Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
RASIO SERAT KOLAGEN TIPE III/TIPE I LEBIH RENDAH
DAN KEKUATAN TENSILE LEBIH TINGGI PADA
KESEMBUHAN CEDERA TENDON ACHILLES KELINCI
YANG DIBERIKAN ASTAXANTHIN
I KOMANG AGUS KRISNA SAPUTRA
PROF. DR.DR. PUTU ASTAWA, SP.OT(K), M.KES
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii
ABSTRAK
RASIO SERAT KOLAGEN TIPE III/TIPE I LEBIH RENDAH DAN
KEKUATAN TENSILE LEBIH TINGGI PADA KESEMBUHAN CEDERA
TENDON ACHILLES KELINCI YANG DIBERIKAN ASTAXANTHIN
Cedera pada tendon bervariasi dari cedera minor yang memiliki risiko relatif
minimal terhadap aktivitas sehari – hari, sampai dengan robekan pada tendon
yang memerlukan tindakan pembedahan. Komplikasi yang sering terjadi akibat
cedera tendon ini adalah terjadinya gangguan mekanis. Proses inflamasi dan
pembentukan radikal bebas dapat memperburuk kapasitas penyembuhan tendon
setelah cedera. Penggunaan kolagen kuat seperti astaxanthin merupakan salah satu
agen yang bisa dimanfaatkan untuk membantu penyembuhan tendon. Penelitian
ini bertujuan untuk membuktikan pemberian astaxanthin dapat menurunkan rasio
serat kolagen tipe III/tipe I dan meningkatkan kekuatan tensile pada kesembuhan
tendon.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan
rancangan post-test only control group design dengan subjek kelinci. Sebanyak 18
subyek penelitian yang memenuhi persyaratan inklusi penelitian secara random
dikelompokkan menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok kontrol
adalah kelompok yang tidak diberikan astaxanthin setelah tendon achillesnya
diputus secara tajam dan dijahit sedangkan pada kelompok perlakuan adalah
kelompok yang diberikan astaxanthin setelah tendon achillesnya diputus secara
tajam dan dijahit
Analisis statistik dengan menggunakan uji parametrik independent t-test
didapatkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan dan
kontrol pada variabel rasio kolagen III/I dan kekuatan tensile tendon. Rasio
kolagen III/I pada tendon Achilles kelinci yang mendapatkan perlakuan
astaxanthin lebih kecil dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan dan hal
ini ditunjukkan dari nilai p = 0,000 (p<0,05). Analisis statistik juga menunjukkan
kekuatan tensile tendon Achilles kelinci yang diberikan astaxanthin lebih besar
dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan dan hal ini ditunjukkan dari nilai
p = 0,044 (p<0,05). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh astaxanthin terhadap
rasio kolagen III/I dan kekuatan tensile tendon achilles kelinci.
Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa pemberian astaxanthin pada
cedera tendon achilles dapat menurunkan rasio kolagen III/I sehingga sintesis
kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan dengan tipe III dan dapat membantu
meningkatkan kekuatan tensilenya.
Kata kunci: Astaxanthin, Cedera Tendon Achilles Kelinci, Rasio Kolagen III/I,
Kekuatan Tensile,
ABSTRACT
LOWER RATIO OF COLLAGEN’S FIBER TYPE III/TYPE I AND
HIGHER TENSILE STRENGTH IN HEALING ACHILLES TENDON IN
RABBIT WITH ASTAXANTHIN
Injuries to the tendons vary from minor injuries that have a relatively minimal risk
to the daily activities - day, up to a tear in the tendon that requires surgery.
Complications are common due to a tendon injury this is the occurrence of
mechanical disturbances. Inflammatory process and formation of free radicals can
worsen the capacity of tendon healing after injury. The use of potent antioxidants
like astaxanthin as an agent that can be used to help tendon healing. This study
aims to prove the administration of astaxanthin can reduce the ratio of fibers of
collagen tipe III/tipe I and increase the tensile strength of the tendon healing.
This study is an experimental research design using post-test only control
group design with the subject rabbits. A total of 18 research subjects who meet the
inclusion requirements of the study were randomly divided into treatment and
control groups. The control group is the group that was not given astaxanthin after
tendon achillesnya sharply cut and sewn, while the treatment group was given
astaxanthin group after tendon achillesnya sharply cut and sewn
Statistical analysis using parametric tests independent t-test found a
significant difference between treatment and control groups on a variable ratio of
collagen III/I and the tensile strength of the tendon. The ratio of collagen type
III/type I of the Achilles tendon rabbit which receive treatment of astaxanthin is
smaller compared with the untreated group and this is shown on the value of p =
0.000 (p <0.05). Statistical analysis also showed a tensile strength of rabbit
Achilles tendon given astaxanthin is greater than the non-treated group and this is
shown on the value of p = 0.044 (p <0.05). This shows the influence of
astaxanthin on the ratio of collagen type III/type I and tensile strength rabbit
achilles tendon after injury.
The result of the above calculation shows that the administration of
astaxanthin on the Achilles tendon injury can reduce the ratio of collagen type
III/type I so that the synthesis of type I collagen higher than the type III and thus
can help improve the tensile strength.
Keywords: Astaxanthin, Rabbit’s Achilles Tendon Injuries, Ratio of Collagen
III/I, Tensile Strength
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tendon merupakan organ yang menghubungkan otot dengan tulang
dan memungkinkan transmisi kekuatan yang dihasilkan oleh otot ke tulang
yang menghasilkan pergerakan sendi. Sebagian besar cedera pada tendon
terjadi di daerah yang dekat dengan sendi, seperti bahu, siku, lutut, dan
pergelangan kaki. Cedera pada sendi yang disertai dengan robekan sebagian
atau keseluruhan dari tendon terjadi sebanyak 45% dari semua cedera
muskuloskeletal tiap tahunnya (Woo, 2000; Hildebrand dkk, 2005). Cedera
pada tendon cukup sering terjadi dengan persentase kejadian 30% - 50%
dari semua cedera. Cedera ini terutama terjadi akibat kecelakaan kerja,
kecelakaan lalu lintas ataupun cedera akibat olah raga (Jarvinen dkk, 2005).
Cedera pada tendon bervariasi dari cedera minor yang memiliki
risiko relatif minimal terhadap aktivitas sehari – hari, sampai dengan
robekan pada tendon yang memerlukan tindakan pembedahan. Komplikasi
yang sering terjadi akibat cedera tendon ini adalah terjadinya gangguan
kelenturan, kekakuan dan berkurangnya kekuatan tendon itu sendiri. Pada
akhirnya fungsi tendon sebagai buffer serta sifat viskoelastiknya untuk
mengurangi kerusakan otot akan menurun sehingga pergerakan dan fungsi
proteksinya menjadi terbatas (Jarvien, 2005; Hildebrand dkk, 2005;Gianotti,
2015)Tujuan utama penyembuhan tendon adalah untuk mengembalikan
fungsi mekanisnya (gliding function). Tendon memiliki kapasitas
regeneratif spontan yang buruk setelah cedera sehingga sulit untuk
mendapatkan kembali fungsi biologis dan biomekanis seperti sebelum
cedera (Gianotti, 2015). Hal ini disebabkan karena adanya perlengketan dan
pembentukan jaringan parut yang menghambat proses regeneratif tendon.
Pada proses penyembuhan tendon, terjadi perubahan dalam tipe dan
distribusi jaringan kolagen yang terbentuk. Terdapat peningkatan rasio
kolagen tipe III/tipe I dimana terjadi peningkatan sintesis kolagen tipe III
dibandingkan dengan tipe I. Kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak
dan lebih tipis dibandingkan dengan tipe I serta cross-link serat kolagen
yang terbentuk hanya 45% dan kebanyakan imatur (Woo, 2000; Bauge dkk,
2015). Menurut Maffulli (2005) dan Bauge et al (2014), sintesis kolagen
tipe I pada tendon yang mengalami cedera grade III akan mengalami
penurunan dan diganti dengan peningkatan sintesis kolagen tipe III seiring
dengan ekspansi jaringan granulasi dan proses remodeling sehingga rasio
kolagen tipe III/tipe I meningkat dan terjadi substitusi kolagen ke arah
pembentukan jaringan parut dan fibrosis. Pembentukan jaringan parut pada
tendon dapat menimbulkan adhesi dan penurunan kekuatan tensile sampai
dengan 20% (Woo, 2000;Maffulli, 2005;Romani, 2010).
Dalam fase penyembuhan tendon banyak molekul yang ikut
berperan. Cedera yang terjadi pada tendon dapat memicu terbentuknya
radikal bebas seperi hidrogen peroxida dan pelepasan mediator inflamasi
3
seperti TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10. Radikal bebas yang terbentuk dapat
mengaktivasi enzim metalloproteinase, dan meningkatkan ekspresi PGE2
sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen tendon yang terbentuk.
Proses inflamasi ini juga dapat memicu pelepasan growth factor seperti
TGF-1 yang dapat menginduksi infiltrasi dramatis tenosit dan fibroblast
sehingga terjadi reorganisasi ekstensif kolagen. Proporsi kolagen tipe III
yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek inhibisi PGE2
terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA kolagen tipe III
(Bauge dkk, 2015).
Tendon yang tersusun atas matrix terdegradasi dengan proporsi
kolagen dominan tipe III ini akan lebih fibrotik dan memiliki kualitas serta
komponen mekanik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang normal
sehingga kekuatan tensilenya menurun (Woo, 2000; Annemarie dkk, 2005;
Maffulli, 2005;Romani, 2010; Bauge dkk, 2014).
Berbagai metode telah dilakukan untuk mengembalikan fungsi
tendon setelah cedera. Pilihan terapi dapat non operatif maupun operatif
dengan repair atau tanpa graft yang diikuti dengan imobilisasi atau
mobilisasi terkontrol. Beberapa metode tersebut secara biokimia dan
biomekanik gagal kembali ke fungsi normal sehingga para peneliti
memfokuskan modalitas terapi pada kualitas dan akselerasi penyembuhan
tendon setelah cedera. Modalitas yang dikembangkan dapat berupa
penggunaan growth factors atau substansi yang dapat mempengaruhi
ekspresi growth factors, gene transfer ataupun cell therapies (Aro, 2014;
Bauge, 2014). Antioksidant merupakan salah satu agen suplementasi yang
memiliki kemampuan anti-inflamasi kuat yang berguna untuk membantu
proses penyembuhan cedera pada tendon.
Penggunaan kolagen kuat seperti astaxanthin pada cedera tendon
dapat membantu mengurangi stress oksidatif akibat terbentuknya ROS oleh
mithokondria yang dapat membantu proses penyembuhan pada cedera.
Stress oksidatif dapat mengganggu proses penyembuhan. Sel fibroblast
tendon akan membentuk komponen kolagen matriks ekstraseluler yang
tidak terorganisir berupa peningkatan proliferasi dari kolagen tipe III serta
cross-link serat kolagen matur yang rendah sehingga tendon yang terbentuk
akan lebih fibrotik, stiff, memiliki modulus yang lebih rendah serta
distribusi load bearing yang tidak merata (Chamberlain dkk, 2009; Mizuta
dkk, 2014). Hal ini menyebabkan penurunan komponen mekanik tendon
sampai 56,7% dari normal sehingga sangat rentan terhadap ruptur kembali
(Maffulli, 2005;Chamberlain dkk, 2009).
Dengan pemberian kolagen seperti astaxanthin selama masa
penyembuhan, selain dapat mencegah atau menetralisir ROS yang
terbentuk, ia juga akan membantu meregulasi ekspresi gen yang
berhubungan dengan oksidasi, sitokin, kolagen, dan growth factors (Naito
dkk, 2008). Pada robekan komplit tendon, terjadi suatu rangkaian proses
pembentukan neotendon yang memiliki karakteristik lebih fibrotik
dibandingkan jaringan normal. Antioksidant seperti astaxanthin memiliki
efek penekanan terhadap ekspresi MMP, PGE2 serta growth factor seperti
TGF-β sehingga proses fibrosis dalam penyembuhan cedera tendon bisa
ditekan (Naito dkk, 2008; Yilgor dkk, 2012; Mizuta dkk, 2014; Bauger dkk,
2014). Namun penelitian terhadap pengaruh kolagen astaxanthin terhadap
penyembuhan tendon secara kualitatif masih sangat kurang.
