78
Pendahuluan Dewasa ini, diakui atau tidak, Jepang adalah salah satu negara adi daya dalam bidang ekonomi, industri, keuangan, dan teknologi. Bahkan boleh dikatakan, tidaklah berlebihan bila negara ini juga dianggap memiliki kekuatan militer terbesar dalam masyarakat dunia internasional. Dengan kekuatan tersebut, Jepang akan mampu mempengaruhi kondisi dan situasi dari lingkungannya, tidak saja negara tetangga, tapi juga kawasan, baik yang dekat, maupun yang jauh. Apa yang dicapai Jepang menjadi sesuatu yang diimpikan oleh negara lain; dia menjadi simbol bagi suatu negara yang ingin membangun perekonomian nasionalnya; Jepang mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi negara yang ingin kebudayaan nasionalnya tidak punah akibat pengaruh luar. Pendek kata, Jepang adalah sosok dari negara yang perlu ditiru oleh negara lain kalau ingin maju. Langkah untuk meniru bagaimana caranya Jepang sebagai satu negara dapat mencapai kondisi seperti saat ini nampaknya sedang giat-giatnya dilakukan oleh banyak negara, terutama di Asia. Singapura mampu menjadi salah satu “macan” Asia setelah melakukan langkah “Learn From Japan”; Malaysia mulai tinggal landas menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia setelah melakukan kebijakan “Look East Policy” di awal 80-an; Thailand memiliki Pusat Pengkajian Jepang untuk meneliti Jepang khususnya dalam bidang kebudayaan dan peradabannya); tidak juga ketinggalan Indonesia, dengan Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia nya dapat dijadikan sebagai indikasi adanya upaya untuk mengenal lebih jauh model yang dijalankan Jepang dalam melakukan pembangunan nasionalnya. Salah satu cara yang dilakukan Jepang adalah dengan menciptakan adanya kesamaan persepsi dari seluruh lapisan masyarakat bangsanya dalam melihat apa yang terbaik bagi mereka. Kesamaan persepsi ini terlihat dalam kebijakan yang diambil oleh negarawan Meiji ketika merumuskan kebijakan nasionalnya pada tahun 1868. Dari Wakon Kansai Ke Wakon Yosai Awal abad 17, tepatnya tahun 1602, Imperialisme Barat (dalam hal ini bangsa Belanda) mendirikan Kongsi Dagangnya (VOC) di Batavia. Pada tahun yang sama, di Jepang, pemerintahan militer Tokugawa di Edo, Tokyo sekarang, yang saat itu berpenduduk 1 - 1,5 juta jiwa (bandingkan dengan London atau Paris yang hanya 860 dan 650 ribu jiwa) melaksanakan kebijakan sakoku (politik pintu tertutup). Kebijakan politik pintu tertutup ini pada awal

sejarah jepang kontemporer1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Membahas sejarah jepang

Citation preview

Bab I

PAGE 6

Pendahuluan

Dewasa ini, diakui atau tidak, Jepang adalah salah satu negara adi daya dalam bidang ekonomi, industri, keuangan, dan teknologi. Bahkan boleh dikatakan, tidaklah berlebihan bila negara ini juga dianggap memiliki kekuatan militer terbesar dalam masyarakat dunia internasional. Dengan kekuatan tersebut, Jepang akan mampu mempengaruhi kondisi dan situasi dari lingkungannya, tidak saja negara tetangga, tapi juga kawasan, baik yang dekat, maupun yang jauh.

Apa yang dicapai Jepang menjadi sesuatu yang diimpikan oleh negara lain; dia menjadi simbol bagi suatu negara yang ingin membangun perekonomian nasionalnya; Jepang mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi negara yang ingin kebudayaan nasionalnya tidak punah akibat pengaruh luar. Pendek kata, Jepang adalah sosok dari negara yang perlu ditiru oleh negara lain kalau ingin maju.

Langkah untuk meniru bagaimana caranya Jepang sebagai satu negara dapat mencapai kondisi seperti saat ini nampaknya sedang giat-giatnya dilakukan oleh banyak negara, terutama di Asia. Singapura mampu menjadi salah satu macan Asia setelah melakukan langkah Learn From Japan; Malaysia mulai tinggal landas menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia setelah melakukan kebijakan Look East Policy di awal 80-an; Thailand memiliki Pusat Pengkajian Jepang untuk meneliti Jepang khususnya dalam bidang kebudayaan dan peradabannya); tidak juga ketinggalan Indonesia, dengan Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia nya dapat dijadikan sebagai indikasi adanya upaya untuk mengenal lebih jauh model yang dijalankan Jepang dalam melakukan pembangunan nasionalnya.

Salah satu cara yang dilakukan Jepang adalah dengan menciptakan adanya kesamaan persepsi dari seluruh lapisan masyarakat bangsanya dalam melihat apa yang terbaik bagi mereka. Kesamaan persepsi ini terlihat dalam kebijakan yang diambil oleh negarawan Meiji ketika merumuskan kebijakan nasionalnya pada tahun 1868.

Dari Wakon Kansai Ke Wakon Yosai

Awal abad 17, tepatnya tahun 1602, Imperialisme Barat (dalam hal ini bangsa Belanda) mendirikan Kongsi Dagangnya (VOC) di Batavia. Pada tahun yang sama, di Jepang, pemerintahan militer Tokugawa di Edo, Tokyo sekarang, yang saat itu berpenduduk 1 - 1,5 juta jiwa (bandingkan dengan London atau Paris yang hanya 860 dan 650 ribu jiwa) melaksanakan kebijakan sakoku (politik pintu tertutup). Kebijakan politik pintu tertutup ini pada awal pelaksanaannya hanyalah berisi peraturan yang melarang orang Jepang pergi ke luar negeri, dan melarang orang asing datang ke Jepang. Tapi pada tahun 1635, aturannya menjadi lebih keras, melarang juga orang-orang Jepang yang berada di luar negeri untuk kembali ke Jepang. Dengan dilaksanakannya kebijakan sakoku yang berlangsung sampai tahun 1867, tidak berarti Jepang kehilangan kontak dengan Barat yang sudah maju akibat revolusi industri. Informasi mengenai perkembangan yang terjadi di luar Jepang masih bisa dikuasai dengan baik oleh penguasa militer Tokugawa melalui sebuah pulau kecil, Dejima, Nagasaki, yang memang diplot sebagai tempat untuk melakukan transaksi dagang dengan Belanda dan Cina. Dari orang-orang Belanda inilah (baik yang pedagang, maupun informan Tokugawa) informasi berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa bisa dimiliki Jepang, dan ilmu pengetahuan ini dikenal dengan nama rangaku (ilmu Belanda).

Semasa pelaksanaan politik pintu tertutup inilah rakyat Jepang yang sudah satu bahasa, bahasa Jepang, berusaha menciptakan Jepang sebagai satu bangsa dan satu tanah air. Berangkat dari keinginan untuk menciptakan Jepang yang kuat, maka semboyan Wakon Kansai yang berarti Spirit Jepang, Teknologi Cina, yang dianut Jepang sejak periode kuno mulai ditinggalkan. Penyebabnya tidak lain karena Cina sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai soko guru yang harus selalu diikuti dan ditiru, dia sudah menjadi vasal Barat (Amerika, Inggris, Perancis, dan Jerman).

Karena ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai Barat, maka semboyan yang dikumandangkan adalah Wakon Yosai atau Spirit Jepang, Teknologi Barat. Motivasi untuk bisa setara dengan Barat ini semakin kuat dirasakan rakyat Jepang pada saat akan berakhirnya pemerintahan militer Tokugawa (bakumatsu) di tahun 1853, ketika Commodore Matthew Perry dengan armada lautnya (kurofune-kapal hitam) mendarat di Uraga (teluk Tokyo), dan memaksa Jepang untuk membuka pelabuhannya bagi kepentingan kapal-kapal Amerika Serikat yang akan menuju ke koloni mereka di Philipina, Cina dan Guam. Penguasa militer Tokugawa dan kaum intelektual Jepang menyadari bahwa sekali mereka memberikan kesempatan kepada kapal-kapal Amerika untuk mendarat di pelabuhan Jepang, maka hal yang sama juga akan diminta oleh imperialis lainnya, seperti Inggris, Perancis, Rusia, Belanda, Jerman dan sebagainya. Kondisi seperti inilah yang terjadi ketika tahun 1854 Perry datang lagi dengan armada lautnya, Jepang dibuka secara paksa. Konsul Jenderal pertama Amerika Serikat pada waktu itu adalah Townsend Harris. Karena Amerika Serikat boleh, mengapa kami tidak, kata imperialis Barat lainnya. Maka berturut-turut, dibukalah pelabuhan Jepang bagi kapal-kapal Rusia, Perancis, Inggris dan lainnya.

Melihat kenyataan seperti ini, terbuka mata seluruh rakyat Jepang. Kita akan mengalami nasib seperti Hindia Belanda, Philipina, Malaya, Singapura, Cina, Vietnam. Harus ada yang dilakukan agar kita tidak menjadi koloni dari imperialis Barat. Debat dan pertikaian di antara rakyat Jepang, baik yang kontra, maupun yang pro membahas bagaimana dan dengan cara apa kelangsungan hidup bangsa bisa dipertahankan, mencuat ke permukaan. Rakyat Jepang yang progresif (diwakili oleh samurai muda dari empat han atau semacam propinsi militer yakni, Satsuma - sekarang Propinsi Kagoshima; Choshu - Yamaguchi; Hizen - Saga, dan Tosa - Kochi, keempat han ini disingkat SATCHOHITO dalam sejarah Jepang) menginginkan agar Jepang segera membuka negara secara resmi terhadap dunia luar; dan muliakan posisi Kaisar. Di lain pihak, rakyat Jepang yang konservatif(diwakili oleh pemerintahan militer Tokugawa menginginkan agar kebijakan politik pintu tertutup tetap dipertahankan, dan juga muliakan posisi Kaisar.

Melalui dialog intensif yang cukup panjang (14 tahun), maka rakyat Jepang pada tahun 1867 memiliki satu persepsi yang sama terhadap masa depan bangsanya. Jepang hanya akan bisa setara dengan imperialis Barat, bahkan bisa lebih, apabila ilmu dan teknologi yang dimiliki Barat bisa dikuasai. Untuk bisa menguasai ilmu dan teknologi Barat itu, perlu adanya kebijakan nasional yang dipahami oleh setiap individu rakyat Jepang. Untuk menciptakan kebijakan nasional tadi, harus dibentuklah suatu pemerintahan yang kuat, yang mampu menjalankan kebijakan nasional tadi menjadi kenyataan. Struktur pemerintahan yang ada tidak mendukung kemungkinan terciptanya apa yang ingin dicapai, jadi struktur yang saat ini ada harus diubah. Satu-satunya jalan adalah mengembalikan semua hak dan wewenang untuk memerintah kepada satu tangan, dan individu yang menjadi panutan untuk memangku jabatan tersebut adalah Kaisar.

Dipelopori oleh samurai muda terpelajar dari han SATCHOHITO seperti Saigo Takamori; Ito Hirobumi, Okuma Shigenobu, Okubo Toshimichi, Iwakura Tomomi, Kido Koin, Goto Shojiro, Eto Shinpei, Sakamoto Ryoma, Itagaki Taisuke dan lainnya, pada tanggal 3 Januari 1868, pemerintahan baru terbentuk. Kaisar Mutsuhito yang baru berusia 15 tahun naik tahta. Semua kebijakan yang berasal dari masa pemerintahan militer Tokugawa dinyatakan tidak berlaku. Masa pemerintahan Kaisar Mutsuhito dijadikan momentum bagi kemajuan Jepang, dan nama yang cocok untuk itu adalah Meiji(pencerahan).

Dengan menempatkan orang-orang muda yang terpelajar, berani, berdedikasi tinggi, dan berdisiplin dalam struktur pemerintahannya, Kaisar Mutsuhito mulai menjalankan misinya untuk menciptakan Jepang yang kuat. Kebijakan nasional yang ingin dicapai adalah FUKOKU KYOHEI (Negara Kaya, Militer Kuat). Untuk itu, diperlukan adanya tatanan politik, tatanan ekonomi, tatanan industri yang mendukung tercapainya tujuan nasional tadi. Untuk menciptakan berbagai tatanan yang kuat ini, sangat dibutuhkan adanya sumber daya manusia yang trampil, kritis, berani, pandai, dan berdedikasi. Untuk menciptakan manusia seperti ini, satu-satunya cara hanyalah melalui pendidikan.

Menyadari bahwa pendidikan adalah penting(dalam pandangan kaum fungsionalis malah yang terpenting, faktor yang menentukan) dalam pembangunan nasional, pemerintah Jepang pada tahun 1872 membentuk kementerian Pendidikan. Setahun kemudian, pemerintah mulai berinisiatif untuk mengirim pemuda-pemuda yang terseleksi dengan ketat untuk belajar ilmu dan teknologi di Barat. Di lain pihak, pemerintah juga mendatangkan para pengajar yang berkualitas dari Barat. Kedua program yang dijalankan pemerintah ini sumbernya berasal dari dana nasional, oleh dana nasional, dan untuk nasional. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ini merupakan implementasi dari salah satu diantara 5 Sumpah Suci Kaisar(GO KAJO NO GO SEIMON) yang berbunyi sebagai berikut Pendidikan adalah penting bagi pembangunan nasional. Untuk itu, ilmu dan teknologi harus dituntut ke berbagai penjuru muka bumi demi kemajuan Jepang.

