Upload
feizal-faturahman
View
48
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jenis trauma
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi
sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal
berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting,
seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan
sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC
/diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010).
Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera berupa fraktur,
dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera cenderung meningkat dan akan
mengancam kehidupan kita. Cedera dapat menyebabkan kematian dan juga dapat
menimbulkan penderitaan fisik, stress mental dan kehilangan banyak waktu. Jadi
dalam hal ini, cedera dapat meningkatkan angka kejadian morbiditas dan angka
kejadian mortalitas (Rasjad C,2003). Trauma kepala merupakan kedaruratan
neurologik yang memiliki akibat yang kompleks, karena kepala merupakan pusat
kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala
aktivitas manusia, bila terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh.
Penyebab trauma kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh
(21%) dan cedera olahraga (10%). Angka kejadian trauma kepala yang dirawat di
rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan kedua (4,37%)
setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 pola penyakit
terbanyak yang dirawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2007).
Pada cedera fisik yang memerlukan tindakan pembedahan akut didapatkan
bahwa 10% diantaranya adalah akibat dari trauma tumpul didaerah abdomen.
Trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan cedera organ intra abdomen berupa
ruptura organ padat seperti hepar dan lien atau perforasi organ berongga seperti
lambung dan usus. Cedera intra abdomen pada pemeriksaan awal sulit untuk
1
dideteksi. Apalagi bila penderita datang dalam keadaan tak sadar akibat trauma
didaerah kepala atau akibat intoksikasi alkohol (Soemarko, 2004). Menurut
National Consultant for Injury dari WHO Indonesia (dikutip dari data kepolisian
RI) terdapat kecelakaan selama tahun 2007 memakan korban sekitar 16.000 jiwa
dan di tahun 2010 meningkat menjadi 31.234 jiwa di Indonesia.
Dengan demikian masalah trauma memerlukan perhatian yang serius dan
sangat penting untuk diketahui oleh mahasiswa kedokteran, maka dari itu kami
akan melakukan Tugas Pengenalan Profesi yaitu Observasi pasien trauma/pasca
trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja jenis trauma pada pasien yang dijumpai di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang?
2. Apa etiologi trauma yang dialami pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Sakit Bhayangkara Palembang?
3. Apa saja manifestasi klinis pada pasien trauma/ pasca trauma yang dijumpai
di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang pasien trauma/ pasca trauma yang dijumpai
di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang?
6. Apa saja kasus yang paling sering terjadi di IGD Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang?
2
1.3. Tujuan Pelaksanaan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk Mengatahui jenis trauma¸ etiologi trauma, manifestasi klnis,
penatalaksaan, dan pemeriksaan penunjang pada pasien yang mengalami trauma/
pasca trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
2. Untuk mengetahui etiologi trauma pada pasien trauma/pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis pasien yang mengalami trauma/ pasca
trauma yang dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pasien trauma/ pasca trauma yang
dijumpai di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
6. Untuk mengetahui kasus yang paling sering terjadi di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang?
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari Tugas Pengenalan Profesi kali ini, adalah sebagai berikut.
1. Untuk penulis dapat menambah ilmu pengetahuan dan sebagai bahan
pembanding antara teori yang di dapat selama kuliah dan praktek di lapangan.
2. Untuk masyarakat dapat berguna sebagai sumber bacaan untuk meningkatkan
ilmu pengetahuan terutama dalam bidang kesehatan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Trauma
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga
terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal berbagai
organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti
kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem
imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh
(DIC /diseminated intravascular coagulation) (Sjamsuhidajat, de jong. 2010).
Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera oleh
salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, olah raga dan rumah tangga. Setiap tahun 60 juta penduduk
Amerika Serikat mengalami trauma dan 50% memerlukan tindakan medis. 3,6 juta
membutuhkan perawatan di Rumah Sakit. Didapatkan 300 ribu di antaranya
mendapatkan kecacatan yang bersifat menetap (1%) dan 8,7 juta menderita
kecacatan sementara ( 30% ) dan menyebabkan kematian sebanyak 145 ribu orang
per tahun (0,5%). Di Indonesia kematian akibat kecelakaan lalu lintas lebih kurang
12 ribu orang per tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa trauma dapat
menyebabkan :
1. Angka kematian yang tinggi.
2. Hilangnya waktu kerja yang banyak sehingga biaya perawatan yang besar.
3. Kecacatan sementara dan permanen.
Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal
berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera sistem musculoskeletal
cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan mengancam kehidupan kita
(Rasjad C,2003).
4
2.2. Klasifikasi Trauma
2.2.1. Trauma Kapitis
A. Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen (Asrini, 2008).
B. Mekanisme Trauma Kapitis
a. Akseleras
Bila kepala yang bergerak ke suatu arah atau kepala sedang dalam
keadaan tidak bergerak , tiba-tiba mendapat gaya yang kuat searah dengan
gerakan kepala maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada
arah tersebut. Mula-mula tulang tengkorak yang bergerak lebih cepat,
jaringan otak masih diam, kemudian jaringan otak ikut bergerak ke arah
yang sama. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu yang sangat
singkat. Pada peristiwa ini terjadi gesekan antara jaringan otak dan dasar
tengkorak serta terjadi benturan antara jaringan otak dan dinding
tengkorak.
Mekanisme akselerasi dapat menyebabkan laserasi pada bagian
bawah jaringan otak dan memar pada jaringan otak serta putusnya vena–
vena kecil yang berjalan dari permukaan otak ke duramater (bridging
veins) (Anonim, 2013).
b. Deselerasi.
Bila kepala bergerak dengan cepat ke satu arah tiba-tiba dihentikan
oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba
akan terhenti gerakannya. Kepala mengalami deselerasi (perlambatan)
secara mendadak. Mula-mula tengkorak akan terhenti gerakannya,
jaringan otak masih bergerak kemudian jaringan otak terhenti gerakannya
karena menabrak tengkorak. Peristiwa ini terjadi sangat cepat dalam waktu
yang sangat singkat. Mekanisme deselerasi dapat menyebabkan kelainan
serupa seperti pada mekanisme akselerasi (Anonim, 2013).
c. Rotasi
5
Batang otak (brain stem) terletak di bagian tengah jaringan otak dan
berjalan vertikal ke arah foramen magnum sehinga otak seolah-olah
terletak pada sebuah sumbu (axis). Bila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya
mendadak yang membentuk sudut terhadap arah gerak kepala, misalnya
pada bagian frontal atau pada bagian oksipital maka otak akan terputar
pada sumbunya. Mekanisme rotasi dapat menyebabkan laserasi dari bagian
bawah jaringan otak dan kerusakan pada batang otak (Anonim, 2013).
C. Klasifikasi Trauma Kapitis
Cidera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yaitu
berdasarkan mekanisme, beratnya dan morfologi (ATLS, 2004).
a. Mekanisme cidera kepala
Cidera otak dibagi atas cidera tumpul dan cidera tembus. Cidera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Sedangkan cidera tembus
disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan (Asrini, 2008).
b. Beratnya cidera kepala
GCS atau Glasgow Coma Scale digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cidera otak (Asrini, 2008). Berdasarkan
beratnya cidera kepala dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Cidera kepala ringan
GCS antara 15-13, pasien stabil dan sadar, tidak ada
muntah, dapat mengalami luka lecet atau laserasi di kulit kepala
dan pemeriksaan lainnya normal (Asrini, 2013).
2) Cidera kepala sedang
GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai
24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan, dua
atau lebih episode muntah, sakit kepala persisten, kejang singkat
(kurang dari 2menit) satu kali segera setelah trauma, dapat
mengalami luka lecet, hematoma, atau laserasi di kulit kepala
dan pemeriksaan lainnya normal (Asrini, 2013).
3) Cidera kepala berat
6
GCS antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,
biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematoma dan
edema serebral. terdapat kebocoran LCS dari hidung atau
telinga, tanda-tanda neurologis lokal (pupil anisokoria), terdapat
tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial berupa herniasi
unkus yaitu dilatasi pupil ipsilateral akibat kompresi nervus
okulomotor, herniasi sentral yaitu kompresi batang otak
menyebabkan bradikardi dan hipertensi, trauma kepala yang
berpenetrasi dan dapat terjadi kejang (selain kejang singkat satu
kali segera setelah trauma) (Asrini, 2013).
Tabel 1. Glasgow Coma Scale (GCS)
Eye Opening Score
Mata terbuka dengan
spontan
4
Mata membuka setelah
diperintah
3
Mata membuka setelang
diberi rangsang nyeri
2
Tidak membuka mata
dengan rangsang apapun
1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (decorticate) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
7
Tidak ada gerakan
dengan rangsang apapun
1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan
dengan benar
5
Salah menjawab
pertanyaan
4
Mengeluarkan kata-kata
yg tidak sesuai
3
Mengeluarkan suara yg
tidak ada artinya
2
Tidak ada jawaban 1
Jumlah 15
c. Morfologi cidera kepala
1) Fraktur Cranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linier atau bintang/stelata dan dapat pula terbuka atau
tertutup. Untuk memastikannya harus dilakukan CT scan dengan
teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Tanda-
tandanya antara lain raccoon eyes, ekimosis retroaurikule (battle
sign), rhinorrhea, otorrhea, paresis nervus facialis dan gangguan
pendengaran (Asrini, 2008).
2) Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau difus,
walaupun kedua jenis ini sering terjadi bersamaan. Yang
termasuk lesi fokal adalah perdarahan epidural, perdarahan
subdural dan perdarahan intracerebral (Asrini, 2013).
8
a) Perdarahan Epidural (Epidural Hemorrhage–EDH)
Perdarahan ini disebabkan karena fraktur di daerah
temporal yang memutuskan arteri meningea. Darah dengan
segera akan terkumpul di rongga di antara duramater dan
tulang tengkorak. Darah ini akan menekan jaringan otak ke
arah medial dan menyebabkan penekanan terhadap nervus III
sehingga pupil akan melebar (midriasis) dan perangsangan
cahaya pada pupil mata ini tidak akan menggerakkan
musculus ciliaris (rangsang cahaya negatif). Epidural
hematoma harus segera di operasi (craniotomy) (Asrini,
2013). Riwayat penyakit yang khas pada epidural hematoma
ialah adanya lucid interval. Pada waktu baru terjadi trauma
kapitis, penderita tetap berada dalam keadaan sadar bahkan
masih mampu menolong dirinya sendiri, baru beberapa jam
kemudian (biasanya antara 6 – 8 jam) kesadaran mulai
menurun, kedua pupil akhirnya berdilatasi penuh dan
rangsang cahaya pada kedua mata menjadi negatif dan
penderita meninggal (Asrini, 2013). Tenggang waktu antara
kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan
kesadaran disebut lucid interval. Kedua pupil yang berdilatasi
penuh dengan rangsang cahaya yang negatif menujukkan
keadaan yang disebut herniasi tentorial. Herniasi tentorial
terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial dimana batang
otak terdesak kearah caudal dan akhirnya terperangkap oleh
tentorium (Asrini, 2013).
b) Perdarahan Subdural (Subdural Hemorrhage–SDH)
Perdarahan ini terletak diantara permukaan jaringan
otak dan di bawah duramater biasanya di daerah parietal.
Perdarahan ini dapat terjadi karena mekanisme rotasi maupun
mekanisma aselerasi–deselerasi kepala sehingga memutuskan
bridging veins (vena-vena yang menghubungkan permukaan
jaringan otak dan duramater) atau pecahnya pembuluh–
9
pembuluh cortical jaringan otak baik arteri maupun vena
yang berada pada permukaan otak (Asrini, 2013).
Bila terjadi akut segera setelah trauma kapitis ini
menunjukkan suatu trauma kapitis yang cukup berat. Kasus
perdarahan subdural akut (acute SDH) memerlukan tindakan
operasi segera (Asrini, 2013).
Pada perdarahan subdural manifestasi klinik timbul
setelah 2–3 minggu setelah trauma kapitis, terdapat sakit
kepala, kelemahan anggota gerak sesisi dan bahkan
penurunan kesadaran. Keadaan ini disebut perdarahan
subdural kronis (chronic SDH). Dengan melakukan operasi
membuang darah tersebut, penderita akan segera pulih
kembali (Asrini, 2013).
c) Perdarahan Intracerebral (Intracerebral Hemorrhage–ICH)
Perdarahan ini terjadi karena putusnya pembuluh darah
di dalam jaringan otak. Penderita akan cepat kehilangan
kesadaran . Tergantung dimana letak perdarahan, operasi
dapat menolong penderita tetapi biasanya dengan cacat yang
menetap (Asrini, 2013). Perdarahan juga dapat terjadi di
dalan sistem ventrikel disebut perdarahan intraventrikular
(Intraventricular Hemorrhage–IVH). Darah akan menyumbat
sistem ventrikel sehingga liquor cerebrospinal tidak dapat
mengalir dan terkumpul di dalam sistem ventrikel dan
menyebabkan sistem ventrikel melebar dan mengandung
banyak cairan sehingga terjadi hydrocephalus. Bila
perdarahan cukup banyak maka seluruh fungsi jaringan otak
akan terganggu (Asrini, 2013).
Sedangkan yang termasuk lesi difus adalah sebagai berikut :
a) Diffused Axonal Injury (DAI)
Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan
mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam
kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan
10
neurotransmiter eksitotoksik yang menyebabkan
influís Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade
fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dapat
berperanan dalam hal ini. Dengan adanya gen APOE
tergantung dari tingkat keparahan dari luka, efek
dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian
(Asrini, 2013). DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60%
DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan
vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian.
Dalam proses biomekanis DAI terjadi karena adanya
proses deselerasi (Asrini, 2013).
b) Iskemia serebral
Iskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera
kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau
perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang
normal, tekanan darah yang rendah tidak
mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena
adanya autoregulasi, Penyebab iskemia serebral
adalah lesi massa yang menyebabkan herniasi
tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah,
spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.
Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks,
hipokampus, ganglion basalis dan batang otak (Asrini,
2013).
c) Komusio serebri
Komusio serebri merupakan bentuk trauma kapitis
ringan, dimana terjadi pingsan (kurang dari 10 menit).
Gejala lain mungkin termasuk pusing. Berdasarkan
atas lokasi benturan, lesi dibedakan atas koup
kontusio dimana lesi terjadi pada sisi benturan dan
tempat benturan. Pada kepala yang relatif diam
biasanya terjadi lesi koup, sedang bila kepala dalam
11
keadaan bebas bergerak akan terjadi kontra koup
(Asrini, 2013).
D. Pembagian Trauma Kapitis
a. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan ada
riwayat trauma kapitis, tidak pingsan, gejala sakit kepala dan pusing
dan umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi
obat simptomatik dan cukup istirahat.
b. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala yang
tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh
nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat. Vertigo
dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio
cerebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde yaitu hilangnya
ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya
kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman
kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu
dibuat adalah foto tengkorak, EEG dan pemeriksaan memori.
c. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-
perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan
yang kasat mata meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau
terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya
akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran
otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak
membentang batang otak terlalu kuat sehingga menimbulkan
blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus.
Akibat blockade itu otak tidak mendapat input aferen dan karena itu
kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
12
Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup dan
intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa
berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah
kesadaran puli kembali penderita biasanya menunjukkan organic
brain syndrome.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme
yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi
pembuluh darah cerebral terganggu sehingga terjadi vasoparalitis.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat atau
menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat maka
rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul (Harsono,
2005). Pemeriksaan penunjang seperti CT-scan berguna untuk
melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka
pendek. Terapi dengan antiserebral edema, anti perdarahan,
simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
d. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai
dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan
adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan
intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan
tidak langsung (Harsono, 2005). Laceratio langsung disebabkan oleh
luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi
fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan
laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang
hebat akibat kekuatan mekanis.
e. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media
dan fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau
fossa mana yang terkena.
1) Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala hematom
kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding, epistaksis
dan rhinorrhoe.
13
2) Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala hematom
retroaurikuler, ottorhoe dan perdarahan dari telinga
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio,
jadi terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi
untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe
yang berlangsung lebih dari 6 hari (Asrini, 2013).
E. Manifestasi Klinis Trauma Kapitis
a. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala ringan
Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama
beberapa saat, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan,
mual dan muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang
menurun, perubahan kepribadian diri dan letargi (Anonim, 2013).
b. Tanda-tanda atau gejala klinis untuk cidera kepala berat
Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan
peningkatan di otak menurun atau meningkat, perubahan ukuran
pupil (anisokoria), triad cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan) (Anonim, 2013).
c. Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosis
Battle sign (warna biru atau ekimosis di belakang telinga di atas
os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah membran
timpani telinga), periorbital ekimosis (mata warna hitam tanpa
trauma langsung), rinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari
hidung), ottorhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga)
(Anonim, 2013).
F. Diagnosis Trauma Kapitis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan sebagai berikut :
a. Periksa kesadaran penderita (GCS)
b. Pemeriksaan pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi
terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang
lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir
14
untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap
cahaya merupakan akibat dari cedera kepala (Asrini, 2008).
c. Periksa jalan nafas penderita
d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf
kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi
dan refleks harus diperiksa (Asrini, 2008).
e. Pemeriksaan scalp dan tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan
memar. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan
adanya fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan
dan memar (Asrini, 2008).
f. Pemeriksaan penunjang yaitu :
1. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi
fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT
scan dapat mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio
atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila
CT scan tidak ada (Asrini, 2008).
2. CT-Scan
CT scan harus dilakukan secepat mungkin, segera setelah
hemodinamik normal.
CT scan penting dalam memperkirakan prognosis cedera
kepala berat (Asrini, 2008).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat
berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu
menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang
sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan bahwa
penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI
15
mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan
kesadaran walaupun hasil pemeriksaan CT scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Asrini,
2008).
G. Penatalaksaan Trauma Kapitis
a. Penatalaksanaan non operatif
1. Primary survey dan resusitasi
Primary survey dan resusitasi berupa airway dan
breathing. Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi
pada cidera otak dan dapat mengakibatkan gangguan
sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan
pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan oksigen
100%. Kemudian sirkulasi, hipotensi biasanya disebabkan
oleh cidera otak itu sendiri kecuali pada stadium terminal
dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan.
Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan
syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus
segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia.
Pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang
(Lindsay, 1997).
2. Secondary survey
Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakukan
untuk deteksi dini adanya gangguan neurologis. Tanda awal
dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya (Lindsay,
2997).
3. Terapi medikamentosa
Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk
mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak
yang telah mengalami cidera. Prinsip dasarnyaadalah bila
sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan,
16
maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali (Lindsay,
1997).
a) Cairan intravena
Bertujuan untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemi. Cairan yang dianjurkan untuk
resusitasi adalah larutan garam fisiologi yaitu Ringer
laktat (Lindsay, 1997).
b) Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2
dan akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah
otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan
agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat
terjadinya vasokontriksi serebri berat sehingga
menimbulkan gangguan perfusi otak. PCO2
dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi
dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg)
(Lindsay, 1997).
c) Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan
intrakranial yang meningkat. Dosis yang dipakai
1g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Indikasi
karena pemakaian manitol adalah deteriosasi neurologis
yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis
atau kehilangan kesadaran. Manitol menurunkan
tekanan atau volume cairan cerebrospinal dengan cara
meninggikan tekanan osmotik plasma. Dengan cara ini,
air dari cairan otak akan berdifusi kembali ke plasma
dan ke dalam ruangan ekstrasel (Lindsay, 1997).
d) Furosemid atau lasix
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan
TIK. Dosisnya adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara
intravena. Pemberiannya bersamaan dengan manitol
17
karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang
efek osmotik serum manitol (Lindsay, 1997).
e) Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter
terhadap obat-obat lain. Namun barbiturat ini tidak
dianjurkan pada fase akut resusitasi (Lindsay, 1997).
f) Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak
tertutup dan 15% pada cidera kepala berat. Fenitoin
bermanfaat untuk mengurangi terjadinya kejang dalam
minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara
intravena dengan kecepatan pemberian 50mg/menit.
Dosis pemeliharaan biasanya 100mg/8 jam (Lindsay,
1997).
b. Penatalaksanaan operatif
1. Luka kulit kepala
Hal yang terpenting adalah membersihkan luka
sebelum melakukan penjahitan. Debridement yang
tidak adekuat akan menyebabkan infeksi luka kepala.
Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan
penekanan, kauterisasi atau ligasi pembuluh darah
besar. Jahit, pasang klips atau staples. Inspeksi apakah
ada fraktur tengkorak atau benda asing (Lindsay, 1997).
Manajemen luka:
A. Mencuci luka
1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl
0,9%).
2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing
yang terdapat pada luka.
B. Menjahit luka
1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan
antiseptic (betadine) dari bagian tengah
18
memutar ke perifer.
2. Siapkan alat-alat menjahit
3. Bersihkan luka dan alat-alat setelah selesai
menjahit.
C. Membungkus luka
1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik
kembali.
2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak
kencang.
3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan
dengan plester.
2. Fraktur impresi tengkorak
Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong
dengan menutup kulit kepala yang laserasi (Lindsay,
1997).
3. Lesi massa intrakranial
Dilakukan kraniotomi dan atau burrhole. Burrhole pada
kranium untuk eksplorasi atau evakuasi hematom
(Lindsay, 1997).
c. Teknik operasi
1. Kraniotomi atau trepanasi
Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka
tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk
tindakan pembedahan definitif. Secarasementara
membuat bone flap dan disingkirkan dari kepala supaya
bisadilakukan pengeluaran dari bekuan darah SDH atau
EDH. Bone flap di dapat dengan mengebor empat titik
pada kranium dan membuat garis linear yang
menghubungkan empat titik tersebut sehingga
terbentuk bone flap (Lindsay, 1997).
2. Burrhole
19
Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada
tempat lesi atau tempat adanya bekuan darah EDH dan
mengeluarkan bekuan darah tersebut dengan hanya
membuat satu lubang pada tempat lesi (Lindsay, 1997).
H. Komplikasi Trauma Kapitis
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dalam jangka
pendek dapat berupa hematom epidural, hematom subdural,
perdarahan intraserebral dan oedema serebri. Sedangkan
untuk komplikasi jangka panjang dapat berupa gangguan
neurologis seperti gangguan visus, strabismus, parese
N.VII dan gangguan N. VIII, disfagia dan kadang terdapat
hemiparese, sindrom pasca trauma seperti palpitasi,
hidrosis, konsentrasi berkurang, mudah tersinggung, sakit
kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, dll (Lindsay, 1997).
I. Prognosis Trauma Kapitis
Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat
perhatian besar terutama pada pasien dengan cedera berat.
Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai
prognostik yang besar yaitu pada pasien dengan skor GCS 3-
4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam
kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12
atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 –
10% (Lindsay, 1997).
2.2.2. Trauma Ekstremitas
A. Definisi
Trauma ekstremitas merupakan trauma yang mengakibatkan cedera pada
ekstremitas. Secara umum dikenal dalam bentuk fraktur, dislokasi dan
amputasi. Trauma ekstremitas dapat menyebabkan disfungsi struktur di
sekitarnya dan struktur yang dilindungi atau disangganya serta kerusakan pada
otot, pembuluh darah dan saraf (Usman, 2013).
20
B. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan yaitu nyeri terus menerus,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan lokal dan perubahan warna (Usman, 2013).
C. Klasifikasi Trauma Ekstremitas
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan
sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (Usman,
2013). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan epifisis baik yang bersifat total maupun yang parsial. Tulang
mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai. Apabila
trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang).
Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun
pelunakan tulang yang abnormal (Usman, 2013).
Adapun jenis- jenis fraktur sebagai berikut :
1. Complete fraktur (fraktur komplet) yaitu patah pada seluruh garis
tengah tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan
perpindahan posisi tulang.
2. Closed frakture (simple fracture) yaitu tidak menyebabkan robeknya
kulit dan integritas kulit masih utuh.
3. Open fracture (compound frakture/ komplikata/ kompleks) yaitu
fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang
menonjol sampai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke
patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi grade I luka bersih
dengan panjang kurang dari 1 cm, grade II luka lebih luas tanpa
kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan grade III sangat
terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
4. Greenstick yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang
sisi lainnya membengkok.
5. Transversal yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang.
6. Oblik yaitu fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
21
7. Spiral yaitu fraktur memuntir seputar batang tulang.
8. Komunitif yaitu fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen.
9. Depresi yaitu fraktur dengan frakmen patahan terdorong ke dalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).
10. Avulsi yaitu tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada
perlekatannya.
11. Epifisial yaitu fraktur melalui epifisis.
12. Impaksi yaitu fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya (Usman, 2013).
D. Pembagian Trauma Ekstremitas dan Penatalaksanaannya
1. Patah tulang tertbuka dan Trauma Sendi
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan
lingkungan luar. Otot dan kulit mengalami cedera dan beratnya kerusakan
jaringan lunak ini akan berbanding lurus dengan energi yang
menyebabkannnya. Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri,
menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan
penyembuhan dan gangguan fungsi (ATLS, 2004).
Diagnosis didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik
ekstremitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau
tanpa kerusakan luas otot, serta kontaminasi. Pengelolaan didasarkan atas
riwayat lengkap kejadian dan pemeriksaan trauma. Jika terdapat luka
terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan alat
masuk kedalam sendi dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh
memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan rongga sendi
berhubungan dengan luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan
hubungan luka terbuka dengan sendi adalah eksplorasi bedah dan
pembersihan luka (ATLS, 2004) .
Adanya patah tulang atau trauma sendi terbuka harus segera dapat
dikenali. Setelah deskripsi luka atau trauma jaringan lunak serta
22
menentukan ada atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma syaraf
maka segera dilakukan imobilisasi (ATLS, 2004).
2. Trauma vaskuler termasuk amputasi traumatika
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskuler
yang menyertai trauma tumpul, remuk, trauma tembus ekstremitas. Pada
mulanya ekstremitas mungkin masih tampak hidup karena sirkulasi
kolateral yang mencukupi aliran secara retrograd. Trauma vaskuler parsial
menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat,
pulsasi melemah. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin,
pucat, dan nadi tak teraba (ATLS, 2004).
Ekstremitas yang avaskuler secara akut harus segera dapat dikenal
dan ditangani segera. Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari
6 jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga sangat sensitive terhadap
keadaan tanpa oksigen. Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk
mengembalikan aliran darah pada ekstremitas distal yang terganggu. Jika
gangguan vaskularisasi di sertai fraktur, harus dikoreksi segera dengan
meluruskan dan memasang bidai (ATLS, 2004).
Jika terdapat gangguan vaskuler ekstremitas trauma setelah dipasang
bidai atau gips, tanda-tandanya adalah menghilangnya atau melemahnya
pulsasi. Bidai, gips dan balutan yang menekan harus dilepaskan dan
vaskularisasi dievaluasi (ATLS, 2004).
