62
Pendahuluan Dewasa ini, diakui atau tidak, Jepang adalah salah satu negara adi daya dalam bidang ekonomi, industri, keuangan, dan teknologi. Bahkan boleh dikatakan, tidaklah berlebihan bila negara ini juga dianggap memiliki kekuatan militer terbesar dalam masyarakat dunia internasional. Dengan kekuatan tersebut, Jepang akan mampu mempengaruhi kondisi dan situasi dari lingkungannya, tidak saja negara tetangga, tapi juga kawasan, baik yang dekat, maupun yang jauh. Apa yang dicapai Jepang menjadi sesuatu yang diimpikan oleh negara lain; dia menjadi simbol bagi suatu negara yang ingin membangun perekonomian nasionalnya; Jepang mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi negara yang ingin kebudayaan nasionalnya tidak punah akibat pengaruh luar. Pendek kata, Jepang adalah sosok dari negara yang perlu ditiru oleh negara lain kalau ingin maju. Langkah untuk meniru bagaimana caranya Jepang sebagai satu negara dapat mencapai kondisi seperti saat ini nampaknya sedang giat- giatnya dilakukan oleh banyak negara, terutama di Asia. Singapura mampu menjadi salah satu “macan” Asia setelah melakukan langkah “Learn From Japan”; Malaysia mulai tinggal landas menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia setelah melakukan kebijakan “Look East Policy” di awal 80-an; Thailand memiliki Pusat Pengkajian Jepang untuk meneliti Jepang khususnya dalam bidang kebudayaan dan peradabannya); tidak juga ketinggalan Indonesia, dengan Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia nya dapat dijadikan sebagai indikasi adanya upaya untuk mengenal lebih jauh model yang dijalankan Jepang dalam melakukan pembangunan nasionalnya. Salah satu cara yang dilakukan Jepang adalah dengan menciptakan adanya kesamaan persepsi dari seluruh lapisan masyarakat bangsanya dalam melihat apa yang terbaik bagi mereka. Kesamaan persepsi ini terlihat dalam kebijakan yang diambil oleh negarawan Meiji ketika merumuskan kebijakan nasionalnya pada tahun 1868. Dari Wakon Kansai Ke Wakon Yosai Awal abad 17, tepatnya tahun 1602, Imperialisme Barat (dalam hal ini bangsa Belanda) mendirikan Kongsi Dagangnya (VOC) di Batavia. Pada 1

Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Pendahuluan

Dewasa ini, diakui atau tidak, Jepang adalah salah satu negara adi daya dalam bidang ekonomi, industri, keuangan, dan teknologi. Bahkan boleh dikatakan, tidaklah berlebihan bila negara ini juga dianggap memiliki kekuatan militer terbesar dalam masyarakat dunia internasional. Dengan kekuatan tersebut, Jepang akan mampu mempengaruhi kondisi dan situasi dari lingkungannya, tidak saja negara tetangga, tapi juga kawasan, baik yang dekat, maupun yang jauh.

Apa yang dicapai Jepang menjadi sesuatu yang diimpikan oleh negara lain; dia menjadi simbol bagi suatu negara yang ingin membangun perekonomian nasionalnya; Jepang mempunyai daya tarik yang sangat kuat bagi negara yang ingin kebudayaan nasionalnya tidak punah akibat pengaruh luar. Pendek kata, Jepang adalah sosok dari negara yang perlu ditiru oleh negara lain kalau ingin maju.

Langkah untuk meniru bagaimana caranya Jepang sebagai satu negara dapat mencapai kondisi seperti saat ini nampaknya sedang giat-giatnya dilakukan oleh banyak negara, terutama di Asia. Singapura mampu menjadi salah satu “macan” Asia setelah melakukan langkah “Learn From Japan”; Malaysia mulai tinggal landas menjadi salah satu kekuatan ekonomi Asia setelah melakukan kebijakan “Look East Policy” di awal 80-an; Thailand memiliki Pusat Pengkajian Jepang untuk meneliti Jepang khususnya dalam bidang kebudayaan dan peradabannya); tidak juga ketinggalan Indonesia, dengan Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia nya dapat dijadikan sebagai indikasi adanya upaya untuk mengenal lebih jauh model yang dijalankan Jepang dalam melakukan pembangunan nasionalnya.

Salah satu cara yang dilakukan Jepang adalah dengan menciptakan adanya kesamaan persepsi dari seluruh lapisan masyarakat bangsanya dalam melihat apa yang terbaik bagi mereka. Kesamaan persepsi ini terlihat dalam kebijakan yang diambil oleh negarawan Meiji ketika merumuskan kebijakan nasionalnya pada tahun 1868.

Dari Wakon Kansai Ke Wakon Yosai

Awal abad 17, tepatnya tahun 1602, Imperialisme Barat (dalam hal ini bangsa Belanda) mendirikan Kongsi Dagangnya (VOC) di Batavia. Pada tahun yang sama, di Jepang, pemerintahan militer Tokugawa di Edo, Tokyo sekarang, yang saat itu berpenduduk 1 - 1,5 juta jiwa (bandingkan dengan London atau Paris yang hanya 860 dan 650 ribu jiwa) melaksanakan kebijakan sakoku (politik pintu tertutup). Kebijakan politik pintu tertutup ini pada awal pelaksanaannya hanyalah berisi peraturan yang melarang orang Jepang pergi ke luar negeri, dan melarang orang asing datang ke Jepang. Tapi pada tahun 1632, aturannya menjadi lebih keras, melarang juga orang-orang Jepang yang berada di luar negeri untuk kembali ke Jepang. Dengan dilaksanakannya kebijakan sakoku yang berlangsung sampai tahun 1867, tidak berarti Jepang kehilangan kontak dengan Barat yang sudah maju akibat revolusi industri. Informasi mengenai perkembangan yang terjadi di luar Jepang masih bisa dikuasai dengan baik oleh penguasa militer Tokugawa melalui sebuah pulau kecil, Dejima, Nagasaki, yang memang diplot sebagai tempat untuk melakukan transaksi dagang dengan Belanda dan Cina. Dari orang-orang Belanda inilah (baik yang pedagang, maupun informan Tokugawa) informasi berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa bisa dimiliki Jepang, dan ilmu pengetahuan ini dikenal dengan nama rangaku (ilmu Belanda).

Semasa pelaksanaan politik pintu tertutup inilah rakyat Jepang yang sudah satu bahasa, bahasa Jepang, berusaha menciptakan Jepang sebagai satu bangsa dan satu tanah air. Berangkat dari

1

Page 2: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

keinginan untuk menciptakan Jepang yang kuat, maka semboyan Wakon Kansai yang berarti Spirit Jepang, Teknologi Cina, yang dianut Jepang sejak periode kuno mulai ditinggalkan. Penyebabnya tidak lain karena Cina sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai soko guru yang harus selalu diikuti dan ditiru, dia sudah menjadi vasal Barat (Amerika, Inggris, Perancis, dan Jerman).

Karena ilmu pengetahuan dan teknologi dikuasai Barat, maka semboyan yang dikumandangkan adalah Wakon Yosai atau Spirit Jepang, Teknologi Barat. Motivasi untuk bisa setara dengan Barat ini semakin kuat dirasakan rakyat Jepang pada saat akan berakhirnya pemerintahan militer Tokugawa (bakumatsu) di tahun 1853, ketika Commodore Matthew Perry dengan armada lautnya (kurofune-kapal hitam) mendarat di Uraga (teluk Tokyo), dan memaksa Jepang untuk membuka pelabuhannya bagi kepentingan kapal-kapal Amerika Serikat yang akan menuju ke koloni mereka di Philipina, Cina dan Guam. Penguasa militer Tokugawa dan kaum intelektual Jepang menyadari bahwa sekali mereka memberikan kesempatan kepada kapal-kapal Amerika untuk mendarat di pelabuhan Jepang, maka hal yang sama juga akan diminta oleh imperialis lainnya, seperti Inggris, Perancis, Rusia, Belanda, Jerman dan sebagainya. Kondisi seperti inilah yang terjadi ketika tahun 1854 Perry datang lagi dengan armada lautnya, Jepang dibuka secara paksa. Konsul Jenderal pertama Amerika Serikat pada waktu itu adalah Townsend Harris. Karena Amerika Serikat boleh, mengapa kami tidak, kata imperialis Barat lainnya. Maka berturut-turut, dibukalah pelabuhan Jepang bagi kapal-kapal Rusia, Perancis, Inggris dan lainnya.

Melihat kenyataan seperti ini, terbuka mata seluruh rakyat Jepang. Kita akan mengalami nasib seperti Hindia Belanda, Philipina, Malaya, Singapura, Cina, Vietnam. Harus ada yang dilakukan agar kita tidak menjadi koloni dari imperialis Barat. Debat dan pertikaian di antara rakyat Jepang, baik yang kontra, maupun yang pro membahas bagaimana dan dengan cara apa kelangsungan hidup bangsa bisa dipertahankan, mencuat ke permukaan. Rakyat Jepang yang progresif (diwakili oleh samurai muda dari empat han atau semacam propinsi militer yakni, Satsuma - sekarang Propinsi Kagoshima; Choshu - Yamaguchi; Hizen - Saga, dan Tosa - Kochi, keempat han ini disingkat SATCHOHITO

dalam sejarah Jepang) menginginkan agar Jepang segera membuka negara secara resmi terhadap dunia luar; dan muliakan posisi Kaisar. Di lain pihak, rakyat Jepang yang konservatif(diwakili oleh pemerintahan militer Tokugawa menginginkan agar kebijakan politik pintu tertutup tetap dipertahankan, dan juga muliakan posisi Kaisar.

Melalui dialog intensif yang cukup panjang (14 tahun), maka rakyat Jepang pada tahun 1867 memiliki satu persepsi yang sama terhadap masa depan bangsanya. Jepang hanya akan bisa setara dengan imperialis Barat, bahkan bisa lebih, apabila ilmu dan teknologi yang dimiliki Barat bisa dikuasai. Untuk bisa menguasai ilmu dan teknologi Barat itu, perlu adanya kebijakan nasional yang dipahami oleh setiap individu rakyat Jepang. Untuk menciptakan kebijakan nasional tadi, harus dibentuklah suatu pemerintahan yang kuat, yang mampu menjalankan kebijakan nasional tadi menjadi kenyataan. Struktur pemerintahan yang ada tidak mendukung kemungkinan terciptanya apa yang ingin dicapai, jadi struktur yang saat ini ada harus diubah. Satu-satunya jalan adalah mengembalikan semua hak dan wewenang untuk memerintah kepada satu tangan, dan individu yang menjadi panutan untuk memangku jabatan tersebut adalah Kaisar.

Dipelopori oleh samurai muda terpelajar dari han SATCHOHITO seperti Saigo Takamori; Ito Hirobumi, Okuma Shigenobu, Okubo Toshimichi, Iwakura Tomomi, Kido Koin, Goto Shojiro, Eto Shinpei, Sakamoto Ryoma, Itagaki Taisuke dan lainnya, pada tanggal 3 Januari 1868, pemerintahan baru terbentuk. Kaisar Mutsuhito yang baru berusia 15 tahun naik tahta. Semua kebijakan yang berasal dari masa pemerintahan militer Tokugawa dinyatakan tidak berlaku. Masa pemerintahan

2

Page 3: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Kaisar Mutsuhito dijadikan momentum bagi kemajuan Jepang, dan nama yang cocok untuk itu adalah Meiji(pencerahan).