Hasil dari sebuah perencanaan yang baik berhasil dipetik Jepang dengan sukses. Gabungan dari mereka yang pulang dari luar negeri dengan yang belajar dari pengajar luar di dalam negeri, membuat Jepang di tahun 1880-an menjadi negara pertama di Asia yang memiliki UUD modern dalam bentuk yang sama dengan apa yang dimiliki oleh imperialis Barat. Jepang menjadi negara pertama di Asia yang mampu memiliki industri besi dan baja dengan mendirikan pabrik besi dan baja Yahata. Jepang menjadi negara pertama di Asia yang mampu membuat kapal tenaga uap dan listrik dengan kontruksi baja. Dengan kata lain, Jepang memang banyak menjadi yang pertama di Asia pada masa itu, dan satu hal yang perlu diketahui adalah, posisi Jepang pada akhir abad 19 sudah berada pada 5 besar dunia.

Pada saat suatu kegiatan yang diusahakan untuk mencapai tujuan nasional pada tahap tertentu sudah selesai dilaksanakan, dia perlu diuji. Apakah kebijakan nasional itu tercapai atau tidak. Bagi Jepang, meskipun mampu memproduksi berbagai komoditi yang bisa membuat mereka menjadi kaya, tapi secara ekonomi mereka dilarang memasarkan produksinya di daerah jajahan imperialis Barat. Hal ini tidak terlepas dari rasa keunggulan ras orang kulit putih atas ras lainnya, dan ini membuat Jepang sakit hati. Jepang hanya akan kaya(Fukoku), apabila produksi atas barang-barang yang dibuat bisa dipasarkan tidak hanya dalam negeri, tapi yang paling penting adalah bisa dijual di pasaran internasional. Apakah ada cara untuk bisa menjual produksi tersebut dipasaran dunia? Jawabannya adalah ada. Melakukan strategi seperti yang dijalankan oleh imperialis Barat, yakni, dengan kekuatan senjata.

Mencontoh pada Perancis dan Inggris untuk Angkatan Laut, pada Jerman untuk Angkatan Daratnya, Jepang berhasil memodernisasikan Angkatan Perangnya. Kyohei (militer kuat) kah Jepang, dia perlu diuji. Pengujiannya adalah dalam rangka membuat Jepang kaya. Negara pertama yang menjadi sasaran Jepang adalah Cina. Melalui sengketa Korea, pada tahun 1894-1895 Jepang membuka perang dengan Cina. Dengan tentara yang berdisiplin tinggi, terlatih baik, memiliki patriotisme yang kuat, memiliki persenjataan yang modern, Jepang dengan mudah mengalahkan Cina. Sebagai akibat dari perang ini Jepang memiliki hak atas Korea, memiliki hak untuk mengoperasikan jalur kereta api Manchuria Selatan, memiliki hak yang sama untuk berdagang di Cina seperti yang dimiliki imperialis Barat lainnya. Dari kejadian ini bisa kita lihat bahwa melalui perencanaan yang baik, dijalankan dengan baik, oleh orang-orang yang baik, diawasi dengan baik, maka FUKOKU KYOHEI sebagai kebijakan nasional Jepang membuahkan hasil.

Melihat hasil yang dicapai Jepang ini, imperialis Barat tidak senang. Rusia yang memang sejak masa lalu sudah menjadi musuh bagi Jepang berusaha menghasut Jerman dan Perancis untuk menghalangi Jepang dalam menggunakan jalur kereta Api Manchuria Selatan, dan hasutan ini berhasil. Intervensi tiga negara yang menghalangi apa yang menjadi hak Jepang berdasarkan konvensi sesama imperialis dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan. Rasa kebangsaan bangkit, musuh Jepang adalah Rusia, dan kita harus memperkuat diri dalam menghadapi perang yang akan datang. Hanya dalam jangka waktu 10 tahun setelah berakhirnya perang Jepang-Cina, ketika kemampuan dirasakan sudah memadai, tahun 1904-1905 Jepang kembali membuka perang melawan Rusia. Perang kali ini tidak sama seperti perang tahun 1894-1895, perang melawan Rusia adalah perang antara ras berwarna yang selama ini dianggap lemah melawan ras kulit putih yang unggul. Hasilnya adalah, Jepang keluar sebagai pemenang. Kemenangan yang dipetik Jepang atas Rusia, tidak saja membuat Jepang secara penuh berhak atas Manchuria Selatan dan Shakhalin, yang sangat penting bagi kesuksesan masa depan ekonomi mereka, tapi juga membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan rakyat Asia yang masih berada dalam belenggu imperialis Barat masa itu. Mulai saat kemenangan atas Rusia inilah Jepang secara penuh diterima sebagai anggota oleh imperialis Barat, dan tentu saja bertingkah laku sesuai dengan apa yang memang menjadi nilai dari imperialisme.

Belajar pada Jepang

Terlepas dari sikap dan tingkah laku yang Jepang jalankan saat ini, kita perlu banyak belajar pada mereka mengenai bagaimana usaha yang mereka jalankan sehingga bisa muncul sebagai negara yang maju. Beberapa faktor yang bisa diangkat ke permukaan sebagai indikator dari keberhasilan Jepang dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya adalah adanya kebijakan yang mandiri dari pemerintahan Meiji dalam melaksanakan program kerja; secara selektif dan ketat dalam menggunakan tenaga ahli luar negeri; menggunakan teknologi dan peralatan Barat sebagai pensupport proses mengajar dan belajar; memegang inisiatif dan kepemimpinan pada satu tangan; berkonsentrasi pada industri kunci yang dijalankan oleh masyarakat pribumi.

Kemandirian dalam menjalankan program kerja ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa Jepang memang berada pada situasi yang unik ketika memulai modernisasinya, yakni dia tidak tersentuh oleh adanya intervensi asing. Hal ini membuat Jepang mampu menjaga budaya nasional yang sangat diperlukan dalam upaya memodernisasikan negara. Sebab tak satu pun negara bisa maju apabila dia mengenyampingkan latar belakang budaya dan sejarahnya. Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang jauh dari perspektif sejarah bangsa yang bersangkutan adalah sama saja dengan sia-sia. Berangkat dari adanya budaya yang sama inilah, maka keterlibatan atau intervensi negara dalam proses pembangunan ekonomi dan industri di Jepang tidak bisa diragukan, malah, pada akhirnya yang saat menentukan.

Di pihak lain, kita tidak bisa mengenyampingkan peranan yang dimainkan oleh tenaga kerja asing dalam pembangunan nasional Jepang, namun tenaga ahli asing ini harus tetap di bawah kontrol pribumi Jepang. Bagaimana manusia Jepang menangani para tenaga kerja asing ini bisa dilihat dari pernyataan berikut:

To make sure that foreigners did not endanger the political and economic independence of Japan, the government reserved all the important positions for the indigenous people and made use of foreigners only as employees in the sense of servants. After completing their designated tasks, they were then dismissed, not uncommonly, in order to make room for other foreign specialists (Piper, 1976:168, dikutip dari Kyalo, Mativo, 1989:135, Ph.D Thesis).

Kondisi seperti inilah yang tidak dimiliki oleh kebanyakan negara Asia lainnya, hampir semua boleh dikatakan mengalami penjajahan Barat, dan saat ini pun kita melihat dengan jelas adanya peranan perusahaan multi-nasional asing dan intervensi langsung dari kekuatan asing terhadap negara dunia ketiga. Lebih buruk lagi situasinya, apabila pemerintah negara dunia ketiga mewakili kepentingan pihak lain yang tidak ada hubungannya, dan dalam banyak kasus malah berseberangan dengan kebutuhan yang sesungguhnya dari rakyat.

Pada banyak negara dunia ketiga, yang notabene adalah negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika kita lihat adanya rencana yang berskala nasional dalam konteks pembangun ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dijalankan setelah berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Namun, akibat kurangnya pengetahuan dari negara-negara ini dalam membuat cetak biru pembangunan nasionalnya, maka dengan mudah mereka jatuh ke dalam rangkulan negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya ketergantungan satu negara berkembang terhadap bantuan keuangan dari negara, baik itu mantan penjajahnya, maupun dari berbagai badan tinggi dunia lainnya. Pembangunan nasional suatu negara bagaimanapun tidak boleh atau tidak bisa dipaksakan oleh atau meniru pola yang datang dari luar negara bangsa yang bersangkutan. Sebab, jika pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi pengharapan rakyat, dia harus dicapai dengan tujuan dan melalui cara yang secara sadar dengan bebas dipilih oleh masing-masing komunitas masyarakat. kalaupun ada model pembangunan dari luar yang harus terpaksa untuk dijalankan, maka harus diperhatikan secara ketat dan selektif untuk menjamin bahwa alih pengetahuan, termasuk di sini alih ilmu sosial, alam, dan teknologi tidak akan mengganggu atau merusak tatanan dan kehidupan bagi perkembangan masyarakat pribumi itu sendiri.

Melihat apa yang telah Jepang jalankan di atas, ada yang rasanya perlu untuk dijawab oleh kita semua. Pertanyaan itu adalah Apakah ada kebijakan nasional yang mendasari kegiatan yang berskala nasional, misalnya pengiriman atau keberadaan karya siswa Indonesia di luar negeri? Kalau ada kebijakan nasional untuk hal yang satu ini, apakah dana yang dikeluarkan untuk karya siswa tersebut berasal dari dana nasional? Kalau jawabannya ya, pertanyaan berikutnya adalah Apakah persepsi karya siswa tersebut sama terhadap kebijakan nasional yang ingin dicapai tersebut? Kalau jawabannya juga ya, maka apa yang dicapai Jepang juga akan bisa dicapai oleh Indonesia. Tapi kalau ada jawaban terhadap pertanyaan diatas yang tidak, untuk satu pertanyaan saja, maka usaha untuk maju akan terhambat. Apalagi kalau jawaban yang diberikan semuanya adalah tidak, maka tugas yang maha beratlah yang kita emban.

Meskipun masih ada sekitar 11 % rakyat Indonesia yang belum bisa membaca(apalagi untuk bisa mengerti) tentang apa yang menjadi kajian dari buku isi ini, marilah kita samakan persepsi kita mengenai apa yang dimaksud dengan satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, dan pada akhirnya akan bermuara pada apa itu pembangunan nasional.

Melalui media sejarah, diharapkan kita akan mampu melihat dan mengkaji ulang tentang apa saja yang perlu kita ambil dari pengalaman bangsa yang terlebih dahulu maju dari kita, dan sebaliknya, faktor apa saja, yang meskipun milik kita, tapi menghambat langkah untuk maju, harus pula kita singkirkan jauh-jauh dari ruang lingkup masyarakat bangsa ini.

Bab I

Jepang dan Perang Dunia II

Hukum Besi Sejarah dan Harga Diri Bangsa

Setiap Pemenang selalu tidak mau disejajarkan dengan pihak yang kalah, dan pemenang selalu memaksakan kehendaknya pada sipekalah. Itulah yang dialami oleh Jerman dalam Perang Dunia I. Karena kalah, Jerman diharuskan untuk membayar pampasan perang pada pihak sekutu, yang kalau dilihat dari kaca mata sederhana (kaca mata awam) hanya akan bisa terbayar untuk jangka waktu 40 tahun, itupun jika keadaan ekonomi Jerman berada dalam normal. Maksudnya, tidak ada pengeluaran yang harus dikeluarkan untuk memikirkan dan mengatasi problema dalam negeri akibat porak porandanya sarana dan prasarana masyarakat oleh mesin-mesin perang. Banyaknya korban jiwa di kalangan militer dan sipil Jerman, banyaknya pabrik-pabrik yang hancur, dan tidak bisa beroperasi secepat mungkin untuk membantu penyediaan berbagai bahan-bahan yang sangat diperlukan oleh rakyat, parahnya situasi ekonomi negara, serta yang paling mendasar mungkin adalah hancurnya moral rakyat Jerman akibat perang itu sendiri. Keadaan seperti inilah yang dihadapi oleh negarawan Jerman, mereka menyadari betul bahwa tanpa kerja keras dari seluruh lapisan rakyat Jerman, adalah mustahil bagi mereka untuk bisa bangkit dan terbebas dari hutang, serta penghinaan si pemenang. Berbekal semangat juang dan usaha yang tak kenal menyerah, negarawan Jerman mulai membenahi segenap potensi yang mereka miliki sebagai satu bangsa untuk mencapai sasaran yang ingin dicapai, yakni terbebas dari hutang, dan penghinaan. Keinginan seperti inilah yang ada dalam pikiran manusia Jerman selama kurun waktu antara tahun 1918 sampai dengan pertengahan tahun 1930an. Oleh Hitler, sebagai pemimpin yang mempunyai kharisma sangat kuat, diusahakan jalan agar masalah hutang yang dihadapi Jerman ini bisa diselesaikan dengan cepat. Langkah yang diambil olehnya sangat sederhana, berpegang pada hukum besi sejarah yang berbunyi "Pemenang tidak pernah mau disejajarkan dengan yang kalah", sedikit demi sedikit dia mulai melakukan pembenahan agar Jerman bisa melepaskan diri dari tekanan negara-negara pemenang Perang Dunia I. Sikap Hitler ini didukung oleh kuatnya rasa keunggulan ras dalam jiwa rakyat Jerman, Ras Aria (paling tidak kata mereka) merupakan ras yang paling tinggi kedudukannya bila dibandingkan dengan ras-ras lainnya, sehingga tidak pada tempatnya mereka mendapat penghinaan dari ras-ras lain yang lebih rendah kedudukannya. Dengan kerja keras, Hitler dengan Nazismenya berhasil menyatukan rakyat Jerman. Setelah merasa mampu tidak saja berkata, tetapi juga merealisasikan kata-kata tersebut dalam tindakan, pada bulan September 1939 dia membuka babak baru dalam sejarah peradaban manusia, yakni menjalankan perang untuk keluar sebagai pemenang. Serangan mendadak (Blittzkrik) terhadap Polandia pada tanggal September ini menjadi awal dari Perang Dunia II yang berlangsung selama kurang lebih 6 tahun (sampai menyerahnya Jepang pada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945).

