Upload
sidikjari
View
40
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sdghsdghsdghsdghsdghsdghsdgh
Citation preview
REFERAT
REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR SUPRACONDILAR HUMERUS
DISUSUN OLEH:Ari Setiyo Sidik J 500 070 070
Iin Kusumawardana J 500 080 008
Iga Mapatda Wita J 500 080 103
PEMBIMBING:
dr. Siswarni, Sp. KFR
dr. Komang Kusumawati , Sp. KFR
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
RSO PROF. DR. R. SOEHARSO SURAKARTAFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA2013
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................... i
Lembar Persetujuan .......................................................................................... ii
Daftar Isi ........................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3
A. Definisi............................................................................................. 3
B. Anatomi ........................................................................................... 3
C. Etiologi ............................................................................................ 4
D. Mekanisme....................................................................................... 5
E. Klasifikasi ....................................................................................... 5
F. Gambar Klinik ................................................................................ 7
G. Tanda dan Gejala ............................................................................ 7
H. Penanganan Konservatif ................................................................. 8
I. Indikasi Operatif ............................................................................. 9
J. Fase Penyembuhan Fraktur ............................................................. 11
K. Probelematika Rehabilitasi Medik .................................................. 12
L. Rehabilitasi Medik pada Fraktur Suprakondiler Humerus ............. 17
M. Modalitas yang digunakan .............................................................. 17
N. Komplikasi ...................................................................................... 18
O. Prognosis ......................................................................................... 20
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 22
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Rumah Sakit merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan bagi
masyarakat dalam hal pengobatan, pencegahan, penyembuhan serta rehabilitasi
medik. Pelayanan pada Rumah Sakit berangsur - angsur semakin berkembang
seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Upaya pelayanan
kesehatan yang semula mengutamakan aspek pengobatan saja berangsur-angsur
berkembang dan mencakup upaya peningkatan (promotif), upaya pencegahan
(preventif), upaya penyembuhan (kuratif) dan upaya pemulihan (rehabilitaif)
(Garison, 1996).
Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak
dijumpai di pusat pelayanan kesehatan diseluruh dunia. Bahkan WHO telah
menetapkan dekade ini (2000 — 2010) menjadi dekade tulang dan persendiaan
(Anonim, 2009).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada
lengan bawah yang menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa
trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan
tulang klavikula atau radius distal patah (Sjamsuhidajat dan Wim de j ong, 2004).
Daerah suprakondiler humeri merupakan daerah yang relatif lemah pada
ekstremitas atas. Di daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus
menjadi pipih disebabkan adanya fossa olecranon di bagian posterior dan fossa
coronoid di bagian anterior. Maka mudah dimengerti daerah ini merupakan titik
lemah bila ada trauma didaerah siku. Terlebih pada anak-anak sering dijumpai
fraktur di daerah ini.
Fraktur suprakondiler humeri bukan hanya persoalan terputusnya
kontinuitas tulang dan bagaimana mengatasinya, akan tetapi harus ditinjau secara
keseluruhan dan harus diatasi secara simultan. Harus dilihat apa yang terjadi
secara menyeluruh, bagaimana, jenis penyebabnya, apakah ada kerusakan kulit,
1
pembuluh darah, syaraf, dan harus diperhatikan lokasi kejadian, waktu terjadinya
agar dalam mengambil tindakan dapat dihasilkan sesuatu yang optimal.
Tingkat gangguan akibat terjadinya fraktur seperti diatas dapat
digolongkan kedalam berbagai fase atau tingkat dari impairment atau sebatas
kelemahan misalnya : adanya nyeri, bengkak yang mengenai sampai
menyebabkan keterbatasan Lingkup Gerak Sendi (LGS), dan terjadi kelemahan
otot. Dampak lebih lanjut adalah adanya suatu bentuk functional limitation atau
fungsi yang terbatas, disamping itu akan timbul permasalahan berupa disabilitas
atau ketidakmampuan melakukan kegiatan tertentu seperti perawatan diri, seperti
berpakaian, mandi, ke toilet, dan sebagainya (Garison, 1996).
Dalam kasus ini peran Unit Rehabilitasi Medik sangat dibutuhkan dalam
menangani dan mengantisipasi timbulnya gangguan gerak fungsional pasca
dilakukannya tindakan medis terhadap pasien fraktur. Dalam penanganan
permasalahan gerak dan fungsi. Unit Rehabilitasi Medik bekerja secara team.
Anggotanya meliputi Dokter, Perawat, Okupasi terapi, Orthotik prostetik, dan
Pekerja sosial Medis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Pengertian fraktur menurut Dorland (1994) adalah suatu diskontinuitas
susunan tulang yang disebabkan karena trauma atau keadaan patologis,
sedangkan menurut Apley (1995) adalah suatu patahan pada kontinuitas
struktur tulang.
