36
BAB I PENDAHULUAN Flatfoot atau disebut juga Pes Planovalgus adalah sebuah kondisi arkus medialis kaki menjadi rata, disertai rotasi medial dari kaput talus dan abduksi dari forefoot, sehingga keseluruhan permukaan telapak kaki menyentuh tanah. Angka kejadian flatfoot bervariasi menurut umur dan jenis rasnya. Seiring dengan bertambahnya usia angka kejadiannya akan menurun. Pada kelompok anak usia 3 tahun berkisar sebesar 54% dan pada kelompok anak usia 6 tahun menjadi sekitar 24%. Sebagian besar anak akan menunjukkan perkembangan normal dari telapak kaki pada usia 12 tahun (Pfeiffer , 2006). Setiap ras memiliki nilai rata-rata ketinggian arkus medialis yang berbeda-beda . P ada orang ber kulit hitam memiliki tinggi arkus medialis rata-rata lebih rendah daripada orang Kaukasoid (kulit putih), sehingga angka kejadian flatfoot lebih tinggi pada orang kulit hitam (Herring, 2008, Evans, 2009, Mosca, 2010, Metcalfe, 2011). 1

referat pes planus

  • Upload
    reyner

  • View
    136

  • Download
    30

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pes planus

Citation preview

BAB I

PENDAHULUANFlatfoot atau disebut juga Pes Planovalgus adalah sebuah kondisi arkus medialis kaki menjadi rata, disertai rotasi medial dari kaput talus dan abduksi dari forefoot, sehingga keseluruhan permukaan telapak kaki menyentuh tanah. Angka kejadian flatfoot bervariasi menurut umur dan jenis rasnya. Seiring dengan bertambahnya usia angka kejadiannya akan menurun. Pada kelompok anak usia 3 tahun berkisar sebesar 54% dan pada kelompok anak usia 6 tahun menjadi sekitar 24%. Sebagian besar anak akan menunjukkan perkembangan normal dari telapak kaki pada usia 12 tahun (Pfeiffer, 2006). Setiap ras memiliki nilai rata-rata ketinggian arkus medialis yang berbeda-beda. Pada orang berkulit hitam memiliki tinggi arkus medialis rata-rata lebih rendah daripada orang Kaukasoid (kulit putih), sehingga angka kejadian flatfoot lebih tinggi pada orang kulit hitam (Herring, 2008, Evans, 2009, Mosca, 2010, Metcalfe, 2011).Flatfoot pada umumnya tidak menyebabkan gangguan fungsi dan dapat membaik tanpa membutuhkan penanganan, jarang sekali kasus yang membutuhkan penanganan lebih lanjut (Kellerman, 2011). Namun demikian, flatfoot seringkali menyebabkan kekhawatiran yang berlebihan bagi para orang tua terkait dengan tampilan kaki anak yang abnormal. Para orang tua berpikir bahwa semua kondisi flatfoot merupakan sebuah kelainan yang harus diterapi segera bila tidak akan mengakibatkan kecacatan pada anak. Sehingga flatfoot menjadi salah satu penyebab tersering para orang tua membawa anaknya ke klinik orthopaedi pediatri (Luhmann, 2000, Chen, 2010, Shih, 2012).Pada umumnya flatfoot dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu flexible (Idiopathic plano valgus) dan rigid flatfoot. Flexible flatfoot memiliki bentuk arkus medialis yang normal pada saat tidak menapak (non weight bearing), sedangkan saat menapak (weight bearing), arkus medialis menjadi rata disertai protrusi medial dari tulang talus dan valgus dari tulang calcaneus. Rigid flatfoot, tidak didapatkan arkus medialis baik pada kondisi menapak maupun tidak. Seringkali pada rigid flatfoot sudah terjadi perubahan struktur anatomi dari tulang dan kekakuan (rigiditas) dari sendi dan ligamen penyusunnya. Flexible flatfoot merupakan salah satu kelainan yang paling sering terjadi pada anak anak dan remaja daripada rigid flatfoot dan kebanyakan akan mengalami remisi spontan (Mosca, 2010, Park et al, 2013).Pada keadaan tertentu, flexible flatfoot dapat menimbulkan keluhan seperti nyeri dan mudah lelah pada kaki yang menetap hingga dewasa. Pada keadaan yang lebih parah juga dapat mengakibatkan kelainan gaya berjalan. Berbagai keluhan ini menimbulkan ketidaknyamanan dan bahkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap kondisi anaknya di kalangan para orang tua. Oleh karena itu penting untuk lebih mengenal tentang flexible flatfoot dan perjalanan alamiahnya (Yeager, 2010, Metcalfe, 2011, Shih, 2012, Sung, 2013). Sehingga tujuan penulisan referat ini adalah memberikan informasi lebih dalam tentang flexible flatfoot dan membahas pendekatan terkini terhadap kelainan tersebut.BAB II

