199

REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk
Page 2: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

i

REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN

MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA

PROSIDING

SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN

9 OKTOBER 2014

Editor:

Ir. A. Thomas, MP.

Lis Nurrani, S.Hut.

Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut.

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Balai Penelitian Kehutanan Manado

Page 3: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

ii

ISBN 978-602-96800-8-9

PROSIDING

SEMINAR HASIL-HASIL PENELITIAN

“REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN

MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA”

Manado, 2014

Terbit Tahun 2015

Foto Sampul oleh:

Ady Suryawan

Arif Irawan

Hendra S. Mokodompit

Harwiyaddin Kama

Tata letak dan desain sampul:

Hendra S. Mokodompit dan Lulus Turbianti

Diterbitkan oleh:

Balai Penelitian Kehutanan Manado

Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget, Manado - Sulawesi Utara

Telp. 085100666683

Email: [email protected]; [email protected]

Website: www.bpk-manado.litbang.dephut.go.id

Dicetak oleh:

IPB Press

Page 4: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

iii

KATA PENGANTAR

Seminar dengan tema “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara” diselenggarakan bertepatan dengan

ulang tahun emas Provinsi Sulawesi Utara. Adapun tujuan dari

dilaksanakannya seminar ini adalah memfasilitasi tukar pendapat serta

informasi dari para peneliti mengenai hasil-hasil penelitian dalam rangka

restorasi hutan Indonesia. Seminar ini juga melibatkan para pembuat

kebijakan, ilmuwan, praktisi dan stakeholders lainnya dalam rangka

menyusun strategi rehabilitasi dan restorasi hutan Indonesia.

Latar belakang pelaksanaan seminar ini adalah pemanfaatan hutan

Indonesia selama ini lebih terfokus pada pemanfaatan kayu saja sehingga

menimbulkan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan maupun

kawasan di sekitarnya. Kerusakan dalam kawasan hutan pada umumnya

berupa semakin luasnya kawasan hutan bekas tebangan yang tidak

produktif yang seharusnya segera kembali dipulihkan dengan melakukan

kegiatan pemulihan ekosistem, terutama untuk kawasan hutan produksi

yang memiliki ekosistem penting.

Prosiding ini memuat 10 judul materi yang dibahas dan 2 materi penunjang

serta rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada penyaji

materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta semua pihak yang

telah membantu penyelenggaraan kegiatan seminar.

Semoga prosiding ini bermanfaat.

Manado, Mei 2015

Kepala BPK Manado

TTD

Ir. Muh. Abidin, M.Si.

Page 5: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

iv

TIM PENYUNTING

Penanggung Jawab : Ir. Muh. Abidin, M.Si.

Redaktur : Rinto Hidayat, S.Hut.

Editor : Ir. A. Thomas, M.P.

Lis Nurrani, S.Hut.

Nurlita Indah Wahyuni, S.Hut.

Sekretariat : Lulus Turbianti, S.Hut.

Hendra Susanto Mokodompit

Rinna Mamonto

Page 6: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................... iii

Daftar Isi ................................................................................... v

Laporan Penyelenggaraan ............................................................ viii

Sambutan Kepala Badan Litbang ................................................. x

Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara ............. xiv

Rumusan ................................................................................... xvii

Restorasi Ekosistem Hutan

Martina A. Langi ................................................................................. 01-08

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan Pemanfaatannya Bagi

Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata

Lis Nurrani dan Supratman Tabba ......................................................... 09-26

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang: “Aplikasi Fungi Mikoriza

Untuk Mempercepat Keberhasilan Revegetasi

Retno Prayudyaningsih ........................................................................ 27-42

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan

DAS Lintas Kabupaten

Kristian Mairi, Iwanuddin, dan Isdomo Yuliantoro .................................. 43-62

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi

Tanah (RLKT) Berbasis Perilaku Petani

(Studi Kasus RLKT pada Lahan Kering Berlereng di DTA Tondano)

Hengki Djemie Walangitan ................................................................... 63-82

Teknik Pembibitan Meranti Putih (Shorea assamica Dyer)

dari Anakan Hasil Permudaan Alam

Arif Irawan dan Ady Suryawan ............................................................. 83-92

Peran Persemaian Permanen Kima Atas dalam Rehabilitasi Lahan

Melalui Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat

Ady Suryawan dan Arif Irawan ............................................................. 93-106

Page 7: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

vi

Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng)

pada Tempat Sapih Politub dan Polibag

Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan ..................................................... 107-112

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon

Nurlita Indah Wahyuni ........................................................................ 113-124

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon

Jafred E. Halawane dan Julianus Kinho .................................................. 125-132

PRESENTASI NARASUMBER TAMU

Restorasi Ekosistem di Daerah Penting bagi Burung dan Keanekaragaman Hayati

Ria Saryanthi ...................................................................................... 133-144

Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel

Syaiful Habib ...................................................................................... 145-164

Page 8: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

vii

LAPORAN PENYELENGGARAAN KEPALA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO

PADA SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA

MANADO 9 OKTOBER 2014

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang terhormat:

1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara

3. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup Kementerian

Kehutanan

4. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan

5. Para Akademisi

6. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan

7. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

8. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua

Syallom,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah

SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari yang baik ini kita

semua dapat menyelenggarakan seminar “Rehabilitasi dan Restorasi

Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”.

Seminar kita ini mengambil tema “Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara” menjadi semakin istimewa karena

diselenggarakan bertepatan dengan ulang tahun emas Provinsi Sulawesi

Utara. Adapun tujuan dari dilaksanakannya seminar ini adalah memfasilitasi

tukar pendapat serta informasi dari para peneliti mengenai hasil-hasil

penelitian dalam rangka restorasi hutan Indonesia. Seminar ini juga

melibatkan para pembuat kebijakan, ilmuwan, praktisi, dan stakeholders

lainnya dalam rangka menyusun strategi rehabilitasi dan restorasi hutan

Indonesia. Latar belakang pelaksanaan seminar ini adalah pemanfaatan

hutan Indonesia selama ini lebih terfokus pada pemanfaatan kayu saja

sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan baik di kawasan hutan

maupun kawasan di sekitarnya. Kerusakan dalam kawasan hutan pada

umumnya berupa semakin luasnya kawasan hutan bekas tebangan yang

tidak produktif yang seharusnya segera kembali dipulihkan dengan

Page 9: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

viii

melakukan kegiatan pemulihan ekosistem, terutama untuk kawasan hutan

produksi yang memiliki ekosistem penting.

Kementerian Kehutanan menerbitkan Permenhut No: SK.159/Menhut-

II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan Hutan Produksi yang

kemudian dirubah dengan Permenhut Nomor: P.61/Menhut-II/2008 tanggal

28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan

dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah

upaya untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non

hayati (tanah dan air) pada suatu kawasan dengan jenis asli, sehingga

tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Melalui seminar ini

Bapak/Ibu akan mendengarkan paparan oleh para penyaji yang kompeten

dibidang rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan.

Hadirin dan peserta seminar yang berbahagia,

Adanya kerjasama yang baik antara panitia, peserta dan semua pendukung

acara seminar sehingga kegiatan ini dapat diselenggarakan pada hari Kamis,

9 Oktober 2014 bertempat di Hotel Sintesa Peninsula. Seminar ini dihadiri

oleh 145 orang peserta, termasuk 8 orang pemakalah dari 6 instansi.

Tamu undangan yang terhormat,

Pada kesempatan ini saya selaku penanggung jawab acara ini mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Litbang

Kehutanan yang berkenan membuka seminar ini, Kepada Kepala Dinas

Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara dan Kepala UPT lingkup Kementerian

Kehutanan yang telah menghadiri seminar ini. Terimakasih juga kami

ucapkan kepada Universitas Sam Ratulangi, Burung Indonesia, TBI dan PT.

Antam atas pertisipasi dan kerjasama sehingga seminar ini dapat teraksana

dengan lebih baik. Tidak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan kepada

seluruh pemakalah dan tamu undangan yang telah mendukung

berlangsungnya kegiatan ini dari awal hingga akhir dan kepada semua

panitia penyelenggara seminar dari Balai Penelitian Kehutanan Manado yang

telah menyelenggarakan acara ini dengan baik dari awal persiapan hingga

pada berlangsungnya acara pada hari ini. Akhir kata semoga hasil dari

seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun

Sulawesi Utara ini diharapkan mampu membuka dan meningkatkan

wawasan kita bersama akan pentingnya rehabilitasi dan restorasi kawasan

hutan, serta meningkatkan kerjasama berbagai sektor dalam mewujudkan

pengelolaan hutan lestari.

Page 10: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

ix

Demikian laporan penyelenggaraan seminar ini, semoga Allah SWT

senantiasa memberikan bimbingan kepada kita semua.

Billahit Taufiq wal Hidayah

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado TTD Ir. Muh. Abidin, M.Si NIP 19600611 198802 1 001

Page 11: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

x

SAMBUTAN

KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN

SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN

MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA

MANADO, 9 OKTOBER 2014

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang saya hormati:

1. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara

2. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup Kementerian

Kehutanan

3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan

4. Para Akademisi

5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan

6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Syallom,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah

SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita semua dapat

hadir untuk mengikuti acara seminar “Rehabilitasi dan Restorasi

Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”.

Pada kesempatan ini, saya mengucapkan selamat hari jadi ke 50 Provinsi

Sulawesi Utara, 23 September 2014, teriring doa serta harapan semoga

Sulawesi Utara ke depan mengalami pertumbuhan ekonomi pesat yang

berkeadilan dan bisa mensejahterakan masyarakatnya.

Hadirin yang saya hormati,

1. Tema seminar ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mendukung

rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan yang diarahkan sebagai

kontribusi bagi pembangunan Provinsi Sulawesi Utara. Upaya ini harus

direalisasikan berdasarkan pada kondisi terkini. Apabila telah kita ketahui

bahwa luas kawasan hutan di Sulut ini berkisar 814.579 ha, dan

berdasarkan data terbaru, luas lahan kritis di Provinsi Sulawesi Utara

265.540 ha. Ternyata sebagian besar lahan kritis ( 251.724 ha) termasuk

di dalam kawasan, dan hanya 13.816 ha di luar kawasan. Maka makin

jelaslah bahwa dalam konteks rehabilitasi dan restorasi kita harus tetap

bekerja keras.

Page 12: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xi

2. Pada forum seminar ini saya juga ingin menekankan bahwa upaya

rehabilitasi dan restorasi tidak cukup hanya dengan diskusi dan

menghasilkan formulasi rumusan saja, tetapi harus ditindaklanjuti secara

sistematis untuk implementasinya. Era pemerintahan sekarang ini adalah

era kerja keras dan berorintasi pada pelaksanaan. Orientasi

pembangunan sebagai agenda prioritas Presiden dan Wakil Presiden

terpilih yang tertuang dalam NAWA CITA, yaitu menghadirkan negara

dalam kehidupan masyarakat kemandirian, mensejahterakan, dan

melakukan revolusi mental. Oleh karena itu format kegiatan rehabilitasi

dan restorasi yang menjadi pokok bahasan hari ini harus dirancang agar

bisa memberikan benefit yang sebesar-besarnya untuk rakyat melalui

peningkatan produktivitas. Upaya rehabilitasi dan restorasi tanpa

dibarengi dengan upaya peningkatan produksi tidak akan pernah berhasil

untuk diaplikasikan, dan justru akan selalu menjadi beban penerintah. Di

sisi lain bila upaya rehabilitasi dan restorasi harus dilaksanakan ditempat

yang terdegradasi, maka kegiatan ini harus dipandang sebagai subsidi

untuk peningkatan produksi.

Para peserta yang berbahagia,

1. Pada kesempatan ini saya ingin mengemukakan fokus kegiatan penelitian

kehutanan yang sejalan dengan cita-cita pemerintahan baru nanti yang

menjadi mandat Badan Litbang Kehutanan beserta jajaran Unit Pelaksana

Teknis di bawahnya yaitu; 1) Energi terbarukan 2) Kedaulatan pangan, 3)

Konservasi dan rehabilitasi, 4) Perubahan iklim, dan 5) KPH.

2. Di sektor energi terbarukan Litbang kehutanan telah menghasilkan IPTEK

yang dikemas dalam bentuk mikrohidro yaitu hasil listrik dari air kepada

masyarakat. Selain itu telah dihasilkan pula biodisel dari tanaman

nyamplung (Callophyllum inophyllum) dan akhir-akhir ini telah dihasilkan

Carbonsphere nano porous untuk baterai lithium sekunder yang

digunakan pada mobil listrik.

3. Di bidang kedaulatan pangan, melalui pendekatan bentang alam yang

terintegrasi (integrated landscape) telah dilakukan riset agroforestry.

Namun riset ini perlu terus ditingkatkan agar diperoleh formula atau

teknologi yang memberikan benefit untuk peningkatan produktivitas

pertanian dan pangan, memperbaiki hutan dan memberikan keuntungan

bagi petani.

4. Selain agroforestry, upaya penangkaran satwa juga dapat dipandang

sebagai kegiatan yang sangat menjanjikan untuk memperkuat

Page 13: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xii

kemandirian pangan, misal penangkaran rusa. Selain rusa, penangkaran

satwa yang prospektif dan relevan untuk SULUT adalah penangkaran

anoa. Untuk memberikan masukan IPTEK kepada masyarakat, maka

dipandang perlu membangun breeding centre of anoa di Balai Penelitian

Kehutanan Manado.

5. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah isu perubahan iklim.

Sektor kehutanan mempunyai peran penting dalam pengurangan laju

degradasi dan deforestasi lahan melalui kegiatan rehabilitasi dan

restorasi. Disamping itu, salah satu upaya yang telah dan sedang

dilakukan oleh Kementerian Kehutanan adalah melakukan moratorium

ijin usaha pengelolaan hutan di hutan primer, dan menata kembali

kawasan hutan yang open akses. Dengan Skema REDD+ yang telah

dilakukan ini diharapkan dapat mengurangi laju emisi sekitar 26 %

dengan kegiatan BAU (Bussines As Usual). Dalam hal ini sektor kehutan

diharapkan dapat menyumbang pengurangan emisi sebesar 14 %. Di

Provinsi Sulawesi Utara dengan kegiatan rehabilitasi dan reklamasi lahan

yang sangat intensif, diharapkan dapat berperan dalam laju penurunan

emisi gas rumah kaca.

Saudara peserta seminar yang kami hormati,

1. Disamping perlunya prioritas kegitan di sektor kehutanan tersebut, maka

orientasi pembangunan kehutanan ke depan harus difokuskan untuk

memfungsikan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai satuan

pengelolaan terkecil. Tujuan KPH adalah tertatanya kawasan hutan

produksi/lindung/konservasi dalam unit-unit kelestarian usaha yang

rasional dan menguntungkan. Jadi, seluruh KPH yang sudah terbentuk

harus didorong oleh semua pihak, menuju pada tujuan yang sama, agar

dapat berfungsi penuh dalam berproses mencapai tujuannya.

2. Bagian yang penting adalah mensejahterakan masyarakat sekitar hutan.

Semua program rehabilitasi hutan dalam kawasan hutan negara dan

diatas lahan rakyat sudah saatnya menggunakan bibit tanaman yang

cepat tumbuh dan bernilai ekonomi tinggi, lebih baik lagi

mengembangkan bibit Tanaman Unggulan Lokal (TUL). Pemerintah

daerah bersama dengan pihak swasta sudah mulai membangun konsep

Industri Kehutanan dan Pemasaran hasil Hutan Terpadu dengan

melibatkan aktif masyarakat.

Page 14: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xiii

3. Dari uraian saya dapat disimpulkan bahwa, kegiatan rehabilitasi dan

restorasi di kawasan hutan di Provinsi Sulut harus menjadi kegiatan pra

kondisi yang memungkinkan upaya lain dapat berjalan dengan baik, dan

memberikan manfaat bagi rakyat. Dengan prakondisi yang berupa

pemulihan kawasan hutan, dan dilakukan pada kawasan KPH, saya yakin

sektor kehutanan di provinsi ini akan dapat memberikan manfaat yang

sebesar besarnya bagi masyarakat.

Peserta yang berbahagia,

Akhirnya dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohim, seminar ini

secara resmi saya nyatakan dibuka. Selamat berdiskusi dan berkarya,

semoga seminar ini berlangsung dengan baik dan lancar.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kepala Badan Litbang Kehutanan TTD Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, MSc

Page 15: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xiv

SAMBUTAN

KEPALA DINAS KEHUTANAN SULAWESI UTARA

PADA SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI HUTAN

MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA

MANADO 9 OKTOBER 2014

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang terhormat:

1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

2. Para Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan lingkup

Kementerian Kehutanan

3. Para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan

4. Para Akademisi

5. Para Pimpinan Perusahaan di Bidang Kehutanan

6. Para Pejabat Struktural dan Fungsional

7. Para Tamu Undangan dan Peserta Seminar yang berbahagia

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua

Syallom,

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah

SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita semua dapat

bersama-sama hadir dalam seminar “Rehabilitasi dan Restorasi

Kawasan Hutan Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara”.

Hadirin yang berbahagia,

Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya terlebih dulu mengucapkan

selamat datang di Provinsi Sulawesi Utara, tanah nyiur melambai yang indah

kepada semua peserta seminar, pemakalah, dan semua hadirin yang saya

hormati.

Peserta seminar yang saya hormati,

Saya sangat mengapresiasi seminar ini yang diselenggarakan dalam

menyongsong ulang tahun emas Provinsi Sulawesi Utara tercinta ini. Seperti

kita ketahui bersama, Provinsi Sulawesi Utara telah banyak melakukan

pembangunan wilayah yang tentunya meninggalkan efek negatif terhadap

kawasan hutan baik berupa penurunan luas kawasan hutan, kerusakan

ekosistem dan berkurangnya keanekaragaman hayati yang terkandung di

Page 16: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xv

dalamnya. Penyelenggaraan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan

dilakukan secara terus-menerus dan menjadi salah satu fokus kegiatan

kehutanan untuk menjaga keseimbangan ekologi, khususnya dalam hal

penyedia sumber air, pencegah banjir, tanah longsor, dan sedimentasi.

Rehabilitasi dan restorasi hutan adalah kebutuhan mendesak yang harus

dilakukan untuk memperbaiki kawasan hutan, serta mengembalikan fungsi

hutan sebagai penyangga wilayah beserta ekosistemnya.

Hadirin sekalian yang berbahagia,

Adalah tanggung jawab kita bersama untuk terus menjaga kelestarian alam

ini, salah satunya melalui pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan

lestari yang baik pada saat ini juga telah melibatkan masyarakat sebagai

stakeholder, bukan hanya sebagai obyek semata. Pemberdayaan

masyarakat dalam pengelolaan hutan telah banyak dilakukan di Sulawesi

Utara dan telah mulai menampakkan hasil yang menggembirakan.

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kelestarian kawasan hutan,

meningkatnya luasan kawasan hutan yang telah direhabilitasi adalah tolak

ukur dari awal keberhasilan pengelolaan hutan yang telah kita lakukan. Kita

tentu tidak dapat berpuas diri dengan capaian tersebut, sebaliknya kita

harus terus berjuang untuk meningkatkan pengelolaan kawasan hutan demi

tercapainya kesejahteraan bersama. Pada masa kini, pengelolaan hutan

tidak cukup dilakukan secara tradisional tetapi juga harus dilakukan

penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Para pemakalah yang saya hormati,

Seminar ini merupakan upaya awal dalam pengelolaan kawasan hutan

berbasis IPTEK. Saya berharap, hasil dari seminar ini tidak berhenti pada

tataran diskusi dan perumusan saja, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam

pengelolaan hutan yang sesungguhnya dan dapat dilakukan transfer

informasi berbasis IPTEK tersebut kepada masyarakat umum, khususnya di

Provinsi Sulawesi Utara.

Peserta seminar yang berbahagia,

Ucapan selamat saya ucapkan kepada seluruh panitia pelaksana seminar

dari Balai Penelitian Kehutanan Manado, yang telah mempersiapkan seminar

ini dari awal hingga terselenggara dengan baik pada hari ini. Semoga

seminar ini dapat meningkatkan wawasan dan kerjasama antar lembaga

Page 17: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xvi

dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan

masyarakat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara TTD Ir. Herry Rotinsulu NIP. 19591018 198903 1 007

Page 18: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xvii

RUMUSAN

Dengan memperhatikan arahan Kepala Badan Litbang Kehutanan,

penyampaian materi dari “Keynote speech”, presentasi dan diskusi yang

berkembang dalam persidangan serta saran-saran dari peserta, maka

Seminar yang bertema “REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN

HUTAN MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA” yang

diselenggarakan pada 9 Oktober 2014 di Manado, merumuskan hal-hal

sebagai berikut:

1. Kegiatan rehabilitasi dan restorasi lahan atau kawasan hutan tidak dapat

lepas dari 3 aspek utama yaitu aspek ekologis, aspek ekonomi, dan aspek

sosial budaya.

Aspek ekologis menjadi aspek utama yang perlu diperhatikan. Bagaimana

kegiatan pengelolaan termasuk juga kegiatan rehabilitasi dan restorasi

harus memperhatikan faktor lingkungan, habitat dll.

Dalam kegiatan pembangunan kehutanan selain memperhatikan aspek

ekologis juga harus bisa memberikan efek ekonomi terutama bagi

masyarakat sekitar kawasan. Selama ini kegiatan pembangunan

kehutanan dianggap kurang memberikan dampak yang positif bagi

masyarakat.

Aspek sosial budaya: aspek sosial budaya adalah aspek yang seringkali

dilupakan. Penentuan kebijakan harus melibatkan partisipasi masyarakat.

2. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai tidak perlu membuat institusi baru

tetapi yang diperlukan adalah membangun kesepahaman dari institusi

yang ada. Dengan kata lain pengelolaan harus dilakukan secara terpadu

antara berbagai pihak terkait.

3. Kegiatan rehabilitasi lahan pada areal hutan bekas tambang yang dikelola

oleh perusahaan besar pada umumnya sudah cukup baik dan telah

melakukan tahapan-tahapan rehabilitasi yang sesuai dengan ketentuan.

Yang masih menjadi masalah adalah lahan tambang yang dikelola oleh

perusaan-perusahaan kecil, hal ini mungkin disebabkan oleh biaya yang

cukup besar untuk melakukan rehabilitasi seperti yang disyaratkan.

4. Dalam kegiatan rehabilitasi dan restorasi perlu mengutamakan

pemanfaatan spesies lokal yang mampu beradaptasi dengan lahan

marjinal. Kegiatan rehabilitasi tidak hanya cukup membuat lahan kembali

tumbuh vegetasi tetapi juga harus mampu mengembalikan fungsi dari

lahan atau kawasan tersebut.

Page 19: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xviii

5. Kegiatan produksi pada lahan hutan harus memikirkan fauna yang ada di

dalamnya. Kegiatan pra kondisi menjadi hal yang sangat penting,

sehingga ke depannya kegiatan rehabilitasi dan restorasi mampu

mengembalikan kondisi fauna ke kondisi sebelumnya.

6. Kearifan lokal masyarakat yang positif bisa dimanfaatkan untuk

mendorong kegiatan rehabilitasi dan restorasi kawasan kehutanan.

Kebijakan yang tepat untuk mendorong terimplementasinya

pembangunan kehutanan secara berkesinambungan,hanya dapat

dikembangkan jika didukung oleh informasi yang lengkap terutama

berkaitan dengan perilaku sosial ekonomi dan budaya.

7. Eksplorasi (penebangan/pertambangan) di kawasan hutan perlu

meninggalkan/menyisakan spot-spot lahan yang tidak terganggu agar

proses rehabilitasi dan restorasi kawasan hutan di kemudian hari bisa

berjalan lebih cepat.

8. 4 faktor yang penting untuk diperhatikan dalam kegiatan rehabilitasi dan

restorasi adalah:

a. Kondisi aktual lahan

b. Status hutan

c. Regulasi pemerintah

d. Tata ruang dan perencanaan wilayah

9. Fokus badan litbang kehutanan ke depan adalah menyelenggarakan

penelitian kehutanan yang mendorong pemanfaatan energi baru,

kedaulatan pangan, konservasi dan rehabilitasi, dan perubahan iklim,

sosial ekonomi dan kebijakan. Litbang kehutanan harus punya

sumbangsih terhadap pemecahan masalah tersebut.

10. Dalam hal mendorong pemanfaatan energi baru yang terpulihkan, Badan

Litbang melalui kegiatan penelitiannya telah memperoleh informasi 4

jenis kayu penghasil biomas dengan nilai kalor tinggi yaitu: akor,

kaliandra, gamal dan lamtoro gung. Keempat jenis kayu tersebut dapat

ditanam dilahan kritis di Sulawesi Utara, sebagai tanaman yang sekaligus

mengurangi luasan lahan kritis dan membantu mengurangi krisis energi

yang ada pada saat ini.

Dirumuskan di : Manado

Pada Tanggal : 9 Oktober 2014

Page 20: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

xix

Tim Perumus:

1. Dr. Ir. Johan Rombang, M.Sc.

2. Dr. Nur Sumedi, S.Pi, MP

3. Dr. Fabiola R. Saroinsong, S.P., MAL

4. Ir. Syarif Hidayat, M.Sc.

Page 21: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi

1

Restorasi Ekosistem Hutan1

Martina A. Langi2

I. Latar Belakang dan Rasionalisasi

Berbagai kegiatan “pembangunan” yang memicu terjadinya operasi

pengambilan produk hutan yang tak terkendali, penebangan liar, kebakaran

hutan, invasi dan extensifikasi lahan pertanian, ekstensifikasi fungsi produksi

hutan, perkebunan industri, perladangan berpindah, transmigrasi, operasi

penambangan padatan-minyak-gas ternyata berjalan paralel dengan

terjadinya degradasi atau kemerosotan fungsi hutan, terutama di wilayah

hutan tropis. Explorasi sumber-sumber alam “menemukan” fakta bahwa

hutan mengandung pula potensi industri lain seperti nikel, emas, tembaga,

batubara, timah, minyak, gas, tenaga uap yang tentu saja bersentuhan

dengan kepentingan publik.

Dalam hal ini tak dapat tidak, pengelolaan harus dilakukan secara

terpadu serta “taat ekologis”. Dengan kata lain, perencanaan serta

implementasinya harus komprehensif, dapat dimonitor, dan bertanggung

jawab. Akan tetapi, dalam prakteknya keterpaduan antara berbagai pihak

yang terkait belum juga mencapai bentuk yang optimal dalam aspek

manajerial, apalagi taat azas ekologis. Antar berbagai unit kerja dalam

sektor yang sama pun (sebagai contoh: Kehutanan) masih rentan konflik,

terlebih lagi antar sektor. Inilah salah satu tantangan kita yang nyata.

Sementara itu, degradasi hutan yang mengancam: (a) produktivitas

sandang-pangan-papan; (b) keamanan hidup bermasyarakat dari bencana

lingkungan; serta (c) kenyamanan atas berbagai jasa lingkungan terus

terjadi dalam laju yang memprihatinkan. Beberapa indikator teknis terhadap

permasalahan di atas adalah a.l.

berkurangnya komposisi komunitas hutan secara signifikan;

terjadinya kerusakan/eliminasi fungsi ekosistem;

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Sam Ratulangi Manado,

email :[email protected]

Page 22: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

2 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

bertambahnya limpasan permukaan serta laju erosi tanah yang

mengakibatkan pemiskinan hara tanah, sedimentasi, dan kontaminasi;

berkurangnya biodiversitas spesies lokal;

menurunnya kualitas habitat satwa liar;

menurunnya daya tangkap air hujan;

berubahnya bentangan alam (natural landscape).

Selanjutnya, kondisi lahan yang juga sering ditemui setelah kegiatan

penambangan dalam hutan adalah bukaan hutan yang luas serta

menyebabkan hilangnya fungsi ekologis tajuk dan perakaran yang sangat

penting. Jika dibiarkan, lahan cenderung menjadi marginal sehingga sulit

ditanami. Dampak lainnya adalah berkurangnya biodiversitas (dengan

rusaknya habitat). Tanah akan kehilangan topsoil (dan sub-soil) yang relatif

lebih subur, dan konsekuensinya produktivitas tanah akan semakin

bergantung pada inputs dari luar (pupuk sintetis). Dampak serius lainnya

akibat berbagai kegiatan ekstraksi adalah labilnya tanah, sehingga

memperbesar peluang terjadinya erosi dan longsor, sekaligus memperkecil

peluang survival dari permudaan hutan.

Membuka mata terhadap berbagai dampak destruktif di atas, upaya

pemulihan fungsi-fungsi hutan sudah harus menjadi prioritas. Pada

prinsipnya laju pemulihan harus sedapatnya mengimbangi laju degradasi

fungsi hutan agar kemorosatan yang tak terkendali tidak perlu teralami.

Beberapa bentuk dan metode pemulihan (rehabilitasi, remediasi) ekosistem

hutan telah dikenal dan diimplementasikan dalam skala yang berbeda-beda.

Secara mendasar semua dapat dikelompokkan ke dalam dua pendekatan

yakni yang bersifat Reklamasi serta Revegetasi. Reklamasi melibatkan

kegiatan civil engineering serta berhubungan dengan pemulihan kondisi

tanah hingga cocok untuk ditanami. Adapun revegetasi menginisiasi

tahapan-tahapan ekologis hutan seperti mengakomodasi percepatan suksesi

komunitas hutan; dan termasuk di dalamnya a.l.:

restorasi (penanaman yang menjamin terbentuknya struktur dan fungsi

hutan mendekati kondisi awal)

reboisasi/reforestasi (penghutanan kembali dalam kawasan hutan

negara)

aforestasi (penanaman di luar kawasan hutan negara menggunakan

tanaman hutan)

penghijauan (dilakukan di luar kawasan hutan negara, menggunakan

tanaman umum menurut kebutuhan masyarakat).

Page 23: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi

3

H G F E D C B A

Restorasi dilaksanakan jika kerusakan telah sampai pada taraf struktur

dan fungsi suatu ekosistem, umumnya terjadi akibat operasi penambangan,

peristiwa kebakaran, perambahan, pemukiman, tsunami, gempa, dan

sebagainya. Taruhan atas kegagalan restorasi sungguh besar. Berbagai

FUNGSI hutan yang bernilai vital seperti habitat flora dan fauna, sumber

genetik, kestabilan tanah-air-iklim, gudang keanekaragaman hayati,

topangan dasar bagi kelangsungan sumber daya alam lainnya, jaminan

terhadap berbagai siklus kimia penting untuk kehidupan, dan penarik-

simpan Karbon yang akselerasi emisinya sekarang ini tengah mengancam

peradaban dunia.

II. Implementasi Restorasi Hutan

Inti restorasi adalah mengakselerasi regenerasi alami. Terdapat

beberapa pendekatan seperti penanaman pengayaan (enrichment planting),

penerapan teknik silvikultur yang teruji di tapak yang dituju (site-specific),

pemilihan jenis yang tepat secara ekologis (species-site matching),

akseptabilitas sosial-ekonomi, hingga jejaring profesional yang kesemuanya

akan membangun pendekatan yang tersistem, makro, dan berjangka

panjang. Setidaknya empat faktor berikut layak dipertimbangkan sebelum

upaya restorasi dilakukan:

1) Kondisi aktual lahan setelah suatu operasi atau peristiwa;

2) Status hutan menurut fungsi peruntukannya (lindung, produksi, atau

konservasi);

3) Regulasi pemerintah terbaru (peraturan, kriteria, pedoman, dsb.);

4) Tata ruang dan perencanaan wilayah.

Selanjutnya, kegiatan revegetasi dapat mengikuti prosedur berikut.

A. seleksi jenis lokal

E. teknik penanaman

B. produksi bibit F. pemeliharaan

C. persiapan lokasi G. monitor dan evaluasi

D. pengkondisian tanah

H. pelatihan

Page 24: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

4 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Pertimbangan jenis tanaman. Jenis-jenis pohon/vegetasi lokal sangat

direkomendasikan karena kelompok ini telah teruji adaptasinya terhadap

kondisi tanah serta iklim lokal (Lamb et al. 2005). Demikian pula

ketahanannya terhadap hama dan penyakit setempat. Kompilasi manfaat

lainnya berdasarkan penelitian di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa

penggunaan spesies lokal dapat mengurangi peluang meledaknya populasi

hama dan gulma; sekaligus meminimasi kontaminasi identitas genetik.

Sekalipun demikian, kendala yang sering ditemui mengenai jenis-jenis lokal

adalah terbatasnya informasi ekologis dan teknik silvikultur jenis-jenis

tersebut (dibandingkan dengan jenis-jenis industri komersil yang beredar);

disamping itu bibitnya pun biasanya tidak tersedia di pasar benih.

Sebagai pegangan, dalam pemilihan jenis-jenis tumbuhan lokal,

beberapa hal berikut penting dipertimbangkan:

relatif cepat tumbuh

dapat tumbuh pada cahaya penuh serta tanah minim hara

laju produksi serasah tinggi serta mudah terdekomposisi

dapat berperan sebagai katalis bagi jenis-jenis lain (non alelopati)

mudah memperbanyak diri, dan mudah dikulturkan

low-cost dalam penanaman dan pemeliharaan

pertumbuhan mudah dikelola

sesuai dengan perencanaan hutan (fungsi)

Berikut ini jenis-jenis pohon yang telah teruji dapat ditanam pada

lahan marjinal bekas tambang dengan pH tanah rendah (2,8 – 5,5);

kekompakan tanah tinggi; status hara sangat rendah, CEC rendah, dsb.

(Setiadi 2012).

1. Acacia auriculiformis 19. Eugenia spp. 2. Acacia crassicarpa 20. Eusideroxcylon swagerii 3. Acacia mangium 21. Ficus spp. 4. Agathis spp. 22. Ficus benyamina 5. Aleurites mollucana 23. Fragea fragrans 6. Alstonia scholaris 24. Glyricidia sepium 7. Anthocephalus cadamba 25. Gmelina arborea 8. Antidesma bunius 26. Hevea braziliensis 9. Arenga pinata 27. Hibiscus tiliacues 10. Artocarpus sp. 28. Leucaena leucocephala 11. Cananga odorata 29. Macaranga hypoeleuca 12. Casia turangensis 30. Mallotus spp. 13. Casuarina equisetifolia 31. Melalueca leucadendron 14. Cratoxylon spp. 32. Melastoma spp.

Page 25: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi

5

15. Duabanga mollucana 33. Michelia champaka 16. Dyera constulata 34. Nauclea spp. 17. Enterolobium sp. 35. Octomeles sumatrana 18. Erytrhina spp. 36. Paraserianthes falcataria 37. Parkia roxburgii 42. Tectona grandis 38. Peronema canesten 43. Trema orientalis 39. Sena siamea 44. Tricospermum burretii 40. Shorea spp. 45. Vitex pubecens 41. Syzigium spp.

Pertimbangan media tumbuh. Pelaku restorasi mutlak mengenali serta

mengelola sifat-sifat tanah sebagai media tumbuh.

Sifat fisik tanah menyangkut tekstur (ukuran partikel),

kesarangan/porositas, kedalaman tanah yang dapat dijangkau akar,

kekompakan tanah yang dapat menghambat pertumbuhan akar,

kelengasan (kandungan air), suhu permukaan, dst.

Sifat kimia tanah yang penting dikuasai adalah ketersediaan hara,

reaksi tanah (status pH), kapasitas tukar kation (CEC), mineral

beracun, dsb.

Sifat biologi tanah mencakup tutupan vegetasi, kandungan karbon,

populasi serta aktivitas mikroba tanah.

Perbaikan tanah (soil amendments) selalu dibutuhkan untuk

memperbesar peluang keberhasilan revegetasi dalam berbagai bentuknya.

Tindakan yang terkait di dalamnya a.l. aplikasi tanah organik (topsoil),

pupuk, kompos, lime, humic acid, bio-enzim, bio-remedy, mikoriza, tera

buster/brik untuk memecah tanah. Soil amendments menjadi sangat

strategis dalam setiap upaya restorasi hutan karena secara langsung dapat

memperbaiki:

pengembangan jaringan akar

ketersediaan mineral yang tadinya terikat

kapasitas pertukaran kation

kapasitas penyerapan air

pemanfaatan hara

populasi dan aktivitas mikroba tanah

ketersediaan hara makro.

Selanjutnya “manipulasi” lingkungan dapat dilakukan untuk menjamin

kegiatan mikroba tanah dalam menyediakan hara (makanan) secara

semakin mandiri. Tanah kompak yang didominasi oleh komposisi tanah liat

Page 26: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

6 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

tentu akan membuat akar sulit berkembang; dalam hal ini air mudah

tergenang sehingga akar mudah layu atau membusuk. Cara yang sering

digunakan dalam upaya restorasi adalah teknologi riping atau

penggemburan tanah menggunakan alat mekanik agar tanah menjadi

remah, diikuti dengan pembuatan drainase untuk menghilangkan genangan

air. Penggemburan tanah dapat pula dilakukan secara kimiawi, yakni

dengan menggunakan humid acid (contoh “terrabric”), namun hal ini harus

dilakukan secara seksama mempertimbangkan aspek dosis serta aspek

finansial. Kondisi fisik lainnya yang sering ditemui adalah suhu permukaan

tanah, terutama pada lahan bekas tailing dan surpentin. Kondisi ini sering

mengancam akar tanaman untuk berkembang. Jika ini terjadi maka

penambahan bahan organik sebagai soil conditioner menjadi salah satu opsi

strategis.

Selanjutnya karakteristik kimia tanah menjadi isu penting terutama jika

lahan tersebut merupakan kawasan bekas tambang. Aspek-aspek penting

yang menjadi perhatian adalah keasaman tanah ( kadar pH), CEC, EC, dan

ketersediaan hara. Ketika keasaman tanah tinggi, banyak unsur penting

berada dalam keadaan terikat sebagai senyawa (tidak “siap pakai” oleh

perakaran). Penambahan zat kapur (phoelime dll.) dapat dilakukan jika

dana memungkinkan, cara lainnya yang lebih terjangkau adalah penggunaan

terra buster. Selain dapat menghemat biaya, penggunaannya lebih fleksibel

dan langsung ke sasaran misalnya dapat langsung diaplikasikan di daun atau

bagian tanaman lainnya. Pendekatan lainnya adalah dengan menanam

jenis-jenis pionir yang tahan asam seperti johar dan bungur.

CEC/KTK. Standar nilai CEC yang ideal adalah 16. Sehingga jika bekas

tambang akan direstorasi maka salah satu usaha yang dilakukan adalah

dengan memperbaiki KTK nya. Peningkatan nilai KTK melalui penambahan

bahan organis, menambah mineral tanah, dan menggunakan geolite. Jika

semua usaha di atas tidak memungkinkan, maka dapat mengggunakan terra

buster yang dapat menyebabkan tanah dengan CEC sangat rendah pun

dapat mengikat pupuk yang diberikan (tidak loss).

Guna menumbuhkan tanaman dalam kegiatan restorasi keberadaan

unsur hara esensial sangat penting dan keberadaaannya harus terjamin,

seimbang, dan kontinu. Unsur hara esensial tidak bisa digantikan dengan

unsur yang lain, a.l. N yang terdapat dalam urea (NO3= dan NH4-), unsur P

dalam TSP dalam bentuk PO4+ dan HPO4-, K dalam KCl (K+, Cl=), Ca+,

Mg+, Ni+,Cu+, Z+, dan S. Keberadaan unsur-unsur tersebut harus kontinu,

untuk itu keberadaan mikroba menjadi vital. Saat ini terdapat mikroba yang

Page 27: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Restorasi Ekosistem Hutan……. Martina A. Langi

7

diproduksi bukan di alam yaitu “terra remed” yang merupakan bahan

organik mengandung mikroba dan stimulannya.

Kriteria keberhasilan. Keberhasilan upaya restorasi hutan dapat dilihat

melalui berbagai indikator seperti tingginya laju seedling survival (di atas 80

%); pertumbuhan normal dan tidak terinterupsi; jaringan perakaran tumbuh

meluas; penutupan tajuk relatif cepat, berstratifikasi, dan beragam;

tingginya produksi serta dekomposisi serasah; permudaan terjadi secara

alami; terbentuknya habitat yang memadai untuk wildlife; lahan stabil,

aman, serta minim erosi [lihat skema berikut].

KEMAMPUAN

BERADAPTASI

KEBERLANJUTAN

STRUKTUR

TEGAKAN

KESTABILAN

LAHAN

• keberhasilan

pertumbuhan

semai > 80 %

• pertumbuhan

umum: normal

dan berlanjut

• pengembangan

akar: ekstensif

• biodiversitas (index

shannon, species

richness)

• kolonisasi alami

(kelimpahan)

• konservasi hara

(dekomposisi

serasah)

• wildlife status

(species richness)

• kerapatan

tanaman: 800-

1000/ha

• struktur tajuk:

3-5 strata

• tutupan tajuk:

60-70 %)

• komposisi jenis:

pioner 40 %,

primer 50 %,

wildlife 10 %

• kelerengan:

<300

• status erosi: di

bawah standar

minimal

setempat

• kestabilan

lahan:

terkendali

Aspek legal pelaksanaan. Hal ini merupakan langkah yang tak kalah

penting, legalitas kawasan yang akan direstorasi harus dipastikan, demikian

pula aksesibilitas. Pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan

berdasarkan Permenhut Nomor P.60/Menhut-II/2009 masih mengacu pada

aspek penataan lahan, aspek erosi dan sedimentasi, serta aspek revegetasi

dan penanaman pohon. Sebelumnya dikenal pula Peraturan Menteri

Kehutanan P.03/Menhut-V/2004 tentang formulasi kebijakan dan

kelembagaan yang meliputi pembatasan penggunaan sumberdaya lahan

melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek

penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; pengaturan

kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta

menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat

Page 28: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

8 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. Selanjutnya

kebijakan lainnya yang terkait dengan restorasi hutan a.l.

PP 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

PP 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.

PerMenHut (revisi) no. 18 tahun 2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai

Kawasan Hutan.

