16
7 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Pemanasan Global Pemanasan global (global warming) merupakan kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan. Pemanasan global berdampak langsung maupun tidak langsung di segala aspek kehidupan di dunia. Interaksi manusia merupakan pengaruh utama dalam keseimbangan siklus karbon. Proses industrialisasi, transportasi, pembukaan lahan, dan pembuangan sampah, merupakan kegiatan yang dapat melepaskan GRK ke atmosfer. Sebagaimana dilaporkan IPCC dan CRU, bahwa kenaikan suhu iklim global terjadi pada era abad 19 (Gambar 2.1). Kenaikan suhu pada periode waktu tersebut linier dengan kenaikan jumlah konsentrasi GRK (Gambar 2.2). Gambar 2.1. Anomali Temperatur Permukaan Bumi pada Era Abad 19 (http://www.cru.uea.ac.uk/cru/info/warming/)

Review Chapter 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Theoretical review of Gaussian dispersion model and Geographic Information System

Citation preview

Page 1: Review Chapter 2

7

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1 Pemanasan Global

Pemanasan global (global warming) merupakan kejadian meningkatnya

temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan. Pemanasan global berdampak

langsung maupun tidak langsung di segala aspek kehidupan di dunia. Interaksi

manusia merupakan pengaruh utama dalam keseimbangan siklus karbon. Proses

industrialisasi, transportasi, pembukaan lahan, dan pembuangan sampah,

merupakan kegiatan yang dapat melepaskan GRK ke atmosfer. Sebagaimana

dilaporkan IPCC dan CRU, bahwa kenaikan suhu iklim global terjadi pada era abad

19 (Gambar 2.1). Kenaikan suhu pada periode waktu tersebut linier dengan

kenaikan jumlah konsentrasi GRK (Gambar 2.2).

Gambar 2.1. Anomali Temperatur Permukaan Bumi pada Era Abad 19

(http://www.cru.uea.ac.uk/cru/info/warming/)

Page 2: Review Chapter 2

8

Gambar 2.2. Konsentrasi Gas Rumah Kaca pada Tahun 0-2005

(http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/wg1/en/faq-2-1-

figure-1.html)

2.2 Gas Rumah Kaca TPA

Pada TPA terjadi proses penguraian secara anaerob pada komponen sampah

organik. Proses penguraian tersebut menghasilkan gas, dimana yang paling

dominan adalah gas metan dan karbon dioksida (Tchobanoglous, Theisen, & Vigil,

1993). Berdasarkan Gambar 2.2, gas yang mempunyai konsentrasi tertinggi di

atmosfer adalah karbon dioksida. Komposisi prosentase gas-gas hasil proses

penguraian di TPA sesuai Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Prosentase Gas landfill

Komponen Gas Prosentase

(Berat Kering) Metan 45 - 60 Karbon dioksida 40 - 60 Nitrogen 2 - 5 Oksigen 0,1 - 1 Sulfida, disulfida, derkaptan, dll 0 - 1 Amonia 0,1 - 1 Hidrogen 0 – 0,2 Karbon monoksida 0 – 0,2 Trace Gas 0,01 – 0,6

Karakteristik Nilai

Temperatur (oF) 100 -120 Specific gravity 1,02 – 1,06 Nilai panas (Btu/sft) 400 - 550

Sumber: (Tchobanoglous, Theisen, & Vigil, 1993)

Page 3: Review Chapter 2

9

Metan yang terlepas di udara sangat berbahaya, dimana konsentrasi metan

di udara minimal 5 % sampai 15 % dapat mengakibatkan ledakan (Tchobanoglous,

Theisen, & Vigil, 1993). Dalam rangka mencegah hal tersebut, pada TPA dipasang

alat perangkap gas metan, yang kemudian di konversi melalui proses pembakaran

(flaring). Proses pembakaran metan akan menghasilkan karbon dioksida, yang

dianggap lebih ramah berkaitan dengan efek pemanasan global terhadap atmosfer

(Bracmort, dkk, 2009). Reaksi proses konversi metan menjadi karbon dioksida

adalah sebagai berikut.

