73
BAB I PENDAHULUAN Penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases) merupakan penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat beberapa tahun belakangan ini. Insiden penyakit ini termasuk banyak di negara-negara maju bahkan hampir menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama. Salah satu penyakit kronis tidak menular yang banyak diderita masyarakat adalah penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang luas dan beragam, yang mana tidak jarang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. 1,2 Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel pada suatu saat dan memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. 14 Di Amerika Serikat, data tahun 2010 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 10% dari jumlah penduduk pertahun atau sebanyak lebih dari 20 juta orang. Dimana hampir sebagian besar penyakit ini diderita oeh orang yang berumur diatas 65 tahun 4 . Di negara 1

RESPONSI DKD.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

DKD

Citation preview

Page 1: RESPONSI DKD.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases)

merupakan penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat beberapa tahun

belakangan ini. Insiden penyakit ini termasuk banyak di negara-negara maju bahkan

hampir menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah

kesehatan masyarakat utama. Salah satu penyakit kronis tidak menular yang banyak

diderita masyarakat adalah penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik adalah suatu

proses patofisiologi dengan etiologi yang luas dan beragam, yang mana tidak jarang

dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal.1,2 Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis

yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel pada suatu saat dan

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi

ginjal.14

Di Amerika Serikat, data tahun 2010 menyatakan insiden penyakit ginjal

kronik diperkirakan 10% dari jumlah penduduk pertahun atau sebanyak lebih dari 20

juta orang. Dimana hampir sebagian besar penyakit ini diderita oeh orang yang

berumur diatas 65 tahun4. Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden ini

diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun¹.

Pada penyakit ginjal kronik, fungsi ekskresi, dan sekresi ginjal menurun dan

menyebabkan berbagai gejala secara sistemik meliputi gangguan dalam beberapa

sistem organ seperti gangguan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa,

kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.18

Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis

dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit

ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak

1

Page 2: RESPONSI DKD.docx

bergantung pada etiologi, serta dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan

penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah

diagnosis dini dan pencegahan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik. Hal ini

dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat

dikendalikan. Diagnosis dini dan pencegahan efektif ini dapat diaplikasikan dengan

cara identifikasi dini pada pasien-pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap

penyakit ginjal kronik, pasien dengan gejala penyakit ginjal kronik, dan pasien yang

sedang menjalani pengobatan penyakit ginjal.5,6

Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat meliputi end stage renal disease

(ESRD), penyakit kardivaskuler, dan penyakit sistemik seperti anemia dan asidosis

metabolik. Menurut studi di Australia komplikasi ESRD angka kejadiannya cukup

banyak dan meningkat, pada tahun 2000-2007 tercatat peningkatan dari 9,2 ke 10.6

per 100.000 penduduk (Australia). End stage renal disease merupakan suatu keadaan

terminal ginjal yang sudah tidak mampu melakukan fungsi fisiologisnya dan

memerlukan hemodialisis atau transplantasi ginjal dalam manajemennya.6

Diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan pengobatan penyakit yang

mendasari sangatlah penting pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. Meskipun

penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan

penanganan yang baik akan dapat mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki

kualitas hidup penderitanya.5

2

Page 3: RESPONSI DKD.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit ginjal kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu

gangguan ginjal akibat proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam yang

terkait dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan yang progresif pada Laju

Filtrasi Glomerulus (LFG) serta diketahui memiliki keterkaitan dengan peningkatan

risiko penyakit kardiovaskular.1,2 The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative

(K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit ginjal

kronis sebagai kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi

ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan1:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan

pencitraan atau; LFG < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa

kerusakan ginjal1.

Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² lebih dari 3 bulan diklasifikasikan

sebagai penyakit ginjal kronis tanpa memperhatikan ada atau tidaknya suatu

kerusakan struktur ginjal, karena ginjal telah kehilangan lebih dari 50% fungsinya.

Pada beberapa kasus terdapat kondisi ginjal yang mengalami kerusakan tetapi laju

filtrasi glomerulusnya mengalami penurunan sehingga terdapat risiko tinggi untuk

terjadi hilangnya fungsi ginjal maupun penyakit kardiovaskuler lainnya. Berbagai

proses inflamasi maupun infeksi pada ginjal dapat menyebabkan kerusakan ginjal

hingga tahap penyakit ginjal kronis.

2.2 Etiologi

Penyakit ginjal kronik umumnya disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik difus dan

menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan

3

Page 4: RESPONSI DKD.docx

penyakit ginjal kronik. Penyakit di luar ginjal seperti nefropati obstruktif dapat

menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronik.

Etiologi gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan

negara lain. Tabel 1 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyaki ginjal kronik

di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun

2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indoneisa

seperti pada tabel 2.1

Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat,

intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak

diketahui.1

Tabel 1. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat1

Penyebab Insiden

Diabetes mellitus

- Tipe 1 (7%)

- Tipe 2 (37%)

44%

Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%

Glomerulonefritis 10%

Nefritis interstitial 4%

Kista dan penyakit bawaan lain 3%

Penyakit sistemik (misal lupus, dan vaskulitis) 2%

Neoplasma 2%

Tidak diketahui 4%

Penyakit lain 4%

Tabel 2. Penyebab Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia1

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis 46,39%

Diabetes mellitus 18,65%

Obstruksi dan infeksi 12,85%

4

Page 5: RESPONSI DKD.docx

Hipertensi 8,46%

Sebab lain 13,65%

2.3 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih

sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural

dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat

hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran

glomerulus. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif10.

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal

akan memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan

progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron,

sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß.

Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit

ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia1,3.

Pada stadium yang paling dini pada penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan

daya cadang ginjal (renal reserve), dalam hal ini basal LFG masih normal atau malah

meningkat3. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang

progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada

LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah

terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30%, mulai

terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang

dan penurunan berat badan. Pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala

dan tanda-tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan

metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya10.

Sindrom uremia juga bisa menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak

mampu mengekskresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat

5

Page 6: RESPONSI DKD.docx

tubulus ginjal tidak mampu mengekskresi ammonia (NH3-) dan mengabsorbsi

natriumbikarbonat (HCO3-)9.

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.

Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya

meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui

glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan kadar serum kalsium

menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathhormon dari

kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap

peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun yang

menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang9,10.

Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi

saluran napas, maupun infeksi saluran cerna, akan terjadi gangguan keseimbangan air

seperti hipovolemia atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain

natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang

lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement

therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien

dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat

(stage) penyakit dan berdasarkan diagnosis etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat

penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus

Kockcorft-Gault sebagai berikut1:

LFG ((ml /menit)/1,73m2 )= (140−umur )× berat badan72× kreatinin plasma(mg /dl)

∗¿

(*) pada perempuan dikalikan 0,85

6

Page 7: RESPONSI DKD.docx

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Derajat Penyakit1

Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal

atau ↑

> 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓

sedang

30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29

5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Diagnosis Etiologi1

Penyakit Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun,

infeksi sistemik, obat, neoplasia)

Penyakit vascular (penyakit pembuluh

darah besar, hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis

kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

2.5 Diagnosis

7

Page 8: RESPONSI DKD.docx

Pendekatan diagnosis yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang diharapkan

meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang

diagnosis rutin dan khusus. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat diketahui

gambaran klinik penyakit tersebut4.

Gambaran klinis pasien CKD meliputi:3,4,6

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi

traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus

Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain-lain.

b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,

pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.4

c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,

kalium, khlorida).

Gambaran laboratorium CKD meliputi1,3,4:

a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,

dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.

Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan

fungsi ginjal.

c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,

peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,

hiperfosfatemia, asidosis metabolik.

d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria.

Gambaran radiologis CKD meliputi1,3,6:

a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

8

Page 9: RESPONSI DKD.docx

b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa

melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh

toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi

d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,

korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,

kalsifikasi

e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.6 Penatalaksanaan

Tabel 5. Penatalaksanaan pasien CKD disesuaikan dengan derajat GFRnya4.

Derajat GFR (ml/min/1,73m2)

Rencana Tatalaksana

I ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan

fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular

II 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

III 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasiIV 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti

ginjalV <15 Terapi pengganti ginjal

A. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya fungsi ginjal secara

progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin uremia,

memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan

elektrolit1,2.

1) Restriksi protein

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin uremia. Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG < 60

ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu

9

Page 10: RESPONSI DKD.docx

dianjurkan. Pada penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan

adalah 0,6-0,8 gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai

biologi tinggi) dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari3. Sebab kelebihan protein

tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen

lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi

protein pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen

dan ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang

disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan

perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan

intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal3.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,

karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan

pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi,

jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan4. Pada pasien post HD,

untuk mempertahankan keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah

1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi.

Malnutrisi pada pasien HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak

adekuat, proses inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya

penyakit komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis

yang tidak adekuat, overhidrasi interdialitik. Pada pasien CAPD protein yang

dianjurkan 1.5 gr/kgBB/hari3,4.

2) Kebutuhan cairan, mineral, dan elektrolit

Pembatasan Cairan dan Elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema dan

komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang

dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible water

loss antara 500-800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml

ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab

hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia

dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu pemberian obat-

10

Page 11: RESPONSI DKD.docx

obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur

dan buah harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt1,4.

B. Terapi Simtomatik1,2

1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat

diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera

diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

2) Anemia

Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan

produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut

berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang

pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum

tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium.

Selain itu adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat

menambah beratnya keadaan anemia2. Pemberian eritropoetin (EPO)

merupakan hal yang dianjurkan dan status besi harus diperhatikan karena EPO

memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah

untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL. Pemberian transfusi

darah pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan

khusus yaitu5:

- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

- Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO

- Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diberikan EPO ataupun yang telah

mendapat EPO namun respon tidak adekuat, sementara preparat besi iv/im

belum tersedia. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL.

3) Keluhan gastrointestinal

11

Page 12: RESPONSI DKD.docx

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai

pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief

complaint) dari pasien CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi

mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu

program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik3,4.

4) Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi disamping bermanfaat untuk

memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat

perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus

dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat

enzim konverting angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat

memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya sebagai

antihipertensi dan antiproteinuria4,6.

C. Terapi Pengganti Ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada

LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis

peritoneal, dan transplantasi ginjal1,2,4.

1) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik

uremia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada

pasien CKD yang belum tahap akhir karena akan memperburuk faal ginjal

(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi

elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,

ensefalopati/neuropati uremik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak

responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood

Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,

yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia, muntah, dan

astenia berat.

2) Dialisis peritoneal (DP)

12

Page 13: RESPONSI DKD.docx

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Indikasi medik CAPD,

yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien

yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang

cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan

pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal

terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik

disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan

pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan

di daerah yang jauh dari pusat perawatan ginjal.

3) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).

Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal

ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal

alamiah.

b) Kualitas hidup normal kembali.

c) Masa hidup (survival rate) lebih lama.

d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat

imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

2.7 CKD pada Penderita Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit serius dan kronis yang terjadi ketika

tubuh tidak mampu mengekskresi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang

diekskresi oleh tubuh. Diabetes ditandai oleh peningkatan glukosa dalam darah yang

dapat menimbulkan kerusakan di beberapa bagian tubuh, khususnya ginjal, jantung,

pembuluh darah, mata, kaki, dan saraf-saraf tubuh11. Ginjal merupakan salah satu

oragan vital dalam tubuh yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan dan

elektrolit tubuh, membuang sisa-sisa metabolism yang tidak diperlukan tubuh,

13

Page 14: RESPONSI DKD.docx

menjaga tekanan darah agar tetap terkontrol, menjaga kesehatan tulang, dan

membantu sintesis sel darah merah12.

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan

keadaan dimana ginjal mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dapat disebabkan

karena faktor fisik seperti DM atau Hipertensi. Seseorang yang menderita DM dapat

mengganggu fungsi ginjal yang menyebabkan kerusakan pada11,12:

a. Pembuluh darah di ginjal

Unit filtrasi di ginjal terdiri atas pembuluh darah yang kecil. Adanya peningkatan

kadar glukosa dalam darah dapat menyebabkan pembuluh darah semakin

menyempit dan tersumbat. Aliran darah ke ginjal semakin lambat dan ginjal

menjadi hipoksia. Hal ini mempercepat terjadinya kerusakan pada ginjal

sehingga albumin dengan mudah dapat melewati fase filtrasi dan banyak

ditemukan di urin.

b. Saraf-saraf tubuh

DM juga dapat menyebabkan kerusakan pada saraf tubuh termasuk saraf di

vesika urinaria. Ketika saraf tersebut rusak, akan terjadi gangguan dalam

pengeluaran urin. Vesika urinaria semakin penuh dan akan berdampak pada

ginjal.

c. Traktus urinarius

Urin yang tertampung dalam vesika urinaria dalm jangka waktu lama dapat

menimbulkan infeksi pada traktus urinarius. Pada pasien DM, sering ditemukan

level glukosa yang tinggi juga dalam urin. Hal tersebut dapat menyebabkan

pertumbuhan bakteri yang cepat karena dimediasi oleh adanya glukosa dalam

urin sehingga mampu menyebar sampai ke ginjal.