PerMenHut (revisi) no 4 tahun 2011 tentang Pedoman Reklamasi.

PerMenhut no 60 tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan

Reklamasi Hutan.

PerMenESDM no 18 tahun 2008 tentang Rencana Reklamasi dan

Rencana Penutupan Tambang

Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Dan Perhutanan Sosial Nomor : P. 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk

Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis

DAFTAR PUSTAKA Kartawinata, K., S. Riswan, A.N. Ginting, dan T. Puspitojati. 2001. An Overview of

Post-Extraction Secondary Forest in Indonesia. Center for Social Economic Research and Development, Forest Research and Development Agency (Forda), Ministry of Forestry Indonesia.

Lamb, D., P.D. Erskine, and J.A. Parrotta. 2005. Restoration of degraded tropical forest landscapes. Science 310:1628-1632.

Sayer, J., U. Chokkaligam, dan J. Poulsen. 2011. The restoration of forest biodiversity and ecological values. Springer, Berlin.

Setiadi, Y. 2012. Rehabilitat [presentation material]. Fakultas Kehutanan IPB,

Page 29: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

9

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan Pemanfaatannya

Bagi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe

Lolobata1

Lis Nurrani dan Supratman Tabba2

ABSTRAK

Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) merupakan kawasan dengan

potensi keragaman hayati yang tinggi baik jenis-jenis pohon komersial maupun

fauna yang eksotik dan endemik serta keberadaan Hasil Hutan Bukan Kayu

(HHBK). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang

dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan kontribusinya terhadap

pendapatan masyarakat. Kajian ini juga mengidentifikasi kebijakan-kebijakan

dalam pemanfaatan HHBK. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu

pengamatan lapangan, wawancara dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan

terhadap tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN, Kepala Desa,

Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara purposive random

sampling. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa HHBK yang berkontribusi secara

signifikan terhadap pendapatan masyarakat yaitu penyadapan getah Agathis

dammara dan budidaya Myristica fragrans. Jenis HHBK yang intensif

dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain sagu (Metroxylon sagoo), daun woka

(Livistona rotundifolia), talas (Xanthosoma sp.), rotan (Calamus sp.), bambu

(Bambusa spp.), pandan (Pandanus sp.) dan tumbuhan obat. Kebijakan terkait

pemanfaatan HHBK antara lain TNAL mengizinkan masyarakat memanfaatkan

getah A. dammara karena dianggap tidak merusak lingkungan, melaksanakan

sosialisasi mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari. Selain ini melaksanakan

kursus pencegahan kebakaran dan membentuk masyarakat peduli api

mengingat habitat A. dammara sangat rentan terhadap kebakaran serta usulan

zona tradisional terhadap sebagian wilayah yang terdapat potensi dan

pemanfaatan HHBK.

Kata kunci: HHBK, kebijakan, Taman Nasional Aketajawe Lolobata

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan

Mapanget Kota Manado; Telp (0431) 3666683 email : [email protected]

Page 30: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

10 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

I. PENDAHULUAN

Kekayaan sumber daya alam hayati Taman Nasional Aketajawe

Lolobata (TNAL) tidak hanya terbatas pada potensi jenis-jenis pohon

kemersial dan keragaman faunanya saja. Kawasan ini juga menawarkan

wisata budaya dan pengetahuan tradisional, dimana TNAL merupakan

tempat bagi komunitas tradisional Suku Togutil dalam menjalani kehidupan.

Suku Togutil adalah komunitas masyarakat berkarakteristik unik namun

memiliki eksotisme budaya dan kearifan lokal dalam mempertahankan

kelestarian TNAL (Nurrani dan Tabba, 2011). Selain itu pada kawasan ini

juga terdapat potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat beragam

jenisnya. Umumnya sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar

TNAL memanfaatkan beragam jenis HHBK untuk berbagai keperluan.

Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TNAL masih sangat

tinggi khususnya pada pemanfaatan hasil hutan kayu, perburuan satwa liar

dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (Nurrani dan Tabba, 2013).

Keberadaan TNAL sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat yang

ada disekitarnya, sebab kawasan ini menjadi peyangga kehidupan. Sebagian

besar masyarakat sangat mengantungkan hidupnya pada kekayaan hayati

TNAL berupa HHBK, umumnya sumber daya tersebut dikonsumsi sendiri

namun pada jenis-jenis tertentu ada yang dijual.

Potensi besar yang terkandung pada kawasan dan belum teridentifikasi

dengan baik menyebabkan pengelolaan HHBK cenderung masih terabaikan,

disisi lain karena banyaknya jenis sehingga sulit menentukan prioritas

pengelolaan. Hal ini penting dilakukan untuk kelestarian kawasan konservasi

mengingat pengalihan energi manusia dari pola merusak hutan ke

pengelolaan HHBK akan mereduksi tekanan dan hambatan pada pemulihan

hutan (Prayitno, 2009). Penelitian ini dilakukan pada kawasan TNAL dengan

tujuan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang banyak dimanfaatkan untuk

pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kontribusinya terhadap pendapatan.

Selain itu kajian ini untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dalam

pemanfaatan HHBK.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada TNAL yang keselurahan arealnya

merupakan wilayah kawasan Hutan Aketajawe di Provinsi Maluku Utara.

Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada Hutan Akejawi di Desa

Page 31: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

11

Akejawi Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur yang

merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah III

Subaim. Dua Sampel lainnya yaitu Hutan Bukit Durian di Desa Gosale

Kecamatan Oba Utara dan Hutan Tayawi di Dusun Tayawi Desa Koli

Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan yang merupakan wilayah Seksi

Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Weda. Penelitian ini dimulai

dengan kegiatan survei pada bulan April serta pelaksanaan pada Bulan Juni

dan Oktober 2013.

Gambar 1. Lokasi penelitian

B. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan TNAL,

peta indikatif usulan zonasi. Alat yang digunakan antara lain, GPS, tally

sheet, kamera, plaging tab, kuesioner, papan data, baterai A2, baterai A3,

spidol permanen, dan alat tulis menulis.

C. Rancangan Penelitian

Jenis-jenis data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu

kombinasi teknik observasi (pengamatan lapangan), wawancara secara

mendalam (indepth interview), dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan

terhadap beberapa tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN,

Kepala Desa, Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara

purposive random sampling. Data primer yang diperlukan antara lain Potensi

Page 32: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

12 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

HHBK yang terdiri dari jenis dan manfaat. Serta mengidentifikasi kebijakan

terkait HHBK dari institusi pemangku kawasan maupun pemerintah desa.

Studi literatur digunakan untuk mendapatkan data sekunder yang

mendukung data primer dari sumber-sumber yang akurat dan terpercaya.

Dokumentasi data dilakukan dengan tally sheet untuk mengarahkan proses

kerja di lapangan serta memudahkan pengendalian data.

D. Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana data potensi

dan nilai jual ditabulasi serta interaksi masyarakat dianalisis secara

deskriptif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pemanfaatan HHBK Oleh Masyarakat

1. Pengolahan Sagu

Sagu (Metroxylon sagoo) merupakan potensi HHBK yang menjadi

primadona masyarakat Maluku sejak dahulu kala. Olahan makanan yang

umum dikonsumsi oleh masyarakat dari bahan dasar sagu antara lain

popeda, roti sagu (sagu lempeng) dan berbagai jenis penganan tradisional

Maluku Utara. Sagu menjadi bahan makanan pokok masyarakat Maluku

Utara terutama bagi mereka yang bermukim di wilayah pedesaan. Menurut

masyarakat bahwa meski mengkonsumsi banyak nasi namun hal tersebut

tidak akan mengeyangkan seperti halnya ketika mengkonsumsi makanan

dari olahan sagu. Jika tidak mengkonsumsi sagu masyarakat merasa tidak

memiliki energi cukup untuk beraktivitas dan terasa lebih cepat lelah serta

lemas ketika sedang bekerja. Dengan kata lain energi yang dihasilkan dari

mengkonsumsi sagu lebih tinggi dibandingkan dengan bahan karbohidrat

lainnya.

Selain dikonsumsi sendiri sagu dan produk olahannya juga dijual oleh

masyarakat, 1 kg sagu tumang dijual dengan harga Rp. 24.000 dan untuk 5

buah sagu lempeng dijual seharga Rp. 7.500 – Rp. 10.000. Sagu umum

ditemukan pada wilayah Maluku Utara khususnya pada Pulau Halmahera,

sagu merupakan jenis penghuni habitat hutan rawa. Pada kawasan TNAL

jenis ini biasanya ditemukan di sepanjang aliran sungai atau wilayah yang

memiliki kandungan air berlebih. Sagu merupakan salah satu jenis HHBK

yang intensif dipanen pada wilayah Tayawi, sebab sagu adalah makanan

pokok bagi Suku Togutil dan masyarakat asli Pulau Halmahera lainnya.

Umumnya jenis ini tumbuh berumpun dengan stratum yang jelas dari

anakan hingga tingkat yang lebih besar dan telah siap panen. Sagu

Page 33: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

13

termasuk jenis famili palem yang mudah untuk dibudidayakan dan

dikembangbiakkan. Menurut Miftahorrachman et al. (1996) terdapat

sedikitnya lima jenis sagu yang diketahui tumbuh di Kepulauan Maluku yaitu

tuni, ihur, makanora, duri rotan dan molat.

Gambar 2. Sagu dan makanan tradisional olahannya

Sagu merupakan sumber karbohidrat dan bahan makanan tradisional

suku asli Pulau Halmahera. Tanaman khas asal Maluku ini potensial untuk

dikembangkan bukan hanya sebagai komoditi nasional tapi juga

internasional. Menurut Rostiwati et al. (2008) sebaran terluas hutan alam

sagu di Indonesia berada di Provinsi Papua dan Maluku, yang merupakan

pusat keragaman tertinggi di dunia. Selain sebagai bahan pangan

tradisional, sagu juga berpotensi sebagai bahan baku energi biomassa,

dimana teknologi pengolahan bioethanol sagu telah banyak dan berhasil

dikembangkan oleh berbagai pihak.

2. Pemanfaatan Daun Woka

Woka adalah sebutan lokal masyarakat Maluku Utara untuk jenis Palem

Serdang (Livistona rotundifolia Mart). Woka merupakan salah satu jenis

palem dari famili Arecaceae dan masuk ke dalam ordo Arecales. Beberapa

sinonim nama daerah Woka antara lain dalam bahasa Jawa dikenal dengan

sebutan Serdang dan pada komunitas masyarakat Ambon disebut Salbu.

Secara morfologi woka dewasa nampak kokoh dengan batang lurus dan

besar, berwarna coklat, serta memiliki pelepah yang jatuh seperti pada

pelepah kelapa. Tinggi total bisa mencapai hingga 25-30 m, bentuk daun

membulat dengan pelepah daun bagian tepi berduri kasar dan berada pada

sisi-sisi pelepah tangkai daun. Woka umum ditemukan pada Kawasan TNAL,

jenis ini hidup diberbagai habitat dan tipe ekosistem dari hutan dataran

tinggi hingga hutan dataran rendah.

Page 34: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

14 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Daun woka adalah HHBK yang sangat intensif dimanfaatkan dan lazim

digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Maluku Utara. Daun

ini banyak dipergunakan untuk membungkus makanan, bahan dasar atap

rumah ataupun untuk keperluan lainnya. Untuk membungkus makanan

biasanya menggunakan daun muda karena pada kondisi tersebut daun

masih sangat elastis dan anti lengket. Selain itu, daun woka juga dapat

dibuat sebagai media tempat makan atau piring tradisional yang

dipergunakan oleh petani pada saat berkebun ataupun pada saat masuk

hutan.

Berdasarkan informasi dari Masyarakat Akejawi bahwa daun woka

dipergunakan sebagai media tempat makan ketika pelaksanaan ritual adat

budaya masyarakat di Maluku Utara. Selain itu daun woka yang telah

dibentuk seperti mangkuk tersebut juga digunakan sebagai wadah untuk

menyajikan berbagai hidangan makanan saat prosesi ritual adat

berlangsung. Kondisi yang sama juga dapat dilihat ketika pelaksanaan

hajatan besar seperti syukuran dan pesta resepsi pernikahan. Sedangkan

pada masyarakat Desa Gosale daun woka biasanya dipergunakan sebagai

media untuk mengangkut potongan daging satwa hasil buruan dari dalam

hutan.

Gambar 3. Morfologi woka dan pemanfaatannya

Bagi Suku Togutil Tayawi daun woka memiliki peran vital dalam

kehidupan sehari-hari, daun ini diperuntukkan sebagai atap rumah

tradisional. Daun ini juga digunakan sebagai bahan dasar dinding, media

untuk memasak, media makan, media minum dan sebagai media untuk

mengangkut hasil buruan. Selain itu daun ini juga dapat digunakan sebagai

payung tradisional untuk berlindung dari hujan ketika berada didalam hutan.

Daun Woka merupakan HHBK multiguna yang umum digunakan oleh

Page 35: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

15

masyarakat Sulawesi Utara sebagai pembungkus makanan khususnya

jajanan nasi kuning dan kue dodol (Tabba dan Nurrani, 2012).

3. Talas

Talas termasuk kategori tumbuhan bawah yang umum ditemukan pada

Desa-desa di sekitar zona peyangga TNAL. Tumbuhan ini bahkan dapat

ditemukan tumbuh di sekitar pemukiman Masyarakat Akejawi dan

Masyarakat Suku Togutil Tayawi. Terdapat dua jenis talas yang umum

ditemukan pada wilayah TNAL yaitu Colocasia esculenta dan Xanthosoma

sp. Talas digunakan sebagai bahan makanan tradisional pengganti

karbohidrat seperti halnya sagu oleh masyarakat Pulau Halmahera. Biasa

talas direbus dan disajikan sebagai makanan saat sarapan dan cemilan di

sore hari, sedangkan bagi masyarakat Suku Togutil talas termasuk salah

satu makanan pokok. Olahan lain dari talas yang menjadi kegemaran serta

kebiasaan masyarakat yaitu dibuat kolak dan kripik.

Batang Talas Colocasia esculenta dimanfaatkan oleh masyarakat Suku

Duri di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan sebagai sayur, namun

pengolahannya memiliki teknik khusus sebab jika salah mengolah maka

sayur tersebut akan terasa gatal. Colocasia esculenta memiliki potensi besar

untuk digunakan sebagai bahan pangan alternatif, seperti di Wamena Papua

digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan mie (Yulifianti dan

Ginting, 2013).

4. Tumbuhan Obat Tradisional

Berdasarkan hasil penelitian teridentifikasi sebanyak 81 jenis tumbuhan

hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan

tradisional. Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, 20 jenis pada

Desa Akejawi dan 46 jenis pada Dusun Tayawi (Nurrani et al., 2013).

Umumnya tumbuhan tersebut digunakan untuk pengobatan alergi dan luka

ringan (29 jenis); penyakit dalam dan peningkatan stamina tubuh (47 jenis);

penyakit kronis (12 jenis); serta penyakit akibat kekuatan mistik (3 jenis).

5. Buah-Buahan dan Sayuran

Kawasan TNAL juga menjadi sumber penghasil buah-buahan dan

sayuran bagi masyarakat. Sebagai tumbuhan penghasil protein nabati,

sayuran digunakan untuk konsumsi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun

tidak jarang beberapa jenis sayuran seperti rebung bambu (Bambusa sp.),

kangkung (Ipomoea reptans), daun kasbi (Mannihot utilisima), daun batatas

(Ipomoea batatas) dan daun paku (Pterophyta sp.) diperjualbelikan oleh

Page 36: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

16 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

masyarakat. Beberapa pasar tempat memperjualbelikan sayuran tersebut

yaitu pasar tradisional binagara di sekitar pemukiman Desa Akejawi dan

pasar woda di sekitar pemukiman Masyarakat Tayawi.

Tumbuhan paku merupakan herba yang banyak tumbuh dalam

kawasan hutan dan sangat sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai

menu sayuran. Saat ini kebutuhan akan sayuran dari tumbuhan paku hanya

dapat diperoleh dari habitat alaminya di hutan. Tingginya minat masyarakat

terhadap sayuran tumbuhan paku sangat memungkinkan untuk segera

mengkaji mengenai prilaku jenis ini di alam,. Sehingga nantinya tumbuhan

paku dapat didomestikasi dan dikembangkan melalui teknik budidaya pada

lahan-lahan masyarakat agar dalam pemanfaatannya tidak perlu lagi

mengambil dari hutan (Oka dan Suhartono, 2014).

Masyarakat juga seringkali memanfaatkan buah-buahan seperti langsat

(Lansium domesticum), rambutan (Nephelum lappaceum) dan matoa

(Pometia pinnata) yang tumbuh pada daerah peyangga dan Kawasan

Tayawi. Selain untuk dikonsumsi sendiri dalam skala rumah tangga,

umumnya buah-buahan juga diperdagangkan pada pasar tradisional.

Gambar 4. Tumbuhan paku dan menu olahannya

6. Jenis HHBK Potensial Lainnya

Beberapa jenis HHBK yang sering kali dimanfaatkan oleh masyarakat

yaitu rotan (Calamus sp.), bambu (Bambusa spp.) dan pandan (Pandanus

sp.). Rotan banyak dicari oleh masyarakat di tiga lokasi penelitian untuk

digunakan sebagai tali pengikat rumah dan perabot rumah tangga lainnya.

Selain digunakan sebagai tali masyarakat juga biasa memanfaatkan batang

rotan sebagai alat pemikul, karena jenis ini termasuk kategori keras namun

cukup lentur serta dibuat keranjang pengangkut (bika). Bambu

dimanfaatkan untuk membuat kerajinan alat rumah tangga seperti penapis

beras (susiru), ayakan untuk proses pembuatan sagu dan alat pengikat atap

Page 37: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

17

rumbia. Sedangkan daun pandan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan

baku kerajinan, peyadan dan pembungkus makanan serta dianyam untuk

keperluan atap rumah.

B. Nilai Ekonomi HHBK Bagi Masyarakat

1. Penyadapan Getah Kopal

TNAL merupakan wilayah di Provinsi Maluku Utara yang menjadi habitat

alamiah dan penyebaran Agathis dammara (Lambert) L.Rich, potensi

tersebut berada pada wilayah Hutan Bukit Durian dan Hutan Tayawi.

Menurut Nurrani et al. (2014) Potensi A. dammara pada hutan bukit durian

sangat besar dengan kerapatan pohon berdiameter ≥ 20 cm dbh mencapai

± 86 pohon/ha di Hutan Bukit Durian, sedangkan kerapatan pohon di Hutan

Tayawi mencapai ± 37 pohon/ha. Hasil perhitungan INP pohon A. dammara

di Hutan Bukit Durian sebesar 56,47 %, kondisi ini didukung dengan

dominasi jenis sebesar 33,96 %, Frekuensi relatif 9,52 % dan Kerapatan

relatif 12,99 %. Sedangkan untuk hutan tayawi Dominasi A. dammara

sebesar 24,28 %, frekuensi relatif 12,50 %, kerapatan relatif 12,23 % dan

nilai INP sebesar 49,01 %.

Tingginya potensi A. dammara dimanfaatkan oleh dua komunitas

masyarakat berbeda sebagai sumber mata pencaharian yaitu Masyarakat

Desa Gosale di wilayah Hutan Bukit Durian dan masyarakat tradisional Suku

Togutil di wilayah Hutan Tayawi. Penyadapan dan pemanfaatan getah kopal

telah dilakukan dari sejak dahulu kala bahkan teknologi yang saat ini

masyarakat lakukan merupakan warisan dari para leluhur mereka. Kopal

merupakan sebutan untuk produk akhir dari getah yang disadap dari batang

tegakan A. dammara. Atas dasar itulah sebagian Masyarakat Gosale

mengklaim bahwa A. dammara yang berada di Hutan Bukit Durian

merupakan tempat leluhur mereka mencari nafkah dan saat ini secara

otomatis menjadi warisan terun temurun terhadap mereka.

Penyadapan getah damar memberikan kontribusi yang cukup signifikan

terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Dari penjualan getah damar,

masyarakat Gosale memperoleh keuntungan antara Rp.18.900.000-

Rp.37.800.000 per tahun. Artinya bahwa keuntungan tersebut memberikan

kontribusi sebesar 57,80 % - 86,22 % terhadap pendapatan total

masyarakat. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil hasil penjualan getah

damar berkontribusi sebesar 11,77 % - 30,17 % dari pendapatan total

masyarakat. Artinya bahwa masyarakat memperoleh keuntungan rata-rata

Page 38: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

18 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Rp. 7.200.000-Rp. 43.200.000 pertahun dari hasil penjualan getah kopal

(Tabba dan Nurrani, 2014).

Gambar 5. Getah kopal hasil sadapan

2. Budidaya Pala (Myristica fragrans)

Pala adalah salah satu komoditi pertanian unggulan yang

dibudidayakan oleh masyarakat pada lahan-lahan perkebunan di wilayah

Desa Gosale. Jenis ini menjadi primadona dan sumber pendapatan

penopang kebutuhan ekonomi masyarakat Gosale karena penguasaan

terhadap teknologi pembudidayaannya. Pala adalah tumbuhan asli

Kepulauan Maluku (Pulau Banda) yang tumbuh dengan baik di daerah tropis

pada ketinggian di bawah 700 m dpl, beriklim lembab dan panas, curah

hujan 2.000-3.500 mm tanpa mengalami periode musim kering secara nyata

(Nurdjannah, 2007). Pala termasuk salah satu jenis potensial yang

dikembangkan oleh sekitar 88,89 % masyarakat Desa Woda dengan sistem

penggunaan lahan kebun campuran (Nurrani et al., 2012). Dimana wilayah

tersebut merupakan daerah peyangga kawasan TNAL dan masyarakatnya

adalah suku asli Pulau Halmahera.

Gambar 6. Buah dan fuli pala

Saat ini harga pala berdasarkan satuan harga pasar di Kota Ternate

mencapai harga Rp 140.000/kg untuk buah pala kering sedangkan fulinya

Page 39: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

19

mencapai kisaran harga Rp. 170.000-180.000/kg. Lahan masyarakat dengan

luas 1 ha mampu menghasilkan buah pala sebanyak 150-200 kg dengan

rata-rata umur pala antara 30-35 tahun. Sedangkan dalam 100 kg buah pala

kering akan menghasilkan 25-30 kg fuli, dengan demikian pemanfaatan

HHBK pala memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan masyarakat.

Tabel 1. Harga Jual Pala

No Produk Pala Berat (kg) Harga Pasar (Rp)

1 Buah Mentah 1 30.000

2 Buah Kering 1 140.000

3 Fuli 1 170.000-180.000

Sumber : Analisis Data Primer 2014

C. Potensi dan Prospek Pengembangan Gaharu

Gaharu merupakan HHBK yang telah dikenal secara luas dikalangan

masyarakat Indonesia bahkan komoditi ini menjadi salah satu produk

berkelas dunia. Potensi tegakan penghasil Gaharu pada TNAL banyak

ditemukan pada wilayah Hutan Akejawi, adapun jenis yang teridentifikasi

yaitu Aquilaria filarial Oken. Menurut Sumarna (2002) terdapat sekitar 16

jenis pohon yang dapat menghasilkan gaharu di Indonesia, enam jenis

tumbuh di wilayah Maluku dan tiga jenis diantaranya yang berkualitas baik

yaitu Aquilaria malaccensis, Aquilaria filarial dan Aetoxylon sympethallum

Berdasarkan analisis potensi diketahui bahwa pada tingkatan pohon,

tegakan penghasil gaharu telah langka bahkan sudah sulit ditemukan.

Namun potensi tersebut sangat dominan pada tingkatan tiang, pancang, dan

semai. Meski pada tingkatan tiang telah dapat memproduksi gaharu, namun

menurut masyarakat hasil produksinya tidak maksimal. Secara umum

karakteristik pemanfaatan komoditas HHBK oleh masyarakat di Desa Akejawi

dapat dilihat pada Tabel 2.

Ketika gaharu masih intensif dipanen biasanya masyarakat masuk

hutan satu bulan sekali untuk mencari gaharu kemudian memasarkannya

pada pengepul di Kota Ternate. Berdasarkan informasi masyarakat hingga

kini masih ada kelompok masyarakat tertentu yang masuk hutan untuk

mencari gaharu. Kelompok tersebut berasal dari luar Desa Akejawi dan akan

masuk hutan apabila ada pesanan khusus, sehingga intensitas masyarakat

pemanen gaharu tersebut sangat sulit untuk ditemukan. Lokasi pencaharian

gaharu pun sangat jauh kedalam kawasan, karena untuk memperoleh hasil

sesuai target pesanan harus memasuki kawasan primer selama berhari-hari.

Page 40: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

20 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Tingginya potensi tegakan penghasil gaharu pada kawasan TNAL

sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan pengembangan jenis baik

dari sisi teknologi maupun budidaya. Pengembangan tersebut diperuntukkan

sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bermukim

disekitar kawasan nantinya. Selain itu mendorong masyarakat untuk

melakukan pembudidayaan gaharu pada lahan-lahan tidur dan areal tidak

produktif di wilayah-wilayah penyangga kawasan. Kegiatan ini diharapkan

akan menjadi media pengalihan bagi masyarakat agar tidak melakukan

aktivitas negatif ke dalam kawasan TNAL.

Peningkatan teknologi berkaitan dengan okulasi gaharu yang lebih

modern untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal perlu

disosialisasikan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat metode

pemanenan akhir gaharu dengan cara ditebang. Sosialisasi tersebut

dipandang penting sebab jika potensi gaharu tersebut nantinya telah siap

panen maka masyarakat telah memperoleh cara-cara pemanenan yang lebih

konservatif. Melalui metode tersebut produksi gaharu diharapkan lebih

meningkat dengan hasil yang lebih maksimal, selain itu kuantitas dan

kualitas gaharu yang dihasilkan akan lebih banyak serta sortimen-sortimen

pemanenan yang akan terbuang dapat diminimalkan.

Bagi masyarakat Akejawi tumbuhan berkhasiat obat adalah sisi lain dari

manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan. Masyarakat

melakukan pengambilan tumbuhan pada saat sakit saja dan sesuai dengan

kebutuhan hingga sembuh. Metode pengambilannya pun sangat selektif

yaitu dengan cara dipetik, dikikis dan dipotong sesuai bagian tumbuhan

yang berkhasiat sebagai obat.

Page 41: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

21

Tabel 2. Karakteristik pemanfaatan HHBK oleh Masyarakat Akejawi

No Lokasi Bagian

yang

diman-

faatkan

Lokasi

Pemanfaatan

Frekuensi

pengam-

bilan

Volume

produksi per

tahun

Harga

(Rp/kg)

Metode

pemanfaatan

(ekstraksi –

pengolahan)

Jenis

produk

akhir yang

dihasilkan

Biaya

ekstraksi,

budidaya,

pengolahan

Sistem

pema-

saran

Permasa-

lahan, isu

di sekitar

terkait

pelesta-

rian HHBK

1. Hutan

Akejawi

Gaharu Hutan sekitar

Akejawi

1 bulan

sekali

Pohon

gaharu

sudah sulit

ditemukan,

yang ada

tinggal

anakan

yang belum

menghasil-

kan

- Tebang dan

potong

Bagian

kayu yang

mengan-

dung

gaharu

- Penge-

pul dari

ternate

Potensi

pohon

gaharu

telah

langka

bahkan

sulit

ditemui

Tumbu-

han obat

Hutan sekitar

Akejawi

Jika

dibutuh-

kan

(sakit)

saja

Sesuai

kebutuhan

hingga

sembuh

- Petik, kikis

dan potong

Bagian

tumbuhan

yang

berkhasiat

sebagai

obat

- - -

Sumber : Analisis data primer tahun 2013

Page 42: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

22 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

D. Kebijakan Pemanfaatan Dan Pengelolaan HHBK

Kebijakan terkait pemanfaatan dan pengelolaan HHBK sangat penting

dilakukan mengingat tingginya intensitas masyarakat dalam

memanfaatkannya. Hal ini dipandang penting agar potensi tersebut dapat

dikelola secara berkelanjutan dan mencegah terjadinya eksploitasi secara

berlebihan serta membatasi ruang gerak bagi oknum-oknum yang tidak

bertanggung jawab dalam mengelola HHBK di alam. Dengan demikian

diharapkan tercapainya tujuan pengelolaan kawasan konservasi secara

lestari dan meningkatnya taraf hidup masyarakat yang bermukim

disekitarnya. Secara umum kebijakan terkait pengelolaan HHBK yang

teridentifikasi dilapangan berasal dari institusi pengelola TNAL dan

pemerintah Desa setempat.

1. Kebijakan Institusi TNAL

Terhadap pemanfaatan HHBK yang dilakukan oleh masyarakat, Balai

TNAL sebagai institusi yang diberi kewenangan terhadap pengelolaan

kawasan telah melakukan beberapa alternatif solusi agar masyarakat

mendapat manfaat tanpa melakukan pengrusakan kawasan. Pimpinan TNAL

mengeluarkan kebijakan untuk mengizinkan masyarakat memanfaatkan

getah damar karena diasumsikan bahwa kondisi tersebut tidak merusak

lingkungan kawasan (tidak menebang pohon). Selain itu Balai TNAL telah

menyusun zonasi kawasan dimana sebagian dari wilayah yang terdapat

potensi dan pemanfaatan HHBK diusulkan sebagai zona tradisional.

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai HHBK

Balai TNAL juga memfasilitasi masyarakat dengan melaksanakan sosialisasi

mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari pada bulan September 2013.

Sedangkan untuk perlindungan kawasan dilaksanakan kursus pencegahan

kebakaran hutan dengan membentuk masyarakat peduli api pada bulan

Desember tahun 2013, mengingat habitat pohon damar sangat rentan

terhadap kebakaran. Merancang kesepakatan bersama atau Momerandum of

Understanding (MOU) antara Balai TNAL dengan Pemerintah Kota Tidore

Kepulauan dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Kesultanan Tidore mengenai

pemanfaatan HHBK. Diharapkan pada tahun 2014 telah tercapai

kesepahaman mengenai permasalahan tersebut sehingga pengelolaan

kawasan secara lestari, arif dan bijaksana dapat terealisasikan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku secara baik.

Page 43: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

23

2. Kebijakan Pemerintah Desa

Pemerintah Desa sangat mendukung masyarakat untuk menyadap

getah damar, dukungan tersebut berupa ijin secara lisan. Beberapa asumsi

sebagai dasar dukungan pemerintah desa yaitu bahwa menyadap getah

damar dan teknologi penyadapannya merupakan warisan leluhur. Cara ini

juga dilakukan sebagai bagian dari program perangkat desa untuk

meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Selain itu Pemerintah Desa tidak

membebani atau memungut kontribusi pada masyarakat petani damar.

3. Kelembagaan

Secara umum belum ada kelembagaan khusus yang menangani terkait

hasil-hasil produksi panen masyarakat seperti badan usaha pemerintah

(koperasi), badan usaha daerah ataupun badan usaha yang dibentuk atas

prakarsa Pemda pada tingkat kecamatan yang berpihak pada kepentingan

masyarakat. Pemasaran produk masih terpusat pada pengepul sehingga

masyarakat tidak memiliki nilai tawar terhadap produk yang dijualnya.

Dengan adanya badan usaha tersebut diharapkan masyarakat memiliki

alternatif lain untuk menjual produknya sehingga masyarakat turut andil

dalam menentukan harga. Badan usaha ini juga bertujuan sebagai media

untuk meningkatkan kualitas panen masyarakat dan sebagai alat kontrol

terhadap penentuan harga pasar.

E. Nilai Ekonomi dari Berburu

Selain mamanfaatkan HHBK masyarakat di lokasi penelitian khusunya

para petani damar juga sering berburu babi hutan (Sus scrofa) dan rusa

(Cervus timorensis) untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Daging rusa

biasanya diolah menjadi dendeng dan dijual dengan harga Rp. 20.000 – Rp.

25.000 per lembarnya (± 2 kg). Masyarakat juga seringkali

memperdagangkan Rusa yang masih hidup dengan harga jual berkisar

antara Rp. 500.000 - Rp. 1.200.000 per ekor. Sus Scrofa biasanya dijual

dalam kondisi hidup, harga babi remaja berkisar antara Rp. 200.000 - Rp.

500.000 sedangkan babi dewasa berkisar antara Rp. 750.000 - Rp

1.000.000.

Dalam sebulan terkadang masyarakat Desa Gosale dapat menangkap

sebanyak 3-5 ekor babi hutan, dari hasil buruan tersebut biasa sebanyak 2-3

ekor yang dijual dan selebihnya dikonsumsi sendiri. Biasanya masyarakat

mengkonsumsi daging babi tersebut ketika berada di dalam hutan saat

melakukan penyadapan getah damar dan selebihnya dibawah pulang

kerumah. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil dapat menangkap

Page 44: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

24 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

sebanyak rata-rata 10-16 ekor per bulan, dimana lima ekor dijual dan

selebihnya dikonsumsi sendiri. Untuk jenis rusa masyarakat biasanya hanya

dapat menangkap rata-rata satu ekor perbulannya, hal ini disebabkan

karena prilaku rusa yang sangat liar dan pergerakan yang sangat cepat

berbeda dengan babi yang cenderung lambat. Rusa ditangkap dengan cara

membuat perangkap tradisional yang oleh masyarakat setempat

menyebutnya dengan nama dodeso.

Ketika pengambilan data dilapangan teramati kawanan babi hutan

sebanyak ± 10 ekor yang terdiri dari empat ekor babi dewasa dan

selebihnya masih kecil. Selain Babi juga teramati dua ekor rusa yang terdiri

dari induk dan anak. Kedua jenis mamalia tersebut termasuk kategori satwa

yang sangat sensitif, hal ini terbukti ketika tim peneliti melakukan

perjumpaan saat berjalan menuju kawasan A. dammara. Ketika tersadar

teramati oleh tim peneliti maka kawanan babi dan rusa tersebut kemudian

berlari dengan cepat, bahkan hanya dengan hitungan detik kawanan

tersebut telah hilang dari pandangan mata. Cervus timorensis dan Sus

scrofa umum ditemukan dalam kawasan hutan di maluku Utara, kedua

mamalia ini merupakan jenis introduksi (Poulsen et al., 1999).

Gambar 7. Tengkorak babi hutan hasil buruan masyarakat Desa Gosale (kiri)

dan tengkorak babi hutan hasil buruan Masyarakat Dusun Tayawi

(kanan)

Phalanger ornatus atau yang oleh masyarakat Halmahera sebutan

dengan nama Kuso juga sering diburu untuk dikonsumsi. Telur Burung

Gosong (Megapodius freycinet) merupakan hasil ikutan satwa yang paling

banyak dicari oleh masyarakat karena memiliki harga jual yang cukup tinggi.

Selain itu telur ini banyak dikonsumsi pada tingkat rumah tangga untuk

Page 45: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba

25

pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ukuran telurnya yang lebih

besar.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kawasan TNAL mendukung potensi HHBK yang secara substansial

memiliki peranan penting bagi kehidupan masyakat yang bermukim

disekitarnya. Komoditi HHBK menjadi pilar utama dalam membangun

perekonomian masyarakat lokal dan menjadi salah satu media untuk

menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem kawasan. Sebab kelestarian

kawasan juga ditentukan dari tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang

senantiasa bergantung dan memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan.

Dukungan institusi TNAL terkait pemanfaatan HHBK oleh masyarakat

merupakan bentuk sinergi dalam pengelolaan kawasan secara arif dan

bijaksana namun tetap berada dalam tatanan hukum dan ketentuan yang

berlaku.

B. Saran

Meski telah mendapatkan metode kesepahaman pengelolaan kawasan

dengan masyarakat namun kegiataan pemanfaatan HHBK harus senantiasa

mendapatkan kontroling dan pengawasan secara periodik. Sebab perubahan

pola prilaku masyarakat yang sulit diprediksi mengingat adanya cukong dan

oknum yang senantiasa ingin memperoleh keuntungan besar dari hasil

hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Miftahorrahman., H. Novarianto dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity on sago (Metroxylon sp.) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium Sago : The Future Source of food and feed. Pp 79-95. Pekanbaru

Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Karawang.

Nurrani, L. dan S. Tabba. 2011. Kearifan suku togutil dalam konservasi Taman Nasional Aketajawe di wilayah Hutan Tayawi Provinsi Maluku Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hal (227-244).

Nurrani, L. dan S. Tabba. 2013. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi 30(1):227-244.

Page 46: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

26 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Nurrani, L., Halidah, S. Tabba dan S. N. Patandi. 2012. Karakteristik kualitatif tipe penggunaan lahan di zona peyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 1(2):227-244.

Nurrani, L., S. Tabba, S. Shabri, Y. Kafiar, H.S. Mokodompit dan R. Mamonto. 2013. Kajian Daya Dukung Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Pengembangan Pemanfaatan Biodiversitas Secara Lestari di Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Laporan Hasil Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Manado.

Oka, N.P. dan Suhartono. 2014. Keanekaragaman jenis dan sebaran tumbuhan paku (pteridophyta) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Makalah Presentasi pada Pertemuan Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Poulsen, Michael K., F.R. Lambert, dan Y. Cahyadin. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Aketajawe : dalam konteks prioritas konservasi keanekaragaman hayati di Halmahera. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Bird Life International Indonesian Programme dan Loro Parque Fundacion. Bogor.

Prayitno, T.A. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan Teknologi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Rostiwati, T., Y. Lisnawati, S. Bustomi, B. Leksono, D. Wahyono, S. Pradjadinata, R. Bogidarmanti, D. Djaenudin, E. Sumadiwangsa, N. Haska. 2008. Sagu (Metroxylon spp.) sebagai Sumber Energi Bioetanol Potensial. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan Tanaman. Bogor.

Sumarna, Yana. 2002. Budidaya Gaharu. PT. Niaga Swadaya. Jakarta.

Tabba, S. dan L. Nurrani. 2012. Jasa Hasil Hutan Non Kayu Daun Woka Bagi Masyarakat Sulawesi Utara. Majalah Silvika 71:227-244.

Tabba, S. dan L. Nurrani. 2014. Daya Dukung pemanfaatan getah Agathis dammara (lambert) L.rich terhadap masyarakat dan kelestarian Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Makalah Presentasi pada Pertemuan Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Yulifianti, R dan E. Ginting. 2013. Talas Wamena sebagai Bahan Baku Mie Basah. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang Dan Umbi. Disarikan dan Diedit oleh Eriyanto Yusnawan Ph.D. Malang.

Page 47: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

27

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang: “Aplikasi Fungi Mikoriza

untuk Mempercepat Keberhasilan Revegetasi” 1

Retno Prayudyaningsih2

ABSTRAK

Kegiatan penambangan pada umumnya merupakan penambangan terbuka

yang dilakukan melalui proses pembukaan lahan yang membersihkan

seluruh vegetasi, pengikisan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan

penimbunan. Pada akhirnya kegiatan penambangan meninggalkan lahan

dengan kondisi tanah tanpa lapisan top soil dan bahan organik. Ditinjau dari

persyaratan pertumbuhan tanaman, faktor-faktor yang menjadi pembatas

pada lahan tersebut adalah kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah rendah

karena kandungan unsur hara tersedia rendah, tanah yang padat, suhu

tanah tinggi, pH tanah yang ekstrim dan rendahnya diversitas mikroba

tanah. Faktor-faktor tersebut merupakan masalah yang harus dihadapi

dalam upaya pemulihan lahan bekas tambang. Salah satu alternatif untuk

memulihkan unsur dan fungsi ekologi akibat kegiatan penambangan adalah

melalui bioreklamasi yang memanfaatkan mikroba (fungi mikoriza). Fungi

mikoriza adalah salah satu bagian komunitas mikroba yang mempunyai

peran penting dalam keberhasilan pertumbuhan tanaman terutama pada

kondisi lahan yang marginal seperti lahan bekas tambang. Aplikasi fungi

mikoriza pada kegiatan reklamasi dapat mempercepat keberhasilan

revegetasi, yang diharapkan akan mempercepat pula proses suksesi alami

sehingga pada akhirnya pemulihan unsur dan fungsi ekologi akan tercapai.

Kata kunci: Lahan bekas tambang, mikoriza, revegetasi, bioreklamasi,

suksesi

I. Pendahuluan

Sektor pertambangan merupakan salah satu sumber devisa bagi

Indonesia. Setiap tahunnya usaha pertambangan menunjukkan

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16,5 Makassar, 90243,

telp. (0411) 554049, fax. (0411) 554058; e-mail: [email protected]

Page 48: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

28 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

pertumbuhan yang pesat. Saat ini lebih dari 1500 perusahaan pertambangan

beroperasi di Indonesia (Mansur, 2011). Kegiatan penambangan umumnya

dilakukan dengan cara pembukaan hutan yang dilanjutkan dengan

pengikisan lapisan-lapisan tanah, pengerukan dan penimbunan. Kegiatan-

kegiatan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan

berupa menurunnya kualitas tanah, rusaknya habitat satwa dan hilangnya

jenis-jenis flora/fauna endemik. Dengan demikian kegiatan penambangan

mempunyai 2 dampak yang bertolak belakang. Dampak yang pertama

adalah merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara, dan

dampak yang kedua adalah kerusakan lingkungan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2010 mengenai

reklamasi dan pasca tambang dinyatakan bahwa setiap pemegang IUP (Ijin

Usaha Penambangan) wajib melakukan reklamasi pada lahan bekas

tambangnya. Selanjutnya sesuai Permenhut No. 4 tahun 2011 mengenai

pedoman reklamasi hutan, dinyatakan bahwa kegiatan reklamasi lahan

hutan bekas penambangan di antaranya adalah penataan lahan, pengisian

kembali lubang di lahan-lahan bekas tambang, dan penaburan atau

pengolahan top soil. Reklamasi lahan bekas penambangan dengan

menimbun lahan bekas tambang menggunakan top soil dilakukan dalam

rangka membentuk atau menyiapkan tapak aman sehingga mendukung

perkembangan tumbuhan. Namun demikian, permasalahan timbul ketika

penimbunan tidak mengunakan top soil. Hal tersebut terjadi karena jumlah

material top soil tidak mencukupi kebutuhan penutupan lahan bekas

tambang, sehingga penimbunan menggunakan material yang ada seperti

limbah bahan galian ataupun limbah bekas olahan (tailing).

