22
1 Panel Rempah #1, Yogyakarta, 5 Januari 2012 Rempah-Rempah, Imperialisme, dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII Singgih Tri Sulistiyono Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro I. Pendahuluan Makalah ini merupakan bagian dari review terhadap buku Jack Turner mengenai sejarah rempah-rempah 1 dengan berfokus kepada upaya untuk menghubungkaitkan antara rempah-rempah, imperialisme Barat, dan perubahan peta kekuatan maritim di kepulauan Indonesia. Setelah membaca buku Jack Turner, salah satu kesan kuat adalah bahwa buku ini dapat kategorikan sebagai buku sejarah dunia dengan fokus kepada sejarah rempah-rempah. Ketika pertama kali orang membaca judul buku ini akan terkesan bahwa buku ini pasti membahas sejarah Indonesia karena selama berabad-abad kepulauan Indonesia terkenal sebagai penghasil rempah-rempah yang terkenal di dunia. Namun demikian ternyata buku ini tidak banyak membahas sejarah rempah-rempah yang dihasilkan oleh kepulauan Indonesia. Bahkan dalam indeks buku itu, kata ‘Indonesia’ hanya bisa dijumpai dalam tiga halaman saja, sedangkan kata ‘Maluku’ dapat dijumpai dalam 18 halaman. Ironis sekali bahwa kata Aceh, Banten, dan lampung tidak disebut-sebut dalam buku itu (baca: dalam indeks). Padahal daerah- daerah yang disebutkan itu merupakan daerah-daerah penghasil rempah-rempah (khususnya lada) yang sangat terkenal. Sementara itu kata ‘India’ disebut dalam buku ini di dalam 65 halaman dan kata ‘Malabar’ disebut dalam 16 halaman. India memang merupakan penghasil lada yang penting. Secara garis besar, karya Turner ini mencoba untuk memberikan bukti-bukti bahwa rempah-rempah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah dunia. Bahkan dikatakan bahwa rempah-rempah telah mengubah peta dunia. Rempah- rempah tidak hanya semata-mata sebagai komoditi perdagangan saja, tetapi juga sudah menjadi simbol tertentu dalam budaya di banyak kawasan di dunia (sebagai obat, pengawet, alat upacara keagamaan, penambah kenikmatan seksual dan sebagainya) sehingga rempah-rempah disebut sebagai buah dari surga. Kekaguman terhadap daya magis rempah-rempah dalam kehidupan masyarakat dunia pada zaman dulu memang diakui oleh banyak orang, namun yang lebih mengagumkan lagi adalah 1 Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (Penerjemah Julia Absari) (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011).

Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah pengantar diskusi pada Panel Rempah #1, Yogyakarta, 5 Januari 2012

Citation preview

Page 1: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

1

Panel Rempah #1, Yogyakarta, 5 Januari 2012

Rempah-Rempah, Imperialisme, dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII Singgih Tri Sulistiyono Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro I. Pendahuluan Makalah ini merupakan bagian dari review terhadap buku Jack Turner mengenai sejarah rempah-rempah1 dengan berfokus kepada upaya untuk menghubungkaitkan antara rempah-rempah, imperialisme Barat, dan perubahan peta kekuatan maritim di kepulauan Indonesia. Setelah membaca buku Jack Turner, salah satu kesan kuat adalah bahwa buku ini dapat kategorikan sebagai buku sejarah dunia dengan fokus kepada sejarah rempah-rempah. Ketika pertama kali orang membaca judul buku ini akan terkesan bahwa buku ini pasti membahas sejarah Indonesia karena selama berabad-abad kepulauan Indonesia terkenal sebagai penghasil rempah-rempah yang terkenal di dunia. Namun demikian ternyata buku ini tidak banyak membahas sejarah rempah-rempah yang dihasilkan oleh kepulauan Indonesia. Bahkan dalam indeks buku itu, kata ‘Indonesia’ hanya bisa dijumpai dalam tiga halaman saja, sedangkan kata ‘Maluku’ dapat dijumpai dalam 18 halaman. Ironis sekali bahwa kata Aceh, Banten, dan lampung tidak disebut-sebut dalam buku itu (baca: dalam indeks). Padahal daerah-daerah yang disebutkan itu merupakan daerah-daerah penghasil rempah-rempah (khususnya lada) yang sangat terkenal. Sementara itu kata ‘India’ disebut dalam buku ini di dalam 65 halaman dan kata ‘Malabar’ disebut dalam 16 halaman. India memang merupakan penghasil lada yang penting.

Secara garis besar, karya Turner ini mencoba untuk memberikan bukti-bukti bahwa rempah-rempah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah dunia. Bahkan dikatakan bahwa rempah-rempah telah mengubah peta dunia. Rempah-rempah tidak hanya semata-mata sebagai komoditi perdagangan saja, tetapi juga sudah menjadi simbol tertentu dalam budaya di banyak kawasan di dunia (sebagai obat, pengawet, alat upacara keagamaan, penambah kenikmatan seksual dan sebagainya) sehingga rempah-rempah disebut sebagai buah dari surga. Kekaguman terhadap daya magis rempah-rempah dalam kehidupan masyarakat dunia pada zaman dulu memang diakui oleh banyak orang, namun yang lebih mengagumkan lagi adalah

                                                                                                                         1 Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme (Penerjemah Julia Absari) (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011).

Page 2: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

2

bahwa banyak hal telah dikorbankan (harta, nyawa, kehormatan, kekuasaan, dan sebagainya) hanya untuk memperebutkan rampah-rempah. Dengan demikian rempah-rempah bukan hanya memiliki kekuatan magis bagi pada penggunanya tetapi juga memiliki kekuatan magis dalam menentukan sejarah dunia. Bagi kepulauan Indonesia, khususnya Maluku, rempah-rempah yang dihasilkannya yang oleh para penggunanya dipandang sebagai buah surga, justru seringkali menjadi sumber malapetaka. Rempah-rempah justru lebih banyak memberikan kekayaan kepada bangsa lain daripada orang-orang Maluku sendiri. hal yang tidak kalah menyedihkannya adalah, justru karena buah surga itulah Maluku khususnya menjadi sasaran imperialisme dan kolonialisme dari bangsa-bangsa yang rakus dengan harta dan kekuasaan. II. Kajian Turner tentang Sejarah Rempah Ditinjau dari sisi historiografi, karya Jack Turner ini merupakan merupakan sejarah tematis yang berfokus pada salah satu komoditi perdagangan global yang paling bertahan lama, yaitu rempah-rempah (lada, pala, bunga pala, kayumanis, cengkeh, dan sejenisnya). Turner menemukan bahwa rempah-rempah ternyata telah digunakan secara meluas di berbagai belahan bumi sejak zaman Firaun hingga masa kini. Sebagai sejarah tematis, cakupan geografis buku ini menembus berbagai belahan bumi mulai dari Eropa hingga Asia, bahkan juga Afrika dan Amerika. Dengan demikian para pembaca diajak untuk ber-plezier melanglang buana untuk membayangkan bagaimana rempah-rempah itu digunakan, mulai dari untuk kepentingan pengobatan, upacara keagamaan, dan untuk kepentingan erotisme seksual. Turner membagi bukunya ke dalam empat bagian, yaitu Bagian I Perburuan (yang mencakup Bab I dengan judul Para Pencari Rempah). Bagian II Selera (yang mencakup Bab II dan Bab III). Bab II berjudul ‘Selera Masa lalu’, sedangkan Bab III diberi judul ‘Eropa Abad Pertengahan’. Bagian III diberi judul ‘Raga’ yang mencakup Bab V dengan judul ‘Bumbu Percintaan’. Sementara itu Bagian IV dijuduli ‘Jiwa’ yang mencakup Bab VI dengan judul ‘Hidangan Dewa-Dewa’ dan Bab VII dengan judul ‘Penggemar Makanan Hambar’.

Penggarapan yang bersifat tematis seringkali agak melupakan aspek kronologi yang merupakan sesuatu yang sangat penting dalam penulisan sejarah. Sebagai contoh, dalam Bab I penulis sudah menceritakan tentang perburuan rempah-rempah pada zaman penjelajahan samudera yang bermula sejak masa akhir Abad Pertengahan hingga abad XVI ketika bangsa-bangsa Eropa mulai berbondong-bondong memburu rempah-rempah langsung ke negeri asalnya. Setelah itu dalam Bab II, diuraikan mengenai sejarah penggunaan rempah-rempah di Eropa sejak zaman Yunani hingga zaman kerajaan Romawi. Analisis ini kemudian dilanjutkan pada Bab III yang bercerita tentang penggunaan rempah-rempah pada zaman Abad Pertengahan. Antara Bab II dan Bab III memang sudah terasa ada kronologi yang cukup urut. Namun demikian dalam Bab IV, penulis mencoba untuk kembali lagi untuk membahas penggunaan rempah-rempah sejak zaman Firaun dan kejadian-kejadian selama Abad Pertengahan. Sementara itu dalam Bab V juga masih berbicara soal-soal dunia percintaan dan peran rempah-rempah di dalamnya selama Abad Pertengahan hingga wacana zaman modern sekarang ini. Akhirnya dalam Bab VII penulis membahas soal fungsi rempah-rempah sebagai bumbu penyedap masakan. Pembahasan masih berkutat pada periode Abad XI yang termasuk sebagai Abad Pertengahan. Akhirnya, bab-bab dalam buku ini ditiup dengan sebuah epilog yang berjudul ‘Akhir dari Zaman Rempah’ yang berbicara mengenai berakhirnya masa kejayaan rempah-rempah.

Meskipun buku ini disusun secara tematis dengan mengorbankan kronologi yang tidak cukup mudah untuk dipahami. Namun demikian karena penceritaannya dibangun dengan bahasa yang ‘nyastra’ dan bersifat lebih informal dan populer, maka pembaca

Page 3: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

3

akan dapat menikmati cerita-cerita di seputar rempah dengan nyaman dan baik. Penggarapan yang tematis juga memungkinkan para pembaca untuk dapat memilih tema apa yang ingin dibaca: penjelajahan samudera yang dilakukan oleh Vasco da Gama, Columbus, Magelhaens, dan sebagainya. Demikian juga mungkin orang dapat juga memilih untuk membaca Bab V yang bercerita tentang penggunaan rempah-rempah untuk kepentingan erotisme percintaan dan sebagainya.