Dalam situasi yang berbeda, apa yang dialami Jerman juga dihadapi Jepang. Meskipun tidak berada dalam posisi yang kalah dalam PD I, dalam percaturan masyarakat internasional banyak sikap Barat yang merupakan penghinaan terhadap keberadaan Jepang sebagai satu bangsa. Jepang yang merasa setara kedudukannya dengan Barat, dalam perjanjian laut London tahun 1922 dipaksa menerima ketentuan untuk memiliki jumlah kapal perang yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan kapal perang yang dimiliki oleh negara-negara Barat; dalam perdagangan dunia, Jepang dihambat oleh Amerika dan Inggris; sebagai puncak dari penghinaan ini, Jepang diharuskan keluar dari segala wilayah yang menjadi urat nadi perekonomiannya. Apa yang bisa dilakukan Jepang dalam menghadapi semua ini? Rasa harga diri sebagai bangsa bangkit, tidak mau diperlakukan semena-mena, dan kekuatan senjata bicara.

Perang Pasifik

Setelah pemerintah Jepang menerima memorandum pemerintah Amerika Serikat pada tanggal 2 Oktober 1941 tentang keharusan Jepang untuk menarik seluruh pasukannya dari daratan Cina dan Vietnam; menghentikan dukungan dan hubungannya dengan rezim boneka Wang di Cina (Chiang, 1979:202), pihak Jepang menyadari bahwa perundingan yang selama ini dijalankan dengan Amerika Serikat tidak akan memberikan keuntungan apapun bagi Jepang.1 Karena itu, satu-satunya jalan yang dapat mendukung gerakan Jepang untuk maju ke Selatan adalah dengan jalan perang menghadapi Amerika Serikat dan sekutunya (Mayer, 1984:43).

Untuk merealisasikan rencana ini, pada tanggal 5 November 1941, Armada Angkatan Laut Jepang dipusatkan secara rahasia di Teluk Sahaku, kepulauan Kyushu (Toyama, 1974:203). Tujuan pemusatan ini tidak lain untuk bersama-sama bertolak ke jurusan Timur dan menyerang Pangkalan Armada Angkatan Laut Amerika Serikat, Pearl Harbor, di kepulauan Hawaii. Setelah semua kapal-kapal perang ini terkumpul, pada tanggal 26 November 1941, berangkatlah iring-iringan Armada Angkatan Laut Jepang untuk melaksanakan misi rahasia, melakukan serangan pendadakan atas titik sasaran. Armada ini seluruhnya terdiri dari 353 pesawat terbang yang terdapat pada 6 buah kapal induk, 11 buah kapal perusak, 8 buah kapal tangker, 3 buah kapal penjelajah, 3 buah kapal selam, dan 2 buah kapal penempur. Operasi yang direncanakan oleh Laksamana Yamamoto Isoroku, pemimpin tertinggi seluruh Armada Angkatan Laut Jepang yang pernah belajar di Amerika Serikat ini (Fujimoto, 1975:91), dipimpin oleh Laksamana Nagumo, dan dibantu oleh Laksamana Kusaka, Kepala Staf Angkatan Laut Jepang.

Pada tanggal 8 Desember waktu Jepang atau tanggal 7 waktu Hawaii tahun 1941 (Showa 16), jam 7 pagi di hari Minggu yang cerah, Pearl Harbor dibombardir dari laut dan udara. Dalam serangan ini Jepang berhasil menghancurkan 16 buah kapal perang dan 300 buah pesawat terbang Amerika Serikat (Toyama, 1974:207). Dengan terjadinya pembokongan terhadap Pearl Harbor ini, bermulalah Perang Pasifik yang menjadi bagian dari Perang Dunia II.

Dengan gerak cepat Jepang berhasil menguasai dan menduduki daerah-daerah yang kaya akan minyak, dimulai dengan jatuhnya Malaya pada tanggal 9 Desember 1941, berturut-turut jatuh pula Singapura, Philipina, Indonesia (yang masih bernama Hindia Belanda) dan Hongkong ke tangan Jepang. Sehingga hanya dalam jangka waktu 6 bulan, bendera Hi no Maru berkibar antara Lashio di Birma sampai ke kepulauan Wake di Pasifik Tengah.

Pada awal perang, Jepang nampaknya berada dalam posisi yang ofensif. Tetapi, sejak pertengahan tahun 1942 situasi perang mulai berubah. Tepatnya ketika Jepang mengalami kekalahan dalam perang laut di Midway tanggal 3 sampai 6 Juni 1942. Sejak saat ini Jepang mulai berada dalam posisi yang defensif, kekalahan demi kekalahan dialami Jepang, dan mulailah sedikit demi sedikit tentara sekutu dibawah pimpinan Jendral Douglas MacArthur menapak maju untuk sampai ke daratan Jepang.

Penyebab kekalahan Jepang ini tidak lain karena seluruh industri dalam negeri Amerika Serikat yang lebih baik keadaannya bila dibandingkan dengan Jepang, dipusatkan pada pembuatan alat-alat yang berguna bagi keperluan perang. Disamping itu, faktor penentu lainnya adalah terdapatnya perbedaan pendapat yang besar dalam tubuh Angkatan Perang Jepang, antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut dalam memutuskan masalah-masalah politik nasional yang telah berlangsung sejak terjadinya insiden Jembatan Markopolo tanggal 7 Juli 1937 (Mayer, 1984:39).

Selama berlangsungnya Perang Dunia II, kebijakan negara Sekutu adalah mengalahkan terlebih dahulu musuh yang berada di medan perang Eropah, setelah itu baru bersama-sama menghadapi Jepang di medan perang Pasifik (Eisenhower, 1948:657). Strategi ini tepat, karena letak Jerman dan Italia berada ditengah lingkungan negara Sekutu di Eropah, sehingga kedua negara ini akan dengan mudah dikepung dan diserang dari segala arah. Dalam pelaksanaan kebijakan ini, Amerika Serikat diberikan kebebasan untuk tetap dalam prinsip yang dianutnya, yakni, selain turut aktif membantu sekutu di medan perang Eropah, juga terus menghadapi Jepang di medan perang Pasifik (Eisenhower, 1948:55).

Akibat menyerahnya Italia pada tahun 1943, situasi perang di medan Eropah mulai memperlihatkan hasil positif bagi kekuatan sekutu. Kondisi ini membuat posisi Jerman semakin terpojok, dikepung dan diserang dari berbagai arah, jatuhnya Jerman hanyalah tinggal soal waktu. Akhirnya apa yang diinginkan Sekutu berhasil dicapai, Jerman menyerah pada tanggal 7 Mei 1945. Dengan berakhirnya perang di medan Eropah, memungkinkan pengalihan seluruh potensi perang sekutu untuk menghadapi Jepang di medan perang Pasifik. Melalui ofensif besar-besaran dari pasukan sekutu dibawah pimpinan Jendral Douglas MacArthur, kondisi Jepangpun mengarah pada hal yang sama, yakni, kalah. Setelah melakukan operasi yang banyak memakan korban jiwa, akhirnya bulan Juni 1945 tentara sekutu mendarat di pulau Okinawa. Pulau ini mempunyai arti yang sangat strategis bagi pasukan Jendral Douglas MacArthur, dimana tanpa bantuan kapal induk pun, seluruh kota-kota besar Jepang sudah berada dalam jangkauan pesawat-pesawat pembom berat sekutu yang berpangkalan di Okinawa.2 Sebaliknya, dengan jatuhnya Okinawa ini, rakyat Jepang pun sadar, bahwa mereka bukan saja terancam bahaya, tapi sekaligus berada diambang kekalahan. Pada bulan November 1945, Jendral Douglas MacArthur merencanakan akan mendaratkan pasukannya di pulau-pulau utama Jepang.

Pada saat daratan Jepang sedang dalam suasana kalut akibat serangan udara dan laut sekutu di bulan Juli 1945, para pemimpin pemerintahan negara sekutu yang memperkirakan bahwa akhir dari Perang Dunia II di medan perang Pasifik akan segera berakhir mulai berembuk dan mempersiapkan keputusan serta kebijakan politik apa yang akan mereka terapkan untuk menghadapi masa sesudah kekalahan Jepang nantinya.

Deklarasi Potsdam

Akibat kekalahan Jerman yang tidak disangka-sangka begitu cepat oleh sekutu, maka pemimpin pemerintahan negara sekutu perlu secepat mungkin mengadakan pertemuan untuk membahas langkah-langkah apa yang akan diterapkan atas Jerman. Untuk itu, pada tanggal 17 Juli sampai dengan 2 Agustus 1945, di Potsdam, sebuah kota kecil yang terdapat di Berlin bagian Timur, dilangsungkan perundingan yang dihadiri oleh H. S. Truman (Presiden Amerika Serikat), W. L. Churchill (Perdana Menteri Inggris), dan I. V. Stalin (Perdana Menteri Uni Soviet). Pada saat perundingan sedang berlangsung, posisi W. L. Churchill digantikan oleh Atlee, yang terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris yang baru (Tadashi, 1983:231).

Masalah-masalah yang dibicarakan dalam perundingan ini menyangkut cara dan besarnya hukuman yang akan dikenakan atas Jerman, kondisi negara-negara Timur Tengah, masalah Polandia, Afrika, Australia, Bulgaria, Hungaria, Rumania, Cekoslawakia, Turki dan Jepang. Meskipun demikian, pembahasan utama yang dilakukan adalah tentang Jerman. Pada perundingan Potsdam ini, prinsip politik utama yang diputuskan Sekutu atas Jerman adalah perlucutan senjata dan demiliterisasi Jerman secara total. Peniadaan semua industri Jerman yang dapat dipakai untuk memproduksi keperluan perang. Selain itu, rakyat Jerman harus diyakinkan, bahwa mereka telah mengalami kekalahan total dan tidak dapat melepaskan diri dari tanggung-jawab atas apa yang telah dilakukan. Rakyat Jerman harus menyadari bahwa apa yang mereka rasakan sekarang ini, yakni kehancuran dan kekacauan ekonomi, serta perlucutan senjata total adalah akibat dari perang yang dijalankan oleh NAZI.3 Oleh karena itu, semua yang berbau NAZI harus dihilangkan. Untuk menjaga agar faham militer tidak timbul lagi, maka pendidikan kembali rakyat Jerman harus diawasi dengan ketat. Demokrasi harus disebarluaskan (Greenville, 1974:236).

Dalamperundingan ini, para pemimpin pemerintahan negara sekutu juga mempunyai kesamaan pandangan terhadap Jepang. Mereka setuju apabila kepada Jepang diberikan satu deklarasi bersama dari negara-negara sekutu yang terlibat langsung dalam perang melawan Jepang. Bagaimanapun juga, pihak sekutu ingin agar kekalahan Jepang ini tidak menghasilkan banyak korban jiwa lagi di kedua belah pihak. Karena Uni Soviet masih terikat dalam perjanjian netralitas4 dengan Jepang, maka tak mungkin deklarasi bersama ini ditandatangani oleh Stalin. Oleh karena itu, Cina yang memang telah lama berperang dengan Jepang diusulkan ikut dalam deklarasi ini. Akhirnya persetujuan Chiang Kai Shek didapat, dan pada tanggal 26 Juli 1945, diumumkanlah Deklarasi Potsdam untuk Jepang, ditandatangani oleh ketiga pemimpin pemerintahan negara sekutu, Amerika Serikat, Cina dan Inggris.

