Upload
ciya-jenniver-indah
View
149
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ini adalah cetakan materi baru yang gratis
Citation preview
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peristiwa lumpur panas lapindo muncul pertama kali pada tanggal 29 Mei
2006 di desa Renokenongo kecamatan Porong, kabupaten Sidoarjo. Lumpur
keluar dari sumber bekas pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc terus mengalir
menggenangi berbagai sarana dan prasarana milik masyarakat. Luapan lumpur
dengan volume yang sangat besar telah menenggelamkan sawah, tanah ladang,
perumahan penduduk, fasilitas sosial dan umum yang ada di delapan desa pada
kecamatan Porong, Jabon dan Tanggul Angin. Volume awal semburan lumpur
berkisar antara 80.000-120.000 m3 per hari dan air yang terpisah dari endapan
lumpur berkisar 35.000-84.000 m3 per hari (Wiguna et al, 2009).
Fenomena lumpur lapindo berkelanjutan karena munculnya semburan
kecil didekat titik pengeboran kemudian berhenti, setelah itu muncul semburan
baru di daerah lain namun masih berdekatan dengan pusat semburan. Peristiwa
ini kemudian menjadi masalah sosial yang menyedihkan karena lebih dari 10.000
jiwa mengungsi ke pasar Porong. Untuk mencegah semakin meluasnya dampak
semburan lumpur maka Pemerintah bersama PT. Lapindo Brantas Inc.
membuatkan tanggul penampungan. Saat ini ketinggian lumpur di
penampungan sampai radius 2 km mencapai 2 m dan di beberapa lokasi sudah
lebih dari 10 m bahkan lumpur pernah meluap ke jalan raya Porong yang
mengganggu sektor ekonomi dan sosial masyarakat Jawa Timur (Hutamadi,
2008).
Lumpur lapindo dalam penampungan volumenya terus bertambah,
kemudian mengendap bahan padatnya membentuk hamparan tanah endapan
yang luas. Bila kurang air (kemarau) tanah endapan lumpur ini mengeras, lalu
2
retak–retak seperti lahan yang kekeringan maka selayaknya untuk melakukan
pengelolaan agar memiliki manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Menurut
Hermanto (2006), tanah endapan lumpur lapindo mempunyai tekstur atau butiran
tanah yang terdiri dari liat, debu dan pasir. Butiran tanah tersebut merupakan
komponen padatan yang mencapai 30% dalam lumpur lapindo. Sedangkan hasil
penelitian Rahayu (2008) menyatakan bahwa lumpur lapindo mengandung unsur
hara seperti N, P, K, Na, Ca, Mg, C organik dan mempunyai nilai kapasitas
pertukaran kation yang tinggi. Potensi terpendam tersebut merupakan bahan
pertimbangan untuk mengeksploitasi tanah endapan lumpur sebagai media
pembibitan dan akan direkayasa dengan memberikan sentuhan teknologi.
Teknologi yang dapat diberikan pada tanah dengan sifat-sifat tersebut
yaitu penggunaan bahan organik. Teknologi ini ramah lingkungan, murah, mudah
dilakukan dan bisa menjaga kesuburan tanah yang berkelanjutan. Teknologi
tersebut juga mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia
ditempat, layak secara ekonomis dan mantap secara ekologis. Prinsipnya
menjamin kondisi tanah untuk mendukung kebutuhan pertumbuhan tanaman dan
meningkatkan kehidupan mikroorganisme di dalam tanah. Menurut Yuwono
(2009), teknologi dan masukan yang diterapkan pada suatu lahan dapat
mengubah sifat tanah sehingga harkatnya menjadi lebih sesuai untuk pertanian.
Penggunaan bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk kandang
(kotoran) sapi akan memberikan keuntungan yaitu memperbaiki sifat-sifat tanah
dan mengurangi sumber pencemaran lingkungan. Bahan organik sekam padi
dan kotoran sapi merupakan limbah buangan yang jumlahnya berlimpah. Setiap
penggilingan padi dihasilkan 20% berupa sekam padi dan dedak (Tajang, 2009).
Demikian pula kotoran sapi, jumlahnya terus bertambah dimana seekor sapi
dapat menghasilkan kotoran 3 kg per hari (Hartatik dan Widowati). Sekam padi
dan kotoran sapi biasanya dibiarkan membusuk di lingkungan dan mencemari
3
lingkungan hidup manusia. Tetapi sering pula sekam padi dibakar yang
menimbulkan emisi karbon dioksida (CO2) ke atmosfer yang berkontribusi pada
peningkatan gas rumah kaca.
Bahan organik merupakan bahan yang dapat didekomposisi mikrobia
terutama sebagai sumber karbon dan nitrogen. Bahan ini mempunyai sifat
remah yang udara, air dan akar mudah masuk dalam fraksi sehingga dapat
mengikat air namun mudah melepaskan kelebihannya. Karakteristik ini sangat
penting bagi akar bibit karena sangat berkaitan dengan sifat fisik, kimia dan
biologi di perakaran tanaman (rhizosfer) maupun di daerah sekitar perakaran
rhizosplane (Putri, 1999). Penambahan bahan organik kedalam tanah akan
menambahkan unsur hara baik makro maupun mikro yang dibutuhkan oleh
tumbuhan. Bahan organik dalam tanah didekomposisi menjadi bahan organik
tanah. Bahan organik tanah sangat berperan sebagai faktor pengendali
(regulating factor) dalam proses-proses penyediaan unsur hara bagi tanaman
dan mempertahankan struktur tanah melalui pembentukan agregat tanah yang
stabil, penyediaan jalan bagi pergerakan air dan udara tanah, penentu kapasitas
serapan air, pengurangan bahaya erosi, penyangga (buffering) pengaruh
pestisida dan pencegahan pencucian hara (nutrient leaching) tanah (Madjid,
2007).
Tanaman yang akan dikembangbiakkan pada media pembibitan tanah
endapan lumpur lapindo yaitu trembesi, sengon dan bunga matahari. Tanaman
tersebut sering diperlukan dalam pengelolaan lingkungan. Trembesi sering
ditanam pada lahan gersang dan tepi jalan sebagai usaha penghijauan,
penangkal panas dan penyerap karbon dioksida (CO2). Tanaman sengon sering
dibudidayakan di daerah aliran sungai (DAS) dan pegunungan sebagai usaha
penahan erosi dan menyuburkan tanah karena rambut akar sengon menyimpan
zat nitrogen. Sedangkan tanaman hias bunga matahari banyak dikembangkan di
4
ruang terbuka hijau (RTH) sebagai estetika lingkungan dan bijinya merupakan
sumber energi allternatif.
1.2. Perumusan Masalah
Penampungan semburan lumpur lapindo menimbulkan masalah lain yaitu
terbentuknya tanah endapan lumpur yang volumenya semakin tinggi bahkan
mencapai ketinggian 10 meter dan pernah menyebabkan lumpur meluap ke jalan
raya Porong mengganggu sektor sosial ekonomi masyarakat Jawa Timur. Tanah
endapan lumpur lapindo ini mengandung liat banyak yang menyebabkan
porositasnya rendah, lengket bila basah dan retak kalau kering. Sifat-sifat
tersebut memang kurang baik untuk pertumbuhan tanaman namun dengan
penggunaan bahan organik diperkirakan dapat memperbaiki porositas dan
meningkatkan unsur hara.
Bahan organik sekam padi dan kotoran sapi merupakan limbah dari
proses industri pertanian dan peternakan yang sering dibuang ke lingkungan.
Bahan tersebut jumlahnya berlimpah dan bila tidak dikelola dapat menjadi
sumber pencemaran. Bahan organik yang diberikan kedalam tanah akan
mengalami dekomposisi menghasilkan asam-asam organik dan unsur hara yang
sangat baik untuk peningkatan status kesuburan tanah.
Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan pokok yang akan dikaji
dalam penelitian ini yaitu :
a. Apakah tanah endapan lumpur lapindo yang ditambah bahan organik
sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi dapat menjadi media
pembibitan tanaman trembesi, sengon dan bunga matahari ?
b. Bagaimana pertumbuhan bibit tanaman trembesi, sengon dan bunga
matahari pada media tanah endapan lumpur lapindo yang ditambah
dengan bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi ?
5
c. Bagaimana mutu bibit tanaman trembesi, sengon dan bunga matahari
pada media tanah endapan lumpur lapindo yang ditambah dengan bahan
organik sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi ?
1.3. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang dan perumusan masalah maka
tujuan penelitian sebagai berikut:
a. Mengetahui pengaruh penggunaan bahan organik sekam padi, kompos
dan pupuk kandang sapi terhadap status kesuburan tanah endapan
lumpur lapindo
b. Menganalisis pertumbuhan bibit tanaman trembesi, sengon dan bunga
matahari pada media tumbuh tanah endapan lumpur lapindo yang
ditambah dengan bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk
kandang sapi
c. Mengevaluasi mutu bibit tanaman trembesi, sengon dan bunga matahari
yang ditanam pada tanah endapan lumpur lapindo yang ditambah dengan
bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi.
1.4. Manfaat Penelitian
Merujuk pada tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat yaitu:
a. Tanah endapan lumpur lapindo mempunyai manfaat bagi masyarakat
b. Penyediaan bibit tanaman trembesi, sengon dan bunga matahari untuk
pengelolaan lingkungan.
c. Rekomendasi pada pengelola lumpur lapindo (BPLS) tentang pengolahan
tanah endapan lumpur lapindo dengan penambahan bahan organik
sebagai media pembibitan.
6
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah Endapan Lumpur Lapindo dan Karakteristiknya
Lumpur lapindo mempunyai komponen padatan mencapai 30% yang
terdiri dari liat paling banyak, pasir dan debu. Komponen padatan ini dalam
penampungan mengendap dan bila kurang air mengeras membentuk hamparan
tanah endapan yang sangat luas seperti lahan kekeringan. (Gambar 1). Menurut
Hermanto (2006) komponen padatan tersebut kandungannya yaitu liat 71,43 %,
debu 10,71% dan pasir 17,86%.
Gambar 1. Tanah Endapan Lumpur Lapindo(Sumber: panji1102.wordpress.com)
Menurut Munir (1996), tanah dengan kandungan liat yang tinggi dalam
istilah pertanian identik dengan tanah vertisol yang mempunyai sifat vertic yaitu
mengembang bila basah dan mengerut bila kering. Sifat ini disebabkan oleh
kandungan mineral liat montmorilonit yang tinggi. Tanah yang berstruktur halus
(liat) mudah mengalami pemadatan sehingga mengurangi ruang pori tanah dan
mengurangi pergerakan air dan udara di dalam tanah. Untuk memperbaiki sifat
fisik tanah tersebut jika digunakan untuk penanaman maupun pembibitan perlu
7
ditambahkan bahan yang porus atau sejumlah bahan organik. Sifat fisik tanah
vertisol yang nampak jelas adalah konsistensi yang keras sehingga untuk
mengolah tanah memerlukan suatu perlakuan dan alat-alat tersendiri. Tanah
vertisol merupakan tanah yang mempunyai potensi cukup baik tetapi yang harus
diketahui adalah keadaan kelengasan tanah pada lapisan permukaan yang
memungkinkan untuk dilakukan pengolahan tanah untuk persiapan lahan baik
untuk pembibitan maupun penanaman.
Hasil analisis Sudarto (2006), contoh tanah yang bercampur lumpur
lapindo memperlihatkan tanah bereaksi alkalis, ditunjukkan oleh nilai pH tinggi
dan kadar basa-basa yang dapat dipertukarkan (K,Ca,Mg, Na) dan konduktivitas
listrik (EC) tinggi. Kadar bahan organik tergolong kategori sedang dilapisan atas,
rendah pada lapisan hingga 48 cm dan tinggi pada lapisan bawah. Hal ini
menunjukkan adanya timbunan bahan organik pada lapisan bawah. Kadar unsur
makro N tinggi, S dan P sedang dilapisan atas tetapi rendah di lapisan bawah.
Kadar unsur mikro Cl, Fe dan Mn tergolong sangat tinggi dan nilai KTK serta KB
tinggi pada semua lapisan.
Menurut Rahayu (2008), lumpur lapindo mempunyai kandungan kimia
sebagai berikut pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Kimia Lumpur Lapindo (Rahayu, 2008)No Parameter Metode Hasil
AnalisisKriteria*
1. N total (%) Kjeldahl 0,07 Sangat rendah2. P tersedia (ppm) Olsen 5,96 Rendah3. C organik (%) Walkey dan Black 1,07 Rendah4. K-dd (cmol kg-1) Pertukaran ion 0,46 Sedang5. Ca-dd(cmol kg-1) Titrasi EDTA 14,26 Tinggi6. Mg-dd(cmol kg-1) Titrasi EDTA 0,95 Rendah7. Na-dd (cmol kg-1) Pertukaran ion 3,06 Sangat tinggi8. KTK (cmol kg-1) Pertukaran ion 36,37 Tinggi9. pH H2O Glass electrode 7,80 Agak alkalis10 C/N - 15,07 Sedang11 KB (%) - 51,50 Sedang
Keterangan * Lembaga Penelitian Tanah, 1983
8
Berdasarkan hasil analisis kandungan oksida dan logam yang dilakukan
Wiguna et al. 2009, lumpur lapindo mengandung unsur kimia sebagai berikut
pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Analisa Kandungan Oksida dan Logam Lumpur (Wiguna et al , 2009)
Kandungan (%) SampelLS-01 LS-02
SiO2 49,62 48,54
Al2O3 19,6 19,68
Fe2O3 5,12 5,98
MgO 2,12 3,12
CaO 1,98 1,68
Na2O 4,65 2,11
K2O 1,25 2,04
TiO2 0,3 0,52
P2O5 0,085 0.026
Cr2O3 (ppm) 0,003 0,004
MnO (ppm) 102 88
Cu (ppm) 20 29
Pb (ppm) 6 7
Zn (ppm) 60 56
Keterangan: LS-01 = lumpur lapindo sampel 1; LS-02=lumpur lapindo sampel 2
Menurut Santosa dalam Purwati (2007), hasil analisa mikrobiologi lumpur
yang baru satunya-satunya dilakukan oleh Indonesian Center for Biodiversity and
Biotechnology (ICBB) menunjukkan adanya: Coliform, Salmonella dan
Stapylococcus aureus di atas ambang batas yang dipersyaratkan. Sedangkan
pada analisa awal saat semburan lumpur pertama terjadi, bakteri itu tidak bisa
hidup. Bakteri itu kemungkinan berasal dari lingkungan sekitar, karena hujan,
atau tanggul yang bercampur dengan lumpur. Hasil Penelitian Margareta (2011),
menyimpulkan bahwa pada lumpur lapindo ditemukan beberapa isolat bakteri.
9
Isolat-isolat bakteri tersebut merupakan mikroorganisme thermofil yang dapat
dimanfaatkan sebagai penghasil enzim proteolitik.
2.2. Bahan Organik, Sumber, Jenis dan Peranannya
2.2.1. Pengertian Bahan Organik
Bahan organik mencakup semua bahan yang berasal dari jaringan
tanaman dan hewan, baik yang hidup maupun yg telah mati pada berbagai
tahana (stage) dekomposisi. Bahan organik merupakan bahan-bahan yang
dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri, dan mikroba tanah
lainnya menjadi unsur-unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa
mencemari tanah dan air. Bahan organik merupakan salah satu komponen
tanah yang sangat erat berkaitan dengan kualitas tanah dan karena itu
merupakan komponen penting dalam sistem pertanian. Bahan organik menjadi
bagian dari tanah yang merupakan suatu system kompleks dan dinamis yang
bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah
yang terus menerus mengalami perubahan bentuk karena dipengaruhi oleh
faktor biologi, fisika, dan kimia (Madjid, 2007).
Madjid (2007), juga menyatakan bahwa bahan organik adalah kumpulan
beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah
mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun
senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk juga mikrobia
heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada didalamnya. Bahan organik
tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah,
termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme,
bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus.
Bahan organik tanah sangat berperan sebagai faktor pengendali (regulating
factor) dalam proses-proses penyediaan unsur hara bagi tanaman dan
10
mempertahankan struktur tanah melalui pembentukan agregat tanah yang stabil,
penyediaan jalan bagi pergerakan air dan udara tanah, penentu kapasitas
serapan air, pengurangan bahaya erosi, penyangga (buffering) pengaruh
pestisida dan pencegahan pencucian hara (nutrient leaching). Karena itu,
keberadaan bahan organik dalam tanah seringkali dijadikan sebagai indikator
umum kesuburan tanah. Kandungan bahan organik tanah juga dapat dijadikan
sebagai indikator tingkat erosi tanah. Ketika terjadi erosi yang meningkat,
bagian-bagian horison permukaan hilang terbawa erosi, termasuk bahan organik
tanah juga hilang.
2.2.2. Sumber Bahan Organik
Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar,
batang, ranting, daun, dan buah. Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan
melalui proses fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama
dari bahan organik tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-
senyawa polisakarida, seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan-bahan
pektin serta lignin. Selain itu nitrogen merupakan unsur yang paling banyak
terakumulasi dalam bahan organik karena merupakan unsur yang penting dalam
sel mikroba yang terlibat dalam proses perombakan bahan organik tanah.
Jaringan tanaman ini akan mengalami dekomposisi dan akan terangkut ke
lapisan bawah serta diinkorporasikan dengan tanah. Tumbuhan tidak saja
sumber bahan organik, tetapi sumber bahan organik dari seluruh makhluk hidup
(Madjid, 2007 ).
Sekam padi merupakan sumber primer bahan organik karena dihasilkan
dari proses fotosintesis yang mengandung unsur karbon. Unsur karbon ini
dalam bentuk selulose dan hemiselulosa. Menurut Tajang (1989), bahwa sekam
padi mengandung selulose 40%, hemiselulose 35% dan kadar abu 25 %.
11
Berdasarkan hasil analisis kimia tersebut maka sekam padi potensial sebagai
sumber bahan organik. Apalagi sekam padi jumlahnya banyak, murah, mudah
diperoleh karena ada di setiap lokasi pedesaan. Menurut Hara (1986) dan
Tajang (1989) bahwa setiap penggilingan padi akan dihasilkan limbah berupa
sekam padi dan dedak sekitar 20 %. Namun keberadaan sekam padi sangat
dilematis, bila dibuang pada tempat pembuangan akhir akan mempercepat umur
daya tampung. Tapi jika dibakar menimbulkan emisi karbon dioksida namun
kalau dibiarkan membusuk dapat mencemari lingkungan hidup dan melepaskan
emisi gas metan (CH4) ke atmosfer. Menurut Sudrajat (2002), limbah organik
dari pertanian memberikan sumbangan besar pada peningkatan gas rumah kaca
melalui emisi CO2 dan CH4, hasil pembakaran maupun dekomposisi alami.