Meskipun penggarapan buku ini bersifat tematis namun bukan berarti pembaca tidak mendapat informasi mengenai sejarah perkembangan penggunaan rempah-rempah. Turner memberikan informasi bahwa penggunaan rempah-rempah khususnya lada yang pertama kali terdokumentasi bukan untuk kepentingan bumbu masakan tetapi untuk kepentingan yang terkait dengan kematian Firaun Ramses II dari Mesir. Ketika ia meninggal pada 12 Juli 1224 SM, para abdinya menjejali lubang hidung Sang Firaun dengan biji lada. Tidak dijelaskan dengan pasti apakah pemakaian lada untuk jenazah itu dimaksudkan untuk pengawetan dalam rangka pembuatan mumi ataukah hanya untuk menetralisir bau tak sedap untuk sementara waktu sebelum mayat dikuburkan. Namun demikian ada kemungkinan besar bahwa penggunaan lada itu terkait dengan upaya pengawetan mayat yang sudah merupakan tradisi bagi para Firaun di Mesir. Bahkan tradisi ini juga mempengaruhi budaya Romawi. Turner menceritakan bahwa pada 565, penyair Byzantium yang bernama Corippus mencatat pembaluran kaisar Justinian dengan balsam, dupa, madu, dan ratusan rempah-rempah dan salep-salep menakjubkan lainnya demi mengawetkan jasad suci untuk selama-lamanya (hlm. 151). Sudah barang tentu penemuan tentang penggunaan rempah-rempah di Mesir itu merupakan bukti tertua yang terdokumentasi yang ditemukan oleh para peneliti. Ada kemungkinan di masa yang akan datang ditemukan bukti yang lebih tua lagi, karena ternyata pemanenan lada di India itu sudah dilakukan pada ribuan tahun sebelumnya. Ketika teknologi pengawetan modern belum berkembang, tentu saja pemakaian rempah-rempah merupakan metode yang paling masuk akal untuk memperlambat atau membunuh bakteri yang menyebabkan dekomposisi. Dengan demikian tradisi mumifikasi di Mesir tentunya memberikan peran yang sangat besar bagi penggunaan rempah-rempah. Bahkan ada juga mayat yang dikubur dengan seonggok lada. Ada kemungkinan bahwa lada juga sudah menjadi simbol magis tertentu dalam dunia kematian sehingga sesorang perlu dikubur bersama dengan barang kecintaannya yang berupa lada.

Barangkali pertanyaan yang menggelitik adalah dengan melalui apa dan dengan cara bagaimana rempah-rempah (khususnya lada) India dapat mencapai Mesir? Kemungkinan yang masuk akal adalah lewat jalur perdagangan antara India dan Mesir. Seperti diketahui bahwa India dan Mesir merupakan dua pusat kebudayaan kuno yang kemungkinan besar sudah menjalin perdagangan sejak ribuan tahun sebelum masehi. Kematian bagi orang Mesir kuno merupakan peristiwa yang sangat penting dan sakral. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah proses transisi. Kalangan yang memiliki pengetahuan luas mengenai soal-soal kepercayaan yaitu pada pendeta dan pembalsam ditugaskan melakukan proses mumifikasi dalam rangka preservasi kasad sehingga esensi jiwa dari sang Firaun dapat kembali lagi ke situsetelah memalui masa transisi. Meski orang Mesir mempercayai bahwa esensi jiwa (ka) bersifat abadi namun mereka juga meyakini bahwa jasad fisik juga masih diperlukan agar ka tidak melayang-layang selamanya di akherat oleh sebab itu perlu ada pengawetan jasad orang yang telah meninggal. Melihat begitu pentingnya fungsi lada untuk kepentingan keagamaan Mesir maka komoditi ini menjadi komoditi yang sangat dicari.

Tidak hanya di Mesir saja ternyata penggunaan rempah-rempah untuk kepentingan mumifikasi dan hal-hal yang bersifat spiritual juga dijumpai di dalam

Page 4: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

4

masyarakat Yunani Kuno. Pada masyarakat Yunani Kuno yang memiliki spiritualitas tinggi dalam penyembahan politheisme, rempah-rempah tidak luput dalam penggunaannya untuk upacara persembahan kepada Dewa. Di samping untuk pewangi dupa penyembahan, kayu manis misalnya digunakan untuk membakar mayat. Dunia dewa identik dengan wangi-wangian. Dalam hal ini rempah-rempah menjadi sangat penting kedudukannya. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Romawi sebelum berkembangnya agama Nasrani. Hal itu yang memungkinkan permintaan rempah-rempah khususnya lada India terus berlangsung. Bahkan Turner juga menginformasikan bahwa jasad Yesus dibungkus dengan linen dan diminyaki rempah-rempah sebagaimana tradisi Yahudi dalam penguburan. Dengan demikian ketika Romawi menggunakan Kristen sebagai agama negara, tradisi penggunaan rempah-rempah untuk alat-alat upacara kematian masih terus berlangsung.

Penggunaan rempah-rempah di luar hal-hal yang berurusan dengan mayat dan kematian juga ditemukan di Eropa pada periode yang hampir sama. Bahkan mungkin pengusahaan lada untuk kepentingan membuat masakan menjadi lebih nikmat merupakan motif awal penggunaan lada di India sendiri. Di Eropa pun, bukti-bukti penggunaan lada untuk kepentingan masak-memasak jauh lebih tua jika dibandingkan untuk kepentingan pengawetan mayat. Beberapa reruntuhan bekas markas tentara Romawi di Lippe yang berasal dari abad XI hingga abad VIII Masehi meninggalkan jejak reruntuhan dapur yang antar lain berupa sisa-sisa biji zaitun, biji ketumbar, dan lada hitam. Ada indikasi bahwa para prajurit Romawi sudah terbiasa dengan menu masakahan yang menggunakan bumbu rempah-rempak dari Asia. Hal ini berbeda dengan menu masakanan para kaum barbar tanpa bumbu yang berupa daging panggang dan bubur. Namun demikian pada awalnya, lada yang berasal dari India hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas saja. Hal ini terkait dengan harganya yang masih relatif tinggi karena arus perdagangan yang masih terbatas (hlm. 62). Namun demikian pada awal abad Masehi perdagangan dengan India mulai berkembang dengan pesat sejalan dengan kemajuan kekaisaran Romawi di sebelah barat dan kekaisaran Cina di sebelah timur. Di samping itu, perpindahan rute perdagangan dari jalan darat ke jalan laut (maritim) juga menjadi pendorong bagi berkembangnya perdagangan antara barat dan timur. Dalam hal ini, pada periode itu India telah mampu menciptakan kapal-kapal besar yang mampu memuat 1000 ton barang (hlm. 63). Bagi Romawi sendiri, perdagangan dengan Asia menjadi semakin berkembang karena mereka telah mampu memasukkan Mesir sebagai bagian dari kekaisaran ini pada periode menjelang abad Masehi setelah Cleopatra bunuh diri (30 SM). Penaklukan Mesir ini memberikan arti strategis bagi Romawi untuk melakukan ekspansi dagang ke timur untuk mendekati sumber komoditi rempah-rempah yang sangat mahal di Eropa. Banyak pelabuhan dibangun di sepanjang pantai antara Mesir dan Roma. Hubungan antara Rowami denhgan India juga semakin dekat. Kaisar-kaisar Romawi secara rutin menerima duta besar India (hlm. 67).

Dengan semakin dekat hubungan India dan Romawi serta semakin meningkatnya volume perdagangan menyebabkan rempah-rempah semakin lama semakin populer. Pada abad pertama Masehi misalnya terdapat informasi bahwa selera kosmopolitan Romawi telah menacapai tingkatan yang tingi hingga terdapat cita rasa Mesir, Kreta, Cyrenaica, India dan sebagainya. Namun demikian bukan berarti membuat komoditi rempah-rempah menjadi semakin murah. Semakin tinggi permintaan akan menyebabkan semakin mahal harga, meskipun pada waktu itu volume perdagangan rempah-rempak ke Eropa semakin besar namun permintaan juga semakin tinggi. Dalam hubungan itu ada pomeo yang mengatakan bahwa: ‘lada merupakan simpanan orang-orang kaya’ (hlm. 72). Dengan harga yang begitu tinggi, repah-rempah bukan

Page 5: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

5

hanya sekedar barang dagangan namun sudah berubah menjadi simbol yang mencitrakan cita rasa yang elegan, eksklusivitas, dan kekayaan (hlm. 79).

Penggunaan rempah-rempah ternyata tidak hanya terkait dengan perlindungan terhadap jasad yang sudah mati saja tetapi juga untuk melindungi raga manusia yang masih hidup. Rempah tidak hanya digunakan untuk urusan menciptakan cita rasa pada masakan belaka, tetapi juga untuk kepentingan kesehatan. Paling tidak sejak abad V Masehi yaitu masa-masa akhir kekaisaran Romawi Barat terdapat dokumen yang menggambarkan berbagai variasi penggunaan rempah-rempah untuk kepentingan medis. Lada misalnya, diresepkan untuk sejumlah besar penyakit; diteteskan ke kuping untuk mengobati sakit kuping dan kelumpuhan; untuk persendian yang linu dan masalah saluran pembuangan; untuk radang di mulut dan tenggorokan; untuk gigi yang keropos, menghitam, atau nyeri. Masih banyak lagi penyakit yang diceritakan dalam dokumen tersebut. Pendek kata, tidak ada penyakit yang tidak bisa diobati dengan lada (hlm. 167). Pada awal abad VIII, Uskup Milan yang bernama Santo Benediktus Crispus menulis beberapa teks medis yang memunculkan rempah-rempah, misalnya orang yang terkena sakit encok dapat meminum campuran cengkih, lada dan kayu manis. Untuk jantung lemah, ia menganjurkan untuk mengonsumsi lada. Sariawan juga dapat disembuhkan dengan lada. Bahkan dikatakan di situ bahwa uskup tinggi York memberikan resep dengan rempah-rempah untuk mengobati sariawan. Demikian juga Theodore dari Tarsus, uskup tinggi Canterbury (669-690) mengklaim bahwa lada yang dicampur dengan dengan kantong empedu kelinci dapat meredakan sakit disentri (hlm. 167-168).

Meskipun kekaisaran Romawi kemudian runtuh apada abad VI Masehi, namun citra eksklusif dan eksotis rempah-rempah terus mengakar dalam kebudayaan Romawi. Permintaan tehadap komoditi rempah-rempah masih terus bertahan meskipun tentu mengalami penurunan. Para pedagang dari Romawi timur (Byzantium) yang terdiri dari terutama orang-orang Yahudi dan Arab mulai memegang peran yang sangat penting. Pada periode ini, gagasan mengenai rempah-rempah bahkan menjadi sesuatu yang lebih kaya dan sekaligus lebih abstrak dibandingkan dengan sekedar lada. Bumbu yang diproduksi lokal tidak termasuk dalam konsep rempah-rempah atau spices. Di samping lada, konsep itu mencakup cengkih, kayu manis, dan pala.

Ekspansi kekuatan Islam menjadi ancaman bagi para kelompok pedagang lama. Sejalan dengan kekuasaan politik dan militer Islam, jalur perdagangan dan pedagang pun mulai bayak diambil-alih oleh pedagang Muslim. Para pedagang Islam berlayar baik ke Barat maupun ke Timur hingga Maluku dan Cina. pada abad VIII masehi para pedagang Arab telah memiliki kantong bisnis sendiri di Kanton. Pendeta Cina yang bernama F-Hsien ketika sedang melakukan ziarah ke India menyaksikan bahwa di mana ada rempah, di situ ada orang Islam. Suplai rempah-rempah ke Eropa berada di bawah kendali pedagang Islam dengan kekecualian beberapa pedagang Yahudi. Sementara itu orang-orang Eropa di Laut Tengah juga ikut mengambil peran sebagai pedagang pengecer. Demikian juga para pedagang dari Semenanjung Iberia juga menjadi pengecer untuk kawasan Eropa Utara. Satu hal yang menarik adalah bahwa meskipun kemudian kedua kekuatan raksasa ini terlibat dalam Perang Salib namun perdagangan masih terus berjalan. Bahkan perang ini akhirnya tidak semata-mata urusan agama, namun para pejuang itu sudah dapat melirik arti ekonomi dari pertumbahan darah itu. Rempah-rempah masih menjadi jaminan dan penanda prestise meskipun peredarannya juga semakin luas sejalan dengan terjadinya perkembang ekonomi Eropa yang sangat pesar sejalan dengan penemuan berbagai tambang dan sumber daya alam yang lain (hlm. 97).