Fraktur suprakondiler humerus merupakan fraktur sepertiga distal
humerus tepat proksimal troklea dan capitulum humeri. Garis fraktur berjalan
melalui apeks coronoid dan fossa olecranon, biasanya fraktur transversal.
Merupakan fraktur yang sering terjadi pada anak-anak. Pada orang dewasa,
garis fraktur terletak sedikit lebih proksimal daripada fraktur suprakondiler
pada anak dengan garis fraktur kominutif, spiral disertai angulasi (Graham;
Salomon, 1995).
B. ANATOMI
Sendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura
trochlearis ulnae dan caput radii. Sendi siku dilalui oleh beberapa bangunan, di
sebelah anterior terdapat muskulus brachialis, tendo muskulus biceps, nervus
medianus dan arteri brachialis. Di sebelah posterior terdapat muskulus biceps
dan bursa minor. Nervus ulnaris terdapat di sebelah medial dan tendo muskulus
ekstensor communis dan muskulus supinator terletak di lateral.
Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang
tersebut kurang kuat dibanding tempat lain karena adanya fossa koronoid, fossa
olekranon dan fossa radii. Kolum medial suprakondilar lebih tipis dan
substansi tulang kurang bila dibanding dengan kolum lateral suprakondilar.
Sendi siku mampu untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi, dimana
gerakan fleksi dilakukan oleh muskulus brachialis, muskulus biceps, muskulus
brachioradialis dan muskulus pronator teres. Sedangkan gerakan ekstensi
dilakukan oleh muskulus triceps dan muskulus anconeus.
3
Dari proyeksi anteroposterior (AP), perlu dinilai sudut yang di bentuk
oleh garis longitudinal humeri dan garis yang melalui koronal kapitulum
humeri, sudut ini disebut sudut bowman. Normal didapatkan sudut bowman
sebesar 800 - 890, bila didapatkan sudut ini kurang dari 50 ", dikatakan bahwa
posisi tulang tersebut tidak aceptable. Sudut yang lain yaitu sudut antara
diaphisis dan metaphisis sebesar 90 derajat.
Proyeksi lateral, normal didapatkan garis antero humeral akan melewati
pusat osifikasi pada kondilus humeri dan bagian distal dari kondilus akan
membentuk sudut ke anterior sebesar 40°.
C. ETIOLOGI
Penyebab fraktur adalah trauma. Trauma ini dibagi menjadi dua,
trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung berarti benturan
pada tulang dan mengakibatkan fraktur ditempat itu. Sedangkan trauma tidak
langsung bilamana titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjatuhan
(Reksoprodjo, 1995).
Teardrop
4
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur
transversal dan kemsakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai
dengan penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif
diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas. Trauma tidak
langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan jaringan
sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan
tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang
disebabkan oleh karena trauma yang berulang. Selain trauma, adanya proses
patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit Paget dengan energi
yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal
tersebut belum tentu menimbulkan fraktur (Anonim, 2009).
D. MEKANISME
Pergeseran posterior menunjukkan cidera yang luas, biasanya akibat
jatuh pada tangan yang terentang. Humerus patah tepat diatas kondilus.
Fragmen distal terdesak kebelakang dan (karena lengan bawah biasanya dalam
pronasi) terpuntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi
menyodok jaringan lunak ke bagian anterior, kadang-kadang menciderai arteri
brachialis atau sarafmedius.
Pergeseran anterior yang jauh lebih jarang terjadi diperkirakan akibat
benturan langsung (misalnya jatuh pada siku) saat siku dalam keadaan fleksi
(Graham; Salomon, 1995).
E. KLASIFIKASI
Berdasarkan mekanisme trauma ada 2 mekanisme terjadinya fraktur
yang menyebabkan dua macamjenis fraktur suprakondiler yang terjadi:
a. Tipe Ekstensi
Apabila melibatkan sendi, fraktur suprakondiler tipe ekstensi
diklasifikasikan sebagai: fraktur transkondiler atau interkondiler. Fraktur
terjadi akibat hyperextension injury (outstreched hand) gaya diteruskan
melalui elbow joint, sehingga terjadi fraktur proksimal terhadap elbow
5
joint. Fragmen ujung proksimal terdorong melalui periosteum sisi anterior
di mana m.brachialis terdapat, ke arah a-brachialis dan n.medianus.
Fragmen ini mungkin menembus kulit sehingga terjadi fraktur terbuka.
