Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal AGORA
Vol. 17 No. 1 Juli 2019: 25-36
DOI: http://dx.doi.org/1025105/agora.v17i1.7491
ISSN 1411-9722 (Print)
ISSN 2622-500X (Online)
25
PROSES PENENTUAN MAKNA FILOSOFIS BANGUNAN
PENANDA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PROCESS ON DEFINING THE PHILOSOPHICAL MEANING OF A
LANDMARK BUILDING IN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
R.Aj Siti Cut Alia K. *1, Enny S. Sardiyarso2, Sri Tundono3, Etty R. Kridarso4
1,2,3,4Program Studi Sarjana, Jurusan Arsitektur, Universitas Trisakti
Jl. Kyai Tapa No.1, Grogol, Jakarta Barat 11440 *e-mail: [email protected]
ABSTRAK
DIY diharapkan memiliki penanda baru yang dapat merepresentasikan nilai-nilai filosofis
serta meneguhkan entitasnya sebagai kota yang mengalami perkembangan di bidang
pendidikan, budaya, dan pariwisata. Untuk itu, dalam perancangannya dibutuhkan proses
menentukan makna filosofis yang relevan ke dalam wujud tanda, agar transformasi konsep
dan bentuk maupun tatanan saling berkesinambungan. Penanda Yogyakarta harus dapat
menampilkan citra sebagai representasi lingkungannya, melalui karakteristik dan nilai-nilai
filosofis sebagai makna atau pesannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk menggambarkan
proses dalam menentukan makna filosofis penanda Yogyakarta. Digunakan metode
kualitatif, pengumpulan data dengan studi literatur terkait filosofi, teori, dan penanda di
Yogyakarta, serta observasi lokasi dan bangunan-bangunan terkait konteks ikut ditentukan
sebagai alternatif isu penanda. Isu kemudian disandingkan dengan teori yang ada, disajikan
dalam bentuk matriks tabel, untuk dicari relevansinya satu dengan yang lainnya. Hasilnya
akan menunjukkan tahapan-tahapan penentuan makna mengacu pada teori yang ada sebagai
perkuatan dan dasar, isu mana yang relevan dijadikan sebagai makna penanda selain metode
yang menunjukkan perlunya proses rasional dan intuisi untuk mengambil suatu keputusan.
Kata kunci : Proses, Makna Filosofis, Bangunan Penanda Yogyakarta
ABSTRACT
Yogyakarta is expected to have a new landmark which can represent the philosophical values
and define its entities as a developed city in education, culture, and tourism. For this reason
the designing itself requires the right process on defining the relevant philosophical meaning
into a landmark form, so the transformation between concepts, forms, and orders are
mutually related to each others. Yogyakarta landmark has to be able to show an image as a
representation of its environment, through philosophical characteristics and values as its
meaning or message. This writing aims to describe the exact process on defining the
philosophical meaning of Yogyakarta landmark. With the use of qualitative methods,
collecting datas through literature studies related to the philosophies, theories, and
landmarks existed in Yogyakarta, observations to the project location alongside buildings
typology related to context are also determined as alternative issues. Those issues then will
be juxtaposed within certain theories in a table matrix to look for relevances between one
and another, also to decrease the probabilities. The result will show some stages of defining
the meaning refers to several theories as a reinforcement and base, which issues are relevant
as a meaning of the landmark moreover methods showing the need of rational process and
intuitions to make a decision.
Keywords : Process, Philosophical Meaning, Yogyakarta Landmark Building
AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019
26
A. PENDAHULUAN
Perkembangan kota dapat mengarah pada
perubahan ciri yang seringkali tidak relevan
dengan tujuan semula. Namun sejak dulu,
para tokoh pendiri Yogyakarta telah
merencanakan tata kota dengan landasan
filosofis yang kuat untuk menghambat
perubahan tidak terkendali. Pola dan struktur
ruang yang mengikuti sumbu imajiner, sumbu
antara Gunung Merapi dan Samudera Hindia,
serta sumbu filosofis, sumbu yang terhubung
antara Panggung Krapyak, kraton, serta Tugu
Pal Putih. Menghasilkan sebuah tatanan yang
berbasis pada filosofi makrokosmos dan
mikrokosmos, hubungan yang harmonis
antara Tuhan, manusia, dan lingkungan
alamnya.
Namun seiring maraknya globalisasi dan
masyarakat yang multikultural
mengakibatkan kebutuhan masyarakat
meningkat dalam berbagai aspek. Hal ini
menyebabkan kegiatan pembangunan dan
pengembangan terus dilakukan guna
memenuhi kebutuhan tersebut. Timbul
kekhawatiran bangunan maupun kawasan
baru semakin bias akan nilai luhur
keistimewaan Yogyakarta. Untuk itu, urgensi
pemerintah setempat dalam menetapkan UU
No.13 Tahun 2012 ditujukan untuk
menguatkan Keistimewaan Yogyakarta
melalui berbagai aspek, salah satunya adalah
kebudayaan dan tata ruang. Pada konteks
tersebut, DIY diharapkan memiliki sebuah
penanda yang dapat merepresentasikan
budaya serta keistimewaannya.
Penanda dapat memiliki berbagai macam
bentuk maupun karakter. Bentuk menjadi
salah satu sarana penyampaian pesan dalam
bahasa arsitektur (Jencks, 1980). Karakter
dapat berupa latar belakang, nilai historis
maupun estetis dari suatu lingkungan, sesuai
dengan kriteria penanda (Lynch, 1960). Maka,
selain diperlukannya penanda, penanda juga
harus mampu menampilkan karakteristik citra
yang mempunyai nilai filosofis sebagai makna
atau pesannya.
Idealnya, untuk mewujudkan penanda,
diperlukan proses penentuan makna yang
tepat. Sehingga dapat terwujud penanda yang
merepresentasikan nilai filosofis lingkungan
sebagai citranya. Tetapi pada kenyataannya
dalam perancangan tanda, terkadang
penentuan makna menjadi kendala, karena
belum adanya tahapan mendetail dan proses
keputusan yang berdasar pada subjektifitas
perancang belaka.
Untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut, diperlukan kajian dari acuan atau
referensi yang bersumber dari berbagai kajian
teoritis serta mendalam, guna mewujudkan
makna filosofis yang relevan ke dalam
konteks. Sehingga, tujuan penulis adalah
untuk mendapatkan langkah-langkah tepat
dalam menentukan makna filosofis khususnya
bagi Bangunan Penanda Keistimewaan
Yogyakarta.
