Upload
reza-febri-rafsanjani
View
50
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gerakan tanah atau tanah longsor adalah perpindahan material penyusun lereng
berupa tanah, batuan, bahan timbunan atau campuran material yang bergerak ke bawah
atau keluar lereng. Menurut proses terjadinya, gerakan tanah dapat dikelompokkan
menjadi runtuhan, robohan, longsoran aliran dan gerakan tanah komplek.
Hingga dekade terakhir menunjukan bahwa bencana gerakan tanah tetap terjadi dan
menimbulkan korban manusia, harta benda dan terganggunya sistem keterkaitan dan
ketergantungan antara komponan lingkungan. Oleh karena itu perlu tindakan nyata guna
menekan atau meminimalisir korban secara tepat, cepat dan terkoordinasi. Tindakan nyata
tersebut adalah pemeriksaan daerah rentan dan/atau telah terjadi bencana tanah longsor.
Cepat artinya segera memeriksa daerah rentan dan/atau telah terjadi bencana tanah longsor
agar korban tidak semakin bertambah. Tepat artinya pemberian saran tindak
penanggulangan dengan benar dan sesuai prosedur sehingga dapat diterapkan dalam upaya
mitigasi bencana. Terkoordinasi berati kegiatan pemeriksaan dan penanggulangan bencana
dilakukan dengan kerjasama dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
sehingga hasilnya optimal.
Fenomena tersebut perlu dipahami karena masyarakat masih kurang memahami
terhadap bencana tanah longsor terutama yang bermukim di daerah rentan longsor, selain
itu juga karena pada umumnya masyarakat enggan untuk pindah dari tempat yang
ditinggalinya selama ini. Untuk itu perlu dilakukan pemetaan pada daerah yang rentan
dan/atau telah terjadi bencana gerakan tanah longsor yang ditindaklanjuti kajian penataan
kawasan pemukiman serta perumahan aman terhadap bahaya tanah longsor.
1.2. Maksud, Tujuan dan Manfaat
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi melalui penelitian di daerah
rentan gerakan tanah, untuk mengurangi resiko adanya korban jiwa akibat bencana
gerakan tanah pada kawasan permukiman.
1
a. Tujuan dari Kegiatan ini adalah :
1. Mengetahui potensi kerentanan gerakan tanah di kawasan permukiman yang
berpotensi bencana.
2. Memperoleh arahan pengelolaan gerakan tanah agar terwujudnya satuan
lingkungan permukiman yang aman dari bencana.
b. Keluaran hasil kegiatan :
1. Peta potensi gerakan tanah dengan skala 1 : 25.000 termasuk rekomendasi.
2. Rencana tata guna lahan yang aman dari bencana tanah longsor, dengan
skala 1 : 25.000.
3. Gambar desain konstruksi penahan tebing atau saluran air pembuangan.
4. Rekomendasi penatan permukiman warga yang tinggal di daerah rawan
bencana tanah longsor.
c. Manfaat hasil kegiatan :
1. Sebagai salah satu referensi dalam mitigasi bencana tanah longsor.
2. Sebagai salah satu acuan untuk menyusun Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
1.3. Lokasi Daerah Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Wilayah Kecamatan Watumalang, Wilayah
Kecamatan Kejajar Kabupaten Wonosobo (Gambar 1.1), dan Kecamatan Bumijawa
Kabupaten Tegal (Gambar 1.2), Propinsi Jawa Tengah.
2
Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Watumalang dan Kejajar, Kabupaten Wonosobo
Gambar 1.2 Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal
3
1.4. Lingkup Kegiatan
1. Melakukan survey dan pemetaan karakteristik permukaan medan
(kemiringan lereng, geologi, tata guna lahan), dan keairan/tata air untuk
mengetahui perannya sebagai pengontrol terjadinya gerakan tanah ;
2. Analisis curah hujan dan penggunan lahan untuk mengetahui perannya
sebagai pemicu gerakan tanah ;
3. Melakukan analisis dan evaluasi perilaku masyarakat setempat dalam
memanfaatkan lahan untuk permukiman, agar diketahui keterlibatannya
sebagai pemicu gerakan tanah;
4. Kajian penataan teknis kawasan permukiman guna mengurangi ancaman
bencana tanah longsor termasuk penentuan koordinat titik pantau gerakan
tanah.
5. Memberi rekomendasi berupa arahan pengelolaan/penataan lahan
permukiman yang lebih aman.
1.5. Tahapan Pekerjaan
Tahapan Pekerjaan fasilitasi penataan kawasan perumahan dan permukiman rawan
bencana tanah longsor di Kabupaten Wonosobo (Kec. Watumalang dan Kejajar) dan Tegal
(Kec. Bumijawa), adalah sebagai berikut :
1. Pekerjaan Tahap 1 ( Persiapan )
a. Penyelesaian Administrasi.
b. Pengumpulan dan Analisis data sekunder berupa peta rupa bumi skala
1:25.000, citra landsat/foto udara, peta geologi skala 1:100.000, peta
tata guna lahan, peta kemiringan lereng, data curah hujan dan peta
kerentanan gerakan tanah serta data lain yang mendukung pekerjaan.
c. Pembuatan peta dasar digital.
d. Penyiapan peralatan dan sarana penunjang.
e. Survey pendahuluan ( Observasi Lapangan ).
f. Penyusunan Laporan Pendahuluan
2. Pekerjaan Tahap II (Lapangan )
Pada tahap ini berupa kerja lapangan berupa pengambilan data lapangan
dengan melakukan :
4
a. Pemetaan topografi
b. Pemetaan geologi, meliputi unsur : morfologi (slope / kemiringan
lereng; litologi (batuan); struktur geologi
c. Deskripsi, pengukuran, pemetaan batuan dan tanah serta pengambilan
sampling tanah secara terorganisir.
d. Deskripsi kondisi geologi yang mencakup : morfologi dan geologi
lingkungan yang meliputi : tata guna lahan; tata air; kebencanaan
geologi (gerakan tanah).
3. Pekerjaan Tahap III ( Studio )
Merupakan pekerjaan studio, meliputi:
a.Analisis slope stability dan potensi gerakan tanah.
b. Rekomendasi struktur/bangunan penahan gerakan tanah.
c.Analisis pengelolaan gerakan tanah di kawasan permukiman.
d. Analisis penataan yang aman untuk perumahan dan permukiman.
e.Peta Geologi.
f. Peta Geomorfologi.
g. Peta Pola Pengaliran.
h. Peta Kemiringan Lereng.
i. Peta Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah
1.6 Tata Cara Pelaporan
Tata cara pelaporan pendahuluan dibuat dengan kriteria Laporan Pendahuluan jika
pekerjaan selesai 20 %, dibuat sebanyak 10 (Sepuluh) buah buku dan dipaparkan pada
Panitia Penerima Hasil Pekerjaan selambat-lambatnya dalam 15 (lima belas) hari sejak
ditandatangani Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), dengan memperhatikan hal-hal yang
tertuang dalam Berita Acara I, berisi :
Pendahuluan
Data Pendukung
Tim Pelaksana dan Keahliannya
Metode dan Tahapan Penelitian
Hasil Survey Pendahuluan
5
Untuk Draft Laporan Akhir (pekerjaan selesai 90 %) ini diserahkan sebanyak
10 (sepuluh) buah buku dan dipaparkan pada Panitia Penerima Hasil Pekerjaan selambat-
lambatnya dalam dalam waktu 75 (tujuh puluh lima) hari sejak ditandatangani Surat
Perintah Mulai Kerja (SPMK). Adapaun Draft Laporan Akhir berisikan sesuai dengan
kerangka pada lampiran, yaitu :
Pemetaan Topografi
Pemetaan/Deskripsi kemiringan lereng tanah dan batuan, struktur geologi
Deskripsi bentang alam, kemiringan, geologi, tata air, tata guna lahan dan
gerakan tanah
Analisis slope stability dan potensi gerakan tanah, pengelolaan/ penggunaan
lahan yang aman terhadap gerakan tanah
Rekomendasi jenis struktur/bangunan untuk menahan gerakan tanah
Laporan Akhir (pekerjaan selesai 100 %) ini diserahkan sebanyak 20 (dua puluh)
buah buku dilengkapi dengan Executive Summary dan data digital (foto dan peta-peta),
dipaparkan pada Panitia Penerima Hasil Pekerjaan selambat-lambatnya dalam waktu 90
(sembilan puluh) hari sejak ditandatangani Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) dalam
bentuk Compact Disc (CD). Peta dibuat dalam bentuk digital yang dapat diakses dalam
software Map Info.
