Upload
adam-maulana
View
48
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hh
Citation preview
EFISIENSI PENGGUNAAN PENGGORENG HAMPA DALAM MENEKAN PEMBENTUKAN AKRILAMIDA PADA PRODUK MAKANAN YANG DIGORENG
Nurdi Setyawan, Widaningrum, Kun Tanti Dewandari
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
ABSTRAK
Akrilamida (2-Propenamida, etilen karboksiamida, akrilik amida, asam propeonik amida, vinil amida) adalah
salah satu bahan organik yang biasa digunakan untuk memproduksi plastik dan bahan pewarna. Akrilamida
dipercaya dapat menyebabkan penyakit kanker pada sekitar 2% (100-700 dari 45.000) kasus tiap tahun di Swedia.
Hasil penelitian terhadap hewan uji, akrilamida terbukti menyebabkan kanker. Berdasarkan studi hewan coba,
akrilamida diketahui berpotensi menyebabkan kerusakan sel-sel saraf dan gangguan reproduksi pada hewan coba
serta pemberian akrilamida dalam jangka panjang dapat menyebabkan tumor. Gangguan kesehatan yang
disebabkan akrilamida terjadi karena dampak genotoksik dan karsinogeniknya. Akrilamida dapat ditemukan dalam
berbagai makanan yang dipanggang dalam tanur atau digoreng. Pembentukan akrilamida akibat pemanasan pada
suhu tinggi terdapat pada makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti keripik kentang, kentang goreng,
pop corn, sereal, dan biskuit. Akrilamida tidak ditemukan pada makanan dengan pemanasan pada suhu di bawah
120°C. Teknologi penggorengan hampa memungkinkan proses penggorengan pada suhu di bawah 120°C karena
penurunan titik didih air. Proses perubahan fase dari air menjadi uap terjadi lebih cepat pada tekanan rendah
daripada tekanan tinggi pada suhu yang sama. Air yang berada pada ruang bertekanan rendah dapat mendidih pada
suhu rendah. Penurunan tekanan diperoleh dengan cara mengeluarkan udara dari ruang penggorengan dengan
menggunakan suatu pompa vakum. Penurunan tekanan dapat mengurangi kerusakan akibat panas selama
penggorengan. Pada tekanan atmosfir, titik didih air 100oC dan titik didih minyak 120 – 200
oC, dengan penurunan
tekanan maka titik didih air akan turun di bawah 100oC, sehingga memungkinkan proses penggorengan berlangsung
pada suhu kurang dari 100oC. Teknologi penggorengan hampa berpotensi pada pengolahan makanan berbasis
produk hortikultura seperti keripik sayuran dan keripik buah-buahan.
Kata kunci : penggorengan hampa, akrilamida, produk makanan
AKRILAMIDA
Akrilamida (2-Propenamida, etilen karboksiamida, akrilik amida, asam propeonik amida, vinil
amida) adalah salah satu bahan organik yang biasa digunakan untuk memproduksi plastik dan bahan
pewarna (Anonim 1994; 1985). Rumus molekul akrilamida adalah C3H5NO dengan bobot molekul :
71,08 dan kelarutan dalam g/100 ml pelarut pada suhu 30°C : air 215,5; aseton 63,1; benzen 0,346;
etanol 66,2; kloroform 2,66; metanol 15,5; nheptan 0,0068. Titik lebur : 84,5°C; titik didih : 87°C (2
mmHg), 105°C (5mmHg), 125°C (25 mmHg); tekanan penguapan: 0,009 kPa (25°C); 0,004 kPa (40°C);
dan 0,09 kPa (50°C) (Anonim 1985; FDA 2004; Anonim 1976). Struktur kimia akrilamida ditunjukkan pada
Gambar 1.