3. Sindroma Kompartemen
Sindroma kompartemen akan ditemukan pada tempat dimana otot
dibatasi oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga
berfungsi sebagi lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah
tungkai bawah, lengan bawah, tangan, dan paha. Sindroma kompartemen
terjadi bila tekanan diruang osteofasial menimbulkan iskemia dan
berikutnya nekrosis. Iskemia dapat terjadi karena peningkatan isi
kompartemen akibat udema yang timbul akibat revaskularisasi sekunder
dari ekstremitas yang iskemi, atau karena penurunan isi kompartemen
yang disebabkan tekanan dari luar misalnya dari balutan yang menekan
(ATLS, 2004).
23
Gejala dan tanda sindroma kompartemen adalah nyeri bertambah
dan khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot,
parestesi di daerah distribusi saraf ferifer yang terkena, menurunnya
sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen
tersebut, tegang serta bengkak di daerah tersebut. Pulsasi di daerah distal
biasanya masih teraba. Kelumpuhan atau parase otot dan hilanngnya
pulsasi (disebabkan oleh tekanan kompartemen melebihi tekanan sitolik)
merupakan tindak lanjut dari sindroma kompartemen (ATLS, 2004).
Penatalaksanaannya yaitu dibuka semua balutan yang menekan gips
dan bidai. Penderita harus diawasi dan diperiksa setiap 30 sampai 60
menit. Jika tidak terdapat perbaikan, fasciotomi diperlukan. Sindroma
kompartemen merupakan keadaan yang ditentukan oleh waktu. Jika
terlambat melakukan fasiotomi menimbulkan mioglobinemia, yang dapat
menimbulkan menurunnya fungsi ginjal (ATLS, 2004).
4. Trauma Neurologi akibat fraktur-dislokasi
Fraktur atau dislokasi dapat menyebabkan trauma saraf yang
disebabkan hubungan anatomi atau dekatnya posisis saraf dengan
persendian, misalnya nervus iskhiadikus dapat tertekan oleh dislokasi
posterior sendi panggul atau nervus aksillaris oleh dislokasi posterior
sendi bahu. Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini
diketahui dan ditangani secara cepat (ATLS, 2004).
Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan depormitas dari
ekstremitas. Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama penderita,
setiap saraf ferifer yang besar di periksa fungsi motorik dan sensorik
(ATLS, 2004).
Ekstremitas yang cedera harus segera di immobilisasi dalam posisi
dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Jika terdapat indikasi
dan dokter yang menangani mempunyai kemampuan reposisi dapat dicoba
secara berhati-hati setelah reposisi (ATLS, 2004).
5. Kontusio dan laserasi
Kontusio dan laserasi sederhana harus diperiksa untuk
menyingkirkan trauma vaskuler dan saraf. Secara umum laserasi
24
memerlukan penutupan luka. Jika laserasi meluas sampai dibawah fasia,
perlu intervensi operasi untuk membersihkan luka dan memeriksa
struktur-struktur dibawahnya yang rusak. Kontusio umumnya dikenal
karena ada nyeri dan penurunan fungsi. Palpasi menunjukkan adanya
pembengkakan lokal dan nyeri tekan. Penderita tidak dapat
mempergunakan ootot itu dan terjadi penurunan fungsi karena nyeri
(ATLS, 2004).
Kontusio diobati dengan istirahat dan pemakaian kompres dingin
pada fase awal. Hati-hati akan luka kecil terutama akibat crush injury, jika
ekstremitas menderita beban sangat besar dan sangat perlahan,
vaskularisasi akan terganggu dan kerusakan otot akan terjadi walaupun
ditemukan luka yang hanya kecil saja. (ATLS, 2004)
E. Komplikasi Trauma Ekstremitas
Komplikasi yang dapat ditimbulkan yaitu apabila tidak ditangani
dengan segera maka akan menimbulkan kerusakan yang permanen. Selain itu
juga dapat menyebabkan adanya kemungkinan infeksi (Usman, 2013).
F. Prognosis Trauma Ekstremitas
Prognosis pada kasus trauma ekstremitas yaitu tergantung berat
ringannya trauma dan tatalaksana yang diberikan. Jika ditatalaksana dengan baik
dan tepat maka prognosisnya akan baik pula (dubia ad bonam) (Usman, 2013).
2.2.3. Trauma Abdomen
A. Definisi
Trauma abdomen didefinisikan sebagai trauma yang melibatkan daerah
antara diafragma atas dan panggul bawah (Guilon, 2011).
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara
toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal
wall) yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan
ilium (Dorland, W.A. Newman. 2010).
Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling
sering dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan
25
horizontal dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut
membagi dinding anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua
bidang diantaranya berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga
kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang
lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan
hingga ke pertengahan ligamentum inguinale (Harjadi, W. 2008) . Daerah-
daerah itu adalah:
1. Hypocondriaca dextra
2. Epigastrica
3. Hypocondriaca sinistra
4. Lateralis dextra
5. Umbilicalis
6. Lateralis sinistra
7. Inguinalis dextra
8. Pubica
9. Inguinalis sinistra
Proyeksi letak organ abdomen yaitu:
1. Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung
empedu, sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal
kanan dan kelenjar suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan
sebagian hepar.
26
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal
pankreas, fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan
kelenjar suprarenal kiri.
4. Lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kanan, sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah
duodenum, jejenum dan ileum.
6. Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal
kiri, sebagian jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum
dan ureter kanan.
8. Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada
kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan
ovarium kiri.
B. Epidemiologi
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas
biasanya lebih tinggi pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk.
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam.
Pada trauma tumpul dengan velositas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya
menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi
sering menimbulkan kerusakan organ multipel. Pada intraperitoneal, trauma
tumpul abdomen paling sering menciderai organlimpa (40-55%), hati (35-45%),
dan usus halus (5-10%) (Cho et al, 2012). Sedangkan pada retroperitoneal, organ
yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang cedera
adalah pankreas dan ureter (Demetriades, 2000). Pada trauma tajam abdomen
paling sering mengenai hati (40%), usus kecil (30%), diafragma (20%), dan
usus besar (15%) (ATLS, 2004).
C. Klasifikasi
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul
dan trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang
27
berbeda sehingga algoritma penanganannya berbeda. Trauma abdomen dapat
menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan
dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan. Trauma pada abdomen
dapat di bagi menjadi dua jenis:
a. Trauma tajam/ penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan
luka pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum
yang disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam
dikenal dalam tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus
scissum), luka tusuk (vulnus punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).
Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan
karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi
akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ
viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan
bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya.
Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau
organ yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar
ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum
(Sjamsuhidajat, de jong. 2010).
b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul :
Pada cedera fisik yang memerlukan tindakan pembedahan akut didapatkan
bahwa 10% diantaranya adalah akibat dari trauma tumpul didaerah
abdomen. Trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan cedera organ intra
abdomen berupa ruptura organ padat seperti hepar dan lien atau perforasi
organ berongga seperti lambung dan usus. (Soemarko, M. 2004).
Trauma tumpul abdomen diklasifikasikan ke dalam 3 mekanisme utama,
yaitu:
1. Tenaga kompresi (hantaman)
Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa
hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang
terfiksasi. Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman
yang salah (seat belt injury). Hal yang sering terjadi adalah
28
hantaman, efeknya dapat menyebabkan sobek dan hematom
subkapsular pada organ padat visera. Hantaman juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga
dan menyebabkan ruptur.
2. Tenaga deselerasi (cedera perlambatan)
3. Akselerasi.
Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi
sesuai dengan tulang yang terkena seperti terlihat pada tabel 2 sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Pola cedera organ lunak pada trauma tumpul abdomen.
Organ yang terkena langsung Cedera yang mungkin terkait
Fraktur kosta kanan Cedera hepar
Fraktur kosta kiri Ruptur lien
Kontusio midepigastrium Perforasi duodenum, cedera
pankreas
Fraktur prosessus tranversalis
lumbal
Cedera ginjal
Fraktur pelvis Ruptur VU, cedera urethra
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam
kavum abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati
oleh pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali
perdarahan intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca
trauma. Selain itu, sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat
operatif dan perlu tindakan segera dalam menegakan diagnosis dan
mengirim pasien ke ruang operasi (Soemarko, M. 2004).
D. Mekanisme Trauma
Trauma pada abdomen dibagi menjadi trauma tumpul dan tembus.
Trauma tumpul abdomen disebabkan kompresi dan deselerasi. Kompresi
rongga abdomen oleh benda-benda terfiksasi, seperti sabuk pengaman atau
setir kemudi akan meningatkan tekanan intraluminal dengan cepat, sehingga
mungkin menyebabkan ruptur usus, atau pendarahan organ padat. Gaya
deselerasi (perlambatan) akan menyebabkan tarikan atau regangan antara
29
struktur yang terfiksasi dan yang dapat bergerak. Deselerasi dapat
menyebabkan trauma pada mesenterium, pembuluh darah besar, atau kapsul
organ padat, seperti ligamentum teres pada hati. Organ padat, seperti limpa dan
hati merupakan jenis organ yang tersering mengalami terluka setelah trauma
tumpul abdomen terjadi (Demetriades, 2000). Luka tembak adalah penyebab
paling umum (64%) dari trauma tembus abdomen, diikuti oleh luka tusukan
(31%) dan luka senapan (5%) (Todd, 2004). Luka tusuk dan luka tembak
kecepatan rendah menyebabkan kerusakan jaringan dengan laserasi dan
memotong. Kecepatan tinggi pada luka tembak mentransferenergi kinetic lebih
ke abdomen visera (ATLS, 2004).