Manfaat dari kajian ini adalah untuk
memberikan wawasan mengenai penentuan
makna filosofis yang relevan dalam konteks
perancangan bangunan penanda khususnya di
Yogyakarta, serta sebagai acuan bagi
perancangan terkait.
B. STUDI PUSTAKA
B.1 Tinjauan Proses
Proses adalah tahapan atas beberapa
tindakan atau pengolahan untuk menciptakan
suatu hasil (KBBI). Merancang juga
digambarkan sebagai proses sistematis yang
bergantung pada suatu informasi, yang dapat
diimbangi dengan proses intuitif (Wayne O.
Attoe, 1984). Dalam buku Pengantar
R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa
Yogyakarta (25-36)
27
Arsitektur, perancang bekerja berdasarkan
informasi, secara rasional, dan mengikuti
serangkaian langkah-langkah analisis,
sintesis, dan evaluatif untuk mencari
pemecahan masalah terbaik (Snyder, 1984).
Diselingi dengan proses intuitif.
Penggunaan metode desain menjadi salah
satu upaya pemecahan masalah. Terdapat dua
metode, yaitu (a) Glass Box, metode yang
terstruktur dan dapat dibuktikan; dan (b)
Black Box, metode tradisional yang tidak
dapat digambarkan proses kreatifnya
(Christopher Jones, 1978).
Gambar 1. Gambaran Tahapan Sistematis
oleh Perancang (Sumber: Pengantar Arsitektur oleh James
Snyder, 1984 : 49)
B.2 Tinjauan Makna Filosofis
Dalam buku “Semantics”, makna
didefinisikan sebagai konotasi suatu kata,
serta sesuatu yang menjadi acuan oleh
penafsir (Leech, 1974). Makna dalam
arstiektur diungkapkan melalui image,
symbol, dan sign (Gibson, 1950).
Filosofi adalah gagasan tentang perilaku,
kepercayaan, dan nilai atau tatanan yang
menjadi paham dan ideologi suatu kelompok
(Maya Davis, 1993). Sehingga, makna
filosofis adalah nilai yang terkandung dalam
wujud atau peristiwa yang kemudian
membentuk hubungan dengan subyek, atau
dapat disebut sebagai dimensi aksiologis suatu
benda atau peristiwa (Gazalba, 1978).
Konsepsi filosofis menjadikan makna sebagai
acuan dalam desain.
B.3 Tinjauan Bangunan Tanda
Bangunan mencakup struktur yang dibuat
untuk memenuhi fungsinya sebagai tempat
bagi manusia tinggal, dan beraktifitas
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1997).
Mengacu pada teori semiotik oleh
Ferdinand De Saussure dan Charles Jencks,
tanda adalah wujud fisik yang dilihat melalui
karya arsitektur. Elemen-elemen tersebut
dapat ditinjau melalui tata atur (order), ruang
(space), dan bentuk (form) (Jencks, 1980).
Dalam Buku “The Image of the City”, tanda
atau landmark merupakan titik referensi
berupa suatu elemen struktural yang dapat
diakses secara visual oleh banyak orang dalam
lingkup ruang publik, dan sebagai titik
strategis untuk menunjuk keberadaan suatu
kota. Dapat berupa gunung, bangunan, signal,
dan pertokoan (Lynch, 1960).
Sebaliknya, penanda menurut SEGD
(Society of Environmental Graphic Design)
memiliki beberapa fungsi, yaitu (a) Sarana
yang memberikan petunjuk arah, mengenali
ruang, serta mengarahkan untuk melakukan
kegiatan di dalam ruang; (b) Memberi
informasi agar manusia dapat merasakan
ruang disekitarnya; (c) Memberikan visual
untuk meneguhkan identitas lingkungan; dan
(d) Memberikan ciri atau distinct character
terhadap suatu tempat agar mudah dikenali
atau diingat. Dalam definisi lain,
pembangunan penanda harus dapat
mencerminkan karakteristik lingkungannya,
sehingga dalam penggunaannya selaras
dengan sekitarnya (Shirvani, 1985).
Fungsi penanda DIY adalah sebagai Pusat
Pertunjukan dan Pameran Seni Budaya yang
diharapkan dapat meneguhkan entitas
Yogyakarta sebagai kota pariwisata,
pendidikan, dan budaya.
AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019
28
B.4 Tinjauan Penanda Yogyakarta
Dalam UU No. 13/2012 tentang
Keistimewaan Yogyakarta, penanda
keistimewaan mampu memenuhi identitas
budaya lokal, sejarah, dan nilai luhur yang
artinya mengakar dalam masyarakatnya (Lay
C, dkk, 2010). Keistimewaan, adalah sesuatu
yang khas, lain dari yang lain, tidak ada yang
menyamakan, dan memiliki sifat-sifat
istimewa (KBBI). Artinya, penanda
keistimewaan Yogyakarta perlu mengandung
nilai-nilai sejarah dan budaya serta hanya
dimiliki oleh Yogyakarta saja.
Dalam Naskah Akademis Perdais Tata
Ruang dan Kebudayaan menjelaskan tentang
modal budaya DIY yang tercermin dalam tata
ruangnya menjadi nilai keistimewaan DIY.
Konsep “Hamemayu Hayuning Bawana”,
“Manunggaling Kawulo Gusti”, “Sangkan
Paraning Dumadi”, serta “Pathok Negara”
yang merupakan simbolisasi mengarah pada
citra monumental kota (Suryanto, 2015).
Maka, dalam hal ini wujud tanda dalam ruang
kota berupa elemen-elemen “Catur Gatra
Tunggal” (masjid, kraton, pasar, dan alun-
alun), sumbu, tugu, panggung krapyak, dan
masjid kutha gara. Selebihnya, beberapa objek
juga dicantumkan dalam Keputusan Walikota
Yogyakarta No. 297/2019 tentang Daftar
Warisan Budaya Daerah Kota Yogyakarta
dengan status nilai penting bangunan
penanda.
Selain itu juga ada konsep Sumbu
Imajiner, konsep Sumbu Filosofis, Tatanan
Catur Gatra Tunggal, kraton, dan Pathok
Negara.