Laporan akhir ini merupakan penyempurnaan atau perbaikan dari Draft Laporan
Akhir (contoh format terlampir), dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal yang
tercantum dalam Berita Acara II. Penyerahan buku laporan akhir ini disertai Berita Acara
Serah Terima III.
1.7 Peralatan Survey
Data pendukung dan peralatan survei dalam penelitian ini adalah:
1. Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini, antara lain :
a. Peta dasar rupa bumi, skala 1 : 25.000 ;
b. Peta geologi, skala 1 : 100.000 ;
c. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah/tata guna lahan ;
d. Alat-alat tulis dan gambar.
6
2. Peralatan utama yang digunakan, terdiri dari :
a. Kompas dan Palu Geologi ;
b. Roll Meter ;
c. GPS (Global position System);
d. Kamera ;
e. Komputer dan Printer ;
f. Soil sampling kit.
1.8. Personil Pelaksana
Dalam melakukan penelitian ini Tenaga ahli yang diperlukan adalah :
Tabel 1.1.Personil Pelaksanaa Kegiatan
Personil Pelaksana Pengalaman
1. TENAGA AHLI
Ir. A. Wahyu Harsono ( Ahli Geologi /
Koordinator)
6 tahun
Ir. Nur Taufik (Ahli Geologi Lingkungan) 5 Tahun
Devri Alfinady .ST (Ahli Geologi Teknik ) 5 Tahun
2. TENAGA PENDUKUNG
1 (satu) orang Tenaga Administrasi
2 (dua) orang Surveyor
1 (satu) orang Draftman
4 (empat) orang Tenaga Lokal
1.9 Jadwal pelaksanaan pekerjaan
Pelaksanaan pekerjaan Kajian Penataan Perumahan dan Pemukiman Pada
Rawan Longsor di kabupaten Tegal dan Wonosobo memrlukan waktu 90 hari kerja dengan
penjadwalan sebagai berikut (Tabel 1.2):
7
Tabel 1.2. Jadwal Rencana Kerja
TAHAPAN PEKERJAAN BOBOT%
Bulan
1 2 3
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pekerjaan Tahap I
1. Pengumpulan dan analisis data 5
2. Pembuatan peta dasar 7
3. Survey pendahuluan 8
Pekerjaan Tahap II
1. Pemetaan Topografi 8
2. Pemetaan/Deskripsi kemiringan lereng tanah dan batuan, struktur geologi
12
3. Deskripsi bentang alam, kemiringan, geologi, tata air tata guna lahan dan gerakan tanah
12
4. Analisis slope stability dan potensi gerakan tanah, pengelolaan/ penggunaan lahan aman terhadap gerakan tanah
12
5. Rekomendasi jenis struktur/bangunan untuk menahan gerakan tanah
15
DRAFT LAPORAN AKHIR 11
Pekerjaan Tahap III
1. Evaluasi / Penyempurnaan draft laporan akhir 5
LAPORAN AKHIR 5
JUMLAH BOBOT TOTAL 100
8
BAB II
METODOLOGI
Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pengamatan dan
pengukuran langsung di lapangan yang dikompilasikan dengan data sekunder , sehingga
dalam penelitian ini dapat dirinci menjadi tahapan –tahapan sebagai berikut:
2.1. Persiapan
Pada tahapan ini dilakukan segala persiapan berkaitan dengan penelitian.
Diantaranya adalah persiapan mengenai : basecamp, kendaraan lapangan dan orientasi
medan. Selain itu juga dilakukan pengkajian dan pengumpulan data sekunder yang
berkaitan dengan studi pustaka diantaranya adalah :
- Peta dasar rupa bumi, skala 1 : 25.000 & Peta geologi, skala 1 : 100.000
- Peta Rencana Tata Ruang Wilayah/tata guna lahan ;
- Pengumpulan Data Kondisi Geologi & Hidrogeologi
2.2. Observasi Lapangan
Pada tahapan observasi ini dilakukan pengamatan secara umum tentang kondisi di
lapangan baik yang berupa kondisi fisik dan keairan pada daerah telitian. Pengamatan
umum tersebut dapat dirinci menjadi :
- Observasi Kondisi Geologi , pengamatan umum yang meliputi kondisi
geomorfologi, Stratigrafi, dan Struktur Geologi .
- Observasi Hidrogeologi, pengamatan umu yang meliputi Air Permukaan.
- Observasi Pola sebaran dan jenis gerakan tanah untuk perencanaan
pengambilan sampel.
2.3. Survey lapangan
Pada tahap survey lapangan ini dilakukan pengamatan ,pendiskripsian longsoran
meliputi:
- Pola sebaran gerakan tanah & Dimensi gerakan tanah
- Pendiskripsian mekanisme, jenis dan faktor penyebab grakan tanah
- Pendiskripsian kondisi keairan
- Pengambilan sampel tanah tidak terganggu9
Gambar 2.1.. Bagan Alir Tahapan Penelitian.
10
Data Sekunder
Kajian Pustaka
Data Primer
Pengambilan Data
Analisis dan Interpretasi data
Laporan Akhir
Geologi Regional Penelitian Terdahulu Data Curah Hujan
Pengambilan Contoh
-Undisturb & Disturb
Uji Laboratorium
Sifat Fisik dan Mekanik Tanah
Berat Jenis Berat Isi Tanah Berat Isi Kering Berat Kadar Air Uji Geser Langsung
Peta Lintasan Peta Geologi Peta Geomorfologi Peta Kemiringan Lereng Peta Zonasi Kerentanan
Gerakan Tanah
Pengamatan dan Pencatatan
Pengeplotan Lokasi Pengamatan Deskripsi LitologiPengukuran
Kedudukan Lapisan Batuan Kemiringan Lereng Pengukuran Bidang
Longsor
2.4 .Analisis
Setelah memperoleh data-data primer ataupun sekunder dari lapangan maka tahap
selanjutnya adalah melakukan analisis-analisis (pengujian) sampel tanah di laboratorium.
Pengujian yang dilakukan di laboratorium bertujuan untuk mendapatkan sifat fisik dan
sifat mekanik tanah yang diperlukan dalam penentuan daya dukung tanah dan kestabilan
lereng. Pengujian ini dilakukan di laboratorium mekanika tanah yang meliputi :
1. Sifat Fisik Tanah
Berat Jenis
Berat Isi Tanah
Berat Isi Kering
Kadar Air
2. Sifat Mekanik Tanah
Uji Geser Langsung (Direct Shear Test)
Untuk mendapatkan nilai kohesi dan sudut geser dalam sebagai parameter yang
akan dipakai pada analisis kestabilan lereng.
Analisis Kstabilan lereng
Analisis kestabilan lereng didasarkan pada konsep keseimbangan plastis batas
(limit plastic equilibrium), (Wesley) 1977. Adapun maksud analisis kestabilan
lereng adalah untuk menentukan faktor aman dari bidang longsor yang potensial.
Sehingga akan dapat diperhitungkan wilayah yang rentan dan yang aman, sebagai
masukan dalam perencanaan wilayah permukiman. Selain itu juga dapat
diperhitungkan bagaimana upaya meminimalkan kejadian longsor pada lokasi
tersebut.
2.5 .Pelaporan
Laporan Akhir (pekerjaan selesai 100 %) ini diserahkan sebanyak 20 (dua puluh)
buah buku dilengkapi dengan Executive Summary dan data digital (foto dan peta-peta),
dipaparkan pada Panitia Penerima Hasil Pekerjaan selambat-lambatnya dalam waktu 90
(sembilan puluh) hari sejak ditandatangani Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) dalam
11
bentuk Compact Disc (CD). Peta dibuat dalam bentuk digital yang dapat diakses dalam
software Map Info.
Laporan akhir ini merupakan penyempurnaan atau perbaikan dari Draft Laporan
Akhir (contoh format terlampir), dilaksanakan dengan memperhatikan hal-hal yang
tercantum dalam Berita Acara II. Penyerahan buku laporan akhir ini disertai Berita Acara
Serah Terima III, format laporan akhir adalah sebagai berikut.
