Upload
enny-suryanti
View
44
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari
tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT.
Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga
disebut tonsilitis kronis hipertrofi.
Infeksi pada tonsil merupakan masalah yang cukup sering dalam populasi
penduduk. Keluhan yang ditimbulkan berupa nyeri menelan, demam, obstruksi
jalan napas dan otitis media merupakan alasan penderita berobat. Berdasarkan
data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-
1996 prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah
nasofaringitis akut (4,6%). Di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai Juni 2008–Mei 2009
sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan baru pada
periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah
kunjungan baru.1
Tonsil adalah jaringan limfoid yang mengandung limfosit B, limfosit T
dan sel plasma. Sentrum germinativum tonsil menghasilkan berbagai macam
imunoglobulin meliputi Ig G, Ig M, Ig A, Ig D dan Ig E.2 Ig A sekretori (s-IgA
merupakan imunoglobulin terbanyak dalam saliva, yang dapat mencegah
penetrasi antigen melalui mukosa rongga mulut. Tonsilektomi sudah sejak
lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan, baik awam maupun
profesi.2
Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai
gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif
sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA
merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi
saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan
1
oksigen secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara
epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering
tidak terdiagnosis.2
Meskipun tonsilitis kronis masih merupakan alasan paling umum untuk
operasi tonsilektomi, namun, kriteria histopatologi untuk infeksi ini belum
diteliti dengan baik. Semua penyelidikan yang terbatas pada pusat, folikel
limfoid germinal dan kriptus, daripada menyelidiki perubahan di daerah tonsil
termasuk epitel permukaan.2
Untuk pertama kalinya Susan McClory et al (2012), para peneliti telah
menemukan bahwa tonsil melakukan kerja yang tidak diduga sebelumnya,
yaitu sumber penting dari sel-sel imun yang dikenal sebagai T-sel yang
sebelumnya diyakini bahwa sel T berasal dari Timus. Susan McClory et al
(2012) menganalisis jaringan tonsil diperoleh dari anak-anak yang menjalani
tonsilektomi rutin di Rumah Sakit Anak Nationwide di OSU.3
Hingga saat ini, manfaat respon imun tonsil pada kejadian tonsilitis
kronis masih belum jelas. Dengan demikian, tindakan tonsilektomi masih
belum sepenuhnya jelas dalam hal ini, sehingga perlu kajian lebih lanjut.3, 4.
Selama beberapa generasi, tonsilektomi adalah sedikit dari ritus perjalanan
untuk anak-anak di AS. Pada puncak popularitas di sekitar tahun 1960, sebuah
tonsilektomi dilakukan setiap 30 detik di negara ini, terhitung lebih dari satu
juta operasi per tahun. 3
Tindakan ATE (adenotonsilektomi) juga sering dilakukan oleh spesialis
THT di Indonesia. Data selama tahun 2002 di RSUD dr. Moewardi Surakarta
telah dilakukan tindakan ATE dan Tonsilektomi (TE) sebanyak 220 di antara
501 tindakan atau operasi THT yang lain. Lebih dari 65% penderita yang
dilakukan tindakan ATE atau TE berumur antara 2 sampai 15 tahun. Tindakan
ATE dilakukan atas dasar indikasi klinis dan kasus demi kasus (Bicknell,
1994). Selama ini indikasi tindakan ATE berdasar atas hasil pemeriksaan klinis.
Dengan demikian dasar pertimbangan dilakukan ATE masih bersifat subjektif.
Gejala obstruksi menghilang setelah dilakukan tindakan ATE.2
2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :
Bagaimanakah respon imun tonsil pada kejadian tonsilitis kronis?
C. Tujuan Penulisan
Penulis berharap dapat menjelaskan tinjauan secara umum tentang respon
imun tonsil pada kejadian tonsilitis kronis
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Tonsil
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang
letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Pada
tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler
dan kapsul jaringan ikat serta kripte di dalamnya. 1,5 Berdasarkan lokasinya,
tonsil dibagi menjadi sebagai berikut :
1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.
2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus
glossopalatinus dan arcus glossopharingicus.
3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium
tubaauditiva.
5. Plaques dari peyer, terletak pada ileum
Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla palatina,
Tonsilla pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada
pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama
cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui
udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi
fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur
5 tahun dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.Jaringan limfoid pada
cincin waldeyer berperan penting pada awal kehidupan, yaitu sebagai daya
pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan dengan agen dari luar
(makan,minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun. Fungsi ini didukung secara
anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan jalannya material yang
melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar, sehingga terjadi turbulensi
khususnya udara pernafasan. Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen
yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun cincin
waldeyer itu semakin besar.5
4
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting
dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah masa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring dan dibatasi oleh m. palatoglosus (di
anterior) dan m. palatofaringeus (di posterior). Adapun struktur yang terdapat
disekitar tonsila palatina adalah:
Anterior : arcus palatoglossus
Posterior : arcus palatopharyngeus
Superior : palatum mole
Inferior : 1/3 posterior lidah
Medial : ruang orofaring
Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior
oleh jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di
belakang dan lateral tonsila.