C. METODE
Metode yang digunakan adalah kualitatif,
dengan menggunakan teknik analisis
mendalam melalui data yang dikumpulkan,
dan peneliti sebagai instrumen utama (Siyoto,
2015). Data diperoleh melalui observasi
lokasi perancangan, bangunan penanda, serta
studi literatur terhadap teori, filosofi, dan
bangunan terkait yang menjadi acuan penanda
Yogyakarta.
Pada metode penulisan, langkah pertama
digunakan penyisiran melalui matrikulasi,
diawali dengan penjabaran isu yang diambil
sebagai dasar penentuan makna penanda. Data
dijabarkan dalam tahapan Black Box. Isu-isu
meliputi sejarah, filosofi, kraton, serta lokasi
perancangan. Langkah kedua yaitu
penentuan teori yang dilakukan dalam tahapan
Glass Box. Teori yang digunakan adalah teori
dari YB. Mangunwijaya, Kevin Lynch,
Semiotika dari Jencks dan Saussure, serta DK
Ching. Langkah ketiga, dilakukan
penyimpulan kriteria penanda untuk
didapatkan makna filosofis yang dapat
digunakan pada perancangan fisik
arsitektural.
Semua langkah Disajikan dalam bentuk
matriks untuk mempermudah menemukan
kesesuaiannya dan mempersempit
penyisirannya.
D. HASIL PEMBAHASAN
D.1 Alternatif Isu-Isu Makna dari
Penanda
Penentuan isu-isu secara Black Box
sesungguhnya perlu dilakukan oleh
stakeholder yang terkait dengan
pembangunan kota seperti pemda, tokoh
masyarakat, tokoh sejarah, dan lain-lain.
Melihat konteks perancangan, Term of
Reference, lokasi secara makro (DIY) maupun
mikro (area perancangan), serta tinjauan
mengenai penanda Yogyakarta yang didapat
dari berbagai sumber yaitu meliputi :
R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa
Yogyakarta (25-36)
29
D.1.1 Sejarah – Sejarah DIY
Yogyakarta awalnya merupakan Kerajaan
Mataram Islam dengan pusat pemerintahan
terletak di Kota Gede. Perjanjian Giyanti pada
13 Februari 1755 untuk mengakhiri
perselisihan keluarga. Maka dengan intervensi
Belanda, Mataram Islam dibagi menjadi
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di
bawah pimpinan Sri Sultan HB I, dan
Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah
pimpinan Susuhunan Paku Buwono III.
D.1.2 Filosofi Kota Yogyakarta
Penjabaran konsep filosofis yang menjadi
kemungkinan untuk melatar belakangi
penanda Yogyakarta mengacu pada modal
budaya DIY, yang mencerminkan
keistimewaan DIY dalam tata ruangnya.
Selain itu juga menjadi tata nilai
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta,
yang tercantum dalam Naskah Akademik
Perdais Tata Ruang dan Kebudayaan,
meliputi:
Tabel 1. Substansi Filosofis Arahan
Desain Penanda Yogyakarta NO SUMBER FILOSOFI PENJELASAN
1
Term of
Reference
Hamemayu
Hayuning
Bawana
Hamemayu Hayuning Bawana menjadi dasar filosofi bagi
filosofi lain karena maknanya mampu melintas tema,
konteks, ruang, dan waktu. Secara konseptual, mengatur
harmoni dan tata laku antar manusia, manusia dengan
lingkungan, dan manusia dengan Tuhan. Dalam Naskah
Akademik Perdais, terkait hal ini maka pembangunan
melalui filosofi ini adalah menciptakan kehidupan yang
indah dan sejahtera tanpa harus mengorbankan sumberdaya
secara berlebihan, dengan mengembangkan kebudayaan
Yogyakarta yang berimplikasi pada kesejahteraan
masyarakat.
2 Renaisans Yogyakarta
Renaisans atau menyongsong peradaban baru
mengedepankan budaya yang menjadi dasar pembangunan
di DIY dalam upaya mengangkat derajat manusia seutuhnya dan terciptanya peradaban baru unggul
berasaskan rasa ke-Tuhan-an, kemanusiaan, dan keadilan,
dengan mengandalkan modal dasar kebudayaan serta pendidikan. Renaisans Yogyakarta menjadi lahan tumbuh
dan berkembangnya peradaban melalui harmoni dan
kebhinekaan, melalui revitalisasi yang memuat kearifan
lokal. Pada Naskah Perdais Tata Ruang, Renaisans Yogyakarta tertulis untuk dapat serta mewujudkan
pembangunan dalam waktu jangka panjang, serta
menjadikan Laut Selatan sebagai halaman muka DIY.
3 Hasta Brata
Hasta Brata merupakan delapan perilaku utama yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Merupakan cerita
pewayangan Hindu yang kemudian mendapatkan inkulturasi-modifikasi Islam Jawa. Perwujudannya berupa
dewa yang menjadi watak dan kemudian digambarkan
dengan sifat-sifat alam, yaitu Endra atau bumi dan tanah, Surya atau matahari, Bayu atau angin, Kuwera atau
samudera, Baruna atau air, Yama atau bintang, Candra atau
bulan, dan Brama atau api.
(Sumber : Term of Reference Perancangan
Kawasan Terpadu Penanda Keistimewaan
Yogyakarta, 2017)
Tabel 2. Substansi Filosofis Arahan
Desain Penanda Yogyakarta NO SUMBER FILOSOFI PENJELASAN
1
Naskah Perdais
Tata Ruang
Yogyakarta
Sangkan Paraning
Dumadi
Konsep yang berawal dari keyakinan bahwa Tuhan
adalah tempat asal dan kembalinya segala sesuatu.
Dengan kekuasannya, Tuhan menciptakan dunia
sebagai konsep makrokosmos. Konsep ini tercermin
dalam bentuk tatanan pola kota yang mengikuti sumbu
imajiner.
2 Manunggaling
Kawula Ian Gusti
Terinspirasi dari konsep “Sangkan Paraning Dumadi”
yang berdimensi horizontal-vertikal, makna dapat
dilihat dari segi kepemimpinan yang merakyat, dan
juga dari sisi ketataruangan. Dari segi kepemimpinan,
pemimpin harus mementingkan kepentingan yang
dipimpin, sedangkan pada saat dipimpin mengikuti
kepemimpinan sang pemimpin. Dalam segi tata ruang,
tersusun dalam bentuk poros inti Panggung Krapyak-
Kraton-Tugu Golog Gilig, yang menyimbolkan
perjalanan hidup manusia.
