21
Masa penyiaran Radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai bersiaran sejak terjadinya Agresi Belanda I sampai dengan Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari Indonesia . Penyiar Penyiar-penyiarnya adalah W. Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam. [1] Pesan kemerdekaan Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda . Radio ini memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”. Membantah provokasi Belanda Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura , Saigon (Vietnam ), Manila (Filipina ) bahkan Australia dan Eropa . Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.

Rimba Raya

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Rimba Raya

Masa penyiaran

Radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai bersiaran sejak terjadinya Agresi Belanda I sampai dengan Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari Indonesia.

Penyiar

Penyiar-penyiarnya adalah W. Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam.[1]

Pesan kemerdekaan

Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Radio ini memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.

Membantah provokasi Belanda

Radio Rimba Raya berperan sangat besar terhadap kelangsungan pemerintahan Republik Indonesia. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi. Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan bahwa Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa. Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan dengan ada berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.

Sejarah

Kontroversi pengadaan peralatan siar

Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari Manado) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947.[2] Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaya dan dibawa ke kota juang Bireuen.

Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke Aceh, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat

Page 2: Rimba Raya

pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar dengan enak melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di Sungai Yu, Aceh Timur.

Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan. Gubernur Militer waktu itu dijabat Daud Beureueh. Nip Xarim membeli perakatan radio itu bersama Dr. Sofyan, justru sebelum Agresi Militer I 1947 dan disimpan di Pangkalan Brandan. Peralatan dibeli di Malaya. Sejarawan UGM, Mukhtar Ibrahim membenarkan hal ini.[3]

Keterangan serupa ditulis dalam buku “Peranan Radio di Masa Kemerdekaan di Sumatera Utara,” yang ditulis Drs. Muhammad TWH. Anggota Divisi X, Syarifuddin Thaib, yang juga Wakil Ketua/Ajudan Komandan Divisi X Kolonel M. Hoesein Yoesoef, dan John Ekel, serta anggota Divisi X membenarkan hal ini. Tapi Ali Hasyim, dan TA Talsya menyebut John Lie-lah yang membeli peralatan tersebut.

Ikmal Gopi sendiri setelah meneliti riawayat John Lie, seorang keturunan Tionghoa-Manado, menjabat Kepala Syahbandar Cilacap, menyebutkan John Lie baru berangkat ke Singapura menumpang kapal Inggris pada 1947 saat meletus Agresi Militer I. Baru pada bulan September 1947, John Lie singgah ke Pelabuhan Bilik Medan dan kemudian Pelabuhan Raja Ulak di Kuala Simpang.

Tiba di Aceh

Terlepas dari siapa yang membeli peralatan pesawat tersebut, Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue, sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.

Sebelumnya, perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung Burni Bies, kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di kawasan itu tidak baik, penjajah Belanda sedang memantau proses pengiriman perangkat radio itu, maka oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke kampung Rime Raya yang saat itu masuk Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Aceh Tengah.[4]

Page 3: Rimba Raya

Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).

Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan.

Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio. Kolonel Husein Yoesoef sendiri kemudian mendirikan rumah di Areal Pertanian Tentara Pembangunan di Rime (Rimba) Raya. Daerah itu sebelumnya bernama Desa Tanoh Ilang (Tanah Merah). Studionya berada di salah satu kamar rumah kediaman Komandan Divisi X, Kolonel Husein Yoesoef.

Mulai mengudara

Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan Belanda. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.

Selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Selain bahasa Aceh dan bahasa Indonesia, siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu, dan Arab.

Sebagai pemancar gerilya, Radio Rimba Raya juga menyajikan acara pilihan pendengar dengan menghidangkan nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat membakar semangat pejuang, bahkan merupakan satu-satunya sarana diplomasi politik Indonesia.

Kontak dengan India

Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan Republik Indonesia di New Delhi, India. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju.

Page 4: Rimba Raya

Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.

Akhir penyiaran

Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Dimuseumkan

Perangkat tua radio Rimba Raya itu teronggok di salah satu sudut ruang Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya, digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.[5]

Monumen peringatan

Monumen Radio Rimba Raya dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di Kmpung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain menjadi tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi.[6]

Pengoperasionalan kembali

Sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah berupaya mengoperasionalkan kembali stasiun radio ini dengan membeli seperangkat alat penyiaran radio yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Bener Meriah sebesar Rp. 287.000.000,00[7].

