60
BAB I PENDAHULUAN Uveitis termasuk dalam kelompok penyakit ocular inflammatory disease yang ditandai dengan proses peradangan pada uvea. Uvea merupakan bagian mata yang memiliki pigmen dan pembuluh darah serta terbagi menjadi iris, badan silier, dan koroid. Salah satu komplikasi uveitis yang paling ditakutkan adalah kebutaan. Uveitis merupakan 5 besar penyebab kebutaan di negara berkembang selain diabetes, kelainan degeneratif pada retina, kelainan kongenital, dan trauma (9) . Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi menurut Standardizatiom of Uveitis Nomenclatur (SUN) Working Group. Dalam klasifikasi itu uveitis dibagi menurut lokasi proses peradangan jaringan uvea, yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Istilah panuveitis digunakan pada proses inflamasi yang terjadi pada segmen anterior, vitreus, retina, dan koroid (9) . Panveitis sering berhubungan dengan berbagai penyakit sistemik, baik infeksi maupun non infeksi. Penyebab infeksi dapat berupa virus (Sitomegalovirus, Virus Herpes Simpleks), fungi (Candida sp., Aspergillus sp.), bakteri (M. tuberculosis, T. pallidum), maupun parasit (Toxoplasma, cacing). Kelainan sistemik yang berkaitan 1

Refrat mata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

refrat

Citation preview

Page 1: Refrat mata

BAB I

PENDAHULUAN

Uveitis termasuk dalam kelompok penyakit ocular inflammatory disease

yang ditandai dengan proses peradangan pada uvea. Uvea merupakan bagian mata

yang memiliki pigmen dan pembuluh darah serta terbagi menjadi iris, badan silier,

dan koroid. Salah satu komplikasi uveitis yang paling ditakutkan adalah kebutaan.

Uveitis merupakan 5 besar penyebab kebutaan di negara berkembang selain

diabetes, kelainan degeneratif pada retina, kelainan kongenital, dan trauma (9).

Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi menurut

Standardizatiom of Uveitis Nomenclatur (SUN) Working Group. Dalam

klasifikasi itu uveitis dibagi menurut lokasi proses peradangan jaringan uvea,

yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Istilah

panuveitis digunakan pada proses inflamasi yang terjadi pada segmen anterior,

vitreus, retina, dan koroid (9).

Panveitis sering berhubungan dengan berbagai penyakit sistemik, baik

infeksi maupun non infeksi. Penyebab infeksi dapat berupa virus

(Sitomegalovirus, Virus Herpes Simpleks), fungi (Candida sp., Aspergillus sp.),

bakteri (M. tuberculosis, T. pallidum), maupun parasit (Toxoplasma, cacing).

Kelainan sistemik yang berkaitan dengan timbulnya panuveitis juga sangat

banyak. Penyakit Behcet, sarkoidosisi, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, juvenile

arthritis, colitis ulseratif dan penyakit Crohn hanyalah beberapa diantaranya (9).

Panuveitis merupakan penyakit yang mudah mengalami kekambuhan,

bersifat merusak, menyerang pada usia produktif dan kebanyakan berakhir dengan

kebutaan. Hubungan yang baik antara dokter dengan penderita panuveitis sangat

dibutuhkan untuk mendapatkan hasil penanganan yang optimal. Insidensi

panuveitis dalam 25% kejadian uveitis termasuk uveitis intermediet dan uveitis

posterior. Sekitar 50% pasien menderita penyakit sistemik terkait (14).

Morbiditas akibat panuveitis terjadi karena sinekia posterior sehingga

menimbulkan peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus

optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena

1

Page 2: Refrat mata

itu, diperlukan penanganan yang menyeluruh, pemeriksaan penungjang dan

penanganan yang tepat (12).

.

2

Page 3: Refrat mata

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI UVEA

Mata sebagai organ penglihatan manusia, tersusun atas elemen-elemen

yang memiliki struktur yang berbeda-beda. Struktur yang dimiliki oleh masing-

masing elemen menunjang fungsi dari elemen tersebut dalam fisiologis

penglihatan manusia. Salah satu elemen mata manusia adalah uvea yaitu suatu

lapisan vaskular tengah mata yang membungkus bola mata dan dilindungi oleh

kornea dan sklera. Uvea terdiri atas 3 unsur yaitu iris, badan siliar, dan koroid (7)

(13).

Gambar 1. Anatomi bola  mata(14).

A. Iris (Iris, pelangi)

       Iris merupakan bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Struktur ini

muncul dari badan siliar dan membentuk sebuah diafragma di depan lensa. Iris

juga memisahkan bilik mata depan dan belakang. Celah di antara iris kiri dan

kanan dikenal sebagai pupil (7).

3

Page 4: Refrat mata

       Iris disusun oleh jaringan ikat longgar yang mengandung pigmen dan

kaya akan pembuluh darah. Permukaan depan iris yang menghadap bilik mata

depan (kamera okuli anterior) berbentuk tidak teratur dengan lapisan pigmen yang

tak lengkap dan sel-sel fibroblas. Permukaan posterior iris tampak halus dan

ditutupi oleh lanjutan 2 lapisan epitel yang menutupi permukaan korpus siliaris.

Permukaan yang menghadap ke arah lensa mengandung banyak sel-sel pigmen

yang akan mencegah cahaya melintas melewati iris. Dengan demikian iris

mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata dan cahaya akan

terfokus masuk melalui pupil (13).

       Pada iris terdapat 2 jenis otot polos yaitu otot dilatator pupil dan otot

sfingter/konstriktor pupil. Kedua otot ini akan mengubah diameter pupil. Otot

dilatator pupil yang dipersarafi oleh persarafan simpatis akan melebarkan pupil,

sementara otot sfingter pupil yang dipersarafi oleh persarafan parasimpatis (N. III)

akan memperkecil diameter pupil (7).

      Jumlah sel-sel melanosit yang terdapat pada epitel dan stroma iris akan

mempengaruhi warna mata. Bila jumlah melanosit banyak mata tampak hitam,

sebaliknya bila melanosit sedikit mata tampak berwarna biru (7).

B. Badan Siliaris (Korpus siliaris)

      Korpus siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol ke

dalam mata terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan

perluasan lapisan khoroid ke arah depan. Korpus siliar disusun oleh jaringan

penyambung jarang yang mengandung serat-serat elastin, pembuluh darah dan

melanosit (7).

       Badan siliaris membentuk tonjolan-tonjolan pendek seperti jari yang

dikenal sebagai prosessus siliaris. Dari prosessus siliaris muncul benang-benang

fibrillin yang akan berinsersi pada kapsula lensa yang dikenal sebagai zonula

zinii.  Korpus siliaris dilapisi oleh 2 lapis epitel kuboid. Lapisan luar kaya akan

pigmen dan merupakan lanjutan lapisan epitel pigmen retina. Lapisan dalam yang

tidak berpigmen merupakan lanjutan lapisan reseptor retina, tetapi tidak sensitif

4

Page 5: Refrat mata

terhadap cahaya. Sel-sel di lapisan ini akan berfungsi sebagai pembentuk humor

aqueaeus (mengeluarkan cairan filtrasi plasma yang rendah protein ke dalam bilik

mata belakang (kamera okuli posterior)) (7).

Humor aqueaeus mengalir dari bilik mata belakang (kamera okuli

posterior) ke bilik mata depan (kamera okuli anterior) melewati celah pupil (celah

di antara iris dan lensa), lalu masuk ke dalam jaringan trabekula di dekat limbus

dan akhirnya masuk ke dalam kanal Schlemm. Dari kanal Schlemm humor

aqueaeus masuk ke pleksus sklera dan akhirnya bermuara ke sistem vena (7).

       Korpus siliar mengandung 3 berkas otot polos yang dikenal

sebagai muskulus siliaris. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat

longitudina, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkulaer adalah untuk

mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di

antara processus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga

lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk obyek berjarak dekat maupun

yang berjarak jauh dalam lapangan pandang Serat-serat longitudinal muskulus

siliaris menyisip ke dalam anyaman-anyaman trabekula untuk mempengaruhi

besar pori-porinya (7).

 

C. Khoroid (choroid)

      Khoroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.