Beberapa tanda timbulnya penyakit ginjal pada penderita DM, yaitu

ditemukannya albumin atau urin di dalam urin, tekanan darah tinggi, pembengkakan

pada tungkai, kemampuan berkemih meningkat pada malam hari, peningkatan kadar

BUN dan kreatinin dalam darah, mual dan muntah, kelemahan, pucat dan anemia,

terkadang pasien juga merasakan gatal pada tubuhnya11,12.

14

Page 15: RESPONSI DKD.docx

2.8 Penatalaksanaan.

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup diabetisi.

Tujuan penatalaksanaan diantaranya jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda

DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa

darah. Jangka panjang: tercegahnya dan terhambatnya progesivitas penyulit

mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah

turunnya morbiditas dan mortalitas dini DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu

dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid,

melalui pengelolaan pasien secara holistic dengan mengajarkan perawatan mandiri

dan perubahan perilaku.13

a. Langkah-langkah penatalaksanaan DM

1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama melipiuti:

a. Riwayat Penyakit:

b. Pemeriksaan Fisisk

c. Evaluasi Laboratoris/Penunjang lain

d. Tindakan Rujukan

2. Evaluasi Medis Secara Berkala

Dialkukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesuadah makan

sesuai dengan kebutuhan

Pemeriksaan A1c dilakukan setiap 3 bulan

Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan:

Jasmani lengkap

Albuminuria mikro

Kreatinin

Albumin/globulin dan ALT

Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan rigliserida

EKG

Foto sinar X dada

b. Pilar Penatalaksanaan DM.

15

Page 16: RESPONSI DKD.docx

Pengelolaan DM dimulai dengan terpai gizi medis dan latihan jasmani selama

beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai

sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)

dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan

secara tunggal atau kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi

metabolic berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun

dengan cepat, ketonuria, insulin dapat diberikan segera. Pengetahuan tentang

pemantauan mandiri tentang tanda dan gejala hipoglikemi dan cara mengatasinya

harus diberikan kepada pasien sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat

dialkuakn secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.

1. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan. Keberhasilan pengeloalan diabetes mandiri

membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan

mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai

keberhasilan perubahan perilaku dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan

upaya peningkatan motivasi. Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi

pemahaman tentang:

Perjalanan penyakit DM

Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

Penyulit DM dan risikonya

Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan

Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral

atau insulin serta obat-obatan lain

Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin

mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)

Mengatasi sementara keadaan gawat daraurat seperti rasa sakit atau

hipoglikemia

16

Page 17: RESPONSI DKD.docx

Pentingnya latihan jasmani yang teratur

Masalah khusus yang dihadapi (misalnya hiperglikemia, pada kehamilan)

Pentingnya perawatan diri

Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan

Edukasi dapat diberikan secara individual dengan pendekatan berdasarkan

penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku

memerlukan perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.

2. Terapi gizi medis

Terapi gizi medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari

anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).

Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna

mencapai target terapi Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan

makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada

mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

a. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

1. Karbohidrat

Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatrasan

karbohidrat total kurang dari 130 g/hari tidak dianjurkan. Makanan harus

mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Sukrosa

tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi. Makan tiga kali sehari untuk

mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.

2. Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh kurang dari

7% kebutuhan kalori. Bahan makan yang perlu dibatasi adalah yang banyak

mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan

susu penuh. Anjuran konsumsi kolesterol kurang dari 300 mg/hari.

17

Page 18: RESPONSI DKD.docx

3. Protein

Dibutuhkan sebesar 15-20% total asupan energi. Sumber protein yang baik

adalah iakn, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu

rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.

4. Garam

Asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 1 sendok teh

garam dapur.

5. Serat

Penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari kacang-

kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.

6. Pemanis.

Batasi penggunaan pemanis bergizi seperti gula alcohol dan fruktosa. Dalam

penggunaanya pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya

sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

b. Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi

diantaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal

yang besarnya 25-30 kalori /kgBB ideal ditambah dan dikurangi bergantung pada

beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain.

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita

sebesar 25 kal/kgBB dan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB. Untuk pasien di atas 40

tahun kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade 40-59 tahun, dikurangi 10%

untuk usia 60-69 tahun dan dikurangi 20% diatas 70%. Kebutuhan kalori dapat

ditambah sesuai intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumalah 10% dari

kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20% pada pasien dengan

aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat

berat. Berdasarkan berat badan, bila kegemukan dikurangi 20-30%, bila kurus

18

Page 19: RESPONSI DKD.docx

ditamabha 20-30%. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien sejauh mungkin

perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan.

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu

selama kurang lebih 30 menit) , merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan

DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan

tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga

kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas

insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang

dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobic seperti jalan kaki,

bersepeda santai, jogging, dan berenang. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang

gerak atau bermalas-malasan. Kurangi aktivitas misalnya menonton televise,

menggunakan internet, atau main game komputer. Persering aktivitas misalnya

jalan cepat, olah otot, ataupun bersepeda.

4. Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai

dengan TGM dan latihan jasmani.

1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:

a. Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

1. Sulfonilurea

Obat ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal

dan kurang, namun masih bisa diberikan pada pasien dengan berat badan lebih.

Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan tidak dianjurkan penggunaan

sulfonylurea kerja panjang pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan

faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular.

19

Page 20: RESPONSI DKD.docx

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan

penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Obat ini di absorbs

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui

hati. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivate asam

benzoate) dan Nateglinid (derivate fenilalanin).

b. Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin

Contoh obat ini adalah Tiazolidindion (Rosiglitazon dan Pioglitazon) berikatan

pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR γ), suatu reseptor

inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan

resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat

memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien

yang menggunakan Tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara

berkala. Saat ini Tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.

c. Penghambat Glukoneogenesis (Metformin)

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Metformin terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Obati ini dikontraindikasikan

pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >1,5) dan hati, serta

pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit

serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek

samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau

sesudah makan.

d. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose

20

Page 21: RESPONSI DKD.docx

tidak menimbulakna efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling

sering ditemukan ialah kembung dab flatulen.