Materi penyiaran yang direncanakan adalah informasi dan hiburan bagi masyarakat Bener Meriah dan sekitarnya. Bagaimanapun pelaksanaan penyiaran kembali radio ini mengalami beberapa hambatan, misalnya krisis listrik yang belum juga usai.

Pemfilman

Peristiwa heroik dan peran Radio Rimba Raya telah difilmkan dengan dibuatnya film dokumenter yang dibuat oleh Kanca Mara Production. Film ini berdurasi 90 menit, mengambil

Page 5: Rimba Raya

gambar dengan setting masa lalu di Kota Jakarta, Yogyakarta, Padang, Banda Aceh (Koetaradja), Kota Bireuen, dan Takengon.

Persiapan pembuatan film dokumenter Radio Rimba Raya memakan waktu dua tahun lebih yang didahului dengan riset dan mulai pengambilan gambar sejak tanggal 1 Agustus 2008. Film sejarah itu dibuat dengan format layar lebar dengan sistem suara stereo digital.[8]

Referensi

1. ̂ http://acehlong.com/2009/05/12/radio-rimba-raya-teronggok-sepi-di-museum-tni-ad/ Daftar penyiar

2. ̂ http://rimbarayaaceh.blogspot.com/ Pembelian3. ̂ http://rimbarayaaceh.blogspot.com/ Versi lain proses pembelian4. ̂ http://acehpedia.org/Monumen_Radio_Rimba_Raya#Sejarah_Radio_Rimba_Raya

Sejarah Radio Rimba Raya5. ̂ http://acehlong.com/2009/05/12/radio-rimba-raya-teronggok-sepi-di-museum-tni-ad/

Perangkat penyiaran dimuseumkan di Museum TNI AD, Yogyakarta.6. ̂ http://acehpedia.org/Monumen_Radio_Rimba_Raya Monumen7. ̂ http://www.serambinews.com/news/view/12384/radio-rimba-raya-belum-beroperasi8. ̂ http://www.acehrecoveryforum.org/id/index.php?action=PSCM&no=6531 Pemfilman

Radio Rimba Raya

Page 6: Rimba Raya

Radio Rimba Raya Layak Dapat Gelar Pahlawan 10 November 2011

Seorang anak muda kelahiran Takengon, Ikmal “Bruce” Gopi, benar-benar “menghentak” dan “membuka mata” semua orang. Lewat karyanya, sebuah film dokumenter yang berjudul “Radio Rimba Raya” membuat kita seperti bangun dari tidur. Mengapa? Ternyata salah satu simpul yang menyebabkan tetap tegaknya republik ini adalah sebuah perangkat radio tua. Simpul itu bermula saat Tgk.H.M. Daud Beure-eh, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada tanggal 20 Desember 1948 memerintahkan pengoperasian Radio Perjuangan “Rimba Raya” dari hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.

Bagaimana kisahnya, mari kita simak tulisan Tgk. AK Jakobi dalam bukunya yang berjudul “ACEH DAERAH MODAL, LONG MARCH KE MEDAN AREA (1992).” Menurutnya, “duel” udara antara Radio Perjuangan Rimba Raya yang kadang-kadang menamakan dirinya “Suara Indonesia Merdeka” semula dipancarkan dari Krueng Simpo dekat Bireuen. Siaran radio ini menggunakan bahasa Inggris, Urdu, Arab, Belanda, Cina dan bahasa Indonesia. “Duel” udara dengan Radio Belanda di Medan, Radio Batavia, bahkan dengan Radio Hilversium di Holland berlangsung sangat seru. “Debat” udara ini juga dipantau oleh Dr. Sudarsono, Kepala Perwakilan RI di India melalui Radio Penang di Malaya. Informasi tersebut kemudian diteruskan kepada L.N. Palar, Kepala Perwakilan RI di PBB.

