29
REFERAT TERAPI HIPOTERMIA PADA BAYI ASFIKSIA Oleh : Vidia Asriyanti NIM I11110031 Pembimbing: dr. Hilmi K. Riskawa, Sp. A, M. Kes KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Referat Terapi Hipotermi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anak

Citation preview

Page 1: Referat Terapi Hipotermi

REFERAT

TERAPI HIPOTERMIA PADA BAYI ASFIKSIA

Oleh :

Vidia Asriyanti

NIM I11110031

Pembimbing:

dr. Hilmi K. Riskawa, Sp. A, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

RS KARTIKA HUSADA

KUBU RAYA

2016

Page 2: Referat Terapi Hipotermi

LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul:

TERAPI HIPOTERMIA PADA BAYI ASFIKSIA

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Mayor Ilmu Kesehatan Anak

Pontianak, Juni 2016

Pembimbing Referat,

dr. Hilmi K. Riskawa, Sp. A, M. Kes

Disusun oleh,

Vidia Asriyanti,

NIM I11110031

2

Page 3: Referat Terapi Hipotermi

A. Pendahuluan

Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana terganggunya pertukaran gas

darah dimana jika berlangsung terus menerus menyebabkan hipoksemia dan

hiperkapnia. Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) adalah kegagalan napas secara

spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Asfiksia

dibedakan menjadi asfiksia ringan-sedang dan asfiksia berat berdasarkan nilai

apgar. Nilai apgar 4-6 menunjukkan keadaan asfiksia ringan sedang, sedangkan

nilai 0-3 menunjukkan asfiksia yang berat.

Asfiksia perinatal dapat menyebabkan trauma pada sistem saraf pusat (16%),

trauma sistem saraf pusat dan kerusakan organ target (46%), trauma bukan pada

organ sistem saraf pusat (16%), atau tidak ada kerusakan organ target (22%). Bayi

dengan perinatal asfiksia dapat mengalami berbagai derajat ensefalopati, kejang

dan feeding problem, targantung dari luas kerusakan serebral. Antara 25-45% bayi

yang bertahan hidup mengalami hambatan dalam perkembangan neurologisnya

dalam bentuk cerebral palsy, retardasi mental, defisit pada fungsi penglihatan dan

pendengaran, gangguan belajar dan perilaku, atau epilepsi. Hypoxic-ischemic

encephalopathy (HIE) dapat disebabkan dari keadaan asfiksia perinatal.

Asfiksia merupakan penyebab kematian neonatal yang paling tinggi. Asfiksia

selain dapat menyebabkan kematian dapat mengakibatkan kecacatan. Prevalensi

perinatal asfiksia pada tahun 2001 sebesar 25 dari 100 kelahiran hidup cukup

bulan dan 73 dari 100 kelahiran hidup prematur. Perinatal asfiksia hipoksik

iskemik ensefalopathy (PA-HIE) merupakan penyebab penting dari morbiditas

dan mortalitas neonatus dan kecacatan neurologis jangka panjang. Pada negara

berkembang, insidensi dari PA-HIE adalah 1-2 dari 1000 kelahiran hidup.

Hipotermia merupakan tatalaksana neuroprotektif satu-satunya yang diajukan

untuk intervensi PA-HIE yang menunjukkan keuntungan pada beberapa penelitian

klinis acak yang telah dilakukan. Pada percobaan yang dilakukan Landau, et al.

(2011), dilakukan percobaan terapi hipotermia pada bayi asfiksia dengan

memberikan terapi hipotermia dalam waktu 6 jam setelah kelahiran. Hasil

penelitian ini menunjukkan adanya efektivitas terapi hipotermia pada bayi asfiksia

berupa penurunan angka kematian dan kegagalan perkembangan neurologis

3

Page 4: Referat Terapi Hipotermi

sedang hingga berat, penurunan angka kejadian cerebral palsy berat,

keterlambatan perkembangan psikomotor yang berat, keterlambatan

perkembangan kognitif yang berat, defisit penglihatan yang berat dan epilepsi.