Khoroid  merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-

sel pigmen sehingga tampak berwarna hitam. Lapisan ini tersusun dari jaringan

penyambung jarang yang mengandung serat-serat kolagen dan elastin, sel-sel

fibroblas, pembuluh darah dan melanosit. Khoroid terdiri atas 4 lapisan yaitu (7).

a. Epikhoroid merupakan lapisan khoroid terluar tersusun dari serat-serat

kolagen dan elastin.

b. Lapisan pembuluh merupakan lapisan yang paling tebal tersusun dari

pembuluh darah dan melanosit.

c. Lapisan koriokapiler, merupakan lapisan yang terdiri atas pleksus kapiler,

jaring-jaring halus serat elastin dan kolagen, fibroblas dan melanosit. Kapiler-

5

Page 6: Refrat mata

kapiler ini berasal dari arteri khoroidalis. Pleksus ini mensuplai nutrisi untuk

bagian luar retina.

d. Lamina elastika, merupakan lapisan khoroid yang berbatasan dengan epitel

pigmen retina. Lapisan ini tersusun dari jaring-jaring elastik padat dan suatu

lapisan dalam lamina basal yang homogen.

Gambar 2. Lapisan koroid(14).

2.2 DEFINISI UVEITIS DAN PANUVEITIS

Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua

bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid) (21). Sedangkan uveitis

difus atau panuveitis adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus

uvealis atau dengan kata lain panuveitis tidak memiliki tempat

inflamasi/peradangan yang predominan dimana inflamasi merata pada kamera

okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan

vaskulitis retinal. Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang

6

Page 7: Refrat mata

berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial postoperasi, atau

toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik secara

khas tidak ada(7).Uvea merupakan lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak

pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan

pada area ini dapat mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina,

sklera, dan beberapa elemen mata penting lainnya (7).

2.3 EPIDEMIOLOGI

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun (4). Setelah usia 70 tahun,

angka kejadian panuveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua umumnya

panuveitis diakibatkan oleh toxoplasmosis, herpes zoster, dan afakia. Bentuk

panuveitis pada umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya angka trauma

tembus. Sedangkan pada wanita banyak disebabkan oleh toxoplasmosis (12).

2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI PANUVEITIS

a. Penyakit Virus

1. Penyakit Herpes

Lesi mata yang tersering dan paling serius adalah keratitis. Lesi kulit

vesikulerjuga dapat muncul di kulit dan tepi kelopak. Herpes simpleks dapat

menyebabkan iridosiklitis(4). Virus herpes simpleks tipe I, virus

varicela zoster, dan CMV pernah dilaporkan sebagai penyebab sindrom

nekrosis retina akut(14).

2. Sindrom Nekrosis Retina Akut (ARN)

ARN merupakan suatu proses nekrosis pada retina yang disebabkan oleh

infeksi. Biasanya mengenai kedua mata ( pada 33 % pasien), paling banyak

berusia 26 tahun . Penyebab penyakit ini yang paling sering adalah virus

varisela zoster, herpes simpleks tipe 2 dan cytomegalovirus. Kadang penyakit

ini tanpa gejala sehingga pasien tampak sehat meskipun mengenai pasien

dengan AIDS. ARN merupakan diagnosis dari gejala klinik, pasien sering

datang dengan keluhan penglihatan kabur secara akut. Terdapat inflamasi

7

Page 8: Refrat mata

segmen anterior yang memberi rongga pada beberapa bagian disertai eksudat

pada badan vitreus. Masa inkubasi 2 minggu sampai terbentuknya sumbatan

yang akan menyebabkan arteriolitis retinal, vitritis dan bercak kuning – putih

di posterior retina(14).

3. AIDS dan Retinitis Cytomegalovirus

Penyakit mata merupakan manifestasi umum dari AIDS, pasien

mengalami beberapa kondisi penyakit mata (2) (25):

o Oklusi mikrovaskular menyebabkan perdarahan retina dan cotton wool spot

(daerah infark pada lapisan serabut saraf retina).

o Deposit endotel kornea.

o Neoplasma pada mata dan orbita.

o Gangguan neurooftalmika termasuk palsy okulomotorik.

Infeksi oportunistik yang paling umum adalah retinitis CMV (24). Awalnya

ditemukan lebih dari 1/3 pasien AIDS, namun populasi beresiko telah

berkurang secara bermakna sejak berkembangnya terapi antivirus yang sangat

aktif dalam terapi AIDS. Khas terjadi pada pasien dengan hitung sel CD4 +

dan leukosit 5/ μl. Pasien biasanya mengeluh penglihatan kabur atau floaters.

Diagnosis penyakit AIDS biasanya telah ditegakkan dan sering ditemukan

tampilan AIDS lainnya seperti retinopati CMV yang terdiri dari area retina

keputihan berhubungan dengan perdarahan disertai likenifikasi hingga terlihat

seperti keju softage. Lesi itu dapat mengancam makula atau lempeng optik dan

biasanya terdapat sedikit inflamasi pada vitreus. (14) .

8

Page 9: Refrat mata

Gambar 3. Retina yang terkena Cytomegalovirus (14).

4. Penyakit Jamur

Histoplasmosis

Merupakan kelainan multifaktor korioretinitis, epidemiologinya

berhubungan dengan Histoplasma capsulatum, yang merupakan jamur

dimorfik yang dalam perkembangannya dapat bertahan 2 tahun dalam

bentuk filamennya. Spora jamur tersebut dapat menyebabkan terjadinya

penyakit sistemik dan penyakit mata. Beberapa daerah di Amerika Serikat

yang endemis histoplasmosis yaitu Ohio dan lembah sungai Missisippi(14).

Diagnosis koroiditis yang diduga disebabkan oleh histoplasmosis

sering ditegakkan. Infeksi primer pada mata terjadi setelah kontak spora

jamur yang berasal dari paru – paru. Jamur ini dapat menyebar ke limpa,

hati, dan koroid mengikuti infeksi yang berasal dari paru – paru.

Histoplasmosis didapat kadang tidak menimbulkan gejala atau akibat dari

keadaan sakit yang tidak berbahaya dan biasanya ditemukan pada anak –

anak. Pemeriksaan kulit pada pasien biasanya positif terhadap

histoplasmosis dan menunjukkan bercak – bercak khas pada perifer

fundus. Bercak – bercak ini berbentuk daerah – daerah kecil, bulat atau

9

Page 10: Refrat mata

lonjong tidak teratur, tanpa pigmen kadang – kadang dengan batas

berpigmen halus. Kadang dapat ditemukan atrofi peripapiler dan

hiperpigmentasi.

Bercak histo muncul pertama kali pada mata selama masa remaja,

tetapi makulopati baru berkembang pada usia 20 -50 tahun, rata-rata pada

usia 41 tahun. Secara patologi, lesi pertama muncul dalam bentuk

granuloma di koroid. Koroiditis akan menyebabkan penglihatan menurun

dan terbentuk sikatrik disertai pigmentasi pada pigmen epitelium, atau

memberi gambaran rusaknya membran pigmen epitelium yang disebabkan

peningkatan kadar limfosit. Pada daerah pusat koroiditis akan terbentuk

pembuluh darah baru subretinal yang baru, yang akan menyebabkan

peningkatan cairan, lipid dan darah yang dapat menyebabkan kerusakan

pada fungsi makular.

Diagnosis histoplasmosis berdasarkan gejala klinis disertai

pembentukan bercak kecil yang menyebar, perubahan papil – papil di

pigmen dan pembentukan cincin pigmen dimakula sehingga

menyebabkan saraf sensorik retina saling tumpang tindih, kadang

disertai perdarahan. Pada permulaan histo akan terbentuk bercak

dimakula dan badan vitreus yang tidak terlihat pada histoplasmosis,

jarang didapat gejala yang menyertai bentuk atrofi. Sel vitreus tidak

terlihat pada OHS, dan gejala sering bersamaan dengan perifer dan atropi

bercak histo. Bercak tersebut fokal, sembuh dan terbentuk lesi punched

out yang disebabkan oleh jumlah yang bervariasi dari luka yang terdapat

pada koroid dan yang berlengketan pada retina lapisan luar. Gangguan

penglihatan pada pusat penglihatan karena keterlibatan makula sehingga

pasien harus dirujuk ke dokter mata.Pada daerah koroiditis dapat diobati

dengan kortikosteroid oral dan lokal.