3
Sumbu Filosofis
Tugu-Kraton-
Panggung Krapyak
(Asas Ketataan
Historis)
Nilai filosofis dari Panggung Krapyak ke arah utara
merupakan perjalanan lahirnya manusia ke dunia.
Sedangkan nilai filosofis dari Tugu Pal Putih ke arah
selatan merupakan perjalanan kematian manusia
menuju penciptanya. Poros ini menciptakan pola
ruang tersendiri, yang juga mengikuti sumbu gunung-
laut, sejajar dengan dua kali yang ada, yaitu Kali Code dan Kali Winongo. Kawasan yang diapit ini disebut
sebagai “Kutha Gara”.
4 Catur Gatra Tunggal
Catur Gatra Tunggal merupakan konsep dasar
pembentukan inti kota. Perwujudannya dianggap
sebagai empat bagian yang menyatu, yang
menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Menggambarkan hubungan dengan Tuhan (masjid),
aspek permukiman atau papan (kraton, yang juga
menjadi pusat budaya DIY), aspek ekonomi (pasar), dan aspek social (alun-alun).
5 Pathok Negara
Pathok Negara adalah konsep keistimewaan Yogyakarta yang ditandai dengan dibangunnya empat
masjid bersejarah (Mlangi, Ploso Kuning, Babadan,
Dongkelan). Membawa nilai pengembangan ekonomi
masyarakatnya, pengembangan Agama Islam, dan pengembangan pengaruh politik Kasultanan. Pesan
yang dikandung adalah bahwa pengembangan
perkotaan haruslah menghormati kawasan pedesaan agar diperoleh tata ruang yang harmonis.
(Sumber : Naskah Akademik Perdais Tata Ruang
DIY)
Melalui penjabaran di atas, maka
disimpulkan bahwa makna Hamemayu
Hayuning Bawana adalah filosofi dasar yang
mendorong lahirnya filosofi dan konsep
lainnya. Artinya merupakan cerminan konsep
makrokosmos - mikrokosmos yang terungkap
pada sumbu serta wujud dari tatanan Catur
Gatra Tunggal. Di sisi lain, hal di atas juga
mempersiapkan Yogyakarta untuk
menghadapi peradaban baru, yang
membutuhkan landasan pembangunan jangka
panjang terkait keistimewaan DIY, sehingga
menyangkut Renaisans Yogyakarta. Filosofi
terikat antara satu dengan yang lainnya.
D.1.3 Sumbu Imajiner Kota
Sumbu imajiner yang merupakan salah
satu ciri keistimewaan fisik DIY
menghubungkan Gunung Merapi – Tugu –
Siti Hinggil dan Sanggar Pamujan kraton –
dan Laut Selatan ini menjadikan pola kota
Yogyakarta terbangun dengan istimewa dan
unik. Sumbu imajiner menjadi cerminan atas
AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019
30
konsep makrokosmos pola kota yang akan
selalu mengingatkan Yogyakarta terletak di
antara dua kekuatan alam, menggambarkan
keselarasan hubungan antara manusia, Tuhan,
dan alam.
Gambar 2. Sumbu Imajiner dan Sumbu
Filosofis DIY (Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id)
D.1.4 Konsep Desain Kraton
Kraton Yogyakarta merupakan istana
Kesultanan Yogyakarta yang dibangun pada
tahun 1755, berlokasi di pusat kota DIY.
Posisinya sebagai tanda sangat penting karena
menyimbolkan penanda perjalanan sejarah
serta perkembangan budaya di DIY. Letaknya
terhubung erat dengan sumbu utama sehingga
mempengaruhi posisi geografis dan
pembentukan kota DIY.
Kawasan kraton merupakan cagar budaya
yang terdiri dari serangkaian bagian, dengan
konfigurasi ruang linier serta orientasi sumbu
utara-selatan. Terbagi menjadi beberapa
lapisan, dari lapisan terluar yang merupakan
alun-alun sampai pada lapisan pusatnya
menunjukkan hirarki semakin tinggi atau
sifatnya semakin sakral. Terdapat plataran
sebagai ruang terbuka, bangsal sebagai
bangunan yang hanya berstruktur kolom, dan
gedhong sebagai bangunan yang berstruktur
dinding. Struktur bangunan kraton menjadi
rujukan (Suhardi, 2004). Mengadaptasi dari
konsep Hindu, ada tiga komponen rumah
yaitu kepala, badan, dan kaki.
Diklasifikasikan sebagai Panggang-Pe,
Kampung, Tajug, Limasan, dan Joglo.
Meskipun perubahan sosial secara dinamis
terus terjadi, tetapi perkembangan yang
membawa perubahan tersebut tetap tidak
dapat mengubah posisi Kasultanan sebagai
sumber budaya dan simbol pengayom
kehidupan bagi masyarakat DIY. Sehingga
posisi kraton tetap dijadikan sebagai ciri
keistimewaan DIY (Naskah Akademis
Perdais Kebudayaan, hal.1).
D.1.5 Lokasi Parangtritis
Lokasi Kawasan Penanda Keistimewaan
DIY yang direncanakan ini merupakan
kawasan baru yang berlokasi di Perbukitan
Parangtritis Kabupaten Bantul, DIY, dengan
ketinggian sekitar 300 m di atas elevasi tanah
asli. Lahannya dilalui oleh sumbu imajiner
Gunung Merapi – kraton - Laut Selatan, yang
penggambarannya seperti berikut ini.
Gambar 3. Identifikasi Sumbu Imajiner
Gunung Merapi-Laut Selatan
(Sumber: Analisa Pribadi, Google Maps, 2020)
Gambar 4. Identifikasi Sumbu terhadap
Lokasi Perancangan
(Sumber: Analisa Pribadi, Term of Reference,
2020)
D.2 Teori sebagai Penentu Makna
Penanda
Penggunaan teori sebagai penentu makna
dilakukan secara Glass Box, dengan
mempelajari masing-masing dan dikaitkan
dengan isu-isu yang ada. Tahapan dimulai
GUNUNG
MERAPI
LAUT
SELATAN
R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa
Yogyakarta (25-36)
31
dengan penjabaran teori yang relevan dengan
konteks, meliputi :
D.2.1 YB. Mangunwijaya
Teori YB. Mangunwijaya diambil karena
definisinya mengenai arsitektur relevan
dengan arsitektur Jawa sebagai budaya
cerminan masyarakatnya.