Pada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi
dibagi berdasarkan derajat pergeseran fragmen distal terhadap fragmen
proksimal.
Gartland (1959), membagi 3 Type :
I. Undisplaced or minimally displaced
• IA : non displaced
• IB : medial impaction
Pada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen,
kadang kala garis fraktur sukar dilihat pada gambaran radiologis.
II. Displaced with angulasi and rotation
• IIA : posterior angulasi
• IIB : malrotation with or without posterior angulation.
III. Displaced complete
• IIIA : fragmen distal ke arah posteriormedial
• IIIB : fragmen distal ke arah posteriorlateral
b. Tipe fleksi (jarang terjadi)
Trauma terjadi akibat trauma langsung pada aspek posterior elbow dengan
posisi fleksi. Hal ini menyebabkan fragmen proksimal menembus
m.tendon triceps dan kulit.
Klasifikasi fraktur suprakondiler humeri tipe fleksi juga dibuat atas dasar:
derajat displacement.
• Tipe I undisplaced
• Tipe II partially displaced
• Tipe III completely displaced
6
F. GAMBARAN KLINIK
Setelah jatuh, pasien merasa nyeri dan siku bengkak; namun
deformitas-S pada siku biasanya jelas dan kontur tulang abnormal. Nadi perlu
diraba dan sirkulasi periu diperiksa, dan tangan hams diperiksa untuk mencari
bukti cedera saraf
SinarX
Fraktur teriihat paling jelas dalam foto lateral. Pada frktur yang
bergeser ke posterior yang sering ditemukan, garis fraktur berjalan secara
oblik ke bawah dan kedepan dan fragmen distal bergeser kebelakang dan
bergeser ke anterior garis fraktur bersifat oblik dan lebih rendah di posterior,
fragmen miring ke depan.
Foto anteroposterior sering sulit diperoleh tanpa menyebabkan nyeri.
Foto pada posisi ini dapat membuktikan bahwa fragmen distal bergeser atau
miring ke samping dan berotasi (biasanya ke medial). (Graham; Saalomon,
1995).
G. TANDA DAN GEJALA
Adapun tanda klinis saat sebelum operasi dan setelah operasi Pada
fraktur suprakondiler humerus yaitu
Tanda klinis saat terjadi fracture suprakondiler humerus antara lain:
Tanda gejala klinis sebelum operasi adalah : (1) adanya rasa nyeri pada
sepertiga distal humerus (2) adanya oedema, (3) adanya penurunan
lingkup gerak sendi elbow (4) terganggunya aktivitas fungsional (seperti
menulis, makan, dll).
Tanda klinis setelah operasi
Pada kasus fraktur suprakondiler humerus yang telah dilakukan tindakan
ORIF dengan pemasangan plate and screw maka akan memberikan gejala:
a. Adanya nyeri
Nyeri ini timbul dapat berupa nyeri tekan, gerak dan diam. Hal ini
diakibatkan karena rangsangan respon sensoris tubuh oleh karena
7
kerusakan jaringan dan juga bisa terjadi karena penekanan syaraf
sensoris karena desakan jaringan yang membengkak.
b. Adanya bengkak
Sebagai akibat dari pecahnya pembuluh darah arteri dari operasi,
sehingga akan terjadi pembesaran plasma darah balik yang berlebihan
dan sebagai akibatnya yaitu ketidakseimbangan pengangkutan darah
balik dengan darah yang merembes keluar.
c. Penurunan Lingkup Gerak Sendi.
Penurunan LGS sendi siku disebabkan oleh adanya reaksi proteksi,
yaitu penderita berusaha menghindari gerakan yang menyebabkan
nyeri (Mardiman dkk, 1993). Apabila hal ini dibiarkan terus menerus
akan mengakibatkan penurunan lingkup gerak daripada sendi siku dan
sendi bahu.
d. Penurunan kekuatan otot
Penurunan kekuatan otot terjadi karena adanya pembengkakan
sehingga timbul nyeri dan keterbatasan gerak serta aktifitas terganggu
dan terjadi penurunan kekuatan sendi siku
Penurunan kemampuan fungsional Akibat dari adanya nyeri dan
oedem maka jaringan yang meradang dapat kehilangan fungsinya.
Setiap sendi di sekitar area radang yang digerakkan, maka akan timbul
nyeri gerak sehingga pasien enggan menggerakkan sendi tersebut yang
berakibat terjadinya gangguan fungsi (Appley, Graham, Solomon,
1995).