4
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
astaxanthin terhadap rasio serat kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tensile
pada kesembuhan tendon yang pada penelitian ini digunakan tendon
Achilles kelinci.
1.2 Rumusan masalah
Untuk membuktikan astaxanthin berperan dalam penyembuhan tendon
maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan tendon
Achilles kelinci yang mengalami cedera yang diberikan Astaxanthin
lebih rendah daripada yang tidak diberikan Astaxanthin?
2. Apakah kekuatan tensile pada kesembuhan tendon Achilles kelinci
yang mengalami cedera yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi
daripada yang tidak diberikan Astaxanthin?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh Astaxanthin terhadap penyembuhan cedera
tendon Achilles kelinci.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Membuktikan rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan
cedera tendon Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih
rendah daripada yang tidak diberikan Astaxanthin.
2. Membuktikan kekuatan tensile pada kesembuhan cedera tendon
Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi daripada yang
tidak diberikan Astaxanthin.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat ilmiah: sebagai dasar pertimbangan untuk pengembangan
penelitian lebih lanjut tentang aspek biomolekular pada cedera tendon
dan terapi yang diberikan untuk meningkatkan fungsi optimal tendon
setelah penyembuhan.
2. Manfaat klinis: sebagai acuan oleh para klinisi khususnya dokter
orthoped dalam memilih terapi terhadap kesembuhan tendon setelah
cedera secara kualitatif.
3. Manfaat sosial: memberi pengetahuan kepada masyarakat umum
bahwa pemberian astaxanthin membantu penyembuhan tendon secara
kualitatif.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tendon
2.1.1 Tendon Manusia
2.1.1.1 Anatomi
Tendon yang sehat berwarna putih dan memiliki tekstur fibroelastik.
Bentuknya pun bisa bervariasi dari bentuk tali bulat, sabuk straps, sampai
bentuk pita pipih. Dalam jaringan matriks ekstraselular, element tendon
mengandung 90 – 95% tenoblast dan tenosit. Tenoblast adalah sel – sel
tendon yang imatur yang berbentuk spindel, memiliki organel sitoplasmik
yang banyak yang mencerminkan aktivitas metabolik yang tinggi. Ketika
tenoblast ini matur, ia akan elongasi dan membentuk tenosit yang memiliki
rasio nukleus ke sitoplasma yang lebih rendah dibandingkan tenoblast
dengan aktivitas metabolik yang lebih rendah pula. Sedangkan sisa 5 – 10 %
elemen seluler tendon terdiri dari kondrosit pada bagian perlekatan dengan
tulang dan bagian insersi, sel sinovial pada pembungkus tendon, dan sel –
sel vaskular termasuk sel endotel kapiler dan otot polos arteriol (Sharma P;
Mafulli N, 2005; Maffulli dkk, 2005).
Tendon berbeda dengan jaringan konektif lainnya di mana lebih
banyak mengandung kolagen tipe I. Tendon memiliki 9% sampai 12%
kolagen tipe III yang lebih selular daripada tipe I. Kolagen tipe III
ditemukan pada fibrokartilago di attachment zone of tendon (OTJ) dan juga
berada pada tendon yang membungkus tonjolan tulang (Maffulli, 2005).
Konsumsi oksigen tendon 7,5 kali lebih rendah dibandingkan otot rangka.
Tingkat metabolisme yang rendah dan kapasitas pembentukan energi secara
anaerob yang cukup baik sangat penting untuk membawa beban dan
mempertahankan tekanan dalam waktu yang lama, mengurangi risiko
iskemia dan nekrosis. Tapi, akibat tingkat metabolisme yang rendah maka
penyembuhannya pun menjadi lambat setelah mengalami cedera. Sekitar
70% tendon terdiri dari air dan 30% terdiri dari massa tendon itu sendiri
yang terdiri dari kolagen tipe I sebanyak 65 – 80% dan elastin sebanyak 2%.
Serat – serat kolagen ini tersusun bertingkat kompleksitasnya secara hierarki
mulai dari tropokolagen yang menyatu membentuk fibril, fiber (primary
bundles), fasikula (secondary bundles), tertiary bundles, dan tendon itu
sendiri. Epitenon merupakan jaringan ikat pembungkus halus yang
mengandung pembuluh darah, limfatik, dan suplai saraf ke tendon serta
membungkus seluruh tendon dan masuk ke dalamnya antara tertiary
bundles sebagai endotendon. Endotendon merupakan jaringan ikat dengan
sistem retikular tipis di setiap fiber. Epitenon di superfisial diselimuti oleh
paratenon yang merupakan jaringan ikat longgar areolar yang mengandung
fibril kolagen tipe I dan III, beberapa fibril elastik dan deretan sel – sel
sinovial (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005;James et al, 2008). Pembungkus
tendon sinovial ditemukan di area yang memiliki stress mekanik yang tinggi
seperti di tangan dan kaki dimana diperlukan lubrikasi yang efisien.
Pembungkus sinovial ini terdiri dari pembungkus fibrus di bagian luar yang
berfungsi sebagai fulcrums untuk membantu fungsi tendon dan pembungkus
sinovial di bagian dalam yang terdiri dari lembaran – lembaran visceral dan
parietal yang berfungsi sebagai membran ultrafiltrasi untuk membentuk
cairan sinovial (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005).
9
Pembentukan Kolagen
Kolagen merupakan salah satu struktur protein penting pada
vertebrata. Unit struktural dari kolagen adalah tropokolagen, protein yang
tipis dan panjang (280 nm) dan dengan lebar 1.5 nm yang utamanya
mengandung kolagen tipe I. Tropokolagen dibentuk dalam sel fibroblast
sebagai prokolagen, yang kemudian disekresikan dan dipecah di
ekstraselular menjadi kolagen.
Karakteristik kolagen adalah terdapat sedikitnya satu triple-helical
domain yang terdiri dari rantai polypeptida dengan sekuen Gly-X-Y (Bode,
Michaela, 2000). Kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida yang sama atau
identik yaitu rantai alpha dengan 33% glisin di setiap posisi ketiga, 15%
hidroxiprolin dan 15% residu lisin pada posisi X dan Y. Glisin
meningkatkan stabilitas dengan membentuk ikatan hidrogen di antara 3
rantai. Kolagen juga mengandung 2 asam amino hidroksiprolin dan
hidroksilisin yang jarang ditemukan pada protein lainnya (Bode &
Michaela, 2000).
Biosintesis kolagen dimulai dengan proses transkripsi gen
prokolagen dan pembentukannya di dalam sel mRNA untuk setiap
polipeptida rantai alpha. Polipeptida rantai alpha dipasang pada poliribosom
yang terikat pada membran retikulum endoplasmik yang kasar. Kemudian
polipeptida tersebut disuntikan ke dalam sisterna sebagai molekul
preprokolagen. Sinyal peptida pada rantai akhir aminoterminal dipotong
oleh signal peptidase setelah translokasi melewati retikulum endoplasmik
kasar dan membentuk prokolagen. Kemudian prokolagen akan keluar
menuju matriks ekstraseluler dan propeptida kolagen fibrilar akan
membelah dan kolagen akan dibentuk menjadi fibril dan terjadi cross-link
antara hidroksiprolin dan lisin residual. Sekitar setengah dari prolin dan
beberapa lisin terhidroksilasi, tepat sebelum rantai memuntir menjadi triple
helix untuk membentuk prokolagen. Enzim yang memediasi memerlukan
besi dan vitamin c sebagai kofaktor (O’Brien, 2008).
Crosslinks
Cross-linking kolagen sangat penting untuk kekuatan tensile dan
kekuatan mekanik jaringan karena dapat meningkatkan resistensi serat
kolagen terhadap proteolisis (Bode & Michaela, 2000;Trevor dkk,
2000;Annemarie dkk 2005;Yilgor, 2012). Molekul kolagen yang baru saja
disintesis distabilisasi oleh crosslink, tetapi jumlahnya menurun saat
maturasi. Crosslink yang nonreducible ditemukan dalam kolagen matang,
yang mana lebih kaku, kuat dan matang. Reduksi dari crosslink
menghasilkan fiber kolagen yang sangat lemah dan rapuh (Maffulli dkk.,
2005).
Terdapat dua jalur enzimatik cross-linking dari kolagen fibrilar yaitu
jalur alisin aldehid dimana residu lisin dalam telopeptida kolagen diubah
menjadi lisin aldehid, dan hidroksilisin dimana residu hidroksilisin dalam
telopeptida kolagen diubah menjadi hidroxilisin aldehid. Rute alisin terjadi
saat Cross-linking ini terbentuk melalui oksidasi deaminasi dari group etha-
amino lisin yang bereaksi dengan aldehid pada satu titik spesifik dalam
triple helix untuk membentuk di-,tri- atau tetrafungsional cross-link. Pada
tulang dan tendon, kolagen sebagian besar mengalami cross-linking melalui
10
jalur hidroksialisin, sedangkan jalur lisin kebanyakan terjadi pada kulit,
kornea dan sklera (Bode, 2000; Annemarie, 2005).
Crimp
Fibril kolagen dalam posisi istirahat, tanpa tegangan, adalah tidak
lurus tapi bergelombang atau berkerut. Kerutan menandakan bentukan
sinusoid regular dalam matriks. Kerutan merupakan tanda dari tendon.
Periodositas serta amplitudo kerutan merupakan struktur spesifik yang
dievaluasi paling baik di bawah sinar terang. Kerutan memberikan buffer
yang merupakan perpanjangan longitudinal tipis yang dapat muncul tanpa
kerusakan fibrous, sehingga bekerja sebagai penahan guncangan di
sepanjang jaringan (Maffulli dkk., 2005).
Gambar 2.1 Anatomi Tendon (Hierarchical organization of Collagen
within the tendon, Thorpe (2013))
Elastin
Elastin merupakan protein matriks ekstraseluler yang
merupakan substansi penting dalam elastisitas tendon. Protein ini
tidak mengandung banyak hidroksiprolin atau lisin, tetapi kaya akan
glisin dan prolin. Elastin memiliki banyak valine dan mengandung
desmosin dan isodesmosin, yang membentuk crosslink antara
polipeptida tetapi tidak hidroksilisin. Elastin tidak membentuk heliks
dan sifatnya hidrofobia. Panjang elasin biasanya kurang dari 1 mm,
tidak memiliki periodisitas dan memerlukan pewarnaan spesial.
Sangat kecil elastin ditemukan pada penyembuhan luka (Mithieux,
Weiss, 2005).
Sel
Tenosit dan tenoblas terdapat di antara serat – serat kolagen
sepanjang axis panjang tendon. Tenosit pipih dan runcing, berbentuk
spindle longitudinal. Tenosit tersusun dengan baik pada deretan di
antara fibril kolagen. Tenosit dan tenoblast membentuk jaringan tiga
dimensi memanjang melewati matriks ekstraselular. Tenoblast
berbentuk spindel atau sel bintang dengan nukleus yang panjang,
meruncing dan pipih. Tenoblast merupakan sel tendon imatur
11
berbentuk spindel yang mengandung banyak organel sehingga
mencerminkan aktivitas metabolik yang tinggi. Tenosit dan
Tenoblast membentuk 90 sampai 95% elemen seluler tendon,
sedangkan elemen lainnya mengandung kondrosit, sel sinovial dan
sel endotel (Bauge dkk, 2015).
2.1.1.2 Vaskularisasi
Tendon menerima suplai darah dari 3 sumber yaitu sistem intrinsik
pada myotendinous junction, osteotendinous junction dan sistem ekstrinsik
melalui paratenon atau pembungkus sinovial (Sharma P, 2005; Mafulli N,
2005; James et al, 2008;). Rasio suplai darah dari sitem intrinsik dan
ekstrinsik bervariasi dari tendon ke tendon. Pada tendon yang berselimut,
cabang dari pembuluh darah utama melewati vincula (mesotenon) untuk
mencapai lembar visceral pembungkus sinovial dimana mereka
membentuk plexus yang mensuplai bagian supervisial dari tendon.