Arsitektur adalah Wastu, yang berasal dari
bahasa Jawa Kuno, yaitu Vasthuvidya yang
terkait dengan citra atau dalam hal ini adalah
tanda, yang memiliki makna transenden, serta
keselarasan dengan kosmos, spiritual, dan
bersifat transformasi. Arsitektur meliputi guna
atau fungsi dan citra atau tanda, berawal dari
eksistensi manusia jasmani dan rohani, yang
maknanya mampu memberikan materi.
D.2.2 Kevin Lynch
Teori Kevin Lynch digunakan sebagai
perkuatan terhadap identifikasi elemen
pembentuk dan penanda Kota Yogyakarta.
Menurut Lynch, salah satu pembentuk image
suatu kota adalah landmark, yang dalam hal
ini diartikan sebagai tanda yang secara
visibilitas terbagi menjadi dua, dengan
kriteria:
Tabel 3. Jenis dan Kriteria Landmark ASPEK PENJELASAN
Jenis Landmark
(Berdasarkan
Visibilitasnya)
Distant
Landmark
Landmark yang dapat dilihat dari berbagai arah, dengan titik pandang cukup
jauh
Local
Landmark
Landmark yang dilihat hanya dari arah serta posisi tertentu dengan jarak
pandang yang terbatas
Kriteria Landmark
Landmark haruslah memiliki keistimewaan dan karakter fisik tersendiri. Untuk itu, Lynch
juga menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk landmark, yaitu :
a. Mudah dilihat, memiliki ciri tersendiri
b. Ketunggalan dan ketegasan bentuk
c. Bentuk yang kontras
d. Kontekstual, latar belakang dari semua bangunan yang ada di
lingkungannya
e. Lokasi yang strategis
f. Penerusan (sequence) agar tercipta suatu makna
g. Memiliki detail khusus
(Sumber : Kevin Lynch, 1960)
Sesuai hal itu, Yogyakarta memiliki
beberapa konsep filosofi landmark
Yogyakarta yaitu wujud Catur Gatra Tunggal,
serta poros kuat (sumbu) sebagai bagian dari
struktur kotanya. Sumbu imajiner kemudian
juga dikuatkan dengan posisi Kali Code dan
Kali Winongo, posisinya sejajar dengan
sumbu filosofis (panggung krapyak-kraton-
tugu), yang kemudian kawasan ini disebut
“Kutha Gara”.
Gambar 5. Posisi Kota Yogyakarta terhadap
Kali Code dan Kali Winongo
(Sumber: Analisa Pribadi, Google Maps, 2020)
Menurut teori Kevin Lynch, elemen yang
membentuk citra kota adalah paths, edges,
districts, nodes, dan landmark. Dalam lingkup
Kawasan Kutha Gara, elemen-elemen dalam
tatanan Catur Gatra Tunggal dapat dianggap
sebagai local landmark, didukung dengan
konsep Kutha Gara, posisi Kali Code, Kali
Winongo, dan garis Pantai Selatan sebagai
edges. Alun-alun juga dapat dianggap sebagai
nodes.
Maka dari itu, teori kevin lynch relevan
digunakan untuk mengkaji isu filosofi kraton.
Selain itu, lokasi perancangan juga dipilih
karena memenuhi kriteria landmark menurut
Lynch.
D.2.3 Semiotika
Penentuan makna sebagai acuan dalam
desain juga dapat ditentukan oleh teori
semiotika.
Menurut Charles Jencks (1980), arsitektur
sebagai bahasa non-verbal memiliki ungkapan
penyampaian pesan. Menurut Jacques Havet,
KRATON
KALI
CODE
KALI
WINONGO
AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019
32
pembentukan suatu tanda adalah akibat yang
kuat antara signifier (pemberi tanda), dan
signified (tanda yang dimaksud). Menurut
Saussure, ketika suatu bangunan
diindikasikan sebagai tanda atau simbol, maka
signifier berperan sebagai bentuk, ruang, isi,
warna, irama, tekstur. Signified berperan
sebagai makna atau pesan yang ada di
dalamnya, berupa konsep ruang, nilai sosial
dan agama, fungsi, ide, serta aktivitas.
Prinsip semiotika dalam arsitektur
menciptakan relasi yang kuat antara
komunitas sosial dengan kondisi geografis,
budaya lokal, serta sejarahnya. Tujuannya
agar tidak asing dengan lingkungan
binaannya. Sehingga teori semiotika relevan
dengan isu filosofi yaitu tatanan Catur Gatra
Tunggal, serta sumbu imajiner eksisting
maupun sumbu pada lokasi perancangan
karena wujudnya sebagai penanda yang
memiliki makna sebagai petandanya.
D.2.4 DK Ching
Tanda terkait dengan bentuk, dan makna.
Sehingga teori DK Ching digunakan sebagai
makna penanda yang melihat dari segi bentuk
atau tanda. Menurut DK Ching, bentuk
memiliki sifat-sifat seperti : (a) ukuran; (b)
warna; (c) tesktur; (d) posisi; (e) orientasi;
dan (f) Inersia Visual.
Melihat isu-isu yang ada, teori DK Ching
paling sesuai disandingkan dengan kraton,
karena sebagai satu-satunya isu yang memiliki
wujud atau bersifat tangible atau tanda.
Gambar 6. Tipologi Bangunan Kraton
(Sumber: kratonjogja.id)
D.3 Matriks
Pada bagian matriks akan dilakukan
penyisiran terhadap isu-isu yang telah
dijabarkan sebelumnya, dengan menggunakan
teori-teori yang ada. Selain itu, juga
ditunjukkan perkuatan terhadap isu yang akan
digunakan, dengan membuktikan
relevansinya terhadap teori-teori yang ada.
Tabel 4. Matriks Relevansi antara Isu dan Teori
YB Mangunwijaya (non fisik) Kevin Lynch Semiotika DK Ching MAKNA PENANDA
Sejarah-
Sejarah
DIY
Tidak menunjukkan relevansi
Filosofi
Kota Yogya
Filosofi Hamemayu Hayuning
Bawana yang menggambarkan
hubungan manusia antar
dimensi, membawa filosofi lain
memiliki relevansi dengan teori
YB. Mangunwijaya. Pola Catur
Gatra Tunggal sebagai
perwujudan bentuk arsitektur
yang memiliki keselarasan
spiritual, karena terdapat elemen
masjid, menggambarkan
hubungan antara manusia dengan
Tuhan. Elemen kraton, pasar, dan
alun-alun menggambarkan
hubungan antara manusia satu
dengan yang lainnya.