Hal inilah yang menyebabkan pihak Belanda panik, mereka terus memburu dan ingin menghancurkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya. Perburuan yang dilakukan Belanda menyebabkan lokasi pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya selalu berpindah-pindah, sehingga Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan agar pemancar itu dipindahkan ke pegunungan Cot Gue di Aceh Besar. Dilokasi ini pun, ternyata pihak Belanda dapat mendeteksi keberadaan pemancar ini. Pada akhirnya, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo memerintahkan untuk memindahkan pemancar Radio Perjuangan Rimba Raya tersebut ke kawasan hutan belantara di Dataran Tinggi Gayo yang diyakini akan sulit ditembus oleh pesawat-pesawat tempur Belanda.

Pada waktu itu, tulis Tgk. AK Jakobi, seluruh ibukota propinsi di Jawa dan Sumatera sudah diduduki oleh Belanda. Suara Radio Republik Indonesia (RRI) pun sudah tidak terdengar lagi, hanya Radio Perjuangan Rimba Raya yang dalam masa transisi masih mampu berfungsi sebagai media perjuangan. Kefakuman informasi saat itu, segera dapat diisi sehingga rakyat Indonesia tidak terombang-ambing oleh isu-isu yang menafikan perjuangan republik. Seperti ditulis oleh TB Simatupang dalam bukunya yang berjudul “Laporan dari Banaran (1959)” bahwa selain pemancar yang ada di Wonosari, Jawa, masih terdapat pemancar radio yang kuat di Sumatera, yaitu di Kutaraja.

Mudah-mudahan, dengan tambahan catatan ini, dapat memperkaya diskusi kita dalam memperdalam nilai-nilai sejarah yang tertuang dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya sutradara Ikmal Gopi. Pada akhirnya, sejarah simpul republik yang selama ini masih tersamar, sedikit demi sedikit akan tersibak. Mengapa tidak, kemudian kisah-kisah heroik ini dapat ditulis kembali dalam buku sejarah perjalanan bangsa ini. Dan, kepada Radio Rimba Raya itu sendiri layak diberi gelar pahlawan. Sekian!

Page 7: Rimba Raya

Radio Belanda umumkan: “Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. presiden dan wakil presiden sudah ditawan. Semua wilayah Indonesia telah dikuasai Belanda”. Radio “Rimba Raya” menjawab: Republik Indonesia masih tegak berdiri. Di sini Keresidenan Aceh wilayah Republik Indonesia masih utuh Sepenuhnya

Pada masa awal kemerdekaan, sarana komunikasi radio tidak ubahnya seperti “primadona” yang disandra Kempetai Jepang. Betapa tidak, stasiun radio yang ada di Merdeka Barat Jakarta, sejak 15 Agustus dijaga ketat Kempetai Jepang.

Sehingga para pemuda tidak bisa menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan yang diumumkan Soekarno-/Hatta tanggal 17 Agustus 1945. Penyanderaan ini bukan hanya terjadi di Jakarta, juga terjadi di Medan.

Begitupun para pemuda pejuang yang bekerja di radio, bekas Hoso Kyoku menyalurkan teks proklamasi melalui siaran-siaran luar negeri yang ada di Bandung. Maka masyarakat Australia lebih dahulu mendengar bangsa Indonesia merdeka.

Berkat kegigihan pemuda radikal yang bekerja pada kantor berita “Antara” yang menjadi saksi Indonesia kantor Berita Jepang “Domei” berhasil menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan yang dilakukan tiga serangkai Adam Malik, Asa Bafaqih dan Panghulu Lubis.

Dengan adanya siaran domei itu, maka seluruh dunia mengetahui Indonesia telah Merdeka. Demikian juga daerah-daerah mengetahui kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan meskipun masih samar-samar.

Para pemimpin radio yang berkumpul di Jakarta tanggal 10 September 1945 meminta kepada Jepang agar semua stasiun radio diserahkan kepada Indonesia, tetapi Jepang bertahan karena hendak diserahkan kepada Sekutu.

Karena itu para pimpinan radio menyusun satu kekuatan merebut sang “primadona” guna menguasai dan menyelamatkan pemancar-pemancar yang ada di daerah. Begitupun para pejuang radio tidak tinggal diam, sebuah pemancar gelap berhasil diusahakan, tidak lama kemudian berkumandanglah di udara radio siaran dengan stasiun call “Radio Indonesia Merdeka”.