CH4 + 2O2 → CO2 + 2H2O ......................................................................................... ̀ (2-1)

Berat jenis campuran karbon dioksida dan metan yang umumnya ditemukan

dalam gas TPA adalah hampir sama dengan udara, sehingga gas dari TPA tidak

mempunyai kecenderungan naik ke udara (Aberta Environmental Protection,

1999). Sedangkan gas metan murni, mempunyai berat jenis lebih ringan dari udara

(0,66 kg/m3), sehingga mempunyai kecenderungan naik secara vertikal (Aberta

Environmental Protection, 1999).

2.2.1 Laju Timbulan Gas TPA

Selain pengukuran langsung terdapat perangkat lunak untuk menghitung

laju emisi gas TPA secara teoritis, salah satunya adalah LandGEM. Laju

pembentukan metan dalam LandGEM didasarkan pada persamaan orde pertama

dekomposisi, dimana digunakan untuk memprakirakan emisi tahunan berdasarkan

periode waktu yang ditentukan (Alexander, Burklin, & Singleton, 2005).

QCH4= ∑ ∑ k1

j=0,1ni=1 . L0. (

Mi

10) .e-k.tij ........................................................ (2-2)

Keterangan:

QCH4 = Laju pembentukan metan pada tahun perhitungan (m3/thn)

i = Kenaikan 1 tahun

n = (Tahun perhitungan) – (Awal tahun penerimaan)

j = Kenaikan 0,1 tahun

k = Laju pembentukan metan (thn-1)

L0 = Potensi pembentukan metan (m3/Mega gram)

Mi = Berat sampah yang diterima pada tahun ke i (Mega gram)

tij = umur sampah bagian ke j pada penerimaan tahun ke i

(dalam desimal contoh: 3,2 tahun)

Page 4: Review Chapter 2

10

LandGEM mengasumsikan gas dari TPA terdiri dari metan dan karbon

dioksida. Laju pembentukan karbon dioksida dihitung berdasarkan laju

pembentukan metan (QCH4) dan prosentase (PCH4).

QCO2

=QCH4

. {[1

PCH4100⁄

] -1} ........................................................................... (2-3)

Emisi gas dari TPA yang tidak dikontrol dapat didekati dengan persamaan

orde pertama pada LandGEM, selain itu hasil perhitungan massa emisi dapat

digunakan untuk model dispersi berkaitan dengan nilai konsentrasi ambien

(USEPA, 2005).

2.2.2 Karakteristik dan Efek Karbon dioksida

Karbon dioksida merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau. Pada

suhu 25 oC mempunyai berat jenis 1,58 kg/m3 pada atau 1,5 kali lebih berat dari

udara. Prosentase karbon dioksida dari komposisi udara di atmosfer berkisar 0,01 –

0,1 %. Pada siklus alami jumlah komponen sumberdaya lingkungan adalah tetap,

namun jika terjadi gangguan terhadap prosesnya akan membuat ketidakseimbangan

atau akumulasi yang berlebihan (Karnaningroem & Soedjono, 2011). Secara alami

karbon dioksida dihasilkan oleh proses gunung berapi dan proses respirasi mahkluk

hidup. Selain keberadaannya secara alami, karbon dioksida merupakan hasil

pembakaran organik karbon. Proses konversi (pembakaran) tersebut yang menurut

IPCC dan CRU sebagai sumber peningkatan karbon dioksida di atmosfer.

Berat jenis karbon dioksida 1,5 kali lebih berat dari udara, menyebabkan gas

tersebut melayang di permukaan tanah. Hal ini yang sering menyebabkan kasus

kematian pada manusia, dimana berkaitan dengan pekerjaan penggalian tanah dan

pertambangan. Karbon dioksida (CO2) adalah lawan dari oksigen yang secara

normal keduanya terdapat pada tubuh. Namun apabila jumlah CO2 meningkat

melebihi batas normal akan menjadi racun untuk tubuh dengan cara memblok aliran

oksigen di pembuluh darah ke sel atau jaringan (Hamdani, 2012).

Page 5: Review Chapter 2

11

2.2.3 Tanaman Sebagai Penyerap Gas Karbon dioksida

Fotosintesis merupakan proses alami pada tumbuhan yang dapat menyerap

karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Pada proses fotosintesis, karbon

dioksida dan air yang terserap akan digunakan oleh tanaman hijau untuk proses

penyusunan glukosa atau zat gula.