ANATOMI2.1 Anatomi Tulang

Anatomi tulang kaki dibagi menjadi tiga daerah anatomi, yaitu hindfoot, midfoot, dan forefoot. Hindfoot terdiri dari tulang talus (ankle bone) dan kalkaneus (heel bone). Tulang kalkaneus merupakan tulang terbesar pada kaki manusia. Antara talus dan kalkaneus dihubungkan dengan kompleks persendian subtalar (subtalar joint complex). Midfoot terdiri dari tulang navikular, kuboid, dan 3 tulang kuneiforme. Hindfoot dan midfoot bergabung menjadi satu kesatuan yang disebut dengan tulang tarsal. Sedangkan forefoot terdiri dari 5 tulang metatarsal dan 14 tulang phalang. Semua tulang metatarsal memiliki 3 tulang phalang, kecuali metatarsal pertama yang hanya memiliki 2 tulang phalang (gambar 1). Jumlah keseluruhan tulang pada kaki manusia sebanyak 26 tulang (Morrissy, 2006, Shih, 2012). Gambar 1: Anatomi Tulang Kaki (Hestiyarini, 2013; Panchbhavi, 2013)2.2 Anatomi Ligamen

Tulang-tulang kaki dipertahankan posisinya oleh ligamen. Ligamen-ligamen pada kaki yang berhubungan dengan terjadinya flatfoot adalah interosseus, kalkaneonavikular, dan kalkaneokuboid. Ligamen interosseus menghubungkan permukaan artikular inferior talus dengan permukaan superior dari kalkaneus. Ligamen interosseus ini sangat kuat dan memiliki panjang rata-rata 2,5 cm pada orang dewasa. Ligamen ini berfungsi mencegah gerakan eversi yang berlebihan dari persendian subtalar. Ligamen kalkaneonavikular adalah ligamen yang luas dan tebal, serta menghubungkan tepi anterior sustentakulum tali kalkaneus dengan permukaan plantar navikular. Ligamen ini sering disebut juga dengan spring ligamen. Ligamen ini merupakan ligamen yang paling berperan dalam membentuk arkus medialis. Ligamen ini berfungsi mempertahankan posisi kaput talus pada saat berdiri. Ligamen kalkaneokuboid terdiri dari dua bagian, yaitu dorsal dan plantar. Ligamen kalkaneokuboid plantar lebih dominan dalam menyebabkan terjadinya flatfoot daripada ligamen kalkaneokuboid dorsal. Ligamen ini terletak profundus terhadap ligamen plantaris longus dan memiliki struktur yang sangat kuat (gambar 2). Ligamen kalkaneonavikular dan kalkaneokuboid bersama-sama berperan untuk menstabilkan persendian antara hindfoot dan midfoot (Morrissy, 2006, Shih, 2012).

Gambar 2 : Anatomi Ligamen pada Kaki (Netter, 2006)3. Anatomi Arkus

Pada kaki juga terdapat suatu struktur yang cukup penting, yaitu arkus pedis yang berfungsi sebagai shock absorber pada saat seseorang berjalan atau melompat. Arkus pedis dibagi menjadi dua, yaitu longitudinal dan transversa. Arkus longitudinal dibagi menjadi dua, yaitu arkus medialis dan lateralis. Arkus medialis tersusun oleh tulang kalkaneus, talus, navikular, kuneiform, serta metatarsal pertama, kedua, dan ketiga. Arkus medialis memiliki elastisitas yang sangat baik karena tersusun oleh banyak sendi kecil diantaranya. Bagian terlemah dari arkus medialis terletak pada persendian antara talus dan navikular. Akan tetapi, sebagai kompensasi dari lemahnya sendi ini, terdapat ligamen kalkaneonavikular (spring ligament) yang sangat elastis sehingga membuat persendian ini tetap stabil. Ligamen kalkaneonavikular sendiri difiksasi pada bagian medial oleh ligamen deltoid, sedangkan pada bagian inferior oleh tendon dari otot tibialis posterior yang insersinya berbentuk seperti kipas (fan-shaped) dan oleh aponeurosis plantaris yang terletak pada dasar kaki. Arkus lateralis tersusun oleh tulang kalkaneus, kuboid, dan metatarsal keempat dan kelima. Arkus transversalis tersusun secara transversa mulai dari bagian anterior tulang kuneiforme di bagian medial hingga bagian posterior dari metatarsal kelima (gambar 3). Arkus transversa distabilisasi oleh ligamen interosseus, plantaris, kaput transversa otot adduktor hallucis, dan insersi otot peroneus longus (Baumhauer, 2006, Chen, 2010).