FORMAT LAPORAN AKHIR
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
LAMPIRAN
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Maksud, Tujuan dan Manfaat
1.3. Lokasi Daerah Penyelidikan
1.4. Lingkup Pekerjaan
1.5. Metode Penyelidikan dan Analisis
1.6. Bahan dan Peralatan Utama
1.7. Daftar Personil
1.8. Pelaporan
BAB II. KONDISI DAERAH
2.1. Kabupaten Tegal
2.1.1. Bentang Alam
2.1.2. Geologi
2.1.3. Kondisi Air
2.1.4. Tata Guna Lahan
2.1.5. Gerakan Tanah
2.2. Kabupaten Wonosobo
2.2.1. Bentang Alam
2.2.2. Geologi
2.2.3. Kondisi Air
12
2.2.4. Tata Guna Lahan
2.2.5. Gerakan Tanah
BAB III. LANDASAN TEORI
BAB IV. HASIL PENYELIDIKAN DAN REKOMENDASI
3.1. Kabupaten Tegal
3.1.1. Tata Guna Lahan Daerah Rawan Gerakan Tanah
3.1.2. Potensi Gerakan Tanah
3.1.3. Penataan Permukiman Daerah Rawan Gerakan Tanah
3.2. Kabupaten Wonosobo
3.2.1. Tata Guna Lahan Daerah Rawan Gerakan Tanah
3.2.2. Potensi Gerakan Tanah
3.2.3. Penataan Permukiman Daerah Rawan Gerakan Tanah
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
13
BAB IIIHASIL SURVEY PENDAHULUAN
3.1.1.Kajian Data Sekunder Kabupaten Wonosobo
3.1.1.1Geologi
a.Fisiografi
Wilayah Jawa Tengah secara fisiografi menurut (Van Bemmelen, 1949) dibagi
menjadi 4 (empat) Jalur Fisiografi, dari Utara ke Selatan adalah:
-Dataran Pantai Utara Jawa.
-Jalur Pegunungan Serayu Utara.
-Jalur Pegunungan Serayu Selatan.
-Jalur Pegunungan Selatan
Gambar 3.1 Fisiografi Pulau Jawa ( Van Bemmelen, 1949)
Daerah telitian secara fisiografis berdasarkan pembagian oleh Van Bemmelen
(1949), termasuk dalam Antiklinorium Serayu Utara bagian barat. Antiklinorium Serayu
Utara merupakan antiklinorium yang menghubungkan antiklinorium Bogor di sebelah
14
barat dan antiklinorium Kendeng di sebelah timur. Antiklinorium Serayu utara mempunyai
lebar 30-50 km, dimana di sebelah barat tertutupi oleh endapan vulkanik muda Gunung
Rogojembangan dari Komplek Dieng dan Ungaran.
b.Stratigrafi
Geologi daerah penyelidikan tepatnya terletak pada jalur Pegunungan Serayu
Utara, yaitu pada lereng bagian selatan dari Gunung Api Rogojembangan, Dieng dan
Gunung Sindoro, serta terletak pada bagian utara dari aliran Sungai Serayu yang mengalir
dari Timur ke arah Barat. Tidak semua formasi batuan Tersier yang tersingkap di daerah
penyelidikan, sehingga akan mempunyai kenampakan dan ciri khusus mengenai
morfologi, stratigrafi dan keadaan struktur di daeah tersebut.
Batuan tertua yang tersingkap di daerah penyelidikan adalah batuan dsri Formasi
Totogan, berumur Oligosen, yang diendapkan selaras di atas endapan batugamping
terumbu. Batuan tersebut terdiri dari:Breksi, batulempung, napal, batupasir, konglomerat
dan tufa. Bagian bawah satuan ini terdiri dari perselingan tak teratur dari breksi aneka
bahan, batulempung dan konglomerat berkomponen basal yang terpilah buruk. Tebal
satuan ini diperkirakan sekitar 150 meter dan menipis ke arah Selatan, yang diendapkan
dalam lingkungan batial atas dan merupakan endapan olistostrom.
Formasi Rambatan, berumur Miosen Awal sampai Tengah, diendapkan secara
tidak selaras di atas Formasi Totogan, terdiri dari satuan batuan serpih, napal dan batupasir
gampingan mengandung foraminifera kecil, tebal formasi ini diperkirakan lebih dari 370
meter dan diendapkan dalam lingkungan laut terbuka. Pada Formasi Rambatan terdapat
Anggota Sigugur yang berupa endapan batugamping terumbu, mengandung foraminifera
besar dan mempunyai ketebalan beberapa ratus meter. Di atas formasi ini diendapkan
secara selaras satuan batuan dari Formasi Halang dan Formasi Kumbang.
Formasi Halang, berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Awal, terdiri dari satuan
batupasir tufaan konglomerat, napal dan batulempung yang mengandung fosil Globigerina
dan foraminifera kecil, bagian bawah berupa batuan breksi andesit. Tebal formasi ini
bervariasi dari 200 meter sampai 500 meter dan menipis ke arah Timur. Formasi ini
diendapkan sebagai endapan turbidit dalam lingkungan batial atas dan diendapkan
menjemari dengan satuan batuan Formasi Kumbang.
15
Formasi Kumbang, berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Awal, terdiri dari dari
satuan batuan lava andesit yang mengaca, basal, breksi, tufa dan sisipan napal yang
mengandung fosil Globigerina, diendapkan dalam lingkungan laut dan diendapkan
menjemari dengan satuan batuan Formasi Halang. Ketebalan formasi ini sekitar 2000
meter yang menipis ke arah Timur. Di atas formasi ini diendapkan Formasi Tapak.
Formasi Tapak, berumur Pliosen, diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi
Kumbang dan menjemari dengan Formasi Kalibiuk, terdiri dari satuan batupasir
gampingan dan napal berwarna hijau mengandung pecahan molusca. Pada formasi ini
terdapat Anggota Batugamping dari batugamping terumbu yang mengandung koral dan
foraminifera besar, napal dan batupasir yang mengandung molusca. Selain itu terdapat
juga Anggota Breksi yang terdiri dari breksi gunung api yang bersusunan andesit dan
batupasir tufaan yang sebagian mengandung sisa tumbuhan. Ketebalan formasi ini sekitar
500 meter, yang diendapkan dalam lingkungan peralihan sampai laut.
Formasi Kalibiuk,berumur Pliosen, diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi
Kumbang dan menjemari dengan Anggota Breksi Formasi Tapak, terdiri dari satuan
batuan napal dan batulempung, bersisipan tipis tufa pasiran. Napal dan batulempung
berwarna abu- abu kebiruan, kaya fosil molusca. Tebal Formasi Kalibiuk diperkirakan
sampai 3000 meter yang diendapkan dalam lingkungan pasang surut. Di atas formasi ini
diendapkan satuan batuan dari Formasi Ligung.
Anggota Breksi Formasi Ligung, berumur Plistosen, diendapkan secara tidak
selaras diatas Formasi Kalibiuk, terdiri dari satuan batuan breksi gunung api (aglomerat)
yang bersusunan andesit, lava andesit hornblenda dan tufa. Di atas Formasi Ligung
diendapkan endapan undak sungai berupa pasir, lanau, tufa, konglomerat dan breksi tufaan
yang tersebar di sepanjang lembah Sungai Serayu.
Batuan Gunung api Jembangan, berumur Plistosen, diendapkan bersamaan dengan
endapan undak sungai, terdiri dari satuan batuan lava andesit hiperstein-augit, klastika
gunung api, lahar dan aluvium.
Batuan Gunung api Dieng, berumur Plistosen, diendapkan di atas Batuan Gunung
api Jembangan, terdiri dari satuan batuan lava andesit dan andesit-kuarsa serta batuan
klastika gunung api, yang kemudian diatasnya diendapkan endapan aluvial.
Endapan aluvial, berumur Holosen, berupa endapan pasir, kerikil, lanau, lempung
serta endapan sungai dan rawa, yang diendapkan tidak selaras di atas satuan batuan yang
berada di bawahnya.