Gambar 1. Struktur kimia akrilamida
Zat ini juga biasa digunakan untuk menjernihkan air minum. Sejak tahun 1950, akrilamida
diproduksi dengan cara hidrasi akrilonitril dan terdapat dalam bentuk monomer sedang poliakrilamida ada
dalam bentuk polimer (Anonim 1994; 1985). Secara fisikokimia, akrilamida merupakan senyawa kimia
berwarna putih, tidak berbau, berbentuk kristal padat yang sangat mudah larut dalam air dan mudah
bereaksi melalui reaksi amida atau ikatan rangkapnya. Monomernya cepat berpolimerisasi pada titik
leburnya atau di bawah sinar ultraviolet. Akrilamida dalam larutan bersifat stabil pada suhu kamar dan
tidak berpolimerisasi secara spontan. (Anonim 1985; FDA 2004; Anonim 1976).
Pada umumnya, akrilamida yang terdapat di alam adalah buatan manusia, berasal dari residu
monomer yang dilepaskan dari poliakrilamida untuk perawatan air minum karena tidak seluruh akrilamida
terkoagulasi dan tetap berada di air sebagai pencemar. Akrilamida terdistribusi dengan baik dalam air
karena kelarutannya yang tinggi dalam air. Akrilamida dapat menetap hingga berhari-hari, berminggu-
minggu, bahkan berbulan-bulan di daerah sungai atau pesisir pantai dengan aktivitas mikroba yang
rendah. Kecil kemungkinannya terakumulasi pada ikan (Anonim 1985; FDA 2004; Anonim 1976).
Absorbsi dari akrilamida melalui saluran pernafasan, saluran cerna, dan kulit. Pada
pendistribusiannya, akrilamida terdapat dalam kompartemen sistem tubuh dan dapat menembus selaput
plasenta. Pada urin tikus, telah ditemukan metabolit, seperti asam merkapturat dan sistein-s-
propionamida. Glisidamida, merupakan metabolit utama dari akrilamida, yaitu epoksida yang lebih
dicurigai dapat menyebabkan penyakit kanker dan bersifat genotoksik pada hewan coba daripada
akrilamida. Akrilamida dan metabolitnya terakumulasi dalam sistem saraf dan darah. Akrilamida dicurigai
lebih bersifat neurotoksik
dibandingkan dengan glisidamida. Pada ginjal, hati dan sistem reproduksi pria juga terjadi
akumulasi. Berdasarkan percobaan pada hewan, akrilamida diekskresikan dalam jumlah besar melalui
urin dan empedu sebagai metabolitnya. Diketahui terdapat akrilamida dalam air susu tikus yang sedang
menyusui. Data-data farmakokinetika akrilamida pada manusia masih sedikit, namun antara manusia dan
hewan mamalia belum terdapat data yang dengan pasti menunjukkan perbedaan dari keduanya (Anonim
1985; FDA 2004; Anonim 2002; Friedman 2003).
PEMBENTUKAN AKRILAMIDA DALAM MAKANAN
Asparagin yaitu asam amino utama yang mempunyai struktur mirip dengan akrilamida, dan diduga
senyawa tersebut yang paling berperan dalam pembentukan akrilamida. Hasil penelitian yang sama juga
ditemukan oleh pemerintah Kanada dan pabrik Procter and Gamble Co. Keduanya sama-sama
mencurigai adanya hubungan antara asparagin dengan pencetus kanker (Friedman 2003).
Akrilamida ditemukan pada beberapa makanan tertentu yang dalam proses dan pembuatannya
menggunakan suhu tinggi, dengan meningkatnya pemanasan dan bertambahnya waktu, dapat
meningkatkan kadar akrilamida. Akrilamida tidak terbentuk pada suhu di bawah 120°C. Peneliti Swedia
mendapatkan bahwa terdapat konsentrasi akrilamida yang sangat besar pada makanan yang digoreng
(keripik kentang, median 1.200 μg/kg; kentang goreng 450 μg/kg), dan makanan yang dipanggang
(sereal dan roti 100-200 μg/kg) (Anonim 1985; FDA 2004; Harahap 2005).