Padatahap awal dari angiogram fluoresein, koroid aktif akan

menghambat zat tersebut danakan tampak hipofluoresein. Selanjutnya,

lesi koroid akan berwarna dan menjadihiperfluoresein. Dengan kontras,

area pada membran neovaskular subretina aktif akanmenjadi

10

Page 11: Refrat mata

hiperfluoresein yang terjadi awal pada angiogram. Membran neovaskular

penting jika hanya terdapat pada daerah diskus- makula.Jika di luar

superotemporal dan inferotemporal vascular arcades, hal tersebut

tidakmengurangi penglihatan dan tidak membutuhkan terapi. Namun

jika membran tersebutterletak di 1-200 μm dari tengah, laser

fotokoagulasi diindikasikan untuk mencegah hilangnya penglihatan(14).

Macular Photocoagulation Study Group bekerjasama dengan

Multicenter Study menunjukan efek yang berguna dengan

fotokoagulasi argon biru- hijau. Pasien yang tidak diobati

menunjukkan persentase yang tinggi (50%) kehilangan penglihatan

dibandingkandengan pasien yang mendapatkan terapi laser (22%)

selama 24 tahun. Krypton merah atau Argon hijau gelombang tinggi dapat

memberi hasil penglihatan yang lebih baikdengan luka retina yang lebih

sedikit dibandingkan dengan fotokoagulasi argon biruhijau (14).

Kandidiasis ( Candida albicans) 3)

Meskipun tidak umum, insiden penyakit inflamasi bola mata yang

disebabkan oleh Candida albican meningkat khususnya sebagai akibat dari

penggunaan imunosupresan dan obat-obat intravena. Retinitis kandida

dapat terlihat pada penderita AIDS akibat penggunaan obat intravena

meskipun hal tersebut jarang terjadi. Candida endoftalmitis terjadi pada

10-37% pasien dengan kandidemia yang tidak mendapat terapi anti jamur (14).

Pada pasien yang mendapat terapi anti jamur kemungkinan

mengenai mata terjadi penurunan. Organisme menyebar secara metastasis

ke koroid. Replikasi jamur mempengaruhi vitreus dan retina sekunder.

Gejala dari kandidiasis mata adalah penurunan tajam penglihatan atau

floaters, tergantung pada lokasi lesi. Menyerupai koroiditis Toxoplasma

lesi pada segmen posterior tampak putih kuning dengan batas yang halus,

dengan ukuran dari spot woll yang kecil sampai beberapa pertambahan

diameter diskus. Lesi mula-mulanya terdapat di retina dan berakibat

eksudasi ke vitreus.Lesi perifer mungkin menyerupai pars planitis (14).

11

Page 12: Refrat mata

Diagnosa kandidiasis mata dapat ditegakkan dengan kultur darah

positif yang didapat pada saat terjadi kandidemia. Seorang dokter harus

waspada pada kemungkinan diagnosis kandidiasis pada pasien rawat inap

yang menggunakan kateter intavena atau yang mendapat terapi antibiotik

sistemik, steroid dan antimetabolit. Pasien yang dirawat karena

kandidemia harus diperiksa kemungkinan mengenai mata. Pada pasien

tersebut pada dua pemeriksaan akan ditemukan dilatasi fundus yang

dilakukan secara terpisah selama 1-2 minggu untuk mendeteksi metastasis

penyakit mata (14).

Pengobatan untuk kandidiasis mata meliputi intravena, pengobatan

anti jamur periokular dan intraokular seperti amphoterisin B dan

ketokonazole, Flusitosin, Fluconazole atau Rifampin oral yang dapat

diberi dengan ditambah amphoterisin B intravena. Bila proses inflamasi

mengenai retina dan sampai ke dalam vitreus, anti jamur intravitreal dan

vitrektomi dapat dipertimbangkan. Terapi yang tepat untuk lesi perifer

memiliki prognosis yang baik. Namun, pengobatan yang cepat pada lesi

sentral jarang menyelamatkan penglihatan karena merusak fotoreseptor

sentral. Konsultasi dengan spesialis penyakit infeksi dapat sangat

membantu(14).

5. Penyakit Protozoa

Toxoplasmosis

Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa obligat intraselular

yang menyebabkan nekrosis retina koroiditis. Terdapat 3 bentuk:

+ Ookista, atau bentuk tanah (10-12μm)

+ Takizoit, atau bentuk aktif infeksius ( 4-8 μm)

+ Kista jaringan atau bentuk laten (10-200μm), mengandung sebanyak

3000 bradizoit

T. gondii adalah parasit usus yang ditemukan pada kucing. Ookista

ditemukan pada feses kucing yang kemudian termakan oleh tikus dan

burung yang dapat berperan sebagai reservoir atau host intermediet bagi

parasit. Vektor serangga dapat juga menyebarkan T.gondii dari feses

12

Page 13: Refrat mata

kucing ke sumber makanan manusia, termasuk tumbuhan dan binatang

herbivora (20).

Manusia terinfeksi lebih sering karena memakan daging yang

mentah dan kurang matang yang mengandung kista jaringan. Wanita yang

mendapat Toxoplasmosis selama kehamilan dapat mentransmisikan

takizoit ke janin dengan potensial mata yang parah, SSP dan komplikasi

sistemik. Wanita hamil nonimun tanpa bukti serologik terpapar

toxoplasmosis harus berhati-hati bila memelihara kucing dan harus

menghindari daging mentah. Pasien AIDS juga mudah terkena(14).

Toxoplasmosis tercatat pada 7-15% dari uveitis. Karena penyakit

tersebut dapat merusak penglihatan struktur mata, hal tersebut penting bagi

para ahli mata untuk mengenal lesi tersebut dan untuk menghindari potensi

kematian. Diagnosis yang tepat pada waktunya sangat penting karena

toxoplasmosis memberi respon pada terapi anti mikroba dan itu

merupakan bentuk yang masih dapat diobati pada uveitis posterior.

Tergantung pada luasnya lokasi lesi, pasien mengeluh floating spot

unilateral atau penglihatan kabur. Secara umum segmen anterior tidak

mengalami inflamasi pada awal penyakit, dan pasien memperlihatkan mata

putih dan penglihatan yang masih nyaman. Kadang-kadang inflamasi

granulomatosa dapat terjadi peningkatan tekanan bola mata khususnya

pada penyakit yang berulang(14).

Opasitas vitreus secara umum terlihat jelas dengan pemeriksaan

mata baik dengan pemeriksaan direk maupun indirek. Kuning keputihan,

sedikit tinggi letaknya, lesi kabur dapat terlihat pada fundus, lokasi lesi

sering berada dekat dengan bekas luka korioretinal. Lesi tersebut tampak

pada bagian posterior dibandingkan pada fundus bagian lain dan kadang-

kadang terlihat berdekatan dengan papil nervus optikus. Sering salah

dianggap sebagai papilitis optik. Pembuluh darah retina pada sekitar lesi

aktif tampak perivaskulitis dengan sarung vena dan arterial segmental

yang difus. Karakteristik lesi adalah retinitis fokal eksudatif. Pada lapisan

depan retina merupakan lokasi untuk proliferasi T. gondii(14).

13

Page 14: Refrat mata

Lesi ini tidak menyebabkan berkabut pada vitreus pada tahap awal

penyakit, dan pasien tidak menyadari floating spot sampai lapisan depan

retina dan membran hialoid posterior terkena. Retinitis toksoplasma dapat

dimanifes oleh lesi retina perifer, kecil, punctata, sering disebut Punctate

Outer Retinal Toxoplasmosis (PORT).

Diagnosis Toxoplasmosis mata dibuat dengan:

1. Observasi dari karakteristik lesi fundus (fokal nekrosis retinokoroiditis)

2. Deteksi dari adanya antibodi anti Toxoplasma pada serum pasien

3. Pengeluaran dari penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan

nekrosis lesi pada fundus, seperti sifilis, sitomegalovirus dan jamur.