H. PENANGANAN KONSERVATIF
Penanggulangan konservatif fraktur suprakondiler humerus
diindikasikan pada anak undisplaced/ minimally dispaced fractures atau pada
fraktur sangat kominutif pada pasien dengan lebih tua dengan kapasitas fungsi
yang terbatas. Pada prinsipnya adalah reposisi dan immobilisasi. Pada
undisplaced fracture hanya dilakukan immobilisasi dengan elbow fleksi selama
tiga minggu.
8
Apabila pembengkakan tidak hebat dapat dicoba dilakukan reposisi
dalam narkose umum. Penderita tidur terientang, dalam posisi ekstensi,
operator menekuk bagian distal, menarik lengan bawah dengan siku pada
posisi ekstensi, sedang asisten menahan bagian proksimal, memegang lengan
atas pada ketiak pasien. Setelah tereposisi, perlahan-lahan sambil tetap menarik
lengan bawah siku difleksikan ambil diraba a. Radialis. Gerakan fleksi
diteruskan sampai a. radialis mulai tidak teraba, kemudian diekstensi siku
sedikit untuk memastikan a. radialis teraba lagi. Fleksi maksimal akan
menyebabkan tegangnya otot triseps, dan ini akan mempertahankan reposisi
lengan baik. Dalam posisi ini dilakukan immobilisasi dengan gips spalk
(posterior splint).
Pemasangan gips dilakukan dengan lengan bawah dalam posisi pronasi
bila fragmen distal displaced ke medial dan dalam posisi supinasi bila fragmen
distal displaced ke arah lateral.
Bila reposisi berhasil biasanya dalam 1 minggu perlu dibuat foto
rontgen kontrol, karena dalam 1 minggu bengkak akibat hematom dan oedem
telah berkurang dan menyebabkan kendomya gips, yang selanjutnya dapat
menyebabkan terlepasnya reposisi yang telah tercapai. Kalau dengan
pengontrolan radiologi haslinya sangat baik, gips dapat dipertahankan dalam
waktu 3 minggu. Setelah itu gips diganti dengan mitela dengan maksud agar
pasien bisa melatih gerakan fleksi ekstensi dalam mitela. Umumnya
penyembuhan fraktur suprakondiler ini berlangsung cepat dan tanpa gangguan.
Bila reposisi gagal, atau bila terdapat gejala Volkmann Ischemia atau
lesi saraf tepi, dapat dilakukan tindakan reposisi terbuka secara operatif dan
dirujuk ke dokter spesialis orthopedi. (Anonim, 2009)
I. INDIKASI OPERASI
a. Displaced fracture
b. Fraktur disertai cedera vaskular
c. Fraktur terbuka
9
d. Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler sering
kali menghasilkan fragmen distal yang komunitif dengan garis patahnya
berbentuk T atau Y. Untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan
tindakan operas! yaitu reposisi terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan
fiksasi yang rigid.
J. FASE PENYEMBUHAN FRAKTUR
Pada kasus fraktur untuk mengembalikan struktur dan fungsi tulang
secara cepat maka perlu tindakan operas! dengan imobilisasi (Apley, 1995).
Imobilisasi yang sering digunakan yaitu plate and screw. Pada kondisi fraktur
fisiologis akan diikuti proses penyambungan.
Proses penyambungan tulang menurut Apley (1995) dibagi dalam 5 fase, yaitu:
1) Fase hematoma
Fase hematoma terjadi selama 1-3 hari. Pembuluh darah robek dan
terbentuk hematoma di sekitar dan didalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat pesediaan darah akan mati
sepanjang satu atau dua milimeter.
2) Fase proliferasi
Fase proliferasi terjadi selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam
setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi dibawah
periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus ujung fragmen
dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma
yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang dalam daerah fraktur.
3) Fase pembentukan kalus
Fase pembentukan kalus terjadi selama 2—6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan
osteogenik jika diberikan tindakan yang tepat selain itu akan membentuk
tulang kartilago dan osteoklas. Massa tulang akan menjadi tebal dengan
adanya tulang dan kartilago juga osteoklas yang disebut dengan kalus.
10
Kalus terletak pada permukaan periosteum dan endosteom. Terjadi selama
4 minggu, tulang mati akan dibersihkan.
4) Fase konsolidasi
Fase konsolidasi terjadi dalam waktu 3 minggu - 6 bulan. Tulang fibrosa
atau anyaman tulang menjadi padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik
masih berlanjut maka anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar.
Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk menerobos melalui
reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Celah-celah diantara
fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan
sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal.
5) Fase remodelling
Fase remodelling terjadi selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah
dihubungkan oleh tulang yang padat, tulang yang padat tersebut akan
diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus lamelar akan
menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
dibentuk rongga sumsum dan akhimya akan memperoleh bentuk tulang
seperti normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa
tahun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara lain: usia
pasien, banyaknya displecement fraktur, jenis fraktur, lokasi fraktur, pasokan
darah pada fraktur, dan kondisi medis yang menyertainya (Garison, 1996).
