Upload
hari-wangsa
View
134
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
DKD
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicable diseases)
merupakan penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat beberapa tahun
belakangan ini. Insiden penyakit ini termasuk banyak di negara-negara maju bahkan
hampir menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah
kesehatan masyarakat utama. Salah satu penyakit kronis tidak menular yang banyak
diderita masyarakat adalah penyakit ginjal kronik. Penyakit ginjal kronik adalah suatu
proses patofisiologi dengan etiologi yang luas dan beragam, yang mana tidak jarang
dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal.1,2 Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel pada suatu saat dan
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.14
Di Amerika Serikat, data tahun 2010 menyatakan insiden penyakit ginjal
kronik diperkirakan 10% dari jumlah penduduk pertahun atau sebanyak lebih dari 20
juta orang. Dimana hampir sebagian besar penyakit ini diderita oeh orang yang
berumur diatas 65 tahun4. Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun¹.
Pada penyakit ginjal kronik, fungsi ekskresi, dan sekresi ginjal menurun dan
menyebabkan berbagai gejala secara sistemik meliputi gangguan dalam beberapa
sistem organ seperti gangguan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa,
kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.18
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan diagnosis
dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit
ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronik, tidak
1
bergantung pada etiologi, serta dapat dicegah atau dihambat jika dilakukan
penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang harus dilaksanakan adalah
diagnosis dini dan pencegahan yang efektif terhadap penyakit ginjal kronik. Hal ini
dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat
dikendalikan. Diagnosis dini dan pencegahan efektif ini dapat diaplikasikan dengan
cara identifikasi dini pada pasien-pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
penyakit ginjal kronik, pasien dengan gejala penyakit ginjal kronik, dan pasien yang
sedang menjalani pengobatan penyakit ginjal.5,6
Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat meliputi end stage renal disease
(ESRD), penyakit kardivaskuler, dan penyakit sistemik seperti anemia dan asidosis
metabolik. Menurut studi di Australia komplikasi ESRD angka kejadiannya cukup
banyak dan meningkat, pada tahun 2000-2007 tercatat peningkatan dari 9,2 ke 10.6
per 100.000 penduduk (Australia). End stage renal disease merupakan suatu keadaan
terminal ginjal yang sudah tidak mampu melakukan fungsi fisiologisnya dan
memerlukan hemodialisis atau transplantasi ginjal dalam manajemennya.6
Diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan pengobatan penyakit yang
mendasari sangatlah penting pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. Meskipun
penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan
penanganan yang baik akan dapat mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki
kualitas hidup penderitanya.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
gangguan ginjal akibat proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam yang
terkait dengan fungsi ginjal yang abnormal dan penurunan yang progresif pada Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) serta diketahui memiliki keterkaitan dengan peningkatan
risiko penyakit kardiovaskular.1,2 The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit ginjal
kronis sebagai kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan1:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan atau; LFG < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal1.
Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² lebih dari 3 bulan diklasifikasikan
sebagai penyakit ginjal kronis tanpa memperhatikan ada atau tidaknya suatu
kerusakan struktur ginjal, karena ginjal telah kehilangan lebih dari 50% fungsinya.
Pada beberapa kasus terdapat kondisi ginjal yang mengalami kerusakan tetapi laju
filtrasi glomerulusnya mengalami penurunan sehingga terdapat risiko tinggi untuk
terjadi hilangnya fungsi ginjal maupun penyakit kardiovaskuler lainnya. Berbagai
proses inflamasi maupun infeksi pada ginjal dapat menyebabkan kerusakan ginjal
hingga tahap penyakit ginjal kronis.
2.2 Etiologi
Penyakit ginjal kronik umumnya disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik difus dan
menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan
3
penyakit ginjal kronik. Penyakit di luar ginjal seperti nefropati obstruktif dapat
menyebabkan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronik.
Etiologi gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain. Tabel 1 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyaki ginjal kronik
di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun
2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indoneisa
seperti pada tabel 2.1
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.1
Tabel 1. Penyebab Utama Penyakit Ginjal Kronik di Amerika Serikat1
Penyebab Insiden
Diabetes mellitus
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
44%
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitial 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (misal lupus, dan vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Tabel 2. Penyebab Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia1
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes mellitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
4
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural
dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat
hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran
glomerulus. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif10.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal
akan memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß.
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit
ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia1,3.
Pada stadium yang paling dini pada penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), dalam hal ini basal LFG masih normal atau malah
meningkat3. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada
LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah
terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30%, mulai
terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang
dan penurunan berat badan. Pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala
dan tanda-tanda uremia seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya10.
Sindrom uremia juga bisa menyebabkan asidosis metabolik akibat ginjal tidak
mampu mengekskresi asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam akibat
5
tubulus ginjal tidak mampu mengekskresi ammonia (NH3-) dan mengabsorbsi
natriumbikarbonat (HCO3-)9.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme.
Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya
meningkat maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi melalui
glomerulus ginjal maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan kadar serum kalsium
menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathhormon dari
kelenjar paratiroid, tetapi gagal ginjal tubuh tidak dapat merspons normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon sehingga kalsium ditulang menurun yang
menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang9,10.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran napas, maupun infeksi saluran cerna, akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipovolemia atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat
(stage) penyakit dan berdasarkan diagnosis etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat
penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus
Kockcorft-Gault sebagai berikut1:
LFG ((ml /menit)/1,73m2 )= (140−umur )× berat badan72× kreatinin plasma(mg /dl)
∗¿
(*) pada perempuan dikalikan 0,85
6
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Derajat Penyakit1
Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal
atau ↑
> 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓
sedang
30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Diagnosis Etiologi1
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
2.5 Diagnosis
7
Pendekatan diagnosis yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang diharapkan
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang
diagnosis rutin dan khusus. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat diketahui
gambaran klinik penyakit tersebut4.
Gambaran klinis pasien CKD meliputi:3,4,6
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain-lain.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.4
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, khlorida).