Pola Catur Gatra Tunggal beserta
elemen-elemennya adalah local
landmark. Memenuhi kriteria
landmark karena :
a. Memiliki ciri tersendiri, dapat
diidentifikasi melalui empat elemen
penyusunnya, dimana setiap elemen
merepresentasikan sesuatu
b. Memiliki ketunggalan atau
ketegasan bentuk yang didukung
dengan adanya kesimetrisan, poros
yang kuat, dan skala yang besar secara
horizontal sehingga terlihat dominan
dibanding sekitarnya. Memenuhi sifat
kemonumentalan dalam segi pola
ruang.
Pola Catur Gatra Tunggal
(dengan konfigurasi massa
cluster) sebagai wujud tangible
berperan sebagai penanda, atas
representasi makna Hamemayu
Hayuning Bawana dan budaya
masyarakat Jawa (yang
posisinya telah diakui sebagai
ciri keistimewaan DIY) sebagai
petandanya.
Makna yang ditemukan dan relevan
adalah :
a. Hamemayu Hayuning Bawana
b. Wujud Catur Gatra Tunggal
Wujud Catur Gatra Tunggal dapat
mempengaruhi blockplan serta
siteplan. Tatanan massa diharapkan
menjadi penanda karena menandakan
ciri khas pola kraton. Hamemayu
Hayuning Bawana dapat ikut
diwujudkan ke dalam bentuk maupun
tatanan massa.
Sumbu
Imajiner
Kota
Citra arsitektur menurut YB.
Mangunwijaya memiliki
keselarasan dengan kosmos. DIY
terbentuk dari konsep
makrokosmos dan mikrokosmos,
dimana sumbu imajiner (sumbu
maya antara Gunung Merapi-
Dalam konteks wilayah DIY,
sumbu sebagai penanda. Makna
filosofis sebagai petandanya
Sumbu imajiner ditentukan sebagai
makna karena relevan dengan teori,
dan terkait dengan lokasi sehingga
mempengaruhi konfigurasi dan
tatanan massa
R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa
Yogyakarta (25-36)
33
Laut Selatan) sebagai konsep
makrokosmos nya.
Kraton
Teori YB. Mangunwijaya
menentukan kraton sebagai
makna penanda DIY dilihat dari
definisi arsitektur sebagai wastu
citra yang berangkat dari
eksistensi manusia, serta mampu
membahasakan dan
mencerminkan jati diri
pengguna. Hal ini sesuai dengan
posisi kraton yang dianggap
sebagai sumber rujukan budaya
bagi masyarakat DIY, dan
sebagai ciri keistimewaan bagi
DIY sendiri. Sehingga makna
kraton dianggap sebagai makna
penanda DIY karena telah
mengakar dari dan diakui oleh
masyarakatnya.
Kraton selain sebagai elemen penting
dalam pola Catur Gatra Tunggal, juga
sebagai elemen penanda penting dalam
konteks makro. Kraton menandakan
perjalanan budaya DIY yang kemudian
terpetakan dalam tata ruang.
Relevansinya dengan teori Kevin
Lynch selain sebagai local landmark
juga memenuhi kriteria landmark yang
dilihat dari :
a. Memiliki ciri tersendiri. Meskipun
penggunaan gaya arsitekturnya adalah
arsitektur Jawa seperti pada bangunan
sekitarnya, tetapi skalanya lebih besar
dibanding yang lainnya. Tatanan linier
yang kuat terbagi menjadi beberapa
lapisan yang menunjukkan hirarki.
Serta penggunaan ornamen (seperti
Candrasengkala, Putri Merong, Alif
Lam Mim) dan vegetasi (seperti
Beringin, Sawo Kecik, Kepel Watu,
dsb) yang memiliki makna tersendiri
dan penempatannya hanya ada di
kraton.
b. Memiliki ketunggalan dan ketegasan
bentuk yang didukung oleh sumbu,
sirkulasi, serta alun-alun yang
membentang arah utara-selatan,
dengan hirarki memusat di kraton.
c. Bentuk yang kontras, dilihat dari
skala bangunan yang cukup besar
secara horizontal dibandingkan dengan
bangunan di sekitarnya.
d. Kontekstual, mencerminkan
karakteristik arsitektur Jawa, dan
merupakan simbol perjalanan budaya
DIY.
e. Lokasi strategis berada di inti kota
DIY, dan terhubung dengan elemen-
elemen penting pembentuk kota
lainnya.
f. Adanya penerusan (sequence) yang
terlihat dari komposisi tatanan ruang
serta sirkulasinya. Tersusun secara
linier dan menerus sehingga
menunjukkan alur yang jelas. Terbagi
menjadi beberapa lapisan. Filosofi
menunjukkan semakin ke pusat tatanan
maka semakin tinggi hirarkinya.
Kraton dipilih dan relevan sebagai
makna penanda karena wujudnya
bersifat fisik (tangible). Penanda
memiliki citra dan kriteria yang
berhubungan dengan bentuk,
lokasi, serta detail. Dalam hal
bentuk, kraton memenuhi sifat
visual bentuk DK Ching, dengan
penjabaran sebagai berikut :
a.Ukuran : Luas area sekitar
14.000 m2, dengan setiap bangunan
memiliki ukuran beragam.
Gedhong Prabayaksa (tempat
penyimpanan benda pusaka) adalah
bangunan terbesar di area kraton,
menunjukkan bangunan tersebut
paling sakral. Setiap bangunan
terdiri dari satu lantai, dengan skala
manusia atau skala wajar.
b.Warna : Pada bagian bangsal,
kolom menggunakan warna hijau
tua atau hitam. Pada bagian
gedhong, dinding menggunakan
warna putih, dengan warna kolom
sama pada bagian bangsal.
Ornamen didominasi warna emas,
kuning, merah, dan hijau muda.
Umpak (alas batu pada kolom)
dominan berwarna hitam atau hijau
tua, dengan ukiran emas atau putih.