2.Insulin

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis yaitu:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin campuran tetap (premixed insulin)

Efek samping terapi insulin antara lain hipoglikemi, reaksi imun terhadap insulin

yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Tabel 3. Insulin yang Beredar di Indonesia.5

Macam insulin Buatan Efek Puncak (jam)

Lama Kerja (jam)

Cepat: Humalog Apidra Aspart

Eli Lily (U-100)Aventis (U-100)Novo (U-100)

1-2 4-6

Pendek: Actrapid

Humulin-RNovo (U-40 danU-100)

Eli Lily (U-40 danU-100)

2-4 6-8

Menengah: Insulatard Human Monotard Human

Humulin_N

Novo (U-40 danU-100)

Novo (U-40 danU-100)

2-8 18-24

21

Page 22: RESPONSI DKD.docx

Eli Lily (U-100)

BAB III

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : NMS

Jenis Kelamin : Perempuan

22

Page 23: RESPONSI DKD.docx

Umur : 58 tahun

Suku/Bangsa : Bali/Indonesia

Agama : Hindu

Pendidikan terakhir : SMA

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Status perkawinan : Sudah kawin

Alamat : Br. Sedahan Gulingan Mengwi, Badung

No. RM : 13.01.84.07

Tanggal MRS : 23 September 2013 (Pukul 13.20 Wita)

Tanggal Pemeriksaan : 10 Oktober 2013 (Pukul 13.30 Wita)

2.2 ANAMNESIS

Keluhan Utama : bengkak seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien merupakan pasien yang dirawat di Ruang Mawar bed 15 dengan hari

perawatan ke-21. Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Kapal,

Badung dengan diagnosis sirosis hepatis, datang dalam keadaan sadar diantar

dengan ambulans bersama anak laki-laki pasien ke IRD RSUP Sanglah pada

hari Senin, tanggal 23 September 2013, pukul 13.20 Wita dengan keluhan

utama bengkak seluruh tubuh. Pasien saat ini juga masih mengeluhkan

bengkak diseluruh tubuh. Bengkak diseluruh tubuh pasien dirasakan terjadi 23

Page 24: RESPONSI DKD.docx

sejak 1 bulan yang lalu. bengkak diseluruh tubuh terjadi di kedua kaki, perut,

kedua tangan, leher, dan wajah pasien. Awalnya bengkak dimulai di kedua

kaki, dari ujung kaki kemudian bengkak bertambah luas keatas secara

perlahan-lahan, seiring berjalannya waktu bengkak meluas ke perut, kedua

tangan, leher, dan wajah. Bengkak tersebut dirasakan seperti ukuran area

badan tersebut bertambah besar dan saat kulit di area tersebut ditekan akan

menimbulkan cekungan, yang jika dibiarkan lama baru akan menghilang.

Bengkak tersebut dirasakan sangat berat sehingga pasien terlihat sangat

gemuk. Bengkak tersebut bersifat menetap sepanjang hari sama beratnya,

bengkak bertambah berat seiring waktu atau semakin lama area tubuh tersebut

semakin membengkak. Bengkak tidak berkurang meskipun dipijat, hanya

akan menimbulkan cekungan. Saat ini pasien merasa bengkak di kedua tangan

agak sedikit berkurang, namun bengkak diarea lainnya masih dirasakan sama.

Pasien mengeluhkan perut yang membengkak sejak 1 bulan yang lalu. Perut

yang membengkak terjadi di seluruh area perut, sama berat bengkaknya. Perut

yang membengkak ini terjadi secara perlahan-lahan, awalnya hanya bengkak

biasa lalu bertambah bengkak hingga sangat besar dan terlihat seperti perut

yang gemuk. Bengkak di perut terjadi setelah kedua kaki terlebih dulu

membengkak dan menetap hingga saat ini. Perut yang membengkak dirasakan

sebagai ukuran perut yang bertambah besar. Keluhan ini bersifat menetap

sepanjang hari, seiring berjalannya waktu terus membengkak. Keluhan ini

tidak berkurang meskipun pasien mengurut-ngurut perutnya atau mengubah

posisi tidur. Keluhan ini bertambah berat seiring waktu. Namun saat ini

bengkak di perut tidak bertambah besar, tapi juga tidak berkurang.

Pasien masih mengeluhkan sesak napas selama dirawat di Ruang Mawar yang

sudah berlangsung sejak 1 minggu sebelum pasien masuk RS. Sesak napas ini

24

Page 25: RESPONSI DKD.docx

dirasakan pasien di seluruh dada seperti kesulitan atau merasa berat saat

menarik napas. Pada awalnya sesak ini muncul terutama malam hari saat

pasien menjelang tidur atau saat pasien sedang tidur, sehingga pasien

kesulitan untuk tidur ataupun mempertahankan tidur karena sesak dapat

berlangsung selama 15-30 menit. Akan tetapi, 3 hari sebelum masuk RS,

sesak dirasakan bertambah berat dan muncul sepanjang hari. Sesak napas ini

dirasakan sangat berat dan membuat pasien merasa sulit beraktivitas dan

hanya bisa berbaring di tempat tidur. Sesak bertambah berat dengan posisi

tidur, sehingga pasien berbaring dengan tambahan 2 bantal, sesak dirasakan

membaik jika pasien berbaring dalam posisi setengah duduk. Saat ini sesak

dirasakan mulai agak berkurang, namun kadang-kadang masih muncul saat

malam hari, berlangsung sekitar 20 menit, dan menghilang bila ranjang pasien

ditinggikan atau ditambah bantalnya.

Pasien mengeluhkan lemas pada seluruh tubuh sejak 1 minggu sebelum

masuk RS hingga saat ini, sehingga pasien hanya dapat berbaring ditempat

tidur. Keluhan lemas ini dirasakan seperti tidak memiliki tenaga pada seluruh

tubuh. Lemas dirasakan mucul perlahan dan menetap sepanjang hari. Lemas

tidak berkurang dengan beristirahat, seiring waktu bertambah berat. Selama

perawatan, pasien merasa keluhan lemas agak sedikit berkurang, namun

masih timbul hingga saat ini.

Pasien mengeluhkan kelemahan seperuh tubuh kanan. Hal ini terjadi sejak

hari ketiga perawatan pasien di Ruang Mawar RSUP Sanglah. Awalnya

pasien mengeluhkan suara pelo secara tiba-tiba, saat itu pasien terbangun dari

tidur pada malam hari karena sesak yang terjadi secara tiba-tiba dan muncul

kelemahan pada separuh tubuh bagian kanan disaat yang bersamaan. Keluhan

kelemahan pada seperuh tubuh kanan tersebut berupa ketidakmampuan

25

Page 26: RESPONSI DKD.docx

menggerakkan tangan kanan dan kaki kanannya dengan kemauan maksimal

dan meskipun pasien masih mampu merasakan rangsangan di tubuh bagian

kanannya. Keluhan ini bersifat menetap hingga saat ini, dan sama sekali

belum pernah menunjukkan perbaikan.