6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2 .................................................. (2-4)

Pemanfaatan tumbuhan sering digunakan untuk mereduksi pencemaran udara yang

terjadi di perkotaan melalui penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Berdasarkan penelitian Endes N. Dahlan dalam Alamendah (2010), tiga

tanaman penyerap karbon dioksida terbesar adalah trembesi (28.488,39 kg/tahun),

ketepeng (5.295,47 kg/tahun), kenanga (756,59 kg/tahun). Menurut Purwaningsih

(2007), pada klasifikasi usia kurang dari 50 tahun, pohon kenanga mempunyai

kemampuan serapan karbon dioksida terbesar. Selain itu bunga dari pohon kenanga

mempunyai aroma khas yang wangi (Alamendah, 2011). Dalam peranannya

sebagai tanaman hutan kota, baik itu sebagai pohon peneduh, penyerap karbon

dioksida dan lain sebagainya, tanaman ditanam dengan jarak yang rapat yaitu pada

kisaran area 5 m x 5 m (Karyadi, 2005). Menurut Iverson, dkk, (1993) tipe tutupan

vegetasi mempunyai kemampuan serapan yang berbeda-beda. Klasifikasi tipe

tutupan vegetasi menurut Iverson, sesuai Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Nilai Serapan Karbon Dioksida oleh Tutupan Vegetasi

Tipe Vegetasi Serapan CO2

(ton/ha/Tahun)

Hutan 58.3

Perkebunan 52.4

Semak belukar 3.3

Rumput 3.3

Sumber: Iverson, dkk (1993) dalam Tinambunan, (2006)

Penanaman tanaman hijau di sekitar kawasan TPA merupakan suatu

peraturan yang wajib dan telah diatur didalam Permen PU No. 19/PRT/M/2012.

Jarak zona penyangga dari batas terluar TPA adalah sejauh 500 meter, dan

greenbelt yang termasuk didalam area tersebut mempunyai jarak ketebalan 100

meter. Penanaman pada area greenbelt, mempunyai jarak minimal kerapatan 5

meter untuk pohon yang berumur panjang (Kementrian PU, 2012).

Page 6: Review Chapter 2

12

Gambar 2.3. Pembagian Zona Sekitar TPA (Kementrian PU, 2012)

2.3 Model Dispersi Gaussian

Model dispersi Gaussian merupakan model yang mengasumsikan bahwa

penyebaran polutan di udara mempunyai probabilitas distribusi normal (Gauss).

Pendekatan distribusi Gauss untuk dispersi udara dikembangkan oleh Sutton

(1932), Pasquil (1961, 1974), dan Gifford (1961, 1968) (Hanna, dkk, 1982). Dalam

bidang statistik, distribusi data normal ditunjukkan oleh kurva normal yang

berbentuk seperti genta (lonceng).

Gambar 2.4. Kurva Distribusi Normal

(http://www.itl.nist.gov/div898/handbook/pmc/section5/pmc51.htm)

Page 7: Review Chapter 2

13

μ merupakan nilai tertinggi atau frekuensi terbanyak (modus), σ merupakan

simpangan baku (standar deviasi), dan π = 3,14. Variabel x akan dikatakan

terdistribusi normal jika fungsi densitas dari f(x) memenuhi persamaan berikut.

f(x)=1

σ(2π)0,5 exp [

-(x-μ)2

2σ2] ......................................................................................... (2-5)

Pada proses penyebaran polutan, apabila dilakukan pemotongan pada

koordinat yz, maka fungsi distribusi nilai konsentrasi dari polutan tersebut akan

berbentuk kurva distribusi normal (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Potongan Kurva Distribusi Normal Polutan pada Sumbu yz

(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Gaussian_Plume.png)

Pengembangan prinsip distribusi normal pada dispersi polutan, menjadikan

perubahan pada formulasi distribusi normal. Berkaitan dengan arah distribusi

dispersi (koordinat xyz), menjadikan bentuk formulasi adalah distribusi normal

ganda (Wark & Warner, 1976). Selain itu terdapat pula faktor lain yang termasuk

didalamnya, seperti laju emisi (Q), tinggi emisi (H), kecepatan angin (u), dan faktor

refleksi. Sehingga bentuk formulasi dispersi polutan Gaussian adalah sebagai

berikut.