Gambar 3: Susunan Arkus pada Kaki (Ortho worldwide, 2012)4. Anatomi Kaki pada FlatfootKelainan yang terjadi pada flatfoot dapat diamati pada tahap berjalan, yaitu pada saat fase menapak (stance phase) dan tidak (swing phase). Pada saat menapak, kelainan yang terjadi berupa hilangnya arkus medialis, valgus dari hindfoot dan abduksi pada forefoot. Pada midfoot seringkali tidak terjadi kelainan anatomi. Sedangkan pada saat tidak menapak, kelainan dapat ditemukan saat dorsofleksi ankle dan saat berjalan. Pada saat dorsofleksi ankle, arkus medialis akan terlihat dan hindfoot valgus akan berubah menjadi hindfoot varus (gambar 4 dan 5). Sedangkan pada saat berjalan, talus mengalami rotasi internal (Chen, 2010, Kellermann, 2011).

Gambar 4 : Pada flexible flatfoot, arkus medialis tampak pada saat tidak menapak (A), saat menapak, arkus medialis menghilang (B). Foto radiologis dari lateral kaki dengan flatfoot (C) dan kaki normal (D) (Harris, 2004; Patel 2012).

Gambar 5 : Pada saat menapak, hindfoot mengalami valgus (gambar kiri). Pada saat dorsofleksi ankle, menjadi hindfoot varus (gambar kanan) (Hestiyarini, 2013).BAB III

BATASAN FLATFOOT3.1 Batasan Flatfoot Secara Klinis

Murley dkk mendefinisikan batasan flatfoot secara klinis meliputi 2 hal, yaitu pengukuran indeks arkus dan normalized navicular height truncated (NNHt). Kedua pengukuran tersebut menggunakan jejak kaki dengan bantuan kertas karbon, dan sebagai alasnya digunakan kertas millimeter blok (foot print). Menurut Murley, kedua pengukuran ini memiliki korelasi yang bermakna dengan foto radiologis dari kaki, sehingga cukup baik dalam merepresentasikan alignment dari tulang penyusun kaki. Kedua skala pengukuran ini juga sering digunakan karena relatif cukup mudah dalam penggunaannya (gambar 6). Indeks arkus sangat berhubungan dengan kekuatan dan tekanan maksimum pada midfoot pada saat seseorang berjalan (Evans, 2009, Murley, 2009, Chen, 2010).Indeks arkus diukur sebagai rasio dari luas sepertiga tengah dibandingkan keseluruhan luas jejak kaki, tanpa menyertakan luas digitinya. Nilai normal dari indeks arkus ini adalah dibawah 0,32. Normalized navicular height truncated (NNHt) diukur sebagai perbandingan tinggi tulang navikular terhadap panjang batang kaki. Tinggi tulang navikular merupakan jarak dari tonjolan tuberositas navikular yang terletak paling medial terhadap lantai. Sedangkan panjang batang kaki diukur dari perpotongan tegak lurus dari sendi metatarsophalangeal pertama dengan sisi posterior dari kalkaneus. Nilai normal dari NNHt adalah diatas 0,21. Diagnosa flatfoot ditegakkan apabila nilai indeks arkus atau NNHt seperti dalam tabel 1 (Evans, 2009, Murley, 2009). Gambar 6: Jejak kaki anak dengan kertas karbon. Indeks arkus merupakan perbandingan luas jejak kaki sepertiga medial dengan luas jejak kaki total (B/(A+B+C)). NNHt merupakan perbandingan dari tinggi tulang navikular (H)

dengan panjang batang kaki (L) (Murley, 2009).Tabel 1: Batasan Diagnosis Flatfoot Berdasarkan Indeks Arkus dan NNHt (Murley, 2009) ParameterNilai normalNilai pada flatfoot

Indeks Arkus 0,32> 0,32

NNHt 0,21< 0,21

3.2 Batasan Flatfoot Secara RadiologisDiagnosa flatfoot secara radiologis meliputi foto antero-posterior (AP) dan lateral dari kaki pasien pada posisi menapak. Ada banyak cara pengukuran dalam menentukan batasan flatfoot secara radiologis. Karena pilihan tersebut terlalu luas, sembilan ahli orthopaedi di Seoul National University Bundang Hospital di Korea Selatan melakukan Konsensus untuk menentukan jenis foto radiologis yang paling reliabel dan valid dalam menentukan batasan flatfoot. Dalam konsensus tersebut akhirnya terpilih empat foto radiologis yang terbaik dalam menentukan batasan flatfoot. Dari bidang AP, terpilih foto talonavicular coverage angle, dan anteroposterior talus-first metatarsal angle. Sedangkan dari bidang lateral, terpilih calcaneal pitch angle, dan lateral talus-first metatarsal angle (Davids, 2005, Lee, 2010, Park et al., 2013).