2.2.4. Trauma Thorax
A. Definisi
Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau
organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma
tajam. Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan
rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah
leher dapat diraba incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada
yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius, m.rhomboideus mayor dan minor,
m.serratus anterior, dan m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari
sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam
rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah
besar, saraf dan sistem limfatik (Sean O. 2006). Kurang lebih 20% kematian
akibat trauma terjadi karena trauma thorak. Banyak kematian bisa dicegah
seandainya kasus teridentifikasi dan tertangani lebih dini sewaktu proses
evaluasi trauma. Eksplorasi dan intervensi bedah perlu dilakukan pada sekitar
10-15% pasien trauma thoraks. Sebab-sebab tersering kematian langsung
pasca-trauma umumnya berkaitan dengan cedera pembuluh darah utama atau
obstruksi jalan nafas utama (Sean O. 2006).
B. Etiologi
30
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis
tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan
terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat
yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda.
Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3,
berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi
rendah, berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik
(seperti pistol) dan trauma toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi
(senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab
trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada
paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba)
(Sjamsuhidajat, de jong. 2010).
C. Gangguan Anatomi dan Fisiologi akibat Trauma Thoraks
Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang
dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres.
Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan
terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada
jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak
bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai
berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan
anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel.
Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple
dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma
yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma
langsung pada jantung (ATLS, 2004).
Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa
31
gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat
pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan
faal jantung dan pembuluh darah (ATLS, 2004)
D.Klasifikasi
Trauma thoraks diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Trauma Tajam
a. Pneumothoraks terbuka
b. Hemothoraks
c. Trauma tracheobronkial
d. Contusio Paru
e. Ruptur diafragma
f. Trauma Mediastinal
2. Trauma Tumpul
a. Tension pneumothoraks
b. Trauma tracheobronkhial
c. Flail Chest
d. Ruptur diafragma
e. Trauma mediastinal
f. Fraktur kosta
(Sean O. 2006)
E. Patofisiologi
Trauma benda tumpul pada bagian thorax baik dalam bentuk kompresi
maupun ruda-paksa (deselerasi/akselerasi), biasanya menyebabkan memar/jejas
trauma pada bagian yang terkena. Jika mengenai sternum, trauma tumpul dapat
menyebabkan kontusio miocard jantung atau kontusio paru. Keadaan ini
biasanya ditandai dengan perubahan tamponade pada jantung, atau tampak
kesukaran bernapas jika kontusio terjadi pada paru-paru (Sean O. 2006)
Trauma benda tumpul yang mengenai bagian dada atau dinding thorax
juga seringkali menyebabkan fraktur baik yang berbentuk tertutup maupun
terbuka. Kondisi fraktur tulang iga juga dapat menyebabkan Flail Chest, yaitu
32
suatu kondisi dimana segmen dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel
pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya
segmen fail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi
sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabakan hipoksia yang
serius (Sean O. 2006).
Sedangkan trauma thorax dengan benda tajam seringkali berdampak
lebih buruk daripada yang diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Benda tajam
dapat langsung menusuk dan menembus dinding dada dengan merobek
pembuluh darah intercosta, dan menembus organ yang berada pada posisi
tusukannya. Kondisi ini menyebabkan perdaharan pada rongga dada
(Hemothorax), dan jika berlangsung lama akan menyebabkan peningkatan
tekanan didalam rongga baik rongga thorax maupun rongga pleura jika
tertembus. Kemudian dampak negatif akan terus meningkat secara progresif
dalam waktu yang relatif singkat seperti Pneumothorax, penurunan ekspansi
paru, gangguan difusi, kolaps alveoli, hingga gagal nafas dan jantung.
Fraktur Iga
Fraktur iga sederhana merupakan kejadian yang relative sering
pada kasus trauma tumpul thoraks, dengan insidens sekitar 50%.
Fraktur iga sederhana paling sering terjadi di daerah rawan benturan
atau pada angulus costae posterior, bagian iga yang strukturnya paling
lemah. Fraktur paling sering terjadi pada iga 4-9. Pada fraktur iga harus
diwaspadai adanya trauma intra-abdomen penyerta bila dijumpai fraktur
pada iga 9-12, mengingat iga-iga ini terletak diatas hati dan limpa.
Fraktur pada iga 1-2, yang terlindungi dengan baik oleh struktur lain,
biasanya mengindikasikan trauma tumpul dengan gaya sangat kuat yang
menghantam dada pasien, adanya fraktur ini mengingatkan
kecenderungan cedera intrathorax yang bermakna. Fraktur iga lebih
sering terjadi pada pasien dewasa karena rangka iga orang dewasa tidak
selentur rangka iga anak-anak (Sean O. 2006)
33
Evaluasi klinis tujuan utamanya adalah untuk mendeteksi
apakah terdapat tanda-tanda adanya cedera thoraks yang mendasari,
seperti pneumothorak, hemothorak, kontusio paru, atau trauma vaskuler
yang bermakna. Temuan klinis khas pada fraktur iga berupa nyeri tekan
setitik (point tenderness) di lokasi fraktur, peningkatan intensitas nyeri
sewaktu bernafas atau menggerakkan badan, krepitus di titik nyeri
tekan, ekimosis, kekakuan atau spame otot pada daerah dinding dada
yang sakit. Pembacaan foto thorak PA posisi tegak dan oksimetri
denyut harus dikerjakan pada setiap pasien dengan kecurigaan fraktur
iga (Sean O. 2006)
Tatalaksana, sasaran utama dalam penatalaksanaan fraktur iga
sederhana ialah penanganan nyeri yang adekuat, nyeri yang tidak
ditangani dengan adekuat dapat menyebabkan gangguan ventilasi
pasien dan penurunan ventilasi ini dapat menyebabkan atelektasis dan
mungkin dapat menyebabkan pneumonia. Penggunaan sabuk iga dan
berbagai jenis alat pengikat dinding dada bukan merupakan anjuran
rutin. Sekalipun berguna untuk meredakan gejala, alat-alat ini
membatasi pergerakan normal dinding dada dan ventilasi sehingga
menimbulkan resiko tambahan menyebabkan atelaktasis. Pada beberapa
kasus, blok saraf intercostalis diindikasikan untuk membantu mengatasi
nyeri yang luar biasa (Sean O. 2006)
Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah pengumpulan udara yang abnormal
didalam rongga pleura, yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul dan
trauma tembus, bahkan bisa juga terjadi secara spontan. Pneumothoraks
dapat menyebabkan kolapsnya paru (dalam derajat apapun) pada sisi
thoraks yang sakit serta berpotensi mengurangi oksigenasi dan ventilasi.
Pneumothorak terbuka, dikanal juga sebagai pneumothoraks
komunikan, disebabkan oleh trauma tembus ysng merusak integritas
dinding dada dan pleura pasien, mengakibatkan udara masuk ke rongga
pleura sehingga menimbulkan kolaps paru. Pneumaothorak sederhana,
tertutup, atau non-komunikan, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul,
34
ditandai dengan dinding dada yang intak. Pneumothoraks desak terjadi
kalau ada katup jaringan satu-arah yang dapat terbentuk akibat trauma
yang menembus dinding dada atau parenkim paru. Selama proses
pernafasan, udara terdorong masuk ke rongga pleura, tetapi tidak bisa
keluar lagi. Makin lama proses ini berlangsung, tekanan intrapleura di
sisi yang sakit makin meninggi sehingga menimbulkan desakan pada
paru. Struktur-struktur mediastinal terdesak dan tergeser ke sisi thoraks
kontralateral, desakan mediastinum ini menurunkan aliran balik darah
yang menuju jantung sehingga curah jantung berkurang. Sebagian paru
sisi kontralateral juga terdesak sehingga makin mengurangi oksigenasi
dan ventilasi. Situasi ini bisa dengan cepat mengakibatkan henti
jantung dan henti nafas bila tidak segera terdeteksi dan tertangani (Sean
O. 2006).
Evaluasi klinis gambaran klinis pada pasien dapat bevariasi, dari
asimptomatik hingga dispnea berat tergantung pada luas bagian paru
yang kolaps atau jaringan yang cedera. Di sisi dada yang sakit, dapat
ditemukan perlemahan suara nafas dan bunyi perkusi hipersonor.
Pneumothoraks desak ditandai dengan deviasi trakea, distensi vena
jugularis, gawat nafas, takikardia, hipotensi, hilangnya suara nafas di
sisi dada yang sakit, bunyi hipersonor pada perkusi, dan sianosis.