Pada bagian atap digunakan warna
merah atau abu-abu tua.
c.Tekstur : Dinding bermaterial
batu bata yang disemen dan dicat.
Rangka kolom bermaterial kayu jati
dengan ukiran di cat glossy.
Menghasilkan permukaan yang
tidak rata.
d.Posisi : Kraton berada di inti Kota
DIY. Diapit oleh alun-alun utara
dan selatan, dan berada di sebelah
timur Masjid Gedhe. Posisinya
dipengaruhi oleh bentuk tapak yang
memanjang serta kosmologi jawa
sehingga membentuk beberapa
lapisan. Dari arah utara-selatan
semakin ke tengah semakin
menunjukkan hirarki yang tinggi.
Lapisan terluar merupakan alun-
alun, lapisan kedua sampai keempat
merupakan plataran, lapisan utama
yang paling sakral berada di
pusatnya, bersifat konsentris,
terdapat kediaman Sultan, serta
tempat penyimpanan benda pusaka.
e.Orientasi : Tatanannya yang
simetris linier mempengaruhi
orientasi bangunan ke arah utara
dan selatan (juga dipengaruhi oleh
kosmologi, menghadap gunung dan
laut). Tetapi pada bagian inti
(Kedhaton), banyak bangunan yang
menghadap ke timur, seperti
Bangsal Kencana, Bangsal Manis,
dan Gedhong Jene
(Kediaman/kantor Sultan).
f. Inersia Visual : Bentuknya
stabil, dengan bentuk geometri
dasar persegi dan persegi panjang
yang simetris. Berdiri tegak lurus di
atas bidang datarnya.
Pada bagian kraton, ditemukan :
a. Penggunaan gaya arsitektur Jawa
b. Tatanan linier dan konsentris, yang
dipertegas dengan sumbu serta diapit
alun-alun
c. Makna, menunjukkan hirarki serta
sifat ruang pada setiap lapisannya
d. Pola bentuk, terkait ukuran, skala,
dan bentuk geometri dasar
e. Posisi serta orientasi
f. Penggunaan material
g. Detail, seperti warna, ornamen,
sampai pada vegetasi yang memiliki
filosofi
Lokasi
Parangtritis
Lokasi perancangan relevan dengan
teori Kevin Lynch karena :
a. Lokasi dinilai strategis. Terletak di
ketinggian yang berbeda jauh dengan
elevasi tanah asli. Lokasi tinggi juga
mendukung posisi penanda semakin
diagungkan. Seperti di kraton, posisi
paling tinggi adalah di bagian
Sitihinggil dan Kedhaton, yang
merupakan tempat resmi kedudukan
Sultan. Lokasi juga membuat penanda
terlihat lebih dominan dibanding
sekitarnya.
b. Memiliki detail khusus karena
dilewati Sumbu Imajiner.
Terhadap lokasi perancangan
(yang juga dilewati sumbu
imajiner DIY), sumbu sebagai
penanda. Petandanya berupa
makna bahwa di sepanjang
sumbu tidak diperbolehkan
terbangun infrastruktur, agar
pandangan Sri Sultan tidak
terhalang. Hal ini akan
mempengaruhi konfigurasi,
tatanan kawasan serta bentuk
penanda.
Pada lokasi ditemukan :
a. Potensi karena berada di tempat
yang tinggi
b. Detail khusus, dilewati sumbu
sehingga pada bagian tersebut tidak
dapat dibangun
AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019
34
(Sumber : Analisa Pribadi, 2020)
D.4 Penyimpulan Kriteria Penanda
DIY dengan Tanda-Tanda
Arsitektural
Setelah proses penyisiran makna melalui
matriks, diikuti dengan proses penyimpulan
kriteria penanda, dengan meng-counter nya
konsep dari Katharina H. Anthony (1997).
Maka proses berikut adalah menentukan
kriteria yang lebih objektif serta konkrit untuk
menuju perancangan fisik arsitektural atau
yang disebut tanda.
Tabel 5. Matriks Penyimpulan Kriteria Penanda
Unsur Tanda
Desain Fisik
(Menurut
Katharina,
1997)
Pilihan Makna Tanda
Filosofi Kota Yogya Sumbu Imajiner Kota Konsep Desain Kraton Lokasi Parangtritis
Blockplan
Blockplan merupakan tanda dari pola
khas kraton. Building massing serta
tata komposisi massa pada tapak
merupakan penanda dari filosofi
“Catur Gatra Tunggal”.
Sumbu merupakan tanda dari konsep
makrokosmos dan harmonisasi alam.
Mempengaruhi tata komposisi massa pada
tapak, karena pada area tersebut tidak dapat
dibangun.
Site
Development
Bangunan-bangunan di kawasan
penanda mengikuti eksisting Catur
Gatra Tunggal : Kraton, pasar, dan
masjid masing-masing memiliki drop-
off.
Exterior Space dapat menggunakan vegetasi
khas seperti di kraton. Memperbanyak ruang
terbuka (plataran) sebagai penghubung antar
bangunan. Easy Identification of Entry dapat
menempatkan pendhapa atau gapura, yang
dekat atau terhubung dengan alun-alun.
Memperbanyak pedestrian path. Parkir
diletakkan jauh dari bangunan utama.
Functional
Planning
Secara makro (pada kawasan),
tananan massa menggunakan
organisasi cluster, seperti pola Catur
Gatra Tunggal. Fungsi utama adalah
kraton, masjid, pasar, alun-alun.
Fungsi penanda dalam kawasan
diadaptasi sebagai tempat pertunjukan
/ teater (di sayap kanan / timur),
tempat pameran / museum (di sayap
kiri / barat), semi eksibisi, restoran,
dan menara pandang (di bangunan
utama), alun-alun, dan fungsi
penunjang seperti pasar, masjid, serta
hotel.
Secara mikro (pada bangunan), flow sirkulasi
dan zoning adalah linier yang menunjukkan
makna serta hirarki. Bangunan utama sebagai
pusat.
Spatial Quality
Skala ruang menggunakan skala wajar dan
manusia. Skala bangunan menggunakan skala
monumental secara horizontal. Mengupayakan
banyak bukaan pada arah utara-selatan agar
pencahayaan dan penghawaan maksimal.
Building Form
Bentuk memiliki ciri khas dan kontras seperti
kraton. Geometri dasar bujur sangkar, dan
orientasi utara-selatan.
Adaptasi pada kontur, untuk meminimalisir cut and
fill.