Talonavicular (APTN) coverage angle merupakan sudut yang dibentuk antara permukaan artikular anterior talus dengan permukaan artikular proksimal navikular. Sudut ini mencerminkan seberapa besar subluksasi tulang navikular terhadap tulang talus. Semakin besar sudut ini menunjukkan semakin besar terjadinya abduksi pada forefoot. Sedangkan anteroposterior talus-first metatarsal (AP-1 MT) angle dibentuk oleh permukaan artikular anterior talus dengan garis axis longitudinal tulang metatarsal pertama (gambar 7) (Davids, 2005, Lee, 2010, Park et al., 2013).

Calcaneal pitch angle merupakan sudut yang dibentuk oleh permukaan inferior yang menghadap ke anterior dari tulang kalkaneus dengan bidang horizontal. Pengukuran ini merupakan yang paling mudah diantara pengukuran sudut yang lain. Sedangkan lateral talus-first metatarsal (lateral-1 MT) angle dibentuk oleh garis yang melalui titik tengah kaput dan neck talus dengan garis longitudinal pada axis metatarsal pertama (gambar 7). Lateral Talus-first metatarsal angle sering disebut juga dengan Mearys angle. Sudut ini menunjukkan seberapa besar hilangnya arkus medialis, sehingga Mearys angle merupakan pengukuran radiologis paling familiar untuk flatfoot. Menurut Park et al., sudut-sudut diatas memiliki reliabilitas dan validitas yang sangat baik, dengan bias antar observer yang cukup rendah (Davids, 2005, Lee, 2010, Park et al., 2013). Untuk nilai normal dan batasan flatfoot tertera dalam tabel 2.

Gambar 7 : Pengukuran Radiologis pada Flatfoot : APTN coverage angle (A), AP Talo-1 MT angle (B), Calcaneal pitch angle (C), dan Lateral Talo-1 MT angle (D)(Park et al., 2013)

Tabel 2 : Parameter pengukuran radiologis pada flatfootParameterNilai normal (derajat)Nilai pada flatfoot

APTN coverage0 7> 7

AP Talo-1MT0 10> 10

CP17 32< 17

Lat Talo-1MT 0 4> 4

(Park et al., 2013)BAB IV

DISKUSI

4.1 Patogenesis Terjadinya FlatfootTeori yang paling banyak dianut oleh para ahli mengenai dasar terjadinya flatfoot adalah teori kelemahan ligamen (ligament laxity). Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa susunan ligamen pada kaki berperan membentuk arkus medialis. Ligamen yang paling berperan ada 3, yaitu ligament interosseus, kalkaneonavikular, dan kalkaneokuboid. Kelemahan dari ligamen ini menyebabkan subtalar dan talonavikular joint mengalami ketidakstabilan. Ketidakstabilan pada kedua joint tersebut menyebabkan eversi pada saat awal fase berjalan, dan inversi pada akhir fase berjalan. Gerakan eversi dan inversi ini seharusnya tidak terjadi pada kaki normal. Ketidakstabilan ini pada awalnya dikompensasi oleh otot-otot intrinsik pada kaki. Kompensasi ini membutuhkan otot-otot intrinsik bekerja lebih keras. Aktivitas otot intrinsik yang berlebihan ini yang dapat menyebabkan keluhan pada flexible flatfoot seperti nyeri dan mudah lelah saat berjalan jauh. Namun, dalam waktu yang cukup lama, otot-otot ini tidak mampu lagi mengkompensasi, sehingga terjadi kelainan anatomi tulang pada flatfoot (Harris, 2004, Mosca, 2010, Shih, 2012).Arkus medialis pada anak-anak biasanya mulai tampak bersamaan dengan terjadinya resolusi pada lemak subkutan pada kaki anak. Sebagian lemak pada bantalan kaki anak-anak akan mengalami atrofi saat berusia diatas 5 tahun. Fulford juga mengatakan pada penelitiannya bahwa pengukuran sudut talo-metatarsal semakin mengecil pada usia anak sekitar 8 tahun. Dalam pengamatannya, Herring berpendapat bahwa arkus medialis mulai terbentuk pada anak-anak seiring dengan peningkatan fungsi dari ligamen dan otot kaki saat anak mulai berjalan. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Mosca bahwa salah satu teori yang menyebabkan terjadinya flatfoot adalah teori kekuatan otot dan ligamen penyusunnya (Herring, 2008, Mosca, 2010, Shih, 2012)4.2 Teori Koreksi Spontan Flatfoot terhadap UmurPada tahun 2013, Park et al. mempublikasikan sebuah penelitian tentang koreksi spontan flatfoot terhadap umur anak-anak. Penelitian tersebut menggunakan sampel sejumlah 366 anak dengan flexible flatfoot dengan batasan umur 15 tahun. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa nilai koreksi APTN coverage angle, AP talus-first metatarsal angle, dan lateral talus-first metatarsal angle berturut-turut sebesar 1,7, 2,1, dan 0,7 pertahunnya. AP talus-first metatarsal angle sangat merupakan pengukutan yang paling sensitif koreksinya terhadap umur (gambar 8). Sedangkan koreksi spontan dari calcaneal pitch angle didapatkan hasil yang tidak signifikan. Besar koreksi spontan pengukuran radiologis antara laki-laki dan perempuan tidak didapatkan perbedaan bermakna. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa umur sangat berpengaruh terhadap perkembangan koreksi spontan flatfoot seseorang. Oleh karena itu, Sung et al. menganjurkan evaluasi foto radiologis setiap 3 tahun pada anak dengan flatfoot (Lee, 2010, Kellermann, 2011, Park et al., 2013, Sung et al, 2013)