Dengan menempatkan orang-orang muda yang terpelajar, berani, berdedikasi tinggi, dan berdisiplin dalam struktur pemerintahannya, Kaisar Mutsuhito mulai menjalankan misinya untuk menciptakan Jepang yang kuat. Kebijakan nasional yang ingin dicapai adalah FUKOKU KYOHEI (Negara Kaya, Militer Kuat). Untuk itu, diperlukan adanya tatanan politik, tatanan ekonomi, tatanan industri yang mendukung tercapainya tujuan nasional tadi. Untuk menciptakan berbagai tatanan yang kuat ini, sangat dibutuhkan adanya sumber daya manusia yang trampil, kritis, berani, pandai, dan berdedikasi. Untuk menciptakan manusia seperti ini, satu-satunya cara hanyalah melalui pendidikan.

Menyadari bahwa pendidikan adalah penting(dalam pandangan kaum fungsionalis malah yang terpenting, faktor yang menentukan) dalam pembangunan nasional, pemerintah Jepang pada tahun 1872 membentuk kementerian Pendidikan. Setahun kemudian, pemerintah mulai berinisiatif untuk mengirim pemuda-pemuda yang terseleksi dengan ketat untuk belajar ilmu dan teknologi di Barat. Di lain pihak, pemerintah juga mendatangkan para pengajar yang berkualitas dari Barat. Kedua program yang dijalankan pemerintah ini sumbernya berasal dari dana nasional, oleh dana nasional, dan untuk nasional. Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ini merupakan implementasi dari salah satu diantara 5 Sumpah Suci Kaisar(GO KAJO NO GO SEIMON) yang berbunyi sebagai berikut “Pendidikan adalah penting bagi pembangunan nasional. Untuk itu, ilmu dan teknologi harus dituntut ke berbagai penjuru muka bumi demi kemajuan Jepang”.

Hasil dari sebuah perencanaan yang baik berhasil dipetik Jepang dengan sukses. Gabungan dari mereka yang pulang dari luar negeri dengan yang belajar dari pengajar luar di dalam negeri, membuat Jepang di tahun 1880-an menjadi negara pertama di Asia yang memiliki UUD modern dalam bentuk yang sama dengan apa yang dimiliki oleh imperialis Barat. Jepang menjadi negara pertama di Asia yang mampu memiliki industri besi dan baja dengan mendirikan pabrik besi dan baja Yahata. Jepang menjadi negara pertama di Asia yang mampu membuat kapal tenaga uap dan listrik dengan kontruksi baja. Dengan kata lain, Jepang memang banyak menjadi yang pertama di Asia pada masa itu, dan satu hal yang perlu diketahui adalah, posisi Jepang pada akhir abad 19 sudah berada pada 5 besar dunia.

Pada saat suatu kegiatan yang diusahakan untuk mencapai tujuan nasional pada tahap tertentu sudah selesai dilaksanakan, dia perlu diuji. Apakah kebijakan nasional itu tercapai atau tidak. Bagi Jepang, meskipun mampu memproduksi berbagai komoditi yang bisa membuat mereka menjadi kaya, tapi secara ekonomi mereka dilarang memasarkan produksinya di daerah jajahan imperialis Barat. Hal ini tidak terlepas dari rasa keunggulan ras orang kulit putih atas ras lainnya, dan ini membuat Jepang sakit hati. Jepang hanya akan kaya(Fukoku), apabila produksi atas barang-barang yang dibuat bisa dipasarkan tidak hanya dalam negeri, tapi yang paling penting adalah bisa dijual di pasaran internasional. Apakah ada cara untuk bisa menjual produksi tersebut dipasaran dunia? Jawabannya adalah ada. Melakukan strategi seperti yang dijalankan oleh imperialis Barat, yakni, dengan kekuatan senjata.

Mencontoh pada Perancis dan Inggris untuk Angkatan Laut, pada Jerman untuk Angkatan Daratnya, Jepang berhasil memodernisasikan Angkatan Perangnya. Kyohei (militer kuat) kah Jepang, dia perlu diuji. Pengujiannya adalah dalam rangka membuat Jepang kaya. Negara pertama yang menjadi sasaran Jepang adalah Cina. Melalui sengketa Korea, pada tahun 1894-1895 Jepang membuka perang dengan Cina. Dengan tentara yang berdisiplin tinggi, terlatih baik, memiliki patriotisme yang kuat, memiliki persenjataan yang modern, Jepang dengan mudah mengalahkan Cina. Sebagai akibat dari perang ini Jepang memiliki hak atas Korea, memiliki hak untuk mengoperasikan jalur kereta api

3

Page 4: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Manchuria Selatan, memiliki hak yang sama untuk berdagang di Cina seperti yang dimiliki imperialis Barat lainnya. Dari kejadian ini bisa kita lihat bahwa melalui perencanaan yang baik, dijalankan dengan baik, oleh orang-orang yang baik, diawasi dengan baik, maka FUKOKU KYOHEI sebagai kebijakan nasional Jepang membuahkan hasil.

Melihat hasil yang dicapai Jepang ini, imperialis Barat tidak senang. Rusia yang memang sejak masa lalu sudah menjadi musuh bagi Jepang berusaha menghasut Jerman dan Perancis untuk menghalangi Jepang dalam menggunakan jalur kereta Api Manchuria Selatan, dan hasutan ini berhasil. Intervensi tiga negara yang menghalangi apa yang menjadi hak Jepang berdasarkan konvensi sesama imperialis dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan. Rasa kebangsaan bangkit, musuh Jepang adalah Rusia, dan kita harus memperkuat diri dalam menghadapi perang yang akan datang. Hanya dalam jangka waktu 10 tahun setelah berakhirnya perang Jepang-Cina, ketika kemampuan dirasakan sudah memadai, tahun 1904-1905 Jepang kembali membuka perang melawan Rusia. Perang kali ini tidak sama seperti perang tahun 1894-1895, perang melawan Rusia adalah perang antara ras berwarna yang selama ini dianggap lemah melawan ras kulit putih yang unggul. Hasilnya adalah, Jepang keluar sebagai pemenang. Kemenangan yang dipetik Jepang atas Rusia, tidak saja membuat Jepang secara penuh berhak atas Manchuria Selatan dan Shakhalin, yang sangat penting bagi kesuksesan masa depan ekonomi mereka, tapi juga membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan rakyat Asia yang masih berada dalam belenggu imperialis Barat masa itu. Mulai saat kemenangan atas Rusia inilah Jepang secara penuh diterima sebagai anggota oleh imperialis Barat, dan tentu saja bertingkah laku sesuai dengan apa yang memang menjadi nilai dari imperialisme.

Belajar pada Jepang

Terlepas dari sikap dan tingkah laku yang Jepang jalankan saat ini, kita perlu banyak belajar pada mereka mengenai bagaimana usaha yang mereka jalankan sehingga bisa muncul sebagai negara yang maju. Beberapa faktor yang bisa diangkat ke permukaan sebagai indikator dari keberhasilan Jepang dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya adalah adanya kebijakan yang mandiri dari pemerintahan Meiji dalam melaksanakan program kerja; secara selektif dan ketat dalam menggunakan tenaga ahli luar negeri; menggunakan teknologi dan peralatan Barat sebagai pensupport proses mengajar dan belajar; memegang inisiatif dan kepemimpinan pada satu tangan; berkonsentrasi pada industri kunci yang dijalankan oleh masyarakat pribumi.

Kemandirian dalam menjalankan program kerja ini tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa Jepang memang berada pada situasi yang unik ketika memulai modernisasinya, yakni dia tidak tersentuh oleh adanya intervensi asing. Hal ini membuat Jepang mampu menjaga budaya nasional yang sangat diperlukan dalam upaya memodernisasikan negara. Sebab tak satu pun negara bisa maju apabila dia mengenyampingkan latar belakang budaya dan sejarahnya. Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang jauh dari perspektif sejarah bangsa yang bersangkutan adalah sama saja dengan sia-sia. Berangkat dari adanya budaya yang sama inilah, maka keterlibatan atau intervensi negara dalam proses pembangunan ekonomi dan industri di Jepang tidak bisa diragukan, malah, pada akhirnya yang saat menentukan.

Kondisi seperti inilah yang tidak dimiliki oleh kebanyakan negara Asia lainnya, hampir semua boleh dikatakan mengalami penjajahan Barat, dan saat ini pun kita melihat dengan jelas adanya peranan perusahaan multi-nasional asing dan intervensi langsung dari kekuatan asing terhadap negara dunia ketiga. Lebih buruk lagi situasinya, apabila pemerintah negara dunia ketiga mewakili kepentingan pihak lain yang tidak ada hubungannya, dan dalam banyak kasus malah berseberangan dengan kebutuhan yang sesungguhnya dari rakyat.

4

Page 5: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Pada banyak negara dunia ketiga, yang notabene adalah negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika kita lihat adanya rencana yang berskala nasional dalam konteks pembangun ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dijalankan setelah berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Namun, akibat kurangnya pengetahuan dari negara-negara ini dalam membuat cetak biru pembangunan nasionalnya, maka dengan mudah mereka jatuh ke dalam rangkulan negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya ketergantungan satu negara berkembang terhadap bantuan keuangan dari negara, baik itu mantan penjajahnya, maupun dari berbagai badan tinggi dunia lainnya. Pembangunan nasional suatu negara bagaimanapun tidak boleh atau tidak bisa dipaksakan oleh atau meniru pola yang datang dari luar negara bangsa yang bersangkutan. Sebab, jika pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi pengharapan rakyat, dia harus dicapai dengan tujuan dan melalui cara yang secara sadar dengan bebas dipilih oleh masing-masing komunitas masyarakat. kalaupun ada model pembangunan dari luar yang harus terpaksa untuk dijalankan, maka harus diperhatikan secara ketat dan selektif untuk menjamin bahwa “alih pengetahuan”, termasuk di sini alih ilmu sosial, alam, dan teknologi tidak akan mengganggu atau merusak tatanan dan kehidupan bagi perkembangan masyarakat pribumi itu sendiri.

Melihat apa yang telah Jepang jalankan di atas, ada yang rasanya perlu untuk dijawab oleh kita semua. Pertanyaan itu adalah “Apakah ada kebijakan nasional yang mendasari kegiatan yang berskala nasional, misalnya pengiriman atau keberadaan karya siswa Indonesia di luar negeri? Kalau ada kebijakan nasional untuk hal yang satu ini, apakah dana yang dikeluarkan untuk karya siswa tersebut berasal dari dana nasional? Kalau jawabannya ya, pertanyaan berikutnya adalah Apakah persepsi karya siswa tersebut sama terhadap kebijakan nasional yang ingin dicapai tersebut? Kalau jawabannya juga ya, maka apa yang dicapai Jepang juga akan bisa dicapai oleh Indonesia. Tapi kalau ada jawaban terhadap pertanyaan diatas yang ‘tidak’, untuk satu pertanyaan saja, maka usaha untuk maju akan terhambat. Apalagi kalau jawaban yang diberikan semuanya adalah ‘tidak’, maka tugas yang maha beratlah yang kita emban.

Meskipun masih ada sekitar 11 % rakyat Indonesia yang belum bisa membaca(apalagi untuk bisa mengerti) tentang apa yang menjadi kajian dari buku isi ini, marilah kita samakan persepsi kita mengenai apa yang dimaksud dengan satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air, dan pada akhirnya akan bermuara pada apa itu pembangunan nasional. Melalui media sejarah, diharapkan kita akan mampu melihat dan mengkaji ulang tentang apa saja yang perlu kita ambil dari pengalaman bangsa yang terlebih dahulu maju dari kita, dan sebaliknya, faktor apa saja, yang meskipun milik kita, tapi menghambat langkah untuk maju, harus pula kita singkirkan jauh-jauh dari ruang lingkup masyarakat bangsa ini.