Mekanisme terbentuknya belum dapat diketahui dengan pasti, diperkirakan meliputi reaksi dari
berbagai macam kandungan dalam makanan, seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam amino, serta
berbagai macam komponen lainnya dalam jumlah yang kecil. Mekanisme pembentukan akrilamida yang
mungkin dan telah dikemukakan oleh peneliti antara lain (Anonim 2002; Kendall P 2005):
1. Terbentuk dari akrolein atau asam akrilat hasil degradasi karbohidrat, lemak, atau asam
amino bebas, seperti alanin, asparagin, glutamin, dan metionin yang memiliki stuktur mirip
dengan akrilamida.
2. Terbentuk langsung dari asam amino.
3. Terbentuk dari dehidrasi atau dekarboksilasi beberapa asam organik tertentu seperti
asam laktat, asam malat, dan asam sitrat.
Studi sistematik tentang pembentukan akrilamida belum dapat dipastikan, kemungkinan terbesar
melalui reaksi campuran. Studi juga dipersulit dengan sifat dari akrilamida yang mudah menguap dan
mudah bereaksi sehingga dapat hilang setelah terbentuk. Akrilamida dianggap reaksi samping dari reaksi
Maillard, yakni reaksi yang berlangsung antara asam amino dengan gula pereduksi (glukosa, fruktosa,
ribosa, dan lain-lain) atau sumber karbonil lainnya. Asparagin, merupakan asam amino dalam makanan
yang bereaksi dengan gula pada suhu tinggi (Anonim 2002; Kendall P 2005).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada populasi umum, rata-rata asupan
akrilamida melalui makanan berada pada rentang 0,3–0,8 μg/kg BB/hari. Uni Eropa dan WHO
menetapkan standar maksimum akrilamida pada air minum 0,5 μg/liter. Pada kadar itu, saluran
pencernaan mampu menyerap dan mengeluarkannya dari tubuh melalui urin dalam beberapa jam
kemudian. Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1992 dan WHO pada tahun 1985 telah
membatasi kadar akrilamida dalam air minum sebesar 0,5 μg/liter (ppb). Office of Environmental Health
Hazard Assesment (OEAHHA), salah satu divisi EPA yang berlokasi di California, Amerika Serikat telah
menetapkan bahwa 0,2 μg/hari akrilamida tidak bersifat sebagai agen pencetus kanker. (Anonim 1985;
FDA 2004). Dosis tinggi akrilamida pernah dilakukan uji toksisitas. Hasil yang diperoleh adalah dosis
antara 800-2.700 µg/hari bagi orang dewasa merupakan yang terendah, tapi di sisi lain sudah mampu
meningkatkan mutasi gen pada tikus percobaan (Yusuf 2007).
EFEK AKRILAMIDA PADA MANUSIA DAN HEWAN
Akrilamida bersifat iritan dan toksik. Efek lokal berupa iritasi pada kulit, dan membran mukosa.
Iritasi lokal pada kulit ditunjukkan dengan melepuhnya kulit disertai dengan warna kebiruan pada tangan
dan kaki, efek sistemik berhubungan dengan paralisis susunan saraf pusat, tepi, dan otonom sehingga
dapat terjadi kelelahan, pusing, mengantuk, dan kesulitan dalam mengingat (Anonim 1994; 1985; 2002;
2002).
Berdasarkan uji klinis, ditunjukkan bahwa paparan akut dosis tinggi akrilamida memicu tanda-tanda
dan gejala gangguan saraf pusat, sedangkan paparan akrilamida dalam jangka waktu yang lama dengan
dosis yang lebih kecil dapat memicu gangguan pada sistem saraf tepi. Setelah paparan terhadap
akrilamida dihentikan, gangguan-gangguan tersebut dapat berkurang, tetapi dapat bertahan hingga
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002).