Lapisan permukaan tanah yang demikian tidak memenuhi persyaratan

sebagai tapak yang mendukung kolonisasi tumbuhan dari beberapa aspek

baik fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik, tapak tidak mempunyai

lapisan/horizon tanah yang jelas, rusaknya struktur tanah, dan terjadi

pemadatan. Ditinjau dari aspek kimia, terjadi kekurangan bahan organik dan

unsur hara esensial. Sedangkan dari aspek biologi, terjadi penurunan

populasi dan tidak meratanya distribusi mikroba tanah.

Lahan yang mengalami kerusakan seperti lahan bekas tambang, secara

alami dapat pulih melalui proses suksesi alami. Suksesi merupakan proses

perubahan komunitas biotik yang saling menggantikan dan lingkungan fisik

menjadi berubah selama periode waktu tertentu setelah terjadi gangguan

(Krebs, 1972). Proses suksesi yang terjadi pada lahan bekas tambang

merupakan suksesi primer, karena terjadi pada areal dengan permukaan

Page 49: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

29

terbuka dan kekurangan bahan organik, serta belum terjadi perubahan oleh

aktivitas organisme (Kimmin, 1997). Dengan demikian proses suksesi alami

berjalan lambat, terlebih lagi dengan karakter lahan bekas tambang yang

sangat ekstrim dan tidak mendukung perkembangan tumbuhan/komunitas

biotik yang mengolonisasi lahan tersebut.

Pada sisi lain upaya kegiatan reklamasi lahan bekas tambang juga

belum mencapai keberhasilan karena tidak disertai upaya untuk

memperbaiki kualitas tapak sehingga pertumbuhan tanaman terhambat.

Selain itu kegiatan reklamasi yang dilakukan tidak memperhatikan urutan

komunitas biotiknya atau langsung menggunakan jenis-jenis tanaman dari

komunitas akhir seperti mahoni, atau jati. Hal tersebut tentu saja tidak

mendukung perkembangan komunitas biotik selanjutnya sehingga proses

suksesi alamipun tidak berjalan dengan baik karena tidak terjadi pemulihan

unsur dan fungsi ekologinya.

Salah satu alternatif untuk memulihkan unsur dan fungsi ekologi akibat

kegiatan penambangan adalah melalui bioreklamasi. Bioreklamasi adalah

usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi melalui

proses-proses biologi dalam kawasan hutan yang rusak akibat kegiatan

penambangan agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan

peruntukannya (Turjaman et al., 2009). Proses biologi yang dimaksud

adalah memanfaatkan semaksimal mungkin kemampuan tumbuh vegetasi

yang berasosiasi dengan mikroba. Menurut Weissenhorn et al. (1995),

suksesi yang dipercepat dengan melibatkan mikroba dan jenis tumbuhan

setempat yang terbukti cocok dengan kondisi lahan merupakan tantangan

yang harus dijawab dalam mereklamasi lahan bekas tambang. Selanjutnya

menurut Smith dan Read (2008), keberhasilan rekamasi lahan bergantung

kepada pemahaman terhadap suksesi tanaman yang dipengaruhi oleh

komponen tanah yang dinamis, misalnya bahan organik dan komunitas

mikroba. Fungi mikoriza adalah salah satu bagian komunitas mikroba yang

mempunyai peran penting dalam keberhasilan pertumbuhan tanaman dalam

proses suksesi. Dengan demikian bioreklamasi lahan bekas tambang yang

memanfaatkan fungi mikoriza untuk mempercepat keberhasilan revegetasi,

diharapkan akan mempercepat pula proses suksesi alami yang terjadi

sehingga pada akhirnya pemulihan fungsi ekologi akan tercapai.

II. Karakteristik Lahan Bekas Tambang

Pada umumnya lahan bekas tambang mempunyai karakterisitik tanah

dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah baik secara fisik, kimia dan

Page 50: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

30 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

biologi. Kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi perkembangan

tanaman yang selanjutnya juga akan menyebabkan proses suksesi alami

terhambat dan gagalnya kegiatan reklamasi. Untuk dapat mengatasi

masalah ini, maka karakteristik kimia, biologi dan fisik tanah lahan bekas

tambang perlu diketahui.

Pada lapisan tanah atas (top soil) terkandung berbagai unsur hara

makro dan mikro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Hilangnya top soil

akibat kegiatan penambangan merupakan penyebab utama buruknya

tingkat kesuburan tanah pada lahan bekas tambang. Kekahatan unsur hara

esensial seperti nitrogen dan fosfor, toksisitas mineral dan kemasaman

tanah (pH yang rendah dan tinggi) sebagai karakter kimia tanah yang

merupakan kendala umum yang ditemui pada tanah-tanah bekas kegiatan

pertambangan. Selain itu, lahan bekas tambang biasanya berupa campuran

dari berbagai bentuk bahan galian yang ditimbun satu sama lainnya secara

tidak beraturan. Hal tersebut tentu saja semakin memperburuk kualitas

kimia tanah karena semakin bervariasinya reaksi tanah (pH) dan kandungan

unsur haranya.

Karakteristik kimia tanah pada lahan bekas tambang kapur misalnya

menunjukkan pH tanah tinggi (8,14), kandungan bahan organik (C-organik)

rendah, kandungan hara makro terutama N (0,12%), P tersedia (19,2 ppm)

dan K rendah. Kandungan kalsium (115,75 me/100g) yang sangat tinggi

menyebabkan tanah bersifat alkalis dan ketersediaan unsur hara makro

terutama fosfat menjadi rendah (Prayudyaningsih, 2008). Menurut

Hardjowigeno (2003), pada pH yang tinggi (alkalis) unsur P tidak dapat

diserap tumbuhan karena difiksasi oleh kalsium. Karakteristik kimia tanah

dari lahan bekas tambang emas menunjukkan kandungan C-organik (0,32

%) sangat rendah, unsur hara N (0,04 %) dan P tersedia (9,20 ppm) sangat

rendah, sementara kandungan kalsium (29,27) dan logam berat Pb (132

ppm) sangat tinggi (Setyaningsih, 2007). Karakteristik kimia tanah pada

lahan bekas tambang nikel menunjukkan pH tanah agak masam (6,44),

kandungan C organik (1,60 %) rendah, kandungan hara makro terutama N

(0,14 %) dan P tersedia (12,55 ppm) rendah (Jaya, 2011).

Hilangnya lapisan top soil dan serasah yang merupakan sumber karbon

untuk menyokong kehidupan mikroba potensial merupakan penyebab utama

buruknya kondisi populasi mikroba tanah (biologi tanah). Hal ini secara tidak

langsung akan sangat mempengaruhi kehidupan tanaman yang tumbuh di

permukaan tanah tersebut. Jenis-jenis mikroba tanah yang memberikan

banyak manfaat diantaranya bakteri penambat nitrogen, bakteri pelarut

Page 51: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

31

fosfat, jamur dan bakteri dekomposer serta fungi mikoriza. Kepadatan spora

fungi mikoriza pada lahan bekas tambang timah di Bangka sangat rendah.

Lahan bekas tambang timah umur 11 tahun kepadatan sporanya 69 - 72 per

50 gram tanah dan 1 per 50 gram tanah pada lahan bekas tambang timah

umur 1 tahun (tidak bervegetasi) (Nurtjaja, 2008). Kerapatan fungi mikoriza

di lahan bekas tambang kapur juga tergolong rendah yaitu berkisar 19 – 116

buah spora per 100 gram sampel tanah (Prayudyaningsih, 2008). Demikian

juga kerapatan spora fungi mikoriza di lahan bekas tambang nikel (33 – 52

per 100 g tanah) rendah (Jaya, 2011).

Rusaknya struktur, tekstur, porositas dan kepadatan tanah sebagai

karakter fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman disebabkan

oleh berbagai aktivitas dalam kegiatan penambangan. Kondisi tanah yang

kompak karena pemadatan berdampak negatif terhadap fungsi dan

perkembangan akar karena buruknya sistem tata air dan aerasi tanah. Akar

tidak dapat berkembang dengan sempurna sehingga fungsinya sebagai alat

absorpsi unsur hara akan terganggu. Akibatnya tanaman tidak dapat

berkembang dengan normal tetapi tetap kerdil dan tumbuh merana.

Rusaknya struktur dan tekstur juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk

menyimpan dan meresap air pada musim hujan, sehingga aliran air

permukaan menjadi tinggi.

III. Fungi Mikoriza dan Peranannya terhadap Pertumbuhan

Tanaman pada Lahan Bekas Tambang

Mikoriza adalah simbiosis mutualisme antara jamur tular tanah (non

patogen) dengan akar tanaman (Quilambo, 2003). Berdasarkan struktur

tumbuh dan cara kolonisasinya pada sistem perakaran tumbuhan inang,

mikoriza dikelompokkan dalam 2 golongan besar yaitu Fungi Ektomikoriza

dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Sekitar 95 % jenis tumbuhan vascular

berasosiasi dengan fungi mikoriza, dimana 80 % nya membentuk asosiasi

dengan FMA, sedangkan sekitar 7 % - 10 % nya berasosiasi dengan fungi

ektomikoriza, terutama tanaman kehutanan dari jenis dipterokarpa (Shorea,

Diptetocarpus dan Hopea), pinus dan ekaliptus (Quilambo, 2003; Santoso et

al., 2003; Setiadi, 2006).

Lahan bekas tambang umumnya mempunyai kandungan hara dan air

yang rendah. Fungi mikoriza merupakan salah satu mikroorganisme tanah

yang mempunyai peran penting dalam keberlanjutan sistem tanah –

tanaman (Duponnois et al., 2005). Fungi mikoriza dapat meningkatkan

penyerapan unsur hara P oleh tanaman. Aktivitas fosfatase juga meningkat

Page 52: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

32 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

sehingga hidrolisis P organik juga meningkat. Selain itu juga meningkatkan

penyerapan unsur hara lain seperti NO3 (nitrat), Cu, Zn dan K (Smith dan

Read, 2008; Duponnois et al., 2005; Bertham, 2006). Fungi mikoriza juga

mempengaruhi penyerapan air sehingga memberikan ketahanan tanaman

terhadap kekeringan (Duponnois et al., 2005; Setiadi, 2006). Fungi mikoriza

yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi

jalinan hifa ekternal yang intensif, yang memperluas permukaan absorbsi

akar sehingga tanaman bermikoriza akan mampu meningkatkan

kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air (Smith dan Read, 2008;

Abbot dan Robson dalam Delvian, 2005; Harakarti, 2006). Tanaman

bermikoriza lebih tahan kekeringan daripada yang tidak bermikoriza dan

akan cepat kembali pulih setelah periode kekeringan berakhir. Hal ini

dimungkinkan karena hifa fungi mikoriza masih mampu menyerap air dari

pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Penyebaran

hifa eksternal sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak

pada kondisi kekeringan (Bowen, 1980; Munyaziza et al. dalam Delvian,

2005). Selain itu, hifa fungi mikoriza berukuran diameter sepersepuluh

diameter rambut akar (Orcutt dan Nielsen, 2000) dan luas permukaan

penyerapan akar 80 kali lebih luas dibandingkan akar tidak bermikoriza

Bowen (1980). Dengan demikian hifa fungi mikoriza mampu mencapai

bagian tanah yang tidak dapat dicapai lagi oleh rambut akar, terutama pori

tanah yang kecil.

Selain mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman di lahan bekas

tambang, fungi mikoriza juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Tanah

pada lahan bekas tambang umumnya mempunyai kepadatan tanah (bulk

density) tinggi yang menyebabkan terhambatnya penetrasi dan respirasi

akar. Fungi mikoriza dapat membentuk agregat tanah lebih baik dibanding

fungi tanah lain. Fungi mikoriza arbuskula mengeluarkan subtansi seperti

lem yang disebut glomalin (glikoprotein) yang mengikat partikel tanah

menjadi mikroagregat. Selanjutnya hifa fungi mikoriza dan akar tanaman

mengikat mikroagregat tanah menjadi makroagreagat tanah. Hal inilah yang

membuat tanaman bermikoriza sangat dibutuhkan pada rehabilitasi lahan

bekas penambangan karena agregasi tanah akan mempercepat penetrasi

air, memelihara kapasitas pengikatan air (water holding capacity) dan

meningkatkan aerasi tanah (Mosse dan Hayman, 1980; Smith dan Read,

2008) tetapi mengurangi hambatan penetrasi dan respirasi akar.

Seringkali dilaporkan bahwa tanah-tanah pertambangan mengandung

logam-logam berat beracun (Cu, Zn, Ni, Fe, Co, Pb, Cd, dan Ba) dalam

Page 53: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

33

konsentrasi tinggi. Golden dan Tinker dalam Delvian (2005) melaporkan

bahwa pada kondisi yang sangat masam, rerumputan yang bermikoriza

mengakumulasi Cu dan Ni dalam level yang tinggi dibanding tanaman yang

tidak bermikoriza sehingga disimpulkan bahwa simbion mikoriza harus

dipertimbangkan sebagai komponen dari toleransi tanaman terhadap logam-

logam berat yang toksik. Mekanisme simbiosis FMA dalam memperbaiki

toleransi tanaman terhadap logam berat diduga karena (a) terjadi

pengenceran unsur-unsur toksik dengan membaiknya serapan unsur hara

lainnya, (b) terjadi penangkapan logam-logam oleh polifosfat, yang

akumulasinya terjadi karena membaiknya status fosfor dalam fungi, dapat

menurunkan perpindahan unsur toksik ke tanaman sehingga terjadi

penurunan toksisitas, (c) simbiosis FMA memperbaiki pertumbuhan tanaman

sehingga tanaman meningkat toleransinya terhadap logam berat (Bertham,

2006).

Menurut Smith dan Read (2008), penting artinya mengetahui potensi

dan peran fungi mikoriza untuk pengelolaan lahan terdegradasi seperti lahan

bekas penambangan. Aplikasi fungi mikoriza perlu dilakukan pada lahan

yang memiliki propagul fungi mikoriza rendah. Penelitian menunjukkan

kepadatan spora fungi mikoriza pada lahan bekas tambang timah, kapur dan

nikel sangat rendah (Nurtjahya et al., 2006; Prayudyaningsih, 2008; Jaya,

2011 ). Selain itu hasil pengamatan kolonisasi FMA secara alami pada

tumbuhan pioner yang menginvasi lahan bekas tambang kapur

menunjukkan 21 jenis dari 22 jenis tumbuhan pioner berasosiasi dengan

FMA (Prayudyaningsih, 2011c). Pengamatan kolonisasi FMA di lahan bekas

tambang nikel menunjukkan 20 jenis tumbuhan yang tumbuh di lahan

tersebut berasosiasi dengan FMA (Jaya, 2011). Demikian juga pengamatan

kolonisasi FMA pada 22 jenis tumbuhan di lahan bekas tambang batu bara

menunjukkan semua sampel berasosiasi dengan FMA (Turjaman et al.,

2009). Hal ini menunjukkan kolonisasi fungi mikoriza sangat diperlukan

untuk mendukung keberhasilan pertumbuhan tumbuhan pioner tersebut di

lahan bekas tambang.

Mosse et al. (1981) menyatakan bahwa fase bibit merupakan fase yang

sangat tergantung pada mikoriza. Inokulasi mikoriza pada bibit tanaman

terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan bibit. Inokulasi Fungi mikroza

indigen dari tanah bekas tambang kapur terhadap bibit bitti (Vitex cofassus),

pulai (Alstonia scholaris) dan jati (Tectona grandis) yang ditumbuhkan pada

media dari tanah bekas tambang kapur mampu meningkatkan pertumbuhan

Page 54: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

34 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

tinggi (30-635 %), diameter batang (47-275 %), indek mutu bibit (140-829

%) dan serapan P (187-2313 %) dibanding pertumbuhan semai bitti yang

tidak diinokulasi fungi mikoriza (Prayudyaningsih dkk., 2009; Prayudyanigsih,

2013). Inokulasi FMA juga meningkatkan pertumbuhan semai mindi yang

ditumbuhkan pada media dari tanah bekas tambang emas. Pertumbuhan

tinggi semai mindi pada media tailing bekas tambang emas yang diinokulasi

FMA meningkat 22,4 % dan diameter 11,4 % dibanding yang tidak

diinokulasi (Setyaningsih, 2007). Dengan demikian inokulasi fungi mikoriza

pada bibit tanaman mampu menghasilkan bibit yang berkualitas karena

mempunyai pertumbuhan yang lebih baik sehingga mempunyai daya hidup

di lapangan yang lebih baik pula. Asosiasi fungi mikoriza dengan akar

tanaman mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Untuk itu

pengadaan bibit dari jenis tumbuhan yang sesuai dengan tapak dan

berasosiasi dengan fungi mikoriza merupakan salah satu kunci dalam

keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang. Menurut De La Cruz (1998)

dalam Setiadi (2006), asosasi fungi mikoriza dengan akar tanaman dapat

meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan tanaman terutama pada tanah

marginal seperti lahan bekas tambang sehingga aplikasi fungi mikoriza dapat

membantu keberhasilan rehabilitasi lahan kritis dan marginal seperti lahan

bekas pertambangan.

IV. Aplikasi Teknologi Bioreklamasi Fungi Mikoriza pada

Revegetasi Lahan Bekas tambang

Seiring dengan berjalannya waktu, pada lahan-lahan yang mengalami

kerusakan seperti lahan bekas tambang akan terjadi proses suksesi alami.

Namun proses suksesi alami akan berlangsung dalam kurun waktu yang

panjang, terlebih lagi suksesi yang terjadi merupakan suksesi primer. Oleh

karena itu, kegiatan revegatasi yang dilakukan pada lahan bekas tambang

sebaiknya tidak hanya bertujuan untuk penghijauan tetapi juga mampu

memfasilitasi tahapan suksesi alami sehingga proses suksesi dapat

dipercepat.

Kehadiran fungi mikoriza sebagai salah satu komponen komunitas

mikroba tanah mempengaruhi koeksistensi dominan tumbuhan, struktur

komunitas dan kemajuan suksesi vegetasi pada lahan yang rusak (Puschel

et al., 2007) seperti lahan bekas tambang. Dengan demikian diduga fungi

mikoriza mempunyai peran penting bagi keberhasilan pertumbuhan tanaman

dalam proses suksesi vegetasi di lahan bekas tambang. Kehadiran fungi

mikoriza mempengaruhi kolonisasi vegetasi di lahan bekas tambang (Busby

Page 55: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

35

et al., 2011). Namun, populasi FMA di lahan bekas tambang rendah dan

distribusinya tidak merata sehingga tidak semua tumbuhan pioner herba dan

perenial awalnya berasosiasi dengan FMA (Nurtjahja, 2008;

Prayudyaningsih, 2008; Jaya, 2011; Singh dan Jamaluddin, 2011; Cohen-

Fernandez, 2012). Rendahnya populasi FMA dan menurunnya infektivitas

menghambat mineralisasi dan imobilisasi hara, sehingga akan menghambat

pembentukan tanaman dan proses suksesi ekologi pada akhirnya (Singh dan

Jamauddin, 2011). Untuk itu input teknologi bioreklamasi fungi mikoriza

diperlukan agar keberhasilan pertumbuhan tanaman di lahan bekas tambang

meningkat (Ervayenri, 2005; Puchel et al., 2006; Setyaningsih, 2007;

Prayudyaningsih et al., 2009; 2010; 2011a; 2012).

Aplikasi teknologi bioreklamasi fungi mikoriza pada revegetasi lahan

bekas tambang sebaiknya juga sejalan dengan kaidah-kaidah yang

diisyaratkan oleh hukum alam (tahapan proses suksesi alami). Tahap

pertama dalam revegetasi lahan bekas tambang adalah penanaman cover

crop untuk memperbaiki kondisi mikroklimat setempat sehingga mendukung

kehidupan mikroorganisme yang berperan aktif dalam proses dekomposisi

dan pembentukan bahan organik tanah. Jenis tumbuhan cover crop yang

dapat digunakan adalah jenis rumput-rumputan dan legum. Penggunaan

legum cover crop juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur nitrogen

tanah karena akar tanaman legum berasosiasi dengan bakteri Rhizobium.

Selain itu, penanaman cover crop juga meningkatkan kandungan bahan

organik tanah. Banyaknya bahan organik dapat menurunkan suhu tanah dan

meningkatkan kelembaban tanah. Selain itu bahan organik merupakan

sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah. Meningkatnya kandungan

bahan organik pada tanah di lahan bekas tambang akan menyebabkan

aktivitas dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang

berkaitan dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.

Beberapa mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik

adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Hasil penelitian di lahan bekas

tambang menunjukkan adanya peningkatan jumlah populasi bakteri dan

jamur setelah 3 bulan dilakukan revegetasi dengan tanaman cover crop jenis

Mucuna sp. dan Centrocema pubescen (Prayudyaningsih dkk., 2010).

Tahap kedua adalah penanaman jenis pioner (nurse plant) dan

pembelukaran. Jenis-jenis pioner lokal dan legum (fiksasi N) dapat

mempercepat keberhasilan revegatasi. Tumbuhan pioner mempunyai sistem

perakaran yang lebih dalam dan volume perakaran yang lebih luas.

Page 56: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

36 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Demikian juga dengan pertumbuhan tajuknya sehingga menyumbangkan

seresah yang lebih besar. Adanya ruang tumbuh yang lebih besar baik di

bawah dan di atas tanah maka kehidupan mikrofauna, mikroflora dan

mikroorganismenyapun lebih komplek sehingga proses dekomposisinya juga

lebih intensif.

Penanaman pioner jenis Sesbania sericea di lahan bekas tambang

kapur, selain meningkatkan jumlah populasi bakteri dan jamur tanah,

bahkan meningkatkan kualitas kimia tanah dimana kadar unsur hara makro

(N, P, dan K) mengalami perubahan harkat dari sangat rendah menjadi

rendah (Prayudyaningsih dkk., 2010). Walaupun kualitas kimia tanahnya

masih tergolong rendah. Revegetasi tanaman pioneer menambah

sumbangan bahan organik ke tanah sehingga berpengaruh pada

ketersediaan unsur hara. Terlebih lagi dengan inokulasi fungi mikoriza yang

meningkatkan pertumbuhan tanaman pioneer, maka menghasilkan biomassa

yang lebih banyak. Banyaknya biomassa akan menyumbangkan bahan

organik yang lebih banyak pula. Pada akhirnya kandungan unsur hara

tersedia juga meningkat dan kualitas tanahpun ikut meningkat.

Tahap ketiga adalah penanaman jenis cepat tumbuh atau fast growing

seperti sengon dan eukaliptus. Tahap keempat adalah penanaman jenis

klimaks atau slow growing seperti meranti, jati, bitti atau eboni yang sesuai

dengan kondisi setempat. Namun demikian tahap ketiga dan keempat ini

dapat dijadikan satu tahap tergantung dari perkembangan kondisi tapak

yang telah terbentuk. Pada prinsipnya setiap tahap yang diterapkan

bertujuan untuk memfasilitasi kondisi tempat tumbuh bagi tahap

selanjutnya.

Aplikasi teknologi bioreklamasi fungi mikoriza dapat dimulai sejak

penanaman cover crop apabila alat yang tersedia cukup memadai yaitu

dengan teknik hidroseeding. Namun apabila tidak, aplikasi fungi mikoriza

dilakukan pada saat penanaman jenis pioner dan jenis akhir atau target.

Aplikasi fungi mikoriza dilakukan pada tahap pembibitan sehingga

diharapkan bibit yang dihasilkan merupakan bibit yang berkualitas dan tahan

terhadap kondisi lapangan yang ekstrim seperti lahan bekas tambang.

Tanaman bermikoriza mempunyai resistensi terhadap kondisi hara rendah

dan kekeringan yang biasanya merupakan kondisi yang umum dijumpai

pada lahan bekas tambang. Dengan demikian asosiasi mikoriza akan

meningkatkan pertumbuhan dan daya hidup tanaman pada kegiatan

revegetasi lahan bekas tambang.

Page 57: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

37

Inokulasi fungi mikoriza pada tanaman pioneer jenis Sesbania sericea di

lahan bekas tambang kapur meningkatkan pertumbuhan tanaman. Inokulasi

fungi mikoriza, mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman S.

sericea pada umur 3 sampai 21 bulan di lapangan sebesar 4-13 %,

pertumbuhan diameter meningkat sebesar 5-14% dan kadar P daun

meningkat sebesar 3-27 % dibanding tanaman yang tidak bermikoriza

(Prayudyaningsih dkk., 2010; Prayudyaningsih dkk., 2011a; Prayudyaningsih

dkk., 2011b Prayudyaningsih dkk., 2012). Lebih cepatnya pertumbuhan

tanaman S. sericea yang diinokulasi fungi mikoriza akan menghasilkan

biomassa lebih banyak pula. Dengan demikian juga akan menyumbangkan

bahan organik ke tanah yang lebih banyak dan pada akhirnya dapat

meningkatkan kualitas tanah (Prayudyaningsih dkk., 2010).

Setiap tahapan seral pada proses suksesi bertujuan untuk

menfasilitasi/menyiapkan tapak aman bagi tahap seral selanjutnya. Hasil

penelitian di lahan bekas tambang kapur menunjukkan penanaman jenis

cover crop mampu menyediakan tapak aman bagi pertumbuhan tanaman

pioner (S. sericea) dan selanjutnya keberhasilan pertumbuhan tanaman

pioner mampu menyediakan tapak aman bagi pertumbuhan jenis

selanjutnya yaitu tanaman bitti (Vitex cofassus). Inokulasi fungi mikoriza

diharapkan lebih mendukung pertumbuhan tanaman sehingga meningkatkan

survival tanaman dan membantu menyiapkan tapak aman bagi sere

selanjutnya. Inokulasi Fungi mikoriza terbukti meningkatkan pertumbuhan

tinggi tanaman bitti umur 3 – 18 bulan di lapangan sebesar 8 – 14 %,

diameter batang sebesar 8 – 9 % dan kadar P daun sebesar 3 – 13 %

dibanding tanaman yang tidak bermikoriza (Prayudyaningsih dkk., 2011a;

Prayudyaningsih dkk., 2012)

Fungi mikoriza juga memiliki sinergisme dengan mikroorganisme lain.

Untuk tanaman leguminose keberadaan fungi mikoriza sangat diperlukan

karena pembentukan bintil akar dan efektivitas penambatan nitrogen oleh

bakteri Rhizobium yang terdapat di dalamnya dapat ditingkatkan.

Keberadaanya juga bersifat sinergis terhadap bakteri pelarut fosfat dan

dekomposer (selulolitik). Berdasarkan kemampuannya tersebut maka fungi

mikoriza dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba

potensial di sekitar tanaman. Keberadaan mikroba tanah potensial dapat

memainkan peranan sangat penting bagi perkembangan dan kelangsungan

hidup tanaman. Aktivitasnya tidak saja terbatas pada penyediaan unsur

Page 58: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

38 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

hara, tetapi juga aktif dalam dekomposisi serasah dan bahkan dapat

memperbaiki struktur tanah.

Menurut Smith dan Read (2008), dalam revegetasi lahan bekas

tambang, FMA memengaruhi komposisi komunitas tanaman yang dibangun.

Komunitas jamur yang kompleks memacu kompleksitas komunitas tanaman

bermikoriza sehingga menghasilkan biomassa tanaman yang tinggi. Dengan

kata lain lebih banyak jenis tanaman yang mampu bertahan hidup dan total

karbon organik yang terfiksasi meningkat. Inokulasi FMA pada bibit

dibutuhkan untuk menjamin pembentukan dan ketahanan hidup FMA karena

penyebaran secara alami dari FMA pada lahan kritis/bekas tambang sangat

lambat.

Penanaman dengan bibit yang diinokulasi mikroba dapat mempercepat

proses regenerasi alami pada lahan bekas tambang (Singh dan Jamaluddin,

2011). Dengan demikian interaksi antara tanaman dengan FMA diduga tidak

hanya mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang diinokulasi tetapi juga

mendukung perkembangan komunitas biotik selanjutnya dan perbaikan

kondisi tapak lahan bekas tambang kapur secara umum sehingga pada

akhirnya mempercepat proses suksesi alami. Dengan kata lain input

teknologi bioreklamasi fungi mikoriza pada pembentukan pertanaman di

lahan bekas tambang berfungsi sebagai katalis (memberikan efek katalitik)

sehingga proses suksesi alami dapat dipercepat. Pada akhirnya pemulihan

unsur dan fungsi ekologi yang menjadi tujuan dari reklamasi lahan bekas

tambang akan terwujud.

V. PENUTUP

Kegiatan penambangan meninggalkan lahan bekas tambang dengan

karakteristik tapak tanpa top soil, tingkat kepadatan tanah tinggi, miskin

hara, pH ekstrim dan populasi mikorba tanah rendah yang menyebabkan

terhambatnya perkembangan vegetasi alami. Sampai saat ini upaya

pemulihan lahan bekas tambang (reklamasi) hanya memfasilitasi jenis

target, belum banyak diarahkan pada fasilitasi tapak untuk perkembangan

komunitasi biotik selanjutnya.

Aplikasi bioreklamasi fungi mikoriza pada lahan bekas tambang dapat

mempercepat keberhasilan revegetasinya. Fungi mikoriza tidak hanya

meningkatkan pertumbuhan tanaman tetapi juga dapat meningkatkan

kualitas tanah lahan bekas tambang baik secara fisik, kimia dan biologi

tanahnya. Dengan demikian aplikasi bioreklamasi fungi mikoriza pada

revegetasi lahan bekas tambang tidak hanya sekedar memfasilitasi tanaman

Page 59: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

39

target tetapi juga memfasiltasi perkembangan tapak sehingga dapat

memacu proses suksesi alaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Bowen GD. 1980. Mycorrhizal Roles in Tropical Plants and Ecosystem. Di dalam : Mikola P (ed). Tropical Mycorrhiza Research. New York: Clarendon Press. hlm 166 – 185.

Bertham, Y.H. 2006. Intreraksi mikoriza arbuskula dengan tanaman pangan dan hortikultura. dalam Workshop Mikoriza: Teknik Baru Bekerja Dengan Cendawan Mikoriza. Bogor.

Busby, R.R., D.L. Gebhart, M.E. Stromberger, P.J. Meiman dan M.W. Paschke. 2011. Early seral plant species‟ interactions with an arbuscular mycorrhizal fungi community are highly variable. Applied Soil Ecology 48:257 – 262.

Cohen-Fernandes, A.C. 2012. Reclamation of a Limestone Quarry to a Natural Plant Community. Dissertation. Departemen of Renewable Resources. University of Alberta.

Delvian, 2005. Aplikasi cendawan mikoriza arbuskula dalam reklamasi lahan kritis pasca tambang. Jurusan Kehutanan Fakultas pertanian. Universitas Sumatra Utara Medan. http: // library . usu . ac . id / download / fp / hutan-delvian . pdf.

Duponnois, P., A. Colombet., V. Hien and J. Thioulouse. 2005. The fungus Glomus intraradices and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosecea. Journal of Soil Biology and Biochemistry 37:1460-1468.

Ervayenri. 2005. Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Tanaman Indigenous untuk Revegetasi Lahan Tercemar Minyak Bumi. Disertasi .Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta. Akademik Press.

Harakarti, PDM. 2006. Interaksi tanaman inang dengan mikroorganisme potensial tanah dan pembenah tanah. Di dalam: Prosiding Workshop Teknik Baru Bekerja Dengan Mikoriza. Bogor: Asosiasi Mikoriza Indonesia.

Jaya, I.K. (2011). Aplikasi Mikoriza Arbuskula dengan Merevegetasi Lahan Bekas Tambang Nikel di Kabupaten Kolaka (Tesis). Makassar. Universitas Hasanuddin. (Tidak dipublikasikan).

Krebs, C.J. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution Abudance. Harper International Edition. Singapore.

Kimmin, J.P. 1997. Forest Ecology. Prentice – Hall, Inc. New Jersey.

Mansur,I. 2011. Konsep dan contoh implementasi green mining untuk pembangunan berkelanjutan. Workshop: Benarkah Tambang Mensenjahterakan ? Telaah Sulawesi Tenggara menjadi Pusat Industri Pertambangan Nasional. Tidak dipublikasikan

Mosse, B and D.S. Hayman. 1980. Mycorrhizal in Agricultural Plants. dalam: Tropical Mycorrhiza Research. Ed. Mikola.P. Clarendon Press Oxford. New York. 211-226.

Page 60: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

40 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Mosse, B., D.P.Stribley and F. Le-Tucon.1981. Ecology of Mycorrhizae and Mycorrhizal Fungi. Adv. Microb. Ecology 5:137-210.

Nurtjahca, E. 2008. Revegetasi Lahan Pasca Tambang Timah dengan Beragam Jenis Pohon Lokal di Pulau Bangka. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Orcutt DM and Nielsen ET. 2000. Physiology of Plants Under Stress : Biotic Factor. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Prayudyaningsih, R. 2007. Efektivitas mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan bibit bitti (Vitex cofassus Reinw). Dalam: Prosiding Seminar NAsional Mikoriza II. Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza Untuk Mendukung Revitalisasi Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan. Bogor. 17 – 21 Juli 2007. SEAMEO BIOTROP. Bogor

Prayudyaningsih, R. 2008. Keragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di Lahan Bekas Tambang Kapur, PT. Semen Tonasa dan Efektivitasnya Terhadap Pertumbuhan Semai Kersen (Muntingia calabura L.). Tesis. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Tidak dipublikasikan

Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha.2009. Efektivitas Inokulum Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dari Lahan Bekas Tambang Kapur, PT. Semen Tonasa terhadap Pertumbuhan 5 jenis semai. Laporan Hasil Penelitian. Balai Kehutanan Makassar. Tidak dipublikasikan

Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2010. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan

Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2010. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan.

Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2011a. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan.

Prayudyaningsih, R. 2011b. Efektivitas Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) terhadap pertumbuhan Sesbania sericea di lahan bekas tambang kapur PT Semen Tonasa, Prosiding Ekspose BPK Makassar, Hasil-Hasil litbang mendukung Kemanfaatan Hutan, Makassar 27 Oktober 2011, ISBN 978-979-3145-92-1.

Prayudyaningsih, R. 2011c. Status Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) di lahan bekas tambang kapur PT. Semen Tonasa. Dalam: Prosiding Seminar Nasional “Benarkah Tambang Mensejahterakan? Telaah Sulawesi Tenggara Menjadi Pusat Industri Pertambangan Nasional. Kendari. 24 – 25 Juni 2011. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Prayudyaningsih, R., H. Tikupadang, M. Syarif, E. Kurniawan dan A. Q. Toaha. 2012. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang Kapur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Tidak di publikasikan

Page 61: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang:……. Retno Prayudyaningsih

41

Prayudyaningsih, R. 2013. Pertumbuhan semai Alstonia scholaris, Acacia auriculiformis dan Muntingia calabura yang diinokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada media tanah bekas tambang kapur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallaceae 3(1). April 2004. Balai Penelitian Kehutanan Makassar. Makassar.

Puchel, D., J. Rydlova dan M. Vosatka. 2007. Mycorrhiza Influence Plant Community Structure in Succession on Spoil Bank. Basic And Applied Ecology 8:510-520.

Quilambo, O. 2003. The Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae Symbiosis. African Journal of Biotechnology 2(12):539-546

Santoso, E., M. Turjaman., Y. Sumarna. 2003. Adopsi teknologi perakaran tanaman dalam menunjang keberhasilan GERHAN. Laboratorium Mikrobiologi Hutan,P3H&KA. Bogor.

Setyaningsih, L. 2007. Pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula dan kompos aktif untuk meningkatkan pertumbuhan semai mindi (Melia azerdarach Linn.) pada media tailing tambang emas pongkor. Tesis. Institut Pertanian Bogor. (tidak dipublikasi).

Setiadi, 2006. Pengembangan cendawan mikoriza arbuskula untuk merehabilitasi lahan marginal. Di dalam: Prosiding Workshop Teknik Baru Bekerja dengan Mikoriza. Bogor: Asosiasi Mikoriza Indonesia.

Singh, A.J dan Jamaluddin. 2011. Status and Diversity Arbuscular Mycorrhizal Fungu and its Role in Natural Regeneration on Limestone Mined Spoils. Biodiversitas 12(2):107-111.

Smith, S.E dan D.J. Read. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Ed ke-3. Academic Press. California.

Turjaman, M., I.R. Sitepu, R.S.B.Irianto, E. Santoso. 2009. Aplikasi teknologi biorehabilitasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) untuk mempercepat keberhasilan di lahan bekas tambang. Makalah Gelar Teknologi Hasil-Hasil Penelitian: Iptek untuk Kesejahteraan Masyarakat Belitung. Tanjung Pandan, 11-12 Agustus 2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Tidak diterbitkan

Weissenhorn, I., C. Levyal. and J. Berthelin. 1995. Bioavailability of heavymetals and abundance of arbuscular mycorrhizal (AM) in soil polluted by atmospheric deposition from a smelter. Biol.Fertil. Soil.

Page 62: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

42 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 63: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

43

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS

Lintas Kabupaten1

Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro2

ABSTRAK

Penelitian Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten dirancang untuk

mengidenfikasi lembaga/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS lintas

kabupaten, mengkaji tupoksi lembaga/institusi terkait, mengkaji peraturan

perundangan yang terkait pengelolaan DAS, mengkaji sistem perencanaan

pengelolaan DAS lintas kabupaten. Hasil kajian berupa data dan informasi digunakan

sebagai bahan untuk memformulasi sistem kelembagaan pengelolaan DAS yang

fungsional yang dapat diterima semua pihak. Pengumpulan data primer

menggunakan teknik purposive sampling. Responden adalah para pemangku

kebijakan di semua institusi yang terlibat baik di lembaga eselon II, III, dan IV serta

tokoh kunci NGO yang konsern dengan pengelolaan DAS. Teknik wawancara adalah

deep interview (wawancara mendalam) menggunakan kuesioner dan tape recorder.

Jumlah responden sebanyak 42 pejabat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk

lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS terpadu adalah

bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric. Bentuk

kelembagaan kombinasi Polycentric dengan Monocentric adalah kelembagaan

bersama (colaborative) seperti forum DAS atau LKPDAS (Lembaga Koordinasi

Pengelolaan DAS) tingkat Provinsi. Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di

daerah/SKPD. Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung

ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-PDAS berfungsi

sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi antar para pihak terkait untuk

membantu Gubernur merumuskan kebijakan pengelolaan DAS di lintas kabupaten.

Kata kunci: Kelembagaan, DAS .

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwa batas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan

batas administrasi pemerintahan tidak selalu kompatibel. Oleh karena DAS

merupakan kesatuan sistem alami dari hulu, tengah sampai daerah hilirnya

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Kota

Manado Telp. 0431-3666683

Page 64: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

44| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

yang tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan. Untuk itu

diperlukan tindakan kolektif semua pengguna sumberdaya untuk mengelola

proses hidrologis agar memperoleh produktivitas maksimum seluruh sistem

DAS. Dengan demikian kesepakatan antar stake holders tentang peraturan

akses sumber daya, alokasi, dan kontrol menjadi hal yang sangat penting

dalam pengelolaan DAS (Steins dan Edwards 1999a dalam Kerr, 2007).

Pada tataran inilah institusi atau lembaga pengelola DAS menjadi

prasyarat utama dalam mencapai tujuan pengelolaan DAS. Oleh sebab itu

penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji kelembagaan yang tepat agar

tujuan pengelolaan DAS bisa terwujud. Mengingat hingga sekarang belum

ada institusi yang menjadi pemegang otoritas dalam pengelolaan DAS baik

di tingkat kabupaten, tingkat provinsi dan tingkat nasional.

Payung hukum pengelolaan DAS sesungguhnya sudah ada terutama

setelah terbitnya PP No. 37 tahun 2012. Pemerintah Daerah juga sudah

mulai menindak lanjuti peraturan tersebut dengan menerbitkan Perda yang

mendukung pengelolaan DAS. Juga sudah terbentuk Forum DAS di hampir

seluruh provinsi di Indonesia yang surat keputusannya ditandatangani oleh

Gubernur di masing-masing provinsi. Namun faktanya hingga sekarang

payung hukum tersebut berserta turunannya belum terimplementasi secara

riil di lapangan. Program pengelolaan DAS terpadu baru sampai pada produk

peraturan perundangannya dan belum sampai pada tahap implementasi

sesuai dengan maksud peraturan perundangan tersebut. Implementasi

pengelolaan DAS selama ini masih dilaksakanakan secara parsial dan bersifat

sektoral. Belum mengacu pada prinsip pengelolaan DAS yaitu “one river

one plan one management” dan KISS (Koordinasi, Integrasi,

Sinkronisasasi dan Sinergitas) diantara pemangku kepentingan. Oleh karena

itu penelitian ini akan mengkaji lebih jauh akar masalah penyebab sulitnya

implementasi pengelolaan DAS terpadu dari sisi perspekftif kelembagaan

birokrasi.

B. Tujuan dan Sasaran

Tujuan penyelenggaraan penelitian adalah untuk memperoleh sistem

kelembagaan pengelolaan Daerah Tangkapan Air (DTA) yang selaras dengan

sistem pemerintahan otonomi daerah berdasarkan hierarki sistem

pengelolaan DAS yang meliputi wilayah lintas provinsi.

Sasaran yang dibidik dalam penelitian ini adalah menemukan suatu

sistem kelembagaan pengelolaan DAS lintas provinsi.

