Upload
ghea-ananta-adrian
View
314
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
REFERAT
MENINGITIS
GHEA ANANTA ADRIAN
0808015038
PEMBIMBING : DR. N. BUDI SETIAWAN SP. BS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di
negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Diantaranya adalah
meningitis purulenta yang juga merupakan penyakit infeksi perlu perhatian kita.
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piamater, arakhnoid
dan dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang
superfisial. Sedang yang dimaksud meningitis purulenta adalah infeksi akut selaput otak
yang disebabkan oleh bakteri dan menimbulkan reaksi purulen pada cairan otak. Penyakit
ini lebih sering didapatkan pada anak daripada orang dewasa. 1
Disamping angka kematiannya yang tinggi. Banyak penderita yang menjadi cacat
akibat keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan. Meningitis purulenta merupakan
keadaan gawat darurat. Pemberian antibiotika yang cepat dan tepat serta dengan dosis
yang memadai penting untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah terjadinya cacat.2
Kuman mikrobakterium tuberkulosa paling sering menyebabkan infeksi paru-
paru, tetapi infeksi pada susunan saraf pusat adalah yang paling berbahaya. Kekerapan
meningitis tuberkulosa sebanding dengan prevalensi infeksi dengan mikrobakterium
tuberkulosa pada umumnya, jadi bergantung pada keadaan sosial ekonomi dan kesehatan
masyarakat. 3
Penyakit ini dapat terjadi pada segala umur, tetapi jarang dibawah 6 bulan. Yang
tersering adalah pada anak-anak umur 6 bulan sampai 5 tahun.4
Pada anak, meningitis tuberkulosa biasanya merupakan komplikasi infeksi primer
dengan atau tanpa penyebaran milier. Pada orang dewasa penyakit ini dapat merupakan
bentuk tersendiri atau bersamaan dengan tuberkulosis ditempat lain. Penyakit ini juga
dapat menyebabkan kematian dan cacat bila pengobatan terlambat. 5
Dalam bukunya Brunner & Sudart, Meningitis selanjutnya diklasifikasikan
sebagai asepsis, sepsis dan tuberkulosa. Meningitis aseptik mengacu pada salah satu
meningitis virus atau menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak,
ensefalitis limfoma, leukemia, atau darah diruang subarakhnoid. Meningitis sepsis
menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organisme bakteri seperti meningokokus,
stafilokokus atau basilus influenza. Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus
tuberkel. Infeksi meningeal umunya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, melalui
salah satu aliran darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti
selulitis, atau penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatik tulang wajah.
Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenik atau hasil sekunder
prosedur invasif (seperti fungsi lumbal) atau alat-alat infasif (seperti alat pantau TIK).
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pengertian,
penyebab, tanda dan gejala serta penanganan kegawat daruratan pada meningitis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Meningitis
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter
(lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan
mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial. 1
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai
dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis
purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.
Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.2
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet
infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok
penderita.3 Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan
dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke
dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan
peradangan pada selaput otak dan otak.4
2.2 Epidemilogi Meningitis
2.2.1. Distribusi Frekuensi Meningitis
a. Orang/ Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis. Penyakit
ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat
lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.5
Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di negara
berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di Amerika Serikat
terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk
Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus meningitis Hib
dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100
per 100.000. Setelah 10 tahun penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per
100.000. Di Uganda (2001-2002) Insidens Rate meningitis Hib pada usia < 5 tahun
sebesar 88 per 100.000.5
b. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi rendah,
lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah haji), dan
penyakit ISPA.16 Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang
berkembang dibandingkan pada negara maju.5
Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the African Meningitis
belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21
negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per
100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik. Di daerah Malawi,
Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang disebabkan oleh Haemophilus
influenzae 20-40 per 100.000 penduduk.5
c. Waktu
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus- kasus
infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika utara insidensi infeksi
Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi sedangkan di daerah
Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim kering. 5
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika sering terjadi
selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen pengantar
virus.21 Di Amerika Serikat pada tahun 1981 Insidens Rate meningitis virus sebesar 10,9
per 100.000 Penduduk dan sebagian besar kasus terjadi pada musim panas. 6
2.2.2. Determinan Meningitis
a. Host/ Pejamu
Meningitis yang disebabkan oleh Pneumococcus paling sering menyerang bayi di
bawah usia dua tahun.5 Meningitis yang disebabkan oleh bakteri Pneumokokus 3,4 kali
lebih besar pada anak kulit hitam dibandingkan yang berkulit putih.7 Meningitis
Tuberkulosa dapat terjadi pada setiap kelompok umur tetapi lebih sering terjadi pada
anak-anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan jarang pada usia di bawah 6 bulan kecuali bila
angka kejadian Tuberkulosa paru sangat tinggi. Diagnosa pada anak-anak ditandai
dengan test Mantoux positif dan terjadinya gejala meningitis setelah beberapa hari
mendapat suntikan BCG.8
Penelitian yang dilakukan oleh Nofareni(1997-2000) di RSUP H.Adam Malik
menemukan odds ratio anak yang sudah mendapat imunisasi BCG untuk menderita
meningitis Tuberculosis sebesar 0,2.8 Penelitian yang dilakukan oleh Ainur Rofiq (2000)
di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengenai daya lindung vaksin TBC
terhadap meningitis Tuberculosis pada anak menunjukkan penurunan resiko terjadinya
meningitis Tb pada anak sebanyak 0,72 kali bila penderita diberi BCG dibanding dengan
penderita yang tidak pernah diberikan BCG.8
Meningitis serosa dengan penyebab virus terutama menyerang anak-anak dan
dewasa muda (12-18 tahun). Meningitis virus dapat terjadi waktu orang menderita
campak, Gondongan (Mumps) atau penyakit infeksi virus lainnya. Meningitis
Mumpsvirus sering terjadi pada kelompok umur 5-15 tahun dan lebih banyak menyerang
laki-laki daripada perempuan. Penelitian yang dilakukan di Korea (Lee,2005) ,
menunjukkan resiko laki-laki untuk menderita meningitis dua kali lebih besar dibanding
perempuan. 9
b. Agent
Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitis purulenta
paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus
influenzae sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosa dan virus. 3 Bakteri Pneumococcus adalah salah satu penyebab meningitis
terparah. Sebanyak 20-30 % pasien meninggal akibat meningitis hanya dalam waktu 24
jam. Angka kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia.5
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya mirip sakit flu
biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi KLB Mumps,
virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis aseptik pada orang yang
tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan penyebab dari 33 % kasus
meningitis aseptik, Echovirus dan Enterovirus merupakan penyebab dari 50 % kasus. 9
Resiko untuk terkena aseptik meningitis pada laki-laki 2 kali lebih sering dibanding
perempuan.9
c. Lingkungan
Faktor Lingkungan (Environment) yang mempengaruhi terjadinya meningitis
bakteri yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah lingkungan dengan
kebersihan yang buruk dan padat dimana terjadi kontak atau hidup serumah dengan
penderita infeksi saluran pernafasan.7 Pada umumnya frekuensi Mycobacterium
tuberculosa selalu sebanding dengan frekuensi infeksi Tuberculosa paru. Jadi dipengaruhi
keadaan sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Penyakit ini kebanyakan terdapat
pada penduduk dengan keadaan sosial ekonomi rendah, lingkungan kumuh dan padat,
serta tidak mendapat imunisasi.3
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika sering terjadi
selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen pengantar
virus. Lebih sering dijumpai pada anak-anak daripada orang dewasa. Kebanyakan kasus
dijumpai setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas. 7
2.3. Infectious Agent Meningitis
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan
protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan
oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena
mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk
bakteri lebih berat.1 Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan
pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh
E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun
(balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan
umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan
Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria.20 Penyebab
meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis dan virus.5
Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung
jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan
yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkan Herpes simplex , Herpes
zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).6
2.4. Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak7
Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur
syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningea
terdiri dari tiga lapis, yaitu:
2.4.1. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak, sumsum
tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter terbagi lagi atas
durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak (periosteum) dan durameter
bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan tengkorak untuk membentuk falks
serebrum, tentorium serebelum dan diafragma sella.