Pada hari perawatan pertama pasien sudah melakukan cuci darah di ruang

hemodialisis RSUP Sanglah. Saat ini pasien menggunakan selang kateter yang

terpasang kantong untuk menampung urin. Sebelumnya sejak 3 bulan yang

lalu pasien mengeluhkan buang air kecil yang berkurang dari biasanya, sekitar

5 kali sehari menjadi 1 kali sehari dengan volume yang biasanya 1,5 gelas

belimbing menjadi setengah gelas belimbing, walaupun pasien sudah

berusaha minum sekitar 10 gelas sehari. Keluhan ini muncul perlahan-lahan

dan semakin lama semakin jarang BAK dan volume urin semakin sedikit.

Pasien menyangkal nyeri saat BAK sebelumnya, warna urin oranye pekat

sempat berbuih. Semenjak di rawat di RS pasien tidak terlalu memperhatikan

urinnya karena ditampung di kantong urin. Namun pasien mengeluhkan

sempat merasa nyeri di area perut bawah sejak terpasang selang kateter pada

hari rawat pertama dan berkurang sejak selang kateter diganti pada hari ke-7

perawatan.

Pasien menyangkal keluhan nyeri perut, nyeri pinggang, demam, BAK

berwarna merah, nyeri BAK sebelumnya, demam, nyeri dada, pusing, sakit

kepala, kulit dan bola mata berwarna kuning, muntah darah.

Riwayat Penyakit Dahulu

26

Page 27: RESPONSI DKD.docx

Pada tahun 2006 (7 tahun yang lalu) pasien pernah didiagnosis dengan

diabetes mellitus karena gula darah yang sangat tinggi dan hipertensi oleh

dokter. Sebelum itu pasien sudah setahun mengeluhkan badan lemah, nafsu

makan meningkat, rasa haus berlebihan , dan lebih sering kencing di malam

hari. Pasien baru memulai pengobatan untuk diabetes mellitus pada tahun

2007 (6 tahun yang lalu) dengan jenis obat minum tablet 2 jenis yang

namanya tidak diingat oleh pasien. Pasien hanya meminum saat pasien merasa

lemah dan pusing. Pasien tidak pernah rutin meminum obat, selama seminggu

hanya meminum 1-2 hari, meskipun setiap 2 minggu kontrol ke RS, dan

diberikan obat selama 2 tahun. Setelah 2 tahun tersebut pasien tidak lagi

kontrol. Namun keluhan pasien dengan badan lemas, kepala pusing semakin

lama semakin mengganggu sehingga pasien memutuskan ke RS dan sejak 7

bulan yang lalu pasien mendapatkan pengobatan insulin dengan dosis 6 unit

pada pagi hari dan 8 unit pada malam hari. Pasien hanya memakai insulin

selama 4 hari pertama karena merasa lemas dan jantung berdegup kencang 1

jam setelah disuntikkan insulin. Pasien juga memperoleh pengobatan minum

berupa 3 jenis tablet untuk diabetes mellitus yang tidak diiingat namanya oleh

pasien dan tidak pernah diminum oleh pasien, meskipun pasien tahu gula

darahnya selalu tinggi saat pemeriksaan. Pasien juga tidak pernah mengontrol

tekanan darah dan meminum obat penurun darah secara rutin.

Pasien sejak 3 tahun ini sering mengeluhkan sesak jika berjalan 10 meter dan

membaik dengan beristirahat, namuntidak pernah mencari pengobatan untuk

keluhan tersebut. Sejak 2 tahun ini pasien mengeluhkan kedua mata

mengalami pandangan kabur dan seperti melihat benang-benang melayang.

Pasien juga mengeluhkan kesemutan pada kedua telapak kaki sejak 2 tahun

ini, yang terasa seperti tertusuk-tusuk semakin lama seperti terbakar. Pasien

belum pernah mengobati dan memeriksakan diri terkait keluhan tersebut.

27

Page 28: RESPONSI DKD.docx

Pada tahun 2012 (1 tahun yang lalu), pasien pernah didiagnosis mengalami

penyakit ginjal. Pasien saat itu mengeluhkan lemas dan kaki yang bengkak

selama 1 minggu. Pasien diberikan obat minum, namun hanya meminumnya

saat pusing atau selama 3 hari pertama. Pasien tidak pernah menjalani cuci

darah atau terapi penggantian ginjal sebelmunya. Sejak itu pasien tidak pernah

berobat lagi. Sembilan bulan yang lalu pasien mengalami bengkak pada kaki

dibawa ke RS dan dikatakan mengalami penyakit liver. Pasien tidak tahu pasti

penyakitnya dan pengobatan yang diberikan.

Pasien sudah mengalami menopause sejak 7 tahun yang lalu. Pasien

menyangkal penyakit batu pada ginjal atau saluran kemih, infeksi saluran

kemih, penyakit jantung, penyakit asma, alergi, penyakit paru, penyakit

kelamin, maupun penyakit stroke sebelumnya. Pasien menyangkal riwayat

operasi, transfusi darah, pemakaian tattoo atau jarum suntik sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal penyakit ginjal, penyakit jantung, diabetes mellitus,

penyakit liver, asma, alergi, penyakit paru pada angggota keluarganya.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai ibu rumah tangga, jarang beristirahat

cukup, dan sering berjaga pada malam hari karena membuat sesajen. Pasien

makan tidak teratur, namun akan banyak menambahkan porsi nasi dan porsi

daging babi dan ayam, serta jarang memakan sayur dan sering menambahkan

28

Page 29: RESPONSI DKD.docx

garam hingga makanannya terasa asin. Pasien juga sulit untuk dinasehati

dalam menjaga kesehatan dan meminum obat secara teratur. Pasien

menyangkal riwayat merokok dan minum alkohol.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Tanda Vital:

Keadaan Umum : Sakit berat

Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)

Tekanan darah : 160/80 mmHg

Nadi : 80 kali/menit, reguler

Respirasi : 22 kali/menit, thorakoabdominal, reguler

Suhu aksila : 36,5 ºC

VAS : 0/10

Tinggi badan : 150 cm

Berat badan : 68 kg

BMI : kg/m2

Pemeriksaan Umum

Kepala : normocephali, bruit (-), kelenjar parotis tidak teraba,

nyeri tekan sinus paranasalis (-/-), nyeri tekan saraf

(-/-), nyeri tekan kelenjar parotis (-/-)

Mata : anemis +/+, ikterus -/-, reflek pupil +/+ diameter 3

mm/3mm isokor, edema palpebra -/-

THT

29

Page 30: RESPONSI DKD.docx

Telinga : bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tarik

aurikuler (-/-), kanalis autikus eksterna lapang (+/+)

Hidung : Sekret (-/-), mukosa hiperemis -/-, konka hipertrofi

(-/-)

Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemi (-), post nasal drip

(-)

Lidah : Papil atrofi (-), saat istirahat lidah deviasi kekiri, saat

dijulurkan lidah deviasi kekanan, ulcer (-)

Bibir : cyanosis (-), erosi (-), saat meringis bibir mencong ke

kiri, saat mencucu bibir mencong ke kanan.