BANTUAN LUAR NEGERI DAN PEMBANGUNAN NASIONALBercermin Pada Jepang

5

Page 6: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Terlepas dari pro dan kontra terhadap hasil yang tercipta dari bantuan luar negeri (Overseas Development Assistance - ODA) pada pembangunan nasional suatu negara, yang jelas, sejak program bantuan ini dilaksanakan pada awal usainya Perang Dunia II lalu, dia tetap, dan akan masih mengalir dari belahan dunia Barat atau Utara ke bagian Dunia Timur atau Selatan. Indikasi ke arah itu terlihat jelas dari sikap yang diambil oleh negara- negara yang tergabung ke dalam kelompok negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat. Jepang, misalnya, sebagai negara pemasok dana terbesar bagi Indonesia, begitu mengetahui dengan pasti bahwa delegasi IMF, salah satu dari lembaga keuangan internasional perpanjangan tangan Amerika Serikat akan datang ke Jakarta, segera mengambil inisiatif dengan mengirim delegasi yang dipimpin langsung oleh orang terkuat kedua di Jepang, Yamazaki Taku. Satu minggu kemudian kita pun kedatangan tim IMF, yang punya jadual untuk langsung bertemu dan berdialog dengan tim ekonomi Kabinet Gotong Royong. Pertemuan ini tentu saja memiliki arti penting bagi kedua belah pihak yang terlibat, sebab taruhannya jelas, yakni, kepentingan nasional. Bagi negara donor, kebijakan bantuan luar negeri yang sedang berjalan perlu untuk dipertahankan demi menjaga kehadiran mesin ekonomi mereka yang sudah mapan mereka ciptakan, siapapun yang memegang kendali pemerintahan di Indonesia. Sedangkan bagi kita, si penerima, bantuan luar negeri ini haruslah diterima sebagai alat yang mampu menciptakan dan mengakselerasikan tingkat kehidupan ekonomi dan sosial bagi seluruh rakyat, yang pada akhirnya mampu menghasilkan dunia usaha untuk membayar semua hutang-hutang yang tercipta. Dengan demikian, motif utama untuk berubah haruslah datang dari sikap kepemimpinan dan kekreatifan dunia usaha yang berasal dari komunitas masyarakat bangsa kita sendiri. Tulisan ini berusaha mengkritisi mekanisme kerja dari para pelaku pengambil keputusan dalam menciptakan cetak biru pembangunan nasional Indonesia selama ini. Hal ini penting dilakukan, agar proses otonomi daerah yang diharapkan mampu membawa rakyat ke arah berkehidupan yang lebih baik bisa tercapai.

Antara Harapan dan Kenyataan

Sebagai kebijakan pemerintah, cetak biru Pembangunan nasional suatu negara bagaimanapun tidak boleh, atau tidak bisa dipaksakan oleh, atau meniru pola yang datang dari luar negara bangsa yang bersangkutan. Sebab, jika pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi pengharapan rakyat, dia harus dicapai melalui cara yang secara sadar dan bebas dipilih oleh komunitas masyarakat bangsa yang bersangkutan. Kalaupun ada model pembangunan dari luar yang harus terpaksa untuk dijalankan, maka harus diperhatikan secara ketat dan selektif untuk menjamin bahwa “alih pengetahuan”, termasuk di sini alih ilmu sosial, alam, dan teknologi tidak akan mengganggu atau merusak tatanan dan kehidupan dari rakyat negara bangsa itu sendiri. Hal ini penting untuk dilakukan, sebab kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang jauh dari perspektif sejarah bangsa yang bersangkutan adalah sama saja dengan sia-sia. Kalau konsepsi seperti ini diterima, maka keterlibatan atau intervensi negara dalam proses pembangunan ekonomi dan industri tidak bisa diragukan, malah, pada akhirnya yang saat menentukan.

Beberapa faktor yang bisa diangkat ke permukaan sebagai indikator dari keberhasilan suatu negara dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya adalah adanya kemandirian dari pemerintah dalam melaksanakan program kerja; secara selektif dan ketat dalam menggunakan tenaga ahli luar negeri; menggunakan teknologi dan peralatan negara maju sebagai pendukung proses belajar dan mengajar; memegang inisiatif dan kepemimpinan pada satu tangan; berkonsentrasi pada industri kunci yang dijalankan oleh masyarakat pribumi.

Kemandirian dalam menjalankan program kerja yang didasari oleh prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” merupakan prasayarat terpenting bagi upaya pemerintah dalam memodernisasikan negara. Pengalaman dari negara-negara maju yang kita kenal dewasa ini, seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman,

6

Page 7: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Inggris, dan Jepang umumnya, khususnya pada dua negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, bisa dijadikan pelajaraan yang berharga. Pendek kata, contoh atau model pembangunan nasional yang dialami oleh negara-negara ini sebenarnya bisa kita tiru apa adanya, dan saya percaya, apabila prosesnya diikuti dengan benar dari awal, maka posisi kita juga akan mencapai kondisi yang sama dengan apa dicapai oleh negara-negara maju ini dalam kurun waktu tertentu. Malah, apabila pada saat proses pengadopsian tersebut berlangsung, juga diiringi dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat kita, maka saya juga percaya, bahwa negara bangsa ini bisa melakukan modifikasi agar proses pencapaian itu bisa dipercepat. Masalahnya di sini adalah, apakah para pelaku pemegang keputusan di tingkat nasional punya kemauan untuk merealisasikan hal ini.

Dalam banyak kebijakan yang mereka putuskan dapat kita lihat bahwa elite kita cenderung mengindahkan prinsip dari “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, mereka hanya mementingkan kelompok tertentu saja. Sebagai contoh, pasal 33 UUD 1945 jelas-jelas menyatakan bahwa kekayaan yang tersimpan dalam bumi laut dan udara kita ini harus dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, namun dalam kenyataannya, mereka(elite) merumuskan peraturan yang membolehkan orang asing menguasai usaha pertambangan (emas, batubara, perak, minyak dan sebagainya) dengan porsi 100%. Apa yang diterima negara sebagai pemilik yang sah atas sumber tadi hanyalah persentase dari hasil pengelolaan, dan besarnya hanya 20%. Dalam prinsip kemandirian melaksanakan program kerja juga terlihat hal ini tidak berlaku di Indonesia, sejak pemerintah melaksanakan pembangunan nasional pada awal 1970an, intervensi negara donor dalam menentukan proyek mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan begitu nyata terjadi. Penentuan dan seleksi terhadap tenaga kerja, pemakaian teknologi dan peralatan yang diperlukan dalam proses berlangsungnya sebuah proyek juga tidak bisa diputuskan oleh kita. Semuanya ditentukan oleh negara donor, negara yang sama sekali tidak mengerti, apalagi memahami apa yang terbaik bagi bangsa ini, negara yang sama sekali tidak menginginkan terjadinya kemakmuran bagi rakyat negara bangsa ini.

Selain itu, kita juga menjadi saksi sejarah dari buruk dan jahatnya tingkah laku yang dilakukan oleh para konglomerat Indonesia saat ini. Pelaku bisnis swasta ini sudah diberikan banyak kemudahan oleh pemerintah, tapi disalahgunakan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok sendiri. Betapa mudahnya mereka menghimpun modal dari dana masyarakat melalui usaha perbankan yang mereka buat, lalu mereka bangkrutkan bank tersebut, uangnya mereka bawa lari ke luar negeri, dan ditanggulangi oleh pemerintah melalui BPPN. Apalagi yang dapat diharapkan dari perilaku pengusaha seperti ini, jawabannya adalah tidak. Mereka tidak memiliki kesadaran untuk memperjuangkan terealisirnya apa yang diamanatkan oleh pasal 33 UUD 1945, dan butir ke 5 dari dasar negara, Pancasila.

Dari gambaran di atas nampaknya sudah jelas, bahwa hanya dari kemampuan sumber daya manusia negara bangsa ini sajalah terletak kekuatan yang bisa membawa negara bangsa ini ke arah berkehidupan yang lebih baik. Kesadaran akan hal inilah yang harus tetap dihidupkan, dipertahankan, dijaga, dan dibina oleh pemerintah. Dan kita, kaum terpelajar, harus bertanggung jawab untuk menyuarakan masalah ini dengan lantang. Jika kita, kaum terpelajar gagal melakukannya, maka tidak ada harapan bagi negara bangsa ini. Negara bangsa ini akan tetap dilecehkan, dihina, digunakan dan dipandang rendah. Konsekwensi berikutnya, seluruh daratan negara bangsa ini akan tetap menjadi tempat pembuangan sampah bagi reruntuhan negara-negara maju, termasuk sampah nuklir. Dan ini tidak hanya sekedar pernyataan hipotesa, seperti yang banyak dikumandangkan oleh media, dan ilmuwan Barat(donor)? Apa yang rakyat negara bangsa ini perlu sadari untuk alasan tertentu adalah, bahwa Barat(negara donor) tidak akan pernah mau, dengan niat atau alasan yang baik memperbolehkan siapa pun menyaingi, melawan, atau menggantikan kedudukan yang ditempatinya sebagai penguasa dunia. Di sini saya perlu pertegas, bahwa hanya ada satu negara bangsa yang mengerti masalah ini dengan baik, dan mampu bertindak dengan sesuai, tepat dan akurat, negara bangsa itu tidak lain adalah Jepang. Negara yang punya andil menghasilkan kaum terpelajar seperti kita, yang hari ini berkumpul untuk mendiskusikan dinamika sosial budaya Jepang sebagai inspirator dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

7

Page 8: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Sebagai anggota komunitas ilmiah yang menekuni masalah Jepang, sejak awal saya belajar di Program Studi Jepang FSUI, saya sudah tertarik dengan negara yang banyak disebut dalam berbagai sebutan seperti “bahaya kuning atau yellow peril”, “meteor atau comet”; negara yang dijatuhi bom atom dan diduduki; negara yang pernah mengalami penghinaan dan pemaksaan; negara yang diteliti dan disalahartikan; negara yang pernah diperbandingkan dengan Inggris Raya, Israel, Cina, India, dan dengan keseluruhan dunia ketiga. Namun demikian, boleh dikatakan tak ada definisi yang jelas, yang bisa menggambarkan secara jelas dan rinci tentang mereka. Bahwa mereka tidak masuk dalam kategori ras penguasa (master race-Barat), tetapi mereka juga tidak budak atau pesuruh dari ras penguasa tersebut. Mereka tidak adi daya dalam konteks politik, tetapi ekonominya mungkin melampaui mereka yang adi daya; mereka pernah diduduki secara militer, tetapi secara ekonomi, sekarang dia menaklukkan penakluknya. Bagaimana tipe dari manusia yang dikenal dengan “orang Jepang ini”? Bagaimana mereka mampu melepaskan diri dari belenggu penjajahan ekonomi Barat? Apa pelajaran yang bisa ditarik dari pengalaman Jepang ini? Pendekatan apa dan bagaimana yang harus dipakai? Jawaban atas semua pertanyaan ini membutuhkan kajian yang mendalam, dan ini menjadi tanggung jawab dari kita bersama, kaum terpelajar yang bergabung dalam forum seminar nasional X ASJI hari ini.