Page 6: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

6

Di samping faktor sosial-budaya dan ekonomi, pemanfaatan rempah-rempah untuk kepentingan medis juga berkembang. Keampuhan rempah-rempah dalam melawan penyakit teruji ketika Romawi Timur dibawah kaisar Justinianus dilanda wabah pes yang terkenal dengan black death (maut hitam) antara tahun 1348-1350. Wabah ini telah mebinasakan sekitar 30 persen populasi Eropa dan bahkan hingga 50 persen untuk beberapa kota. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh para tabib Romawi kecuali keyakinan mereka bahwa aromatik dan rempah-rempah memainkan peranan penting dalam pencegahan pes (hlm. 185). III. Rempah dan Kedatangan Imperialisme di Nusantara

Selama Abad Pertengahan, peran rempah-rempah dipandang menjadi semakin penting. Di samping digunakan untuk berbagai keperluan yang ada kaitannya dengan agama dan kematian, rempah-rempah juga memiliki khasiat untuk bumbu masak, kesehatan, stamina lelaki, dan bahkan untuk pengobatan dan pencegahan wabah penyakit. Demikian juga permintaan rempah-rempah tidak hanya datang dari kelas bangsawan tetapi juga dari segmen masyarakat yang lebih luas seiring dengan perkembangan ekonomi yang semakin membaik pada periode akhir Abad Pertengahan. Kondisi yang semacam ini seiring dengan penemuan teknologi perkapalan dan persenjataan telah mendorong orang-orang Eropa untuk mencoba mencari sendiri sumber rempah-rempah di dunia Timur yang pada waktu itu masih sangat misterius. Pada waktu itu rempah-rempah masih tetap merupakan komoditas yang sangat berharga karena faktor kelangkaan dan tingkat kesulitan yang tinggi untuk memperolehnya. Oleh karena faktor rantai perdagangan (yang didominasi oleh orang-orang Muslim) yang sangat panjang dari daerah produsen hingga konsumen di Eropa, harga rempah-rempah bisa mencapai 1.000 persen dan kadang-kadang lebih dari itu. Dengan biaya yang semacam itu, timbullah aura kemewahan, bahaya, jarak yang jauh dan keuntungan yang berlimpah.2 Faktor-faktor itulah yang sekiranya menjadi pendorong bagi dimulainya penjelajahan samudera yang menjadi embrio bagi lahirnya imperialisme dan kolonialisme Eropa. Keinginan itu juga didorong oleh sejumlah pedagang di kawasan Laut Tengah dan di bagian pantai utara Eropa yang menikmati keuntungan sebagai distributor rempah-rempah di Eropa. Mereka telah berhasil memupuk modal untuk melakukan suatu manuver besar dalam dunia perniagaan. Di antara bangsa-bangsa Eropa, Portugis dan Spanyol-lah yang pada awalnya memiliki semangat untuk menemukan produsen rempah-rempah. Mereka adalah pedagang rempah-rempah sejak lama dan mengalami kerugian setalah Konstantinopel yang merupakan salah satu pintu penting perdagangan Asia – Eropa direbut oleh Kekhalifahan Turki pada 1453.

Pada tanggal 10 Oktober 1487 Raja John II dari Portugal mengangkat Bartholomeus Diaz sebagai pemimpin ekspedisi mengelilingi benua Afrika unutk menemukan jalan pelayaran menuju India di luar kontrol orang-orang Islam. Diaz adalah seorang ksatria dari istana Portugal yang menjabat sebagai pengawas gudang kerajaan dan sekaligus sebagai pelaut yang menjadi Kapten armada ‘Saint Christopher’ pada ekspedisi itu. Bartholomeus Diaz menyusuri pantai barat Afrika, kemudian mengitari Tanjung Harapan pada tahun 1487. Namun demikian, dia harus kembali ke Portugal karena dihadang topan dan sebagian awaknya memberontak. Sepuluh tahun kemudian rintisan Diaz dilanjutkan oleh Vasco da Gama. Upaya da Gama selama dua tahun pelayaran cukup memuaskan. Ia kembali ke Lisbon dengan membawa contoh barang dari India dan rencana strategis untuk merebut kota-kota pelabuhan di India                                                                                                                          2 Turner, Sejarah Rempah, hlm. 5.

Page 7: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

7

dengan kekerasan. Dalam pelayaran pertamanya itu Diaz sudah bisa menaksir bahwa para pedagang Arab yang dilindungi dan dihormati oleh penguasa setempat tidak akan berdaya menghadapi kekuatan marinir Portugis yang menakutkan dan menjadi tugas ekspedisi berikutnya untuk melaksanakan gagasan itu. Pada 8 Maret 1500, Raja Manuel (1495-1521) mengirim 13 kapal dengan ribuan awak yang perkasa dalam rangka ekspedisi ke dua. Jika mandat yang diberikan kepada da Gama adalah untuk melakukan pengintaian, maka ekspedisi kedua ditugaskan untuk membangun kekaisaran di India (Estado da India). Armada itu dipimpin oleh Pedro Alvares Cabral dan dibantu oleh Bartholomeus Diaz.3

Pedagang Arab, Gujarat, Yahudi, dan Armenia yang memiliki posisi sebagai pedagang yang mapan di sana dianggap sebagai kaum kafir dan sekaligus musuh. Orang-orang Portugis mengklaim bahwa wilayah laut yang mereka lewati adalah milik mereka atas nama Tuhan. Tindakan yang dilakukan oleh bangsa Portugis adalah amanat Tuhan. Namun demikian para pelaut Muslim yang telah berabad-abad menguasai jalur perdagangan di samudra Hindia tidak mau melepaskan kedudukannya begitu saja kepada pelaut Portugis. Pertempuran pun tidak bisa dihindari. Kota pelabuhan Calcuta dibombardir oleh Portugis sehingga penguasanya lari ke pedalaman. Kapal-kapal milik orang Islam dirampas atau ditenggelamkan, sedangkan para pedagangnya digantung atau dibakar hidup-hidup di depan keluarga mereka sendiri (hlm. 22). Dengan kecakapan yang lebih baik dan persenjataan yang lebih modern, armada Portugis merebut pelabuhan-pelabuhan muslim yang strategis. Atas kemenangan tersebut, Portugis menunjuk Alfonso de Albuquerque sebagai Gubernur India tahun 1509-1515. Dominasi Arab di Asia Selatan berakhir setelah meriam-meriam Albuquerque menaklukkan pelabuhan Kalikut, Ormuz, Goa dan Malaka.

Sementara itu, bangsa Spanyol mampu membiayai penjelajahan samuderanya setelah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di kawasan itu. Para penguasa Katolik mengurangi kekuatan para bangsawan, merampingkan birokrasi pemerintahan, dan menyisihkan orang-orang yang merongrong kekuasaan, yaitu kaum Muslim dan Yahudi. Kerajaan Spanyol menjadi sangat kuat. Dalam rangka mencari sumber produksi rempah-rempah, Ratu Isabella menyiapkan ekspedisi penjelajahan dengan mempercayakan 3 kapalnya di bawah pimpinan Christoper Columbus. Kapal Santa Maria, Pinta, dan Nina berlabuh pada bulan Oktober 1492 di sebuah pulau di Karibia. Columbus menamainya San Salvador. Dia mengira pulau itu adalah bagian dari India. Selama 10 tahun Columbus melakukan 4 kali pelayaran. Selama itu ia menemukan Haiti yang disebutnya Dominika, lalu San Salvador, Puerto Rico, Jamaika, Kuba, Trinidad, dan Honduras di Amerika Tengah.

Pelayaran Columbus sangat berguna bagi pelayaran selanjutnya. Columbus dan teman-temannya juga berhasil meng-Kristenkan penduduk daerah-daerah yag dikuasai. Walaupun sedikit harta yang dibawa pulang Columbus, armadanya telah membuka jalan untuk penjelajahan lebih jauh. Tahun 1519, Raja Charles V mengutus Ferdinand Magellan untuk menemukan jalan langsung ke kepulauan rempah-rempah (Maluku). Magellan menyeberangi Atlantik menuju Brazil. Pelayaran berlanjut ke selatan untuk mengitari ujung benua Amerika. Kemudian, armadanya mengarungi Pasifik sampai Fillipina. Nama Filipina dipakai untuk menandai keberhasilan Raja Phillip II, setelah kepulauan itu dikuasai tahun 1560.

Magellan terbunuh, namun pelayaran dilanjutkan oleh Juan Sebastian del Cano. Armada itu berlayar dari Maluku, lalu ke Timor, menyebrangi samudra Hindia hingga ke

                                                                                                                         3 K.N. Chauduri, Trade and ivilization in the Indonesian Ocean: An Economic History from the Rise of Islam to 1750 (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 63-79.

Page 8: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

8

Tanjung Harapan. Akhirnya mereka kembali ke Spanyol setelah melayari Pantai barat Afrika. Pelayaran ini membuktikan teori Copernicus dan Galileo bahwa bumi itu bulat, bahkan setelah itu mereka tahu bahwa bumi lebih luas daripada yang mereka bayangkan. Ketika armada del Cano mencapai Maluku, mereka bertemu dengan Portugis dan selanjutnya mereka salah paham saling menuduh telah melanggar Perjanjian Tordesilllas 1494 antara Spanyol dan Portugal. Namun demikian akhirnya perselisihan dan konflik bersenjata mereka diselesaikan melalu Perjanjian Saragosa tahun 1529 yang antara lain berisi pembagian ‘kapling’ kepada Portugis untuk menguasai Maluku dan Spanyol menguasai Filipina.4

Penjelajahan samudra yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol menandai era baru di Asia dan khususnya di Indonesia sebagai era imperialisme dan kolonialisme. Kekuatan-kekuatan Barat itu tanpa kompromi membagi-bagi wilayah yang mereka datangi sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak memperhitungkan bahwa wilayah itu sudah dihuni dan dimiliki oleh pendudukan lokal selama berabad-abad. Oleh sebab itu kekerasan demi kekersan muncul atas nama Tuhan yang dilakukan dengan tindakan-tindakan yang penuh kerakusan. Keberhasilan Portugis dan Spanyol kemudian segera mengundang bangsa-bangsa Eropa yang lain untuk ikut meramaikan perburuan rempah-rempah. Pada akhir abad XVI negara-negara Protestan terutama Inggris dan Belanda muncul di perairan Asia. Mereka lebih terorganisasi dan lebih tak kenal kompromi daripada pedagang manapun yang pernah merambah perairan Asia. Mereka bertempur melawan bangsa-bangsa Katholik (Portugis dan Spanyol) dan bahkan mereka juga saling membunuh di antara bangsa-bangsa Protestan sendiri serta melawan semua pesaing dari Asia untuk memperoleh secara langsung apa yang mereka cari, yaitu rempah-rempah. Akhirnya, wilayah Nusantara menjadi ajang pertempuran (battle field) berbagai kekuatan imperialisme. Satu demi satu wilayah kepulauan Indonesia dirampas oleh imperialis Eropa. Negeri kaya dengan penduduk makmur akhirnya menjadi negeri kaya dengan penduduk yang miskin. Dengan adanya imperialisme Eropa, sepertinya, rempah-rempah merupakan nikmat yang mendatangkan laknat.