Gambaran laboratorium CKD meliputi1,3,4:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia,
hiperfosfatemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria.
Gambaran radiologis CKD meliputi1,3,6:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
8
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.6 Penatalaksanaan
Tabel 5. Penatalaksanaan pasien CKD disesuaikan dengan derajat GFRnya4.
Derajat GFR (ml/min/1,73m2)
Rencana Tatalaksana
I ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular
II 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal
III 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasiIV 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjalV <15 Terapi pengganti ginjal
A. Terapi Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya fungsi ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin uremia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit1,2.
1) Restriksi protein
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin uremia. Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG < 60
ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
9
dianjurkan. Pada penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan
adalah 0,6-0,8 gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai
biologi tinggi) dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari3. Sebab kelebihan protein
tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi
protein pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen
dan ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang
disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal3.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,
karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi,
jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan4. Pada pasien post HD,
untuk mempertahankan keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah
1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi.
Malnutrisi pada pasien HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak
adekuat, proses inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya
penyakit komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis
yang tidak adekuat, overhidrasi interdialitik. Pada pasien CAPD protein yang
dianjurkan 1.5 gr/kgBB/hari3,4.
2) Kebutuhan cairan, mineral, dan elektrolit
Pembatasan Cairan dan Elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang
dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible water
loss antara 500-800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml
ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia
dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu pemberian obat-
10
obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur
dan buah harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt1,4.
B. Terapi Simtomatik1,2
1) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan
produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut
berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang
pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum
tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium.
Selain itu adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat
menambah beratnya keadaan anemia2. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan dan status besi harus diperhatikan karena EPO
memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah
untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL. Pemberian transfusi
darah pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan
khusus yaitu5:
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
- Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
- Pasien dengan defisiensi besi yang akan diberikan EPO ataupun yang telah
mendapat EPO namun respon tidak adekuat, sementara preparat besi iv/im
belum tersedia. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL.
3) Keluhan gastrointestinal
11
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari pasien CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik3,4.
4) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat
perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus
dan hipertrofi glomerulus. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat
enzim konverting angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria4,6.
C. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal1,2,4.
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
uremia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
pasien CKD yang belum tahap akhir karena akan memperburuk faal ginjal
(LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati uremik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia, muntah, dan
astenia berat.
2) Dialisis peritoneal (DP)
12
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan
di daerah yang jauh dari pusat perawatan ginjal.
3) Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
b) Kualitas hidup normal kembali.
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama.
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
2.7 CKD pada Penderita Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit serius dan kronis yang terjadi ketika
tubuh tidak mampu mengekskresi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang
diekskresi oleh tubuh. Diabetes ditandai oleh peningkatan glukosa dalam darah yang
dapat menimbulkan kerusakan di beberapa bagian tubuh, khususnya ginjal, jantung,
pembuluh darah, mata, kaki, dan saraf-saraf tubuh11. Ginjal merupakan salah satu
oragan vital dalam tubuh yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh, membuang sisa-sisa metabolism yang tidak diperlukan tubuh,
13
menjaga tekanan darah agar tetap terkontrol, menjaga kesehatan tulang, dan
membantu sintesis sel darah merah12.
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
keadaan dimana ginjal mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dapat disebabkan
karena faktor fisik seperti DM atau Hipertensi. Seseorang yang menderita DM dapat
mengganggu fungsi ginjal yang menyebabkan kerusakan pada11,12:
a. Pembuluh darah di ginjal
Unit filtrasi di ginjal terdiri atas pembuluh darah yang kecil. Adanya peningkatan
kadar glukosa dalam darah dapat menyebabkan pembuluh darah semakin
menyempit dan tersumbat. Aliran darah ke ginjal semakin lambat dan ginjal
menjadi hipoksia. Hal ini mempercepat terjadinya kerusakan pada ginjal
sehingga albumin dengan mudah dapat melewati fase filtrasi dan banyak
ditemukan di urin.
b. Saraf-saraf tubuh
DM juga dapat menyebabkan kerusakan pada saraf tubuh termasuk saraf di
vesika urinaria. Ketika saraf tersebut rusak, akan terjadi gangguan dalam
pengeluaran urin. Vesika urinaria semakin penuh dan akan berdampak pada
ginjal.
c. Traktus urinarius
Urin yang tertampung dalam vesika urinaria dalm jangka waktu lama dapat
menimbulkan infeksi pada traktus urinarius. Pada pasien DM, sering ditemukan
level glukosa yang tinggi juga dalam urin. Hal tersebut dapat menyebabkan
pertumbuhan bakteri yang cepat karena dimediasi oleh adanya glukosa dalam
urin sehingga mampu menyebar sampai ke ginjal.
Beberapa tanda timbulnya penyakit ginjal pada penderita DM, yaitu
ditemukannya albumin atau urin di dalam urin, tekanan darah tinggi, pembengkakan
pada tungkai, kemampuan berkemih meningkat pada malam hari, peningkatan kadar
BUN dan kreatinin dalam darah, mual dan muntah, kelemahan, pucat dan anemia,
terkadang pasien juga merasakan gatal pada tubuhnya11,12.
14
2.8 Penatalaksanaan.
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup diabetisi.
Tujuan penatalaksanaan diantaranya jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda
DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa
darah. Jangka panjang: tercegahnya dan terhambatnya progesivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas dini DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid,
melalui pengelolaan pasien secara holistic dengan mengajarkan perawatan mandiri
dan perubahan perilaku.13
a. Langkah-langkah penatalaksanaan DM
1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama melipiuti:
a. Riwayat Penyakit:
b. Pemeriksaan Fisisk
c. Evaluasi Laboratoris/Penunjang lain
d. Tindakan Rujukan
2. Evaluasi Medis Secara Berkala
Dialkukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesuadah makan
sesuai dengan kebutuhan
Pemeriksaan A1c dilakukan setiap 3 bulan
Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan:
Jasmani lengkap
Albuminuria mikro
Kreatinin
Albumin/globulin dan ALT
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan rigliserida
EKG
Foto sinar X dada
b. Pilar Penatalaksanaan DM.