Leher : JVP= PR ± 0 cmH2O, kelenjar tiroid lobus kiri dan

kanan tidak terpalpasi, pembesaran kelenjar getah

bening (-/-)

Thorax

Cor

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Batas atas jantung ICS II sinistra

Batas kanan jantung PSL dekstra setinggi ICS V

Batas kiri jantung MCL sinistra ICS V

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-/-/-/-)

Pulmo

30

Page 31: RESPONSI DKD.docx

Inspeksi : simetris statis dan dinamis, retraksi (-/-)

Palpasi : taktile fremitus N/N

N/N

N/N

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonchi -/-, Wheezing -/-

Abdomen :

Inspeksi : Distensi (+), ascites (+)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi :Hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba balotement

(-/-), nyeri ketok CVA (-), nyeri suprapubic (-)

Perkusi : Timpani, ascites shifting dullness (+)

Ekstremitas :

akral hangat + + Edema + +

+ + + +

Status neurologis :

Saraf kranialis (I-XII): defisit nervus kranialis VII

dekstra et nervus kranialis XII dekstra

Tenaga : 111/555

111/555

31

Page 32: RESPONSI DKD.docx

Tonus : menurun/normal

menurun/normal

Refleks fisiologis : +/++

+/++

Refleks patologis : -/-

+/+

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.4.1 Pemeriksaan Laborato r ium

Darah Lengkap (09/10/2013)

Parameter Nilai Satuan Remarks Nilai Normal

WBC 8,67 103/μL Normal 5,2-12,4x103/μL

#Ne 7,55 103/μL Normal 1,90-8,00x103/μL

#Lym 0,47 103/μL Normal 0,90- 5,12x103/μL

#Mo 0,41 103/μL Normal 0,16 - 1,00x103/μL

#Eo 0,13 103/μL Normal 0,00 - 0,80x103/μL

#Ba 0,02 103/μL Normal 0,00 - 0,20x103/μL

RBC 3,94 103/μL Menurun 4,20 - 5,40 x106/μL

HGB 11,1 g/dl Menurun 12,00 - 16,00 g/dl

HCT 34,1 % Menurun 37,00 - 47,00 %

MCV 86,7 fl Normal 81,00 - 99,00 fl

MCH 33,4 pg Normal 27,00 - 31,20 pg

MCHC 32,5 g/dl Normal 33,00 - 37,00 g/dl

32

Page 33: RESPONSI DKD.docx

PLT 208 103/ul Normal 130,00 - 400,00x103/μL

Anemia Ringan Normokromik Normositer

Kimia Klinik (09/10/2013)

Parameter Nilai Satuan Remarks Nilai Normal Satuan

SGOT 15,10 IU/L Normal 11,00 - 33,00 IU/L

SGPT 20,80 IU/L Normal 11,00 - 50,00 IU/L

Albumin 2,94 g/dL Rendah 3,4 - 4,8 g/dL

BUN 106,00 mg/dL Tinggi 8,00 - 23,00 mg/dL

Creatinin 16,30 mg/dL Tinggi 0,70 - 1,20 mg/dL

GDS 254 mg/dL Tinggi 70 - 140 mg/dL

Estimasi GFR = (140- 65 ) x 45 kg x 0,85 = 2,44 ml/mnt/1,73 m2 Stage V

72x16,30

Hipoalbuminemia

Analisa Gas Darah (09/10/2013)

Parameter Nilai Satuan Remarks Nilai Normal Satuan

pH 7,38 - Normal 7,35 - 7,45 -

pCo2 35,00 mmHg Normal 35,00 - 45,00 mmHg

33

Page 34: RESPONSI DKD.docx

pO2 95,00 mmHg Normal 80,00 - 100,00 mmHg

HCO3- 22,70 mmol/L Normal 22,00 - 26,00 mmol/L

SO2c 97,00 Normal 95,00 - 100,00

Natrium 141,00 mmol/L Normal 136,00 - 145,00 mmol/L

Kalium 4,50 mmol/L Normal 3,5 - 5,10 mmol/L

Urinalisis (04/10/2013)

Parameter Nilai Satuan Nilai Normal

pH 5 - 5-8

Leukosit 500/3+ Leu/μL Neg

Nitrit Positif - Neg

Protein 500/4+ mg/dL Neg

Glukosa 50/1+ mg/dL Norm

Ketone 5/1+ mg/dL Neg

Urobilinogen Negatif mg/dL 1 mg/dL

Bilirubin 1/1+ mg/dL Neg

Darah 250/5+

SEDIMEN

Leukosit BANYAK /lp < 6/lp

Eritrosit BANYAK /lp < 3/lp

Sel Epitel - - -

34

Page 35: RESPONSI DKD.docx

Sel Gepeng 3-4 /lp -

Silinder Granula + /lp -

Lain-lain Bakteri +

Proteinuria

Glukosuria

Mikro Hematuria

Leukosituria

Ketonuria

Bakteriuria

35

Page 36: RESPONSI DKD.docx

2.4.2 Foto X-Ray (23/09/2013)

Foto Thorax PA

Kesan:

Kardiomegali dengan aortasklerosis

Edema pulmonum dd/ pneumonia

Efusi pleura minimal bilateral

Foto Polos Abdomen (BOF)

36

Page 37: RESPONSI DKD.docx

Kesan:

Ascites

Spondilosis lumbalis

2.4.3 USG Abdomen (23/09/2013)

37

Page 38: RESPONSI DKD.docx

38

Page 39: RESPONSI DKD.docx

Kesimpulan : Ascites

Hepar/lien/gall bladder/ginjal kanan kiri/uterus normal

39

Page 40: RESPONSI DKD.docx

2.4.3 Elektrokardiografi (EKG) (23/09/2013)

Kesimpulan : normal sinus rhtyhm

Ekokardiografi : AR mild, MR mild, PR mild, TR mild, PE mild, EF 41%

2.5 DIAGNOSIS KERJA

Chronic Kidney Disease (CKD) Stage V e.c. Diabetic kidney disease

(DKD) dd/ PNC

- Anemia Ringan Normokromik Normositer on CKD

- Hipertensi Stage II

- Hipoalbuminemia

- ADHF profile B ec HHD

- Stroke non hemoragik ec emboli

- ISK

40

Page 41: RESPONSI DKD.docx

2.6 TERAPI

-Hemodialisa rutin 2x/minggu

-Diet 2800 kkal + 96 gram protein + rendah garam per hari

-IVFD NaCl 0,9% 8 tetes per menit

-Captopril 3x50 mg per oral

-Novorapid 4 unit pagi hari dan 6 unit malam hari

-CaCO3 3x500 mg per oral

-Furosemid 2x40 mg (40-40-0) per oral

-Spironolacton 1x25 mg (25-0-0) per oral

-Asam folat 2x2 mg per oral

-Ciprofloxacin 2x1 gram iv

2.7 PLANNING DIAGNOSIS

- Urine culture, CC, sensitivity test

- KIE double lumen rencana HD reguler

2.8 MONITORING

- Vital sign dan keluhan.

