22
DAFTAR ISI Daftar Isi ...........................................1 BAB I. PENDAHULUAN....................................2 Latar Belakang ....................................2 Tujuan Penelitian .................................2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................3 1. Definisi ....................................... 3 2. Etiologi........................................ 3 3. Prevalensi...................................... 4 4. Patofisiologi...................................4 5. Manifestasi Klinis..............................5 6. Pemeriksaan Penunjang...........................7 7. Terapi.......................................... 7 8. Prognosis....................................... 8 9. Follow up....................................... 9 BAB III. KESIMPULAN ..............................10 DAFTAR PUSTAKA ...................................11 1

Referat-HIE.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat-HIE.docx

DAFTAR ISI

Daftar Isi .................................................................................................................1

BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................2

Latar Belakang .................................................................................................2

Tujuan Penelitian .............................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3

1. Definisi ......................................................................................................3

2. Etiologi.......................................................................................................3

3. Prevalensi....................................................................................................4

4. Patofisiologi................................................................................................4

5. Manifestasi Klinis.......................................................................................5

6. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................7

7. Terapi..........................................................................................................7

8. Prognosis....................................................................................................8

9. Follow up....................................................................................................9

BAB III. KESIMPULAN ......................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................11

1

Page 2: Referat-HIE.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) is a serious birth complication affecting full

term infants: 40–60% of affected infants die by 2 years of age or have severe

disabilities. The majority of the underlying pathologic events of HIE are a result of

impaired cerebral blood flow and oxygen delivery to the brain with resulting primary

and secondary energy failure. (Hypoxic Ischemic Encephalopathy: Pathophysiology

and Experimental Treatments)

Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) is one of the most serious birth

complications affecting full term infants.1 It occurs in 1.5 to 2.5 per 1000 live births

in developed countries. HIE is a brain injury that prevents adequate blood flow to the

infant’s brain occurring as a result of a hypoxic-ischemic event during the prenatal,

intrapartum or postnatal period.4 By the age of 2 years, up to 60% of infants with HIE

will die or have severe disabilities including mental retardation, epilepsy, and cerebral

palsy (CP)

Hypoxic-ischemic (HI) encephalopathy is one of the major causes of disability and

death in newborn infants worldwide [1]. An estimated four million babies die every

year during the neonatal period, and one quarter of these deaths are attributed to HI

[2]. Neonatal encephalopathy is a common clinical condition affecting approximately

2 in 1000 neonates [3], and accounts for a substantial proportion of admissions to

neonatal intensive care; 10%–15% of cases will die in the neonatal unit, 10%–15%

will develop cerebral palsy and up to 40% will have other significant disabilities

including blindness, deafness, autism, epilepsy, global developmental delay, as well

as problems with cognition, memory, fine motor skills and behavior [4–8].

(Neuroprotective Therapies after Perinatal Hypoxic-Ischemic

Brain Injury)

Walaupun telah banyak dicapai kemajuan teknologi di bidang teknologi monitoring

dan patofisiologi perinatal asfiksia pada janin dan neonatus, Ensefalopati hipoksik

iskemik masih merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas jangka panjang.

2

Page 3: Referat-HIE.docx

Ensefalopati hipoksik iskemik terutama dipicu oleh keadaan hipoksik otak,

iskemik oleh karena hipoksik sistemik dan penurunan aliran darah ke otak. Tidak

terdapat terapi spesifik pada ensefalopati hipoksik iskemik.

Tujuan Penulisan

1. Mengetahui definisi, etiologi, dan prevalensi Ensefalopati hipoksik iskemik.

2. Mengetahui patofisiologi Ensefalopati hipoksik iskemik.

3. Mengetahui mnifestasi klinis, derajat dan gradasi Ensefalopati hipoksik iskemik.

4. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan

diagnosis Ensefalopati hipoksik iskemik.

5. Mengetahui prognosis dan follow up pasien Ensefalopati hipoksik iskemik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi

oksigen dalam darah arteri, dan iskemia menggambarkan penurunan aliran darah ke

sel atau organ yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut3.

Sedangkan ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi

3

Page 4: Referat-HIE.docx

dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan

pemeriksaan6.

Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan

adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak

akut yang disebabkan karena asfiksia1. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan

penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang

berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental 10. Sedangkan ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi

dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan

pemeriksaan11.

2. Etiologi

Hipoksia pada fetus disebabkan oleh2 :

1. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi

selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2.

2. Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau

tekanan uterus pada vena cava dan aorta.

3. Relaksasi uterus kurang karena pemberian oksitosin berlebihan akan

menyebabkan tetani.

4. Plasenta terlepas dini.

5. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.

6. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.

7. Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date.

Setelah lahir, hipoksia dapat disebabkan oleh:

1. Anemia berat karena perdarahan atau penyakit hemolitik.

2. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan oleh

infeksi berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau

adrenal.

3. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan

sebab defek serebral, narkosis atau cedera.

4

Page 5: Referat-HIE.docx

4. Kegagalan oksigenasi karena CHD berat atau penyakit paru.

3. Prevalensi

Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di

negara-negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.

Insiden HIE di Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 bayi aterm yang lahir hidup1. Di

Australia (1995), Angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup,

sedangkan angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka

kejadian kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Lima belas

hingga 20% bayi dengan ensefalopati hipoksik iskemik meninggal pada masa

neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental

permanent 4.

4. Patofisiologi

Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia,

hipotensi, turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis

respiratorius. Respon sistim sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan

aliran pintas melalui duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan

tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung dan adrenal, hati, ginjal dan usus secara

sementara8.

Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat-ringan

hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler karena

peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel endotel

merupakan tanda nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan petekie tampak

pada perikardium, pleura, timus, jantung, adrenal dan meningen. Hipoksia intrauterin

yang memanjang dapat menyebabkan Periventicular leukomalacia (PVL) dan

hiperplasia otot polos arteriole pada paru yang merupakan predesposisi untuk terjadi

hipertensi pulmoner pada bayi. Distres nafas yang ditandai dengan gasping, dapat

terjadi akibat aspirasi bahan asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo

dan skuama).

Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah

lahir akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada usia

kehamilan. Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks (lebih lanjut

akan terjadi atrofi kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi kurang bulan

5

Page 6: Referat-HIE.docx

akan terjadi PVL (selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status marmoratus

basal ganglia dan IVH. Pada bayi cukup bulan lebih sering terjadi infark fokal atau

multifokal pada korteks yang menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika

dibandingkan dengan bayi kurang bulan.

Prinsip utama pada patogenesis HIE adalah kerusakan neurologis akibat hipoksia

iskemik sehingga terjadi kegagalan suplai glukosa dan oksigen. Hal ini menyebabkan

kegagalan pembentukan energi primer dan memulai kaskade biokimia sehingga

akhirnya sel menjadi tidak berfungsi sampai kematian sel [20,21].

Kerusakan otak akibat proses hipoksik iskemik perinatal yang terbagi menjadi 2 fase

[13]. Pertama, kegagalan energi dini akan mengakibatkan metabolisme oksidatif

menurun sehingga terjadilah nekrosis. Kedua, kegagalan energi lambat yang mucul

selama proses reperfusi dan reoksigenasi beberapa jam setelah fase awal dan bertahan

sampai beberapa hari [10,22,23]. The pathophysiology of this late energetic failure

initiates a cascade of biochemical events (Figure 1), which involve nitric oxide

synthases activation,the production of cytotoxic free radicals, inflammation,

membranedysfunction and apoptosis, among others [24].

Calcium Influx and Free Radical Formation

6

Page 7: Referat-HIE.docx

During the late energetic failure, a consequent reperfusion injuryoften deteriorates the

brain metabolism by increasing the oxidative stress damage. Particular roles for

increase in extracellular glutamate, excessive activation of glutamate receptors

(excitotoxicity), increase in cytosolic calcium (Ca2+) and generation of free radicals

are emphasized [12,25–27].

Loss of mitochondrial membrane potential, combined with high concentrations of

glutamate, opens calcium-permeable NMDA glutamate channels and voltage-gated

calcium channels allowing calcium to move into neurons[28]. This fact triggers

enhanced production of free radicals and activation of lipases, proteases, and

endonucleases.

As a consequence of lipases and proteases activation, the release of free fatty acids,

especially arachidonic acid, will activate cyclooxygenase and will catalyze the

formation of prostaglandins, which will liberate super-oxide free radicals. In addition,

the formation of oxygen free radicals is also enhanced via hypoxanthine

metabolization. Hypoxanthineis formed during the HI and metabolized to uric acid.

Collectively, these processes will lead to a surge of the superoxide free radicals,

which play a central role in further production of free radicals and other toxic

compounds [12,25–27].

The prominence of an NMDA-mediated injury in the immature brain is related to the

fact that NMDA receptors are functionally upregulated in the perinatal period due to

their role in activity-dependent neuronal plasticity [29]. Immature NMDA channels

open more easily and stay open longer than adult channels, and the voltage-dependent

magnesium block that is normally present in adult channels at resting membrane

potentials is more easily relieved in the perinatal period [30].

4. Nitric Oxide Synthases Activation

Open NMDA channels allow calcium to enter into the intracellular compartment and

activate neuronal nitric oxide synthase (nNOS), leading toproduction of the oxygen

free radical nitric oxide (NO) [31,32]. Then, NO can react with superoxide to form

toxic peroxynitrite, which can add nitrate to tyrosine groups on proteins. Thisreaction

contributes to the production of hydroxyl radicals, causing lipid peroxidation of

proteins and DNA, which produce to further damage to brain tissue [33–36]. NO can

also disrupt mitochondrial respiration by impairing the function of cytochrome

oxidase from complex 4 and complex 1, which increases the production of superoxide

and peroxynitrite ions in mitochondria, especiallyduring hypoxia [32,37].