Oksigen sungkup, oksimeter denyut, dan monitor jantung harus
dipasang pada semua pasien yang dicurigai mengalami pneumothoraks
(tipe apapun), pemeriksaan foto thoraks juga mesti dikerjakan sesegera
mungkin ( Sean O. 2006)
Tatalaksana awal untuk pneumothoraks desak berupa
dekompresi cepat pada sisi dada yang sakit dengan menusukkan jarum
ukuran 14 di sela iga kedua pada linea midclavikularis. Dekompresi
dikatakan berhasil bila udara terdorong ke luar lewat jarum diikuti
perbaikan gejala pasien. Setelah itu, untuk tatalaksana definitive, selang
torakostomi mesti dipasang dan di sambungkan ke sistem penyalur
sekat air (WSD). Pada kasus pneumothorak terbuka atau komunikans,
penatalaksanaan awal harus berupa pemasangan balut tekan steril yang
35
menutupi defek jaringan pada dinding dada pasien. Dari keempat sisi
balut tekan ini, hanya tiga sisi yang ditempelkan sehingga berfungsi
seperti katup: memungkinkan keluarnya udara sewaktu ekspirasi dan
mencegah masuknya udara saat inspirasi (Sean O. 2006).
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klnis pada trauma thoraks, yaitu:
1. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
2. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
3. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
4. Dyspnea, takipnea
5. Takikardi
6. Tekanan darah menurun.
7. Gelisah dan agitasi
8. Kemungkinan cyanosis.
9. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
10. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.
11. Ada jejas pada thorak
12. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher
13. Bunyi muffle pada jantung
14. Perfusi jaringan tidak adekuat
15. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan
pernapasan ) dapat terjadi dini pada tamponade jantung.
(Sean O. 2006).
G. Penatalaksanaan
1. Gawat Darurat / Pertolongan Pertama
Pasien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian maupun di
unit gawat darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan sejenisnya harus
mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan memperhatikan prinsip
kegawatdaruratan. Penanganan yang diberikan harus sistematis sesuai dengan
keadaan masing-masing pasien secara spesifik. Bantuan oksigenisasi penting
36
dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen pasien. Jika ditemui
dengan kondisi kesadaran yang mengalami penurunan/tidak sadar maka
tindakan tanggap darurat yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan:
a) Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)
Pasien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan pada jalan
napas. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan
berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang
dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut
dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan
berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban. Setelah jalan napas
dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada korban tidak sadar
tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan menutup farink
dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan
jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang
dagu (Head tild – chin lift) dan manuver pendorongan mandibula
(Jaw Thrust Manuver).
b) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)
Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan tekhnik melihat
gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan merasakan hembusan
napas pasien (Look, Listen, and Feel), biasanya tekhnik ini dilakukan
secara bersamaan dalam satu waktu. Bantuan napas diberikan sesuai
dengan indikasi yang ditemui dari hasil pemeriksaan dan dengan
menggunakan metode serta fasilitas yang sesuai dengan kondisi pasien.
c) Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Siskulasi (Circulation)
Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi jantung,
tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi perdarahan. Pasien
dengan trauma dada kadang mengalami kondisi perdarahan aktif, baik
yang diakibatkan oleh luka tembus akibat trauma benda tajam maupun
yang diakibatkan oleh kondisi fraktur tulang terbuka dan tertutup yang
mengenai/ melukai pembuluh darah atau organ (multiple). Tindakan
menghentikan perdarahan diberikan dengan metode yang sesuai mulai dari
37
penekanan hingga penjahitan luka, pembuluh darah, hingga prosedur
operatif. Jika diperlukan pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada
penderita trauma dada, maka tindakan harus diberikan dengan sangat hati-
hati agar tidak menimbulkan atau meminimalisir kompilkasi dari RJP
seperti fraktur tulang kosta dan sebagainya.
d) Tindakan Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis dan
waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien yang
mengalami trauma dada. Adapun tindakan yang biasa diberikan yaitu;
pemberian terapi obat emergensi, resusitasi cairan dan elektrolit,
pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah vena dan AGD, hingga
tindakan operatif yang bersifat darurat.
2. Konservatif
a. Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan kelanjutan dari
pemberian sebelumnya. Rasa nyeri yang menetap akibat cedera jaringan
paska trauma harus tetap diberikan penanganan manajemen nyeri dengan
tujuan menghindari terjadinya Syok seperti Syok Kardiogenik yang
sangat berbahaya pada penderita dengan trauma yang mengenai bagian
organ jantung.
b. Pemasangan Plak/Plester
Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan perawatan
luka dan tindakan penutupan untuk menghindari masuknya
mikroorganisme pathogen.
c. Jika perlu Antibiotika
Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan kultur.
Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan penyakit
gawat, maka penderita dapat diberi “broad spectrum antibiotic”,
misalnya Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x sehari.
d. Fisiotherapy
38
Pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif jika
penderita memiliki indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy yang
sesuai dengan kebutuhan dan program pengobatan konservatif.
3. Invasif Operatif
a. WSD (Water Seal Drainage)
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan
udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan
mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
Indikasi: Pneumothoraks, Hemothoraks, Thorakotomy, Efusi pleura,
Emfiema.
Jenis-jenis WSD:
a. WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien
simple pneumothoraks
Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2
lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam
botol
Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang
terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam
tabung yang menyebabkan kolaps paru
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk
memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar
Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi.
Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan:
Inspirasi akan meningkat
Ekpirasi menurun.
b. WSD dengan sistem 2 botol
Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan
botol ke-2 botol water seal
39
Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya
kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1
dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal.
Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara
dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2.
Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan
mengalir dari rongga pleura ke botol WSD dan udara
dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD.
Biasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks,
hemopneumothoraks, efusi peural.
c. WSD dengan sistem 3 botol
Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol
jumlah hisapan yang digunakan.
Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada
botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung
selang yang tertanam dalam air botol WSD.
Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang
ditambahkan.
Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada
botol ke dua.
Tube pendek lain dihubungkan dengan suction.
Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air
dan terbuka ke atmosfer.
40
b. Ventilator
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian
atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. Ventilasi
mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama.
Klasifikasi:
a) Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru sehingga memenuhi
volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas
kronik yang berhubungn dengan kondisi neurovaskular seperti
poliomyelitis, distrofi muscular, sklerosisi lateral amiotrifik dan
miastenia gravis. Penggunaan tidak sesuai untuk pasien yang tidak
stabil atau pasien yang kondisinya membutuhkan perubahan ventilasi
sering.
b) Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian
mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator
jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini
secara luas digunakan pada klien dengan penyakit paru primer.
Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif yaitu tekanan bersiklus,
waktu bersiklus dan volume bersiklus. Ventilator tekanan bersiklus
adalah ventilator tekanan positif yang mengakhiri inspirasi ketika
tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain siklus ventilator hidup
mengantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu yang telah
ditetapkan seluruhnya tercapai, dan kemudian siklus mati. Ventilator
tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu pendek di
ruang pemulihan. Ventilator waktu bersiklus adalah ventilator
mengakhiri atau mengendalikan inspirasi setelah waktu ditentukan.
41
Volume udara yang diterima klien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan
frekuensi aliran udara . Ventilator ini digunakan pada neonatus dan
bayi. Ventilator volume bersiklus yaitu ventilator yang mengalirkan
volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan. Jika volume
preset telah dikirimkan pada klien, siklus ventilator mati dan ekshalasi
terjadi secara pasif. Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah
ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan. (Sean O.
2006).
42
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Nama Kegiatan
Tugas Pengenalan Profesi dengan judul “Observasi pasien trauma/pasca trauma di
IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang”.
3.2 Lokasi Pelaksanaan
Tugas Pengenalan Profesi Blok XX dilakukan di IGD Rumah Sakit Bhayangkara
Palembang.
3.3 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Tempat : IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
Hari/ Tanggal : Minggu, 11 Oktober 2015.
Waktu : 08.00 s/d 20.00 WIB.
3.4 Subyek Tugas Mandiri
Subyek tugas mandiri pada tugas pengenalan profesi blok XX ini adalah pasien
yang mengalami trauma/pasca trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang
3.5 Alat dan Bahan
1. Alat tulis
2. Kamera
3. Alat rekam
4. Daftar Wawancara
3.6 Metode Pelaksanaan
Metode pelaksanaan dilakukan secara langsung pada dokter dan pasien yang
mengalami trauma/pasca trauma di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
43
3.7 Langkah Kerja
1. Membuat proposal TPP
2. Konsultasi dengan pembimbing
3. Meminta surat persetujuan izin pelaksanaan TPP yang ditandatangani
pembimbing
4. Meminta surat pengantar TPP ketempat/lokasi pada bagian akademik,
berdasarkan bukti surat persetujuan pembimbing
5. Melaksanakan TPP di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
6. Mencatat hasil TPP
7. Konsultasi dengan pembimbing
8. Membuat laporan TPP dan meminta tanda tangan pembimbing untuk
persetujuan pelaksanaan pleno TPP
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Pasien 1
Nama pasien : Tn. Y
Umur : 23 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tn. Y, 23 tahun, datang ke IGD RS Bhayangkara Palembang dengan
alasan ingin meminta surat Visum et Repertum kepada dokter. Tn. Y mengaku
telah dibegal oleh 30 orang bermotor pada pukul 02.00 WIB dini hari di Jalan R.