16
Pada daerah telitian selain endapan batuan sedimen juga terdapat batuan terobosan
yang berkomposisi diorit, yang terjadi pada Kala Miosen dan Pliosen serta menembus
sebaran endapan dari Formasi Rambatan dan Formasi Tapak
Gambar 3.2. Stratigrafi Daerah Penyelidikan (. Condon , Pardyanto, dkk, 1996 )
c.Struktur Geologi
Asikin dkk, (1987) ,menyatakan pembentukan dan perkembangan Cekungan Jawa
Tengah Utara dipengaruhi sifat-sifat gerak dan pertemuan antara lempeng Hindia-Australia
yang bergerak ke utara dengan Lempeng Eurasia. Pertemuanya bersifat tumbukan
melibatkan kerak samudra dari Lempeng Hindia dan kerak benua dari Lempeng Sunda,
membentuk system busur kepulauan yang disebut “Sunda Arc System”. Dari Kala Miosen
Tengah sampai sekarang terjadi percepatan gerak dengan besarnya jalur tumbukan
Lempeng Sunda ke selatan, pada saat Cekungan Jawa Tengah Utara berkembang menjadi
“Back Arc System”. Percepatan tersebut mengakibatkan pengaktifan sesar-sesar lama dan
17
pembentukan tinggian maupun depresi, gejala sesar bongkah ini berlangsung hingga
sekarang.
Katili (1973), mengatakan bahwa adanya pergerakan lempeng samudera Hindia –
Australia yang bergerak relative kearah utara terhadap lempeng benua Asia pada jaman
Kapur yang mengakibatkan lempeng tersebut bertumbukan sehingga mempengaruhi
kondisi dan perkembangan cekungan pengendapan pada jaman Tersier di Indonesia,
khususnya Pulau Jawa dan mempengaruhi pula perkembangan pola struktur geologi di
Pulau Jawa. (Untung dan Wiriosudarmo,1975), dari (Asikin,1987) telah melakukan
penafsiran tentang deformasi tektonik Pulau Jawa melalui penelitian gaya berat yang
menghasilkan pola lipatan di daerah Jawa Tengah berarah relative barat-timur. (Suyanto
dan Sumantri 1977), dari (Asikin,1987) membagi fisiografi Jawa Tengah (Gambar 3.3),
berdasarkan atas unsur – unsur tektoniknya yang dijumpai antara lain :
1. North Java Hinge Belt
2. Bogor Through
Gambar 3.3. Pembagian fisiografi Jawa Tengah berdasarkan unsur – unsur tektonik yangdijumpai, Suyanto dan Sumantri, (1977).
3.1.1.2..Kondisi Hidrogeologi
Secara hidrogeologi sebagian besar wilayah Kabupaten Wonosobo termasuk
dalam cekungan air tanah (CAT) Wonosobo yang terletak di lereng barat laut-timur
Gunung api Sundoro dan Gunungapi Sumbing. Daerah ini memiliki curah hujan yang
cukup tinggi (Tabel 3.1 & 3.2 ). Pergerakan air tanahnya. pergerakan air tanahnya secara
18
menyeluruh mengalir dari utara menuju ke selatan. Muka freatik air tanah terpotong oleh
lembah-lembah sungai, sehingga dapat dimungkinkan munculnya mataair di daerah
tersebut. Selain itu mataair sering dijumpai pada daerah peralihan slope. Peralihan slope
ini selain ditandai dengan adanya mataair juga ditandai dengan adanya perbedaan yang
mencolok pada daerah tersebut, antara lain perubahan/lereng curam ke lereng yang datar,
ataupun juga oleh perbatasan antara penggunaan lahan yang kering dengan areal
persawahan. Mata air di lereng Gunung Sundoro dan Sumbing membentang membentuk
jalur melingkar atau sabuk.
Meskipun berada di bawah permukaan tanah, air tanah dapat tercemar. Sumber
pencemaran tersebut dapat berupa penimbunan sampah, kebocoran pompa bensin, limbah
cair dari rumah tangga serta kebocoran tangki septik. Ditengarai pula bahwa pertanian
yang menggunakan pupuk industri dapat memberi dampak penimbunan logam pada air
tanah. Meningkatnya jumlah permukiman telah mendorong meningkatnya kebutuhan air
untuk domestik, irigasi, industri. Fenomena lapangan menunjukkan makin banyaknya
sumur bor untuk mengeksplorasi air tanah. Memperhatikan jumlah pemanfaatan air tanah
dan sebaran permukiman yang dapat mengganggu ketersediaan air tanah dan mendorong
pencemaran air tanah, kegiatan perlindungan terhadap daerah resapan air digiatkan.
Banyaknya gunung di Wonosobo juga menjadi sumber mata air beberapa sungai. Daerah
aliran sungai yang ada di wilayah Kabupaten wonosobo adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1.Daerah Aliran Sungai (DAS) di Wilayah Kabupaten
Wonosobo
No Nama DAS Luas (Ha) Debit Max (M3/dtk)
Debit Min (M3/dtk)
Debit Rata-rata (M3/dtk)
KRS (Koef Rejim Sugai)
1 Serayu 359.349,54 866,81 70,63 282,53 12,272 Bogowonto 64.555,28 770,65 73,27 293,07 10,523 Jalicokroyasan 37.085,90 638,01 31,03 124,14 20,564 Luk Ulo 57.841,79 1.101,14 301,90 301,90 3,655 Wawar Medono 71.439,38 240,00 15,12 60,49 15,87
Sumber : BP DAS SOP (2005)
19
Tabel 3.2.Kondisi Klimatologi dan Curah Hujan Kabupaten Wonosobo Tahun 2008-2009 (mm)
No KecamatanCurah Hujan (mm) Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
1 Wadaslintang 3.053 2.840 5.787 3.305 1.632
2 Kepil*) - - - - -
3 Sapuran 3.306 2.711 6.400 2.818 2.829
4 Kalibawang*) - - - - -
5 Kaliwiro 3.615 3.122 11.014 2.521 3.627
6 Leksono*) - - - - -
7 Sukoharjo*) - - - - 3.081
8 Selomerto 3.145 2.820 5.463 3.143 3.357
9 Kalikajar 2.411 1.805 1.960 523 1.865
10 Kertek - 1.173 - - 766
11 Wonosobo 2.782 4.461 6.247 2.799 1.972
12 Watumalang - - 628 1.891 622
13 Mojotengah 4.243 3.477 6.601 4.082 1.984
14 Garung 3.839 1.393 4.873 2.612 3.057
15 Kejajar 3.495 1.654 5.541 3.322 2.310
Sumber: Wonosobo dalam Angka, 2011
Ket: *) tidak ada data
3.1.1.3.Kemiringan Lereng dan Jenis Tanah
Kemiringan Lereng
Secara topografis Secara Topografis Kabupaten Wonosobo dibagi dalam 5 (lima)
kategori, yaitu :
20
1. Wilayah dengan kemiringan antara 2,01-8,00 % seluas 12.052,479 Ha atau 12,24
% dari luas wilayah, terdapat di 11 Kecamatan selain Watumalang dan Leksono;
2. Wilayah dengan kemiringan antara 8,01-15,00 % seluas 37.969,247 Ha atau 38,56
% dari seluruh luas wilayah, terdapat di semua kecamatan.
3. Wilayah dengan kemiringan antara 15,01-25,00 % seluas 10.280,056 Ha atau 10,44
% dari seluruh luas wilayah, terdapat di semua Kecamatan;
4. Wilayah dengan kemiringan antara 25,01-40,00 % seluas 10.949,638 Ha atau 11,12
% dari seluruh luas wilayah, terdapat di Kecamatan garung, Watumalang dan
Leksono;
5. Wilayah dengan kemiringan diatas 40,00 % seluas 13.667,354 Ha atau 13,88 %
dari seluruh luas wilayah, terdapat di Kecamatan Kejajar
Jenis tanah
Keadaan tanah di Kabupaten Wonosobo dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tanah andosol (25%) tanah yang berasal dari abu gunung api. Tanah andosol
terdapat di lerenglereng gunung api terdapat di Kecamatan Kejjar, sebagai
Kecamatan Garung, Kecamatan Mojotengah, Kecamatan Watumalang, Kecamatan
Kertek dan Kecamatan Kalikajar.