Sumber sekunder bahan organik adalah fauna. Fauna terlebih dahulu
harus menggunakan bahan-bahan organik dari tanaman setelah itu barulah
menyumbangkan pula bahan organik. Komposisi atau susunan jaringan
tumbuhan akan jauh berbeda dengan jaringan binatang. Pada umumnya jaringan
binatang akan lebih cepat hancur dari pada jaringan tumbuhan. Jaringan
tumbuhan sebagian besar tersusun dari air antara 60-90% dan rata-ratanya
sekitar 75%. Bagian padatannya sekitar 25%, terdiri dari hidrat arang 60%,
protein 10%, lignin 10-30% dan lemak 1-8%. Sedangkan unsur karbon
merupakan bagian yang terbesar yaitu 44%, disusul oleh oksigen 40%, hidrogen
dan abu (mineral) masing-masing sekitar 8%. Susunan abu itu sendiri terdiri dari
seluruh unsur hara yang diserap dan diperlukan tanaman kecuali C ,H dan O
(Madjid, 2007).
Sampah kota dan limbah industri yang sering menjadi permasalahan
lingkungan karena sulit penanganannya dapat juga dijadikan sumber bahan
organik. Tentunya sumber ini harus dipilah lebih dulu kemudian diproses dalam
pengomposan untuk menghasilkan kompos Hal yang perlu diperhatikan dalam
12
penggunaan sampah kota dan limbah industri sebagai sumber bahan organik
yaitu: 1) adanya kontaminasi gelas, plastik dan logam, sehingga bahan-bahan ini
perlu dikeluarkan dari bahan-bahan pupuk; 2) kandungan hara, nilai C/N bahan
pada umumnya masih relatif tinggi sehingga perlu pengomposan; 3) komposisi
organik sampah kota sangatlah bervariasi bahkan kadang-kadang terdapat
senyawa organik yang bersifat racun bagi tanaman; dan 4) terdapat banyak
sekali macam mikrobia dalam sampah kota baik Bakteri, Fungi dan
Actinomycetes, bahkan perlu diwaspadai adanya mikrobia patogen bagi
tumbuhan atau manusia ( Gaur, 1994 dan Suriawiria, 2002).
Sumber bahan organik tersebut mengalami proses dekomposisi melalui 3
reaksi, yaitu: 1) reaksi enzimatik atau oksidasi enzimatik, yaitu: reaksi oksidasi
senyawa hidrokarbon menghasilkan produk akhir berupa karbon dioksida , air,
energi dan panas; 2) reaksi spesifik berupa mineralisasi dan atau immobilisasi
unsur hara essensial berupa hara nitrogen, fosfor, dan belerang , dan 3)
pembentukan senyawa-senyawa baru atau turunan yang sangat resisten berupa
humus tanah. Berdasarkan kategori produk akhir yang dihasilkan, maka proses
dekomposisi bahan organik digolongkan menjadi 2, yaitu: proses mineralisasi,
dan proses humifikasi. Proses mineralisasi terjadi terutama terhadap bahan
organik dari senyawa-senyawa yang tidak resisten, seperti: selulosa, gula, dan
protein. Proses akhir mineralisasi dihasilkan ion atau hara yang tersedia bagi
tanaman. Proses humifikasi terjadi terhadap bahan organik dari senyawa-
senyawa yang resisten, seperti: lignin, resin, minyak dan lemak. Proses akhir
humifikasi dihasilkan humus yang lebih resisten terhadap proses dekomposisi
(Madjid, 2007).
Hasil analisis komposisi biokimia bahan organik yaitu biomassa bahan
organik yang berasal dari biomass hijauan, terdiri dari: air 75% dan biomassa
kering 25%. Komposisi biokimia bahan organik dari biomassa kering tersebut,
13
terdiri dari karbohidrat 60%, lignin 25%, protein 10%, lemak, lilin dan tannin 5%.
Karbohidrat penyusun biomassa kering tersebut terdiri dari: gula dan pati 1-5%,
hemiseluloa 10-30%, selulosa 20-50%. .Berdasarkan kategori unsur hara
penyusun biomassa kering terdiri dari karbon 44%, oksigen 40%, hidrogen
8% dan mineral 8% (Brady, 1990).
2.2.3. Jenis Bahan Organik
Jenis bahan organik yang sering ditambahkan kedalam tanah biasanya
sudah berupa pupuk yang dikenal sebagai pupuk organik. Pupuk organik adalah
pupuk yang berasal dari alam yaitu sisa-sisa organisme hidup baik sisa tanaman
maupun sisa hewan yang mengandung unsur-unsur hara baik makro maupun
mikro. Pupuk organik dapat berupa pupuk cair dan pupuk padat. Pupuk cair
biasanya berupa saringan dari pupuk padat. Pupuk cair ini dimaksudkan agar
penggunaannya lebih mudah, tidak mengandung kotoran, dan sekaligus
menjaga kelembaban tanah. Pupuk padat dapat berupa pupuk hijau, pupuk
serasah, kompos, maupun pupuk kandang (Anonim ,2005).
a. Pupuk Seresah
Pupuk seresah merupakan suatu pemanfaatan limbah atau komponen
tanaman yang sudah tidak terpakai. Misalnya sekam padi, jerami kering, bonggol
jerami, rumput tebasan, tongkol jagung, dan lain-lain. Pupuk seresah sering
disebut pupuk penutup tanah karena pemanfaatannya dapat secara langsung,
yaitu ditutupkan pada permukaan tanah disekitar tanaman (mulsa). Peranan
pupuk seresah ini diantaranya yaitu:1) dapat menjaga kelembaban tanah,
mengurangi penguapan, penghematan pengairan; 2) mencegah erosi,
permukaan tanah yang tertutup mulsa tidak mudah larut dan terbawa air; 3)
menghambat adanya pencucian unsur hara oleh air dan aliran permukaan; 4)
menghambat pertumbuhan gulma; 5) menjaga tekstur tanah tetap remah; 6)
14
menghindari kontaminasi penyakit akibat percikan air hujan; 7) memperlancar
kegiatan jasad renik tanah sehingga membantu menyuburkan tanah dan sumber
humus (Suriawiria, 2002).
b. Pupuk Kompos
Pupuk kompos merupakan bahan-bahan organik yang telah mengalami
pelapukan, seperti jerami, alang-alang, daun tanaman dan lain-lain termasuk
kotoran hewan. Sebenarnya pupuk hijau dan seresah dapat dikatakan sebagai
pupuk kompos. Tetapi sekarang sudah banyak spesifikasi mengenai kompos.
Biasanya orang lebih suka menggunakan limbah atau sampah domestik yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan dan bahan yang dapat diperbaharui yang tidak
tercampur logam dan plastik. Hal ini juga diharapkan dapat menanggulangi
adanya timbunan sampah yang menggunung serta mengurangi polusi dan
pencemaran di perkotaan (Mulyono, 2010 dan Suriawiria, 2002).
Kompos merupakan pupuk organik yang sebagian besar atau seluruhnya
terdiri dari limbah organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang telah
melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair, yang dapat mensuplai
atau menyediakan senyawa karbon dan sebagai sumber nitrogen tanah yang
utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika,kimia
dan biologi tanah (Suriadikarta et al., 2005). Saat ini pupuk kompos banyak
digunakan pada lahan–lahan marjinal untuk meningkatkan unsur hara. Pupuk
kompos mengandung unsur hara mikro dan makro yang dibutuhkan tanaman
untuk mendukung pertumbuhannya. Kompos yang baik akan memiliki kualitas
seperti yang ditetapkan standart nasional Indonesia (SNI). Standar kualitas
kompos (SNI 19-7030-2004) dalam Isroi sebagai berikut (Tabel 3).
Tabel 3. Standart Kualitas Kompos
15
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar air % - 50
2 Temperatur oC Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 pH 6,80 7,49
5 Bahan Organik % 27 58
6 Nitrogen % 0,40 -
7 Karbon % 9,80 32
8 P2O5 % 0,1 -
9 C/N ratio 10 21
10 Kalium % 0,20 -
(Sumber : www.isroi.org)
c. Pupuk Kandang
Pupuk kandang didefinisikan sebagai semua produk buangan dari
binatang peliharaan yang dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki
sifak fisik dan biologi tanah. Manfaat pupuk kandang telah diketahui sejak dulu
bagi pertumbuhan tanaman, baik tanaman pangan, ornamental maupun
perkebunan. Penggunaan pupuk kandang perlu mendapat perhatian khusus
karena kadar haranya yang bervariasi. Kandungan unsur hara dalam pupuk
kandang tidak hanya tergantung pada jenis ternak, tetapi tergantung juga pada
jenis makanan dan air yang diberikan, umur dan bentuk fisik dari ternak (Hartatik
dan Widowati). Kandungan unsur hara dari pupuk kandang beberapa jenis
hewan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Pupuk Kandang Padat
16
Sumber
Pukan
Kadar
Air (%)
Bahan
Organik
(%)
N (%) P2O5
(%)
K2O
(%)
CaO
(%)
Rasio
C/N (%)
Sapi 80 16 0,3 0,2 0,15 0,2 20-25
Kerbau 81 12,7 0,25 0,18 0,17 0,4 25-28
Kambin
g
64 31 0,7 0,4 0,25 0,4 20-25
Ayam 57 29 1,5 1,3 0,8 4,0 9-11
Babi 78 17 0,5 0,4 0,4 0,07 19-20
Kuda 73 22 0,5 0,25 0,3 0,2 24
(Sumber : Pinus Lingga, 1991).
Pupuk kandang bersifat bulky dengan kandungan hara makro dan mikro
rendah sehingga sebagai pupuk diperlukan dalam jumlah banyak. Keuntungan
utama penggunaan pupuk kandang selain sebagai sumber hara tanaman adalah
dapat memperbaiki kesuburan tanah baik sifat kimia, fisik maupun biologinya.
Penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman dapat bermanfaat untuk
mengurangi pencemaran lingkungan karena pupuk kandang tersebut tidak
dibuang disembarang tempat yang dapat mengotori lingkungan dan badan
peraian umum. Selain itu penggunaan pupuk kandang bermanfaat dapat
mengurangi logam-logam berat yang bersifat racun bagi tanaman dan juga dapat
digunakan untuk mereklamasi lahan yang tercemar pada lahan bekas tambang
(Hartatik dan Widowati).
Para petani terbiasa membuat dan menggunakan pupuk kandang
sebagai pupuk karena murah, banyak, mudah pengerjaannya, begitu pula
pengaruhnya terhadap tanaman. Penggunaan pupuk kandang merupakan
manifestasi penggabungan pertanian dan peternakan yang sekaligus merupakan
syarat mutlak bagi konsep pertanian organik. Menurut Hartatik dan Widowati,
pupuk kandang mempunyai keuntungan sifat yang lebih baik dari pada pupuk
17
organik lainnya apalagi dibandingkan pupuk anorganik. Keuntungan tersebut
diantaranya yaitu:
1). Pupuk kandang merupakan humus yang banyak mengandung unsur-unsur
organik yang banyak dibutuhkan di dalam tanah. Oleh karena itu dapat
mempertahankan struktur tanah sehingga mudah diolah dan banyak
mengandung oksigen. Penambahan pupuk kandang dapat meningkatkan
kesuburan dan produksi pertanian. Hal ini disebabkan tanah lebih banyak
menahan air sehingga unsur hara akan terlarut dan lebih mudah diserap
oleh bulu akar.
2). Sumber hara makro dan mikro dalam keadaan seimbang yang sangat penting
untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Unsur mikro yang tidak
terdapat pada pupuk lainnya bisa disediakan oleh pupuk kandang, misalnya
S, Mn, Co, Br, dan lain-lain.
3). Pupuk kandang banyak mengandung mikrooganisme tanah yang dapat
membantu pembentukan humus di dalam tanah dan mensintesa senyawa
tertentu yang berguna bagi tanaman, sehingga pupuk kandang merupakan
suatu pupuk yang sangat diperlukan bagi tanah dan tanaman dan
keberadaannya dalam tanah tidak dapat digantikan oleh pupuk lain.
2.2.4. Peranan Bahan Organik Terhadap Tanah
Bahan organik umumnya ditemukan dipermukaan tanah dengan
jumlahnya tidak besar, hanya sekitar 3-5% tetapi pengaruhnya terhadap sifat
tanah besar sekali. Sekitar setengah dari kapasitas tukar kation berasal dari
bahan organik dan merupakan sumber hara tanaman. Disamping itu bahan
organik adalah sumber energi bagi sebagian besar organisme tanah. Dalam
memainkan peranan tersebut bahan organik sangat ditentukan oleh sumber dan
susunannya, kelancaran dekomposisinya, serta hasil dari dekomposisi itu sendiri
18
(Madjid, 2007). Menurut Atmojo (2003), bahwa sekam padi merupakan bahan
organik yang dapat berperan juga dalam perbaikan sifat fisik tanah antara lain
adalah: 1) memperbaiki struktur tanah atau menggemburkan tanah; 2)
menambah daya serap air; 3) memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah;
dan 4) memperbaiki kehidupan mikroorganisme tanah yang berguna dalam
menyuburkan tanah. Sedangkan Syukur (2005) menyatakan bahwa pemberian
pupuk kandang sapi 20 ton/ha mampu memperbaiki kualitas tanah yaitu
meningkatkan kemampuan mengikat air dan ketersediaan NH4 dan NO3.
Demikian juga pendapat Wigati (2006), pemberian pupuk kandang memberikan
pengaruh terbaik terhadap beberapa sifat kimia (kandungan bahan organik dan
KTK). Sudadi (2007) menyatakan bahwa pemberian mulsa dan pupuk kandang
mempertahankan lengas tanah dan mensuplai K sehingga mampu meningkatkan
K tersedia.
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat
tanah yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk
bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam
pembentukan struktur tanah (Gambar 2). Pengaruh pemberian bahan organik
terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang
diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat terjadi perubahan struktur gumpal
kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar dengan derajat
struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen
organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai
sementasi pertikel lempung dengan membentuk komplek lempung-logam-humus
(Stevenson,1982).
19
Gambar 2. Bahan Organik Sebagai Bahan Perekat Tanah(Sumber : http://www.pustaka.litbang.go.id)
Mekanisme pembentukan agregat tanah oleh adanya peran bahan
organik ini dapat digolongkan dalam empat bentuk: 1) penambahan bahan
organik dapat meningkatkan populasi mikroorganisme tanah baik jamur dan
actinomycetes. Melalui pengikatan secara fisik butir-bitir primer oleh miselia
jamur dan actinomycetes, maka akan terbentuk agregat walaupun tanpa adanya
fraksi lempung; 2) pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan
antara bagian–bagian positip dalam butir lempung dengan gugus negatif
(karboksil) senyawa organik yang berantai panjang (polimer); 3) pengikatan
secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian negatif
dalam lempung dengan gugusan negatif (karboksil) senyawa organic berantai
panjang dengan perantaraan basa-basa Ca, Mg, Fe dan ikatan hidrogen; 4)
Pengikatan secara kimia butir-butir lempung melalui ikatan antara bagian-bagian
negatif dalam lempung dengan gugus positif (gugus amina, amida, dan amino)
senyawa organik berantai panjang/polimer (Seta, 1987). Menurut hasil penelitian
Herudjito (1999), menunjukkan, penambahan bahan humat 1 persen pada latosol
20
mampu meningkatkan 35,75 % pori air tersedia dari 6,07 % menjadi 8,24 %.
Sedangkan hasil penelitian Dariah dan Rahman (1989), penggunaan mulsa
berupa hijauan maupun pupuk kandang dapat memperbaiki sifat fisik tanah,
antara lain bobot isi semakin rendah, meningkatkan ruang pori total dan pori
drainase cepat selanjutnya dapat meningkatkan aerasi tanah (Tabel 5).
Tabel 5. Pengaruh Macam dan Takaran Bahan Organik Terhadap Sifat Fisik Tanah
Perlakuan Takaran
(ton/Ha)
Bobot
Isi
(g/cc)
Ruang
Pori (%)
Pori
Drainase
Cepat (%)
Pori
Drainase
Lambat
(%)
Pori Air
Tersedia
(%)
F. congista 10
20
0,88
0,85
66,8
67,9
27,9
30,2
3,9
3,9
10,6
13,6
Gliricidia sp 10
20
0,89
0,86
66,4
67,6
26,3
28,6
4,8
5,5
10,3
8,9
Pupuk
Kandang
10
20
0,89
0,87
66,4
67,2
27,2
28,2
4,7
5,1
9,0
9,8
Kontrol 0,93 64,9 21,7 4,7 11,8
(Sumber : Dariah dan Rahman, 1989)
Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas tanah di
samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status kadar air
dalam tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuan
menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah untuk pertumbuhan
tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan
mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang . Penambahan bahan organik di
tanah pasiran akan meningkatkan kadar air pada kapasitas lapang, akibat dari
meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya pori
makro, sehingga daya menahan air meningkat, dan berdampak pada
peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Scholes et al., 1994).
21
Penambahan pupuk kandang di Andisol mampu meningkatkan pori memegang
air sebesar 4,73 % (dari 69,8 % menjadi 73,1 %) Pada tanah berlempung
dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan infiltrasi tanah akibat
dari meningkatnya pori meso tanah dan menurunnya pori mikro (Tejasuwarno,
1999)
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain
terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah,
daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik
akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas
pertukaran kation (KTK). Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata
terhadap KTK tanah. Sekitar 20 – 70 % kapasitas pertukaran tanah pada
umumnya bersumber pada koloid humus (contoh: Molisol), sehingga terdapat
korelasi antara bahan organik dengan KTK tanah (Stevenson, 1982). Pemberian
bahan organik berupa pupuk kandang 10 ton per hektar dan pupuk hijau 5 ton
per hektar meningkatkan kandungan C dan N organik serta KTK tanah. Bahan
organik yang diberikan ke dalam tanah akan terdekomposisi sehingga
meningkatkan C dan N organik tanah pada Tabel 6 (Nursyamsi et al, 1995).
Warsiti (2009) menyatakan bahwa pemakaian pupuk kandang sapi pada tanah
regosol kelabu dapat meningkatkan permeabilitas tanah. Penambahan bahan
organik juga meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga
mengakibatkan mengecilnya erodibilitas tanah.