Akrilamida meningkatkan kemungkinan terjadinya tumor paru-paru pada tikus. Akrilamida dapat
meningkatkan timbulnya tumor kelenjar payudara pada tikus betina. Pada tikus jantan dapat memicu
degenerasi tubulus seminiferus dan aberasi kromosom spermatosit serta menurunkan kadar testoteron
dan prolaktin. Dengan pemberian secara oral, topikal, dan intraperitonial akrilamida dapat memicu kanker
kulit (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada hewan uji akrilamida
dapat mengganggu tingkat kesuburan, dan mengakibatkan keguguran (Yusuf 2007).
Akrilamida memiliki suatu sistem jenuh elektrofil yang dapat bereaksi dengan pusat nukleofil.
Gugus protein dan asam amino menjadi target reaksi utama karena mempunyai pusat nukleofil.
Pengikatan akrilamida dengan protein pada hemoglobin, menjadi penyebab aksi toksisitas pada jaringan
tersebut (Harahap 2006).
Akrilamida, dimasukkan dalam kategori grup 2A yaitu senyawa yang hampir dipastikan
menyebabkan kanker pada manusia (karsinogenik). Hal tersebut dikarenakan jumlah peserta yang
diikutsertakan dalam penelitian masih belum memadai untuk suatu uji epidemiologik. Berdasarkan data
yang ada, belum ada data epidemiologik yang menunjukkan bahwa paparan akrilamida dapat
menyebabkan kanker. (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002). Di Swedia, akrilamida diyakini dapat
menyebabkan penyakit kanker pada sekitar 2% (100-700 dari 45.000) kasus tiap tahun. Gangguan
kesehatan yang disebabkan akrilamida terjadi karena dampak genotoksik dan karsinogeniknya (Anonim
1997; FDA 2004).
TEKNOLOGI PENGGORENGAN
Secara proses, penggorengan mempunyai kemiripan dengan pengeringan. Perbedaan mendasar
antar penggorengan dan pengeringan adalah dalam medium pemanas yang digunakan. Penggorengan
menggunakan minyak goreng, sedangkan pengeringan umumnya menggunakan udara panas.
Berdasarkan pada suhu suhu minyak goreng, proses penggorengan dibedakan menjadi dua, yakni (i)
penggorengan dengan suhu rendah (suhu 130-170°C) dan (ii) penggorengan dengan suhu tinggi (suhu
180-200°C).
Metode penggorengan suhu rendah biasanya dilakukan dengan teknik shallow frying. Teknik ini
digunakan untuk penggorengan produk dengan permukaan luas dan tidak memerlukan pemanasan yang
intensif. Umumnya teknik ini banyak dilakukan di rumah tangga. Variasi teknik penggorengan dengan
prinsip shallow frying ini adalah saute frying (menumis), yaitu teknik menggoreng produk pangan dengan
sedikit minyak/lemak dan dilakukan pengadukan terus menerus. Dengan teknik shallow frying proses
pindah panas umumnya terjadi secara konduksi dari permukaan panas menembus lapisan minyak dan
langsung ke bahan dalam satu arah. Pada penggorengan shallow frying, lapisan minyak umumnya tidak
terlalu tebal, dengan ketebalan bervariasi tergantung pada ketidakteraturan permukaan.
Metode penggorengan suhu tinggi lebih populer dengan istilah deep fat frying. Sebagaimana
namanya, proses ini dilakukan dengan cara merendamkan produk pangan pada minyak goreng bersuhu
tinggi, dimana bahan menerima panas dari seluruh permukaan bahan, sehingga menghasilkan warna
dan penampakan yang seragam. Deep fat frying cocok untuk semua bahan pangan, dan banyak
digunakan di industri makanan ringan, industri mi instan, nugget, dan lain-lain.
