26
BAB II 1. Definisi Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Berdasarkan sumber lain, sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune kompleks. Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu yang rentan. 2,3 2. Etiologi 1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri) 2. Cahaya matahari ( UV) 3. Stress 4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus, klebsiella) 5. Obat – obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine, Isoniazid 6. Zat kimia : merkuri dan silikon 7. Perubahan hormon 3. Epidemiologi

Referat Sle

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ini tentang sle

Citation preview

BAB II

1. Definisi

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena

produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan

manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh

inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode

remisi. Berdasarkan sumber lain, sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit

multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune kompleks.

Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons

imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu yang

rentan.2,3

2. Etiologi

1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)

2. Cahaya matahari ( UV)

3. Stress

4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus, klebsiella)

5. Obat – obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine, Isoniazid

6. Zat kimia : merkuri dan silikon

7. Perubahan hormon

3. Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di

dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai

populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 - 400/100.000. SLE lebih sering

ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor

ekonomi dan geografik tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat

ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).

Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. 1

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah

sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang melakukan penelitian pada periode yang

berbeda diperoleh data sebagai berikut : 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali);

1972-1976 ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi

rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.1

Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan

(Purwanto, dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per

10.000 perawatan (Tarigan).1

4. Patofisiologi

Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga

dekat. Resiko meningkat 25–50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic,

menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat

sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan

juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular

mimicry yang mengacau regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE,

bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus

Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of

Rheumatology, 6th ed 2001)

Definite

Ultraviolet B light

Probable

Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1; rasio penderita menarche : menopause =

3:1

Possible

Faktor diet

Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine; Pristane

atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats

Faktor Infeksi

DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu :

Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; D-

Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF; Interferon-

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor

lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut

terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi

poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE

mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari

respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun

kompleks. Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta

kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.

Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai

keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen

tubuh tidak dikenal (self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen tersebut

diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan

menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu

antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang

terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel,

trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun

kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap.

Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein

RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi

trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glikoprotein II dan

III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen

cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.

Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan

kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan dengan komplemen

yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.

Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks yang

melibatkan berbagai aktivasi komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi.

Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah

ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat meningkatkan

aktivasi sel B untuk membentuk antibodi.

Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :

Sel T :

-Lymphopenia

-Penurunan sel T supressor

-Peningkatan sel T helper

-Penurunan memori dan CD4

-Penurunan aktivasi sel T supressor

-Peningkatan aktivasi sel T helper

Sel B :

-Aktivasi sel B

-Peningkatan respon terhadap cytokine.

Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam

keadaan normal mencegah autoimunitas.

5. Manifestasi klinis

Penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat

melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks,

sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi

dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena

manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat

saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya

keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan

sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.

1. Manifestasi konstitusional1

Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES

dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit

dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada

anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat

seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES,

diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.

Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid

atau latihan.

Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi

dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini

disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal.

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain

seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa adanya bukti

infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai

menggigil.

2. Manifestasi Muskuloskeletal1

Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling sering

terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi berupa nyeri

otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artitis dimana

tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali dianggap sebagai

manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan

simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas , kaku sendi yang

berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Osteoporosis juga ditemukan dan

berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi steroid.

3. Manifestasi Kulit9

Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah fotosensitivitas,

butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi

psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan

tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis,

ulkus jari, gangren

4. Manifestasi Paru9

Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa

radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi

pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut

dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa

sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai

akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik

disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik

terhadap pemberian streroid

5. Manifestasi Kardiologis1,9

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapat

berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial.

Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia,

interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung. Penyakit

jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi

sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini

semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit

yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.

6. Manifestasi Renal1

Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak sebelum

terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Untuk menilai keterlibatan ginjal

pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.

7. Manifestasi Gastrointestinal1,9

Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, secara

klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus, mesenteric valkulitis,

inflamantory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati. Dapat berupa

hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis aseptik.

Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi

terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.

8. Manifestasi Hemopoetik9

Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan

anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit

kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia

hemolitik autoimun. Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada

50-80% kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.

Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mulamula

menunjukkan gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian

berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang lain.

9. Manifestasi Susunan Saraf9

Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain,

neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan

antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan

serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan

pada 10% kasus. Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik

sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan

psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal

seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk

menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak

memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan

untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.

6. Diagnosis

Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :

1. Wanita muda

2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari

3. Manifestasi sendi

4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit

5. Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang rendah)

Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College of Rheumatology

revisi tahun 1997.7,9

Interpretasi:

Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan spesifitas

98% dan sensitivitas 97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,

maka sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes

ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain

tidak ada, maka bukan SLE.

