksanakan putusan. 18 Padahal, Pemerintahan yang baik diperlukan

18 Francisca Romana Harjiyatni & Suswoto, Implikasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, h. 616.

Page 74: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

65

kepastian hukum dalam setiap peraturan yang ada.

Selain itu, dengan diberlakukannya otonomi daerah, setiap pejabat kepala

daerah di kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola

daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan

administrative.

Pengaduan kepada presiden selaku kepala eksekutif dan DPR pun tidak

akan efektif, mengingat DPR dan Presiden memiliki tugas dan wewenang yang

cukup banyak. Tapi, lagi-lagi ketua pengadilan TUN dan/ atau juru sita tidak

memiliki kewenangan untuk memaksa tergugat melaksanakan putusan PTUN yang

telah berkekuatan hukum tersebut. Lain halnya dengan Peradilan lain, yang juru

sitanya memiliki kewenangan untuk melakukan upaya paksa terhadap pihak yang

dijatuhkan hukuman.

Selain masalah-masalah di atas, menurut penulis peraturan mengenai

contempt of court dirasa perlu diberlakukan terutama bagi pejabat yang tidak patuh

terhadap hukum. Namun, lagi-lagi pasal tersebut masih dalam pembahasan di DPR.

Padahal pasal tersebut merupakan Prolegnas 2015-2019. Ini mencerminkan bahwa

memang hukum di Indonesia selain telat juga bobrok. Tidak hanya penegak

hukumnya saja bahkan hingga ke legislator lambat menangani dinamika hukum

yang terjadi di Indonesia. Padahal masalah terkait eksekusi di PTUN ini telah ada

sejak PTUN berdiri, yang mana sudah puluhan tahun masalah ini belum ada

solusinya.

Tapi setidaknya, menurut penulis sanksi berupa pengumuman di media

cetak setempat telah tepat. Karena dengan begitu, public tahu bahwa pejabat

tersebut tidak taat hukum dan menjadi teguran bagi pejabat untuk lebih taat hukum.

Selain itu, public pun akan tahu bahwa kebijakan/keputusan tersebut sudah tidak

berlaku lagi/ akan adanya keputusan baru menggantikan keputusan sebelumnya.

Namun, di era modern seperti ini, ada baiknya jika pembulikasian

dipersebarluaskan di media daring, sehingga tidak hanya masyarakat setempat saja

yang mengetahui hal ini. Ini akan menjadi pukulan bagi pejabat agar lebih taat

hukum dan merasa malu, karena yang mengetahui hal ini tidak hanya di daerahnya

Page 75: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

66

saja.

Selain itu, jika daerah lain mengetahui bagi daerah yang memang belum

baik tingkat pendidikannya, daerah lain dapat mengkritik pejabat tersebut agar

jangan sewenang-wenang walaupun rakyatnya belum dapat berpendidikan secara

baik, namun masih ada mereka di daerah lain yang memiliki akses pendidikan baik

dan mengkritik pejabat tersebut. Jika dibandingkan dengan Thailand, walaupun

negara tersebut berbentuk monarkhi namun demokrasi mendapat tempat yang luas.

Hal tersebut terbukti dengan banyaknya revolusi yang terjadi, bahkan konstitusi

Thailand telah terganti sebanyak 19x. Walaupun PTUN Thailand lebih muda

daripada PTUN Indonesia, namun banyak yang dapat dipelajari dari PTUN

Thailand.

Thailand sudah memiliki pasal contempt of court, sehingga bagi siapa pun

yang tidak melaksanakan putusan PTUN akan dikenakan sanksi pidana. Selain itu,

sanksi yang diharuskan menyerahkan uang atau harta benda dapat dilakukan secara

perdata. Pengadilan pun dapat memutus kewajiban apa yang harus dilakukan atau

tidak dilakukan, ini berarti pengadilan dapat menentukan juga besaran sanksi yang

diberikan, sehingga wewenang PTUN Thailand terbilang luas dan mendeteil. Jika

tergugat tetap tidak melaksanakan putusan PTUN, Thailand memiliki lembaga

yang dapat mengeksekusi yang bersangkutan untuk melaksanakan putusan

Peradilan. Di sini memang lembaga tersebut tidak hanya untuk PTUN namun juga

untuk lembaga lainnya.

