Upload
ngotuong
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS
MANAJEMEN RESIKO BANK SYARIAH
dosen : Gita Danupranata
Oleh
Alvionita 20120730010
Rullya windya sari 20120730040
Inggi guna istia 20120730042
Fakultas Agama IslamEkonomi dan Perbankan Islam
Tahun Ajaran 2014
Manajemen risiko merupakan pengetahuan yang badan teorinya masih muda. Itulah sebabnya
kita menemukan banyak kontradiksi dalam pengertian tentang konsep risiko.
Istilah (risk) risiko memiliki berbagai definisi. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian
atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.Vaughan (1978)
mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:
• Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian).
Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan
kerugian. Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas
akan munculnya situasi tertentu. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat perbedaan
antara tingkat risiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal chance of loss 100%, berarti kerugian
adalah pasti sehingga risiko tidak ada.
• Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian).
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada diantara nol dan satu.
Namun, definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif.
• Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian).
Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian
individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang
bersangkutan. Objective uncertainty akan dijelaskan pada dua definisi risiko berikut.
• Risk is the dispersion of actual from expected results (Risiko merupakan penyebaran hasil
aktual dari hasil yang diharapkan).
Ahli statistik mendefinisikan risiko sebagai derajat penyimpangan sesuatu nilai disekitar suatu
posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata.
• Risk is the probability of any outcome different from the one expected (Risiko adalah
probabilitas sesuatu outcome berbeda dengan outcome yang diharapkan). Menurut definisi di
atas, risiko bukan probabilita dari suatu kejadian tunggal, tetapi probabilita dari beberapa
outcome yang berbeda dari yang diharapkan.
Dari berbagai definisi diatas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk
(kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah
menunjukkan adanya ketidakpastian.
1. Pengertian dan Tujuan Kesehatan Bank
Tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kondisi Bank yang dilakukan terhadap risiko dan
kinerja Bank atau dalam pengertian lain tingkat kesehatan Bank adalah suatu cerminan bahwa
sebuah bank dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
Dalam pengertian lain, tingkat kesehatan bank merupakan hasil penelitian kualitatif atas berbagai
aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor
permodalan, kualitas asset, manajemen, rentabilitas, likuiditas. Penilaian terhadap faktor-faktor
tersebut dilakukan melalui penilaian kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgement yang
didasarkan atas materialitas dan signifikansi dari faktor-faktor penilaian serta pengaruh dari
faktor lainnya seperti kondisi industri perbankan dan perekonomian nasional. Penilaian
kuantitatif adalah penilaian terhadap posisi, perkembangan, dan proyeksi rasio-rasio keuangan
bank. Penilaian kualitatif adalah penilaian terhadap faktor-faktor yang mendukung hasil
penilaian kuantitatif, penerapan manajemen risiko, dan kepatuhan bank dan saat ini Bank
Indonesia juga memiliki metode penilaian kesehatan secara keseluruhan baik dari segi kualitatif
dan kuantitatif.
Budisantoso dan Triandaru (2005:51) mengartikan kesehatan bank sebagai kemampuan suatu
bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi
semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan
yang berlaku. Pengertian tentang kesehatan bank di atas merupakan suatu batasan yang sangat
luas, karena kesehatan bank memang mencakup kesehatan suatu bank untuk melaksanakan
seluruh kegiatan usaha perbankannya. Kegiatan tersebut meliputi :
a. Kemampuan menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain, dan dari modal sendiri.
b. Kemampuan mengelola dana.
c. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat.
d. Kemampuan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan, pemilik modal, dan pihak
lain.
e. Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku.
Dengan kata lain, tingkat kesehatan bank juga erat kaitannya dengan pemenuhan peraturan
perbankan (kepatuhan pada Bank Indonesia).