Page 65: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

45

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian Sistem kelembagaan pengelolaan DAS dilaksanakan mulai

dari tahun 2012 s/d 2013. Sedangkan lokasi penelitian dilaksanakan sesuai

dengan lokus penelitian yaitu di DAS Tondano di Provinsi Sulawesi Utara dan

DAS Limboto di Provinsi Gorontalo dengan sasaran pada instansi pemerintah

tingkat propinsi dan LSM tingkat provinsi serta Forum DAS dan DSDA tingkat

kabupaten.

B. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey. Teknik pengumpulan data

primer adalah wawancara secara mendalam (deep interview) dengan

menggunakan kuesioner dan perekam suara. Sedangkan teknik

pengumpulan data sekunder adalah menghimpun data-data yang relevan

dari instansi/institusi yang terlibat dalam pengelolaan DAS baik dengan cara

mengkopi maupun dengan cara mencatat langsung.

Data primer yang menyangkut pandangan, saran, usul dan pendapat

mengenai struktur kelembagaan, mekanisme kerja kelembagaan, sistem

pendanaan, sistem koodinasi dan payung hukum/legalitas kelembagaan

dalam rangka mendapatkan suatu konsep kelembagaan yang baik untuk

mencapai kelembagaan pengelolaan DAS terpadu dalam wilayah kabupaten

dominan. Data sekunder yang dikumpulkan dari instansi responden adalah

struktur organisasi, AD/ART, TUPOKSI, program dan rencana kegiatan/aksi,

PERDA, SK Gubernur, laporan kegiatan SKPD dan UPT Pusat, serta data

statistik Kabupaten Dalam Angka, Provinsi Dalam Angka dll.

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis isi (contents analysis)

khususnya untuk data sekunder. Contents analysis menyangkut Peraturan

perundang-undangan, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan

Perencanaan Pengelolaan DAS terpadu. Teknik analisis lain yang digunakan

adalah analisis stakeholder (stkeholder analysis) untuk keperluan

mengetahui sejauh mana tingkat kepentingan dan wewenang tiap institusi

dalam pengelolaan DAS. Untuk menganalisis data primer mengenai

preferensi responden digunakan analisis sebab-akibat terutama soal masalah

kelembagaan DAS terpadu hubungannya dengan peraturan yang relevan di

era desentralisasi.

Page 66: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

46| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

III. HASIL PENELITIAN

A. Institusi Pengelola DAS

Kelembagaan merupakan unsur utama dalam pengelolaan DAS terpadu,

karena tanpa kelembagaan maka semua program dan kegiatan pengelolaan

DAS tidak bisa berjalan dengan efektif dan optimal. Oleh karena itu

Kementerian kehutanan memprakarsai embrio kelembagaan DAS terpadu.

Sejak tahun 2003 Departemen Kehutanan (Dephut) cq. Dirjen RLPS, cq.

BPDAS terus mensosialisasikan kelembagan DAS terpadu dan membentuk

secara sistematis mulai dari pusat, provinsi sampai ke kabupaten. Hasilnya

adalah terbentuknya Forum-forum DAS yang meliputi hampir seluruh

provinsi di Indonesia. Dalam perkembangannya, mulai tahun 2010 sampai

sekarang ini oleh Kementerian Kehutanan cq. Dirjen Bina Pengelolaan DAS

dan Perhutanan Sosial cq. BPDAS telah menginisiasi lagi lembaga koordinasi

pengelolaan DAS terpadu yang disebut LK-PDAS baik di tingkat nasional,

provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota.

Hasil penelusuran ke semua instansi di tingkat kabupaten diperoleh

stakeholder pengelola DAS. Penentuan stakeholder pengelola DAS di tingkat

kabupaten didasarkan pada tupoksi dan program kerja yang berhubungan

dengan pengelolaan DAS. Berdasarkan hasil analisis tupoksi dan program

kerja instansi pemerintah maka dapat diklasifikasikan institusi pengelola DAS

kedalam dua kategori yaitu stakeholder utama dan stakeholder penunjang.

Stakeholder utama adalah institusi teknis yang tupoksinya dan program

kerjanya sangat erat dan berhubungan langsung dengan kegiatan di lapang.

Sedangkan stakeholder penunjang adalah institusi yang non teknis yang

tupoksi dan program kerjanya berhubungan dengan pengelolaan DAS tapi

tidak melakukan secara intens kegiatan di lapang.

Berikut ini adalah stakeholder utama dan penunjang dalam pengelolaan

DAS.

Tabel 1. Stakeholder Pengelolaan DAS Tondano dan DAS Limboto

No. Provinsi Staheholder Utama Stakeholder Penunjang

1 Sulawesi Utara 1. BPDAS Tondano

2. Forum DAS

3. Dinas Kehutanan

4. BWS-1 Manado

5. Bappeda Provinsi

6. BLH

7. Dinas Pertanian, Perkebunan

dan peternakan

1. BALITBANGDA

2. BPN

3. PLN

4. PDAM

5. Perguruan Tinggi

(UNSRAT, dll)

Page 67: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

47

No. Provinsi Staheholder Utama Stakeholder Penunjang

8. Dinas Kelautan dan

perikanan

9. Dinas PU Provinsi

10. Dinas Pariwisata

2 Gorontalo 1. BPDAS Tondano

2. Forum DAS

3. Dishuttamben

4. BWS-2 Gorontalo

5. BLH

6. Bappeda Provinsi

7. Dinas Pertanian Tanaman

Pangan dan Perkebunan

8. Dinas peternakan dan

perikanan

9. Dinas PU Provinsi

10. Dinas Pariwisata

1. BAPPPEDA/BALIHRIS

TI

2. BPN

3. PLN

4. PDAM

5. Perguruan Tinggi

(UNG, UG)

B. Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder dilakukan untuk mengetahui minat/kepentingan

dan peranan masing-masing stakeholder dan wewenang mereka dalam

pengelolaan DAS. Keberhasilan dari penanganan suatu masalah yang

kompleks dan terkait dengan banyak pihak, bergantung pada pemahaman

yang jelas pada minat dan hubungan antar stakeholder (pihak terkait). Ada

delapan teknik analisis stakeholder menurut Bryson (2003), diantaranya

adalah teknik Power versus Interest Grids yang digunakan pada penelitian

ini. Analisis ini dimulai dengan menyusun stakeholder pada matrix dua kali

dua menurut Interest (minat) stakeholder terhadap suatu masalah dan

Power (kewenangan) stakeholder dalam mempengaruhi masalah tersebut.

Interest adalah minat atau kepentingan stakeholder terhadap

pengelolaan DAS. Hal ini bisa dilihat dari tupoksi masing-masing instansi.

Power adalah kekuasaan/wewenang stakeholder untuk mempengaruhi atau

membuat kebijakan maupun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan

pengelolaan DAS. Berikut ini disajikan matriks analisis stakeholder pengelola

DAS.

Page 68: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

48| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

A. Subject

- Forum DAS/LK-PDAS**

- LSM dan masyarakat yang

peduli terhadap

pengelolaan DAS*

- Akademisi/Perguruan

Tinggi**

B. Players

- BPDAS*

- BWSS I dan II*

- Dishut Kabupaten*

- Dinas PU Kabupaten*

- Dinas Pertanian dan

perkebunan**

- Dinas Perikanan dan

pariwisata**

- Balitbangda**

- BPLH/BLH Kab**

D. Crowd

- Masyarakat umum

C. Contest setter

-Bappeda/Bappelitbangda**

Power

Keterangan : * = sangat penting ** = penting

Gambar 1. Matriks analisis stakeholder (kedudukan stakeholder dalam

pengelolaan DAS)

Gambar 1 menunjukkan bahwa kuadran subjek merupakan kelompok

stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi namun memiliki kewenangan

dan pengaruh yang rendah terhadap pengelolaan DAS. Kelompok

stakeholder ini terdiri dari individu atau kelompok yang memiliki kegiatan

pelestarian lingkungan, pengambil manfaat dari sumberdaya alam dalam

DAS, akan tetapi stakeholder ini tidak memiliki kewenangaan dalam

pengambilan keputusan ataupun perencanaan dalam kebijakan program

pengelolaan DAS. Kelompok masyarakat menjadi salah satu stakeholder

kunci yang memiliki kepentingan terhadap kelestarian sumberdaya alam

karena mereka mendapatkan manfaat langsung dari kelestarian DAS,

Namun secara kewenangan mereka memiliki kekuatan rendah dalam

menentukan kebijakan pengelolaan DAS terpadu. Selain itu keberadaan

forum DAS baik Forum DAS Limboto maupun Tondano dianggap tidak

mempunyai kewenangan dan pengaruh yang besar dalam kegiatan

pengelolaan DAS karena forum ini hanya sebatas tempat bertukar pikiran

dan diskusi yang tidak didukung oleh payung hukum yang jelas. Yang

Inte

rest

High

Low High

Page 69: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

49

termasuk kedalam subyek dalam pengelolaan DAS ini adalah Forum DAS

dan Masyarakat yang peduli terhadap pengelolaan DAS serta akademisi.

Kuadran players merupakan kelompok stakeholder yang memiliki

tingkat minat/kepentingan dan kewenangan yang tinggi dalam mewujudkan

keberhasilan pengelolaan DAS. Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi

memiliki otoritas yang tinggi dalam perumusan kebijakan, perencanaan serta

penganggaran dalam pengelolaan. Selain itu stakeholder tersebut juga

memiliki peran mengorganisir, mengkoordinasikan serta mensinkronkan

program kegiatan dalam pengelolaan DAS. Stakeholder yang termasuk

dalam kategori players antara lain :

a. BPDAS Bone-Bolango/ Tondano

b. Dinas Kehutanan Provinsi

c. Dinas Kehutanan Kabupaten.

d. Dinas Pertanian

e. BLH

f. Balitbangpedalda

g. Dinas PU Prop/Kab

Stakeholder yang masuk dalam kuadran contest setter memiliki

minat/kepentingan yang rendah dengan pengaruh yang tinggi dalam proses

penentuan kebijakan. Tingkat pengaruh yang tinggi terkait dengan

terselenggaranya perencanaan pembangunan di daerah, memiliki

minat/kepentingan yang rendah karena dalam perencanaan belum

mendorong secara optimal pengelolaan DAS terpadu. Selain itu, pengaruh

yang tinggi karena perguruan tinggi melakukan penelitian, melakukan

ekspose hasil penelitian yang dapat mempengaruhi pengambil kebijakan.

a. Bappeda Provinsi

b. Universitas/Perguruna Tinggi

c. Bappppeda Kabupaten

Sedangkan stakeholder yang masuk dalam kuadran crowd memiliki

pengaruh yang rendah dan kepentingan yang rendah pula. Dengan adanya

stakeholder yang masuk dalam crowd ini menghambat terwujudnya

pengelolaan.

C. Sistem Pendanaan Kelembagaan Pengelolaan DAS Terpadu

Pada akhirnya keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila

program dan perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat

diimplementasikan ditingkat tapak. Untuk keperluan tersebut dukungan

penganggaran merupakan kebutuhan mutlak. Dari uraian latarbelakang di

Page 70: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

50| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

atas telah dikemukakan bahwa salah satu kendala tidak berjalannya konsep

pengelolaan DAS terpadu adalah dukungan dana yang tidak jelas. Oleh

karena itu diperlukan kajian untuk menyusun sistem pendanaan yang tepat

sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu.

Berdasarkan ketersediaan dana, maka hampir dipastikan bahwa untuk

kepentingan teknis pengelolaan DAS Tondano, kabupaten minahasa sangat

tergantung dengan bantuan pendanaan dari pemerintah provinsi maupun

pemerintah pusat dan luar negeri. Sebab anggaran daerah yang bersumber

dari DAU, 70-80 % hanya habis untuk pembiayaan belanja pegawai.

Berdasarkan hal itu, dengan memandang DAS Tondano dan DAS

Limboto sebagai DAS Strategis nasional dengan Danau Tondano dan Danau

Limboto didalamnya maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan

perhatian yang serius terhadap upaya pelestarian DAS khususnya di hulu.

Yang berjalan selama ini adalah; program pembantuan pemerintah pusat

terhadap upaya pelestarian DAS langsung dilaksanakan oleh instansi terkait

dengan Kementerian pemberi program dan tentunya akan mengikuti

standard dan kriteria yang ditetapkan oleh Kementerian yang bersangkutan

karena pertanggungjawabannya pun kepada Kementerian bersangkutan.

Yang menjadi permasalahan adalah karena kadang-kadang program

pembantuan tersebut tidak sinkron dengan program pembangunan yang

disusun oleh pemerintah daerah.

Bila memandang DAS Tondano dan DAS Limboto berdasarkan letak

administrasinya serta peran DAS Tondano bagi pembangunan Sulawesi

utara dan DAS Limboto di Gorontalo, maka pemerintah provinsi bertanggung

jawab penuh dan berkewajiban memberikan perhatian bagi penyelamatan

DAS Tondano dan DAS Limboto. Yang dirasakan oleh pemerintah Kabupaten

Minahasa dan Kabupaten Gorontalo adalah bahwa pemerintah provinsi

belum ada perhatian khusus dan terkesan membiarkan tanggung jawab

pelestarian DAS bahkan hasil retribusi dari PLN dan PDAM serta perusahaan

air minum lainnya yang langsung maupun tidak langsung menggunakan

sumberdaya air DAS Tondano tidak jelas pembagian dan peruntukannya.

Padahal kewenangan pemungutan retribusi ditangani oleh pemerintah

provinsi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan SKPD di tingkat kabupaten

bahwa mekanisme pendanaan dalam rangka pengelolaan DAS yang

memungkinkan bisa dilaksanakan sekarang ini adalah sebagai berikut:

- Menggunakan skema DIPA di masing-masing SKPD teknis yang

bersumber dari APBD. Kendala yang dihadapi dengan cara ini adalah

Page 71: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

51

bahwa dana APBD sangat terbatas sedang program prioritas daerah

sangat banyak khususnya untuk sektor infrastruktur, pertanian,

kesehatan dan pendidikan.

- Anggaran tugas pembantuan dari pusat/kementerian berupa DAK

(Dana Aloksi Khusus). Skema ini bagi daerah sangat memungkinkan

karena disamping bisa mengeleminir keterbatasan dana daerah juga

koordinasi pusat dan daerah bisa terjalin dengan baik. Hal ini sudah

dibuktikan dalam implementasi GERHAN di lapangan. Kelemahan

skema ini hanya melibatkan kementerian tertentu saja dan SKPD

tertentu saja. Belum melibatkan semua pemangku di dalam DAS.

- Anggaran dari UPT Kementerian seperti dana dari Kemenhut cq.

BPDAS; dari Kemen. PU cq. BWS; dana dari Kemeneg. Lingkungan

Hidup, cq BLH. SKPD siap memfasilitasi dan membantu di daerah.

- Anggaran dari lembaga donor dan pihak ketiga.

Menurut pandangan dan pendapat pimpinan SKPD bahwa yang paling

penting adalah sumber dananya jelas dulu, baru membahas siapa, berbuat

apa, dimana, kapan, bagimana dalam suatu DAS tertentu. Bila ini semua

jelas maka tentu KISS dalam konsep pengelolaan terpadu dengan sendirinya

akan terwujud karena KISS merupakan dampak dari berjalannya kegiatan

kolaboratif.

D. Keterkaitan RPDAS Terpadu dengan Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata

cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana

pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang

dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat

Pusat dan Daerah. Secara ringkas sistem perencanaan pembangunan

nasional berdasarkan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Hierarki sistem perencanaan pembangunan nasional

No Tingkat Nasional Tingkat Daerah

(Provinsi dan

Kabupaten/ kota

Kementerian

dan

Lembaga

SKPD Periode

1 RPJP Nasional RPJP Daerah 20 tahun

2 RPJM Nasional RPJP Daerah Rentra-KL Rentra-

SKPD

5 tahun

3 RKP RKPD Renja-KL Renja-

SKPD

1 tahun

Page 72: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

52| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Proses penyusunan RPJM Nasional/Daerah dan RKP/RKPD dilakukan

melalui urutan kegiatan sebagai berikut:

a. Penyiapan rancangan awal rencana pembangunan;

b. Penyiapan rancangan rencana kerja;

c. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang)

d. Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Adapun penyusun dan pengesahaan sistem perencanaan pembangunan

nasional seuai dengan UU no. 25 tahun 2004 adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Penyusun dan pengesahan perencanaan pembangunan nasional di

berbagai level pemerintahan

No Level

Pemerintahan

Jenis Perencanaan

(Periode)

Penyusun Penetapan/

Pengesahan

1 Nasional RPJP-Nas

(20 tahun)

Menteri/Kepala

Bappenas

Undang-undang

RPJM -Nas

(5 tahun)

sda PERPRES

RKP(1 tahun) sda PERPRES

2 Kementerian/

Lembaga (KL)

RENSTRA- KL

(5 tahun)

Menteri/kepala

lembaga

sektoral

Peraturan

Pimpinan

Kementerian/

Lembaga

RENJA - KL

(1 tahun)

sda Peraturan

Pimpinan

Kementerian/

Lembaga

3 Daerah

( Provinsi dan

Kebupaten/

kota)

RPJP-Daerah

(20 tahun)

Kepala

Bappeda

PERDA

RPJM-Daerah

(5 tahun)

sda Peraturan

Kepala Daerah

RKPD

( 1 tahun)

sda Peraturan

Kepala Daerah

4 SKPD (Provinsi

dan

Kabupaten/

Kota)

RENSTRA SKPD

(5 tahun)

Kepala SKPD Peraturan

Pimpinan SKPD

RENJA SKPD

(1 tahun)

sda Peraturan

Pimpinan SKPD

Setelah RKP ditetapkan dan disahkan maka RKP menjadi pedoman

Penyusunan RAPBN oleh DPR. Demikian pun dengan RKPD menjadi

pedoman penyusunan RAPBD oleh DPRD.

Page 73: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

53

Berdasarkan hierarki, proses penyusunan dan penetapan rencana

pembangunan nasional bila dikaitkan dengan RPDAS terpadu maka hingga

saat ini belum masuk dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.

Oleh karena itu bila RPDAS terpadu bisa diterapkan secara nasional maka

RPDAS tersebut harus masuk dalam sistem perencanaan pembangunan

nasional sebagaimana diatur dalam UU no. 25 tahun 2004 yang selama ini

dijalankan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Sesungguhnya RPDAS terpadu dapat diakomodasi dalam sistem

perencanaan pembangunan nasional kerena dalam pasal 1 UU no. 25 tahun

2004 disebutkan bahwa Program Kewilayahan dan Lintas Wilayah adalah

sekumpulan rencana kerja terpadu antar-Kementerian/Lembaga dan Satuan

Kerja Perangkat Daerah mengenai suatu atau beberapa wilayah, daerah,

atau kawasan. Program kewilayahan dan lintas wilayah dimaksud sangat

sesuai dengan program pengelolaan DAS. Untuk itu maka hanya dibutuhkan

usaha berupa mekanisme pengaturannya agar RPDAS masuk dalam sistem

perencanaan pembangunan nasional karena perangkat peraturan

perundang-undangan memungkinkan untuk itu.

Untuk tingkat kabupaten/kota, RPDAS harus masuk dalam RPJP daerah,

RPJM daerah dan RKPD. Dengan demikian maka akan dapat dituangkan

dalam Renstra dan Renja SKPD agar bisa terimplementasi secara formal. Bila

hal ini sudah berjalan maka kendala mengenai RPDAS tidak diakomodir oleh

Pemda dan sumber pendanannya yang dialami selama ini dapat tereleminir.

E. Respon Pemda terhadap RPDAS Terpadu

Pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam analisis ini adalah

mengapa Pemda terkesan sulit mengadomodasi RPDAS terpadu yang telah

dibuat oleh kementerian kehutanan cq. BPDAS Tondano di Sulut dan BPDAS

Bonebolango di Gorontalo. Untuk menjawab pertanyaan ini peneliti

menggunakan pendekatan kajian peraturan perundangan yang berlaku dan

pendapat para pimpinan stakeholder pengelola DAS di Kabupaten Minahasa,

Bolmong, dan Kabupaten Gorontalo.

Bila ditinjau dari segi peraturan perundangan-undangan bahwa sistem

perencanaan pembangunan di daerah mengacu pada UU no. 25 tahun 2004.

Dengan demikian maka semua program pembangunan di daerah termasuk

mengenai program pengelolaan DAS terpadu seharusnya masuk dalam

proses penyusunan dan penetapan RPJP, RPJM, RPKD, Renstra dan Renja

SKPD. Namun dalam kenyataannya bahwa proses penyusunan RPDAS

terpadu ternyata terpisah dengan proses penyusunan rencana

Page 74: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

54| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

pembangunan di daerah. Penyusunan RPDAS terpadu disusun oleh

Kementerian Kehutanan cq. BPDAS. Dengan demikian maka posisi pemda

dalam hal mengakomodasi RPDAS sangat sulit karena bila RPJP, RPJM,

RPKD, Renstra dan Renja SKPD telah ditetapkan sedangkan RPDAS hendak

masuk maka hal ini tidak memungkinkan.

Hal ini sangat terkait dengan alokasi pendanaan karena dalam UU no

25 tahun 2004 juga telah diatur bahwa bila RKPD telah ditetapkan dan

disahkan maka RKPD tersebut menjadi pedoman penyusunan RAPBD oleh

DPRD. Konsekuensinya bila RPDAS tidak masuk dalam RKPD maka tentu

tidak akan mendapat alokasi anggaran dari APBD. Dengan demikian maka

RPDAS tidak bisa dijalankan oleh SKPD dengan menggunakan APBD.

Hal inilah yang mengakibatkan sikap Pemda/SKPD terkesan sulit

mengadomodasi RPDAS terpadu. Dengan kondisi demikian sikap SKPD

hanya menunggu bila program dan kegiatan RPDAS terpadu dilengkapi

dengan dana dari inisiator itu sendiri, posisi SKPD siap membantu

mengimplementasikannya. Bila inisiator mengharapkan dana dari APBD

maka hal ini sulit terealisasi.

F. Alternatif Kelembagaan Pengelolaan DAS

Dalam menentukan dan mengembangkan bentuk kelembagaan

pengelolaan DAS, ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan.

Pertimbangan tersebut didasarkan pada kekuatan dan kelemahan yang ada

pada setiap bentuk kelembagaan tersebut (Kartodihadrjo, 2004). Secara

umum ada tiga bentuk kelembagaan yaitu (Yudono dan Iwanuddin, 2008):

a. Bentuk kelembagaan Polycentric, yaitu kelembagaan yang menganggap

individu sebagai dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang

itulah yang diartikulasikan kedalam tindakan. Tidak ada supremasi

otoritas, otoritas tergantung pada bagaimana mempertemukan

kepentingan dalam suatu struktur pengambilan keputusan antar pihak

(Kartodihardja, 2004). Kelebihan dari sebuah sistem polycentric yaitu

masing-masing wilayah dan masing-masing sektor berkedudukan setara,

salah satu ciri polycentric adalah mampu untuk menangani sistem yang

kompleks dan sistem biofisik yang dinamik. Kelemahan dari sistem

polycentric adalah belum adanya saling percaya baik secara hierarki,

maupun secara horizontal, lemahnya asas timbal balik, kurangnya arahan

sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks.

b. Bentuk kelembagaan Monocentric; dalam kelembagaan ini otoritas

terpusat di satu titik, hubungan antar anggota tidak setara, tetapi

Page 75: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

55

dibawah komando dari pusat. Kelebihan sistem ini adalah bersifat

sentralistik sehingga memungkinkan dilaksanakannya konsep one river,

one plan and multi management. Ada arahan yang jelas dari pusat.

Kelemahan kelembagaan Monocentric, antara lain pengelolaan DAS

hanya sampai pada tataran formal, kurang implementatif dan

mengurangi kewenangan wilayah administrasi, padahal yang diinginkan

adalah kerjasama dari mereka.

c. Bentuk kelembagaan gabungan Polycentric dan Monocentric;

kelembagaan ini merupakan kombinasi antara bentuk lembaga

Polycentric dengan Monocentric, artinya masing-masing pihak

mempunyai kedudukan yang setara, tetapi masih ada beberapa arahan

dari pusat, misalnya dalam hal kebijakan, penyusunan pola perencanaan

dan pedoman monitoring dan evaluasi.

Dari tiga bentuk kelembagaan yang disebutkan di atas maka bentuk

lembaga yang paling sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan DAS

terpadu adalah bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan

Monocentric. Bentuk kelembagaan kombinasi Polycentric dengan

Monocentric adalah kelembagaan bersama (colaborative), baik dengan

membentuk lembaga baru atau memanfaatkan kelembagaan yang sudah

ada. Bentuk kelembagaan bersama (dalam bentuk forum/badan koordinasi)

merupakan salah satu alternatif yang paling memungkinkan dalam

pembentukan kelembagaan pengelolaan DAS saat ini.

Secara faktual untuk mendapatkan suatu kelembagaan pengelolaan

DAS yang baik dan diakui oleh semua pihak tidak bisa instan. Lembaga

bukanlah blue print karena bersifat dinamis. Seiring dengan waktu maka

sambil jalan dengan kegiatan di lapang, lembaga yang mengawal kegiatan

tersebut akan mengalami proses penyempurnaan. Untuk itu lembaga

pengelolaan DAS terpadu dirancang agar bisa mengikat semua pemangku

DAS. Sebagai langkah awal perlu dibuat prototipe lembaga pengelolaan DAS

terpadu yang legitimate. Artinya bahwa perlu suatu “payung hukum” yang

mengikat semua pemangku berupa peraturan perundangan-undangan serta

turunannya sebagai pedoman dalam menjalankannya. Dengan demikian

maka kendala utama yang selama ini dirasakan soal koordinasi, integrasi,

sinkronisasi, sinergitas (KISS) yang lemah dan sulit terlaksana serta

dukungan dana yang tidak jelas bisa tereleminasi. Disamping itu slogan

“siabudiba” (siapa, berbuat apa, dimana, dan bilamana) dalam pengelolaan

Page 76: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

56| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

DAS akan lebih jelas dan bisa terlaksana dengan baik. Prakondisi

pembentukan prototipe kelembagaan DAS terpadu adalah:

- Adanya peraturan perundangan-undangan serta turunannya sebagai

pedoman dalam menjalankannya yang bersifat mengikat semua

pemangku DAS

- Memanisme penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu harus link

dengan proses perencanaan di Pemda/SKPD sebagai bagian dari

pemangku DAS. Dengan demikian dihasilkan perencanaan yang dapat

dijalankan oleh semua pemangku, baik itu intansi pusat maupun instansi

daerah.

- Hal yang paling krusial adalah adanya dukungan dana yang jelas,

kontinu, legal dan akuntabel.

Bila prakondisi diatas sudah dilakukan maka berlanjut kepada

pembentukan Prototipe Kelembagaan DAS terpadu. Prototipe Kelembagaan

DAS terpadu bisa berjalan secara baik bila:

- Ada issu pokok yang menjadi prioritas penanganan

- Ada role of the game yang jelas

- Kualifikasi SDM yang memadai

- Ada sumber dana yang jelas, kontinu dan legal.

G. Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah

Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh

strategi pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan

berkeadilan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Dari uraian diatas

terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola DAS secara berkelanjutan masih

lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas (Capacity

building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat

ditempuh dalam peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya

konflik antar wilayah adalah :

1. Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan

Masing-masing daerah otonom perlu memahami mekanisme hidrologis

yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas regional.

Mekanisme hidrologis menekankan adanya karakteristik

ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial.

Sebagai contoh terjadi penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS

dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat musim hujan di bagian hilir, dan

meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat menurunkan kualitas air

aliran sungai di hilirnya.

Page 77: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

57

Masalah ketidakmerataan dan ketidakefisienan penggunaan alokasi SDA

yang mencakup kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik

antar daerah. Daerah yang memiliki sumberdaya lebih dan cenderung

menguasainya secara eksklusif akan mengancam daerah-daerah lainnya

sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan memicu

terjadinya inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian

sumberdaya serta memicu konflik.

Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu

saling terkait, sehingga untuk menghindari terjadinya konflik dalam

pemanfaatan SDA perlu dibangun kesepakatan antar daerah otonom. Dasar

kesepakatan adalah komitmen bersama untuk membangun sistem

pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi pada

upaya untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan

ekonomi, ekologis, dan sosial budaya. Komitmen bersama antar daerah

otonom adalah strategi awal yang perlu dilakukan untuk menyusun langkah-

langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor dari ketidakberhasilan

pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen bersama

antar daerah secara baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya

perhatian dan tanggung-jawab bersama terhadap kelestarian SDA pada

setiap unit kegiatan pembangunan di daerah masing-masing.

Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan

melakukan negosiasi politik antar daerah yang didasarkan pada adanya

kepentingan bersama dalam memanfaatkan SDA, sehingga alokasi dan

distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil.

Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk

Badan Kerjasama antar Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999).

Keputusan bersama yang membebani masyarakat dan daerah harus

mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika Kabupaten/Kota tidak

dapat melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan

penyediaan pelayanan lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh Provinsi.

Apabila kerjasama antar Provinsi diperlukan maka kerjasama tersebut harus

dibawah koordinasi pemerintah pusat. Kewenangan provinsi juga mencakup

kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam

pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing. Jika

pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik

kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka Kabupaten dan Kota dapat

membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh

Provinsi.

Page 78: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

58| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

2. Membangun Sistem Legislasi yang Kuat

Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan

memiliki kekuatan untuk mengendalikan perilaku masyarakat (publik)

apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum) yang memadai. Legislasi

dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam merancang dan

mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran

legislasi dalam menjamin pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah :

a. Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya

yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk institusi dan perangkat

organisasi yang dibutuhkan dalam mengimplementasikan pengelolaan

DAS berkelanjutan.

b. Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan

menjamin sahnya alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah

c. Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan

dalam DAS dan “memaksa” publik untuk mentaati prinsip-prinsip

pengelolaan DAS berkelanjutan.

Legislasi lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam

hubungannya dengan alokasi dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti

lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam. Perilaku manusia dalam

memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak menimbulkan

degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Legislasi memberikan kekuatan (power) dan kewenangan (authorities)

kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk berdasarkan undang-

undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan,

pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian

konflik dan sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan

sumberdaya alam dan lingkungan untuk mewujudkan tujuan pengelolaan

sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable natural resources

development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan

kemanfaatan sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan

pengelolaan DAS.

3. Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS.

Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks,

rumit, dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan

dan kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Institusi mengatur apa

yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam kondisi bagaimana

individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah

Page 79: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

59

instrumen yang mengatur antar individu. Institusi sebagai modal dasar

masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif yang

mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku

tertentu yang disetujui bersama untuk meningkatkan produktifitas

anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi masyarakat yang rusak

secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi

faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya

(Kartodihardjo et al., 2000).

Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat

kepemilikan (property rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan

(jurisdiction boundary) masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya, dan

aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam memanfaatkan

sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi

pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan

dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang

diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas

yang dimilikinya.

Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai

tujuan-tujuan pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan

prasyarat penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi

pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand.

Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan

kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam

dan lingkungan merupakan indikator lemahnya institusi pengelolaan DAS di

Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di Indonesia belum memiliki

peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat

keproyekan, sehingga intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama

proyek masih ada.

Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia

sebagai institusi formal cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara

lain adalah masalah koordinasi program; seringkali program yang sama atau

mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda.

Duplikasi program akan menyebabkan ketidakefisienan anggaran

berupa pemborosan dan mark-up, ketidaksinambungan pembinaan program,

serta ketidakjelasan rentang kewenangan pengelolaan DAS. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum menerapkan

Page 80: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

60| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga

tingkat keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one

river one plan belum diimplementasikan secara menyeluruh.

4. Meningkatkan Kualitas SDM

Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum

masih rendah dan terdapat kesenjangan di seluruh daerah otonom.

Kemampuan petani, perencana pengelolaan DAS, pejabat yang

melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola SDA

secara berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan.

Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat

apa yang harus dia lakukan didalam usahataninya agar tidak terjadi

degradasi lahan yang dapat menurunkan produktivitas lahannya. Para

penyuluh pun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman yang memadai

untuk membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi

atau teknik-teknik konservasi yang memadai. Pejabat yang berwenang

menentukan kebijakan pun tidak punya pemikiran dan konsep yang

menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dalam

suatu DAS.

Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara

terus menerus untuk meningkatkan kapasitas individu/SDM dalam

pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan berkelanjutan terlaksana

diseluruh DAS dan daerah otonom.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk kelembagaan yang paling sesuai dalam pengelolaan DAS lintas

kabupaten saat ini adalah kelembagaan kolaboratif baik itu berupa

Forum DAS atau Lembaga Koordinasi Pengelolaan DAS (LK-PDAS).

Anggota lembaga ini adalah pimpinan instansi di daerah/SKPD.

Lembaga ini bersifat non struktural dan bertanggung jawab langsung

ke Gubernur sebagai pemegang otoritas kebijakan. Forum DAS/LK-

PDAS berfungsi sebagai wadah komunikasi, konsultasi dan koordinasi

antar para pihak terkait untuk membantu Gubernur merumuskan

kebijakan pengelolaan DAS lintas kabupaten.

2. Forum/Lembaga Koordinasi DAS bukan lembaga eksekutif pengelolaan

DAS karena pelaksanaan pengelolaan DAS tetap dilakukan oleh

lembaga atau instansi teknis kementerian dan satuan kerja pemerintah

daerah (SKPD) sesuai kewenangan dan tupoksinya masing-masing.

Page 81: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Strategi Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS……. Kristian Mairi, Iwanuddin dan Isdomo Yuliantoro

61

3. Perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang telah disusun harus masuk

dalam tahapan dan mekanisme penyusunan rencana pembangunan

nasional sesuai dengan UU. No.25 tahun 2004 yaitu melalui

MUSRENBANGDA.

4. Program pengelolaan DAS terpadu mau tidak mau harus masuk dalam

program pembangunan nasional jangka panjang dan menengah (RPJP

& RPJM) sehingga dapat dijalankan di level kabupaten maupun provinsi

(sikron dengan RKPD) dan disyahkan oleh pejabat yang berotoritas

tinggi agar mendapat legitimasi yang kuat dan dapat diikuti instansi

SKPD dan instansi vertikal kementerian teknis.

5. Optimalisasi peran dan fungsi Forum DAS atau LK-PDAS sangat

ditentukan oleh dukungan intansi pemerintah terutama soal kebijakan

dan pendanaannya.

6. Sumber perdanaan pengelolan DAS terpadu untuk SKPD adalah APBD

dan dana tugas pembantuan dari pusat berupa DAK serta pihak

ketiga/lembaga donor, sedangkan UPT kementerian bersumber dari

APBN.

7. Semua sumber pendanaan untuk pengelolaan DAS dikoordinasikan

melalui forum DAS atau LK-PDAS untuk mensinkronkan dengan

kegiatan agar prinsip one river, one plan, multi manajemen bisa

terealisasi.

8. Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan

melalui peningkatan kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi

: (a) membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom

dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi yang kuat;

dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam

pengelolaan SDA dan (d) meningkatkan kapasitas SDM melalui

pelatihan (training).

B. Saran

1. Keterpaduan pengelolaan DAS akan jelas terlihat bila program dan

perencanaan pengelolaan DAS terpadu dapat diimplementasikan

ditingkat tapak. Untuk itu dukungan penganggaran yang jelas dan

kontinyu dari institusi yang terlibat merupakan kebutuhan mutlak

sebagai motor penggerak kelembagaan pengelolaan DAS terpadu.

2. Perlu ada suatu pilot project implementasi pengelolaan DAS terpadu

dimana dalam satu DAS prioritas tertentu semua unsur terkait terlibat

melaksanakan kegiatan pengelolaan DAS secara bersama-sama sesuai

Page 82: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

62| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

dengan tupoksi dan rencana kerjanya dalam satu bingkai rencana untuk

membuktikan sejauh mana keterpaduan seperti dalam konsep

pengelolaan DAS terpadu dapat diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

Bryson, J,M. 2003. ”what to do when stakeholder matter; a guide to stakeholder identification and analysis techniques. University of minnoseta

Kementerian Kehutanan. 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ditjen RLPS Dit. RLKT.

Kementerian Kehutanan –a. 2001. Eksekuitf. Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta.

Kementerian Kehutanan –b. 2001. Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. DitJen. RLPS. Dit. RLKT. Jakarta.

Kementerian Kehutanan dan Perkebunan RI. 2000. Pedoman Survey Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesia (PSSEKI). P2SE. Bogor

Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS danKonservasi Tanah. K3SB. Bogor.

Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai: Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Kerr, John. 2007. “Watershed management; Lessons from common property theory”. International Journal of The Commons 1(1):89-109. publisher: Igitur Utrecht Publishing & Archiving Services For IASC.

Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri; Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum, No.19 tahun 1984 – No.059/Kpts-II/1984 – No.124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984, tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan Daerah Aliran Sungai Prioritas.

Yudono, H. dan Iwanuddin. 2008. Kelembagaan dan nilai air DAS: Mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai saat ini (Pengalaman dari Sub DAS Mararin, DAS Saddang, Tana Toraja). Prosiding Penelitian Puslit Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Page 83: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

63

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi

Tanah ( RLKT ) Berbasis Perilaku Petani

(Studi Kasus RLKT pada Lahan Kering Berlereng di DTA

Tondano)1

Hengki Djemie Walangitan2

ABSTRAK

Perilaku petani sebagai faktor non ekonomi seringkali diabaikan dalam perumusan

kebijakan akibatnya program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) tidak

sepenuhnya diadopsi dan terimplementasi secara berkelanjutan. Penelitian ini

dilakukan untuk mendeskripsikan keragaan usahatani konservasi serta menganalisis

kebijakan RLKT yang bersesuaian dengan perilaku petani di Daerah Tangkapan Air

(DTA) Danau Tondano. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77 % keragaan

usahatani konservasi di DTA Danau Tondano tergolong kategori sedang hingga baik.

Keragaan tersebut dipengaruhi oleh faktor umur, persepsi, dan luas aset lahan kering

dan sawah yang dikuasai. Keragaan konservasi tanah juga berbeda secara signifikan

antar wilayah sub DTA. Berdasarkan analisis perilaku tersebut maka strategi

perbaikan kualitas konservasi tanah dilakukan dengan pendekatan sub DTA sebagai

berikut : (1) sub DTA bagian timur adalah pengembangan sistem agroforestry tertata

dengan tanaman cengkeh sebagai komoditas basis, (2) di sub DTA bagian barat

adalah pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis pangan dan ternak sapi

(jagung-strip rumput hijauan ternak), dan (3) di sub DTA selatan dirancang dalam

sistem agroforestry basis tanaman hortikultura. Penanaman pohon penghasil

serasah/bahan organik untuk menjamin kesehatan tanah dalam jangka panjang.

Kata kunci: perilaku, keragaan, agroforestry

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano memiliki peran vital

dan strategis bagi perekonomian wilayah. Fungsi ekonomi dan ekologis

tersebut telah memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi

Sulawesi Utara, melalui manfaat langsung (tangible) dan tidak langsung

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan

Manado, Manado 9 Oktober 2014. 2

Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Unsrat Manado; Jln. Kampus Unsrat Kleak

Manado 95115 phone 0431-862768 fax 0431-86278; Email: hengki [email protected].

Page 84: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

64| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

(intangible). Kebijakan pemerintah untuk mempertahankan eksistensi

ekosistem DAS Tondano khususnya pada wilayah DTA Danau Tondano

dilakukan dengan menetapkan DAS Tondano sebagai satu diantara 22 DAS

prioritas di Indonesia pada Tahun 1984, selanjutnya pada tahun 2012

pemerintah mempertegas status DAS Tondano sebagai DAS strategis

nasional.

Upaya pengelolaan DAS Tondano telah dimulai jauh sebelum negara

Indonesia merdeka yaitu melalui kegiatan relokasi penduduk di sekitar

danau ke wilayah baru dalam program kolonisasi sekitar tahun 1930-an.

Rehabilitasi lahan telah dilakukan sejak Repelita I, melalui program

penyelamatan tanah dan air (Inpres Reboisasi dan Penghijauan Tahun

1976–1998) hingga program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan

Lahan (GNRHL) tahun 2003–2009. Realisasi program GNRHL di wilayah DAS

Tondano sejak tahun 2003 hingga tahun 2005 meliputi 93 lokasi hutan

rakyat dan 37 lokasi reboisasi (BPDAS Tondano, 2008).

Sasaran rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada kawasan

budidaya DAS Tondano tercantum dalam dokumen Rencana Pengelolaan

DAS Terpadu (RPDAST) Tahun 2008 adalah sebagai berikut : (1)

memperbaiki kualitas lahan (kesuburan biologis dan kimia) dalam

mendukung produktivitas pertanian berkelanjutan, (2) menurunnya laju

erosi tanah pada lahan pertanian hingga pada kategori sangat ringan, (3)

meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam upaya

mengimplementasikan konservasi dan rehabilitasi lahan dalam sistem usaha

tani, dan (4) terwujudnya sistem pemanfaatan lahan pertanian

berdasarkan kemampuan lahan untuk mendukung pemanfaatan lahan yang

lestari (BPDAS Tondano, 2008).

Lebih lanjut diuraikan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan

konservasi tanah dan air dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan DAS

terpadu adalah sebagai berikut : (1) mengintegrasikan sistem konservasi

tanah dan air dalam program revitalisasi pertanian yang dicanangkan

pemerintah, (2) mengembangkan sistem usahatani ramah lingkungan

seperti pertanian organik dan usahatani konservasi, (3) revitalisasi peran

penyuluh pertanian, (4) membatasi konversi lahan pertanian produktif

untuk tujuan non produksi pertanian, dan (5) menciptakan nilai tambah

produk pertanian dengan mengembangkan industri-industri yang berbasis

hasil pertanian.

Menurut Soemarno (2004), terdapat dua sub sistem yang harus

dipelajari dalam rangka pengembangan kebijakan RLKT secara

Page 85: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

65

berkelanjutan yaitu : (a) sosio-sistem, ditelusuri melalui pola hidup

masyarakat, tingkat pengetahuan dan pendidikan, kesehatan, pendapatan

perkapita dan tingkat kepedulian terhadap potensi sumberdaya alam dan

lingkungannya, serta (b) tekno-sistem, ditelusuri berdasarkan aspek

penggunaan tanah baik untuk penerapan teknologi budidaya, industri,

maupun pemanfaatan lainnya yang erat kaitannya dengan konservasi

tanah.