Isi dari Deklarasi Potsdam yang ditujukan untuk Jepang ini berbunyi sebagai berikut:

a. Kami Presiden Amerika Serikat, Presiden Pemerintahan Nasional Republik Cina, Perdana Menteri Inggris Raya, yang mewakili ratusan juta rakyat kami, telah berunding dan sepakat agar Jepang diberi kesempatan untuk mengakhiri peperangan ini.

b. Angkatan Darat, Laut dan Udara yang luar biasa dari Amerika Serikat, Inggris Raya dan Cina, yang diperkuat berlipat ganda oleh tentara dan armada udara dari Barat, telah dipersiapkan untuk memberikan pukulan terakhir terhadap Jepang. Kekuatan militer ini ditopang dan disemangati oleh keinginan semua sengara sekutu untuk meneruskan perang melawan Jepang, sampai Jepang berhenti melawan.

c. Akibat dari perlawanan Jerman yang sia-sia dan tanpa perasaan terhadap kekuatan rakyat dunia yang merdeka, merupakan contoh yang mengerikan bagi rakyat Jepang. Kekuatan yang kini tertuju pada Jepang adalah lebih besar daripada yang dihadapi oleh NAZI, yang telah menyebabkan kehancuran tanah-tanah, industri dan seluruh rakyat Jerman. Penggunaan kekuatan militer kami sepenuhnya, yang didukung oleh resolusi kami, akan berarti kehancuran total bagi Angkatan Bersenjata Jepang, dan juga tidak dapat dihindarkan kehancuran total dari tanah air Jepang.

d. Waktunya telah tiba bagi Jepang untuk memutuskan apakah Jepang akan terus dikendalikan oleh penasehat-penasehat militer yang berkeinginan sendiri, yang dengan perhitungan-perhitungan bodohnya telah menyebabkan Kerajaan Jepang menjelang pada kehancurannya, ataukah Jepang akan mengikuti jalan yang dapat diterima oleh akal sehat.

e. Berikut adalah syarat-syarat kami. Kami tidak akan menyimpang darinya. Tidak ada alternatif-alternatif. Kami tidak akan mengulur waktu.

f. Karena kita berkehendak untuk menciptakan suatu orde kedamaian, keamanan dan keadilan yang baru, kekuasaan dan pengaruh dari mereka-mereka yang telah membohongi dan menunjukkan rakyat Jepang ke jalan yang salah dalam usaha menguasai dunia harus dihilangkan dan disingkirkan untuk selama-lamanya. Maka hal ini akan mustahil terwujud, bila militerisme yang tidak bertanggung-jawab belum dienyahkan dari muka bumi.

g. Bila orde tersebut telah tercipta dan bila bukti-bukti bahwa kekuatan peperangan Jepang telah dilenyapkan, maka tempat-tempat baru dalam kewilayahan Jepang akan ditentukan oleh sekutu, dan akan diduduki untuk mengamankan tujuan dasar dari deklarasi ini.

h. Syarat-syarat Deklarasi Kairo akan dilaksanakan, dan kedaulatan Jepang akan terbatas sampai pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, Shikoku dan pulau-pulau kecil lainnya yang akan kami tentukan.

i. Kekuatan militer Jepang bila telah sama sekali tanpa senjata, akan diizinkan untuk kembali ke tanah airnya dengan kesempatan untuk menuju pada kehidupan yang damai dan produktif.

j. Kami tidak bermaksud untuk memperbudak ataupun menghancurkan Jepang sebagai suatu negara, tetapi keadilan yang kuat akan ditunjukkan kepada semua penjahat-penjahat perang, termasuk mereka yang telah melaksanakan kekejaman terhadap tawanan-tawanan pihak kami. Pemerintah Jepang harus menyingkirkan semua halangan bagi pembangunan dan pengokohan demokrasi di antara rakyat Jepang, kebebasan berbicara, agama, pemikiran, dan rasa hormat terhadap hak-hak asasi manusia harus diciptakan.

k. Jepang akan diizinkan untuk mendirikan industri-industri yang dapat membantu ekonominya, dan diizinkan untuk memperbaikinya, tetapi tidak untuk industri yang memungkinkan Jepang dapat bersenjata lagi bagi peperangan yang akan datang. Jalur-jalur dan pengendalian bahan baku juga akan diizinkan. Pada akhirnya, partisipasi Jepang dalam perdagangan dunia internasional juga akan diizinkan.

l. Kekuatan-kekuatan pendudukan sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah hal-hal diatas sudah tercapai, serta bila pemerintahan yang damai dan bertanggung-jawab menurut kehendak bebas rakyat Jepang telah terbentuk.

m. Kami berseru kepada pemerintah Jepang, agar memproklamirkan penyerahan tanpa syarat dari semua Angkatan Perang Jepang, dan memberikan jaminan yang cukup dan benar dalam pelaksanaannya. Pilihan lain bagi Jepang adalah kehancuran total dan cepat (Mosley, 1966:352-353).

Sehari kemudian, tepatnya tanggal 27 Juli 1945, isi dari deklarasi Potsdam ini sudah diketahui oleh pemerintah Jepang. Kabinet Suzuki Kantaro segera mengadakan pertemuan guna membahas isi dari deklarasi tersebut. Disamping itu, diminta juga jasa baik Uni Soviet untuk menjadi perantara dalam mencari jalan damai (Kazutoshi, 1968:14).

Setelah melalui perdebatan yang sengit diantara kelompok yang setuju menerima isi Deklarasi Potsdam di bawah pimpinan Menteri Luar Negeri Togo Shigenori, dan kelompok yang menolak isi Deklarasi Potsdam di bawah pimpinan Menteri Peperangan Jendral Anami Korechika, akhirnya Kabinet berhasil merumuskan langkah apa yang akan dijalankan untuk menghadapi isi dari Deklarasi Potsdam ini. Sikap pemerintah Jepang adalah menjalan politik Mokusatsu atau membunuh dengan diam-diam isi dari Deklarasi Potsdam tadi. "Kita akan terus melanjutkan perang", demikian Suzuki Kantaro mengumumkannya (Toyama, 1974:237).

Ketika berita ini sampai ke tangan para penandatangan Deklarasi Potsdam, mereka berkesimpulan bahwa pemerintah Jepang telah menolak semua persyaratan yang tercantum dalam deklarasi mereka. Satu-satunya jalan sekarang ini adalah menjalankan semua prinsip yang digariskan oleh Deklarasi Potsdam tersebut.

Pada tanggal 6 Agustus 1945, pemerintah Jepang merasakan apa yang dimaksud dengan kehancuran total dalam butir ke 13 Deklarasi Potsdam tersebut. Hiroshima dihancurkan dengan sebuah bom atom yang pertama kali terjadi dalam sejarah hidup manusia, dalam seketika 100.000 penduduk Hiroshima mati (Toyama, 1974:238). Berikutnya, pada tanggal 9 Agustus Kota Nagasaki mengalami nasib yang serupa. Bersamaan dengan kejadian ini, Uni Soviet yang masih terikat perjanjian damai dengan Jepang mengumumkan perang pada tanggal 8 Agustus 1945. Dengan cepat tentara merah melintasi tapal batas Manchuria, dan hanya dalam jangka waktu dua jam membuat tentara Kwantung yang terkenal menjadi tidak berdaya (Kazutoshi, 1968:22).

Dihadapkan pada situasi seperti ini, Kaisar yang melihat adanya dua kelompok yang saling bertentangan dalam penerimaan Deklarasi Potsdam ini, akhirnya memutuskan untuk menerima isi dari Deklarasi Potsdam pada Konperensi Kekaisaran tanggal 14 Agustus 1945 (Ienaga, 1978:231).5 Pada tanggal 15 Agustus 1945, berkumandanglah rekaman suara Kaisar pada seluruh rakyat Jepang. Isinya adalah pernyataan pemerintahan Jepang untuk mengakhiri peperangan dan menyerah pada sekutu sesuai dengan isi Deklarasi Potsdam. Jepang telah menyerah, walaupun belum ada seorang prajurit sekutu yang menginjakkan kakinya di Tokyo.

Penerimaan Kerajaan untuk menyerah ini tidak begitu saja diterima oleh rakyat Jepang, beberapa anggota dari Kesatuan Udara Angkatan Laut yang berkedudukan di Pangkalan Udara Atsugi dekat Tokyo, menolak untuk menerima kalah, mereka ingin meneruskan perang sampai titik darah penghabisan. Beberapa anggota dari Angkatan Darat membunuh Komandan Divisi Pengawal Kerajaan, dan mencoba mencegah disiarkannya pidato penyerahan oleh Kaisar. Meskipun demikian, pada hakekatnya mayoritas rakyat Jepang menerima kekalahan ini dengan perasaan lega yang tidak disangka-sangka oleh rakyat bangsa lain. Satu dari sekian banyak alasan yang bisa diangkat ke permukaan adalah 'pengumuman untuk menyerah ini langsung keluar dari mulut Kaisar mereka sendiri'. Walaupun rakyat Jepang secara keseluruhan mau berperang terus demi Kaisar, tetapi sekarang Kaisar sendiri yang mau menerima untuk menyerah dan diduduki oleh kekuatan sekutu, mau tidak mau mereka harus mematuhi perintah Kaisar. Oleh karena itu, faktor kejiwaan inilah yang memudahkan rakyat Jepang untuk menerima kenyataan kalah ini dengan tenang (Eto, 1974:8).

Penandatanganan Dokumen PenyerahanSebagai tindak lanjut dari keputusan pemerintah Jepang menerima semua syarat-syarat Deklarasi Potsdam dan menyerah pada sekutu, pada tanggal 2 September 1945 di atas geladak kapal Missouri yang berlabuh di teluk Tokyo, dilakukan upacara penyerahan militer secara resmi kepada negara-negara yang tergabung dalam blok sekutu. Disamping Jendral Douglas MacArthur sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu atas Jepang, ikut menandatangani dokumen penyerahan ini C. W. Nimitz (wakil Amerika Serikat); Hsu Yung Ch'ang (Cina); Bruce Fraser (Inggris); K. Derevyanko (Uni Soviet); T. A. Blamey (Australia); L. Moore Cosgrave (Kanada); Leclerc (Perancis); C. E. L. Helfrich (Belanda); dan L. M. Isitt (Selandia Baru), sedangkan dari pihak Jepang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu dan Jendral Umezu Yoshijiro (Collier, 1946:272).

Dokumen penyerahan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 2 September 1945 itu berbunyi sebagai berikut:

1. Kami, yang bertindak atas perintah dan atas nama Kaisar Jepang, Pemerintah Jepang dan Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang, dengan ini menerima syarat-syarat yang ditentukan dalam Deklarasi yang dikeluarkan oleh pemimpin pemerintahan Amerika Serikat, Cina dan Inggris Raya pada tanggal 26 Juli 1945 di Potsdam, dan seterusnya didukung oleh Republik Sosialis Uni Soviet, yang mana ke empat kekuatan tersebut disini seterusnya disebut sebagai Kekuatan Sekutu.

2. Kami dengan ini menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Kekuatan Sekutu dari Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang, seluruh tentara Jepang, dan seluruh tentara dibawah kekuasaan Jepang dimana pun berada.

3. Kami dengan ini memerintahkan semua jajaran Angkatan Bersenjata dimana pun berada, semua rakyat Jepang untuk menghentikan permusuhan, ini demi memelihara dan menyelamatkan semua kapal-kapal laut, kapal-kapal terbang, benda-benda militer dan sipil dari kerusakan. Mentaati semua syarat-syarat yang ditentukan oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, ataupun oleh badan-badan pemerintah Jepang yang ditunjuknya.

4. Kami dengan ini memerintahkan Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang untuk mengeluarkan perintah-perintah kepada semua pemimpin dari Angkatan Bersenjata Jepang, dan semua Angkatan Bersenjata dibawah kekuasaan Jepang dimana pun berada, untuk menyerahkan diri tanpa syarat beserta semua kekuatan yang ada dibawah kekuasaannya.

5. Kami dengan ini memerintahkan semua pejabat sipil, militer dan Angkatan Laut untuk mematuhi dan melaksanakan semua pernyataan, perintah dan petunjuk yang dikeluarkan oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, lembaga yang ditunjuk atau berada dibawah wewenangnya guna penyerahan ini dapat terlaksana dengan baik, dan kami memerintahkan semua pejabat tersebut untuk tetap dalam jabatannya, dan meneruskan semua tugas-tugas non-perang, kecuali bila secara pasti dibebastugaskan oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, atau oleh lembaga yang berada dibawah wewenangnya.

6. Kami dengan ini mengambil langkah demi Kaisar, Pemerintah Jepang dan penerusnya untuk menjalankan semua syarat-syarat dari deklarasi Potsdam dengan rela, dan akan mengeluarkan perintah atau mengambil tindakan apapun yang mungkin diperlukan oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, ataupun oleh wakil-wakil lain yang ditentukan oleh Kekuatan Sekutu, demi terlaksananya tujuan dari Deklarasi Potsdam ini.

7. Kami dengan ini memerintahkan Pemerintah Kekaisaran Jepang dan Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang untuk segera membebaskan semua tawanan perang sekutu dan anggota-anggota sipil yang kini berada dibawah kekuasaan Jepang, dan menyediakan perlindungan, perawatan, pemeliharaan dan pemindahan segera ke tempat yang ditentukan.