Proses pindah panas dalam penggorengan bahan pangan akan terjadi dari logam panas ke minyak
dan akhirnya ke bahan yang digoreng, sehingga suhu permukaan bahan akan meningkat secara cepat
dan akhirnya akan terjadi penguapan air. Uap air akan mengalami pindah massa ke minyak dan akhirnya
ke udara. Dalam pengamatan praktis, terjadinya pindah massa uap air ini terlihat sebagai proses
mendidih dimana terjadi gelembung-gelembung uap air keluar dari minyak (bubbling). Proses bubbling ini
identik dengan proses pengeringan, dimana proses ini terjadi pada titik didih air (100°C pada tekanan
atmosfir). Selama proses bubbling masih terjadi, maka suhu produk masih berkisar pada suhu 100°C.
Proses penggorengan dibagi menjadi 4 tahapan proses, yaitu (1) proses pemanasan awal, (2)
proses evaporasi (pendidihan air, khususnya dipermukaan); (3) proses evaporasi dengan laju menurun
(falling rate), karena di permukaan telah terbentuk kerak yang menghalangi proses pindah massa uap air;
dan (4) berakhirnya proses evaporasi (bubble endpoint).
Terjadinya tahap-tahap proses penggorengan ini berbeda-beda untuk masing-masing produk.
Untuk produk yang basah, pada tahap ke-2 (proses evaporasi) akan berlangsung lebih lama
dibandingkan yang terjadi pada produk kering. Pada tekanan atmosfir maka proses evaporasi (bubbling)
ini terjadi pada suhu didih air (100°C). Pada suhu sekitar 100°C inilah air di permukaan bahan mulai
mendidih berubah menjadi uap air dan dimulailah proses pengeringan dengan cara yang mirip dengan
proses pengeringan. Proses penguapan ini menyebabkan bagian permukaan lebih kering daripada
bagian dalam bahan, sehingga terjadilah perpindahan air dari dalam bahan yang masih basah menuju
permukaan.
Bubbling akan berlangsung terus selama masih ada air di permukaan, sampai akhirnya proses
perpindahan air tidak mampu lagi mengimbangi proses penguapan sehingga permukaan menjadi
kehabisan air, sehingga suhu permukaan mulai meningkat lebih besar dari 100°C dan terbentuklah kerak.
Pada kondisi ini laju penguapan mulai menurun memasuki tahap falling rate, suhu permukaan bahan
meningkat, sedangkan suhu internal bahan mulai meningkat mendekati 100°C, dimana pada titik tersebut
proses penguapan terus terjadi. Uap yang terjadi di bagian internal bahan ini akan keluar melewati kerak
yang telah terbentuk di bagian luarnya.
Kerak pada permukaan bahan memiliki struktur rongga dan sistem kapiler-kapiler dengan ukuran
beranekaragam. Selama kapiler tersebut masih bisa dilalui uap air, proses penguapan akan bisa
berlangsung sampai bahan tersebut kering (tidak ada lagi air yang diuapkan). Namun demikian, bisa saja
karena pemanasan terjadi pada suhu tinggi, maka kerak yang terbentuk berupa kerak yang pajal, yang
sulit dilalui oleh uap air. Jika terjadi hal tersebut, maka penguapan akan berhenti dan menghasilkan
produk goreng yang kering (dan keras) di bagian permukaan, tetapi masih basah di bagian dalam.
Hal penting yang juga perlu dikontrol adalah selama rongga-rongga pada produk pangan yang
tadinya diisi oleh air, akan menjadi kosong dan pada saatnya akan diisi oleh minyak goreng panas,
sehingga akan meningkatkan kadar minyak pada produk akhir. Proses ini biasanya terjadi paad bagian
akhir dari siklus penggorengan, khususnya dimulai pada saat akhir tahap falling rate. Jumlah minyak
yang terserap oleh produk tentunya sangat dipengaruhi oleh jenis produk itu sendiri.