2.9 KIE

- Pengaturan diet tinggi kalori dan rendah protein bagi penderita CKD serta

pembatasan dalam pemberian cairan dan minum sehari-harinya.

- Melakukan kontrol rutin untuk mengetahui perkembangan penyakit dan

melakukan rutinitas hemodialisis untuk memperbaiki gejala CKD.41

Page 42: RESPONSI DKD.docx

BAB IV

PEMBAHASAN

Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal yang telah berlangsung lebih dari 3

bulan dengan adanya kelainan struktur maupun fungsional, dengan atau tanpa

penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR). Pada pasien ini didapatkan trias

CKD yaitu riwayat hipertensi, edema pada seluruh tubuh dan anemia.

- Didapatkan riwayat diabetes mellitus sejak 7 tahun yang lalu dan sudah

mendapatkan obat anti diabetes namun tidak teratur diminum.

- Didapatkan riwayat hipertensi sejak 7 tahun yang lalu dan tidak meminum

obat rutin.

- Pasien dengan diabetes mellitus, baik tipe I atau pun tipe II, cepat atau lambat

akan memiliki efek komplikasi terhadap kerja ginjal. Diabetic nephropathy

merupakan komplikasi dari diabetes. Pada kondisi ini, ginjal kehilangan

fungsinya ditandai dengan kadar protein tinggi dalam urin (proteinuria), yaitu

albumin (>300 mg/hari atau >200 mcg/min) yang berlangsung 2-6 bulan,

penurunan GFR, dan peningkatan tekanan darah.

- Pasien dengan hipertensi dapat memperberat kerja ginjal atau juga sebaliknya,

kerja ginjal yang tidak optimal dapat berakibat peningkatan tekanan darah

systole dan diastole.

- Pengobatan yang diberikan pada diabetes mellitus dengan gagal ginjal kronik

adalah mengontrol penyakit dan memperlambat kerusakan yang lebih parah.

Dilakukan dengan mengontrol kadar gula darah, kontrol terhadap tekanan

darah, diet rendah protein, serta dialisis dan transplantasi sebagai pilihan

untuk kerusakan tubuh yang tidak terkompensasi.

- Pengobatan yang baik diberikan pada penderita diabetes mellitus dengan

gagal ginjal kronik adalah insulin terapi.

42

Page 43: RESPONSI DKD.docx

- Insulin terapi yang diberikan harus dipertimbangkan dosisnya, karena dengan

adanya penurunan kerja glomeruli, kadar insulin yang diekskresi menjadi

lebih sedikit. Oleh karena itu, dosis insulin harus diperhitungkan ketat agar

tidak menyebabkan hipoglikemia.

- Obat hipertensi yang baik diberikan pada penderita gagal ginjal adalah

golongan ACE inhibitor (Captopril) atau golongan ARB (angiotensin receptor

blocker). Cara kerja dari obat ini adalah menghambat Angiotensin I menjadi

Angiotensin II. Angiotensin II bekerja pada otot-otot pembuluh darah untuk

berkontraksi, yang menyempitkan pembuluh darah. ACE inhibitor akan

menyebabkan vaskuler yang melebar dan tekanan darah berkurang. Secara

umum, efek dari obat ini adalah pelebaran vaskuler darah, meningkatkan

output jantung, dan peningkatan natriuresis (ekskresi natrium dalam urin).

- Selain sebagai obat anti hipertensi, ACE inhibitor juga memproteksi glomeruli

dengan menurunkan kadar proteinuria. Efek samping dari obat-obat ini adalah

hiperkalemia.

- Kadar kalium yang tinggi dalam darah (>5,5 mEq/L) akan melibatkan

neuromuskuler (kelemahan otot), mual, pada jantung terjadi disritmia jantung,

bradikardia, perubahan EKG. Oleh karena itu, rangkaian pengobatan

selanjutnya adalah mengurangi kadar kalium darah. Pasien dapat diberikan

kalsium glukonas, kalsium klorida, asam folat, dan dialysis.

- Diet makanan yang diberikan adalah rendah protein. Hal ini berkaitan untuk

tidak menambah berat kerja ginjal dengan menurunkan produksi urea.

- Renal replacement therapy merupakan penanganan dengan dialysis dan

transplantasi ginjal atau pun juga pankreas.

TEORI KASUS

1. CKD merupakan penyakit ginjal akibat adanya

kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan

yang disertai dengan penurunan GFR < 60

1. Pada pasien : ditemukan

kerusakan ginjal yang ditandai

dengan proteinuria,

43

Page 44: RESPONSI DKD.docx

mL/min/1,73 m2, dengan atau tanpa penurunan

fungsi ginjal yang bersifat irreversible.

peningkatan BUN,

mikrohematuria, GFR 2,44

ml/menit/1,73 m2.

2. Trias CKD : edema, hipertensi, anemia. 2. Pasien ini mengalami

edema dan memiliki riwayat

hipertensi. Pasien mengalami

anemia derajat sedang N-N.

3. Stage of CKD

Stage Description GFR (mL/min/1.73 m2) 

Action3

 

1 Kidney damage with normal

or GFR

90Diagnosis and treatment. Treatment of comorbid conditions. Slowing of progression. Cardiovascular disease risk reduction.

2 Kidney damage with mildly

GFR

60–89 Estimating progression.

3 Moderately 30–59 Evaluating and treating complications.

3. Pada kasus ini. Pasien

mengalami CKD stage V,

telah terjadi kegagalan fungsi

ginjal yang didukung dengan

GFR 2,44 mL/min/1,73 m2.

Sehingga untuk

penanganannya diperlukan

terapi replacement yaitu

berupa hemodialisis untuk

segera membuang toksin yang

terakumulasi.