Kebijakan yang tepat untuk mendorong terimplementasinya konservasi

tanah pada tingkat usahatani secara berkesinambungan, hanya dapat

dikembangkan jika didukung oleh informasi yang lengkap terutama

berkaitan dengan perilaku sosial ekonomi dan budaya konservasi

masyarakat suatu wilayah. Pagiola (1998) mengatakan bahwa tanpa

pemahaman yang jelas mengenai alasan petani mengadopsi konservasi

tanah dalam sistem penggunaan lahan tidak mungkin membuat kebijakan

yang tepat bagi terlaksananya sistem usahatani konservasi secara

berkelanjutan.

Perilaku petani sebagai faktor non ekonomi dalam farming sistem telah

menjadi bahan kajian yang menarik pada beberapa tahun terakhir. Hal ini

terkait dengan fenomena adanya perbedaan yang sangat mencolok

produktivitas lahan antara negara maju dan negara berkembang. Demikian

juga dalam konteks lokal, sering dijumpai perbedaan produktivitas dan

kesejahteraan petani pada suatu agroekosistem yang sama. Kajian perilaku

usahatani konservasi berkaitan dengan apa yang dilakukan pada masa lalu,

masa sekarang dan apa yang mereka rencanakan untuk dilakukan pada

masa yang akan datang. Menurut Silalahi (2010) kajian perilaku

mempertanyakan siapa mengerjakan apa, kapan, dimana dan mengapa.

Wujud aktual sistem usahatani termasuk teknik konservasi tanah yang

diterapkan petani pada suatu wilayah dan waktu tertentu dapat menjadi

gambaran perilaku petani.

Studi keragaan usahatani konservasi sebagai potret perilaku petani

umumnya menggunakan pendekatan logit atau probit (Pereira, 2010).

Model logit dan probit pada prinsipnya hanya menilai keragaan konservasi

tanah dengan melihat apakah petani mengadopsi atau tidak mengadopsi

(adopters or non-adopters) terutama teknik konservasi mekanis. Pada

kenyataannya berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat adopsi

teknologi konservasi sangat bervariasi baik mekanis maupun vegetatif. Oleh

sebab itu penilaian tingkat adopsi harusnya yang mencakup semua

parameter konservasi tanah dalam model intensitas adopsi yang dinyatakan

Page 86: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

66| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

dalam bentuk nilai indeks keragaan tidak hanya dalam model logit dan

probit.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dilakukan untuk

mengeksplorasi keragaan usahatani konservasi pada lahan kering berlereng

di Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Tondano sebagai wujud aktual

perilaku petani dan menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan

perbaikan kualitas konservasi tanah dan air untuk mewujudkan pertanian

berkelanjutan.

B. Tujuan Penelitian

Secara spesifik penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis keragaan

usahatani konservasi sebagai wujud aktual perilaku petani dalam

menerapkan konservasi tanah dan air, (2) menganalisis hubungan antara

aspek sosial ekonomi dengan keragaan usahatani konservasi di DTA Danau

Tondano, dan (3) Mengelaborasi perilaku usahatani konservasi dalam

rangka pengembangan kebijakan konservasi tanah dan air secara

berkelanjutan.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah daerah tangkapan air (DTA) Danau

Tondano wilayah DAS Tondano Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi

Utara. Secara geografis wilayah studi terletak antara 10 06' - 10 20' LU dan

1240 45' - 1240 58' BT, terletak pada ketinggian 700-1000 m dpl dengan

luas 18.466,95 ha. Berdasarkan administrasi pemerintahan wilayah studi

mencakup 9 kecamatan yang terdiri atas 69 desa. Wilayah studi terbagi atas

tiga sub DTA yaitu: sub DTA bagian Timur Danau, sub DTA bagian Barat

dan sub DTA bagian Selatan. Secara spasial wilayah studi disajikan pada

Gambar 1. Dari aspek sosial budaya ke tiga wilayah sub DAS mewakili tiga

sub etnis di Minahasa. Sub Etnis Tolour di sub DAS Timur dan sebagian

besar DTA Barat, sub etnis Tontemboan di DTA Selatan dan sub etnis

Tombulu di daerah penggunungan DTA Barat.

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan dimulai pada bulan Agustus 2010

hingga bulan Mei 2011.

B. Metode Pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survey dan pengamatan

lapangan. Unit analisis sosial ekonomi adalah rumah tangga petani lahan

kering di daerah hulu pada beberapa zona agroekosistem di DTA danau

Tondano. Penentuan sampel ditetapkan dengan metode cluster sampling.

Page 87: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

67

Wilayah studi dibagi atas tiga wilayah pertanian lahan kering berdasarkan

jenis tanaman budidaya dominan serta perbedaan fisik lahan (lereng dan

tekstur tanah) sebagai gambaran perbedaan agroekosistem.

Sampel diambil dengan teknik kombinasi antara stratified sampling

dan cluster sampling (Siregar, 2010). Pada setiap zona tersebut ditetapkan

desa-desa sampel secara proporsional selanjutnya di tingkat desa sampel

responden ditetapkan secara purposif sesuai dengan nama pemilik yang

telah disurvey kebunnya.

Penentuan Jumlah sampel ditetapkan dengan menggunakan rumus

(Parel et al., 1973) sebagai berikut :

n =

………………………………………………………….(1)

dimana,

n : jumlah responden yang akan diambil

N : Jumlah seluruh unit populasi (Nh1 + Nh2 + Nh3 = Jumlah petani lahan

kering pada masing-masing zona/cluster)

z : nilai variable random (dikehendaki signifinance level 95%, maka z = ,960)

d : Maksimum error yang masih diterima 10 %, maka d = 0,10

p : proporsi perkiraan yang bisa dijangkau adalah 50 % sehingga p = 0,5

Jumlah responden pada masing masing zona ditetapkan dengan rumus

sebagai berikut :

N1 =

…………………………………………………………….…….….(2)

dimana,

n1 : Jumlah sampel yang diambil pada kluster ke 1

Nh1 : Jumlah unit populasi pada cluster 1

n : jumlah seluruh sampel yang diambil berdasarkan rumus

Selanjutnya jumlah sampel untuk cluster/zona 2 dan 3 dihitung sebagai

berikut :

N2 =

; N3 =

………………………………………..(3)

Page 88: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

68| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Hasil perhitungan jumlah sampel pada setiap cluster berdasarkan

persamaan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perhitungan jumlah responden rumah tangga (RT) tani.

Wilayah DTA Jumlah RT % RT Tani Jumlah RT Tani (Nhi)

Jumlah RT Contoh

Sub DTA Selatan (N-i)

9961 80 7968 48

Sub DTA Barat (N2)

5426 75 4069 24

sub DTA Timur (N3)

5172 80 4137 25

Jumlah (N) 19659 - 15030 97 Keterangan : Jumlah rumahtangga tani diperoleh dari data kecamatan dalam angka tahun 2010

C. Analisis Data

Penilaian keragaan usahatani konservasi dilakukan dengan metode

skoring dan pembobotan terhadap komponen usahatani konservasi yang

menggambarkan efektifitas pengelolaan tanah dan tanaman serta perlakuan

lainnya dalam mengendalikan erosi dan perlindungan kesuburan tanah.

Unsur sub sistem usahatani meliputi jenis tanaman dan sistem penanaman

(pengaturan ruang), persentase tanaman permanen, pemupukan dan

pemberian mulsa. Sedangkan sub sistem konservasi tanah meliputi

terasering dan intensitas pengolahan tanah.

Metode penilaian keragaan usahatani konservasi tanah dibuat dengan

memodifikasi cara penilaian dan pembobotan tingkat adopsi teknologi

konservasi yang dikembangkan Departemen Kehutanan (1998) dalam

Pedoman Penyusunan RTL-RKLT serta metode Penilaian Keberhasilan

Reklamasi Hutan (Lampiran 1 Peraturan Menteri Kehutanan nomor

P.60/Menhut-II/2009). Secara garis besar pembobotan setiap indikator dan

kriteria disajikan pada Tabel 2.

Selanjutnya nilai keragaan usahatani konservasi tanah pada suatu unit

usahatani dihitung dengan rumus berikut :

................................................................(4)

dimana,

KTAi = Nilai keragaan konservasi tanah dan air suatu unit

usahatani/kebun ke i

Tsi = Total skor penilaian kriteria i

Nmi = Nilai maksimum kriteria i

N = Jumlah kriteria

Bi = Bobot untuk kriteria I

Page 89: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

69

Nilai interval kelas untuk penentuan kriteria ditentukan melalui

pengurangan nilai skor tertinggi dikurangi nilai skor terendah dibagi jumlah

kriteria :

dimana,

I = Interval Kelas

Nt = Nilai skor tertinggi

Nr = Nilai Skor terendah

K = Jumlah kriteria

Analisis data menggunakan statistik deskriptif untuk mengekplorasi

perbedaan keragaan konservasi tanah antar wilayah sub DTA dan statistik

non parametrik (Rank Spearman) digunakan untuk analisis korelasi antara

keragaan dengan faktor sosial ekonomi. Analisis tersebut menggunakan

paket program SPSS 18.

Tabel 2. Metode penilaian keragaan konservasi tanah pada satuan unit

usahatani lahan kering

kriteria indikator Parameter Standar penilaian Nilai Bobot

nilai

1. Perlakuan Mekanis 40

Efektivitas pengendalian erosi secara mekanis

Bentuk, ukuran dan kesesuaian dengan Lereng

a. Tanpa teras

b. teras sederhana

c. teras gulud baik

d. Teras bangku

0

1

2

3

25

Intensitas

pengolahan

tanah

Pengolahan

tanah

(frekwensi

pengolaha

tanah/ta-

hun)

a. Intensif

b. Agak intensif

c. Minimal

d. Tanpa olah tanah

0

1

2

3

15

2. Perlakuan Agronomis 60

Tingkat penutupan

lahan oleh tanaman

Komposisi

tanaman

permanen dan

tanaman

semusim yang

dinyatakan

dalam

persentase

a. 1-25

b. 26-50

c. 51-75

d. 76-100

1

2

3

4

25

Page 90: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

70| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

kriteria indikator Parameter Standar penilaian Nilai Bobot

nilai

Pengaturan

ruang

tanaman dan

sistem

penanaman

a. Penanaman

memotong kontur

b. Tanam acak

c. Sistem penanaman

teratur menurut

kontur

0

2

A4

15

Pemeliharaan

kesuburan tanah

Tingkat

penggunaan

Pemupukan

organik dan

anorganik

a. Tanpa pupuk

b. Pupuk

c. Pupuk anorganik

0

2

A

10

Pemberian

mulsa

a. Tanpa mulsa

b. Mulsa anorganik

c. Mulsa organik

0

2

4

10

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kuantifikasi Keragaan Usahatani Konservasi

Secara umum keragaan konservasi tanah di wilayah studi ditentukan

oleh jenis komoditas utama yang dibudidayakan, kondisi lereng dan sifat

fisik tanah (khususnya tekstur dan struktur). Fenomena ini dapat dijelaskan

melalui social judgment theory (Pareira 2011). Asumsi teori tersebut adalah

bahwa alternatif yang dipilih petani ditentukan oleh persepsi. Persepsi

tersebut dibentuk oleh kondisi lingkungan serta pengalaman petani. Wujud

aktual bentuk konservasi tanah yang diaplikasikan dilapangan

menggambarkan perilaku petani.

Berdasarkan hasil inventarisasi dan pengamatan lapangan sistem

usahatani di DTA Danau Tondano, dapat dibedakan dalam 3 bentuk yaitu

(1) usahatani tanaman semusim berteras (hortikultura dan palawija), (2)

usahatani tanaman perkebunan campuran (cengkeh+pangan+buah-buahan)

dan (3) usahatani tanaman kayu-kayuan (hutan rakyat).

Hasil analisis keragaan rentang nilai keragaan maksimum bernilai 80

dan minimum bernilai 27,9. Nilai Indeks keragaan maksimum bila pada

suatu unit usahatani dari aspek konservasi secara mekanis menerapkan

terasering yang sesuai, pengolahan tanah minimal, dan dari aspek

vegetatif/agronomis penggunaan lahan sesuai lereng (perbandingan

tanaman semusim dan tanaman permanen (pohon), terdapat pengaturan

tanaman yang ideal serta ada upaya pemeliharaan kesuburan tanah seperti

Page 91: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

71

penggunaan pupuk organik dan anorganik yang berimbang dan penggunaan

mulsa alamiah.

Nilai skor minimum adalah kondisi sebaliknya, dimana usahatani yang

dilakukan tanpa terasering, penggunaan lahan tidak sesuai lereng,

pengaturan tanaman dalam ruang lahan tidak teratur serta tidak ada upaya

pemeliharaan kesuburan tanah (pemberian mulsa dan bahan organik),

walaupun terdapat penanaman pepohonan di lahan milik.

Nilai keragaan konservasi tanah selanjutnya diklasifikasikan dalam 3

(tiga) kategori berdasarkan persamaan (4) yaitu keragaan Baik (Indeks

>75.96), Keragaan sedang (indeks 52 - 75.96), dan keragaan jelek

(indeks < 52 ).

Tabel 3. Keragaan Konservasi Tanah Menurut Wilayah sub DTA

Kategori keragaan

Wilayah SUB DTA Total

Barat Selatan Timur

...Jumlah unit usaha Tani...

Baik 0 1 1 2

Sedang 7 27 18 52

Jelek 13 2 1 16

T

ot

al

20 30 20 70

Hasil analisis

Selanjutnya dilakukan analisis Chi-Square untuk mengetahui apakah

terdapat perbedaan nilai keragaan konservasi tanah pada setiap sub DTA.

Hasil uji Pearson Chi-Square (Tabel 4) didapatkan nilai X2 hitung > X2 tabel 4

(005) dengan probabilitas (p 0.00 < 0.05) dengan berarti bahwa terdapat

perbedaan sangat signifikan tingkat persepsi masyarakat di 3 (tiga) wilayah

sub DTA.

Tabel 4. Hasil analisis Chi-Square perbedaan keragaan usahatani konservasi tanah menurut wilayah sub DTA.

Statistik uji Nilai df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 28.505a 4 .000

Likelihood Ratio 27.367 4 .000

N of Valid Cases 70 a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .57.

Kualitas konservasi secara mekanis dalam bentuk terasering ada

hubungannya dengan jenis tanaman yang dibudidayakan, kondisi lereng,

tekstur dan kedalaman tanah. DTA Selatan didominasi tanah tekstur

lempung berpasir dengan kedalaman tanah >100 cm dengan lereng landai

hingga agak curam, sangat cocok untuk budidaya tanaman palawija dan

Page 92: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

72| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

hortikultura. Petani di sub DTA Selatan telah menerapkan sistem terasering

guludan kategori cukup baik pada usahatani palawija (jagung dan kacang-

kacangan) demikian juga pada usahatani hortikultura.

Sebaliknya di DTA Barat lahan berlereng didominasi oleh tekstur tanah

liat berbatu halus sampai kasar. Kondisi fisik tanah tersebut membatasi

pilihan jenis tanaman yang dibudidayakan serta memiliki kendala dalam

mengembangkan sistem teras yang lebih baik. Tanaman yang banyak

dibudidayakan di DTA Barat adalah jagung dan kacang tanah dengan sistem

terasering sederhana dengan kategori jelek.

Gambar 18. Perbedaan keragaan usahatani konservasi pada setiap wilayah

Sub DTA

Unsur pohon sebagai tanaman permanen merupakan komponen

penting dalam sistem usahatani konservasi karena berpengaruh pada

proses biofisik dan biokimia tanah dan sangat menentukan kesehatan tanah

(Subhrendu and Mercer, 1996). Keputusan petani menanam pohon memiliki

tujuan sederhana. Umumnya berorientasi pada tujuan ekonomi, estetika

dan tujuan lingkungan (pengendalian erosi dan peneduh). Di sub DTA

bagian barat, pohon ditanam sebagai tanaman tepi dan sebagian besar

adalah ditanam untuk kebutuhan kayu bakar seperti gamal (Glirisidia sp.)

dan jeunjing (Caliandra sp.), sedangkan di sub DTA Selatan, pohon ditanam

lebih teratur baik sebagai pohon peneduh, penyubur tanah juga untuk

tujuan ekonomi yaitu untuk kayu bangunan dan kayu bakar. Sebaliknya di

sub DTA Timur, pohon untuk penghasil kayu perkakas seperti nantu

(Palaqium sp.) dan cempaka (Magnolia campaca) sebagian besar ditanam

sebagai sisipan di antara tanaman cengkeh atau dalam bentuk hutan

tanaman monokultur (hutan rakyat).

Penanaman pohon sebagai bagian dari sistem usahatani yang

bertujuan agar kesuburan tanah tetap terjaga telah dipahami secara baik

oleh petani hortikultura di DTA Selatan khususnya di daerah lahan kering

Page 93: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

73

berlereng (Desa Tumaratas, Toure dan Noongan). Berdasarkan hasil

wawancara petani secara sengaja menanam pohon kanonang (Cordia

blancoi) diantara tanaman hortikultura (tomat) untuk tujuan peneduh

sekaligus konservasi tanah khususnya terkait dengan bahan organik tanah.

Pohon kanonang pada dasarnya memiliki kualitas kayu yang tidak

cocok untuk dijadikan bahan bangunan, namun tumbuh subur dan tahan

pangkas. Pohon tersebut ditanam dengan jarak sekitar 10 x 10 m dan pada

saat telah tumbuh dipangkas secara periodik mengikuti pola rotasi tanam.

Pada saat tanaman akan diolah kembali untuk penanaman pada rotasi

berikutnya pohon tersebut dipangkas dan hasil pangkasan dibiarkan selama

beberapa hari hingga daun rotok kemudian kayunya diambil sebagai kayu

bakar.

Inovasi agroteknologi petani di DTA selatan tergolong maju, tingkat

adopsi teknologi produksi pertanian terlihat dari penggunaan pupuk

anorganik dan organik yang diaplikasikan lewat daun, penggunaan

pestisida, herbisida serta teknik konservasi tanah sistem teras dengan

konstruksi tergolong baik. Bahkan petani melakukan eksperimen untuk

mencoba hal-hal baru (mencampur berbagai pupuk yang tidak

direkomendasikan secara umum) untuk mendapatkan produksi tertinggi

walaupun secara ekonomi merugikan. Sebaliknya di DTA Timur dan Barat

inovasi teknologi relatif lambat dilihat dari jenis komoditas yang terbatas

pada budidaya tanaman jagung dan cengkeh yang merupakan komoditas

tradisional di wilayah tersebut.

Pilihan jenis pohon yang ditanam dalam kaitan dengan rehabilitasi

lahan di DTA Danau Tondano juga dipengaruhi oleh aspek sosial budaya.

Walangitan (2007) melakukan wawancara terhadap 250 responden dalam

rangka monitoring dan evaluasi aspek sosial ekonomi dan budaya

pengelolaan DAS Tondano. Hasil survey (Tabel 5), diperoleh informasi

bahwa tanaman yang paling disukai petani sebagai pohon penghijauan

adalah cempaka (Magnolia campaca) yaitu sebesar 45,16 % dari

responden, diikuti tanaman mahoni (Switenia macrophyla) sebesar 29,03 %

dan nantu (Palaqium sp.) sebesar 11,69 %.

Tabel 5. Jenis-jenis pohon yang disukai masyarakat untuk kegiatan

penghijauan dan reboisasi di DAS Tondano

Jenis Pohon Jumlah responden Persentase (%)

Cempaka (M. campaca) 112 45,16

Mahoni (S. macrophllya) 72 29,03

Nantu (Palaqium sp.) 29 11,69

Page 94: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

74| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Jenis Pohon Jumlah responden Persentase (%)

Buah-buahan 21 8,67

Rotan (Calamus sp.) 1 0,40

Aren (Arenga pinnata) 2 0,80

Jati (Tectona grandis) 3 1,20

Jenis lainnya 9 3,62

Jumlah 248 100

Penerapan usahatani konservasi dengan teras guludan dengan kualitas

sedang sampai baik , dijumpai pada usahatani hortikultura di Kecamatan

Langowan dan Tompaso (sub DTA bagian Selatan). Lahan dengan

kemiringan lereng > 25 % ditanami sayur-sayuran dan bedengannya dibuat

searah kontur dengan lebar bedeng bervariasi tergantung kemiringan lahan.

Namun demikian, aplikasi terasering tersebut belum dilengkapi dengan

saluran pembuangan, sehingga erosi dan runoff yang terjadi masih cukup

besar.

Teras tradisional adalah bentuk teras paling umum diaplikasikan petani

terutama dalam usahatani jagung pada lereng > 8 %. Bentuk teras

sederhana terbentuk karena pengolahan tanah yang menggunakan cangkul

rumput ditimbun membentuk teras searah garis kontur dengan jarak 50-75

cm atau dengan membajak searah garis kontur sehingga membentuk

terasering sederhana. Tanaman jagung ditanam di antara barisan teras

tersebut dan pada saat penyiangan guludan tersebut dipindahkan sebagai

bumbunan di bawah barisan tanaman jagung.

Kebiasaan jenis alat pertanian yang digunakan diduga mempengaruhi

bentuk teras. Petani di DTA Selatan menggunakan tembilang (sekop) dalam

mengolah tanah dan merupakan ciri khas petani di wilayah Selatan.

Sebaliknya petani di wilayah DTA Timur dan sub DTA Barat menggunakan

cangkul. Perbedaan alat yang digunakan berimplikasi pada cara mengolah

tanah. Husain dkk. (2006) melaporkan bahwa cara pengolahan tanah

dengan menggunakan cangkul dalam pembuatan teras pada usahatani

hortikultura di areal model mikro DAS Rurukan mengakibatkan terjadi tillage

erosion yaitu tanah bagian lereng atas suatu unit usahatani berpindah ke

bagian bawah. Dengan demikian permukaan tanah di lereng bagian atas

mengalami degradasi baik fisik maupun kimia tanah.

Penggunaan tembilang (sekop) sebagai alat pengolahan tanah dan

pemeliharaan tanaman hortikultura oleh petani di DTA Selatan tidak

menyebabkan tillage erosion karena tanah hanya di bolak-balik pada areal

Page 95: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

75

olah. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa petani sadar bahwa sisa

tanaman dan gulma bila telah dibenamkan akan menjadi sumber hara dan

dapat mempertahankan kesuburan tanah. Praktek sistem usahatani

konservasi tersebut menguntungkan baik dalam pengendalian erosi, juga

dalam pengelolaan bahan organik tanah yang berasal dari humifikasi gulma

yang dibenamkan dalam tanah pada saat pemeliharaan tanaman.

Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa menunjukkan bahwa 98 %

responden sudah mengaplikasikan sistem terasering dalam sistem

usahatani. Teras tradisional umumnya diaplikasikan pada usahatani jagung.

Bentuk teras tersebut dijumpai pada lahan datar hingga curam. Sedangkan

teras guludan diaplikasikan pada usahatani sayuran serta usahatani kacang

tanah.

Tabel 6. Hasil wawancara bentuk konservasi tanah secara mekanis

diaplikasikan responden Di DTA Danau Tondano

Bentuk Konservasi tanah mekanis Jumlah responden Persentase (%)

Teras Tradisional 68 70.10

Teras Bangku 4 4.12

Terasering guludan 23 23.71

Tanpa teras 2 2.00

Jumlah 97 100

Sumber : Hasil survey 2011

B. Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Keragaan

Usahatani Konservasi

Analisis korelasi (Rank Spearman) untuk mengetahui faktor sosial

ekonomi yang mempengaruhi keragaan konservasi tanah. Hasil analisis

korelasi dan tingkat signifikansi masing-masing faktor sosial ekonomi

dimaksud secara rinci disajikan pada Tabel 7. Dari tabel tersebut

menunjukkan bahwa keragaan konservasi tanah berkorelasi positif dengan

faktor karakteristik diri responden yaitu umur dan persepsi serta kondisi aset

rumah tangga tani yaitu : luas sawah, luas hutan rakyat, dan luas lahan

kering.

Faktor umur responden berkorelasi positif dengan keragaan usahatani

konservasi. Pengaruh faktor umur tersebut dapat diinterpretasi bahwa

makin bertambah umur akan diikuti oleh bertambanya pengalaman bertani

serta keearifan dan tanggungjawab dalam pemanfaatan lahan pertanian

secara lestari. Namun sebaliknya Nngo Chi dan Yamada (2002) melaporkan

bahwa faktor umur berpengaruh negatif terhadap penerapan teknologi baru

Page 96: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

76| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

karena petani berumur lebih tua cenderung mempertahankan kebiasaan

bertani yang telah berlangsung lama.

Tabel 7. Hasil analisis korelasi keragaan konservasi tanah dengan faktor

sosial ekonomi responden

Faktor Sosial Ekonomi Koefisien Korelasi Sig. Keterangan

Umur 0.295" 0.007 Sangat signifikan

Pendidikan 0.191 0.133 Tidak signifikan

JATK -0.95 0.90 Tidak signifikan

Luas Sawah 0.328" 0.03 Sangat signifikan

Luas lahan kering 0.232" 0.27 Signifikan

Luas hutan rakyat 0.284" .0.007 Sangat signifikan

Persepsi 0.280** 0.350 Sangat signifikan

Pen.non pertanian 0.61 .0.307 Tidak signifikan

Pengeluaran non Pertanian 0.030 0.403 Tidak signifikan

Keterangan : *. Correlation is significant at the 0.05 level (1 -tailed).

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Tingkat pendidikan nampaknya tidak memiliki hubungan dengan

keragaan usahatani konservasi. Hal ini disebabkan karena rata-rata tingkat

pendidikan formal petani di wilayah studi sudah tergolong baik, ditambah

lagi dengan informasi yang dapat diterima dari berbagai media pendidikan

informal maupun aktivitas penyuluhan yang dilakukan. Walaupun dalam

beberapa penelitian menyatakan bahwa faktor pendidikan memberi

pengaruh yang sangat signifikan pada adopsi teknologi pertanian

sebagaimana dilaporkan Sumantri dan Sukiyono (2011) dan Hossein and

Ajoudani (2012).

Luas lahan kering berkorelasi positif dengan keragaan usahatani

konservasi. Responden yang memiliki lahan kering lebih luas cenderung

mengaplikasikan konservasi tanah dan air pada lahan usahanya lebih baik

dibandingkan dengan responden yang memiliki lahan sempit. Dari hasil

pengamatan di lapangan petani yang memiliki lahan kering yang luas

menanami sebagian lahannya dengan pepohonan selain sebagai investasi

jangka panjang juga disebabkan oleh keterbatasan biaya dan tenaga kerja

untuk mengolah lahan yang luas.

Faktor luas hutan rakyat yang dimiliki responden sangat signifikan

berkorelasi positif dengan keragaan usahatani konservasi, umur, luas sawah

dan luas lahan kering. Responden yang memiliki sawah memiliki persepsi

yang lebih baik tentang hubungan antara keberlangsungan produksi

Page 97: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

77

usahatani sawah dengan ketersediaan air, sebaliknya terdapat pemahaman

bahwa ketersediaan air yang kontinyu merupakan prasyarat untuk

menjamin produktivitas lahan sawah. Alasan tersebut menjadi dasar untuk

melakukan penanaman pohon/rehabilitasi lahan. Dengan demikian temuan

dari penelitian ini sejalan dengan Teory of Planned Behavior (Pereira,

2011). Tindakan konservasi tanah didasarkan pada alasan sosial ekonomi

untuk mempertahankan produktivitas padi sawah dan persepsi seseorang

terhadap pentingnya konservasi tanah bagi perlindungan kesuburan lahan

sebagai asset rumahtangga tani dan manfaat yang diberikan bagi

pelestarian ekosistem danau Tondano. Kedua alasan tersebut membentuk

keyakinan petani untuk bertindak dalam wujud perilaku usahatani

konservasi tanah.

Persepsi yang telah terbangun tentunya melalui suatu proses baik

melalui pendidikan formal maupun informal. Aktivitas penyuluhan dan

kampanye pelestarian DAS Tondano yang telah dilakukan sejak

ditetapkannya DAS Tondano sebagai DAS Prioritas pada tahun 1980-an.

Tingkat kepedulian individu petani terhadap pentingnya pelestarian

ekosistem DAS Tondano tergolong tinggi, hal ini dapat dilihat dari

bertambahnya animo masyarakat untuk menanam pepohonan di tanah milik

serta meningkatnya kesadaran akan pentingnya mejaga kebersihan

lingkungan pemukiman. Hampir di semua desa di wilayah DTA Danau

Tondano saat ini tergerak secara mandiri maupun lewat program

pemerintah untuk menanam pohon.

C. Implikasi Hasil Penelitian dalam Pengembangan Kebijakan RLKT

Aspek persepsi dan perilaku manusia merupakan sifat inheren yang

pada dasarnya bersifat dinamis dan tidak mudah dipahami secara

menyeluruh, namun aspek tersebut dapat dinilai dari wujud tindakan.

Keragaan usahatani konservasi adalah bentuk atau wujud tindakan yang

dengan mudah dapat dinilai. Tindakan ini dilakukan secara sadar oleh petani

pada suatu tempat dengan kondisi lahan tertentu. Wujud usahatani

konservasi di lapangan bervariasi mulai dari bentuk sederhana berdasarkan

kebiasaan turun temurun hingga bentuk ideal yang merupakan hasil dari

proses adopsi.

Hasil penelitian perilaku usahatani yang telah diuraikan di atas

disimpulkan bahwa keragaan usahatani konservasi yang sedang

berlangsung saat ini secara kualitatif sudah cukup memadai. Namun

perilaku tersebut harus terus didorong kearah yang lebih produktif, efektif

Page 98: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

78| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

dan efisien. Tingkat pendidikan dan pengaruh budaya konservasi

masyarakat serta kontribusi kebijakan dan program pemerintah yang

dilakukan selama ini di wilayah DTA Danau Tondano telah berhasil

meningkatkan persepsi dan memperbaiki keragaan konservasi tanah yang

ada.

Dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DTA Danau

Tondano dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor internal diantaranya adalah

tekanan penduduk, tingkat penguasaan teknologi pertanian, ekspektasi

hidup, pola konsumsi dan lainnya. Sedangkan dari aspek eksternal

dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja

non pertanian serta kebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian.

Sebagai contoh, kebijakan pengembangan infrastruktur pertanian

(penyediaan irigasi dan jalan kebun) pada kawasan pertanian hortikultura di

DTA Selatan telah terbukti mampu mengurangi tekanan penduduk terhadap

lahan kawasan hutan lindung. Dimana dengan kebijakan tersebut telah

berhasil meningkatkan produktivitas lahan, sekaligus memperbaiki

pendapatan petani dan penyediaan lapangan kerja. Dilain pihak lahan

dalam kawasan hutan lindung yang dahulunya sudah dikonversi menjadi

lahan pertanian, ditinggalkan dan akhirnya secara suksesif berubah kembali

menjadi hutan belukar dan hutan sekunder sehingga fungsi hidrologi dapat

dipulihkan.

Wilayah DTA Danau Tondano terbagi atas tiga sub DTA yang

menggambarkan perbedaan faktor biofisik yang tergambar dalam

perbedaan kelas kemampuan lahan. Perbedaan faktor biofisik lahan

menghasilkan perbedaan perilaku usahatani konservasi. Pendekatan yang

lebih spesifik dalam perencanaan pengelolaan DAS khususnya pada wilayah

DTA Danau Tondano harus dilakukan agar program pelestarian hutan tanah

dan air lebih efektif dan efisien.

Berdasarkan temuan dari penelitian ini baik aspek sosial, ekonomi

maupun aspek biofisik, maka pendekatan yang spesifik untuk sub DTA

Timur adalah bagaimana merancang pola usahatani konservasi lahan kering

berbasis pohon tanpa meninggakan fungsi produksi pangan dalam jangka

pendek. Sebaliknya untuk wilayah DTA Selatan pola usahatani berbasis

tanaman semusim (tegalan palawija dan hortikultura) dirancang dalam

sistem agroforestri agar kesehatan tanah terutama kandungan bahan

organik tanah dapat dipertahankan untuk mendukung pertanian

berkelanjutan.

Page 99: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

79

Di wilayah sub DTA Barat kebijakan perbaikan konservasi tanah

dilakukan secara bertahap menuju sistem usahatani yang lebih produktif

stabil dan lestari dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kemampuan

petani. Kebijakan diarahkan pada perbaikan penutupan lahan oleh vegetasi

(konservasi vegetatif) dengan penanaman rumput pada lahan yang rawan

erosi. Kebijakan pengelolaan lahan berkelanjutan yang dimaksud

diwujudkan dalam bentuk pengembangan usahatani terpadu berbasis

ternak sapi tanpa mengabaikan produksi pangan dan fungsi pengendalian

erosi. Pola yang sesuai untuk daerah tersebut adalah pengembangan strip

rumput hijauan ternak diantara pertanaman jagung khususnya pada lahan

dengan kelas kemampuan IVL3. Untuk mendukung usahatani konservasi

basis ternak tersebut dan memudahkan diadopsinya teknologi konservasi

yang ditawarkan maka perlu dilakukan kegiatan yang bersifat prakondisi

sebagai berikut :

a. Pengembangan demplot usahatani terpadu ternak sapi dan penanaman

rumput.

b. Penyuluhan dan pendampingan sistem pemeliharaan ternak sapi yang

baik;

c. Mengembangkan skema kredit usahatani terpadu yang berbunga rendah;

d. Menyiapkan sarana pendukung untuk menjamin perawatan kesehatan

ternak.

Rumah tangga tani merupakan subjek sekaligus objek dari hasil

skenario dalam penelitian ini. Untuk menjalankan solusi usahatani

konservasi tersebut petani dihadapkan pada kendala pembiayaan terutama

pada tahap investasi. Oleh sebab itu perlu dipikirkan bagaimana skenario ini

dapat dilaksanakan dengan kebijakan skema kredit usahatani konservasi

sebagaimana yang pernah dijalankan pemerintah pada tahun 1990-an.

Beberapa penelitian terkait dengan pemberian kredit usahatani konservasi

tersebut menunjukkan prospek dan layak secara ekonomi, sebagaimana

dilaporkan Setiawan (1987) dalam perencanaan agroforestri di DAS Konto

Jawa Timur dan Tatuh (1986) dalam pengembangan usahatani konservasi

lahan kering di hulu DAS Citanduy Jawa Barat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 77 % keragaan usahatani

konservasi di DTA Danau Tondano tergolong kategori sedang hingga baik.

Keragaan tersebut dipengaruhi oleh faktor umur, persepsi dan luas aset

lahan kering dan sawah yang dikuasai. Keragaan konservasi tanah juga

Page 100: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

80| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

berbeda secara signifikan antar wilayah sub DTA. Berdasarkan analisis

perilaku tersebut maka strategi perbaikan kualitas konservasi tanah

dilakukan dengan pendekatan sub DTA sebagai berikut : (1) sub DTA

bagian Timur adalah pengembangan sistem agroforestry tertata dengan

tanaman cengkeh sebagai komoditas basis, (2) di sub DTA bagian Barat

adalah pengembangan sistem usahatani konservasi berbasis pangan dan

ternak sapi (jagung - strip rumput hijauan ternak), dan (3) di sub DTA

Selatan dirancang dalam sistem agroforestri basis tanaman hortikultura.

Penanaman pohon penghasil serasah/bahan organik untuk menjamin

kesehatan tanah dalam jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pengelolaan DAS Tondano. 2008. Rencana Pengelolaan DAS Tondano Terpadu. Laporan perencanaan kerjasama PPLH SDA Lemlit Unsrat dengan BPDAS Tondano. Manado.

Departemen Kehutanan. 1989. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Kep. Dirjen RLL no.041/Kpts/1998. Jakarta.

Kementerian Kehutanan, 2010. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :P.60/Menhut-II/2009. Tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan dan Reklamasi Hutan. Rencana Pengelolaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dan Reklamasi Hutan. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Ngoc Chi, T.T., and Yamada R. 2002. Factors affecting farmers' adoption of technologies infarming sistem: A case study in Omon district, Can Tho province, Mekong Delta. Omonrice 10: 94–100.

Pagiola, S. 1998. Economic Analysis of Incentives for Soil Conservation. Environment Department, World Bank1 the World Association of Soil and Water Conservation, the International Board for Soil Research and Management, and the Soil and Water Conservation Society of Thailand.

Parel C.P., G.C. Caldito, P.L. Ferrer, G.G. De Gusman, C.S. Sinsioco, R.H. Tan. 1973. Sampling and Procedures. http://eprint.icrisat.ac.in/13228/1/P23036.pdf diakses tgl 30 januari 2015

Pereira, M. A. 2011. Understanding adoption and non-adoption of technology: a case study of study of innovative beef farmers from Mato Grnsso do Sul State, Brazil. Innovative beef farmers from Mato Grnsso do Sul State, Brazil. Thesis the Degree of Doctor of Philosophy. Lincoln University. Christchurch-New-Zealand. http://researcharchive.lincoln.ac.nz/. Diakses tanggal 31 januari 2015

Hosseini, S. J. and Zahra A., 2012 Affective factors in adopting organic farming in Iran. Annals of Biological Research 3(1):601-608.

Husain, J., Hengki W., dan Nordi W. 2006. Perencanaan Pengelolaan Model DAS Mikro Rurukan sub DAS Tondano SWP DAS Tondano. Laporan penelitian

Page 101: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pengembangan Kebijakan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi……. Hengki Djemie Walangitan

81

kerjasama PPLH SDA Lemlit Unsrat dengan BPDAS Tondano p 221. Tidak dipublikasi.

Setiawan, B. 1987. Perencanaan Model Agroforestry di Wilayah Daerah Aliran Sungai Konto Kabupaten Malang JawaTimur. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Silalahi, U. 2010. Metode Penelitian Sosial. PT.Refika Aditama. Bandung. p 518.

Siregar, H. 2006. Social - Economic reasons to soil conservation : An econometric analysis on cross-setion Lore Lindu Data. Jurnal Agro Ekonomi 24(1):1-20.

Siregar, S., 2010. Statistika Deskriptif untuk Penelitian. Dilengkapi Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS Versi 17. PT. Rajagrafindo Persada Jakarta. Cetakan ke -1. p 323

Subhrendu I. P and D. E. Mercer. 1996. Valuing soil conservation benefits of agroforestry practices. Southeastern Center for Forest Economics Research, Research Triangle Park, NC. FPEI Working Paper No. 59. 21 p.

Sumantri B., K. Sukiyono. 2011. Persepsi dan Perilaku konservasi lahan pada berbagai kemiringan dan dampaknya pada produksi usahatani sayuran. Studi kasus di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Jurnal Bumi 11(1):138-146.

Sumarno. 2004. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengembangan Sumberdaya Hutan. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang.

Tatuh, J. 1986. Kredit untuk Usaha Konservasi Tanah dan Pengembangan Usahatani Lahan Kering di Bagian Hulu DAS Citanduy. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Walangitan, H. D. 2007. Laporan Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Tondano. Hasil penelitian kerjasama PSL Unsrat dan BP-DAS Tondano. Tidak dipublikasikan. p 95.

Page 102: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

82| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 103: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan

83

Teknik Pembibitan Meranti Putih (Shorea assamica Dyer)

dari Anakan Hasil Permudaan Alam1

Arif Irawan dan Ady Suryawan2

ABSTRAK

Meranti putih (Shorea assamica Dyer) merupakan salah satu dari 6 jenis

anggota famili Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di Sulawesi. S.

asamica tergolong rekalsitran, pengadaan bibit yang tepat adalah

pemanfaatan cabutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik

pembibitan cabutan alam anakan S. assamica. Percobaan Faktorial dengan

rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan faktor

pemotongan daun, penyungkupan dan lama waktu simpan cabutan. Jumlah

ulangan 3 (tiga) dengan populasi persampel sebanyak 20 bibit. Parameter

yang diamati adalah persen hidup pada 2 bulan di persemaian. Perlakuan

penyungkupan berpengaruh nyata terhadap persen hidup S. assamica

dengan nilai rata-rata persen hidup mencapai 91,67 %. Pemotongan daun

tidak berpengaruh nyata dalam kondisi penyungkupan. Persen hidup

berdasar perlakuan penyimpanan cabutan secara nyata menurun pada hari

ke 13 dan dibawah 70 %.

Kata Kunci: Shorea assamica, permudaan alam, meranti, dipterocarpaceae

I. PENDAHULUAN

Meranti putih (Shorea assamica Dyer) merupakan salah satu dari 6

(enam) jenis anggota famili Dipterocarpaceae yang dilaporkan terdapat di

Sulawesi (Pitopang et al., 2008). Tinggi pohon jenis ini dapat mencapai

hingga 55 m dengan diameter (dbh) 150 cm, bentuk batang lurus dan

silindris dengan banir yang dapat mencapai tinggi 3,5 m. Kayu meranti putih

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota

Manado; Telp : (0431) 3666683 Email: [email protected]

Page 104: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

84| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

dapat digunakan sebagai bahan venir, kayu lapis, papan partikel, lantai,

bangunan, perkapalan, dan mebel (Martawijaya et al., 2005).

Menurut Atmoko (2011) pembangunan hutan tanaman

Dipterocarpaceae masih mengalami kendala pada ketersediaan benih

berkualitas dan jumlahnya. Hal ini disebabkan karena benih famili

Dipterocarpaceae bersifat rekalsitran, sehingga tidak dapat disimpan dalam

waktu lama. Selain itu menurut Yasman dan Smits (1988) jenis family

Dipterocarpaceae mengalami masa berbuah yang cukup bervariasi yaitu tiap

4–5 tahun atau bahkan ada yang memiliki waktu berbuah hingga 13 tahun.