Periode waktu yang diperlukan oleh produk untuk melewati tahap-tahap proses penggorengan
tersebut sampai akhirnya mencapai tingkat penggorengan sempurna sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain : (a) bahan (jenis, ukuran, jumlah, kadar air, dan suhu); (b) minyak (jenis, jumlah, dan
suhu); dan (c) tingkat penggorengan yang dikehendaki (warna, tekstur dan karakter lain produk goreng
yang dihasilkan).
Pengaruh suhu penggorengan
Penggorengan bisa dilakukan pada suhu minyak antara 150-200°C, namun di industri jasa boga
penggorengan dilakukan pada suhu 160 -190°C. Suhu penggorengan hendaknya dipilih dengan
mempertimbangkan jenis minyak yang digunakan karakter produk goreng yang dihasilkan. Pada kisaran
suhu penggorengan 160 -190°C kebanyakan produk jenis produk pangan akan mengalami proses
penggorengan dengan cepat dan mampu menghasilkan produk dengan warna kuning keemasan yang
menarik, tekstur yang crispy, dan kualitas flavor yang baik, dengan jumlah absorpsi minyak sekitar 8-25%
(tergantung dari karakteristik bahan).
Pemilihan suhu yang berbeda akan dihasilkan produk dengan karakteristik yang berbeda pula.
Penggunaan suhu penggorengan yang lebih rendah akan menyebabkan waktu penggorengan semakin
lama, warna produk semakin terang, flavor khas produk goreng kurang terbentuk dan minyak yang
diabsorbsi akan lebih banyak. Sebaliknya, penggunaan suhu yang lebih tinggi akan memberikan
kecenderungan yang sebaliknya, yaitu waktu penggorengan lebih cepat, warna lebih gosong, cenderung
terbentuk flavor gosong (over cooked) dan penyerapan minyak yang lebih rendah. Namun penggunaan
suhu minyak yang terlalu tinggi bisa menyebabkan proses pembentukan kerak goreng (crust) secara
lebih cepat, proses pindah massa terhambat, proses bubbling segera terhenti, sehingga menghasilkan
produk yang keras dan gosong di permukaan tetapi basah bahkan mungkin mentah (under cooked) di
bagian dalamnya. Ilustrasi ini menunjukkan betapa pentingnya pemilihan suhu penggorengan yang tepat
untuk menghasilakn karakteristik produk yang tepat pula.
Jika diperlukan, proses penggorengan bisa dilakukan secara bertahap. Bahan digoreng pada suhu
rendah terlebih dulu dan kemudian digoreng pada suhu yang lebih tinggi. Penggorengan bertahap bisa
dilakukan secara batch dengan dua jenis penggorengan, bisa pula dilakukan secara kontinyu dengan
menggunakan multi-zone fryer. Penggorengan pada suhu rendah terlebih dulu dimaksudkan agar proses
penguapan air terjadi di bagian dalam bahan dan uap air mudah keluar dari bahan sebelum terbentuk
kerak yang akan menghambat laju pindah massa uap air. Dengan demikian akan dihasilkan produk
dengan bagian dalam yang lebih kering. Selanjutnya dilakukan penggorengan pada suhu yang lebih
tinggi untuk memperoleh tekstur, warna permukaan dan flavor yang dikehendaki.
Pengaruh tekanan
Pada umumnya proses penggorengan dilakukan pada kondisi terbuka yang berarti proses
pemanasan terjadi pada tekanan atmosfir. Proses penggorengan bisa juga dilakukan dengan pengaturan
tekanan, baik dengan menggunakan tekanan tinggi maupun tekanan vakum. Pengaturan tekanan akan
secara langsung berpengaruh pada proses evaporasi. Semakin tinggi tekanan yang diberikan maka
proses evaporasi akan berlangsung pada suhu yang lebih tinggi. Sebaliknya proses penggorengan pada
kondisi vakum akan menyebabkan proses evaporasi berlangsung pada suhu rendah.