Menurut Onong Uchjana Effendy MA, melalui radio ini wakil presiden Hatta dan para pemimpin lainnya menyampaikan pesan kepada masyarakat. Studio gelap itu berlokasi di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jalan Salemba Jakarta yang memancarkan siaran luar negeri dengan call “This is the voice of free Indonesia”. Salah seorang yang berjasa dalam hal ini adalah Dr Abdurrahman Saleh.

Didatangkan dari Singapura

Page 8: Rimba Raya

Begitu pentingnya pemancar radio, maka pejuang dari Sumatera Utara berusaha mendatangkan pemancar dari Singapura. Pejuang yang paling berani menerobos blokade Belanda di Selat Malaka adalah John Lee yang berpangkat Kapten Angkatan Laut.

Pejuang ini berhasil memasukkan pemancar berukuran sedang, di samping memasukkan berbagai keperluan militer yang didaratkan melalui Labuhan Bilik. Setelah Agresi ke dua John Lee melakukan kegiatannya melalui pantai Aceh Timur Sungai Yu.

Selain John Lee yang mengharungi Selat Malaka dengan boat cepatnya, juga Kapten Nip Xarim melakukan hal serupa. Ketika Batalyon “B” yang dipimpinnya ditempatkan di Langkat, Kapten Nip Xarim dengan membawa 25 ton getah menerobos blokade Belanda menuju Singapura. Dia bermaksud mencari pemancar kecil untuk keperluan Batalyonnya. Tetapi yang berhasil ditemukan sebuah pemancar besar berkekuatan 350 watt dan dimasukkan melalui Kuala Sungai Serapoh (Langkat).

Menurut Kapten (Purn) Nip Xarim di masa hayatnya, sebelum Belanda melancarkan Agresi pertama, pemancar itu diantar kepada Komandan Divisi X Kolonel Husin Yusuf. Bersama pemancar ini turut serta seorang perwira Inggris bernama Joh Edward (Abdullah Inggris) serta Abubakar dan Chandra.

Mereka ini adalah mantan tentara Inggris yang membelot ke pihak Indonesia. Ketika penyerahan pemancar ini Kolonel Husin Yusuf didampingi Letnan A. Rahman TWH, kepala Penerangan Tentara Resimen V Divisi X, mantan kepala Radio Aceh Shu Hodoka di masa pendudukan Jepang. Pemancar berkekuatan cukup besar inilah kemudian dikenal dengan Radio Perjuangan “Rimba Raya” yang siarannya dapat didengar di seluruh negara Asia, Australia dan beberapa negara Eropa.

Berdirinya RRI

Tanggal 10 September 1945 para pemimpin radio berkumpul di Jakarta membicarakan tuntutan kepada Jepang agar semua kelengkapan diserahkan kepada Indonesia. Tapi Jepang tetap menolak, sarana komunikasi itu akan diserahkan kepada sekutu.

Tanggal 11 September 1945 jam 24.00 berhasil membulatkan tekad di tengah malam membentuk suatu organisasi radio siaran bernama RRI untuk bertindak dan mengambil langkah selanjutnya baik di pusat dan maupun di daerah.

Kalau Sumber Daya Manusia Militer Indonesia hasil gemblengan Jepang melalui Gyugun, Heiho dan lain-lain, maka Sumber Daya Manusia di bidang radio juga hasil tempaan Jepang melalui organisasi radio yang dikenal dengan Hoso Kyuku. Sedangkan di Aceh dikenal dengan sebutan “Aceh Syu Hodoka”.

Di antara anggota Hoso Kyuku di Medan yang kemudian menjadi pejuang radio antara lain adalah Lutan St Tunaro, M.Arief, M.Sani, Roesyem, Ahmad SM, Abda Mufid, Dapari Nasution dan Kamarsyah. Sedangkan Pimpinan radio Aceh Syu Hodoka di

Page 9: Rimba Raya

Kutaraja (Banda Aceh) adalah Said Achmad Dahlan dan A. Rahman TWH. Di awal kemerdekaan A. Rahman TWH menjadi Kepala Penerangan Resimen Divisi V merupakan orang yang bertanggung jawab dalam operasional Radio Rimba Raya.