Sementara beberapa pembuluh darah dari vincula menembus epitenon dan
mengalir dalam septa endotenon dan membentuk hubungan antara jaringan
vaskuler peritendinous dan intratendinous. Pada tendon yang tak
berselimut, paratenon menyediakan komponen vaskulatur ekstrinsik.
Pembuluh darah yang masuk mengalir secara transversal dan bercabang
berkali – kali membentuk jaringan vaskuler kompleks. Cabang arterial dari
paratenon menembus epitenon untuk mengalir ke dalam septa endotenon
dimana jaringan vaskuler intratendinous membentuk anastomosis. Pada
zona persimpangan, bagian lipatan, gesekan atau tekanan, vaskularisasi
tendon berkurang (Sharma P, 2005; Mafulli N, 2005).
Gambar 2.2 Pola vaskularisasi tendon dan susunan pembuluh darah di
epitenon dengan cross-anastomosis (Fenwick et al, 2002)
2.1.1.3 Persarafan
Inervasi tendon berasal dari kulit, otot, dan badan saraf
peritendinous. Pada myotendinous junction, serat saraf menyeberangi dan
masuk ke septa endotenon. Serat saraf membentuk pleksus di dalam
paratenon dan cabang – cabangnya menembus epitenon. Sebagian besar
serat saraf tidak masuk ke badan utama tendon, tetapi berakhir sebagai
ujung saraf pada permukaannya.
Ujung saraf (nerve endings) dari serat saraf yang berselubung
myelin berfungsi sebagai mekanoreseptor spesial untuk mendeteksi
12
perubahan – perubahan dalam tekanan. Mekanoreseptor ini merupakan
organ tendon Golgi yang paling banyak ada pada daerah insersi tendon ke
otot. Sedangkan pada ujung serat saraf tanpa myelin berfungsi sebagai
nosiseptor yang merasakan dan mentransmisi rasa sakit. Kedua saraf
simpatik dan parasimpatik ada pada tendon (Sharma P, 2005; Mafulli N,
2005). Terdapat 4 tipe reseptor. Resptor tipe I disebut Ruffini corpuscles,
merupakan reseptor tekanan yang sangat sensitif pada regangan dan
beradaptasi dengan sangat lambat. Ruffini corpuscle berbentuk oval dan
berdiameter 200 m sampai 400 m. Reseptor tipe II, Vater-Pacini
corpuscles diaktivasi oleh gerakan. Reseptor tipe III, Golgi tendon organ
merupakan mekanoreseptor. Reseptor tersebut tersusun dari ujung saraf
tidak bermyelin yang diselubungi oleh jaringan endoneural. Reseptor
tersebut tersusun dengan fiber ekstrafusal dan terjadi peningkatan dalam
tegangan otot daripada panjang. Golgi tendon organ berdiameter 100 m
dan panjang 500 m. Fiber tendon ini kurang padat dibandingkan dengan
tendon lainnya. Jaringan endoneural menyelubungi fiber saraf tidak
bermyelin. Korpuskel merespon stimulus yang dialirkan oleh jaringan
sekitar seperti contoh tekanan, yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Jumlah
tekanan tergantung dari kekuatan kontraksi. Tekanan tersebut juga dapat
memberikan aliran balik yang disesuaikan. Reseptor tipe IV merupakan
ujung saraf bebas yang bertindak sebagai reseptor nyeri (Mafulli N, 2005).
2.1.1.4 Kekuatan Tendon
Tendon dapat mentransmisikan kekuatan antara otot dengan tulang
serta memiliki sifat elastik deformasi. Komponen material tendon memiliki
kemampuan menyimpan energi potensial, mencegah kerusakan akibat
cedera, dan membantu kekuatan regangan otot (Maffulli, 2005; Matson dkk,
2014). Pada saat berjalan dan berlari, sifat peregangan tendon membantu
meningkatkan ekonomi lokomotor melalui penekanan kerja otot dan
membantu otot bekerja pada panjang dan kecepatan optimal untuk
memproduksi kekuatan gerak (Matson dkk, 2014)
Gambar 2.3 Kurva Stress –Strain Tendon terhadap Cedera
Tendon (Tendon Healing Mechanobiology, Funk
L., 2007)
Komponen mekanik tendon dapat berupa komponen deformasi, stiffness,
strain dan modulus of elasticity. Deformasi merupakan perubahan terhadap
bentuk jaringan ketika diberikan kekuatan. Deformasi ini dapat berupa
elastik deformasi yang reversibel dan plastik deformasi yang ireveribel.
Sedangkan viskoelastik deformasi adalah kombinasi antara elastik deformasi
dengan sifat viscous jaringan. Stiffness merupakan resistensi jaringan
terhadap elastik deformasi, sedangkan strain adalah deformasi jaringan
akibat kekuatan eksternal yang menyebabkan elongasi tendon. Modulus of
elasticity (Young’Modulus) adalah nilai mekanik yang menggambarkan
hubungan antara stress dan deformasi pada material elastik.
Kolagen merupakan komponen yang bertanggung jawab untuk fungsi
mekanik ini, dimana memiliki struktur serat paralel yang kuat atau
crosslinks ideal untuk bantalan ketegangan. Sifat mekanis tendon
13
diungkapkan oleh analisis dari kurva tegangan-regangan di bawah ini
(Matson dkk, 2000) :
Gambar 2.4 Pengukuran Stress –Strain Curve Respon Tendon
terhadap Tes Mekanik (Tendon Material Properties
(2005))
Kurva ini kurva ini menunjukkan pengukuran strain pada tendon dengan
kontrol isovelocity lengthening 1 mm s-1. Modulus elastik kontinyu
kemudian diukur sebagai turunan stress over strain. Modulus elastik
maksimum dilihat dari puncak kurva modulus elastik kontinyu.
Luas total di bawah tegangan-regangan kurva adalah total energi yang
diserap dalam test. Modulus Young dari tendon manusia adalah 2000 Mpa,
dengan kekuatan ultimate mulai 50-150 MPa (Matson dkk., 2014).
Analisis linier sederhana mekanika tendon menyebutkan pentingnya
viscoelasticity. Dua utama parameter viscoelasticity adalah creep dan stres
relaksasi. Creep adalah perpanjangan tergantung waktu jaringan di bawah
beban konstan ditandai oleh perpanjangan besar awal diikuti oleh
perpanjangan secara bertahap lebih kecil. Stres relaksasi adalah penurunan
seiring beban diperlihatkan sebagai jaringan dengan perpanjangan tetap.
(Matson dkk, 2014).
2.1.1.5 Fisiologi dan Biomekanika Tendon
Tendon mentransmisi kekuatan dari otot ke tulang dan berlaku
sebagai buffer dengan cara menyerap kekuatan dari luar untuk mengurangi
kerusakan otot. Tendon memiliki kekuatan mekanik yang tinggi,
fleksibilitas yang tinggi serta tingkat elastisitas yang optimal untuk
melakukan peran uniknya. Tendon merupakan jaringan viskoelastik yang
14
menunjukkan kemampuan relaksasi stress. Perilaku mekanik kolagen
tergantung pada jumlah dan tipe ikatan intramolekul dan intermolekul. Pada
saat istirahat, serat – serat kolagen dan fibril menunjukkan pengkerutan.
Pada tegangan di atas 2%, serat ini menunjukkan pemipihan dan apabila
point ini terlampaui maka serat ini akan berubah secara linier sebagai akibat
pergeseran intramolekul triple heliks kolagen. Apabila tegangan tetap <4%,
tendon akan menjadi elastik dan akan kembali ke panjang semula saat
tegangan hilang. Tegangan antara 8 – 10% terjadi elongasi fibril kolagen
dan akan ruptur bila tegangan terus bertambah (Sharma P, 2005; Mafulli N,
2005; James et al, 2008). Kekuatan tensile tendon berhubungan dengan
ketebalan dan komponen kolagennya. Sebuah tendon dengan area 1 cm2
dapat menahan beban 500 – 1000 kg. Saat aktivitas seperti melompat dan
angkat berat, tendon mendapat beban yang sangat tinggi. Tendon akan
berada pada risiko ruptur yang tinggi apabila tegangan berlangsung cepat,
oblik, serta dengan kontraksi otot yang kekuatannya sangat tinggi.
2.1.2 Tendon Achilles Manusia
Tendon Achilles merupakan struktur tendon terbesar dan terkuat
dalam tubuh. Secara anatomis merupakan konfluensi distal otot
gastrocnemius dan soleus serta plantaris longus. Saat aktivitas, tendon
Achilles dan menahan beban sampai dengan 3500 N sehingga walaupun
kuat tetapi rentan terhadap cedera (Freedman et al, 2014). Tendon Achilles
terdiri dari 90% kolagen tipe I yang dapat membentuk struktur fibril, fiber
dan fasiculus yang disatukan dalam molekul matriks proteoglycan (PGA).
Disamping itu juga mengandung elastin sebanyak 2% dari massa kering
tendon.
Saat cedera, komponen tendon akan mengalami perubahan sel dan
matriks ekstraselulernya. Pada daerah cedera akan terjadi inflamasi
kemudian diikuti dengan penurunan jumlah kolagen. Sel tenosit kemudian
akan menurun jumlahnya serta ekspresi scleraxis (marker tenosit) yang
berkurang akibat adanya apoptosis. Proses ini kemudian dapat berlanjut
dengan meningkatnya ekspresi MMPs, decorin dan ADAMs yang
mengindikasikan mulainya proses remodeling. Namun, akibat cedera
komplit tendon Achilles komponen kolagen dan kekuatan tensile tendon
akan menurun sehingga secara biologis menurunkan kualitas tendon
dibandingkan dengan sebelum cedera (Maffulli, 2005; Freedman dkk,
2014).
Gambar 2.5 Anatomi Tendon Achilles serta komponen fibrilnya
(Friedmann et al, 2013)
2.1.3 Tendon Kelinci
Dengan bertambahnya umur, jaringan tendon kelinci mengalami
beberapa tahap perubahan morfologis dan biokimia termasuk baik sel dan
15
matriks ekstraselular. Ekstraselular matriks meningkat dalam volume
menyebabkan penurunan relatif dari jumlah sel perunit dari permukaan
jaringan (Chen dkk., 2002).
Semakin bertambahnya umur, fiber kolagen meningkat dalam
diameter dan lebih bervariasi dalam ketebalan. Perubahan morfologis ini
berhubungan dengan perubahan biokimia yang mana termasuk peningkatan
kolagen, penurunan dari mukopolisakarida dan penurunan isi air. Selama
penuaan, perubahan yang seiring muncul pada fiber elastis, yang mana
menurun dalam jumlah dan terlihat perubahan struktural (Hatano dkk.,
2000).
2.1.3.1 Kekuatam Tensile Tendon Achilles Kelinci
Tendon achilles kelinci terdiri jaringan ikat padat yang tersusun
paralel yang memiliki komponen mekanik tensile yang kuat. Kekuatan
tensile tendon achilles kelinci telah lama diinvestigasi oleh para peneliti.
Menurut Viidik (2009), kekuatan tensile normal tendon Achilles kelinci
adalah sebesar 50 – 100 N/mm2. Komponen mekanik tendon ini diukur
dengan mengisolasi tendon tersebut yang kemudian ditarik menggunakan
alat khusus dan diukur kekuatannya dengan oscilloscope. Tendon achilles
perlu diisolasi dari sistemnya yaitu calcaneus-achilles tendon-otot
gastrocnemius-femur.
Gambar 2.6. Skema mekanis pengukuran kekuatan tensile tendon
Achilles kelinci (Viidik, 2009)
Hal ini dilakukan karena achilles tendon pada kelinci berinsersio
ke bagian kecil dari dorsoplantar calcaneus, dan bentuk dari calcaneus pada
kelinci lebih panjang dan sempit serta memiliki lapisan korteks tulang yang
tipis dibandingkan dengan manusia. Hal ini menyebabkan tendon achilles
memiliki titik paling lemah pada insersinya di calcaneus (sampai 5 cm
proximal calcaneus) (Viidik, 2009).