Menurut Bank Of Settlement, bank dapat dikatakan sehat apabila bank tersebut dapat
melaksanakan control terhadap aspek modal, aktiva, rentabilitas, manajemen dan aspek
likuiditasnya. Pengertian Kesehatan bank menurut Bank Indonesia sesuai denganUndang–
undang RI No. 7 Tahun 1992 Tentang perbankan Pasal 29 adalah Bank dikatakan sehat apabila
bank tersebut memenuhi ketentuan Kesehatan bank dengan memperhatikan aspek Permodalan,
Kualitas Asset, Kualitas Manajemen, Kualitas Rentabilitas, Likuiditas, Solvabilitas, dan aspek
lain yang berhubungan dengan usaha bank.
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas dan profil risiko, bank perlu mengidentifikasi
permasalahan yang mungkin timbul dari operasional bank. Bagi perbankan, hasil akhir penilaian
kondisi bank tersebut dapat digunakan sebagai salah satu sarana dalam menetapkan strategi
usaha diwaktu yang akan datang sedangkan bagi Bank Indonesia antara lain digunakan sebagai
sarana penetapan dan implementasi strategi pengawasan bank oleh Bank Indonesia.
Penilaian Tujuan kesehatan Bank adalah untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi
yang sehat, cukup sehat, kurang sehat atau tidak sehat. Bagi bank yang sehat agar tetap
mempertahankan kesehatannya, sedangkan bank yang sakit untuk segera mengobati penyakitnya.
Bank Indonesia mewajibkan setiap bank menyampaikan laporan keuangan berkala kepada Bank
Sentral dan mempublikasikan laporan itu melalui media cetak: surat kabar dan majalah. Bentuk
dan isi laporan itu ditetapkan seragam. Laporan keuangan ini dipakai oleh Bank Sentral dan
publik untuk menilai kesehatan bank yang bersangkutan.
Laporan keuangan bank terdiri:
a. Laporan inti, meliputi:
1) Neraca
2) Daftar Laba-Rugi
b. Laporan pelengkap, meliputi:
1) Laporan perhitungan kewajiban penyediaan kepital minimum
2) Laporan tentang perhitungan rasio-rasio keuangan
3) Laporan kualitas aktiva produktif dan informasi lainnya
4) Laporan transaksi valuta asing dan derivatives
5) Laporan komitmen dan kontinjensi
6) Laporan pengurus dan pemilik bank.
Apabila terdapat penyimpangan terhadap aturan tentang kesehatan bank, Bank Indonesia dapat
mengambil tindakan-tindakan tertentu dengan tujuan agar bank bersangkutan menjadi sehat dan
tidak membahayakan kinerja perbankan secara umum. Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan agar:
a. Pemegang saham menambah modal.
b. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank.
c. Bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet,
dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya.
d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain.
e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban.
f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian bank kepada pihak lain.
g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan kewajiban bank atau pihak lain.
Apabila tindakan tersebut belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank, atau
menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan,
maka pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi
bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan
hukum bank dan membentuk tim likuiditas. Apabila direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat
Umum Pemegang Saham, maka pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisikan pembubaran badan hukum bank tersebut, penunjukan
tim likuiditas, dan perintah pelaksanaan likuiditas sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Faktor Penilaian Kesehatan Berdasarkan Metode CAMELS
Penilaian tingkat kesehatan bank dimaksudkan untuk menilai keberhasilan perbankan dalam
perekonomian Indonesia dan industri perbankan serta dalam menjaga fungsi intermediasi. Pada
krisis ekonomi global, bank-bank menengah dan kecil yang tidak menerima bantuan likuiditas
dari pemerintah mengalami penurunan dana simpanan masyarakat. Menurunnya dana simpanan
masyarakat membuat industri perbankan berusaha mempertahankan dana-dana yang mereka
miliki untuk menjaga likuiditas bank dengan cara memberikan tingkat suku bungan yang tinggi.
Bank Indonesia menilai tingkat kesehatan bank dengan menggunakan pendekatan kualitatif atas
berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi suatu bank. Metode atau cara penilaian
tersebut kemudian dikenal dengan metode CAMELS yaitu Capital, Asset quality, Management,
Earnings, Liquidity, dan Sensitivity to Market Risk. Kriteria sensitivity to market risk merupakan
aspek tambahan dari metode penilaian kesehatan bank yang sebelumnya, yaitu CAMEL.