IV. Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Kekuatan Maritim menjelang Kedatangan Bangsa Barat Sebelum perdagangan maritim dengan melalui rute rempah-rempah (spice route) berkembang semenjak awal abad Masehi, rempah-rempah dari kepulauan Indonesia belum menjadi komoditi perdagangan global. Rempah-rempah yang dikonsumsi oleh bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi awal tentu tidak berasal dari kepulauan Indonesia tetapi berasal dari daerah lain seperti lada dari Gujarat (India) dan kayu manis dari Srilangka. Pada awal abad Masehi, ekonomi Eropa menjadi semakin baik menyusul terbangunnya Pax Romana. Hal ini juga mengondisikan terjadinya kenaikan permintaan terhadap berbagai komoditi dagang dari negeri-negeri seberang. India barangkali tidak mampu lagi memenuhi permintaan untuk pasar Eropa. Lagi pula rempah-rempah dari India tidak lah lengkap karena hanya menyediakan lada. Dalam hal ini kepulauan Indonesia menghasilkan semua jenis rempah-rempah baik lada, kayu manis, pala, cengkeh, dan sebagainya. Jadi revolusi transportasi maritim pertama kali di Nusantara terjadi pada awal abad masehi ketika terjadi perubahan rute perdagangan dari rute daratan (jalan sutra) ke jalan maritim (jalan rempah-rempah). Perubahan rute perdagangan global ini di samping dipicu oleh ketidakamanan jalan darat melalui Asia                                                                                                                          4 Turner, Sejarah Rempah, hlm. 22-39.

Page 9: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

9

Tengah juga permintaan produk rempah-rempah yang semakin meningkat yang mampu dihasilkan juga daerah daerah kepulauan di Nusantara. Sejak saat itu geliat perdagangan rempah-rempah menjadi sangat spektakuler. Perdagangan rempah-rempah ini menjadi driving force bagi kegiatan perdagangan dan pelayaran secara umum selama berabad abad. Perdagangan maritim telah memberikan dampak bagi lahirnya berbagai emporium di Nusantara seperti Sriwijaya, Majapahit, Demak, Ternate, Tidore, Makassar, dan sebagainya.

Portugis, Spanyol dan bangsa-bangsa Barat lainnya datang di Nusantara ketika kerajaan maritim (dan sekaligus kerajaan pertanian) besar di kepulauan Indonesia sudah mengalami kehancuran. Duarte Barbosa, seorang penulis dan sekaligus pejabat Portugis di Cannanore (India) yang pernah singgah di Jawa pada perempatan pertama abad XVI mengatakan bahwa di samping memiliki jung-jung untuk pelayaran samudera, orang-orang Jawa juga memiliki kapal yang ‘well-built light vessels propelled by oars’ yang biasanya digunakan untuk aktivitas perompakan.5 Kemampuan armada dagang Majapahit tidak dapat diragunakan lagi untuk melayari laut-laut di Nusantara tetapi juga samudera lepas dalam perdagangan internasional. Orang Portugis lain yang bernama Tome Pires yang datang di Jawa pada awal abad XVI mengatakan bahwa seratus tahun sebelum ia datang, Jawa memiliki kekuasaan yang sangat besar di mana kapal-kapalnya berlayar hingga mencapai Aden dan Majapahit memiliki hubungan dagang utama dengan kerajaan Keling (India), Benggala, dan Pasai (Sumatera). Ia mengatakan bahwa:6

‘it had the whole of the trade at that time…gathered together such great merchants with so much trade along its sea coasts, that nowhere else so large so rich was known. Some of them were Chinese, some arabs, Parsees, Gujaratees, Belgalees and many other nationalities’.

Kerajaan Majapahit berkembang bukan hanya dari basis ekonomi pertanian

namun juga pengembangan kegiatan pelayaran dan perdagangan sebagai sebuah negara maritim. Perdagangan laut itu bukan hanya dilakukan antara satu daerah dengan daerah lain di Nusantara, tetapi juga perdagangan internasional dengan kawasan yang lebih luas. Pigeaud berpendapat bahwa barang-barang impor telah dikenal oleh masyarakat Majapahit hingga pedalaman seperti tekstil dari India dan barang-barang dari Cina seperti mata uang, barang-barang pecah belah dan batu mulia.7 Chao Ju-Kua memberikan kesaksian bahwa komoditas Cina yang dibeli oleh para pedagang Jawa mencakup emas, perak, sutera, pernis, dan porselin. Begitu berkembangnya daya beli para pedagang Jawa sehingga menyebabkan Kekaisaran Cina pernah melarang perdagangan dengan Jawa karena menyebabkan terjadinya penyedotan mata uang Cina ke Jawa melalui perdagangan rempah-rempah, khususnya lada.8

Penelitian antropologis di Kelantan (Malaysia) telah membuktikan bagaimana pengaruh magis kekuasaan Majapahit sangat besar di kawasan ini. Di kawasan ini banyak ditemukan ‘pitis Jawa’ atau ‘jimat Jawa’ (Javanese amulets) atau bahkan

                                                                                                                         5 B.E. Colless, ‘Majapahit Revisited: External Evidence on the Geography and Ethnology of East Java in the Majapahit Period’, JMBRAS 2 (1975), hlm. 132. 6 Colless, ‘Majapahit Revisited’, hlm. 138. 7 Th. Pigeaud, Java in the Fourteenth Century: A Study in Cultural HistoryIV (The Hague: 1960-1963), hlm. 500. 8 Colless, ‘Majapahit Revisited’, hlm. 138.

Page 10: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

10

disebut ‘Pitis Semar’ yang masih diyakini memiliki kekuatan gaib dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.9

Perlu diingat bahwa Tome Pires yang berkunjung di pelabuhan-pelabuhan di Jawa pada awal abad XVI mendengarkan dengan telinganya sendiri bahwa kebesaran Majapahit sudah beredar di kalangan banyak orang pada waktu itu. Ia mengatakan bahwa:10

They say that the island of Java used to rule as far as the Moluccas (Maluco) on the eastern side and (over) a great part of the west; and that it had almost all this for a long time past until about a hundred years ago, when its power began to diminish until it came to its present state. Kemunduran Majapahit sebagai akibat dari perebutan kekuasaan di antara

keluarga kraton mengakibatkan ketidakmampuannya untuk mengontrol daerah-daerah yang dikuasai11 sejalan dengan berkembangnya agama Islam di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Majapahit. Kehancuran internal mendorong pelabuhan-pelabuhan itu memisahkan diri dari Majapahit dan mendapatkan vitalitas baru dari semangat agama Islam, seperti Tuban, Demak, Surabaya, Cirebon, Banten, Makassar, Ternate, Tidore, dan sebagainya.12 Meskipun entitas politik nasional di Nusantara hancur sejalan dengan hancurnya Majapahit pada akhir abad XV namun jaringan-jaringan dagang semakin berkembang justru karena proses sentrifugal kekuatan politik ini. Dalam hubungan ini proses sentrifugal dalam entitas politik justru diikuti oleh proses integrasi ekonomi.

Tuban merupakan sebuah bagaimana contoh yang tipikal mengenai proses perubahan dari kota pelabuhan yang sangat penting sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur menjadi pelabuhan yang juga penting pada awal berkembangnya kerajaan-kerajan Islam di pantai utara Jawa. Fungsi sebagai pelabuhan internasional inilah yang memungkinkan Tuban menjadi kota yang bersifat kosmopolitan. Bangsa-bangsa asing yang datang di Tuban antara lain Orang India Utara, India Selatan, Srilangka, Burma, Kamboja, dan Champa. Menurut cerita dalam Babad Tuban bahwa Aria Wilatikto adalah anak dan pengganti Aria Tejo, yaitu seorang ulama keturunan Arab yang erhasil meyakinkan Raja Tuban, Arya Dikara, untuk memeluk agama Islam. Oleh karena jasanya ia dinikahkan dengan putrinya. Nama Arab Aria Teja adalah Abdurrahman. Hal ini sesuai dengan kesaksian Tome Pires bahwa penguasa Tuban pada sekitar tahun 1500 adalah cucu raja islam yang pertama di kota Tuban.

Pada masa kejayaan Demak, sikap Tuban mendua. Di samping mengakui Demak sebagai kesultanan Islam, Tuban juga masih menjaga hubungan baik dengan Majapahit. Hal ini bisa dipahami karena letak Tuban tidak begitu jauh dari Majapahit sehingga masih ada kemungkinan Majapahit akan menghancurkannya jika Tuban

                                                                                                                         9 A. Rentse, ‘Majapahit Amulets in Kelantan’, JMBRAS 14 (1936), hlm. 300-304. 10 A. Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East, from the Red Sea to Japan, Written in Malacca and India in 1512-1515 (London: Hakluyt Society Series, 1944), hlm. 74. Lihat juga B.E. Colless, ‘Majapahit Revisited: External evidence on the Geography and Ethnology of East Java in the Majapahit Perios’, JMBRAS 2 (1975), hlm. 124-161. Lihat juga W.F. Wertheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change (The Hague: Van Hoeve, 1969, hlm. 52-53. 11 Palembang sendiri sebagai bekas pusat kerajaan Sriwijaya diceritakan menjadi sarang dari perompak Cina setelah tahun 1377. Lihat misalnya R.W. McRoberts, ‘Notes on Events in Palembang 1389-1511: The Overlasting Colony’, JMBRAS 1 (59) (1986) 73. 12 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium Jilid 1 (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 20.

Page 11: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

11

melakukan penentangan secara frontal sebagaimana yang terjadi terhadap Juana. Setelah Majapahit hancur, Tuban masih tetap mengakui Sultan Demak sebagai Maharaja wilayah-wilayah Islam bahkan ketika Sultan Hadiwijaya memindahkan kratonnya di Pajang, Tuban masih mengakuinya. Namun demikian setelah Pajang dijatuhkan oleh Mataram, Tuban berusaha berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Tuban merupakan kekuatan pantai utara Jawa yang menentang penaklukan Mataram. Beberapa kali Tuban diserang oleh Mataram sejak masa pemerintahan Senopati yaitu tahun 1587, 1598 dan 1599. Namun demikian baru tahun 1619, Tuban betul-betul takluk kepada Sultan Agung dari Mataram. Setelah itu bupati-bupati Tuban diangkat oleh Mataram.

Reputasi Tuban sebagai kota dagang di pantai utara Jawa masih bertahan hingga abad XVI ketika Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota di sepanjang pantai uatara Jawa. Pada awal abad XVI, seorang musyafir Portugis, Tome Pires, mengungkapkan bahwa Tuban merupakan salah satu bandar penting di Jawa. Jaringan perdagangan Tuban mencakup daerah-daerah dari Malaka hingga Maluku, termasuk Makassar, Banjarmasin, Palembang, Jambi. Bahwa Tuban memiliki hubungan dagang yang dengan Maluku dapat diketahui dari sebuah catatan Portugis bahwa ketika ada pedagang Portugis pada akhir abad XVI yang berusaha menemui Raja Tuban dalam usahanya untuk mencari pemandu setempat untuk mengantarkannya ke Maluku, Raja Tuban lancar berbahasa Portugis. Ia menyarankan agar pedagang Portugis itu tidak usah datang ke Maluku dan cukup menunggu di Tuban, karena tiga bulan lagi akan datang lebih dari 40 jung dari Maluku dengan membawa rempah-rempah. Ini berarti bahwa Tuban telah menjalin hubungan dagang secara reguler dengan Maluku dan Malaka.