C(x,y,z,H)=Q

2πuσyσz[exp- (

y2

2σy2)] {exp [

-(z-H)2

2σz2 ] +exp [

-(z+H)2

2σz2 ]} .......................... (2-6)

Page 8: Review Chapter 2

14

Dikarenakan tolok ukur atau mayoritas obyek yang terdampak dispersi polutan

berada di permukaan tanah. Dengan mempertimbangkan faktor refleksi,

pengembangan formulasi dispersi pada Persamaan 2-6 di muka tanah (z = 0) adalah

sebagai berikut.

C(x,y,0,H)=Q

πuσyσzexp (

-H2

2σz2) exp (

-y2

2σy2) ................................................................. (2-7)

Dimana :

C(x,y,z,H) = Tingkat konsentrasi pada koordinat x,y,z dengan sumber emisi pada

ketinggian H (μg/m3)

x = Nilai koordinat relatif horizontal searah angin

y = Nilai koordinat relatif memotong arah angin

z = Nilai koordinat relatif vertikal

Q = Laju emisi polutan (μg/detik)

u = Kecepatan angin rata-rata dalam arah x (m/detik)

H = Tinggi emisi (tinggi cerobong + tinggi asap)

σy,σz = Koefisien dispersi lateral dan vertikal

Formula dispersi Gaussian yang telah dijelaskan, adalah formulasi untuk

sumber emisi berupa titik. Penerapan formulasi dispersi Gaussian juga dilakukan

terhadap sumber emisi garis. Sumber emisi garis dapat berupa sumber emisi titik

yang memanjang, atau pada umumnya diterapkan dalam menghitung dispersi

polutan akibat emisi kendaraan pada suatu jalan. Sedangkan sumber emisi area

berupa delineasi pada luasan area, atau didekati dengan mengambil titik pusat dari

sumber emisi area (Environment Agency, 2008). Terdapat beberapa asumsi

pendekatan dalam aplikasi model Gaussian, menurut Abdel-Rahman (2008)

pendekatan asumsi tersebut meliputi:

a. Kondisi dalam keadaan steady state, dimana emisi dalam keadaan berkelanjutan

(kontinyu) dan perubahan arah difusi diabaikan.

b. Materi yang dimodelkan berupa gas yang stabil atau aerosol dengan laju deposisi

diabaikan.

c. Materi tidak berubah (konservatif) jika terjadi refleksi dengan permukaan tanah.

d. Akumulasi polusi dari sumber lain diabaikan.

Page 9: Review Chapter 2

15

e. Kecepatan dan arah angin konstan berkaitan dengan waktu dan elevasi.

f. Pergeseran karena arah angin diabaikan.

g. Permukaan tanah relatif datar.

Limitasi rentang jarak yang harus dipertimbangkan dalam model Gaussian adalah

kurang dari 50 km, model dispersi dengan jarak lebih dari 50 km dibutuhkan

pengembangan suatu model (Environment Agency, 2008).

2.3.2 Standar Deviasi (Koefisien Dispersi)

Nilai koefisien dispersi (σy,σz), merupakan nilai standar deviasi dalam

kurva distribusi normal. Dalam dispersi polutan nilai-nilai tersebut dipengaruhi

oleh stabilitas atmosfer. Terdapat enam klasifikasi stabilitas atmosfer, klasifikasi

tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3. Sedangkan nilai koefisien dispersi (σy,σz)

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu daerah pedesaan (area terbuka) dan perkotaan

(area terbangun), formulasi ini dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.3. Klasifikasi Stabilitas Atmosfer Pasquill

Kecepatan Angin Intensitas Matahari (Siang) Tutupan Awan

(Malam)

m/s mil/jam Kuat

(sun > 60o)

Sedang

(sun 35o-60o) Rendah

(15o<sun<35o) > 50% < 50%

<2 <5 A A-B B E F

2-3 5-7 A-B B C E F

3-5 7-11 B B-C C D E

5-6 11-13 C C-D D D D

>6 >13 C D D D D

Sumber: (Arystanbekova, 2004); (Wark & Warner, 1976); (Perkins, 1974)

Tabel 2.4. Formulasi Koefisien Dispersi Brigg

Klasifikasi dan Stabilitas

Atmosfer Pasquill σy (m) σz (m)

Pedesaan (area terbuka)

A 0.22x(1 + 0.0001x)−1/2 0.2x

B 0.16x(1 + 0.0001x)−1/2 0.12x

C 0.11x(1 + 0.0001x)−1/2 0.08x(1 + 0.0002x)−1/2

D 0.08x(1 + 0.0001x)−1/2 0.06x(1 + 0.0015x)−1/2

E 0.06x(1 + 0.0001x)−1/2 0.03x(1 + 0.0003x)−1

F 0.04x(1 + 0.0001x)−1/2 0.016x(1 + 0.0003x)−1

Perkotaan (area terbangun)