Hasil pemeriksaan dengan oscilloscope memberikan gambaran kurve
seperti pada gambar berikut:
Gambar 2.7 Skema fotografi Oscilloscope kekuatan tensile
tendon Achilles kelinci (Viidik, 2009)
Gambar di atas menunjukkan adanya elongasi kurve mulai dari pembebanan
50 N dan area yang diarsir pada gambar tersebut menunjukkan failure
16
energy dari tendon yang diukur sebagai area antara elongasi kurva dengan
axis deformasi dari titik pembebanan awal sampai pembebanan maksimal.
2.2 Cedera Tendon
Cedera tendon dapat terjadi akut atau kronis akibat faktor intrinsic
atau ekstrinsik. Pada trauma akut, faktor ekstrinsik yang lebih dominan
sedangkan pada trauma kronis faktor instrinsik memiliki peranan penting
(Sharma P; Mafulli N, 2005). Cedera pada tendon dapat terjadi tiba-tiba
akibat trauma seperti kecelakaan kerja, kecelakaan lalu-lintas ataupun saat
berolahraga. Gejala yang dapat timbul akibat cedera pada tendon antara lain
nyeri, kekakuan, dan kehilangan kekuatan di daerah yang terkena (Watson,
2012). Sebagian besar cedera tendon adalah akibat proses yang bertahap
akibat aktivitas yang berlebih atau akibat dari proses penuaan.
Pada rupture tendon Achilles, lebih dari 90% diakibatkan oleh
mekanisme akselerasi/deselerasi yang dapat mengakibatkan penurunan
kualitas tendon dan kekuatan tensilenya.
2.3 Mekanisme Penyembuhan Tendon
Penyembuhan tendon dapat terjadi secara intrinsik melalui
proliferasi tenosit epitenon dan endotenon atau secara ekstrinsik melalui
invasi sel dari pembungkus (sheath) dan sinovium di sekitarnya (Sharma P.,
2005). Tenoblast epitenon menginisiasi proses repair melalui proliferasi
dan migrasi. Fibroblast dalam epitenon dan tenosit kemudian mensintesis
kolagen yang kemudian diikuti oleh sintesis melalui endotenon. Sel
fibroblast dan tenosit dalam epi dan endotenon memproduksi kolagen dan
glikosaminoglikan lebih banyak dibandingkan tendon sheath, tetapi sel
dalam tendon sheath berploriferasi lebih cepat dibandingkan sel dalam
epitenon dan endotenon. Proses penyembuhan intrinsik menghasilkan
biomekanik lebih baik karena mekanisme gliding yang masih baik, serta
komplikasi lebih sedikit. Sedangkan pada penyembuhan secara ekstrinsik
dapat memicu pembentukan jaringan parut lebih banyak dan adhesi yang
dapat mengganggu mekanisme gliding.
Tiga tahap penyembuhan tendon antara lain inflamasi, proliferasi
dan remodelling di mana setiap fase dapat terjadi overlap antara satu dengan
yang lainnya. Pada tahap inflamasi, banyak hormon maupun molekul yang
ikut berperan. Fase ini dapat berlangsung sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera yang terjadi pada tendon dapat memicu pelepasan mediator
inflamasi seperti TNF-alpha, IL-1ß, IL-6 dan IL-10 serta terbentuknya
radikal bebas seperi hidrogen peroxide yang ditandai dengan munculnya
keluhan nyeri, pembengkakan, kemerahan dan peningkatan suhu lokal
cedera. Sel inflamasi seperti neutrofil dibawa menuju lokasi cedera bersama
dengan eritrosit untuk membentuk bekuan darah di tempat cedera.
Akumulasi eksudat, oedema dan anoxia yang terjadi akan memicu hipoksia
jaringan dan pelepasan radikal bebas seperti hydrogen peroksida sehingga
terjadi kerusakan dan kematian sel. Monosit dan macrophage kemudian
akan muncul dalam 24 jam pertama, mengubah bekuan darah menjadi
jaringan granulasi dan memfagosit materi nekrotik pada lokasi cedera
(Frank, 2000; Woo dkk, 2000; Sharma P., 2005; Maffulli, 2005).
Setelah fase inflamasi berupa pelepasan faktor vasoaktif dan
kemotaktik, fase proliferasi dimulai dan berlangsung 48 jam sampai lebih
17
dari 6 minggu. Pada fase ini terjadi angiogenesis dan proliferasi dari
tenocyte dan fibroblast. Sel tenocyte dan fibroblast ini bergerak menuju
lokasi dan mulai mengekskresikan matriks ekstraseluler dan mensintesis
kolagen III berupa serat kolagen imatur yang terususun paralel dan kontinyu
yang mengganti jaringan granulasi. Pada ruptur tendon, terjadi infiltrasi
dramatis fibroblast dan tenocyte sehingga terjadi reorganisasi ekstensif
kolagen yang terbentuk. Enzim metalloproteinase akan teraktivasi, dan
ekspresi PGE2 meningkat sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen
yang terbentuk. Hal ini menyebabkan komponen biomekanik yang
diperlukan untuk kekuatan tendon akan menurun dan risiko terjadinya
cedera kembali juga meningkat (Woo dkk, 2000; Sharma P., 2005;Maffulli,
2005;Bauge dkk, 2014). Degradasi kolagen ditandai dengan proporsi
kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek
inhibisi PGE2 terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA
kolagen tipe III (Bauge dkk, 2015). Matrix ekstraseluler dari tendon yang
menyembuh ini mengalami beberapa perubahan pada glicosaminoglikan,
elastin, dekorin, fibromodulin dan glikoprotein lainnya. Terjadi perubahan
distribusi tipe serat kolagen yaitu jumlah kolagen tipe III yang lebih banyak
dibandingkan dengan tendon normal dengan rasio Tipe III/Tipe I yang
tinggi (Woo, 2000;Pingel dkk., 2014). Dibandingkan dengan tendon normal,
scar-like tendon ini memiliki susunan kolagen yang tidak terorganisir,
fibrotik, terdapat defek, kolagen fibrilnya kecil (rasio fibril kolagen diameter
kecil/diameter besar meningkat), kebanyakan cross-linknya imatur, rasio
protein kolagen III/I yang tinggi, buckling fasikulus kolagen dalam ECM,
kadar proteoglikan yang banyak, metabolisme sel yang tinggi serta
peningkatan densitas sel dan vaskularisasi (Frank, 2000;Pingel dkk., 2014).
Tendon yang terbentuk akan lebih fibrotik, stiff, memiliki modulus yang
lebih rendah serta distribusi load bearing yang tidak merata (Sharma P.,
2005;Chamberlain dkk., 2009;Mizuta dkk, 2014). Hal ini menyebabkan
penurunan kekuatan komponen mekanik tendon sampai 56,7% dari normal
dalam 1 tahun sehingga sangat rentan terhadap ruptur kembali (Sharma P;
Maffulli N; 2005).
Setelah 6 minggu, fase remodeling dimulai. Bagian pertama dari
remodeling adalah konsolidasi, yang berjalan selama 6 sampai 10 minggu
setelah injuri. Selama waktu ini, sintesis dari kolagen dan GAG menurun,
dan selularitas juga menurun seiring dengan jaringan menjadi lebih fibrous
akibat dari meningkatnya produksi kolagen I dan fibril menjadi tersusun
sesuai arah stress mekanik. Fase maturasi akhir muncul setelah 10 minggu
dan selama masa ini terdapat peningkatan daripada crosslinking fibril
kolagen yang menyebabkan jaringan menjadi lebih keras. Secara bertahap,
selama waktu 1 tahun, jaringan akan berubah menjadi scar-like (Woo dkk.,
2000;Sharma P., 2005; Maffulli, 2005). Namun, penelitian jangka panjang
pada hewan menunjukkan bahwa histologi dan morfologi tendon yang
menyembuh setelah cedera komplit tendon dibandingkan dengan normal
sangat berbeda. Komponen fibrilnya lebih banyak, cross-link yang
kebanyakan masih imatur dan memiliki komponen hydroxylallisine yang
tinggi, massa dan diameternya lebih kecil serta pola crimping yang tetap
abnormal setelah 2 tahun (Woo, 2000; Maffulli, 2005). Hal ini
menyebabkan komponen biomekanik tendon tetap inferior setelah cedera
grade III.
18
Matrix metalloproteinase atau MMP memiliki peran penting dalam
degradasi dan remodeling dari matriks eksraseluler selama proses
penyembuhan cedera tendon. Beberapa MMP termasuk MMP-1, MMP-2,
MMP-8, MMP-13 dan MMP-14 memiliki aktivitas kolagenase, yang artinya
tidak seperti kebanyakan enzim yang lainnya, mereka mampu mendegradasi
fibril kolagen I. Degradasi dari fibril kolagen oleh MMP-1 bersama dengan
adanya kolagen terdenaturasi adalah faktor yang dipercaya menyebabkan
kelemahan dari matriks ekstraseluler tendon dan peningkatan dari potensi
munculnya robekan lainnya. Pada respon terhadap pembebanan atau cedera
yang berulang, sitokin IL-1 yang dilepaskan dapat menginduksi pelepasan
MMP yang dapat menurunkan ekspresi kolagen tipe I dan meningkatkan
ekspresi kolagen tipe III (Bauge dkk, 2014). Hal ini dapat menyebabkan
degradasi dari matriks ekstraseluler yang pada akhirnya menuju timbulnya
cedera berulang (Maffulli, 2005;Chamberlain dkk., 2009)
Terdapat berbagai macam molekul yang terlibat dengan regenerasi
tendon. Lima faktor pertumbuhan yang terlihat secara signifikan teregulasi
dan aktif selama penyembuhan tendon, antara lain insulin-like growth factor
1 (IGF-I), platelet-derived growth factor (PDGF), vascular endothelial
growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), dan
transforming growth factor beta (TGF-β) (Leask A., Abraham D., 2004;
Mizuta dkk, 2014). Faktor pertumbuhan ini memiliki peran yang berbeda
selama proses penyembuhan. IGF-1 meningkatkan produksi kolagen dan
proteoglikan selama fase pertama inflamasi, dan PDGF juga terlihat pada
fase awal setelah cedera dan mencetuskan sintesis dari faktor pertumbuhan
lainnya bersama dengan sintesis DNA dan proliferasi dari fibroblast. Tiga
isoform dari TGF-β (TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3) dikenal memiliki peran
dalam penyembuhan luka dan pembentukan jaringan parut, diferensiasi
jaringan tendon serta mencetuskan fibrogenesis. bFGF dan VEGF juga
dikenal dapat menginduksi angiogenesis, proliferasi dan migrasi sel
endothelial, pembentukan jaringan parut serta terekspresi pada lokasi cedera
bersama dengan ekspresi mRNA kolagen tipe I dan III (Hildebrand dkk.,
2005; Sharma P., 2005;Mizuta dkk, 2014).
Pada proses penyembuhan tendon, terjadi perubahan dalam tipe dan
distribusi jaringan kolagen yang terbentuk. Terdapat peningkatan rasio
kolagen tipe III/tipe I dimana terjadi peningkatan sintesis kolagen tipe III
dibandingkan dengan tipe I. Kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak
dan lebih tipis dibandingkan dengan tipe I serta cross-link serat kolagen
yang terbentuk hanya 45% dan kebanyakan imatur (Woo, 2000; Bauge dkk,
2015). Menurut Maffulli (2005) dan Bauge et al (2014), sintesis kolagen
tipe I pada tendon yang mengalami cedera grade III akan mengalami
penurunan dan diganti dengan peningkatan sintesis kolagen tipe III seiring
dengan ekspansi jaringan granulasi dan proses remodeling sehingga rasio
kolagen tipe III/tipe I meningkat dan terjadi substitusi kolagen ke arah
pembentukan jaringan parut dan fibrosis. Pembentukan jaringan parut pada
tendon dapat menimbulkan adhesi dan penurunan kekuatan tensile sampai
dengan 20% (Woo, 2000;Maffulli, 2005;Romani, 2010).
Dalam fase penyembuhan tendon banyak molekul yang ikut
berperan. Cedera yang terjadi pada tendon dapat memicu terbentuknya
radikal bebas seperi hidrogen peroxida dan pelepasan mediator inflamasi
seperti TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10. Radikal bebas yang terbentuk dapat
19
mengaktivasi enzim metalloproteinase, dan meningkatkan ekspresi PGE2
sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen tendon yang terbentuk.