B. Definisi Asfiksia

Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana terganggunya pertukaran gas

darah dimana jika berlangsung terus menerus menyebabkan hipoksemia dan

hiperkapnia.1 Asfiksia pada bayi baru lahir (BBL) adalah kegagalan napas secara

spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Asfiksia

merupakan penyebab kematian neonatal yang paling tinggi. asfiksia selain dapat

menyebabkan kematian dapat mengakibatkan kecacatan. Asfiksia perinatal dapat

terjadi selama antepartum, intrapartum, maupun postpartum.2

Tahap asfiksia setelah kelahiran dibagi menjadi:1

1. Asfiksia livida (early stage)

Asfiksia livida merupakan fase yang berlangsung selama asfiksia ketika

terjadi apnu primer (penurunan denyut jantung, terdapat usaha napas,

peningkatan tekanan darah lalu menurun, peningkatan PaCO2 dan pH). Bayi

sianosis, memiliki tonus otot, dan sirkulasi yang adekuat.

2. Asfiksia pallida (late stage)

Asfiksia pallida merupakan fase yang berlangsung selama asfiksia ketika

terjadi apnu sekunder (penurunan denyut jantung dan tekanan darah, sirkulasi

kolaps, syok, PaO2 rendah, peningkatan PaCO2 meningkat, pH rendah). Bayi

tampak pucat keabu-abuan/kulit berwarna putih, lemas, refleks tidak ada, dan

tidak adanya usaha bernapas.

Asfiksia dibedakan menjadi asfiksia ringan-sedang dan asfiksia berat

berdasarkan nilai apgar. Nilai apgar 4-6 menunjukkan keadaan asfiksia ringan

sedang, sedangkan nilai 0-3 menunjukkan asfiksia yang berat. Penilaian ini

dilakukan pada menit pertama setelah lahir yang memberikan petunjuk adaptasi

neonatal. Neonatus yang beradaptasi dengan baik mempunyai nilai apgar antara 7-

10. Penilaian apgar ini perlu diulang setelah 5 menit untuk mengevaluasi apakah

tindakan resusitasi sudah adekuat.2

4

Page 5: Referat Terapi Hipotermi

Penilaian apgar dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2

Tabel 1. Skor Apgar2

Tanda 0 1 2

Laju jantung Tidak ada < 100 ≥ 100

Usaha bernapas Tidak ada Lambat Menangis kuat

Tonus otot Lumpuh Ekstremitas

fleksi sedikit

Gerakan aktif

Refleks Tidak bereaksi Gerakan sedikit Reaksi melawan

Warna kulit Seluruh tubuh

biru/pucat

Tubuh

kemerahan,

ekstremitas biru

Seluruh tubuh

kemerahan

C. Insidensi

Prevalensi perinatal asfiksia pada tahun 2001 sebesar 25 dari 100 kelahiran

hidup cukup bulan dan 73 dari 100 kelahiran hidup prematur. Secara keseluruhan,

insidensi neonatal ensefalopati pada kasus perinatal asfiksia sebesar 1,6 dari

10.000 kelahiran hidup tanpa adanya kelainan pada masa prekonsepsi ataupun

antepartum.1

Perinatal asfiksia hipoksik iskemik ensefalopathy (PA-HIE) merupakan

penyebab penting dari morbiditas dan mortalitas neonatus dan kecacatan

neurologis jangka panjang. Pada negara berkembang, insidensi dari PA-HIE

adalah 1-2 dari 1000 kelahiran hidup.3

D. Faktor risiko

Asfiksia pada BBL dapat disebabkan oleh karena faktor ibu, faktor bayi dan

faktor tali pusat atau plasenta.4

1. Faktor ibu

Keadaan ibu yang dapat mengakibatkan aliran darah ibu melalui plasenta

berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang akibatnya akan

5

Page 6: Referat Terapi Hipotermi

mengakibatkan gawat janin dan akan berlanjut sebagai asfiksia BBL, antara

lain :

a. Preeklampsia dan eklampsia

b. Perdarahan antepartum abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

c. Partus lama atau partus macet

d. Demam sebelum dan selama persalinan

e. Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

f. Kehamilan lebih bulan (lebih 42 minggu kehamilan)