Kewenangan PTUN Thailand juga tidak hanya sengketa yang berkaitan

dengan kebijakan pejabat, melainkan juga tindakan pejabat, nama baik, dan kontrak

administrasi. Di sini dapat kita lihat wewenang PTUN memang terfokus untuk

menangani permasalahan antara pejabat dengan masyarakat, sehingga masyarakat

tidak akan kesulitan jika memiliki permasalahan dengan pejabat maka pengadilan

yang berwewenang adalah PTUN.

Page 76: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

67

C. Urgensi Lembaga Eksekutorial PTUN di Indonesia

Lembaga eksekutorial dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)

merupakan elen vital yang harus ada agar peradilan administrasi di Indonesia dapat

berjalan dengan lebih baik. Sebagaimana hasil komparasi yang dilakukan penulis

terhadap sistem PTUN di Indonesia dan Thailand, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Thailand memiliki dinamika yang lebih baik dibandingkan dengan Indonesia dalam

pelaksanaan PTUN.

Salah satu indikasi tersebut dapat dilihat dari adanya lembaga eksekutorial

yakni legal execution department yang fokus menangani hasil putusan dari

pengadilan (eksekusi) terhadap pihak yang berperkara. Disisi lain, Indonesia yang

lebih dulu memiliki peradilan tata usaha negara secara institusional masih belum

mendirikan lembaga eksekutorial, sehingga pelaksanaan putusan oleh PTUN di

Indonesia berjalan dengan tidak efektif.

Secara fungsional lembaga eksekutorial dalam PTUN merupakan tindak

lanjut dari putusan pengadilan (gerechtelijke tenuitvoerlegging atau execution

force) yang bertujuan untuk mengefektifkan pelaksanaan suatu putusan yang

isinya membebankan kewajiban (prestasi) bagi pihak yang dikalahkan di

pengadilan. Dari norma hukum positif dan praktek yang berlangsung hingga saat

ini, permasalahan eksekusi terus mengemuka, bahkan menjadi perdebatan antara

para pihak yang berperkara dan diskusi yang tiada henti di kalangan akademisi.

Terutama apabila yang dimohonkan untuk patuh terhadap isi putusan pengadilan

itu adalah Pemerintah yang kalah dalam proses persidangan.

Penelitian yang dilakukan oleh Adriaan Bedner19 mengenai PTUN di

Indonesia, mengemukakan permasalahan mengenai eksekusi. Menurutnya,

pengaturan eksekusi dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara

menimbulkan kesalahpahaman mengenai kemandirian lembaga peradilan, yaitu

agar dilaksanakan isi putusan PTUN harus meminta kepada atasan pejabat

19 Merupakan Professor dari Leiden University, Belanda pada bidang Hukum dan Masyarakat

di Indonesia.

Page 77: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

68

eksekutif yang dijadikan tergugat agar dipatuhi isi putusannya tersebut, karena

atasan pejabat eksekutif lah yang dianggap memiliki hak veto. Pengaturan prosedur

ini karena penyusun undang-undang sadar bahwa pejabat-pejabat di Indonesia

enggan mematuhi perintah pengadilan. Selain itu, ada beberapa kasus yang

menurut atasan pejabat yang dijadikan tergugat tidak berkenan melaksanakan isi

putusan karena bersifat sensitif yang diasumsikan dapat membahayakan stabilitas

masyarakat dan politik. Dalam banyak kasus akan tetapi sulit pembuktiannya,

bahwa pejabat mencoba menekan hakim, namun tidak diragukan lagi bahwa

pertimbangan politik telah mempengaruhi sejumlah putusan.20

Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa tidak semua negara memiliki