Pemeriksaan toxoplasma dye Sabin dan Feldman, pemeriksaan

hemaglutinasi, atau pemeriksaan antibody immunofluoresen indirek

menyediakan fasilitas yang sama. Namun ELISA dapat memberi lebih

sensitifitas dan spesifisitas. Harus di ingat bahwa titer serum pada

pemeriksaan tersebut dapat sangat rendah pada pasien dengan

toksoplasmosis mata dan tidak terdapat tanda sistemik lain pada penyakit

ini. Titer serum antibodi signifikan apabila terdapat lesi fundus yang

berhubungan dengan toksoplasmosis mata. Pemeriksaan humor akous

dapat digunakan untuk konfirmasi adanya penyakit toksoplasma pada

kasus yang masih meragukan. Pemeriksaan tersebut lebih signifikan pada

saat titer antibodi pada humor akous lebih tinggi daripada dalam serum.

Meskipun diagnosis toksoplasmosis mata didasari dengan pemeriksaan

fisik, antibodi antitoksoplasmosis negatif perlu dipikirkan diagnosis lain(14)

Para dokter dalam hal menginterpretasikan standar pemeriksaan

antibodi IgG harus mengingat bahwa laboratorium menampilkan

pemeriksaan pada dilusi 1 : 8 atau lebih, meskipun reaksi antibodi positif

ditemukan dilusi 1 : 4 atau kurang. Titer antibodi yang sangat rendah ini

tetap mengindikasikan terdapat toksoplasmosis yang sebelumnya tetapi

juga dapat mengarah ke positif palsu sebagai hasil dari reaksi nonspesifik.

14

Page 15: Refrat mata

b. Penyakit non infeksi

1. Autoimun:Vaskulitis retina, penyakit bechet, oftalmia simpatis (17).

2. Keganasan:Leukemia, sarcoma sel reticulum, melanoma maligna,Leukemia

Etiologi tidak diketahui: Sarkoiditis, epitelopati pigmen retina, koroiditis

geografik (19).

3. Yang sering terjadi mengakibatkan uveitis posterior adalah :

Sindrom Behcet

Ditemukan pada usia 20-40 tahun, pria lebih banyak dari wanita.Penyebab

diduga suatu proses imunologik tetapi virus sebagai penyebab tidak dapat

disingkirkan. Walaupun memiliki banyak gambaran penyakit hipersensitivitas tipe

lambat, adanya perubahan mencolok kadar komplemen serum pada permulaan

serangan mengisyaratkan suatu gangguan kompleks imun. Baru-baru ini pada

pasien Behcet dapat dideteksi adanya kompleks imun berkadar tinggi dalam

darah. Sebagian besar pasien dengan gejala mata positif untuk HLA-B51, suatu

subtipe HLA-B5. 9) Ditandai 4 kelainan yaitu (6):

o Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoroiditis). Pada dasarnya didapatkan peri

arteritis dan end arteritis yang menyebabkan vaskulitis obliteratif sehingga dapat

terjadi iskemi retina, perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapat hipopion maka

hal ini merupakan gejala yang lebih lanjut.

o Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang dapat mengenai bibir,

lidah, mukosa bukal, palatum durum serta palatum molle.

o Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis serta hipersensitivitas kulit.

o Kelainan genital berupa ulserasi pada alat genital pria atau wanita. Pengobatan

sering berupa pemberian imunosupresan multipel (mis: steroid, siklosporin,

azatioprin), walaupun demikian hasil akhir penglihatan tetap buruk pada 25%

kasus(14).

Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH)

Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kedua mata yang ditandai oleh

iridosiklitis akut, koroiditis bebercak dan pelepasan serosa retina. Penyakit ini

15

Page 16: Refrat mata

biasanya diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala dan kadang-

kadang vertigo. Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi

kerontokan rambut bebercak atau timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal

mungkin membaik dengan cepat, perjalanan penyakit di bagian posterior sering

indolen dengan efek jangka panjang berupa pelepasan serosa retina dan gangguan

penglihatan (1).

Pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada diperkirakan terjadi hipersensitivitas

tipe lambat terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin. Tetapi virus

sebagai penyebab belum dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan

atau cedera, infeksi atau yang lain, mengubah struktur berpigmen di mata, kulit

dan rambut sedemikian rupa sehingga tercetus hipersentivitas tipe lambat terhadap

struktur-struktur tersebut. Baru-baru ini diperlihatkan adanya bahan larut dari

segmen luar lapisan fotoreseptor retina (antigen-S retina) yang mungkin menjadi

autoantigennya. Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya adalah Oriental,

yang mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik(14).

Oftalmia Simpatika

Yaitu pan uveitis granulomatosa pada mata yang semula sehat

(sympathetic eye) yang timbul minimal dua minggu setelah terjadinya trauma

tembus pada mata yang lain (exciting eye). Biasanya exciting eye ini tidak pernah

senbuh total dan tetap meradang pasca trauma, baik tauma tembus akibat

kecelakaan ataupun trauma karena pembedahan mata. Tanda awal dari mata yang

ber-simpati adalah hilangnya daya akomodasi serta terdapatnya sel radang di

belakang lensa. Gejala ini diikuti oleh iridosiklitis sub akut, sebukan sel radang

dalam vitreus dan eksudat putih kekuningan pada jaringan dibawah retina(1).

Penyakit ini dapat disertai dengan gejala-gejala sistemik lain seperti

vitiligo, alopesia dan poliosis (uban) sehingga mirip sindrom VKH. Bedanya

adalah pada sindrom VKH tidak ada riwayat trauma(14).

Penyebab yang pasti belum diketahui tetapi diduga kuat merupakan suatu

reaksi autoimun terhadap jaringan pigmen uvea atau pigmen epitel retina yang

telah berubah sifat menjadi antigen pasca trauma tembus mata. Pengobatan :

16

Page 17: Refrat mata

pemberian kortikosteroid; bila tidak memberikan perbaikan dapat ditambah

pemberian imunosupresan. Yang terpenting adalah hati-hati dan waspada

menghadapi trauma tembus mata yang disertai destruksi jaringan uvea.

Poliarteritis Nodosa

Penyakit kolagen ini mengenai arteri berukuran sedang, terutama pada

pria. Terjadi peradangan hebat pada semua lapisan otot arteri, dengan nekrosis

fibrinoid dan eosinofilia perifer. Gambaran klinis utama adalah nefritis, hipertensi,

asma, neuropati perifer, nyeri dan atrofi otot dan eosinifilia perifer. Sering terjadi

kelainan jantung, walaupun kematian biasanya disebabkan oleh disfungsi ginjal.

Kelainan mata dijumpai pada 20% kasus dan terdiri dari episkleritis dan skleritis

yang sering tidak nyeri. Apabila pembuluh-pembuluh limbus terkena, dapat

terjadi

pembentukan alur-alur di kornea perifer. Sering terjadi mikrovaskulopati retina.

Hilangnya penglihatan secara mendadak mungkin disebabkan oleh neuropati

optikus iskemik yang mencerminkan keparahan vaskulitis di pembuluh siliaris

atau sumbatan arteri retina sentralis. Dapat terjadi oftalmoplegia akibat arteritis

vasa nervorum. Kortikosteroid sistemik dan siklofosfamid memberi manfaat,

tetapi prognosis jangka panjang tetap buruk(14).

Granulomatosis Wegener

Proses granulomatosa ini memiliki persamaan gambaran klinis tertentu

dengan poliarteritis nodosa. Tiga kriteria diagnosis adalah :

- Lesi granulomatosa nekrotikans pada saluran napas

- Arteritis nekrotikans generalisata

- Kelainan ginjal berupa glomerulitis nekrotikans

Penyulit pada mata terjadi pada 50% kasus dan terjadi proptosis akibat

pembentukan granuloma orbita disertai keterlibatan otot mata atau saraf optikus.

Apabila vaskulitis mengenai mata dapat terjadi konjungtivitis, ulserasi kornea

perifer, skleritis, episkleritis, uveitis dan vaskulitis retina. Antibodi sitoplasma

antineutrofilik ditemukan pada sebagian besar kasus dan memiliki nilai diagnostik

17

Page 18: Refrat mata

sekaligus prognostik. Kortikosteroid yang dikombinasikan dengan imunosupresan

(terutama siklofosfamid) sering memberi hasil memuaskan(14).