PELUANG TEKNOLOGI PENGGORENGAN VAKUM UNTUK MENEKAN PEMBENTUKAN
AKRILAMIDA
Penurunan tekanan akan menyebabkan penurunan suhu evaporasi. Pada tekanan vakum sekitar 3
kPa, misalnya air akan mempunyai titik didih pada sekitar suhu 25°C. Pada proses penggorengan vakum,
suhu evaporasi ini tentunya sedikit di atas 25°C karena pengaruh padatan pada produk. Jika produk yang
digoreng tersebut telah berada pada suhu sekitar 25°C pula, maka produk tersebut tidak memerlukan
waktu yang panjang untuk memulai proses evaporasi (pengeringan), dan karena hal ini terjadi pada suhu
rendah maka proses-proses pengerakan (crust formation) belum dimulai. Pembentukan kerak biasanya
dimulai ketika mulai terjadi proses-proses gelatinisasi pati dan/ atau denaturasi protein, yang umumnya
terjadi pada suhu diatas 80°C dan akan semakin cepat pada suhu yang lebih tinggi.
Karena proses evaporasi terjadi pada suhu lebih rendah maka penggorengan vakum juga bisa
dilakukan pada suhu minyak yang lebih rendah (tekanan vakum akan menyebabkan penurunan titik asap
minyak). Pada tekanan vakum (3-16 kPa atau 0,03-0,16 atm) penggorengan bisa dilakukan pada suhu
minyak sekitar 118-150°C. Menurut Setyawan (2007), suhu penggorengan vakum 80-90°C pada
pengolahan buncis kering dan suhu penggorengan vakum 60-70°C pada pengolahan produk wortel
kering menghasilkan produk yang paling baik.
Dengan sistem penggorengan semacam ini, produk-produk pangan yang rusak dalam
penggorengan (seperti buah-buahan dan sayuran) akan bisa digoreng dengan baik, menghasilkan
produk yang kering dan renyah, tanpa mengalami kerusakan nilai gizi dan flavor seperti halnya yang
terjadi pada penggorengan biasa. Umumnya, penggorengan dengan tekanan rendah akan menghasilkan
produk dengan tekstur lebih renyak (lebih kering), warna yang lebih menarik. Selain itu, penggorengan
vakum menghasilkan produk dengan kandungan minyak yang lebih sedikit dan lebih parus (lebih ringan)
dan umumnya mempunyai daya rehidrasi yang lebih baik. Secara khusus, penggorengan vakum
berpotensi untuk mengurangi pembentukan akrilamida pada produk goreng, karena akrilamida tidak
terbentuk pada suhu di bawah 120°C.
Hasil penelitian Granda, et.al. (2004) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan penggorengan
tradisional (kondisi Atmosfer), penggorengan vakum mampu mengurangi pembentukan akrilamida dalam
keripik kentang sampai sekitar 94%. Irisan kentang yang digoreng dengan penggorengan vakum suhu
118°C menghasilkan keripik kentang dengan kadar akrilamida rendah, warna kuning keemasan dan
tekstur sesuai yang diinginkan dibandingkan dengan keripik kentang yang digoreng dengan alat
penggoreng tradisional. Kombinasi suhu minyak selama penggorengan juga berpengaruh pada
pembentukan akrilamida secara signifikan pada keripik kentang. Pembentukan akrilamida mengalami
penurunan yang signifikan dalam keripik kentang yang digoreng pada suhu yang diturunkan dari 180°C
sampai 150°C untuk metode tradisional dan 140°C menjadi 118°C pada penggorengan vakum.