Berbicara tentang karakteristik model pembangunan nasional Jepang, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa Barat tidak membangun Jepang, dan Jepang tidak mengambil model pembangunan Barat, lalu menerapkannya di Jepang, seperti yang banyak diuraikan dalam analisa ilmuwan Barat. Pembangunan nasional Jepang merupakan hasil dari kesolidan proses pembangunan mandiri yang berlangsung selama periode kurang lebih dua ribu tahun dari sekarang, dan periode Tokugawa adalah juga bukan awal dari pembangunan ekonomi Jepang, tetapi sebaliknya, adalah akhir dari proses evolusi mandiri format ekonomi yang berlangsung selama periode kurang lebih dua ribu tahun tadi. Dalam paper ini penulis tidak bermaksud untuk membahas proses pembangunan nasional Jepang yang panjang ini, namun, sebagai ilustrasi, ada baiknya sedikit uraian tentang adanya kesamaan persepsi terhadap apa yang baik bagi komunitas rakyat negara bangsa ini perlu diutarakan.

Pada era Heian yang menggantikan era Nara di sekitar tahun 781 manusia Jepang sudah terbentuk sebagai satu komunitas yang merasa bahwa diri mereka merupakan satu kesatuan – orang Jepang (nihon jin). Mereka mulai mengkritisi kebiasaan luar, ditandai dengan adanya kebijakan nasional untuk mempertimbangkan penseleksian terhadap peradaban Cina guna menjaga, membangun, mengembangkan peradaban sendiri. Mereka sampai pada kesimpulan, yang perlu kita dengar, bahwa kerugian dari mendatangkan peradaban dari luar adalah adanya kekurangharmonisan antara kehidupan masyarakat yang sudah ada dengan peradaban yang didatangkan. Sedangkan keuntungan dari satu peradaban komunitas pribumi terletak pada keharmonisan dari kehidupan masyarakat yang sudah ada dan kekonsistensiannya terhadap alur sejarah bangsa itu pada masa lalu.

Berangkat dari adanya kesadaran atas sejarah peradabannya inilah bangsa Jepang, melalui elite mereka yang memenuhi unsur benar, baik, dan patut pada era Meiji (1867-1912) membawa Jepang pada kondisi yang kita lihat dewasa ini. Bagaimana sikap dan perilaku kepemimpinan elite Jepang dalam menangani berbagai kebijakan yang berskala nasional, yakni, tetap mengutamakan dan mengkedepankan prinsip “dari Jepang, oleh Jepang, dan untuk Jepang” perlu ditiru oleh pelaku pemegang keputusan pada tingkat nasional kita. Sebagai contoh, pada saat menggunakan tenaga kerja asing dalam berbagai proyek yang dijalankan, mereka tetap di bawah kontrol pribumi Jepang. Bagaimana elite Jepang menangani para tenaga kerja asing ini bisa dilihat dari pernyataan berikut:

“To make sure that foreigners did not endanger the political and economic independence of Japan, the government reserved all the important positions for the indigenous people and made use of foreigners only as employees in the sense of servants. After completing their designated tasks, they were then dismissed, not

8

Page 9: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

uncommonly, in order to make room for other foreign specialists (Piper, 1976:168, dikutip dari Kyalo, Mativo, 1989:135, Ph.D Thesis, UCLA, 1989:135).

Data yang dapat memberikan kejelasan bisa dilihat dari kebijakan yang dijalankan oleh dunia pelayaran Jepang. Pada tahun dimulainya industri kelautan Jepang, yang dipelopori oleh Nippon Yuei Kaisha tahun 1884, mereka mempekerjakan 174 orang asing. Tapi tahun 1920, tak satu orang asing pun yang dipekerjakan pada dunia pelayaran Jepang (lockwood, William Wirt: The Economic Development of Japan, Princeton, New Jersey, 1954:329).

Kebijakan yang pemerintah Jepang jalankan dalam membangun industri baja pun bisa dijadikan contoh. Pada tahun 1894 pemerintah Jepang mempunyai rencana untuk membangun pabrik peleburan besi dengan dua cara, yaitu, 1. yang dikelola oleh pihak swasta, konsep ini dimajukan kepada Mitsubishi dan Mitsu; dan 2. yang dikelola oleh pemerintah. Mitsubishi dan Mitsui pada waktu itu menolak dengan alasan bahwa kemampuan dan dana yang mereka miliki belum memadai bagi proyek tersebut. Pemerintah Jepang akhirnya memutuskan untuk menjalankan proyek tersebut, dan dengan perencanaan yang matang, pada tahun 1897, Menteri Pertanian dan Perdagangan Hirata Tousuke meresmikan peletakkan batu pertama dari pembangunan pabrik peleburan besi Noshou Mushou Shokan Seitetsu Jo (Yahata Seitetsu Jo), di kota Kita Kyushuu (propinsi Fukuoka).1 Pada saat yang bersamaan, sektor swasta yang pada awalnya belum mampu melakukan ekspansi dalam pengembangan usahanya, disupport oleh pemerintah Meiji agar berdaya, dan hasilnya, Mitsui pada tahun 1902 berhasil membeli Pabrik Tekstil Daitong, Cina, dan mengoperasikannya dengan nama Pabrik Tekstil Sanghai.

Dari gambaran di atas terlihat bahwa adanya keserasian dan keselarasan gerak dari sektor pemerintah dan swasta Jepang membawanya ke arah yang kita kenal dewasa ini, negara kaya. Bahwa hal itu tidak dengan mudah dicapai adalah “realitas”, ini bisa diketahui dari slogan yang dikumandangkan rakyat Jepang, “gashin Shoutan” ( tidur di atas kayu bakar, dan makan empedu).

Kondisi seperti inilah yang tidak dimiliki oleh kebanyakan negara Asia lainnya, hampir semua boleh dikatakan mengalami penjajahan Barat, dan saat ini pun kita lihat dengan jelas adanya peranan perusahaan multi-nasional asing dan intervensi langsung dari kekuatan asing terhadap negara dunia ketiga. Lebih buruk lagi situasinya, apabila pemerintah negara dunia ketiga mewakili kepentingan pihak lain yang tidak ada hubungannya, dan dalam banyak kasus malah berseberangan dengan kebutuhan yang sesungguhnya dari rakyat. Pada banyak negara dunia ketiga, yang notabene adalah negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika kita lihat adanya rencana yang berskala nasional dalam konteks pembangun ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dijalankan setelah berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Namun, akibat kurangnya pengetahuan dari negara-negara ini dalam membuat cetak biru pembangunan nasionalnya, maka dengan mudah mereka jatuh ke dalam rangkulan negara-negara maju. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya ketergantungan satu negara berkembang terhadap bantuan keuangan dari negara, baik itu mantan penjajahnya, maupun dari berbagai badan tinggi dunia lainnya.

1 Sebenarnya pemerintah Jepang pada awal Meiji sudah memiliki pabrik peleburan besi di Nagasaki, tapi kapasitas produksinya masih kecil. Ini merupakan realisasi kebijakan pemerintah Meiji dalam bidang pengembanagn industri (shokusan Kogyou)

9

Page 10: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

JEPANG DAN NEGARA DUNIA KETIGACara Baru, Gaya Lama

PengantarKalau kita amati lingkaran pengaruh yang ada di Asia Timur dan Asia Tenggara, maka

hegemoni yang dimiliki Jepang adalah suatu diktum yang sangat sukar untuk dibantah. Sejak abad 19, kedua wilayah ini sudah menjadi titik sentral dalam strategi kebijakan politik luar negeri Jepang. Bagi Tokyo, wilayah ini adalah wilayah yang sangat penting bagi keamanan nasionalnya, sama dengan pentingnya Amerika Tengah dan Karibia bagi Amerika Serikat; Eropa Timur bagi Masyarakat Ekonomi Eropa. Dengan kemampuan ekonomi dan militer yang sudah mapan, Jepang mulai menggantikan posisi yang selama ini ditempati oleh imperialis Barat, yakni melakukan praktek kolonialis. Dimulai dengan aneksasi terhadap kepulauan Ryukyu, Jepang mulai meluaskan daerahnya ke Taiwan dan Korea. Pada waktu yang bersamaan, dengan mesin ekonominya yang didukung oleh perusahaan multinasional raksasa, yakni Zaibatsu,2 mulai membanjiri pasaran di seantero wilayah ini. Melalui slogan "Asia untuk Asia" yang dikumandangkan dengan gencar pada tahun 30an, Jepang memulai usaha yang sistimatis dan bertahap untuk menguasai kawasan Asia Timur sebagai satu "kawasan bersama", yang tujuannya tidak lain adalah menjadikan wilayah ini baik dalam artian politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan secara spiritual berkiblat ke Tokyo.

Sejarah membuktikan, bahwa cita-cita tentang hegemoni regional yang ada tidaklah mati dengan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II lalu. Sejak tahun 1945, dengan bantuan Amerika Serikat Jepang telah berhasil memperbaharui cara lama, dan menciptakan pasaran baru pada kawasan ini. Apa yang terjadi?. Sukses besar dengan strategi yang jitu yang didapat. Sejak awal 1970an, Jepang berhasil menjadi rekanan dagang, sumber modal, dan pemasok dana bantuan luar negeri yang paling penting bagi seluruh negara yang berada di kawasan Asia timur ini. Sehingga kalau boleh dikatakan, tidak ada kawasan yang menerima bantuan dana dari Jepang selain kawasan ini. Sebagai konsekwensi dari kondisi ini adalah terciptanya pola hubungan klasik dari ketergantungan ekonomi suatu negara kepada negara lain. Maksudnya, besarnya ketergantungan dari banyak negara di kawasan ini terhadap Jepang adalah maksimal; sedangkan keterikatan Jepang terhadap negara-negara di kawasan ini adalah dalam arti seminimal mungkin. Dalam skala perdagangan dan penanaman modal pun hubungan yang tercipta antara Jepang dengan negara-negara di wilayah ini tidak setara. Pada dasarnya, kawasan ini selalu dibanjiri oleh modal Jepang. Ekspor Jepang ke kawasan ini terutama teknologi tinggi, modal, dan barang-barang jadi; sedangkan impor yang Jepang dapatkan dari mereka hanyalah berupa barang-barang setengah jadi yang diproduksi oleh industri kecil dan menengah yang banyak menyerap banyak tenaga kerja. Satu hal yang menarik adalah, pabrik atau industri ini adalah perusahaan yang berada dalam genggaman atau didanai oleh Jepang. Tambahan lagi, dari kawasan ini Jepang dengan mudah mendapatkam impor bahan baku mentah yang vital dan berguna untuk pengembangan dan kestabilan ekonominya. Kecuali dengan negara yang kaya sumber alam seperti Indonesia, Brunei, dan Malaysia, Jepang selalu mengalami surplus perdagangan dengan semua negara yang berada di kawasan Asia Timur ini. Ketergantungan ekonomi terhadap Jepang yang besar ini memberikan keuntungan politik bagi Tokyo untuk memperoleh hak ekonomi khusus yang lebih besar dari pemerintahan masing-masing negara di kawasan ini, dan pada akhirnya, berarti semakin dalam pulalah ketergantungan mereka secara ekonomi dan politik terhadap Jepang. Melihat hal ini, tidaklah berlebihan bila banyak ilmuwan dan pengamat politik yang menyetujui bahwa Jepang pada akhirnya telah berhasil mencapai "Kawasan Kerjasama Kemakmuran Asia Timur" (East

2 ?4 besar Zaibatsu Pra-Perang Dunia II adalah Sumitomo, Misubishi, Mitsui dan Yasuda.