15
Pengelolaan DM dimulai dengan terpai gizi medis dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)
dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan
secara tunggal atau kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolic berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun
dengan cepat, ketonuria, insulin dapat diberikan segera. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri tentang tanda dan gejala hipoglikemi dan cara mengatasinya
harus diberikan kepada pasien sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat
dialkuakn secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Keberhasilan pengeloalan diabetes mandiri
membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan
mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai
keberhasilan perubahan perilaku dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi. Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi
pemahaman tentang:
Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral
atau insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
Mengatasi sementara keadaan gawat daraurat seperti rasa sakit atau
hipoglikemia
16
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
Masalah khusus yang dihadapi (misalnya hiperglikemia, pada kehamilan)
Pentingnya perawatan diri
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Edukasi dapat diberikan secara individual dengan pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah. Seperti halnya dengan proses edukasi, perubahan perilaku
memerlukan perencanaan yang baik, implementasi, evaluasi dan dokumentasi.
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna
mencapai target terapi Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada
mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
a. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
1. Karbohidrat
Karbohidrat dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatrasan
karbohidrat total kurang dari 130 g/hari tidak dianjurkan. Makanan harus
mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi. Sukrosa
tidak boleh lebih dari 10% total asupan energi. Makan tiga kali sehari untuk
mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
2. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh kurang dari
7% kebutuhan kalori. Bahan makan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain daging berlemak dan
susu penuh. Anjuran konsumsi kolesterol kurang dari 300 mg/hari.
17
3. Protein
Dibutuhkan sebesar 15-20% total asupan energi. Sumber protein yang baik
adalah iakn, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu
rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
4. Garam
Asupan natrium tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 1 sendok teh
garam dapur.
5. Serat
Penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari kacang-
kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
6. Pemanis.
Batasi penggunaan pemanis bergizi seperti gula alcohol dan fruktosa. Dalam
penggunaanya pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b. Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi
diantaranya adalah dengan memperhitungkan berdasarkan kebutuhan kalori basal
yang besarnya 25-30 kalori /kgBB ideal ditambah dan dikurangi bergantung pada
beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain.
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kgBB dan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB. Untuk pasien di atas 40
tahun kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade 40-59 tahun, dikurangi 10%
untuk usia 60-69 tahun dan dikurangi 20% diatas 70%. Kebutuhan kalori dapat
ditambah sesuai intensitas aktivitas fisik. Penambahan sejumalah 10% dari
kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20% pada pasien dengan
aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat
berat. Berdasarkan berat badan, bila kegemukan dikurangi 20-30%, bila kurus
18
ditamabha 20-30%. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien sejauh mungkin
perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit) , merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan
tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobic seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang
gerak atau bermalas-malasan. Kurangi aktivitas misalnya menonton televise,
menggunakan internet, atau main game komputer. Persering aktivitas misalnya
jalan cepat, olah otot, ataupun bersepeda.
4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai
dengan TGM dan latihan jasmani.
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
a. Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
1. Sulfonilurea
Obat ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pancreas dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih bisa diberikan pada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan tidak dianjurkan penggunaan
sulfonylurea kerja panjang pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan
faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular.
19
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan
penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Obat ini di absorbs
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan di ekskresi secara cepat melalui
hati. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivate asam
benzoate) dan Nateglinid (derivate fenilalanin).
b. Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin
Contoh obat ini adalah Tiazolidindion (Rosiglitazon dan Pioglitazon) berikatan
pada peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR γ), suatu reseptor
inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat
memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien
yang menggunakan Tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara
berkala. Saat ini Tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal.
c. Penghambat Glukoneogenesis (Metformin)
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Metformin terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Obati ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >1,5) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit
serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.
d. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose
20
tidak menimbulakna efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling
sering ditemukan ialah kembung dab flatulen.
2.Insulin
Jenis dan Lama Kerja Insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis yaitu:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap (premixed insulin)
Efek samping terapi insulin antara lain hipoglikemi, reaksi imun terhadap insulin
yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Tabel 3. Insulin yang Beredar di Indonesia.5
Macam insulin Buatan Efek Puncak (jam)
Lama Kerja (jam)
Cepat: Humalog Apidra Aspart
Eli Lily (U-100)Aventis (U-100)Novo (U-100)
1-2 4-6
Pendek: Actrapid
Humulin-RNovo (U-40 danU-100)
Eli Lily (U-40 danU-100)
2-4 6-8
Menengah: Insulatard Human Monotard Human
Humulin_N
Novo (U-40 danU-100)
Novo (U-40 danU-100)
2-8 18-24
21
Eli Lily (U-100)
BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : NMS
Jenis Kelamin : Perempuan
22
Umur : 58 tahun
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Sudah kawin
Alamat : Br. Sedahan Gulingan Mengwi, Badung
No. RM : 13.01.84.07
Tanggal MRS : 23 September 2013 (Pukul 13.20 Wita)
Tanggal Pemeriksaan : 10 Oktober 2013 (Pukul 13.30 Wita)
2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : bengkak seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien yang dirawat di Ruang Mawar bed 15 dengan hari
perawatan ke-21. Pasien merupakan pasien rujukan dari RSUD Kapal,
Badung dengan diagnosis sirosis hepatis, datang dalam keadaan sadar diantar
dengan ambulans bersama anak laki-laki pasien ke IRD RSUP Sanglah pada
hari Senin, tanggal 23 September 2013, pukul 13.20 Wita dengan keluhan
utama bengkak seluruh tubuh. Pasien saat ini juga masih mengeluhkan
bengkak diseluruh tubuh. Bengkak diseluruh tubuh pasien dirasakan terjadi 23
sejak 1 bulan yang lalu. bengkak diseluruh tubuh terjadi di kedua kaki, perut,
kedua tangan, leher, dan wajah pasien. Awalnya bengkak dimulai di kedua
kaki, dari ujung kaki kemudian bengkak bertambah luas keatas secara
perlahan-lahan, seiring berjalannya waktu bengkak meluas ke perut, kedua
tangan, leher, dan wajah. Bengkak tersebut dirasakan seperti ukuran area
badan tersebut bertambah besar dan saat kulit di area tersebut ditekan akan
menimbulkan cekungan, yang jika dibiarkan lama baru akan menghilang.