Komoditi dagang yang diperdagangkan di pasar lokal di Tuban antara lain lada (yang didatangkan dari Banten dan Palembang), bermacam-macam jenis burung, tulang penyu, cula badak, gading, mutiara, kayu cendana, rempah-rempah, kapur barus, dan sebagainya. Pada masa Majapahit komoditi dagang lokal yang utama adalah beras. Sementara itu barang impor yang paling disukai masyarakat setempat adalah porselen pola biru dari Cina, gading, kain sutera bersulam emas, dan manik-manik. Kelompok orang kaya di Tuban juga menyukai bahan pakaian impor yang mahal seperti dari Cina. Selera tinggi ini sudah muncul sejak jaman Majapahit hingga abad XVI ketika agama Islam berkembang di kota ini. Komoditi lain yang juga diperjualbelikan oleh masyarakat Tuban pada abad XVI adalah emas, perak, berbagai macam piring dari emas dan perak, kain damas, dan barang-barang pecah belah dari porselen. Perkembangan Tuban tersebut seiring dengan kedatangan dan rangkaian penaklukan yang dilakukan oleh Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris.

Sementara itu, kerajaan Demak sedang dalam puncak kejayaan ketika Portugis datang di perairan Nusantara, meskipun hal itu tidak berlangsung lama. Menurut Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental, kakek raja Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang budak belian dari Gresik yang telah mengabdi di Demak saat masih menjadi vasal Majapahit. Dalam karirnya dia diangkat menjadi capitan dan dipercaya memimpin ekspedisi melawan Cirebon, sehingga dapat berhasil pada tahun 1470.13

Secara geografis, Demak memiliki letak yang sangat menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada waktu itu Kerajaan Demak merupakan kerajaan maritim yaitu sebuah kerajaan yang perekonomiannya lebih didasarkan atas sektor perdagangan dan pelayaran. Berdsarkan geo-morfologi bahwa pada abad XV kota                                                                                                                          13 De Graaf & Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 38-42.

Page 12: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

12

Demak berada di tepi pantai dan memiliki pelabuhan yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara. Menurut cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya di seberang utara, yaitu Jepara sebuah daerah yang pada waktu itu masih terpisah oleh sebuah selat dengan Demak. Sementera itu menurut Tome Pires penguasa kedua di Demak adalah Pate Rodim Sr. Dia mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung.

Kekuatan Demak terpenting adalah kota pelabuhan Jepara, yang merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa dan sekaligus juga pemasok beras yang utama ke Malaka. Pada masa Trenggana, dia berusaha memimpin suatu koalisi Islam yang mungkin menghancurkan kerajaan Hindu-Budha utama terakhir yang berpusat di Kediri. Ia memang tidak merebut suatu kerajaan Jawa yang mapan, tetapi sekembali di pusat kekuasaannya di Demak Sultan Trenggana terus-menerus menyerang sejumlah musuh yang masih memeluk agama Hindu. Gelar Sultan yang menurut tradisi disandangnya sejak tahun 1524 dengan hak (otorisasi) yang di bawa Sunan Gunung Jati dari Mekkah merupakan indikasi bahwa Demak adalah sebuah kerajaan berbentuk baru di Jawa. Gambaran itu menunjukkan bahwa Demak benar-benar merupakan kekuatan yang signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513, Demak menyerang Malaka yang pada waktu itu dikuasai oleh Portugis dengan menggunakan gabungan seluruh angkatan laut bandar-bandar Jawa, dan Sumatra namun berakhir dengan hancurnya angkatan laut dari Jawa.

Menurut kesaksian Tome Pires, pelabuhan Demak banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang Persia, Arab, Gujarat, Melayu, dan sebagainya. Dengan kegiatan dagangnya mereka menjadi kelompok sosial yang kaya. Mereka membangun masjid dan membangun solidaritas keislaman serta melakukan perkawinan campur dengan masyarakat setempat. Sebagai bandar utama di Nusantara, jangkauan jaringan pelayaran Demak mencakup hampir seluruh wilayah Nusantara dari Maluku hingga Malaka. Bahkan dengan datangnya pedagang asing sebagaimana yang disebutkan di atas berarti jaringan perdagangan Demak juga telah mencapai kawasan di sebelah barat Selat Malaka hingga dunia Arab.

Sejalan dengan perpindahan pusat kekuasaan dari kota Demak ke Pajang dan proses perubahan ekologi di ‘Selat Muria’ yang menempatkan Demak tidak lagi sebagai kota pelabuhan, maka kehidupan maritim Demak menjadi mundur. Fungsi Demak digantikan oleh Jepara hingga VOC mengalihkan kegiatan dagang dari Jepara ke Semarang pada abad XVII. Akibat dari situasi ini, maka pelabuhan laut kota Demak menjadi kurang berarti pada akhir abad ke-16. Namun sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain daerah Demak masih lama mempunyai kedudukan penting dalam perekonomian kerajaan Mataram.

Di Banten, perkembangan perniagaan kaum Muslim memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam proses formasi kekuatan politik Islam. Perpaduan antara perkembangan perdagangan dan kekuatan politik akhirnya menempatkan kerajaan sebagai sebuah imporium yang besar di kawasan Selat Sunda yang mendasarkan perekonomiannya pada pelayaran dan perdagangan.

Banten memiliki posisi geografis yang sangat strategis sebagai sebuah kota pelabuhan. Kota Banten yang terletak di ujung bagian Barat pulau Jawa dan berada di pintu Selat Sunda ini dapat dikatakan berfungsi sebagai pintu gerbang barat dari kepulauan Nusantara. Penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dapat dikatakan sebagai blessing in disguise bagi Banten. Sejak saat itu, para pedangang Muslim yang sebelumnya biasa berdagang di Malaka memindahkan pusat kegiatan mereka ke Banten yang pada akhirnya menyebabkan Banten berkembang menjadi

Page 13: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

13

pelabuhan transito komoditi-komoditi yang diperdagangkan oleh para pedagang Islam. Tome Pires juga pernah datang ke Banten antara tahun 1512-1513. Dalam catatannya, Tome Pires menggambarkan Banten sebagai suatu pelabuhan yang ramai. Banyak perahu jung Cina yang berlabuh di tempat tersebut. Disebutkannya komoditi yang diperdagangkan di Banten adalah beras, bahan makanan dan lada. Hubungan antara Banten dengan Demak memang sangat erat. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan putranya dapat berhasil secara baik karena dibantu oleh kekuatan militer dari Demak. Dalam pertengahan abad ke-16 dapat dikatakan bahwa Demak telah dapat menggalang kekuasaan politik yang membentang di sepanjang pantai Jawa bagian Barat yaitu dari Cirebon, Sunda Kelapa hingga ke Banten.

Perdagangan lada membuat Banten menjadi kota pelabuhan yang penting. Kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa singgah dan berdagang di Banten. Dalam melaksanakan perdagangan, Banten menerapkan sistem perdagangan terbuka. Artinya semua pedagang dari berbagai bangsa dibebaskan untuk berdagang di Banten. Masa kejayaan Banten sebagai pelabuhan pusat perdagangan di bagian Barat Nusantara berlangsung dari pertengahan abad ke-16 hingga menjelang akhir abad ke-17. Puncak kurun niaga yang disebut oleh sejarawan Anthony Reid berlangsung antara tahun 1570 hingga 1630 rupanya bertepatan dengan masa kejayaan Banten sebagai kota palabuhan.

Selain komoditi utama berupa lada, komoditi rempah-rempah lainnya seperti cengkeh dari Maluku Utara maupun pala dari Banda juga diperdagangkan di Banten. Tidak hanya rempah-rempah yang diperdagangkan di Banten namun juga komoditi-komoditi lainnya seperti beras, keramik dan tekstil. Berbagai barang dagangan tersebut di bawa ke Banten oleh para pedagang yang datang dari berbagai penjuru dunia. Pedagang dari berbagai bangsa bertemu dan saling melakukan kontak budaya. Dalam masa kejayaannya Banten dapat dikatakan sebagai pelabuhan dagang terbesar di Nusantara. Di Banten ditemukan para pedagang dari berbagai bangsa seperti Bugis, Jawa, Melayu, Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Bengali, Gujarat, Malabar dan Abesenia.

Semaraknya kegiatan perdagangan di Banten telah menarik kedatangan para penduduk dari berbagai suku bangsa untuk menetap di sana. Sebagaimana lazimnya kota-kota pelabuhan di Nusantara pada saat itu, di Banten juga terdapat perkampungan orang-orang Cina yang disebut dengan Pecinan. Pada abad XVII di kota Banten terdapat komunitas etnis lainnya seperti orang-orang Jawa, Makassar, Melayu, Bengal, Arab, Gujarat dan sebagainya. Bahkan orang-orang Eropa juga turut bermukim dan membuka kantor dagang di Banten. Di kota pelabuhan tersebut terdapat kantor dagang milik orang Portugis, Perancis, Denmark, Inggris dan kantor dagang milik orang Belanda.

Sebagai penunjang bagi keberhasilan dari kegiatan perdagangan internasional, Banten juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai bangsa. Pada tahun 1681 tercatat bahwa Banten memiliki seorang duta besar yang ditempatkan di kota London, Inggris. Keberadaan duta besar Banten di Inggris itu mencerminkan bahwa kesulatanan Banten pada abad ke-17 mendapat pengakuan internasional dan dipandang sejajar dengan negara-negara besar berdaulat lainnya.

Sementara itu proses Islamisasi dan formasi politk Islam di Cirebon juga tidak banyak berbeda dengan Demak dan Banten. Hanya saja sumber-sumber tradisional mengesankan adanya transfer kekuasaan dari Hindu ke Islam secara elegan dalam sebuah proses kontinuitas. Sumber-sumber tradisional setempat menyebutkan bahwa pendiri dinasti Cirebon yaitu Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bukanlah orang dari Pasai tetapi dia adalah cucu raja Siliwangi dari Pajajaran dan menantu

Page 14: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

14

Walangsungsang, seorang penguasa pelabuhan Muara Jati. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah inilah Cirebon yang sudah Islam memutuskan hubungan dengan kerajaan Galuh yang masih Hindu dengan di bawah perlindungan kerajaan Demak. Dengan begitu berdirilah kerajaan Islam Cirebon yang mendasarkan perekonomiannya pada aktivitas perniagaan. Baru setelah periode itu, perluasan kekuasaan kerajaan Cirebon dilakukan. Pada tahun 1528 kerajaan Galuh bisa ditaklukkan demikian juga daerah Kuningan pada tahun 1530. Sementara itu daerah Babadan, Luragung, Indramayu dan Krawang menerima daulah Islamiyah dengan cara damai.

Perkembangan pelabuhan Cirebon didukung oleh beberapa faktor antara lain geografis dan kekayaan alam di daerah pedalaman. Hal ini bisa dijumpai pada kesaksian Tome Pires: ‘This Cherimon has a good port… It has a great deal of rice and abundant foodstuffs. This place has better wood for making junks than anywhere else in Java’.