Gambar 8 : Koreksi spontan sudut AP Talo-1 MT pada anak usia 0-15 tahun (Park et al., 2013)

4.3 Rekomendasi Pengukuran Flatfoot

Tidak semua pengukuran radiologis yang dijelaskan diatas sesuai untuk kelompok umur anak-anak. Pada beberapa kelompok umur, hanya beberapa pengukuran saja yang menghasilkan nilai yang bermakna. Contohnya untuk APTN coverage angle, tidak bisa diterapkan untuk semua kelompok umur karena terjadinya ossifikasi pada tulang navikular. Pada laki-laki, osifikasi navikular terjadi pada usia 3 tahun, sedangkan pada perempuan terjadi pada usia 2 tahun. Sedangkan untuk mengukur APTN coverage angle, tulang navikular harus sudah mengalami osifikasi, karena pada pengukurannya, permukaan artikular pada sisi talar tulang navikular harus teridentifikasi. Sehingga, APTN coverage angle hanya bermakna pada usia diatas 7 tahun karena osifikasi tulang navikular berlangsung selama 3-4 tahun (Davids, 2005, Evans, 2009, Park et al., 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan Moraleda pada tahun 2011, APTN coverage angle merupakan satu-satunya pengukuran yang dapat membedakan keluhan flatfoot apakah akan berkembang menjadi yang simtomatik atau asimtomtik. Sedangkan indikasi terapi pembedahan pada flatfoot adalah adanya keluhan yang menetap pada anak. Sehingga, sudut ini merupakan yang terbaik untuk digunakan sebagai landasan dalam melakukan tindakan pembedahan dibandingkan ketiga sudut lainnya (Moraleda, 2011, Park et al., 2013).

Pengukuran AP dan lateral Talo-1 MT angle juga tidak dapat diterapkan pada semua kelompok umur. Hal ini dikarenakan pada maturitas tulang pada anak-anak baru baru selesai pada usia diatas 10 tahun. Setelah terjadinya maturitas pada tulang, bentuk tulang akan mengalami perubahan cukup pesat. Perubahan bentuk dari tulang pada akhirnya juga akan mempengaruhi susunan dan persendian antar tulang tersebut, termasuk pengukuran sudut antar tulang. Hal inilah yang menjadi landasan mengapa pengukuran AP dan lateral-1 MT angle sebaiknya diukur pada usia anak diatas 10 tahun (Davids, 2005, Lee, 2010, Park et al., 2013).