7

Page 8: Referat-HIE.docx

5. Inflammation

Inflammation plays an important part in the excite-oxidative cascade of injury in the

perinatal period [38]. Three to twelve hours after reperfusion and reoxygenation an

inflammatory response, which is probably induced by excessive free radical

production and high levels ofextracellular glutamate, pro- and anti-inflammatory

cytokines such as TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8 and IL-10 will be activated [39].

Likewise, the activation of two transcription factors,Nuclear Factor kappa B (NF-κB)

and c-Jun N-terminal kinase (JNK), play a central role in the post-HIinflammatory

process. In addition, these transcription factors can regulate expression of pro- and

anti-apoptotic proteins and thus can contribute to damage or neuroprotection [40–42].

6. Apoptosis Activation

Apoptotic activity contributes to brain damage in the neonate and is an important

pathway in the process of delayed neuronal death. Apoptosis is anenergy-dependent

process and ATP is required for apoptosome formation and subsequent caspase

activation [43,44]. Caspases and especially the caspase-3 are activated in this process

and bring about most of the changes that characterize apoptotic cell death [45].

Activated caspase-3 is expressed at higher levels in the developing brain after

perinatal HI, giving rise to the assumption that apoptotic mechanisms of neuronal cell

death seem to be more important in neonatal brain injury than adults [46]. Increased

knowledge about the factors that determine when or how cells die after HI is

important since it might enable salvage tissue through use of drugs, growth factors or

treatment interventions that influence brain activity[47,48].

5. Manifestasi klinis

Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga

beberapa hari sebelum persalinan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan

peningkatan tahanan vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus.

Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau respiratorik. Terutama pada bayi

menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan dasar untuk memberikan

oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan

untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP

Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung

mekoneum dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya

terjadi depresi pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa jam

8

Page 9: Referat-HIE.docx

kemudian, bayi akan tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau

tonus tampak normal.

Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau

kecacatan berat tergantung pada derajat ensefalopati hipoksik iskemik.

1. Derajat 1 : 1,6%

2. Derajat 2 : 24%

3. Derajat 3 : 78%

4. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi

kecacatan neurologi berat.

Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan

angka rata-rata kematian atau kecacatan berat :

1. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik) : 95%

2. Kelainan sedang (slow wave activity) : 64%

3. Kelainan ringan atau tanpa kelainan : 3,3%

Tabel 1 :Gradasi ensefalopati hipoksik iskemik pada bayi aterm9

Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3Tingkat kesadaran

Tonus otot

Postur

Refleks tendon/klonus

Myoclonus

Refleks Moro

Pupil

Kejang

EEG

Iritabel

Normal

Normal

Hiperaktif

Tampak

Kuat

Midriasis

Tidak ada

Normal

Letargik

Hipotonus

Fleksi

Hiperaktif

Tampak

Lemah

Miosis

Sering terjadi

Voltage rendah yang berubah dengan kejang

Stupor, coma

Flaksid

Decerebrate

Tidak ada

Tidak tampak

Tidak ada

Tidak beraturan, refleks cahaya lemah

Decerebrate

Burst suppression to isoelektrik

Beberapa hari

9

Page 10: Referat-HIE.docx

Durasi

Hasil akhir

<24 jam

Baik

24 jam – 14 hari

bervariasi

hingga minggu

Kematian, kecacatan berat

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi

juga merupakan tanda-tanda ensefalopati hipoksik iskemik. Cerebral edema dapat

berkembang dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama

fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan

pemberian dosis standar obat antikonvulsan. Walaupun kejang sering merupakan

akibat ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh

hipokalsemia dan hipoglikemia5.

Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,

hipertensi pulmonal persisten, sindroma distress nafas, perforasi gastrointestinal,

hematuria dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada masa

perinatal

Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas

dan insufisiensi sirkulasi.

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan

pemeriksaan tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase

lanjut dan pemeriksaan tersebut tidak rutin dilakukan.

1. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi

kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.

2. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko

terjadi kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang

memperlihatkan hipodensitas berat atau perdarahan berat.

3. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya

dan sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.

4. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan

SEP. Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal

10

Page 11: Referat-HIE.docx

pada usia < 4 hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan

mempunyai kelainan pada pengamatan di usia selanjutnya.

7. Terapi

Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan

sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk

mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan7.

Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis

awal 20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga

40-50mg/kg/hari intravena. Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam

0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital

dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam setelah dosis awal dan terapi pemeliharaan

dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital yang berfungsi terapeutik

berkisar 20-40mg/mL.