10

Page 11: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Asian Co-prosperity Sphere) melalui kebijakan perniagaan baru (neo-merkantilisme), yang gagal dicapai melalui praktek imperialis pada saat Perang Dunia II berlangsung.3

Strategi yang dijalankan Tokyo dalam menciptakan dan memperdalam hubungan ekonomi yang tidak simetris ini merupakan penyangga yang sangat penting dari kebijakan Keamanan Terpadu Jepang untuk mendifersifikasikan kebutuhannya terhadap minyak, energi, gas bumi, bahan baku mentah, dan pasaran bagi produksi industrinya. Pada waktu yang bersamaan, secara tetap membuat negara-negara yang berlokasi di kawasan ini akan terus tergantung pada perdagangan, investasi modal, dan dana bantuan luar negeri Jepang. Sehubungan dengan hal ini, banyak kritikan yang sudah dilontarkan, tidak saja oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN; negara-negara industrialis baru (NICs), tetapi juga oleh Cina. Isi kritik yang mereka ajukan adalah satu sisi atau berat sebelahnya hubungan ekonomi yang mereka terima dari Jepang. Meskipun demikian, akibat kuatnya ketergantungan dari negara-negara ini terhadap barang-barang, jasa, modal dan pasaran Jepang, membuat mereka tidak mampu menjalankan kekuasaan untuk mendapatkan atau menegosiasikan berbagai konsesi yang bisa memperbaiki keadaan yang tidak saling menguntungkan ini. Sebab, semakin besar ketergantungan ekonomi Asia Timur terhadap Jepang, maka akan semakin besar pula peluang untuk menekan yang Jepang mainkan. Hasilnya, posisi dari negara-negara di kawasan ini akan semakin lemah dalam tawar-menawar dengan pihak Jepang.

Keadaan yang SesungguhnyaDewasa ini, setiap negara di Asia Timur sangat tergantung pada Jepang sebagai mitra

dagang. Meskipun impor Jepang dari negara-negara ASEAN pada tahun 1988 senilai $23.369 milyar, atau sedikit melampaui nilai ekspornya ke kawasan yang bersangkutan, yakni $23.027 milyar; data statistik ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan argumen bahwa kondisi ketergantungan negara di kawasan ini terhadap Jepang tidak jalan. Kecuali dengan Indonesia, Jepang menikmati surplus perdagangan yang sangat besar dengan Thailand, Singapura, dan Philipina. Bila kita lihat ketergantungan dari masing-masing negara ASEAN terhadap Jepang, kita dapati posisi yang ditempati oleh Singapura adalah yang paling rendah (15.6%); kemudian diikuti oleh Malaysia (22.1%); Thailand dan Philipina (24.6%); Brunei Darussalam (37%), dan yang terakhir dan paling tinggi adalah Indonesia (38.4%). Dilain pihak, secara jelas kita lihat ketergantungan Jepang pada masing-masing negara ASEAN adalah 2.7% pada Indonesia; 1.8% pada Malaysia; 1.7% pada Thailand; 0.83% pada Philipina; 0.26% pada Brunei; dan hanya 0.25% pada Singapura.

Dalam neraca perdagangannya dengan negara-negara industri baru (NICs) di Asia Timur; Jepang secara tetap mengalami surplus besar. Surplus yang didapat Jepang dalam tahun 1988 adalah $3.615 milyar dengan Korea Selatan, S8.739 milyar dengan Taiwan, dan $9.587 milyar dengan Hongkong. Tidak berbeda dengan kondisi yang dialami oleh negara-negara ASEAN, negara NICs secara ekonomi juga tergantung pada Jepang. Neraca perdagangan Korea Selatan dengan Jepang adalah 24.2% dari nilai total perdagangannya; sedangkan bagi Jepang hanya 0.60%. Bagi Taiwan 20.9%, sedangkan Jepang 0.51%; dan untuk Hongkong adalah 10.8%, Jepang hanya 0.71%. Kondisi ini diperkuat dengan kemampuan Jepang membuat jaringan terhadap kendala impor non-tarif yang dapat mencegah terciptanya pembagian pasaran untuk persaingan barang-barang impor, sedangkan, pada waktu yang bersamaan, dengan nilai yen yang masih dibawah nilai won Korea,won Taiwan, dan dolar Hongkong, Jepang mampu memotong keuntungan yang ingin dicapai oleh ketiga negara NICs ini. Kebijakan Seoul dan Taipei untuk investasi pada industri berat dan teknologi tinggi, Hongkong dalam industri yang padat karya, pada akhirnya hanya akan membuat mereka semakin tergantung pada impor perangkat modal Jepang.

Hubungan dagang yang Jepang jalankan dengan Cina dan Vietnam secara statistik bisa dikatakan sangat berbeda. Pada tahun 1988, hampir tiga dekade sesudah protes Cina terhadap 3Untuk kajian yang lebih mendalam tentang hubungan antara Jepang dan Asia Timur, bisa dilihat dalam karya William Nester, "Japan's Growing Power Over East Asia and the World Economy", London, Macmillan, 1990.

11

Page 12: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

perdagangan Jepang yang selalu tetap surplus besar, impor Jepang dari Cina bernilai $9.861 milyar, sedikit diatas ekspor Jepang ke Cina, senilai $9.347 milyar. Tercapainya keseimbangan ini bisa teralisir akibat dijalankannya protes yang terus-menerus, kebijakan ekonomi yang baik dari Beijing, dan ditambah dengan adanya revaluasi terhadap nilai yen. Bagi Vietnam, terlihat bahwa Jepang secara tetap melakukan ekspor senilai $194 milyar, senilai dua kali lebih besar dari yang Jepang impor dari Vietnam, yakni $96 milyar. Walaupun begitu, hubungan dagang antara kedua negara dengan Jepang tetap sama, yaitu pola neokolonial klasik, dimana Jepang mengekspor modal dengan nilai tambah tinggi dan barang-barang konsumer; sedangkan di pihak lain, dia hanya mengimpor bahan baku mentah belaka.

Dari sekian banyak kawasan dari negara-negara berkembang, Asia Timur tetap merupakan target terpenting bagi penanam modal Jepang. Mengalirnya investasi Jepang ke kawasan ini secara tetap adalah meningkat, meskipun tidak sekuat arus modal Jepang yang mengalir ke negara-negara industri maju. Kawasan ini juga secara sangat cepat tergantung pada Jepang dengan besarnya nilai modal asing Jepang yang tertanam pada masing-masing negara yang bersangkutan. Kecuali di Philipina, para investor Jepang saat ini menikmati bagian terbesar dari modal yang mereka investasikan pada seluruh negara-negara di kawasan Asia Timur. Arus masuknya modal Jepang yang membanjiri kawasan ini dilandasi oleh tiga gelombang. Gelombang yang datang kemudian, arusnya lebih besar dari gelombang yang mengawalinya. Arus pertama dari modal Jepang yang membanjiri kawasan ini dimulai tahun 1960an, dan pada saat itu, modal yang ditanam lebih banyak pada industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja, seperti pada industri tekstil dan alat-alat elektronika. Sampai tahun 1966 terlihat bahwa investasi yang dilakukan oleh perusahaan Jepang di negara-negara ASEAN hanya $166 juta, suatu jumlah yang tidak mencapai seperempat dari modal Amerika Serikat yang diinvestasikan pada wilayah yang sama. Arus kedua masuknya modal Jepang ke kawasan ini dimulai pada awal tahun 1970an, pada kurun waktu ini, modal yang diinvestasikan lebih banyak pada industri kimia dan baja yang banyak menghasilkan problema terhadap lingkungan; begitu juga dengan industri pengolahan sumber daya alam. Sampai tahun 1976, 75% dari modal yang terdapat di kawasan ini merupakan modal Jepang, jumlahnya sudah mencapai $4 milyar, dan nilainya 1/3 lebih besar dari modal yang dimiliki Amerika Serikat pada kawasan yang sama.4 Lembaga-lembaga ekonomi seperti bank-bank, asuransi, dan perbankan lainnya merupakan sasaran utama dari arus ketiga masuknya modal Jepang ke kawasan ini pada pertengahan tahun 1980an. Total investasi Jepang di kawasan ini untuk tahun 1985, 1986, dan 1987 adalah $1.43 milyar, $2.32 milyar, dan $4.86 milyar. Sedangkan bagi Amerika Serikat untuk tahun yang sama adalah $55 juta, $405 juta, dan $2.2 milyar. Pada tahun 1988, total dari penanaman modal asing yang Jepang laksanakan adalah senilai $5.5 milyar.5 Dalam kurun waktu antara 1951 sampai 1988, Kementerian Perdagangan Jepang memperkirakan angka kumulatif dari penanaman modal asing Jepang di Asia Timur adalah senilai $30 milyar, atau sekitar 21% dari total penanaman modal asing yang Jepang jalankan. Angka ini bisa membengkak apabila data dari modal yang ditanam ulang oleh Jepang di negara-negara penerima bisa didapat, dan hasilnya mungkin mencapai setengah dari total investasi yang Jepang tanamkan di kawasan ini.6

Meningkatnya nilai tukar yen terhadap dolar pada tahun 1985 dari 250 yen untuk satu dolar Amerika ke 150 yen untuk perbandingan yang sama pada tahun 1986, mungkin merupakan alasan utama dari mengalirnya arus ketiga modal Jepang ke kawasan ini. Adanya tenaga kerja yang murah, sumber alam yang mudah dan murah, serta adanya berbagai kemudahan yang Jepang terima dari berbagai negara yang memang memerlukan modal asing, maka dengan gerak cepat perusahaan

4Donald Crone, The ASEAn: Coping With Dependence, New York, Praeger, 1983, hal. 82.

5Japan Economic Journal, 25 Jan. 1989.

6Oxford Analytica Daily Brief, 4 Mei, 1989.

12

Page 13: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Jepang, baik yang berskala kecil, menengah dan besar berbondong-bondong membanjiri kawasan ini. Alasan lain yang bisa diangkat ke permukaan adalah adanya permintaan yang berkembang dari pasaran yang ada di negara-negara Asia Timur untuk meminta peningkatan persentasi dari ekspor barang konsumer produksi Jepang. Sebagai contoh, Sony misalnya, perusahaan ini menjual 8% dari produksinya ke negara-negara ASEAN, dan penjualan yang diproyeksikan berlangsung pada tahun 1990an diharapkan akan meningkat antara 10 sampai 20%. Ekspor Jepang ke negara-negara di kawasan ASEAN ini lebih besar jumlahnya dari ekspor Jepang ke negara-negara industri maju.7

Sejalan dengan meningkatnya modal Jepang yang masuk membanjiri kawasan Asia Timur ini, terjadi perubahan nyata dari strategi Tokyo dalam gerak dan lokasi perpindahan arus modalnya pada masing-masing negara di kawasan ini. Jelasnya, akibat tingginya biaya yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja, dan adanya berbagai hambatan yang membuat besarnya biaya produksi di Korea dan Taiwan sebagai negara yang muncul dengan predikat negara-negara industri baru (NICs), membuat negara-negara ini kurang diminati Jepang untuk lokasi penanaman modalnya. Sehingga Jepang lebih tertarik menanamkan modalnya pada negara-negara pengekspor baru (NECs), yang upah tenaga kerjanya masih murah, tapi memiliki infrastruktur dan pasaran lokal yang kwalitasnya tidak kalah dengan yang dimiliki oleh negara-negara NICs. Penempatan modal Jepang pada negara-negara NECs ini juga sangat besar perbedaannya. Sebagai contoh, bila dibandingkan dengan keadaan tahun 1986, maka di tahun 1987 terjadi lonjakan yang sangat besar pada investasi Jepang di Malaysia, terjadi kenaikan sekitar 297%; 63% di Thailand; 60% di Indonesia, dan hanya 31% di Philipina.8 Dari data yang diperoleh terlihat bahwa dalam kurun waktu 1980an, diantara semua negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, Thailand menempati urutan teratas sebagai negara yang paling diminati oleh modal Jepang. Investasi yang Jepang tanam di Thailand pada tahun 1986 adalah $124 milyar dan 35 perusahaan, situasi ini meningkat dua kali lipat pada tahun 1987, yakni, 130 perusahaan dan $250 milyar.9 Namun akibat berbagai kendala yang tidak bisa dielakkan seperti mahalnya tanah untuk tempat berdirinya perusahaan dan pabrik Jepang, upah buruh yang semakin tinggi, dan semakin tingginya biaya hidup, pada tahun 1990an investasi Jepang ke Thailand mungkin akan semakin menyusut nilainya.10