2. Tanah Regosol (40%) adalah tanah berbutir kasar dan berasal dari material gunung
api. Tanah regosol berupa tanah aluvial terdapat di Kecamatan Kertek, Kecamatan
Sapuran, Kecamatan Kalikajar, Kecamatan Selomerto, Kecamatan Watumalang
dan Kecamatan Garung.
3.1.2.Kajian Data Sekunder Kabupaten Tegal
3.1.2.1. Geologi
a.Fisiografi
21
Wilayah Kabupaten Tegal merupakan bagian dari propinsi Jawa Tengah yang
terletak dibaian barat yang menyebar mulai dari Pantura ke arah selatan hingga lereng
Gunung Slamet. Secara umum fisiografinya merupakan daerah dataran pantai yang
membnetangdi bagian Utara mempunyai topografi relatif datar, kelerengan landai dengan
kelaindaiantopografi kurang dari 1 %. Ketinggian daerah ini berkisar diantara 1 meter
sampai 5 meter di atas permukaan air laut. Ke arah Selatan topografi berubah menjadi
daerah perbukitan bergelombang yang menyebar hingga ke arah Gunung Slamet dengan
ketinggian bergradasi semakin tinggi yaitu berkisar dari 100 m hingga 2000 m di atas
permukaan laut.
b. Stratigrafi
Daerah penelitian secara regional termasuk antara Zona Bogor bagian timur dan
Zona Pegunungan Serayu Bagian Barat. Beberapa peneliti terdahulu melakukan penelitian
stratigrafi Zona Pegunungan Serayu Utara bagian Barat antara lain, Ter Haar (1934), Van
Bemmelen (1949), Marks (1957), De Genevraye (1973), Sumarso (1974), dari situ dapat
dilihat bahwa satuan batuan yang tertua adalah Formasi Pemali sedangkan yang termuda
adalah Formasi Linggopodo. Urut-urutan litostratigarfi dari yang paling tua sampai
termuda adalah sebagai berikut :
1. Formasi Pemali
2. Formasi Rambatan
3. Formasi Lawak
4. Formasi Halang
5. Formasi Kumbang
6. Formasi Tapak
7. Formasi Kaliniuk
8. Formasi Kaliglagah
9. Formasi Mengger
10. Formasi Gintung
11. Formasi Linggopodo
22
Formasi Pemali
Formasi Pemali terdiri dari napal globigerina berwarna kelabu kebiru-biruan dan
kelabu kehijau-hujiauan dengan struktur sedimen nodular dan tidak mempunyai struktur
perlapisan yang baik. Pada bagian bawah formasi ini kadang-kadang dijumpai lapisan tipis
batupasirgampingan berwarna kelabu kebiru-biruan. Ke arah atas formasi ini mempunyai
cirri-ciri litologi yang tetap dan pada bagian atas sisipan dari lapisan tipis batupasir
berwarna putih kekuning-kuningan banyak dijumpai. Lokasi tipe dari formasi ini terletak
di Cibabakan, Desa Sahang sampai dekat Desa Cikeusal. Bagian bawah dari formasi ini
tidak diketahui sehingga ketebalan dari formasi ini tidak dapat ditentukan dengan pasti,
tapi ketebalan minimum ± 900 meter.
Formasi Rambatan
Litologinya terdiri dari bagian bawah batupasir gampingan dan konglomerat yang
bersisispan dengan lapisan tipis napal dan serpih. Sedangkan bagian atas Formasi
Rambatan terdiri dari batupasir gampingan warna kelabu terang sampai kebiruan,
mengandung kepingan andesit dan mengandung fosil foraminifera besar yang menunjukan
umur Miosen Tengah. Formasi Rambatan ini melampar diatas Formasi Pemali secara
selaras.
Formasi Lawak
Formasi Lawak terdiri dari napal globigerina berwarna hijau. Pada bagian bawah
formasi ini kadang-kadang dijumpai lapisan tipis batupasir gampingan dan lapisan
batugamping foram, dengan tebal masing-masing ± 0,5 meter sedang pada bagian atas
sisipan tipis dari batupasir sering dijumpai. Lokasi tipe Formasi Lawak terletak di hulu
Kali Rambatan, pada pertemuan dengan Ci Ngarengse. Ketebalan maksimum dari formasi
ini ± 250 meter.
Formasi Halang
Litologi Formasi Halang terdiri dari batupasir tufan, konglomerat, napal, dan
batulempung, di bagian bawah terdapat breksi bersusunan andesit. Batupasir umumnya
wacke. Runtutan diendapkannya sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas. Struktur
sedimen jelas berupa perlapisan bersusun, cetak beban, cetak suling, laminasi, silangsiur.
Pelamparannya pada bagian atas tidak selaras dengan Formasi Tapak dan pola menjari
23
dengan anggota Gunung-Urip Formasi Halang dan menindih selaras dengan Formasi
Lawak.
Formasi Kumbang
Formasi Kumbang terdiri dari breksi gunungapi, lava, retas dan tuf bersusunan
andesit sampai basalt, batupasir tuf, dan konglomerat, serta sisipan tipis lapisan magnetit.
Umur diperkirakan Miosen Tengah- Pliosen Awal. Pelamparannya menjemari dengan
Formasi Halang dan menindih tidak selaras Batugamping Kalipucang.
Formasi Tapak
Formasi Tapak terdiri dari batupasir kasar kehijauan yang berubah secara berangsur
menjadi atuppasir lebih halus kehijauan dengan beberapa sisipan napal pasiran berwarna
kelabu sampai kekuningan. Pada bagian atas perselingan batupasir gampingan dengan
napal mengandung fosil moluska air payau-laut yang menunjukan umur Pliosen Awal-
Tengah. Pada bagian bawah satuan ini terdapat konglomerat dan mengandung fosil
mamalia (Merycopotamus Nannus LYDEKKER) yang menunjukkan umur Pliosen Tengah
juga batupasirgampingan yang kaya akan moluska. Selain itu secara setempat pada bagian
atas satuan ditemukan lapisan lignit. Lingkungan pengendapan adalah daerah pantai yang
dipengaruhi oleh gerakan pasang surut yang teratur. Pada satuan bagian Barat menindih
tak selaras Formasi Kumbang dan Formasi Halang.
Formasi Kalibiuk
Bagian bawah Formasi Kalibiuk tersusun oleh batulempung dari napal biru pasiran,
bagian tengah mengandung lensa-lensa batupasir hijau dengan moluska yang melimpah
sedangkan di bagian atas terlihat banyak sisipan tipis batupasir. Lingkungan pengendapan
diduga pasang surut. Bagian bawah menjemari dengan bagian atas atau menindih selaras
Formasi Tapak. Umur Pliosen Awal-Pliosen Akhir.
Formasi Kaliglagah
Bagian atas terdiri dari batupasir kasar dan konglomerat yang mengandung fosil
moluska air tawar dan mamalia, serta batulempung dan napal yang makin berkurang
kearah atas, bahkan menghilang sama sekali. Di Cekungan Bentarsari, bagian tengah utara
ditemukan sisipan batubara muda. Bagian bawah satuan tersusun dari batulempung hitam,
napal hiaju, batupasir bersusunan andesit dan konglomerat. Pada umunya batupasir
24
memperlihatkan struktur silangsiur dan lingkungan pengendapan diperkirakan daratan
sampai laut dangkal. Umur Pliosen Akhir, di tindih selaras oleh Formasi Mengger dan
menindih selaras Formasi Kalibiuk.
Formasi Mengger
Formasi ini terdiri dari batupasir tufan berwarna putih, gelas berbutir halus dengan
sisipan-sisipan tipis konglomerat. Formasi Mengger menutupi secara selaras Formasi
Kaliglagah. Umur Formasi Mengger diperkirakan Pleistosen Awal.
Formasi Gintung
Formasi ini terdiri dari konglomerat dan batupasir berwarna abu-abu kehijauan,
serta lapisan-lapisan tipis batugamping. Konglomerat mengandung fosil kayu maupun fosil
vertebrata. Formasi gintung menutupi selaras Formasi Mengger dengan ketebalan ± 300
meter. Umur Formasi Gintung diperkirakan Plistosen Tengah.