8. Kekuasaan Kaisar dan Pemerintah Jepang untuk memerintah negara akan ditentukan oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, yang akan mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk melaksanakan syarat-syarat penyerahan ini.

Ditandatangani di Teluk Tokyo, Jepang pada jam 09.04. Ipada tanggal dua bulan September, 1945.

Mamoru ShigemitsuAtas Perintah dan atas nama Kaisar Jepang dan Pemerintah Jepang.

Umezu YoshijiroAtas Perintah dan atas nama Markas Besar Tentara Kerajaan Jepang

Diterima di Teluk Tokyo, Jepang pada jam 09.08. Ipada tanggal dua bulan September, 1945.

Untuk Amerika Serikat, Republik Cina, Kerajaan Inggris,

Republik Sosialis Uni Soviet, dan untuk kepentingan

negara-negara lain dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa

yang berperang dengan Jepang.

Douglas MacArthurPanglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu

C. W. Nimitzwakil Amerika Serikat

Hsu Yung Ch'ang

wakil Cina

Bruce Fraser wakil Inggris

K. Derevyanko wakil Uni Soviet

T. A. Blamey

wakil Australia

L. Moore Cosgrave

wakil Kanada

Leclerc

wakil Perancis

C. E. L. Helfrich

wakil Belanda

L. M. Isitt

wakil Selandia Baru

Dengan ditandatanganinya Dokumen Penyerahan ini, maka Jepang mulai mengalami masa pendudukan sekutu yang berlangsung sampai tanggal 28 April 1952, pada saat mulai diberlakukannya secara sah hasil Perjanjian Perdamaian San Fransisco yang ditandatangani pada tanggal 8 September 1951.

Masa Pendudukan Sekutu

Masa-masa pahit yang dialami oleh bangsa Jerman karena kehancuran rezim NAZI pada tahun 1945, juga dialami oleh bangsa Jepang. Dengan penyerahan tanpa syarat militer dan pengambilan-alih kekuasaan tertinggi negara oleh Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, Jepang tidak lagi merupakan bangsa yang dapat menentukan kehidupan bangsa-bangsa yang ada disekelilingnya, bahkan, juga telah kehilangan hak untuk menentukan nasibnya sendiri, Jepang telah kehilangan hak untuk menjalankan kedaulatan dalam dan luar negerinya. Dengan demikian, sejak tanggal 2 September 1945 sampai dengan berlakunya perjanjian damai San Fransisco tanggal 28 April 1952, Jepang tidak lagi menjadi subyek dalam percaturan politik internasional. Negara-negara sekutulah yang menentukan, bila dan sejauh mana mereka memberi kekuasaan kepada bangsa Jepang untuk ikut campur-tangan dalam menentukan nasib sendiri, maupun untuk dapat bekerja-sama pada tingkat internasional.

Jendral Douglas MacArthur yang menjadi Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, diberi tugas untuk menjalankan kebijakan negara-negara sekutu yang akan diberlakukan atas Jepang. Satu hal yang perlu dicatat disini ialah, semua kebijakan itu dalam teorinya memang berasal dari negara-negara sekutu, tapi dalam prakteknya, semua kebijakan yang diterapkan atas Jepang merupakan kebijakan Pemerintah Amerika Serikat, yang dirumuskan oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Peperangan, Kementerian Angkatan Laut, dan Lembaga-lembaga lain sebelum berakhirnya perang (Quigley dan Turner, 1956:91).

Langkah pertama yang dijalankan Jendral Douglas MacArthur adalah melucuti Jepang. Didasari oleh pengalaman pahit masa lalu, bangsa-bangsa disekeliling Jepang mempunyai alasan kuat bahwa Bangsa Jepang merupakan ancaman yang sangat membahayakan keamanan mereka. Jadi untuk memulihkan, serta mempertahankan keamanan dan perdamaian dunia, kebijakan yang harus diterapkan terhadap Jepang adalah melumpuhkannya sedemikian rupa, sehingga negara ini tidak bisa lagi memulai agresi baru terhadap negara-negara tetangganya.

Dalam pandangan negara sekutu, Jepang dianggap sebagai penyebab terjadinya Perang Pasifik (butir 4 Deklarasi Potsdam). Karena itu, setiap potensi yang merupakan sumber kekuatan Jepang sebagai satu bangsa tidak akan dibiarkan hidup oleh sekutu. Setelah langkah pertama ini berhasil dicapai, maka unsur terpenting dari bangsa Jepang yang dapat melakukan perlawanan terhadap Pendudukan Sekutu telah dapat dihilangkan. Untuk tahap selanjutnya, dijalankan kebijakan untuk mengadili mereka-mereka yang dianggap terlibat dalam politik agresi; pembubaran Zaibatsu; pemisahan Shinto dari negara; reformasi pendidikan; reformasi pertanian dan sebagainya. Kebijakan yang dijalankan oleh Douglas MacArthur ini merupakan tindak lanjut dari tujuan yang dinyatakan oleh Presiden Amerika Serikat H. S. Truman dalam usaha menentukan nasib Jepang dikemudian hari. Dia menyatakan, "Langkah apapun yang akan dijalankan terhadap Jepang harus didasari oleh dua prinsip, yakni, adanya jaminan bahwa Jepang tidak akan lagi menjadi ancaman bagi Amerika Serikat, atau perdamaian dan keamanan dunia, serta terbentuknya pemerintahan yang damai dan bertanggung-jawab, sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat pada pemerintahan yang demokratis" (Quigley dan Turner, 1956:93).

Setelah menjalankan semua kebijakan diatas, Amerika Serikat melihat bahwa masih ada satu sumber kekuatan dari Jepang yang paling mendasar sifatnya. Sumber itu tidak lain dari Konstitusi Meiji, dengan lembaga Kaisar sebagai intinya. Dilandasi oleh pikiran untuk menghilangkan Jepang yang kuat, ditambah dengan keinginan negara-negara sekutu untuk menciptakan Jepang yang sama sekali berbeda dengan Jepang yang mereka hadapi pada waktu berlangsungnya Perang Pasifik. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh Jendral Douglas MacArthur sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu, adalah mengganti Konstitusi Meiji yang menjadi sumber kekuatan Jepang sebagai satu bangsa dengan konstitusi yang sama sekali baru. Berpijak diatas landasan penyerahan tanpa syarat Deklarasi Potsdam, klausul Dokumen Penyerahan, Jendral Douglas MacArthur merasa tidak begitu khawatir dengan rencana yang akan dilaksanakannya ini.

Sebagai langkah awal dari rencana Douglas MacArthur untuk mengganti konstitusi Meiji adalah dengan menghilangkan predikat suci Kaisar dalam pandangan rakyat Jepang. Yang menjadi persoalan bagi Douglas MacArthur adalah, bagaimana bentuk tindakan yang dapat menciptakan hal seperti itu jadi kenyataan.

Pada tanggal 8 September 1945, Jendral Douglas MacArthur disarankan oleh salah seorang stafnya, Jendral Courtney Whitney untuk memanggil Kaisar datang ke Markas Besar Pasukan Pendudukan Sekutu, lalu memberinya perintah-perintah yang sesuai dengan keinginan Amerika Serikat. Terhadap ide ini Jendral Douglas MacArthur menyatakan, tindakan tersebut hanya akan membuat rakyat Jepang merasa terhina, sebab dalam pandangan mereka Kaisar adalah suci. Akhirnya Douglas MacArthur berkata, "kita akan menunggu biar Kaisar sendiri yang akan datang pada kita" (Mosley, 1966:337).

Harapan Douglas MacArthur akhirnya tercapai, ketika Kaisar mendengar berita bahwa beberapa orang menteri dan pegawai istananya dituduh sebagai penjahat perang. Dia terpanggil untuk datang menghadap secara langsung kepada Douglas MacArthur di Markas Besar Pasukan Pendudukan Sekutu, dan Kaisar menyatakan bahwa dialah yang bertanggung-jawab terhadap semua yang terjadi. Pada pertemuan yang bersejarah pada tanggal 27 September 1945, Kaisar menyerahkan diri pada kebijakan yang akan diambil oleh Douglas MacArthur (Mosley, 1966:341).

Ketika rakyat Jepang pada tanggal 28 September 1945 melihat di halaman muka surat kabar mereka sendiri gambar Kaisar yang berdiri dalam sikap formal di samping Jendral Douglas MacArthur yang bertolak pinggang, tanpa dasi, tanpa pakaian seragam, jiwa mereka jadi terpukul (Eto, 1974:10). Dalam diri rakyat Jepang mulai timbul pertanyaan, dapatkah kepercayaan yang selama ini mereka anut akan tetap ada?, masihkah Kaisar suci sebagai keberadaan Jepang sebagai satu bangsa. Memang pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang diinginkan oleh Douglas MacArthur, sebab dia ingin memperlihatkan pada rakyat Jepang bahwa Kaisar mereka tidak lebih dari seorang manusia biasa, seperti mereka juga. Meskipun demikian, yang lebih penting bagi Douglas MacArthur adalah Kaisar bersedia untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap Konstitusi Meiji.

Kesimpulan

Sama seperti Jerman, keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II adalah disebabkan oleh faktor hutang dan penghinaan yang mereka terima dari negara-negara lain. Perbedaannya, Jerman mendapatkan hutang dan penghinaan itu asalnya dari orang yang satu rumpun dengannya, yakni sama-sama berasal dari ras putih; hutang dan penghinaan tersebut diterima Jerman akibat memang kalah dalam satu pertarungan terhormat, yakni kalah dalam Perang Dunia II. Dilain pihak, bagi Jepang sendiri penghinaan itu pada hakekatnya sudah tidak bisa dicegah lagi. Ras kuning Asia memang hanya bisa jadi centeng atau jagoan bagi ras putih Eropah dan Amerika yang duduk sebagai raja. Adanya keinginan untuk menyamai atau menggantikan status sang raja oleh ras kuning Asia yang mengaku berasal dari keturunan Ameterasu Omikami (Dewa Matahari ) adalah sesuatu firman Tuhan, namun keinginan itu tidak ditanggapi, malahan ditertawai dan dihalangi, kasarnya lagi, malah dicaci. Harga diri siapa yang tidak tersinggung, kami keturunan Tuhan, jadi kami adalah anak-anak tuhan, negara-negara di sekitar kami adalah saudara-saudara muda kami, jadi mereka pun adalah kalau tidak anak Tuhan, ya masih saudara dekat, jauh dari anak-anak Tuhan. Slogan-slogan seperti itulah yang banyak dikumandangkan oleh Jepang menjelang mereka berperang dengan Amerika dan sekutunya. Tapi nyatanya, banyak sekali dari slogan-slogan itu yang bertentangan dengan praktek tentara Kekaisaran Jepang Raya pada waktu berlangsungnya Perang Dunia lalu. Konsekwensinya, tak banyak bantuan yang Jepang dapatkan dari saudara-saudara mudanya ini ketika dia dipaksa oleh Amerika Serikat untuk menerima hinaan dan cacian dalam masa yang sama pula.

Untuk memberikan penilaian terhadap keberhasilan Pendudukan Amerika Serikat atas Jepang selama kurun waktu 2 September 1945 sampai dengan 28 April 1952, mau tidak mau harus dimulai dengan melihat dan menguji setiap permasalahan yang Amerika hadapi dalam upayanya untuk menciptakan situasi damai bagi Jepang.

Dari sekian banyak masalah yang dihadapi Sekutu (dalam hal ini Amerika Serikat) pada masa pendudukan Jepang yang berlangsung kurang lebih 5 tahun, mungkin masalah penyusunan Undang-Undang Dasar Baru Jepang 1946 lah yang merupakan tugas terberat bagi negara pemenang ini. Hal ini bisa dimengerti, sebab begitu banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dengan sempurna oleh Jendral Douglas MacArthur sebagai Pemimpin Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu atas Jepang. Dia harus berhati-hati dalam menjalankan suatu kebijakan yang berhubungan langsung dengan eksistensi Kaisar, di satu pihak Rusia sebagai rekan satu blok (sekutu) sangat menginginkan Kaisar dibawa ke pengadilan militer untuk diadili, sehingga, kalau perlu hukuman yang dijatuhkan padanya adalah hukuman mati; dilain pihak, kalau permintaan itu dikabulkan, maka tidak saja semua rencana sekutu akan gagal total, bahkan Amerika Serikat sendiri akan sangat dirugikan. Jelasnya, Amerika Serikat yang sudah tidak cocok dengan ideologi yang dianut Uni Soviet, tentu ingin membuat Jepang yang notabene adalah negara yang paling tidak disukai Jepang bisa menjadi kawan, baik itu secara cepat atau pun lambat. Sehingga kalau berhasil, Jepang akan bisa berfungsi sebagai dinding yang kokoh dalam membendung lajunya faham komunis yang sudah berkembang di Asia Timur.