Bengkak tersebut dirasakan sangat berat sehingga pasien terlihat sangat
gemuk. Bengkak tersebut bersifat menetap sepanjang hari sama beratnya,
bengkak bertambah berat seiring waktu atau semakin lama area tubuh tersebut
semakin membengkak. Bengkak tidak berkurang meskipun dipijat, hanya
akan menimbulkan cekungan. Saat ini pasien merasa bengkak di kedua tangan
agak sedikit berkurang, namun bengkak diarea lainnya masih dirasakan sama.
Pasien mengeluhkan perut yang membengkak sejak 1 bulan yang lalu. Perut
yang membengkak terjadi di seluruh area perut, sama berat bengkaknya. Perut
yang membengkak ini terjadi secara perlahan-lahan, awalnya hanya bengkak
biasa lalu bertambah bengkak hingga sangat besar dan terlihat seperti perut
yang gemuk. Bengkak di perut terjadi setelah kedua kaki terlebih dulu
membengkak dan menetap hingga saat ini. Perut yang membengkak dirasakan
sebagai ukuran perut yang bertambah besar. Keluhan ini bersifat menetap
sepanjang hari, seiring berjalannya waktu terus membengkak. Keluhan ini
tidak berkurang meskipun pasien mengurut-ngurut perutnya atau mengubah
posisi tidur. Keluhan ini bertambah berat seiring waktu. Namun saat ini
bengkak di perut tidak bertambah besar, tapi juga tidak berkurang.
Pasien masih mengeluhkan sesak napas selama dirawat di Ruang Mawar yang
sudah berlangsung sejak 1 minggu sebelum pasien masuk RS. Sesak napas ini
24
dirasakan pasien di seluruh dada seperti kesulitan atau merasa berat saat
menarik napas. Pada awalnya sesak ini muncul terutama malam hari saat
pasien menjelang tidur atau saat pasien sedang tidur, sehingga pasien
kesulitan untuk tidur ataupun mempertahankan tidur karena sesak dapat
berlangsung selama 15-30 menit. Akan tetapi, 3 hari sebelum masuk RS,
sesak dirasakan bertambah berat dan muncul sepanjang hari. Sesak napas ini
dirasakan sangat berat dan membuat pasien merasa sulit beraktivitas dan
hanya bisa berbaring di tempat tidur. Sesak bertambah berat dengan posisi
tidur, sehingga pasien berbaring dengan tambahan 2 bantal, sesak dirasakan
membaik jika pasien berbaring dalam posisi setengah duduk. Saat ini sesak
dirasakan mulai agak berkurang, namun kadang-kadang masih muncul saat
malam hari, berlangsung sekitar 20 menit, dan menghilang bila ranjang pasien
ditinggikan atau ditambah bantalnya.
Pasien mengeluhkan lemas pada seluruh tubuh sejak 1 minggu sebelum
masuk RS hingga saat ini, sehingga pasien hanya dapat berbaring ditempat
tidur. Keluhan lemas ini dirasakan seperti tidak memiliki tenaga pada seluruh
tubuh. Lemas dirasakan mucul perlahan dan menetap sepanjang hari. Lemas
tidak berkurang dengan beristirahat, seiring waktu bertambah berat. Selama
perawatan, pasien merasa keluhan lemas agak sedikit berkurang, namun
masih timbul hingga saat ini.
Pasien mengeluhkan kelemahan seperuh tubuh kanan. Hal ini terjadi sejak
hari ketiga perawatan pasien di Ruang Mawar RSUP Sanglah. Awalnya
pasien mengeluhkan suara pelo secara tiba-tiba, saat itu pasien terbangun dari
tidur pada malam hari karena sesak yang terjadi secara tiba-tiba dan muncul
kelemahan pada separuh tubuh bagian kanan disaat yang bersamaan. Keluhan
kelemahan pada seperuh tubuh kanan tersebut berupa ketidakmampuan
25
menggerakkan tangan kanan dan kaki kanannya dengan kemauan maksimal
dan meskipun pasien masih mampu merasakan rangsangan di tubuh bagian
kanannya. Keluhan ini bersifat menetap hingga saat ini, dan sama sekali
belum pernah menunjukkan perbaikan.
Pada hari perawatan pertama pasien sudah melakukan cuci darah di ruang
hemodialisis RSUP Sanglah. Saat ini pasien menggunakan selang kateter yang
terpasang kantong untuk menampung urin. Sebelumnya sejak 3 bulan yang
lalu pasien mengeluhkan buang air kecil yang berkurang dari biasanya, sekitar
5 kali sehari menjadi 1 kali sehari dengan volume yang biasanya 1,5 gelas
belimbing menjadi setengah gelas belimbing, walaupun pasien sudah
berusaha minum sekitar 10 gelas sehari. Keluhan ini muncul perlahan-lahan
dan semakin lama semakin jarang BAK dan volume urin semakin sedikit.
Pasien menyangkal nyeri saat BAK sebelumnya, warna urin oranye pekat
sempat berbuih. Semenjak di rawat di RS pasien tidak terlalu memperhatikan
urinnya karena ditampung di kantong urin. Namun pasien mengeluhkan
sempat merasa nyeri di area perut bawah sejak terpasang selang kateter pada
hari rawat pertama dan berkurang sejak selang kateter diganti pada hari ke-7
perawatan.
Pasien menyangkal keluhan nyeri perut, nyeri pinggang, demam, BAK
berwarna merah, nyeri BAK sebelumnya, demam, nyeri dada, pusing, sakit
kepala, kulit dan bola mata berwarna kuning, muntah darah.