2.4.2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan durameter
dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang meliputi
seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan arakhnoid disebut ruangan
subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini
terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan
meningen serta dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
2.4.3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah kecil
yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini melekat erat
dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid dan
piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang. Disini
mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.
2.5. Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput
otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak,
Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman
bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah
otak11. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang
pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.11
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi;
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat
yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit
polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag.11
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron- neuron.
Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan
kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal
tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri. 11
2.6. Gejala Klinis Meningitis
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi,
muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) melalui pungsi lumbal.11
Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa
sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh
Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh
pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada
meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala,
muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam
makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas.
Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada
palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit
kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.13
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi
dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang
dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh
Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi
Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri
kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur,
keruh atau purulen.12
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung,
cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada
orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu
makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.8
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium
terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak
mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.8
2.7. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal 13
2.7.1.Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala.
2.7.2. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa
nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki
tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.
2.7.3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan
cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada leher.
2.7.4. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.
2.8. Pemeriksaan Penunjang Meningitis
2.8.1. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah
putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2.8.2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Disamping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
2.8.3. Pemeriksaan Radiologis
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan
CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus
paranasal, gigi geligi) dan foto dada.
2.9. Prognosis Meningitis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan
lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan
dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat
berat dan kematian.19
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).
Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita
mengalami kematian. 20
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi
oleh umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat
meninggal dalam waktu 6-8 minggu. 16
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang
jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan
yang tepat penyembuhan total bisa terjadi. 15
2.10. Pencegahan Meningitis
a. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis
bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup
sehat.20
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi
agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti
Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),
Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC
atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan
jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi
dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib
yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan
interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan,
anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan
pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.12,21
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis
(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.
Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.35 meningitis
TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi
kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat
kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 – 20%
dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.18
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan
seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara
meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan
setelah dari toilet.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih
tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan
penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta
keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis. 11
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan
pemeriksaan X-ray (rontgen) paru . 11
Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita
secara dini. Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan antibiotik yang
sesuai dengan jenis penyebab meningitis yaitu :
b.1. Meningitis Purulenta b.1.1. Haemophilus influenzae b : ampisilin,
kloramfenikol, setofaksim, seftriakson.
b.1.2. Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin, seftriakson.
b.1.3. Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan seftriakson
b.2. Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)
Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat
ditambahkan etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa prednison digunakan
sebagai anti inflamasi yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema
otak. 17
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan
untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita
untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi- kondisi yang tidak diobati lagi, dan
mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya
tuli atau ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk
mencegah dan mengurangi cacat. 11
2. 11. Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah menghilangkan infeksi dengan menurunkan tanda-tanda dan
gejala serta mencegah kerusakan neurologik seperti kejang, tuli, koma dan kematian. 22
2.11.1 Prinsip umum terapi
1. Pemberian cairan, eletrolit, antipiretik, analgesik, dan terapi
penunjang lain yang penting untuk pasien penderita meningitis akut
2. Terapi antibiotika empirik harus diberikan sesegera mungkin
untuk menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotik harus paling tidak
selama 48-72 jam atau sampai diagnosa ditegakkan
3. Meningitis yang disebabkan oleh S pneumonia, N meningitidis, H
influenza dapat sukses diterapi dengan antibiotik selama 7-14 hari. Pemberian
lbih lama, 14-21 hari direkomendasikan untuk pasien yang terinfeksi L
monocytgees, Group B streptococci dan basil G enterik. Terapi seharusnya secara
idividu dan beberapa pasien mungkin memerlukan terapi antibiotik lebih lama. 22
2.11.2 Terapi Farmakologi
1. Peningkatan inflamasi selaput otak akan meningkatkan penetrasi
antibiotik. Masalah penetrasi AB dapat diatasi dengan pemberian AB langsung
secara intratekal, intrasisternal, atau intraventrikuler.
2. Faktor2 yang memperkuat penetrasi ke CSS adalah BM yang
rendah, molekul yang tidak terion, kearutan dalam lemak, dan ikatan protein yang
kecil.