Gambar 1. Anatomi Tonsil
5
Gambar 2. Histologi Tonsil
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10 -30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak
mengisi seluruh fosa tonsilaris,daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai
fossa supratonsilaris. Bagian luar tonsilterikat longgar pada muskulus
konstriktor faring superior, sehingga tertekan setiap kalimakan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang
berlebih tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan
insufisiensi velofaring atau obstruksihidung walau jarang ditemukan. Arah
perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering
menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan pada jalan nafas.
Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu
1) Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf
dan limfa.
2) Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.
3) Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam
berbagaistadium
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit,
0,1-0,2 % dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi
limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-
57%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel
6
M (sel membrane), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen precenting cells)
yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga
terjadi sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit
T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang
sudah disensitisasi. 5
B. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan salah satu bagian dari sistem kekebalan, yang
berpartisipasi dalam rekognisi dan penolakan dari material asing dan
organisme.6
Tonsil terletak pada jalan masuk respiratorik dan pencernaan dimana
mereka terus menerus diserang antigen, tidak seperti kelenjar limfe
umumnya, dimana menerima antigen melalui aliran darah. Pada dasar dari
kripte tonsiler ada microphore cell (sel M) dengan sistem tubulovesicular
untuk transport antigen. Selain itu, ada mikropor yang ditemukan di dinding
kripte, yang masih belum diketahui apakah fisiologis atau pathologis.6
Berdasarkan analogi dengan peristiwa yang terjadi pada MALT (The
mucosal associated lymphoid tissues), dimana MALT mempunyai fungsi
utama adalah menghasilkan dan penyebaran dari sel B yang telah disensitisasi
antigen yang membutuhkan sinyal kedua untuk differensiasi terminal menjadi
sel plasma yang menghasilkan antibodi pada berbagai jaringan sekretorik. 6,7
Demikian pula, tonsil mungkin berfungsi dengan cara yang sama. Di dalam
tonsil, antigen dibawa pada sel yang memproses antigen, yang merupakan sel
yang serupa dengan makrofag, yang mempresentasiken ke sel T helper dan
sel B. Hal ini akan menjadi konstituen utama dari pusat germinal yang ada di
tonsil (gambar 3 dan 4).
7
Gambar 3 Tonsil manusia memperlihatkan MALT. Sejumlah pusat
germinal yang sering ditemukan pada jaringan limfoid tonsil.
Gambar 4. Folikel limfoid sekunder menunjukkan pusat germinal
yang mengandung proliferasi sel B
Pada kondisi yang tepat sel B tersebut yang memiliki reseptor, seperti
antibodi, dapat mengkombinasi dengan determinan antigen yang akan
mengalami stimulasi untuk membelah diri. Mereka kemudian migrasi melalui
limfa dan darah, menjalani differensiasi lebih lanjut untuk differensiasi, untuk
mengkolonisasi berbagai struktur sekretori, seperti usus, saluran pernafasan,
kelenjar saliva, dan payudara.6
Mayoritas dari limfosit MALT mensekresikan imunoglobulin A (IgA),
berbentuk dimer, dengan dua molekul yang digabungkan dengan rantai J,
juga disekresikan oleh sel plasma. IgA dimer melewati sel epitelial untuk
8
mencapai permukaan mukosa, selama proses ini kemudian diselubungi
dengan sekretorik piece yang melindungi molekul dari tercerna enzim
(gambar 3). IgA berkombinasi dengan pathogen atau molekul lain, untuk
mencegah perlekatan, dan absorbsi atau membuatnya tidak berdampak,
sehingga dapat diserap, kemudian ditransport sebagai kompleks imun atau
melawan sistem retikulo-endothelial.6,7
Gambar 5. Transport dari IgA melewati epitel mukosa. Dimer IgA
disekresikan oleh sel plasma yang terikat pada reseptor membran dan
permukaan internal dari sel epithel. Mereka diendositosis dan ditransport
melewati sel menuju permukaan luminal dimana vesikel bergabung dengan
membran plasma, melepaskan IgA dimer dan komponen sekretorik berasal
dari pembelahan reseptor. Hal ini mungkin melindungi imunoglobulin dari
digesti enzimatik.
Sekresi Imunoglobulin tonsilar berbeda dari pola MALT biasa. Sel
yang memproduksi imunoglobulin G pada tonsila palatina dan nasoparingeal
dengan imunosit IgA menunjukkan sekitar 30-35%. Tidak seperti adenoid
dimana tidak ada produk tonsilar dari bagian sekretorik, jadi IgG dan IgA
keluar menuju sekresi faringeal dengan merembes diantara sel epithel,
dimana meningkat ketika terjadi inflamasi.
Tonsil mengandung 109 sel limfoid, dimana 50% nya adalah sel T.
Banyak darinya terlibat dalam meregulasi respon antibodi, yang akan
9
berperan sebagai promotor (T helper) atau supresor (T supresor). Sel T lain
bertanggung jawab sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat untuk
organisme yang lebih besar, seperti jamur. Tipe lain dapat membunuh sel
yang terinfeksi virus. Rekognisi pada kedua kasus dengan reseptor antigen sel
T, yang sama dengan tempat kombinasi antigen dari antibodi. Sitokin seperti
interferon gamma, dihasilkan oleh sel T tonsiler. NK sel juga terlihat di
sistem imun, dan dapat membunuh sel yang terinfeksi virus dan sel tumor,
namun metode dari pengenalan sel tersebut masih belum diketahui.6,7
C. Peran Tonsil dalam Tubuh Manusia
1. Perkembangan limfosit T (sel T ekstratimik) selain Timus
Perkembangan dari sel T sehat bergantung pada timus fungsional.