Riwayat Penyakit Dahulu
26
Pada tahun 2006 (7 tahun yang lalu) pasien pernah didiagnosis dengan
diabetes mellitus karena gula darah yang sangat tinggi dan hipertensi oleh
dokter. Sebelum itu pasien sudah setahun mengeluhkan badan lemah, nafsu
makan meningkat, rasa haus berlebihan , dan lebih sering kencing di malam
hari. Pasien baru memulai pengobatan untuk diabetes mellitus pada tahun
2007 (6 tahun yang lalu) dengan jenis obat minum tablet 2 jenis yang
namanya tidak diingat oleh pasien. Pasien hanya meminum saat pasien merasa
lemah dan pusing. Pasien tidak pernah rutin meminum obat, selama seminggu
hanya meminum 1-2 hari, meskipun setiap 2 minggu kontrol ke RS, dan
diberikan obat selama 2 tahun. Setelah 2 tahun tersebut pasien tidak lagi
kontrol. Namun keluhan pasien dengan badan lemas, kepala pusing semakin
lama semakin mengganggu sehingga pasien memutuskan ke RS dan sejak 7
bulan yang lalu pasien mendapatkan pengobatan insulin dengan dosis 6 unit
pada pagi hari dan 8 unit pada malam hari. Pasien hanya memakai insulin
selama 4 hari pertama karena merasa lemas dan jantung berdegup kencang 1
jam setelah disuntikkan insulin. Pasien juga memperoleh pengobatan minum
berupa 3 jenis tablet untuk diabetes mellitus yang tidak diiingat namanya oleh
pasien dan tidak pernah diminum oleh pasien, meskipun pasien tahu gula
darahnya selalu tinggi saat pemeriksaan. Pasien juga tidak pernah mengontrol
tekanan darah dan meminum obat penurun darah secara rutin.
Pasien sejak 3 tahun ini sering mengeluhkan sesak jika berjalan 10 meter dan
membaik dengan beristirahat, namuntidak pernah mencari pengobatan untuk
keluhan tersebut. Sejak 2 tahun ini pasien mengeluhkan kedua mata
mengalami pandangan kabur dan seperti melihat benang-benang melayang.
Pasien juga mengeluhkan kesemutan pada kedua telapak kaki sejak 2 tahun
ini, yang terasa seperti tertusuk-tusuk semakin lama seperti terbakar. Pasien
belum pernah mengobati dan memeriksakan diri terkait keluhan tersebut.
27
Pada tahun 2012 (1 tahun yang lalu), pasien pernah didiagnosis mengalami
penyakit ginjal. Pasien saat itu mengeluhkan lemas dan kaki yang bengkak
selama 1 minggu. Pasien diberikan obat minum, namun hanya meminumnya
saat pusing atau selama 3 hari pertama. Pasien tidak pernah menjalani cuci
darah atau terapi penggantian ginjal sebelmunya. Sejak itu pasien tidak pernah
berobat lagi. Sembilan bulan yang lalu pasien mengalami bengkak pada kaki
dibawa ke RS dan dikatakan mengalami penyakit liver. Pasien tidak tahu pasti
penyakitnya dan pengobatan yang diberikan.
Pasien sudah mengalami menopause sejak 7 tahun yang lalu. Pasien
menyangkal penyakit batu pada ginjal atau saluran kemih, infeksi saluran
kemih, penyakit jantung, penyakit asma, alergi, penyakit paru, penyakit
kelamin, maupun penyakit stroke sebelumnya. Pasien menyangkal riwayat
operasi, transfusi darah, pemakaian tattoo atau jarum suntik sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal penyakit ginjal, penyakit jantung, diabetes mellitus,
penyakit liver, asma, alergi, penyakit paru pada angggota keluarganya.
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien sehari-hari beraktivitas sebagai ibu rumah tangga, jarang beristirahat
cukup, dan sering berjaga pada malam hari karena membuat sesajen. Pasien
makan tidak teratur, namun akan banyak menambahkan porsi nasi dan porsi
daging babi dan ayam, serta jarang memakan sayur dan sering menambahkan
28
garam hingga makanannya terasa asin. Pasien juga sulit untuk dinasehati
dalam menjaga kesehatan dan meminum obat secara teratur. Pasien
menyangkal riwayat merokok dan minum alkohol.
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda Vital:
Keadaan Umum : Sakit berat
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler
Respirasi : 22 kali/menit, thorakoabdominal, reguler
Suhu aksila : 36,5 ºC
VAS : 0/10
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 68 kg
BMI : kg/m2
Pemeriksaan Umum
Kepala : normocephali, bruit (-), kelenjar parotis tidak teraba,
nyeri tekan sinus paranasalis (-/-), nyeri tekan saraf
(-/-), nyeri tekan kelenjar parotis (-/-)
Mata : anemis +/+, ikterus -/-, reflek pupil +/+ diameter 3
mm/3mm isokor, edema palpebra -/-
THT
29
Telinga : bentuk normal, nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tarik
aurikuler (-/-), kanalis autikus eksterna lapang (+/+)
Hidung : Sekret (-/-), mukosa hiperemis -/-, konka hipertrofi
(-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemi (-), post nasal drip
(-)
Lidah : Papil atrofi (-), saat istirahat lidah deviasi kekiri, saat
dijulurkan lidah deviasi kekanan, ulcer (-)
Bibir : cyanosis (-), erosi (-), saat meringis bibir mencong ke
kiri, saat mencucu bibir mencong ke kanan.
