Upload
alman-pratama-manalu
View
24
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat tifoid
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan
terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur
fekal-oral.1
Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Data World Health Organization
(WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Sebuah
penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai benua,
melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid
dengan angka kematian 10%. Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan
pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per
100,000 penduduk.1,2
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi, biasanya kontaminasi dari bahan feses, muntahan
maupun cairan badan. Salmonella typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita, lalat dan serangga lain. Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan kuman Salmonella thypi. Kontak langsung
berarti ada kontak antara orang sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid.
Kontak tidak langsung dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak, air
es yang dibuat dari air yang terkontaminasi, atau dilayani oleh orang yang membawa
kuman, baik penderita aktif maupun carrier.3
1
Gambaran klinis demam tifoid sangat bervariasi, ringan sampai berat dengan
komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Salah satu faktor yang mempengaruhi
variasi ini terutama adalah usia. Meskipun demam tifoid pada usia < 5 tahun dapat
disertai sepsis, secara umum gambaran klinis lebih ringan sehingga dapat
menyulitkan dalam menegakkan diagnosis. Penelitian mengenai demam tifoid pada
kelompok usia < 5 tahun belum banyak dilaporkan(khususnya) di Indonesia.4
Bahaya yang ditimbulkan penyakit ini dapat berupa perdarahan akibat luka
pada usus yang dapat menimbulkan syok dan kematian bagi si penderita. Untuk
mencegah kejadian bahaya akibat penyakit tersebut dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotika yang sesuai pada waktu yang tepat sehingga si penderita dapat
disembuhkan.3 Pemberian antibiotik empiris yang tepat pada pasien demam tifoid
sangat penting, karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian.1
Rendahnya resistensi tubuh pada anak dan keadaan bakteri khususnya
jumlah bakteri yang masuk, virulensi, maupun resistensi bakteri terhadap
antibiotik yang diberikan menyebabkan demam tifoid kadangkala menjadi berat.
Kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol merupakan antibiotik lini pertama yang
telah dipakai selama puluhan tahun sampai akhirnya timbul resistensi yang disebut
multidrug resistant Salmonella typhi (MDRST). Dalam 5 tahun terakhir telah
dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak bahkan fatal yang disebabkan
oleh adanya resistensi obat ganda terhadap salmonella typhi (MDRST). Beberapa
penelitian menunjukkan keunggulan seftriakson sebagai antibiotik terpilih.5,1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan
terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur
fekal-oral.1
2.2. Epidemiologi
Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Data World Health Organization
(WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Sebuah
penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai benua,
melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid
dengan angka kematian 10%. Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan
pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per
100,000 penduduk.1,2
Di Indonesia, menurut laporan data surveilans yang dilakukan oleh sub
Direktorat surveilans Departemen Kesehatan, insiden penyakit menunjukkan
angka yang terus meningkat yaitu jumlah kasus pada tahun 1990, 1991, 1992, 1993,
dan 1994 berturut-turut adalah 9,2 ; 13,4 ; 15,8 ; 17,4 per 10000 penduduk.
Sementara data penyakit demam tifoid dari Rumah Sakit dan pusat kesehatan
juga meningkat dari 92 kasus pada tahun 1994 menjadi 125 kasus pada tahun
1996 per 100.000 penduduk. Kecenderungan meningkatnya angka kejadian demam
tifoid di Indonesia terjadi karena banyak faktor, antara lain : urbanisasi, sanitasi yang
buruk, karier yang tidak terdeteksi dan keterlambatan diagnosis.6
Sedangkan pada tahun 1985 insiden demam tifoid di Indonesia
diperkirakan sebagai berikut:
− Umur 0 – 4 tahun : 25,32 %
− Umur 5 – 9 tahun : 35,59 %
3
− Umur 10 – 14 tahun : 39,09 %
Data rumah tangga tahun 1985 / 1986 menunjukkan demam tifoid (klinis)
sebesar 12 per 1000 penduduk per tahun.6
2.3. Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi dan atau paratyphi A, B dan C.
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif batang.7
Salmonella merupakan Gram negatif, motile, batang, aerobik, tidak
menghasilkan spora, berflagela, berkapsul, termasuk famili Enterobacteriaceae.
Mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa tapi tidak terhadap
laktosa atau sukrosa. Kuman ini tahan pada pembekuan dalam air jangka waktu lama,
namun mati pada pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C selama 15
menit. Terdapat tiga jenis Salmonella yaitu Salmonella typhi (mempunyai 1 serotipe),
Salmonella enteritidis (lebih dari 1500 serotipe), dan Salmonella choleraesuis (1
serotipe). Salmonella mempunyai empat komponen antigen, yakni antigen H
(flagela), antigen O (dinding sel/lipopoli sakarida), yang terdiri dari lebih dari 60
jenis antigen, antigen Vi/antigen kapsul, dan protein membran luar (outer membrane
protein).8
Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi, biasanya kontaminasi dari bahan feses, muntahan
maupun cairan badan. Salmonella typhi dapat menyebar melalui tangan
penderita, lalat dan serangga lain. Infeksi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak secara langsung dengan kuman Salmonella thypi. Kontak langsung
berarti ada kontak antara orang sehat dan bahan muntahan penderita demam tifoid.
Kontak tidak langsung dapat melalui air misalnya air minum yang tidak dimasak, air
es yang dibuat dari air yang terkontaminasi, atau dilayani oleh orang yang membawa
kuman, baik penderita aktif maupun carrier.3
Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di daerah
tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk.7 Manusia terinfeksi
4
Salmonella typhi secara fecal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang masuk ke
saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan infeksi,
Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang
menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila
keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka
hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi.9
Gambar 2.1. Salmonella typhi, the agent of typhoid. Gram stain. (CDC)10
2.4. Patogenesis
Patogenesis Infeksi Salmonella typhi
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi
akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah,
menimbulkan bakteriemia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti
aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke
dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan
menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian
kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteriemia sekunder. Pada saat
terjadi bakteriemia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid.9
5
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa (IgA) usu kurang baaik maka kuman akan menembus sel
sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lanmina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque
Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika. Selanjutnya
melalui duktus thorasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ
ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam darah lagi mengakibatkan
bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.11
Didalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu disekresikan secara intermitten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang lama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutny akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut.11
Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (Salmonella thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasis jaringan dan nekrosi organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
6
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,serosa
usus dan dapat mengakibatkan perforasi.11
Endotoksin dapat menempel di sel r eseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsiatrikm kardiovaskuler, pernafasan,
dan gangguan organ lainnya.11
Patogenesis deman tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti
organisme, yaitu:
1. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch
2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus
limfatikus mesentrikus, dan organ-organ intestinal sistem retikuloendotelial
3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.12
7
Gambar 2.2. Patofisiologi Demam Tifoid12
2.5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik
berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.13,14
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus
atau Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada
demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil
lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria
dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai
8
demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain Salmonella typhi juga
dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau
koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut
dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.15
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya Salmonella typhi dalam darah dan
85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala
klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut
(49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah
kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).11 Hal
ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit
(15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual
(42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).12
Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi
relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan
neurologis fokal.14 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati
(11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%),
ikterus (0.7%).16
Gejala berdasarkan bentuk klinis demam tifoid:12
A. Demam tifoid klinis
Panas lebih dari 7 hari, di dukung gejala klinik lain:
- Gangguan GIT : typhoid tongue, rhagaden, anoreksia, konstipasi/ diare
- Hepatomegali
- Tidak ditemukan penyebab lain dari panas.
B. Demam tifoid
9
Demam Tifoid Klinis + Salmonella typhi (+) pada biakan darah, urine atau
feces dan/ atau pemeriksaan serologis didapatkan titer O Ag > 1/160 atau meningkat
lebih 4 kali dalam interval 1 minggu.
C. Demam tifoid berat
Demam Tifoid + keadaan: lebih dari minggu kedua sakit, toksik, dehidrasi,
delirium jelas, hepatomegali (& splenomegali), leukopeni < 2000/ul, aneosinofilia,
SGOT/SGPT meningkat
D. Ensefalopati tifoid
Demam tifoid atau demam tifoid klinis disertai satu atau lebih gejala:
- kejang
- kesadaran menurun: soporous sampai koma
- kesadaran berubah/ kontak psikik tidak ada
Gambar 2..3. Manifestasi Klinis Demam Tifoid17
2.6. Diagnosis
10
A. Anamnesis12
Demam lebih dari 7 hari. Demam timbul insidius, naik secraa bertahap setiap
hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam
bertahan tinggi pada minggu keempat demam turun perlahan secara lisis
(step-ladder temperature chart)
Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi
Gangguan GIT: anoreksiam muntah, nyeri perut, konstipasi/diare, kembung,
bau nafas tak sedap
Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
ikterus
B. Pemeriksaan klinis12
Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat dengan komplikasi
Kesadaran dapat menurun mulai apatis sampai koma, delirium
Pada demam tifoid berat anak tampak toksik: tampak sakit berat
Demam
Bradikardi relatif h=jrang terjadi pada anak
Rhagaden, thypoid tounge ( bagian tengah kotor dengan tepi hiperemis dan
tremor)
Meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai dibandingkan
spleenomegali
C. Kriteria Diagnosis12
Apabila ditemukan gejala klinis sperti diatas, seorang klibnisi dapat membat
diagnosis demam tifoid klinis
Diagnosis pasti apabila ditemukan: Salmonella typhi (+) pada biakan darah, urin
atau feses dan atau pemeriksan serologis didapatkan titer O Ag ≥ 1/160 atau
menningkat lebih dari 4 kali dalam interval 1 minggu (titer fase akut ke fase
konvalens)
2.7. Pemeriksaan Penunjang12
11
A. Pemeriksaan Darah Tepi
Anemia, umumnya terjadi karena supresi sumsusm tulang, defesiensi besi,
atau perdarahan usus
Aneusinofilia
Leukopenia
Limfositosis relatif
Trombositopenia
Pemeriksaan SGOT, SGPT dengan indikasi tanda-tanda demam tifoid berat.