Pejuang RRI Medan

Sejalan dengan langkah pimpinan RRI di Jakarta, maka daerah-daerah juga bertindak menyelamatkan pemancar dan peralatan radio agar jangan sampai jatuh ke tangan Sekutu.

Pejuang radio Medan berusaha memindahkan dan peralatan radio yang amat penting tanpa menghiraukan akibat yang akan mereka alami. Peralatan dari Jalan Serdang 28 Medan (sekarang Jln. Prof Mohd Yamin) diangkut ke Kampung Baru untuk dibangun RRI untuk menyuarakan “Suara Indonesia Merdeka”.

Sayang pemancar yang berkekuatan satu (1 KW) yang berada di Sei Sikambing tidak bisa mereka angkut karena ketatnya penjagaan Jepang. Pemancar yang dibangun di Kampung Baru dapat menjangkau siarannya untuk seluruh Sumatera Timur.

Baru saja dimulai siaran percobaan RRI Medan, satu pasukan Inggris yang telah menduduki kota Medan 9 Oktober 1945 menerobos rintangan yang dibuat oleh pemuda pejuang menuju Kampung Baru. Gedung yang dijadikan lokasi RRI Medan dikepung dan ditembaki secara bertubi-tubi.

Pejuang radio berhasil menyelamatkan diri, hanya seorang pejuang radio yang kena tembak di pahanya bernama Arsyad tapi tidak mengancam jiwanya. Pemancar RRI di Kampung Baru itu diledakkan oleh Inggris.

Pejuang radio tidak patah semangat walaupun pemancar diledakkan, namun mereka berusaha membangun pemancar baru di Jalan Asia yang dilakukan Hasib, S.Ismail dan lain-lain. Kali ini disusahkan pembangunan secara legal dengan meminta izin kepada Gubernur Sumatera dan sekutu, izin telah diperoleh pembangunan segera dimulai.

Tetapi keadaan kota Medan bertambah panas, pertempuran antara Lasykar dengan Inggris terjadi baik siang maupun malam. Karena situasi sudah sedemikian rupa, masyarakat Medan banyak menguasai ke daerah pedalaman.

RRI Medan juga secara sangat hati-hati diungsikan ke P.Siantar. Pertengahan Maret 1946 Pemerintah Sumatera di bawah pimpinan Mr.Teuku Mohd Hasan memindahkan ibukota Sumatera ke P.Siantar.

Berkumandang di Siantar

Atas bantuan berbagai instansi pemerintah di P.Siantar terutama Kepala Daerah Kabupaten Simalungun Bupati Madja Poerba, RRI Medan memperoleh sebuah gedung

Page 10: Rimba Raya

di jalan Raya Siantar-Medan. Disertai alat-alat untuk keperluan siaran seperti piano, piring hitam dan lain-lain.

Walaupun keadaan serba sederhana RRI Medan akhirnya berhasil mengumandangkan suaranya dengan memakai call “Di sini Radio Republik Indonesia Medan di P.Siantar”. Tujuan siaran waktu itu ialah memupuk semangat perjuangan bangsa menentang maksud penjajahan Belanda kembali berkuasa di Indonesia dan mempertinggi pengetahuan rakyat dan keinsafan bernegara.

RRI Medan di P.Siantar melaksanakan fungsinya sejak April 1946 dan berakhir 29 Juli 1947. Ketika Belanda masuk dan merebut P.Siantar dalam rangkaian agresinya I yang dimulai 21 Juli 1947. Yang pertama dilakukan pasukan elit Belanda adalah meledakkan pemancar RRI dan menghancurkan studio RRI di Siantar itu. Sejak itu RRI Medan bungkem di udara, karyawannya bergerilya dan ada juga diam-diam masuk ke Medan.

Setelah Belanda melancarkan Agresinya yang kedua, 19 Desember 1948, Yogyakarta direbut dan diduduki. Presiden, wakil presiden dan para Menteri ditawan. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Menlu H. Agus Salim ditawan di Pasanggerahan Lau Gumba, Brastagi, kemudian dipindahkan ke Parapat. Wakil Presiden Hatta dan menteri lainnya ditawan di Pulau Bangka.