Namun, potensi dari jaringan imfoid ekstratimik manusia untuk
meningkatkan perkembangan sel T masih sedikit diketahui namun
diperkirakan penting dalam kejadian fungsi timus yang buruk atau defisit
kongenital. Laporan sebelumnya mengenai perkembangan sel T
ekstratimik pada manusia bergantung pada identifikasi sel yang
mengekspresikan gen dengan lokus rearrangement TCR pada intestinal
atau sumsung tulang.3
Tonsil manusia dan nodus limfatikus dihuni oleh sel CD34+.
Namun, kompartemen CD34+ pada jaringan limfoid sekunder telah
dijelaskan dalam kemampuannya dalam berkontribusi pada perkembangan
sel NK. Secara spesifik, telah dijelaskan dalam dua tahap maturasi dari sel
NK intermediate, yang dapat dibedakan dengan ekspresi CD117. Sel pro-
NK tahap 1 djelaskan sebagai CD34+CD117–, sementara sel
pre-NK tahap 2 dijelaskan sebagai CD34+CD117+. Tiap populasi CD34+
memiliki potensial diferensiasi menjadi sel T, DCs (sel dendrit), dan sel
NK. Namun, definisi minimal di tahap 1 dan 2 tidak mempertimbangkan
heterogenisitas fenotip dari tiap populasi. Apakah prekursor NK tahap 1
10
atau 2 mengandung subpopulasi yang jelas, tiap-tiapnya memberikan jalur
hematopoetic yang masih belum diketahui.3
Suatu penelitian telah membuktikan untuk peran tonsil manusia
dalam program perkembangan sel T ekstratimik yang mengidentifikasi 5
intermedian sel T di dalam tonsil, tiap-tiapnya dengan potensi
perkembangan sel T, juga fenotipe yang mirip dengan populasi di timus.
Selain itu, kami menemukan jika sel TdT+ ditemukan dijarinan fibrosa di
tonsil mengekspresikan CD34 atau marker sel pre-T CD1a, menunjukkan
jika regio anatomi dari tonsil berkontribusi pada tahap awal perkembangan
sel T ekstratimik. Akhirnya, diketahui jika CD34+/- CD1a+CD11c– sel
tonsilar dan timus memiliki protensi perkembangan menjadi sel T dan
NK.3
Suatu penelitian juga telah mengidentifikasi 5 subset limfosit yang
berperan penting dalam tonsil manusia, yaitu sel: (a)
CD34+CD38dimLin–, (b) CD34+CD38brightLin–, (c)
CD34+CD1a+CD11c–, (d) CD34– CD1a+CD3–CD11c–, dan (e) CD34–
CD1a+CD3+CD11c–. Sel Tonsil CD34+CD38dimLin– dan
CD34+CD38brightLin– memiliki banyak fenotipik dari sel yang sama
yang kami identifikasi didalam timus dan memiliki potensiasi diferensiasi
untuk berkembang menjadi sel T dan NK. Menariknya, sel
CD34+CD1a+CD11C– yang diidentifikasi di tonsil menunjukkan fenotipe
yang identik dengan prekursor sel T CD34+CD1a+ timus dan
menunjukkan konsisten dengan kemampuan berkembang menjadi sel T.
Sama, sel CD34–CD1a+CD11c– dari tonsil mirip dengan sel CD34–
CD1a+ timus, sehingga dapat membelah menjadi 2 populasi berdasarkan
ekspresi CD3, yang mengekspresikan CD4 dan CD8, sehingga dapat
berpotensi dalam perkembangan sel T ekstratimik.3
Namun demikian faktanya, dalam studi oleh McClory et al (2012)
telah menunjukkan jika sel CD34+/–CD1a+CD11c– dari timus dan tonsil
tidak digunakan untuk jalur sel T namun memiliki potensial differensiasi
untuk menjadi sel NK. Pada penelitian sebelumnya telah diidentifikasi
11
peran dari jaringan limfoid usus tikus pada perkembangan sel T, baru
sedikit penelitian yang meneliti tentang diferensiasi sel T ekstra timik yang
susah untuk diinterpretasikan. Telah diketahui jika progenitor
hematopoetic dengan kemampuan differensiasi sel T terletak di dalam
sumsum tulang dan di placenta. Selain itu, sel tonsiler TdT+ dari etiologi
yang tidak jelas dan sel pre-T didalam sumsum tulang dan usus neonatal
telah dapat diidentifikasi. Namun, deskripsi lengkap dari differensiasi sel T
pada jaringan manusia ekstratimik masih belum dijelaskan. Penelitian
tersebut, menunjukkan jika perkembangan sel T terjadi di tonsil manusia,
dan penelitian lebih lanjut harus membahas proporsi dari sel tonsilar CD3+
didalam tonsil dibandingkan dengan dari timus. Masih diperdebatkan
dimana prekursor timus dan tonsil berasal dari derivat sumsum tulang
yaitu sel progenitor CD34+CD38dimCD45RA+ asal dari sel NK dan T di
jaringan. Namun, dari 5 populasi yang kami identifikasi, kami menemukan
perbedaan substansial ketika membandingkan CD34+CD38dimLin– dan
CD34+CD38brightLin– dari tonsil dan timus. Lebih spesifik lagi sel
CD34+CD38dimLin– mengekspreskan antigen sel T CD2, CD7, dan CD5,
dan sel tonsiler CD34+CD38dimLin–tidak mengekspresikannya. Oleh
karena itu, sangat mungkin jika populasi tersebut menunjukkan progenitor
yang jelas yang prekursor indepedent antara timus dan tonsil.