Menurut Halawane (2010) untuk jenis rekalsitran, alternatif budidaya

yang tepat adalah dengan cara cabutan dan diperlukan penyungkupan untuk

persen hidup lebih tinggi. Waktu yang dibutuhkan untuk sistem cabutan

hingga bibit siap ditanam 4–5 minggu dengan kriteria cabutan berdaun 2–5

helai atau tinggi cabutan kurang dari 20 cm (Nurhasybi et al., 2010). Bibit

hasil cabutan dapat digunakan untuk bahan riset sebagaimana Omon (2006)

menggunakan hasil cabutan S. parvifolia untuk pembuatan stek dengan

persen hidup mencapai 90 %. Namun teknik cabutan untuk jenis selain

Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana dan S. platyclados

masih harus dikaji (Adman, 2011).

Kelebihan perbanyakan dengan cara ini adalah bibitnya telah tumbuh

dan tersedia di alam, waktu yang dibutuhkan dalam pembibitan relatif

singkat. Sementara itu kelemahannya adalah diperlukan keahlian dan

perlakuan khusus dalam pelaksanannya (Kemenhut dan JICA, 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pembibitan jenis meranti

putih (S. assamica) di persemaian yang meliputi pengaruh perlakuan

pemotongan daun dan perlakuan penyungkupan serta pengaruh waktu

simpan cabutan terhadap persen hidupnya di persemaian.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni–Agustus 2014 di Persemaian

Balai Penelitian Kehutanan Manado yang terletak di Kecamatan Mapanget

Kota Manado. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan

suhu rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 %. Rata-rata

curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan Geofisika,

2011).

Page 105: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan

85

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bibit cabutan

meranti putih (S. assamica) yang berasal dari Kabupaten Bolaang

Mongondow Utara (Sulawesi Utara), media tanam (tanah top soil), sarlon

net dengan intensitas pencahayaan 65 %, label plastik, dan polibag.

Peralatan yang digunakan antara lain luxmeter, thermohygrometer, gembor,

spidol permanen, gunting stek, plastik sungkup, dan alat tulis.

C. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan

2 (dua) jenis uji coba yaitu uji coba pengaruh perlakuan pemotongan daun

dan pengaruh penyungkupan serta uji coba pengaruh waktu simpan.

Anakan alam S. assamica dari lapangan yang telah diseleksi dengan

tinggi 10 cm dan memiliki sepasang daun dibagi pada masing-masing uji

coba. Pada ujicoba pengaruh perlakuan pemotongan daun dan pengaruh

penyungkupan dilakukan dengan membandingkan persen hidup antara daun

yang dipotong dan tidak dipotong serta membandingkan antara bibit yang

disungkup dan tidak disungkup. Pemotongan daun dilakukan dengan

mengurangi 3/4 daun yang ada dengan menyisakan 1/3 nya. Selanjutnya

penyungkupan dilakukan dengan memberikan sungkup setengah lingkaran

menggunakan plastik transparan dan memberikan naungan tambahan

berupa sarlon net. Perbandingan kondisi lingkungan antara bibit yang

disungkup dan tidak disungkup ditampilkan pada Lampiran 1. Sedangkan

pada uji coba pengaruh waktu simpan, cabutan disimpan dalam plastik

kedap udara untuk selanjutnya akan disapih (tanpa pemotongan daun)

sesuai waktu yang ditentukan yaitu 2, 5, 9, 13, 17, dan 21 hari setelah

dicabut dari lantai hutan. Masing-masing perlakuan pada kedua uji coba

diulang sebanyak 3 (tiga) kali dan tiap ulangan terdiri dari 20 bibit.

Dua bulan setelah disapih, dilakukan pengamatan persen hidup pada

kedua uji coba dengan rumus sebagai berikut :

Persen hidup =

x 100%

D. Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada uji coba pengaruh

perlakuan pemotongan daun dan pengaruh penyungkupan adalah

Percobaan Faktorial dengan rancangan dasar Rancangan Acak Lengkap

(RAL). Sedangkan pada uji coba waktu simpan cabutan, rancangan yang

Page 106: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

86| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang terkumpul

dianalisis dengan uji F dan yang menunjukkan perbedaan nyata dilakukan

uji lanjutan dengan menggunakan Uji Beda Nyata Duncan (Duncan Multiple

Range Test).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji F untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemotongan daun

dan penyungkupan serta pengaruh waktu simpan ditampilkan pada lampiran

2. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan pemotongan

daun, penyungkupan dan interaksi keduanya serta perlakuan waktu simpan

memberikan pengaruh yang nyata terhadap persen hidup cabutan meranti

putih.

1. Perlakuan Pemotongan Daun dan Penyungkupan

Hasil uji lanjut untuk mengetahui rata-rata persen hidup tertinggi pada

perlakuan ini ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Uji lanjut perlakuan pemotongan daun

No Perlakuan Rata-Rata Persen

Hidup (%) Taraf 5%

Grouping

1. Potong daun 70,83 A 1

2. Tanpa potong daun 58,33 B 2

Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

95%

Berdasarakan Tabel 1 dapat diketahui bahwa cabutan dengan

perlakuan pemotongan daun memiliki nilai persen hidup yang lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemotongan daun. Uji lanjut DMRT

menunjukkan bahwa kedua perlakuan memiliki persen hidup yang berbeda

nyata. Persen hidup bibit cabutan paling tinggi diperoleh dari perlakuan

pemotongan daun yaitu sebesar 70,83 %, sedangkan tanpa pemotongan

daun hanya 58,33 %.

Pemotongan 3/4 bagian daun pada cabutan meranti putih dilakukan

untuk mengurangi penguapan (evaporasi) agar tidak kehilangan tekanan

tugor secara cepat yang mengakibatkan keringnya jaringan tumbuhan.

Semakin banyak daun, maka evaporasi akan semakin tinggi karena bidang

permukaan dari tanaman yang akan terpapar oleh sinar matahari lebih luas.

Daniel et al. (1987) menyatakan bahwa transpirasi adalah peristiwa

evaporasi air dari tumbuhan termasuk gerakan air melalui seluruh kesatuan

tanah–tumbuhan–atmosfir. Evaporasi mengakibatkan tambahan air dalam

tumbuhan diserap melalui batang dan akar dalam bentuk kolom yang

Page 107: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan

87

kontinu. Pada fase awal pembibitan dengan teknik cabutan organ akar

belum dapat melakukan fungsinya secara optimal, sehingga langkah

pemotongan daun diharapkan dapat menjaga ketersediaan air dalam

tanaman.

Daniel et al. (1987) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap keberhasilan pertumbuhan semai adalah faktor

ketersediaan air. Air memiliki peran sangat penting dalam tanaman, karena

tanpa air tanaman akan mati akibat kekeringan dan menyebabkan sel-sel

tanaman menjadi kering dan metabolisme sel menjadi sangat terganggu.

Selanjutnya untuk mengetahui rata-rata terbaik dari perlakuan

penyungkupan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Uji lanjut perlakuan penyungkupan

No Perlakuan Rata-Rata Persen

Hidup (%) Taraf 5 % Grouping

1. Penyungkupan 91,67 A 1

2. Tanpa penyungkupan 37,50 B 2

Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

95%

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa perlakuan penyungkupan

plastik dengan tambahan naungan memberikan nilai persen hidup lebih baik

jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa penyungkupan. Keduanya

diketahui berbeda secara statistik, dengan nilai persen hidup berturut-turut

adalah 91,67 % dan 37,50 %. Hasil penelitian Rayan (2008) menyimpulkan

bahwa dari 4 jenis Dipterocapaceae yang diberikan sungkup sederhana

setengah lingkaran akan memberikan tingkat hidup bibit yang tinggi hingga

93,96 %.

Beberapa manfaat penyungkupan dalam penanganan bibit cabutan

antara lain menjaga kelembaban udara, menciptakan kondisi panas yang

merata dan mengurangi tingkat penguapan (evaporasi) pada tanaman.

Penggunaan sungkup dan penambahan naungan yang telah dilakukan dapat

menurunkan tingkat kelembaban dan suhu secara efektif. Berdasarkan hasil

pengukuran dapat diketahui bahwa rata-rata suhu dan kelembaban didalam

sungkup selalu lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu dan kelembaban

diluar sungkup. Smits (1990) menyatakan bahwa faktor kelembaban

memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan pembibitan melalui

cabutan semai alami. Penambahan naungan dilakukan untuk mengurangi

intensitas cahaya yang masuk. Intensitas cahaya merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi tingkat penguapan pada tanaman. Intensitas

Page 108: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

88| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

cahaya yang tinggi akan mendorong kenaikan suhu, sehingga akan

meningkatkan laju evapotranspirasi tanaman, sehingga proses kehilangan

air akan semakin cepat. Evapotranspirasi merupakan gabungan antara

proses evaporasi dan transpirasi tumbuhan yang hidup di permukaan bumi.

Peranan naungan disamping mengurangi kecepatan angin dan laju

transpirasi, juga dapat mengurangi laju evaporasi air dari permukaan tanah

karena daya evaporasi udara yang menimbulkan kompetisi dalam

pengambilan air dan nutrisi. Hal ini sebagaimana Irwanto (2006), proses

evaporasi dari semai dapat dikurangi dengan penggunaan naungan.

Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara perlakuan pemotongan

daun dan penyungkupan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji lanjut perlakuan interaksi pemotongan daun dan penyungkupan

No Perlakuan Rata-Rata

Persen Hidup (%)

Taraf 5%

Grouping

1. Tanpa potong daun*Penyungkupan 93,33 A 1

2. Potong daun*Penyungkupan 90,00 A 1

3. Potong daun*Tanpa penyungkupan 51,67 B 2

4. Tanpa potong daun*Tanpa

penyungkupan

23,33 C 3

Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf

95%

Berdasarkan tabel 3 tersebut dapat diketahui bahwa interaksi perlakuan

yang memiliki rata-rata persen hidup tertinggi adalah perlakuan tanpa

pemotongan daun*penyungkupan. Nilai persen hidup dari perlakuan

interaksi ini adalah sebesar 93,33 %. Persen hidup pada interaksi tersebut

secara statistik tidak memberikan hasil terbaik karena memiliki nilai yang

tidak berbeda dengan interaksi antara pemotongan daun*penyungkupan (90

%). Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh pemotongan daun tidak

memberikan pengaruh signifikan terhadap persen hidup cabutan meranti

putih yang berada dalam sungkup. Sedangkan pada perlakuan tanpa

penyungkupan, perlakuan pemotongan daun memberikan pengaruh yang

nyata. Persen hidup perlakuan interaksi pemotongan daun*tanpa

penyungkupan memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan perlakuan interaksi

tanpa pemotongan daun*tanpa penyungkupan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengaruh paling utama

dalam usaha pembibitan cabutan meranti putih adalah faktor perlakuan

penyungkupan. Kondisi kelembaban yang tinggi dan cenderung konstan

dapat mempertahankan persen hidup cabutan meranti di persemaian.

Page 109: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan

89

Hendromono dan Effendi (2002) menyatakan bahwa faktor yang menunjang

keberhasilan pembibitan, baik pengakaran stek maupun menumbuhkan

cabutan adalah diperlukannya kelembaban lebih dari 80 %. Selain itu Smits

(1990) juga menyatakan bahwa semakin tinggi kelembaban maka

keberhasilan cabutan juga akan semakin besar.

2. Perlakuan Waktu Simpan

Secara umum bahan cabutan tidak dapat disimpan dalam jangka waktu

terlalu lama, sehingga usaha perbaikan metode penyimpanan untuk

mengurangi penurunan daya tumbuhnya menjadi sesuatu yang penting.

Melalui perlakuan lama waktu simpan diharapkan akan tercapai suatu

keadaan cabutan pada berbagai tingkat ketersediaan cadangan karbohidrat.

Hasil uji lanjut untuk mengetahui rata-rata persen hidup terbaik pada

perlakuan ini ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji lanjut perlakuan waktu simpan

No Perlakuan Rata-Rata Persen Hidup (%) Taraf 5% Grouping

1. 2 hari 93,33 A 1

2. 5 hari 81,67 A 1

3. 9 hari 73,33 A 1

4. 13 hari 71,67 A 1

5. 17 hari 30,00 B 2

6. 21 hari 1,67 C 3

Keterangan : Nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 95%

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa waktu simpan untuk

cabutan meranti putih terbaik adalah selama 2 hari (93,3 %) dan terus

mengalami penurunan hingga waktu simpan selama 21 hari (1,67 %). Hasil

uji lanjut tersebut juga menyatakan bahwa waktu simpan hingga 13 hari

menghasilkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan waktu simpan

sebelumnya.

Secara fisiologis pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertumbahan

ukuran dan berat kering. Faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

cabutan dapat dikategorikan sebagai faktor dalam dan faktor luar. Faktor

dalam terdiri dari umur cabutan, cadangan makanan, dan kandungan air

dalam cabutan. Sedangkan faktor luar terdiri dari cahaya, suhu dan

kelembaban.

Perlakuan penyimpanan akan berpengaruh nyata terhadap kondisi

fisiologi dan biokimia suatu tumbuhan, sehingga akan didapat titik kritis

pada waktu tertentu untuk dapat mempertahankan daya hidup (Rohandi

Page 110: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

90| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

dan Widyani, 2010). Cabutan yang disimpan akan mengalami stres air

karena transpirasi tetap berlangsung dengan menggunakan air yang ada

dalam sel, sehingga akan mengalami defisit air. Selama penyimpanan

cabutan aktif melakukan metabolisme, energi yang digunakan untuk

kegiatan tersebut berasal dari cadangan yang terdapat dalam akar. Semakin

lama tanaman disimpan, maka energi dan cadangan makanan yang

digunakan akan semakin banyak, sehingga saat penyapihan terdapat

cabutan yang telah kehilangan daya tumbuh akibat kekurangan energi atau

cadangan makanan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perlakuan penyungkupan berpengaruh nyata dalam teknik pembibitan

jenis meranti putih.

2. Perlakuan pemotongan daun memberikan pengaruh secara nyata pada

kondisi lingkungan tanpa penyungkupan, sedangkan pada kondisi

dengan penyungkupan perlakuan pemotongan tidak memberikan

pengaruh yang nyata.

3. Penyimpanan cabutan meranti putih lebih dari 13 hari tidak dianjurkan

karena semakin menurunkan persen hidupnya (dibawah 70 %).

B. Saran

Perlu dilakukan teknik penyimpanan cabutan meranti putih (S.

assamica) menggunakan beberapa media penahan kelembaban (kapas,

serbuk gergaji, sabut kelapa, kertas koran, atau pelepah pisang) untuk

meningkatkaan lama waktu simpan cabutan.

DAFTAR PUSTAKA

Adman, B. 2011. Pengaruh bahan kemasan dan waktu penyimpanan bahan stek terhadap persentase berakar stek Shorea johorensis dan S. smithiana. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 8(20):97-109.

Atmoko, T. 2011. Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (korth.) Burck di Sumber Benih Saka Kajang, Kalimantan Tengah. JURNAL PENELITIAN DIPTEROKARPA 5(2):21-36.

Badan Meteorologi dan Geofisika Kota Manado. 2011. Laporan Tahunan Curah Hujan.

Daniel, T., John, W., dan Helms, A., 1978. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono, D. (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Halawane, J. E. (2010). Pengaruh sungkup sederhana terhadap keberhasilan cabutan anakan eboni (Diospyros pilosanthera dan Diospyros sp.) di persemaian. Sintesis Hasil Penelitian Hutan Tanaman 2010, 375 - 378.

Page 111: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Teknik Pembibitan Meranti Putih……. Arif Irawan dan Ady Suryawan

91

Hendromono & R. Effendi. 2002. Pembangunan Persemaian Dipterocarpaceae. Manual Persemaian Dipterocarpaceae. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Irwanto .2006. Pengaruh Perbedaan Naungan terhadap Pertumbuhan Semai Shorea sp. di Persemaian.[Tesis].Institut Pertanian Bogor.

Kemenhut dan JICA.2014. Panduan Teknis Restorasi di Kawasan Konservasi. Jakarta

Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A.Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Nurhasybi, Hero Dien PK, M. Zanzibar, Dede J. Sudradjat, Agus A. Prmono, Buharman, Sudrajat, dan Suhariyanto. 2010. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Bogor: Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.

Omon, R. M. 2006. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan tablet mikoriza terhadap pertumbuhan stek meranti merah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 3(2):129 -138.

Pitopang, R. Khaerruddin, I. Tjoa, A. Burhanuddin, I,F. 2008. Pengenalan Jenis-Jenis Pohon yang Umum di Sulawesi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah & Herbarium Celebence Universitas Taduluko

Rayan. 2008. Pengaruh sungkup setengah lingkaran dan sungkup kotak terhadap persentase hidup cabutan anakan alam jenis Dipterocarpaceae di persemaian. JurnaL DIPTEROKARPA VOL 2(1).

Rohand, A dan Widyan, N. 2010. Dampak penurunan kadar air terhadap respon fisiologis dan biokimia propagul Rhizophora apiculata Bl. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7(4):167-179.

Smits.W.T.M. 1990. Pedoman Sistem Cabutan Bibit Dipterocarpaceae. Asosiasi Panrl Kayu Indonesia. Jakarta.

Yasman, I dan W.T.M. Smits, 1988. Metode Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Balai Penelitian Kehutanan. Samarinda.

Page 112: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

92| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Lampiran 1. Rata-rata kelembaban, suhu dan intensitas cahaya di dalam

dan luar sungkup

Di dalam sungkup Di luar sungkup

Kelembaban

(%)

Suhu

(celcius)

Intensitas

cahaya (lux)

Kelembaban

(%)

Suhu

(celcius) Intensitas

cahaya (lux)

75 29,46 3.617 62,89 33,16 30.408

Lampiran 2. Hasil analisis ragam teknik pembibitan meranti putih (S.

assamica)

Sumber Keragaman db Jumlah

Kuadrat F hitung

Uji Coba Pemotongan daun dan

Penyungkupan

Pemotongan daun

Penyungkupan

Pemotongan daun*penyungkupan

Uji Coba Waktu simpan

Waktu simpan

1

1

4

5

468,75

8802,09

752,09

18556,94

10,71*

201,19*

17,19*

24,52*

Keterangan : * = berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 5% tn = tidak berpengaruh nyata

Page 113: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan

93

Peran Persemaian Permanen Kima Atas dalam Rehabilitasi Lahan melalui Pembangunan Hutan

Tanaman Rakyat1

Ady Suryawan dan Arif Irawan2

ABSTRAK

Sulawesi Utara memiliki lahan kering kritis mencapai 776.913 ha (53 %).

Rehabilitasi secara vegetatif perlu dilakukan karena dinilai memiliki

keuntungan secara ekonomi dan ekologis. Kebijakan revitalisasi sektor

kehutanan telah menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan.

Adanya Persemaian Permanen Kima Atas memiliki tujuan meningkatkan

minat masyarakat untuk menanam. Tujuan tulisan ini untuk memaparkan

data-data kuantitatif dan deskripsi tentang peran persemaian permanen

terhadap kegiatan rehabilitasi di Sulawesi Utara. Data diperoleh dengan

merekapitulasi produksi dan distribusi bibit. Hasil kajian menyimpulkan

beberapa poin antara lain : 1) Produksi dan distribusi bibit mencapai

2.500.015 didominasi dengan jenis tanaman lokal unggulan, 2) Diperkirakan

sedikitnya 2.008,04 ha lahan milik pribadi dan areal perlindungan setempat

telah dilakukan penanaman, 3) Keberadaan persemain permanen menjadi

sumber referensi di Sulawesi Utara tentang pembibitan tanaman hutan,

lokasi pendidikan lingkungan dan study banding, 4) Masyarakat lokal telah

berinisiatif mengembangkan penanaman campuran. Hal ini dapat

menurunkan laju erosi tanah dan meningkatkan infiltrasi.

Kata Kunci : rehabilitasi, hutan rakyat, persemaian permanen.

I. PENDAHULUAN

Hasil rekapitulasi lahan agak kritis hingga sangat kritis di Sulawesi Utara

mencapai 776.913 ha (53 %) (Wahyuni, 2012). Kondisi berkurangnya

tutupan lahan baik di hutan negara maupun lahan milik masyarakat telah

menyebabkan bencana banjir, longsor dan kekeringan. Selain itu kontribusi

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota

Manado; Telp : (0431) 3666683 e-mail : [email protected]

Page 114: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

94| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Sektor Kehutanan dalam pembangunan nasional mengalami penurunan

akibat pasokan bahan baku industri yang berkurang. Arah kebijakan dalam

pengelolaan hutan dan kehutanan saat ini adalah rehabilitasi lahan

terdegradasi dan konservasi sumberdaya hayati dengan mengikutsertakan

masyarakat secara aktif dalam setiap kegiatan. Rehabilitasi secara vegetatif

memiliki keuntungan antara lain dapat melindungi struktur tanah dan kinetik

hujan, melindungi terhadap aliran permukaan, dan memperbesar kapasitas

infiltrasi (Njurumana et al., 2008).

Visi revitalisasi sektor kehutanan berprinsip pada 3 (tiga) prinsip utama

yaitu pro poor untuk mengentaskan kemiskinan, pro job untuk menciptakan

lapangan pekerjaan, dan pro growth untuk mendorong pertumbuhan

ekonomi. Sejak tahun 2007 Kementerian Kehutanan mencanangkan Hutan

Tanaman Rakyat (HTR) mana implementasinya diatur dalam Kepmenhut No.

P.55/Menhut-II/2011. Program ini berjalan mulus pada beberapa daerah,

namun sebagian lain mengalami kendala baik teknis maupun secara

administrasi. Hutan rakyat memegang peranan penting dalam kegiatan

rehabilitasi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat melalui pemanfaatan

kayu rakyat (Widiarti dan Prajadinata, 2008)

Upaya BPDAS PS dalam meningkatkan minat masyarakat untuk

menanam yaitu dengan memberikan kemudahan akses untuk mendapatkan

bibit yang berkualitas melalui pembangunan 50 persemaian permanen yang

tersebar di Indonesia (BPDAS, 2013). Salah satunya yaitu Persemaian

Permanen Kima Atas yang dibangun pada tahun 2011. Persemaian ini

merupakan hasil kerjasama antara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Tondano dan Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Tujuan tulisan ini untuk memaparkan data-data kuantitatif dan deskripsi

tentang peran persemaian permanen terhadap kegiatan rehabilitasi di

Sulawesi Utara. Diharapkan dapat menjadi acuan dalam mereboisasi dan

rehabilitasi lahan khususnya di Sulawesi Utara.

II. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di Persemaian Permanen Kima Atas dan Kabupaten

Minahasa Utara. Waktu Penelitian Januari 2012 sampai dengan Agustus

2014.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah Berita Acara Serah Terima (BAST)

distribusi bibit, produksi bibit dan tanaman dilapangan di Kabupaten

Page 115: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan

95

Minahasa Utara. Sedangkan alat yang digunakan antara lain Tally Sheet dan

Kamera.

C. Prosedur Kerja

Penelitian diawali dengan melakukan rekapitulasi jumlah bibit yang

diproduksi dan didistribusi berdasarkan berita acara serah terima (BAST)

bibit. Berdasarkan BAST, dilakukan peninjauan lapangan terhadap bibit yang

telah didistribusikan ke masyarakat untuk mengetahui kondisi tanaman

dilapangan. Peninjauan atau monitoring dilakukan terhadap 30 masyarakat

yang telah mengambil bibit dalam 2 tahun terakhir di Kabupaten Minahasa

Utara. Kajian dilakukan secara deskriptif berdasar data yang diperoleh.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Persemaian dan Produksi Bibit

Persemaian Permanen Kima Atas berlokasi di Kelurahan Kima Atas,

Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Lokasi persemaian berada pada titik

kordinat Lintang Utara antara 1o 0, 56185 s/d 1o 0, 5632 (N) dan Bujur

Timur antara 124o 0,9010 s/d 124o 0,9022 (E) dengan luas keseluruhan

sekitar 2,5 ha. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan

suhu rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 % dengan

rata-rata curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan

Geofisika, 2011).

Sarana dan prasarana yang digunakan dalam operasional pelaksanaan

persemaian pemanen antara lain : Mother Plan Greenhouse, Production

House, Rooting Area, dan Open Area. Mother Plan Greenhouse merupakan

area sumber tunas yang akan digunakan sebagai bahan baku untuk produksi

cutting/stek. Total jumlah produksi bibit dari tahun 2011 hingga tahun 2013

adalah 2,5 juta bibit yang terdiri dari 13 jenis tanaman. Produksi bibit

dilakukan secara generatif, dengan benih diperoleh dari sumber benih yang

telah disertifikasi oleh BPTH Makassar. Hasil rekapitulasi data produksi bibit

tersaji pada Gambar 1 di bawah ini.

Page 116: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

96| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Keterangan Asal : 1. Minahasa, 2. Minahasa Utara, 3. Jawa,

4. Bolaangmongondow, 5. Manado.

Gambar 1. Produksi bibit per jenis per tahun persemaian permanen kima

atas

Berdasarkan Gambar 1, telah terjadi peningkatan produksi bibit yang

cukup tinggi pada jenis cempaka dan jabon merah. Cempaka dan jabon

merah merupakan jenis asli dari Sulawesi Utara dengan sebaran di

Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow. Jenis cempaka wasian

merupakan jenis unggulan lokal yang memiliki nilai cultural historis serta

benilai ekonomi cukup tinggi bagi masyarakat Sulawesi Utara. Sedangkan

jabon merah sangat diminati oleh masyarakat karena masa panennya yang

cukup singkat (5-6 tahun). Sehingga dilakukan peningkatan produksi

terhadap 2 jenis tersebut seiring dengan pencanangan Gerakan Masyarakat

Menanam Cempaka dan Jabon (Gemastacempabon) oleh Gubernur Sulut

pada Tahun 2012.

Peningkatan produksi bibit yang signifikan pada jabon merah

merupakan hasil dari penelitian selama 2 tahun. Penelitian dimulai dari

pemilihan buah, ekstraksi benih, pemilihan benih, penaburan, penyapihan

20112013

CempakaWasi

an(Elmerelli

aovali

s)

Nantu

(Palaquiu

msp)

Mahoni

(Swetaniasp)

JatiPutih(Gmelinaarborea)

Jabon

putih

(Anthocepalu

scadamba)

Trembesi(Samaneasaman)

Sengon

(Paraserianthe

sfalcataria

)

Jabon

merah

(Anthocepalu

smacrophyllus)

Pakoba

(Tricalysi

aminahasa

e)

Kayumani

s(Cinnamomumsp.)

Matoa(Po

metia

pinnata)

Durian

(Durio

sp.)

Duku(Lansiumdomesticum)

2011 150.0 120. 125.0 35.0 210. 50.0 310.0

2012 165.0 190.0 190.0 95.00 160.0 65.00 100.0 16.00 7.000 10.00 1.000 1.000

2013 217.8 35.00 83.60 76.51 118.2 17.66

asal 1 1 1 2 3 3 3 4 1 1 5 1 1

Page 117: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan

97

hingga pemeliharaan di persemaian yang pada awalnya telah mengalami

berbagai kegagalan. Hingga pada tahun 2013 akhirnya didapatkan teknik

pembibitan yang tepat dari pemilihan buah hingga bibit siap tanam di

lapangan. Sedangkan tantangan pada pembibitan cempaka antara lain : sifat

benih rekalsitran, disukai hama seperti semut dan tikus, penyapihan dan

pemeliharaan di persemaian. Teknik pembibitan kedua jenis ini telah

dipublikasikan dan dilakukan alih teknologi kepada masyarakat melalui

berbagai kesempatan sebagaimana dipaparkan oleh Halawane et al. (2011),

Yudohartono (2013), Hidayah dan Irawan (2012), Irawan et al. (2012),

Irawan dan Suryawan (2013) dan bimbingan teknis yang tidak

dipublikasikan.

Sedangkan untuk jenis jabon putih dan sengon mengalami penurunan

produksi dan berhenti diproduksi pada tahun 2013. Hal ini sengaja dilakukan

karena kedua jenis ini merupakan jenis introduksi dari Jawa, yang secara

produktivitas belum diketahui secara pasti dibandingkan jenis asli.

Begitupula dengan jenis trembesi yang sudah tidak diproduksi lagi, karena

merupakan jenis introduksi, masyarakat juga enggan menanam karena

dinilai kurang menguntungkan secara ekonomi, cabang mudah rapuh dan

merusak jalan.

B. Distribusi Bibit

Bibit didistribusikan ke masyarakat secara gratis dengan prosedur

sebagai berikut : 1) Pemohon melengkapi berkas yang berisi : a) surat

permohonan yang ditujukan kepada Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Tondano, berisi tentang identitas pemohon, luas lahan yang tersedia, jumlah

dan jenis bibit yang dibutuhkan dan mengetahui kepala desa, b) Fotokopi

identitas (KTP), c) Denah lokasi penanaman. 2) Berkas dikirim ke Kantor

BPDAS Tondano setelah mendapat disposisi kemudian di bawa ke

Persemaian Permanen Kima Atas, 3) Pemohon mengambil sendiri bibit

sesuai permohonan, mengisi berita acara serah terima dan memberikan

dokumentasi penanaman sebagai bentuk pertanggung jawaban bibit yang

diberikan.

Berdasarkan hasil rekapitulasi bibit yang telah tersalurkan per

september 2014 sebanyak 2.500.015 bibit. Hasil rekapitulasi distribusi bibit

per tahun berdasar kabupaten/kota penerima ditunjukkan Gambar 2.

Page 118: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

98| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Gambar 2. Distribusi bibit per Kabupaten/Kota per Tahun

Gambar 2. Distribusi bibit per Kabupaten/Kota per tahun

Berdasarkan Gambar 2, dari 17 Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara

hanya Kabupaten Sitaro yang belum pernah mendapatkan bibit dari

persemaian. Jumlah Kabupaten/Kota penerima bibit pertahun mengalami

penurunan, dimana tahun 2012 dan 2013 terdistribusi ke 12

kabupetan/kota, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 10 kabupetan/kota

yang mengambil bibit. Pada tahun 2013, Kabupaten Bolaang Mongondow

Timur, Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara dan Bolaang

Mongondow Selatan, distribusi bibit sudah dilayani oleh persemaian

permanen BPDAS Tondano di Toraout (PP Toraout), Kabupaten Bolaang

Mongondow.

Berdasar Kabupetan/Kota, distribusi bibit didominasi oleh Kota Manado,

Kabupatan Minahasa Utara dan Minahasa dengan total distribusi selama 3

tahun berturut-turut yaitu 844.071 (33 %), 725.302 (29 %) dan 477.603

2744 3200 10105 10200 10700 24250 25550 38580 52660 86185

301347

438679

350 2.500 3.700 5.000 12.500 12.764 20.407 52.070 56.140

259.126 269.859 296.214

514 1.541 4.110 12.330 14.282 29.233 42.436

109.178 132.292

154.096

Page 119: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan

99

(19 %). Berdasarkan BAST, dominasi distribusi bibit berdasarkan

administratif ini disebabkan penyaluran dilakukan melalui kantor

pemerintahan yang ada di Kota Manado antara lain : Lantamil, Kodim, Balai

Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan Provinsi, Balai Penelitian Kehutanan

Manado, Sekolahan dan Universitas, LSM, BUMN dan Swasta yang ada di

Manado. Lebih jelasnya instansi penerima disajikan pada Gambar 3 di bawah

ini.

Gambar 3. Distribusi bibit per instansi penerima per tahun

Gambar 3 menunjukkan bahwa distribusi paling tinggi dilakukan kepada

masyarakat secara perorangan atau pribadi yaitu 1.141.069 (45,6 %),

kemudian Intansi Pemerintah 456.700 (18 %) dan Aparat TNI – Polri

sebanyak 235.000 (9,3 %). Sedangkan Kelompok Tani Hutan atau KTH

sebesar 191165 (7,6 %). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi

Utara secara mandiri sangat peduli terhadap lingkungan atau kebun-kebun

yang masing kosong.

3400 18640 22944 26900 27600 78650 119975 218510

487581

370 2500 2510 3200 14995 20636 71700 90555 91525

125861 148740

418038

6.820 22.640 24.470 28.320 40.815 51.050 90.450

235.450

swasta sekolah Aparat lsm kth KeagamaanPemerintah pribadi

Page 120: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

100| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Luas lahan milik masyarakat penerima bibit berkisar antara 1-35 ha/

orang. Masyarakat mulai sadar dengan kebutuhan kayu dan harga per m3

yang meningkat, adanya jenis yang cepat panen dan berkualitas, sehingga

sebagian masyarakat telah merelakan kebun kelapa untuk diganti dengan

tanaman kehutanan. Pertimbangan yang diambil yaitu dalam jangka waktu

12 tahun tanaman kehutanan sudah dipanen 2 kali sedangkan kelapa baru

belajar berbuah.

Gencarnya promosi tentang persemaian permanen yang menyediakan

bibit gratis merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan distribusi.

Dibawah kendali BPDAS Tondano dan BPK Manado promosi berjalan sukses.

Salah satu skenario yang mudah ditangkap masyarakat adalah bahwa dalam

1 ha dengan jarak tanam 5x4 maka akan ada 500 batang tanaman, semisal

1 tanaman menghasilkan 1 m3 kayu dengan harga kayu minimal 1 juta maka

dalam jangka 5 tahun akan didapat panen 500 juta.

C. Kondisi Tanaman di Lapangan

Monitoring dilakukan hanya di Kabupaten Minahasa Utara (Minut),

dengan pertimbangan bahwa Minut merupakan lokasi distribusi terbesar ke

dua dan paling banyak dilakukan oleh masyarakat secara pribadi. Hasil

monitoring didapat umur tanaman antara 1 bulan s/d 2 tahun. Namun ada

juga bibit yang belum ditanam disebabkan oleh mahalnya biaya

pembersihan lahan, pengangkutan, dan musim hujan. Berdasarkan hasil

survey biaya pembersihan dan penanaman untuk 1 ha, berkisar 3-6 juta

rupiah tergantung lokasi. Pengangkutan dilakukan menggunakan tenaga

manusia, grobak sapi, motor dan mobil. Sedangkan musim hujan di Sulawesi

Utara antara bulan oktober hingga mei.

Adanya penanaman pada lahan milik telah merubah tutupan lahan

kosong menjadi hutan sebagaimana Gambar 4 poin 1. Nampak perbedaan

kebun sengon dengan areal alang-alang yang menandakan bahwa 2 tahun

yang lalu lokasi kebun tersebut tidak jauh beda dengan kondisi alang-alang.

Bibit yang ditanam di kebun pribadi relatif lebih subur dan persen

keberhasilan lebih tinggi dibanding tanaman penghijauan. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh rasa kepemilikan, harapan akan keuntungan dan pengaruh

adanya sistem tumpang sari dengan palawija sehingga tanaman lebih

terawat. Tumpang sari umumnya dilakukan dengan jenis jagung, cabe,

pisang, empon-empong (jahe) dan kelapa sebagaimana mana poin 2, 5, dan

6 pada Gambar 4.

Page 121: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan

101

Keterangan : 1) Sengon umur 2 tahun di Air Madidi, 2). Cempaka 1,5 tahun di , 3)

Jabon merah 1 minggu di Talawaan, 4). Jabon putih 2 Tahun di

Wori, 5). Jabon putih 1 tahun, 6). cempaka 6 bulan di Wori, 7).

Jabon 6 bulan di Wori, 8). Bibit belum ditanam di Talawaan, 9).

Kebun campuran sengon, Jabon dan Gmelina umur 5 bulan di Wori,

10). Penghijauan jalan di Kikavser, 11) Penghijauan Jalan di

Likupang dan 12). Penghijauan sempadan sungai di Talawaan.

Gambar 4. Kondisi tanaman hasil distribusi di Kabupaten Minahasa Utara

D. Kajian Dampak Persemaian Permanen Terhadap Sektor Kehutanan

Hasil evaluasi selama 3 tahun terhadap pendistribusian bibit dan

kunjungan ke lokasi persemaian, menunjukkan antusiasme masyarakat

Sulawesi Utara akan adanya persemaian permanen dan bibit gratis cukup

1 2 3

7 8 9

10 11 12

4 5 6

Page 122: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

102| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Pemerintah 52%

LSM 1%

Sekolah

42%

Swasta

5%

Pemerintah 18%

LSM 4%

Sekolah

76%

Swasta

2%

tinggi. Diketahui hampir seluruh lapisan masyarakat pernah mendapatkan

bibit secara gratis untuk ditanam di lingkungannya. Lokasi persemaian juga

digunakan sebagai lokasi belajar untuk mengenal dunia kehutanan baik

untuk siswa maupun masyarakat secara umum.

Gambar 5. Diagram persentase pengunjung tahun 2012 (a) dan 2013 (b).

Berdasarkan catatan pengunjung hingga akhir 2013 sebagaimana

tergambar pada Gambar 5, terdapat sedikitnya 737 orang pengunjung baik

lokal maupun manca negera. Persentase pengunjung yaitu 68 % sekolahan,

26 % pemerintah, 2,9 % LSM dan 2,5 % Swasta. Sebuah terobosan untuk

menggugah kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar dan

merubah cara pandang akan pentingnya manfaat hutan sejak dini.

Jumlah masyarakat Sulawesi Utara yang bekerja di bidang agro

(pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan) menurut BPS (2013)

mencapai 333.103 orang atau 34,5 %. Jumlah ini merupakan potensi dalam

melakukan rehabilitasi lahan-lahan kosong sekaligus memberikan tambahan

pengahasilan dari sektor kehutanan. Pengetahuan dan kesadaran

masyarakat akan prospek hutan tanaman dan pentingnya hutan perlu

disebarluaskan sejak dini. Menurut penelitian Supangat et. al. (2002) dalam

Rahmayanti (2012) kecenderungan petani memilih jenis tanaman kehutanan

untuk kebun antara lain karena bibitnya tidak membeli (41 %), pemasaran

bagus 38 %), nilai jual tinggi (17 %) dan tradisi (4 %). Berdasarkan

penjelasan tersebut nampak bahwa dengan bibit gratis, memiliki jual cukup

tinggi dan adanya usaha pemerintah daerah untuk mendirikan pabrik kayu

a b

Total 171 orang Total 566 orang

Page 123: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan

103

di Sulut merupakan faktor utama yang mempengaruhi keinginan menanam

kayu kehutanan.

Menurut Asir (2012) masyarakat Sulut telah membudidayakan tanaman

kehutanan di areal kebun kelapa. Hasil penelitian menunjukkan sistem ini

tidak menurunkan produktifitas kopra dari kepala, justru pada waktu panen

akan didapat keuntungan 2-5 kali lebih besar modal. Selain itu dapat

mengurangi curah hujan sebagai air limpasan yang dapat menimbulkan

erosi pada tanah miring. Tanaman yang dapat dicampur dengan kelapa

antara lain cempaka, mahoni, dan nyatoh. Setelah 6 tahun rata-rata

diameter tanaman kehutanan berkisar 21-31 cm dan tinggi 6-20 meter,

volume rata-rata per hektar 65,46 m3 (cempaka), 194,86 m3 (nantu) dan

257,73 m3 (mahoni). Menurut Widiarti dan Prajadinata (2008) karakteristik

penutupan lahan pada sistem kebun campuran mendekati ekosistem hutan

berdasarkan tutupan tajuknya dan secara ekologis akan lebih baik dibanding

kebun homogen. Produktivitas lahan akan lebih tinggi bila dilakukan

penanaman campuran yang terdiri dari kayu-kayuan, buah-buahan /

tanaman industri, dan tumbuhan bawah tahan naungan.

Penanaman yang bersifat rehabilitasi pada lahan non milik dilakukan

oleh kelompok masyarakat seperti atas nama desa, Lembaga Swadaya

Masyarakat, kelompok pencinta alam, kelompok tani hutan, kelompok

keagamaan, instansi pemerintah dan aparat keamanan. Rehabilitasi

dilakukan pada sempadan sungai, jalan, mata air dan areal hutan lindung.

Jumlah bibit yang terdistribusi untuk tujuan rehabilitasi lahan non milik +

337.650 (13 %) berdasar data rekapitulasi distribusi ke LSM, aparat,

sekolah, universitas dan BUMN. Bibit yang terdistribusi tersebut sedikitnya

akan dapat menutup lahan seluas 182,33 ha dengan tingkat keberhasilan 60

% dan jarak tanam 3x3 meter. Sedangkan penutupan hutan pada lahan

milik perorangan diperkirakan akan dapat mencapai 1.825,71 ha dengan

keberhasilan 80 % dan jarak tanam 4 x 5 meter. Berdasarkan uraian Asir

(2012) hal ini akan dapat menurunkan laju erosi tanah mengingat topografi

Sulawesi Utara dominan berbukit-bukit. Selain itu dengan pemanfaatan

lahan secara optimal di bawah tegakan akan berpengaruh terhadap

menurunnya konversi lahan hutan, mengurangi konflik tata batas hutan

rakyat dan hutan lindung (HB et al. 2012).

Menurut Njurumana et. al. (2008) upaya rehabilitasi dengan pola hutan

rakyat memerlukan dukungan pemerintah pada beberapa sektor antara lain

: 1) Kebijakan yaitu keberpihakan peraturan rehabilitasi yang dapat

memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan meningkatkan fungsi ekologis

Page 124: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

104| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

secara sinergis. Pola pendekatan dengan cara meningkatkan kualitas tapak

melalui hutan rakyat, hutan campuran dan agroforestry sehingga akan

menciptakan diversifikasi pendapatan masyarakat. 2) Aspek Sosial dan

Ekonomi mempertimbangkan mata pencaharian, ternak dan kebutuhan

kayu. Adanya ternak dan kebutuhan kayu merupakan ancaman terhadap

tanaman muda, belum lagi adanya kebiasaan membakar lahan untuk

pertanian. Strategi yang digunakan adalah pengembangan hutan rakyat

yang berbasis inisiatif lokal, sehingga akan mudah disosialisasikan karena

sudah mengakar dan menjadi bagian kehidupan dan budaya lokal.