K. PROBLEMATIKA REHABILITASI MEDIK
Problematika Rehabilitasi medik yang sering muncul pada pasca
operasi fraktur suprakondiler humerus meliputi impairment, functional
limitation dan disability.
a. Impairment
Problematika yang muncul antara lain:
1. Adanya oedem pada terjadi karena suatu reaksi radang atau respon tubuh
terhadap ciderajaringan.
11
2. Adanya nyeri gerak akibat luka sayatan operasi yang menyebabkan
ujung - ujung saraf sensoris teriritasi dan karena adanya oedem pada
daerah sekitar fraktur.
3. Penurunan luas gerak sendi ankle karena adanya nyeri dan oedem pada
daerah sekitar fraktur.
4. Adanya penurunan kekuatan otot karena nyeri
b. Functional limitation
Pada functional limitation terdapat keterbatasan aktifitas fungsional
terutama dalam melakukan aktivitas fungsional
c. Disability
Disability merupakan ketidakmampuan dalam melaksanakan kegiatan yang
berhubungan dengan lingkungan disekitamya yaitu kesulitan dalam
melakukan aktivitasnya.
L. REHABILITASI MEDIK PADA FRAKTUR SUPRACONDILER
HEMERUS
a. Terapi latihan (Therapeutic exercise) merupakan salah satu modalitas
rehabilitasi medik yang pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh baik
secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas,
stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional
(Kisner, 1996). Menurut Kisner, ada lima bentuk terapi latihan, antara lain:
Static contraction
Static contraction adalah suatu terapi latihan dengan cara
mengkontraksikan otot tanpa disertai perubahan panjang olot maupun
pergerakan sendi (Kisner, 1996). Tujuan dari kontraksi isometris atau
static contraction adalah pumping action pembuluh darah balik, yaitu
terjadinya peningkalan perifer resistance of blood vessels. Dengan
adanya hambatan pada perifer maka akan didapatkan peningkatan
blood pressure dan secara otomatis cardiac output meningkat sehingga
mekanisme metabolisme menjadi lancar dan sehingga oedem menjadi
12
menurun. Karena oedem menurun maka tekanan ke serabut saraf
sensoris juga menurun sehingga nyeri berkurang (Kisner, 1996).
Relaxed passive exercise
Gerakan murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari
anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara
pasif, oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga
dengan gerak relaxed pasive exercise ini diharapkan otot menjadi
rileks dan menyebabkan efek pengurangan atau penurunan nyeri akibat
incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak serta menjaga
elastisitas otot (Kisner, 1996).
Hold relax
Hold relax merupakan teknik latihan yang menggunakan kontraksi otot
secara isometric kelompok antagonis yang diikuti rileksasi kelompok
otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition). Hold relax bermanfaat
untuk rileksasi otot - otot dan menambah LGS (Kisner, 1996).
Active exercise
Active exercise merupakan gerakan yang dilakukan oleh adanya
kekuatan otot dan anggota tubuh itu sendiri tanpa bantuan, gerakan
yang dihasilkan oleh kontraksi dengan melawan gravitasi penuh
(Basmanjian, 1978). Active exercise dilakukan secara sadar dengan
adanya kontraksi aktif dari anggota tubuh itu sendiri. Active exercise
mempunyai tujuan (1) memelihara dan meningkatkan kekuatan otot,
(2) mengurangi bengkak, (3) mengembalikan koordinasi dan
keterampilan motorik untuk aktivitas fungsional (Kisner, 1996).
Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise dan
resisted active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi nyeri
karena merangsang rileksasi propioceptif. Resisted active exercise
dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan ini akan
meningkatkan recruitment motor unit-motor unit sehingga akan
semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat
dilakukan dengan peningkatan secara bertahap beban atau tahanan
13
yang diberikan dengan penurunan frekuensi pengulangan (Kisner,
1996).
Tujuan utama dari terapi latihan (Therapeutic exercise) adalah
mengembalikan fungsi, gerakan, kekuatan otot, dan daya tahan tubuh
(endurance) ke tingkat semula ( saat sebelum terjadi trauma) (Thomas,
1999).