Alternatifnya, sangat mungkin jika timus dan tonsil memiliki prekursor
progenitor sel CD34+CD38dim namun fenotipe ketika sel tersebut masuk
dapat berubah karena lingkungan mikro pada timus atau tonsil seperti yang
terlihat pada tikus. Tentu saja, penelitian terbaru menunjukkan jika sel
benih CD34+CD45RA+CD10+CD7– terdapat di timus setelah lahir, dan
prekursor CD34+CD45RA+CD10+CD7+ belum dapat diidentifikasi pada
sumsum tulang postnatal atau darah perifer.Oleh karena itu, mungkin jika
kedua jaringan mendapatkan benih sel ini dari
CD34+CD38dimCD10+CD7– yang bersirkulasi dan sel ini dapat berperan
menjadi intermediate sel T di tiap jaringan. 3
12
2. Natullar Killerr Cell pada Tonsil dalam Menghambat Transformasi
Epstein Barr Virus (EBV)
EBV membentuk infeksi persisten pada seluruh orang dewasa. Hal
yang menarik, sel NK dapat mencegah transformasi sel B oleh EBV
melalui sekresi dari sitokin antiviral IFN-c, dan sel NK dari tonsil dan
nodus limfatikus menghasilkan sitokin ini 5 kali lipat dibandingkan dari
pembuluh darah perifer. Data ini menunjukkan spesialisasi sel NK dari
tonsil, lokasi masuknya EBV dimukosa, dapat ditimulasi secara efisien
oleh sel dendritik yang teraktivasi EBV, dan membatasi transformasi sel B
diinduksi EBV hingga kontrol imun spesifik oleh komponen lain dari
sisem imun ditegakkan.9
Virus EBV adalah virus herpes-c limfotropik yang menginfeksi
lebih dari 90% populasi dewasa. Tanda khas dari virus ini adalah
kemampuannya yang onkogenik. Kemampuan mentransformasinya dapat
diperlihatkan secara in vitro dan in vivo di kedua grup yang
imunokompeten dan sering pada individu yang imunosupresan.
Selanjutnya, EBV menyebabkan tumor seperti penyaki limfoproliferatif
post transplantasi dan limfoma imunoblastik, sedangkan Ca nasofaring,
penyakit Hodgkin dan limfoma burkitt adalah malignansi yang paling
sering dihubungkan dengan malignansi pada individu imunokompeten.9
Sel NK dapat terlibat dalam fase awal respon imun spesifik
terhadap EBV. Sel NK merupakan limfosit innate yang berperan penting
dalam mengontrol infeksi dan pengawasan imun terhadap tumor.
Khususnya, setelah infeksi virus mereka diperkirakan menghambat beban
virus hingga sel T spesifik virus dapat mengeliminasi infeksi atau
mengontrol titer viral dalam jumlah yang rendah. 9
Telah diketahui, sel NK menghasilkan sitokin seperti IFN-c,
berproliferasi dan meningkatkan sitotoksisitasnya setelah aktivasi dari DC
myeloid dan plasmasitoid. Selanjutnya, DC mengaktivasi sel NK sesaat
13
setelah infeksi dalam rangka menghambat replikasi patogen hingga sistem
imun adaptif menghasilkan kontrol imun jangka panjang. 9
Sel NK secara signifikan menghambat transformasi sel B oleh
EBV. Sel NK tonsiler lebih efisien dalam menghambat transformasi sel B
yang diinduksi EBV secara in vitro dibandingkan dari sel NK perifer dan
mensekresikan IFN-c dalam jumlah besar, yang terbukti cukup untuk
membatasi transformasi sel B oleh EBV yang disebabkan sekresi IFN-c
oleh sel NK teraktivasi sel DC, yang mengalami maturasi ketika terpapar
EBV, yang juga dapat menimbulkan sekresi oleh sel NK untuk
melindungi terhadap transformasi. Hal yang berlawanan pada hipotesis
jika sel NK mengontrol patogen melalui sitotoksisitas spontan yang
merupakan ide penamaan subset limfosit innate ini, menunjukkan jika
respon sel NK membutuhkan aktivasi oleh DC dan dimediasi oleh sitokin.