Sukamto, Palembang. Pada hasil pemeriksaan tanda vital didapatkan:
KU: Compos mentis, GCS: 15, RR: 23 x / menit, HR: 90 x / menit, TD:
140/100 mmHg, Temp: 36oC. Tn. Y dibegal dan mengalami vulnus laseratum
(luka robek) di bagian lengan kiri atas, dengan ukuran panjang ± 5 cm, lebar ± 2
cm dan kedalaman luka ± 1 cm dengan jenis luka terbuka. Tn. Y mengaku
belum pernah berobat, namun pasca kejadian tersebut, seorang temannya
langsung memberi kopi di bagian lukanya. Ketika di IGD RS Bhayangkara, dia
hanya meminta di Visum tanpa ingin dilakukan tatalaksana yang lain, namun
dokter menyarankan untuk dilakukan tatalaksana yaitu dengan manejemen luka
berupa membersihkan luka dan menjahit bagian yang terluka. Namun, Tn. Y
menolak dengan alasan takut disuntik dan dijahit.
Pasien 2
Nama pasien : Ny. D
Umur : 59 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Ny. D, 59 tahun diantar oleh dua orang ke IGD RS Bhayangkara
Palembang karena mengalami kecelakaan lalu lintas di lampu merah macan
lindungan akibat roknya yang tersangkut di jari-jari motor. Ny. D mengalami
penurunan kesadaran ringan, dengan skor GCS 12. Eye: Membuka bila
dipanggil 3, Verbal: Bingung 4, Motorik: Melokalisir nyeri 5, GCS: 12
45
(Cedera kepala ringan), RR: 23 x /maenit, HR: 90 x/menit, /TD: 90 / 60 mmHg,
Temp: 36,5oC.
Ny. D juga mengalami trauma capitis dan trauma ekstremitas. Berupa
vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio genue dextra et sinistra, vulnus
ekskoriatum (luka lecet) di regio manus sinistra, vulnus insivum (luka sayat) di
regio halux dextra, vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio gluteus dextra et
sinistra, vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio frontalis, vulnus contusio (luka
memar) di regio frontalis dan Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di Regio
zygomatica.
Dokter IGD memberikan tatalaksana berupa manejemen luka yaitu
pertama luka dibersihkan dahulu dengan menggunakan kasa yang diberi Nacl
0,9 % Gentamisin. Kemudian jaringan yang rusak atau nekrosis dibuang.
Selanjutnya luka tersebut diberi betadine. Lalu luka ditutup dengan framycetin
sulfate 1% sesuai dengan ukuran luka. Setelah itu luka ditutup dengan
menggunakan kasa dan kemudian difiksasi dengan plester. Setelah dilakukan
tatalaksana skor GCS Ny. D menjadi 15.
Pasien 3
Nama pasien : R
Umur : 14 tahun
Jenis kelamin : Laki- laki
R, 14 tahun, datang dengan ibunya ke UGD RS bhayangkara palembang
dengan keluhan luka robek dan lecet pada kaki kanan dan luka lecet di bagian
bahu dan daerah bawah mata. R mengatakan bahwa luka robek tersebut
dikarenakan benturan batu dijalan dan luka lecet akibat gesekan aspal. Saat
diperiksa tanda vitalnya didapatkan kesadaran (GCS) : 15, RR : 22 x/menit, HR :
80x/menit, Temperatur : 36,9 C, pada anak kami tidak melakukan pemeriksaan
tekanan darah, hal ini disebabkan tidak tersedianya sfigmomanometer anak-
anak. Selanjutnya dokter IGD melihat airway, breathing, circulation, disability
dalam batas normal. Sebelum dilakukan tatalaksana dilakukan pengukuran luka
dengan menggunakan alat ukur didapatkan Vulnus laseratum dorsum pedis (luka
robek) dengan Lebar : 1 cm, Panjang 2,5 cm.Vulnus ekskoriatum deltoid (luka
46
lecet) didapatkan dengan Lebar : 1 cm Panjang : 2 cm. Vulnus ekskoriatum
infraorbital didapatkan, Lebar : 3cm, Panjang 1cm.
Setelah melihat airway, breathing, dan circulation dokter memberikan
tatalaksana pada Vulnus laseratum dengan melakukan cuci luka menggunakan
Nacl 0.9% + Gentamicin lalu berikan betadine di daerah luka. Setelah itu
dilakukan anastesi lokal untuk melakukan penjahitan luka. Sebelumnya siapkan
alat jahit luka. Pada pasien R didapatkan luka jahitan sebanyak 4 jahitan. Lalu
tutup luka dengan perban yang diberikan betadine lalu berikan framycetin
sulphate untuk mempercepat pengeringan luka dengan berbentuk kasa steril
lengket. Untuk Vulnus ekskoriatum , Luka lecet di bersihkan dengan Nacl 0.9%
+ Gentamicin. Lalu oleskan betadine di sekitar luka. Setelah di tatalaksana
pasien di berikan obat antibiotik untuk mencegah infeksi lebih lanjut dan
analgetik untuk meringankan nyeri.
Pasien 4
Nama pasien : A
Umur :14 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
A, 14 tahun, datang dengan keluhan luka lecet pada tangan dan kaki serta
nyeri pada atas pergelangan tangan kiri ke UGD RS bhayangkara akibat
kecelakaan lalu lintas. Pada pergelangan tangan kiri terlihat tonjolan tulang. Saat
diperiksa tanda vitalnya didapatkan data yaitu kesadaran (GCS) : 14, RR : 23
x/menit, HR : 95x/menit, Temperatur : 36,90 C, , pada anak kami tidak
melakukan pemeriksaan tekanan darah, hal ini disebabkan tidak tersedianya
sfigmomanometer anak-anak. Lalu dokter igd melihat airway, breathing,
circulation, disability dalam batas normal.
Setelah melihat airway, breathing, dan circulation dokter memberikan
tatalaksana pada Vulnus ekskoriatum dengan pembersihan vulnus dengan
menggunakan NaCl 0,9% + Gentamicin lalu memberikan betadine di daerah
luka. Setelah di lakukan tatalaksana pasien di bawah ke ruang radiologi untuk di
lakukan foto rontgen daerah radius dan ulna pada pergelangan tangan kiri yang
47
terdapat tonjolan karena dicurigai dadanya fraktur, setelah dilakukan
pemeriksaan radiologi didapatkan hasil yaitu terjadi fraktur tertutup os radius
distal sinistra dan dokter melakukan tatalaksana yaitu pemasangan bidai
melibatkan 2 articulatio pada lengan atas dan lengan bawah setelah itu diberikan
antibiotik untuk mencegah infeksi lebih lanjut dan analgetik untuk meringankan
nyeri. Setelah itu dokter memberikan penjelasan kepada orangtua A. Dokter IGD
menyarankan A untuk di rujuk ke dokter spesialis ortopedi dan bedah tulang
untuk penatalaksanaan selanjutnya.
4.2 Pembahasan
Pada pelaksanaan TPP yang dilakukan pada hari Minggu tanggal 11 Oktober
2015 di Rumah Sakit Bhayangkara Palembang pukul 08.00 WIB sampai 20.00
WIB kami mendapatkan 4 pasien trauma/pasca trauma yang terdiri dari 3 trauma
tumpul dan 1 trauma tajam.
Berdasarkan hasil observasi pada pasien pertama, Tn. Y, 23 tahun, datang ke
IGD RS. Bhayangkara Palembang karena mengalami vulnus laseratum di regio
brachialis dengan ukuran panjang ± 5 cm, lebar ± 2 cm dan kedalaman luka ± 1 cm
dengan jenis luka terbuka. Sebelumnya luka tersebut hanya diberi kopi oleh seorang
temannya pasca kejadian. Dokter IGD hanya melakukan visum atas permintaan Tn.
Y karena ia menolak untuk dilakukan tatalaksana oleh dokter IGD dengan alasan
takut disuntik dan dijahit. Dokter IGD telah menyarankan untuk membersihkan
luka dan penjahitan luka. Dokter IGD juga telah menjelaskan komplikasi yang akan
terjadi apabila luka tersebut tidak segera ditatalaksana, yaitu terjadi infeksi pada
luka, kejang, sepsis hingga kematian. Berdasarkan teori, seharusnya
penatalaksanaan pada luka terbuka adalah dilakukan pembersihan pada daerah luka
untuk kemudian dilakukan penjahitan pada luka tersebut agar tidak terjadi infeksi
dan komplikasi lainnya yang lebih berat.
Pada pasien kedua, Ny. D, 59 tahun mengalami trauma capitis dan trauma
ekstremitas akibat kecelakaan lalu lintas berupa vulnus ekskoriatum di regio genue
dextra et sinistra, vulnus ekskoriatum di regio manus sinistra, vulnus insivum di
regio halux dextra, vulnus ekskoriatum di regio gluteus dextra et sinistra, vulnus
ekskoriatum di regio frontalis, vulnus contusio di regio frontalis dan Vulnus
48
ekskoriatum di Regio zygomatica. Dokter IGD memberikan tatalaksana
berupa manejemen luka yaitu pertama luka dibersihkan dahulu dengan
menggunakan kasa yang diberi Nacl 0,9 % Gentamisin. Kemudian jaringan yang
rusak atau nekrosis dibuang (debridement). Selanjutnya luka tersebut diberi
betadine. Lalu luka ditutup dengan framycetin sulfate 1% sesuai dengan ukuran
luka. Setelah itu luka ditutup dengan menggunakan kasa dan kemudian difiksasi
dengan plester. Berdasarkan tatalaksana yang dilakukan dokter IGD sudah sesuai
dengan teori Lindsay (1997). Tatalaksana pada luka adalah:
a) Mencuci luka
1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl 0,9%).