nilai urgensi yang tingi terhadap lembaga ini. Tidak semua negara memiliki

lembaga di luar peradilan yang bertugas untuk mengeksekusi putusan Peradilan,

seperti di Italia eksekusi dilakukan oleh hakim eksekusi. Sedangkan di Jerman,

pelaksanaan putusan peradilan dilakukan oleh pelayan hukum (rechtspfleger).21

Kendati demikian, Jerman memiliki prinsip pertanggung jawaban

Pemerintah atas kesalahannya dalam tugas (faute de service) diatur sepenuhnya

dalam hukum perdata, dan hal ini sudah berlaku sejak abad ke-19 yang lalu dalam

Pasal 839 Kitab Undang-Undang Hukum Sipil mereka (B.G.B.). Berdasarkan suatu

yurisprudensi tahun 1963 prinsip pertanggung jawab Pemerintah tersebut

mengandung arti bahwa pelaksanaan tugas seorang pegawai Pemerintah harus

senantiasa obyektif, adil, tidak memihak, cermat, melaksanakan wewenang

dikresionernya secara konkret dan tidak pilih kasih, sehingga secara umum

tindakannya itu harus semata-mata didasarkan pada kepentingan masyarakat, tanpa

adanya penyalah gunaan kekuasaan atau wewenang.22

20 Adrian Bedner, Administrative Courts in Indonesia : A Socio-Legal Study (Terjemahan),

(London: The Hague: Kluwer International, 2003), h.151 dan 252.

21 www.katadata.co.id diakses pada 25 Juni 2020. Pukul 11.23 WIB.

22 Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap

Pemerintah, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 1986), h. 47.

Page 78: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

69

Sehingga, Hakim Administrasi dapat menerapkan prinsip-prinsip tersbebut

menilai dan menguji tindakan Pemerintah. Dapat dikatakan, kesadaran hukum

pejabat negara Jerman tergolong tinggi, karena walaupun tidak ada lembaga

eksekutorial khusus, namun dengan prinsip Pertanggung jawaban Pemerintah yang

telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil Jerman, pejabat di Jerman

tidak bisa berlaku sewenang-wenang dalam mengeluarkan kebijakan dan

keputusan, serta taat terhadap putusan Peradilan.

Lain halnya di Perancis. Sebagai salah satu kiblat hukum, PTUN Prancis

terpisah secara utuh dari Peradilan Umum. Jika pada negara Thailand dan

Indonesia, PTUN tertinggi ada di Mahkamah Agung, Prancis memiliki Dewan

Negara sebagai salah satu lembaga tertua di Prancis dan merupakan jantung dari

pengadilan administrasi.23

Berbeda dengan negara Inggris, sistem pengadilan di negara-negara rule of

law tidak mengenal eksistensi PTUN sebagai lembaga sendiri, semua sengketa

diadili di peradilan umum. Sementara sengketa-sengketa tata usaha negara tertentu

diselesaikan melalui administrative appeal tribunal semacam komisi khusus yang

independen (kuasi pengadilan) tetapi mereka diklasifikasikan sebagai bagian dari

pemerintahan dan bukan pengadilan. 24 Prinsip pada sistem hukum rule of law yang

berbunyi “equality before the law” mengkhendaki bahwa hukum berlaku bagi

siapa pun, tidak peduli masyarakat atau pejabat. Karena itu, sanksi tetap berlaku

sekalipun yang melanggar hukum atau berbuat tindak pidana adalah pejabat.

Berdasarkan pemaparan dari perbandingan PTUN di berbagai negara,

penulis dapat menyimpulkan setiap negara memiliki bentuk dan sistem tersendiri

terhadap PTUN. Satu hal yang menarik, ketaatan terhadap hukum merupakan

faktor utama keberhasilan suatu negara dalam menerapkan sistem hukum yang

23 M Patrick Frydman, 11th

Annual AIJA Tribunals Conference, in Association with the Council

of Australian Tribunals, 5-6 June 2008, (Queensland: Council of Australian Tribunals, 2008). h. 2

24 Umar Dani, Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia: Sistem

Unity of Jurisdiction atau Duality of Jurisdiction? Sebuah Studi tentang Struktur dan Karakteristiknya,

(Jakarta: PTUN Jakarta Press, 2018). h. 62.

Page 79: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

70

efektif. Sayangnya, fakta telah menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum

pejabat Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan

rendahnya pelaksanaan putusan PTUN dan Peradilan Umum. Untuk itu, diperlukan

suatu lembaga khusus yang dapat mengawasi dan memaksa pihak yang

bersangkutan untuk menerapkan putusan peradilan.