Data memberikan bukti untuk fungsi efektor antiviral langsung oleh sel
NK pada jaringan limfoid sekunder, yang menghambat infeksi EBV
hingga sistem imun adaptif secara efisien mengontrolnya. 9
D. Imunologi Tonsilitis Kronik dengan Hipertrofi atau tanpa Hipertrofi
Patologi inflamasi kronik pada tonsil umumnya sering ditemukan pada
anak-anak usia dekade pertama (3-10 tahun) , tetapi juga pada dewasa, yang
dimungkinkan terkait disfungsi lokal struktur epitelial. Hipertrofi tonsil
terjadi dengan folikular hiperplasia dan hipertrofi. Ada defisiensi sel-sel
proliferasi dalam menanggapi rangsangan mitogenik pada tonsilitis rekuren
dengan hipertrofi (RTTH). Folikel baru mungkin dibentuk dengan Sel B
karena berkurangnya sel-sel aktif proliferasi. Tonsil memiliki lokasi strategis
di pintu masuk dari aerodigestive saluran atas untuk kekebalan tubuh
terhadap patogen ingesti dan inhalasi. Perlindungan imun di daerah ini
tergantung pada kedua mekanisme pertahanan innate nonspesifik dan reaksi
imun spesifik adaptif. Tonsil memiliki kejadian untuk respons imun humoral
dan diperantarai sel. 10
14
Infeksi dan hipertrofi adalah bagian dari reaksi imunologi dari tonsil
palatina dan tonsil faringeal. Tonsil palatina terkait dengan maturasi sel-B dan
diferensiasi berhubungan dengan aktivasi sel-T lokal. Banyak penelitian
menunjukkan peradangan dengan / tanpa hipertrofi dari adenoid dan tonsil
disebabkan oleh hipofungsi imunitas lokal atau sistemik. Namun, penyebab
hipertrofi tonsil dan efek dari tonsilitis rekuren pada komposisi sel-sel imun
masih kurang dimengerti.10,11
Semua kategori tonsil mengandung 4 kompartemen limfoid berikut:
epitelium kripte retikuler, area extrafollicular, zona folikel limfoid, dan
sentral folikular germinal. Karakteristik pusat germinal muncul dalam T-sel
yang tergantung respon sel-B. Folikel limfoid terutama mencakup resirkulasi
sel B. Epitelium kripte retikuler mengandung makrofag dan sel dendrit dalam
transpor antigen- antigen ke area sel T extrafollicular dan ke folikel sel B.
Adanya peningkatan jumlah sel B, sel T helper, dan sel T supressor
dilaporkan pada hipertrofi tonsil. Infiltrat padat dari sel dendritik S-100 yang
dilaporkan dalam mayoritas hiperplasti, sementara lebih sedikit ditemukan di
tonsil nonhiperplastik.10,11
Tonsil palatina dan jaringan adenoid merupakan tempat pertama virus
dan bakteri menginduksi aktivasi sel B-dan sel T dan menghasilkan jenis
tertentu reaksi imun terpolarisasi. Respon imun dibagi menjadi 2 jenis: (1)
respon imun humoral, yang tergantung pada sel B, sel plasma, dan antibodi,
dan (2) respon imun seluler, yang tergantung pada sel T dan sitokin. Tonsil
dan jaringan adenoid terkait sel T dan sel B dan memiliki prasyarat selular
untuk uptake antigen, proses, presentasi, dan kerjasama sel T dan sel B,
pematangan, dan diferensiasi. Tonsilitis muncul untuk dapat meningkatkan
baik respon primer dan sekunder sel T.10
Dalam studi Alatas et Baba, 2008 menunjukkan bahwa pembesaran
tonsil terjadi oleh hiperplasia folikel pada pasien dengan tonsil rekuren (RT).
Dalam proses ini, peningkatan jumlah folikel, meningkatkan kepadatan sel S-
100+ pada permukaan epitel, dan penurunan cyclin D1-mengekspresikan
15
kepadatan sel di permukaan epitel secara statistik signifikan. Selain itu,
adalah peningkatan susunan papiler, kepadatan sel S-100+, dan kepadatan sel
CD20+ pada kripte epitelium dan penurunan kepadatan sel CD20+ di
permukaan epitelium, area extrafollikular, dan folikel, kepadatan sel
CD45RO+ di area extrafollicular sentral, dan siklin D1-mengekspresikan
densitas sel dalam folikel di RTTH bila dibandingkan dengan RT.
Menariknya, peningkatan atau penurunan cyclin D1-mengekspresikan
densitas sel adalah paralel dengan kenaikan atau penurunan dari sel CD20+
dalam mengekspresikan cyclin D1.10
Rosenmann et al menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan
dalam salah satu T-dan B-subset sel pada jaringan tonsil antara pasien dengan
hipertrofi tonsil idiopatik RT dan RTTH. Tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam subset sel T-dan B- antara RT dan kelompok RTTH;
Namun, berbeda dari studi mereka, yang meneliti perbedaan jumlah sel
CD20+ dalam kompartemen limfoid berbeda mencolok antara RT dan RTTH
kelompok, meskipun secara statistik tidak signifikan perbedaan. Sel dendritik
limfoid memainkan peran penting untuk presentasi antigen dalam respon
imun primer dan diyakini penting dalam respon sehat normal dari sistem
imun mukosa. Sel dendritik berfungsi untuk menangkap dan proses antigen
dan mempresentasikan ke limfosit B dan T. Ditemukan S-100 sel dendritik+
di permukaan epitel dan epitel crypt di tonsil, dan distribusi sel dendritik pada
dewasa tidak berbeda dibandingkan dengan anak-anak. Densitas infiltrat
dendritik S-100+ ditemukan di sebagian besar tonsil hiperplastik, sedangkan
pada tonsil nonhiperplastik ditemukan sedikit. Perbedaan distribusi, jumlah,
dan fenotif sel dendritik di permukaan dan epitelium kripte di tonsil baik
normal dan sakit yang diamati. Selama penyakit, sel dendritik menurun pada
permukaan epitel dan meningkat pada epitel kripte dan area extrafolikular.