3. Deksametason sebagai terapi adjuvan, juga sering digunakan pada
kasus meningitis anak, karena dapat menyebabkan perbaikan yang nyata pada
konsentrasi glukosa dan laktat CSS serta juga mnurunkan dengan nyata kejadian
gangguan neurologi yang umum berkaitan dengan meningitis
4. The american academy of pediatric menyarankan penggunaan
deksa untuk bayi dan anak berusia 2 bulan atau lebih tua yang menderita
meningitis pneumokokus dan meningitis H influenza. Dosis umum deksa Iv
adalah 0,15 mg/kg setiap 6jam selama 4 hari. Atau deksa 0,15 mg/kg setiap 6jam
untuk 2 hari atau 0,4 mg/kg setiap 12 jam untuk 2 hari, efektifitasnya sebandig
dan kurang menimbulkan toksisitas potensial.
5. Deksa harus diberikan sebelum dosis pertama AB dan Hb dan tinja
guaiak (pucat) harus dimonitor untuk mengethui pendarahan saluran cerna.
Pada jam-jam pertama, penderita harus diamati secara intensif karena shock dapat
terjadi setelah penderita mendapat antibiotika. Perlu diingat bahwa mengikuti
perkembangan (monitor) tekanan darah sistolik pada penderita anak-anak tidaklah
memadai untuk dapat mengawasi terjadinya shock. Indikator yang lebih baik adalah:
tekanan darah diastolik yang rendah, pengisian kapiler yang terlambat, ekstrimitas yang
dingin, dan takikardia. Terapi antibiotika harus dimulai sedini mungkin. Keprihatinan
bahwa pemberian antibiotika yang dini menyebabkan bertambah buruknya keadaan
klinik penderita karena antibiotika (terutama dari golongan β-lactam) menginduksi
pelepasan endotoksin belum pernah terbukti secara klinis. Sebaliknya, penundaan terapi
antibiotika dapat berakibat meningkatnya proses-proses bakteriologis dan menyebabkan
response peradangan yang berakibat buruk. Bilamana pemberian antibiotika dilakukan
pada waktu penyakit telah berjalan lanjut misalnya pada saat lesi iskemik telah berjalan,
lebih banyak kuman yang dapat lolos dari efek antibiotika. 23
Penanganan shock perlu dilakukan sebaik-baiknya dan secepatnya. Oleh karena
disamping terjadi kebocoran kapiler secara ekstensif, stadium awal FMS juga diikuti oleh
depresi kardiac yang berat sehingga dapat timbul kongesti pulmonal, maka jumlah
pemberian cairan perlu diperhatikan. Secara umum, suport inotropik dan vasopresif
dibutuhkan sejak awal penyakit. Hipoglikemia mungkin ditemukan pada bayi, dan ini
perlu segera dikoreksi. Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan FMS masih bersifat
kontroversial. Sampai awal tahun 1980-an, pemakaian glukokortikoid secara luas
diterima sebagai terapi baku yang dapat menurunkan angka kematian pada infeksi
meningokok .
Pada keadaan di mana tidak ada ancaman untuk terjadinya hernia serebral atau
shock, pengobatan meningitis meningokok secara relatif lebih sederhana dan hanya
membutuhkan antibiotik parenteral serta pengawasan yang intensif dari penderita.
Penanganan penderita meningitis bakterial akut harus segera diberikan begitu
diagnosa ditegakkan. Penatalaksanaan meningitis bakterial akut terbagi dua yakni
penatalaksanaan konservatif/ medikal dan operatif. 22
1. Terapi Konservatif/Medikal
a. Antibiotika
Pemilihan obat-obatan antibiotika, harus terlebih dahulu dilakukan kultur darah dan
Lumbal Punksi guna pembrian antibiotika disesuaikan dengan kuman penyebab.