2. Faktor plasenta dan talipusat

Keadaan plasenta atau talipusat yang dapat mengakibatkan asfiksia BBL

akibat penurunan aliran darah dan oksigen melalui talipusat bayi

a. Infark plasenta

b. Hematom plasenta

c. Lilitan talipusat

d. Talipusat pendek

e. Simpul talipusat

f. Prolapsus talipusat

3. Faktor bayi

Keadaan bayi yang dapat mengalami asfiksia walaupun kadang-kadang tanpa

didahului tanda gawat janin:

a. Bayi kurang bulan/prematur (kurang 37 minggu kehamilan)

b. Air ketuban bercampur mekonium

c. Kelainan kongenital yang memberi dampak pada pernapasan bayi

Asfiksia perinatal dapat terjadi pada masa antepartum, intrapartum atau

postnatal.1

1. Antepartum

a. Trauma maternal

b. Hipotensi maternal

c. Perdarahan uterus

2. Intrapartum

a. Placental abruption

6

Page 7: Referat Terapi Hipotermi

b. Prolaps tali pusat

c. Ruptur uterus

d. Insufisiensi vaskular plasenta (diabetes maternal, restriksi pertumbuhan

intrauterus, preeklamsia, kehamilan multipel)

3. Postnatal

a. Cardiorespiratory failure

b. Congenital heart disease

Asfiksia pada waktu persalinan dapat disebabkan karena:5

1. Tali pusat yang melilit leher yang dapat menyebabkan asfiksia dengan

menekan vena umbilikal.

2. Kontraksi uterus atau ditosia kontraksi

3. Disproporsi chepalopelvic yang disebabkan oleh ketidakcocokan antara

ukuran fetus dan pelvis ibu, menimbulkan kompresi mekanik dan

menyebabkan asfiksia

4. Plasenta previa, plasenta terletak di uterus bagian bawah yang menyebabkan

perdarahan dan asfiksia

5. Abruptio plasenta, plasenta terpisah sebelum bayi lahir yang dapat

menyebabkan perdarahan hebat dan asfiksia

E. Patofisiologi

Asfiksia adalah keadaan BBL tidak bernafas secara spontan dan teratur.

Sering sekali seorang bayi yang mengalami gawat janin sebelum persalinan akan

mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan

kondisi ibu, masalah pada tali pusat dan plasenta atau masalah pada bayi selama

atau sesudah persalinan. Pernapasan adalah tanda vital pertama yang berhenti

ketika BBL kekurangan oksigen. Pada periode awal bayi akan mengalami napas

cepat (rapid beathing) yang disebut dengan gasping primer. Setelah periode awal

ini akan diikuti dengan keadaan bayi tidak bernapas (apnu) yang disebut apnu

primer. Pada saat ini frekuensi jantung mulai menurun, namun tekanan darah

masih tetap bertahan. Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan

pertolongan pada BBL, maka bayi akan melakukan usaha napas megap-megap

7

Page 8: Referat Terapi Hipotermi

yang disebut gasping sekunder dan kemudian masuk ke dalam periode apnu

sekunder. Pada saat ini frekuensi jantung semakin menurun dan tekanan darah

semakin menurun dan bisa menyebabkan kematian bila bayi tidak segera

ditolong.4

Gangguan aliran darah ke otak sebagai akibat dari hipoksia merupakan

mekanisme utama penyebab terjadinya cedera pada otak pada saat intrapartum

iskemik hipoksia. Pada tingkat seluler, iskemik hipoksia menimbulkan dua fase

energy failure. Fase primer diikuti dengan penurunan aliran darah dan suplai

oksigen dengan turunnya jumlah ATP, kegagalan pompa Na+/K+, depolarisasi

sel, asidosis laktat, pelepasan asam amino eksitator, pemasukan kalsium ke dalam

sel, dan jika berat dapat menyebabkan nekrosis sel. Dengan dilakukannya

resusitasi dan reperfusi, terdapat periode laten dengan normalisasi metabolisme

oksidatif selama 6 jam hingga 12 jam dimana pada waktu ini dilakukannya

intervensi neuroprotektif. Fase sekunder dari energy failure mulai muncul pada

waktu 12 jam sampai 36 jam, dan dapat berakhir 7-14 hari dengan inisiasi

apoptosis, mitochondrial failure, edema sitotoksik, akumulasi dari asam amino

eksitator dan pelepasan radikal bebas yang menyebabkan kematian sel. Fase

sekunder ini berhubungan dengan perburukan dari HIE.6

F. Diagnostik

Penegakan diagnosis asfiksia pada BBL yaitu dengan:4

1. Anamnesis

a. Gangguan atau kesulitan waktu lahir (lilitan tali pusat, sungsang,

ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, dll)