Pada beberapa percobaan dengan hewan dan manusia ditemukan keuntungan

dalam hubungannya dengan hasil akhir neurologi. Cara yang digunakan disebut

selective cerebral cooling yang menggunakan air dingin disekitar kepala. Penelitian

lanjutan masih dibutuhkan untuk dapat merekomendasikan pengobatan ini khususnya

pada bayi.

Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam

menurunkan insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba,

allopurinol mempunyai peranan sebagai additive cerebral cooling sebagai

neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih dibutuhkan untuk merekomendasikan

penggunaan allopurinol pada neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik.

Penggunaan steroid pada percobaan hewan tidak mempunyai manfaat

menurunkan cedera otak. Pada serial kasus yang dilaporkan, steroid hanya

menurunkan tekanan intra kranial secara temporer dan tidak memperbaiki hasil akhir

penderita dengan ensefalopati hipoksik iskemik.

8. Prognosis

Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan

kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati

11

Page 12: Referat-HIE.docx

hipoksik iskemik. Apgar score rendah pada 20 menit pertama, tidak adanya

pernafasan spontan pada 20 menit pertama dan adanya tanda kelainan neurologi yang

menetap pada usia 2 minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk memprediksi

kemungkinan kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik yang

berat. Mati otak yang terjadi setelah diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik

ditegakkan berdasarkan penurunan kesadaran berat (koma), apnea dengan PCO2 yang

meningkat dari 40 hingga >60 mmhg dan hilangnya refleks batang otak (pupil,

okulocephalic, oculovestibular, kornea, muntah dan menghisap). Gejala klinis

tersebut ditunjang dengan hasil EEG (Cordes).

9. Follow Up

Sejak awal, orang tua atau keluarga pasien perlu diberi penjelasan kemungkinan

yang terbail dan terburuk akibat ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan

fisik, rehabilitasi medis dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit,

penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi

secara berkesinambungan dipoliklinik khusus dengan melibatkan beberapa keahlian

disiplin ilmu, seperti neonatologi, pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh

kembang anak, rehabilitasi medik, orthopedik dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama

tim yang kompak dan harmonis untuk menangani penderita ensefalopati hipoksik

iskemik1.

12

Page 13: Referat-HIE.docx

BAB III

KESIMPULAN

Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan

adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak

akut yang disebabkan karena asfiksia dan merupakan penyebab penting kerusakan

permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP).

Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di

negara-negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid.

Kesadaran letargik, tonus otot flaksid, adanya mioklonus, sering kejang, dan

lemahnya refleks moro merupakan tanda utama ensefalopati hipoksik iskemik. Selain

itu pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga

merupakan tanda lain terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik.

Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi

kelainan sistem organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif

untuk mengatasi cedera jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah

dilakukan.

Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan

kardiopulmoner yang dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat ensefalopati

hipoksik iskemik.

Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani

penderita ensefalopati hipoksik iskemik.

13

Page 14: Referat-HIE.docx

DAFTAR PUSTAKA

Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. 2004. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Srark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Walkins; 536-55.

Bager B. 1997. Perinatally acquired brachial plexus Palsy a persisting challenge; 1214.

Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al. 1994. Early prediction of the development of microcephaly after hypoxic-ischaemic encephalopathy in the full term newborn; 93-703.

Ekert P, Perlman M, Steilin M, et al. 1997. Predicting the outcome of postasphyxial hypoxic-ischaemic encephalopathy within 4 hours of birth; 131-613.

Hall RT, Hall FK, Daily DK. 1998. High-dose Phenobarbital therapy in term-infants with severe perinatal asphyxia: A randomised, prospective study with three-years follow-up; 132-345.

Hill A, 2005. Neurological and Neuromuscular Disorders. In: MacDonald MG eds. Avery’s Neonatology Patophysiology & Management of Newborn 6 th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Walkins; 536-55.

Martin – Ancel A, Gracia-Alix A, et al. 1995. Multiple organ involvement in perinatal asphyxia; 127-786.

Perlman JM, Risser R, Broyles RS. 1998. Bilateral cystic periventricullar leucomalacia in the premature infants: Associated risk factors. Pediatrics; 822.

14

Page 15: Referat-HIE.docx

Stoll BJ, Kliegman RM. 2004. Nervous System Disorder. In: MacDonald MG, Mullet MD, Shesia MMK eds. Nelson Textbook of Pediatri 17th ed. Philadelphia, WB Saunder; 559-68

Umam NK, 2006. Terapi hipotermi sistemik (whole body cooling) pada neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik: metaanalisis.

Volpe JJ. 2001. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ eds. Neurology of the Newborn 4th ed. Philadelphia: WB Saunder Co; 217-394.

15