Calcaneal pitch angle merupakan pengukuran yang paling mudah dilakukan dibandingkan ketiga cara lainnya dalam pengukuran flatfoot. Bahkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Davids et al., dan Lee et al., pengukuran ini memiliki reliabilitas yang cukup tinggi. Begitu juga dengan penelitian yng dilakukan oleh Park et al., metode pengukuran ini memiliki nilai reliabilitas interobserver yang paling tinggi diantara metode pengukuran lainnya. Namun, menurut Park et al., pengukuran ini tidak memiliki nilai yang signifikan terhadap terjadinya koreksi spontan pada flatfoot. Sehingga pengukuran ini dianjurkan sebagai prioritas terakhir dibandingkan ketiga pengukuran lainnya (Davids, 2005, Lee, 2010, Park et al., 2013).4.4 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi

Flexible flatfoot dapat merupakan sebuah kelainan yang terjadi sendiri dan dapat juga bersamaan dengan kelainan yang lain. Flexible flatfoot yang terjadi bersamaan dengan kelainan yang lain dapat berupa generalized ligamentous laxity, kelainan neurologis, kelainan muskular, serta kelainan kolagen dan genetik. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh mulai dari anamnesis yang meliputi riwayat keturunan, riwayat trauma, umur, gejala penyerta, dan akitivitas maksimal yang dapat dilakukan. Begitu juga pada pemeriksaan fisik, tidak hanya beriorientasi di daerah ankle saja, namun juga dilakukan pemeriksaan menyeluruh yang meliputi lower limb alignment, range of motion (ROM), kekuatan otot, dan pemeriksaan neuromuskular (Chang, 2010, Metcalfe, 2011, Shih, 2012, Halabchi, 2013). Kelainan umum dan jenis penyakit yang sering menjadi penyebab flexible flatfoot dijelaskan dalam tabel 3.Tabel 3 : Etiologi Flexible Flatfoot

No.Kelainan UmumJenis penyakit

1Obesitas-

2NeurologisCerebral palsy

Hipotonia

3MuskularMuscular dystrophy

4GenetikOsteogenesis imperfecta

Marfan syndrome

Down syndrome

5KolagenEhlers-Danlos

6BiomekanikAnkle equinus varus

Ankle equinus valgus

(Halabchi, 2013)Setelah pemeriksan fisik dilakukan secara lengkap, diperlukan pemeriksaan radiologis berupa X-ray, CT Scan, dan MRI. Jenis pengukuran dalam pemeriksaan X-ray sudah dijelaskan dalam Bab Batasan Flatfoot. Pemeriksaan CT Scan juga merupakan Gold Standard Diagnosis dari flatfoot. Dengan CT Scan dapat ditemukan adanya Tarsal Coalition, maupun secondary joint disease. Bentuk kelainan dari tulang juga terlihat lebih jelas dengan CT Scan daripada foto X-ray biasa. MRI juga kadang diperlukan dalam diagnosis flatfoot, utamanya yang membutuhkan tindakan pembedahan. Karena dengan MRI dapat ditemukan kelainan yang lainnya yaitu adanya kelainan otot tibialis posterior dan tendon peroneus. Jika pada flexible flatfoot disertai kelainan seperti di atas, tentunya diperlukan tindakan pembedahan yang lebih agresif karena ketidakstabilan otot penyusun ankle (Chen, 2010, Halabchi et al., 2013, Park et al., 2013).

Menurut Halabchi et al., ada banyak faktor yang mempengaruhi flatfoot dan meningkatkan resiko terjadinya flatfoot. Laki-laki memiliki resiko terjadinya flatfoot dua kali lebih besar daripada wanita. Begitu juga faktor obesitas. Anak-anak dengan berat badan berlebih atau obesitas, memiliki kemungkinan terjadi flatfoot lebih besar dibanding anak-anak dengan berat badan kurang atau normal. Dan anak-anak dengan ligamentous laxity, memiliki kemungkinan terjadinya flatfoot lebih besar dikarenakan kegagalan pembentukan arkus medialis (Chang, 2010, Halabchi et al., 2013).4.5 Tatalaksana FlatfootDari berbagai fakta dan teori tentang patogenesis yang sudah dibahas diatas, dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada tempat untuk terapi profilaktik pada flexible flatfoot, yang berupa penggunaan sepatu maupun alat orthosis lainnya pada masa anak-anak. Demikian pula penelitian berikutnya menjelaskan tidak ada perbedaan signifikan pada anak-anak yang menggunakan alat orthosis maupun tidak dalam mencegah terjadinya flatfoot saat mereka dewasa. Bahkan Harris dan Beath telah melakukan studi pada 3600 tentara di Kanada dan mengatakan bahwa ada atau tidaknya arkus medialis pada tentara tidak berkorelasi dengan disabilitas maupun penurunan fungsi saat mereka bertugas, bahkan sekalipun sudah terjadi kontraktur dari tendon achiles (Herring, 2008, Metcalfe, 2011, Halabchi, 2013).Menurut Halabchi et al., terapi pada flatfoot berdasarkan pembagian flexible flatfoot, yaitu simtomatik atau asimtomatik. Jika simtomatik, maka pemeriksaan dilakukan saat itu juga meliputi X-ray, CT Scan dan MRI. Jika hasil pemeriksaan radiologi abnormal, dokter umum wajib merujuk ke dokter ahli bedah tulang. Namun jika normal, hanya membutuhkan terapi konservatif. Sedangkan untuk flexible flatfoot asimtomatik, dibuat batasan umur anak berupa 8 tahun. Karena menurut Halabchi, 8 tahun merupakan titik tolak kelainan flexible flatfoot dapat berkembang menjadi normal atau menetap. Jika umur anak kurang dari 8 tahun, dibutuhkan evaluasi dan follow up sampai dengan umur 8 tahun atau sampai timbul keluhan. Sedangkan jika umur anak lebih dari 8 tahun, terapi konservatif dapat dilakukan (Herring, 2008, Halabchi, 2013, Sung, 2013). Alur terapi diatas dijelaskan sebagaimana dalam gambar 9.