Perkembangan pelabuhan Cirebon pada masa Islam didorong oleh beberapa faktor antara lain: pertama, Cirebon bertindak sebagai penyedia barang kebutuhan bekal perjalanan kapal. Di samping itu Cirebon juga mengekspor beras ke Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis. Kedua, Cirebon telah menjadi tempat bermukimnya para pedagang besar. Setelah Portugis menguasai Malaka, beberapa pedagang mulai berpindah ke pelabuhan Islam lainnya termasuk Cirebon. Tome Pires waktu itu memperkirakan bahwa penduduk Cirebon sekitar 1000 orang. Di kota pelabuhan ini tinggal kurang lebih 7 orang pedagang besar, satu di antaranya adalah Pate Quedir seorang bangsawan pedagang yang pernah menjadi kepala perkampungan Jawa di Malaka yang diusir oleh tentara Portugis karena dituduh berkomplot dengan tentara Demak yang menyerbu Malaka.

Sebelum dianeksasi oleh VOC, pelabuhan Cirebon memiliki peranan sebagai pusat perdagangan yang cukup besar. Pelabuhan ini memiliki hubungan dagang dengan Batavia. Arsip-arsip Belanda menginformasikan dengan cukup detail mengenai aktivitas pelabuhan Cirebon dengan Batavia. Barang-barang yang dibongkat di Batavia yang berasal dari Cirebon adalah beras, padi, lada, kayu jati, gula merah, tembakau, minyak kelapa, ikan, garam, bawang merah, bawang putih kelapa, buah pinang, kapas, sapi, kambing, kulit kerbau, kulit rusa, tembikar, rotan, dan sebagainya. Sudah tentu komoditi ini tidak semuanya diproduksi oleh Cirebon tetapi juga berasal dari pelabuhan di sekitarnya seperti Pekalongan dan Tegal dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur dan Madura serta dari Palembang. Sebaliknya dari pelabuhan-pelabuhan lain, khususnya dari Batavia, pelabuhan Cirebon mengimpor pakaian, candu, arak, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi tua, panci besi, perunggu Jepang dan sebagainya.

Pada tahun 1681, Mataram menyerahkan Cirebon kepada VOC. Dengan tampilnya penguasa baru ini, perdagangan pribumi mendapatkan pengawasan dan tekanan yang ketat. Dalam perjanjian tahun 1681 itu disebutkan bahwa Kumpeni mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan monopoli ekspor untuk komoditi lada, kayu, gula, beras, dan produk apapun yang dikehendaki Kumpeni yang semuanya itu bebas bea ekspor dan impor yang sebelumnya pernah dikenakan sebesar 2% dari nilai barang. Perjanjian itu juga mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari VOC dan sangat dibatasi. Tidak semua kapal boleh masuk, kecuali atas ijin Kumpeni. Tanaman lada yang diusahakan di wilayah Cirebon diatur oleh Kumpeni dan Kumpeni pula yang menetapkan harganya.

Makassar memberikan sebuah contoh kasus bagaimana penguasa tradisional mampu merespon secara cerdas terhadap perkembangan dan peluang bisnis di bidang pelayaran dan perdagangan semasa awal berkembangnya Islam di kawasan ini. Sebetulnya hingga akhir abad XV Makassar belum merupakan pusat perdagangan di

Page 15: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

15

Indonesia Timur.14 Pelabuhan ini hanya merupakan rendezvous bagi pedagang Jawa yang sedang dalam perjalanan lalu-lalang ke kepulauan Maluku dan sekitarnya untuk mencari rempah-rempah. Perubahan besar segera terjadi pada abad XVI ketika terjadi eksodus pedagang muslim dari Malaka yang direbut oleh Portugis pada tahun 1511 menuju ke Makassar. Menetapnya para pedagang muslim di Makassar merupakan fondasi berkembangnya kekuatan politik dan ekonomi maritim di Makassar.15

Kerajaan kecil Goa dan Tallo pada akhirnya dapat menangkap peluang ini dengan mengorganisir mereka dalam rangka untuk menjadikan Makassar sebagai pusat pengumpulan dan distribusi rempah-rempah. Untuk membuat para pendatang betah tinggal di Makassar, mereka mendapatkan jaminan tertulis atas keselamatan dan keamanan dari penguasa. Tidak seperti sebelumnya yang hanya berpangku tangan menunggu pedagang yang datang, kerajaan Goa-Tallo juga mengirimkan orang-orangnya ke Maluku untuk melakukan perdagangan dan barter dengan produsen rempah-rempah secara langsung.16

Jaringan perdagangan yang demikian ini jelas merupakan ancaman bagi Portugis yang memiliki ambisi untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah. Namun demikian pada abad XVI Portugis kurang memiliki kekuatan untuk memaksakan monopoli karena mereka kekurangan kapal dan angkatan laut untuk melakukan patroli di perairan yang luas di kawasan Nusantara khususnya di perairan sekitar Maluku. Bahkan pada tahun 1641 Malaka yang dikuasai Portugis berhasil direbut oleh Belanda. Sangat menarik bahwa sekali lagi Makassar bertindak sebagai penampung para pedagang pengungsi sebagaimana ketika Malaka direbut oleh Portugis tahun 1511. Pada saat itu pedagang Portugis lah yang mengungsi ke Makassar. Tidak kurang dari 3000 orang pengungsi Portugis kemudian bertempat tinggal di pelabuhan Makassar. Demikian juga orang-orang India banyak yang bermukim di sini dan menjadi salah satu kelompok ‘moneylender’ dan pedagang yang utama di kota ini. Beberapa kerajaan yang berdaulat di Asia juga mengirimkan perwakilan mereka ke Makassar seperti dari Aceh dan Golconda (India) untuk membantu warga mereka yang berdagang di kota ini. Dengan cepat Makassar tumbuh sebagai kota dagang yang kaya yang didasarkan pada kebijakan terbuka untuk pedagang asing sebagaimana kerajaan Malaka pada dua abad sebelumnya. Para pedagang Melayu, Portugis, pedagang lokal, pedagang Denmark, dan Inggris, semuanya terlibat aktif dalam perdagangan tekstil India dengan rempah-rempah Maluku yang harus berhadapan dengan sistem monopoli VOC.17

Dasar-dasar kemajuan ekonomi Makassar pada waktu itu tidak hanya terletak pada posisinya yang strategis sebagai intrepôt perdagangan yang menghubungkan kawasan dagang Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Banda, dan jaringan                                                                                                                          14 Hall mencatat bahwa sebelum datangnya bangsa-bangsa Eropa, Makassar belum merupakan pusat jaringan perdagangan. Pada waktu itu ada beberapa jaringan dagang atau zona perdagangan di Asia Tenggara dan sekitarnya yaitu: Jaringan Teluk Benggala (mencakup pesisir India Selatan, Srilangka, Birma, pesisir utara dan barat Sumatra), Jaringan Selat Malaka, Jaringan Teluk Tonkin (mencakup: pantai timur Semenanjung Malaya, Thailand, dan Vietnam Selatan), Jaringan Laut Zulu (meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao dan sekitarnya), dan Jaringan Laut Jawa (yang mencakup Jawa, Kalimantan, Sumatra Selatan, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selaran, bahkan hingga Maluku. Lihat Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia (Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), hlm. 24. 15 Heather Sutherland, ‘Eastern Emporium and Company Town: Trade and Society in Eighteenth-century Makassar’, dalam: Frank Broeze, Brides of the Sea: Port Cities of Asia from the 16th - 20th Century (Kensington: New South Wales University Press, 1989), hlm. 100. 16 Philip D. Curtin, Cross-Cultural Trade in World History (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 160. 17 Curtin, Cross-Cultural Trade, hlm. 160.

Page 16: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

16

perdagangan lokal lainnya serta berhubungan erat dengan perdagangan jarak jauh dengan Cina dan India bahkan Eropa, tetapi juga sebagai produsen komoditi perdagangan penting seperti beras. Jangkauan jaringan perdagangannya telah mencapai hampir seluruh kawasan Nusantara, Australia Utara, kepulauan Filipina, Makao, Cina, dan beberapa kota pelabuhan di Semenanjung Malaya.18

Sementara itu, Banjarmasin mulai muncul dalam panggung sejarah diperkirakan baru pada awal abad XV. Ada bukti bahwa sekitar tahun 1400 terdapat pemukiman masyarakat penganut Hindu di kawasan ini. Banjarmasin memiliki hubungan dengan kerajaan Majapahit di Jawa. Pada waktu itu Banjarmasin mengakui kekuasaan Majapahit yang dieratkan dengan hubungan perkawinan antara penguasa Banjarmasin dan seoramg putri dari Majapahit. Pada awal abad XVI masuklah pengaruh Islam di Banjarmasin yang disebarkan oleh para mubaligh dari Kesultanan Demak.

Pada awal abad XVI mulailah babak baru dalam sejarah Banjarmasin dengan datangnya bangsa Belanda di Kesultanan ini. Pada tahun 1606 bangsa Belanda untuk pertama kali datang di Banjarmasin dan menyampaikan keinginannya menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Banjarmasin. Orang Belanda membeli lada, bijih emas, rotan, dan berbagai hasil hutan. Pada awalnya perdagangan berjalan dengan normal. Namun demikian pada akhirnya Belanda berhasil melakukan infiltrasi ke dalam Kesultanan Banjarmasin setelah timbul perpecahan-perpecahan internal. Setelah melibatkan diri dalam perang Banjarmasin (1859 - 1862) melawan Pangeran Antasari, Belanda akhirnya berhasil menguasai Banjarmasin.

Sementara itu, Aceh merupakan kerajaan maritim yang tampaknya tidak memiliki basis historis sebagai kekuatan politik dan kultural pra-Islam yang kuat. Berdasarkan sumber searah lokal, yaitu kitab Adat Aceh dikisahkan bahwa pada tahu 601 Hijriyah Aceh di-Islamkan oleh seseorang yang bernama Sultan Jauhansyah yang datang dari “negeri di atas angin”. Bersamaan dengan proses islamisasi tersebut diangkatlah seorang sultan yang pertama dengan gelar Sultan Johan Syah. Pada sekitar awal abad ke-16 kesultanan Aceh yang masih kecil berhasil melepaskan diri dari pengaruh negara tetangganya, Pedir. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya kesulatanan Aceh berkembang menjadi semakin besar setelah berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam kecil yang ada di sekitarnya.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, para pedagang Islam yang biasa mengunjungi Malaka untuk berdagang mulai menghindari kota pelabuhan tersebut. Salah satu pelabuhan terdekat yang paling potensial untuk dijadikan pelabuhan pengganti sebagai tempat tujuan berdagang di Selat Malaka adalah Aceh. Sejak saat itu Aceh menjadi bandar dagang utama bagi para pedagang Islam yang membawa cengkeh dan pala dari Maluku dan Banda serta Lada dari Sumatra Selatan dan Aceh sendiri ke laut Merah di Asia Barat. Dari Laut Merah barang-barang dagangan tersebut diangkut menuju Eropa. Di Aceh terdapat beraneka ragam hasil alam yang diperdagangkan seperti minyak tanah, belerang, kapur, kemenyan, dan emas. Komoditi yang cukup diandalkan selain lada adalah sutera.

Para pedagang yang telah sejak lama berdagang di Aceh adalah para pedagang dari Arab dan India. Mereka senang berdagang di Aceh karena kesultanan ini menganut agama Islam, sama dengan agama yang mereka yakini. Para pedagang India membawa komoditi seperti tembikar, besi, baja, kapas dan intan. Di Aceh, mereka membeli kemenyan, kapur dari Barus, lada dan porselen dari Cina. Perahu-perahu dagang Cina (jung) juga banyak terdapat di Aceh. Selain memperdagangkan porselen,

                                                                                                                         18 Edward L. Poelinggomang, “Proteksi dan Perdagangan Bebas: Kajian tentang Perdagangan Makassar pada Abad ke-19” (Disertasi Free University of Amsterdam, 1991), hlm. 37-38.