22
Tabel 6. Sifat Kimia Tanah Pada Perlakuan Bahan Organik dan Kombinasi Pupuk P dan K Setelah Percobaan
Sifat Tanah Tanpa Bahan
Organik
Pupuk Kandang Pupuk Hijau
pH H2O 4,67 4,47 4,75
C Organik (%) 1,60 1,84 1,71
N Organik (%) 0,14 0,17 0,16
P Bray 1 (ppm
P2O5)
91,58 103,74 101,91
KTK (me 100/g) 11,51 12,92 12,49
(Sumber : Nursyamsi et al . 1995)
Kapasitas pertukaran kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah untuk
menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk
kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation penting untuk kesuburan
tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik
merupakan sumber muatan negatif tanah, sehingga humus dianggap mempunyai
susunan koloid seperti lempung, namun humus tidak semantap koloid lempung,
dia bersifat dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan
negatif humus sebagian besar berasal dari gugus karboksil (- COOH ) dan fenolik
(-OH) nya (Brady, 1990). Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10 ton per ha
pada Ultisol mampu meningkatkan 15,18 % KTK tanah dari 17,44 menjadi 20,08
cmol (+) per kg (Cahyani, 1996). Penggunaan bahan organik (kompos)
memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah
masam (Ultisol) dibanding dengan pengapuran (Sufardi et al., 1999).
Keberadaan kation-kation basa hasil dekomposisi bahan organik juga dapat
menurunkan konsentrasi Al dalam larutan tanah mineral. Wong et al. (1994)
menyebutkan bahwa kandungan Ca dan Mg bahan organik berperan terhadap
detoksifikasi Al. Sedangkan Bell dan Besho (1993) menyebutkan bahwa
23
turunnya Al dengan meningkatnya bahan organik dapat terjadi karena pertukaran
Al oleh kation-kation basa.
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat
meningkatkan atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan
organik yang kita tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan organik
yang belum masak (misal pupuk hijau) atau bahan organik yang masih
mengalami proses dekomposisi, biasanya akan menyebabkan penurunan pH
tanah, karena selama proses dekomposisi akan melepaskan asam-asam organik
yang menyebabkan menurunnya pH tanah. Namun apabila diberikan pada tanah
yang masam dengan kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan
peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan
mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak
terhidrolisis lagi. Penambahan bahan organik pada tanah masam, antara lain
inseptisol, ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu
menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro, 2003; Cahyani., 1996; dan Dewi, 1996).
Pemberian bahan organik pada tanah mineral masam berpengaruh nyata
terhadap penurunan konsentrasi Al-monomerik. Semakin tinggi dosis bahan
organik yang diberikan, konsentrasi Al-monomerik juga semakin menurun.
Pemberian bahan organik dosis 90 ton/ha mampu menurunkan konsentrasi Al-
monomerik hingga 99,5% dan pada penambahan bahan organik 20, 10, dan 5
ton/ha masing-masing mampu menurunkan konsentrasi Al-monomerik sebesar
94%, 86%, dan 25%. Walaupun dosis 90 ton/ha menunjukkan penurunan
tertinggi, namun berdasarkan uji Duncan’s taraf 5% perlakuan tersebut tidak
berbeda nyata dengan perlakuan 20 dan 10 ton per ha (Atekan dan Surahman).
Bahan organik di samping berperan terhadap ketersediaan N dan P, juga
berperan terhadap ketersediaan S dalam tanah. Di daerah humida, belerang (S)-
protein, merupakan cadangan S terbesar untuk keperluan tanaman. Mineralisasi
24
bahan organik akan menghasilkan sulfida yang berasal dari senyawa protein
tanaman. Di dalam tanaman, senyawa sestein dan metionin merupakan asam
amino penting yang mengandung sulfur penyusun protein (Mengel dan Kirkby,
1987). Protein tanaman mudah sekali dirombak oleh jasad mikro. Belerang (S)
hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N, sebagian S diubah menjadi
mantap selama pembentukan humus. Di dalam bentuk mantap ini, S akan dapat
terlindung dari pembebasan cepat (Brady, 1990). Seperti halnya pada N dan P,
proses mineralisasi atau imobilisasi S ditentukan oleh nisbah C/S bahan
organiknya. Jika nisbah C/S bahan tanaman rendah yaitu kurang dari 200, maka
akan terjadi mineralisasi atau pelepasan S ke dalam tanah, sedang jika nisbah
C/S bahan tinggi yaitu lebih dari 400, maka justru akan terjadi imobilisasi atau
kehilangan S (Stevenson, 1982).
Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna
tanah. Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas
dan populasi mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan
dengan aktivitas dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa
mikroorganisme yang beperan dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi,
bakteri dan aktinomisetes. Di samping mikroorganisme tanah, fauna tanah juga
berperan dalam dekomposisi bahan organik antara lain yang tergolong dalam
protozoa, nematoda, Collembola, dan cacing tanah. Fauna tanah ini berperan
dalam proses humifikasi dan mineralisasi atau pelepasan hara, bahkan ikut
bertanggung jawab terhadap pemeliharaan struktur tanah (Tian et al., 1997).
Menurut Sugiarto (2000), bahwa kelimpahan dan keanekaragaman fauna tanah
pada media tumbuh kacang hijau cenderung meningkat oleh adanya aplikasi
bahan organik. Sedangkan Stevenson (1982) menyatakan bahwa mikro flora
dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan
organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan
25
organik memberikan karbon sebagai sumber energi. Pengaruh positip yang lain
dari penambahan bahan organik adalah pengaruhnya pada pertumbuhan
tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai pengaruh terhadap aktivitas
biologis yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa perangsang tumbuh
(auxin), dan vitamin. Senyawa-senyawa ini di dalam tanah berasal dari eksudat
tanaman, pupuk kandang, kompos, sisa tanaman dan juga berasal dari hasil
aktivitas mikrobia dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan asam organik
dengan berat molekul rendah, terutama bikarbonat (seperti suksinat, ciannamat,
fumarat) hasil dekomposisi bahan organik, dalam konsentrasi rendah dapat
mempunyai sifat seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh
positip terhadap pertumbuhan tanaman.
Suriawiria (2002) menyatakan bahwa kompos ibarat multi-vitamin untuk
tanah pertanian. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang
perakaran yang sehat. Kompos memperbaiki struktur tanah dengan
meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan
kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas
mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan
penambahan kompos. Aktivitas mikroba ini membantu tanaman untuk menyerap
unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu
tanaman dari serangan penyakit.
Kompos dapat diterapkan untuk seluruh jenis tanaman dan tipe tanah,
tetapi laju aplikasinya sangat bergantung dari tanah, jenis tanaman, iklim dan
kualitas kompos. Tekstur tanah, derajat kemiringan , dan kedalaman muka air
tanah mempengaruhi jumlah kompos yang digunakan. Material-material dalam
kompos dapat memperbaiki sifat-sifat fisik tanah dan menyediakan nutrisi bagi
tanaman. Penambahan kompos pada tanah berpasir akan meningkatkan
26
ketersediaan air bagi tanaman sehingga mereduksi jumlah air irigasi. Sedangkan
dalam tanah berlempung penambahan kompos akan meningkatkan
permeabilitas air dan udara dan meningkatkan infiltrasi air sehingga mereduksi
run-off permukaan. Keuntungan utama penggunaan kompos adalah mereduksi
air yang diperlukan oleh pertumbuhan tanaman. Hal itu bermanfaat dalam
konservasi air (Wahyono, 2010). Menurut Syakir (2009) pemberian kompos dan
ampas sagu mampu meningkatkan produksi lada dengan indikator peningkatan
jumlah biji dan bobot kering buah.
Kompos mengkonversi materi organik dengan mengembalikan nutrien-
nutrien yang dikandungnya kedalam tanah dan secara tidak langsung
menghemat energy yang diperlukan oleh proses industri produksi pupuk kimia.
Sebagaimana bahan baku kompos yang berasal dari sisa-sisa biomassa,
kompos juga mengandung bahan-bahan yang diperlukan untuk pertumbuhan
tanaman. Kompos menyediakan baik itu makro maupun mikronutrien.
Makronutrien utama antara lain nitrogen, fosfor, potassium, kalsium dan
magnesium. Sementara itu, mikronutrien yang penting adalah besi, sulfur,
mangan, tembaga, seng, boron, dan molybdenum yang sangat esensial untuk
pertumbuhan tanaman juga tersedia dalam kompos. Kompos mempengaruhi
ketersediaan nutrient yang diperlukan oleh tanaman melalui beberapa sebab.
Air,oksigen, dan karbondioksida serta kandungannya yang besar akan asam
organic dan anorganik yang larut dalam air merupakan agen pelarut dan
hidrolisis. Asam humik yang terkandung dalam kompos mempengaruhi
ketersediaan fosfor terutama karena pembentukan kompleks di-valen atau tri-
valen kation yang membentuk fosfor tak terlarut. Humus menetralisasi pengaruh
toksik dari beberapa elemen mineral tertentu pada tanaman dengan cara
mengurangi penyerapannya. Sebagai contoh, formasi kompleks humus dapat
mengurangi penyerapan tembaga oleh tanaman. keberadaan asam humik di
27
tanah meningkatkan kemampuan ektstraksi besi, mangan, seng, dan tembaga
dan kemampuan tersebut akan menurun sejalan dengan lamanya inkubasi,
terutama untuk tembaga dan seng. Toksisitas aluminium menurun dengan
keberedaan senyawa-senyawa asam humik dan kelarutan besi dan mangan
dapat ditambah dengan mereduksi bentuk oksida yang labih tinggi menjadi
bentuk yang tersedia dalam keberadaan substansi-substansi organic.
Sebagaimana tingginya sifat kapasitas pertukaran kation materi organic
meningkatkan penggunaan pupuk kimia oleh tanaman dan membantu
mengurangi kehilangannya karena pencucian. Kompos terurai secara lambat di
tanah dan membebaskan karbondioksida sehingga diduga dapat meningkatkan
proses fotosintesis (Gaur, 1994 dan Mulyono, 2010).
Kompos mengandung sejumlah besar mikroorganisme seperti populasi
aktinomicetes, fungi dan bakteri. Keberadaannya di dalam tanah tidak hanya
meningkatkan jumlah mikroba tanah tetapi juga menstimulasi pertumbuhan
mikroba yang sudah ada dalam tanah. Aplikasi kompos membantu
mikroorganisme untuk memproduksi substansi yang lengket yang membantu
pembentukan struktur tanah yang baik. Amonifikasi, nitrifikasi dan fiksasi
nitrogen juga meningkat karena perbaikan aktivitas biologis. Kompos juga
merangsang mikorisa yang hidup bersimbiosis dengan akar tanaman dan
memainkan peranan penting dalam transfer beberapa nutrient dari tanah ke
tanaman. Kompos juga membawa sejumlah kecil senyawa menyerupai hormone
yang membantu pertumbuhan tanaman (Gaur, 1994).
Banyak penelitian yang melaporkan bahwa penggunaan pupuk kimia
nitrogen meningkatkan populasi nematode. Semenjak penggunaan metode
fumigasi terhadap nematode parasit mahal, kompos banyak digunakan untuk
mereduksi penyakit tersebut. Penambahan kompos dapat menekan sejumlah
nematode parasit. Diketahui pula bahwa penggunaan pestisida pada satu
28
musim tanam akan mengganggu pertumbuhan tanaman pada musim tanam
berikutnya karena residu pestisida mengganggu pertumbuhan mikroorganisme
tanah. Kompos terbukti dapat mendetoksikasi insektisida tanah seperti Lindane
atau benzene hexachlorida (Gaur, 1994). Ditinjau dari sifat-sifat tersebut, kompos
lebih tepat disebut sebagai soil conditioner atau media yang dapat memperbaiki
sifat dan struktur tanah. Untuk disebut sebagai pupuk sebenarnya kurang tepat
karena kandungan hara makro seperti N, P dan K kompos relative kecil. Dengan
sifatnya yang dapat memperbaiki kualitas tanah dan kandungan unsure hara
makro dan mikro , tentu saja pada akhirnya kompos bermanfaat dalam
pertumbuhan dan kesuburan tanaman segala jenis tanaman (Wahyono, 2010).
2.2.5. Peranan Bahan Organik Terhadap Tanaman
Pengaruh positip penambahan bahan organik adalah pada pertumbuhan
tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai pengaruh terhadap aktivitas
biologis yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa perangsang tumbuh
(auxin), dan vitamin. Di samping itu, diindikasikan asam organik dengan berat
molekul rendah, terutama bikarbonat (seperti suksinat, ciannamat, fumarat) hasil
dekomposisi bahan organik, dalam konsentrasi rendah dapat mempunyai sifat
seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh positip terhadap
pertumbuhan tanaman (Stevenson, 1982). Menurut Syukur (2005) pemberian
pupuk kandang sapi 20 ton/ha selain memperbaiki kualitas tanah juga
meningkatkan hasil tanaman caisim. Kemudian hasil penelitian Syukur dan Nur
Indah (2006) pemberian kompos limbah tanaman obat dan pupuk kandang sapi
meningkatkan pertumbuhan tanaman jahe Sedangkan Wigati et al., (2006), juga
melaporkan kalau pemberian pupuk kandang 20 ton/ha memberikan pengaruh
terbaik bagi pertumbuhan kacang tunggak.
29
Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa sejumlah zat tumbuh dan
vitamin dapat diserap langsung dari bahan organik dan dapat merangsang
pertumbuhan tanaman. Dulu dianggap orang bahwa hanya asam amino, alanin,
dan glisin yang diserap tanaman. Serapan senyawa N tersebut ternyata relatif
rendah dari pada bentuk N lainnya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa bahan
organik mengandung sejumlah zat tumbuh dan vitamin serta pada waktu-waktu
tertentu dapat merangsang pertumbuhan tanaman dan jasad mikro. Bahan
organik ini merupakan sumber nutrien inorganik bagi tanaman. Jadi tingkat
pertumbuhan tanaman untuk periode yang lama sebanding dengan suplai nutrien
organik dan inorganik. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan langsung utama
bahan organik adalah untuk menyuplai nutrien bagi tanaman. Penambahan
bahan organik kedalam tanah akan menambahkan unsur hara baik makro
maupun mikro yang dibutuhkan oleh tumbuhan, sehingga pemupukan dengan
pupuk anorganik yang biasa dilakukan oleh para petani dapat dikurangi
kuantitasnya karena tumbuhan sudah mendapatkan unsur-unsur hara dari bahan
organik yang ditambahkan kedalam tanah tersebut. Efisiensi nutrisi tanaman
meningkat apabila permukaan tanah dilindungi dengan bahan organik (Atmojo,
2003 dan Madjid, 2007).
Penggunaan bahan organik berupa pupuk kandang sudah dilakukan
petani sejak lama. Bahan organik dari kotoran hewan seperti sapi, kambing,
ayam dan kerbau, baik digunakan secara langsung maupun dikomposkan
terlebih dahulu. Pupuk kandang adalah sumber beberapa hara seperti nitrogen,
fosfor dan kalium. Bagaimanapun, nitrogen merupakan salah satu hara utama
bagi sebagian besar tanaman yang dapat diperoleh dari pupuk kandang.
Nitrogen dari pupuk kandang umumnya dirubah menjadi bentuk nitrat tersedia.
Nitrat merupakan senyawa yang mudah larut dan bergerak ke daerah perakaran
tanaman. Bentuk ini sama dengan bentuk yang biasa diambil tanaman dari
30
sumber pupuk anorganik dari pabrik (Hartatik dan Widowati). Menurut Santosa
(2003), pemberian pupuk kandang nyata meningkatkan tinggi tanaman dan
jumlah daun tanaman lidah buaya. Pemberian mulsa tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata pada pertumbuhan lidah buaya.
Penggunaan pupuk kandang sebagai pupuk tanaman merupakan suatu
siklus unsur hara yang sangat bermanfaat dalam mengoptimalkan penggunaan
sumber daya alam yang terbarukan, disisi lain penggunaan pupuk kandang
dapat mengurangi unsur hara yang bersifat racun bagi tanaman. Pupuk kandang
selain mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman, juga mengandung
asam-asam humat, fulvat dan hormon tumbuh dan lain-lain yang bersifat
memacu pertumbuhan tanaman sehingga serapan hara oleh tanaman meningkat
(Tan, 1993).
2.3. Pembibitan Tanaman
Jayusman dalam Adinugraha (2005), menyatakan bahwa pembibitan
tanaman merupakan serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk penyediaan
materi tanaman baik untuk kegiatan penelitian maupun program penanaman
secara luas. Penyediaan bibit yang memiliki karakter unggul secara morfologi,
fisiologis dan genetic akan sangat membantu keberhasilan tanaman di lapangan.
Naiem dalam Adinugraha (2005), menyatakan bahwa pembibitan tanaman
dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Informasi yang tepat tentang
teknik perkecambahan dan pemeliharaan bibit sangat diperlukan dalam kegiatan
produksi bibit unggul. Teknik pembiakan vegetatif merupakan salah satu cara
untuk memproduksi bibit yang memiliki karakter unggul karena anakan yang
dihasilkan merupakan duplikat dari induknya sehingga memiliki struktur genetik
yang sama Perbanyakan tanaman baik secara generatif maupun vegetatif
31
dilakukan untuk penyediaan materi untuk kegiatan penanaman baik dalam
rangka penelitian maupun penanaman secara komersial.
2.4. Pembibitan Secara Generatif
Pembibitan secara generatif dilakukan dengan menggunakan biji yang
harus disemaikan terlebih dahulu pada media tabur yang telah disterilisasi,
kemudian setelah berkecambah disapih ke media pertumbuhan. Media tabur
yang biasa digunakan adalah pasir sungai sedangkan media pertumbuhan
berupa campuran tanah dan kompos. Benih yang digunakan harus berasal dari
sumber benih yang jelas asal-usulnya sehingga dapat diketahui kualitas
genetiknya. Beberapa tingkatan sumber benih yang bisa digunakan adalah
sebagai berikut (Anonim, 2004)
1. Tegakan benih teridentifikasi: tegakan alam atau tanaman dengan kualitas
rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat
teridentifikasi dengan tepat
2. Tegakan benih terseleksi: tegakan alam atau tanaman, dengan penotipa
pohon untuk karakter penting (seperti: batang lurus, tidak cacat dan
percabangan ringan) diatas rata-rata
3. Areal produksi benih: memiliki kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tegakan benih teridentifikasi maupun teseleksi. Penjarangan untuk
membuang pohon yang jelek dilakukan untuk meningkatkan produksi benih.
4. Tegakan benih provenansi: tegakan yang dibangun dari benih yang berasal
dari provensi yang sama yang telah teruji dan diketahui keunggulannya.
5. Kebun benih semai: dibangun dengan bahan generatif (benih) yang berasal
dari pohon induk terpilih, didalamnya dilakukan seleksi pohon plus.
6. Kebun benih klon: dibangun dengan bahan tanaman hasil perbanyakan
vegetatif dari pohon plus di kebun benih atau hasil uji klon.
32
7. Kebun pangkas: pertanaman yang dibangun untuk menghasilkan bahan stek
untuk produksi bibit.