CAMEL pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak dikeluarkannya Paket Februari 1991
mengenai sifat-sifat kehati-hatian bank. Paket tersebut dikeluarkan sebagai dampak kebijakan
Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 1988). CAMEL berkembang menjadi CAMELS
pertama kali pada tanggal 1 Januari 1997 di Amerika. CAMELS berkembang di Indonesia pada
akhir tahuan 1997 sebagai dampak dari krisis ekonomi dan moneter.
Analisis CAMELS digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kinerja keuangan bank
umum di Indonesia. Analisis CAMELS diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/10/PBI/2004 perihal sistem penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 9/1/PBI/2007 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Analisis Kesehatan Bank dengan RBBR
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 13/1/PBI/2011 tentang sistem penilaian tingkat
kesehatan bank maka bank wajib memelihara dan atau meningkatkan tingkat kesehatan bank
dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam melaksanakan kegiatan
usaha. Bank wajib melakukan penilaian kesehatan dengan menggunakan pendekatan risiko (risk
based banking rating), baik secara individual maupun secara konsolidasi. Bank wajib melakukan
penilaian sendiri (self assessment) atas tingkat kesehatan bank paling kurang setiap semester
untuk posisi bulan Juni dan Desember.
Dengan adanya aturan PBI ini, yang membuat tingkat kesehatan bank diterapkan dengan
menggunakan pendekatan risiko (RBBR), berarti secara otomatis, tingkat kesehatan bank dengan
menggunakan analisis CAMELS sudah dicabut atau tidak dipergunakan lagi sejak awal thn
2012. Faktor2-faktor penilaian tingkat kesehatan bank meliputi: Profil Risiko (risk profil), Good
Corporate Governance (GCG), Rentabilitas (earnings) dan permodalan (capital).
Untuk faktor pertama dalam RBBR adalah profil risiko yg menggambarkan eksposur risiko yg
dihadapi oleh bank sebagai konsekuensi dari kinerja dan/atau strategi bisnis bank. Berdasarkan
lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/23/DPNP tgl 25 Oktober 2011, BI
mengklasifikasikan risiko ke dalam 8 jenis risiko dan secara umum dibagi ke dalam 2 kategori
risiko, yaitu risiko yang dapat diukur (kuantitatif) dan risiko yang sulit diukur (kualitatif). Untuk
risiko yang dapat diukur terbagi 4 yaitu: risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko
operasional
Untuk faktor kedua dari RBBR adalah penilaian GCG yang didasarkan pada tiga aspek utama
yaitu, governance structure, governance process, dan governance outcomes. Governance
structure mencakup pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Komisaris dan Direksi serta
kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite. Governance Process mencakup penerapan fungsi
kepatuhan bank, penanganan benturan kepentingan, penerapan fungsi audit intern dan ekstern,
penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern, penyediaan dana kepada
pihak terkait dan dana besar, serta rencana strategis bank. Governance outcomes mencakup
transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan, laporan pelaksanaan GCG dan pelaporan
internal. Untuk faktor ketiga dan keempat dr RBBR ini yaitu earnings dan permodalan hampir
sama dgn metode analisisCAMELS yang pernah djelaskan sebelumnya.
Analisis Kesehatan Bank dengan CAMELS , RGEC dan RBBR
Dulu kita mengenal dengan adanya Analisis Kesehatan Bank dengan menggunakan sistem
penilaian CAMELS (Capital, Asset quality, Management, Earnings, Liquidity & Sensitivity to
market risk) berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004. Sekarang, menurut
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011, maka sistem penilaian analisis kesehatan
bank pun diubah dari CAMELS menjadi RGEC (Risk profile, Good corporate governance,
Earnings, & Capital).
Sebenarnya sistem penilaian kesehatan bank antara CAMELS tidak berbeda jauh dengan RGEC.