A-B 0.32x(1 + 0.0004x)−1/2 0.24x(1 + 0.001x)

C 0.22x(1 + 0.0004x)−1/2 0.2x

D 0.16x(1 + 0.0004x)−1/2 0.14x(1 + 0.0003x)−1/2

E-F 0.11x(1 + 0.0004x)−1/2 0.08x(1 + 0.0015x)−1/2

Dimana nilai x adalah jarak dari sumber emisi Sumber: (Arystanbekova, 2004)

Page 10: Review Chapter 2

16

2.3.3 Arah dan Kecepatan Angin

Dalam aplikasi model dispersi Gaussian, selain deviasi atau koefisien

dispersi, angin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses dispersi

polutan. Berdasarkan formulasi Gauss pada Persamaan 2-6 dan Persamaan 2-7,

kecepatan angin berbanding terbalik dengan fungsi nilai konsentrasi dispersi.

Penyederhanaan persamaan tersebut dapat dilakukan untuk perhitungan konsentrasi

pada garis tengah (center line) dispersi pada arah searah tiupan angin (downwind).

Persamaan dispersi Gaussian untuk center line adalah sebagai berikut.

C(x,0,0,0)=Q

πuσyσz ....................................................................................................... (2-8)

Apabila nilai kecepatan angin (u) = 0 m/s sesuai Persamaan 2-8, maka nilai

konsentrasi bersifat tidak terbatas (infinity). Sehingga syarat nilai kecepatan angin

dalam aplikasi dispersi Gaussian adalah (u > 0). Adapun klasifikasi kecepatan angin

sesuai Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Klasifikasi Kecepatan Angin Beaufort

Kecepatan

(m/s)

Keterangan Kondisi daratan

< 0,3 Tenang (calm) Asap naik vertikal

0,3 – 1,5 Ringan (Light air) Asap bergerak, daun tetap tenang

1,6 – 3,4 Sepoi-sepoi ringan

(Light Breeze)

Angin terasa di kulit, daun gemerisik,

pengukur angin mulai bergerak

3,5 – 5,4 Sepoi-sepoi lembut

(Gently Breeze)

Daun dan ranting kecil terus-menerus

bergerak, bendera memanjang

5,5 – 7,9 Sepoi-sepoi sedang

(Moderate Breeze)

Debu dan lembaran kertas terangkat, cabang

kecil mulai bergerak

8,0 – 10,7 Sepoi-sepoi kasar (Fresh

Breeze)

Cabang ukuran sedang mulai bergerak,

pohon kecil dengan daun mulai bergoyang

10,8 – 13,8 Sepoi-sepoi kuat (Strong

Breeze)

Cabang besar bergerak, suara angin

terdengar, penggunaan payung menjadi sulit,

sampah plastik terbang ke atas

13,9 – 17,1 Angin besar (High wind) Keseluruhan pohon bergerak, dibutuhkan

usaha untuk berjalan melawan angin

17,2 – 20,7 Badai (Gale) Ranting patah, dapat membelokkan mobil,

berjalan kaki akan terhambat

20,8 – 24,4 Badai kuat (Strong Gale) Cabang pohon patah, pohon kecil roboh,

penanda jalan dan bangunan non permanen

ambruk

24,5 – 28,4 Angin ribut (Storm) Pohon tumbang atau patah, lapisan aspal

yang buruk akan terkelupas

Page 11: Review Chapter 2

17

Tabel 2.5. Klasifikasi Kecepatan Angin Beaufort (Cont)

Kecepatan

(m/s)

Keterangan Kondisi daratan

28,5 – 32,6 Angin ribut yang

merusak (Violent Storm)

Kerusakan vegetasi dalam area luas, lapisan

atap akan rusak, lapisan aspal yang retak dan

mendongak ke atas akan terlepas

> 32,7 Tornado (Hurricane) Kerusakan vegetasi yang sangat luas, rumah

mobil, puing dan benda akan terlempar.