- BUN dan Serum Creatinin

yang tinggi.

- Pada kasus masih di

diagnosis dengan CKD stage

V e.c. diabetic nefropati dd/

Pyelonefritis Kronis.

44

Page 45: RESPONSI DKD.docx

GFR

4 Severely

GFR

15–29 Preparation for kidney replacement therapy.

5 Kidney failure

< 15 (or dialysis)

Replacement (if uremia is present).

1From National Kidney Foundation, KDOQI,

chronic kidney disease guidelines

4. Anemia merupakan salah satu komplikasi pada

CKD, terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin,

hormon yang bertanggung jawab dalam merangsang

sumsum tulang untuk memproduksi sel darah

merah.

5. Diet pada CKD : tinggi karbohidrat dan rendah

protein, cukup untuk memenuhi kebutuhan basalnya

(0,5-0,8 g protein/kgBB/hari) dan diet rendah

garam.

6. Hemodialisis merupakan salah satu renal

replacement therapy untuk menggantikan fungsi

ekskresi dari ginjal khususnya pada nilai GFR < 15

4. Pada pasien ini mengalami

anemia normokromik

normositer.

5. Diet 35 kkal/kgBB/hari, 0,8

g protein/kgBB/hari dan diet

rendah garam 2 gram per hari.

6. Dilakukan HD, karena

kadar ureum dan creatinin

tinggi.

45

Page 46: RESPONSI DKD.docx

mL/min/1.73 m2.

7. Asam Folat digunakan untuk mencegah

peningkatan kadar homosistein akibat menurunnya

kemampuan ekskresi homosistein oleh ginjal.

Hiperhomosistein dikatkan dengan kecenderungan

aterogenesis yang berdampak pada kejadian

kardiovaskular.

8. CaCO3 digunakan sebagai pengikat fosfat.

Kelebihan fosfat dalam darah akan menarik kalsium

dari tulang yang menyebabkan tulang menjadi rapuh

dan keropos. Fosfat yang berikatan dengan pengikat

fosfat akan membentuk garam yang tidak larut dan

dibuang melalui feses.

9. Ciprofloxacin merupakan antibiotik sintetik

golongan quinolone yang bekerja dengan

menghambat DNA-gyrase. Ciprofloxacin efektif

terhadap bakteri yang resinsten terhadap antibiotika

lain misalnya penisilin, aminoglikosida,

cefalosporin, dan tetrasiklin. Ciprofloxacin efektif

terhadap bakteri gram negatif dan gram positif.

Biasanya efektif untuk infeksi saluran kemih,

uretritis dan infeksi saluran pernapasan

10. Kombinasi amlodipin dan captopril.

Amlodipin merupakan obat antihipertensi antagonis

kalsium golongan dihidropiridine yang menghambat

7. Pada pasien diberikan Asam Folat 2 x 2mg.

8. Pada pasien diberikan

CaCO3 3 x 500 mg.

9. Pada pasien diberikan

antibiotik karena terdapatnya

bakteri pada pemeriksaan

urinalisis. Karena belum

dilakukan kultur urin maka

pada pasien ini diberikan

terapi empiris.

10. Pada pasien ini menderita

hipertensi grade II. Maka

diberikan kombinasi obat

antihipertensi captopril 2 x 50

46

Page 47: RESPONSI DKD.docx

influks ion kalsium melalui membran ke dalam otot

polos vaskular dan otot jantung sehingga

mempengaruhi kontraksi. Bekerja langsung sebagai

vasodilator arteri perifer yang dapat menyebabkan

penurunan resistensi vaskuler serta penurunan

tekanan darah.

Captopril merupakan obat antihipertensi

golongan ACE-inhibitor. Captopril bekerja langsung

dengan menginhibisi enzim pengubah angiotensin I

menjadi angiotensin II.

mg

47

Page 48: RESPONSI DKD.docx

BAB V

KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses

patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal

yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Patofisiologi

penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,

tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan

fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat

hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran

glomerulus. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif. Diabetes melitus adalah salah satu penyebab terjadinya penyakit ginjal

kronis. Beberapa tanda timbulnya penyakit ginjal pada penderita DM, yaitu

ditemukannya albumin atau urin di dalam urin, tekanan darah tinggi, pembengkakan

pada tungkai, kemampuan berkemih meningkat pada malam hari, peningkatan kadar

BUN dan kreatinin dalam darah, mual dan muntah, kelemahan, pucat dan anemia,

terkadang pasien juga merasakan gatal pada tubuhnya.

48

Page 49: RESPONSI DKD.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1035-1040.

2. Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC; 1435-1443.

3. Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

4. Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.

5. Adamson JW (ed). 2005. Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition vol 1. McGraw-Hill Companies; 586-92.

6. Basuki BP. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi 3. Jakarta: CV Sagung Seto; 21-40.7. National Kidney Foundation. 2002. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for

Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis; 39:1-266.

8. Prodjosudjadi W dan SuhardjonoEthn A. 2009. End-Stage Renal Disease In Indonesia: Treatment Development. Ethnicity & Disease; 19: 33-36.

9. Andrew S, et al. 2008. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Adults. American Academy of Family Physicians; Vol 70: 869-75.

10. National Kidney Foundation. 2007. K/DOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practise Recommendations for Diabetes and Chronic Kidney Disease. American Journal of Kidney Disease; Vol 49(2):1-180.

11. Kidney Health Australia. Diabetic Kidney Disease. Available at http://www.kidney.org.au/ForPatients/Management/DiabetesandCKD/tabid/704/Default.aspx accessed on 18 Agustus 2013.

12. National Kidney Foundation. Diabetes and Kidney Disease. Available at http://www.kidney.org/atoz/content/diabetes.cfm accessed on 18 Agustus 2013.

13. Soewondo P.,dkk. 2011. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes

Melitus. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.

14. Fauci, A., Kasper, D., Longo, D., et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 17th edition. United States of America: The McGraw Hill inc

49

Page 50: RESPONSI DKD.docx

15. Duaine D. Murphree, Sarah M. Thelen. Chronic Kidney Diesase in Primary

Care. JABFM. 2010. 23(4): 542-550

16. Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi. 2011. Malang. RSUD Saiful

Anwar. Hal : 58-59.

17. CDC. National Chronic Kidney Disease Fact Sheet. 2010. Atlanta.

18. Keith K. Lau, Robert J. Wyatt. Glomerulonephritis. Adolesc Med. 2005. 16:

67-85

19. Mcgrogan A, Franssen CFM, Vries CS. The incidence of primary

glomerulonephritis worldwide: a systematic review of the literature. Nephrol

Dial Transplant (2011) 26: 414–430

50