B. Pemeriksaan Serologi
Serologi widal titer O Ag ≥ 1/160 atau menningkat lebih dari 4 kali dalam
interval 1 minggu (titer fase akut ke fase konvalens)
Kadar IgM dan IgG (Typii-dot)
C. Biakan Salmonella
Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit
Biarakan dari urine atau fesef kemungkinan keberhasilan lebih kecil
dibandingkan biakan darah
D. Pemeriksaan Radiologis
Foto abdomen bila diduga terjadi komplikasi intraintestinal (perforasi usus,
perdarahan saluran cerna)
E. EKG bila dicurigai miokarditis
2.8. Tata Laksana12
A. Perawatan
Isolasi
Tirah baring sampai 7 hari bebas panas, kemudian mobilisasi secara bertahap
B. Diet
Bebas serat, tidak merangsang
Tidak menimbulkan gas
Mudah dicerna (lunak)
12
Tidak dalam jumlah banyak
Bubur saring sampai 7 hari bebas panas, bubur biasa (3 hari, kemudian
makanan biasa
Bila intake peroral < 50%, kesadaran menurun makanan personde atau
cairan IV
C. Medikamentosa
Obat pilihan pertama: Kloramfenikol 100 mg/kg BB/hari oral atau IV dalam
4 dosis (dosis maksimal 2 g/hari) sampai tujuh hari bebas panas, minimal 10
hari.
Apabila Hb <8 g% dan atau leukosit <2000/mm3, kloramfenikol diganti
dengan:
o Ampisilin 200 mg/kgBB/hari IV dalam 4 dosis, atau
o Trimetoprim–sulfametoksasol 10mg/kbBB/hari (TMP) atau 50 mg/kg
BB/hari (SMX) oral dalam 2 dosis bila alergi penisilin, atau
o Cefixim 15-20 mg/kgBB/hari peroral dalam 2 dosis selama 14 hari →
tidak digunakan pada demam tifoid berat
Demam tifoid berat: Ceftriaxon 80 mg/kgBB/hari IV dosis tunggal diberikan
selama 5-7 hari,
Bila panas tidak turun dalam 5 hari pertimbangkan: komplikasi, fokal
infeksi lain, resisten, dosis tidak optimal, diagnosis tidak tepat
pengobatan disesuaikan.
Pada ensepalopati tifoid diberikan juga dexametason dengan dosis awal 3
mg/kgBB/kali, dilanjutkan 1 mg/kg BB/6 jam, sebanyak 8 kali (selama 48
jam), lalu distop tanpa tapering off, reduksi cairan 4/5 kebutuhan, lakukan
pemeriksaan elektrolit cairan disesuaikan dengan hasil pemeriksaan, LP
bila tidak terdapat indikasi kontra, koreksi asam basa (bila perlu).
13
Bila terdapat peritonitis atau perdarahan saluran cerna: pasien dipuasakan,
pasang pipa nasogastrik, nutrisi parenteral, transfusi darah (atas indikasi),
foto abdomen, antibiotik sefalosporin generasi III parenteral
Bila terjadi perforasi usus: konsultasi dengan bagian Bedah untuk tindakan
laparotomi
Pengobatan penunjang
o Beri cairan iv bila: dehidrasi, keadaan umum lemah, tidak dapat makan
peroral, atau timbul syok.
o Terapi demam tifoid dengan syok sesuai dengan standar penatalaksanaan
berdasarkan penyebab syok (syok hipovolemik atau syok sepsis)
o Transfusi darah bila Hb <6gr% atau bila terdapat gejala perdarahan yang
jelas.
D. Indikasi Rawat
Demam tifoid klinis bila ada hiperpireksia, dehidrasi atau keadaan umum
lemah.
Semua demam tifoid
Semua ensepalopati tifoid
Semua demam tifoid dengan komplikasi
E. Indikasi pulang
3 hari bebas panas, klinis baik, dan diharapkan compliance baik.