Epiteliopati Pigmen Plakoid Multifokal Posterior Akut (APMPPE)

APMPPE biasanya menyerang individu pada usia remaja dan dewasa

muda. Pasien mengeluh penglihatannya berkurang. Sebagian penderita umumnya

merasa sehat, tetapi ada juga yang mempunyai gejala-gejala prodormal seperti

pada penyakit infeksi virus. Pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya

banyak lesi berupa plak berwarna putih kekuningan dan homogen, pada retina

pigmen epithelium dan koriokapilaris. Setelah 2-6 minggu, lesi ini akan

menghilang dan meninggalkan depigmentasi pada retina pigmen epithelium(14).

Diagnosis APMPPE ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, terutama

jika didahului adanya gejala sistemik seperti gejala infeksi virus. Pada stadium

akut, fluorescein angiografi menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid oleh

lesi plakoid dan adanya bekas noda hiperfluoresein. Pada kebanyakan kasus,

pengobatan tidak diperlukan, ketajaman penglihatan akan kembali normal dalam

beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyakit ini mirip dengan koroidopati

serpiginosa (geografik), tetapi APMPPE adalah penyakit yang bersifat akut dan

biasanya tidak rekuren, sedangkan koroidopati serpiginosa adalah penyakit yang

sangat progresif.

Gambar 4. Retina terkena APMPPE (14).

18

Page 19: Refrat mata

Epitelitis Pigmen Retina Akut (ARPE)

Epitelitis Pigmen Retina Akut atau disebut juga penyakit Krill adalah

peradangan akut retina pigmen epitelium yang dapat sembuh sendiri.

Penyebabnya tidak di ketahui. Biasanya terjadi pada umur antara 16-40 tahun.

Pasien biasanya sehat dan mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan

unilateral secara tiba-tiba. Pemeriksaan fundus menunjukkan lesi hiperpigmentasi

halus pada bagian retina pigmen epitelium. Dua sampai empat kelompok dari dua

sampai enam “titik-titik” muncul di kutub posterior. Angiografi fluoresein

menunjukkan gambaran ”target” atau “honeycomb” dengan pusat hiperpigmentasi

dan di kelilingi halo hiperfluoresein. Pengobatan tidak diperlukan Gangguan

penglihatan dan lesi di retina akan menghilang dalam 6-12 minggu(14).

Retinokoroidopati ”Birdshot” (Korioretinitis Vitiliginosa)

Keadaan yang tidak umum ini biasanya terjadi pada dekade ke-5 sampai

dekade ke-7 kehidupan, wanita lebih sering dibandingkan pria. Gejala awalnya

berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, nyctalopia dan gangguan

penglihatan warna. Mungkin ada sedikit inflamasi segmen anterior. Didalam

vitreus dapat ditemukan sel-sel. Karakteristiknya adalah ditemukannya banyak

bintik putih kekuningan atau depigmentasi pada fundus, seolah-olah fundus

mendapat pukulan ”birdshot from a shotgun”. Bintik-bintik juga muncul pada

pigmen epitelium. Edema diskus, atrofi N. Optikus, edema makula, pembuluh

darah retina menipis dan berkerutnya permukaan retina dapat juga ditemukan.

Pada 80-90% pasien dapat ditemukan HLA-A29 haplotipe, yang mana merupakan

faktor predisposisi genetik dalam perkembangan penyakit ini. Penyakit ini adalah

penyakit yang kronik, sering mengalami eksaserbasi dan remisi(14).

Koroiditis Punctata

Koroidotis Punctata adalah peradangan idiopatik koroid yang biasanya

terjadi pada wanita yang menderita myopia, yang berusia antara 18-37 tahun.

Pasien dengan PIC akan mengeluh kehilangan ketajaman penglihatan sentral,

biasanya bilateral. Tidak terdapat sel pada vitreus, tetapi lesi berukuran kecil (100-

19

Page 20: Refrat mata

300 μm) berbentuk “punctate” berwarna kuning disebelah dalam koroid

ditemukan di kutub posterior. Penyakit ini dapat sembuh dalam 4-6 minggu(14).

Gambar 5. lesi pungtata kekuningan pada RPE dan koroid (14).

Koroidopati Serpiginosa

Biasanya penyakit ini menyerang wanita pada dekade ke-4 sampai dekade

ke-6 kehidupan. Keluhan utama dari pasien ialah penglihatan menjadi kabur. Pada

vitreus tidak ditemukan sel, tetapi kadang-kadang dapat juga ditemukan sel dalam

jumlah yang banyak. Gambaran sikatriks seperti serpiginosa (pseudopodial) atau

geograpik (seperti peta) terdapat di fundus posterior. Tepi lesi ini mungkin aktif,

berwarna kuning abu-abu dan tampak edema. Daerah yang aktif akan menjadi

atrofi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, kemudian lesi yang baru

dapat muncul di mana saja atau berdekatan dan memberi gambaran seperti ular.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan karakteristik gambaran klinik. Angiografi

fluorescein menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid, pada daerah dimana

penyakitnya aktif. Pada saat penyakitnya tidak aktif, daerah yang menarik zat

warna dapat menyebarkan fluorescein, tetapi tidak di tahan. Jika penyakit ini

mengenai makula, maka ketajaman penglihatan sentral akan terganggu(14).

Fibrosis Subretina dan Sindrom Uveitis (SFU)

Panuveitis ini biasanya lebih banyak mengenai wanita yang berusia antara

14-34 tahun. Penyebabnya tidak diketahui. Histopatologi dari biopsi korioretinal

20

Page 21: Refrat mata

terutama menunjukkan sel β dan sel plasma. Pasien biasanya memiliki kondisi

fisik yang sehat dan mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan, biasanya

bilateral. Pada awalnya, pasien yang menderita penyakit ini akan menunjukkan

vitritis bilateral dan multifokal koroiditis. Kemudian, lesi pada koroid akan

berkembang menjadi lesi fibrotik subretinal berbentuk stellate yang besar. SFU

memberi respons yang kurang baik terhadap berbagai bentuk pengobatan, dan

prognosis dari tajam penglihatan juga buruk(14).

Koroiditis Multifokal dan Sindrom Panuveitis (MCP)

Koroiditis Multifokal dan sindrom Panuveitis adalah peradangan idiopatik

koroid, retina dan vitreus, lebih sering terjadi pada wanita. Penyebabnya tidak

diketahui. Pasien menunjukkan vitritis bilateral (82%) dan multifokal koroiditis.

Dalam keadaan aktif, lesinya berukuran kecil (50-350 μm) dan berwarna

kekuningan. Lesi makula mungkin dapat dihubungkan dengan pembuluh darah

baru membran subretina. Diagnosis penyakit ini adalah sesuatu yang penting

karena ada berbagai kondisi yang mungkin dapat menyebabkan multifokal

koroiditis dan panuveitis. Sarkoidosis, sifilis, tuberkulosis dan sindrom titik putih

pada retina harus diperhatikan. Penyakit ini sering kronik(14).

Gambar 6. Lesi kuning multifokal pada koroid (14).

2.5. LOKASI PANUVEITIS

Lokasi anatomi panuveitis pada dasarnya merupakan seluruh traktus

uvealis yang merupakan gabungan dari uveitis anterior, uveitis intermediet, dan

uveitis posterior (9), yaitu meliputi:

21

Page 22: Refrat mata

a) Uveitis anterior

- Iritis : inflamasi yang dominan pada iris

- Iridosiklitis : inflamasi pada iris dan pars plicata

b) Uveitis intermediet : inflamasi dominan pada pars plana dan retina perifer

c) Uveitis posterior : inflamasi bagian uvea di belakang batas basis vitreus (14).

Gambar 7. Lokasi Panuevitis (gabungan dari lokasi uveitis anterior, intermediet, dan posterior)

2.6. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis panuveitis meliputi gambaran klinis yang terjadi pada

uveitis anterior,intermediet,dan posterior. Gambaran klinis dari uveitis anterior

antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang dalam dan tumpul pada daerah sekitar

orbit mata dan sekitarnya (10). Gejala akan memburuk apabila terpapar cahaya

sehingga pasien sering datang ke pasien dengan mengenakan kacamata. Epifora

yang terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar

airmata, dan tidak ada hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan(7).

      Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih

lebih baik, walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya

akomodasi menjadi lebih sulit dan tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada

kongesti palpebra ringan hingga sedang dan menyebabkan pseudoptosis. Kadang

dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan sklera, walaupun

konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan

22

Page 23: Refrat mata

slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit

endotel berwarna coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP) (13).

Gambar 8. Keratic Precipitates (13).

Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit

(hipopion); dan flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang

meradang; dan dapat ditemukan pada kamera okuli anterior sehingga kamera

okuli anterior tampat kotor dan berkabut) (11). Iris dapat mengalami perlengketan

dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat terjadi perlengketan

dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang terlihat nodul

granulomatosa pada stroma iris (6).

Gambar 9. Sinekia posterior (6).

23

Page 24: Refrat mata

Gambar 10. Fler (14).

Gambar 11. Hipopion(14).

Gambar 12. Uveitis anterior dengan keratik presipitat “mutton-fat”dan nodul Koeppe dan Busacca(14).

24

Page 25: Refrat mata

Gambar 13. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan irisdan sedikit mutton-fat pada aspek inferior (14).

Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan

siliar. Namun saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi

pada trabekulum. Apabila debris ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar

menghasilkan sekresi yang normal maka dapat terjadi peningkatan tekanan

intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder(7).

Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea

anterior atau posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona

intermediate mata. Ini terutama terjadi pada orang dewasa muda dengan keluhan

utama melihat “bintik-bintik terapung” di dalam lapangan penglihatannya. Pada

kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada perbedaan distribusi antara pria

dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun fotofobia. Pasien

mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter melihat

adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan

oftalmoskop.

Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat

beberapa sel di kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan

anterior. Sel radang lebih besar kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di

vitreus anterior pada pemeriksaan dengan slit-lamp. Sering timbul katarak

25

Page 26: Refrat mata

subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering menampakan kekeruhan tipis

bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin menyatu, sering

menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis, yaitu

terlihat adanya selubung perivaskuler pada pembuluh retina.

Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur

membaik dalam waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema

makular kistoid dan parut makular permanen, selain katarak subkapsular

posterior. Pada kasus berat dapat terjadi pelepasan membran-membran siklitik dan

retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi(7).

Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi

koroiditis, korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol),

retinokoroiditis (bila peradangan retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis

disseminta. Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu

bentuk penyakit sistemik.

Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma

dan herpes. Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti

tuberkulosis, sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom

yang tidak biasa seperti korioretinitis serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat

timbul dengan toksoplasmosis, retinitis viral, limfoma, atau sarkoidosis.  

      Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang

menimbulkan kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak

pernah menimbulkan sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus

dijelaskan. Lesi radang di segmen posterior umumnya berawal tenang, namun ada

yang disertai kekeruhan vitreus dan kehilangan penglihatan secara tiba-tiba.

Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior, yang pada gilirannya kadang-

kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.

Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh “sindrom

samaran”, seperti retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior

pada kelompok umur ini adalah infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis,

retinitis herpes, dan infeksi rubella(7).

26

Page 27: Refrat mata

Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun, penyebab uveitis posterior

termasuk toksokariasis, toksoplasmosis, uveitis intermediate, infeksi

sitomegalovirus, sindrom samaran, panensefalitis sklerosis subakut, dan kurang

penting, infeksi bakteri atau fungi pada segmen posterior. Dalam kelompok umur

16 sampai 40 tahun, yang termasuk diagnosis diferensial adalah toksoplasmosis,

penyakit Behcet, sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, sifilis, endoftalmitis candida,

dan kurang sering, infeksi bakteri endogen misalanya meningitis meningococcus.

Pasien uveitis posterior dan berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom

nekrosis retina akut, toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus, retinitis, sarcoma sel

retikulum, atau kriptokosis(13).

      Uveitis yang terjadi unilateral lebih condong untuk diagnosis akibat

toksoplasmosis, kandidiasis, toksocariasis, sindrom nekrosis retina akut, atau

infeksi bakteri endogen. Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau

lambat tanpa gejala. Penyakit pada segmen posterior mata yang onset mendadak

adalah retinitis toksoplasmosis, nekrosis retina akut, dan infeksi bakterial.

Kebanyakan penyebab uveitis posterior yang lain onsetnya lambat (7).

2.7 PENDEKATAN DIAGNOSIS PANUVEITIS

Gejala penyakit pada traktus uvealis tergantung tempat terjadinya penyakit

itu. Misalnya, karena terdapat serabut-serabut nyeri di iris, pasien dengan iritis

akan mengeluh sakit dan fotofobia. Peradangan iris itu sendiri tidak mengaburkan

penglihatan kecuali bila prosesnya berat atau cukup lanjut hingga mengeruhkan

humor aqueous, kornea, dan lensa. Penyakit koroid sendiri tidak menimbulkan

sakit atau penglihatan kabur. Karena dekatnya koroid dengan retina, penyakit

koroid hampir selalu melibatkan retina, penglihatan sentral akan terganggu.

Vitreus juga dapat menjadi keruh sebagai akibat infiltrasi sel dari bagian koroid

dan retina yang merdang. Namun gangguan penglihatan proposional dengan

densitas kekeruhan vitreus dan bersifat reversible bila peradangan mereda.

Adapun, secara umum pasien yang sedang mengalami peradangan uvea akan

mengeluhkan gejala-gejala umum sebagai berikut (23):

27

Page 28: Refrat mata

-       Mata merah (hiperemis konjungtiva)

-       Mata nyeri

-       Fotofobia

-       Pandangan mata menurun dan kabur

-       Epifora

Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala

ini bervariasi dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal)

hingga gejala berat, fotofobia, dan hilang penglihatan yang berhubungan dengan

injeksi yang muncul dan hipopion. Faktor diluar gejala mata kadang membantu

dalam menegakan diagnosis uveitis anterior (15). Onset, durasi, dan keparahan

gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui. Selain itu usia pasien, latar

belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan. Riwayat rinci

dan review dari sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi

pasien dengan uveitis(7).

Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan

yang perlu dilakukan antara lain:

1.      Pemeriksaan subyektif mata

a.  Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan

tajam pengllihatan, pemeriksaan gerakan bola mata(15).

b.  Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan

c.  Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang

normal (5).

2.      Pemeriksaan obyektif  mata

Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:

a.  Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi

normal

b.  Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis

sering ditemukan pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan

28

Page 29: Refrat mata

semakin meningkat menuju arah limbus. Hal inilah yang membedakannya

dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi semakin banyak dengan arah

menjauhi limbus.)

c.  Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun,

tergantung kondisi dari produksi humor aqueous, drainase, dan

keberadaan sel radang, putih dan merah.

d.  Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.

e. Pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara

langsung mengenai iris yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus

ketika cahaya secara langsung mengenai iris berlawanan. Arti klinis dari

temuaan ini yaitu:

-     Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis

dan beberapa penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.

-     Pupil dalam kondisi miosis(7).

3.      Pemeriksaan funduskopi

4.      Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp

a.   Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem,

ulkus, atau benda asing.

b.   Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea

c.    Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu  keratitic precipitates / KP

(sel darah putih pada endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang

maka diklasifikasikan ke dalam uveitis nongranuloma, sedangkan KP

pada uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak (gambaran

granula “mutton-fat”) (23).

d.   Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang

menyebabkan kamera okuli anterior tampak kotor (23).

e.   Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat

ditemukan pada kamera okuli anterior dan dapat diklasifikasikan

menjadi derajat +1 s/d +4:

-   0 tidak ditemukan

29

Page 30: Refrat mata

-   +1 ditemukan dalam jumlah sedikit

-   +2ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)

-   +3 iris dan lensa terlihat berkabut

-   +4 intens (ditemukan deposit fibrin dan aqueous terkoagulasi) (7).

5.      Pemeriksaan laboratorium

a.    Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis

ditemukan hubungan etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun

pemeriksaan laboratorium ini tidak dilakukan bila pasien mengalami

uveitis nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali dan pada

anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas (24)

b.   Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan

uveitis rekurens, pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak

menunjukan tanda khas maka dilakukan pemeriksaan laboratorium

nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll (7).