Adinugroho (2005), menyatakan bahwa untuk penanganan benih
dipersemaian merupakan awal dari kegiatan pembangunan tanaman. Kegiatan
tersebut meliputi: persiapan benih, media tabur dan media sapih, perlakuan
benih, penaburan benih, penyapihan bibit, pemeliharaan bibit dan monitoring
jumlah bibit siap tanam di persemaian. Biasanya dalam penyemaian benih
diperlukan perlakuan khusus (skarifikasi) untuk mempercepat proses
perkecambahan benih. Skarifikasi benih dapat dilakukan dengan beberapa cara
seperti pemecahan/pengikiran kulit biji, perendaman dalam air panas dan dingin,
perendaman dalam larutan asam sulfat. Tahapan selanjutnya adalah :
1. Penaburan benih: biasanya menggunakan media pasir
2. Penyapihan semai ke media tumbuh umumnya berupa campuran tanah, pasir
dan kompos dengan perbandingan 3:2:1.
3. Pemeliharaan dan pengamatan bibit sampai siap tanam.
2.5. Syarat Media Tumbuh Pembibitan Tanaman Dan Penggunaan Lumpur Lapindo Sebagai Media Tanam
2.5.1. Syarat Media Tumbuh Pembibitan Tanaman
Media yang digunakan untuk pembibitan tanaman mempunyai beberapa
persyaratan, yaitu: cukup kompak (firm and dense) agar kuat menopang
tegaknya batang, mempunyai kapasitas pegang air (water holding capacity) yang
cukup baik untuk perkembangan tanaman dan tidak terlalu lembab karena akan
merangsang pertumbuhan jamur yang dapat menyebabkan penyakit. Komponen
media yang baik untuk pembibitan tanaman yaitu memiliki sifat fisik, kimia, dan
biologi. Sifat fisik dan biologi juga penting karena dapat memperbaiki aerasi atau
sifat fisik tanah (Hartman et al., 2002),
33
Dalam pembuatan media tumbuh bibit yang harus diperhatikan yaitu
media yang mampu mengikat air; mempunyai unsur hara yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan tanaman; dapat mempertahankan kelembaban di sekitar akar
tanaman; tidak menjadi sumber penyakit; mudah didapat, berlimpah dan
harganya murah (Agoes, 1994). Media tanah atasan (top soil) tidak selalu
mempunyai tingkat kesuburan yang baik sehingga diperlukan campuran bahan
organik untuk menghasilkan bibit berkualitas. Ketersediaan limbah organik
seperti sekam padi, serbuk gergaji dan kotoran hewan di sekitar lingkungan
sangat potensial digunakan sebagai media sapih dalam pembuatan bibit
tanaman. Dalam pembuatan media bibit diperlukan campuran antara tanah dan
bahan organik. Campuran penggunaan tanah, pupuk kandang, pasir dan sabut
kelapa merupakan media terbaik untuk pertumbuhan dan indek mutu bibit
Maglieta glauca (Sudomo et al., 2010)
Media tumbuh yang baik mengandung unsur hara yang cukup, bertekstur
ringan, dan dapat menahan air sehingga menciptakan kondisi yang dapat
menunjang pertumbuhan tanaman. Media untuk pembibitan memiliki daya
menahan air yang baik, cukup hara, bebas dari gulma dan patogen, serta
kemasaman tanah optimal bagi pertumbuhan tanaman (Azri, 1993). Namun sifat
fisik media yang terlalu porous tidak baik karena penyerapan unsur hara oleh
akar tanaman akan lebih efektif apabila sentuhan antara akar dan permukaan
media terjadi cukup erat sehingga diperlukan tingkat porositas yang cukup
menyediakan peluang akar untuk dapat mengabsorbsi air dan nutrisi dengan
baik (Hartmann et al. 2002; Acquaah, 2002).
Untuk menghasilkan bibit yang berkualitas diantaranya memerlukan
media dengan komposisi bahan organik dan unsur hara yang diperlukan oleh
tanaman (Durahim dan Hendromono, 2001). Selain kandungan unsur hara
diperlukan berbagai campuran dalam media untuk meningkatkan porositas
34
sehingga sesuai bagi pertumbuhan akar tanaman. Oleh karena itu campuran
media mempunyai unsur hara dan porositas sekaligus menjadi pilihan dalam
menghasilkan bibit berkualitas. Pada umumnya media yang digunakan untuk
pembibitan berasal dari top soil dicampur pupuk kandang. Pengambilan top soil
dalam skala besar berdampak negatif bagi ekosistem di areal tersebut
(Hendromono, 1994).
Kemudian Durahim dan Hendromono (2001) menyimpulkan bahwa
penggunaan media campuran top soil, sekam padi dan sabut kelapa sawit
dengan perbandingan 1:1:1 meningkatkan pertumbuhan dan mutu morfologi bibit
mahoni. Menurut Putri (2008), bibit cendana yang ditumbuhkan pada media
organik kompos , serbuk gergajian dan serbuk gergajian murni mempunyai nilai
indek mutu nisbi sama baik dengan media tanah atasan. Hasil penelitian
Kurniaty et al., (2010), menyimpulkan bahwa media campuran tanah, sabut
kelapa dan sekam padi dengan perbandingan 1:1:1 memberikan pertumbuhan
terbaik pada bibit suren umur 5 bulan.
Bahan campuran media penyapihan yang bisa digunakan misalnya
gambut, sekam padi, serbuk gergaji, sabut kelapa atau bahan organik lainnya.
Penggunaan bahan campuran media bibit tersebut memiliki banyak keuntungan
antara lain dapat menghemat penggunaan lahan lapisan atas untuk persemaian,
lebih ekonomis, pengangkutan bibit juga lebih ringan (Triwilaida dan Harahap,
1990). Mashudi dan Surip (2005), menyatakan bahwa media perkecambahan
terbaik dari 6 media yang digunakan dalam penyemaian A .scholaris adalah pasir
dan kompos dengan perbandingan 3:1. Sedangkan hasil penelitian Siahaan et
al., (2007), menyimpulkan pemberian arang kompos sebagai campuran top soil
secara nyata dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kayu bawang Protium
javanicum Burm. Sudomo (2010) menyatakan bahwa campuran media tanah,
pupuk kandang dan serbuk kelapa dengan perbandingan 1:1:1 menghasilkan
35
indek mutu bibit manglid terbaik yaitu sebesar 0,132 sedangkan indek mutu
terendah dihasilkan pada campuran media sapih tanah,pupuk kandang dan
sekam padi perbandingan 1:1:1 yaitu sebesar 0,042. Kemudian Kurniawati et al.,
(2007) menyatakan bahwa interaksi antara media campuran pupuk kandang dan
tanah dengan perbandingan 1:1 dengan hormone tumbuh Rootone F
menghasilkan persentase berakar tertinggi.
2.5.2. Penggunaan Lumpur Lapindo sebagai Media Tanam
Penelitian Rahayu (2008) menghasilkan bahwa lumpur lapindo yang
dicampur tanah dan Tithonia sp mampu menurunkan pH tanah dan kadar Na
serta lebih efektif dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun dan berat
kering tanaman jagung. Sedangkan pemanfaatan lumpur lapindo sebagai media
tanam kacang hijau dilakukan oleh Utami (2011), menyatakan bahwa
penambahan tingkat konsentrasi lumpur lapindo dalam media tanam
mengakibatkan tinggi tanaman dan panjang akar lebih pendek dan jumlah bulu
akar lebih sedikit, begitu pula pengamatan anatomi berukuran lebih kecil
dibandingkan dengan tanaman kontrol. Penelitian Sugiharto (2006)
membuktikan bahwa lumpur lapindo dapat ditanami mangrove yang terdiri dari
jenis mangrove Api-api, bakau, Rizhopohra dan Bruguiera.
Tanaman Cassia fistula mampu tumbuh pada media lumpur lapindo, pasir
dan pupuk organik. Daun yang terluas (250.45 mm2) dan berat kering terbesar
(0.5577gr) terdapat pada tanaman yang ditanam pada media lumpur-pasir-pupuk
organik (1:1:4). Aktivitas Nitrat Reduktase (ANR) semakin besar seiring dengan
bertambahnya umur tanaman, Aktivitas Nitrat Reduktase (ANR ) terbesar (0.0687
μmol/mg/jam) terdapat pada daun tanaman yang ditanam pada media tanah
habitat (Primavanni, F). Sedangkan Sandy et al dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa munculnya protein baru yang tidak terdapat pada kontrol
36
maka diasumsikan tanaman Kiambang Salvinia molesta membentuk protein-
protein spesifik sebagai respon terhadap media modifikasi air lumpur lapindo
Sidoarjo. Daun Kiambang S. molesta menunjukkan gejala klorosis pada
perlakuan kultur dengan media campuran dan lumpur lapindo.
2.6. Penentuan Mutu Bibit Tanaman
Pada umumnya mutu bibit ditentukan berdasarkan karakter fisik tunas
dan akar bibit seperti tinggi, diameter, jumlah daun, panjang akar dan kekokohan
yang penentuannya dapat secara parsial dari masing-masing parameter atau
berdasarkan ranking dari matrik nilai keseimbangan bibit. Faktor bobot kering
tanaman seringkali tidak dijadikan pertimbangan untuk menentukan mutu bibit
(Hendromono (2003). Bobot kering tanaman secara tidak langsung
menunjukkan besarnya komponen penyusunan sel tanaman setelah kadar air
kostan pada pemanasan suhu 700C (Okalebo, et al. 1993). Salah satu komponen
penting penyusun sel tunas dan akar adalah cadangan karbohidrat yang
merupakan komponen non-protoplasmik cair (Dwidjoseputro, 2000). Dickson, et
al. dalam Hendromono (2003) telah merumuskan mutu bibit pada pengukuran
perubahan relatif sepanjang rentang waktu tertentu (indeks) yaitu berbanding
lurus dengan bobot kering total dan berbanding terbalik dengan pembagian tinggi
dengan diameter ditambah pembagian bobot kering bagian tunas dengan bobot
kering bagian akar. Dari penelitian berbagai spesies tanaman yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai indeks mutu maka semakin
baik pula mutu bibit (Novi & Indriyanto, 2008; Nengsi & Indriyanto, 2008;
Hendalastuti & Henti, 2005; Hendromono, 1998; Hendromono, 1995; Lackey &
Alm, 1982).
Penentuan mutu bibit pada umumnya berdasarkan kepada hasil penilaian
atau evaluasi yang berdasarkan pada tiga kriteria yaitu mutu genetik, mutu fisik,
37
dan mutu fisiologis. Mutu genetik didasarkan pada kelas sumber benih, mutu
fisik mencerminkan kondisi fisik bibit seperti kekompakan media, kekokohan,
keadaan batang, dan kesehatan; sedangkan mutu fisiologis menggambarkan
pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, warna daun (Pramono dan
Suhaendi, 2006). Menurut Hendromono (2007) bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi mutu bibit yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam
meliputi genetik, fisik, dan fisiologis bibit. Faktor luar meliputi suhu, cahaya,
kelembaban udara, konsentrasi CO2, O2, air, media, pupuk, mikoriza, hama dan
penyakit. Produktivitas pohon yang tinggi akan dicapai selain menggunakan bibit
yang bermutu tinggi, harus diikuti juga oleh tindakan silvikultur yang tepat yaitu
dengan cara memanipulasi beberapa faktor luar tersebut. Beberapa pakar juga
menetapkan mutu morfologis bibit dari nisbah pucuk akar dengan mengukur
biomassa bibit yang dibuktikan sebagai indikator daya hidup dan pertumbuhan
tanaman di lapangan. Nisbah atau rasio pucuk akar yang lebih rendah pada
umumnya menghasilkan daya hidup dan adaptasi tumbuhan yang lebih tinggi.
Secara praktis mutu fisik bibit yang berkualitas dapat diketahui dengan
menilai parameter kualitas fisik bibit yaitu kekokohan , rasio pucuk akar (RPA),
dan indek mutu bibit. Penilaiannya dilakukan dengan mengamati parameter
pertumbuhan bibit. Adapun tahapan penilaiannya yaitu 1) melakukan
pengukuran tinggi dan diameter bibit, 2) melakukan pengukuran terhadap berat
kering bagian/organ bibit yaitu berat kering akar (BKA), berat kering
pucuk/batang dan daun (BKP), berat kering total bibit (BKT). Berat kering
diperoleh dengan mengoven organ bibit pada suhu 1050C sampai beratnya
konstan (sekitar 24 jam), dan 3) hasil pengukuran pada tahapan 1 dan 2
digunakan untuk mengkuantifikasi parameter mutu fisik bibit yaitu kekokohan,
RPA dan IMB (Junaedi, 2010). Menurut Komala dan Edi (2008), bahwa mutu
morfologis bibit dari nisbah pucuk/akar dengan mengukur biomassa bibit yang
38
dibuktikan sebagai indikator daya hidup dan pertumbuhan tanaman di lapangan.
Nisbah pucuk/akar yang lebih rendah pada umumnya menghasilkan daya hidup
dan adaptasi tumbuhan yang lebih tinggi.
Di dalam Standart Nasional Indonesia (SNI) dinyatakan syarat mutu bibit
meliputi : 1) syarat umum berupa bibit berasal dari benih bermutu dengan bentuk
kokoh tegar, batang tunggal dan utuh, sehat serta pangkal batang berkayu, dan
2) syarat khusus berupa kekompakan media, tinggi bibit, diameter bibit,
kekokohan bibit, jumlah daun, dan warna daun (Danu dan Nurhasybi 2006).
Menurut Alrasyid dalam Mindawati dan Yusnita (2005) menyatakan bahwa pada
kisaran nilai RPA 2-5 bibit siap dipindahkan ke lapangan. Lackey dan Alm (1982)
dalam Hendromono (2003) yang menyatakan bahwa bibit dalam wadah yang
mempunyai IMB lebih dari atau sama 0,09 akan berdaya hidup tinggi di
lapangan, kelayakan bibit siap tanam dengan membandingkan rata-rata tinggi
bibit dengan nilai kurang lebih 15 cm.
Menurut Manik (2007) bahwa bibit tanaman yang sedang dikembangkan
pada suatu media dapat dievaluasi dengan melihat kriteria parameter sebagai
berikut pada Gambar 3.
a. Kriteria deformasi batang (Bark deformation)
39
b. Kriteria Kekokohan batang (Bark strengthness)
c. Kriteria kekompakan perakaran (Root compound)
d. Kriteria deformasi akar (Root deformation)
Gambar 3. Kriteria evaluasi bibit tanaman(Sumber : Manik, 2007)
2.7. Faktor Pertumbuhan Tanaman
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
dibedakan menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
40
adalah segala pengaruh atau faktor yang berasal dari tanaman itu sendiri seperti
gen dan hormone. Faktor eksternal merupakan sesuatu yang mempengaruhi
atau faktor yang berasal dari luar tubuh tumbuhan tersebut yaitu dari lingkungan
atau ekosistem. Ada beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan yaitu air, cahaya, kelembaban,
makanan (nutrisi), dan suhu (Dwidjoseputro, 2000).
Menurut Isharmanto (2010), pertumbuhan tanaman dipengaruhi 2 faktor
yaitu internal dan eksternal. Faktor internal seperti hereditas (genetic), enzim
dan hormone (fitohormon). Gen adalah factor pembawa sifat menurun yang
terdapat dalam sel makhluh hidup; enzim merupakan suatu makromolekul
(protein) yang mempercepat suatu reaksi kimia dalam tubuh makhluh hidup
sedangkan hormon merupakan zat pengatur tumbuh, yaitu molekul organik yang
dihasilkan oleh satu bagian tumbuhan dan ditransportasikan ke bagian lain yang
dipengaruhinya. Hormon dalam konsentrasi rendah menimbulkan respons
fisiologis. Ada 2 kelompok hormone yaitu: a) hormon pemicu pertumbuhan yaitu
auksin, giberelin dan sitokinin; dan b) hormon penghambat pertumbuhan seperti
asam absisat, gas etilen, hormon kalin dan asam traumalin. Sedangkan faktor
eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah unsur hara, suhu,
kelembaban, cahaya matahari, air dan keasaman (pH).
2.8. Tanaman Trembesi Samanea saman (Jack) Merr dan Teknik Pembibitannya
Tanaman trembesi mempunyai batang yang besar, bulat dan dapat
mencapai ketinggian antara 10-20 meter. Permukaan batangnya beralur, kasar
dan berwarna coklat kehitam-hitaman. Tanaman ini mempunyai daun majemuk
dan menyirip ganda. Setiap helai daun berbentuk bulat memanjang dengan
panjang 2-6 cm dan lebar antara 1-4 cm dengan tepian daun rata. Daun trembesi
berwarna hijau dengan permukaan yang licin dan tulang daun menyirip.
41
Sedangkan bunga pohon trembesi berwarna kuning kemerahan pada ujungnya.
Bentuk bunga hampir menyerupai bunga pohon Jambu air. Sedangkan buah
pohon trembesi berbentuk polong yang termasuk leguminosae dengan panjang
30-40 cm. dalam buah polong tersebut terdapat biji-biji yang keras. Biji-biji itu
berwarna coklat kehitaman (Wahyuti, 2010).
Perkembangbiakan tanaman trembesi dapat dilakukan dengan beberapa
cara yaitu pembibitan (metode yang biasanya digunakan), pemotongan dahan,
ranting, batang dengan cara pencangkokan. Proses pembibitan untuk skala
besar dapat menggunakan biji dengan cara berikut (Hanafi, 2011) :
1. Pembibitan biji tanpa perlakuan
Perkecambahan biji akan tumbuh dengan baik sekitar 36-50% tanpa
perlakuan. Perkecambahan biji yang tidak diperlakuan akan tumbuh di tahun
pertama penyimpanan biji (Seed Storage)
2. Pembibitan biji dengan perlakuan
Pembibitan biji dapat dilakukan dengan memberi perlakuan tertentu pada biji
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan lebih cepat. Ada 2 macam
perlakuan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik yaitu :1) memasukkan biji
dalam air selama 1-2 menit dengan suhu 800C dengan volume air 5 kali lebih
banyak dari volume biji, aduk biji kemudian keringkan, 2) merendam biji
dalam air hangat dengan suhu 30-400C selama 24 jam. Metode ini akan
membantu perkecambahan biji 90-100%. Skarifikasi biji (pengelupasan biji)
akan tampak 3-5 hari setelah perlakuan dengan menyimpannya dalam
tempat teduh dengan pemberian air yang konstan untuk membantu
pertumbuhan biji.