Rasio sel dendritik di permukaan untuk crypt epitel adalah 1:1 untuk tonsil
normal tetapi turun sampai 1:3 untuk penyakit tonsil.10
Dalam penelitian Alatas dan Baba ditemukan bahwa kepadatan sel
dendritik S-100+ di permukaan dan kripte epitelium yang tinggi pada
16
tonsilitis kronis. Kelompok kontrol memiliki densitas sel tinggi S-100+ pada
epitel permukaan, namun tidak ada S-100+ sel epitel kripte epitelium. Jumlah
sel-sel S-100+ di permukaan epitel pada kelompok RT secara signifikan lebih
rendah daripada kelompok RTTH. Rasio S-100+ dendritik sel di permukaan
epitel crypt adalah 0.5:1 pada kelompok RT, 1:0.8 dalam kelompok RTTH,
1:0.5 dalam kelompok AV, dan 01:00 pada kelompok kontrol. Epitel tonsil
palatina manusia terdiri dari 2 berbeda kompartemen: permukaan epitel dan
epitel crypt. Epitel tonsil ditandai sebagai lymphoepithelium. Integritas epitel
cryptal penting untuk fungsi imunologi tonsil palatina sebagai organ
pertahanan terhadap infections. 10Crypt epitel mungkin memiliki hambatan
epitel yang berbeda dari permukaan epitel. Juga, tingkat fungsi penghalang
dari epitel berbeda antara adenoid dan tonsil palatina. Selanjutnya,
peningkatan unsur limfoid adalah dilaporkan dalam hipertrofi tonsil: ada
peningkatan jumlah sel B, T helper sel, dan sel T penekan bila dibandingkan
dengan kontrol.10,11
Menariknya, densitas sel S-100+ rendah dan densitas sel CD20+
tinggi di epitel permukaan dan densitas sel CD20+ rendah dan densitas sel S-
100+ relatif tinggi di kripte epitelium pada kelompok RT. Dan
bagaimanapun, densitas sel S-100+ pada kripte dan epitel permukaan lebih
rendah dibandingkan kelompok RTTH. Temuan ini menunjukkan bahwa
fungsi barier limfoid epitelium berbeda antara pasien dengan RT, dan
RTTH.10
Analisis histologis komponen epitelial pada 44% kasus menunjukkan
adanya sebuah hiperparakeratosis di dasar kriptus dalam peradangan kronis
tonsil. Pada studi Alatas& Baba,2008 menunjukkan keratin di tonsil dijumpai
pada semua grup dan didemonstrasikan pada 66.7% kasus. 10,11
Alatas dan Baba menyatakan bahwa hipertrofi di RT dan Adenoid
Vegetation terjadi karena hiperplasia dan hipertrofi folikel. Koch dan
Brodsky menduga bahwa disfungsi limfosit lokal mungkin sebagai penyebab
tonsil rekuren dengan hiperplasia. Reaksi inflamasi lokal persisten di
adenotonsillitis dapat menyebabkan perubahan histomorphological dan
17
defisiensi fungsional dalam pertahanan barriers. Pada studi Alatas dan Baba ,
mereka menginvestigasi entitas proliferasi sel aktif oleh kehadiran ekspresi
sel cyclin D1. Siklus sel terdiri atas 4 fase mayor yaitu gap 1(G1), DNA
sintesis (S), gap 2 (G2), dan mitosis.10
Gambar 6. Cyclin D1-mengespresikan sel secara Imunohistokimiawi pada
permukaan epitel pada pasien tonsilitis kronis.