Beberapa bagian tampak masih sama seperti masih digunakannya sistem penilaian Capital dan
Earnings. Adapun sistem penilaian Management pun diganti menjadi Good Corporate
Governance. Sedangkan untuk komponen Asset Quality, Liquidity dan Sensitivity to Market
Risk akhirnya dijadikan satu dalam komponen Risk Profile.
Konsep Risk Based Bank Rating (RBBR)
Diuraikan pada bagian sebelumnya, evaluasi kinerja yang dilakukan bank selama ini lebih
banyak terfokus sisi upside bisnis (pencapaian laba dan pertumbuhan), tetapi hanya sedikit
membahas sisi downside (risiko). Evaluasi yang hanya fokus pada sisi upsidecenderung bias dan
tidak berorientasi pencapaian jangka panjang sehingga penilaian tingkat kesehatan bank
(mencakup sisi upside dan downside) menjadi solusi penilaian kinerja yang lebih komprehensif.
Penilaian RBBR mencakup empat faktor yaitu :
i). Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG),
ii). Profil Risiko,
iii). Earning (pendapatan)
iv). Capital (permodalan).
Diagram berikut mengilustrasikan hubungan antara masing-masing faktor dalam RBBR, yaitu :
Dari diagram di atas, terlihat bahwa Peringkat Komposit TKB berdasarkan RBBR adalah
dilakukan berdasarkan penilaian kualitas manajemen bank yang diukur dari penerapan GCG dan
manajemen risiko. Dengan kata lain, penilaian faktor Pendapatan dan faktor Permodalan
hanya merupakan dampak ( impact ) dari strategi yang telah dilakukan manajemen.
Pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan harus senantiasa
berlandaskan pada lima prinsip dasar. Pertama, transparansi (transparency), yaitu keterbukaan
dalam mengemukakan informasi informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam
proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability)yaitu kejelasan fungsi dan
pelaksanaan pertanggungjawaban organ Bank sehingga pengelolaannya berjalan secara
efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan Bank dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan Bank yang
sehat. Keempat, independensi (independency)yaitu pengelolaan Bank secara profesional tanpa
pengaruh/tekanan dari pihak manapun.Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan
kesetaraan dalam memenuhi hak-hakstakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Profil Risiko adalah proses penilaian keseluruhan proses dari identifikasi risiko, analisa risiko
dan evaluasi risiko yang dihadapi bank, yang diilustrasikan sebagai berikut :
Profil Risiko mencakup penilaian atas risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko
pada 8 jenis risiko sebagai berikut :
Inherent Risk - Risiko Inheren adalah risiko yang melekat pada kegiatan bisnis bank,
baik yang dapat dikuantifikasikan maupun tidak dapat dikuantifikasikan, yang berpotensi
mempengaruhi posisi keuangan bank. Inherent Risk dapat berupa parameter yang bersifat ex-
post (telah terjadi) maupun parameter yang bersifat ex-ante (belum terjadi).
Risk Control System (RCS) - Kualitas Penerapan Manajemen Risiko merupakan
penjabaran dari penerapan Basel II Pilar 2 – Supervisory review yang telah dijabarkan di
perbankan Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Tentang Penerapan Manajemen Risiko.
Penilaian Inherent Risk dan RCS selanjutnya menghasilkan net risk per jenis risiko dan
kesimpulan risiko komposit bank secara keseluruhan.
Bisnis bank adalah bisnis risiko, sama dengan bisnis lainnya. Namun karena bank menggunakan
dana masyarakat, standar pengelolaan risiko harus lebih tinggi dari bisnis lainnya. Sama dengan
konsep manajemen risiko, risiko bukanlah hal yang harus dihindari tapi dikelola untuk
mendapatkan keuntungan sehingga manajemen risiko bukanlah hal yang membatasi bisnis
namun mendukung bisnis.
Sesuai Pilar II Basel 2, permodalan bank harus mampu menyerap semua risiko yang ada dibank.
Penilaian permodalan ini mencakup :
Kecukupan permodalan :
i).modal dapat menyerap risiko,
ii). mendukung rencana bisnis dan
iii). Kualitas modal (komposisi tier 1)
Pengelolaan Permodalan :
i). Efektifitas perencanaan dan penggunaan modal untuk menghasilkan pendapatan,
ii). Pemupukan modal organik,
iii). Kemampuan akses bank kepada sumber permodalan.
Penilaian terhadap faktor pendapatan (earning) dilakukan berdasarkan aspek Kinerja Earnings,
sumber-sumber earning, diversifikasi pendapatan, earning sustainibility.
Sebenarnya sistem penilaian kesehatan bank antara CAMELS tidak berbeda jauh dengan RGEC.
1. Capital CAMELS vs Capital RGEC
Ada sedikit perbedaan antara sistem penilaian Capital pada CAMELS dan RGEC. Hal itu terkait
dengan beberapa perubahan regulasi yang turut juga merubah parameter atau indikator dalam
melakukan penilaian kesehatan bank antara CAMELS dan RGEC. Salah satunya terkait dengan
adanya perubahan regulasi dari Basel I menjadi Basel II, dimana Basel II baru mulai dibentuk
pada tahun 2004. Dampak dari adanya perubahan regulasi tersebut berkaitan dengan perhitungan
rasio kecukupan modal atau CAR (Capital Adequacy Ratio) yang merupakan salah satu
parameter atau indikator dari komponen Capital.
Untuk perhitungan CAR baik untuk CAMELS maupun RGEC menggunakan rumus yang sama.
Tetapi yang membedakan adalah terletak pada perhitungan ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut
Risiko. Pada CAMELS, yang masih menggunakan regulasi Basel I, hanya memperhitungkan
ATMR dengan menggunakan risiko kredit dan risiko pasar saja. Sedangkan untuk perhitungan
ATMR pada RGEC, dimana regulasi Basel II sudah digunakan, selain menggunakan risiko kredit
dan risiko pasar, maka ditambah dengan menggunakan risiko operasional.
2. Asset Quality + Liquidity + Sensitifity to Market Risk = Risk Profile
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011, Risk Profile yang wajib dinilai
terdiri dari Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko Likuiditas, Risiko Hukum,
Risiko Stratejik, Risko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi. Untuk penilaian Asset Quality memiliki
kesamaan dalam penilaian Risiko Kredit pada Risk Profile. Adapun untuk penilaian Liquidity
memiliki kesamaan dalam penilaian Risiko Likuiditas pada Risk Profile. Sedangkan untuk
penilaian Sensitifity to Market Risk memiliki kesamaan dalam penilaian Risiko Pasar pada Risk
Profile.
Dalam penilaian CAMELS, jika hasil peringkat suatu bank pada parameter atau indikator pada
Asset Quality, Liquidity, & Sensitifity to Market Risk buruk, maka dapat diprediksi bahwa bank
tersebut akan mengalami kebangkrutan. Tetapi dalam penilaian RGEC, jika hasil peringkat suatu
bank pada parameter atau indikator pada Risk Profile buruk, maka bank tersebut belum dapat
diprediksi akan mengalami kebangkrutan selama parameter penanganan risiko bank itu sangat
baik sehingga dapat mencegah atau meminimalisasi akan terjadinya kebangkrutan.
a. Kredit Asset Quality vs Kredit Risk Profile
Seperti halnya perbedaan Capital seperti penjelasan diatas, maka penilaian kredit pada Asset
Quality dan Risk Profile pun mengalami perbedaan yang terkait dengan adanya perubahan
regulasi juga yaitu adanya revisi PSAK No. 50 dan No. 55 pada tahun 2006 tentang Instrumen
Keuangan. Adanya revisi tersebut mengakibatkan adanya perubahan padanan PPAP menjadi
CKPN. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenarnya PPAP sejenis dengan CKPN karena
sama-sama merupakan pencadangan pada kredit. Yang membedakan adalah perlakuannya,
dimana pencadangan kredit pada PPAP didasarkan pada ketentuan kolektibilitasnya sedangkan
untuk pecadangan kredit pada CKPN didasarkan pada data kerugian kredit yang telah terjadi.
b. Liquidity CAMELS vs Liquidity Risk Profile
Parameter atau indikator yang digunakan untuk memperhitungkan antara Liquidity CAMELS
dengan Liquidity Risk Profile sebagian besar memiliki persamaan. Yang membedakan adalah
bahwa pada parameter Liquidity CAMELS terdapat perhitungan rasio LDR (Loan Deposits
Ratio) sedangkan pada parameter Liquidity Risk Profile tidak terdapat adanya perhitungan rasio
tersebut.
c. Market Risk CAMELS vs Market Risk Profile
Perbedaan yang signifikan antara Market Risk CAMELS dengan Market Risk Profile adalah
adanya parameter atau indikator strategi dan kebijakan bisnis setiap masing-masing bank pada
penilaian pada Market Risk Profile. Sedangkan untuk Market Risk CAMELS lebih terfokus pada
penerapan sistem manajemen risiko pasar.
3. Management CAMELS vs Good Corporate Governance RGEC
Pada Management CAMELS, selain menggunakan parameter atau indikator Good Corporate
Governance pada manajemen umum, digunakan pula penerapan sistem manajemen risikonya
serta kepatuhan bank terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, dimana pada komponen RGEC,
kepatuhan tersebut terdapat dalam penjelasan mengenai Risiko Kepatuhan pada Risk Profile.
4. Earnings CAMELS vs Earnings RGEC
Pada Earnings CAMELS, terdapat parameter atau indikator perhitungan BOPO (Beban
Operasional dibagi dengan Pendapatan Operasional), sedangkan Earnings RGEC tidak ada
perhitungan BOPO. Sebagai gantinya, pada Earnings RGEC terdapat parameter atau indikator
Beban Operasional dibagi dengan Total Aset dan Pendapatan Operasional yang juga dibagi
dengan Total Aset.
Resiko Perbankan Syariah
Risio-risiko perbankan pada umumnya dibandingkan dengan bank syariah, mengacu pada Bab II
pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 antara lain sebagai berikut :
1. Risiko Kredit (credit risk)
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank
umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan
untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau
deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas
jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada
perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan
syariah lebih kecil dari perbankan konvensional.
Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara
nasabah sebagai pembeli murabahah.
Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik
akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding
bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang
dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.
2. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh
bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar.
Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak
melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.
3. Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank
menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya,
maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat
berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih
tinggi dibandingkan pembiayaan.
Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya
desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang
tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan
berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang
akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas.
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan
dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan
upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan,
maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid.
Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang
membutuhkan pengendapan dana.
Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak
memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena
konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk
memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk
menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik
keuntungan maupun risiko.
4. Resiko Operasional (operational risk)
Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem
informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak
diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya
ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya
problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup
signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional
5. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara
lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada
perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan
risiko hukum.
6. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank
atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank
syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.
7. Risiko Stratejik
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak
tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap
perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank
konvensional terkait dengan risiko stratejik.
8. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-
undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara
bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.