Page 17: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

17

orang-orang Cina memperkenalkan cara budidaya sutera kepada orang Aceh. Selain mereka terdapat pula para pedagang dari Turki, Siam, Jawa dan orang-orang Eropa yang terdiri dari orang Portugis, Perancis dan Inggris.

Ketika orang Inggris pertama kali mendarat di Aceh, mereka mendapat kesan bahwa Aceh adalah sebuah kota yang besar. Mengenai seberapa banyak jumlah penduduk Aceh kiranya sukar untuk diperkirakan. Namun demikian menurut kesaksian orang Perancis yang mengunjungi Aceh dinyatakan bahwa sultan Iskandar Muda dapat mengerahkan sekitar 40.000 pasukan. Sebagaimana kota-kota pelabuhan lainnya di Asia Tenggara pemukiman penduduk di kota Aceh dikelompokkan menurut latar belakang etnis dari penghuninya. Oleh karena itu di Aceh terdapat nama-nama kampung seperti; kampung Portugis, kampung Gujarat, kampung Arab, kampung Bengali, kampung Cina dan kampung Pegu.

Pada awal abad ke-17 Sultan Aceh pernah mengirim utusan ke negeri Belanda. Perutusan itu merupakan balasan atas misi persahabatan yang dikirim oleh Prins Maurits dari Belanda ke Aceh. Delegasi yang dikirim Aceh ke Belanda terdiri dari Abdul Hamid sebagai ketua dengan anggota delegasi Laksamana Laut Sri Muhammad dan Mir Hasan. Pada tanggal 20 Juli 1602 perutusan Aceh tiba di Zeeland negeri Belanda. Pengiriman misi diplomasi tersebut merupakan perutusan pertama dari negara Asia yang memberi pengakuan kepada Belanda ketika mereka sedang terlibat perang 80 tahun (1568-1648) melawan Spayol dan Portugis. Dalam masa kunjungan di negeri Belanda ketua delegasi Abdul Hamid yang telah berusia 71 tahun wafat dan kemudian dikebumikan di gereja Saint Peter di Middelburg.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, daerah kekuasaan Aceh meluas meliputi pelabuhan-pelabuhan di Pesisir Barat maupun Timur Sumatera seperti Pasai, Pedir, Deli, Aru, Pasaman, Tiku dan Pariaman. Di luar pulau Sumatera kekuasaan Aceh bahkan mencapai semenanjung Malaka yang meliputi wilayah Johor, Pahang, Kedah dan Perak. Sultan Iskandar Muda sangat menyadari bahwa daerah Sumatera barat sangat penting bagi perdagangan lada dan emas. Untuk dapat mengendalikan jalannya kegitan perdagangan di Sumatera Barat Iskandar Muda mengirimkan para panglima Aceh ke daerah-daerah penghasil emas dan lada dan pelabuhan-pelabuhan di mana barang-barang tersebut dikirimkan. Para pedagang asing tidak dijinkan untuk berdagang secara langsung ke daerah-daerah penghasil lada dan emas. Mereka hanya dijinkan untuk memperdagangkan komoditi tersebut di pelabuhan Aceh di bawah pengawasan langsung dari para pegawai sultan.

Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda mulai menurun ketika pasukan yang dikirimnya untuk merebut Malaka dari tangan Portugis menderita kekalahan. Sebagai upaya untuk mendapat dukungan dari kekuatan lain, ia kemudian menjalin kerjasama dengan orang-orang Belanda dengan memberi mereka ijin untuk selama 4 tahun berdagang di seluruh wilayah Aceh dengan tanpa dikenakan pajak. Supremasi politik maupun ekonomi Aceh di kawasan Selat Malaka semakin merosot ketika pada tahun 1641 orang-orang Belanda dapat merebut Malaka.

Ternate muncul dalam pangung sejarah sebagai salah satu pelabuhan dagang di kepulauan Maluku Utara berkaitan erat dengan interaksi yang semakin intensif diantara kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara sebagai akibat dari munculnya jaringan emporium di kawasan tersebut. Pemicu dari maraknya kegiatan perdagangan di Maluku Utara adalah ekspedisi kapal-kapal Cina yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dari tahun 1371 hingga 1435 Masehi. Meskipun ekspedisi tersebut tidak mencapai daerah Maluku Utara, namun mulai saat itu nampaknya orang-orang Ternate mulai menyadari nilai ekonomi dari komoditi cengkeh yang mereka hasilkan. Kata cengkeh sendiri berasal dari bahasa Mandarin Zhi Jia atau dalam dialek Kanton Zhen Ga yang artinya

Page 18: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

18

adalah paku. Kata cengkeh mulai umum digunakan dalam bahasa Melayu sejak abad ke-16.

Ternate merupakan salah sebuah pulau yang termasuk wilayah Maluku Utara. Ternate dan wilayah maluku pada umumnya memang merupakan wilayah penghasil utama dari komoditi cengkeh. Sebagai salah satu daerah utama penghasil cengkeh Ternate sepanjang abad ke-16 hinggga 18 menjadi ajang pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi yang pada akhirnya sering berujung pada pertarungan politik maupun militer.

Pada abad ke-15 ada empat pusat perdagangan cengkeh di Maluku Utara yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Halmahera). Pulau-pulau lainnya yang mengahasilkan cengkeh lambat laun terkait dalam jaringan perdagangan melalui salah satu di antara keempat pusat perdagangan tersebut. Munculnya empat buah pusat perdagangan berkait erat dengan struktur tradisional masyarakat Maluku Utara. Sistem empat penguasa di Maluku Utara dilembagakan ke dalam suatu konsep tradisional yang disebut `Maluku Kie Raha` atau Maluku Empat Gunung. Konsep ini mengacu pada adanya hubungan federatif yang damai di antara empat kekuatan politik utama di Maluku Utara demi kepentingan perdagangan cengkeh.

Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16, Ternate melakukan perdagangan cengkeh dengan para pedagang yang datang dari Jawa, Melayu, Makassar, Bugis, dan Banten. Bangsa Eropa yang pertama kali tiba di Ternate ialah orang-orang Portugis. Mereka tiba pertama kali pada tahun 1512 di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Pada tahun 1570 pecah pertempuran antara Ternate dengan Portugis yang menyebabkan Sulatan ternate Hairun terbunuh. Pengganti Sultan Kahirun, Sultan Baabullah berhasil mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1577.

Dalam masa pemerintahan Sultan Baabullah Ternate mencapai masa kejayaanya. Armada perahu Ternate yang terkenal dengan sebutan kora-kora melakukan ekspedisi militer untuk memperluas wilayah kerajaan. Daerah yang dapat dikuasai Ternate terbentang dari Maluku Utara sampai pulau Buru, Seram, Sulawesi Utara dan beberapa tempat di sekitar Teluk Tomini. Wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan diwajibkan untuk membayar pajak tahunan kepada Ternate dan penduduknya diwajibkan untuk membantu Ternate jika sewaktu-waktu terjadi peperangan.

Pada tanggal 22 Mei 1599 dua buah kapal Belanda (Amsterdam dan Utrech) dengan 560 awak kapal di bawah pimpinan kapten Wybrant van Warwyk untuk pertama kali tiba di Ternate. Kunjungan ini disambut dengan hangat oleh pihak Ternate. Sultan bersama 32 armada kora-kora yang mengangkut para pendayung dan para penyanyi mengitari kapal-kapal Belanda tersebut sambil melantunkan lagu-lagu Ternate dan menari. Setelah terjadi penyambutan yang hangat, urusan transaksi dagang menjadi lancar. Kunjungan orang-orang Belanda berikutnya ke Ternate di bawah pimpinan pimpinan Laksamana Jacob van Neck berlangsung pula dengan mulus.

Cengkeraman Belanda melalui perusahaan dagang VOC semakin menguat di Ternate, setelah pada tanggal 23 Februari 1605 armada Belanda di bawah pimpinan laksamana Steven van der Hagen berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Selanjutnya Steven van der hagen dan para penggantinya mendapat perintah dari markas besar VOC di Amsterdam untuk menduduki seluruh Maluku dan mengusai perdagangan cengkeh. Berdasarkan perintah tersebut, maka dimulailah berbagai upaya VOC di Maluku untuk menerapkan sistem monopoli terhadap komoditi cengkeh. Konflik dan Perubahan Peta Kekuasaan Tradisi kebaharian di Nusantara memandang laut sebagai area yang netral. Hingga datangnya bangsa-bangsa Barat, para penguasa lokal di Indonesia cenderung telah

Page 19: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

19

menerapkan kebijakan laut bebas yang dalam istilah Barat disebut sebagai mare liberum.19 Namun demikian biasanya mereka memiliki monopoli atas perdagangan komoditi tertentu. Para penguasa memanfaatkan kekuasaan dan fasilitasnya untuk ikut ambil bagian penting dalam perdagangan. Oleh karena itu ketika Bangsa Barat datang menghadapi kesulitan dalam memperoleh barang dagangan yang dibutuhkan jika tanpa harus berhubungan dengan penguasa setempat sebab mereka memonopoli penjualan. Apalagi jika permintaan banyak maka para pemegang monopoli ini seenaknya menaikkan harga barang sehingga para pedagang justru mengalami kerugian atau hanya mendapatkan untung yang kecil.

Dalam menghadapi sistem perdagangan yang seperti ini bangsa-bangsa Eropa berpikir untuk menghadapi monopoli penjualan dengan monopoli pembelian. Artinya bangsa-bangsa Barat ingin menjadi satu-satunya pembeli produk rempah-rempah. Dengan demikian para raja dan bangsawan serta pedagang lokal harus menjualnya kepada bangsa-bangsa Barat. Ini bartarti bahwa monopoli penjualan yang dimiliki oleh para penguasa dan pedagang lokal tidak ada artinya dalam menghadapi monopoli penjualan orang-orang Eropa yang ditegakkan dengan moncong meriam. Jika monopoli pembelian ini tidak ditegakkan maka pasokan rempah-rempah di pasar akan melimpah dan akibatnya harga komoditas ini di Eropa juga akan anjlok, sementara itu harga komoditas di pasaran produsen menjadi naik karena permintaan yang meningkat. Oleh karena itu Belanda dalam hal ini sangat antusias untuk menegakkan monopoli pembelian di daerah-daerah produsen meskipun harus dengan cara perang baik melawan bangsa Barat lainnya maupun dengan penguasa dan pedagang lokal. Bahkan ketika rakyat terus berproduksi dan menjualnya kepada pedagang asing lainnya tanpa sepengetahuannya, Bangsa Belanda melakukan operasi pembersihan terhadap tanaman rempah-rempah untuk menstabilkan persediaan dan harga di pasaran yang terkenal dengan Pelayaran Hongi. Jadi peperangan laut pada periode ini merupakan perang memperebutkan monopoli. Tanpa monopoli mereka akan gulung tikar karena kebasan perdagangan belum dijamin oleh hukum internasional. Perdagangan bisa menghalalkan segala cara. Juga masih sulit dibedakan antara perompakan dengan perdagangan.