Gambar 9 : Alur Tatalaksana Flexible Flatfoot (Halabchi, 2013)

A. Terapi Konservatif

Sepatu ortopedik, termasuk dengan berbagai macam modifikasi tumit, cetakan lengkungan tumit, dan ortosis lainnya, serta penyokong arkus medialis, secara tradisional telah dikenal sebagai salah satu metode terapi. Meskipun beberapa penelitian berpendapat bahwa metode terapi ini dapat mengembalikan arkus medialis pada keadaan normal dan mengurangi tekanan yang bersifat patologik pada area kaki yang menopang beban tubuh, namun penelitian dengan metode kontrol gagal untuk menunjukkan pengaruh terapi modifikasi ini terhadap perkembangan ataupun pengembalian dari arkus medialis (Herring, 2008, Metcalfe, 2011, Nemeth, 2011).Pada kasus flatfoot dengan gejala, ortosis yang berfungsi sebagai bantalan arkus medialis mungkin memiliki manfaat bagi penderitnya. Gejala-gejala tipikalnya adalah seperti rasa nyeri dan lelah pada daerah arkus, serta kram di malam hari. Sebagai tambahan, untuk latihan peregangan dan pelurusan otot-otot, sepatu yang didesign untuk berlari memiliki kegunaan untuk menyokong tumit dan arkus medialis sehingga pemakaian sepatu inipun lebih dapat diterima secara luas (Herring, 2008, Nemeth, 2011).Terkadang pada kasus yang agak kompleks sudah terjadi kontraktur pada tendon achiles. Jika hal ini sudah terjadi, maka peregangan secara manual dapat dilakukan baik oleh orang tua maupun oleh anak itu sendiri, jika anak sudah cukup mengerti dan kooperatif terhadap tindakan terapi tersebut (gambar 10) (Herring, 2008, Nemeth, 2011, Sung, 2013).

Gambar 10: Latihan untuk mengobati flatfoot. A. Peregangan manual dengan sendi lutut ekstensi dan inversi dari hindfoot. Pengulangan beberapa kali dalam sehari dapat dianjurkan; B. Peregangan secara pasif dari surae triceps. Perhatikan bahwa kaki dalam kondisi inversi, sendi lutut dalam kondisi ekstensi dan tumit tetap harus menyentuh lantai (Herring, 2008).B. Terapi Pembedaan

Pembedahan dilakukan apabila didapatkan keadaan sebagai berikut: 1. Terapi konservatif gagal, disertai keluhan nyeri yang menetap saat aktivitas sehari-hari.2. Adanya kekakuan / kontraktur tendon achiles.

3. Ketidaknyamanan pasien melakukan aktivitas tertentu akibat kondisi flexible flatfoot yang menetap (Herring, 2008, Chen, 2010, Nemeth, 2011).Beberapa pilihan tindakan pembedahan telah direkomendasikan oleh beberapa ahli, antara lain:1. Release soft tissue dan rekonstruksi arkus medialis2. Bony procedure, meliputi fusi beberapa sendi atau osteotomi untuk membentuk arkus medialis dan mengembalikan kelainan anatomi pada tulang (Herring, 2008, Metcalfe, 2011, Halabchi, 2013).DAFTAR PUSTAKABaumhauer, J. Anatomy and Biomechanics of Foot. Greene: Netters Orthopaedics, 1st ed; 2006:659-662

Chang, J., Wang, S., Kuo, C. Prevalence of Flexible Flatfoot in Taiwanese School-Aged Children in Relation to Obesity, Gender, and Age. Eur J Pediatr:2010;447-52