Kondisi masyarakat Sulawesi Utara yang menyadari pentingnya hutan

perlu dibarengi dengan keseriusan pemerintah daerah dalam membina

petani kehutanan. Menurut Yumi et. al. (2011) petani memerlukan

pembelajaran dalam mengelola hutan rakyatnya, sehingga diperlukan

peningkatan kompetensi baik teknis maupun manajerial tentang pengelolaan

hutan berkelanjutan. Pemerintah sangat diharapkan dalam hal pembentukan

kelembagaan dan pendampingan baik melalui penyuluh maupun

pendampingan yang melibatkan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Produksi dan distribusi bibit mencapai 2.500.015 bibit. Keberhasilan

pembibitan cempaka dan jabon telah menjadikan persemaian

permanen sebagai sumber referensi pembibitan kedua jenis tersebut.

2. Diperkirakan hasil distribusi bibit yang dilakukan telah ditanam pada

areal kebun pribadi dan areal perlindungan setempat (mata air,

sempadan sungai, penghijauan jalan) seluas 2.008, 04 ha.

3. Antusiasme masyarakat terhadap persemaian permanen mengalami

peningkatan selama 2 tahun, hal ini merupakan peluang untuk

mentransformasi peluang usaha dan pentingnya manfaat hutan bagi

kehidupan, serta teknik dalam budidaya tanaman kehutanan.

4. Masyarakat secara inisiatif telah melakukan budidaya secara campuran.

Model ini dapat menjadi model rehabilitasi lahan kosong yang tepat

karena terbukti mampu menurunkan laju erosi tanah dan meningkatkan

infiltrasi. Penyediaan bibit unggul gratis, jaminan pemasaran, nilai jual

perlu diusahakan bersama. Pemerintah Daerah perlu mengeluarkan

kebijakan rehabilitasi yang dapat memfasilitasi kebutuhan dasar

masyarakat. Strategi yang dikembangkan yaitu hutan rakyat yang

Page 125: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Peran Persemaian Permanen Kima Atas……. Ady Suryawan dan Arif Irawan

105

berbasis inisiatif lokal akan mudah disosialisasikan karena sudah

mengakar dan menjadi bagian kehidupan dan budaya lokal.

B. Saran

1. Perekonomian di sektor kehutanan di Sulawesi Utara akan mampu

menaikan PAD dengan jalan pemerintah segera membangun industri

kayu dengan jalan menarik investor maupun UPTD.

2. Masyarakat perlu didampingi dalam pengelolaan hutan dan lingkungan

sekitar, sehingga disamping masyarakat mendapat keuntungan dengan

kebun tanaman, areal perlindungan setempat seperti mata air, sempadan

sungai dan jalan raya pun akan terlindungi dengan vegetasi.

Pendampingan dapat berasal dari penyuluh maupun Lembaga Swadaya

Masyarakat dan Swasta.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman. 2012. Kebijakan pembangunan kehutanan bidang perbenihan tanaman hutan, dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitasi dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.

Asir, L. O. 2012. Analisis finansial kombinasi tanaman kayu-kayuan dengan pertanaman kelapa (Cocos nucifera) di Sulut (Studi Kasus di Kecamatan Mapanget Kota Manado), dalam Prosiding Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.

BPS. (2014, September 20). Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Sulawesi Utara Tahun 2013. Retrieved from Badan Pusat Statistik Propinsi SUlawesi Utara: http://sulut.bps.go.id/index.php?hal=tabel&id=14

Halawane J. E., H. N. Hidayah dan J. Kinho. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.

HB, A.R., Nurhaedah, dan E. Hapsari. 2012. Kajian strategi optimalisasi pemanfaatan lahan hutan rakyat di Provinsi SUlawesi Selatan. Jurnal peneltian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9(4):216-228.

Hidayah, H. N. dan A. Irawan. 2012. Kesesuaian media sapih terhadap persentase hidup semai jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil). dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.

Irawan, A. dan A. Suryawan. 2013. Pengaruh aplikasi zat pengatur tumbuh (Rooton-F) terhadap respon pertumbuhan stek pucuk cempaka wasian, dalam Prosiding Nasional Optimasi Silvikultur I dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Silvikultur Indonesia, (pp. 165 - 171). Makasar.

Page 126: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

106| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Irawan, A., H. N. Hidayah dan J. E. Halawane. 2012. Pengaruh tingkat kerapatan naungan pada beberapa kelompok pemupukan terhadap pertumbuhan semai cempaka wasian (Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy) di persemaian, dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado.

Njurumana G. N. D., B. A. Victoria dan Pratiwi. 2008. Potensi pengembangan mamar sebagai model hutan rakyat dalam rehabilitasi lahan kritis di Timor Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(5):473-484.

Rahmayanti, S. 2012. Respon masyarakat terhadap pola agroforestri pada hutan rakyat penghasil pulp. Mitra Hutan Tanaman 7(2): 39-50.

Wahyuni, N. I. 2012. Rehabilitasi Hutan dan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan di Sulawesi Utara dalam Prospek Hutan Tanaman (Rakyat), Rehabilitas dan Konservasi (Prosiding Seminar, 27 Nopember 2012). Balai Penelitian Kehutanan Manado. pp. 49-60

Widiarti A. dan S. Prajadinata. 2008. Karakteristis hutan rakyat pola kebun campuran. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 5(2):145-156.

Yudohatono, P. T. 2013. Potensi dan penanganan benih jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) dari provenan Sulawesi Utara. Tekno Hutan Tanaman 6(1):21-27.

Yumi, Sumardjo, D.S. Gani, B.S. Sugihen. 2011. Model pengembangan pembelajaran petani dalam mengelola hutan rakyat lestari : Kasus di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 8(3):196-210.

Page 127: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan

107

Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)

H.Keng) pada Tempat Sapih Politub dan Polibag1

Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan2

ABSTRAK

Kegiatan penyapihan adalah salah satu bagian penting dalam kegiatan

pembibitan. Penggunaan tempat sapih dengan kapasitas volume media yang

berbeda akan mempengaruhi efesiensi penggunaan media dan

pengangkutan bibit ke lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk

membandingkan pertumbuhan bibit cempaka pada tempat sapih politube

dan polibag. Bibit cempaka umur satu minggu setelah perkecambahan

disapih menggunakan media top soil pada wadah politube dan polibag. Pada

umur empat bulan dilakukan pengamatan pertumbuhan bibit meliputi persen

hidup (%), tinggi (cm), dan diameter (cm). Jumlah bibit pada masing-

masing perlakuan adalah 96 bibit sehingga jumlah total bibit yang diamati

adalah 192 bibit. Dari hasil pengamatan dan analisis menggunakan uji t,

diketahui bahwa pertumbuhan bibit cempaka pada politub menghasilkan

pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan

cempaka pada polibag. Parameter pertumbuhan diameter dan tinggi pada

politube dan polibag memiliki nilai perbandingan sebesar 45 % dan 119 %.

Kata Kunci : cempaka, politube, penyapihan

I. PENDAHULUAN

Cempaka (Magnolia elegans. (Blume) H. Keng) adalah salah satu dari

beberapa jenis kayu cempaka yang dikenal di Sulawesi Utara (Kinho &

Irawan, 2011). Kayu ini memiliki klasifikasi kelas awet II dan kelas kuat III,

berat jenis 0,41-0,61, kerapatan kayu 400-500 kg/m3 (Langi, 2007). Kayu

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Manado ; Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget

Kota Manado; Telp : (0431) 3666683 Email : [email protected]

Page 128: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

108| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

cempaka memiliki serat yang halus, sehingga sangat sesuai digunakan

sebagai bahan baku industri meubel, kusen, alat musik, perahu, alat

olahraga, plywood, dll. Pada umumnya masyarakat Minahasa menggunakan

kayu cempaka sebagai bahan baku utama dalam pembuatan konstruksi

rumah panggung Minahasa atau yang lebih dikenal dengan sebutan rumah

woloan.

Kegiatan penyapihan adalah salah satu bagian penting dalam kegiatan

pembibitan. Penggunaan tempat sapih dengan kapasitas volume media yang

berbeda akan mempengaruhi efesiensi penggunaan media dan

pengangkutan bibit ke lapangan. Media tanam adalah salah satu faktor

eksternal yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.

Media tanam yang baik adalah media yang mampu menyediakan air dan

unsur hara dalam jumlah cukup bagi pertumbuhan tanaman. Durahim dan

Hendromono (2001) menyatakan bahwa untuk menghasilkan bibit yang

berkualitas diantaranya diperlukan media tanam yang kaya dengan bahan

organik dan mempunyai unsur hara yang diperlukan tanaman. Tempat bibit

yang lebih besar (polibag) akan membutuhkan lebih banyak media dan juga

ruang pada saat pengangkutan ke lapangan sehingga mempunyai efesiensi

yang lebih rendah dibandingkan tempat bibit yang lebih kecil (politube).

Padahal dengan menggunakan tempat bibit dengan kapasitas volume media

yang lebih kecil, pada umur tertentu performa pertumbuhan dan mutu

bibitnya mungkin telah memadai untuk siap tanam (Junaedi, 2010).

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan bibit

cempaka pada tempat sapih politub dan polibag. Data dan informasi

pertumbuhan tersebut diperlukan sebagai bagian yang diperhitungkan

dalam pemilihan tempat sapih bibit yang paling sesuai dalam proses

pembibitan cempaka.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-November 2012 di Persemaian

Permanen BPDAS Tondano yang terletak di Kecamatan Mapanget Kota

Manado. Area persemaian berada pada ketinggian 70 m dpl, dengan suhu

rata-rata 34 derajat celcius, dan tingkat kelembaban 40 % dengan rata-rata

curah hujan bulanan yaitu 270 milimeter (Badan Meteorologi dan Geofisika,

2011).

Page 129: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan

109

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain benih cempaka

yang berasal dari Kabupaten Minahasa Selatan, media tabur (pasir), media

sapih (tanah top soil), tempat sapih politube dengan volume 60 cm3 dan

tempat sapih polibag dengan volume 300 cm3. Peralatan yang digunakan

antara lain kaliper, penggaris, dan alat tulis.

C. Metode

Perkecambahan benih dilakukan pada bak plastik menggunakan media

pasir. Perkecambahan benih berlangsung pada 10 (sepuluh) hari setelah

penaburan dan bibit siap disapih 1 (satu) minggu setelahnya. Bibit disapih

pada tempat politube dan polibag menggunakan media tanah top soil.

Pada waktu bibit berumur 4 bulan dilakukan pengamatan parameter

pertumbuhan bibit yang meliputi persen hidup (%), tinggi (cm), dan

diameter (cm). Jumlah bibit pada masing-masing perlakuan adalah 96 bibit

sehingga jumlah total bibit yang diamati adalah 192 bibit.

D. Analisis Data

Untuk membandingkan perbedaan besaran parameter pertumbuhan

bibit cempaka pada tempat sapih politub dan polibag maka dilakukan uji t

dua sampel bebas.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perbandingan besaran parameter pertumbuhan bibit cempaka pada

polibag dan politub menggunakan uji t ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Besaran parameter pertumbuhan bibit cempaka umur empat bulan di polibag dan politub

Parameter Pertumbuhan Bibit A Bibit B

Diameter (cm) 0,29 ± 0,003 0,20 ± 0,002 *

Tinggi (cm) 10,48 ± 0,20 4,77 ± 0,072 *

Persen hidup (%) 90,63 ± 1,80 96,88 ± 1,80 ns

Keterangan : Bibit A = Bibit di polibag; Bibit B = Bibit di politub; * = berbeda nyata

pada taraf uji 5% ; ns = tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Penggunaan tempat sapih polibag dan politub memberikan nilai yang

berbeda nyata tehadap pertumbuhan diameter dan tinggi bibit, sedangkan

untuk parameter persen hidup tidak memberikan nilai yang berbeda nyata.

Hasil perhitungan perbedaan besaran parameter pertumbuhan bibit antara

tempat sapih politub dan tempat sapih polibag menunjukkan bahwa

perbedaan pertumbuhan diameter memiliki nilai yang lebih kecil

dibandingkan dengan perbedaan pertumbuhan tinggi bibit. (Tabel 2).

Page 130: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

110| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Tabel 2. Perbedaan besaran pertumbuhan antara bibit cempaka di tempat

sapih polibag dengan politub

Parameter Pertumbuhan Besar Perbedaan

(cm) Presentase Perbedaan

Diameter 0,09 45 % Tinggi 5,71 119 %

Keterangan : Besar perbedaan = pertumbuhan bibit di polibag - pertumbuhan bibit

di politub

Pertumbuhan cempaka pada politub menghasilkan pertumbuhan yang

lebih lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan cempaka pada polibag.

Perbandingan parameter pertumbuhan diameter dan tinggi pada politub

dengan tempat sapih polibag memiliki nilai perbandingan sebesar 45 % dan

119 % (Tabel 2).

Media berperan seperti halnya tanah di lapangan yakni berfungsi

sebagai ruang tempat tumbuh akar serta menyediakan air dan nutrisi bagi

tanaman/bibit. Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas

media yang digunakan. Kualitas media dapat dicerminkan oleh kandungan

unsur hara yang dikandung dalam media. Dalam penelitian ini, kualitas

media tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit cempaka

pada polibag dan politub, karena media yang digunakaan adalah sama.

Selanjutnya kuantitas media dicerminkan oleh banyaknya (volume) media

yang disediakan untuk pertumbuhan bibit. Dengan volume media pada

tempat sapih polibag sebesar 300 cm, maka kuantitas medianya akan lebih

tinggi lima kali dibandingkan bibit pada tempat sapih politub (volume 60

cm). Hal ini mengakibatkan kuantitas ruang tumbuh, air dan nutrisi yang

disediakan untuk pertumbuhan bibit pada tempat sapih polibag lebih tinggi

dibandingkan pertumbuhan bibit pada tempat sapih politub. Hal tersebut

menyebabkan pertumbuhan diameter dan tinggi bibit cempaka pada polibag

lebih tinggi dibandingkan dengan bibit cempaka pada politub. Junaedi

(2010) dalam penelitiannya terhadap bibit jabon (Anthocephalus cadamba.

Miq) umur 4 bulan yang dicobakan pada tempat sapih polibag dan politub

juga menghasilkan nilai perbandingan yang tidak jauh berbeda.

Perbandingan pertumbuhan diameter yang dihasilkan adalah sebesar 50 %

dan pertumbuhan tinggi sebesar 199 %. Dalam penelitiannya yang lain,

Junaedi (2012) juga menyatakan bahwa media dalam polibag dengan

volume media 500 cm3 secara signifikan memberikan pertumbuhan lebih

baik pada bibit merawan asal sistem KOFFCO umur enam bulan

dibandingkan potray (potray kotak volume 350 cm3 dan potray bulat 300

cm3).

Page 131: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng)……. Hanif Nurul Hidayah dan Arif Irawan

111

Penggunaan polibag sebagai tempat sapih bibit sudah banyak dilakukan

dan merupakan tempat yang paling umum digunakan karena memiliki harga

jual yang relatif murah dan mudah diperoleh. Komaryati dan Gusmailina

(2010) menyatakan bahwa keunggulan penggunaan tempat sapih polibag

dibandingkan dengan tempat sapih politub adalah pertumbuhan akar

tanaman yang ada dalam polibag lebih leluasa berkembang dibandingkan

dengan akar tanaman yang berada dalam politub. Lebih lanjut dinyatakan

bahwa dalam hasil penelitiannya tempat sapih polibag memberikan

kelebihan tinggi dan diameter pada Eucalyptus urophylla sebesar 7,57 cm

dan 0,24 cm daripada politub. Sedangkan pada Eucalyptus pellita, polibag

memberikan kelebihan tinggi dan diameter sebesar 7,62 cm dan 0,37 cm.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Bibit cempaka pada tempat sapih politub memiliki pertumbuhan yang

lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan bibit cempaka pada

tempat sapih polibag.

B. Saran

Perlu dilakukan aplikasi penggunaan media lain serta penambahan

pupuk yang sesuai sehingga dapat menghasilkan bibit cempaka yang

memiliki pertumbuhan lebih optimal pada tempat sapih politub.

DAFTAR PUSTAKA

Durahim dan Hendromono. 2001. kemungkinan penggunaan limbah organik sabut kelapa sawit dan sekam padi sebagai campuran top soil untuk media pertumbuhan bibit mahoni (Swietenia macrophylla King). Buletin Penelitian Hutan 628:13-26.

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Melton Putra. Jakarta

Hendromono. 2003. Kriteria peniliaian mutu bibit dalam wadah yang siap tanam untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 4(1):11-20. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta

Junaedi, A. 2012. Pertumbuhan dan mutu fisik bibit merawan (Hopea odorata roxb.) asal sistem KOFFCO di polibag dan potray. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 6(1). Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.

Junaedi, A. 2010. Pertumbuhan dan mutu fisik bibit jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) di polibag dan politub. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7(1). Pusat Litbang Produktifitas Hutan. Bogor.

Langi, Y.A.R. 2007. model penduga biomassa dan karbon pada tegakan hutan rakyat cempaka (Elmrerillia ovalis) dan wasian (Elmerrillia celebica) di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Thesis. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Page 132: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

112| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Kinho, J. dan Mahfudz, 2011. Prospek Pengembangan Cempaka di Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado.

Kinho, J. dan A. Irawan. 2011. Studi keragaman jenis cempaka berdasarkan karakteristik morfologi di Sulawesi Utara. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hal 61-78

Komarayati, S dan Gusmailina. 2010. Pengaruh Media dan Tempat Tumbuh terhadap Pertumbuhan Anakan Eucalyptus urophylla dan Eucalyptus pellita.

Mattjik, A.A. & I.M. Sumertajaya. 1999. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab (jilid 1). Jurusan Statistik, FMIPA-IPB. Bogor.

Pratisto. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Page 133: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni

113

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon1

Nurlita Indah Wahyuni2

ABSTRAK

Kebutuhan akan data perubahan stok karbon hutan yang memenuhi syarat

pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement, Reporting and

Verification, MRV) merupakan salah satu alasan dilakukannya desain ulang

Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest Inventory, NFI). Sehingga dari

satu data inventarisasi bisa diperoleh beberapa informasi sekaligus seperti

potensi tegakan, struktur dan komposisi vegetasi serta biomasa dan karbon

hutan. Tulisan ini akan memaparkan tentang korelasi Indeks Nilai Penting

(INP) suatu jenis pohon dengan biomasa yang tersimpan di dalamnya.

Kajian dilakukan di SPTN III Maelang, Taman Nasional Bogani Nani

Wartabone. Biomasa pohon dihitung menggunakan persamaan alometrik,

sedangkan INP diperoleh dengan menghitung parameter penyusun INP yaitu

Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).

Uji korelasi menggunakan data biomasa dan INP satu jenis pohon yang

sama. Berdasarkan hasil analisis vegetasi Alangium javanicum memiliki INP

tertinggi sebesar 29,34 %. Sedangkan jenis pohon dengan rata-rata

biomasa terbesar adalah Calophyllum soulattri dengan biomasa sebesar

96,53 Mg/ha. Analisis korelasi dengan taraf nyata 0,01 menunjukkan bahwa

INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa dengan nilai korelasi sebesar

0,752 yang berarti terdapat hubungan signifikan antara INP dengan

biomasa.

Kata kunci: korelasi, indeks nilai penting, biomasa, pohon

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan

Mapanget Manado Telp. 0431-3666683; Email: [email protected]

Page 134: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

114| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

I. PENDAHULUAN

Dalam rangka pengumpulan data dan informasi terkait sumber

daya hutan, khususnya stok kayu dan penyebarannya, Kementerian

Kehutanan telah menerapkan Inventarisasi Hutan Nasional (National Forest

Inventory, NFI) sejak tahun 1990-an. Kurang lebih 3000 plot contoh

telah dibuat dan dimonitor, yang tersebar secara sistematik di seluruh

wilayah Indonesia. Sebagian dari plot contoh juga telah dilakukan

pengukuran ulang (re-enumerasi). Terkait dengan inventarisasi Gas Rumah

Kaca (GRK), plot-plot contoh ini merupakan sumber potensi data yang

baik untuk pendugaan stok karbon hutan dan perubahannya. Terlebih

dengan adanya syarat pengukuran, pelaporan dan verifikasi (Measurement,

Reporting and Verification, MRV) untuk menghitung seberapa besar

penurunan emisi (Ruslandi, 2012).

Inventarisasi hutan merupakan salah satu kegiatan yang selalu

dilaksanakan dalam pengelolaan hutan baik di kawasan produksi maupun

konservasi. Secara umum, inventarisasi bertujuan untuk memperoleh

informasi dan memantau kondisi sumberdaya hutan. Data yang diperoleh

dalam inventarisasi antara lain topografi, jenis tanah, curah hujan, jenis

pohon, dimensi pohon (diameter, tinggi, lebar tajuk), jumlah spesies pada

tiap tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang, dan pohon), serta kondisi

sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Inventarisasi di awal kegiatan

dapat memberikan informasi awal kondisi hutan, sedangkan inventarisasi

secara berkala dapat menggambarkan pertumbuhan tegakan dan hasil kayu

(growth and yield) (Simon, 2007). Data hasil inventarisasi ini selain

digunakan untuk mengetahui potensi tegakan, juga untuk mengetahui

kondisi vegetasi dengan cara menganalisis struktur dan komposisi vegetasi

dalam pengolahan data lebih lanjut yaitu analisis vegetasi.

Analisis vegetasi biasa dilakukan untuk mempelajari komposisi jenis dan

struktur vegetasi pada satu wilayah. Dalam analisis vegetasi, terdapat dua

parameter yang biasa digunakan yaitu parameter kuantitatif dan parameter

kualitatif. Analisis vegetasi akan menjawab jenis tumbuhan yang dominan

dan memberi ciri utama komunitas hutan. Ukuran dominansi vegetasi

dinyatakan dalam beberapa parameter antara lain biomasa, penutupan

tajuk, luas basal area, indeks nilai penting dan perbandingan nilai penting

(Indriyanto, 2010).

Dalam proses hidupnya, vegetasi hutan melakukan proses fotosintesis

(metabolisme) untuk petumbuhan dan penambahan biomasa. Biomasa

diperoleh dari hasil proses fotosintesis tumbuhan dan berguna untuk

Page 135: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni

115

menambah massa tumbuhan. Dalam ekosistem hutan, biomasa

dideskripsikan sebagai jumlah energi yang terikat per satuan luas per satuan

waktu pada tiap tingkat trofik dan dapat digambarkan dalam piramida

biomasa (Indriyanto, 2010). Sedangkan dalam perubahan iklim khususnya di

sektor kehutanan, biomasa erat kaitannya dengan jumlah gas

karbondioksida (CO2) yang diserap dan disimpan oleh tumbuhan. Biomasa

didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada

suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas

(Brown, 1997).

Biomasa pohon merupakan penyusun utama biomasa dalam tegakan

hutan. Penghitungan biomasa pohon dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

secara langsung (destruktif) dan tidak langsung (non-destruktif). Metode

destruktif dilakukan dengan memanen seluruh bagian pohon, mengeringkan

dan menimbang berat biomasanya. Sedangkan dengan metode non-

destruktif, biomasa pohon diperoleh dari persamaan alometrik dengan

menggunakan variabel diameter dan tinggi baik persamaan spesifik tiap

jenis maupun persamaan umum (Sutaryo, 2009).

Salah satu data yang dihasilkan dalam inventarisasi hutan adalah

diameter (d) atau diameter setinggi dada (dbh). Data diameter ini antara

lain dapat digunakan untuk menghitung volume pohon (penaksiran potensi

tegakan), Indeks Nilai Penting (INP) dalam analisis vegetasi hutan, serta

penghitungan biomasa pohon dengan menggunakan persamaan alometrik.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang korelasi INP suatu jenis pada fase

pertumbuhan pohon dengan biomasa yang tersimpan di dalamnya. Sehingga

dari data INP dapat diketahui jenis pohon apa yang menyimpan biomasa

terbesar.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan pada bulan September 2012 di kawasan

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Seksi Pengelolaan Taman Nasional

(SPTN) III Maelang, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi

Utara.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam kegiatan penelitian ini

terdiri dari tegakan hutan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

di SPTN III Maelang. Peralatan yang digunakan pada saat pengambilan data

di lapangan antara lain peta kerja, tali rafia, tali tambang, plastik spesimen,

Page 136: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

116| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

gunting tanaman, timbangan digital, pita ukur, Global Positioning System

(GPS), pita penanda, tally sheet , alat tulis dan perangkat lunak analisis

statistik.

C. Prosedur Penelitian

Pengumpulan data untuk menghitung INP dan mengetahui jumlah

biomasa tersimpan diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung di

lapangan. Total dibuat sebanyak 30 plot ukur biomasa yang ukurannya

mengacu pada Hairiah dan Rahayu (2007), yaitu 1 plot berukuran 5x40 m

(pohon dengan diameter 5-30 cm) dan 29 plot berukuran 20x100 m (pohon

berdiameter >30 cm). Data yang dikumpulkan adalah nama jenis dan

diameter (dbh) setiap pohon di dalam plot.

D. Analisis Data

Analisis data meliputi data hasil pengukuran untuk memperoleh nilai

biomasa tiap pohon serta penghitungan Indeks Nilai Penting (INP).

Penghitungan biomasa pohon dilakukan secara non destruktif melalui

persamaan alometrik. Berdasarkan data curah hujan di lokasi penelitian,

sebesar 1.200-2.000 mm/tahun, maka digunakan persamaan alometrik zona

lembab yang telah dikembangkan oleh Brown (1997)

dimana: Y = biomasa per pohon (kg) dan D = dbh (cm).

Sedangkan INP tiap jenis pohon diperoleh dengan menghitung

parameter penyusun INP yaitu Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR)

dan Dominansi Relatif (DR). Persamaan untuk menghitung KR, FR, DR dan

INP terdapat dalam Tabel 1. Kerapatan menyatakan jumlah satu jenis

individu dalam plot pengukuran. Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah

jumlah plot pengukuran tempat ditemukannya suatu jenis dari sejumlah plot

pengukuran yang dibuat. Frekuensi menggambarkan tingkat penyebaran

jenis dalam ekosistem yang dipelajari. Dominansi merupakan nilai luas

bidang dasar individu pohon, sedangkan dominansi relatif persentase bidang

dasar suatu jenis terhadap jumlah bidang dasar seluruh jenis. Sebagian

besar kajian dan pustaka merumuskan INP sebagai penjumlahan dari

Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).

Biomasa dan INP dihitung pada setiap jenis pohon yang ditemukan

dalam plot. Untuk mengetahui adanya korelasi antara biomasa dan INP satu

jenis pohon yang sama, digunakan uji korelasi Spearman dengan bantuan

perangkat lunak analisis statistik.

Page 137: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni

117

Tabel 1. Persamaan untuk menghitung Indeks Nilai Penting

No Faktor Persamaan Keterangan

1. Kerapatan

Relatif

K-i : Kerapatan

jenis ke-i

KR-i : kerapatan

relatif setiap

jenis ke-i

terhadap

kerapatan total

2. Frekuensi

Relatif

F-i : frekuensi

jenis ke-i

FR-i : frekuensi

relatif setiap

jenis ke-i

terhadap

frekuensi total

3. Dominansi

Relatif

D-i : dominansi

jenis ke-i

DR-i : dominansi

relatif setiap

jenis ke-i

terhadap

dominansi total

4. Indeks Nilai

Penting

Sumber: Indriyanto (2007)

Page 138: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

118| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW) secara geografis

terletak antara 0⁰20‟ – 0⁰51‟ LU dan 123⁰06‟ – 123⁰18‟ BT, serta masuk

dalam wilayah dua provinsi yaitu Sulawesi Utara dan Gorontalo. Dari luas

keseluruhan 287.115 ha, seluas 117.115 ha (62,32 %) berada di Sulawesi

Utara dan 110.000 ha (37,68 %) termasuk dalam wilayah Gorontalo.

Berdasarkan Schmidt dan Ferguson, wilayah TN BNW termasuk dalam tipe

iklim A, B dan C, dengan curah hujan rata-rata antara 1.700-2.200 mm per

tahun dan suhu rata- rata antara 20 ⁰C-28 ⁰C. Sedangkan topografi kawasan

ini sangat beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat dan

berbukit terjal dengan ketinggian antara 50 – 1.970 m dpl. Beberapa tipe

hutan yang terdapat di dalamnya adalah hutan lumut, hutan hujan

pegunungan rendah, hutan hutan dataran rendah dan hutan sekunder (BTN

BNW, 2006). Lokasi pengambilan data terletak pada kawasan SPTN III

Maelang, kawasan di Puncak Biyango (600 m dpl) dan Kayu Lawang (700-

1000 m dpl).

A. Indeks Nilai Penting dan Biomasa Pohon

Indeks Nilai Penting (INP) menyatakan peran suatu tumbuhan di dalam

komunitas. Makin besar INP suatu jenis tumbuhan, maka makin besar pula

peranan jenis tersebut di dalam komunitas yang diukur. Jika INP merata

pada banyak jenis, dapat dikatakan keanekaragaman hayati di komunitas

tersebut semakin tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, ditemukan

terdapat 58 jenis pohon dalam plot pengukuran. Jumlah jenis pohon ini lebih

sedikit bila dibandingkan dengan kajian yang dilakukan oleh Irawan (2011)

yaitu sebanyak 98 jenis. Walaupun kajian tersebut juga dilakukan dalam

kawasan TN BNW, namun berbeda lokasi dan tipe hutan yang terletak lebih

tinggi serta termasuk hutan primer.

Jenis- jenis pohon yang ditemukan dalam plot pengukuran sebagian

besar merupakan jenis yang sering ditemukan di dalam hutan di Sulawesi

Utara. Karena lokasi penelitian merupakan hutan alam, maka pohon yang

berada dalam plot cukup beragam. Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis

pohon dengan INP tertinggi sebesar 29,34 % adalah Alangium javanicum.

Sedangkan pohon dengan INP terendah adalah Pangium edule dan Ficus sp.

dengan INP masing-masing sebesar 0,25 %. Bahkan hanya terdapat 11 jenis

pohon dengan INP > 10, hal ini menunjukkan tegakan tersebut tidak

didominasi oleh beberapa jenis pohon saja. Meski untuk membuktikan hal

tersebut perlu dilakukan perhitungan Indeks Dominansi dan Indeks

Page 139: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni

119

Keanekaragaman. Nilai Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR),

Dominansi Relatif (DR) dan INP masing-masing jenis pohon terdapat Tabel

2.

Jenis pohon dengan rata-rata biomasa terbesar adalah Calophyllum

soulattri dengan biomasa sebesar 96,53 ton/ha. Sedangkan pohon dengan

biomasa terkecil 0,04 ton/ha adalah jenis Albizia lebeck. Jika nilai biomasa

tiap jenis pohon disusun dengan urutan terbesar hingga terkecil, maka

dapat dilihat bahwa hanya 21 jenis pohon dengan rata-rata biomasa > 10

ton/ha. Penyusunan INP dan rata-rata biomasa dari nilai terbesar hingga

terkecil menunjukkan pohon dengan INP tertinggi tidak secara otomatis

memiliki biomasa tertinggi. Misalnya jenis pohon dengan INP tertinggi

adalah A. javanicum namun rata-rata biomasanya 88,65 ton/ha, atau

terbesar kedua setelah C. soulattri yang berada pada urutan keempat

dengan INP sebesar 15,61 %.

Tabel 2. Indeks Nilai Penting dan biomasa pohon dalam plot pengukuran

No Jenis Pohon FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)

Biomasa (Mg/ha)

1 Alangium javanicum 4.85 12.74 11.75 29.34 88.65

2 Meliosma nitida 3.81 7.82 7.73 19.36 41.78

3 Myristica fatua 4.16 5.94 6.16 16.26 63.56

4 Calophyllum soulattri. 3.99 4.6 7.02 15.61 96.53

5 Cratoxylum celebicum 4.16 6.64 3.46 14.25 50.86

6 Psychotria sp. 4.51 5.94 2.7 13.15 30.88

7 Ardisia villosa 2.95 2.73 5.64 11.32 30.60

8 Canarium indicum 3.64 3.48 4.17 11.28 26.33

9 Syzygium glomeratum 3.47 4.07 3.7 11.23 67.99

10 Dillenia suffruticosa 4.16 2.62 4.27 11.06 65.65

11 Mangifera sp. 3.47 3.85 2.75 10.07 12.72

12 Polyalthia glauca 3.64 4.07 1.98 9.69 12.40

13 Pterospermum spp. 2.43 2.78 3.22 8.43 56.02

14 Palaqium obtusifolium 3.47 2.09 2.09 7.64 25.24

15 Talauma candolei 1.39 1.18 4.88 7.45 85.80

16 Turpinia sphaerocarpa 3.64 2.46 1.23 7.33 8.81

17 Drypetes longifolia 2.77 2.94 1.18 6.9 6.57

18 Bischoffia javanica 1.56 0.96 4.02 6.54 17.03

Page 140: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

120| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

No Jenis Pohon FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)

Biomasa (Mg/ha)

19 Sandoricum koetjape 2.77 1.98 0.78 5.54 4.07

20 Aglaia tomentosa 2.43 2.3 0.58 5.31 0.25

21 Agathis philippensis . 1.21 1.07 2.71 4.99 16.24

22 Vitex cofassus 0.17 1.34 3.31 4.83 62.86

23 Eugenia sp. 1.21 1.23 2.23 4.68 20.25

24 Iilex cymosa 2.08 1.55 0.8 4.43 2.44

25 Zyzygium sp. 2.95 1.07 0.33 4.35 0.06

26 Knema sp. 1.39 1.66 0.99 4.04 6.87

27 Podocarpus neriifolius 1.21 0.48 1.87 3.57 13.06

28 Garcinia deodalanthera 2.08 0.86 0.33 3.26 8.40

29 Heritiera sp. 1.56 0.7 0.87 3.12 3.29

30 Pometia pinñata 1.73 0.64 0.72 3.09 2.91

31 x5* 1.39 0.91 0.26 2.55 1.43

32 Ailanthus integrifolia 1.21 0.59 0.68 2.49 3.45

33 Celtis sp. 1.56 0.43 0.21 2.2 2.09

34 Cananga odorata 1.04 0.7 0.46 2.19 2.76

35 Ficus sp. 1.21 0.59 0.21 2.01 1.29

36 Gnetum sp. 1.91 0.05 0.03 1.99 1.36

37 Tetrameles nudiflora 0.35 0.21 1.37 1.93 5.93

38 Hibiscus tiliaceus 1.04 0.59 0.19 1.82 3.28

39 Pterospermum spp. 0.87 0.21 0.61 1.69 2.60

40 x3* 0.17 1.18 0.24 1.59 3.08

41 Ficus sp. 0.69 0.16 0.14 0.99 6.31

42 Bischoffia javanica 0.17 0.05 0.55 0.77 2.41

43 Artocarpus sp. 0.52 0.16 0.05 0.73 0.40

44 Merintek* 0.35 0.11 0.21 0.67 48.82

45 Alstonia 0.35 0.11 0.19 0.64 8.43

46 Aglaia sp. 0.35 0.11 0.15 0.6 6.47

47 Spondias amara 0.35 0.11 0.08 0.53 2.02

48 Paraseriantes falcataria 0.35 0.16 0.02 0.53 0.04

49 Pete* 0.35 0.11 0.06 0.52 2.59

50 x2* 0.35 0.11 0.03 0.48 1.08

Page 141: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni

121

No Jenis Pohon FR (%) KR (%) DR (%) INP (%)

Biomasa (Mg/ha)

51 Ternstroemia elongata 0.17 0.05 0.2 0.43 9.04

52 Garuga floribunda 0.35 0.05 0.01 0.41 0.07

53 Koordesiodendron

celebicum 0.17 0.05 0.12 0.34 0.46

54 Macaranga sp. 0.17 0.11 0.05 0.33 0.25

55 x1* 0.17 0.05 0.1 0.33 4.48

56 x6* 0.17 0.05 0.03 0.26 0.11

57 Pangium edule 0.17 0.05 0.02 0.25 0.06

58 x4* 0.17 0.05 0.03 0.25 0.08

Sumber: diolah dari data primer

Keterangan: FR=Frekuensi Relatif, KR= Kerapatan Relatif, DR= Dominansi Relatif

Jenis pohon diurutkan berdasarkan INP terbesar hingga terkecil

* jenis pohon yang tidak teridentifikasi nama ilmiahnya

B. Korelasi Indeks Nilai Penting dengan Biomasa

Analisis korelasi merupakan salah satu metode untuk mengetahui

keeratan hubungan antara dua peubah, besarnya diukur dengan sebuah

bilangan yang disebut koefisien korelasi (r). Nilai koefisien korelasi ini

berkisar antara 1 sampai -1, yang diartikan apabila nilai r mendekati 1 atau -

1, dapat dikatakan hubungan antara dua peubah tersebut semakin kuat.

Sedangkan bila r mendekati 0, maka hubungan antara dua peubah semakin

lemah. Koefisien positif atau negatif menunjukkan hubungan searah (bila X

naik maka Y naik) dan terbalik (bila X naik maka Y turun) antara dua peubah

(Walpole, 1982).

Hasil analisis korelasi antara INP dengan biomasa pohon menunjukkan

INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa (taraf nyata 0,01) dengan

nilai korelasi sebesar 0,752 seperti tertera dalam Gambar 1 dan Tabel 3. Hal

ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara INP dengan

biomasa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan INP sebanding

dengan biomasa. Pada Gambar 1 terlihat sebagian besar data terkelompok

di kiri bawah dan beberapa data terpencar menjauhi garis imajiner.

Sedangkan garis imajiner bernilai positif dengan kemiringan dari sudut kiri

bawah ke kanan atas, yang berarti INP berasosiasi positif terhadap biomasa

pohon.

Page 142: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

122| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Gambar 1. Diagram pencar korelasi antara INP dengan biomasa pohon

Meskipun menurut hasil perhitungan, pohon dengan INP dan biomasa

tertinggi merupakan jenis berbeda. Lebih lanjut dapat ditelaah dari

persamaan untuk menghitung biomasa pohon dan INP. Biomasa pohon

dihitung menggunakan persamaan Brown (1997)

, di mana Y adalah biomasa per pohon (kg) dan D merupakan

diameter setinggi dada (cm). Sedangkan INP merupakan penjumlahan dari

Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominansi Relatif (DR).

Kerapatan menunjukkan jumlah individu yang ditemukan, frekuensi

menunjukkan intensitas ditemukannya suatu jenis atau penyebaran jenis

tersebut dan dominansi menunjukkan dominansi suatu jenis terhadap

komunitas yang diamati.

Dari persamaan untuk menghitung INP dan biomasa pohon terdapat

satu data yang sama, yaitu data diameter pohon. Dalam perhitungan INP,

peubah diameter digunakan untuk menghitung dominansi dari luas bidang

dasar (basal area) dengan persamaan . Penyusunan ulang

data dengan mengurutkan DR dari nilai terbesar hingga terkecil

-

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

120,00

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00

Bio

mas

a (t

on

/ha)

INP (%)

Rata-ratabiomasa(ton/ha)

Page 143: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Korelasi Indeks Nilai Penting terhadap Biomasa Pohon Nurlita Indah Wahyuni

123

menunjukkan beberapa pohon memiliki DR yang berbanding lurus dengan

INP dan biomasa. Jenis-jenis pohon tersebut antara lain Alangium

javanicum, Meliosma nitida, Calophyllum soulattri, Myristica fatua dan

Ardisia villosa.

Tabel 3. Korelasi Indeks Nilai Penting (INP) dengan biomasa pohon

INP Biomass

Spearman's rho INP Correlation Coefficient 1.000 .752**

Sig. (2-tailed) . .000

N 58 58

Biomass Correlation Coefficient

Sig. (2-tailed)

N

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Total biomassa dan stok karbon yang tersimpan dalam ekosistem hutan

sangat bervariasi di antara tipe dan kondisi hutan. Hasil kajian yang

dilakukan oleh Krisnawati dkk (2012) menyebutkan pool karbon pada

biomassa di atas permukaan tanah merepresentasikan proporsi terbesar dari

total stok karbon, yaitu antara 53,6 % sampai dengan 70,6 %. Sedangkan

pohon (DBH ≥ 10 cm) merupakan komponen yang memberikan kontribusi

stok karbon terbesar

pada ekosistem hutan, yaitu dari 44 % sampai 65 %. Bervariasinya

proporsi ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi jenis

yang berkorelasi erat dengan kerapatan kayu, khususnya kerapatan kayu

pohon-pohon besar dengan volume kayu yang besar.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil analisis vegetasi menunjukkan jenis pohon dengan INP tertinggi

sebesar 29,34 % adalah Alangium javanicum. Sedangkan jenis pohon

dengan rata-rata biomasa terbesar adalah Calophyllum soulattri dengan

biomasa sebesar 96,53 ton/ha. Analisis korelasi dengan taraf nyata 0,01

menunjukkan bahwa INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomasa dengan

nilai korelasi sebesar 0,752. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan

signifikan antara INP dengan biomasa yang bernilai positif, yang berarti

peningkatan INP sebanding dengan biomasa. Terdapat satu peubah yaitu

diameter pohon yang sama-sama digunakan untuk menghitung biomasa dan

Page 144: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

124| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

dominansi dalam INP. Sehingga besar biomasa secara tidak langsung

berkorelasi dengan dominansi jenis pohon tersebut.

B. Saran

Kajian ini hanya dilakukan pada tingkat pohon yang berada pada

tegakan hutan alam di SPTN III Maelang TN Bogani Nani Wartabone. Hasil

analisis korelasi mungkin akan berbeda bila dilakukan kajian pada lokasi dan

jenis tegakan yang lain serta penggunaan persamaan alometrik yang

berbeda. Sedangkan untuk mengetahui struktur dan komposisi tumbuhan

perlu dilakukan analisis vegetasi pada tiap fase pertumbuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia 7724:2011 tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon – pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting)

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2006. Revisi Zonasi Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Brown, S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests: a Primer. FAO Forestry Paper – 134. FAO, Rome.