b. Lahir tidak bernapas/menangis

c. Air ketuban bercampur mekonium

2. Pemeriksaan fisik

a. Bayi tidak bernapas atau napas megap-megap

b. Denyut jantung <100x/menit

c. Kulit sianosis, pucat

d. Tonus otot menurun

8

Page 9: Referat Terapi Hipotermi

G. Manajemen

Tatalaksana bayi asfiksia yaitu:4

1. Resusitasi

Gambar 1. Tahapan Resusitasi pada Bayi Baru Lahir4

2. Terapi medikamentosa

a. Epinefrin

Indikasi pemberian epinefrin yaitu:

9

Page 10: Referat Terapi Hipotermi

Denyut jantung bayi <60x/menit setelah paling tidak 30 detik

dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada belum ada respons

Asistolik

Dosis epinefrin: 0,1-0,3 ml/kgBB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg – 0,03

mg/kgBB)

Cara pemberian: intravena atau endotrakeal. Dapat diulang setiap 3 – 5

menit bila perlu.

b. Cairan pengganti volume darah

Indikasi pemberian cairan pengganti volume darah, yaitu:

Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami hipovolemia

dan tidak ada respon dengan resusitasi

Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau syok.

Klinis ditandai adanya pucat, perfusi buruk, nadi kecil/lemah dan

pada resusitasi tidak memberikan respon yang adekuat.

c. Bikarbonat

Indikasi pemberian bikarbonat, yaitu:

Asidosis metabolik secara klinis (napas cepat dan dalam, sianosis)

Prasyarat: bayi telah dilakukan ventilasi dengan efektif

Dosis: 1-2 mEq/kgBB atau 2 ml/kgBB (4,2%) atau 1 ml/kgBB (7,4%)

Cara pemberian: diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama

banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal 2 menit

Efek samping: pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO2 dari

bikarbonat merusak fungsi miokardium dan otak.

H. Komplikasi

Asfiksia perinatal dapat menyebabkan trauma pada sistem saraf pusat (16%),

trauma sistem saraf pusat dan kerusakan organ target (46%), trauma bukan pada

organ sistem saraf pusat (16%), atau tidak ada kerusakan organ target (22%). Bayi

dengan perinatal asfiksia dapat mengalami berbagai derajat ensefalopati, kejang

dan feeding problem, targantung dari luas kerusakan serebral.1 Antara 25-45%

bayi yang bertahan hidup mengalami hambatan dalam perkembangan

10

Page 11: Referat Terapi Hipotermi

neurologisnya dalam bentuk cerebral palsy, retardasi mental, defisit pada fungsi

penglihatan dan pendengaran, gangguan belajar dan perilaku, atau epilepsi.3

Trauma sistem saraf pusat pada kasus HIE berat bermanifestasi dalam

berbagai tanda klinis yang berkembang sesuai waktu:1

1. Lahir sampai 12 jam

Stupor yang dalam atau koma, respiratory failure atau napas periodik,

hipotonia difus, respon okulomotor dan pupil intak, kejang klonik fokal 6 –

12 jam pada bayi cukup bulan. Pada bayi prematur dapat berupa kejang tonik

umum.

2. 12 jam sampai 24 jam

Tingkat kesadaran dapat muncul untuk memperbaiki cedera otak. Kejang

yang berat, apnea dapat muncul pada waktu ini. Bayi cukup bulan dapat

bermanifestasi dengan kelemahan ekstremitas atas proksimal, sedangkan bayi

prematur dengan kelemahan ekstremitas bawah.

3. 24 jam sampai 72 jam

Tingkat kesadaran memburuk mengarah ke stupor yang dalam dan koma,

mengarah gagal napas. Gangguan pupil dan okulomotor yang muncul dengan

adanya keterlibatan batang otak. Kematian akibat HIE seringkali terjadi pada

saat ini dengan waktu rata-rata 2 hari. Bayi prematur yang meninggal sering

terdapat perdarahan intraventrikular (IVH) dan infark perdarahan

intraventrikular.