Proses inflamasi ini juga dapat memicu pelepasan growth factor seperti
TGF-1 yang dapat menginduksi infiltrasi dramatis tenosit dan fibroblast
sehingga terjadi reorganisasi ekstensif kolagen. Proporsi kolagen tipe III
yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek inhibisi PGE2
terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA kolagen tipe III
(Bauge dkk, 2015).
Tendon yang tersusun atas matrix terdegradasi dengan proporsi
kolagen dominan tipe III ini akan lebih fibrotik dan memiliki kualitas serta
komponen mekanik yang lebih rendah dibandingkan dengan yang normal
sehingga kekuatan tensilenya menurun (Woo, 2000; Annemarie dkk, 2005;
Maffulli, 2005;Romani, 2010; Bauge dkk, 2014).
Sel fibroblast tendon akan membentuk komponen kolagen matriks
ekstraseluler yang tidak terorganisir berupa peningkatan proliferasi dari
kolagen tipe III serta cross-link serat kolagen matur yang rendah sehingga
tendon yang terbentuk akan lebih fibrotik, stiff, memiliki modulus yang
lebih rendah serta distribusi load bearing yang tidak merata (Chamberlain
dkk, 2009; Mizuta dkk, 2014).
2.4 Astaxanthin
Astaxanthin merupakan kolagen golongan xantophyll carotenoid yang
ditemukan pada berbagai spesies mikroorganisme dan binatang dari laut.
Merupakan suatu pigmen yang larut dalam lemak yang tidak memiliki aktivitas
pro-vitamin A dalam tubuh manusia. Haematococcus pluvialis merupakan
microalga hijau yang memiliki kadar astaxanthin paling tinggi. Astaxanthin
sendiri diekstraksi dan dipergunakan sebagai suplemen mencegah dan mengurangi
risiko terjadinya beberapa penyakit
2.4.1. Sumber Astaxanthin
Sumber alami astaxanthin adalah alga, salmon, udang dan lainnya.
Astaxanthin komersial kebanyakan berasal dari haematococcus pluvialis dan
sintesis kimia. Haematococcus pluvialis merupakan salah satu sumber alami
terbaik astaxanthin dengan berat kering sekitar 3.8% dibandingkan sumber alami
lainnya.
2.4.2. Struktur dan Biokimia Astaxanthin
Astaxanthin merupakan golongan xantophyll karena secara biokimia
mengandung atom karbon, hidrogen dan oksigen. Astaxanthin terdiri dari dua
cincin terminal yang digabung dengan rantai polyene.
20
Gambar 2.8 Sumber Astaxanthin dan Persentase berat keringnya
(Ambati al, 2014)
Gambar 2.9 Gambar struktur rantai Astaxanthin (Ambati al, 2014;
Yamasihita, dkk 2013).
Astaxanthin mengandung dua ikatan grup hidroxil dan keto yang keduanya
bersifat lipofilik dan hidrofilik. Warna merah yang muncul merupakan akibat dari
konjugasi dari dua ikatan tersebut. Ikatan konjugasi ini berfungsi sebagai
antioxidan kuat dengan jalan menyumbangkan elektron dan bereaksi dengan
radikal bebas untuk kemudian dikonversi menjadi produk yang stabil dan
menterminasi reaksi rantai radikal bebas (Ambati dkk, 2014; Yamasihita, dkk
2013
Gambar 2.10 Gambar struktural dan biokimia Astaxanthin (Ambati al,
2014; Yamasihita, dkk 2013)
21
2.4.3 Biovailabilitas dan farmakokinetik Astaxanthin
Astaxanthin bersifat larut lemak sehingga bila dikonsumsi bersama dietary oils
akan meningkatkan absorpsinya. Astaxanthin dapat membantu meningkatkan
respon imun dan menurunkan risiko infeksi dan penyakit vaskuler. Setelah
pemberian astaxanthin, terjadi penurunan aktivitas proliferasi limfosit T dan B
yang diikuti dengan penurunan level O2, H2O2 dan produksi NO, meningkatkan
enzim superoxide dismutase, katalase dan gluthation peroxidase (GPx) dan
pelepasan kalsium di dalam sitosol (Ambati, 2014). Carotenoid ini merupakan
yang terbaik dalam melindungi sel, lipid dan membran lipoprotein dari kerusakan
oksidatif. Karotenoid diabsorpsi ke dalam tubuh seperti lemak dan ditransportasi
melalui sistem limfatik ke dalam hati.
2.4.4. Aktivitas Biologis Astaxanthin terhadap Kesehatan
2.4.4.1. Efek Antioksidan Antioksidan merupakan molekul yang dapat menghambat proses oksidasi.
Kerusakan oksidatif dapat disebabkan oleh radikal bebas dan spesies oksigen
reaktif (ROS). Molekul oksidatif yang berlebihan akan bereaksi dengan protein,
lipid dan DNA melalui reaksi berantai yang dapat menimbulkan oksidasi protein
dan lipid dan kerusakan DNA.
Molekul oksidatif tipe ini dapat dihambat oleh antioksidan endogen dan
eksogen seperti golongan carotenoid ini. Carotenoid mengandung rantai polyene,
ikatan ganda panjang terkonjugasi yang memiliki aktivitas kolagen dengan jalan
menghilangkan singlet oksigen dan mencari radikal bebas untuk menterminasi
reaksi rantainya.
Astaxanthin memiliki aktivitas antioxidan lebih tinggi 10 kali
dibandingkan dengan carotenoid lainnya seperti lutein, lycopene, alpha-
tocopherol, alpha-caroten dan beta-caroten (Ambati dkk, 2014; Yamasihita, dkk
2013). Rantai polyene pada astaxanthin menahan radikal bebas dalam membran
sel dan bagian cincin terminalnya mencari radikal pada bagian dalam dan luar dari
membran sel. Enzim antioxidan seperti superoxide dismutase dan thioreduxin
reduktase akan meningkat dalam plasma dan aktivitas paraoxonase akan dihambat
setelah suplementasi astaxanthin.
2.4.4.2. Efek anti-inflamasi dan imunomodulator
Astaxanthin merupakan antioxidan poten untuk mengakhiri induksi inflamasi
pada sistem biologis. Astaxanthin bekerja melawan inflamasi, meningkatkan
respon imunitas, meningkatkan aktivitas cAMP, cGMP dan memberikan efek
protektif terhadap stress oksidatif, inflamasi dan apoptosis serta mencegah dan
mengurangi reduksi kolagen pada kulit, tendon dan tendon (Guerin, 2003; Ambati
dkk, 2014; Yamasihita, dkk 2013).
Penelitian oleh Chew, dkk (2003) menyebutkan bahwa astaxanthin dapat
menstimulasi proliferasi limfosit, meningkatkan jumlah total antibodi yang
memproduksi sel B, meningkatkan jumlah sel T, memperkuat aktivitas sitotoksik
sel NK, meningkatkan respon hipersensitivitas tipe lambat, dan juga secara
dramatis menurunkan tingkat kerusakan DNA. Astaxanthin bekerja menekan
mediator inflamasi seperti TNF-, Prostaglandin E-2, IL-1, dan nitric oxide.
22
Gambar 2.11 Mekanisme kerja Astaxanthin pada inflamasi
Astaxanthin dapat mencegah terbentuknya radikal bebas seperi Katalase, SOD
dan hidrogen peroxida dan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti
TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10 sehingga ekspresi PGE2 dapat diturunkan.
2.4.4.3 Efek terhadap Jaringan Kolagen dan Kekuatan Tensile
Pada proses penyembuhan cedera tendon, proporsi sintesis kolagen tipe I
akan ditingkatkan dan ekspresi sintesis kolagen tipe III akan ditekan sehingga
rasio ekspresi mRNA kolagen III/I akan menurun (Bauge dkk, 2015;Mizuta dkk,
2014). Ekspresi growth factor terutama TGF- yang dapat mengaktivasi jalur
fibrotik pada proses penyembuhan cedera tendon grade III juga ditekan sehingga
dapat menekan proses fibrotik oleh fibroblast pada sintesis matriks kolagen.
Proses apoptosis yang terjadi saat inflamasi akibat produksi ROS dan juga IL-1
akan menginisiasi kaskade yang dapat menyebabkan kerusakan kolagen sebagai
komponen tendon serta hilangnya integritas biomekanik strukturalnya (Bauge
dkk, 2014). Astaxanthin dapat membantu menurunkan tingkat apoptosis pada sel
melalui jalur mithokondria seperti yang tergambar pada gambar berikut (Song
dkk, 2014).
Gambar 2.12 Gambar kaskade Astaxanthin pada Radikal Bebas
terhadap apoptosis sel (Song dkk 2014)
23
Pada penyembuhan tendon, astaxanthin mampu membantu mempromosikan
pengaturan ekspresi beberapa gen faktor pertumbuhan (growth factors gene)
seperti IGF-I, TGF-beta, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF. Gen – gen ini dapat
membantu mengatur proliferasi sel dan pembentukan matriks (Yilgor dkk; 2012;
Mizuta dkk, 2014). Astaxanthin membantu menekan ekspresi mRNA pada bFGF
dan TGF- sehingga dapat menekan pembentukan jaringan parut ekstensif
melalui peningkatan biosintesis prokolagen tipe I (Mizuta dkk, 2014). Tendon
dengan komposisi dominan kolagen tipe I dan cross-link dominan matur akan
meningkatkan kekuatan tensile tendon (Woo, 2000; Aro dkk, 2009). Astaxanthin
juga dapat membantu menghambat ekspresi dan kinerja beberapa MMP termasuk
MMP-1, MMP-2, MMP-8, MMP-13 dan MMP-14 yang memiliki aktivitas
kolagenase, sehingga mampu mencegah proses fibrogenesis dan mencegah
terjadinya degradasi fibril kolagen I (Kishimoto dkk, 2010; Song dkk, 2014).
Degradasi dari fibril kolagen oleh MMP-1 bersama dengan adanya kolagen
terdenaturasi dengan jumlah cross-link imatur yang tinggi adalah faktor yang
dipercaya menyebabkan kelemahan dari tendon dan peningkatan dari potensi
munculnya robekan kembali setelah mengalami cedera (Woo, 2000; Maffulli,
2005;Chamberlain dkk, 2009; Akamatsu dkk, 2012;Yilgor dkk; 2012; Mizuta
dkk, 2014).
39
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Tendon yang cedera yang kemudian dilakukan repair dan diberikan
astaxanthin dalam masa penyembuhannya akan terjadi fase inflamasi,
proliferasi dan remodeling. Pada fase inflamasi akan terjadi pembentukan
radikal bebas seperi hidrogen peroxida dan pelepasan mediator inflamasi
seperti TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10. Radikal bebas yang terbentuk dapat
mengaktivasi enzim metalloproteinase, dan meningkatkan ekspresi PGE2
sehingga dapat mendegradasi matriks kolagen yang terbentuk. Proporsi
kolagen tipe III yang terbentuk lebih banyak daripada tipe I akibat efek
inhibisi PGE2 terhadap sintesis kolagen I dan peningkatan ekspresi mRNA
kolagen tipe III (Maffulli, 2005;Chamberlain dkk, 2009; Bauge dkk, 2014).
Pada fase proliferasi terjadi biosintesis kolagen tipe I, kolagen tipe III, provokasi
pelepasan growth factor seperti IGF-I, TGF-, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF,
sedangkan pada fase remodeling akan terjadi aktivasi enzim metalloproteinase
oleh enzim radikal bebas (Katalase dan SOD) yang dapat mendegradasi matriks
kolagen. Astaxanthin dalam masa penyembuhan selain mencegah atau
menetralisir ROS yang terbentuk, ia juga akan membantu menurunkan ekspresi
MMP, PGE2 serta membantu menekan ekspresi growth factor yang bersifat
profibrotik seperti IGF-I, TGF-, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF. Sehingga
proliferasi fibroblast yang ekstensif dan sintesis matriks ekstraseluler dengan rasio
kolagen tipe III/tipe I dapat ditekan. Hal ini secara signifikan dapat membantu
meningkatkan komponen biomekanik tendon setelah cedera.