Aesthetic
Design
Fasad dan warna pada kraton merupakan tanda
dan ciri dari kraton, sehingga menggunakan
penanda baru sepatutnya menggunakan fasad
serta warna yang serupa.
Structural
Design
Filosofi Hamemayu Hayuning
Bawana menggambarkan hubungan
manusia dengan alam, sehingga
penggunaan struktur agar tidak
merusak eksisting dan tidak
mengeksploitasi sumber daya
berlebihan.
Konsep struktur mengikuti arsitektur jawa
(kepala, badan, kaki). Ada yang hanya
berstruktur kolom , dan ada yang berstruktur
dinding.
Use of
Material
Filosofi Hamemayu Hayuning
Bawana menggambarkan hubungan
manusia dengan alam, sehingga dapat
menggunakan material yang ramah
lingkungan serta sustainable.
Seperti kraton, pada beberapa bagian di
penanda baru akan menggunakan material batu
bata, cat, serta kayu jenis jati sebagai muatan
lokal.
R.Aj Siti Cut Alia: Proses Penentuan Makna Filosofis Bangunan Penanda Daerah Istimewa
Yogyakarta (25-36)
35
Environmental
Control
System
Filosofi Hamemayu Hayuning
Bawana dapat mempengaruhi sistem
pengolahan, pembuangan limbah,
sampai pada penggunaan energi.
Agar membuat tempat penampungan serta
pengolahan sendiri karena lokasinya jauh dari
sungai kota maupun TPA.
(Sumber : Analisa Pribadi, 2020)
D.5 Penyimpulan Proses Penentuan
Makna Filosofis
Berdasarkan uraian yang disebutkan maka
proses penentuan makna filosofis dapat di
gambarkan dalam diagram sebagai berikut.
Gambar 6. Tahapan Penentuan Makna
Filosofis Penanda DIY
(Sumber: Analisa Pribadi, 2020)
KESIMPULAN
Dari kajian serta penyisiran yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tahapan
pertama dalam menentukan makna filosofis
penanda Yogyakarta adalah dengan
melakukan kesimpulan bersama intuitif dan
melihat berbagai sumber. Tahapan kedua
adalah penentuan teori untuk menganalisa isu-
isu yang telah ditentukan. Kemudian
dilakukan penyisiran untuk mencari
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Dicari
relevansi antar isu melalui teori dalam
penyajian matriks tabel. Tahapan ketiga
adalah menyimpulkan kriteria penanda yang
mengarahkan kepada perancangan fisik
arsitektural yang disebut sebagai tanda.
Hasilnya, bisa terjadi lebih dari satu makna
atau isu yang mendasari penanda. Dari proses
yang telah dilakukan, isu yang relevan
digunakan sebagai makna penanda yaitu
terkait filosofi Hamemayu Hayuning Bawana,
Hasta Brata, Renaisans Yogyakarta, Catur
Gatra Tunggal. Secara keseluruhan filosofi
tersebut menunjukkan keterkaitan antara satu
dengan yang lainnya), sebagai suatu sistem
yaitu keterkaitan termasuk sumbu, kraton,
serta lokasi perancangan. Terhadap isu
sejarah, kurang sesuai untuk dijadikan makna
penanda karena tidak menunjukkan hasil serta
relevansi yang kuat terhadap teori yang ada.
Melihat filosofi Yogyakarta yang
terhubung satu sama lain, menjadikan elemen-
elemen perwujudannya sebagai ciri
keistimewaan yang diakui. Sehingga,
sepatutnya rancangan penanda itu menjadi
acuan filosofi, baik dalam bentuk bangunan
maupun tatanan massa kawasan.
DAFTAR RUJUKAN
Ching, Francis D.K., Arsitektur Bentuk,
Ruang, dan Tatanan, Erlangga, Jakarta, 2007
Jencks, Charles. dkk., Sign, Symbol and
Architecture, Wiley, New York, 1980
Kurniawan, Andri. Sadali, Mohammad
Isnaini., Keistimewaan Lingkungan Daerah
AGORA, Jurnal Arsitektur, Volume 17, Nomor 1, Juli 2019
36
Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2015
Lay, C. dkk., Keistimewaan Yogyakarta,
Naskah Akademik dan Rancangan Undang-
Undang Keistimewaan Yogyakarta,
Monograph on Politics and Government 2 (1),
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM dan
Program S2 Politik, Yogyakarta, 2008
Leech, geoffrey N., Semantics : the Study of
Meaning, Penguin Books Ltd, England, 1974
Lynch, Kevin., The Image of the City, The
M.I.T. Press, Massachusetts, 1960
Mangunwijaya, YB., Wastu Cutra : Pengantar
ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, Sendi-
Sendi Filsafatnya, Beserta Contoh-Contoh
Praktis, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1988
Naskah Akademis Perdais Kebudayaan dan
Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta
Penjelasan atas Undang-Undang Republik
Indonesia No. 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta
Pramono, Daniel Tria. dkk., “Bangunan Pusat
Konvensi sebagai Landmark Kawasan
Tenggara Kota Malang”. Vol. 4, No. 2, Jurnal
Arsitektur UB, 2016
Ridjal, Abraham Mohammad., “Membangun
Jembatan antara Buku dan Praksis
Arsitektur”. Vol. 10, No. 2, Jurnal Ruas UB,
2012
Rogi, Octavianus H.A., “Tinjauan Otoritas
Arsitek dalam Teori Proses Desain”. Vol. 11,
No. 3, Media Matrasain, 2014
Shirvani, Hamid., The Urban Design Process,
Van Nostrand Reinhold, Michigan, 1985
Snyder, James C. dkk., Pengantar Arsitektur,
Penerbit Erlangga, Jakarta, 1984
Suhardi., “Rumah Orang Jawa : Konteks
Kosmologi dalam Arsitektur Tradisional”.
Dalam Nilai Kearifan Lokal Rumah
Tradisional Jawa oleh Djono, dkk., Vol.24,
No. 3, Jurnal Humaniora, 2012
Suryanto. dkk., “Aspek Budaya dalam
Keistimewaan Tata Ruang Kota Yogyakarta”.
Vol. 26, No. 3, Jurnal Perencanaan Wilayah
dan Kota ITB, 2015
Wibowo, H.J. dkk., Arsitektur Tradisional
Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta,
Jakarta, 1998