4. Setelah 72 jam

Stupor ringan hingga berat dapat terjadi, tetapi tingkat kesadaran secara

keseluruhan membaik. Hipotonia difus dapat ditemukan atau hipertonia dapat

menjadi jelas. Kesulitan untuk minum susu menjadi jelas dengan adanya

reflek hisap, menelan dan pergerakan lidah yang abnormal.

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) dapat disebabkan dari keadaan

asfiksia perinatal. Asfiksia menyebabkan iskemia serebral yang mempresipitasi

penurunan kadar fosfat berenergi tinggi seluler secara cepat yang disebut primary

energy failure.1

11

Page 12: Referat Terapi Hipotermi

Temuan tingkat keparahan HIE berdasarkan skala Sarnat:1

1. Stadium 1 (ringan)

Hyperalertness, tonus otot normal, refleks hisap lemah, ambang refleks Moro

rendah, midriasis, tidak ada kejang

2. Stadium 2 (sedang)

Letargi, hipotonus ringan, refleks hisap lemah atau menghilang, refleks Moro

lemah, miosis, dan kejang fokal atau multifokal

3. Stadium 3 ( berat)

Stupor, tonus otot lembut, deserebrasi intermiten, tidak ada refleks hisap,

refleks Moro tidak ada, respon refleks cahaya pupil lemah

Gambar 2. Stadium HIE8

12

Page 13: Referat Terapi Hipotermi

Sistem skoring terbaru untuk menilai derajat keparahan dari neonatal

ensefalopati yaitu dengan skor Thompson.9

Gambar 3. Skor Thompson9

Keadaan yang dapat menyebaban HIE meliputi adanya riwayat placental

abruption, ruptur uteri, emboli cairan amnion, lilitan erat tali pusat, prolaps tali

pusat atau avulsi, perdarahan maternal atau cardio-respiratory arrest, persalinan

yang lama.9

I. Terapi Hipotermia

Terapi hipotermia menurukan mortalitas pada bayi dengan iskemia hipoksia

perinatal yang dimulai sebelum bayi berumur 6 jam. Terapi ini diindikasikan

untuk pada bayi dengan usia kehamilan 36 0/7 minggu atau lebih, kurang dari 6

jam setelah kelahiran yang memenuhi kriteria diagnosis hypoxic ischemic

encephalopathy (HIE) sedang hingga berat. Pendinginan dapat dilakukan dengan

selektif pada bagian kepala (Olympic Cool-Cap System, Olympic Medical

Corporation, Seattle, WA) atau dengan pendinginan seluruh tubuh.1 Penurunan

temperatur tubuh sebanyak 3-5°C dibawah nilai normal akan menurunkan cedera

pada otak dan memperbaiki fungsi saraf setelah terjadi asfiksia. Terapi hipotermia

kontraindikasi dilakukan pada pasien dengan trauma kepala berat atau adanya

perdarahan intrakranial.6

Keterangan yang telah ada menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan

keuntungan dari terapi hipotermia adalah bayi cukup bulan dan late preterm

infants dengan usia kehamilan ≥ 36 minggu dengan HIE, berusia ≤ 6 jam yang

memiliki kriteria A dan B untuk medapatkan pengobatan.10

13

Page 14: Referat Terapi Hipotermi

1. Kriteria A

Terdapat dua kriteria dari beberapa kriteria berikut ini:

a. Skor Apgar <5 pada menit ke-10 setelah kelahiran

b. Mendapatkan ventilasi dan resusitasi yang terus menerus pada menit ke-

10 kelahiran.

c. Asidosis metabolik dengan pH <7 atau defisit dasar >16 mmol/L pada

tali pusat atau gas darah arteri yang diukur dalam 1 jam dari kelahiran.