40
Gambar 3.1 Skema kerangka berpikir
3.2 Konsep
Gam
bar
3.2
Kons
ep Penelitian
Keterangan :
: Variabel Bebas : Variabel Tergantung : Variabel Kendali
A
s
t
a
x
a
n
t
h
i
n
Kesembuhan Tendon
Kesembuhan Tendon
Rasio serat kolagen tipe III/tipe I
Kekuatan tensile tendon
Rasio serat kolagen tipe III/tipe I
Kekuatan tensile tendon
CEDERA PADA TENDON
PELEPASAN MEDIATOR
INFLAMASI
(IL-1, IL-6, IL-10, TNF-α)
Rasio Kolagen
Tipe III/tipe I
Neovaskularisasi, proliferasi
ekstensif fibroblast, sintesis
matriks dan migrasi sel
Aktivasi COX-2
Pembentukan PGE2
Provokasi pelepasan Growth
Factors pro fibrotik (IGF-I, TGF-
, VEGF, bFGF, EGF dan PDGF)
Tensile Strength
INFLA
MA
SI
PR
OLIFER
ASI R
EMO
DELIN
G
PELEPASAN NO dan ROS
HIDROGEN PEROXIDA
Ekspresi mRNA
Kolagen Tipe III
Ekspresi mRNA
Kolagen Tipe I
MMPs
Apoptosis
Degradasi Kolagen
ASTAXANTHIN
41
3.3 Hipotesis Penelitian
Dari kerangka konsep tersebut dibuat suatu hipotesis penelitian yaitu:
1. Rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan cedera tendon
Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih rendah daripada
yang tidak diberikan Astaxanthin
2. Kekuatan tensile pada kesembuhan cedera tendon Achilles kelinci
yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi daripada yang tidak diberikan
Astaxanthin.
43
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan
menggunakan rancangan post-test only control group design dengan subjek
kelinci (Regehr, 2002). Dari populasi subjek penelitian tersebut dilakukan
pengambilan sampel yang memenuhi persyaratan inklusi penelitian secara
random di mana kelompok kontrol tidak diberikan astaxanthin pada tendon
Achilles yang telah diputus secara tajam dan dijahit sedangkan pada
kelompok perlakuan diberikan astaxanthin pada tendon Achilles yang telah
diputus secara tajam dan dijahit
Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai
berikut :
P0 O1
P S R
P1 O2
Gambar 4.1 Rancangan penelitianKeterangan:
P : Populasi Kelinci
S : Sampel
R : Randomisasi sampel
P0 : Kelompok kontrol dimana tendon Achilles dipotong
secara tajam dan dijahit tanpa diberikan astaxanthin
P1 : Kelompok perlakuan dimana tendon achilles tendon
Achilles dipotong secara tajam dan dijahit kemudian diberikan
astaxanthin
O1 : rasio serat kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tensile
tendon Achilles yang telah dijahit pada kelompok kontrol pada
minggu ke 3
O2 : rasio serat kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan tensile
tendon Achilles yang telah dijahit yang telah dijahit pada kelompok
perlakuan pada minggu ke 3
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
44
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Patologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar – Bali pada
bulan November 2015 sampai dengan selesai. Hewan coba dirawat dan
dipelihara selama 3 minggu. Pemeriksaan jaringan dilakukan di
Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana Denpasar – Bali. Pemeriksaan kekuatan tarik tendon dilakukan di
Sentra Teknologi Polimer Tangerang - Banten.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Variabilitas populasi
Populasi pada penelitian adalah kelinci yang sesuai dengan sampel
yang telah ditentukan dalam penelitian
4.3.2 Kriteria subjek
Sampel dalam penelitian ini adalah kelinci dewasa, yang memenuhi
kriteria inklusi dan kriteria drop out sebagai berikut:
Kriteria Inklusi :
a) Kelinci Ras New Zealand
b) Kelinci sehat menurut dokter hewan
c) Kelinci dengan jenis kelamin Jantan
d) Kelinci berumur 3 – 5 bulan.
e) Berat Kelinci 1,5 – 2 Kg.
Kriteria Drop Out : Kelinci mati pada saat penelitian.
4.3.3 Besaran Sampel
Pada penelitian ini perhitungan jumlah sampel dihitung berdasarkan
rumus Federer (Federer, 2008)
(t-1) (n-1) ≥ 15
(2-1) (n-1) ≥ 15
n - 1 ≥ 15
n ≥ 15+1
n ≥ 16
Keterangan
n = Besar Sampel
t = Jumlah Perlakuan
Dari hasil perhitungan rumus di atas, besar sampel minimal yang diperlukan
sebesar 16 sampel dalam satu kelompok. Kemudian untuk mengantisipasi
kemungkinan drop out, sampel ditambahkan 10%, maka jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah:
16 + 16(0,1) = 18,7
Sehingga diperoleh 18 sampel dalam satu kelompok atau total 36 tikus dalam 2
kelompok.
45
4.3.4 Teknik penentuan sampel
Teknik penentuan sampel penelitian dilakukan dengan cara berikut :
a) Dari populasi kelinci diadakan pemilihan sampel berdasarkan kriteria
inklusi.
b) Dari jumlah sampel yang telah memenuhi syarat diambil secara
random (simple random sampling) untuk mendapatkan jumlah sampel.
c) Dari sampel yang telah dipilih kemudian dibagi menjadi dua kelompok
yaitu Kelompok Kontrol (tanpa pemberian astaxanthin) dan
Kelompok Perlakuan dengan pemberian astaxanthin selama 3 minggu.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi variabel
a) Variabel bebas : Astaxanthin
b) Variabel tergantung : proporsi kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan
tensile
c) Variabel kendali : Strain kelinci, jenis kelamin, umur, berat badan,
lingkungan, nutrisi, perawatan luka.
4.4.2 Definisi Operasional Variabel
1. Astaxanthin adalah suatu jenis kolagen yang berasal dari keluarga
xantofil karotenoid yang diekstraksi dari microalgae Haematococcus
pluvialis dalam kemasan kapsul yang mengandung natural astaxanthin
4 mg (AstaREAL 200 mg) dengan merk dagang “Asthin Force” yang
diberikan dalam dosis 0.106 mg/kgbb/hari
2. Kelompok Kontrol adalah kelompok kelinci yang tidak diberikan
astaxanthin setelah tendon Achilles diputus secara tajam kemudian
dijahit dengan benang nylon 4-0.
3. Kelompok Perlakuan adalah kelompok kelinci yang diberikan
astaxanthin setelah tendon Achilles diputus secara tajam kemudian
dijahit dengan benang nylon 4-0.
4. Rasio kolagen tipe III/tipe I adalah perbandingan jumlah sintesis
kolagen tipe III dengan tipe I yang jumlahnya didapat melalui
pemeriksaan imunohistokimia di Laboratorium PA FKH Unud.
5. Kekuatan tensile tendon adalah kekuatan yang diukur menggunakan
alat Universal Testing Machine TX I Buatan Taiwan dengan kecepatan
100 mm/min dengan arah vertikal dimana tendon ditarik sampai putus
kemudian dihitung besar load yang diberikan dalam satuan Newton.
4.5 Bahan dan Instrumen penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Kassa steril
2. Minor set bedah
3. Mesh steril no 11 dan 15
4. Astaxanthin
5. Benang nylon 4-0 dan 5-0
6. Ketamine
7. Phenobarbital
8. Formalin 10%
9. Plester
10. Plaster of Paris (Gypsona)
46
11. Buku
12. Pensil
Instrumen yang dipergunakan adalah :
1. Kandang kelinci individual
2. Alat fiksasi kelinci
3. Timbangan
4. Penggaris
5. Kamera digital
6. Komputer
4.6 Prosedur penelitian
1. Kelinci diadaptasi selama 1 minggu, dan setiap kelinci akan
menempati satu kandang yang dibuat dari kayu atau bambu dan tetap
dijaga kebersihannya, terlindung dari angin, hujan dan cahaya matahari
langsung, suhu lingkungan sekitar 15 – 20 C.
2. Sebanyak 4 kelinci mati saat adaptasi, sehingga penelitian dilanjutkan
dengan menggunakan jumlah sampel 16 ekor tiap kelompok.
3. Kelinci dibius menggunakan Ketamine 44-50 mg/kg bb dan Xylazine
5 mg/kgBB secara Intramuskular.
4. Rambut di sekitar tempat pemotongan tendon achilles dicukur lalu
diberikan antiseptik.
5. Dilakukan insisi kulit longitudinal sepanjang 4 cm di atas Tendon
Achilles menggunakan mesh no 15.
6. Dilakukan pemisahan jaringan sehingga terlihat Tendon Achilles.
7. Kemudian dilakukan pemutusan Tendon Achilles secara tajam
menggunakan mesh no 11.
8. Tendon Achilles yang telah diputus dilakukan penjahitan secara primer
menggunakan benang non absorbable nylon (monofilamen 4-0)
dengan tehnik 4 strand modified kessler.
9. Kemudian kulit dijahit secara interrupted dengan benang nylon 5-0.
10. Setelah itu, kaki kelinci difiksasi menggunakan Cast dari Plaster of
Paris (Gypsona).
11. Untuk kelompok perlakuan, kelinci yang Tendon Achillesnya telah
dijahit kemudian diberikan sediaan asthaxanthin secara ad libitum
12. Untuk kelompok kontrol, kelinci yang Tendon Achillesnya telah
dijahit kemudian tidak diberikan asthaxanthin.
13. Hewan coba dipelihara di tempat pemeliharaan hewan dengan
perlakuan sesuai dengan etika perlakuan terhadap hewan coba.
Pemberian makanan konsentrat sebanyak 75 – 100 gr per hari
yang mengandung protein yang dibutuhkan 16 – 20 %, lemak 5 –
10%, pati 40 – 50%, serat kasar 10 – 20% dan abu 5% ditambah
dengan vitamin, mineral dan pemberian minum secara ad libitum.
Jika kelinci sakit segera dikonsultasikan dengan dokter hewan.
14. Setelah minggu ke tiga hewan coba dikorbankan dengan memberikan
suntikan Phenobarbital (100 mg/kg IV) lalu diambil jaringan tendon
Achilles beserta dengan tulang Calcaneus pada luka sejajar dengan
ujung pertemuan stump secara en-block dari bawah kulit.
15. Organ yang tidak digunakan dalam penelitian akan dikubur.
47
16. Jaringan tendon tersebut kemudian diukur kekuatan tariknya (tensile
strength) dengan Universal Testing Machine TX I.
17. Kemudian Tendon Achilles tersebut difiksasi dengan buffer formalin
10% dan dilakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk mengetahui
rasio kolagen tipe III/tipe I.
18. Data dikumpulkan lalu dianalisis menggunakan program SPSS 22.
4.7 Alur Penelitian
-
Gambar 4.2 Alur Penelitian
4.8 Protokol Penelitian
Jaringan tendon kelinci diperiksa kadar kolagen tipe III dan tipe I
dengan pemeriksaan imunohistokimia. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
fiksasi jaringan tendon kelinci menggunakan netral buffer formalin 10%
dan diproses routin untuk preparat histologi. Tendon kemudian di-
embedding ke dalam paraffin selanjutnya disectioning dengan ketebalan
5 micron dan ditempelkan pada slide yang telah dicoating dengan xylene
sebelumnya. Slide dilanjutkan dengan rehidrasi, blocking endogenous
peroksidase menggunakan 3% H2O2 dalam methanol. Kemudian epitop
dibuka dengan pemanasan menggunakan microwave pada berbagai
temperature mulai dari temperature tinggi 700 0C sampai dengan 140 oC.
Slide kemudian diteteskan 100 µL anti-mouse kolagen III/I antibodi
dalam 2% skim milk dan diinkubasikan semalaman pada temperature 4 oC. Kemudian dicuci dengan PBS, slide kembali diteteskan dengan
antibodi sekunder anti-mouse IgG/biotin yang telah dikonjugasikan
dengan horseradish peroxidase. Reaksi positif ditandai dengan warna
coklat dilakukan dengan menambahkan substrat diaminobenzidine
(DAB). Sebagai counterstain berikutnya diteteskan kembali meyer-
36 Kelinci New Zealand
16 Kelompok Perlakuan 16 Kelompok Kontrol
Diberikan Astaxanthin
Analisis Data
Tidak diberikan
Astaxanthin
Pemutusan Tendon Achilles secara Steril
Kemudian Dijahit dengan Nylon 4-0
Diadaptasi Selama 1 Minggu
(4 ekor kelinci mati)
Luka dijahit dengan nylon 5-0 dan
imobilisasi dengan Cast
Minggu 3
Pengambilan Jaringan
Pemeriksaan kekuatan tensil tendon
Pemeriksaan Immunohistokimia kolagen
48
hematoksilin dan siap untuk diperiksa di bawah mikroskop (Howart dkk,
2009; Kiernan dkk, 2011).