2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing yang terdapat pada luka.
b) Menjahit luka
1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan antiseptic (betadine) dari
bagian tengah memutar ke perifer.
2. Siapkan alat-alat menjahit
3. Bersihkan luka dan alat-alat setelah selesai menjahit.
c) Membungkus luka
1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik kembali.
2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak kencang.
3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan dengan plester.
Pada responden ini tidak dilakukan penjahitan pada luka dikarenakan
responden tidak memiliki biaya dan takut untuk dijahit. Berdasarkan ATLS
2004,pada luka laceratum yang tidak dilakukan penjahitan dapat memperlambat
penyembuhan luka, meningkatkan resiko infeksi dan penutupan luka yang tidak
sempurna.
Pada pasien ketiga, adalah pasien A, laki-laki, 14 tahun, yang mengalami
Vulnus laceratum pada region antebrachii et region genue sinistra et dextra dan
fraktur tertutup pada os radius distal sinistra yang disebabkan trauma tumpul
sehingga menyebabkan inkontinuitas pada jaringan (ATLS, 2004). Dokter IGD
melakukan tatalaksana dengan memberikan NaCl 0.9% + Gentamisin sebagai
49
antiseptik pada luka tersebut, serta dilakukan pemasangan bidai pada regio
antebrachii sinistra dengan tujuan imobilisasi pada fraktur os radius distal sinistra.
Kemudian dokter memeberikan tatalaksana farmakologi berupa obat
antibiotik untuk mencegah infeksi serta memberikan analgetik untuk mengurangi
rasa nyeri. Setelah itu dokter IGD menyarankan untuk dirujuk ke dokter spesialis
orthopedi. Tatalaksana yang dilakukan oleh dokter IGD sudah sesuai dengan teori
ATLS (2004), pada pasien yang mengalami vulnus ekskoriatum dan laceratum
diberi antiseptik untuk mencegah terjadinya infeksi, dan diberikan juga analgetik
untuk mengurangin rasa nyeri. Pada pasien yang mengalami fraktur dilakukan
tatalakasana berupa imobilisasi dengan menggunakan bidai untuk mencegah
fragmen tulang fraktur mencederai daerah sekitar dan untuk mengurangi rasa nyeri
pada daerah fraktur.
Pada pasien keempat, pasien R, laki-laki, 14 tahun, mengalami Vulnus
laceratum pada regio dorsum pedis dan pada regio deltoidea yang disebabkan oleh
gesekan pada aspal di jalan raya ini merupakan jenis trauma tumpul. Pada pasien ini
Airway, Breathing, Circulation, dan Disability dalam batas normal. Berikutnya
dokter IGD melakukan tatalaksana antiseptik dengan NaCl 0,9% + Gentamisin dan
diberikan betadine pada Vulnus laseratum dorsum pedis, Vulnus ekskoriatum
deltoidea, dan Vulnus eskoriatum infraorbital. Selanjutnya dokter memberikan
anastesi lokal pada regio dorsum pedis dan melakukan penjahitan pada Vulnus
laceratum sebanyak empat jahitan, kemudian luka ditutup dengan perban dan
diberikan betadine serta framycetin sulphate 1% untuk mempercepat pengeringan
luka. Setelah dilakukan tatalaksana pasien diberikan antibiotik dan analgetik untuk
meringankan rasa nyeri. Tatalaksana yang dilakukan oleh dokter IGD sudah sesuai
dengan teori ATLS (2004), pada pasien yang mengalami vulnus ekskoriatum dan
laceratum diberi antiseptik untuk mencegah terjadinya infeksi, dan diberikan juga
analgetik untuk mengurangin rasa nyeri.
Kasus yang banyak terjadi di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang
pada tahun 2013 berdasarkan data yang diperoleh adalah ISPA (Infeksi Saluran
Pernapasan Atas) sebanyak 1079 kasus, gastritis sebanyak 610 kasus,
gastroenteritis sebanyak 410 kasus, hipertensi sebanyak 360 kasus, asma bronkialis
50
sebanyak 249 kasus, vertigo sebanyak 303, thypoid sebanyak 255 kasus, DBD
sebanyak 54 kasus, diabetes mellitus sebanyak 83 kasus dan TBC sebanyak 19
kasus. Dari data tersebut tidak ditemukan data untuk kasus trauma, hal ini
kemungkinan kasus trauma tidak terlalu banyak terjadi di IGD Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang.
51
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Dari hasil observasi pasien trauma di IGD RS. Bhayangkara Palembang kami
mendapatkan empat orang pasien yaitu satu orang dengan trauma tajam dan 3
orang lainnya trauma tumpul. Jenis trauma pada keempat pasien adalah trauma
capitis dan trauma ekstremitas.
2. Manifestasi klinis pada keempat pasien adalah nyeri, hematom, penurunan
kesadaran dan perdarahan.
3. Penatalaksanaan yang dilakukan dokter IGD sudah sesuai dengan teori, yaitu
untuk luka dilakukan manajemen luka berupa irigasi dan debridement pada
luka. Untuk nyeri diberikan analgesic, serta antibiotic untuk pencegahan
infeksi.
4. Dari keempat pasien, pasien A dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu foto
rontgent pada antebrachii sinistra. Pada pasien Y, dia meminta dilakukan
visum. Sedangkan pada pasien D dan pasien R tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang.
5. Menurut data yang didapatkan pada penatalaksanaan TPP kasus terbanyak
yang ditemukan pada tahun 2013 adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan
Atas) yaitu sebanyak 1079 kasus, Gastritis kurang lebih 600 kasus, gastro
entritis kurang lebih 400 kasus, hipotermi kurang lebih 370 kasus, asma kurang
lebih 300 kasus, vertigo kurang lebih 300 kasus, Thypoid kurang lebih 300
kasus, DBD kurang lebih 270kasus, DM kurang lebih 150 kasus, dan TBC
kurang lebih 100 kasus. Dalam hal ini kasus trauma tidak termasuk di antara
10 kasus terbanyak di IGD Rumah Sakit Bhayangkara Palembang.
52
4.2 Saran
Adapun saran setelah melakukan Tugas Pengenalan Profesi, sebagai berikut:
1) Untuk Tugas Pengenalan Profesi berikutnya diharapkan mahasiswa mampu
memaksimalkan sarana dan alat dalam memperoleh pengetahuan dan
pengalaman khususnya segala hal yang berkaitan dengan kasus pasien
trauma/pascatrauma pada keadaan kegawatdarurat.
2) Sebaiknya dilakukan tatalaksana pada luka agar tidak terjadi infeksi dan
komplikasi lebih lanjut.
53
Lampiran dokumentasi
Gambar 1. Vulnus Laceratum pada region dorsum pedis.
Gambar 2. Fraktur tertutup regio antebrachii sinistra
54
Gambar 6: Vulnus Iaceratum (luka robek)
Gambar 7 : Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio frontalis, Vulnus contusio (luka memar)
di regio frontalis, Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di Regio zygomatica.
56
Gambar 8: Vulnus incivum (luka sayat) di regio halux dextra.
Gambar 9: Vulnus ekskoriatum (luka lecet) di regio genue dextra et sinistra.
Gambar 10: 10 Penyakit Terbanyak di IGD RS Bhayangkara Palembang Tahun 2013
57
Gambar 11: Foto bersamadr. IGD dan kelompok 6
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Commite On Trauma 2004. ATLS 7th edition ; 4. Diakses pada 20 September 2013.
Anonim. 2013. Cedera kepala. Diakses 20 September 2013
Anonim. 2013. Trauma Kepala. Medan : Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 20 September 2013.
Asrini. 2008. Trauma Kapitis. Medan : Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 20 September 2013.
Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. ed.31. penerbit EGC. Jakarta, Indonesia
Guyton & Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Harjadi, W. 2008. Anatomi Abdomen. Penerbit EGC. Jakarta, Indonesia
Lindsay, Kenneth. 1997. Section IV localised Neurological Disease and Its management A Intracranial “Head Injury” Neurology and Neurosurgery Illustrated, Third Edition. Churcil Livingston. Diakses pada 20 September 2013.
M, Mardjono.2008. Neurologi klinis dasar. Edisi 5. Jakarta: Dian Rakyat
Rasjad. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Trauma, 12th Edition. Makassar : Bintang Lamupatue.
58
Soemarko, M. 2004. Hubungan Peningkatan tekanan Intravesika Urinaria dengan Perdarahan Intraperitoneal akibat Trauma Tumpul Abdomen. Jurnal Kedokteran Brawijaya. Vol.20, No. 1
Sjamsuhidajat, de jong. 2010. Buku ajar ilmu bedah.ed.3.penerbit EGC. Jakarta, Indonesia
Snell, Richard. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC.
Usman. 2013. Trauma ekstremitas. Diakses pada 23 Oktober 2013.
59