Dengan direbutnya Jogyakarta dan Bukit Tinggi dengan sendirinya Radio-Radio Republik Indonesia “dibungkemkan”. Situasi kevakuman RRI dimanfaatkan Radio Belanda di Batavia (Jakarta) radio Hilversum di Negeri Belanda dan radio Belanda di Medan menyiarkan berita”Republik Indonesia sudah tidak ada lagi”. Alasan Belanda, Yogyakarta telah direbut, presiden dan wakil presiden telah ditawan disusul jatuhnya daerah-daerah kekuasaan republik ke tangan Belanda.

Radio Perjuangan “Rimba Raya” yang mempunyai kekuatan pemancar 350 watt, yang berlokasi di Aceh (antara Bireuen – Takengon) segera menjawab “Republik Indonesia masih ada, pimpinannya masih ada, tentara Republik Indonesia masih ada, pemerintah Republik Indonesia masih ada. Di sini Keresidenan Aceh wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya.

Radio Rimba Raya menggunakan gelombang 67 dan 25 meter dengan nama panggilan : “Suara Merdeka Radio Republik Indonesia”. Tiap malam tampil di udara dalam 6 bahasa yaitu : bahasa Inggris, (Penyiarnya John Edward tentara Inggris yang membelot ke pihak Indonesia), bahasa Urdu (Hindustani) oleh Abubakar dan Chandra juga bekas tentara Sekutu yang membelot ke pihak Indonesia.

Siaran bahasa Arab disampaikan oleh Abdullah Arif, bahasa China disampaikan oleh Hie Wun bahasa Belanda oleh Syarifuddin dan bahasa Indonesia oleh penyiar radio Rimba Raya.

Sesuai kebutuhan kadang-kadang digunakan signal calling “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, dan juga “Radio Republik Indonesia”. Siaran radio ini dapat didengar

Page 11: Rimba Raya

diberbagai kota di Semenanjung Malaya Singapura, Saigon, Manila New Delhi, Australia dan beberapa kota di Eropa.

Pemerintah India memberi dukungan sepenuhnya terhadap perjuangan rakyat Indonesia. Karena itu tidak heran “All India Radio” terus memonitor radio Rimba Raya. Juga Australia Broadcasting selalu menanyakan hal-hal yang tidak jelas kepada radio Rimba Raya. Dengan pemancar yang tangguh radio perjuangan ini berhasil membentuk opini publik di luar negeri.

Pemancar radio, Perjuangan “Rimba Raya” yang dinilai berjasa itu, kini ditempatkan di Museum Pusat TNI Angkatan Darat “Dharma Wiratama” Yogyakarta. Pemancar ini merupakan bukti sejarah perjuangan radio mempertahankan kemerdekaan. Dirgahayu Hari Radio 11 September 2011. *****

Page 12: Rimba Raya

ogyakarta | Lintas Gayo – Setelah sukses di beberapa tempat di Indonesia, pemutaran film dokumenter Radio Rimba Raya kembali di putar di kota Pelajar dan Kota Budaya Yogyakarta untuk kedua kalinya setelah kegiatan yang sama dilakukan satu tahun lalu.

Acara ini di gagas oleh mahasiswa Gayo “Asrama Laut Tawar” Yogyakarta yang bekerja sama dengan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Laut Tawar Gayo (Ipemah Lutyo) yang ada di Yogyakarta.

Dengan mengambil tema “Sejarah bangsa Indonesia yang terlupakan”, acara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sumpah pemuda dan hari Pahlawan, Sabtu (12/11) bertempat di gedung pertemuan Balai Kota Yogyakarta. Dihadiri berbagai kalangan pemuda dan mahasiswa seluruh Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Pelajar/Pemuda dan Mahasiswa daerah Indonesia (IKPMDI) serta utusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari beberapa kampus yang ada di Yogyakarta.

“Tujuan kegiatan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali sejarah bangsa Indonesia serta untuk menumbuhkan semangat pemuda Indonesia tentang pentingnya nasionalisme,” kata Helmy Ranggayoni selaku ketua panitia pelaksana kegiatan tersebut.