Meskipun dipengaruhi oleh berbagai kendala termasuk infsrastruktur yang kurang memadai, produktivitas yang lambat dan rendah, serta ketidakpastian politik dan ekonomi sebagai akibat peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen, Juni 1990 lalu, Cina tetap menjadi negara yang paling penting bagi penanaman modal Jepang di Asia Timur setelah Thailand. Dengan adanya tenaga kerja yang murah, ditambah adanya peraturan berupa kemudahan untuk bisa berpartisipasi pada pasaran senilai $1.2 milyar yang dikeluarkan pemerintah Cina, merupakan daya tarik yang sangat menggiurkan para investor Jepang. Dengan demikian, akibat tingginya biaya produksi, terutama upah tenaga kerja dan meningginya nilai mata uang Korea dan Taiwan, membuat banyak para penanam modal Jepang yang mengalihkan operasi mereka dari kedua negara ini ke daratan Cina. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah Cina yang mengikuti langkah yang dijalankan oleh negara-negara Asia Timur lainnya, yakni memperbolehkan para investor asing untuk bisa beroperasi dengan bebas pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) miliknya, maka semakin banyak pula perusahaan Jepang yang beroperasi tidak atas dasar kerja-sama dengan pihak luar, tapi sepenuhnya berstatus modal asing, atau PMA-yang dimiliki langsung oleh pemilik Jepang.11

7Far Eastern Economic Review (FEER), 16 Juni, 1988.

8Japan Economic Journal, 24 Sep. 1988.

9Far Eastern Economic Review (FEER), 16 Juni, 1988.

10Far Eastern Economic Review (FEER), 7 Juli, 1988.

11The Economist, 10 Maret, 1988.

13

Page 14: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Sama dengan bidang-bidang usaha lainnya, sektor industri jasa atau pelayanan Jepang juga merupakan elemen yang semakin penting dalam total keseluruhan investasi mereka di luar negeri. Tidak dapat dibantah bahwa pusat-pusat perbelanjaan Jepang sudah mulai mendirikan cabang-cabangnya di berbagai penjuru Asia Tenggara, dan hasilnya, menguasai hampir semua pasaran lokal dimana mereka beroperasi. Dalam tahun 1988, ada 13 pusat perbelanjaan Jepang yang beroperasi di Hongkong; 7 di Singapura; 5 di Bangkok; dan 1 di Kuala Lumpur dan Taipei. Pada pasaran Singapura, pusat-pusat perbelanjaan Jepang ini telah menguasai antara 35 sampai 45% dari total 100% yang tersedia, dan secara tetap dan terencana terus meningkatkan penguasaan atas pasar dengan menjalankan strategi mematikan dan membeli pusat-pusat perbelanjaan yang dimiliki oleh pemilik lokal yang menghindari kebangktrutan akibat tidak mampu bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan Jepang. Situasi yang dihadapi Jakarta dan Manila pun tidak berbeda, Jepang tidak menyia-menyiakan potensi pasar yang dimiliki oleh kedua kota besar ini. Meskipun pasaran Jakarta pada tahun 1988 masih terabaikan untuk dimasuki, apakah karena memang tidak bisa ditembus oleh Jepang, atau sedang dalam keadaan penjajakan, yang jelas pada tahun 1992 sudah berdiri dengan megahnya pusat-pusat perbelanjaan Jepang seperti Shogo, dan Yaohan.

Walaupun penguasaan pasaran dagang di kawasan Asia Tenggara oleh jaringan kuat pusat perbelanjaan Jepang merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, satu hal perlu diingat ialah, kemungkinan itu bisa terealisasi akibat kebijakan perniagaan yang Tokyo jalankan. Pada saat dimana perkembangan pangsa pasar di kawasan ini menjadi suatu faktor penarik dari jaringan pusat perbelanjaan Jepang, maka faktor pendorong utamanya adalah adanya kebijakan Undang-undang Dagang Skala Besar (Large-Scale Retail Law), yang diciptakan pemerintah untuk melindungi ribuan pedagang eceran skala kecil Jepang dari kehancuran akibat tidak mampu bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan besar, aturan ini mengharuskan pusat-pusat perbelanjaan besar mentaati jumlah hari dan jam kerja tertentu, yang diharapkan dapat menjadi hari dan jam bagi pedagang eceran kecil yang jumlahnya ribuan tadi. Sebagai konsekwensinya, pusat-pusat perbelanjaan ini harus meningkatkan perhatiannya ke luar negeri dalam pengembangan dan keuntungan. Faktor pendukung lain yang mendorong ekspansinya pusat-pusat perbelanjaan Jepang ke luar negeri ini adalah mahalnya harga tanah dan biaya pembangunan gedung di Jepang, sebab Tokyo merupakan daerah yang termahal di dunia. Penanaman modal di sektor ini dipercepat dengan adanya kenaikan nilai tukar yen pada pertengahan sampai akhir 1980an. Setelah beroperasi, para turis Jepang merupakan jumlah terbesar dari pemakai jasa pusat perbelanjaan ini. Mereka bisa membeli produk Jepang pada harga dasar, karena aturan bersama dari pedagang Jepang yang diberlakukan bagi para konsumen dalam negeri tidak dapat diterapkan secara ketat di luar negeri. Sehingga dengan naiknya nilai tukar yen, memberikan kemampuan beli yang sangat kuat bagi manusia Jepang di luar negeri. Di Hongkong, 25 sampai 30% dari seluruh nilai penjualan pusat perbelanjaan berasal dari orang Jepang, dan mereka, semuanya berbelanja pada pusat perbelanjaan Jepang.12

Bagi satu negara, kepentingan politik dan ekonomi luar negeri yang dijalankan merupakan kebijakan yang saling berkaitan - dan kepentingan-kepentingan ini akan semakin diperkuat dengan apa yang disebut Dana Bantuan (Aid). Kebanggaan yang ada di benak kebanyakan rakyat Amerika Serikat sebagai negara donor terbesar bagi negara-negara di kawasan Asia Timur pada tahun 1970an hilang, posisinya digantikan Jepang, dan secara tetap sejak 1970an menjadi negara donor terbesar bagi kawasan ini. Sejak itu, secara bertahap Jepang mulai mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara donor terbesar di dunia. Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya sejak dana bantuan luar negeri ini dicanangkan setelah Perang Dunia, Jepang menghentikan, kalau bisa dikatakan mempermalukan Amerika Serikat. Dana bantuan luar negeri Jepang pada tahun 1989 ini berjumlah $8.9 milyar, sedangkan Amerika Serikat hanyalah $7.6 milyar.13

12Far Eastern Economic Review (FEER), 26 Mei, 1988.

14

Page 15: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Bila dilihat dari strategi yang dijalankan oleh kedua negara ini dalam menjalankan kebijakan bantuan luar negeri mereka pada Asia Timur, maka terlihat adanya perbedaan yang menyolok, hal ini terefleksi dalam orientasi ekonomi dan kebijakan luar negeri masing-masing. Bantuan luar negeri Amerika pada dasarnya dijalankan untuk suatu kebijakan yang saling berkaitan guna menciptakan ekonomi global yang liberal dan sebagai alat penahan gerak laju komunisme. Sedangkan bantuan luar negeri Jepang semata-mata adalah bersifat dagang, yang dirancang untuk mencapai tujuan geo-ekonomi Jepang. Tinggi rendahnya derajat kepentingan dari Amerika Serikat dan Jepang terhadap Asia Tenggara tercermin dalam jumlah total dana bantuan luar negeri yang mereka cucurkan ke kawasan ini. Hampir setengah dari total dana bantuan luar negeri Jepang mengalir ke kawasan ini, sedangkan bagi Amerika Serikat hanya 10% dari total bantuan luar negerinya. Pada tahun 1981 dan 1982, lima besar negara penerima dana bantuan luar negeri pemerintah (ODA) Jepang adalah negara-negara di kawasan Asia Timur ini. 37.5% dari total ODA Jepang diterima oleh 6 negara di kawasan ini, Indonesia (11.4%), Korea Selatan (6.7%), Thailand (6.2%), Cina (5.9%), Philipina (5.8%), dan Malaysia (2.6%). Sedangkan sebaliknya, Amerika Serikat boleh dikatakan memberikan bantuan ODAnya dalam jumlah yang cukup berarti hanya pada 2 negara di kawasan ini, yakni pada Indonesia (1.9%), dan Philipina hanya menerima 0.9% dari seluruh bantuan ODA Amerika Serikat. Dalam tahun 1990, negara-negara yang tergabung dalam NECs menerima 29% dari total ODA Jepang. Dilain pihak, yang diterima oleh mereka dari Amerika Serikat hanya 11%.

Dengan tercapainya sasaran Jepang, yaitu menciptakan daerah Asia Timur kedalam kawasan pengaruh ekonominya, timbul pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban, masihkah ada ambisi lain yang dimiliki Tokyo terhadap kawasan ini selain dari prinsip penghisapan demi mempertahankan kemakmuran ekonominya belaka?. Berangkat dari adanya keterkaitan yang erat antara kepentingan ekonomi dan politik luar negeri suatu negara; ditambah dengan pengadaan dana bantuan luar negeri yang dijalankan, akan bisa memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai sepak terjang Tokyo dalam proses pencapaian ambisi lain ini.

Sejak dipulihkannya status Jepang dalam perjanjian perdamaian San Fransisco tahun 1951, negara ini berhasil (sekali lagi atas bantuan Amerika Serikat) keluar dari berbagai kendala internal dan eksternal akibat kalah dalam Perang Dunia II. Dengan cara yang sangat brilian, setelah keadaan ekonominya kembali membaik, Jepang mempelopori ide berdirinya Bank Pembangunan Asia (ADB) pada tahun 1966 - karena ide dan dana terbesar yang terhimpun oleh ADB ini berasal dari Jepang, maka pimpinan tertinggi atau presiden dari bank yang bersangkutan merupakan hak prerogatif Jepang. Sejak saat itu, Jepang mulai terlibat dalam pembicaraan mengenai berbagai isu-isu regional. Jepang mencoba memainkan peran sebagai pengganti bagi kekosongan kekuatan yang terjadi di Asia Tenggara pada tahun 1970an, ini terlihat jelas dengan penarikan mundur tentara Amerika Serikat dari daratan Vietnam, jatuhnya Indo Cina ke tangan Komunis, dan usaha untuk memperkuat dan memperdalam kerjasamanya dengan negara-negara yang tergabung dalam blok ASEAN pada tahun 1977. Menjelang berakhirnya tahun 1970, disepanjang tahun 1980an, Jepang bertindak sebagai penengah untuk menyelesaikan friksi antara ASEAN dan Vietnam. Motif yang dipunyai Jepang untuk mau terlibat sebagai penengah antara kedua kubu yang bertikai ini bermacam-macam. Di satu pihak, seperti juga ASEAN, Jepang menghadapi ketakutan yang sama terhadap kekuatan dan kemampuan ekspansinya komunisme Vietnam, yang kemungkinannya akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan ekonomi dan politik regional, dan pada akhirnya kalau hal ini memang benar-benar terjadi, maka tentu akan merugikan kepentingan Jepang sendiri. Di pihak lain, yang tidak kalah pentingnya dengan ketakutan Jepang ini adalah pangsa pasar Vietnam yang sangat potensial sekali sifatnya. Dengan jumlah penduduk yang 65 juta jiwa, permintaan dalam skala besar untuk melakukan renovasi dan rekonstruksi terhadap semua aspek kehidupan akibat perang, membuat Jepang tidak bisa tidak harus bisa menjadi pihak, yang kalau dapat, menjadi satu-satunya mitra kerja 13Toru Yanagihara & Anne Emig, "An Overview of Japan's Foreign Aid", dalam, Islam, Syafiqul, ed,. Yen for Development: Japanese Foreign Aid and the Politics of Burden-Sharing, . New York, Council on Foreign Relations, hal. 37.

