Upload
rayindra-dwi-r
View
310
Download
17
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat imobilisasi
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di
bidang geriatri yang timbul sebagai akibat dari penyakit atau masalah psikososial
yang diderita. Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo Jakarta
pada tahun 2000 didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun
2001 sebesar 31,5%.1
Imobilisasi di definisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama
3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologik. Terdapat beberapa faktor resiko utama imobilisasi seperti kontraktur,
demensia berat, osteoporosis, ulkus, gangguan penglihatan dan fraktur merupakan
beberapa resiko utama imobilisasi.
Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah, namun beberapa komplikasi akibat
imobilisasi dapat dicegah. Perubahan beberapa sistem organ dan fungsi metabolik
akan terjadi sebagai akibat imobilisasi. Perubahan-perubahan tersebut akan
menimbulkan berbagai komplikasi yang akan memperberat kondisi dan
memperlambat proses penyembuhan serta dapat menyebabkan kematian.
1 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Imobilisasi
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah baring selama
3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologik. Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan
imobilisasi pada usia lanjut.1
B. Epidemiologi
Immobilisasi lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang –
orang lanjut usia, pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Di ruang rawat
inap geriatri RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 2000 didapatkan
prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%.1
C. Etiologi1
Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada lanjut usia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan
otot, ketidakseimbangan dan masalah psikologis. Rasa nyeri, baik dari tulang
(osteoporosis, osteomalasia, Paget’s Disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi
(osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimialgia, pseudoclaudication) atau
masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Rasa lemah sering kali disebabkan
oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak digunakannya otot, anemia, gangguan
neurologis atau miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada lanjut
usia. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout dan obat – obatan antipsikotik seperti
haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Ketidakseimbangan dapat disebabkan
karena kelemahan, faktor neurologis (stroke, kehilangan refleks tubuh, neuropati DM,
malnutrisi dan gangguan vestibuloserebral), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan
(diuretik, antihipertensi, neuroleptik dan antidepresan.
Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat
pula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di
rumah maupun di rumah sakit. Obat-obat hipnotik sedatif menyebabkan rasa kantuk dan
ataksia yang mengganggu mobilisasi.
2 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
D. Patogenesis
Patogenesis dari imobilisasi, bergantung pada jenis etiologi yang menyebabkan
imobilisisasi. Secara garis besar, patogenesis dari imobilisasi itu sendiri berawal dari
penyakit yang diderita oleh pasien dan faktor lingkungan pasien yang akhirnya akan
menyebabkan imobilisasi sehingga menimbulkan berbagai macam komplikasi. Untuk
patogenesis dari imobilisasi menjadi komplikasi, akan dijelaskan pada bahasan
selanjutnya.
E. Pengkajian Imobilisasi
Pengkajian geriatri paripurna diperlukan dalam mengevaluasi pasien usia lanjut
yang mengalami imobilisasi, meliputi:
Evaluasi Keterangan
Anamnesis • Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi• Kondisi medis yang merupakan faktor risiko dan penyebab
imobilisasi• Kondisi premorbid• Nyeri• Obat – obatan yang dikonsumsi• Interaksi sosial• Faktor psikologis• Faktor lingkungan
Pemeiksaan fisik
Status kardiopolmonalKulitMuskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kakiNeurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorikGastrointertinalGenitourinarius
Status fungsional
Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari - hari (AKS) Barthel
Status Mental
Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatri depression scale (GDS)
Status kognitif
Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state examination (MMSE)
Tingkat Mobilitas
Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak
Pemeriksaan Penunjang
Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut, ekokardiografi, dan lain-lain) dan komplikasi akibat imobilsasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah,
3 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
hemostasis, dan lain-lain)
F. Komplikasi
Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain :
1. Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan
salah satu gangguan vaskular perifer
yang penyebabnya multifaktorial,
meliputi faktor genetik dan lingkungan.