Otot yang tidak digunakan akan terjadi atropi dan kehilangan
kekuatan dengan rata-rata 5 % per hari sampai dengan 8 % per
minggunya. Dengan dilakukannya imobilisasi, maka akan terjadi atropi
serabut otot pada kedua tipe serabut otot tersebut yaitu slow-twitch (tipe
satu) dan fast-twitch (tipe dua). Atropi serabut otot fast-twitch tampak
dengan hilangnya kekuatan dari otot tersebut. Sedangkan atropi serabut
otot low-twitch tampak dengan hilangnya daya tahan (endurance) dari otot
tersebut. Kekuatan otot artinya kemampuan otot berkontraksi melawan
tahanan. Prinsip dasar dari latihan kekuatan otot adalah menggunakan
tahanan dan kontraksi berulang untuk menaikkan kemampuan dari
keseluruhan motor unit otot. Endurance adalah kemampuan untuk
melakukan gerakan secara berolang-ulang. Cara latihannya adalah dengan
melakukan gerakan berulang sampai terjadi kelelahan otot (overload)
(Thomas, 1999).
b. Range of Motion (lingkup Gerak Sendi)
Gerakan sebuah send! dengan jangkauan Range of Motion (ROM) parsial
atau penuh yang mana gerakan ROM ini bertujuan untuk menjaga atau
meningkatkan jangkauan dari sebuah sendi. ROM merupakan tipe latihan
dasar yang terbanyak digunakan pada kasus-kasus rehabilitasi fraktur.
ROM dapat dilakukan secara penuh (anatomik) atau fungsional (gerakan
untuk melakukan aktivitas khusus).
Berikut ini macam-macam bentuk dari ROM :
ROM penuh (full ROM)
14
ROM penuh artinya ROM yang sesuai dengan dasar anatomi dari sendi
itu sendiri. contohnya lutut yang mempunyai ROM 0 sampai dengan
120 derajat.
ROM fungsional
ROM fungsional adalah gerakan sendi yang diperlukan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari atau kegiatan pasien yang spesifik.
Contohnya : ROM lutut dari ekstensi penuh (0 derajat) sampai fleksi
90 derajat merupakan ROM yang tidak penuh, tetapi ROM ini
fungsional untuk duduk.
ROM aktif
Pasien disuruh melakukan gerakan sendi secara parsial atau penuh
tanpa bantuan orang lain. Tujuannya memelihara ROM dan kekuatan
minimal akibat kurang aktivitas dan menstimulasi sistem
kardiopulmoner. Sasarannya otot dengan kekuatan poor sampai
dengan good (2 sd 4).
ROM aktifassistive
Pada latihan ini, pasien disuruh kontraksikan ototnya untuk
menggerakkan sendi, dan ahli terapi membantu pasien dalam
melakukannya.
ROM pasif
Latihan ini dengan menggerakkan sendi tanpa kontraksi otot pasien.
Seluruh gerakan dilakukan oleh dokter atau terapis. Tujuannya
memelihara mobilitas sendi ketika kontrol dan otot-otot volunter /
sendi hilang atau pasien tidak sadar / tidak ada respon. Sasarannya otot
dengan kekuatan zerro - trace (0-1).
Meskipun fraktur tidak kompleks dengan tanpa gangguan
neurologis, otot-otot di sekitar bagian fraktur lemah, biasanya karena
trauma langsung sekunder, imobilisasi, atau reflek inhibisi. Di bawah ini
tabel mengenai derajat kekuatan otot.
15
Tabel 1. Derajat kekuatan otot
Derajat Otot Deskripsi
5 – Normal ROM penuh, mampu melawan gravitasi dengan tahanan
penuh
4 – Baik ROM penuh, mampu melawan gravitasi dengan tahanan
sedang
3 – Sedang ROM penuh, mampu melawan gravitasi dengan tahanan
minimal
2 – Jelek ROM penuh, tanpa melawan gravitasi
1 – Trace Kontraksi ringan, tanpa gerakan sendi
0 – zerro Tiada ada kontraksi otot
(Thomas, 1999)
c. Latihan Kekuatan (strengthening exercise)
Syarat dalam melakukan latihan ini adalah (1) kekuatan otot di atasfair (F
= 50 %) dan (2) beban di atas 35 % dari kemampuan otot. Ada 3 macam
latihan kekuatan ini,antara lain:
Isometric exercise
Pada latihan ini, panjang otot tidak bertambah. Terjadi kontraksi otot
tanpa pergerakan sendi. Latihan kekuatan ini sangat bermanfaat untuk
menjaga atau meningkatkan penguatan otot ketika ada kontraindikasi
lain seperti fraktur yang tidak stabil atau adanya nyeri. Kontraksi
optimal 6 detik, 1 kali per hari. Waspada pada kasus hipertensi dan
penyakitjantung koroner. Latihan ini digunakan pada rehabilitasi tahap
awal.