2. Kriteria B

Ensefalopati sedang (Sarnat stadium II) atau berat (Sarnat stadium III) yang

ditunjukkan dengan adanya kejang atau minimal terdapat satu tanda dari

sedikitnya 3 dari 6 kategori yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Gambar 4. Kriteria Klinis HIE10

14

Page 15: Referat Terapi Hipotermi

Metode hipotermia untuk mendapatkan neuroprotection yang adekuat dengan

minimal risiko terjadinya efek samping sistemik yaitu hanya otak yang

didinginkan. Pada penelitian Cool Cap dengan cara jaringan otak secara selektif

didinginkan menggunakan CoolCap sedangkan tubuh dihangatkan dengan

penghangat. Suhu yang ingin dicapai dengan metode ini yaitu sistemik hipotermia

ringan (suhu 34,5°C) untuk membatasi perbedaan gradien intracerebral. Tehnik

ini tidak dapat dilakukan untuk praktik sehari-hari. Metode yang kedua yaitu

dengan hipotermia pada seluruh tubuh dengan target temperatur antara 33°C dan

34°C.9

Hipotermia, baik yang pendinginan sistemik maupun pendinginan selektif

menunjukkan hasil yang baik pada bayi asfiksia dari hasil beberapa penelitian

yang telah dilakukan.1,3 Mekanisme yang memungkinkan dalam memberikan hasil

positif ini adalah dengan menurunkan kebutuhan metabolik neuronal, menurunkan

akumulasi oksitoksin, dan mencegah terjadinya apoptosis selama kegagalan energi

sekunder.1 Hipotermia menurunkan metabolisme otak yang membutuhan glukosa

dan oksigen, menurunkan kehilangan fosfat berenergi tinggi selama terjadinya

iskemia, dan mencegah atau memperbaiki kegagalan energi sekunder otak. Selain

itu, hipotermia juga berperan dalam mekanisme apoptosis sel dimana hipotermia

menyebabkan penurunan apoptosis neuron.10 Hipotermia menurunkan luas cedera

otak dengan 3 mekanisme, yaitu:9

1. Hipotermia menyebabkan penurunan tingkat metabolisme serebral yang

memperlambat depolarisasi sel, menurnkan akumulasi dari eksitotoksik

neurotransmiter, dan menekan pelepasan radikal bebas oksigen sama dengan

peroksidasi lemak pada membran sel

2. Hipotermia menekan proses apoptosis dalam perkembangan otak dengan

menghambat enzim caspase, yaitu enzim yang menguatkan fase apoptosis

intrasitoplasma setelah terjadi iskemia

3. Hipotermia dapat menekan pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin dan

interleukin, menurunkan neurotoksisitas melalui penekanan aktivasi

mikroglia.

15

Page 16: Referat Terapi Hipotermi

Hipotermia merupakan tatalaksana neuroprotektif satu-satunya yang diajukan

untuk intervensi PA-HIE yang menunjukkan keuntungan pada beberapa penelitian

klinis acak yang telah dilakukan. Pada percobaan yang dilakukan Landau, et al.

(2011), dilakukan percobaan terapi hipotermia pada bayi asfiksia dengan

memberikan terapi hipotermia dalam waktu 6 jam setelah kelahiran. Bayi

ditempat di selimut hipotermia yang diatur untuk kontrol otomatis pada suhu

33,5°C pada probe rektal dan kulit. Bayi direposisi setiap 2 jam dan dipertahankan

pada selimut hipotermia selama 72 jam. Pada akhir 72 jam dari hipotermia,

kontrol otomatis diatur dengan meningkatkan suhu 0,5°C setiap 2 jam sampai

suhu mencapai 36,5°C untuk durasi selama 1 jam. Hasil penelitian ini

menunjukkan adanya efektivitas terapi hipotermia pada bayi asfiksia berupa

penurunan angka kematian dan kegagalan perkembangan neurologis sedang

hingga berat, penurunan angka kejadian cerebral palsy berat, keterlambatan

perkembangan psikomotor yang berat, keterlambatan perkembangan kognitif yang

berat, defisit penglihatan yang berat dan epilepsi.3

Terapi hipotermia menurunkan kegagalan energi sekunder dengan

menurunkan metabolisme serebral, inflamasi, eksitotoksisitas, kerusakan oksidatif

dan apoptosis seluler. Hipotermia saat ini digunakan sebagai perawatan standar

pada kasus asfiksia perinatal. Pada percobaan yang dilakukan di tiga multicenter

besar mengenai hipotermia serebral untuk HIE (hypoxic-ischemic

encephalopathy), dimulai dalam waktu 6 jam dari kelahiran dan dilanjutkan

hingga 72 jam. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wu (2011), perbandingan

langsung antara pendinginan selektif pada bagian kepala dan pendinginan pada

seluruh tubuh memberikan hasil bahwa keduanya memiliki keamanan dan

efektivitas yang sama.1 Pendinginan bayi yang lahir minimal dengan usia

kehamilan 35 minggu atau dengan ensefalopati ringan dilakukan lebih dari 72

jam, pendinginan pada temperatur yang lebih rendah pada percobaan klinis yaitu

33,5°C – 34,5°C.11

Penelitian-penelitian yang dilakukan untuk percobaan tatalaksana hipotermi

pada bayi asfiksia, antara lain:1

16

Page 17: Referat Terapi Hipotermi

1. The “Cool Cap” trial

Percobaan ini menggunakan pendinginan selektif pada bagian kepala dengan

hipotermia sistemik ringan (34-35°C) dan skrining Amplitude-integrated EEG

(aEEG) sebagai bagian dari kriteria inklusi. Pada pasien dengan temuan

aEEG yang tidak berat, menunjukkan adanya perbaikan pada kelangsungan

hidup tanpa kecacatan perkembangan sistem saraf yang berat.

2. The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD)

trial

Percobaan ini menggunakan pendinginan pada seluruh tubuh bayi dengan

hipotermia sistemik sedang (33,5°C) tanpa kriteria inklusi aEEG. Hasil

percobaan ini menunjukkan penurunan dari angka kematian atau kecacatan

sedang hingga berat.

3. The Total Body Hypothermia for Neonatal Encephalopathy (TOBY) trial

Percobaan ini dengan mendinginkan bayi pada suhu tubuh 33,5°C tetapi

menggunakan kriteria inklusi aEEG. Pendinginan tidak menurunkan angka

kematian ataupun kecacatan berat, tetapi memperbaiki hasil perkembangan

sistem saraf.

4. Selective head cooling (SHC)

Meningkatkan gradien temperatur yang melalui otak dari regio sentral ke

perifer.

Efek samping yang dapat timbul akibat terapi hipotermi baik pendinginan

yang selektif pada kepala ataupun pendinginan pada seluruh tubuh yaitu hipotensi,

trombositopenia, perpanjangan waktu koagulasi, dan perdarahan intrakranial.9

17

Page 18: Referat Terapi Hipotermi

DAFTAR PUSTAKA

1. Gomella, Tricia L, Cunningham, M. D, dan Eyal, Fabien G. Neonatology,

Managemet, Procedures, On-Call Problems, Disease, and Drugs. New

York: Mc Graw Hill, 2013.

2. Matondang, Corry S, Wahidiyat I, dan Sastroasmoro, S. Diagnosis Fisis

pada Anak Ed ke-2. Jakarta: 2003. h 146-158.

3. Landau, Y, Berger, I, et al. Therapeutic Hypothermia for Asphyxiated

Newborns: Experience of an Israeli Tertiary Center. IMAJ 2011, 13: 29-

33.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pelayanan Kegawatdaruratan

Obstetri Neonatal Esensial Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 2005. h 6.1 – 6.9.

5. Lacoius-Petruccelli, A. Perinatal Asphyxia. New York: Plenum Medical

Book Company, 2012.

6. Edwards, A. D, Azzopardi, D.V. Therapeutic hypothermia following

perinatal asphyxia. Arch Dis Child Fetal Neonatal 2006, 91: F128-F131.

7. UNICEF. Newborn Care Charts: Management of Sick and Small

Newborns in Hospital. UNICEF, 2009. h 38.

8. Cornette, L. Therapeutic hypothermia in neonatal asphyxia. FVV in

ObGyn 2012, 4(2): 133-139.

9. Azzopardi, D.V, Strohm, B, et al. Moderate Hypothermia to Treat

Perinatal Asphyxial Encephalopathy. The New England Journal of

Medicine 2009, 361: 1349-58.

10. Pelliowski-Davidovich, A. Hypothermia for newborns with hypoxic

ischemic encephalopathy. Fetus and Newborn Committee, Canadian

Paediatric Society 2012, 17(1): 41-3.

11. American Academy of Pediatrics. Hypothermia and Neonatal

Encephalopathy. Pediatrics 2014, 133: 1146-1150.

18