Leher : JVP= PR ± 0 cmH2O, kelenjar tiroid lobus kiri dan
kanan tidak terpalpasi, pembesaran kelenjar getah
bening (-/-)
Thorax
Cor
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung ICS II sinistra
Batas kanan jantung PSL dekstra setinggi ICS V
Batas kiri jantung MCL sinistra ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-/-/-/-)
Pulmo
30
Inspeksi : simetris statis dan dinamis, retraksi (-/-)
Palpasi : taktile fremitus N/N
N/N
N/N
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonchi -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (+), ascites (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi :Hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba balotement
(-/-), nyeri ketok CVA (-), nyeri suprapubic (-)
Perkusi : Timpani, ascites shifting dullness (+)
Ekstremitas :
akral hangat + + Edema + +
+ + + +
Status neurologis :
Saraf kranialis (I-XII): defisit nervus kranialis VII
dekstra et nervus kranialis XII dekstra
Tenaga : 111/555
111/555
31
Tonus : menurun/normal
menurun/normal
Refleks fisiologis : +/++
+/++
Refleks patologis : -/-
+/+
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.4.1 Pemeriksaan Laborato r ium
Darah Lengkap (09/10/2013)
Parameter Nilai Satuan Remarks Nilai Normal
WBC 8,67 103/μL Normal 5,2-12,4x103/μL
#Ne 7,55 103/μL Normal 1,90-8,00x103/μL
#Lym 0,47 103/μL Normal 0,90- 5,12x103/μL
#Mo 0,41 103/μL Normal 0,16 - 1,00x103/μL
#Eo 0,13 103/μL Normal 0,00 - 0,80x103/μL
#Ba 0,02 103/μL Normal 0,00 - 0,20x103/μL
RBC 3,94 103/μL Menurun 4,20 - 5,40 x106/μL
HGB 11,1 g/dl Menurun 12,00 - 16,00 g/dl
HCT 34,1 % Menurun 37,00 - 47,00 %
MCV 86,7 fl Normal 81,00 - 99,00 fl
MCH 33,4 pg Normal 27,00 - 31,20 pg
MCHC 32,5 g/dl Normal 33,00 - 37,00 g/dl
32
PLT 208 103/ul Normal 130,00 - 400,00x103/μL
Anemia Ringan Normokromik Normositer
Kimia Klinik (09/10/2013)
Parameter Nilai Satuan Remarks Nilai Normal Satuan
SGOT 15,10 IU/L Normal 11,00 - 33,00 IU/L
SGPT 20,80 IU/L Normal 11,00 - 50,00 IU/L
Albumin 2,94 g/dL Rendah 3,4 - 4,8 g/dL
BUN 106,00 mg/dL Tinggi 8,00 - 23,00 mg/dL
Creatinin 16,30 mg/dL Tinggi 0,70 - 1,20 mg/dL
GDS 254 mg/dL Tinggi 70 - 140 mg/dL
Estimasi GFR = (140- 65 ) x 45 kg x 0,85 = 2,44 ml/mnt/1,73 m2 Stage V
72x16,30
Hipoalbuminemia
Analisa Gas Darah (09/10/2013)
Parameter Nilai Satuan Remarks Nilai Normal Satuan
pH 7,38 - Normal 7,35 - 7,45 -
pCo2 35,00 mmHg Normal 35,00 - 45,00 mmHg
33
pO2 95,00 mmHg Normal 80,00 - 100,00 mmHg
HCO3- 22,70 mmol/L Normal 22,00 - 26,00 mmol/L
SO2c 97,00 Normal 95,00 - 100,00
Natrium 141,00 mmol/L Normal 136,00 - 145,00 mmol/L
Kalium 4,50 mmol/L Normal 3,5 - 5,10 mmol/L
Urinalisis (04/10/2013)
Parameter Nilai Satuan Nilai Normal
pH 5 - 5-8
Leukosit 500/3+ Leu/μL Neg
Nitrit Positif - Neg
Protein 500/4+ mg/dL Neg
Glukosa 50/1+ mg/dL Norm
Ketone 5/1+ mg/dL Neg
Urobilinogen Negatif mg/dL 1 mg/dL
Bilirubin 1/1+ mg/dL Neg
Darah 250/5+
SEDIMEN
Leukosit BANYAK /lp < 6/lp
Eritrosit BANYAK /lp < 3/lp
Sel Epitel - - -
34
Sel Gepeng 3-4 /lp -
Silinder Granula + /lp -
Lain-lain Bakteri +
Proteinuria
Glukosuria
Mikro Hematuria
Leukosituria
Ketonuria
Bakteriuria
35
2.4.2 Foto X-Ray (23/09/2013)
Foto Thorax PA
Kesan:
Kardiomegali dengan aortasklerosis
Edema pulmonum dd/ pneumonia
Efusi pleura minimal bilateral
Foto Polos Abdomen (BOF)
36
Kesan:
Ascites
Spondilosis lumbalis
2.4.3 USG Abdomen (23/09/2013)
37
38
Kesimpulan : Ascites
Hepar/lien/gall bladder/ginjal kanan kiri/uterus normal
39
2.4.3 Elektrokardiografi (EKG) (23/09/2013)
Kesimpulan : normal sinus rhtyhm
Ekokardiografi : AR mild, MR mild, PR mild, TR mild, PE mild, EF 41%
2.5 DIAGNOSIS KERJA
Chronic Kidney Disease (CKD) Stage V e.c. Diabetic kidney disease
(DKD) dd/ PNC
- Anemia Ringan Normokromik Normositer on CKD
- Hipertensi Stage II
- Hipoalbuminemia
- ADHF profile B ec HHD
- Stroke non hemoragik ec emboli
- ISK
40
2.6 TERAPI
-Hemodialisa rutin 2x/minggu
-Diet 2800 kkal + 96 gram protein + rendah garam per hari
-IVFD NaCl 0,9% 8 tetes per menit
-Captopril 3x50 mg per oral
-Novorapid 4 unit pagi hari dan 6 unit malam hari
-CaCO3 3x500 mg per oral
-Furosemid 2x40 mg (40-40-0) per oral
-Spironolacton 1x25 mg (25-0-0) per oral
-Asam folat 2x2 mg per oral
-Ciprofloxacin 2x1 gram iv
2.7 PLANNING DIAGNOSIS
- Urine culture, CC, sensitivity test
- KIE double lumen rencana HD reguler
2.8 MONITORING
- Vital sign dan keluhan.