Terdapat tiga faktor yang meningkatkan
risiko trombosis vena dalam yaitu karena
adanya luka di vena dalam karena
trauma atau pembedahan, sirkulasi darah
yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko
pembekuan darah. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di
vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah
yang telah timbul sebelumnya.
Kondisi imobilisasi akan
menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit
teraktivasi dan akumulasi trombosit yang
teraktivasi. Kondisi tersebut menyebabkan
gangguan pada sel-sel endotel dan juga
memudahkan terjadinya trombosis. Selain
itu, imobilisasi akan menyebabkan stasis
akan menyebabkan timbulnya hipoksia lokal
pada sel endotel yang selanjtunya akan
menghasilkan aktivator faktor X dan
merangsang akumulasi leukosit dan trombosit.
Gejala trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak,
kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai. Sebagian besar trombosis vena dalam timbul
4 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
hanya pada satu kaki; trombosis vena dalam pada betis menimbulkan gejala hanya
pada betis, sedangkan trombosis vena dalam pada paha menimbulkan gejala pada
paha atau betis.
2. Emboli Paru
Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks
tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara
tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis vena
dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh
lepasnya trombosis yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya
akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat
berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebab kesakitan
dan kematian pada pasien lanjut usia.
3. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan
kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2% sehari. Kelemahan otot
pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan penurunan
fungsional, kelemahan, dan jatuh. Terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan
atrofi otot yaitu perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut
dan kronik, serta malnutrisi. Massa otot berkurang setengah dari pada ukuran semula
setelah mengalami 2 bulan imobilisasi. Posisi imobilisasi juga berperan terhadap
pengurangan otot.
4. Kontraktur otot dan sendi
5 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur
karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan
seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
Kontraktur dapat terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada
otot, atau pada jaringan penunjang di sekitar sendi. Faktor posisi dan mekanik juga
dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Kontraktur
artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka sendi degeneratif, infeksi dan
trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar akan mengerut. Kontraktur akan
menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi pasif yang akan memperburuk kondisi
kontraktur.
5. Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang
dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan
kalsium serum serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin D3 aktif.
Faktor utama yang menyebabkan kehilangan masa tulang pada imobilisasi adalah
meningkatnya resorpsi tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen rasio antara
matriks inorganik dan organik tidak berubah. Konsentrasi kalsium, fosfor dan
hidrosiprolin di urin meninggat pada minggu pertama imobilisasi.
6. Ulkus dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit,
bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu
area yang secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah
setempat. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan
tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sacrum, trokanter
mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan siku.2
6 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada
pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi
mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari 25
mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama akan
menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama
akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara permanen
mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan mengakibatkan pembuluh darah
tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka akibat tekanan.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus meliputi faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut yaitu penipisan sel kulit,
elastisitas kulit yang berkurang, penurunan perfusi kulit secara progresif, sejumlah
penyakit seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer, penurunan
fungsi kardiovaskuler, sistem pernapasan sehingga tingkat oksigenisasi darah pada kulit
menurun, status gizi underweight atau kebalikannya overweight, anemia, penyakit-
penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah, keadaan
dehidrasi. Sedangkan faktor ekstrinsik yang menyebabkan dekubitus antara lain
7 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
kebersihan tempat tidur yang kurang, posisi yang tidak tepat, perubahan posisi yang
kurang, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang menyebabkan
penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.3
Untuk mendeteksi dini adanya resiko terjadinya dekubitus ini antara lain
dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko
tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor 12-13 memiliki risiko sedang, skor < 12
berkaitan dengan peningkatan risiko 50 kali lebih besar untuk mendapatkan ulkus
dekubitus, sedangkan skor > 14 memiliki risiko yang sangat kecil. Skor tersebut
meliputi2 :
Item SkorKondisi fisik
Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
4321
Kesadaran Kompos mentis Apatis Konfus/soporus Stupor/koma
4321
Aktivitas Ambulan Ambulan dengan bantuan Hanya bisa duduk Tiduran
4321
Mobilitas Bergerak bebas Sedikit terbatas Sangat terbatas Tak bisa bergerak
4321
Inkontinensia Tidak Kadang-kadang Sering inkontinensia urin Inkontinensia alvi dan urin
4321
Tindakan berikutnya adalah menjaga kebersihan penderita khususnya kulit,
dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan
lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya
diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskret/sekret harus
dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita.3
8 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah
terjadinya dekubitus meliputi3:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita, misalnya mengatasi anemia, mengoreksi
hipoalbuminemia, nutirisi dan hidrasi yang cukup, pemberian vitamin (vitamin C) dan
mineral (Zn), serta mencoba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada
penderita, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah, melalui:
Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam.
Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita,
misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang
temperatur airnya dapat diatur (kasur dekubitus).
Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah
setempat terganggu.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan berikan tindakan medik sesuai
dengan apa yang dihadapi. Berikut adalah stadium pada dekubitus beserta
penatalaksanaanya2,3 :
a. Dekubitus derajat I
Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas pada
epidermis. Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun,
diberi lotion, kemudian dimassage 2 sampai 3 kali/hari.
9 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
b. Dekubitus derajat II
Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang dangkal. Perawatan luka harus
memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Ulkus dibersihkan dengan
menggunakan kasa dan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Dapat diberikan salep
topikal, mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi.
Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena dapat merusakkan
pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
c. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan
sering sudah ada infeksi. Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat
mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga
permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga
tetap basah, karena akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat
dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
d. Dekubitus derajat IV
Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai jaringan
nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang
ada harus dibersihkan, sebab akan menghalangi pertumbuhan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan, dengan tujuan mengurangi perdarahan,
dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan
nekrotik dibuang dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
10 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
Usaha untuk mempercepat penyembuhan luka antara lain dengan memberikan
oksigenisasi pada daerah luka, tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-
sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka
mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40% dan komplikasi terbesar dari
ulkus dekubitus itu sendiri adalah sepsis.
7. Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari
posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul adalah
iskemia serebral, khusunya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-800 ml
darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh
tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan volume
sekuncup 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%. Pada orang normal
sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan denyut
jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi
baroreseptor menurun.1,4 Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring
pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia. Tirah baring lama akan
membalikkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan
mengakibatkan penurunan volume sekuncup jantung dan curah jantung. Curah
jantung rendah akan mengakibatkan terjadinya hipotensi postural.
Pelepasan hormon antidiuretik berkurang selama minggu awal imobilisasi
yang kemudian akan mengakibatkan diuresis dan penurunan volume plasma.
Penurunan volume plasma mencapai 10% selama 2 minggu pertama imobilisasi dan
bisa mencapai 20% setelah itu.
Gejala dan tanda dari hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah
sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat, pucat, kebingungan,
peningkatan denyut jantung, letih, dan pada keadaan berat dapat menyebabkan jatuh
yang pada akhirnya akan mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak dan
pendarahan otak.
8. Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)
Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien
geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan
11 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum
sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Selain itu, hal ini juga disertai
dengan daya pegas (recoil) elastik yang sudah berkurang (karena proses menua) yang
mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup saluran udara kecil.
Akibat tirah baring lama, aliran urin juga akan terganggu yang kemudian
menyebabkan infeksi saluran kemih. Pengisian kandung kemih yang berlebihan akan
menyebabkan mengembangnya dinding kandung kemih yang kemudian akan
meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retensi urin. Dari retensi urin inilah yang
akan memudahkan terjadinya ISK. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia
lanjut yang mengalami imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet,
berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi
kandung kemih.
9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang
akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang
terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada
usia lanjut yang imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi
katabolisme, sehingga metabolisme protein akan lebih rendah pada pasien usia lanjut
dengan imobilisasi. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan
meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia, edema, dan
penurunan berat badan. Keadaan kehilangan nitrogen meningkat hingga 12 gram pada
keadaan imobilisasi dengan malnutrisi, trauma, fraktur pinggul atau infeksi.