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Beaufort_scale

Selain kecepatan angin, pada suatu titik pantau juga terdapat pola

kecenderungan arah angin. Pola arah angin dalam periode waktu tertentu, umumnya

ditampilkan dalam bentuk diagram mawar angin (windrose). Contoh bentuk

windrose sesuai Gambar 2.6, dimana titik/lingkaran di tengah merupakan kondisi

kecepatan angin saat tenang (calm). Lingkaran-lingkaran yang terbentuk menjauhi

pusat, merupakan nilai skalatis prosentase kejadian angin. Sedangkan klasifikasi

kecepatan angin ditunjukkan dalam bentuk diagram batang. Berkaitan dengan

proses plotting ke diagram mawar angin, panjang diagram batang tiap klasifikasi

kecepatan angin disesuaikan dengan prosentase yang terjadi. Prosentase tersebut

merupakan perbandingan jumlah kejadian tiap klasifikasi kecepatan angin dengan

total kejadian kecepatan angin (Wark & Warner, 1976).

Gambar 2.6. Diagram Mawar Angin (Windrose)

(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Wind_rose_plot.jpg)

Page 12: Review Chapter 2

18

2.4 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi khusus yang mengelola

data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti lain,

adalah sistem komputasi yang memiliki kemampuan untuk membangun,

menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis (ESRI,

2008). Adapun aplikasi SIG antara lain:

a. Digunakan untuk menentukan lokasi potensial untuk pemukiman, industri, serta

sarana dan prasarana.

b. Untuk merencanakan jalur yang sesuai dengan geometrik jalan, arah pergerakan

(origin-destination), maupun optimasi sistem transportasi.

c. Mengetahui pola pergerakan, sebaran, serta keanekaragaman hewan dan

tumbuhan pada suatu kawasan.

d. Untuk mengetahui area tangkapan air dan akumulasi pengaliran pada

perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS) atau drainase.

e. Untuk mengetahui pola penyebaran pencemar, daya dukung lingkungan dan

menganalisa dampak lingkungan yang terjadi.

f. Untuk pendugaan daerah rawan bencana (Geohazard)

g. Aplikasi lainya yang berkaitan dengan unsur geografis.

Data SIG secara mendasar dibagi menjadi dua macam, yaitu data grafis dan

data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau

kenampakan obyek di permukaan bumi (referensi geografis). Data atribut atau

tabular adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut.

Secara struktur bentuk data SIG berupa data vektor (titik, garis, area) dan data raster

(grid), dengan bentuk penyimpanan data atribut sesuai strukturnya dapat dilihat

pada Gambar 2.7 dan Gambar 2.8.

Gambar 2.7. Penyimpanan Data Atribut pada Data Vektor (ESRI, 2008)

Page 13: Review Chapter 2

19

Gambar 2.8. Penyimpanan Data Atribut pada Data Raster (ESRI, 2008)

2.4.1 Interpolasi Data SIG

Interpolasi merupakan proses pengolahan data SIG yang bertujuan untuk

mengetahui visualisasi model distribusi data secara geografis. Dengan proses ini

dapat diprediksi nilai data pada lokasi yang tidak dilakukan pengukuran (Hengl,

2007).

Gambar 2.9. Proses Interpolasi dalam SIG (ESRI, 2008)

Terdapat beberapa metode interpolasi dalam SIG, salah satunya adalah

metode Natural Neighbour. Metode ini merupakan algoritma sederhana dan efisien,

serta berlaku untuk dua, tiga, dan dimensi lebih tinggi (Ledoux & Gold, 2005). Pada

proses interpolasi dua dimensi, analisis dilakukan melalui dua tahapan. Pertama

adalah membagi area pada titik-titik yang akan di interpolasi (poligon Thiessen).

Kedua menghitung lokasi yang ingin diketahui (Gx,y) dengan membuat poligon

Thiessen baru, perpotongan dua poligon tersebut dijadikan nilai bobot perhitungan

(wi). Formulasi dasar dan visualisasi interpolasi metode Natural Neighbour untuk

2 dimensi adalah sebagai berikut.

G(x,y)= ∑ wif(xi,yi)n

i=1 .................................................................................... (2-9)

Page 14: Review Chapter 2

20

Gambar 2.10. Interpolasi Metode Natural Neighbour

(http://en.wikipedia.org/wiki/File:Natural-neighbors-

coefficients-example.png)

2.4.2 Tumpang Susun (Overlay) dan Kalkulasi

Tumpang susun (overlay) merupakan proses analisis dalam SIG yang

dilakukan secara tumpang susun (overlay) pada tiap data. Dalam proses tersebut,

dapat menggunakan operator matematis misalnya: penjumlahan, pengurangan,

perkalian, pembagian dan sebagainya sesuai tujuan analisa yang dilakukan.