Biji yang sudah siap untuk ditanam setelah perkecambahan dengan
panjang kecambah 20-30 mm. Bibit yang mempunyai diameter lebih 10 mm
dapat lebih bertahan dari air hujan. Ukuran bibit saat penanaman yaitu ketika
42
mempunyai tinggi sekitar 15-30 cm dengan panjang akar sekitar 10 cm dan
panjang batang mencapai 20 cm. Diameter batang dari bibit harus mencapai 5-
30 mm. Penanaman ini dapat dilakukan di pasir (tempat pembibitan) atau di
tanam di polybag yang berukuran 10-20 cm dengan komposisi media yaitu:
3 :1:1 (tanah:pasir:kompos). Perawatan bibit diperlukan untuk menjaga bibit agar
bisa tumbuh besar terutama dari serangan hama dan terpaan angin. Perawatan
ini dilakukan sampai trembesi menjadi lebih tinggi dan siap untuk melindungi
(Hanafi, 2011).
Teknik pembibitan tanaman trembesi yang dilakukan oleh Rindam
Iskandar muda yaitu: 1). memilih biji yang baik dan tidak cacat; 2). memotong
ujung biji dengan gunting kuku agar air cepat masuk ke dalam biji; 3). merendam
dengan air hangat kurang lebih 400C lalu didiamkan selama 3 - 4 hari. Biji yang
mengembang siap disemaikan di media campuran tanah atasan dan pasir
dengan perbandingan 1:1. Penyemaian dilakukan dengan cara memasukkan biji
kedalam lubang pada kedalaman 3 cm kemudian disiram pagi dan sore hari.
Setelah berumur 15 hari, dipindahkan (sapih) ke dalam polybag yang berisi
media pembibitan yaitu tanah atasan 20%, sekam padi 40%, pasir 10% dan
pupuk kandang sapi 30% (Anonim,2010).
2.9. Tanaman Sengon Paraserianthes falcataria (L) Nielsen dan Teknik Pembibitannya.
Tanaman sengon Paraserianthes falcataria L. Nielsen merupakan jenis
tanaman cepat tumbuh yang sudah dikenal luas oleh masyarakat dalam
pengembangan hutan tanaman. Jenis ini memiliki beberapa kelebihan
diantaranya riap pertumbuhan tinggi, persyaratan tumbuh mudah,
pemanfaatannya beragam, dan jenis pengikat nitrogen (Budelman, 2005).
Pengembangan jenis sengon perlu didukung hasil-hasil penelitian untuk
43
meningkatkan produktivitasnya. Upaya peningkatan produktivitas sengon dapat
dimulai dari penerapan teknologi tepat guna di pesemaian sehingga diperoleh
bibit yang berkualitas. Penggunaan bibit yang berkualitas akan didapatkan
pertumbuhan awal yang baik sehingga menghasilkan produktivitas hutan
tanaman yang optimal. Kondisi pertumbuhan awal tanaman akan menentukan
perkembangan selanjutnya dari pohon tersebut (Siarudin dan Endah, 2007).
Pada umumnya tanaman sengon diperbanyak dengan bijinya. Biji
sengon yang dijadikan benih harus terjamin mutunya. Benih yang baik adalah
benih yang berasal dari induk tanaman sengon yang memiliki sifat-sifat genetik
yang baik, bentuk fisiknya tegak lurus dan tegar, tidak menjadi inang dari hama
ataupun penyakit. Ciri-ciri penampakan benih sengon yang baik yaitu: 1) kulit
bersih berwarna coklat tua; 2) ukuran benih maksimum; 3) tenggelam dalam air
ketika benih direndam; dan 4) bentuk benih masih utuh. Selain penampakan
visual tersebut, juga perlu diperhatikan daya tumbuh dan daya hidupnya, dengan
memeriksa kondisi lembaga dan cadangan makanannya dengan mengupas
benih tersebut. Jika lembaganya masih utuh dan cukup besar, maka daya
tumbuhnya tinggi. Biji sengon memiliki kulit yang liat dan tebal sehingga
memerlukan perlakuan guna membangun perkecambahan benih tersebut.
Benih direndam dalam air panas mendidih (80 C) selama 15 - 30 menit. Setelah
itu, benih direndam kembali dalam air dingin sekitar 24 jam, lalu ditiriskan. untuk
selanjutnya benih siap untuk disemaikan. Pada masa pertumbuhan anakan
semai sampai pada saat kondisi bibit layak untuk ditanam di lapangan perlu
dilakukan pemeliharaan secara intensip. Beberapa hama yang biasa menyerang
bibit adalah semut, tikus rayap, dan cacing, sedangkan yang tergolong penyakit
ialah cendawan penyebab kerusakan bibit (Toni, 2010).
Tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan
latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan
44
kemasaman tanah sekitar pH 6-7. Ketinggian tempat yang optimal untuk
tanaman sengon antara 0 - 800 m dpl. Walapun demikian tanaman sengon ini
masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Sengon
termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu
sekitar 18-270C. Curah hujan mempunyai beberapa fungsi untuk tanaman,
diantaranya sebagai pelarut zat nutrisi, pembentuk gula dan pati, sarana transpor
hara dalam tanaman, pertumbuhan sel dan pembentukan enzim, dan menjaga
stabilitas suhu. Tanaman sengon membutuhkan batas curah hujan minimum
yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering, namun juga tidak terlalu
basah, dan memiliki curah hujan tahunan yang berkisar antara 2000 - 4000 mm.
Kelembaban juga mempengaruhi setiap tanaman. Reaksi setiap tanaman
terhadap kelembaban tergantung pada jenis tanaman itu sendiri. Tanaman
sengon membutuhkan kelembaban sekitar 50-75% (Toni, 2010).
2.10. Trembesi dan Sengon Merupakan Tanaman Leguminosa
Tanaman leguminosa mempunyai kemampuan bersimbiosis secara
mutualistik dengan bakteri Rhizobium sp yang tumbuh di daerah perakarannya.
Adanya bakteri ini menyebabkan terbentuknya nodul/bintil akar yang mampu
memfiksasi nitrogen bebas dari udara sehingga dapat mensuplai kebutuhan
tanaman akan unsur N tersedia. Hasil simbiosis ini diharapkan mampu
meningkatkan produksi hijauan tanaman. Kemampuan untuk memfiksasi nitrogen
dapat mengurangi biaya pembelian pupuk N buatan, sehingga aplikasi inokulasi
Rhizobium sp pada tanaman leguminosa menjadi sangat penting untuk memacu
fiksasi nitrogen (Fuskah, et al, 2009).
Simbiosis antara Rhizobium sp dengan Leguminosa dicirikan oleh struktur
bintil akar pada tanaman inang (leguminosa). Pembentukan bintil akar dimulai
dengan sekresi produk metabolisme tanaman ke daerah perakaran yang
45
menstimulasi pertumbuhan bakteri. Proses pembentukan bintil akar di awaali
dengan kolonisasi bakteri bintil akar di rhizosfer tanaman leguminosa
(Rahmawati, 2005). Rhizobium sp merupakan kelompok bakteri penambat
nitrogen yang bersimbiosis dengan tanaman legum Simbiosis ini menyebabkan
bakteri Rhizobium sp dapat menambat nitrogen dari atmosfir, dan selanjutnya
dapat digunakan sebagai pupuk organik. Dibandingkan dengan kompos
konvensional, formula pupuk hayati multi-isolat Rhizobium sp toleran masam
merupakan teknologi yang lebih maju untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
benih, pupuk N, P dan Ca. khususnya pada tanaman kedelai (Glycine max (L.)
Merill). Terbentuknya bintil akar selain dapat meningkatkan kesuburan tanah,
juga dapat akan meningkatkan efisiensi pemupukan dan mengurangi
pencemaran lingkungan (Soedarjo, 2003).
Faktor abiotik dan biotik seperti kemasaman tanah, kelembapan tanah,
suhu tanah, senyawa organik dan anorganik sebagai sumber nutrisi, densitas sel
Rhizobium sp tanah mempengaruhi proses pembentukan bintil akar (Soedarjo,
2003). Sifat kimia tanah, seperti kemasaman dan toksisitas oleh Al, Fe, dan Mn,
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan fungsi Rhizobium. Species Rhizobium
berbeda tingkat toleransinya terhadap kemasaman tanah. Hasil kajian
laboratorium menunjukkan bahwa lebih dari 80% isolat Rhizobium kedelai tipe
tumbuhan lambat (slow growers) toleran terhadap pH 4,0 dan sebagian besar
dari isolat toleran masam tersebut toleran pada 100 ppm Mn dan 400 mM Al, 300
ppm Fe (Soedarjo dan Muchdar., 2003).
2.11. Tanaman Hias Bunga Matahari Helianthus annuus L Dan Teknik Pembibitannya.
Bunga matahari Helianthus annuus L. adalah tumbuhan semusim suku
kenikir-kenikiran (Asteraceae) yang populer sebagai tanaman hias maupun
46
tanaman penghasil minyak. Bunga tumbuhan ini sangat khas: besar, biasanya
berwarna kuning terang, dengan kepala bunga yang besar (diameter bisa
mencapai 30 cm). Bunga ini sebetulnya adalah bunga majemuk, tersusun dari
ratusan hingga ribuan bunga kecil pada satu bongkol. Bunga matahari juga
memiliki perilaku khas, yaitu bunganya selalu menghadap ke arah matahari atau
heliotropisme. Dalam budidayanya, bunga matahari menyukai tanah yang subur
dan hangat serta menyukai suasana yang cerah. Pemanfaatan bunga matahari
terutama adalah sebagai sumber minyak, baik pangan maupun industri. Sebagai
bahan pangan, minyak bunga matahari cocok dipakai untuk menggoreng.
mengentalkan, serta campuran salad. Minyak bunga matahari kaya akan asam
linoleat, suatu asam lemak tak jenuh yang baik bagi kesehatan manusia
(Anonim,2008).
Anneahira menyatakan bahwa rancangan kultivar dalam budidaya bunga
matahari dengan tujuan produksi sebagai berikut: 1) sebagai penghasil minyak
yang berasal dari bijinya; 2) sebagai pakai ternak yang dipakai daunnya dan
dapat dikembangkan sebagai humus atau pupuk hijau; dan 3) sebagai tanaman
hias yang memiliki kelopak warna cerah. Budidaya bunga matahari dengan biji
yaitu menerbarkan langsung di lapangan dengan kedalaman 3 - 8 cm. Tanaman
ini memerlukan tempat pembibitan medium yang bebas gulma. Penanaman
yang umum dilakukan di lapangan yaitu biji rata-rata 3 - 8 kg/ha. Jarak yang
umum digunakan adalah 60—75 cm antar baris dan 20—30 cm dalam baris.
Dengan menggunakan biji yang bagus maka keberhasilan perkecambahan
mencapai lebih dari 80%. Sedangkan faktor lingkungan tumbuhnya seperti
kelembaban dan zat makan yang tidak terbatas.
Menurut Admin, cara menanam bunga matahari yaitu melakukan
pembenihan terlebih dahulu di area persemaian dengan cara menabur biji. Jika
benih bunga matahari sudah mencapai tinggi 15-20 cm segera dipindahkan ke
47
area tanam yang sudah dicampur pupuk kandang . Selanjutnya melakukan
penyiraman air secukupnya setiap hari agar bibit tumbuh baik. Faktor yang
harus diperhatikan dalam penanaman bunga matahari adalah air jangan sampai
tergenang, pemupukan dan pembasmian hama. Permita (2011), menyatakan
bahwa bunga matahari dapat mengurangi kadar bahan radioaktif. Pada pusat
penelitian Riken di kota Minimasoma, yang jaraknya 30 kilometer dari reaktor
nuklir Fukushima, ternyata lahan yang ditumbuhi bunga matahari telah
menurunkan radioaktif Cesium tanah sebanyak 20 persen, dari 2.100 ke 1.680
becquerels dalam dua bulan
48
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Peristiwa lumpur lapindo menimbulkan banyak permasalahan seperti
sosial, ekonomi, politik bahkan lingkungan. Lumpur ini masih terus keluar dari
pusat semburannya yang selalu menyebabkan kepanikan masyarakat Sidoarjo.
Walaupun dilakukan penampungan namun air lumpur pernah meluap ke jalan
Raya Porong karena besarnya volume lumpur yang keluar dan kapasitas daya
tampung menurun. Kapasitas penampungan berkurang, diantaranya disebabkan
komponen padatan lumpur mengendap. Oleh karena itu perlu dikaji agar
komponen padatan lumpur bisa dimanfaatkan. Komponen padatan tersebut bila
kering membentuk hamparan tanah endapan yang sangat luas seperti lahan
kering. Padahal tanah endapan lumpur ini mengandung unsur kimia dan butiran
tanahnya berupa liat, pasir dan debu. Kandungan liatnya tinggi namun bila
dicampur dengan bahan organik diperkirakan akan terjadi perbaikan porositas
dan peningkatan unsur hara sehingga status kesuburannya lebih baik dan
kemungkinan memenuhi kebutuhan pertumbuhan tanaman.
Tanaman trembesi Samanea saman (Jack.) Merr.; tanaman sengon
Paraserianthes falcataria (L) Nielsen; dan tanaman hias bunga matahari
Helianthus annuus L merupakan tanaman yang banyak digunakan untuk
pengelolaan lingkungan. Trembesi merupakan tanaman penghijauan yang
diketahui mempunyai efek penangkal panas dan penyerap karbon dioksida (CO2)
paling unggul. Tanaman sengon banyak dibudidayakan di daerah aliran sungai
(DAS), pegunungan dan hutan sebagai usaha penahan erosi, produksi kayu dan
penyubur tanah karena akar rambut sengon menyimpan zat nitrogen. Sedangkan
tanaman hias bunga matahari sering dikembangkan pada ruang terbuka hijau
49
(RTH) untuk estetika lingkungan dan bijinya dapat menghasilkan minyak sebagai
sumber energy alternatif.
Kerangka pemikiran secara ringkas digambarkan dalam bentuk diagram
alir sebagai berikut.
Air
Padatan
Gambar.4. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Lumpur Lapindo Sungai Porong
Tanah Endapan lumpur Lapindo
Karakteristik :kimia, fisika dan biologi
Media Pembibitan :Analisis Status
Kesuburan
Sekam dan kompos
Pupuk kandang sapi
Trembesi dapat di
kembangkan pada lahan
gersangdan tepi
Bunga matahari dapat di
kembangkan pada ruang
terbuka Hijau
Sengon dapat di
kembangkan pada daerah aliran sungai
Penyediaan bibit tanaman untuk pengelolaan lingkungan:1. Trembesi sebagai penyerap CO2 paling unggul
2. Sengon sebagai penahan erosi dan penyubur tanah3. Bunga matahari sebagai estetika lingkungan dan
sumber energi
50
3.2. Hipotesis
Hipotesis penelitian penggunaan tanah endapan lumpur lapindo yang
ditambah dengan bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi
sebagai media pembibitan yaitu:
1. Tanah endapan lumpur lapindo yang ditambah dengan bahan organik
sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi dapat menjadi media
pembibitan tanaman trembesi, sengon dan bunga matahari.
2. Pertumbuhan dan mutu bibit tanaman trembesi, sengon dan bunga
matahari berkembang baik pada media tanah endapan lumpur lapindo
yang ditambah dengan bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk
kandang sapi.
3.3. Definisi Operasional Variabel Penelitian dan Pengukurannya.
Variabel operasional penelitian ini yaitu: 1) status kesuburan tanah
endapan lumpur lapindo dan media pembibitan; 2) pertumbuhan bibit tanaman;
dan 3) mutu bibit tananam. Sedangkan definisi operasional setiap variabel
penelitian sebagai berikut.
1. Status Kesuburan Tanah Endapan Lumpur Lapindo Dan Media Pembibitan
Status kesuburan tanah endapan lumpur lapindo dan media pembibitan
akan dinilai dengan metode pendekatan analisis contoh. Analisis contoh tanah
endapan dan media pembibitan akan dilakukan terhadap variabel kimia, fisika
dan biologi tanah seperti N , P, C organik , Ca, Mg, K, Na , KTK dan KB, kadar
air tersedia, porositas total, populasi mikroba dan kemantapan agregat.
Pengukuran setiap variabel kimia menggunakan metode yang ditetapkan
Balai Penelitian Tanah yaitu C organik diukur dengan metode Walkey dan Black;
51
N total diukur dengan Kjeldahl, P tersedia dengan Olsen ; Ca dan Mg dengan
titrasi EDTA; K, Na, KB dan KPK dengan metode pertukaran ion. Kadar unsur
hara yang diperoleh dari data analisis kimia akan diketahui apakah status/kadar
unsur hara dalam tanah tersebut sangat rendah (kurang), rendah, sedang, cukup
ataukah tinggi, sesuai kriteria tertentu. Pengukuran variabel fisika yaitu kadar air
untuk mengetahui banyaknya air tersedia bagi tanaman dengan jalan penentuan
kandungan air pada keadaan kapasitas lapang (pF 2,54) dikurangi dengan
persen (%) kandungan air pada keadaan titik layu permanen (pF 4,2). Porositas
total dinyatakan sebagai persentase volume total pori (rongga) yang diisi oleh
udara dan air diantara partikel tanah berdasarkan nilai bobot isi dan bobot jenis.
Kemantapan agregat media pembibitan akan diukur pada akhir penelitian.
Sedangkan pengukuran variabel biologi untuk mengetahui keragaman mikroba
tanah dengan cara membiakkan contoh tanah endapan lumpur dan media
pembibitan pada media biakan.
2. Pertumbuhan Bibit Tanaman
Pertumbuhan bibit tanaman yaitu pertambahan volume organ daun,
batang dan akar bibit tanaman. Pertambahan volume dapat diketahui dengan
mengamati dan mengukur parameter seperti tinggi, diameter batang, jumlah
daun, panjang akar, bintil akar, bobot basah dan bobot kering. Pengukuran
parameter pertumbuhan seperti tinggi tanaman dan panjang akar akan
menggunakan penggaris ketelitian 0,05 cm; diameter batang diukur dengan
kaliper ketelitian 0,01 cm; bobot basah dan kering organ bibit diukur dengan
neraca digital ketelitian 0,0001 g. Bobot kering organ yang diukur meliputi: bobot
kering akar (BKA), dan bobot kering batang dan daun (BKBD). Bobot kering
akan diperoleh dengan mengeringkan (oven) contoh organ pada suhu 105OC
atau dijemur sinar matahari sampai berat konstan sekitar 7 hari.
52
3. Mutu Bibit Tanaman
Penentuan mutu bibit pada umumnya berdasarkan kepada hasil penilaian
atau evaluasi yang berdasarkan pada tiga kriteria yaitu mutu genetik, mutu fisik,
dan mutu fisiologis. Mutu genetik didasarkan pada kelas sumber benih, mutu
fisik mencerminkan kondisi fisik bibit seperti kekompakan media, kekokohan,
keadaan batang, dan kesehatan; sedangkan mutu fisiologis menggambarkan
pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, warna daun (Pramono dan
Suhaendi, 2006).