Dalam berbagai konflik VOC memperoleh kemenangan yang gemilang di berbagai daerah di Nusantara. Ada beberapa kunci kemenangan VOC antara lain: penerapan politik devide et impera, memecah belah dan menguasainya. Taktik ini memang tidak selalu disengaja, tetapi kadang-kadang hanya memanfaatkan dan memperbesar konflik yang telah ada sebelumnya. Jika kelompok-kelompok masyarakat lokal bersatu maka akan sulit bagi VOC untuk menguasainya.

                                                                                                                         19 Contoh menarik dari persoalan ini dapat dilihat dari kasus hubungan yang penuh ketegangan antara Makassar dengan VOC pada awal abad ke-17. Pada tahun 1616, VOC di Ambon mengirim delegasi ke Makassar yang intinya melarang orang Makassar untuk melakukan pelayaran dan perdagangan dengan kepulauan Maluku. Penguasa Makassar menentang larangan ini. Menurut kepercayaan mereka Tuhan telah membagi bumi secara adil kepada semua bangsa, tetapi laut diberikan kepada semua manusia tanpa membedakan kebangsaan mereka. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima oleh orang Makassar jika Belanda melarangnya untuk berlayar ke Maluku yang sudah dilakukannya sejak berabad-abad sebelumnya. Pelarangan VOC itu berarti pengibarkan bendera perang. Lihat John Villiers, ‘Makassar: The Rise and Fall od an East Indonesian Maritime Trading State, 1512-1669’, dalam: J. Kathirithamby-Wells & John Villiers, The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise (Singapore: Singapore University Press), hlm. 156. Setelah VOC dapat menundukkan Makassar dengan kekerasan, perdagangan Makassar dikontrol dengan ketat oleh VOC. Lihat Leonard Y. Andaya, The Heritage of Arung palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981), hlm. 100-101.

Page 20: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

20

Meskipun intervensi kekuatan Barat terhadap kekuatan lokal sangat kompleks, namun hal ini sesungguhnya tidak mengubah pola perdagangan yang paling mendasar. Penaklukan Malaka tahun 1511 memunculkan pusat-pusat perdagangan orang Islam seperti Aceh, Johore, Brunei, Makassar, dan sebagainya. Pada waktu yang sama, militansi Portugis dalam keagamaan juga mendorong berkembangnya beberapa emporium di sepanjang pantai utara Jawa seperti Demak, Banten, Cirebon, Surabaya, dan sebagainya menyusul keruntuhan kerajaan Majapahit di pedalaman Jawa. Harus dicatat bahwa kehadiran Portugis sebagai pesaing utama para pedagang Islam di Asia Tenggara secara tidak langsung mendorong bangkitnya kembali orang-orang Jawa setelah runtuhnya Majapahit pada akhir abad XV. Pertumbuhan ekonomi kerajaan-kerajaan pantai di sepanjang pantai utara Jawa dipandang dengan curiga bukan hanya oleh Portugis di Malaka tetapi juga oleh Mataram, yang mengaku dirinya pewaris Majapahit.

Mataram mulai melakukan ekspansi ke kawasan kota-kota pantai utara Jawa pada awal abad XVI dengan perkecualian Banten. Mataram menghancurkan hampir semua sumber ekonomi negara-negara pantai ini. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya eksodus pedagang ke berbagai pelabuhan di Luar Jawa seperti Makassar dan Banjarmasin. Dampak penghancuran ini sungguh luar biasa sehingga kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa sulit untuk bangkit kembali kecuali setelah produksi ekspor dari pedalaman berkembang sejalan dengan pelaksanaan Tanam Paksa. Semua kota dagang di pantai utara Jawa, kecuali Banten, sangat lemah ketika VOC mulai melakukan ekspansi ke kawasan ini pada abad XVII. Pada pertengahan abad XVII, Belanda telah mengontrol hampir semua kota pelabuhan di sebelah timur Batavia.

Di Banten, hanya dengan perang yang sengit dan penggunaan taktik devide et impera akhirnya Belanda dapat menguasai kerajaan ini pada tahun 1682. Pelabuhan dagang utama yang lain juga mengalami nasib yang tragis. Perang yang bengis menandai hancurnya supremasi kerajaan Makassar di Sulawesi Selatan yang ditaklukkan Belanda dalam tahun 1667. Pada tahun itu Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bongaya. Oleh Belanda, Makassar dipandang sebagai musuh yang paling berbahaya di Indonesia bagian timur dalam rangka menegakkan monopolinya. Beberapa dekade sebelumnya, VOC telah berhasil menancapkan monopolinya atas kepulauan Maluku seperti Ambon dan Ternate dalam tahun 1605 dan Banda pada tahun 1609. Malaka, pelabuhan utama di Semenanjung Malaya telah direbut Belanda dari tangan Portugis tahun 1641.

Pada awalnya sebetulnya VOC ingin menguasai Selat Malaka sebagai pintu gerbang tradisional dalam perdagangan antara Timur dan Barat, namun kekuatan Portugis yang sudah bercokol di situ merupakan penghambat bagi Belanda. Oleh karena itu VOC kemudian mencoba untuk menguasai mitra dagang Malaka dengan cara melemahkannya. Kepulauan Maluku yang merupakan produsen utama rempah-rempah dan selanjutnya kota-kota pelabuhan di Jawa dan pelabuhan lain di Luar Jawa menjadi target utama VOC untuk dikuasai. Hampir di setiap pusat perdagangan, VOC membangun benteng untuk melindungi kepentingan bisnis mereka. Sejalan dengan meningkatnya kompetisi di antara bangsa Barat dan antara Belanda dan penduduk lokal, VOC melangkah lebih lanjut untuk mengontrol jaringan perdagangan dan kawasan produsen di kepulauan Indonesia. Di samping itu, mereka juga berusaha untuk mengurangi peranan pelabuhan-pelabuhan dagang yang netral dengan menempatkannya sebagai bagian dari sistem jaringan dagang VOC. Dalam banyak kasus, Belanda berusaha untuk membuat perjanjian-perjanjian yang berfungsi untuk menjamin keuntungan monopoli mereka dalam produksi dan perdagangan. Peranan Aceh sebagai mitra dagang di Selat Malaka dalam abad XVII juga dirugikan oleh

Page 21: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

21

kehadiran VOC. Kekuatan laut Belanda pada akhirnya mendominasi rute perdagangan utama di kepulauan Indonesia. Belanda dapat mengontrol lalu-lintas pelayaran di Selat Malaka dan Selat Sunda sebab mereka telah menguasai Batavia (di kawasan Selat Sunda) dan Malaka (Selat Malaka) sebagai pintu-pintu gerbang utama ke Eropa dan ke kepulauan Maluku sebagai produsen utama rempah-rempah.

Belanda memaksakan monopoli kepada orang Eropa lain dan kepada masyarakat pribumi. Di samping itu VOC juga memaksakan hak pembelian kepada pedagang dan petani. Dengan demikian tidak ada pasar bebas di mana para pertani dapat menjual produk mereka dengan harga yang lebih tinggi. Dalam hal ini VOC merupakan kekuatan yang memaksa dalam menentukan harga penjualan produk lokal. VOC melarang penjualan rempah-rempah kepada orang Eropa lain dengan ancaman hukuman. Dengan cara begitu VOC telah mempermiskin daerah Luar Jawa, menghancurkan perdagangan masyarakat setempat tanpa membangkitkannya kembali. Rempah-rempah dan hasil-hasil hutan dari Luar Jawa dikirim ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa untuk selanjutnya dikapalkan ke Eropa oleh VOC. Jadi dengan demikian VOC melakukan pengaturan kembali jaringan perdagangan di Nusantara yang disesuaikan dengan jaringan pelayaran global.

Dalam kedudukannya yang seperti itu, Jawa berkembang sebagai pelabuhan entrepot untuk barang-barang impor yang akan dikirim ke Luar Jawa. Dalam hal perdagangan impor, VOC hanya membuka pelabuhan Batavia untuk kapal asing untuk membongkar barang-barang impor. Dengan ijin khusus, Semarang dan Surabaya juga bisa diakses untuk perdagangan impor dengan catatan mereka harus terlebih dulu mengurus semua dokumen yang berhubungan dengan impor. Mereka tidak diijinkan untuk berlabuh di pelabuhan lain. Dengan demikian hubungan dagang antara Jawa dan Luar Jawa tampaknya dipaksakan. Hancurnya pusat-pusat perdagangan pribumi memaksa para pedagang pribumi untuk memberikan respon terhadap situasi baru sehingga membuat perairan Nusantara semakin dinamis.

Jika pada awalnya VOC ingin menjadikan Batavia dan Malaka sebagai pusat jaringan perdagangan di Asia Tenggara, namun pada akhir abad XVII perhatiannya cenderung ditumpukan pada Jawa. Sejak saat itu Belanda banyak terlibat dalam konflik perebutan tahta di Jawa. Dengan mengeksploitasi konflik internal di kalangan bangsawan, Belanda dapat mengambil keuntungan untuk mengurangi kekuasaan penguasa pribumi sehingga tergantung kepada Belanda. Hingga perempatan terakhir abad XVIII secara bertahap Belanda telah berhasil menempatkan Mataram, Banten, dan dalam derajat tertentu Cirebon berada di bawah ‘perlindungan’ VOC, setelah sebagian besar wilayah kekuasaannya jatuh ke tangannya. Lebih dari pada itu, VOC juga telah menguasai daerah-daerah yang sangat produktif di Jawa sehingga mendapatkan setoran pajak dan berbagai penyerahan serta penguasaan beberapa daerah secara langsung. VOC juga mengintroduksikan tanaman baru yang laku keras di pasaran internasional seperti kopi. Oleh karena sangat manguntungkan maka, maka terdapat kecenderungan bahwa VOC menjadikan Jawa sebagai pusat kekuasaannya dengan mendasarkan pada eksploitasi sumber kekayaan dan kesuburan alam Jawa, sementara itu kekuasaan maritim terhadap daerah Luar Jawa (termasuk Malaka) menjadi menurun hingga hancurnya kongsi dagang ini pada tahun 1799. V. Catatan Akhir Dari uraian di atas dapat diambil beberapa poin penting:

1. Rempah-rempah merupakan komoditi yang sudah diperdagangkan jauh sebelum abad masehi. Masyarakat pada pusat-pusat kebudayaan kuno seperti Mesir, India, Yunani, dan Romawi sudah memanfaatkan rempah-rempah untuk

Page 22: Rempah-Rempah, Imperialisme,dan Perubahan Peta Kekuatan Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII

22

berbagai kepentingan baik untuk bumbu masak, pengawetan mumi, kesehatan, dan untuk mengatasi wabah penyakit. Di dunia Barat, rempah-rempah dipandang bukan hanya sekedar komoditi dagang, tetapi karena kemahalan dan kelangkaannya serta khasiatnya, rempah-rempah menjadi barang yang legendaris yang mendorong berbagai pihak untuk menguasainya.

2. Rempah-rempah dari kepulauan Nusantara diperkirakan baru memasuki pasar global seiring dengan perkembangan rute perdgangan laut antara India dan Cina pada awal abad Masehi.

3. Dinamika ekonomi, budaya dan politik di Eropa telah mendorong terjadinya penjelajahan samudera untuk dapat mengakses secara langsung produsen rempah-rempah di dunia Timur sehingga lahirlah imperialisme dan kolonialisme Barat di Asia.

4. Imperialisme dan kolonialisme Barat telah mengubah peta kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara yang diwarnai dengan semakin mundurnya peran kekuatan maritim pribumi dalam percaturan kebaharian di Nusantara sebagai akibat dominasi kekuatan Barat.