7.Diagnosis Banding

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis

akibat gambaran klinis yang mirip aau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu : 10,14

Undifferentiated Connective Tissue Disease

Sindroma Sjogren

Sindroma antibody antifosfolipid (APS)

Fibromialgia (ANA positif)

Purpura trombositopenik idiopatik

Lupus imbas obat

Artritis reumatoid

Vaskulitis

Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya

Endokarditis bacterial subacute

Septikemia oleh Gonococcus/ Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi

Kulit

Drug eruption

Limfoma

Leukemia

Trombotik trombositopeni purpura

8. Penatalaksanaan

Tujuan

Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengenalan dini dan pengobatan

paripurna. Tujuan khusus : a) mendapatkan masa remisi yang panjang, b)

menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan

memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian baik

Pilar Pengobatan

I. Edukasi dan konseling

Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan

sekitar agar dapat hidup mandiri. Pasien memerlukan edukasi mengenai cara

mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit dari paparan

sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung, atau topi,

melakukan latihan secara teratur, pengaturan diet agar tidak kelebihan berat

badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Diperlukan informasi akan

pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktifitas penyakit

ataupun akibat pemakaian obat-obatan.

II. Latihan/program rehabilitasi

a. Istirahat

b. Terapi fisik

c. Terapi dengan modalitas

III. A) Pengobatan SLE Ringan 10

a. Edukasi

Pasien diberikan harapan yang realistic sesuai keadaannya, hindari

paparan ultra violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan

pengetahuan akan gejala dan tanda kekambuhan, anjurkan agar

pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi

teratur.

b. Obat-obatan

- Anti analgetik

- Anti inflamasi non steroidal (OAINS)

- Glukokortikoid topikal potensi ringan (untuk mengatasi ruam)

- Klorokuin basa 4mg/kg BB/hari

- Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg/hari prednisone

c. Tabir surya : topikal minimum sun protection factor 15 (SPF 15)

d. Istirahat

B) Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

a. Glukokortikoid dosis tinggi 1,6,7,8

Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari

(1mg/kg BB) Prednisone atau metilprednisolon intravena sampai

1 g/hari selama 3 hari berturut-turut. Selanjutnya diberikan oral.

b. Obat imunosupresan atau sitotoksik

Azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, klorambusil, siklosporin

dan nitrogen mustard. Tergantung dari berat ringannya penyakit

serta organ yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis diberikan

siklofosfamid (oral/intravena) azatioprin; arthritis berat

diberikan metotreksat (MTX).

Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi yang

sempurna). Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya

fase akut tidak terjadi. Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala, juga memberi

pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan melakukan kegiatan

sehari-hari. Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein dan

pemberian vitamin.

Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:11,12

1. Monitoring teratur

2. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup

3. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian

sunscreen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari

4. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang

adekuat.

5. Rencanakan kehamilan / hindari kehamilan .

Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE :11,12

1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan

antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan

arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti

kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobati SLE

dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria.

Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama

pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit

diharapkan dapat mengatasi hal ini, tetapi belum ada penelitian mengenai

efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi

hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.

2. Antimalaria

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah

lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk

SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan

cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang

lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat

fagositosis, migrasi netrofil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria

dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin

menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Beberapa penelitian melaporkan

bahwa antimalaria dapat menurunkan kolesterol total, HDL dan LDL, pada

penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-

400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin

lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping

antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung,

mual, dan muntah; efek samping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, dan

neurologis (jarang).

3. Kortikosteroid

Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan. Dari

berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan

metilprednisolon.

Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat

dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5 mg

perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon

klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid,

NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang

membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat, poliarthritis,

poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk

proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.

Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:

1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon),

dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara

bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen

ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi

hematologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk

glomerulonephritis.

2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama

3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat

mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral setiaap hari, tetapi efek

yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan

untuk terapi SLE jangka lama.

3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine

atau cyclophosphamide.

Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan

kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.

4. Methoreksat

Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis

untuk penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat

alkilating atau azathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15

mg, efektif sebagai “steroid spring agent” dan dapat diterima baik oleh

penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk.

melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada

kegagalan steroid dan antimalaria.

Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah: lekopenia, ulkus oral,

toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping

diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar. Pada

penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam folat 5 mg

tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.

Azathhioprine (Imuran AZA)

Cylophosphamide (chitokxan, CTX)

Chlorambucil (leukeran, CHL)

Cyclosporine A

Tacrolimus (FK506)

Fludarabine

Cladribine

Mycophenolate mofetil

6. Terapi hormonal

Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)

Danazol

7. Pengobatan Lain

Dapsone

Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara

mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para

aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta

sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang lalu untuk

pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus

eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE,

dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima

dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya

berhubungan dengan dosis.

Clofazimine (Lamprene)

Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE

kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200

mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah

menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.

Thalidomide

Thalidomide dengan dosis 50 sampai 100 mg/hr serta dosis

pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter.

Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini dikontraindikasikan

pada kehamilan karena banyak laporan mengenai terjadinya malformasi

janin (fokomelia). 11,12

Immunoglobulin intravena

Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor

Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia,

dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari

berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu hanya

digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi standar, atau pada

keadaan SLE yang berat. 11,12

External Device

Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE agak

terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoabsorption,

UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.

8. Transplantasi Sumsum Tulang11,12

Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini

masih merupakan eksperimental untuk saat ini.

Pengobatan Terhadap Komplikasi

Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic, anti hipertensi,

mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal. Terhadap kejang-kejang

dapat diberikan antikonvulsan.

9. Komplikasi 9,10

Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati, transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.

Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik. Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik.