22
http://inspiratifstory.wordpress.com/2012/07/25/pengusaha-tempe- yang-sukses-dengan-ide-kreatif-2/ Pengusaha Tempe Yang Sukses Dengan Ide Kreatif 2 July 25, 2012 inspiratifstory Leave a comment Go to comments Di usia muda Muhammad Rusyad Isnadi (34) sudah mencatat kesuksesan sebagai pengusaha. Berkat tempe mentega produksinya, ia bisa mendapat keuntungan minimal Rp 400.000 per hari. Tak aneh ia tidak tertarik lagi menjadi pegawai negeri. Isnadi, warga Dusun Wiyoro, Baturetno, Banguntapan, Bantul, memulai usahanya setelah gempa dahsyat melanda wilayah Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) pada tahun 2006. Sebelumnya, ia malang melintang menjadi tenaga pemasaran bahan pokok ke pasar-pasar. Bosan menjadi tenaga pemasaran yang terus bergerak ke seluruh pasar, ia ikut bekerja di tempat adiknya. ”Saya ikut membuat tempe di tempat adik karena bingung mau kerja apa,” katanya saat ditemui di tempat usahanya beberapa waktu lalu. Setelah cukup menguasai teknik pembuat tempe kedelai, Isnadi memutuskan membangun usaha sendiri. ”Kalau lama-lama ikut di tempat adik saya, takut menjadi beban. Jadi, mending buka usaha sendiri. Keputusan itu saya ambil setelah saya yakin bisa membuat tempe sendiri,” ujarnya. Seperti yang lazim terjadi, awal usaha adalah masa-masa tersulit. Ia harus memasarkan tempe sendiri ke pasar-pasar. Dari setiap tiga orang yang ditawari paling hanya satu yang mau menerima titipan tempe. Meski banyak ditolak, ia tidak menyerah. ”Pengalaman bekerja sebagai tenaga pemasaran membuat saya tidak kecil hati meski ditolak banyak penjual. Yang penting

Rustono Si Raja Tempe Di Jepang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas kewirausahaan

Citation preview

http://inspiratifstory.wordpress.com/2012/07/25/pengusaha-tempe-yang-sukses-dengan-ide-kreatif-2/Pengusaha Tempe Yang Sukses Dengan Ide Kreatif2July 25, 2012 inspiratifstory Leave a comment Go to comments Di usia muda Muhammad Rusyad Isnadi (34) sudah mencatat kesuksesan sebagai pengusaha. Berkat tempe mentega produksinya, ia bisa mendapat keuntungan minimal Rp 400.000 per hari. Tak aneh ia tidak tertarik lagi menjadi pegawai negeri.Isnadi, warga Dusun Wiyoro, Baturetno, Banguntapan, Bantul, memulai usahanya setelah gempa dahsyat melanda wilayah Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) pada tahun 2006. Sebelumnya, ia malang melintang menjadi tenaga pemasaran bahan pokok ke pasar-pasar.Bosan menjadi tenaga pemasaran yang terus bergerak ke seluruh pasar, ia ikut bekerja di tempat adiknya.Saya ikut membuat tempe di tempat adik karena bingung mau kerja apa, katanya saat ditemui di tempat usahanya beberapa waktu lalu.Setelah cukup menguasai teknik pembuat tempe kedelai, Isnadi memutuskan membangun usaha sendiri.Kalau lama-lama ikut di tempat adik saya, takut menjadi beban. Jadi, mending buka usaha sendiri. Keputusan itu saya ambil setelah saya yakin bisa membuat tempe sendiri, ujarnya.Seperti yang lazim terjadi, awal usaha adalah masa-masa tersulit. Ia harus memasarkan tempe sendiri ke pasar-pasar.Dari setiap tiga orang yang ditawari paling hanya satu yang mau menerima titipan tempe. Meski banyak ditolak, ia tidak menyerah.Pengalaman bekerja sebagai tenaga pemasaran membuat saya tidak kecil hati meski ditolak banyak penjual. Yang penting jangan malu menawarkan. Ternyata prinsip saya itu membuahkan hasil, katanya.Selama dua tahun membuat tempe, usaha Isnadi tidak mengalami perkembangan berarti. Kondisi tersebut membuatnya penasaran.Ia bermimpi memiliki usaha tempe yang sukses. Suatu ketika ia menceritakan kondisinya itu kepada seorang teman.Teman saya menyarankan agar saya mencoba mencampur tempe dengan mentega. Idenya memang konyol, tetapi akhirnya saya coba, katanya.Lebih gurih dan lezatMentega ditambahkan saat proses peragian tempe. Berkat tambahan mentega, tempe kedelai Isnadi menjadi lebih gurih dan lezat.Respons pasar pun sangat positif. Permintaan terutama datang dari warung-warung makan di sekitar kos-kosan mahasiswa dan penjual gorengan.Kini, setiap hari Isnadi memproduksi 6 kuintal kedelai. Dari jumlah tersebut diperoleh sekitar 2.200 potong tempe seharga Rp 3.000 per potong.Dibandingkan dengan tempe lain, harga produksi tempe Isnadi lebih mahal. Kalau tempe lain paling dijual sekitar Rp 2.000 per potong. Meski lebih mahal, ternyata permintaannya justru naik terus, katanya.Omzet Isnadi per hari Rp 4 juta-Rp 5 juta. Dia harus mengerahkan 31 karyawannya yang sebagian besar adalah tetangga sekitar rumahnya. Penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi membuat Isnadi disenangi para tetangganya.Untuk urusan penjualan, Isnadi memiliki 19 tenaga pemasaran. Mereka diberi kelonggaran mengambil keuntungan sampai 10 persen dari harga jual. Mereka juga menerima uang bensin Rp 2.500 per hari dan uang penggantian oli setiap bulan.Tingginya permintaan membuat kami kewalahan memasok ke pasar-pasar tradisional. Para tenaga pemasaran sudah memiliki pelanggan tetap, yang sebagian besar berupa rumah makan, katanya.Proses rumitMenurut Isnadi, proses pembuatan tempe tergolong rumit. Pertama, kedelai harus direndam dulu baru kemudian direbus. Hasil rebusan selanjutnya digiling dengan mesin khusus agar teksturnya menjadi lembut. Setelah itu, kedelai kembali direndam selama semalam baru dicuci dan direbus lagi.Proses terakhir adalah pengeringan serta pemberian ragi dan mentega. Peragian menjadi proses paling sulit. Jika takaran raginya tidak pas, tempe bisa membusuk, kata pria lulusan SMA tersebut.Dia mengatakan, saat musim kemarau dengan terik matahari yang lumayan, pemberian ragi biasanya dikurangi karena suhu udara cukup panas. Sebaliknya saat musim hujan, ragi diperbanyak.Kalau sudah busuk, tempenya harus dibuang karena tidak bisa dijual lagi,ujarnya.Untuk membuat tempe, Isnadi menggunakan kedelai impor karena harganya lebih murah, yakni Rp 4.800 per kilogram. Kualitasnya juga lebih bagus.Kedelai lokal harganya berkisar Rp 5.500 per kg dan kualitasnya tidak bagus. Kedelai lokal lebih bagus kalau dibuat tahu, katanya.Kapasitas produksi tempe Isnadi naik-turun seiring dengan ketersediaan tenaga kerjanya. Biasanya, produksi akan turun hingga 50 persen pada saat hari raya, seperti Lebaran, karena sebagian besar perajin tempe pulang kampung. Sebagian besar dari mereka dari Pekalongan, Jawa Tengah.Stok tempe di pasar akan berkurang drastis karena perajin libur untuk pulang kampung. Sebenarnya saya bisa saja menambah produksi sampai 100 persen, tetapi kapasitas mesin dan tenaga yang ada tidak mencukupi, katanya.Berkat tempe mentega, Isnadi sudah mampu membeli mobil, membangun rumah dan lokasi usaha. Ia berharap usahanya bisa diteruskan anaknya kelak.Saya mulai terapkan pemahaman supaya anak tidak terpaku menjadi pegawai. Menjadi wiraswasta asal ulet dan rajin, hasilnya jauh lebih menguntungkan, katanya.Sikap dan pandangan Isnadi yang pantas diikuti banyak anak muda lainnya di negeri ini. Menjadi wirausaha pun bisa lebih menguntungkan dan dapat memberikan lapangan kerja bagi banyak orang.

http://indonesiaproud.wordpress.com/2010/02/21/rustono-raja-tempe-di-jepang/Bangunlah JiwanyaBangunlah BadannyaUntuk Indonesia Raya! Beranda Catatan iProud PesanLogo Prihatin Salut Tentang BlogRustono: Raja Tempe diJepangFebruari 21, 2010tags: Akiko Aoujaga, Noemi Kuzumoto, Raja Tempe, Rustos Tempeh, Rustono, Tsuruko Kuzumoto, William ShurtleftBungkus itu terbuat dari plastik putih yang kualitasnya terlihat biasa-biasa saja. Di atasnya terdapat label bertuliskan, Rusto Tempe Made in Japan. Di bawah label itu tertera tulisan dalam huruf kanji, yang kira-kira menjelaskan akan kandungan produk tersebut dan beratnya.Ada catatan kaki berbahasa Inggris dalam bungkus itu, tertulis Tempe an original, delicious cultural food, with no cholesterol made by Rustono, an Indonesian living ini Shiga Perfecture. It is a traditional fermented 100% soybean product. yang artinya kira-kira, Tempe asli, makanan tradisional nan enak, yang tidak mengandung kolesterol. Dibuat oleh Rustono, warga Indonesia yang tinggal di Provinsi Shiga (Jepang). Produk ini terbuat dari biji kedelai yang 100 persen dibuat dengan proses peragian secara tradisional.Tempe Rusto Made in Japan mudah didapatkan di berbagai supermarket di seluruh negeri Matahari Terbit. Ia menjadi makanan populer di Jepang karena bangsa ini memang menyukai produk-produk hasil peragian. Tempe Rusto dengan berat 250 gram dijual dengan harga 500 yen atau sekitar Rp 50 ribu. Di Indonesia, khususnya di Jawa, tempe seberat itu paling dijual dengan harga Rp 1.000 saja.Perjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam Jepang. Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rustos Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan lagu Going Home dari Kenny G.Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji, ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di sampingnya.Semangat dari kerinduanKampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu, Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. Dan berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam, tambahnya.Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.Perjalanan panjangJalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.

Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.The King of TempeMeskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.Dari peta penyebaran Rustos Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas lahan 1.000 meter persegi.PenghargaanDi Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan Makanan enak belum tentu menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan menyehatkan adalah tempe! Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.Bagi yang ingin kontak silakan hubungi beliau di [email protected]: GM Sudarta (Kompas), Tribun Timur, GoodNewsFromIndonesia

http://bisnisukm.com/sukses-merintis-usaha-tempe-di-negeri-sakura.htmlSukses Merintis Usaha Tempe di Negeri Sakura Siapa sangka bila Rustono seorang mantan bell boy Hotel Sahid Yogyakarta ini sekarang bisa sukses merintis usaha tempe di negeri sakura (Jepang).03 March 2012 5 Komentar Pengusaha Sukses Terlahir di kota kecil Grobogan, Jawa Tengah ternyata tidak menyurutkan semangat juang Rustono (43) untuk meraih mimpi besarnya. Siapa sangka bila seorang mantan bell boy Hotel Sahid Yogyakarta ini sekarang bisa sukses merintis usaha tempe di negeri sakura (Jepang) serta mendapatkan gelar khusus yakni The King of Tempe.Video Praktisi

Membuat Konsep Produk Coklat

Meskipun bisnisnya kini telah berkembang dengan pesat, namun perjalanan suksesnya dalam membangun usaha tempe tidaklah semulus apa yang kita bayangkan. Setelah memutuskan untuk menuntut ilmu di Akademi Perhotelah Sahid pada tahun 1987, Ia kemudian merintis karirnya sebagai seorang bell boy di Hotel Sahid Yogyakarta hingga bertahun-tahun lamanya. Pengalaman inilah yang kemudian mempertemukan Rustono dengan seorang wanita asli Jepang bernama Tsuruko Kuzumoto, yang kini telah dipersunting sebagai istrinya.Di tahun 1997, Rustono memutuskan untuk hijrah ke Kyoto, Jepang untuk melanjutkan hidup baru bersama istri tercintanya. Dari sinilah perjuangan Rustono mulai dirintis dari awal. Ia bekerja di beberapa perusahaan Jepang mulai dari perusahaan sayur-mayur higga perusahaan roti yang semuanya menuntut ketelitian dan tanggungjawab cukup besar dari para karyawannya. Rustono yang saat itu berprofesi sebagai seorang karyawan, mendapatkan banyak ilmu dari masyarakat di negeri matahari terbit tersebut, baik dari perilaku hidup sehari-hari maupun dari segi etos kerja para karyawan yang relatif cukup tinggi.Awal Merintis Usaha TempeBerbekal pengalaman dan pengetahuannya di beberapa sektor industri, hati kecil Rustono mulai terdorong untuk membuka peluang bisnis baru yang belum pernah ada sebelumnya di Negara Jepang. Terinspirasi dari makanan nato (sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas orang Jepang), ayah dari Noemi Kuzumoto ini mencoba menekuni sektor bisnis makanan dan membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah Ia ketahui.Proses trial and error Ia jalani kurang lebih selama empat bulan, bahkan Ia rela pulang ke Indonesia selama tiga bulan hanya untuk belajar membuat tempe yang lezat dari 60 pengrajin tempe di seluruh Pulau Jawa. Kuatnya tekad dan semangat Rustono untuk terus belajar memproduksi tempe, akhirnya membuahkah hasil manis sehingga Ia berhasil membuat tempe yang lezat dengan bantuan ragi dari Indonesia, dan memanfaatkan sumber mata air di sekitar kediaman mertuanya.Setelah berhasil memproduksi tempe dengan sempurna, ternyata masih banyak kendala usaha yang dihadapi oleh Rustono. Salah satunya yaitu mengenai izin produksi di Negara Jepang yang cukup rumit (harus melalui berbagai tahap penelitian dan tes), serta kendala iklim alam yang kurang bersahabat karena memiliki kelembapan udara kurang dari 60%, sehingga proses fermentasi tempe tidak bisa berjalan maksimal tanpa bantuan peralatan khusus yang bisa menjaga kestabilan cuaca.Semua kendala tersebut dijadikannya sebagai sebuah tantangan baru, hingga pada akhirnya Ia berhasil mengantongi perizinan dari pemerintah setempat dan memasarkan produk tempenya dengan merek Rusto Tempeh yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar suasana kehidupan kampung di Pulau Jawa. Dengan memanfaatkan kemasan produk 200 gram, sekarang ini kapasitas produksi Rusto Tempeh bisa mencapai 16.000 bungkus setiap lima hari. Ia memasarkan produk tempenya hampir ke seluruh kota di Jepang, baik di perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah-sekolah, hingga ke beberapa rumah sakit di Fukuoka.Kerja keras dan semangat juang Rustono di negeri sakura, kini telah terbayar dengan keberhasilan usaha tempe yang Ia rintis. Bila dulunya usaha tempe Rustono dijalankan di rumah kecilnya, kini suami Tsuruko Kuzumoto ini telah membangun pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air dan memanfaatkan lahan seluas 1.000 meter2. Semoga kisah pengusaha sukses dari Grobogan, Jawa Tengah ini memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh lapisan masyarakat untuk segera memulai usaha. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses.Sumber gambar :1. http://multiply.com/mu/sifitrina/image/2/photos/upload/300x300/RLyzlAoKCrwAAGvLZog1/DSC01028.JPG?et=ueTsobm2UAEWNi%2BPYCWj5w&nmid=85626012. http://karangjunti.files.wordpress.com/2010/11/rustono.jpg?w=266&h=400

http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/10/30/rustono-pengusaha-tempe-sukses-di-jepang-606165.htmlRustono, Pengusaha Tempe Sukses di JepangREP | 30 October 2013 | 09:31 Dibaca: 1540 Komentar: 13 4

Tempe, aduh kayanya saya harus menyerah untuk bisa bikin tempe sendiri. Padahal seharusnya tinggal di Negeri orang kalau mau makan makanan khas negeri kita, harus puter otak dulu, browsing resep sana-sini dan berusaha mengakali bahan-bahan apa yang bisa diganti dengan bahan-bahan yang ada di Negara yang sekarang kta tinggal.

Tapi saya sudah bisa bernafas lega, setelah mengetahui ada Pak Rustono.Pak Rustono???

Sayapun belum pernah kenalan langsung dengan beliau, tapi ketenarannya sudah bergaung di Jepang apalagi di kalangan masayakakat Indonesia yang bermukim di Jepang.

Pak Rustono adalah Pengusaha Tempe asal Grobogan, Jawa Tengah, yang pernah mengecap pendidikan di Akademi Perhotelan Sahid tahun 1987, menikah dengan Wanita Jepang dan sekarang mempunya dua orang putri. Beliau memutuskan untuk pindah menetap di Jepang sejak tahun 1997.

Usaha Tempe Rustono terbilang sangat sukses, karena sudah 490 tempat di Jepang dari Hokkaido sampai Okinawa, kalau lihat peta Jepang dari ujung utara ke ujung selatan Jepang. Namun sepertinya itu belum memberikan kepuasan bagi beliau, karena ingin mengenalkan Tempe ke Dunia luar adalah cita-cita Bapak Rustono ini. Terbukti Tempe Rustono bisa didapatakan di Korea, Meksiko, Hungaria, Prancis dan Polandia. Hebaat!!

Dan saya bangga juga sebagai salah satu penikmat Tempe Rustono ini, yang menurut saya paling lezat dan memiliki rasa yang sama dengan tempe yang biasa saya makan di Indonesia.Dibalik keberhasilan beliau saya yakin pasti ada kerja keras dan proses yang panjang untuk bisa sampai pada kesuksesan ini.

Pak Rustono memulai usaha ini, dilatarbelakangi pada saat beliau bekerja paruh waktu di tempat makanan, pada saat itulah beliau sadar kenapa tidak makanan Indonesia sendiri yang dikembangkan, yaitu Tempe. Maka beliau memutuskan belajar langsung dari para pembuat tempe di Indonesia agar bisa membuat tempe sendiri di Jepang.Salut dengan perjuangan beliau, karena seorang ahli tempe Jepang mengatakan bahwa situasi dan kondisi alam lingkungan alam di Jepang, sepertinya susah untuk membuattempe karena ragi yang dibuat di Jepang tidak bisa seperti ragi yang di buat di Indonesia. Namun dari pembelajaran yang didapat melalui para pembuat tempe di Jawa Tengah, beliau akhirnya berhasil membuat ragi sendiri untuk usaha tempenya itu.

Kegagalan-kegagalan yang ada pada proses pembuatan tempe sampai pada akhirnya mendapatkan celah dan berhasil serta stabil dengan baik membuat usaha tempe Pak Rustono sangat sukses dan terkenal. Walaupun begitu Pak Rustono tetap turun tangan pada proses pembuatan tempe ini, beliau melakukan monitoring agar tidak terjadi kekurangan atau kesalahan sampai proses pembuatan tempe selesai.

Keberhasilan Pak Rustono dengan tempenya, tentu saja membuat orang-orang Indonesia yang ada di Jepang ingin sekali mengikuti jejak beliau, seperti banyak teman-teman yang memulai usahanya dengan berjualan makanan, pakaian ala Indonesia (kebaya, gamis ala syahrini?) , sampai pada penjualan tiket maskapai penerbangan (bagi pemegang paspor hijau yang diberi potongan harga yang sangat menggiurkan apabila ingin mudik ke Tanah Air tercinta).

Berapa sih pendapatan Beliau untuk usahanya ini?

Ternyata beliau seperti sungkan kalau mulai berbicara tentang uang.Tapi dari informasi beliau kalau perharinya, PALING SEDIKIT terjual 50 bungkus! Sedangkan harga satu tempe dijual 250yen/bungkus.Kalau dihitung matematika 50X30X250=375.000 yen perbulan atau sekitar Rp. 43.500.000 (kurs Rp116 per yen) walau itu pendapatan kasar, dalam arti belum adanya potongan-potongan biaya pembelian bahan dan sebagainya. Tapi suatu angka yang sangat besar, apalai 50 bungkus itu adalah paling sedikit order, yang dterima perharinya, wah saya tambah berdecak kagum.

Dari artikel dan berita tentang keberhasilan Bapak Rustono, walaupun saya belum kenal dan bertemutergambar sosok yang ramah dan rendah hati, terlihat dari keinginan beliau yang mengatakana bahwa, yang terpenting dari usaha ini adalah kepuasan kita bagaimana bisa membuat tempe yang sama dan asli rasa Indonesia, lalu beliau ingin meng-global-kan tempe kita ini yang berarti agar dapat mempromosikan Indonesia lebih harum dan lebih luas lagi melalui makanan Indonesia, Tempe ini. Dan beliau bisa bangga dan senang kalau nama Indonesia bisa lebih baik lagi di pasar dunia. Dan agar dunia tahu bahwa Indonesia tidak bisa disepelekan lagi dan menjadi salah satu kaliber dunia dalam perdagangan dunia.

Wah cita-cita yang sangat terpuji Pak Rustono! Salah satu anak bangsa yang sudah mengharumkan nama Bangsa Indonesia di belahan dunia, khususnya Jepang.

Ganbatte Kudasai Pak Rustono!!(foto dari manuverbisnis.wordpress.com)sumber : Majalah JIEF

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/21/20093063/Rustono..King.of.Tempe.Jepang.dari.Grobogan.Rustono, "King of Tempe" Jepang dari Grobogan Minggu, 21 Februari 2010 | 20:09 WIB Terkait Ikut Pameran, Belajar Melihat Selera Konsumen Bos Jamsostek dan Koleksi Ribuan Dasi Peluang Bisnis Penyewaan Mainan Anak Adji, dari Studio Menjelma Perusahaan Iklan Terkemuka Bisnis Kerajinan Logam Beromzet Ratusan Juta

0

GM SudartaPerjalanan dalam udara dingin musim gugur ke daerah pegunungan di Katsuragawa yang terletak sekitar 30 kilometer dari Kyoto adalah perjalanan yang menyajikan keindahan alam Jepang.

Jalan menanjak berliku dihiasi pepohonan momiji yang daunnya mulai memerah cerah di sepanjang jalan. Kabut meliputi puncak-puncak gunung dan hutan pinus lalu berakhir di sebuah lembah hijau. Rumah tradisional Jepang beratap rumbia tebal masih tampak di sana-sini dengan tamannya yang khas seakan bersatu dengan alam. Itulah awal perjumpaan saya dengan Rustono (41), sang Raja Tempe, sebagaimana teman-teman Jepang menyebutnya.

Di kawasan desa yang indah inilah konotasi yang menyepelekan tempe, seperti sebutan bangsa tempe atau mental tempe, sirna. Dari sinilah tempe mulai dikenal dan merambah hampir ke seluruh Jepang. Kemasan seberat 200 gram dengan label Rustos Tempeh bergambar ilustrasi suasana kehidupan kampung di Jawa tersebar di berbagai toko swalayan di Jepang.

Sebuah rumah tradisional Jepang, cagar budaya yang telah berusia dua abad, adalah tempat perjanjian saya bertemu dengan Rustono. Ketika kaki mulai melangkah memasuki gerbang kayu di halaman berpagar bambu, terdengar tiupan saksofon sopran yang mendendangkan lagu Going Home dari Kenny G.

Rupanya sang raja sedang asyik melantunkan lagu penuh kerinduan yang menghanyutkan itu dengan duduk santai di batu besar di tengah taman di bawah rindangnya pohon momiji, ditingkah suara gemercik sungai jernih yang membelah desa, ditemani sang istri di sampingnya.

Semangat dari kerinduan

Kampung halaman di tanah kelahiran memang selalu mendatangkan rindu, Rustono menjelaskan ketika ditanya tentang lagu favoritnya itu. Dan berdendang dengan tiupan saksofon adalah alunan suara jiwa paling dalam, tambahnya.

Kerinduan akan tanah kelahiran di sebuah kota kecil Grobogan, nun jauh di pedalaman Jawa Tengah dengan hamparan sawah dan hutan jati, rupanya masih saja mengusik Rustono meskipun sudah 13 tahun dia menetap di Jepang.

Bagi Rustono yang alumnus Akademi Perhotelan Sahid (masuk tahun 1987), kerinduan tersebut bukanlah bernuansa sendu berlarut-larut, melainkan pembawa semangat menentukan keputusan jalan hidup.

Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.

Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.

Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.

Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.

Perjalanan panjang

Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.

Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.

Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.

Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.

Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.

Peralatan produksi juga hasil inovasi Rustono sendiri. Alat pencuci kedelai dia modifikasi dari bekas mesin pencuci cumi-cumi yang dia dapat dari perusahaan perikanan. Begitu pula untuk pengemasan, dia datangkan mesin bikinan Bantul dan Surabaya.

The King of Tempe

Meskipun julukan ini hanya gurauan teman-teman sejawatnya, rasanya memang tak ada yang salah. Kini kapasitas produksi Rustono setiap lima hari bisa mencapai 16.000 bungkus tempe dengan kemasan 200 gram. Untuk mendukung produksi, dia mengadakan kontrak kerja sama dengan petani kedelai di Nagahama, kawasan Shiga.

Dari peta penyebaran Rustos Tempeh yang tertera di ruang kerjanya, terlihat konsumennya tersebar di kota-kota hampir seluruh Jepang. Selain masyarakat Indonesia di Jepang dan masyarakat Jepang sendiri, konsumennya juga meliputi perusahaan jasa boga, rumah makan vegetarian, toko swalayan, sekolah, hingga rumah sakit di Fukuoka.

Memang usahanya berawal dari skala kecil dengan pemasaran dari pintu ke pintu. Rumah produksi dia bangun sendiri tanpa tukang bangunan dan tanpa pemikiran arsitektural, tetapi hanya dengan intuisi yang mirip intuisi seniman. Dan dari usaha rumahan itu sekarang Rustono mencapai taraf pembangunan pabrik tempe di kawasan pinggir hutan yang bermata air, di atas lahan 1.000 meter persegi.

Penghargaan

Di Jepang sudah banyak buku mengupas tentang tempe. Di antaranya yang terkenal adalah The Book of Tempeh, tulisan William Shurtleft dan Akiko Aoujaga. Buku besar ini lengkap dengan uraian dan ilustrasi menarik tentang pembuatan dan manfaat tempe dengan latar belakang budaya Indonesia, terutama Jawa.

Ada juga buku terbitan Asosiasi Tempe di Jepang yang dikelola para profesor dan ahli gizi. Asosiasi ini mengadakan penelitian dan setiap tahun mengadakan seminar tentang tempe. Salah satu kajiannya adalah kandungan gizi tempe tak kalah dari daging sapi.

Berbagai restoran vegetarian di Jepang banyak menyajikan olahan tempe dengan berbagai bentuk olahan Jepang, seperti misoshiru tempe dan tempura tempe. Yang paling terkenal adalah burger tempe.

Mereka memperkenalkan tempe dengan semboyan Makanan enak belum tentu menyehatkan, makanan tidak enak bisa menyehatkan. Tetapi, makanan enak dan menyehatkan adalah tempe! Terberitakan pula sebuah perusahaan kosmetik memproduksi bahan kecantikan dengan jamur hasil fermentasi tempe ke dalam kapsul yang konon bisa menghaluskan kulit.

Soal hak paten yang pernah jadi pergunjingan di negara kita bahwa tempe diklaim Jepang, Rustono menjelaskan, Ah, itu kesalahpahaman. Bagaimana kita mematenkan tempe yang semua orang sampai di Amerika pun tahu tempe adalah makanan asli Indonesia. Apakah Jepang juga akan mematenkan sashimi atau sushi? Mereka hanya mematenkan olahan burgernya, bukan tempenya.

Editor : Edj

Sumber:

Link youtube : http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=yHm1ukruZ_s