Pembahasan pada Bab II akan dimulai dengan uraian tentang latar belakang dari adanya pemikiran untuk merubah UUD Meiji dengan suatu Undang-Undang Dasar yang baru, lalu bagaimana proses perubahan itu terjadi, dan pada akhirnya, bagaimana bentuk dari Undang-Undang Dasar Jepang yang baru tersebut. Dengan demikian, diktum hukum besi sejarah yang telah dibahas dalam Bab I bisa lebih dipahami.

Bab II

UUD Baru Jepang 1946: Antara Bayangan dan Kenyataan

Dari sekian banyak kawasan yang sering mendapat sorotan dalam setiap pembicaraan politik, ekonomi baik pada tingkat lokal, regional, maupun internasional selain kawasan Timur Tengah (kasus Palestina -Israel, Libanon); Eropa Timur(tumbangnya ideologi komunis, masalah internal mantan negara Yugoslavia); kawasan Amerika Latin (Nikaragua); kawasan Asia Barat Daya (Afganistan); kawasan Asia Tenggara (Kampuchea); daratan Afrika (Somalia), adalah kawasan Asia Timur.

Negara-negara yang berada di kawasan ini, yakni Cina, Korea dan Jepang6 sudah memiliki reputasi dunia sejak masa lalu. Cina dan Jepang contohnya, kedua negara ini sudah sejak lama menempati posisi terhormat dalam percaturan politik dunia internasional. Cina dikenal sebagai salah satu pusat dunia ilmu pengetahuan di masa lalu dan saat ini mungkin menjadi satu-satunya pusat kekuatan komunis dunia internasional (setelah bubarnya Uni Soviet tahun 1991 yang lalu). Jepang sendiri, adalah bangsa yang pernah mendapat tempat sedemikian terhormat dalam setiap hati rakyat di seantero Asia. Dengan perjuangan yang tak kenal menyerah pada awal era Meiji Jepang berhasil memetik hasil yang sangat memuaskan, dia diterima sebagai teman oleh negara-negara Barat masa itu. Dengan kemenangan besar atas Rusia dalam perang laut tahun 1904-1905, Jepang menjadi negara Asia pertama yang dianggap sejajar dengan negara-negara barat kolonialis masa itu. Tak ada kata gagal dalam kamus politik Jepang sampai saat berakhirnya Perang Dunia I.7 Sukses beruntun yang dicapai dalam percaturan politik dunia internasional ini membuat pemerintah Jepang menjadi besar kepala, dan akhirnya membawa Jepang terjun ke dalam kancah Perang Dunia ll.

Sikap besar kepala dari negarawan Jepang ini tidak hanya menyebabkan penderitaan dikalangan rakyat Jepang sendiri, tetapi juga oleh rakyat dinegara-negara yang pernah diduduki Jepang selama berlangsungnya Perang II. Bangsa Cina mungkin sangat sukar untuk melupakan apa yang dilakukan oleh tentara Jepang dalam apa yang disebut sebagai "Pemerkosaan Kota Nanking", satu peristiwa pembasmian umat manusia terbesar yang pernah ada dalam sejarah dunia. Tidak saja penduduk sipil yang tidak berdaya yang menjadi korban dari keganasan bala tentara Kekaisaran Jepang Raya ini, juga tentara Cina, bahkan juga bangunan kota Nanking tidak luput dari kehancuran pada bulan Desember tahun 1937. Begitu juga dengan penderitaan yang dialami oleh bangsa Korea pada masa pendudukan Jepang, banyak pekerja Korea yang dipekerjakan secara paksa pada semua industri-industri perang Jepang. Selama kurang lebih 40 tahun, bahasa dan segala sesuatu yang berbau Korea harus diganti dengan apa-apa yang sesuai dengan tradisi Jepang.8 Bagi rakyat di Asia Tenggara, Indonesia misalnya, tentu tidak bisa melupakan betapa kejamnya tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang menerapkan kebijakan "Romusha" atau Tenaga Kerja Paksa yang banyak meminta korban jiwa dari rakyat Indonesia. Sehingga, kalau mau dirinci dengan baik, maka akan terlihat betapa kejam dan brutalnya manusia Jepang memperlakukan bangsa-bangsa yang notabene saudara muda dalam setiap slogan yang mereka kumandangkan.

Betapapun pandainya pemerintah Jepang untuk menutupi celah negatif yang pernah mereka lakukan pada waktu berlangsungnya Perang Dunia II lalu, kita tak dapat pungkiri bahwa kebijakan yang telah mereka jalankan di atas tidaklah semata-mata prakarsa dari segelintir manusia Jepang yang berada di daerah jajahannya pada masa itu, tetapi sudah merupakan satu kebijakan yang diputuskan dengan berbagai pertimbangan masak oleh pemerintah pusat di Tokyo.

Meskipun jangka waktu yang tercipta sejak kekalahan yang dialaminya pada tahun 1945 hingga saat ini sudah berlangsung 49 tahun, suatu masa yang cukup untuk melahirkan satu generasi, namun trauma akibat ganasnya mesin perang Jepang masih terasa kuat di kalangan bangsa-bangsa di sekitarnya. Ini dimungkinkan oleh adanya proses internalisasi nilai-nilai kekejaman bangsa Jepang melalui proses sosialisasi dari mereka yang mengalami langsung tindak kekejaman Jepang diturunkan dengan baik pada generasi mudanya. Tambahan pula, pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman generasi muda di kebanyakan negara Asia saat ini terhadap Jepang sudah sedemikian baik dan kritis. Mereka melihat sepak terjang dari pelaku ekonomi dan perdagangan Jepang sebagai kumpulan manusia yang maunya menang sendiri. Kebijakan ekonomi yang banyak diterapkan Jepang pada sebagian besar negara-negara Asia adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan mengeluarkan biaya seminimal mungkin, kalau bisa, tanpa mengeluarkan sedikit pun biaya. Akibat semua ini, banyak sebutan yang berbau negatif yang diarahkan pada Jepang. Berbagai sebutan yang sudah lazim terdengar tentang wajah Jepang sebagai satu bangsa saat ini adalah "barbar"; "biadab", "brutal", "tanpa moral", dan "binatang ekonomi". Bagaimanapun juga, predikat yang melekat ini merupakan aib bagi Jepang sebagai satu bangsa.

Disamping aib dengan sebutan binatang ekonomi yang sedang popular dewasa ini, salah satu aib bangsa Jepang yang dicoba untuk dibahas dalam tulisan ini adalah " Konstitusi Baru Jepang 1946 ". Disebut aib, karena konstitusi sebagai sumber segala sumber hukum suatu negara, yang menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan, mengatur bagaimana pemerintahan dibentuk, bagaimana warga negara bisa menjalankan hak dan kewaji bannya, bagaimana disiplin nasional harus terwujud?, apapun alasannya harus berasal dari rakyat negara yang bersangkutan. Tetapi dalam kasus ini adalah lain, Konstitusi Baru Jepang 1946 tidak diciptakan oleh rakyat Jepang sendiri, melainkan oleh rakyat negara lain, yaitu bangsa Amerika Serikat.

Jepang Di Amerika Serikat

Jauh sebelum berlangsungnya Perang II, negara-negara barat yang tergabung dalam blok sekutu sebenarnya sudah mempunyai pengetahuan banyak tentang kekuatan Jepang sebagai suatu bangsa. Tetapi karena mereka pada masa itu tidak menghadapi Jepang secara kolektif dalam perang , maka kekuatan Jepang sebagai satu bangsa tidak sekuat dari yang mereka lihat pada saat berlangsungnya Perang Dunia II di Pasifik.

Kiprah Jepang sebagai satu kekuatan baru dalam percaturan politik dunia internasional dimulai sejak era Meiji. Dengan semboyan negara "Fukoku Kyohei" atau Negara Kaya Tentara Kuat, dimulailah usaha untuk mencapai sasaran tersebut, pada tahun 1873 , diawal era Meiji, pemerintah Jepang telah mulai melaksanakan kebijakan untuk mengirim tentara, mahasiswa, pegawai negeri dan usahawan pergi keluar negeri untuk mempelajari ilmu pengetahuandan teknologi (Halloran,1980:34). Program ini merupakan pengejawantahan dari "Go Kajo no Seimon" atau Lima Dekrit Tenno yang dikeluarkan pada tanggal 14 bulan 3 tahun 1868. Salah satu faktor yanng menyebabkan Jepang ingin setara dengan negara-negara barat pada masa itu adalah mengenai perlakuan tidak adil yang mereka terima dari barat. Banyak peraturan yang dibuat oleh barat dalam hubungan nya dengan Jepang hanya memberikan keuntungan sepihak pada barat, sebagai contoh jika warga barat melakukan tindak kriminal di Jepang, maka hukum Jepang tidak berlaku untuk mengadilinya. Ada lagi yang lebih menyakitkan Jepang, barat campur tangan dalam menentukan hak Jepang ketika menang perang lawan Cina.9 Akibat penghinaan yang mereka terima ini, negarawan Meiji menjadari bahwa satu-satunya langkah yang harus diambil agar Jepang tidak lagi mengalami penghinaan yang serupa dikemudian hari, adalah dengan mengejar kemajuan negara-negara barat yang telah mempermalu mereka.

Buah pertama yang mereka petik dari usaha ini terlihat pada waktu menang dalam perang melawan Rusia, satu diantara negara besar masa itu Dalam perang laut yang berlangsung tahun 1905-1905 itu, armada angkatan laut Rusia berhasil dihancurkan oleh Angkatan Laut Jepang dibawah pimpinan Laksamana Togo. Disamping mendapat hak atas Korea, sebagian Sakhalin, yang lebih penting lagi adalah pihak barat mengakui Jepang sebagai salah satu negara besar dunia .

Dengan kemenangan besar atas Rusia ini menyebabkan Jepang bisa bertindak sama dengan apa yang diambil oleh negara-negara barat masa itu. Jepang mulai menjalankann kebijakan politik imperalis terhadap negara-negara lain. Faktor pendukung dari politik imperalis yang dijalankan oleh Jepang ini adalah: ketakutan adanya pengawasan dari negara asing terhadap bagian integral perekonomian Jepang, seperti yang dialami oleh Cina, dan Asia Tenggara sudah tidak ada(Halloran, 1980:35). Ditambah lagi dengan strategi untuk mendapatkan daerah-daerah baru bagi pemasaran hasil produksi mereka , Jepang benar-benar belajar dengan baik nilai -nilai kekuatan militer barat. Tetapi dalam hal ini, yang patut mendapat perhatian kita sehubungan dengan langkah yang diambil oleh Jepang ialah : kemampuan mereka untuk mendapatkan formulasi sistem politik Eropah dan Amerika pada era Meiji, kemudian dengan cara mengandalkan kepribadian sendiri mencoba menciptakan keputusan akhir dari politik Jepang (Vinackke, 1950:362).

Pada saat pecahnya Perang Dunia I, posisi Jepang berada pada pihak yang beruntung. Medan perang seluruhnya berada di daratan Eropah, Jepang yang berpihak pada blok sekutu dengan leluasa mencaplok daerah konsesi Jerman Tsingtao di Cina daratan,kemudian memaksakan pada Cina untuk menerima 21 pasal tuntutan yang isinya tidak lain dari keinginan Jepang untuk menjalankan politik pengawasan terhadap Cina secara keseluruhan. Hal ini tampaknya merupakan permulaan pembentukan hegemoni Jepang di Asia Timur. Keuntungan lainnya ialah Jepang tidak terlihat langsung dalam perang, karena itu bisa mengembangkan kekuatan ekonominya dengan jalan memproduksi peralatan perang yang dibutuhkan oleh sekutunya di medan perang Eropah. Kondisi ini mengakibatkan Jepang juga berhasil memperkuat bidang politik dalam dan luar negerinya.

Setelah Perang Dunia I berakhir , banyak negarawan era Meiji yang meninggal, dan mulailah pemerintahan dikuasai oleh kelompok orang-orang dari dari generasi baru. Ditandai dengan wafatnya Kaisar Mutsuhito pada tahun 1912, mulailah Kaisar Yoshihito memegang tampuk pemerintahan . Tetapi Kaisar yang mengambil nama Taisho sebagai nama selama ia memerintah ini kurang pandai bila dibandingkan dengan ayahnya, sehingga karena lemah ingatan, pada tahun 1921 jalannya pemerintahan harus diwakilkan kepada anaknya Hirohito, yang notabene masih kecil umurnya. Pada masa inilah kaum militer mulai memainkan perannya, kalau boleh dikatakann pemegang kunci dalam peta politik Jepang.

Adanya anggapan bahwa Kaisar adalah suci dimata rakyat, dan pernyataan ini juga terdapat dalam Undang-Undang Dasar Meiji (Bab I pasal 3) , maka selama masa pemerintahann Yoshihito yang lemah ingatan, usia Hirohito yang masih kecil untuk memerintah, kelompok gabungan dari militer, kaum ultra nasionalis dan zaibatsu (kartel) berhasil membawa rakyat Jepang sesuai keinginan mereka.