2.9 KIE
- Pengaturan diet tinggi kalori dan rendah protein bagi penderita CKD serta
pembatasan dalam pemberian cairan dan minum sehari-harinya.
- Melakukan kontrol rutin untuk mengetahui perkembangan penyakit dan
melakukan rutinitas hemodialisis untuk memperbaiki gejala CKD.41
BAB IV
PEMBAHASAN
Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal yang telah berlangsung lebih dari 3
bulan dengan adanya kelainan struktur maupun fungsional, dengan atau tanpa
penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR). Pada pasien ini didapatkan trias
CKD yaitu riwayat hipertensi, edema pada seluruh tubuh dan anemia.
- Didapatkan riwayat diabetes mellitus sejak 7 tahun yang lalu dan sudah
mendapatkan obat anti diabetes namun tidak teratur diminum.
- Didapatkan riwayat hipertensi sejak 7 tahun yang lalu dan tidak meminum
obat rutin.
- Pasien dengan diabetes mellitus, baik tipe I atau pun tipe II, cepat atau lambat
akan memiliki efek komplikasi terhadap kerja ginjal. Diabetic nephropathy
merupakan komplikasi dari diabetes. Pada kondisi ini, ginjal kehilangan
fungsinya ditandai dengan kadar protein tinggi dalam urin (proteinuria), yaitu
albumin (>300 mg/hari atau >200 mcg/min) yang berlangsung 2-6 bulan,
penurunan GFR, dan peningkatan tekanan darah.
- Pasien dengan hipertensi dapat memperberat kerja ginjal atau juga sebaliknya,
kerja ginjal yang tidak optimal dapat berakibat peningkatan tekanan darah
systole dan diastole.
- Pengobatan yang diberikan pada diabetes mellitus dengan gagal ginjal kronik
adalah mengontrol penyakit dan memperlambat kerusakan yang lebih parah.
Dilakukan dengan mengontrol kadar gula darah, kontrol terhadap tekanan
darah, diet rendah protein, serta dialisis dan transplantasi sebagai pilihan
untuk kerusakan tubuh yang tidak terkompensasi.
- Pengobatan yang baik diberikan pada penderita diabetes mellitus dengan
gagal ginjal kronik adalah insulin terapi.
42
- Insulin terapi yang diberikan harus dipertimbangkan dosisnya, karena dengan
adanya penurunan kerja glomeruli, kadar insulin yang diekskresi menjadi
lebih sedikit. Oleh karena itu, dosis insulin harus diperhitungkan ketat agar
tidak menyebabkan hipoglikemia.
- Obat hipertensi yang baik diberikan pada penderita gagal ginjal adalah
golongan ACE inhibitor (Captopril) atau golongan ARB (angiotensin receptor
blocker). Cara kerja dari obat ini adalah menghambat Angiotensin I menjadi
Angiotensin II. Angiotensin II bekerja pada otot-otot pembuluh darah untuk
berkontraksi, yang menyempitkan pembuluh darah. ACE inhibitor akan
menyebabkan vaskuler yang melebar dan tekanan darah berkurang. Secara
umum, efek dari obat ini adalah pelebaran vaskuler darah, meningkatkan
output jantung, dan peningkatan natriuresis (ekskresi natrium dalam urin).
- Selain sebagai obat anti hipertensi, ACE inhibitor juga memproteksi glomeruli
dengan menurunkan kadar proteinuria. Efek samping dari obat-obat ini adalah
hiperkalemia.
- Kadar kalium yang tinggi dalam darah (>5,5 mEq/L) akan melibatkan
neuromuskuler (kelemahan otot), mual, pada jantung terjadi disritmia jantung,
bradikardia, perubahan EKG. Oleh karena itu, rangkaian pengobatan
selanjutnya adalah mengurangi kadar kalium darah. Pasien dapat diberikan
kalsium glukonas, kalsium klorida, asam folat, dan dialysis.
- Diet makanan yang diberikan adalah rendah protein. Hal ini berkaitan untuk
tidak menambah berat kerja ginjal dengan menurunkan produksi urea.
- Renal replacement therapy merupakan penanganan dengan dialysis dan
transplantasi ginjal atau pun juga pankreas.
TEORI KASUS
1. CKD merupakan penyakit ginjal akibat adanya
kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan
yang disertai dengan penurunan GFR < 60
1. Pada pasien : ditemukan
kerusakan ginjal yang ditandai
dengan proteinuria,
43
mL/min/1,73 m2, dengan atau tanpa penurunan
fungsi ginjal yang bersifat irreversible.
peningkatan BUN,
mikrohematuria, GFR 2,44
ml/menit/1,73 m2.
2. Trias CKD : edema, hipertensi, anemia. 2. Pasien ini mengalami
edema dan memiliki riwayat
hipertensi. Pasien mengalami
anemia derajat sedang N-N.
3. Stage of CKD
Stage Description GFR (mL/min/1.73 m2)
Action3
1 Kidney damage with normal
or GFR
90Diagnosis and treatment. Treatment of comorbid conditions. Slowing of progression. Cardiovascular disease risk reduction.
2 Kidney damage with mildly
GFR
60–89 Estimating progression.
3 Moderately 30–59 Evaluating and treating complications.
3. Pada kasus ini. Pasien
mengalami CKD stage V,
telah terjadi kegagalan fungsi
ginjal yang didukung dengan
GFR 2,44 mL/min/1,73 m2.
Sehingga untuk
penanganannya diperlukan
terapi replacement yaitu
berupa hemodialisis untuk
segera membuang toksin yang
terakumulasi.
- BUN dan Serum Creatinin
yang tinggi.
- Pada kasus masih di
diagnosis dengan CKD stage
V e.c. diabetic nefropati dd/
Pyelonefritis Kronis.
44
GFR
4 Severely
GFR
15–29 Preparation for kidney replacement therapy.
5 Kidney failure
< 15 (or dialysis)
Replacement (if uremia is present).