Penekanan sekresi hormon antidiuretik hormon selama imobilisasi juga akan
meningkatkan diuresis dan pemecahan otot sehingga akan mengakibatkan penurunan
berat badan.
10. Konstipasi dan skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin
lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan
menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan obat-
obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi
12 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
G. Penatalaksanaan
Non Farmakologis
Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim medis
interdisiplin dengan partisipasi pasien dan keluarga. Secara umum, tatalaksana untuk
pasien imobilisasi agar mencegah terjadinya berbagai komplikasi yaitu:
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting untuk mencegah terjadinya komplikasi dari
imobilisasi. Edukasi yang pentung disampaikan kepada pasien dan keluarga
mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi
dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas
kehidupan sehari–hari sendiri, semampu pasien.
2. Terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur.
Mobillisasi Dini
Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara
teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai upaya
mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta kontraktur
sendi.
Untuk mencegah kontraktur otot dapat dilakukan gerakan pasif
sebanyak satu atau dua kali sehari selama 20 menit.
Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang dapat dilakukan:
13 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
- Menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanan
pada kulit, dengan perubahan posisi lateral 30o, penggunaan kasur
anti dekubitus, atau menggunakan kasur berongga.
14 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
- Pada pasien dengan kursi roda, dapat dilakukan reposisi tiap jam
atau diistirahatkan dari duduk.
- Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke
kanan.
- Memberikan minyak setelah mandi atau mengompol dapat
dilakukan untuk mencegah maserasi.
1. Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaaan obat-oatan
yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi dini perlu
dilakukan untuk mencegah hipotensi.
2. Untuk mencegah terjadinya trombosis, dapat dilakukan tindakan
kompresi intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut dapat meningkatkan
aliran darah dari vena kaki dan menstimulasi aktivitas fibrinolitik. Teknik ini
bebas dari efek samping, namun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
penyakit vaskuler perifer.
3. Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi dan malnutrisi.
Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan
komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan terhadap terjadinya trombosis.
Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik yang dapat diberikan untuk
15 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
mencegah terjadinya trombosis pada pasien geriatri dengan imobilisasi. Low Dose Heparin
(LDH) dan Low Molecular Weight Heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan
efektif untuk pasien geriatri dengan imobilisasi dan resiko trombosis non pembedahan
terutama syok. Namun pemberian antikoagulan pada pasien geriatri perlu dilakukan dengan
hati-hati dan pertimbangan. Penurunan faal organ ginjal dan hati serta adanya interaksi obat
terutama antara warfarin dengan beberapa obat analgetik atau NSAID merupakan hal yang
harus amat diperhatikan.
H. Prognosis
Prognosis pada pasien imobilisasi tergantung pada penyakit yang mendasari
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkananya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat
memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai
menimbulkan kematian.
16 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
BAB III
KESIMPULAN
Imobilisasi merupakan keadaan yang tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik.
Imobilisasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan pada usia
lanjut .
Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah karena berbagai penyakit yang diderita oleh
pasien geriatri, namun beberapa komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah. Selain itu,
perubahan beberapa sistem organ dan fungsi metabolik juga terjadi karena proses menua pada
pasien geriatri. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan berbagai komplikasi yang
akan memperberat kondisi imobilisasi itu sendiri dan memperlambat proses penyembuhan
serta dapat menyebabkan kematian.
17 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S dan Roosheroe, A G. 2006.
Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata,
M., dan Setiati, S. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal : 1388-90.
2. Pranarka, K. Dekubitus. 2009. Dalam :
Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal : 272-83.
3. Kadir, S. 2007. Dekubitus.
http://subhankadir.wordpress.com/2007/08/20/decubitus/. (28 Maret 2010).
4. Martono, H.H. 2009. Aspek Fisiologik dan
Patologik Akibat Proses Menua. Dalam : Martono, H.H. dan Pranarka, K. (eds). Buku Ajar
Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal : 56-74.
18 Ratiya Primanita|Universitas Trisakti|2013