Defisiensi sel CD20+ (atau sel B) dan proliferasi sel-sel aktif di tonsil
dapat menjadi penyebab utama dalam etiologi dan patogenesis hipertrofi
tonsil. Alatas dan Baba juga menambahkan adanya peningkatan stimulus
antigen pada anak-anak dengan RTTH dan mengontrol karena peningkatan
densitas sel S-100+ di epitel permukaan. Pada anak-anak, infeksi kronis
membahayakan atau mungkin berlangsung terus-menerus dapat dibombardir
dengan tidak diketahui banyak antigen asing dalam saluran napas atas yang
berbeda dari tonilitis kronis.10
Anders Ebenfelt mengungkapkan bahwa proses inflamasi
membutuhkan tempat di luar permukaan sel epitel. Ini terjadi dalam sekresi
dengan hampir tidak ada kontak langsung antara bakteri dan permukaan epitel
18
dan tidak ada penetrasi bakteri dalam sel. Kedua tonsilitis dan hipertrofi tonsil
berhubungan dengan ditandai tingginya populasi sel imunologi aktif di tonsil
dibandingkan dengan kontrol. 10 Tampak bahwa profil bakteri tinggi di tonsil
menyebabkan tonsilitis dan menyebabkan hipertrofi tonsil tanpa gejala klinis
tonsilitis. Tonsil sangat rentan terhadap infeksi meskipun mereka dianggap
pelindung fungsi. Pada pemeriksaan, tampak ktipte epitel dengan
immunostaining cytokeratin pada kelompok tonsilitis dan kelompok pasien
hipertrofi tonsil.10,11
Bukti hasil pengamatan terakhir menunjukkan yaitu beban bakteri
yang meningkat dari tonsil dalam beberapa subjek penyebab tonsilitis dan
hipertrofi tonsil pada orang lain dan juga bahwa tonsil memiliki fungsi
imunologi khusus menunjukkan kerentanan bahwa untuk tonsilitis mungkin
ditentukan oleh sebuah imunologi 10,11
19
BAB III
PEMBAHASAN
Secara histologis, tonsil yang mengalami inflamasi kronis sedikit
berbeda dengan yang normal, dimana masih sedikit diketahui, ada penurunan
sel limfosit teraktivasi dan sel yang mengandung imunoglobulin, yang dapat
secara primer, atau disebabkan karena infeksi. Tonsilitis terjadi ketika
organisme berkembang pada tonsil. Infeksi tersebut sering polimikrobial.
Adapun kecenderungan faktor predisposisi, meliputi kegagalan sistem imun
dan virulensi dari organisme itu sendiri. Bakteri dan infeksi viral itu sendiri
juga berkontribusi dalam inflamasi tonsilar. Infeksi kronik dengan virus
Epstten-Barr juga menurunkan resistensi host oleh organisme dengan
menstimulasi produksi sel T supresor.
Pada kejadian hipertrofi tonsil terjadi oleh hiperplasia dan hipertrofi
folikel. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran cyclin D1-sel pada pasien
dengan RTTH mengalami penurunan pada epitel permukaan dan folikel
tonsil. Menariknya, pada penelitian Alatas et Baba (2008), pada pasien
dengan RTTH, penambahan atau pengurangan jumlah cyclin sel D1-
mengekspresikan densitas sel dalam folikel itu paralel dengan kenaikan atau
penurunan dalam jumlah sel CD20+ dalam cyclin D1-mengekspresikan area
tanpa folikel. Mungkin ada 2 berbeda jawaban: (1) sel cyclin D1- siap untuk
mitosis, dan jumlah mereka menurun konsumsi selama folikular dan
hipertrofi peningkatan jumlah folikel. (2) Mungkin ada kekurangan
proliferasi sel-sel aktif di tonsil, dan kebutuhan peningkatan sel imun
mungkin dipasok dari tempat lain. Dari segi imunitas, hipertrofi folikel dan
pembentukan folikel baru terjadi pada RTTH. Dalam prosesnya, jumlah sel
CD20+ dan cyclin D1-sel menurun pada epitel permukaan pada pasien
tonsilitis rekuren dengan hipertrofi. Juga penurunan jumlah 50% sel cyclin
D1 dalam folikel dalam kelompok RTTH bila dibandingkan dengan
20
kelompok tonsilitis rekuren, tetapi penurunan tersebut dalam jumlah sel
CD20+ kurang menonjol dari penurunan jumlah sel cyclin D1 dalam folikel.
Penurunan jumlah proliferasi sel aktif tidak paralel dengan penurunan jumlah
sel CD20+ dalam folikel pada kelompok tonsilitis rekuren dengan hipertrofi.
Dugaan pendapat, sel CD20+ (atau sel B) mungkin dipasok dari tempat lain
untuk formasi folikel baru karena terjadi penurunan proliferasi sel aktif pada
respon sel B terhadap stimulus mitogenik pada tonsilitis rekuren dengan
hipertrofi sehingga menyebabkan folikular hiperplasia.
Dalam hal tentang peran tonsil manusia dalam perkembangan sel T
ekstratimik di dalam tonsil, keduanya sama-sama berpotensi dalam
perkembangan sel T, karena fenotipe yang mirip dengan populasi di timus.
Dan menariknya adalah bahwa ada kemungkinan jika asal prekursor sel T
tonsil mengalami “kebocoran” timus dimana dapat diasumsikan jika sel
kemudian memasuki tonsil dengan pola acak di daerah interfolikular dekat
dengan sel T matur. Namun, agregasi yang konsisten dari prekursor sel T
dekat dengan regio fibrosa dari tonsil menunjukkan jika ruang ini
memberikan fungsi anatomis yang mendukung prekursol sel T ekstratimik
mengalami penempatan dan atau maturasi. Hipotesis ini didukung oleh
identifikasi Notch ligands, yang dibutuhkan untuk differensiasi sempurna sel
T, didalam regio yang sama dari tonsil manusia. 3Kapsul dari tonsil
berinvaginasi ke dalam kripte, dimana membentuk area dengan permukaan
luasi yang penting untuk paparan antigen asing.
Oleh sebab itu, proses respon imun penting yang terjadi pada tonsil
inilah yang dapat menjadi dasar pertimbangan untuk para dokter sebelum
tonsilektomi. Namun, tonsilektomi tidak akan sepenuhnya menghilang.