Komponen bangsa ini harus tau peran Radio Rimba Raya (RRR) dan kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini, timpalnya.

Sementara itu, Ikmal Gopi selaku sutradara film documenter Radio Rimba Raya menyatakan ini merupakan momentum yang tepat untuk para pemuda Indonesia khususnya pemuda Aceh dan Gayo untuk kembali meluruskan sejarah yang selama ini banyak yang masih kabur, dan bahkan dihilangkan.

Ditanya tentang peran Radio Rimba Raya dalam film ini dia menjawab bahwa Radio Rimba Raya merupakan benteng terakhir pertahanan Bangsa Indonesia pada saat itu, dimana seluruh wilayah Indonesia sudah dikuasai oleh pihak penjajah yang meneriakan bahwa “Indoensia masih ada” yang suaranya terdengar sampai seluruh penjuru dunia.

“Kita semua berharap Kementrian Pendidikan RI dapat memasukkan sejarah perjuangan Radio Rimba Raya kedalam kurikulum pendidikan sejarah agar generasi muda yang akan datang bisa mengerti dan paham akan sejarah yang sebenarnya,” harapnya.

Dalam acara ini juga di tampilkan tarian tradisional Gayo, Didong yang ditampilkan oleh sejumlah mahasiswa Gayo Yogyakarta.

Hardi salah seorang mahasiswa dari Sulawesi mengatakan film ini sangat menarik untuk di tonton. “Dengan film yang mengungkap fakta sejarah ini, kita berharap kepada kalangan pemuda sebagai agent of change berperan aktif untuk meluruskan kembali sejarah bangsa ini,” tegasnya. (Syarifuddin/03)

Page 13: Rimba Raya

Lembaga Sandi Negara Selidiki Komunikasi Rahasia RRR

Menanyakan seberapa pentingkah sejarah Radio Rimba Raya (RRR) harus diketahui publik? Sama saja kita bertanya seberapakah pentingnya kita harus mengetahui hari kelahiran kita. Maka, wajar bila tersiar opini menyia-nyiakan sejarah RRR adalah tindakan pemubajiran. RRR adalah “juru selamat” Republik Indonesia. Dan karena itu pula, sejarah RRR merupakan aset Bangsa Indonesia yang bukan hanya sekedar dikenang, namun juga harus dibanggakan.

Selain budaya dan pariwisata, salah Satu aset bangsa adalah sejarah. Di wilayah Aceh, tepatnya disalah Satu wilayah di Dataran Tinggi Gayo, yaitu Bener Meriah memiliki aset sejarah yang sangat berharga bagi republik ini. Namun sangat disayangkan masih “terngiang” ditelinga dan masih ada kesan di publik terjadinya pembiaran yang tanpa alasan yang jelas dan sulit dicerna.

Adalah RRR sebagai “corong” kemerdekaan pada zaman perjuangan merebut bumi pertiwi ini dari tangan musuh. Adalah RRR yang menyiarkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada. Namun, RRR ternyata memiliki teka-teki lain dari “kekokohan” perangkat yang berhasil diseludupkan melalui lautan lepas menuju belantara keperawanan Aceh, selanjutnya difungsikan sebagai “Benteng Terakhir” untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah yang diperjuangkan segenab rakyat Aceh.

Dalam setiap pergerakan untuk memperebutkan kemerdekaan sudah tentu menggunakan komunikasi rahasia atau sandi-sandi untuk mengelabui musuh. Komunikasi rahasia atau sandi diduga kuat digunakan RRR saat masih mengundara untuk mengelabui musuh.

Demikian disampaikan Kasubbag Informasi dan Media Lembaga Sandi Negara, Jakarta, Budi Santoso, belum lama ini seusai mengunjungi Tugu RRR di Kampung Rime Raya Kecamatan Pintu Rime Gayo Kabupaten Bener Meriah.

Dalam rangka survey awal Lembaga Sandi Negara untuk menelusuri teka teki RRR tersebut, Budi Santoso turut didampingi tiga orang Tim Penelusuran Sejarah Sandi yang didatangkan dari Jakarta serta salah seorang contributor media ini, memaparkan tujuan kehadiran Lembaga Sandi Negara ke salah Satu Dataran Tinggi Gayo itu, adalah untuk menelusuri adanya komunikasi rahasia antara pejuang di seluruh Indonesia, yang diteruskan ke luar negeri.