Konsekuensinya jika tidak mengingkan adanya lembaga khusus, maka

ketaatan hukum harus ditingkatkan oleh pihak yang bersangkutan. Otomatis,

pendidikan moral dan sanksi yang terkesan lebih kejam harus dilaksanakan karena

dengan begitu, mereka akan berfikir dua kali untuk berlaku sewenang-wenang

terhadap keputusan atau kebijakan yang akan dikeluarkan

Penulis berpendapat bahwa keberadaan lembaga eksekutorial akan sangat

bermanfaat di Indonesia. Mengingat belum jelasnya peraturan mengenai sanksi

bagi pejabat yang enggan melaksanakan putusan Peradilan TUN. Kelembagaan

tersebut dibentuk karena tidak adanya lembaga negara di luar lembaga eksekutif

yang dapat mengeksekusi badan dan/atau pejabat pemerintahan yang dijadikan

Tergugat dan tidak berfungsinya lembaga juru sita di PTUN dalam pelaksanaan

putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap.

Argumentasi lain, bahwa lembaga eksekutorial dapat menunjang

kelengkapan dalam sistem peradilan di Indonesia. Hal tersebut juga sangat

berpengaruh terhadap kedudukan Indonesia sebagai negara hukum. Terlebih,

Amerika Serikat (USA) telah mendeklarasikan Indonesia sebagai salah satu negara

maju (developed country) pada 10 Ferbuari 2020. Sehingga dalam hal ini Indonesia

harus memiliki kondisi yang strategis dan menunjukan kualitasnya sebagai good

government. Salah satu komponen yang wajib diperhatikan adalah penataan hukum

dan regulasi.

Dengan adanya lembaga eksekutorial dalam yuridiksi PTUN maka

pelaksanaan hukum terkait yuridiksi PTUN akan berjalan dengan maksimal dan

sesuai tujuan yang diharapkan. Urgensi lembaga eksekutorial dalam suatu sistem

hukum memiliki peran yang sangat penting. Eksistensimya sebagai lembaga pasca

putusan pengadilan memiliki fungsi yang cukup penting.

Page 80: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

71

Fungsi utama dari lembaga ini nantinya khusus menangani pelaksanaan

eksekusi dari pengadilan. Pejabat Lembaga Eksekutorial Negara (PLEN)

merupakan Pejabat Negara yang melaksanakan fungsi penegakan hukum. Adapun

penulis berpendapat, bahwa LEN haruslah lembaga yang independen dan

berkedudukan sejajar dengan lembaga yang dibentuk oleh UUD (yaitu Presiden,

Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY), mengingat fungsinya

sebagai lembaga eksekusi Peradilan yang sudah pasti mengeksekusi tergugat,

dalam hal ini pejabat (eksekutif). Adapun, pejabat LEN terdiri dari akademisi

hukum dalam hal ini bisa peneliti, ahli, pengacara, dan dosen yang dipilih oleh Tim

Panitia Seleksi dan diangkat oleh presiden melalui seleksi ketat yang diadakan oleh

negara (pemerintah pusat).

Adapun, Tim Panitia Seleksi merupakan para mantan hakim dan hakim pada

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta jajarannya. Sebelum

pengukuhan Pejabat LEN, ada baiknya dilakukan training agar mereka bisa

professional dalam bekerja saat di lapangan, seperti tidak hanya sekedar

mengetahui peraturan mengenai sanksi tapi juga bisa menghadapi pejabat

(tergugat) yang enggan melaksanakan putusan dengan berbagai dalih yang

dikeluarkan. Masing-masing Pejabat LEN bersifat kolektif-kolegial, yang dipimpin

oleh Ketua LEN yang dipilih dari internal anggota LEN sendiri. Masa Pejabat LEN

5 (lima) tahun, setelah itu dapat mencalonkan lagi untuk dipilih melalui seleksi Tim

Panitia Seleksi.