Penurunan suhu penggorengan dari 180°C menjadi 165°C mampu mengurangi pembentukan akrilamida
dalam keripik kentang sebesar 51% selama penggorengan tradisional dan sebesar 63% dari 140°C
menjadi 125°C pada penggorengan vakum. Bertambahnya waktu penggorengan meningkatkan
konsentrasi akrilamida untuk semua suhu dan metode penggorengan (tradisional maupun vakum),
namun pengaruhnya lebih besar untuk produk yang digoreng dengan alat tradisional disbanding dengan
penggorengan vakum.
Menurut FAO dan WHO, untuk mencegah kemungkinan terjadinya risiko akibat akrilamida
diantaranya (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002) :
a. Pola makan yang seimbang dan bervariasi, seperti sayur-mayur dan buah-buahan, dan
menghindari atau mengurangi makanan yang diduga mengandung akrilamida.
b. Makanan tidak dimasak dengan suhu yang terlalu tinggi, hanya dengan suhu yang cukup untuk
menghancurkan mikroorganisme patogen.
KESIMPULAN
1. Sistem penggorengan hampa (vakum) menghasilkan produk-produk pangan yang kering dan
renyah, tanpa mengalami kerusakan nilai gizi dan flavor seperti halnya yang terjadi pada
penggorengan biasa dan warna yang lebih menarik.
2. Penggorengan vakum menghasilkan produk dengan kandungan minyak yang lebih sedikit dan
lebih parus (lebih ringan) dan umumnya mempunyai daya rehidrasi yang lebih baik.
3. Penggorengan vakum berpotensi untuk mengurangi pembentukan akrilamida pada produk goreng,
karena akrilamida tidak terbentuk pada suhu di bawah 120°C.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. International Agency for Research on Cancer (IARC) –Summaries and Evaluations (Acrylamide). http://www.inchem.org/documents/iarc/vol60/m60-11.html,
3 Januari 2006,pukul 14.09. Anonim. 1997. Acrylamide (Group 2A). http://www.cie.iarc.fr/htdocs/monographs/vol60/m60-11.htm. Anonim. Environmental Health Criteria for Acrylamide. Geneva: World Health Organization, 1985: 8-42. Anonim. Health Implications of Acrylamide in Food: Report of a Joint FAO/WHO Consultation. Geneva,
Swiss: World Health Organization (WHO), 2002: 39 hlm. Anonim. Health implications of acrylamide in food:report of joint FAO/WHO consultation. Genewa: World
Health Organization, June 2002. Anonim. The Merck Index 9th Edition. Rahway NJ: Merck & Co. Inc.,1976. Friedman M. Chemistry, Biochemistry, and Safety of Acrylamide. A Review. 2003. J. Agric. Food. Chem
51, 4504-4526. Granda C, Moreira RG and Tichy SE. Reduction of Acrylamide Formation in Potato Chips by Low-
Temperature Vacuum Frying. Journal of Food Science. 2004; 69(8): E405-411. Harahap Y, Harmita, Simanjuntak B. Optimasi Penetapan Kadar Akrilamida yang Ditambahkan ke dalam
Keripik Kentang Simulasi secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2005; II(3): 154-163.
Harahap Y, Harmita, Simanjuntak B. Pembentukan Akrilamida dalam Makanan dan Analisisnya. Majalah
Ilmu Kefarmasian. 2006; III(3): 107 – 116. Kendall P. Popcorn An All American snack. www.popcorn.org/int/fsf/popcornreport.pdf. 25 Juni 2005
pukul 16.00. Setyawan N, Widaningrum, Setyabudi DA, Shaffah M, Siswadi, dkk. Teknologi Pengolahan Sayuran
Kering Siap Santap (Dried Vegetables Chips Processing Technology). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2007.
U.S. Food and Drug Administration (FDA, 2004). Explatory Data on Acrylamide in Food. U.S. FDA,
CFSAN/Office of Plant & Dairy Foods, March 2004. http://www.cfsan.fda.gov/~dms/acrydata.html, 11.
Yusuf D. 2007. Makanan Gorengan Pembawa Kanker. http://www.senior.co.id. Diakses 15 September 2008.