1From National Kidney Foundation, KDOQI,
chronic kidney disease guidelines
4. Anemia merupakan salah satu komplikasi pada
CKD, terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin,
hormon yang bertanggung jawab dalam merangsang
sumsum tulang untuk memproduksi sel darah
merah.
5. Diet pada CKD : tinggi karbohidrat dan rendah
protein, cukup untuk memenuhi kebutuhan basalnya
(0,5-0,8 g protein/kgBB/hari) dan diet rendah
garam.
6. Hemodialisis merupakan salah satu renal
replacement therapy untuk menggantikan fungsi
ekskresi dari ginjal khususnya pada nilai GFR < 15
4. Pada pasien ini mengalami
anemia normokromik
normositer.
5. Diet 35 kkal/kgBB/hari, 0,8
g protein/kgBB/hari dan diet
rendah garam 2 gram per hari.
6. Dilakukan HD, karena
kadar ureum dan creatinin
tinggi.
45
mL/min/1.73 m2.
7. Asam Folat digunakan untuk mencegah
peningkatan kadar homosistein akibat menurunnya
kemampuan ekskresi homosistein oleh ginjal.
Hiperhomosistein dikatkan dengan kecenderungan
aterogenesis yang berdampak pada kejadian
kardiovaskular.
8. CaCO3 digunakan sebagai pengikat fosfat.
Kelebihan fosfat dalam darah akan menarik kalsium
dari tulang yang menyebabkan tulang menjadi rapuh
dan keropos. Fosfat yang berikatan dengan pengikat
fosfat akan membentuk garam yang tidak larut dan
dibuang melalui feses.
9. Ciprofloxacin merupakan antibiotik sintetik
golongan quinolone yang bekerja dengan
menghambat DNA-gyrase. Ciprofloxacin efektif
terhadap bakteri yang resinsten terhadap antibiotika
lain misalnya penisilin, aminoglikosida,
cefalosporin, dan tetrasiklin. Ciprofloxacin efektif
terhadap bakteri gram negatif dan gram positif.
Biasanya efektif untuk infeksi saluran kemih,
uretritis dan infeksi saluran pernapasan
10. Kombinasi amlodipin dan captopril.
Amlodipin merupakan obat antihipertensi antagonis
kalsium golongan dihidropiridine yang menghambat
7. Pada pasien diberikan Asam Folat 2 x 2mg.
8. Pada pasien diberikan
CaCO3 3 x 500 mg.
9. Pada pasien diberikan
antibiotik karena terdapatnya
bakteri pada pemeriksaan
urinalisis. Karena belum
dilakukan kultur urin maka
pada pasien ini diberikan
terapi empiris.
10. Pada pasien ini menderita
hipertensi grade II. Maka
diberikan kombinasi obat
antihipertensi captopril 2 x 50
46
influks ion kalsium melalui membran ke dalam otot
polos vaskular dan otot jantung sehingga
mempengaruhi kontraksi. Bekerja langsung sebagai
vasodilator arteri perifer yang dapat menyebabkan
penurunan resistensi vaskuler serta penurunan
tekanan darah.
Captopril merupakan obat antihipertensi
golongan ACE-inhibitor. Captopril bekerja langsung
dengan menginhibisi enzim pengubah angiotensin I
menjadi angiotensin II.
mg
47
BAB V
KESIMPULAN
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Patofisiologi
penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat
hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran
glomerulus. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif. Diabetes melitus adalah salah satu penyebab terjadinya penyakit ginjal
kronis. Beberapa tanda timbulnya penyakit ginjal pada penderita DM, yaitu
ditemukannya albumin atau urin di dalam urin, tekanan darah tinggi, pembengkakan
pada tungkai, kemampuan berkemih meningkat pada malam hari, peningkatan kadar
BUN dan kreatinin dalam darah, mual dan muntah, kelemahan, pucat dan anemia,
terkadang pasien juga merasakan gatal pada tubuhnya.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1035-1040.
2. Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC; 1435-1443.
3. Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
4. Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.
5. Adamson JW (ed). 2005. Iron Deficiency and Another Hipoproliferative Anemias in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th edition vol 1. McGraw-Hill Companies; 586-92.
6. Basuki BP. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi 3. Jakarta: CV Sagung Seto; 21-40.7. National Kidney Foundation. 2002. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification and Stratification. Am J Kidney Dis; 39:1-266.
8. Prodjosudjadi W dan SuhardjonoEthn A. 2009. End-Stage Renal Disease In Indonesia: Treatment Development. Ethnicity & Disease; 19: 33-36.
9. Andrew S, et al. 2008. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in Adults. American Academy of Family Physicians; Vol 70: 869-75.
10. National Kidney Foundation. 2007. K/DOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practise Recommendations for Diabetes and Chronic Kidney Disease. American Journal of Kidney Disease; Vol 49(2):1-180.
11. Kidney Health Australia. Diabetic Kidney Disease. Available at http://www.kidney.org.au/ForPatients/Management/DiabetesandCKD/tabid/704/Default.aspx accessed on 18 Agustus 2013.
12. National Kidney Foundation. Diabetes and Kidney Disease. Available at http://www.kidney.org/atoz/content/diabetes.cfm accessed on 18 Agustus 2013.
13. Soewondo P.,dkk. 2011. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Pasien Diabetes
Melitus. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
14. Fauci, A., Kasper, D., Longo, D., et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th edition. United States of America: The McGraw Hill inc
49
15. Duaine D. Murphree, Sarah M. Thelen. Chronic Kidney Diesase in Primary
Care. JABFM. 2010. 23(4): 542-550
16. Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi. 2011. Malang. RSUD Saiful
Anwar. Hal : 58-59.
17. CDC. National Chronic Kidney Disease Fact Sheet. 2010. Atlanta.
18. Keith K. Lau, Robert J. Wyatt. Glomerulonephritis. Adolesc Med. 2005. 16:
67-85
19. Mcgrogan A, Franssen CFM, Vries CS. The incidence of primary
glomerulonephritis worldwide: a systematic review of the literature. Nephrol
Dial Transplant (2011) 26: 414–430
50