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan antibiotika
yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta perubahan dari sumber
dasar infeksi. Bakteriologikal dan respons gejala klinis kemungkinan akan menjadi
lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit 14 hari setelah hasil kultur CSF
akan menjadi negatif. 22
b. Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan
penetrasi antibiotika ke dalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses, oleh
karena itu penggunaaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu kortikosteroid
sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau edema pada herniasi
yang mengancam dan menimbulkan defisit neurologik fokal. 23
Lebel et al (1988) melakukan penelitian pada 200 bayi dan anak yang menderita
meningitis bacterial karena H. influenzae dan mendapat terapi deksamethason 0,15
mg/kgBB/x tiap 6 jam selama 4 hari, 20 menit sebelum pemberian antibiotika. Ternyata
pada pemeriksaan 24 jam kemudian didapatkan penurunan tekanan CSF, peningkatan
kadar glukosa CSF dan penurunan kadar protein CSF. Yang mengesankan dari penelitian
ini bahwa gejala sisa berupa gangguan pendengaran pada kelompok yang mendapatkan
deksamethason adalah lebih rendah dibandingkan kontrol. Tunkel dan Scheld (1995)
menganjurkan pemberian deksamethason hanya pada penderita dengan resiko tinggi, atau
pada penderita dengan status mental sangat terganggu, edema otak atau tekanan
intrakranial tinggi. Hal ini mengingat efek samping penggunaan deksamethason yang
cukup banyak seperti perdarahan traktus gastrointestinal, penurunan fungsi imun seluler
sehingga menjadi peka terhadap patogen lain dan mengurangi penetrasi antibiotika
kedalam CSF. 25
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
2. Markam, S., 1992. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara,
Jakarta.
3. Handayani, S., 2006. Karier Meningitis Meningokok Pada Jemaah Haji Indonesia.
Buletin Penelitian Kesehatan, Vol.34, No.1, Hal 30-36, Jakarta.
4. Mansjoer, A.,dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media
Aesculapius, Jakarta.
5. Lewis, R., dkk.,2008. Action for Child Survival Elimination of Haemophilus
Influenzae Type b Meningitis in Uganda. Bulletin of the World Health
Organization,Vol.86,No.4 :292-301,Uganda
6. Jellife, D., 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis, Edisi Keempat. Bumi
Aksara, Jakarta.
7. Devarajan, V ., 2008.Haemophilus Influenzae Infection.
http://www.meningitisemedicine.com
8. Musfiroh, S., dkk., 2000. Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat di RSUP Dr.Sardjito
Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran, Vol.32, No.3, FK Universitas
Gadjah Mada.
9. Nelson, 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. Kedokteran EGC, Jakarta.
10. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press,
Surabaya.
11. Suwono, W., 1996. Diagnosis Topik Neurologi, Edisi Kedua. Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
12. Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan,
Edisi Pertama. Salemba Medika, Jakarta.
13. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
14. Juwono, T., 1993. Penatalaksanaan Kasus-kasus Darurat Neurologi. Widya
Medika, Jakarta.
15. Muttaqin, A., 2003. Asuhan Keperawatan Meningitis. FK Universitas Airlangga,
Surabaya.
16. Saul, F., 2007. Aseptic Meningitis. http://www.meningitisemedicine.com
17. Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. USU Digital Library
URL:http://Library.usu.ac.id/download/FK/nofareni.pdf
18. Rafiq, A., 2001. Daya Lindung Vaksin BCG Terhadap Meningitis Tuberkulosa
Anak di Beberapa Rumah Sakit Jakarta. http://www.depkes.go.id.
19. Nelson, 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Kedokteran EGC, Jakarta. 35. Hasan, R.,
Alatas, H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 3.
Infomedika, Jakarta.
20. Beaglehole, R., dkk., 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
21. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta. 38.
Fletcher, Robert H., dkk., 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
22. Baoezier F. Meningitis. Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan On
Neurology 2002. SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR/ Dr. Sutomo. 2002:1-
20
23. Davis LE. Acute Bacterial Meningitis. In: Johnson RT, Griffin JW. Current
Therapy in Neurologic Disease. 5th edition. USA:Mosby-Year
Book,Inc;1997.p.120-31.
24. Lipman J. Meningitis and encephalomyelitis. In: T E Oh. Editors. Intensive
Care Manual. 4th edition. Butterworth Heinemann. 1997. p. 416-
22.