Penghitungan jumlah kolagen tendon dengan menggunakan
piranti lunak Adobe PhotoShop CS3 dan Image J. Jaringan bukan
kolagen tampak berwarna putih dipilih menggunakan fungsi “Magic
Wand” oleh Adobe PhotoShop CS3. Kemudian dengan menggunakan
fungsi “inverse” maka terpilihlah pixel selain warna putih, lalu dihapus
menggunakan fungsi “delete” sehingga pada gambar hanya tersisa pixel
dengan warna coklat (kolagen). Ekspresi kolagen dihitung sebagai
persentase pixel dimana area kolagen keseluruhan (coklat) dikurangi area
bukan kolagen. Pertama-tama gambar yang sudah dihilangkan pixel
selain warna coklat, dipisah channel warna coklat melalui fungsi “RGB
stack” pada Image J. Setelah didapatkan channel warna coklat kemudian
dibuat nilai “threshold” untuk warna coklat dan secara otomatis
didapatkan persentase area selain warna coklat (Kiernan dkk, 2011).
Sedangkan pemeriksaan kekuatan tarik tendon dilakukan dengan
menggunakan alat Universal Testing Machine AGS-10kNG Merk
Shimadzu Buatan Jepang Tahun 1999 dengan kecepatan 100mm/min
dengan arah vertikal dimana tendon ditarik sampai putus kemudian
dihitung besar load yang diberikan dalam satuan Newton (Viidik, 2009).
4.9 Analisis Data
Data yang didapatkan pada penelitian dianalisis sebagai berikut
1. Analisis Deskriptif
2. Analisis Inferensial :
a. Uji Homogenitas = test of the equality of variances = F test
(Levene’s Test for Equality of Variance).
b. Uji Normalitas data dengan Shapiro Wilks
c. Jika didapatkan data berdistribusi normal maka untuk uji
parametrik compare means menggunakan Independent-
Samples t- Test, dan bila tidak berdistribusi normal dapat
digunakan uji Kruskal Wallis
56
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Sampel
Analisis penelitian mencakup sebaran data secara deskriptif, tensile
strength serta rasio kolagen tipe III/tipe I. Selanjutnya data yang terkumpul
dilakukan analisis secara statistic dengan SPSS for Windows version 22.0.
5.1.1. Analisis Deskriptif
Analisis data secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih
jelas mengenai distribusi dan simpangan baku dari masing-masing variable
penelitian.
Tabel 5.1
Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok
Kelompok Frekuensi (n) Persentase (%)
Perlakuan
(dengan Astaxanthin)
16 50.00
Kontrol
(tanpa Astaxanthin)
16 50.00
Total 32 100
Dari distribusi di atas dapat dilihat bahwa total jumlah subjek penelitian
adalah sebanyak 32 dengan kelompok perlakuan dengan pemberian Astaxanthin
adalah sebanyak 16 atau 50.00 % dari total seluruh subjek dan kelompok kontrol
tanpa pemberian Astaxanthin sebanyak 16 atau 50.00%.
abel 5.2
Rerata Kekuatan Tarik pada masing-masing kelompok
Variabel
Kelompok
Kelompok
Perlakuan dengan
Astaxanthin
(n=16)
(Mean SD)
Kelompok Kontrol
tanpa Astaxanthin
(n=16)
(Mean SD)
Kolagen Tipe III
(%) 14,80 ± 2,0559 29,70 ± 6,4301
Kolagen Tipe I
(%) 86,25 ± 0,9402 73,07 ± 4,7582
Rasio Kolagen III/I 0,172 ± 0,0242 0,408 ± 0,0919
Tensile Strength (N) 92,56 ± 4,3384 88,53 ± 6,3248
57
Rerata persentase kolagen tipe III pada kelompok perlakuan adalah
sebesar 14,80 % ± 2,0559 sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebesar 29,70
% ± 6,4301. Kolagen tipe I pada kelompok perlakuan memiliki rerata sebesar
86,25 % ± 0,9402 sedangkan pada kelompok kontrol adalah sebesar 73,07 % ±
4,7582. Rasio Kolagen III/I pada kelompok perlakuan adalah sebesar 0,172 ±
0,0242 dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 0,408 ± 0,0919.
Rasio paling kecil terdapat pada kelompok perlakuan dengan nilai rasio 0,133 ±
0,0242 sedangkan nilai rasio paling besar terdapat pada kelompok kontrol dengan
nilai rasio 0,570 ± 0,0919.
Rerata kekuatan tarik pada kelompok perlakuan adalah sebesar 92,56 N ±
4,3384 sedangkan rerata kekuatan tarik pada kelompok kontrol adalah sebesar
88,53 N ± 6,3248. Kekuatan tarik paling tinggi ada pada kelompok perlakuan
dengan nilai 98,74 N ± 4,3385 SD dengan kekuatan tarik paling rendah terdapat
pada kelompok kontrol yaitu 80,05 N ± 6,3248 SD.
5.2 Analisis Inferensial
Analisis ini bertujuan untuk melakukan generalisasi hasil penelitian ke populasi.
Uji statistik inferensial yang digunakan pada penelitian ini adalah independent t-
test bila data berdistribusi normal dan varian datanya homogen. Penilaian hasil uji
menggunakan 95% CI dan nilai p pada batas kemaknaan 0.05.
5.2.1. Uji Normalitas dan Homogenitas
Variabel-variabel penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol
dilakukan uji normalitas. Dengan jumlah data sebanyak 32 (n < 50), maka uji
normalitas yang digunakan terhadap rasio kolagen tipe III/tipe I dan kekuatan
tarik tendon adalah Shapiro-Wilk test, sedangkan uji homogenitas varian data
dilakukan dengan menggunakan Levene’s test.
Tabel 5.3
Uji normalitas data variabel-variabel penelitian dengan Shapiro-Wilk
Variabel Kelompok N P Keterangan
Rasio Kolagen Tipe III/tipe I Perlakuan 16 0,362 Normal
Kontrol 16 0,298 Normal
Tensile Strength Perlakuan 16 0,099 Normal
Kontrol 16 0,050 Normal
Tabel di atas menunjukkan bahwa data rasio kolagen tipe III/tipe I dan tensile
strength berdistribusi normal, dimana nilai p > 0,05
Tabel 5.4
Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan Levene’s Test
Variabel Kelompok N P Keterangan
Rasio Kolagen Tipe III/tipe I Perlakuan 16 0,000
Homogen
Kontrol 16
Tensile Strength Perlakuan
Kontrol
16
16
0,049 Homogen
58
Tabel di atas menunjukkan bahwa data rasio kolagen tipe III/tipe I dan tensile
strength memiliki varian yang homogen, dimana nilai p < 0,05
5.2.2. Uji Independent t-Test
Untuk variabel numerik dilakukan uji kemaknaan untuk data dua
kelompok tidak berpasangan yaitu independent t-test untuk data yang berdistribusi
normal. Untuk mengetahui efek dari masing-masing variabel pada kelompok
perlakuan dan kontrol dilakukan dengan membandingkan rerata post-test dari
masing-masing kelompok.
Tabel 5.5
Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok
perlakuan dan kontrol
Variabel
Kelompok
Beda
rerata
95% CI
Nilai
p
Perlakuan
dengan
Astaxanthin
(n = 16)
Kontrol tanpa
Astaxanthin
(n = 16)
Rasio Kolagen
TipeIII/I 0,172 ± 0,0242 0,408 ± 0,0919 -9,955
-0,285 – (-
0,188) 0,000
Tensile Strength 92,56 ± 4,3384 88,53 ± 6,3248 4,0343 0,12 – 7,95 0,044
Tabel di atas menunjukkan bahwa rasio kolagen III/I pada kelompok perlakuan
lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar
kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,000
(p< 0,05). Sedangkan tensile strength pada kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar kelompok
perlakuan dan kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,044 (p< 0,05).
61
BAB VI
PEMBAHASAN
Hasil interpretasi dari data penelitian yang sudah diolah dan dianalisis secara
statistik, semuanya sesuai dengan hipotesis dari penelitian. Berikutnya hasil
interpretasi data tersebut akan dibahas untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil penelitian ini.
6.1 Subjek Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan subjek kelinci untuk mengetahui
pengaruh Astaxanthin terhadap rasio Kolagen III/I dan tensile strength pada
tendon yang mengalami cedera. Kelinci tersebut dipilih karena sangat mudah
didapatkan, tidak memerlukan biaya besar dalam pemeliharaannya, ukuran tubuh
yang kecil sehingga tidak banyak memerlukan ruang dalam pemeliharannya.
Disamping itu, kelinci mampu berkembang biak dengan sangat cepat dan untuk
mencapai umur dewasa cukup singkat yaitu 4 sampai 5 bulan. Hal ini cukup
menguntungkan dalam memperoleh subjek kelinci dewasa yang sesuai dengan
kriteria inklusi. Secara spesifik, ukuran tendon kelinci dewasa juga relatif besar
sehingga memudahkan dalam melakukan proses penelitian. Keuntungan tersebut
yang menyebabkan kelinci sering digunakan sebagai subjek penelitian terutama
dalam meneliti tendon.
6.2 Pengaruh Astaxanthin terhadap Rasio Kolagen III/I
Pengaruh Astaxanthin terhadap rasio kolagen III/I dianalisis dengan
membandingkan rasio kolagen III/I antara kelompok perlakuan dengan
Astaxanthin dengan kelompok control tanpa pemberian Astaxanthin.
Sebelum dilakukan uji komparatif, dilakukan uji normalitas dan
homogenitas terlebih dahulu dimana hasilnya menunjukkan bahwa data rasio
kolagen III/I berdistribusi normal dan homogen.
Berdasarkan hasil analisis parametrik dengan uji t-independent didapatkan
adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok perlakuan
dengan kelompok kontrol, dimana rasio kolagen III/I pada kelompok perlakuan
dengan Astaxanthin lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa
pemberian Astaxanthin.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Bauge dkk dan
Mizuta dkk yang menyebutkan bahwa, proporsi sintesis kolagen tipe I akan
ditingkatkan dan ekspresi sintesis kolagen tipe III akan ditekan sehingga rasio
ekspresi mRNA kolagen III/I akan menurun pada cedera tendon yang diberikan
suplementasi antioksidan seperti Astaxanthin dan Spirulina (TOL19-001). Hal ini
disebabkan karena aktivitas Astaxanthin menghambat pembentukan ROS dan IL-
1 sehingga proses inflamasi ekstensif dan apoptosis dapat dihambat.
Penelitian lain oleh Kishimoto dan Song dkk juga menunjukkan bahwa
Astaxanthin juga dapat menghambat ekspresi dan kinerja beberapa MMP
termasuk MMP-1, MMP-2, MMP-8, MMP-13 dan MMP-14 yang memiliki
aktivitas kolagenase melalui penekanan pembentukan ROS dan IL-1, sehingga
mampu mencegah proses fibrogenesis dan mencegah terjadinya degradasi fibril
kolagen I.
62
6.3 Pengaruh Astaxanthin terhadap Kekuatan Tensile Tendon
Pengaruh Astaxanthin terhadap kekuatan tensile tendon kelinci juga dianalisis
dengan membandingkan kekuatan tensile tendon antara kelompok perlakuan
dengan Astaxanthin dengan kelompok kontrol tanpa pemberian Astaxanthin.
Sebelum dilakukan uji komparatif, dilakukan uji normalitas dan
homogenitas terlebih dahulu dimana hasilnya menunjukkan bahwa data kekuatan
tensile tendon berdistribusi normal dan homogen.