Page 14: Rimba Raya

“Hal yang jarang kita sadari,” kata Budi, “Disetiap kegiatan yang sifatnya rahasia, tentunya untuk menjalin koordinasi kesesama pejuang tidak dapat diketahui pihak lain, konon lagi musuh,” ungkap Kasubbag Informasi dan Media Lembaga ini.

Selama ini RRR telah diketahui berfungsi sebagai corong kemerdekaan. Tanpa RRR, kemungkinan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan lenyap ditangan musuh! Paling tidak, Negara yang telah menganut paham Pancasila ini akan “terpecah-pecah” terlepas dari bingkai NKRI. Kini, harus disadari dibalik kekuatan RRR masih ada teka-teki yang belum terjawab.

Berdasarkan Keppres Nomor 7 Tahun 1972 yang mengatur kedudukan atau status, fungsi, dan tugas pokok Lembaga Sandi Negara, Lembaga ini merupakan suatu Badan Pusat Persandian Negara Republik Indonesia dan berkedudukan langsung dibawah Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden.

Disampaikan, fungsi Lembaga Sandi Negara untuk mengatur, mengkoordinir, dan menyelenggarakan hubungan persandian secara tertutup dan rahasia antara aparatur negara baik di Pusat maupun daerah dan hubungan persandian ke luar negeri.

Hasil survey awal Lembaga Sandi Negara yang hanya berlangsung sehari tersebut, disempatkan bertemu sejumlah nara sumber yang ikut berperan pada saat RRR mengudara. Adalah Reje Mude Tukiran Aman Jus yang merupkan salah Satu saksi sejarah RRR. Pada saat mengunjungi Tugu RRR, Lembaga ini juga sempat bertemu ramah dengan Ketua Ikatan Pemuda Tugu Radio Republik Indonesia (IPTRRRI), Ardiansyah, serta Sekretaris, Armawan.

Disebutkan, Lembaga Sandi Negara juga akan melakukan “gerilya” ke sejumlah area yang pada saat RRR mengudara, menjalin hubungan dengan RRR. “Demi mengungkap komunikasi rahasia ini kenapa tidak mendatangi ke sejumlah museum diluar negeri!?,” tukas Budi.

Disinggung kepada Budi salah Satu upaya untuk membongkar “misteri” RRR, Budi katakan starteginya adalah dengan mengumpulkan dokumen atau arsip yang berkaitan dengan RRR. “Selain menghimpun keterangan dari sejumlah sumber, kita juga akan mencari dan mengumpulan dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sejarah RRR,” papar Budi.

Secara terpisah, Sutradara Film Dokumenter RRR, Ikmal Gopi, saat dihubungi melalui telpon seluler menyampaikan sangat menaruh apresiasi dengan upaya Lembaga Sandi Negara ini. Ikmal juga telah bertemu dengan Lembaga Sandi Negara di Jakarta.

“Kita harus mendukung upaya ini, agar eksistensi RRR tidak pernah hilang dari ingatan,” kata Ikmal. “Kalau saya demi sejarah RRR, sampai berbuih mulut ini tidak akan pernah menyerah untuk selalu menggaungkan keperkasaannya,” pungkas Ikmal menegaskan. (Uyad Dasa)

Baru kali ini berkesempatan mengunjugi monumen Radio Rimba Raya di Desa Rime Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupten Bener Meriah.Sejarah Radio Rimba Raya sangat sulit didapat secara lengkap karena memang sudah menjadi rahasia umum  bahwa Pemerintah RI banyak menyembunyikan sejarah-sejarah sumbangsih Aceh terhadap negara ini.

Page 15: Rimba Raya

Radio Rimba Raya adalah salah satu bukti sejarah kontribusi Aceh terhadap berdirinya Negara Republik Indonesia. Tanpa diberitakannya bahwa RI masih ada di Aceh setelah Jakarta dan Yoqyakarta lumpuh oleh Agresi Militer Belanda II, Republik mungkin sudah tidak ada lagi.