Penulis beprendapat baiknya setiap daerah memiliki LEN Daerah, karena

LEN juga mempunyai kewenangan pada pejabat tingkat daerah. Pejabat daerah ini

seperti yang kita ketahui memiliki otonomi daerah untuk mengatur daerahnya

sendiri. Sehingga ada perhatian khusus mengenai pelaksanaan putusan PTUN pada

tingkat daerah. Pertimbangan selanjutnya karena wilayah Indonesia yang sangat

luas, nampaknya jika hanya ada satu LEN di Indonesia akan menyusahkan LEN itu

sendiri, karena akan terhalang mobilisasi di daerah itu. Jadi tidak akan efektif dan

efisien. Lokasi LEN daerah dapat disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-

masing. Jadi LEN Pusat difokuskan menangani pejabat di tingkat pusat

Page 81: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

72

Dalam konteks pelaksanaan putusan (eksekusi) pengadilan dalam ranah

hukum administrasi, perlu ada pengembangan konsep pengenaan sanksi yang

berbeda dengan norma sebagaimana diatur oleh Pasal 116 Undang-Undang

Peradilan TUN, yang hanya mengatur sanksi upaya paksa dalam bentuk pengenaan

uang paksa dan/atau sanksi administratif.25

Ketentuan Undang-Undang Peradilan TUN tersebut mempunyai banyak

kelemahan dalam implementasinya, yaitu tidak menjelaskan lebih lanjut atau

memerinci jenis sanksi uang paksa dan/atau sanksi administratif seperti apa dan

pejabat yang berwenang siapa. Untuk menjelaskannya, menurut penulis perlu

pemahaman lebih lanjut dengan menginterpretasi undang-undang lainnya yang

berkenaan dengan kedua sanksi tersebut.26

Dari aspek substansi hukum, pengaturan eksekusi upaya paksa di PTUN

yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan TUN belum cukup memadai,

sehingga pelaksanaan eksekusinya tidak dapat berjalan efektif dan efisien. Tingkat

keberhasilan pelaksanaan eksekusi relatif sangat rendah, masih terdapat putusan

tidak dilaksanakan. Ketentuan pasal 116 Undang-Undang Peradilan TUN pada saat

ini tidak didukung oleh perangkat norma hukum lainya yang mengatur mengenai

eksekusi, khususnya upaya paksa. Belum ada satu pun peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai mekanisme penerapan eksekusi upaya paksa,

berupa pengenaan uang paksa maupun sanksi administrasi, sebagai tindak lanjut

dari ketentuan pasal 116 ayat (4) dan (7) Undang-Undang Peradilan TUN, sehingga

ketentuan tersebut sama sekali tidak dapat diterapkan. Adapun pengaturan dalam

Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, khususnya pasal 80 sampai dengan

pasal 84 juga belum dapat digunakan, karena masih memerlukan pengaturan lebih

lanjut, yakni dalam bentuk Peraturan Pemerintah.27

25 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 28

26 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h.

Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 28.

27 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 28.

Page 82: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

73

Begitu juga dengan struktur hukum lembaga eksekusi di PTUN, yang selama

ini pengaturannya hanya berpedoman pada juru sita dan pengawasan ketua PTUN,

tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Juru sita di PTUN tidak mempunyai

tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seperti layaknya juru sita di PN, karena sifatnya

hanya menjalankan fungsi administratif dalam hal surat-menyurat saja, tanpa ada

kewenangan “memaksa” agar eksekusi upaya paksa dapat dilaksanakan. Sama juga

dengan fungsi pengawasan ketua PTUN, yang sifatnya hanya mengawasi dalam

arti pasif, tidak dapat menjatuhkan hukuman (sanksi) apapun seandainya badan

dan/atau pejabat pemerintahan tetap tidak melaksanakan isi putusan PTUN.28

Konsep upaya paksa pada PTUN di masa yang akan datang tetap harus

berpedoman pada sistem hukum yang ada, khususnya substansi dan struktur

hukum. Penguatan substansi dan struktur hukum di sini dalam rangka

pengembangan hukum nasional. Faktor-faktor hambatan dalam eksekusi upaya

paksa di PTUN (baik dari segi substansi dan struktur hukumnya), dapat diatasi

dengan adanya pengaturan dibentuknya lembaga hukum baru yang khusus

menjalankan fungsi eksekutorial lembaga peradilan.29

Selain itu penulis berharap agar LEN ini tidak hanya diperuntukan bagi

PTUN, mengingat penulis temukan masih banyak permasalahan eksekusi dalam

Peradilan Umum.30 Namun juga bagi lembaga peradilan lainnya, sehingga masing-

masing peradilan dapat dengan fokus menyelesaikan sengketa yang bersangkutan

sedangkan permasalahan eksekusi akan dilaksanakan oleh LEN ini. Dengan

demikian implementasi hukum di Indonesia diharapkan dapat berjalan sesuai

dengan tujuan penegakan hukum yakni keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian

hukum.