Formasi Linggopodo
Formasi ini terdiri dari breksi, tuf, dan endapan lahar bersusunan sndesit, berasal
dari Gunung Slamet tua, dan Gunung Copet. Menindih tak selaras Formasi Kaliglagah,
Tapak dan Kalibiuk, ditindih tak selaras oleh hasil gunungapi lebih muda. Umur
diperkirakan Plistosen Akhir.
25
Gambar 3.4 Kolom Stratigrafi Daerah Bumiayu, Jawa Tengah. Meurut beberapa peneliti terdahulu.
c.Struktur Geologi
Berdasarkan penelitian Asikin dkk, (1987), bahwa pembentukan dan
perkembangan Cekungan Jawa Tengah Utara dipengaruhi sifat-sifat gerak dan pertemuan
antara lempeng Hindia-Australia yang bergerak ke utara dengan Lempeng Eurasia.
Pertemuanya bersifat tumbukan melibatkan kerak samudra dari Lempeng Hindia dan kerak
benua dari Lempeng Sunda, membentuk system busur kepulauan yang disebut “Sunda Arc
System”. Dari Kala Miosen Tengah sampai sekarang terjadi percepatan gerak dengan
besarnya jalur tumbukan Lempeng Sunda ke selatan, pada saat Cekungan Jawa Tengah
Utara berkembang menjadi “Back Arc System”. Percepatan tersebut mengakibatkan
pengaktifan sesar-sesar lama dan pembentukan tinggian maupun depresi, gejala sesar
bongkah ini berlangsung hingga sekarang.
Katili (1973), mengatakan bahwa adanya pergerakan lempeng samudera Hindia –
Australia yang bergerak relative kearah utara terhadap lempeng benua Asia pada jaman
Kapur yang mengakibatkan lempeng tersebut bertumbukan sehingga mempengaruhi
kondisi dan perkembangan cekungan pengendapan pada jaman Tersier di Indonesia,
khususnya Pulau Jawa dan mempengaruhi pula perkembangan pola struktur geologi di
26
Pulau Jawa. (Untung dan Wiriosudarmo,1975), dari (Asikin,1987) telah melakukan
penafsiran tentang deformasi tektonik Pulau Jawa melalui penelitian gaya berat yang
menghasilkan pola lipatan di daerah Jawa Tengah berarah relative barat-timur.
3.1.2.2.Kondisi Hidrogeologi
Wilayah Kota Tegal termasuk Satuan Wilayah Sungai (SWS) Pemali-Comal yaitu
sub SWS Gung, Kemiri, Sibelis dan Gangsa. Karena hulu dari ke empat sungai tersebut
berada di wilayah Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes, sehingga kebijaksanaan
pembangunan menyangkut wilayah sungainya adalah mengikuti kebijaksanaan SWS untuk
ke empat wilayah yaitu : Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, Kota Tegal dan
Kabupaten Tegal yang termasuk dalam wilayah kerja SWS Pemali-Comal. Kebijaksanaan
ini diambil untuk melindungi kelestarian fungsi sumber daya air. Berdasarkan pada letak
atau posisinya sumber daya air di kabupaten tegal di bedakan menjadi :
1. Air permukaan yaitu sungai yang mengalir di kabupaten tegal di antaranya
adalah Sungai Gung, Sungai Sibelis, Sungai Kemiri, Sungai Gangsa.
2. Air Tanah Dangkal dan Air Tanah Dalam. Air tanah dangkal berasal dari air
hujan yang turun, sedangkan air tanah dalam berasal dari air hujan dan air
terperangkap (tawar atau payau).
Mata air Bumijawa merupakan mata air peninggalan zaman Belanda yang sampai
saat ini masih berfungsi dan dijaga dengan baik oleh Pemerintah Kota Tegal. Mata air ini
berada di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal. Mata air ini
mempunyai kapasitas 70 ltr/dtk dan dimanfaatkan oleh PDAM Kota Tegal, Slawi dan
Brebes. Mata air in idi distribusi warga tanpa melalui proses pengolahan karena
kwalitasnya masih bagus (memenuhi standar kwalitas air bersih).
Iklim Berdasarkan tabel curah hujan dan suhu udara (tabel 15 dan tabel16) berikut
maka dapat diketahui suhu rata-rata tahunan adalah33,13ºC. Menurut Koppen daerah yang
bersuhu rata-rata tahunan>18ºC, berarti daerah tersebut beriklim A. Untuk mengetahui
AF,AM, atau AW maka harus dilihat bulan terkering dan curah hujan.Bulan terkering
berada pada bulan September dengan rata - rata curah hujan 11,5 mm/tahun. Jumlah rata-
rata curah hujan tahunan adalah1871, 4. Jadi menurut Koppen kondisi iklim di Kabupaten
Tegal termasuk Am, yang berarti di Kabupaten Tegal beriklim hutan hujan musiman yang
27
merupakan sub tipe A, yaitu iklim yang mempunyai ciri- ciri hujan lebat pada musim
hujan dan dapat mengimbangi musim kering yang pendek. Dengan temperatur rata - rata
tahunan 33,13ºC dengan suhu terendah 25ºC - 30,6ºC, sedangkan banyaknya curah
hujanrata-rata pertahun adalah 1871,4 ( Tabel 3.3. ).
Tabel 3.3. Data Curah Hujan Kabupaten Tegal.
3.1.2.3.Kemiringan Lereng dan Jenis Tanah
Kemiringan lereng
Secara Topografis Kabupaten Tegal dibagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu :
1. Daerah Pantai : Meliputi Kecamatan Kramat, Surodadi dan Warurejo.
2. Dataran Rendah : Meliputi Kecamatan Adiwerna, Dukuhturi, Talang,
Tarub,Pagerbarang, Dukuhwaru, Slawi, Lebaksiu, sebagian wilayah
Surodadi, Warurejo, Kedungbanteng dan Pangkah
3. Daerah Dataran Tinggi : Meliputi Kecamatan Jatinegara, Margasari,
Balapulang, Bumijawa, Bojong dan sebagian Pangkah, Kedungbanteng.
28
Sebagian besar daerah telitian merupakan bukit dan Gunung yang terbelah oleh
alur-alur sungai dari mata air puncak Gunung Slamet, sehingga membentuk
lipatan-lipatan permukaan tanah berupa lembah, jurang. Umumnya arah lereng
tersebut mengarah ke barat laut ke bagian selatan, banyak dijumpai puncak Gunung
dan bukit. Kemiringan lereng pada daerah Tegal bervariasi dari landai (0% - 8%)
sampai agak curam dan curam berkisar antara 30-45% dengan ketinggian tempat
1.100 m – 3.400 m di atas permukaan laut, dan rata – rata terjadinya tanah longsor
terjadi pada daerah lereng curam walaupun penggunaan lahan bagian atas adalah
hutan tapi dengan jenis tanah yang mengandung lempung yang dapat berfungsi
sebagai bidang gelincir.
Jenis tanah
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Tegal antara lain adalah Aluvial
(34,93%), Regosol (24 %), Latosol (23,69 %), Grumosol (9,42 %), Andosol
(4,29 %) dan jenis lain-lain (3,67 %). Tanah Aluvial merupakan jenis terluas yang
ada di Kabupaten Tegal yaitu seluas 30.698,575 hektar yang merupakan tanah
potensial untuk pengembangan produk pertanian seperti padi, palawija,
hortikultura, perkebunan, perikanan dan lain-lain. Jenis tanah di kota tegal
meliputi :
1. Tanah Alluvial, Tanah jenis aluvial berasal dari endapan aliran sungai yang
masih baru. Oleh karena itu, tanah jenis ini banyak terdapat di daerah datar
sepanjang aliran sungai.
2. Tanah Regosol yaitu jenis tanah ini berasal dari endapan abu vulkanik baru
yang memiliki butir kasar dan banyak terdapat pada daerah lereng gunung
api terutama di daerah Sumatra bagian timur dan barat, Jawa, Bali, dan
Nusa Tenggara.
3. Tanah Latosol yaitu terbentuk dari batuan gunung api yang lalu mengalami
proses pelapukan lebih lanjut. Tanah latosol banyak dijumpai di daerah
beriklim basah, curah hujan lebih dari 300 mm/tahun, dan ketinggian tempat
berkisar 300–1.000 meter.