Gambar 2.11. Proses Tumpang Susun Struktur Data Vektor (ESRI, 2008)

Gambar 2.12. Proses Tumpang Susun Struktur Data Raster (ESRI, 2008)

Page 15: Review Chapter 2

21

2.4.3 Penyusun Model (Model Builder)

Model builder merupakan salah satu fasilitas aplikasi dalam SIG yang

berfungsi untuk menyusun tahapan analisis yang akan dilakukan dalam bentuk

diagram alir. Diagram tahapan analisis yang tersusun nantinya dapat dipanggil

kembali dan digunakan secara otomatis untuk keperluan aplikatif analisis secara

cepat.

Gambar 2.13. Tahapan Analisis dalam Model Builder (ESRI, 2008)

2.5 Studi Penelitian Terdahulu

Model Gaussian telah banyak diterapkan dalam penelitian dispersi polutan

di udara, pada Tabel 2.6 merupakan penjelasan singkat dari sebagian referensi yang

dikumpulkan.

Tabel 2.6. Studi Penelitian Terdahulu

Nama Judul Ringkasan Pembahasan

Aryo Sasmita

(2011)

Kajian Model Emisi

Karbon dioksida dari

Kegiatan Transportasi di

Kota Surabaya

Kajian emisi karbon dioksida dari

kegiatan transportasi dengan

menggunakan dua model, yaitu

Gaussian dan Box. Hasil analisis teoritis

dibandingkan dengan uji nilai

konsentrasi di lapangan pada masing-

masing ruas jalan tinjauan pada bahu

jalan (jarak 4,5 meter). Hasil

perbandingan prosentase kesalahan pada

model Gaussian sebesar 30% sedangkan

model Box sebesar 90%.

Page 16: Review Chapter 2

22

Tabel 2.6. Studi Penelitian Terdahulu (Cont…)

Nama Judul Ringkasan Pembahasan

Chadi Milad

Chaker (2006)

Gis Based Risk

Assessment Of Air

Pollution

Penerapan model Gaussian dengan

aplikasi bahasa pemrograman SIG.

Output aplikasi bagi pengguna lebih

sederhana (user friendly). Model spasial

dalam bentuk data grid/raster hasil

interpolasi. Metode interpolasi yang

digunakan adalah “Spline”, yang

dikombinasikan dengan pengaruh

topografi. Nilai konsentrasi dispersi

akan diketahui berdasarkan nilai (z)

penerima, atau ketinggian lokasi pada

titik pantau dispersi.

Diah

Wijayanti

(2012)

Kajian Model Penyebaran

Karbon dioksida Dari

Kegiatan Industri Kota

Surabaya

Kajian tentang nilai konsentrasi CO2

dari beberapa sumber emisi di industri

Rungkut Surabaya. Analisis dilakukan

menggunakan model Gaussian dari

beberapa titik (multiple sources),

selanjutnya ditentukan titik-titik

verifikasi untuk mengetahui hasi analisis

dispersinya dari multiple source. Pada

titik verifikasi tersebut dilakukan cek

lapangan, yang kemudian dibandingkan

dengan hasil analisis dispersi.

N.Kh.

Arystanbekova

(2004)

Application of Gaussian

Plume Models for Air

Pollution Simulation at

Instantaneous Emissions

Penerapan model Gaussian dengan

mengkombinasikan bahasa

pemrograman FORTRAN yang

memberikan output yang dapat dibaca

dalam format SIG. Output dalam bentuk

model spasial data grid/raster

Surya Hadi

Kusuma

(2011)

Penyusunan Model Emisi

Gas Rumah Kaca sebagai

Aspek Sumber Daya

Udara dalam Penataan

Ruang di Kota Surabaya

Pemodelan spasial emisi gas rumah kaca

dari beberapa sumber berbasis landuse

termasuk kegiatan transportasi Kota

Surabaya. Pembentukan model spasial

menggunakan metode interpolasi IDW

(berbasis jarak) dari beberapa titik.

Output dalam bentuk data kontinyu yang

kemudian diklasifikasikan secara

kualitatif.