53
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di dua tempat yaitu: 1) laboratorium
tanah jurusan tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya di Malang; dan 2)
desa Panji Kidul Kabupaten Situbondo untuk penyemaian dan pembibitan
tanaman. Sedangkan waktu penelitian direncanakan selama 4 bulan yang akan
dimulai bulan April 2012 dengan perencanaan kegiatan sebagai berikut pada
Tabel 7.
Tabel 7. Jenis Kegiatan Penelitian, Tempat dan Waktunya
No Jenis Kegiatan Penelitian Waktu (bulan) dan Lokasi Penelitian
Mar Ap
r
Mei Jun Lokasi
1 Persiapan bahan dan alat penelitian
V Malang dan Situbondo
2 Pengambilan tanah endapan lumpur, sekam padi dan
penyiapan kompos, pupuk kandang sapi dan biji tanaman
V Malang
3 Pembuatan media pembibitan dan inkubasi media
V V Malang dan Situbondo
4 Penyemaian biji tanaman trembesi, sengon dan bunga
matahari
V Situbondo
5 Penanaman dan pemeliharaan bibit tanaman
dalam media pembibitan
V V V Situbondo
6 Analisis kimia, fisika dan biologi
V V Malang
7 Pengamatan dan pengukuran variabel penelitian
V V V Situbondo
8 Analisis data hasil penelitian V Malang
4.2. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan penelitian yang akan digunakan yaitu sekam padi, kompos, pupuk
kandang sapi, tanah endapan lumpur lapindo, biji trembesi, biji sengon, biji
54
bunga matahari, air, zat kimia untuk analisis kimia seperti : selen, H2SO4,
aquades, NH3, Asam borak, indicator Conway, NH4OH, larutan sangga tartrat
dan Na fenat, NaOCl, pengekstrak Olsen, K2Cr2O7, etanol 96% dan pasir kuarsa.
Sedangkan alat penelitian yang digunakan terdiri dari spektrofotometer serapan
atom, neraca digital ohaus, oven listrik, buret, peralatan gelas, labu didih, labu
takar, labu semprot, caliper, ring sampler, pF meter, desikator, pressure
membrane appratus atau tabung gelas dengan skat dari keramik untuk
penentuan pF, penggaris, polybag, rumah plastik, kantong plastik, karung plastik,
plastik transparan, skop, cangkul, sendok tanah, timba penyiram dan
sebagainya.
4.3. Pengambilan Tanah Endapan Lumpur Lapindo, Sekam Padi, dan Penyiapan Kompos , Pupuk Kandang Sapi dan Biji Tanaman
Tanah endapan lumpur lapindo akan diambil di desa Siring kecamatan
Porong dengan cangkul kemudian dimasukkan dalam 4 karung plastic ukuran 50
kg.. Selanjutnya tanah endapan yang berupa bongkahan dihancurkan sampai
halus dan disimpan dalam karung plastic. Untuk bahan organik sekam padi akan
diambil sebanyak 6 karung plastic di penggilingan padi yang ada di desa Panji
kidul kabupaten Situbondo. Pupuk kandang sapi, biji trembesi, sengon dan
bunga matahari akan disiapkan dengan membeli di kios pembibitan tanaman
yang ada di kota Situbondo dan Malang. Sedangkan kompos akan dibeli di UPT
kompos Universitas Brawijaya, Malang.
4.4. Pembuatan Media Pembibitan Tanaman
Media pembibitan tanaman akan dibuat dari bahan tanah endapan lumpur
lapindo, bahan organik sekam padi, kompos dan pupuk kandang sapi. Media
pembibitan ini dibuat dengan perbandingan bahan yang berlandaskan pada
beberapa kajian empiris yang menyatakan bahwa penggunaan bahan organik
sekam padi maksimal 40%, kompos dan pupuk kandang sapi 20%. Maka pada
55
penelitian ini akan meneliti variasi bahan organik dengan jumlah rendah dan
tinggi yaitu sekam padi 20% dan 40%, kompos 10% dan 20%, pupuk kandang
sapi 10% dan 20%. Sedangkan tanah endapan lumpur lapindo yang merupakan
obyek penelitian akan dikaji variasi jumlah persentase rendah, sedang dan tinggi
yaitu: 20%, 50%, 80% dan 100%. Media pembibitan merupakan perlakuan
penelitian yang akan dibuat sebanyak 1000 g sehingga perbandingan bahan
yang dapat memenuhi jumlah tersebut sesuai ketentuan persentase diatas yaitu
pada Tabel 8 berikut.
Tabel 8. Perbandingan Bahan Dengan Jumlah Media Pembibitan 1000 g
No Kode Perlakuan
Media
Keterangan Perbandingan Bahan
1 M1 Tanah endapan lumpur lapindo 20% : Sekam padi 40% : Kompos 20% : Pupuk kandang sapi 20%
2 M2 Tanah endapan lumpur lapindo 50% : Sekam padi 20% : Kompos 10% : Pupuk kandang sapi 20%
3 M3 Tanah endapan lumpur lapindo 50% : Sekam padi 20% : Kompos 20% : Pupuk kandang sapi 10%
4 M4 Tanah endapan lumpur lapindo 50% : Sekam padi 40% : Kompos 10% : Pupuk kandang sapi 0%
5 M5 Tanah endapan lumpur lapindo 50% : Sekam padi 40% : Kompos 0% : Pupuk kandang sapi 10%
6 M6 Tanah endapan lumpur lapindo 80% : Sekam padi 0% : Kompos 10% : Pupuk kandang sapi 10%
7 M7 Tanah endapan lumpur lapindo 80% : Sekam padi 20% : Kompos 0% : Pupuk kandang Sapi 0%
8 M8 Tanah endapan lumpur lapindo 80% : Sekam padi 0% : Kompos 20% : Pupuk kandang sapi 0%
9 M9 Tanah endapan lumpur lapindo 80% : Sekam padi 0% : Kompos 0% : Pupuk kandang sapi 20%
10 M10 Tanah endapan lumpur lapindo 100% : Sekam padi 0% : Kompos 0% : Pupuk kandang sapi 0%
Selanjutnya setiap bahan media yang sudah ditetapkan takarannya,
ditimbang, dicampurkan kemudian diaduk agar merata lalu dimasukkan dalam
polybag ukuran 25 x 12,5 x 25 cm3 dan diberi air secukupnya (kapasitas lapang).
Media pembibitan ini akan diinkubasikan selama 30 hari, setelah itu langsung
digunakan media sapih benih tanaman trembesi, sengon dan bunga matahari.
56
4.5. Penyemaian Biji Trembesi, Sengon dan Bunga Matahari
Biji trembesi dan sengon mempunyai kulit yang tebal dan keras sehingga
untuk menyemaikannya memerlukan perlakuan khusus (skarifikasi) agar cepat
berkecambah. Pada penelitian ini akan memperlakukan biji trembesi dan sengon
dengan cara memotong (kikis) ujungnya dengan gunting kemudian biji tersebut
direndam dalam air hangat suhu 20-300C selama 2 hari. Biji yang direndam
tersebut akan mengembang, mulai berkecambah tapi ada sebagian yang
mengapung. Biji yang mengembang dan tidak mengapung ini sebelum
disemaikan akan diinokulasi dengan legin (Leguminosa inokulum). Inokulasi
dilakukan dengan mengikuti petunjuk yang dikenal dengan ‘slurry method’.
Biakan bakteri Rhizobium (Legin) diberi sedikit air sehingga bentuknya seperti
pasta, kemudian biji tanaman trembesi dan sengon dimasukkan kedalam
kemasan bakteri dan di kocok-kocok selama 1 menit agar partikel bakteri
menyelimuti permukaan benih yang akan ditanam (Suharjo,2001). Kemudian
benih tersebut disemaikan (dimasukkan) kedalam lubang dengan kedalaman 3-5
cm pada bedengan yang berisi media pasir dan tanah dengan perbandingan 1:1.
Selanjutnya semaian biji trembesi dan sengon dibiarkan tumbuh dan
berkembang sampai umur 15 hari. Sedangkan biji bunga matahari tanpa
perlakuan skarifikasi dan inokulasi karena mudah berkecambah dan bukan
termasuk tanaman leguminosa. Biji bunga matahari langsung dimasukkan
dalam lubang kedalaman 3-5 cm di bedengan dan dibiarkan tumbuh berkembang
selama 15 hari.
4.6. Penanaman dan Pemeliharaan Bibit Tanaman
Setiap benih tanaman trembesi, sengon dan bunga matahari yang
berumur 15 hari akan ditanam (sapih) ke media pembibitan dalam polybag
57
ukuran 25 x 12,5 x 25 cm3. Selanjutnya pembibitan tanaman ini dipelihara
dengan melakukan penyiraman setiap pagi dan sore hari serta dijaga dari
serangan hama dan penyakit. Pembibitan tanaman ini akan dilaksanakan
selama 60 hari (2 bulan) setelah sapih dan dilakukan pengamatan serta
pengukuran parameter pada akhir penelitian.
4.7. Analisis Contoh Tanah Endapan Lumpur Lapindo, Bahan Organik dan Media Pembibitan.
Contoh tanah endapan lumpur lapindo, bahan organik sekam padi,
kompos, pupuk kandang sapi dan media pembibitan akan dianalisis secara
kimia, fisika dan biologi.
4.7.1. Analisis Dasar Kimia Contoh Tanah Endapan Lumpur dan Bahan Organik
Analisis dasar kimia lengkap akan dilakukan pada contoh tanah endapan
lumpur lapindo. Sedangkan contoh bahan organik sekam padi, kompos dan
pupuk kandang sapi juga akan dianalisis kimia tapi tanpa analisis KTK. Prosedur
kerja analisis dasar kimia pada Lampiran 1.
4.7.2. Analisis Fisika Media Pembibitan
Analisis fisika akan dilakukan pada contoh media pembibitan yang sudah
diinkubasi selama 30 hari. Parameter yang akan dianalisis yaitu porositas total
dan kadar air tersedia (kurva pF). Pada akhir penelitian contoh media
pembibitan akan dianalisis kemantapan agregatnya. Prosedur kerja analisis
fisika contoh media pembibitan pada Lampiran 2.
4.7.3. Analisis Biologi Contoh Tanah Endapan Lumpur, Bahan Organik dan Media Pembibitan
Analisis biologi akan dilakukan pada contoh tanah endapan lumpur
lapindo, bahan organik sekam padi, kompos, pupuk kandang sapi dan media
58
pembibtan yang sudah dinkubasi selama 30 hari dengan prosedur kerja pada
Lampiran 3.
4.8. Pengamatan dan Pengukuran Variabel Penelitian
Pengamatan dan pengukuran variabel penelitian yaitu pertumbuhan bibit
tanaman dan indeks mutu bibit sebagai berikut.
4.8.1. Pengamatan Pertumbuhan Bibit Tanaman
Parameter pertumbuhan bibit tanaman yang akan diamati dan diukur
yaitu: tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, panjang akar, jumlah dan
bobot bintil akar, bobot basah, bobot kering akar dan bobot kering batang dan
daun dengan prosedur kerja pada Lampiran 4.
4.8.2. Pengukuran Indeks Mutu Bibit Tanaman
Indeks mutu bibit (mutu fisiologis) dapat dihitung dengan melakukan
penghitungan terhadap parameter tinggi tanaman, diameter batang, berat kering
akar dan berat kering batang dan daun. Penghitungan indeks mutu bibit
dilakukan sesudah bibit berumur 60 hari setelah sapih dengan rumus
kuantifikasinya pada Lampiran 5.
4.9. Rancangan Percobaan
Penelitian ini akan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
10 macam perlakuan. Setiap perlakuan akan diberikan pengulangan sebanyak 5
kali dengan denah percobaan dan pengacakan rancangan acak lengkapnya
pada Lampiran 6. Sedangkan analisis data yang digunakan untuk menguji
variasi dari variabel yang diamati adalah analisis varians dengan menggunakan
uji F pada taraf 5% dan apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap
parameter yang diamati maka dilakukan uji lanjutan dengan uji ’Duncan’s Multiple
59
Range Test’ (Sastrosupadi, 2000). Contoh analisis varian pada salah satu
parameter yaitu tinggi tanaman pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Contoh Anova Untuk Parameter Tinggi Tanaman
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F.Hitung F.Tabel 5%
F.Tabel1%
Ulangan
Perlakuan
Galat
Total
Secara ringkas metode penelitian digambarkan dalam bentuk diagram alir
pada Gambar 5 berikut.
.Tanah endapan : 20,50,80 dan 100%
Sekam padi : 20 dan 40%Kompos : 10 dan 20 %Pupuk Kandang: 10 dan 20 %
Analisis Kimia
lengkap
Analisis Biologi
Media Pembibitan10 macam
Penyemaian Biji Tanaman
Inkubasi dan analisis fisika
: porositas dan kadar air
(pF)
Inkubasi dan analisis biologi :
keragaman mikroba
Trembesi sengon Bunga matahari
Analisis agregat media pada akhir penelitian dan pengukuran parameter yaitu : 1. Tinggi , 2 diameter batang, 3 jumlah daun, 4. Panjang akar, 5.
Bintil akar, 6. Bobot basah, 7. Bobot kering 8. Indek mutu bibit
Interpretasi data dan analisis statistik
60
Gambar 5 : Diagram Alir Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Acquaah, G. 2002. Horticulture – Principles and Practices. Second Edition. Pentice Hall, NewJersey
Adinugraha, HA. 2005. Teknik Pembibitan Tanaman Hutan. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Bogor.
Adimiharja, A., I. Juarsah dan U. kurnia. 2000. Pengaruh Penggunaan Berbagai Jenis dan Takaran Pupuk Kandang Terhadap Produktivitas Tanah Ultisols Terdegradasi di desa Batin Jambi, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Admin. Cara Menanam Bunga Matahari. http://www.iklandenpasar.net/cara-menanam-bunga-matahari.htm l . Diakses 28 Desember 2011.
Agoes, 1994. Aneka Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. PN.Swadaya. Jakarta.
Agus, Fahmuddin. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Balibangtan, Deptan. Bogor.
Andreas, dkk. 1996. Pengembangan Teknologi Pengolahan Serbuk Gergaji Sebagai Bahan Pengisi Pada Pembuatan Bata Cetak. Balai Industri Ujung Pandang
Anneahira. .Mengintip Budidaya Bunga Matahari. http: // www .anneahira. com/ budidaya-bunga-matahari.htm. Diakses 28 Desember 2011.
Anonim. 2004. Petunjuk Teknis Pembangunan dan Pengelolaan Sumber Benih. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Anonim. 2005. Pupuk Organik. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27, No.6. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Anonim. 2010. Pembibitan Pohon Trembesi di Rindam Iskandar Muda. http :// rindam iskandar muda.mil.id/pembibitan-pohon-trembesi-di-rindam-iskandar-muda. Diakses 21 Juni 2011
Anonim. 2008. Bunga Matahari. http://id.wikipedia.org/wiki/Bunga_matahari. Diakses, 28 Desember 2011.
Atekan dan A. Surahman. Peranan Bahan Organic Asal Daun gamal Gliricidia sepium Sebagai Amileoran Aluminium Pada Tanah Ultisol. BPTP. Papua.
61
Atmojo, SW. 2003. Penerapan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah Dan Upaya Pengelolaannya. Fakultas Pertanian, UNS. Surakarta.
Azri. 1993. Pengaruh Media Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Bibit Lada. Jurnal Penelitian Tanaman Rempah dan Obat VIII (l), p: 14-16.
Bell, L.C. and T. Besho. 1993. Assessment of Aluminium Detoxification an Plant Response. P. 317-330 in Mulongoy, K. and R. Merckx. 1991. Soil Organik Matter Dynamic and Sustainability of Tropical Agriculture. John Willey and Sons, New York.
Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soil. Mac Millan Publishing Co., New York.
Budelman, Arnoud, 2005. Paraserianthes falcataria - Southeast Asia's Growth Champion. Winrock International. www.winrock.org/forestry/factnet.htm. Diakses 30 Desember 2011
Cahyani, V.R. 1996. Pengaruh Inokulasi Mikorisa Vesikular-Arbuskular Dan perimbangan Takaran Kapur Dengan Bahan Organik Terhadap PertumbuhanTanaman Jagung Pada Tanah Ultisol Kentrong. UGM,Yogyakarta.
Danu, D. Rohadi dan Nurhasybi. 2006. Teknologi dan Standarisasi Benih dan Bibit dalam Menunjang Keberhasilan Gerhan. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutandan Konservasi Alam. Bogor. p: 63-76.
Dariah, A dan A. Rahman. 1989. Pengaruh Mulsa Hijauan Alley Cropping dan Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung serta Beberapa Sifat Fisik Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Dewi, W.S. 1996. Pengaruh Macam Bahan Organik dan Lama Prainkubasinya Terhadap Status P Tanah Andisol. UGM..Yogyakarta.
Durahim dan Hendromono. 2001. Kemungkinan Penggunaan Limbah Organik Sabut Kelapa Sawit dan Sekam Padi Sebagai Campuran Top Soil Untuk Media Pertumbuhan Bibit Mahoni Swictenia macrophilla King. Bulletin Penelitian hutan, No.628, p:.13-26
Dwidjoseputro, D. 2000. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia. Jakarta.
Fuskhah, E., R.D. Soetrisno S.P.S. Boedi dan A. Maas. 2009. Pertumbuhan dan Produksi Leguminosa Pakan Hasil Asosiasi Dengan Rhizobium Pada Media Salin. SNKP. Semarang.
Gaur, A. C. 1994. A Manual of Rural Composting. FAO. PBB. New York.
Hadioetomo, S.R. 2000. Teori dan Praktek Mikrobiologi Umum. PT. Gramedia. Jakarta.
62
Hanafi,M. Trembesi (Samanea saman). http: // www. agrilands. Net /read /full/ agriwacana /budidaya/2011/01/03/trembesi-samanea-saman.html. Diakses 10 Juli 2011.
Hara, (1986), Utilization of Agrowaste for BuildingMaterial, International And Research Development Cooperation Division, AIST,MITI, Japan
Hartatik,W dan L..R Widowati. Pupuk Kandang. h ttp: // balit tanah. litbang. deptan. go.id /dokumentasi / buku/pupuk/pupuk4.pdf. Diakses 21 Juni 2011
Hartmann, HT., DE Kester, FT Davies, Jr, RL Geneve. 2002. Plant Propagation : Principles and Practices. Printice Hall Inc. 770p.
Hendalastuti, R., dan Henti. 2005. Peran Asam Humat dam Asam Oksalat dalam Meningkatkan Kualitas Bibit Gmelina Arborea. Buletin Penelitian Hutan. No.610, p:51-58.