28 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 31.

29 Yulius, Diskursus Lembaga Eksekusi Negara dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, h. 31.

30 Diakses melalui https://leip.or.id pada 24 Juni 2020. Pukul 15.25. Sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Indepedensi Peradilan

Page 83: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

74

A. KESIMPULAN

BAB V

PENUTUP

1. Problematika yang marak terjadi sejak PTUN berdiri di Indonesia adalah tidak

terlaksananya putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, padahal

putusan PTUN memiliki peran dan fungsi yang sangat vital dalam negara hukum

rechstaat dalam hal Indonesia. Selain itu, PTUN didirikan dengan tujuan agar

terwujudnya good government dan modernisasi pada sistem hukum Indonesia.

Adapun, problematika tersebut terjadi karena beberapa faktor, antara lain adalah:

belum ada peraturan yang jelas dan spesifik yang menyebutkan mengenai sanksi

bagi tergugat yang tidak melaksanakan putusan PTUN, kesadaran hukum yang

dimiliki oleh pejabat tata usaha negara di Indonesia masih terbilang cukup

rendah, peraturan mengenai Contempt of Court belum ada di Indonesia, adapun

peraturan tersebut dapat memidanakan bagi mereka yang tidak melaksanakan

putusan PTUN seperti di Thailand, serta tidak ada lembaga eksekutorial negara

yang khusus didirikan untuk menangani permasalahan eksekusi peradilan di

Indonesia.

2. Jika dibandingkan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) antara PTUN di

Indonesia dan Thailand memiliki perbedaan antara lain: Thailand sudah memiliki

lembaga eksekutorial yang secara fungsional melaksanakan eksekusi kepada

pihak yang berpekara, sedangkan di Indonesia masih belum ada; Dalam

pelaksanaan hukumnya, Thailand telah memiliki regulasi bagi pihak yang tidak

melaksanakan hasil putusan pengadilan (contempt of court/penghinaan terhadap

pengadilan), sedangkan di Indonesia aturan tersebut masih belum ada; Selain itu,

Thailand memiliki komisi yudisial (judicial commission of administrative court)

dalam setiap peradilan, sedangkan Indonesia hanya terdapat satu komisi yudisial.

Page 84: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

75

B. SARAN

Terkait dengan penelitian ini, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Dalam rangka mewujudkan good governance dan kemajuan dalam sistem

hukum Indonesia, sepertinya para penegak hukum dan legislator harus saling

berkoordinasi antar lembaga, sehingga fungsi dari masing-masing lembaga

dapat berjalan dengan baik dan efisien.

2. Pejabat negara, seharusnya mempunyai tanggung jawab besar atas ketaatan

terhadap hukum dan sikap jujur. Sebagai pemimpin rakyat atau orang yang

dipercaya rakyat, akan sangat memalukan jika tidak memiliki rasa tanggung

jawab, jujur, dan taat hukum. Nampaknya, pendidikan moral terhadap pejabat

negara harus dilakukan dan nilai-nilainya harus tertanam kiat sebelum mereka

menjabat sebagai pejabat negara.

3. Memiliki lembaga instutisional lebih dahulu, tidak berarti lembaga tersebut

telah sempurna. Masih diperlukannya pembaharuan terhadap Peradilan di

Indonesia, terutama PTUN. Dalam hal ini, tidak ada salahnya jika melakukan

penelitian dan kajian akademis demi terciptanya gagasan yang inovatif dan

terlaksananya gagasan-gagasan tersebut. Sehingga, hukum di Indonesia tidak

lagi usang dan dapat mengikuti dinamika perkembangan masyarakat.