Tahun 1929 terjadi depresi ekonomi yanng melanda seluruh dunia, kritis ini menyebabkan banyak negara yang mengambil kebijakan untuk bisa terhindar dari malapetaka ini. Ada negara yang membatasi jumlah impor dari luar negeri, dan memperbanyak jumlah ekspor. Ada juga yang membakar hasil produksi supaya harga jangaan sampai merosot. Jepang yang tidak luput dari krisis ini mencoba mencari tempat pelemparan hasil produksinya. Tetapi karena sejak awal abad 20 bangsa Jepang secara aktif atas dasar ras terang-terangan dilarang hadir dalam wilayah kekuasaan Amerika dan Inggris(Reischauer, 1982: 122), maka masyarakat Jepang merasa bahwa mereka tidak hanya didiskriminasi dengan cara sangat menghina, tetapi secara ekonomi juga ditekan. Perasaan nasionalisme Jepang bangkit, kekuatan senjatalah yang berbicara, dan ekspansi militerpun menjadi hal yang mendasar sifatnya. Daratan Cina yang menjadi sasaran pertama Jepang tentu saja tidak mau menjadi mangsa, perlawanan yang gigih rakyat Cina membuat Jepang hanyut dalam perang yang berkepanjangan, dan kalau boleh dikatakan tanpa hasil yang nyata.

Langkah yang dijalankan Jepang di daratan Cina ini banyak mendapatkan tantangan, terutama datangnya dari Uni Soviet dan Amerika. Tetapi dengan pecahnya Perang Dunia II tahun 1939 di medan Eropah, menyebabkan Jepang agak lebih leluasa bergerak. Walaupun demikian, Amerika yang belum terlibat dalam perang terus melakukan penekanan terhadap Jepang. Dengan menjalankan embargo minyak tahun 1940, yang diikuti oleh Belanda dan Inggris, membuat posisi Jepang terpojok. Sebab tanpa minyak yang sebelumnya banyak berasal dari Amerika, Jepang tidak akan dapat melanjutkan peperangan di daratan Cina, ditambah dengannakan merosotnya produksi industri dalam negerinya.

Sehubungan dengan langkah yang diambil Amerika ini, membuat Jepang mau tidak mau harus mencari sumber minyak baru. Akhirnya Jepang tiada pilihan lain lagi selain menguasai daerah-daerah penghasil minyak di Asia Tengggara, dan Konsekwensi logis yang harus dihadapi oleh Jepang adalah berhadapan dengan sekutu Amerika seperti Belanda dan Inggris sebagai penguasa daerah penghasil minyak tersebut. Untuk menghindari konflik dengan Amerika, Jepang mencoba mengadakan pendekatan melalui meja perundingan, yang tujuannya adalah membujuk Amerika untuk menghentikan boikotnya terhadap Jepang.

Akibat permintaan Amerika yang terlalu berat untuk dapat dipenuhi Jepang (Toyama, 1974 : 1921), kabinet Tojo Hideki yang bersifat militeristis daripada kabinet Konoe Fummimaro melihat, bahwa perundingan dengan amerika tidak akan banyak lagi berguna bagi Jepang. Maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan minyak adalah terjun dalam perang.

Pada tanggal 5 November 1941, armada laut Jepang mengadakan pertemuan di Teluk Tankan, kepulauan Kuril di sebelah utara Kyushu (Toyama, 1974 : 203). Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk bersama-sama bertolak ke jurusan Timur dan menyerang pangkalan armada Amerika, Pearl Harbor di kepulauan Hawai. Setelah semua kapal perang terkumpul , pada tanggal 26 November 1941 berangkatlah iring-iringan armada laut Jepang ini untuk melakukan misi rahasia, mengadakan serangan pendadakan atas titik sasaran. Arrmada ini terdiri dari 2 kapal penempur, 6 kapal induk dengan lebih kurang 350 pesawat terbang, 3 kapal penjelajah, 11 kapal perusak, 8 kapal tanker dan 3 kapal selam. Operasi yang direncanakan oleh Laksamana Yamamoto Isoroku, pemimpin tertinggi seluruh armada Jepang yang pernah belajar di Amerika ini, dipimpin oleh Laksamana Nagumo, dan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Laut Jepang, Laksamana Kusaka.

Tahun 1942 (Showa 16) , tanggal 8 Desember waktu Jepang atau tanggal 7 waktu Hawai, jam 7 pagi yang cerah di hari Minggu, Pearl Harbor dibombardir dari laut dan udara. Dalam serangan ini, Jepang berhasil menghancurkan 16 kapal penempur dan 300 pesawat udara Amerika (Fujjimoto, 1975:91). Dengan terjadinya pembokongan terhadap Pearl Harbor ini, bermulalah Perang Dunia di belahan Pasifik.

Dengan gerak cepat Jepang dapat mencaplok daerah-daerah yang kaya akan sumber alam, terutama minyak. Bermula dengan jatuhnya Malaya 9 Desember 1941, lalu diikuti oleh Singapura, Philippina, Indonesia (masih bernama Hindia Belanda), serta Hongkong diduduki Jepang, dan hanya dalam waktu 6 bulan bendera Hi no Maru berkibar antara Lashio di Birma sampai kepulauan Wake di Pasifik tengah.

Pada awal perang, nampak pihak Jepang berada pada posisi yang afensif. Tapi sejak pertengahan tahun 1942 , situasi perang mulai berubah, tepatnya ketika Jepang mengalami kekalahan dalam perang laut di Midway tanggal 3 sampai 6 Juni 1942. Penyebab kekalahan Jepang ini tidak lain karena seluruh industri dalam negeri Amerika difokuskan untuk keperluan perang. Sedangkan dipihak lain, Jepang yang telah dirasuki penyakit kemenangan, terlena untuk bekerja dalam setiap pabrik yang berfungsi bagi kelangsungan jalannya perang. Faktor penentu lain adalah terdapatnya perbedaan yang mendalam dalam tubuh angkatan perang Jepang. Semenjak ini Jepang mulai berada pada pihak yang defensif, dan mulailah sedikit demi sedikit sekutu menapak maju untuk sampai ke daratan Jepang.

Pada masa Perang Dunia II ini, kebijakan sekutu adalah mengalahkan musuh yang ada di Eropah terlebih dahulu, kemudian beralih untuk sama-sama menghadapi Jepang di medan Perang Pasifik . Langkah ini tepat, karena Jerman berada di tengah lingkungan negara-negara sekutu Eropah, maka mudah untuk diserang dari segala arah . Amerika Serikat dalam pelaksanaan kebijakan ini diberikan kebebasan untuk tetap dalam prinsipnya yaitu : turut dalam memberikan bantuan dalam menghadapi Jerman di medan perang Eropah , tapi juga terus menghadapi Jepang di medan perang Pasifik.

Setelah Jerman kalah pada tanggal 7 Mei 1945 , kondisi Jepangpun mengarah pada hal yang sama. Setelah melakukan operasi-operasi untuk bisa sampai ke Jepang yang memakan korban tidak sedikit, akhirnya Juni 1945 Amerika mendarat di Okinawa. Pada pulau inilah operasi Amerika dalam Perang Pasifik berakhir. Douglas MacArthur merencanaka akan mendaratkan pasukannya di pulau-pulau utama Jepang dalam bulann Desember 1945.

Dengan jarak hanya 330 mil dari Okinawa, Tokyo bisa dijangkau oleh pesawat pembom berat Amerika. Mulailah terbuka mata rakyat Jepang, bahwa mereka tidak saja berada diambang kekalahan, tetapi juga diambang kehancuran. Pada saat daratan Jepang sedang dalam suasana kalut akibat serangan udara san laut sekutu di bulan Juli 1945, di Potsdam sedang berunding para kepala pemerinntahan negara-negara sekutu yaitu : H.S. Truman (Amerika), Stalin (Uni Soviet), Churchill (Inggris) dan Chiang Kai Sek (Cina) . Dalam perundingan ini, pada tanggal 26 Juli dikeluarkan sebuah Ultimatum kepada pemerintah Jepang untuk menyerah pada pihak sekutu (Toyama, 1974: 207), tetapi Jepang menolak untuk menerima ultimatum ini. Sebagai akibatnya, tanggal 6 Agustus 1945 Hiroshima dihancurkan dengan bom atom yang pertama kali dalam sejarah umat manusia, berikutnya tanggal 9 bulan yang sama, Nagasaki mengalami hal yang serupa. Dengan kejadian ini, Kaisar Jepang terpaksa menyuruh kabinet atas nama pemerintahan untuk menerima persyaratan yang diajukan oleh sekutu.

Tanggal 15 Agustus 1945, berkumandanglah rekaman suara Kaisar pada seluruh rakyat Jepang. Isinya adalah pernyataan pemerintah Jepang untuk mengakhiri perang dan menyerah pada sekutu. Jepang telah menyerah, walaupun belum ada satu orang tentara sekutu yang menjejakkan kakinya ke daratan Tokyo. Sebagai tindakan lanjut dari keputusan pemerintahan tadi, tanggal 2 September 1945 dilakukan penandatanganan penyerahan militer Jepang kepada sekutu di atas geladak kapal Missouri yang berlabuh di teluk Tokyo. Pada saat ini mulailah Jepang mengalami masa pendudukan.

Jendral Douglas MacArthur yang menjadi Panglima Pasukan Pendudukan Sekutu di Jepang , diberi tugas untuk menjalankan kebijakan negara-negara sekutu yang akan diterapkan pada Jepang. Meskipun dalam teorinya semua kebijakan itu adalah berasal dari negara-negara yang bergabung dalam blok sekutu, tetapi dalam kenyataannya semua kebijakan ini adalah kebijakan yang berasal dari pemerintahan Amerika Serikat, yakni berasal dari rumusan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perang, Kementerian Angkatan Laut dan Lembaga lain pada waktu akan berakhirnya perang (Quigley,1956:91).

Beranjak dari pengalaman Perang Pasifik yang banyak memakan korban jiwa, pemerintah Amerika ingin agar Jepang yang mereka anggap sebagai penyebab terjadinya peristiwa itu tidak bisa lagi menjadi kuat , maka dijalankanlah berbagai kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut. Militer Jepang dihancurkan, mereka yang terlibat dalam politik agresi dibawa kepengadilan militer untuk menjalani hukuman, zaibatsu dihapuskan. Dengan kata lain, setiap potensi dimana kekuatan Jepang sebagai satu bangsa ada, tidak akan dibiarkan hidup oleh Amerika.

Setelah menjalankan kebijakan di atas, Amerika melihat bahwa masih ada satu sumber kekuatan Jepang yang paling mendasar sifatnya. Sumber itu tidak lain dari Undang-Undang Dasar Meiji . Sebagai satu naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari lembaga pemerintahan suatu negara , serta menentukan pokok cara badan tersebut , maka dia menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan, bagaimana tujuan negara harus dicapai, bagaimana warga negara harus bertingkahlaku, dan sebagainya. Melihat kondisi ini, kita bisa mengerti pandangan Amerika untuk sampai takut pada Undang-Undang Dasar Meiji . Hal ini telah dirasakan Amerika pada saat berlangsungnya Perang Pasifik, tidak sedikit pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang dengan berkedok atas nama Kaisar, dan semua isi dari pernyataan itu ditaati oleh seluruh rakyat.

Melihat hal ini, pemerintah Amerika tidak ingin dikemudian hari melihat kepatuhan rakyat yang kuat terhadap Kaisar ini akan menyebabkan munculnya kembali Jepang seperti yang mereka hadapi dalam Perang Pasifik lalu. Kebijakan yang perlu diambil adalah dengan menghilangkan predikat suci Kaisar dari dalam hati rakyat Jepang . Satu-satunya jalan untuk itu adalah dengan merubah Undang-Undang Dasar Meiji dengan Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan keinginan Amerika. Berdalih dengan penyerahan militer tanpa syarat Deklarasi Potrsdam, Douglas MacArthur m sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu atas Jepang merasa tidak perlu khawatir dengan rencana yang akan dilaksanakannya ini.

Penyusunan Undang-Undang Dasar Baru Jepang 1946Beberapa saat setelah Douglas MacArthur mulai bertugas, tepatnya tanggal 27 September 1945, dia melakukan satu tindakan yang akan menyebabkan perubahan mendasar terhadap Jepang . Pada tanggal itu Douglas MacArthur menerima kunjungan Kaisar di kedutaan besar Amerika. Tindakan ini dianggap oleh semua rakyat Jepang sebagai perbuatan yang menghina kehormatan Kaisar mereka yang suci. Karena jauh sebelumnya, tidak pernah bagi rakyat Jepang sekalipun untuk dapat melihat wajah Kaisar mereka dalam suatu pertemuan resmi, apalagi hal ini dilakukan oleh orang luar Jepang. Ditambah lagi dengan suatu kenyataan, bahwa tidak ada pertemuan umum yang dapat memperbincangkan perihal Kaisar bisa tercipta di kalangan rakyat Jepang, sebab hal ini akan berarti sebagai " Lese Mayeste" atau Penghinaan Bagi Kaisar. Ketika Kaisar dan Douglas MacArthur muncul dihalaman muka koran harian Asahi Shinbun tanggal 28 September 1945, pada diri rakyat Jepang mulai muncul pertanyaan. Bisakah kepercayaan yang selama ini mereka anut akan tetap ada ?, masihkah Kaisar suci sebagai keberadaan Jepang sebagai satu bangsa ?. Memang pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang diinginkan oleh MacArthur, sebab ia berkeinginan untuk memperlihatkan kepada rakyat Jepang bahwa Kaisar mereka tidak lebih dari manusia biasa,sama seperti manusia yang lain. Meskipun demikian, hal yang lebih penting untuk dicapai oleh MacArthur dalam pertemuannya dengan Kaisar ini ialah, agar Kaisar bersedia untuk mengadakan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Meiji yang menjadi sumber kekuatan Jepang sebagai suatu bangsa.