4. Tanah Grumosol Jenis ini berasal dari batu kapur, batuan lempung, tersebar
di daerah iklim subhumid atau subarid, dan curah hujan kurang dari 2.500 29
mm/tahun.
5. Tanah Andosol, tanah ini berasal dari bahan induk abu vulkanik.
Penyebaran di daerah beriklim sedang dengan curah hujan di atas 2.500
mm/tahun tanpa bulan kering. Umumnya dijumpai di daerah lereng atas
kerucut vulkanik pada ketinggian di atas 800 meter. Warna tanah jenis ini
umumnya cokelat, abu-abu hingga hitam.
3.1.3.Teori Gerakan Tanah
3.1.3.1. Pengertian Gerakan Tanah
Gerakan tanah menurut Varnes (1978), ialah perpindahan masa tanah, batuan, atau
regolith pada arah tegak, mendatar, atau miring dari kedudukan semula. Secara umum
terjadinya longsoran pada suatu lereng diakibatkan oleh ketidak seimbangan antara beban
dan tahanan kuat geser dari material penyusun lereng tersebut. Tanah longsor merupakan
proses alamiah biasa, akan tetapi dengan masuknya unsur manusia dengan segala
aktivitasnya maka nilainya dapat berubah menjadi bencana.
Pada gerakan tanah bertindak sebagai energi dalam menggerakan tumpukan
tanah/material akibat pelapukan. Beberapa pendapat mengenai faktor penyebab gerakan
tanah seringkali hanya berlaku untuk suatu daerah tertentu saja dan tidak dijumpai
30
didaerah lain membedakan faktor penyebab yang datang dari luar dan yang datang dari
dalam yang berhubungan dengan sifat fisik tanah/batuan.
Suatu massa seberat W yang berada dalam keadaan setimbang diatas satu bidang
membetuk sudut α terhadap horizontal. Gaya berat yang memiliki arah vertikal dapat
diuraikan pada arah sejajar dan tegak lurus bidang miring. Komponen gaya berat yang
sejajar bidang miring dan cenderung membuat benda menggelincir adalah W sin α atau
gaya penggerak, sedangkan komponen gaya yang tegak lurus bidang dan merupakan gaya
yang menahan benda untuk menggelincir adalah W cos α atau gaya normal (Gambar 3.5).
3.1.3.2..Klasifikasi Gerakan Tanah
Klasifikasi para peneliti pada umumnya berdasarkan kepada jenis gerakan dan
materialnya. Klasifikasi yang mengacu kepada Varnes (1978), seperti dibawah ini
(Gambar 3.6) berdasarkan kepada material yang nampak, kecepatan perpindahan material
yang bergerak, susunan massa yang berpindah dan jenis material dan gerakannya.
Di dalam membahas gerakan tanah di daerah telitian, dipergunakan klasifikasi
gerakan tanah yang dibuat oleh Varnes (1978). Menurut klasifikasi tersebut di atas, secara
umum gerakan tanah dapat dikelompokan berdasarkan macam gerakan seperti : Fall
(jatuhan), Slide (longsoran), Flow (aliran), serta Creep (rayapan). Sedangkan berdasarkan
material yang bergerak dapat dibedakan antara : Rock (batuan), Debris (bahan rombakan),
dan Earth (tanah).
31
Gambar 3.5. Keseimbangan benda pada bidang miring
Gambar 3.6. Jenis-jenis Gerakan Massa (Varnes, 1978).
Jenis gerakan massa yang umum terjadi di alam dilihat dari tipe dan jenis
materialnya antara lain yaitu:
a. Runtuhan (Falls)
Runtuhan merupakan longsoran disebabkan keruntuhan tarik yang diikuti
dengan tipe gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan ini massa
tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengan sedikit atau
tanpa terjadi pergeseran (tanpa bidang longsor) kemudian meluncur sebagian
besar di udara seperti jatuh bebas, loncat atau menggelundung. Runtuh batuan
adalah runtuhan bahan rombakan (debris) yang terdiri dari fragmen-fragmen lepas
sebelum runtuh. Runtuhan tanah dapat terjadi bila material yang ada di bawah
lebih lemah (karena
tererosi, penggalian) daripada lapisan di atasnya. Runtuhan batuan dapat terjadi
karena adanya perbedaan pelapukan, tekanan hidrostatis karena masuknya air 32
kedalam rekahan serta karena perlemahan akibat struktur geologi (kekar, sesar,
perlapisan).
b. Gelinciran (Slides)
Gelinciran adalah gerakan yang terjadi dari regangan geser dan perpindahan
sepanjang bidang longsor (gelincir) dimana massa berpindah menggelincir dari
tempat semula. Gelincir dibedakan menurut bentuk bidang longsor yaitu rotasi
(nendatan) dan translasi. Gelincir rotasi adalah longsoran yang mempunyai bidang
longsor berbentuk setengah lingkaran, log, spiral, hiperbola atau bentuk tidak
teratur lainnya. Retakan-retakannya berbentuk konsentris dan cekung kearah
gerakan dan dilihat dari atas berbentuk sendok. Untuk gelinciran translasi massa
yang longsor bergerak sepanjang permukaan yang datar atau agak bergelombang
tanpa atau sedikit gerakan memutar atau mirng. Gelinciran translasi umumnya
ditentukan oleh bidang lemah seperti sesar, kekar, perlapisan, dan adanya
perbedaan kuat geser antar lapisan atau bidang kontak antara batuan dasar dengan
bahan rombakan di atasnya.
c. Aliran (Flows)
Aliran adalah longsoran dimana kuat geser tanah kecil sekali atau tidak ada,
dengan material yang bergerak berupa material kental. Pada material yang tidak
terkonsolidasi gerakan ini umumnya berbentuk aliran, baik cepat atau lambat,
kering atau basah. Aliran pada batuan sangat sulit dikenali karena gerakannya
sangat lambat dengan retakan-retakan yang rapat dan tidak saling berhubungan
yang menimbulkan lipatan, lenturan atau tonjolan. Berdasarkan tipe materialnya
dapat dibedakan menjadi aliran tanah dan aliran batuan.
d. Jungkiran (Topples)
Jungkiran adalah jenis gerakan memutar kedepan dari satu atau beberapa
blok tanah atau batuan terhadap titik putar (pivot point). Longsoran ini disebabkan
karena adanya tekanan air yang mengisi rekahan batuan. Jungkiran ini biasanya
terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak mempunyai bidang gelincir.
e. Majemuk (Complex)
Majemuk merupakan gabungan dua atau lebih tipe-tipe longsoran seperti
yang diterangkan di atas.
33
3.1.3.3.Faktor-Faktor Pengontrol Kestabilan Lereng
Faktor-faktor yang berfungsi sebagai pengontrol terhadap kestabilan lereng dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu:
Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan, terdiri dari :
- Naiknya berat unit tanah karena pengaruh penambahan air.
- Penambahan beban external.
- Penambahan kecuraman lereng.
- Beban goncangan
Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan, terdiri dari :
- Peresapan air kedalam tubuh tanah.
- Kenaikan tekanan pori.
- Beban goncangan atau beban berulang.
- Pengaruh pembekuan dan pencairan air.
- Hilangnya semen (material halus) dalam tubuh tanah.
- Proses pelapukan.
- Hilangnya kekuatan karena regangan yang besar pada lempung
sensitif.
Faktor-faktor tersebut diatas dapat dikelompokkan menjadi :
1. Faktor-faktor yang berasal dari dalam dan
2. Faktor-faktor yang berasal dari luar massa tanah atau batuan.
Faktor-Faktor Dalam
1. Geometri Lereng
Geometri lereng ditampilkan sebagai bentuk penampang tegak lurus sumbu
lereng yang terdiri dari sudut kemiringan, ketinggian puncak dan panjang
permukaan lereng, sebagai penciri geometri lereng tersebut berpengaruh terhadap
kestabilannya. Suatu massa tanah/batuan memiliki harga batas ketahanan tertentu
34
dalam membenuk suatu ukuran geometri lereng, sehingga penciri geometri
memiliki harga kritis tertentu pula.
Lereng berkestabilan kritis bila nilai salah satu atau lebih penciri
geometrinya sama dengan harga kritisnya, bahkan gerakan tanah bisa terjadi bila
nilainya melebihi harga kritisnya.