Isokinetic exercise
Pada latihan ini kecepatan gerakan sendi konstan. Beban dinamis
(beban bisa optimal) tetapi kecepatan gerak tetap. Pada latihan ini
memerlukan alat khusus cybex (dinamometer). Latihan ini di gunakan
16
pada rehabilitasi tahap akhir, ketika sudah terjadi kestabilan yang baik
pada bagian fraktur.
Isotonic exercise
Isotonic exercise merupakan latihan dinamis menggunakan beban
statis, tetapi kesepatan gerakan tidak dikontrol. Kontraksi otot
bersamaan dengan gerak sendi. Latihan ini sering digunakan untuk
meningkatkan kekuatan pada tahap pertengahan dan tahap akhir dari
rehabilitasi fraktur (Thomas, 1999).
M. MODALITAS YANG DIGUNAKAN
Modalitas pengobatan terapi fisik seperti panas dan dingin, hydrotherapy,
fluidotheraphy, dan electrical stimulation) sering digunakan setelah terjadi
suatu fraktur untuk mengurangi ketidaknyamanan dan meningkatkan terapi
latihan.
a. Terapi Panas
Terapi panas meningkatkan sirkulasi lokal dan regional,
mengurangi viskositas jaringan, dan meningkatkan elastisitas kolagen.
Terapi ini juga mengurangi spasme otot dan reseptor nyeri perifer. Kontra
indikasi dari terapi ini adalah pada kasus radang akut, trauma akut,
gangguan vaskuler malignansi, penyakit jantung koroner bayi dan orang
sangat tua.
Pada pasien dengan fraktur supracondiler humeri terapi panas yang
disarankan adalah dengan menggunakan sinar Infra Red. Penyinaran infra
merah merupakan salah satu cara efektif untuk mengurangi nyeri. Hal ini
karena: Bila diberikan mild heating : pengurangan nyeri karena efek
sedatif superfisial sensory nerve ending (ujung saraf sensorik superfisial).
Bila diberi stronger heating : akan terjadi counter irritation yang pada
akhimya menurunkan nyeri. Karena nyeri timbul akibat akumulasi sisa
metabolisme yang disebut substansi P maka dengan meningkatnya
metabolisme dan sirkulasi darah, substansi p tersebut akan dibuang.
17
Relaksasi otot akan mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan
hangat dan tidak merasa nyeri. Peningkatan temperature akan diikuti oleh
vasodilatasi yang akan menyebabkan peningkatan suplay darah ke area
yang bersangkutan. Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan
glandula gudofera (kelenjar keringat) di seluruh tubuh, dengan demikian
akan meningkatkan pembuangan sisa-sisa metabolism melalui keringat.
b. Terapi Dingin
Diterapkan dengan pemakaian ice pack atau jenis cold pack lain
atau penggunaan vapocoolant spray dengan evaporasi merupakan alat
yang sering digunakan pada tahap awal dari rehabilitasi fraktur sebagai
analgesia dan kontrol edema setalah cidera. Dingin menghasilkan efek
mati rasa yang disebabkan berkurangnya hantaran receptor perifer,
termasuk receptor nyeri.(Thomas, 1999).
c. Modalitas Elektrik
Stimulasi elektrik menjadi bagian dari program penguatan setelah
proses penyembuhan fraktur khususnya ketika pasien merasa cemas
karena terganggunya kontraksi otot tubuh. Stimulasi galvanic tegangan
tinggi bermanfaat mengurangi spasme otot, dan meningkatkan ROM
setelah pelepasan gips (Thomas, 1999).
N. KOMPLIKASI
Komplikasi umum post operasi
1. Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa
internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi
karena luka yang tidak steril (Adams, 1992).
2. Delayed union
18
Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang
tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak
tercukupinya peredaran darah ke fragmen (Adams, 1992).
3. Non union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5
bulan mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan
pergerakan pada tempat fraktur (Garrison, 1996).
4. Avaskiller nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya
defisiensi suplay darah (Apley, 1995).
5. Mal union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar
seperti adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan
Pada fraktur suprakondiler tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi
cedera pembuluh darah dan saraf.
1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya
volkman's iskemik. Kelainan ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan
saraf tanpa disertai ganggren perifer. Gejala dari volkman's iskemi adanya
pain, pallor, hilangnya pulsus, parestesi dan paralysis.
2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis,
nervus median dan nervus ulna.
3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena manipulasi
yang berlebihan atau terjadi pada reposisi terbuka yang terlambat
dilakukan.
4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya terjadi
kubitus varus, disebabkan reposisi yang tidak adekuat.