4. Lembaga eksekutorial dalam lingkup PTUN di Indonesia sangat diperlukan

demi terwujudnya implementasi hukum yang lebih efektif dan efisien. Selain

berperan penting dalam melaksanakan putusan oleh pengadilan, urgensi LEN

antara lain sebagai menunjang kelengkapan dalam sistem peradilan di

Indonesia. Tanpa lembaga tersebut, maka eksistensi PTUN dalam menjalankan

tugas negara dianggap tidak tuntas, karena hanya sekedar memutuskan perkara

tanpa eksekusi lebih lanjut, kondisi tersebut tidak sejalan dengan tujuan

penegakan hukum yakni keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian hukum.

Padahal keberadaan LEN dapat dijadikan sebagai salah satu ikhtiar Indonesia

dalam membangun citra hukum yang baik dalam konsep good governance.

Karena salah satu indikasi dari konsep good governance adalah penegakan

hukum yang baik dan efisien.

Page 85: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

76

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Muchtar. Himpunan Kuliah Ilmu Kenegaraan. Bandung: Alumni Press. 1971.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2009.

Amirudin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam menurut Fazlu Rahman.

Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press. 2001.

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Gunungsitoli: Jurnal

Hukum Press. 2013.

Astomo, Putera. Eksistensi Peradilan Administrasi dalam Sistem Negara

Hukum Indonesia. Semarang: Universitas Diponegoro Press. 2014.

Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Thailand. Market Brief Perdagangan

Perbatasan Thailand. Bangkok: Office of Commercial Attache, Embassy of the

Republic of Indonesia for Kingdom Thailand. 2013.

Bachar, Djazuli. Eksekusi Putusan Perkara Perdata Segi Hukum Dan

Penegakan Hukum. Jakarta: Akademika Pressindo. 1987.

Bedner, Adriaan. Administrative Courts in Indonesia : A Socio-Legal Study

(Terjemahan). London: The Hague: Kluwer International. 2003.

Bell, Gary F. The New Indonesian Laws Relating to Regional Autonomy: Good

Intentions, Confusing Laws (Asian-Pasific Law and Policy Journal). William S

Ricardson of Law Press. 2001.

Boneka, Prildy Nataniel. Tinjauan Hukum Putusan PTUN dalam Rangka

Eksekusi Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Manado:

Universitas Sam Ratulangi Press. 2014.

Dani, Umar. Memahami Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara di

Indonesia: Sistem Unity of Jurisdiction atau Duality of Jurisdiction? Sebuah Studi

tentang Struktur dan Karakteristiknya. Jakarta: PTUN Jakarta Press. 2018.

Erliyana, Anna. Hukum dan Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia

Press. 2017.

Fachrudin, Irfan. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintah, Jakarta: Alumni. 2004.

Page 86: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

77

Frydman, M Patrick. 11th Annual AIJA Tribunals Conference, in Association

with the Council of Australian Tribunals, 5-6 June 2008. Queensland: Council of

Australian Tribunals. 2008.

Funsten, John. Government and politics in South East Asia. Singapore: Institute

of Asia Studies. 2001.

Gerhard, Robbers. Encyclopedia of World Constitutions. New York: Facts on

File Inc. 2007.

Hajiyanti, Francisca Romana & Suswoto. Implikasi Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Fungsi Peradilan Tata

Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia Press. 2017.

Harding, Andrew and Peter Layland, Constitution System of Thailand : A

Contextual Analysis. United Kingdom: Hart Publishing. 2011.

HS. H. Salim. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Jakarta: Rajagrafindo

Persada. 2012.

Hutugalung, Siti Merida. Penegakkan Hukum di Indonesia: Apakah Indonesia

Negara Hukum?. Jakarta: Universitas Kristen Indonesia Press. 2011.

Isjrawa, F. Pengantar Ilmu Politik (Cetakan ke-7). Bandung: Bina Cipta. 1980.

Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan

Pemerintah, (Jakarta: Alumni, 2004

Iskandar, Dossy dan L. Bernard. Tanya, Ilmu Negara “Beberapa Isu Utama”.

Surabaya: Srikandi. 2005.

Jauhari, Kedaulatan Rakyat dalam Perspektif Islam. Semarang: Universitas

Islam Sultan Agung Semarang Press. 2015.