Berpegang pada keinginan MacArthur ini, Kaisar memerintahkan kabinet Shidehara Kijuro membentuk beberapa komisi yang ditugaskan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan terhadap isi Undang-Undang Dasar Meiji. Pangeran Konoe Fumimaro ditunjuk sebagai ketua komisi untuk memperbaharui Undang-Undang Dasar Meiji tanggal 11 Oktober 1945, hasil komisi ini tidak ada sebab Konoe yang dituduh sebagai penjahat perang oleh Amerika melakukan bunuh diri tanggal 18 Desember 1945 di penjara Sugamo, Tokyo. Sejalan dengan itu dibentuk juga satu komisi yang diketuai oleh Matsumoto Joji, seorang yang berasal dari golongan koservatif radikal. Komisi Matsumoto ini dibentuk tanggal 13 Oktober 1945, dia ini adalah salah seorang dari Menteri Negara pada kabinet Shidehara Kijuro.

Komisi-komisi ini dalam bekerja tentu saja tidak dapat melepaskan diri dari keinginan untuk meletakkan dasar daripada kekuasaan negara Jepang dalam setiap rancangan Undang-Undang Dasar yang mereka kerjakan, yaitu kedaulatan rakyat dinyatakan oleh Kaisar Jepang sebagai lambang kesatuan seluruh rakyat dan negara.10 Tetapi akibat Douglas MacArthur tidak setuju terhadap materi Undang -Undang Dasar yang dibuat oleh komisi di atas, maka hasil kerja komisi-komisi ini dikesampingkan oleh kabinet Shidehara Kijuro.

Pada tanggal 4 Maret 1946, rancangan perubahan Undang-Undang Dasar Meiji dari komisi Matsumoto Joji secara resmi ditolak oleh kabinet.11 Akan tetapi dua hari kemudian, secara tiba-tiba kabinet Shidehara Kijuro mengumumkan bahwa kabinet telah menerima baik suatu, rancangan Undang-Undang Dasar yang berprinsip Demokrasi dan Perdamaian. Tentu saja hal ini terasa aneh bagi aneh bagi kita, sebab tidak pernah diketahui kabinet ada membentuk satu badan yang harus mengadakan perubahan-perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Meiji selain dari komisi-komiisi di atas, dan lagi pula jarak waktu antara penolakan rancangan yang diajukan oleh Matsumoto Joji dengan pemerinntah ini sedemikian pendeknya (hanya dua hari ), sehingga dapat dipercaya bahwa Douglas MacArthur lah yang menyiapkan rancangan Undang-Undang Dasar yang bersifat demokrasii dan perdamaian itu. Ternyata memang benar, pada tanggal 3 Februari 1946 Douglas MacArthur menginstruksikan Brigadir Jendral Cuortney Whitney, Kepala Seksi Pemerintahan12 dalam lembaga SCAP untuk menyiapkan satu rancangan Undang-Undang Dasar. Dalam pembuatan rancangan Undang-Undang Dasar ini, tidak ada indikasi yang menunjukkan adanya orang Jepang sebagai anggota. Malahan, semua anggotanya tidak ada satupun yang ahli tentang masalah pemerintahan, politik dan kebudayaan Jepang (Quigley, 1956:112). Bersamaan dengan itu, kabinet Shidehara Kijuro berusaha mempelajari rancangan tadi, dan mengadakan beberapa perubahan yang diterima dengan baik oleh Douglas MacArthur.

Dihadapkan pada situasi ini, kabinet dan Kaisar Jepang tidak melihat adanya jalan lain untuk membuka kemungkinan secepatnya terlepas dari penekanan sekutu, terpaksa menerima rancangan Undang-Undang Dasar hasil karya MacArthur tersebut. Amanat kerajaan pada hari itu berbunyi :

"selaras dengan penerimaan kita akan proklamasi Potsdam, maka bentuk akhir pemerintahan Jepang harus ditetapkan oleh kehendak yang diutarakan dengan bebas. Saya menginsyafi benar akan kesadaran dan keadilan bangsa kita, kehendaknya untuk hidup secara damai dan menegakkan budaya baru, keputusannya secara tegas mengharamkan perang dan memelihara, serta memajukan persahabatan dengan semua negara di dunia. Oleh sebab itu, saya ingin agar supaya Undang-Undang Kekaisaran kita dirubah secara mendalam, berdasarkan kehendak rakyat dan pokok-pokok hak asasi manusia. Bersama ini saya perintahkan pembesar pemerintahan saya melaksanakan hal ini sesuai dengan kehendak saya, dan sungguh-sungguh berhasil dalam penyelesaiannya" (Quigley, 1956: 117-118).

Pemerintah juga mengeluarkan pernyataan, Perdana Menteri Shidehara Kijuro mengatakan:

"Kemarin Kaisar berkenan menyampaikan amanat kerajaan kepada kabinet. Supaya bangsa kita bersama-sama dengan bangsa-bangsa lain dapat mencapai hasrat bersama perikemanusiaan. Kaaisar mengambil keputusan dan memerintahkan supaya Undang-Undang Dasar Meiji dirubah dalam pokok-pokoknya sedemikian rupa, sehingga memungkinkan atas dasar baru itu bisa menegakkan Jepang yang demokratis dan damai.

Dari peperangan yang memusnahlkan peradaban manusia dalam abad-abad yang lampau, dunia bergerak dengan perlahan, tapi pasti ke arah perdamaian, dari kekejaman ke saling kasih mengasihi, dari perbudakan ke kebebasan, dari kekacauan dan keganasan ke ketenteraman. Apabila kita menghendaki bangsa kita menempati kedudukan terhormat diantara keluarga bangsa-bangsa di dunia ini, maka kita harus mengusahakan agar Undang-Undang Dasar kita menegakkan dengan kuat dasar yang menjadi pokok dari suatu pemerintahan yang demokratis, ini adalah usaha kita yang ke dalam. Sebaliknya, usaha kita keluar adalah berpikir dan bertindak mendahului negara-negara lain dalam meniadakan peperangan. Untuk itu, kita harus membatalkan untuk selama-lamanya perang sebagai hak kedaulatan negara, dan kita harus menyatakan kepada seluruh dunia mengenai keputusan kita untuk menyelesaikan setiap sengketa ataupun pertikaian internasional dengan jalan damai.

Saya percaya bahwa seluruh rakyat dan bangsa kita akan menyambut kehendak sederhana serta penuh maksud baik dari Kaisar kita ini, dan untuk kepentingan tenteram dankebaikan bagi negara, seluruh rakyat dengan segala kemampuannya akan menyertai dan memberi isi pada dokumen yang sangat penting ini. Dengan harapan seperti inilah pemerintah mengumumkan garis-garis besar dari pada rencana Undang-Undang Dasar ini" (Quigley, 1956: 118).

Apabila kita teliti dengan seksama, maka kita temukan dalam kedua pernyataan di atas bahwa anjuran agar rencana Undang-Undang Dasar itu diterima dengan baik oleh rakyat berisikan satu kenyataan dari tidak berkuasanya Kaisar. Walaupun demikian, bisa dimengerti pula bahwa maksud dan isi dari kedua pernyataan yang ditujukan kepada rakyat ini merupakan pesan dari atasan (Kaisar) sebagai manifestasi Tuhan, dan harus dipatuhi oleh bawahan semua hambanya(rakyat). Kepatuhan seperti inilah yang menjadi ciri khas dari manusia Jepang, dan kisah nyata dari kejadian yang menggambarkan kepatuhan ini tercermin pada saat Jepang menerima kalah dari Sekutu. Lagi pula, kalau Kaisar dan pemerintah Jepang tidak melakukan tindakan seperti itu, maka Jepang dianggap tidak memenuhi syarat-syarat yang harus mereka terima sesuai dengan isi Deklarasi Potsdam.

Jendral Douglas MacArthur selaku Panglima Tertinggi Pasukan Pendudukan Sekutu atas Jepang, dalam hal ini juga mengeluarkan pernyataan sehubungan dengan adanya kata sepakat terhadap rencana Undang-Undang Dasar baru yang akan berlaku ini. Isi dari pernyataan Jendral Douglas MacArthur adalah sebagai berikut:

"Dengan kepuasan yang mendalam, hari ini saya berkesempatan untuk mengumumkan suatu keputusan Kaisar dan pemerintah Jepang, yang menjanjikan kepada rakyat Jepang suatu Undang-Undang Dasar baru dan modern, dan hal ini saya setujui sepenuhnya. Instrumen ini dihasilkan sesudah mengalami proses penyelidikan yang seksama, dilakukan melalui perundingan yang berulang kali dijalankan antara pemerintah Jepang dengan Markas Besar SCAP sejak lima bulan yang lalu.

Dengan menyatakannya sebagai suatu undang-undang tertinggi untuk Jepang, maka Undang-Undang Dasar ini menempatkan kekuasaan tertinggi negara ke dalam tangan rakyat. Ia menegakkan kekuasaan pemerintah dengan menempatkan kekuasaan utama pada suatu badan legislatif yang dipilih sebagai pencerminan dari rakyat. Meskipun demikian, agar kekuasaan tersebut tidak menjadi kekuasaan yang otokrasi sifatnya, maka ada badan pengawas yang setara kedudukannya dengan lembaga legislatif tadi, yakni lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif. Dengan demikian bisa dihindari adanya kekuasaan negara yang dapat menjelma menjadi semena-mena dalam menjalankan masalah kenegaraan. Undang-Undang Dasar ini menetapkan bahwa Kaisar tidak mempunyai hak untuk memerintah, dan tidak punya hak atas harta benda kenegaraan. Kaisar tergantung kepada kehendak rakyat, ia hanyalah lambang persatuan dari seluruh rakyat. Undang-Undang Dasar ini memperlengkapi dan menjamin untuk rakyat hak-hak asasi manusia yang bisa memberikan kepuasan pada standar umum dan khusus dari hak-hak asasi itu sendiri. Undang-Undang Dasar ini melepaskan untuk selama-lamanya belenggu feodalisme, memenuhi standar yang baik bagi hubungan perikemanusian yang beradab, merupaka alat terpilih yang didasari oleh paduan filsafat politik yang memang diperjuangkan oleh insan-insan yang jujur.

Adapun yang terpenting daripada peraturan-peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar ini adalah pembatalan perang sebagai hak kedaulatan negara; penghapusan untuk selama-lamanya ancaman dan pemakaian kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan pertikaian dan persengketaan dengan bangsa lain, dan untuk selanjutnya melarang usaha untuk mensahkan adanya suatu angkatan darat, laut, dan udara, atau sesuatu alat kekuasaan perang. Dengan persetujuan dan ikatan ini, Jepang menyerahkan hak-hak yang bertalian dengan kedaulatannya sendiri, dan menggantungkan keamanan dari negaranya, serta perlindungan terhadap kepentingannya di masa depan kepada hasrat baik dan rasa keadilan dari bangsa-bangsa yang suka damai.

Rakyat Jepang dengan jalan ini menolak dengantegas kegaiban dan segala sesuatu yang tidak nyata ada pada masa lampau, dan ia menghadapi suatu masa depan yang nyata dengan keyakinan dan harapan yang baru" (Quigley, 1956: 118-119).

Dari apa yang diutarakan MacArthur ini kita dapatkan suatu kenyataan bahwa Undang-Undang Dasar baru ini bukanlah suatu amandemen biasa daripada Undang-Undang Dasar Meiji. Akan tetapi, rencana yang diumumkan itu merupakan suatu konsep Undang-Undang Dasar yang sama sekali baru sifatnya. Pernyataan MacArthur ini cukup jelas bagi kita bahwa konsep itu menyebabkan terjadinya perubahan yang radikal terhadap semua sendi yang ada dalam Undang-Undang Dasar Meiji. Dapat dikatakan disini, bahwa tidak ada suatu prinsip pokok yang ada dalam Undang-Undang Dasar Meiji yang tidak menerima perubahan, malah seluruh rangka Undang-Undang Dasar Meiji tidak mungkin lagi dijumpai dalam rencana Undang-Undang Dasar baru ini.

Dalam masa seperti itu, MacArthur dan kabinet Shidedara tidak melihat lagi adanya kemungkinan bahwa rencana ini dapat diterima melalui referendum, juga tidak mungkin bisa disetujui oleh suatu dewan atau badan hasil pilihan rakyat secara langsung. Tambahan lagi, Douglas MacArthur menghendaki sisa-sisa politikus perang (warmongers)