Sedangkan pada fraktur suprakondiler tipe fleksi
1. Cedera nervus ulna merupakan komplikasi yang sering terjadi.
2. Malunion dapat juga terjadi pada fraktur ini yaitu terjadi kubitus varus.
19
Iskemik Volkman : klinis 5P
1. Pulseless (denyut nadi lemah -hilang )
2. Pallor (wama biru / pucat)
3. Pain
4. Paresthesia (rasa tebal)
5. Parese atau Paralise (kekuatan otot lemah sp lumpuh)
Kontraktur Volkman
Akibat musculus Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous.
Jari-jari posisi fleksi: Claw Hand
O. PROGNOSIS
Prognosis dikatakan baik jika penderita secepat mungkin dibawa ke
rumah sakit sesaat setelah terjadi trauma, kemudian jenis fraktur yang diderita
ringan, bentuk dan jenis perpatahan simple, kondisis umum pasien baik, usia
pasien relative muda, tidak terdapat infeksi pada fraktur dan peredaran darah
lancar. Penanganan yang diberikan seperti operasi dan pemberian internal
fiksasi juga sangat mempengaruhi terutama dalam memperbaiki struktur
tulang yang patah. Setelah operasi dengan pemberian internal fiksasi berupa
plate and screw, diperlukan terapi latihan untuk mengembalikan aktivitas
fungsionalnya. Pemberian terapi latihan yang tepat akan memberikan
prognosis yang baik bilamana (1) quo ad vitam baik jika pada kasus ini tidak
mengancam jiwa pasien, (2) quo ad sanam baik jika jenis perpatahan ringan,
usia pasien relative muda dan tidak ada infeksi pada fraktur, (3) quo ad
fungsionam baik jika pasien dapat melakukan aktivitas fungsional, (4) quo ad
cosmeticam yang disebut juga dengan proses remodeling baik jika tidak terjadi
deformitas tulang. Dalam proses rehabilitasi, peran fisioterapi sangat penting
terutama dalam mencegah komplikasi dan melatih aktivitas fungsionalnya
(Soeharso, 1982).
20
BAB III
PENUTUP
Fraktur suprakondiler humeri bukan hanya persoalan terputusnya
kontinuitas tulang dan bagaimana mengatasinya, akan tetapi harus ditinjau secara
keseluruhan. Harus diperhatikan secara menyeluruh, bagaimana, jenis
penyebabnya, apakah ada kerusakan kulit, pembuluh darah, syaraf, dan harus
diperhatikan lokasi kejadian, waktu terjadinya agar dalam mengambil tindakan
dapat dihasilkan sesuatu yang optimal.
Tingkat gangguan akibat terjadinya fraktur seperti mi dapat digolongkan
kedalam berbagai fase atau tingkat dari impairment, functional limitation hingga
masalah disabilitas (Garison, 1996).
Penanganan yang diberikan seperti operasi dan pemberian internal fiksasi
juga sangat mempengaruhi terutama dalam memperbaiki struktur tulang yang
patah. Setelah operasi dengan pemberian internal fiksasi berupa plate and screw,
diperiukan terapi latihan untuk mengembalikan aktivitas fungsionalnya.
Rehabilitasi medic pada fraktur suprakondiler humerus ini dapat berupa
terapi latihan (Therapeutic exercise} yang pelaksanaannya menggunakan gerak
tubuh baik secara aktif maupun pasif untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan,
ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas,
rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional. Exersice dari
Range of Motion (lingkup Gerak Sendi) yang bertujuan untuk menjaga atau
meningkatkan jangkauan dari sebuah sendi. Serta latihan kekuatan (strengthening
exercise) untuk menambah kekuatan otot (Kisner, 1996).
21
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Ilmu Bedah. http://www.bedahugm.net/fraktur/
Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition, Churchill Livingstone.
Appley, A. Graham, Louis Solomon, 1995; Terjemahan Ortopedi, dan Fraktur Sistem Appley; Edisi Ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
Basmajian, John, 1978; Therapeutic Exercise.; Third edition. The William and Wilkins, London.
Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik; Terjemahan Hipocrates, Jakarta.
Hoppenfeld, Murthy and Thomas 1999; Gait in Book of Treatment and Rehabilitation ofFraktures. Philladelphia.
Kisner, Carolyn and Lynn Callby, 1996; Therapeutic Exercise Fundation and Techniques: Third edition, FA. Davis Company, Philadelphia.
Reksoprodjo, 1995; Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah ; Cetakan ke :1, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Sjamsulhidayat dan Wim de Jong, 2004; Buku Ajar Ilmu Bedah; Edisi 2, EGC. Jakarta.
Thomas, 1999; Therapeutic Exersice and Range of Motion in Book of Treatment and Rehabilitation ofFraktures. Philladelphia.
22