Hendromono. 1994. Pengaruh Media Organik dan Tanah Mineral Terhadap Mutu Bibit Pterygota alata Roxb. Bulletin Penelitian Hutan no.617, p : 55-64
Hendromono. 1995. Pertumbuhan dan Indeks Mutu Bibit Eucalyptus deglupta Blume. pada Berbagai Suhu Udara dan Tingkat Naungan. Buletin Penelitian Hutan. No.58, p :1-12.
Hendromono. 1998. Teknik Penanaman Korbaril Hymanaea cuorbaryl Pada Areal Alang-Alang. Puslitbangtan dan Konservasi Alam. Bogor.
Hendromono. 2003. Krieteria Penilaian Mutu Bibit Dalam Wadah yang Siap Tanam Untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Bulletin penelitian dan pengembangan kehutanan (4)(1), p:11-20.
Hendromono, Y. Hendrawati dan Mindawati. 2006. Silvikultur Hutan Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Hendromono. 2007. Bibit Berkualitas sebagai Kunci Pembuka Keberhasilan Hutan Tanaman dan Rehabilitasi Lahan. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pengembangan Silvikultur. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. (Tidak dipublikasikan).
Hermanto, 2006. Lumpur Sidoarjo. Dialog Panjang Yang Tak Berkesudahan. http://www.antara.co.id/see Diakses 3 Maret 2011.
Herudjito, D. 1999 Pengaruh bahan humat dari air gambut terhadap sifst-sifst tanah latosol (Oxic Dystropepts). Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.
Hutamadi, R. dkk. 2008. Penelitian Tindak Lanjut Endapan Lumpur Lapindo Di Daerah Porong Kabupaten Sidoarjo, Jatim. Pusat sumber daya Geologi. Bandung.
63
Isharmanto. 2010. Faktor Pertumbuhan Tanaman. http: // biologigonz. blogspot. com/2010 /02/faktor-pertumbuhan-tanaman.html. Diakses 28 Desember 2011.
Isroi. Pengomposan Limbah Kakao. www.isroi.org. Diakses 3 Maret 2011
ITTO. 2006. Status of Tropical Forest Management 2005, A Special Edition of The Tropical Forest Update 2006/1. Yokohama, Japan.
Jo, I.S. 1990. The Use of Organic fertilizer on Soil Physical Properties and Plant Growth . Paper presented at seminar on the use of organic fertilizer in crop production, at suweon, south korea.
Junaedi, A., Asep H., dan Dodi F. 2009. Kualitas Fisik bibit Meranti Tembaga Shorea leprosula Miq. Asal Stek Pucuk Pada Tiga Tingkatan Umur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. VII No.3,p: 281-288
Komala, Cica, A dan Edi K. 2008. Evaluasi Kualitas Bibit Kemenyan Durame Styrax benzoin Dryland Umur 3 Bulan. Junal Hutan Vol.5, No.4, p: 337-345.
Kurniawati PP., Dharmawati FD. Dan Made S. 2007. Pengaruh Media dan Hormone Tumbuh Akar Terhadap Keberhasilan Cangkok Ulin. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol 4, No.2, p: 069-118
Kurniaty, R., Budi B. dan Made S. 2010. Pengaruh Media dan Naungan Terhadap Mutu Bibit Suren Toona sureni Merr. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol. 7, No.2, p:77-83
Kuswara dan Salam Hadi. 1990. Analisis Fisika Tanah. Puslit Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Lackey M., dan A. Alm. 1982. Evaluation of Growing Media for Culturing Containerized Red Pine and White Spruce . Tree plunters notes. 33 (1) p :3-7
Lakitan, B., 1995. Hortikultura Teori, Budidaya dan Pascapanen. PT Raja Grafindo. Jakarta.
Madjid, A. R. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, (3) Teknologi Pupuk Hayati, dan (4) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Universitas SrIwijaya dan Program Pasca Sarjana Unsri http://dasar2ilmutanah.blogspot.com. Diakses 5 Desember 2010
Manik, W.S. 2007. Evaluasi Kualitas Bibit Surean Toona sinensis Roem. Asal Biji Pada Umur 5 bulan. Inpress.
Margareta, L. 2011. Optimasi pH Awal Media Produksi Enzim Proteolitik Kasar (Crude) Thermostabil dari Bakteri Isolat (A 2,4) Lumpur Lapindo. Skripsi. Unair. Surabaya.
64
Martina, A., N. Yuli dan M. Sutisna. 2002. Optimalisasi beberapa factor fisik terhadap laju degradasi selulosa kayu albasia Paraserianthes falcataria L. Nielsen dan karboksimetil selolusa secara enzimatis oleh jamur. Jurnal Natur Indonesia 4(2), p: 156-162
Mashudi, Dedi S. dan Surip. 2005. Aplikasi Variasi Media Perkecambahan Pada Persemaian Pulai. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Vol.2, No.1, p: 13-19
Mengel, K. and Kirby, E.A. 1978. Principles of Plant Nutrition . International Potash Institute. Bern. Swizerland
Mindawati, N, dan Yusnita S. 2005. Pengaruh Macam Media Terhadap Pertumbuan Semai Acacia mangium Willd. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (2)(1), p: 53-59
Mulyono, D. 2010. Pemanfaatan Limbah Jagung Menjadi Pupuk Organik Untuk Penyuburan Lahan Pertanian. Jurnal Rekayasa Lingkungan, Vol.6, No.1, p:.52.
Munir, M. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Pustaka Jaya . Jakarta.
Nengsi dan Indriyanto. 2008. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Daun Bayfolan Terhadap Pertumbuhan Bibit Mahoni (Swetenia macrophylla King.). http://www.unila.ac.id/fp-Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Novi S. W., dan Indriyanto. 2008. Pengaruh Pemberian Bokashi, Serbuk Kayu Gergajian, Sekam Padi dan KulitKopi pada Tanah Sebagai Media Sapih Terhadap Pertumbuhan Semai Cempaka Kuning (Micheliachampaca L.). http://www.unila.ac.id/fp-Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Nursyamsi, D., O. Supandi, D. Erfandi, Sholeh dan I.P.G. Wijaya –Adhi. 1995. Penggunaan Bahan Organik, Pupuk P dan K untuk Meningkatkan Produktivitas Tanah Podsolik (Typic Kandiudult). Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Okalebo, J.R., K.W. Gathua dan P.L. Woomer. 1993. Laboratory Methods of Soil and Plant Analysis: A Working Manual. TSBF, UNESCO-ROSTA.
Park, Y.D. 1990. Utilization of organic wastes as fertilizers in Korea. Paper presented at seminar on the use of organic fertilizer in crop production, at suweon, south korea.
Permita, D. Bunga Matahari Bantu Hilangkan Radiasi. http:// tekno. liputan6. com/read/352707/bunga-matahari-bantu-hilangkan-radiasi. Diakses 28 Desember 2011.
Pinus Lingga. 1991. Jenis dan Kandungan Hara Pada Beberapa Kotoran Ternak. Pusat Pelatihan Pertanian Dan Pedesaan Swadaya. Antanan. Bogor.
65
Pramono dan H. Suhaendi. 2006. Manfaat Sertifikasi Sumber Benih, Mutu Benih dan Mutu Bibit dalam Mendukung Gerhan. Prosiding Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. P:. 49-61.
Primavanni, F. Studi Ketahanan Hidup dan Aktivitas Nitrat reduktase pada tanaman Cassia fistula yang ditanam pada media lumpur sidoarjo, pasir dan pupuk organik. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-9219-1504100017 Abstract_id.pdf Diakses 21 Juni 2011.
Purwati, A. 2007. Lumpur Lapindo Kandung Logam Berat Berbahaya www. google.com/lumpurlapindo. Diakses 21 Juni 2011.
Putri, A.I. 2008. Pengaruh Media Organik Terhadap Indek Mutu Cendana . Jurnal Pemulian Tanaman Hutan, Vol.21, No.1
Putri, A. I. 1999. Priming Effect of Pineapple Wastes Decomposition Process By Algae Biomass. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Rahayu, R.D. 2008. Pengaruh Pemanfaatan Bahan Organik Paitan (Thitonia diversifolia), Kotoran Ayam, Kotoran Sapi dan Lumpur Lapindo Terhadap pH Tanah dan Kation basa Tanah (dd) serta Pertumbuhan Tanaman Jagung Zea mays Pada Inceptiol Porong Sidoarjo. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Rahmawati, N. 2005. Pemamfaatan Biofertilizer Pada Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan
Sandy, N.J., Tutik Nurhidayati dan Kristanti Indah P. Profil Protein Tanaman Kiambang (Salvinia molesta) Yang Dikulturkan Pada Media Modifikasi Air Lumpur Sidoarjo. http: // digilib. its.ac. id/ public/ITS-Undergraduate-13281-Paper.pdf Diakses 21 Juni 2011
Santosa, E. 2003. Pengaruh Jenis Pupuk Organik dan Mulsa Terhadap Pertumbuhan Tanaman Lidah Buaya Aloe vera Mill. Bul.Agron. (31)(3) p:120-125.
Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis bidang Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Scholes, M.C., Swift, O.W. Heal, P.A. Sachez, JSI., Ingram and R. dudal. 1994 Soil Fertility Research in Response to Demand for Sustainability in the Biological Management of Tropical Soil Fertility (Eds Woomer, PL. and Swift., MJ). John Wiley & sons. New York.
Seta, A.K. 1987. Konservasi Sumberdaya Tanah. Kalam Mulia. Jakarta.
Siahaan, H., Nanang H., Teten RS., dan Nasrun S. 2007. Peningkatan Pertumbuhan Bibit Kayu Bawang Protium javanicum Burm F. Dengan Aplikasi Arang Kompos dan Naungan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian.
66
Siarudin, M. dan Endah Suhendah. 2007. Uji Pengaruh Mikoriza dan Cuka kayu terhadap Pertumbuhan Lima Provenan sengon di Pesemaian. Junal Pemuliaan tanaman Hutan. Vol.1.N0.1 Juli 2007
Stevenson, FT. 1982. Humus Chemstry. John Wiley & sons. New York.Sudadi, Yuni NH dan Sumani. 2007. Ketersediaan K dan Hasil Kedelai
Glycine max L.. Merril Pada Tanah Vertisol Yang Diberi Mulsa dan Pupuk Kandang. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol. 7, No.1,.p : 8-12.
Soedarjo. .2003. Teknologi Rhizobium pada Tanaman Kedelai. Balitkabi Malang.
Soedarjo dan Muchdar. 2003. Faktor yang Mempengaruhi Nodulasi dan Efektivitas Rhizobium. Balitkabi. Malang.
Sudarto, 2006. Dam[pak Lumpur Panas Lapindo Terhadap Lingkungan Pertanian Sidoarjo. http://bem fp.brawijaya.ac.id/info. Diakses 20 Juni 2011.
Sudiarto dan Gusmaini. 2004. Pemanfaatan Bahan Organik In Situ Untuk Efisiensi Budidaya Jahe Yang Berkelanjutan. Jurnal Litbang Pertanian, 23(2).
Sudradjat, R. 2002. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudomo, A., Encep Rahman dan Nina M. 2010. Mutu Bibit Manglid Manglieta glauca BI Pada Tujuh Jenis Media Sapih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Vol.7, No.5, p:265-272
Sufardi, Djayakusuma, A.D., Suyono, T.S.Hassan, 1999. Perubahan karateristik muatan dan retensi fosfor ultisol akibat pemberian amelioran dan pupuk fosfat. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung
Sugiarto, B. 2006. Empat Jenis Mangrove di tanam di Lumpur Lapindo..http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/12/tgl/18/time/165247/idnews/721463/idkanal/10. Diakses 20 Juni 2011
Sugiarto. 2000. Aplikasi Bahan Organik Tanaman Terhadap Komunitas Fauna Tanah dan Pertumbuhan Kacang Hijau Vigna radiate. Jurnal Biodiversitas Vol.1, No.1, p: 25-29.
Suharjo, U.K.J. 2001. Efektifitas Nodulasi rhizobium javanicum Pada Kedelai Yang tumbuh di Tanah sisa Inokulasi dan tanah dengan Inokulasi Tambahan. Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia. Vol.3. no.1, 2001. P.31-35
Suntoro, W.A. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. UNS. Surakarta.
Suriadikarta, D.A., T. Prihatini, D. Setyorini dan W. Hartatik. 2005. Teknologi Pengelolaan Bahan Organik Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
67
Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Deptan. Jakarta.
Suriawira, U. 2002. Pupuk organik kompos dari sampah. Penerbit Alumni. Bandung.
Suryowinoto, S.M., 1997. Flora Eksotika, Tanaman Hias Berbunga. Yogyakarta.
Syakir, M., MH. Bintoro dan H. Agusta. 2009. Pengaruh Ampas Sagu dan Kompos Terhadap Produktivitas Lada Perdu. Jurnal Littri 15 (4), p: 168-173.
Syukur, A. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap Sifat-Sifat Tanah dan Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir Pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan vol 5 (1), p:30-38.
Syukur, A dan Nur Indah M. 2006. Kajian Pengaruh Pemberian Macam Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jahe di Inceptisol, Karanganyar. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol. 6 (2), p:124-131.
Tajang, AU., dkk. 1989. Abu Sekam Padi Sebagai Bahan Pengganti Zeolit Dan Karbon Aktif pada Proses Penjernihan Air. Fmipa Unhas. Makassar.
Tan, K. H. 1993. Environmenal Soil Science. Marcel Dekker Inc. New York.
Tejasuwarno, 1999. Pengaruh Pupuk Kandang Terhadap Hasil Wortel dan Sifat Fisik Tanah. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung
Tian, G., L. Brussard, B.T., Kang and M.J. Swift. 1997. Soil fauna-mediated decomposition of plant residues under contreined environmental and residue quality condition. In Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition, Department of Biological Sciences. (Eds Cadisch, G. and Giller, K.E.), pp. 125-134. WeyCollege, University of London, UK.
Toni. 2010. Teknik Budidaya Tanaman Sengon. http: // www. kabayan. web.id/ 2010 /12/teknis-budidaya-tanaman-sengon.html. Diakses 28 Desember 2011.
Triwilaida dan RMS. Harahap. 1990. Pentingnya Pemupukan Pada Hutan Tanaman Industry. Jurnal penelitian dan pengembangan kehutanan VI (3):26-29
Utami, S. Struktur Morfologi Dan Anatomi Akar Kacang Hijau Vigna Radiata Pada Media Lumpur Lapindo. http://digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate-3100008032140/2587. Diakses 21 Juni 2011.
Wahyono, S. 2010. Tinjauan Manfaat Kompos dan Aplikasinya Pada berbagai Bidang Pertanian. Jurnal Rakayasa Lingkungan Vol.6, No.1 . p: 29-31.
68
Wahyuti. 2010. Kurangi Pemanasan Global dengan Pohon Trembesi. http://wahyuti4tklarasati.blogspot.com/2010/06/kurangi-pemanasan-global-dengan-pohon.htmltr8 Diakses 21 Juni 2011.
Warsiti. 2009. Kajian Pemakaian Pupuk Kandang Sapi Pada Tanah Regosol Kelabu Terhadap Erosi. Jurnal Orbith. Vol. 5, No.1,p :52-59
Wigati, ES., Abdul, S dan Bambang DK. 2006. Pengaruh Takaran Bahan Organik dan Tingkat Kelengasan Tanah Terhadap Serapan Fosfor Oleh Kacang Tunggak di Tanah Pasir Pantai. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 6 (1), p:53-58.
Wiguna, I.P.A., Wahyudi C., dan Amien Widodo. 2009. Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo. PSKB., LPPM., ITS. Surabaya.
Wiskandar, 2002. Pemanfaatan pupuk kandang untuk memperbaiki sifat fisik tanah di lahan kritis yang telah diteras. Konggres Nasional VII.
Wong, M.T.F, E. Akyeampong, S. Nortcliff, M.R. Rao, and R.S. Swift. 1994. Initial Responses of Maize and Beans to Decreased Consentration of Monomeric Inorganic Aluminium with Aplication of Manure or Tree Prunings to on Oxisol in Burundi. Plant and Soils 171; 275-282.
Yuwono, Nasih Widya. 2009. Membangun Kesuburan Tanah Di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Vol.9, No.2,p: 137-141.
69
LAMPIRAN 1
Prosedur Analisis Kimia (Agus, 2005)
a. Penetapan N Total Metode Kjeldahl
Cara kerja
Destruksi contoh tanah endapan lumpur lapindo
Contoh tanah endapan lumpur, bahan organik sekam padi, kompos dan
pupuk kandang sapi, masing-masing ditimbang 0,500 g ukuran kurang 0,5 mm,
lalu dimasukan ke dalam tabung digest. Kemudian ditambahkan 1 g campuran
selen dan 3 ml asam sulfat pekat, didestruksi hingga suhu 350OC (3-4 jam).
Destruksi diakhiri (selesai) bila keluar uap putih dan didapat ekstrak jernih
(sekitar 4 jam). Selanjutnya tabung diangkat, di tunggu sampai dingin dan
kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 50 ml dalam
erlen meyer. Kemudian dikocok (shaker 15 rpm) sampai homogen, dibiarkan
semalam agar partikel mengendap. Ekstrak digunakan untuk pengukuran N
dengan cara kolorimetri.
Pengukuran N
Pengukuran N dengan spektrofotometer
Ekstrak contoh dipipet masing-masing 2 ml ke dalam tabung reaksi dan
deret standar. Kemudian tambahkan berturut-turut larutan Sangga Tartrat dan
Na-fenat masing-masing sebanyak 4 ml, kocok dan biarkan 10 menit.
Selanjutnya tambahkan 4 ml NaOCl 5 %, kocok dan diukur dengan
70
spektrofotometer pada panjang gelombang 636 nm setelah 10 menit sejak
pemberian pereaksi ini. Catatan: Warna biru indofenol yang terbentuk kurang
stabil. Upayakan agar diperoleh waktu yang sama antara pemberian pereaksi
dan pengukuran untuk setiap deret standar dan contoh.
Perhitungan
Cara Spektrofotometri:
Kadar nitrogen (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1000 ml-1 x 100/mg contoh
x fp x fk = ppm kurva x 50 1.000-1 x 100 500-1 x fp x fk = ppm kurva x 0,01 x fp x
fk
Keterangan:
ppm kurva = kadar nitrogen contoh yang didapat dari kurva hubungan
antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko; 100
= konversi ke %; fp = faktor pengenceran (bila ada); fk = faktor koreksi kadar air
= 100/(100 – % kadar air)
b. Penetapan P Tersedia Metode Olsen
Cara Kerja
Contoh tanah endapan lumpur lapindo, bahan organik sekam padi,
kompos dan pupuk kandang sapi ukuran kurang dari 2 mm, masing-masing
ditimbang sebanyak1,000 g, lalu dimasukkan ke dalam botol kocok, ditambah 20
ml pengekstrak Olsen, kemudian dikocok (shaker 15 rpm) selama 30 menit.
