20
REFLEKSI KASUS THYPOID FEVER Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Di RSUD Panembahan Senopati Bantul Diajukan Kepada Yth : dr. Warih Tjahjono, Sp.PD Diajukan Oleh : Sigit Kurniawan, S.Ked 20090310184

Refleksi Kasus Thypoid Fever

Embed Size (px)

DESCRIPTION

resus

Citation preview

REFLEKSI KASUS

THYPOID FEVER

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian SyaratMengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit DalamDi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada Yth :dr. Warih Tjahjono, Sp.PD

Diajukan Oleh :Sigit Kurniawan, S.Ked20090310184

SMF ILMU PENYAKIT DALAMPROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTERRSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL2014

REFLEKSI KASUS STASE ILMU PENYAKIT DALAMNama: Sigit KurniawanNIM: 20090310184RSUD : Panembahan Senopati Bantul

1. PENGALAMANSeorang pasien, 32 tahun datang dengan keluhan panas sejak kurang lebih 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas bersifat naik turun dan demam mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari, tidak disertai dengan menggigil atau keringat dingin. Pasien sudah minum obat penurun panas namun belum ada perbaikan dan panas kembali tinggi. Pasien tidak mengeluh nyeri sendi, tidak ada mimisan atau gusi berdarah dan tidak timbul bintik merah pada kulit. Kepala terasa pusing cekot-cekot, perut terasa mual (+), muntah (+), badan lemas (+), BAK (+) normal , BAB sulit (+). Pasien mengaku sering jajan di pinggir jalan, riwayat bepergian (-), Pada pemeriksaan didapatkan KU : CM, TD 100/70 mmHg, N 88 x / menit, R 20 x / menit, S 36,8 oC. Hasil pemeriksaan lab didapatkan HB 13.4, AL 7.10, AE 4.65, AT 237, HMT 40.6, Eos 0, Bas 0, Bat 2, Seg 53, Lim 38, Mon 7, Ureum 14, Creat 0.64, SGOT 18, SGPT 14, Tes Widal didapatkan S. Typhi O 1/640, S. Thyphi H 1/320, S. Paratyphi AH Negatif, S. Paratyphi AO 1/80, Serologi IGM Salmonela 2.00.

2. Masalah Yang DikajiBagaimana penegakan diagnosis pada kasus demam tyiphoid ?

3. Analisis Kritis Demam tifoid (Tifusabdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran (Soedarmo, 2010)Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan, ditopang dengan bakteriemia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch (Soedarmo, 2010).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :1. AnamnesisDemam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi, sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus (Soedarmo, 2010 ; WHO, 2011).

2. Pemeriksaan fisikGejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru (Soedarmo, 2010 ; WHO, 2011).

a. DemamPada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari dan mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, demam biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III(Soedarmo, 2010 ; WHO, 2011).

b. Gangguan saluran cernaPada mulut: nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda(Soedarmo, 2010 ; WHO, 2011).

c. Gangguan kesadaranUmumnya kesadaran penderita menurun berupa delirium, apatis, dan somnolen. Jarang terjadi sopor ataukoma.Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala lain: Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama demam. Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch) (Kliegman, 2011 ; WHO, 2011)

3. Pemeriksaan penunjang Darah tepi periferTerdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi berguna untuk membuat diagnosis yang cepat (Kliegman et al, 2011).Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia dengan neutropenia dan limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang hingga di bawah 3000/ul. Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi usus atau supurasi. Pada penderita demam tifoid sering dijumpai anemia normositik normokrom. Anemia normositik normokrom terjadi akibat perdarahan usus, defisiensi Fe atau supresi sumsum tulang. Pada 20% penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar (Zulkarnain, 2006).

Pemeriksaan Serologi WidalPada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid (Zulkarnain, 2006).Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman (Kliegman, 2011).Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai puncak antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan(Kliegman, 2011).Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibodi bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2(Kliegman, 2011).Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer antibodi pada saat individu sehat(Zulkarnain, 2006 ; Kliegman, 2011).Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena spesimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi buruk, agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen (Brusch, 2013).Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan (Brusch, 2013).Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya (Zulkarnain, 2006 ; Brusch, 2013).Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena: Semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B). Semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan Titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi(Zulkarnain, 2006 ; Brusch, 2013).

Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna (Brusch, 2013).Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif pals (Brusch, 2013).Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen, untuk mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10 hari, peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam tifoid. Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon antibodi tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen sangat sulit (Brusch, 2013).Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point) (Brusch, 2013).Tidak selalu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus abdominalis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penderita (Brusch, 2013).

Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut: Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena infeksi basil coli patogen dlm usus. Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui plasenta. Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix). Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basisl perora; atau pada keadaan infeksi (Kliegman et al, 2011).

Pemeriksaan AntibodiAntibodi terhadap antigen O merupakan IgM yang mendominasi, muncul pada awal penyakit dan menghilang lebih dini. Antibodi terhadap H baik IgM maupun IgG muncul lebih lambat tetapi bertahan lebih lama. Biasanya antibodi O muncul pada hari ke 6-8 sedangkan antibodi H pada hari 10-12 dari onset penyakit (Hadinegoro, 2007).Mengingat tingkat sensitivitas dan spesifisitas tes Widal rendah maka pemeriksaan serologis untuk diagnosis dini demam tifoid mulai beralih dari tes Widal menuju pelacakan antibodi terhadap antigen Salmonella typhi yang lebih spesifik seperti:# Dot EIA ( Dot Enzyme Immunoabsorbent Assay ), pemeriksaan ELISA untuk mendeteksi protein spesifik pada membran luar atau outer membrane protein (OMP) dimana OMP dengan berat 50 kDa ternyata sangat spesifik pada serum pasien tifoid. Sensitivitas Dot EIA mencapai 95-100% jauh lebih baik daripada sensitivitas Widal yang hanya 60%. Pemeriksaan Dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonelosis non tifoid dibandingkan dengan Widal. Produk komersial pemeriksaan ini dikenal sebagai Typhidot (WHO,2011). Salah satu modifikasi Typhidot dengan inaktivasi IgG dalam sampel serum untuk menyingkirkan kemungkinan ikatan kompetitif dan memungkinkan akses antigen terhadap IgM spesifik, dikenal sebagai Typhidot M (Partini, 2008). Dengan kata lain, Typhidot M hanya mendeteksi antibodi IgM spesifik sedangkan Typhidot mendeteksi antibodi IgM dan IgG terhadap antigen 50 kD Salmonella typhi. Pemeriksaan Typhidot membutuhkan waktu 3 jam (Retnosari, 2008).

# Polymerase Chain Reaction (PCR)Untuk amplifikasi DNA dari teknik hibridisasi asam nukleat. Pada sistem hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 Salmonella typhi/ml darah dari pasien demam tifoid. Oleh sebab itu target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA dilakukan dengan teknik PCR menggunakan enzim DNA polimerase. Cara ini dapat melacak DNA Salmonella typhi sampai sekecil 1 pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan (Retnosari, 2008).

# IgM Dipstick testUji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap Salmonela Typhi pda spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S.Typhi dan anti IgM (sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna, cairan membasahi strip sebelaum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25oC di tmpat kering tanpa paparan sinar matahari. Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam dalam suhu kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, deiberikan penilain terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol harus terwarna dengan baik (Sudoyo AW et al, 2010)Penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di Indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95-100%. Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didaptkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala (Sudoyo AW et al, 2010)

# Tubex TestUji Tubex merupakan uji semi-kualitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-Styphi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O0 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil podsitif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjukkan pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif (Sudoyo AW et al, 2010). Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat merangsang respon imun seara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perku diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau (Sudoyo AW et al, 2010)Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Didaptkan bahwa hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang (Sudoyo AW et al, 2010)

INTERPRETASI HASIL(Sudoyo AW et al, 2010)SKALAINTERPRETASIKETERANGAN

2Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

3Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkanLakukan pengambilan darah ulang 3-5 hari kemudian