Dalam beberapa kasus, tindakan tersebut mutlak diperlukan.
Indikasi dari tonsilektomi umumnya meliputi infeksi kronik seperti
tonsilitis kronik atau obstruksi jalan nafas atas kronik yang bersamaan dengan
hipertrofi tonsil. Diagnosis dari tonsilitis kronis sangat penting dan efek dari
tonsilektomi pada integritas imunologis pasien masih diperdebatkan. Pada
keadaan ini, khususnya pada kasus kronik atau rekuren, tonsilektomi adalah
21
pendekatan yang paling umum, namun masih kontroversial. Masih belum
jelas apakah manfaatnya melebihi kerugiannya, seperti eliminasi banyaknya
sel imunokompeten yang sering menimbulkan turunnya IgA serum. Selain
itu, perlu dipertimbangkan jika tonsila palatina yang besar bukan merupakan
indikasi tonsilektomi, karena tonsil anak normalnya lebih besar dibandingkan
dewasa dan akan mengalami involusi ketika remaja
Hal penting untuk menjadi kepentingan klinis dan ilmiah selanjutnya
pada penulisan ini, dalam hal respon imunologis tonsil pada tonsilitis kronis
adalah meliputi peran dari sel T tonsiler pada perkembangan penyakit
manusia masih belum diketahui. Mengenai sel T dapat berkembang
ekstratimus pada jaringan meningkatkan kemungkinan jika tonsil dapat
mendukung pembentukan dari limfosit T autoreaktif atau juga berkontribusi
pada perubahan malignansi. Selain itu, peran dari sel T ekstratimik pada
tonsil selama inflamasi juga dapat dipelajari lebih lanjut.
22
BAB IV
KESIMPULAN
Tonsil memiliki peran imunologis penting dalam tubuh manusia.
Sehubungan dengan penemuan terbaru pada studi penilitian 2012 yaitu peran
tonsil manusia dalam perkembangan sel T ekstratimik selain timus, keduanya
sama-sama berpotensi dalam perkembangan sel T, karena fenotipe yang mirip
dengan populasi di timus.
Penyebab utama dalam etiologi dan patogenesis hipertrofi tonsilitis
rekuren yaitu defisiensi sel CD20+ (atau sel B) dan proliferasi sel-sel aktif dalam
respon terhadap stimulasi mitogenik di tonsil. Pembentukan folikel baru
dimungkinkan oleh adanya suplai sel B dari tempat lain karena defisiensi dari
proliferasi sel aktif.
Indikasi dari tonsilektomi mutlak dilakukan atas dasar indikasi jelas,
umumnya penting dilakukan untuk infeksi kronik seperti tonsilitis kronik dengan
hipertrofi atau obstruksi jalan nafas atas kronik yang bersamaan dengan hipertrofi
tonsil.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sakka, I et al. Kadar imunoglobulin A sekretori pada penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah tonsilektomi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas hasanuddin Makassar – Indonesia.2010. laporan kasus.pp.1-7
2. Muharjo. Pengaruh Adenotonsilektomi pada Anak Adenotonsilitis Kronis Obstruktif terhadap Imunitas.SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS).2002. hal1-5
3. McClory, S. Evidence for a stepwise program of extrathymic T cell development within the human tonsil. The Journal of Clinical. Volume 122 Number 4 April 2012. Pp.1403-14. http://www.jci.org/articles/view/46125
4. Skevas, et al. Measuring Quality of Life in Adult Patients with Chronic Tonsillitis. Department of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, University of Heidelberg, GermanyThe Open Otorhinolaryngology Journal, 2010, 4, 34-46 1874-4281/.
5. Bista M, Amatya RCM, and Basnet P. Tonsillar microbial flora: A comparison of infected and noninfected tonsils. Kathmandu University Medical Journal.2006. Vol. 4, No. 1, Issue 13, 18-21. http://www.kumj.com.np/issue/13/18-21.pdf
6. Scadding,G.K. 2008. Immunology of the tonsil; a Review Journal of the Royal Society of Medicine Volume 83 February 1990http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1292508/pdf/jrsocmed001
39-0057.pdf
7. Bernstein et al. Immunobiology of The Tonsils and Adenoids in Mucosal Immunology. Third editon. Elsevier.pp1552-6
8. Mal, RK., Oluwasanmi, A.F and Mitchard J.R. Tonsillar Crypts and Bacterial Invasion of Tonsils: A Pilot Study. The Open Otorhinolaryngology Journal, 2010, 4,83-86. http://www.benthamscience.com/open/tootorj/articles/V004/83TOOTORJ.pdf
24
9. Strowig,T. Tonsilar NK Cells Restrict B Cell Transformation by the Epstein-Barr Virus via IFN-c. February 2008 | Volume 4 | Issue 2 | e27
10. Necat Alatas, MD; Fusun Baba, MD. Proliferating Active Cells, Lymphocyte Subsets, and Dendritic Cells in Recurrent Tonsillitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;134(5):477-483
11. Ugraş, S & Kutluhan, A. Chronic Tonsilitis can be Diagnosed with Histopathologic Findings. Eur J Gen Med 2008;5 (2):95-103.
25