Kemudian disaring dan bila larutan keruh dikembalikan lagi ke atas saringan
semula. Ekstraknya dipipet 2 ml ke dalam tabung reaksi dan selanjutnya
bersama deret standar ditambahkan 10 ml pereaksi pewarna fosfat, dikocok
hingga homogen dan dibiarkan 30 menit. Absorbansi larutan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm.
71
Perhitungan
Kadar P2O5 tersedia (ppm) = ppm kurva x ml ekstrak/1.000 ml x 1.000 g/g
contoh x fp x 142/90 x fk = ppm kurva x 20/1.000 x 1.000/1 x 142/90 x fk = ppm
kurva x 20 x 142/90 x fk
Keterangan:
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko; . fp = faktor
pengenceran (bila ada); 142/190 = faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5; fk
= faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)
c. Penetapan C organik Metode Walkey dan Black
Cara kerja
Contoh tanah endapan lumpur lapindo, bahan organik sekam padi,
kompos dan pupuk kandang sapi ukuran kurang 0,5 mm, masing-masing
ditimbang sebanyak 0,500 g, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml.
Kemudian ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N, lalu dikocok (shaker 15 rpm).
Selanjutnya ditambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat, dikocok lalu diamkan selama 30
menit. Diencerkan dengan air bebas ion, dibiarkan dingin dan diimpitkan.
Keesokan harinya diukur absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai pembanding dibuat standar 0 dan
250 ppm, dengan memipet 0 dan 5 ml larutan standar 5.000 ppm ke dalam labu
ukur 100 ml dengan perlakuan yang sama dengan pengerjaan contoh. Catatan:
Bila pembacaan contoh melebihi standar tertinggi, ulangi penetapan dengan
menimbang contoh lebih sedikit. Ubah faktor dalam perhitungan sesuai berat
contoh yang ditimbang.
72
Perhitungan
Kadar C-organik (%) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml-1 x 100 mg
contoh-1 x fk = ppm kurva x 100 1.000-1 x 100 500-1 x fk = ppm kurva x 10 500-
1 x fk
Keterangan:
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.; 100 =
konversi ke %; fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)
d. Penetapan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB)
Cara kerja
Contoh tanah endapan lumpur lapindo dan media pembibitan akhir
inkubasi 30 hari, ukuran kurang dari 2 mm, masing-masing ditiimbang sebanyak
2,500 g, lalu dicampur dengan lebih kurang 5 g pasir kuarsa. Kemudian
dimasukkan ke dalam tabung perkolasi yang telah dilapisi berturut-turut dengan
filter flock dan pasir terlebih dahulu (filter pulp digunakan seperlunya untuk
menutup lubang pada dasar tabung, sedangkan pasir kuarsa sekitar 2,5 g) dan
lapisan atas ditutup dengan penambahan 2,5 g pasir. Ketebalan setiap lapisan
pada sekeliling tabung diupayakan supaya sama. Disiapkan pula blanko dengan
pengerjaan seperti contoh tapi tanpa contoh tanah. Kemudian diperkolasi dengan
amonium acetat pH 7,0 sebanyak 2 x 25 ml dengan selang waktu 30 menit.
Filtrat ditampung dalam labu ukur 50 ml, diimpitkan dengan amonium acetat pH
7,0 untuk pengukuran kationdd: Ca, Mg, K dan Na (S). Tabung perkolasi yang
masih berisi contoh diperkolasi dengan 100 ml etanol 96 % untuk menghilangkan
kelebihan amonium dan perkolat ini dibuang. Sisa etanol dalam tabung perkolasi
73
dibuang dengan pompa isap dari bawah tabung perkolasi atau pompa tekan dari
atas tabung perkolasi. Selanjutnya diperkolasi dengan NaCl 10 % sebanyak 50
ml, filtrat ditampung dalam labu ukur 50 ml dan diimpitkan dengan larutan NaCl
10 %. Filtrat ini digunakan untuk pengukuran KTK dengan cara destilasi atau
kolorimetri.
Pengukuran kationdd (Ca, Mg, K, Na)
Perkolat NH4 - Ac (S) dan deret standar K, Na, Ca, Mg masing-masing
dipipet 1 ml ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 9 ml larutan La 0,25
%. Diukur dengan AAS (untuk Ca dan Mg) dan flamefotometer (untuk
pemeriksaan K dan Na) menggunakan deret standar sebagai pembanding.
Pengukuran KTK
Pengukuran KTK dapat dilakukan dengan cara destilasi langsung,
destilasi perkolat NaCl dan kolorimetri perkolat NaCl.
Destilasi langsung
Pada cara destilasi langsung dikerjakan seperti penetapan N-Kjeldahl
tanah, isi tabung perkolasi (setelah selesai tahap pencucian dengan etanol)
dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu didih. Digunakan air bebas ion
untuk membilas tabung perkolasi. Ditambahkan sedikit serbuk batu didih dan
aquades hingga setengah volume labu. Disiapkan penampung untuk NH3 yang
dibebaskan yaitu erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat 1 % yang ditambah 3
tetes indicator Conway (berwarna merah) dan dihubungkan dengan alat destilasi.
Dengan gelas ukur, tambahkan NaOH 40% sebanyak 10 ml ke dalam labu didih
yang berisi contoh dan secepatnya ditutup. Destilasi hingga volume penampung
mencapai 75 ml (berwarna hijau). Destilat dititrasi dengan H2SO4 0,050 N hingga
warna merah muda. Catat volume titar contoh (Vc) dan blanko (Vb).
Destilasi perkolat
74
Cara destilasi perkolat dilakukan dengan memipet 10 ml perkolat NaCl ke
dalam labu didih (tambahkan 1 ml parafin cair untuk menghilangkan buih).
Selanjutnya dikerjakan dengan cara yang sama seperti destilasi langsung.
Kolorimetri
Pengukuran NH4+ (KTK) dapat pula ditetapkan dengan metode Biru
Indofenol. Pipet masing-masing 0,5 ml perkolat NaCl dan deret standar NH4+ (0;
2,5; 5; 10; 15; 20 dan 25 me l-1) ke dalam tabung reaksi. Ke dalam setiap tabung
tambahkan 9,5 ml air bebas ion (pengenceran 20x). Pipet ke dalam tabung
reaksi lain masing-masing 2 ml ekstrak encer dan deret standar. Tambahkan
berturut-turut larutan sangga Tartrat dan Na-fenat masing-masing sebanyak 4 ml,
kocok dan biarkan 10 menit. Tambahkan 4 ml NaOCl 5 %, kocok dan diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 636 nm setelah 10 menit
sejak pemberian pereaksi ini. Catatan: Warna biru indofenol yang terbentuk
kurang stabil. Upayakan agar diperoleh waktu yang sama antara pemberian
pereaksi dan pengukuran untuk setiap deret standar dan contoh.
Perhitungan
Kationdd (cmol (+) kg-1) (S) = (ppm kurva/bst kation) x ml ekstrak 1.000
ml-1 x 1.000 g g contoh-1 x 0,1 x fp x fk = (ppm kurva/bst kation) x 50 ml 1.000
ml-1 x 1.000 g 2,5 g-1 x 0,1 x fp x fk = (ppm kurva/bst kation) x 2 x fp1 x fk
Kapasitas tukar kation (T)
Cara destilasi langsung:
KTK (cmol (+) kg-1) = (Vc - Vb) x N H2SO4 x 0,1 x 1.000 g/2,5 g x fk = (Vc
- Vb) x N H2SO4 x 40 x fk
Cara destilasi perkolat:
KTK (cmol (+) kg-1) = (Vc - Vb) x N H2SO4 x 0,1 x 1.000 g/2,5g x 50 ml/10
ml x fk = (Vc - Vb) x N H2SO4 x 200 x fk
Cara kolorimetri:
75
KTK (cmol (+) kg-1) = me kurva x 50 ml 1.000 ml-1 x 1.000 g 2,5 g-1 x 0,1
x fp2 x fk = me kurva x 2 x fp2 x fk
Kejenuhan basa = jumlah kationdd (S)/KTK (T) x 100 %
Keterangan:
ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara
kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko; 0,1 = faktor
konversi dari mmol ke cmol; bst kation = bobot setara: Ca : 20, Mg: 12,15, K: 39,
Na: 23 ; fp1 = faktor pengenceran (10); fp2 = faktor pengenceran (20); fk = faktor
koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air); S = jumlah basa-basa tukar (cmol(+)
kg-1); T = kapasitas tukar kation (cmol(+) kg-1).
76
LAMPIRAN 2
Prosedur Analisis Porositas Total, Kadar Air Tersedia (kurva pF) dan
Kemantapan Agregat (Kuswara dan Salam Hadi, 1990)
a. Porositas Total
Media pembibitan yang sudah diinkubasi selama 30 hari akan diambil
contohnya untuk dianalisis porositas total dengan menggunakan rumus berikut.
PT = 1 – (BI/BJ) x 100%
Keterangan: PT = porositas total ; BI = berat isi ; BJ= berat jenis
Prosedur Mengukur Berat Isi (BI)
Mengukur berat isi contoh media pembibitan dengan prosedur kerja
sebagai berikut.
1. Contoh media pembibitan diambil dengan tabung kuningan
2. Menimbang contoh media dengan tabungnya (X g)
3. Menimbang berat tabung (Y g)
4. Berat contoh media = (X-Y) g
5. Menetapkan kadar air contoh media (P %)
6. Berat kering contoh media = (X-Y)-P(X-Y)/100
7. Berat isi media = ( (X-Y)-P(X-Y)/100 )/ volume tanah (g/cc)
Prosedur Mengukur Berat Jenis (BJ)
Contoh media pembibitan yang telah dioven dengan suhu 1050C selama
24 jam (hasil pengamatan BI) kemudian dihaluskan dan dimasukkan kedalam
labu ukur (Va). Sebelumnya menimbang labu ukur terlebih dahulu, kemudian
77
dituangi dengan air yang sudah disiapkan sampai sekitar ¾ volume labu.
Dilakukan secara perlahan-lahan sambil dikocok-kocok dan tambahkan air
sampai mencapai tanda di labu ukur. Perhatikan, apakah masih ada gelembung-
gelembung udara yang terperangkap oleh partikel padatan yang ada dalam labu
ukur selama dikocok. Jika masih ada maka gelembung udara itu harus
dihilangkan dengan cara memanaskan labu beserta isinya sampai mendidih.
Tambahkan air yang sudah direbus sampai tanda batas, catat volume seluruh air
yang dimasukkan ke labu (Vb). Kemudian hitung volume padatan media (Vp)
dengan rumus berikut : Vp = 100 – (Vb-Va).
b. Kadar Air Tersedia (Kurva pF)
Contoh media diambil dengan ring (untuk mengukur distribusi pori = PDC,
PDL dan PAT) kemudian dijenuhkan selama 48 jam yaitu dengan cara menjenuhi
contoh media ini dengan air sampai berlebihan. Setelah itu contoh media yang
sudah jenuh ditimbang untuk pF0 dan sebagian yang lain masukkan dalam sand
box/pressure plate apparatus (untuk pF2 dan pF2,5) dan pressure plate (pF 4,2)
yang sudah ditetapkan tekanannya selama kurang lebih 48 jam. Setelah itu
ditimbang sebagai bobot basah kemudian dioven pada suhu 1050C selama 24
jam dan ditimbang kembali sebagai bobot kering.
Kemampuan menahan air = pF0
PDC = pF0 – pF2
PDL = pF2 – pF2,5
PAT (kadar air tersedia) = pF2,5 – pF4,2
c. Kemantapan Agregat
Media pembibitan pada akhir penelitian akan diambil contohnya untuk
dianalisis kemantapan agregatnya. Kemantapan agregat diukur dengan metode
ayakan basah. Menyiapkan satu set ayakan yang disusun mulai dari yang
memiliki lubang terbesar paling atas berurutan sampai yang lubangnya paling
78
kecil terbawah. Kemudian masukkan sekitar 50 g contoh media dan sebar pada
ayakan yang paling atas kemudian dimasukkan kedalam silinder yang telah diisi
air serta kaitkan dengan medin penggerak dan hubungkan dengan aliran listrik
selama 5 menit dengan kecepatan 70 rpm. Turunkan susunan ayakan,
pindahkan contoh media yang tertinggal di masing-masing ayakan ke kaleng
timbang yang sudah diketahui bobotnya dengan bantuan corong, keringkan
dalam oven pada suhu 1050C selama 24 jam kemudian timbang berat keringnya.
79
LAMPIRAN 3
Prosedur Pemeriksaan Mikroba ( Hadioetomo, 2000 )
Contoh tanah endapan lumpur lapindo, bahan organik sekam padi,
kompos, pupuk kandang sapi dan media pembibitan, masing-masing diambil 1 g,
dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades steril, lalu dikocok
secara manual selama 5 menit. Selanjutnya melakukan pengenceran bertingkat
yaitu mengambil hasil kocokan, masing-masing 1 ml dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi 9 ml aquades steril, dikocok secara manual selama 5
menit dan seterusnya sampai tingkat pengenceran 10-5. . Kemudian setiap tingkat
pengenceran diambil 1 ml dan diinokulasikan (disebarkan) pada media
pembiakan mikroba (PDA). Selanjutnya media yang sudah diinokulasi diinkubasi
selama 24 jam, setelah itu akan tumbuh koloni mikroba. Catat dan pisahkan
koloni yang berbeda pada media lain, lakukan pengamatan bentuk, tepi, dan
rataan permukaan koloni. Koloni bakteri akan menampakkan seperti berlendir,
koloni kapang atau jamur dan aktinomiset akan menampakkan seperti adanya
serat atau benang di permukaan media.
Secara ringkas pemeriksaan mikroba pada contoh tanah endapan
lumpur lapndo, bahan organik sekam padi, kompos, pupuk kandang sapi dan
media pembibitan pada Gambar 5 berikut.
80
Contoh bahan 1 g 9 ml aquades steril, lalu kocok
1 ml
Inokulasi 1 ml
9 ml aquades steril
Media biakan
1 ml
Inokulasi 1 ml
9 ml aquades steril
1 ml Media biakan
Inokulasi 1 ml
9 ml aquades steril
Media biakan
1 ml
Inokulasi 1 ml
9 ml aquades steril
Media biakan
1 ml
Inokulasi 1 ml
9 ml aquades steril
Media biakan
INKUBASI
SELAMA
24JAM
AMATI
KOLONI
MIKROBA
TUMBUH
81
Gambar 6. Diagram Alir Pemeriksaan Mikroba
LAMPIRAN 4
Prosedur Pengamatan dan Pengukuran Pertumbuhan Tanaman (Sudomo, 2010 dan Suharjo, 2001)
a. Tinggi Tanaman (cm)
Tinggi tanaman akan diamati dan diukur dari bagian atas permukaan
tanah sampai dengan ujung daun pada setiap tanaman dengan menggunakan
penggaris. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada saat tanaman baru
dipindahkan (sapih) ke media pembibitan dan setelah bibit berumur 60 hari
setelah sapih (akhir penelitian).
b. Diameter Batang Tanaman (cm)
Diameter batang tanaman akan diamati dan diukur pada setiap tanaman
dengan menggunakan kaliper. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada
saat tanaman baru dipindahkan (sapih) ke media pembibitan dan setelah bibit
berumur 60 hari setelah sapih (akhir penelitian).
c. Jumlah Daun (helai)
Jumlah daun akan diamati dan dihitung pada setiap tanaman dengan
cara manual. Pengamatan dan penghitungan dilakukan pada saat tanaman baru
dipindahkan (sapih) ke media pembibitan dan setelah bibit berumur 60 hari
setelah sapih
d. Panjang Akar (cm).
Panjang akar tanaman akan diamati dan diukur pada setiap tanaman dari
bagian pangkal akar dibawah permukaan tanah sampai dengan ujung akar
dengan menggunakan penggaris. Pengamatan dan pengukuran dilakukan pada
82
saat tanaman baru dipindahkan (sapih) ke media pembibitan dan setelah bibit
tanaman berumur 60 hari setelah sapih.
e. Bintil Akar
Bintil akar tanaman trembesi dan sengon yang terbentuk akan diamati
dan dihitung jumlahnya kemudian akan ditimbang bobotnya pada saat bibit
berumur 60 hari (akhir penelitian).
f. Bobot Basah (g)
Bobot basah tanaman akan ditimbang pada setiap tanaman saat bibit
akan ditanam dalam media pembibitan dan setelah bibit berumur 60 hari setelah
sapi (akhir penelitian). Sebelum ditimbang, tanaman dibersihkan dari kotoran
seperti tanah yang menempel di perakaran dan organ lain.
g. Bobot Kering (g)
Bobot kering tanaman akan ditimbang pada saat bibit tanaman berumur
60 hari setelah sapih. Bobot kering yang ditimbang yaitu: bobot kering akar
(BKA) dan bobot kering batang dan daun (BKBD). Bobot kering akan diperoleh
dengan mengeringkan (oven) contoh tanaman pada suhu 105OC atau menjemur
sinar matahari sampai berat konstan sekitar 7 hari.
83
LAMPIRAN 5
Prosedur Pengukuran Mutu Bibit Tanaman (Sudomo, 2010)
Untuk mengetahui kualitas bibit secara fisiologis maka dilakukan
penghitungan Indeks Mutu Bibit (IMB) pada akhir penelitian. Penghitungan
indeks mutu bibit menggunakan cara Dickson dalam Sudomo (2010) dengan
rumus sebagai berikut.
IMB = (A+B)
(CD
+ AB
)
Keterangan : IMB = Indeks Mutu Bibit; A= Bobot kering batang dan daun (g); B =
bobot kering akar (g); C= Tinggi tanaman (cm) dan D= Diameter batang (cm)
84
LAMPIRAN 6
Denah Percobaan dan Pengacakan Rancangan Acak Lengkap
(Sastrosupadi, 2000)
Denah Percobaan
Ulangan Kode Perlakuan Media Pembibitan
M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10
I
II
III
IV
V
Total
Rerata
Pengacakan Rancangan Acak Lengkap
M10I M1IV M9IV M4I M10III M8III M7III M5I M1I M4V
M6I M10II M5IV M7IV M1II M2II M6IV M2IV M8V M9I
M8II M3IV M1III M6II M4II M5II M3II M4IV M6V M10V
M9V M5V M7V M5III M9III M4III M2III M9II M3I M7I
M1V M8I M3V M2I M3III M6III M8IV M7II M10IV M2V
85