Chen, Y., Lou, S., Huang, C., Su, FC. Effects of Foot Orthoses on Gait Patterns of Flat Feet Patients. Clin Biomech (Bristol, Avon) 2010;265-70

Davids, J., Gibson, T., Pugh, L. Quantitative Segmental Analysis of Weight Bearing Radiographs of The Foot and Ankle for Children: Normal Alignment. J Pediatr Orthop:2005;769-76

Evans, A., Nicholson, H., Zakarias, N. The Pediatric Flatfoot Proforma (p-FFP): Improved and Abridged Following A Reproducibility. J Foot Ankle Res:2009;2-25

Halabchi, F., Mazaheri, R., Mirshahi, M., Abbasian, L. Pediatric Flexible Flatfoot; Clinical Aspects and Agorithmic Approach. Iran J Pediatr: 2013;247-260

Harris, E., Vanore, J., Thomas, J., Kravitz, S., Mendelson, S., Mendicino, R. et al. Diagnosis and Treatment of Pediatric Flatfoot. The Journal of Foot & Ankle Surgery 2004: Vol.43;341-370

Herring, A. Flexibel Flatfoot. Tachdjian's Pediatric Orthopaedics (4th ed.): 2008Hestiyarini, S. Flatfoot (Pes Planus). Universitas Mulawarman : 2013

Katz, M., Davidson, R., Chan, P., Sullivan, R. Plain Radiographic Evaluation of the Pediatric Foot and Its Deformities. Department of Orthopaedic Surgery, University of Pennsylvania UPOJ:1997;30-39

Kellermann, P. et al. Calcaneo-Stop Procedure For Paediatric Flexible Flatfoot. American Orthop Trauma Surg. 2011;131;1363-1367

Lee, K., Chung, C., Park, M., Lee, S., et al. Reliability and Validity of Radiographic Measurement in Hindfoot Varus and Valgus. J Bone Joint Surg Am:2010;2319-27

Luhmann, J., Espandar, R., Schoenecker, PL. Painful Idiopathic Rigid Flatfoot in Children and Adolescents. Foot Ankle Int. 2000;21(1):59-66

Mann R, Inman V.T. Phasic Activity of Intrinsic Muscles of the Foot. J Bone Joint Surg Br 35:75-82.

Metcalfe, S., Bowling, F., Reeves, N. Subtalar Joint Arthroereisis in The Management of Pediatric Flexible Flatfoot: A Critical Review of The Literature. Foot Ankle Int 2011;1127-39 Moraleda, L., Mubarak, S.J. Flexible flatfoot: differences in the relative alignment of each segment of the foot between symptomatic and asymptomatic patients. J Pediatr Orthop: 2011; 421-8

Morrissy, R. T., & Weinstein, S. L. 2006. Lovell's & Winter Pediatric Orthopaedics (6th ed.). Lippincott Williams & Wilkins

Mosca Vincent. Flexible Flatfoot in Children and Adolescents. J Child Orthop. 2010;107-121

Murley, G., Menz, H., Landorf, K. A Protocol For Classifying Normal And Flat Arched Foot Posture For Research Studies Using Clinical And Radiographic Measurements. Jornal of Foot and Ankle Research 2009;2:22.

Nemeth, B. The Diagnosis and Management of Common Childhood Orthopedic Disorders. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care:2011;2-28

Netter, F., Ankle and Foot. Atlas of Human Anatomy: 5th ed;2006.

Panchbhavi, V. Foot Bone Anatomy. Medscape: 2013

Park, M., Kwon S., Lee, S., Lee, K., Kim, T., Chung, C., et al. Spontaneous Improvement of Radiographic Indices for Idiopathic Planovalgus with Age. Journal of Bone and Joint Surgery. 2013;e193(1)

Patel, M. Pes Planus. Radiopaedia.org. 2012

Pfeiffer, M., Kotz, R., Ledl, T., Hauser, G., Sluga, M. Prevalence of Flat Foot in Preschool-Aged Children. Pediatrics. 2006;118(2):634-639

Shih, Y., Chen, C., Chen, W. Lower Extremity Kinematics in Children With and Without Flexible Flatfoot: A Comparative Study. BMC Musculoskelet Disord:2012;13-31 Sung, K., Chung, C., Lee, K., Lee, S., Park, M. Calcaneal Lengthening for Planovalgus Foot Deformity in Patients With Cerebral Palsy. Clin Orthop Relat Res:2013;1682-1690

Yeager, D., & Baronofsky, H. Evaluation and Surgical Management of Fexible Pediatric Flatfooot. Orthotics & Biomechanic:2010

25