15

Page 16: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

dalam mengatasi berbagai kendala yang dihadapi oleh Vietnam. Ini hanya akan bisa dicapai apabila Jepang bisa berpartisipasi dalam mengatasi sengketa yang tercipta, baik antara fraksi internal Vietnam sendiri, maupun antara Vietnam dengan negara tetangganya, syukur-syukur kalau partisipasi yang diambil membuahkan hasil yang baik pada semua pihak yang bersengketa. Fakta berbicara, Jepang dianggap berhasil menjadi penengah dalam masalah internal dan eksternal Vietnam, menjadi negara donor terbesar dalam membantu pulihnya ekonomi negara ini, dan tentu saja sekaligus, Jepang mendapat berbagai konsesi terhadap proyek-proyek yang, baik langsung dan tidak langsung berasal dari pemerintah Vietnam. Pada kurun waktu 1980an ini, dalam forum internasional seperti pada pertemuan tahunan negara-negara industri maju (G7) misalnya, Jepang juga memproklamirkan perannya sebagai juru bicara dari negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Namun demikian, apa yang menjadi motif bagi Jepang untuk menjadi juru bicara bagi negara-negara di kawasan ini adalah mendua sifatnya. Jepang boleh dikatakan tidak banyak tertarik untuk menyalurkan aspirasi dan pandangan dari negara-negara di kawasan Asia Timur ini, malahan, Jepang berusaha agar perhatian dan kritikan yang berasal dari negara-negara di kawasan ini, negara-negara industri maju lainnya terhadap terus berlangsungnya rintangan untuk masuk ke pasaran domestik Jepang, dan kritik terhadap praktek neo-merkantilis Jepang lainnya bisa dialihkan atau dihilangkan.

Ada juga yang melihat bahwa Tokyo mengambil alih dan memimpin kawasan Asia Timur ini sebagai sarana untuk mengimbangi blok ekonomi perdagangan yang sudah terlebih dahulu ada, yakni Masyarakat Ekonomi Eropah (MEE) di Eropah Barat, dan juga untuk menghadapi muncul dan berfungsinya blok perdagangan Amerika Utara (NAFTA).14 Terlepas dari adanya pandangan ini, status perwakilan yang diemban Jepang terasa kurang kuat bila dilihat dalam arti apa yang menjadi ambisi mereka sebagai pemimpin, Jepang memang berkeinginan dan berambisi menjadi pemimpin bagi kawasan ini. Yang jelas, cita-cita Tokyo untuk menjadi pemimpin di kawasan ini adalah semata-mata untuk dagang belaka - Jepang menginginkan diperolehnya keuntungan ekonomi dan wibawa politik atas hegemoni yang mereka ciptakan pada kawasan ini, akan tetapi, hanya bersedia membayar pada standar minimal terhadap biaya-biaya yang tercipta secara politik, ekonomi dan militer untuk mempertahankan statusnya. Kalau dirinci, sejak 1980an sudah banyak studi yang dilakukan tidak saja oleh pihak swasta, pemerintah, baik secara pribadi maupun kelompok, yang mengkaji bagaimana Jepang dengan kemampuan yang dimiliki, akan bisa menyatukan berbagai sistem ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing negara yang ada di kawasan Asia Timur ini menjadi satu blok ekonomi regional yang berada di bawah kepemimpinan Jepang. Beberapa masalah mendasar yang terungkap dari hasil studi yang dilakukan ini berupa pertanyaan tentang; apa dan bagaimana seharusnya bentuk dari organisasi ekonomi yang akan diterapkan di Asia Timur?. Negara-negara mana yang bisa dan tidaknya menjadi anggota dari blok ekonomi ini?. Haruskah Jepang dengan kemampuan ekonominya yang kuat tampil sebagai pemimpin, atau, akibat adanya trauma masa lalu terhadap Jepang yang masih menghantui negara-negara di kawasan ini, perlukah kiranya sistem kepemimpinan dari blok ekonomi ini dibuat dengan sistem kolektif (kepemimpinan bersama)?. Tidak lebih dan tidak pula kurang pentingnya, apa pertanggungjawaban yang muncul dan harus dipikul dari risiko sebagai pimpinan blok ekonomi ini?.

Satu studi yang paling bisa mendekati gambaran ideal tentang strategi yang tepat dalam pencapaian status bagi Jepang sebagai pemimpin blok ekonomi ini tercermin dalam kajian mendalam Badan Perencana Ekonomi Jepang (EPA), berjudul "Promoting Comprehensive Economic Cooperation in the International Economic Environment Undergoing Upheaval: Towards the Creation of an Asian Network". Dalam kajiannya, EPA secara eksplisit menyatakan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah mengintegrasikan negara-negara NICs dan negara-negara ASEAN ke dalam satu sistem ekonomi regional yang didominasi oleh Jepang. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan ini adalah 'san-i-ittai' (tiga bagian dalam satu tubuh), analogi yang diambil

14Far Eastern Economic Review (FEER), 15 Juli, 1989.

16

Page 17: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

adalah tubuh manusia. Jika blok ekonomi yang diinginkan sudah tercapai atau terbentuk, dia adalah tubuh. Sedangkan otak, dan sebagian besar otot yang berfungsi untuk mengoperasikan tubuh tadi berlokasi di Tokyo. Otak bertanggung-jawab untuk mengkoordinasikan baik kebijakan makro-ekonomi dan industri yang ada di seluruh negara anggota, dalam prakteknya, otak ini adalah gabungan dari peran yang dipunyai oleh kementerian keuangan (MOF), serta kementerian industri dan perdagangan internasional (MITI) yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi Jepang.

Walaupun begitu, apa yang dilakukan oleh EPA ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kajian yang telah disebutkan di atas. Boleh dikatakan hampir semua kementerian yang berkaitan dengan ekonomi (EKUIN), melakukan hal yang sama dan memajukan hasil yang telah mereka temukan. Kelompok pemikir MOF yang dikenal dengan nama 'komite riset Asia-Pasifik', diketuai oleh mantan presiden Bank Pembangunan Asia, Yoshida Taroichi, juga berhasil dengan baik memformulasikan rancang bentuk bagi rencana penciptaan blok ekonomi regional versi mereka sendiri. Komite ini melibatkan perwakilan dari semua kementerian Jepang yang saling terkait, dan diorganisasikan kedalam sekitar 9 sub-komite. Dalam analisa buku putih MITI tahun 1988 terlihat bahwa integrasi yang diinginkan sebenarnya sudah mulai terjadi, dan mengajukan strategi untuk merangsang terciptanya integrasi yang lebih luas. Apa yang diketengahkan oleh MITI ini dapat dimengerti, sebab pembicaraan untuk menciptakan integrasi regional sudah begitu sering dilakukan, dan menjadi tema dalam setiap pembicaraan tingkat tinggi antar pejabat pemerintah dari negara-negara di kawasan ini, seperti dalam pertemuan Konperensi Kerjasama Ekonomi Pasifik (PECC); Forum Jepang-ASEAN; Pertemuan antar Menteri Ekonomi; dan banyak lagi pertemuan tak resmi lainnya, baik dari kalangan dunia akademis, maupun kalangan bisnis.

Bagi Jepang, yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan rencana yang sudah dibuat ini bisa terealisir. Hal yang paling sukar untuk ditembus dalam usaha membentuk satu blok ekonomi yang berskala regional adalah, bagaimana negara-negara anggota bisa diyakinkan bahwa keuntungan yang diperolehnya akan lebih banyak dari biaya yang harus dikeluarkan. Untuk mencapai sasaran ini, Jepang melaksanakan apa yang dikenal dengan strategi nemawashi 15(rekayasa), tidak saja untuk pihak dalam negeri, tetapi juga pemerintah dari negara-negara yang memang perlu dilibatkan dalam proses pembentukan blok ekonomi regional ini.16 Sasaran akhir tentu saja adalah penguasaan menyeluruh terhadap blok ekonomi regional yang sudah terintegrasi dengan baik tersebut. Apa kebijakan yang dijalankan Jepang terhadap Asia pada dekade 1990an tidak ada bedanya dengan strategi yang mereka gunakan pada saat pembentukan Bank Pembangunan Asia di pertengahan 1960an, yakni, seolah-olah tidak tertarik untuk melakukan atau membuat sesuatu organisasi, tapi secara diam-diam dan hati-hati justru menyiapkan cetak biru dari organisasi yang ingin dibentuk tadi, dan dalam cetak biru tadi tentu saja Jepang yang bertindak sebagai pemimpin. Dengan kata lain, Jepang merekayasa agar pemerintah dari negara lainlah yang mengharapkan terbentuknya blok ekonomi regional bagi kawasan negara yang bersangkutan, setelah itu baru Jepang mengajukan rencana dan bentuk dari organisasi regional yang diinginkan, dan sekali lagi, Jepanglah yang

15Apa yang dimaksud dengan nemawashi pada hakekatnya adalah suatu cara atau upaya yang dijalankan oleh manusia, perusahaan, dan negara Jepang untuk mempengaruhi hasil sidang atau pertemuan yang berhubungan dengan apa yang mereka ingin capai. Bagi masyarakat dunia usaha di Jepang, tanpa melakukan strategi ini, maka boleh dikatakan usaha atau kegiatan yang dijalankan tidak akan sukses. Dalam konteks yang lebih luas, untuk mendapatkan berbagai proyek yang ditenderkan oleh pemerintahan negara berkembang, para perusahaan Jepang yang bergerak di bidang yang sama akan menjalankan strategi ini. Sebagai contoh, ada proyek pembangunan terhadap berbagai jenis bangunan yang ditawarkan oleh negara A. Para kontraktor Jepang yang bergerak di bidang jasa konstruksi akan melakukan strategi nemawashi diantara mereka, dan didapatkan hasil, bahwa untuk tender bagi pembangunan gedung atau proyek tertentu untuk tahun ini diberikan pada perusahaan konstruksi Komatsu, sedangkan untuk tahun yang berikutnya diberikan pada perusahaan konstruksi lainnya. Tidak ada aturan hukum tertulis dari seluruh proses ini, hanya konvensi, dan sangat kuat mengikat semua anggota kelompok yang terlibat dalam nemawashi tadi.

16The Economist, 10 Maret, 1988.

17

Page 18: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

menduduki singgasana organisasi ini. Dengan demikian, pembentukan organisasi ekonomi regional ini hanya membutuhkan formalitas belaka untuk bisa beroperasi, dan yang lebih penting, kritik terhadap Jepang pun bisa dieliminir sedemikian rupa.