Lotulung, Paulus Efendi. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum

Terhadap Pemerintah. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 1986.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik Penelitian Contempt

of Court 2002. Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Press.

2002.

Makarao, Moh Taufik. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I. Jakarta: Rieneka Cipta, 2004.

Page 87: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

78

Makmur. Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan. Bandung: PT.

Refika Aditama. 2011.

Marbun, SF. dan Moh. Mahfud, MD. Pokok Pokok Hukum Administrasi

Negara. Yogyakarta: Liberti. 2000.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2014.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi ketujuh.

Yogyakarta: Liberty. 2006.

Nasir, Muhammad. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Djambatan. 2003.

Notohamidjojo, O. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga: Penerbit Griya

Media. 2011.

Pitsuwan, Surin. Islam di Muangthai. Jakarta: LP3ES. 1998.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai

Pustaka. 2005.

Ramadhan, Choky R. Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia

dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum. Depok: Bagian Hukum Pidana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia Press. 2018.

Rasaid, M. Nur. Hukum Acara Perdata cet. ke- III. Jakarta: Sinar Grafika

Offset. 2003.

Rodding, Budiamin. Keputusan Fiktif Negatif dan Fiktif Positif dalam

Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Medan: PTUN Medan Press. 2017.

Salmon, H. Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam

Mewujudkan Suatu Pemerintahan yang Baik. Maluku: Jurnal Sasi. 2010.

Samidjo. Ilmu Negara. Bandung: Penerbit Armico. 1986.

Samosir, Djamanat. Hukum Acara Perdata Tahap-Tahap Penyelesaian

Perkara Perdata. Bandung: Nuansa Aulia. 2011.

Schlager, Neil. and Weisblatt, Jayne. World Encyclopedia of Political Systems

and Parties. New York: Facts on File Publisher. 2006.

Page 88: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

79

Setyagama, Azis. Pembaruan Politik Hukum Pemilihan Kepala Daerah Secara

Langsung di Indonesia. Surabaya: CV. Jakad Media Publishing. 2017.

Simajuntak, Enrico. Ospek Ombudsman Republik Indonesia Dalam Rangka

Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Bandung:

Universitas Padjajaran Press, 2014

Soekanto, Soerjono. dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1990.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia

Press. 2015.

Soepomo, R. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: Prdanya Paramita.1993.

Soleh, Mohammad Afifudin. Eksekusi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara yang berkekuatan Hukum Tetap. Surabaya: Universitas 17 Agustus 1945 Press.

2018.

Sukardja, Ahmad dan Tim. Laporan Hasil Study Banding Ke Peradilan

Administrasi Thailand di Bangkok. Bangkok: Mahkamah Agung RI Press. 2009.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2003

Wahjono, Pamo. Contempt of Court dalam Proses Peradilan di Indonesia.

Jakarta: Yayasan LBH. Indonesia Press. 1986.

Wijaya, Endra. Pengantar Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Jakarta: Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila Press. 2011.

WEBSITE

http://constitutionnet.org

http://hukum.untan.ac.id

http://www.dpr.go.id

http://www.led.go.th

http://www.thailandtoday.in.th

https://dictionary.thelaw.com

Page 89: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

80

https://kanchanapisek.or.td

https://katadata.co.id

https://leip.or.id

https://lib.unnes.ac.id

https://pn-gunungsitoli.go.id

https://www.coj.go.th

https://www.constituteproject.org

https://www.google.com

https://www.nyulawglobal.org

https://www.unicef.org

https://www.worldbank.org

https://www.worldometers.info

www.ignca.nic.in

www.parliament.go.th

REGULASI

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU. No. 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Thailand’s of Constitution 2017 (Konstitusi Thailand 2017)

Act on Establishment of Administrative Court and Administrative Court Procedure B.E

2542 (1999 M)

Page 90: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

81

LAMPIRAN

1. Peta Negara Thailand

Page 91: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

82

2. Struktur Pemerintahan Thailand

Page 92: PROBLEMATIKA PELAKSANAN PUTUSAN PADA ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51670...iv ABSTRAK Syifa Salsabila Nasution, NIM. 11160453000022, “ PROBLEMATIKA PELAKSANAN

83