Berdasarkan hasil analisis parametrik dengan uji t-independent didapatkan
adanya perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok perlakuan
dengan kelompok kontrol, dimana kekuatan tensile tendon pada kelompok
perlakuan dengan Astaxanthin lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol
tanpa pemberian Astaxanthin.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian Woo dan Aro dkk yang
menunjukkan bahwa tendon dengan komposisi dominan kolagen tipe I dan cross-
link dominan matur akan meningkatkan kekuatan tensilenya. Menurut Bauge dkk,
pemberian kolagen seperti Spirulina (TOL19-001) dapat meningkatkan cross-
linking dan kekuatan tensile pada serat kolagen, elastisitas serta struktur tendon.
Hal ini sejalan dengan penelitian ini dimana kekuatan tensile tendon pada
kelompok perlakuan dengan Astaxanthin secara signifikan lebih besar
dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pemberian Astaxanthin.
Rerata kekuatan tensile tendon Achilles setelah perlakuan masih dalam
rentang kekuatan tensile normal pada kelinci, namun kekuatan setelah
pembebanan maksimal menurun dibandingkan dengan tendon normal. Hal ini
sesuai dengan penelitian oleh Woo yang menyatakan bahwa komponen
biomekanik tendon tetap inferior setelah cedera grade III.
64
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1. Rasio serat kolagen tipe III/tipe I pada kesembuhan cedera tendon
Achilles kelinci yang diberikan Astaxanthin lebih rendah daripada
yang tidak diberikan Astaxanthin
2. Kekuatan tensile pada kesembuhan cedera tendon Achilles kelinci
yang diberikan Astaxanthin lebih tinggi daripada yang tidak diberikan
Astaxanthin.
7.2 Saran
Dari simpulan yang telah dikemukakan, bahwa pemberian Astaxanthin
dapat menurunkan rasio kolagen tipe III/ tipe I pada tendon Achilles sehingga
kekuatan tensile meningkat. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar
penggunaan Astaxanthin dalam cedera tendon. Namun, masih diperlukan
penelitian menggunakan sampel yang berbeda atau jumlah sampel lebih
banyak untuk mendapatkan efek klinis terutama pada manusia.
66
DAFTAR PUSTAKA
Agostini C., et al, 2014. Scientific Opinion on the safety of Astaxanthin-rich
aingredients (AstaREAL A1010 and L10) as Novel food ingredients.
European Food Safety Authority, Parma, Italy;12(7):3757
Ambati R.R., Phang S.M., Ravi S., Aswathanarayana R.G., 2014. Astaxanthin:
Sources, Extraction, Stability, Biological Activities and its Commercial
Applications. Mar. Drugs;12:128-152
Annemarie J., Dura E.A., Attena J., Blauw B., DeGroot J., Huizinga T.W.J.,
Zuurmond A., Bank R.A., 2005. The Type of Collagen Cross-Link
determines the reversibility of experimental skin fibrosis. Biochimica et
Biophysica Acta, Elsevier;60-67
Aoi W., Naito Y., Takanami Y., Ishii T., Kawai Y., Akagiri S., Kato Y., Yoshikawa
T., 2008. Astaxanthin improves muscle lipid metabolism in exercise via
inhibitory effect of oxidative CPT I Modification. Biochemical and
Biophysical Research Communication, Japan. Elsevier, 366; 892-897.
Aro A., Perez M., Vieira, Esquisatto, Rodrigues, Gomez, Pimentel, 2015. Effect of
Calendula Officinalis Cream on Achilles Tendon Healing. The
Anatomical record; 298:428-435
Bauge C., Leclercq S., Conrozier T., Boumediene K., 2015. TOL19-001 Reduces
Inflammation and MMP Expression in Monolayer Cultures of Tendon
Cells. BMC Complementary and Alternative Medicine; 15:217.
Barker T., 2009. Oxidative Stress and Muscle Dysfunction Following Anterior
Cruciate Ligament Surgery. A dissertation submitted to Oregon State
University.
Bray R.C., Salo P.T., Lo I.K., Ackerman P., Rattner J.B., Hart D.A., 2005. Normal
Ligament Structure, Physiology and Function. Sports Med Arthrosc
Rev;13 :127-135
Bode M., 2000. Characterization of Type I and Type III Collagens in Human tissues.
Department of Clinical Chemistry, University of Oulu, Finland;1-76.
Buckwalter J.A., Grodzinsky A.J., 2000. Loading of Healing Bone, Fibrous Tissue,
and Muscle: Implications for Orthopaedic Practice. J Am Acad Orthop
Surg;7:291-299
Capelli B., Keily S., Linhart J., Cysewski, 2013. The Medical Research of
Astaxanthin. Cyanotech Coorporation, Hawaii
Chamberlain C.S., Crowley E.M., Kobayashi H., Eliceiri K.W., Vnderby R., 2011.
Quantification of Collagen Organization and Extracellular Matrix Factors
within the Healing Ligament. Microsc Microanal;17(5):779-787
Chen, B., Wang Z., Li Q. 2002. Repair Flexor Tendon Defect of Rabbits with
Complex of Fibroblast and Human Amnion Extracellular Matrix
(HAECM). J. Chin Med. 115; 542-545.
67
Cheng W., Yan-hua R., Fang-gang N., Guo-an Z., 2011. The Content and Ratio of
Type I and Type III Collagen in Skin differ with Age and Injury. African
Journal of Biotechnology;10(13);2524-2529
Federer, W T. 2008. Experiment Design. Statistic and Society Data Collection and
Interpretation Second Edition Revised and Expanded. Marcel Dekker,
New York ; P: 157.
Frank C.B., 2000. Ligament Healing: Current Knowledge and Clinical Applications.
J Am Acad Orthop Surg; 4:74-83
Freedman B., Gordon, Soslowsky L., 2014. The Achilles Tendon: Fundamental
Properties and Mechanisms Governing Healing. Muscles, Ligaments and
Tendon Journal;4(2): 245-255
Gammone M.A., Gemello E., Riccioni G., 2014. Marine Bioactive and Potential
Application in Sports. Mar.Drugs 2014, 12,2357-2382.
Harris G.K., Baer D.J., 2006. Antioxidants: Scientific Evidence for Musculoskeletal,
Bariatric and Sports Nutrition, Taylor & Francis Group, New York. II; 7;
111-127.
Giannotti S., et al. 2015. Treatment of Tendon Injuries of The Lower Limb with
Growth Factors Associated with Autologous Fibrin Scaffold or
Collagenous Scaffold. Surg Technol Int; 26: 324-8
Grover D.M., Chen A.A., Hazelwood S.J., 2000. Biomechanic of the Rabbit Knee
and Ankle: Muscle, ligament, and joint contact force predictions.
Department of Orthopaedic Surgery, University of California, USA:1-6
Guerin M., Huntley M.E., Olaizola M, 2003. Haematococcus astaxnthin: Application
for human health and nutrition. Trends in Biotechnology. Elsever,
USA.21.5;210-216
Hector E.E., Robins S.P., Mercer D.K., Brittenden J., Wainwright C.L., 2010.
Quantitative measurement of mature collagen cross-links in human
carotid artery plaques. Artherosclerosis;211(11):471-4
Hilderbrand K.A., Corrie L., Behm G., Alison, Hart D.A., 2005. The Basic of Soft
Tissue Healing and General Factors that Influence Such Healing. Sports
Med Arthrosc Rev; 13(3):136-144
Howart M, Chinnapen DJF, Gerrow K, Dorrestein PC, Grandy MR, Kelleher NL,
Husseini E,Ting A and Alice Y. 2006. A Monovalen sterptavidin with a
single fentomer biotin binding site. Nature Methods 3 (4): 267-73.
James R. et al, 2008, Tendon: Biology, Biomechanics, Repair, Growth Factors, and
Evolving Treatment Options. Orthopedic Research Laboratories,
University of Virginia. Charlottesville
Jarvinen T., Kannus P., Mafulli N., 2005. Achilles Tendon Disorders Etiology and
Epidemiology. Foot Ankle Clin N Am; 10: 255 – 266.
Kiernan JA. 2011. Histological and histochemical method: Theory and practice. 2nd.
NSW Australia. Pergamon Press.Pp 330-341.
68
Kishimoto Y., Tani M., Uto-Kondo H., Saita E., Sone H., Kurata H., Kondo K., 2010.
Astaxanthin Supresses Scavenger Expression and Matrix
Metalloproteinase Activity in Macrophages. Eur J Nutr; 49(2): 119-26.
Kim S., Akaike T., Sasagawa T., Atomi Y., Kurosawa H., 2002. Gene Expression of
Type I and Type III Collagen by Mechanical Stretch in Anterior Cruciate
Ligament Cells. Cell Structure and Function. Japan Society for Cell
Biology;27:139-144
Leask A., Abraham D.J., 2004. TGF- Signaling and Fibrotic Response. Royal Free
& University Collage Medical School, Rowland Hill Street, London, UK.
FASEB J. 18,816-827.
Maffulli N., Renstrom P., Leadbetter W.B., 2005. Tendon Injuries. Basic Science and
Clinical Medicine. Springer-Verlag London Limited.pp 3-313.
Matson A., Konow N., Miller S., Roberts T., 2012. Tendon Material Properties Vary
and are Interdependent among Turkey Hindlimb Muscles. The Journal of
Experimental Biology. The Company of Biologist, 215, 3552-3558.
McCormick R.J., Thomas D.P., 2000. Collagen Crosslinking in the Heart:
Relationship to development and function. Basic Appl. Myol.;8(2):143-
150
Mizuta M., Hirano S., Hiwatashi N., Tateya I., Kanemaru S., Nakamura T., Ito J.,
2013. Effect of Astaxanthin on Vocal Fold Wound Healing. The
American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc.
Kyoto University.124:E1-E7.
Naito Y., Takahashi J., Aoi W., 2008. Gene Expression Regulating Agents. US Patent
Application Publication;12:155-914
Romani W., Langenberg P., Belkoff S.M., 2010. Sex, Collagen Expression, and
Anterior Cruciate Ligament Strength in Rats. Journal of Athletic
Training;45(1):22-48
Sharma Pankaj et al, 2006, Tendon Injury and Tendinopathy: Healing and Repair.
The Journal of Bone and Joint Surgery, 87:187-201, Needham MA.
Sims T.J., Avery N.C., Bailey A.J., 2010. Quantitative Determination of Collagen
Cross-Links. Methods in Molecular Biology. Humana Press Inc;139:1-24
Song X., Wang B., Lin S., Jing., Mao C., Xu P., Changjun L., Liu W., Zuo J., 2014.
Astaxanthin inhibits apoptosis in alveolar epithelial cells type II in vivo
and in vitro through the ROS-dependent mithocondrial signalling
pathway. J. Cell. Mol. Med.; 18(11);2198-2212
Soufen H.N., Salemi V.M.C., Aneas I.M.S., Ramires F.J.A., Benicio A.M.D.,
Benvenuti L.A., Krieger J.E., Mady C.,2008. Collagen content, but not
the ratios of collagen tipe III/tipe I mRNAs, differs among hypertensive,
alcoholic, and idiopathic dilated cardiomiopathy. Braz J Med Biol Res;
41(12):1098-1104
Terajima M.,Damle S., Yang X., Bostrom M., Hidaka C., Yamauchi M., Phlesko N.,
2002. Monitoring repair tissue quality by collagen cross-link analysis in a
rabbit osteochandral defect model. 56th Annual Meeting of the
Orthopaedic Research Society. Poster No. 964
69
Thorpe C., Bierch, Clegg P., Screen H., 2013. The Role of Non Colagenous Matrix in
Tendon Function. Int. J. Exp. Path; 94: 248-259
Viidik A., 2009. Tensile Strength Properties of Achilles Tendon System in Trained
and Untrained Rabbits. Acta orthop. Scandinav. 40,261-272.
Woo S.L., Vogrin T.M., Abramowitch S.D., 2000. Healing and Repair of Ligament
Injuries in the Knee. J Am Acad Orthop Surg;8:364-372
Yamashita E., 2013. Astaxanthin as Medical Food. Functional Foods in Health and
Disease; 3(7):254-258
Yilgor C., Huri P.Y., 2012. Tissue Engineering Strategies in Ligament Regeneration.
Stem Cell International;12:1-10