2.8 TATALAKSANA

Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat

dan bagi setting penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera

melakukan rujukan kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah

dan ditemukan sel radang, darah putih, atau darah merah pada kamera okuli

anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan kepada pasien(7).

Penanganan panuveitis secara garis besar bertujuan untuk mencegah komplikasi

penglihatan, mengurangi keluhan pasien, dan mentatalaksana penyakit yang

mendasari(3).

Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi

nyeri dan peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas

kortikosteroid topikal atau sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang

dapat dipakai adalah:

30

Page 31: Refrat mata

1.      Pemberian Obat Anti Radang

a.      Kortikosteroid

Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat

peradangan yaitu dengan cara:

Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam

arakidonat dari fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan

sitokin, dan membatasi aktifitas sel B dan sel T. Kortikosteroid diberikan

dengan indikasi adanya peradangan yang bukan disebabkan karena infeksi.

Mengurangi permeabilitas pembuluh darah

Mengurangi pembentukan jarangan parut

Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik.

Pemberian dosis juga sangat bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi

pemberian dalam jumlah minimal untuk mengontrol inflamasi harus diberikan

untuk menurunkan peluang terjadinya komplikasi. Initial dose yang

digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga beberapa

ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid

diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja

yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping

karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan

balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari

kortikosteroid  level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal

sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari

sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal(3).

Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3

sampai 4 minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan

untuk mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal.

Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis

selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah

terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan

selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar

31

Page 32: Refrat mata

kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis

selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk

mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan

kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari

pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis

telah mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas

obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan

berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat

diberikan selang sehari(5).

Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:

Menurunkan daya reaksi jaringan

Mengaktifkan proliferasi bakteri

Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain

Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak

Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila

dipakai lama

Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata

Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus

Menambah kemungkinan infeksi jamur

Menambah berat radang akibat infeksi bakteri

Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian

dosis tinggi dan pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya

digunakan untuk uveitis kronik atau uveitis yang mengancam penglihatan

(menyebabkan kebutaan).

Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:

Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal

tetes. Tergantung dari keparahan peradangan yang akan dipulihkan,

frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon asetat 1% merupakan obat

32

Page 33: Refrat mata

yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk precipitate,

sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan.

Kadang-kadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga

pemakaian dalam jangka 4-6 minggu perlu dimonitor (9).

Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena

atau ketika mulai dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian

terpai inisial selam 3-4 minggu sebelum pemberian steroid jangka panjang

dapat membantu mengidentifikasi pasien yang responsive terhadap

kortikosteroid(25). Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam

transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan

dengan pemberian sub-tenon. Namun pemberian injeksi ini tidak

digunakan pada pasien dengan uveitis yang infeksius atau skleritis karena

penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi (9).

Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:

1.      Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan

kebutaan

2.      Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode

lainnya

Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:

-    Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of

choice untuk uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan

dengan mendepresi migrasi dari leukosit PMN dan menurunkan

permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine dapat menghambat kerja

obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone juga

tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan

pasien sedang mengalami infeksi jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang

digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam (dewasa). Prednisolone dapat

meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan katarak

dalam pemakaian jangka panjang(7).

33

Page 34: Refrat mata

b.      Obat anti inflamasi nonsteroid

Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga

berfungsi untuk menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien

memiliki kondisi kontra. Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari

kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada kontraindikasi absolut, kortikosteroid

tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang sistemik, herpes

simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat

intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan

dengan alasan sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai

dengan monitor yang ketat pada keadaan hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal

jantung, riwayat adanya gangguan jiwa,  positive purified

derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak,

osteoporosis, kehamilan. Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang

bersifat antilimfosit seperti fenilbutazon, indometasin, salisilat, natrium

diklofenak, dan golongan Non-Steroid Anti-Infamasi Drugs (NSAIDs) yang

lainnya(7).

2.      Obat sikloplegia

Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi

dilatasi pupil, selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga

melumpuhkan akomodasi (2). Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan

fotofobia yang terjadi(3).

Contoh obat sikloplegia:

-     Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik.

Efek maksimal dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot

akomodasi maka akan normal kembali 2 minggu setelah obat dihentikan.

34

Page 35: Refrat mata

Atropin memberikan efek samping seperti nadi cepat, demam, merah, dan

mulut kering.

-      Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75

menit dan midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan

selama 1 jam. Namun efek ini dapat menurun pada kondisi parah. Sehingga

homatropin lebih sering digunakan pada uveitis dibandingkan siklopentolat.

Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase

inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien

yang mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif

dengan siklopentolate. Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd

(dewasa).

-      Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan

midriasis setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48

jam untuk sikloplegia dan 6 jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine

merupakan agent of choiceyang sering digunakan pada uveitis. Homatropine

dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu

homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami

glaucoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan homatropin.

Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt 3dd (dewasa).

Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak

responsif terhadap steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan

dengan terapi sebelumnya, immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif

agen merupakan terapi pilihan awal pada penyakit Behcet (termasuk ke dalam

segmen posterior), Wegener granulomatosis, dan skleritis nekrotik. Penyakit-

penyakit tersebut dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang mengancam jiwa,

dan terdapat bukti medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat

meningkalkan kondisi pasien. Imunomodulatory terapi sering diperlukan dalam

kondisi penanganan jangka panjang dengan kortikosteroid seperti pada

35

Page 36: Refrat mata

serpiginous koroiditis, birdshot koroiditis, Vogt-koyanagi-harada (VKH), sistemik

oftalmia dan arthritis idiopatik juvenile.

Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk

target spesifik yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi

ini telah dipelajari dan diteliti pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn

disease, persamaan pada patogenesis penyakit ini yang menstimulasi untuk

dilakukan obat yang sama  untuk penanganan peyakit inflamasi ocular yang

bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai pemblok mediator spesifik pada

sistem imunitas yang sering ditemukan pada penderita uveitis yaitu antara lain;

pemblok TNF (Tumor Necrosis Factor alpha) contoh adalimumab, dan

infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2 contoh daclizumab.

Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi

intraocular melalui injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan

kasus melaporkan adanya manfaat dalam penggunaan triamkinolone injeksi

(biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman refraksi pada edema makular

kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral ini memiliki waktu paruh yang

pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali (multipel). Sehingga resiko

terjadi pembentukan katarak dan peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko

untuk terjadinya endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%.

Selain terapi medikamentosa, terdapat terapi pembedahan yang

diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan rehabilitasi penglihatan,

biopsa untuk diagnosis ketika menemukan perubahan dalam rencana pengobatan,

dan mengambil media yang menagalami opasitas untuk memonitor segmen

posterior mata. Walaupun manfaat dalam terapi inflamasi dan immunomodulatori,

namun kadang didapatkan perubahan struktural yang dapat terjadi pada mata

misalnya pembentukan katarak, glaukoma sekunder, ablasio retina).

Dalam mempersiapkan preoperasi, penanganan medis harus diintensifkan

untuk minimal jangka waktu 3 bulan untuk mencapai proses inflamasi komplit

(eradikasi komplit dari sel kamera okuli anterior dan sel vitreus aktif). Secara

36

Page 37: Refrat mata

umum, 24-48 jam preoperative, topical prednisolone asetat 1% diberikan setiap 1-

2 jam (saat pasien dalam kondisi sadar) dengan prednisolon (1 mg/kg) tergantung

dari proses inflamasi alami. Steroid intraokular dan periokular dapat diberikan

saat operatif sedang berlangsung. Medikasi sistemik dan topikal diberikan dengan

dosis diturunkan secara perlahan tergantung dari derajat inflamasi yang terjadi(7).

Selain penanganan di atas, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan

sebagai follow-up yaitu:

Follow up dengan oftalmologis dalam 24 jam sebaiknya dilakukan

Pada fase akut, kasus uveitis diikuti setiap 1-7 hari dengan pemeriksaan

biomikroskopis/slit lamp dan pemeriksaan tekanan intraocular.