2. Batuan / Tanah Pembentuk Lereng
Batuan/massa tanah pembentuk lereng memiliki sifat fisik yaitu berat isi
(Gwet) dan sifat mekanik yang terdiri dari kohesi (c) dan sudut geser dalam ().
Kedua sifat ini harganya sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah (w). Harga-harga
sifat fisik dan mekanik tersebut akan menentukan kestabilan suatu lereng. Selama
harga-harga sifat fisik dan mekanik tersebut masih dapat membentuk suatu harga
tahanan geser yang cukup besar didalam tubuh lereng, sampai harga batas
maksimal harga kadar air (w) tertentu, maka lereng masih akan tetap stabil.
Faktor-Faktor Luar
Faktor-faktor yang berasal dari luar massa tanah atau batuan pembentuk lereng
yang berpengaruh terhadap kestabilan lereng yang dibentuk, meliputi beban dan vegetasi,
gempa dan hujan atau air dari sumber yang lain.
1). Vegetasi
Beban tanaman (vegetasi) pada massa pembentuk lereng berasal dari
tanaman keras yang berpengaruh terhadap penambahan beban pada massa lereng.
Sedangkan adanya jalinan akar vegetasi akan menambah semakin kuatnya lereng.
Gerakan tanah sangat rentan terjadi pada daerah yang bervegetasi jarang
dan batuan yang tidak stabil. Dapat berupa kurang kompaknya lapisan penyusun
batuan.
Pengaruh menguntungkan dari vegetasi adalah menambah stabilitas lereng
sehingga dapat meminimalisir pergerakan tanah yang dapat terjadi, sedangkan
35
pengaruh negatif pada vegetasi adalah terjadi apabila vegetasi yang tidak kuat
menahan gejala alam yang ada sehingga apabila vegetasi yang ada rusak oleh
gejala alam maka stabilitas lereng yang mengalami gangguan dan berakibat massa
tanah akan bergerak.
2).Gempa
Gempa bumi merupakan penyebab permukaan tanah beserta segenap
bangunan diatasnya berguncang. Gempa berasal dari energi regangan (strain
energy) yang lepas secara tiba-tiba, setelah terhimpun secara beragsur-angsur
selama kurun waktu tertentu. Proses tersebut menimbulkan penjalaran getaran ke
segala arah dalam tubuh bumi, termasuk tubuh lereng yang akhirnya dapat
berfungsi sebagai pemicu terjadinya gerakan tanah.
3). Curah Hujan
Air hujan jika meresap kedalam tanah dapat meningkatkan kadar air dalam
tanah pembentuk lereng, yang berakibat pada penurunan kohesi, sudut geser
dalam dan kenaikan berat isi tanah. Air akan memperkecil ketahanan geser massa
tanah pada lereng dan menaikkan tekanan pori yang dapat mengakibatkan longsor.
Faktor-faktor penyebab tersebut diatas saling mempengaruhi satu sama
lainnya dan akan menentukan besar dan luasnya gerakan tanah yang akan terjadi.
Kerentanan suatu daerah terhadap terjadinya gerakan tanah ditentukan oleh
pengaruh dan keterkaitan faktor-faktor tersebut satu sama lainnya.
3.1.3.4.Analisis Kestabilan Lereng
Analisis kestabilan lereng didasarkan pada konsep keseimbangan plastis batas
(limit plastic equilibrium), (Wesley) 1977. Adapun maksud analisis kestabilan lereng
adalah untuk menentukan faktor aman dari bidang longsor yang potensial. Dalam analisis
kestabilan lereng beberapa anggapan telah dibuat, yaitu :
1. Kelongsoran lereng terjadi disepanjang permukaan bidang longsor
tertentu dan dapat dianggap sebagai masalah bidang 2 dimensi.
2. Massa tanah yang longsor dianggap berupa benda yang masif.36
3. Tahanan geser dari massa tanah pada setiap titik sepanjang bidang
longsor tidak tergantung dari orientasi permukaan longsoran, atau
dengan kata lain kuat geser tanah dianggap isotropis.
4. Faktor aman didefinisikan dengan memperhatikan tegangan geser rata-
rata sepanjang bidang longsor yang potensial dan kuat geser tanah rata-
rata sepanjang permukaan longsoran.
Dalam bidang teknik sipil ada 3 macam lereng yang perlu kita perhatikan yaitu :
1. Lereng alam yaitu lereng yang terbentuk karena proses-proses alam,
misalnya lereng suatu bukit.
2. Lereng yang dibuat dalam tanah asli, misalnya bilamana tanah dipotong
untuk pembuatan jalan atau saluran air untuk keperluan irigasi.
3. Lereng yang dibuat dari tanah yang dipadatkan, misalnya tanggul untuk
jalan atau bendungan tanah.
Faktor aman didefinisikan sebagai nilai banding antara gaya yang menahan dan
gaya yang menggerakkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dan studi yang tentang kestabilan lereng,
maka dibagi 3 kelompok rentang faktor keamanan (FK) ditinjau dari intensitas
kelongsorannya (Tabel 3.4) menurut Bowles (1991), yaitu:
Tabel 3.4. Tabel faktor keamanan ditinjau dari intensitas kelongsoran menurut Bowles, (1984).
Nilai Faktor Keamanan
(FK)
Kejadian / Intensitas Longsor
FK < 1,07 Longsoran terjadi biasa/sering (kelas labil)
FK antara 1,07 – 1,25 Longsoran pernah terjadi (kelas kritis)
FK > 1,25 Longsoran jarang terjadi (kelas stabil)
37
Σ Gaya Penahan
FK =
Σ Gaya Penggerak
Lereng yang stabil memiliki harga FK yang tinggi dan lereng yang tidak stabil
memiliki harga FK yang rendah. Faktor keamanan lereng tersebut harganya tergantung
pada besaran ketahanan geser dan tegangan geser, dimana keduanya bekerja saling
berlawanan arah disepanjang bidang gelincir. Bidang gelincir tersebut terletak pada zona
terlemah didalam tubuh lereng. Jika harga FK = 1,07 maka longsor akan berhenti jika
ketahanan geser batuan penyusun mampu menopang geometri lereng yang baru (yang
lebih landai) dan FKnya menjadi lebih tinggi.
a. Analisis Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Irisan Bishop
Data-data yang diperoleh dari lapangan maupun dari hasil pengujian laboratorium
dikelompokkan dan dianalisis untuk mendapatkan jenis tanah, sifat fisik dan sifat mekanik.
Berdasarkan pendekatan tersebut dapat ditentukan bidang longsornya berdasarkan
pendekatan penyelidikan geologi teknik, faktor kelongsoran, kestabilan lereng dan
memberikan informasi secara jelas tentang tatanan geologi dan pengaruh kondisi geologi
terhadap longsor pada daerah penelitan.
Analisis kestabilan lereng dengan metode irisan digunakan bila tanah tidak homogen.
Bila tanah tidak homogen dan aliran rembesan terjadi didalam tanahnya memberikan
bentuk aliran dan berat volume tanah yang tidak menentu. Metode Bishop menganggap
bahwa gaya-gaya yang bekerja pada sisi-sisi irisan mempunyai resultan nol pada arah
vertikal.Gaya normal yang bekerja pada suatu titik dilingkaran bidang longsor, terutama
dipengaruhi oleh berat tanah diatas titik tersebut. Dalam metode irisan, massa tanah yang
longsor dipecah-pecah menjadi beberapa irisan vertikal Keseimbangan dari tiap-tiap irisan
diperhatikan memperlihatkan suatu irisan yang bekerja padanya (Gambar 2.4). Gaya-gaya
ini terdiri dari gaya geser (Xr dan Xl) dan gaya normal efektif (Er dan El) di sepanjang
irisannya, dan juga resultan gaya geser efektif (Ti) dan resultan gaya normal efektif (Ni)
yang bekerja di sepanjang dasar irisannya. Pada irisannya, tekanan air pori Ul dan Ur
bekerja di kedua sisinya, dan tekanan air pori Ui bekerja pada dasarnya.
b. Cara yang Dipakai Untuk Meningkatkan Kestabilan Lereng
Menurut Wesley (1977), pada prinsipnya cara yang dipakai untuk menjadikan
lereng supaya lebih stabil dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu :
38