Apabila dipetakan terhadap produk-produk perbankan syariah maka risiko-risiko yang mungkin
timbul adalah sebagai berikut :
1. Tabungan: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
2. Deposito: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
3. Giro: Risiko Likuiditas dan Risiko Operasional
4. Pembiayaan Murabahah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
5. Salam: Risiko Pembiayaan dan Risiko Operasional
6. Rahn: Risiko Operasional dan Risiko Pasar
7. Ishtisna: Risiko Pembiayaan dan Risiko Operasional
8. Pembiayaan Mudharabah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
9. Pembiayaan Musyarakah: Risiko Pembiayaan dan Risiko Hukum
Adanya risiko-risiko bagi bank tersebut bukan berarti bahwa produk tersebut tidak aman
(unsecured). Bank Syariah sudah pasti telah memperhitungkan risiko-risiko ini sebelum produk
tersebut disampaikan kepada masyarakat. Masyarakat tidak perlu khawatir pula, karena dalam
pelaksanaan operasionalnya, seluruh bank syariah diawasi. Lembaga-lembaga pengawasan yang
memastikan setiap bank syariah dapat mengendalikan risiko dengan baik antara lain Dewan
Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Manajemen Risiko Pembiayaan Bank Syariah
Pembiayaan yang memberikan hasil tetap didapatkan dari pembiayaan yang berakad jual beli
(tijarah) dan sewa menyewa (ijarah). Sementara pembiayaan yang memberikan hasil tidak tetap
didapatkan dari pembiayaan yang berakad bagi hasil (syirkah). Berdasarkan dua hal tersebut,
maka produk pembiayaan di bank syariah akan memberikan risiko yang berbeda antara akad
yang satu dengan akad yang lainnya, sehingga dengan demikian manajemen resiko pembiayaan
dibank syariah sangat berkaitan dengan risiko karakter nasabah dan risiko proyek. Risiko
karakter berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan karakter nasabah. Sementara risiko
proyek berkaitan dengan karakter proyek yang dibiayai.
Risiko karakter nasabah dapat dilihat dari aspek : skill, reputasi, dan origin. Sementara resiko
proyek yang dibiayai dapat dilihat dari ciri-ciri atau atribut proyek. Ciri-ciri atau atribut proyek
yang harus diperhatikan untuk meminimalkan resiko adalah : sistem informasi akuntansi, tingkat
return proyek, tingkat resiko proyek, biaya pengawasan, kepastian hasil dari proyek, klausul
kesepakatan proyek, jangka waktu kontrak, arus kas perusahaan jaminan yang disediakan,
tingkat kesehatan proyek dan prospek proyek.
Peran Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syari'ah (DPS) memiliki peran penting dan strategis dalam penerapan prinsip
syariah di perbankan syariah. DPS bertanggung jawab untuk memastikan semua produk dan
prosedur bank syariah sesuai dengan prinsip syariah. Karena pentingnya peran DPS tersebut,
maka dua Undang-Undang di Indonesia mencantumkan keharusan adanya DPS tersebut di
perusahaan syariah dan lembaga perbankan syariah, yaitu Undang-Undang UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dengan demikian secara yuridis, DPS di lembaga perbankan menduduki posisi yang kuat, karena
keberadaannya sangat penting dan strategis. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut
kedudukan DPS sudah jelas dan mantap serta sangat menentukan pengembangan bank syariah
dan perusahaan syariah di masa kini dan masa mendatang.
Fungsi dan peran DPS di bank syariah, memiliki relevansi yang kuat dengan manajemen risiko
perbankan syariah, yakni risiko reputasi, yang selanjutnya berdampak pada risiko lainnya seperti
risiko likuiditas. Pelanggaran syariah complience yang dibiarkan atau luput dari pengawasan
DPS, akan merusak citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat, sehingga dapat
menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan. Untuk itulah peran
DPS di bank syariah harus benar-benar dioptimalkan, kualifikasi menjadi DPS harus diperketat,
dan formalisasi perannya harus diwujudkan di bank syariah tersebut.
Sumber :
http://seminarakuntansi.warsidi.com/2010/06/financial-instrument-impementasi-psak.html
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/24/PBI/2011
Herman Darmawi, Manajemen Perbankan, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2011
Totok Budi Santoso dkk, Bank dan Lembaga Keuangan lain,edisi 2, Salemba empat, Jakarta,
2006
http://jerinnurazizah.wordpress.com/2012/10/19/mengukur-kesehatan-bank-umum-dan-bpr/
http://www.slideshare.net/ariefselalutersenyum/tata-cara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank
http://iweldolphin.blogspot.com/2012/11/penilaian-tingkat-kesehatan-dengan.html
http://jagatrian.wordpress.com/2011/04/14/analisis-perbankan-antara-bisnis-dan-intermediasi-
perbankan-antara-bisnis-dan-intermediasi/
http://dennis-mahardika.blogspot.com/2013/03/camels-vs-rbbr.html