4-5Positif Indikasi infeksi demam tifoid

6Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Pemeriksaan biakan SalmonellaDiagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum tulang, tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media ( kultur). Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting untuk menentukan waktu pengambilan spesimen yang optimal (Retnosari, 2008 ; WHO 2011).Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau sumsum tulang pada 2 minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur darah positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah menurun. Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita, setelah minggu ke 3 pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada penderita yang mendapat pengobatan antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan dengan kultur darah dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak dipengaruhi waktu pengambilan (Retnosari, 2008 ; WHO 2011).Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara minggu ke-3 sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai minggu ke-4 atau minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi. Pada penderita karier Salmonella typhi dapat dijumpai 1011organisme per gram tinja. Salmonella typhi dapat diisolasi dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25% penderita, kultur urin positif pada minggu ke 2-3(Kliegman et al, 2007).Kultur merupakan pemeriksaan baku emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah, yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif memastikan diagnosis demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit, waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan antibiotik (Kliegman et al, 2007).Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Pada biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk waktu yang lama (Kliegman et al, 2007).

Pemeriksaan radiologikFoto toraks: Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.Foto abdomen: Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen (Soedarmo, 2010)

PEMBAHASANAnamnesa: Seorang pasien, 32 tahun datang dengan keluhan panas sejak kurang lebih 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas bersifat naik turun dan demam mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari, tidak disertai dengan menggigil atau keringat dingin. Pasien sudah minum obat penurun panas namun belum ada perbaikan dan panas kembali tinggi. Pasien tidak mengeluh nyeri sendi, tidak ada mimisan atau gusi berdarah dan tidak timbul bintik merah pada kulit. Kepala terasa pusing cekot-cekot, perut terasa mual (+), muntah (+), badan lemas (+), BAK (+) normal , BAB sulit (+). Pasien mengaku sering jajan di pinggir jalan, riwayat bepergian (-)Dari anamnesa: Data mengenai demam mendukung diagnosa demam typoid dimana menurut tinjauan pustaka demam berlangsung selama satu minggu atau lebih. Adanya gejala perut kembung dan mual-muntah selama pasien sakit kurang spesifik untuk penyakit demam tifoid karena banyak penyakit yang dapat disertai dengan perut kembung dan mual muntah.

Dari pemeriksaan fisik:Pemeriksaan fisik mengarah ke penyakit demam tifoid karena pada pemeriksaan ditemukan gangguan pencernaan seperti diare dan lidah kotor dengan tepi hiperemis.

Dari laboratorium: Tidak di diagnosa dengan DBD, karena pada pemeriksaan: trombosit dalam batas normal , tidak ada peningkatan hematokrit 20% dari nilai normal dan tidak ada tanda-tanda perdarahan spontan seperti ptekie, epistaksis, gusi berdarah, hematemesis, melena. Pada pemeriksaan laboratorium pertama kali dilakukan tes widal pada tanggal 14 Oktober 2014, didapatkan hasil S. typhi titer O (1:640) , S.typhititer H : (+) 1 : 320 dimana hasil tersebut dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid. Hal tersebut dapat disebabkan karena biasanya aglutinin O muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H pada hari 10-12 dimana pada saat dilakukan uji widal perjalanan penyakit sudah memasuki hari ke 8.

Daftar Pustaka :

Brusch JL, Garvey T. Penyakit tipus fever. Available from : http://www.medscape.com/files/public/blank.htm (updated 2013 December 3rd)Hadinegoro SRS, Tumbelaka AR, Satari HI. Pengobatan Cefixime pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri. 2007;2(4):182-7.Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2011: p.1186-1190.Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen Salmonella typhi. Sari Pediatri. 2008;2(2):90-5.Soedarmo, Sumarno S. Purwo; Garna, Herry; Hadinegoro, Sri Rejeki; Satari, Hindra Irawan. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2. Badan Penerbit IDAI: Jakarta, 2010: 338-52.Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2010, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2011. Available from: http://www.who.int/vaccines-documents/ (Updated 2011 )Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006: h.3-5.