2.9. Komplikasi
A. Perforasi usus atau perdarahan saluran pencernaan,
B. Kolesistitis akut, kolesistitis kronik berhubungan dengan terbentukny abtu
empedu dan fenomena pembawa (carrier)
C. Ekstra intestinal: Ensefalopati tifoid, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia,
syok septic, pyelonefritis, miokarditis.
14
2.10. Prognosis
A. Teragntung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, serta
komplikasi.
B. Relaps dapat timbul beberapa kali: 5-20%, karier kronik terjadi pada 1-5%
penderita demam tifoid. Kematian <1%, meningkat bila terdapat komplikasi
dan ensefalopati tifoid.
2.11. Pencegahan
Higiene perorangan dan longkungan karena penularan lewat oral-fekal.
Imunisasi
o Vaksin Polisakarida (capsular Vi polysacharide) 2 tahun atau lebih (IM),
diulang tiap 3 bulan
o Vaksin tifoid oral (Ty-21a), diberikan pada usia 6 tahun dengan interval
selang hari (1,3,5), ulangan setiap 3-5 tahun. Belum beredar di Indonesia,
terutama direkomendasikan untuk turid yang bepergian ke daerha
endemik.
15
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang mengenai sistem
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan kandung empedu. Disebabkan
terutama oleh Salmonella enterica serovar typhi (S. typhi) dan menular melalui jalur
fekal-oral. Sumber penularan penyakit demam tifoid dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi, biasanya kontaminasi dari bahan feses, muntahan
maupun cairan badan. Manifestasi klinis demam tifoid berupa demam lebih dari 7
hari, anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, terdapat gangguan GIT,
seperti anoreksiam muntah, nyeri perut, konstipasi/diare, kembung, bau nafas tak
sedap. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
ikterus.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidabutar, S. dan Satari, H. I. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada
Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri. 11 (6): 432 - 439.
2. Riyatno, I. P. dan Sutrisna, E. 2011. Cost-effectiveness Analysis Pengobatan
Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim dan Kloramfenikol di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwekerto. Mandala of Health. 5 (2): 1 - 5.
3. Musnelina, L. , dkk. 2004. Pola Pemberian Antibiotika Pengobatan Demam
Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001 - 2002. MAKARA
KESEHATAN. 8 (1): 27 - 31.
4. Setiabudi, D. dan Madiapermana, K. 2005. Demam Tifoid pada Anak Usia di
bawah 5 Tahun di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung.
Sari Pediatri. 7 (1): 9 - 14.
5. Tjandra, L. 2011. Efikasi dan Toleransi Pengobatan Demam Tifoid Anak.
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
(http://elib.fk.uwks.ac.id/jurnal/judul/84, Diakses 20 Agustus 2012).
6. Rohman. 2010. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Umur dan Gejala
(Studi Kasus di RSI. Roemani). Prosiding Seminar Nasional UNIMUS 2010.
ISBN: 978.979.704.883.9, hal. 88 - 90.
7. Brooks, G. F. , Butel, J. S. , Morse, S. A. 2001. Medical Microbiology, 22nd ed.
USA: Appleton & Lange, pg. 219, 225 - 227.
8. Retnosari, S. dan Tumbelaka, A. R. 2000. Pendekatan Diagnostik Serologik
dan Pelacak Antigen Salmonella typhi. Sari Pediatri. 2 (2): 90 – 95.
9. Salyers, A. A. and Whitt, D. D. 2002. Bacterial Pathogenesis, 2nd ed.
Washington: ASM Press, pg. 229 - 243.
10. Todar, K. 2009. Salmonella and Salmonellosis. Department of Bacteriology,
University of Wisconsin-Madison.
(http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Salmonella.html, Diakses
tanggal 20 Agustus 2012).
17
11. Widodo, D. 2006. Demam Tifoid. Dalam: Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Simadibarata, M., Setiati, S. (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit FK UI, Edisi
Keempat (hal. 1752- 1757). Balai Penerbit FK UI, Jakarta, Indonesia.
12. Standar Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSMH, 2012.
13. Darmowandowo, D. 2003. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXIII (hal. 19-34). Surabaya Intellectual Club, Surabaya,
Indonesia.
14. Tumbelaka, A. R. 2005. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid pada Anak.
Simposium Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI
Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, hal. 37 - 50.
15. Pawitro, U. E. , Noorvitry, M. , Darmowandowo, W. 2002. Demam Tifoid.
Dalam : Soegijanto, S. (Editor). Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan
Penatalaksanaan, Edisi 1 (hal. 1 - 43). Salemba Medika, Jakarta, Indonesia.
16. Darmowandowo, W. 1998. Demam tifoid. Media Ikatan Dokter Indonesia. 23 :
4 - 7.
18