Oftalmologis harus melakukan tapering off dosis untuk kortikosteroid dan

sikloplegik yang dipakai dalam terapi medikamentosa

Jika kondisi pasien telah stabil, maka pemonitoran dilakukan setiap 1-6

bulan(3).

3. Agen Immunosupresif

Tiga kelas utama immunosupresif yang digunakan secara luas antara lain

glukokortikosteroid (antimetabolit), inhibitor sel T, dan agen alkilating.

Antimetabolit tersebut antara lain azathioprine, methotrexate dan mycophenolate

mofetil (MMF). Inhibitot sel T antara lain siklosporin dan takrolimus. Sedangkan

yang termasuk agen alkilating antara lain siklofosfamid dan khlorambucil (3).

Agen immunosupresive diberikan bila kortkosteroid tidak mampu

mengontrol inflamasi pada panuveitis (26). Agen immunosupresif ini bermanfaat

dalam menghentikan pembelahan sel limfosit yang menyebabkan inflamasi.

Indikasi penggunaa agen immunosupresif pada panuveitis antara lain: inflamasi

berat yang tidak berespon terhadap kortikosteroid, multiple relaps uveitis, dan

intoleransi atau kontraindikasi pada pemberian kortikosteroid(3).

37

Page 38: Refrat mata

Sindrom KVH dan SO adalah contoh kondisi yang menyebabkan resisten

terhadap terapi kortikosteroid. Agen immunosupresif ini digolongkan pada lini

kedua pengobatan panuveitis, sedangkan lini pertamanya adalah kortikosteroid.

Sebelum pemberian agen immunosupresif harus dilakukan pemeriksaan Hb,

hitung darah (leukosit dan platelet), RFT dan LFT untuk mencegah kemungkinan

terjadinya kontraindikasi terhadap pemberian.terapi inisial biasanya diberikan

dalam dosis rendah sebelum dilakukan tindakan pembedahan intraokuler(3) (8).

4. Agen Biologi

Strategi terbaru yang sedang diupayakan untuk mengatasi panuveitis

adalah dengan menggunakan agen biologi yang terdiri dari anti tumor necrosis

factor-α (anti TNF α ), inhibitor reseptor sitokin dan interferon α (IFN α). Agen

biologi ini diduga memiliki anti inflamasi superior daripada agen immunosupresif

dan diupayakan digunakan bila pengobatan dengan agen immunosupresif gagal(3).

Contoh anti TNF α antara lain infliximab, adalimumab, dan etanercept.

Anti TNF α mampu mereduksi hingga 80% panuveitis yang sering refrakter.

Adalimumab diberikan injeksi subcutan 40 mg seminggu dan diberikan dengan

interval 2 mingguan. Etanercept diberikan 2 kali seminggu dengan injeksi

subkutan 25 mg. Contoh inhibitor reseptor sitokin adalah daclizumab yang

diberikan secara infus intravena 1 mg/kg bb ddengan interval setiap 2-4 minggu.

Sedangkan contoh IFN α adalah sitokin dari virus yang diberikan 3-9 juta U/hari

diberikan setiap hari atau 3 kali seminggu(3).

5. Vitrektomi

Indikasi:bila tidak respon terhadap pengobatan medikasi dan hilangnya

fungsi penglihatan dengan komplikasi inflamasi yang berkepanjangan. Vitrektomi

menghilangkan limfosit di vitrous, debris inflamasi, komples imun, dan

autoantigen. Komplikasi vitrektomi antara lain perdarahan, katarak, galukoma,

infeksi, ablasio retina, dan kebutaan (3).

38

Page 39: Refrat mata

2.9 KOMPLIKASI

Adapun komplikasi yang paling sering terjadi pada panuveitis yaitu:

1.   Glaukoma sekunder

Adapun mekanisme terjadinya peningkatan tekanan intraocular pada

peradangan uvea antara lain:

a.    Sinekia anterior perifer (iris perifer melekat pada kornea) dan terjadi

akibat peradangan iris pada uveitis anterior (2). Sinekia ini menyebabkan

sudut iridokornea menyempit dan mengganggu drainase dari humor

aqueous sehingga terjadi peningkatan volume pada kamera okuli anterior

dan mengakibatkan peningkatan tekanan intraokular (7) (18).

b.   Sinekia posterior pada uveitis anterior terjadi akibat perlekatan iris pada

lensa di beberapa tempat sebagi akibat radang sebelumnya, yang berakibat

pupil terfiksasi tidak teratur dan terlihat pupil yang irreguler (15). Adanya

sinekia posterior ini dapat menimbulkan glaukoma dengan memungkinkan

berkumpulnya humor aqueous di belakang iris, sehingga menonjolkan iris

ke depan dan menutup sudut iridokornea(7) (22).

c.    Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat

terkumpulnya sel-sel radang (fler) pada sudut iridokornea sehingga

volume pada kamera okuli anterior meningkat dan terjadi glaukoma(7)(2).

2.    Atrofi nervus optikus

Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi

nervus optikus sehingga terjadi kebutaan permanen.

3.    Katarak komplikata

Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek

langsung pada fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah

subkapsul posterior dan akhirnya mengenai seluruh struktur lensa.  Katarak

39

Page 40: Refrat mata

yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis visualnya tidak sebaik katarak

senilis biasanya(7).

4.    Ablasio retina

5.    Edema kistoid macular(8).

6.    Efek penggunanan steroid jangka panjang.

Tempat Macam efek samping

1.      Saluran cerna

2.      Otot

3.      Susunan saraf pusat

4.      Tulang

5.      Kulit

6.      Mata

7.      Darah

8.      Pembuluh darah

9.      Kelenjar adrenal

bagian kortek

10.  Metabolisme protein,

KH dan lemak

11.  Elektrolit

12.  Sistem immunitas

-      Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi

gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis

regional, kolitis ulseratif.

-      Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.

-      Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,

mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,

kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

-      Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,

fraktur tulang panjang.

-      Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis

akneiformis, purpura, telangiektasis.

-      Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

-      Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

-      Kenaikan tekanan darah

-      Atrofi, tidak bisa melawan stres

-      Kehilangan protein (efek katabolik),

hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump,

perlemakan hati.

-      Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,

tetani, aritmia kor)

-      Menurun, rentan  terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan

herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Tabel 1. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid sistemik (7).

40

Page 41: Refrat mata

2.10 PROGNOSISUmumnya prognosis baik bila diterapi dengan tepat(12).

BAB III

KESIMPULAN

Panuveitis adalah proses inflamasi yang mengenai semua unsur traktus

uvealis atau dengan kata lain panuveitis tidak memiliki tempat

inflamasi/peradangan yang predominan dimana inflamasi merata pada kamera

okuli anterior, vitreous, retina dan atau koroid seperti retinitis, koroiditis, dan

vaskulitis retinal. Keadaan ini seringnya disebabkan karena infeksi yang

berkembang pada toxocariasis infantil, endoftalmitis bakterial postoperasi, atau

toksoplasmosis yang berat. Ciri morfologis khas seperti infiltrat geografik secara

khas tidak ada. Adanya peradangan pada area ini dapat mempengaruhi elemen

mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa elemen mata penting

lainnya.

Penyebab pasti dari panuveitis belum diketahui sehingga patofisiologi

yang pasti dari panuveitis juga belum diketahui. Secara umum, panuveitis dapat

disebabkan oleh reaksi imunitas. panuveitis sering dihubungkan dengan infeksi

seperti herpes, toxoplasmosis, dan sifilis; adapun, postulate reaksi imunitas secara

langsung melawan benda asing atau antigen yang dapat melukai sel dan pembuluh

darah uvea.Penanganan panuveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat

dan bagi setting penanganan pelayanan primer ataupun segera melakukan rujukan

kepada ahli spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel

radang, darah putih, atau darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotic tidak

diindikasikan untuk diberikan kepada pasien. Adapun penanganan secara

medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan peradangan. terapi

41

Page 42: Refrat mata

pembedahan yang diindikasikan dalam manajemen uveitis dengan tujuan

rehabilitasi penglihatan, biopsy untuk diagnosis ketika menemukan perubahan

dalam rencana pengobatan, dan mengambil media yang menagalami opasitas

untuk memonitor segmen posterior mata.

42