Hairiah K., S. Rahayu. 2007. Pengukuran „Karbon Tersimpan‟ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor. World Agroforestry Centre – ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya, Indonesia. 77 p.

Irawan, A. 2011. Keterkaitan struktur dan komposisi vegetasi terhadap keberadaan anoa di kompleks Gunung Poniki Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara. Info Balai Penelitian Kehutanan Manado 1(1). Manado

Krisnawati, H., W.C. Adinugroho, R. Imanuddin, dan S. Hutabarat. 2014. Pendugaan Biomassa Hutan untuk Perhitungan Emisi CO2 di Kalimantan Tengah: Pendekatan komprehensif dalam penentuan faktor emisi karbon hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Penelitian dan Pengembangan.

Kehutanan, Bogor, Indonesia. Ruslandi. 2012. Penyempurnaan National Forest Inventory untuk Inventarisasi Stok dan Estimasi Emisi Karbon Hutan Tingkat Provinsi. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, UN-REDD, FAO, UNDP dan UNEP. Jakarta.

Simon, H. 2007. Metode Inventore Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Sutaryo, D. 2009. Penghitungan biomasa: sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.

Walpole, R.E. 1982. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 145: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho

125

Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh

(Palaquium obtusifolium Burck) Umur 6 Bulan

di Bitung, Sulawesi Utara1

Jafred E. Halawane dan Julianus Kinho2

ABSTRAK

Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) adalah salah satu jenis tanaman asli

Indonesia bernilai ekonomi dan memiliki berbagi kegunaan. Jenis ini sudah

banyak dikembangkan oleh masyarakat, namun sampai saat ini penggunaan

benih berkualitas masih sangat minim sehingga tegakan yang dihasilkan

memiliki produktivitas dan kualitas yang rendah. Tujuan dari penelitian ini

adalah mengetahui taksiran awal parameter genetik sifat pertumbuhan

tinggi dan diameter dari tanaman uji keturunan nyatoh di Hutan Penelitian

Batuangus. Objek penelitian ini adalah tanaman uji keturunan nyatoh umur

6 bulan. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak

Lengkap Berblok yang terdiri atas 45 famili, 5 tree plot dan 5 blok. Jarak

tanam yang digunakan 4 x 5 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara

genetik faktor famili berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan

diameter tanaman nyatoh umur 6 bulan, taksiran nilai heritabilitas famili

(h²f) pertumbuhan tinggi adalah 0,54 dan diameter 0,47. Taksiran nilai

heritabilitas individu (h²i) pertumbuhan tinggi 0,28 dan diameter 0,21.

Korelasi genetik (rG) antara sifat pertumbuhan tinggi dan diameter adalah

0,74 dan korelasi fenotipe (rP) adalah 0,72.

Kata kunci : nyatoh, uji keturunan, heritabilitas dan korelasi genetik.

I. PENDAHULUAN

Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) adalah salah satu jenis tanaman

asli Indonesia yang tumbuh pada tanah berawa dan pada tanah kering

dengan ketinggian 20 - 500 m dpl. Jenis ini termasuk dalam famili

Sapotaceae dan memiliki daerah sebaran di seluruh Indonesia. Kayu nyatoh

dikenal dengan berbagai nama yang berbeda-beda di berbagai daerah di

1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan

Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014

2 Balai Penelitian Kehutanan Manado; Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget, Manado,

95259, Sulawesi Utara. Tel. +62-431-3666683; Email : [email protected]

Page 146: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

126| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Indonesia seperti: balam, bengku, sau payo (Sumatera); Getah perca,

jengkot, kawang dan tanjungan (Jawa); katiau, margetahan (Kalimantan);

nantu, kume, nato, sodu-sodu (Sulawesi); Siki, gofiri, arupa (Maluku) dan

maneo keaaf (Nusa tenggara) Martawijaya dkk. (2005).

Nyatoh termasuk dalam klasifikasi klas kuat II dan klas awet IV sampai

V, (Martawijaya dkk., 2005). Kayu nyatoh banyak digunakan untuk berbagai

kebutuhan seperti: bahan baku konstruksi, papan, lantai dan panel. Menurut

Mandang dan Suhendra (2003), kayu nyatoh dapat dijadikan alternatif

bahan pembuatan pensil yang cukup potensial. Secara umum kayu nyatoh

juga digunakan sebagai bahan veneer, meubelair, kertas bungkus (kraft

paper) dan bahan konstruksi rumah (Samingan, 1982). Kayu nyatoh di

Sulawesi Utara banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan rumah

adat minahasa yang dikenal dengan sebutan rumah Woloan.

Pemenuhan kebutuhan kayu untuk pembuatan rumah Woloan sampai

saat ini tidak hanya berasal dari hutan-hutan alam yang tersebar di Sulawesi

Utara, tapi juga berasal dari hutan-hutan rakyat yang dikembangkan oleh

masyarakat. Tegakan nyatoh banyak ditemukan hampir pada setiap hutan

rakyat, kebun campuran dan hutan keluarga (hutan pasini) di kabupaten

Minahasa Utara (Kema), Kabupaten Minahasa (Kaima, Kapataran, Tondano),

Kabupaten Minahasa Selatan (Tareran, Kapoya), Kabupaten Bolaang

Mongondow (Bantik, Otam), dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan

(Molibagu). Namun demikian, sampai saat ini produktivitas kayu nyatoh

yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman masih belum dapat

mencukupi kebutuhan kayu untuk rumah Woloan secara khusus dan

permintaan masyarakat di pasaran pada umumnya. Hal ini disebabkan

karena permintaan kayu di pasaran dan permintaan kayu bagi industri

rumah Woloan yang terus mengalami peningkatan, sementara potensi kayu

nyatoh di hutan alam terus mengalami penurunan dan benih yang

digunakan selama ini untuk mendukung tindakan budidaya lewat

pembangunan hutan tanaman masih bersumber dari tegakan benih

teridentifikasi, bahkan sebagian besar masih berasal dari hutan rakyat atau

hutan alam yang kurang berkualitas sehingga produktivitas tegakan yang

dihasilkan juga rendah.

Demplot kebun benih nyatoh yang telah dibangun merupakan salah

satu upaya yang dilakukan dalam rangka menyediakan benih unggul untuk

meningkatkan produktivitas hutan tanaman nyatoh yang akan dibangun.

Penggunaan benih unggul terutama benih hasil pemuliaan diharapkan dapat

meningkatkan produktivitas tanaman nyatoh. Menurut Zobel dan Talbert

Page 147: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho

127

(1984) menyebutkan bahwa kegiatan pemuliaan bertujuan untuk

memaksimalkan perolehan genetik untuk sifat-sifat tertentu seperti

persentase hidup tanaman, kecepatan pertumbuhan, bentuk batang,

kemampuan adaptabilitas dan sifat-sifat lain yang diinginkan. Salah satu

kegiatan pemuliaan yang dapat dilakukan adalah melalui uji keturunan yang

selanjutnya diharapkan dapat dikonversi menjadi Kebun Benih Semai (KBS).

Dalam upaya tersebut, Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun

2012 telah membangun uji keturunan nyatoh di Hutan Penelitian Batuangus,

Bitung, Sulawesi Utara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

taksiran awal parameter genetik sifat pertumbuhan tinggi dan diameter dari

tanaman uji keturunan nyatoh yang telah dibangun.

II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan sejak Desember 2012 sampai

Juni 2013 di Hutan Penelitian Batuangus, Kelurahan Kasawari, Kecamatan

Aertembaga, Kota Bitung Sulawesi Utara seluas 2,5 ha.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: kaliper, meteran,

mistar, altimeter, GPS, Thermohigrometer, peta tanaman, tally sheet dan

alat tulis-menulis. Bahan penelitian yaitu tanaman uji keturunan nyatoh half-

shib umur 6 bulan.

C. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap Berblok (Randomized Complete Blok Design) yang

terdiri atas 45 famili, 5 tree plot dan 5 blok. Jarak tanam yang digunakan 4

x 5 m. Informasi mengenai asal usul famili-famili yang diuji ditampilkan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Informasi asal famili-famili uji keturunan nyatoh

No Asal Famili Jumlah Famili

Lintang (LS) Bujur (BT)

Ketinggian Tempat (mdpl)

1. Bantik 6 000 54‟ 1240 06‟ 11

2. Kapataran 11 010 09-010 10‟ 1250 01‟ 17-48

3. Kaima 17 010 22-010 23‟ 1250 01‟ 115-243

4. Kapoya 3 010 15‟ 1240 39‟ 308-313

5. Molibagu 2 000 23‟ 1230 59‟ 40-43

6. Tadoy 6 000 54‟ 1240 06‟ 11

Page 148: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

128| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

D. Analisis Data

Data hasil pengukuran selanjutnya ditabulasi dan dianalisis

menggunakan program SAS ver 19. Jika terdapat perbedaan yang nyata

akan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).

Model matematis yang digunakan untuk uji keturunan half-sib dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Yijk = µ + Ri + Fj + BFij + εijk

Keterangan :

Yijk : Pengamatan pada individu pohon ke-k, dari famili ke-j

dalam blok ke-i

µ : Rerata umum

Ri : Pengukuran Blok ke-i

Fj : Pengukuran Famili ke-j

BFij : Pengaruh Interaksi blok ke-j pada famili ke-i

Fi : efek famili ke-i

εijk : eror random

Besarnya faktor genetik terhadap variabel total dianalisis dengan

menghitung nilai heritabilitas individu dan famili dengan menggunakan

persamaan Zobel and Talbert (1984) sebagai berikut :

Heritabilitas Individu

Heritabilitas family

Keterangan :

= Heritabilitas individu

= Heritabiltas famili

= Komponen varians famili

= Komponen varians interaksi famili dan blok

= Komponen varians error

Sedangkan untuk mengetahui korelasi antar genotipe menggunakan

persamaan sebagai berikut:

Page 149: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho

129

Keterangan :

= Korelasi genetik

=Komponen kovarian antar dua sifat

= Komponen varian aditif untuk sifat x

= Komponen varian aditif untuk sifat y

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Variasi Genetik Pertumbuhan Tinggi dan Diameter.

Salah satu faktor yang sangat penting dalam program pemuliaan pohon

yaitu adanya variabilitas di antara famili yang diuji. Informasi mengenai

variabilitas yang terjadi pada berbagai sifat yang ditampilkan oleh pohon

dapat diketahui dengan melakukan analisis varians terhadap sifat-sifat yang

diukur. Sifat-sifat yang diukur dalam penelitian ini adalah sifat pertumbuhan

(tinggi dan diameter). Menurut Nai‟em (2004), faktor yang menyebabkan

terjadinya variasi antara pohon adalah perbedaan genetik antar pohon,

perbedaan lingkungan tempat tumbuh dan interaksi antara keduanya.

Analisis varians yang dilakukan terhadap sifat-sifat yang diukur

ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis varians sifat tinggi dan diameter tanaman nyatoh uji keturunan Half-sib di Hutan Penelitian Batuangus.

Parameter yang diukur

Sumber Variasi

Derajat bebas

Kuadrat Rerata

A. Diameter Blok 4 0,034 **

Fam 44 0,570 **

Blok*Fam 174 0,006 ns

Error 568 0,006

B. Tinggi Blok 4 0,072 ns

Fam 44 0,224**

Blok*Fam 174 6,751 ns

Error 568 0,030

Keterangan :

ns = tidak signifikan

** = signifikan pada taraf uji 0,05

Page 150: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

130| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Berdasarkan hasil analisis varians pada Tabel 2 menunjukkan bahwa

pada umur 6 bulan, faktor famili berpengaruh signifikan terhadap

pertumbuhan tinggi dan diameter, sedangkan faktor blok signifikan terhadap

sifat diameter dan tidak signifikan terhadap sifat tinggi. Interaksi antara sifat

tinggi dan diameter tidak signifikan terhadap sifat tinggi maupun diameter.

Hasil analisis varians yang signifikan dari faktor famili terhadap sifat

pertumbuhan tinggi dan diameter menunjukkan bahwa tanaman nyatoh

umur 6 bulan yang diuji telah menunjukkan variabilitas secara genetik

terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman yang diuji. Menurut

Wright (1976), selain pengaruh faktor genetik, faktor yang mempengaruhi

keragaman geografis adalah besarnya pebedaan lingkungan. Keadaan

ekologis lingkungan yang berperan penting antara lain: iklim, tanah, cahaya

matahari dan ketinggian tempat.

B. Heritabilitas

Heritabilitas diartikan sebagai perbandingan antara besarnya varians

genetik dengan varians total di dalam suatu populasi, dimana varians total

adalah penjumlahan antara varians genetik dengan varians lingkungan,

(Wright 1976; Zobel dan Talbert, 1984; Fins et al. 1991). Menurut

Hardiyanto (2010), heritabilitas merupakan proporsi variasi dalam populasi

yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara individu atau parameter

yang mengkuantifikasikan seberapa besar suatu sifat dikendalikan oleh

faktor genetik. Nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter ditampilkan pada

Tabel 3.

Tabel 3. Taksiran nilai heritabilitas sifat tinggi dan diameter tanaman uji keturunan Half-sib nyatoh umur 6 bulan di Hutan Penelitian Batuangus.

Sifat Heritabilitas

h²i h²f

Tinggi 0,28 0,54

Diameter 0,21 0,47

Hasil yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa taksiran nilai

heritabilitas famili untuk sifat tinggi dan diameter lebih tinggi dibandingkan

dengan taksiran nilai heritabilitas individu. Hal ini sesuai dengan Zobel dan

Talbert (1984), yang menyebutkan bahwa nilai heritabilitas famili biasanya

lebih besar dari nilai heritabilitas individu, karena pendugaan nilai

heritabilitas famili didasarkan pada nilai rata-rata famili dari sejumlah

Page 151: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

Taksiran Genetik Pertumbuhan Uji Keturunan Nyatoh… Jafred E. Halawane dan julianus Kinho

131

individu, sehingga pengaruh lingkungan dapat diperkecil, terutama bila

jumlah tree-plotnya besar. Sedangkan antara sifat tinggi dan diameter

menunjukkan bahwa sifat tinggi memiliki taksiran nilai heritabilitas yang

lebih tinggi, baik pada taksiran nilai heritabilitas famili maupun taksiran nilai

heritabilitas individu. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor genetik yang

mempengaruhi pertumbuhan sifat tinggi lebih besar diwariskan induk

dibandingkan dengan sifat diameter. Menurut Hardiyanto (2010), Taksiran

heritabilitas hanya berlaku bagi suatu populasi tertentu dan terdapat pada

suatu lingkungan tertentu dan pada saat waktu tertentu.

Hasil penelitian yang ditampilkan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa

heritabilitas individu sifat tinggi 0,28 dan diameter 0,21 sedangkan

heritabilitas famili untuk sifat tinggi dan diameter 0,54 dan 0,47. Hal ini

menunjukkan bahwa baik heritabilitas individu maupun heritabilitas famili

untuk sifat tinggi dan diameter termasuk dalam kategori moderat atau

sedang, hal ini didasarkan pada Cotteril dan Dean (1990), yang

menyatakan bahwa nilai heritabilitas individu (h²i) ≤ 0,1 (rendah); 0,1 – 0,3

(moderat/sedang); > 0,3 (tinggi), sedangkan untuk nilai heritabilitas famili

(h²f) ≤ 0,4 (rendah), 0,4-0,6 (moderat/sedang); lebih dari 0,6 (tinggi).

C. Korelasi Genetik

Korelasi genetik menggambarkan hubungan secara genetik antara sifat

atau karakter dari suatu jenis tanaman. Nilai korelasi yang positif (+)

menggambarkan hubungan yang searah antara kedua sifat yang diamati

dan sebaliknya. Hasil perhitungan korelasi genetik antara sifat tinggi dan

diameter pada uji keturunan nyatoh umur 6 bulan adalah 0,74 dengan nilai

positif (+) dan masuk dalam kategori tinggi, dengan demikian hal ini

mengindikasikan bahwa gen yang berperan dalam meningkatkan

pertumbuhan tinggi tanaman juga berperan dalam pertumbuhan diameter

tanaman. Dalam program pemuliaan apabila korelasi yang dihasilkan searah

dan bernilai positif (+) akan sangat bermanfaat dalam melakukan seleksi.

Hal ini disebabkan karena berdasarkan nilai korelasi yang demikian

menyeleksi suatu sifat, akan langsung menyeleksi sifat yang lainnya. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa, seleksi berdasarkan sifat diameter akan

ikut menyeleksi sifat tinggi seperti dikemukakan oleh Hardiyanto (2010).

IV. KESIMPULAN

1. Faktor famili berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan tinggi dan

diameter tanaman uji keturunan nyatoh umur 6 bulan.

Page 152: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

132| Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

2. Nilai heritabilitas famili dari parameter pertumbuhan yang ditaksir lebih

tinggi dibandingkan dengan nilai heritabilitas individu.

3. Korelasi genetik antara sifat pertumbuhan tinggi dan diameter yang

dihasilkan lebih tinggi dari korelasi fenotip dengan nilai korelasi genetik

(rG) adalah 0,74 dan korelasi fenotipe 0,72.

DAFTAR PUSTAKA

Falconer, D.S. 1960. Introduction to Quantitative Statistics. The Ronald Press Co. New York.

Lamadji. 1982. Pendugaan Heritabilitas F3 dan F4 dalarn Penambahan Kuantitas dan Kualitas Hasil Kedelai (Glycine ma L. Men). Laporan Penelitian Tahun ke-11. Fakultas Pertanian Universitas Negeri Jember.

Mandang, Y.I., Suhendra, H. 2003. Sifat-Sifat Kayu Nyatoh (Palaquium Obtusifolium Burck.) Sehubungan dengan Kemungkinan Penggunaannya sebagai Bahan Bilah Pensil. Buletin Hasil Hutan 21(1): 1-14.

Martawaijaya, A., Kartasujana I., Kadir, K., dan Prawira S.A. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Badan Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Samingan, T. 1982. Dendrologi. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Setiadi, D. 2010. Taksiran Parameter Genetik untuk Pertumbuhan dan Kelurusan Batang Uji Keturunan Araucaria cunninghamii Umur 5 Tahun di Bondowoso, Jawa Timur. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 4(3). BBPBPTH, Yogyakarta.

Soerianegara, I. dan E. Djamhuri. 1979. Pemuliaan Pohon Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Wright, J.W. 1976. Introduction to Forest Genetics. London: Academic Press.

Zobel, B.J. dan J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvment. New York: John Wiley dan Sons.

Page 153: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

133

PRESENTASI NARASUMBER TAMU

Page 154: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

134 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 155: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

135

Restorasi Ekosistem di Daerah Penting bagi Burung

dan Keanekaragaman Hayati

Ria Saryanthi Head of Communication and Knowledge Center

Burung Indonesia

Page 156: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

136 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 157: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

137

Page 158: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

138 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 159: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

139

Page 160: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

140 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 161: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

141

Page 162: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

142 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 163: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

143

Page 164: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

144 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 165: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

145

Reklamasi Lahan Bekas Tambang Nikel

Syaiful Habib PT. Antam (Persero) Tbk

Page 166: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

146 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 167: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

147

Page 168: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

148 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 169: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

149

Page 170: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

150 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 171: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

151

Page 172: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

152 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 173: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

153

Page 174: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

154 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 175: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

155

Page 176: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

156 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 177: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

157

Page 178: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

158 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 179: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

159

Page 180: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

160 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 181: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

161

Page 182: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

162 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 183: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

163

Page 184: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

164 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 185: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

165

DISKUSI

SEMINAR REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN

MENYONGSONG 50 TAHUN SULAWESI UTARA

Beberapa hal yang dapat dikutip dari Sambutan Kepala Dinas

Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara, meliputi:

1. Membangun hutan dapat diilustrasikan dengan membangun sebuah

rumah. Membangun rumah itu sangat sulit. Lebih sulit adalah

merehabilitasi rumah itu. Dan lebih sulit lagi kita memelihara dan

menjaga rumah itu agar nyaman dihuni.

2. Ke depan bidang kehutanan memiliki modal dan kekuatan yang baik

karena negara ini dipimpin oleh presiden dengan latar belakang

pendidikan kehutanan. Dan juga didukung oleh Ketua MPR yang

merupakan mantan menteri kehutanan. Sehingga ke depan

permasalahan kehutanan akan menjadi isu yang penting.

Mudah-mudahaan seminar hari ini bisa memberikan sumbangsih

pemikiran dalam memecahkan permasalahan rehabilitasi dan restorasi

kawasan hutan di Sulawesi Utara.

3. Menyongsong 50 tahun kehutanan Dinas kehutanan bersama-sama

dengan rekan-rekan rimbawan se-sulawesi Utara menyusun sebuah buku

Kiprah kehutanan 50 tahun Sulawesi Utara. Diharapkan dapat menjadi

inspirasi bagi teman-teman yang bekerja di bidang kehutanan.

Pembukaan dan Keynote Speech oleh Kepala Badan Litbang

Kehutanan, Kementerian Kehutanan

Persoalan rehabilitasi dan restorasi itu hal yang sangat penting bukan

hanya bagi kita tapi juga bagi dunia. Salah satu masalah utama dalam

kaitannya dengan rehailitasi dan restorasi ini adalah permasalahan data

yang seringkali berbeda-beda. Dari tahun ke tahun luas lahan kritis terus

bertambah, sehingga seolah-olah intervensi pemerintah dalam kaitannya

rehabilitasi lahan tidak terasa. Padahal seharusnya dengan adanya intervensi

pemerintah dalam kaitannya rehabilitasi akan mengurangi luasan lahan

kritis. Luas lahan kritis di Sulut sebesar 251.724 ha. Sebagian besar lahan

kritis berada di kawasan hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi

Terbatas. Padahal di kawasan tersebut seharusnya mendapat perlindungan

yang tegas dari permasalahan tersebut.

Page 186: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

166 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Selama 5 tahun terakhir ini dana 30 Trilyun tidak ada dampak bagi

kesejahteraan masyarakat. Sehingga menjadi pertanyaan apakah proyek-

proyek pembangunan itu mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.

Selain itu untuk pembangunan sektor kehutanan ke depan diupayakan

selaras dengan program dan visi misi presiden terpilih. Bagi program-

program yang belum sesuai dengan visi misi presiden agar disesuaikan.

Badan Litbang memiliki peran yang penting bagi peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kegiatan penelitian juga perlu

melakukan upaya-upaya penyelesaian konflik dengan masyarakat. Fokus

Badan Litbang meliputi upaya-upaya penelitian kehutanan mendorong

energi baru, kedaulatan pangan, konservasi dan rehabilitasi, perubahan

iklim, sosial ekonomi dan kebijakan.

Berikut adalah beberapa contoh sumbangsih Badan Litbang Kehutanan

yang dapat diupayakan untuk kesejahteraan masyarakat:

Pada sektor energi terbarukan Badan Litbang telah menghasilkan

teknologi mikro hidro, biodisel, baterai litium nano teknologi.

Terkait krisis energi. Litbang kehutanan harus bisa memberikan

sumbangsih dalam pemecahan permasalahan krisis energi tersebut.

Banyak pembangkit listrik di Indonesia kurang lebih 240 tempat

menggunakan biodisel. Dengan adanya teknologi blower dari PLN,

maka bidang kehutanan diharapkan mampu menyuplai bahan bakar

untuk teknologi tersebut. Gambarannya adalah 2 mega watt=300 ha

tanah. Dengan banyaknya luasan lahan kritis di Sulut, jika dijadikan

lahan produktif maka akan mampu untuk memenuhi kebutuhan

energi.

Orientasi pembangunan kehutanan ke depan harus difungsikan KPH

sebagai satuan unit terkecil pengelola hutan. KPH yang sudah

terbentuk agar didorong bersama agar mampu untuk menghasilkan.

Upaya penangkaran satwa penting untuk konservasi flora fauna.

Selain itu dapat digunakan untuk memperkuat ketahanan pangan.

Misalnya penangkaran rusa.

Pemerintah daerah dan swasta harus memikirkan konsep industri

kehutanan

Presentasi Dr. Ir. Martina Langi, M.Sc (Keynote speaker)

Berbagai kegiatan pembangunan yang memicu terjadinya operasi

pengambilan produk hutan yang tak terkendali, penebangan liar, kebakaran

hutan, invasi dan dll ternyata berjalan paralel dengan terjadinya degradasi

atau kemerosotan fungsi hutan. Explorasi sumber-sumber alam

Page 187: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

167

“menemukan” fakta bahwa hutan mengandung potensi industri lain seperti

nikel, emas, tembaga, batubara, timah, minyak, gas, tenaga uap yang tentu

saja bersentuhan dengan kepentingan publik

Inti restorasi adalah mengakselerasi regenerasi alami. Setidaknya

empat faktor berikut layak dipertimbangkan sebelum upaya restorasi

dilakukan:

1. Kondisi aktual lahan setelah suatu operasi atau peristiwa;

2. Status hutan menurut fungsi peruntukannya (lindung, produksi, atau

konservasi);

3. Regulasi pemerintah terbaru (peraturan, kriteria, pedoman, dsb.);

4. Tata ruang dan perencanaan wilayah.

Dalam pemilihan jenis-jenis tumbuhan lokal, beberapa hal berikut penting

dipertimbangkan:

1. Relatif cepat tumbuh.

2. Dapat tumbuh pada cahaya penuh serta tanah minim hara.

3. Laju produksi serasah tinggi serta mudah terdekomposisi.

4. Dapat berperan sebagai katalis bagi jenis-jenis lain (non alelopati).

5. Mudah memperbanyak diri, dan mudah dikulturkan.

6. Low-cost dalam penanaman dan pemeliharaan.

7. Pertumbuhan mudah dikelola.

8. Sesuai dengan perencanaan hutan (fungsi).

Diskusi Sesi I

Pertanyaan

1. Nur semedi

Pada era rehabilitasi dan konservasi, pengalaman kasus di Kalimantan

Timur. Hutan yg tersisa tekanannya sudah sangat berat. Overlap antara

sawit dan pertambangan jika ditambahkan bisa melebihi luasan daratannya.

Di samboja, banyak pertambangan baik besar maupun kecil, yang

bermasalah adalah pertambangan skala kecil. Hampir tidak ada reklamasi.

Oleh karena itu reklamasi bekas tambang yang dilakukan adalah yang

murah meriah. Kalau dibiarkan akan ada suksesi sendiri. Yang kita lakukan

untuk mempercepat reklamasi tidak hanya untuk menghijaukan tetapi juga

untuk memulihkan fungsi hutannya, biodiversitasnya dll. Yang perlu

diperhatikan bagi peneliti rehabilitasi bekas tambang adalah tidak hanya dari

aspek teknisnya tetapi juga dari aspek ekonomisnya.

Page 188: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

168 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

2. Sudiyono

Bapak Syaiful Habib: terkait dengan reklamasi atau rehabilitasi lahan

bekas tambang ada yang perlu diperhatikan yaitu pra operasional.

Bagaimana penanganan terhadap vegetasi sebelum operasi. Karena itu

menjadi referensi sebelum dilakukan restorasi. Selain itu juga bagaimana

Penanganan terhadap satwa.

Bu retno: kegiatan rehabilitasi dengan melibatkan fungi perlu ditingkatkan

dengan sponsor. sehingga mikoriza atau fungi bisa dikemas lebih baik. Agar

masyarakat awam lebih mudah mengenali dan dapat mudah untuk

digunakan bagi masyarakat luas.

3. Iwanuddin

Apakah jamur itu permanen atau tidak.

Apakah penggunaan hidrojel dalam rehabilitasi lahan bekas tambang

memiliki efek negatif atau tidak?

Terkait dengan penggunaan kokomes dalam kegiatan rehabilitasi lahan

bekas tambang. Bagaimana pengelolaannya.

Jawaban:

1. Habib

Keberhasilan reklamasi tidak hanya diukur dari keberhasilan menanam

vegetasinya seperti trembesi, sengon dll tetapi juga pulihnya fungsi hutan.

PT. ANTAM juga telah mengajak tim independen untuk menilai keberhasilan

reklamasi. Di antam juga sudah mulai menggunakan mikoriza, Pengelolaan

top soil dan sub soil. Pengelolaan satwa yang telah dilakukan adalah

konservasi rusa timur bekerjasama dengan UNHAS.

Kokomes masih mendatangkan dari luar terutama dari jawa tengah dan

jogja. Rencana ke depan akan dilakukan swakelola dgn masyarakat.

2. Bu Retno

Permasalahan bekas tambang khususnya tambang kecil atau liar, apalagi

peti, lahan yang ditinggalkan rusak dan beracun.

Fungi mikoriza bisa diterapkan pada tambang-tambang kecil. Agen hayati

sifatnya aktif. Sekali simbiosis dengan tanaman selamanya akan ada terus.

Biaya yang dikeluarkan pun cukup murah. Satu bibit hanya butuh 5 gram. 1

kg untuk 200 bibit. 1 ha butuh 5 kg. BPK Makassar sudah memproduksi

dijual 25 ribu per kilogram. Isomik MK1.

Hidrojel bentuknya tepung. Tidak mengandung bahan kimia. Bisa menyerap

air sampai 3 kali lipat. Efeknya tidak mengandung bahan kimia. Hanya

Page 189: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

169

sebagai penyerap air. Mampu mempertahankan kelembaban. Di lahan bekas

tambang sangat ekstrim, kita membantu untuk diawal pertumbuhan.

Hidrojel 2-3 tahun terdekomposisi.

Diskusi Sesi II

Pertanyaan

1. Forum DAS ternate

Apakah suku togutil itu hidupnya nomaden. Suku togutil memanfaatkan

talas secara langsung tidak mungkin sempat untuk mengolah. Kedepan

ketika melakukan penelitian di sana agar melepaskan identitas diri. Dan

melihat dari sudut pandang suku asli.

Perangkat pendukung forum DAS Tondano. Forum DAS diperkuat

pondasinya AD/ART nya. Agar bisa mengajukan APBD.

Forum DAS bukan hanya simbol tapi lebih berperan

2. Pak Nur Semedi

Pada kawasan bekas tambang, adanya spot-spot yang tersisa dapat

mempercepat proses pemulihan kawasan. Maka perlu kiranya revisi

tentang permenhut pinjam pakai, agar jangan dihabiskan semua (terbuka

semua).

Agroforestry antara sengon dan cengkih perlu dikembangkan

Penataan kelembagaan forum DAS

3. Bapak Modi

Kelembagaan Pengelolaan DAS tondano bukan hal abstrak, sudah nyata.

Karena sudah ada SK Gubernur dan aturan lainnya.

Mengubah perilaku atau mengikuti perilaku masyarakat?

Jawaban

1. Ria

Perlunya baseline dalam diskusi terbaru di Gorontalo

Burung memang indikator lingkungan yang baik. Karena burung memiliki

korelasi yang erat dengan jenis-jenis yang lain. Misal untuk melihat kualitas

air bisa kita lihat jenis-jenis burungnya. Burung hidup di berbagai habitat.

Ada beberapa lokasi yang disebut key biodiversity area. Ada beberapa lokasi

yang penting untuk keanekaragaman hayati, dan salah satunya Sulawesi

Utara baik darat dan laut.

Page 190: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

170 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

2. Pak Hengki

Studi pada unit kebun menggambarkan perilakunya.

Potensi masyarakat sebagai dasar dan indikator untuk

pengembangannya.

Kearifan lokal berkembang seiring waktu.

Das Tondano di daerah tangkapan air telah ada sejak lama, tetapi respon

masyarakat berbeda.

Idealnya menuju agroforestry tetapi belum maksimal,

Di daerah timur Sulut (sub etnis tulour) petani dan aktivitas danau

pengolah hasil kayu.

Dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi harus memperhatikan prilaku

dasar. Jadi program-program pemberdayaan yang mengena dengan

perilaku masyarakat.

3. Lis Nurrani

Tidak semua suku Togutil hidup nomaden, ada beberapa yang sudah hidup

menetap. Contoh di tajawi dll.

4. Kritian Mairi

Forum DAS seharusnya membawa keterpaduan.

Forum DAS yang bertransformasi menjadi LKPDAS hanya menjadi macan

ompong. Ditakuti karena substansinya ada akademisi, kepala UPT dll.

Forum DAS hanya konsultan saja. Think thank saja. Bukanlah sebuah

lembaga yang membawa keterpaduan pengelolaan.

Page 191: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

171

TOPIK PRESENTASI DAN JADWAL ACARA SEMINAR

WAKTU ACARA

08.00-08.30 Registrasi

08.30-08.35 Pembacaan Doa

08.35-08.45 Laporan Penyelenggaraan

08.45-09.05 Sambutan dan Ucapan Selamat Datang Kepala Dinas

Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara

09.05-09.35 Pembukaan dan Keynote Speech oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan

09.35-09.45 Keynote Speech Dr. Ir. Martina A. Langi, M.Sc, Ph.D Universitas Sam Ratulangi

09.45-10.00 Coffee Break

10.00-10.15 Pemakalah dari TBI Indonesia

Moderator : Dr. Ir. Mahfudz, MP

10.15-10.30 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado

10.30-10.45 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Makassar

10.45-11.00 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado

11.00-12.00 Diskusi

12.00-13.00 ISHOMA

13.00-13.15 Pemakalah dari Burung Indonesia

Moderator : Dr. Ir. JS. Tasirin, M.Sc

13.15-13.30 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado

13.30-13.45 Pemakalah dari Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi

13.45-14.00 Pemakalah dari Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Manado

14.00-14.15 Pemakalah dari PT. Antam

14.15-15.30 Diskusi

15.30-15.45 Coffee Break Panitia

15.45-16.00 Pembacaan Rumusan dan Penutupan Tim Perumus

Page 192: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

172 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

Page 193: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

173

DAFTAR PESERTA SEMINAR

No Nama Instansi

1 Prof. San Afri Awang Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

2 Syaiful Habib PT. Aneka Tambang

3 Syarif Hidayat Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

4 Mahfudz Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

5 Safrudin M. Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan

6 Adang Sopandi Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan

7 Iwanuddin Balai Penelitian Kehutanan Manado

8 C. Nugroho Sekretariat Badan Litbang Kehutanan

9 Edyson M. Selamatkan Yaki

10 Herry Rotinsulu Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara

11 Muh. Abidin Balai Penelitian Kehutanan Manado

12 Suud B Bakorluh Prov. Gorontalo

13 Eva B. Sinaga Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan

14 Esti R. Catiti Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan

15 Tini Hartiningsih Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

16 Retno Prayudyaningsih Balai Penelitian Kehutanan Makassar

17 Supratman Tabba Balai Penelitian Kehutanan Manado

18 Lis Nurrani Balai Penelitian Kehutanan Manado

19 Kritian Mairi Balai Penelitian Kehutanan Manado

20 Arif Irawan Balai Penelitian Kehutanan Manado

21 Nur Sumedi Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS Solo

22 C.H.V. Lakumpoh Dinas Kehutanan Kab. Talaud

23 Ishak Ismail Balai Penelitian Kehutanan Manado

24 Yusuf T. Balai Konservasi Sumber Daya Alam

Prov. Sulawesi Utara

Page 194: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

174 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

No Nama Instansi

25 Verico N. PT. Tirta Investama

26 Diah Irawati Balai Penelitian Kehutanan Manado

27 Selvie Lasut

28 Harju M. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado

29 Servie Katuuk Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara

30 M.Y.M.A. Sumakud Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi

31 M.J. Rumondor Universitas Sam Ratulangi

32 Syamsuddin Hadju Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

33 Nur Asmadi Balai Penelitian Kehutanan Manado

34 Ir. Sudiyono Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

35 Abdul Halim Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

36 Yermias Kafiar Balai Penelitian Kehutanan Manado

37 Rachman Balai Penelitian Kehutanan Makassar

38 Harwiyaddin Kama Balai Penelitian Kehutanan Manado

39 Jafaruddin Balai Penelitian Kehutanan Manado

40 Syamsir Shabri Balai Penelitian Kehutanan Manado

41 Jafred E. Halawane Balai Penelitian Kehutanan Manado

42 M. Saparis Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango

43 J.I. Kalangi Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi

44 Sahyudin Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

45 Askhari Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

46 Santiago P. Balai Taman Nasional Bunaken

47 Novita Tandi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

48 Adampe A. Soni Badan Koordinasi Penyuluh Prov. Sulawesi Utara

49 Meiyer F.M.B. Dinas Kehutanan Kab. Minahasa Utara

50 Moody C.K. Balai Penelitian Kehutanan Manado

Page 195: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

175

No Nama Instansi

51 Ani Mariani Balai Penelitian Kehutanan Manado

52 Desly R.M. Balai Penelitian Kehutanan Manado

53 Elsye Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado

54 Masrum Balai Penelitian Kehutanan Makassar

55 Rantje Lilly Worang Universitas Manado

56 Muji Rahayu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tomohon

57 I Made Same Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

58 Rumce Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

59 Johanes Wiharisno Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

60 Hemobicas R. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

61 Micron R. Binambuni Dinas Kehutanan Kab. Sitaro

62 Yopi Golioth Forum DAS

63 Moudy Gerungan TELAPAK

64 Obed Edom Balai Penelitian Kehutanan Manado

65 Ir. Reynold P. Kainde Fak. Pertanian Universitas Sam Ratulangi

66 Franky Tampi, SE Dinas Kehutanan Perkebunan Kab. Minahasa Tenggara

67 Boy A. Marpaung Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ake Malamo

68 Martina Langi Program Sudi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi

69 Ria Saryanthi Burung Indonesia

70 Yenny P. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado

71 Sammy Manado Post

72 Meike T. Kompas TV Manado

73 Nur Asmadi Balai Penelitian Kehutanan Manado

74 Willy Nur Effendi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

75 Melky R. Senewa Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara

Page 196: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

176 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

No Nama Instansi

76 Domianus Manaya Bakorluh Prov. Sulawesi Utara

77 Eko W. Handoyo Balai Taman Nasional Bunaken

78 Johan Rombang Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi

79 F.B. Saroinsong Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi

80 Manina Korompis Dinas Pertanian Manado

81 Rini L. Rauli Bakorluh Prov. Sulawesi Utara

82 Manuel P.W. Bakorluh Prov. Sulawesi Utara

83 Agnes Indawardhani Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

84 Nani Nurcahyawati Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

85 F. Reni N. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

86 Gatot S. Balai Taman Nasional Bunaken

87 Yanuar Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

88 W. Talemo Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa

89 Melkianus S. Dwi Balai Penelitian Kehutanan Manado

90 Hanif Nurul H. Balai Penelitian Kehutanan Manado

91 Ady Suryawan Balai Penelitian Kehutanan Manado

92 Dwi Yardhi F. Macaca Nigra Project

93 Stephan M. Lenteg Macaca Nigra Project

94 Jafaruddin Balai Penelitian Kehutanan Manado

95 Ari Subiantoro Balai Taman Nasional Bunaken

96 Christny F. E. Rompas FMIPA/UNIMA

97 Elvie Nelwan Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Ketahanan Pangan Kota Bitung

98 M. Arba'in Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ake Malamo

99 FR. Oman R. Bakorluh Prov. Sulawesi Utara

100 Didi Hotel Sintesa Peninsula

101 Hengki Walangitan Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi

102 Aswady Wumu Dinas Pertanian, Kehutanan, dan

Ketahanan Pangan Kota Bitung

Page 197: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

177

No Nama Instansi

103 Aris Sutjipto Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

104 Anita Mayasari Balai Penelitian Kehutanan Manado

105 Y. B. Tri Dinas Kehutanan Prov. Sulawesi Utara

106 Erwin H. Putra Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

107 Wahyu. B Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

108 William Tengker Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

109 Petrus Pajan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

110 Rudy Bedjo Balai Konservasi Sumber Daya Alam Prov. Sulawesi Utara

111 Allcas Tanusu Balai Taman Nasional Bunaken

112 Puji Hari Purnomo Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

113 Pamekas Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

114 Novlin Surentu Manado Post

115 Christiany T. Manado Post

116 Bil Languju Kompas TV

117 Nina Sudarwati Balai Penelitian Kehutanan Manado

118 Rini L. Ramli Bakorluh Manado

119 Imanuel Bakorluh Manado

120 Nova I. Bakorluh Manado

121 Fifi S Bakorluh Manado

122 Nur Fatmah Balai Penelitian Kehutanan Makassar

123 Handrik L. Balai Penelitian Kehutanan Makassar

124 Hendra S. M. Balai Penelitian Kehutanan Manado

125 Novita E. Losu Balai Penelitian Kehutanan Manado

126 Ferry F. Balai Penelitian Kehutanan Manado

127 Albert Lala Balai Penelitian Kehutanan Manado

128 Steven K. Balai Penelitian Kehutanan Manado

129 Felicia Mangiri Balai Penelitian Kehutanan Manado

130 Lulus Turbianti Balai Penelitian Kehutanan Manado

131 Henri S. Balai Penelitian Kehutanan Manado

Page 198: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk

178 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014

No Nama Instansi

132 Ester Balai Penelitian Kehutanan Manado

133 Nurhayati S. Balai Penelitian Kehutanan Manado

134 Rifai Balai Penelitian Kehutanan Manado

135 Yusran Balai Penelitian Kehutanan Manado

136 Margaretta Christita Balai Penelitian Kehutanan Manado

137 Bambang Setiyono Balai Penelitian Kehutanan Manado

138 Rudy Suryadi Balai Penelitian Kehutanan Manado

139 Jony Mura Balai Penelitian Kehutanan Manado

140 Ventje Runtuwarow Bakorluh Prov. Sulawesi Utara

141 Sumarno Balai Penelitian Kehutanan Manado

142 Roviyana V. Bakorluh Gorontalo

143 Yohanis Balai Penelitian Kehutanan Manado

144 Tinus Sanda Liling Balai Penelitian Kehutanan Manado

145 Rinto H. Balai Penelitian Kehutanan Manado

Page 199: REHABILITASI DANcover.pdf · 28 Oktober 2008 yang memungkinkan dilakukannya upaya restorasi hutan dalam kawasan hutan produksi. Restorasi ekosistem yang dimaksud adalah upaya untuk