Satu contoh menarik dari kasus di atas bisa terlihat dari cara Tokyo menanggapi apa yang dilontarkan oleh mantan PM Australia Bob Hawke pada tahun 1988 tentang perlunya dibentuk OECD bagi Asia. Sikap Jepang ketika itu adalah berpura-pura, walaupun sebenarnya sangat ingin agar hal itu menjadi kenyataan. Kondisi ini tercermin dari apa yang dilontarkan oleh pejabat senior kementerian luar negeri Jepang, "Kita tidak berniat untuk merealisasikan rancangan yang diajukan Hawke, tapi kita bisa melihat dan mengerti apa manfaat dari ide yang dia ajukan, dan kita berharap bisa saling bahu membahu memikirkan dan menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara mengatasi dan menjalankan kerjasama regional.17 Penyebab utama mengapa Jepang mengambil sifat seperti ini tidak lain karena dia tidak ingin dianggap sebagai negara yang mempelopori apapun bentuk kerjasama pada tingkat bilateral ataupun regional di Asia, sebab kalau kondisi ini yang muncul ke permukaan, niscaya Jepang akan dikritik dan bahkan mungkin akan mendapatkan serangan yang keras dari Masyarakat Amerika Utara dan Masyarakat Ekonomi Eropah yang memang tidak suka dengan neomerkantilisme Jepang. Sehingga dengan strategi nemawashi, ketakutan Jepang terhadap kritik dan tanggapan yang datang dari luar bisa dihindari.

Cara Tokyo dalam mencapai sasaran untuk suatu kawasan yang dikuasai Jepang dengan cara sekedar mengambil kekayaan yang ada di kawasan tertentu melalui biaya yang seminimal mungkin menuju ke pembentukan suatu blok ekonomi, menunjukkan peralihan kebijakan yang menuju pada prinsip neomerkantilisme yang semakin sempurna. Sebagai contoh, strategi yang Jepang jalankan dalam memberikan dana bantuan luar negerinya tetap saja neomerkantilisme. Akan tetapi, penekanannya tidak lagi sekedar bantuan yang sifatnya mengikat terhadap barang dan jasa Jepang, atau memperbanyak dan memperkuat jaringan penanaman modal Jepang, tapi sudah sampai pada tahap melakukan resturkturisasi total terhadap perekonomian di kawasan yang bersangkutan, sehingga kawasan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika ekonomi Jepang. Dengan kata lain, bantuan yang diberikan akan sangat berarti bagi usaha memajukan seluruh dimensi perekonomian Jepang. Sehingga bisa dikatakan, bahwa kawasan yang mendapat bantuan Jepang tidak saja dilihat sebagai lokasi bagi seluruh perusahaannya yang memproduksi bahan baku mentah, energi, komponen harga rendah, dan barang-barang jadi; tapi juga sebagai pangsa pasar yang sangat luas dan wilayah yang merupakan pengaruh dari produk-produk Jepang. Kondisi seperti inilah yang dialami oleh negara-negara di kawasan terdekat Jepang seperti kawasan Asia Timur, ASEAN, dan sebagainya.

Strategi integrasi regional terhadap satu kawasan ini terlihat dalam "New Asian Developmnet Plan and the ASEAN-Japan Development Fund", yang merupakan kajian MITI tentang rencana pembentukan suatu struktur kebijakan bagi kerja sama ekonomi Jepang dengan negara lain untuk masa yang akan datang. Keadaan ini menggambarkan alur yang berubah dari bentuk bantuan luar negeri Jepang dari hanya sekedar proyek-proyek infrastruktur tertentu, misalnya dam, dan pembangunan jalan; sampai pada usaha untuk mendukung pembangunan sektor industri tertentu dan pembentukan struktur ekonomi yang sesuai bagi pengembangan industri ini. Langkah utama yang dijalankan Jepang untuk mencapai sasaran ini adalah melakukan pembicaraan resmi antar pejabat pemerintah Jepang dan pemerintah negara yang diberi bantuan secara bilateral, dan ini berguna bagi pembentukan rencana yang diinginkan. Setelah ada kesepakatan, pejabat Jepang akan menjalankan studi secara intensif terhadap keadaan dalam negeri negara yang ingin dibantu, dan menentukan sasaran industri strategis yang berpeluang besar dalam pengembangan perekonomian, dan tentu saja tidak akan bersaing dengan strategi industri yang Jepang miliki. pada akhirnya, baik master plan dari kebijakan ekonomi makro, maupun kebijakan industri yang dibahas ini kemudian disampaikan

17Far Eastern Economic Review (FEER), 8 Juni, 1989.

18

Page 19: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

kepada panitia pengarah (steering committee), yang anggotanya terdiri dari para pejabat pemerintah kedua negara yang berasal dari kementerian ekonomi dan organ lainnya yang terkait. Panitia pengarah ini akan bertumpu dan dibuat harus menggunakan semua instrumen dari kebijakan-kebijakan industri Jepang, yang dianggap berhasil dalam pelaksanaannya, instrumen-instrumen ini antara lain riset, impor, ekspor, harga dan jumlah produksi, hambatan impor, pajak, dan sebagainya. Dengan menggunakan strategi ini, maka Jepang melalui jaringan lembaga dana bantuan luar negerinya seperti OECF, JICA, JETRO, dan sebagainya berlomba-lomba mencari jalan untuk menangkap mangsa di berbagai belahan bumi ini.

PenutupMelihat strategi, dan kemampuan yang Jepang miliki, ditambah dengan kelemahan dari

pemerintah-pemerintah negara dunia ke 3, akan sangat sukar untuk disangkal bahwa pengaruh yang dipunyai Jepang atas negara-negara ini akan semakin kuat dan dalam untuk masa-masa yang akan datang. Cara lama yang diterapkan Jepang melalui militerisme telah gagal, dengan cara baru, yakni menjalankan praktek neomerkantilisme - pada awalnya memisahkan ekonomi dan politik dalam praktek, tapi kemudian, setelah keadaan ekonomi terkuasai dan ada situasi yang membahayakan posisi Jepang, pemisahan antara ekonomi dan politik tidak lagi dianut. Apa yang bisa diucapkan saat ini hanyalah kalimat tentang keberhasilan Jepang mencapai semua sasaran dan tujuan politik dan ekonomi atas kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dengan biaya yang seminimal mungkin, dan kawasan ini tetap akan menjadi lokasi utama bagi praktek kebijakan neomerkantilisme Jepang.

Jepang dan Kawasan Asia Timur:Antara Harapan dan Kenyataan

M. Mossadeq Bahri

PengantarLingkaran pengaruh Jepang atas kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara bukanlah kisah 20, 30

atau 40 tahun terakhir. Sejak abad ke-19, plot kedua wilayah ini sedemikian sentral dalam strategi kebijakan politik luar negeri Tokyo. Makna geostrategis wilayah ini sangat penting dalam bingkai keamanan nasional Jepang; setara dengan Amerika Tengah dan Karibia bagi Amerika Serikat atau Eropa Timur bagi Masyarakat Ekonomi Eropa. Didukung kinerja ekonomi dan militernya, Jepang mengambil alih peran klasik Barat sebagai negeri imperialis-kolonialis. Aneksasi Jepang atas Kepulauan Ryukyu berlanjut dengan ekspansi ke Taiwan dan Korea. Secara bersamaan, dengan dukungan perusahaan multinasional raksasa, yakni zaibatsu, mesin ekonominya membanjirinya

19

Page 20: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

dengan beragam produk. Slogan "Asia untuk Asia" sebagai “kawasan bersama” Asia Timur gencar dikumandangkan pada tahun 1930-an. Skenario besar di balik slogan itu adalah menjadikan wilayah ini; baik dalam arti politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun spiritual; berkiblat ke Tokyo.

Sejarah membuktikan, cita-cita menancapkan hegemoni regional ini tidak pernah mati meski mereka kalah perang. Sejak tahun 1945, dengan bantuan Amerika Serikat Jepang berhasil memperbaharui cara lama, dan menciptakan pasar baru di kawasan ini. Apa rahasianya? Jawabannya tak lain dari: penerapan strategi yang jitu. Sejak awal 1970-an, rambahan itu dengan memusatkan seluruh orientasi ke kawasan ini. Mereka menjadi rekanan dagang, sumber modal, dan pemasok dana bantuan luar negeri yang paling penting bagi seluruh negara di kawasan Asia Timur. Hampir tak ada alokasi dana untuk menggarap kawasan. Mereka menggelongtor wilayah ini dengan model total football yang pernah diperagakan kesebelasan Belanda. Kondisi ini by nature dan by design menciptakan pola dominasi dan subordinasi. Negara-negara kawasan menjadi sangat bergantung secara ekonomi terhadap Jepang.

Skala perdagangan dan investasi antara keduanya secara permanen tidak pernah setara. Ekspor Jepang ke kawasan ini terutama teknologi tinggi, modal, dan barang-barang jadi; sedangkan Jepang hanya mengimpor barang-barang setengah jadi—selanjutnya diproduksi oleh industri kecil dan menengah yang bersifat padat karya. Pabrik-pabrik atau industri tersebut nota bene perusahaan berbendera Jepang. Kecuali dengan negara yang kaya sumber alam seperti Indonesia, Brunei dan Malaysia, perdagangan Jepang dengan negara-negara di kawasan Asia Timur selalu surplus. Ketergantungan ekonomi terhadap Jepang yang besar ini memberikan keuntungan politik bagi Tokyo. Jepang memperoleh hak ekonomi khusus yang lebih besar dari pemerintahan negara-negara kawasan, dan itu berarti pelestarian ketergantungan secara ekonomi dan politik. Sehingga, tidaklah berlebihan bila banyak ilmuwan dan pengamat politik menyebut bahwa Jepang sukses mencapai "Kawasan Kerjasama Kemakmuran Asia Timur" (East Asian Co-prosperity Sphere) melalui kebijakan perniagaan baru (neo-merkantilisme), yang gagal dicapai melalui praktik imperialis dengan cara militer pada masa PD II.

Strategi Tokyo memantapkan hubungan ekonomi yang asimetris ini menjadi pilar penyangga penting bagi kebijakan Keamanan Terpadu Jepang untuk menganekaragamkan kebutuhannya terhadap minyak, energi, gas bumi, bahan baku, dan pasaran bagi produksi industrinya. Sehubungan dengan ini Jepang menuai kritik pedas, tidak saja dari kubu ASEAN, negara-negara industrialis baru (NIC’s), tetapi juga dari Cina. Kesemuanya menggugat asimetri hubungan ekonomi dengan Jepang. Namun, ketergantungan terhadap barang-barang, jasa, dan modal Jepang telanjur mendalam dan akut. Ujung-ujungnya, pada posisi tawar mereka yang begitu rendah, ikhtiar menegosiasikan konsesi-konsesi yang dapat memperbaiki keadaan yang tidak saling menguntungkan ini menjadi sesuatu yang musykil.

Keadaan yang SesungguhnyaBagi Asia Timur, Jepang merupakan mitra dagang dengan tingkat ketergantungan yang besar.

Benar bahwa impor Jepang negara-negara ASEAN pada 1988 sebesar $23,369 miliar, atau sedikit melampaui nilai ekspornya yang $23,027 miliar; tetapi data statistik ini tak mengubah konstelasi antara keduanya. Kecuali dengan Indonesia, Jepang menangguk surplus perdagangan yang sangat besar dengan Muangthai, Singapura, dan Filipina. Diurut dari negara dengan derajat ketergantungan paling rendah, posisi itu secara berturut-turut ditempati Singapura (15,6%); diikuti oleh Malaysia (22,1%); Muangthai dan Filipina (24,6%); Brunei Darussalam (37%), dan Indonesia yang tertinggi (38,4%). Sebaliknya, ketergantungan Jepang terhadap negara-negara ASEAN sedemikian kecil, yakni Indonesia (2,7%); Malaysia (1,8%); Muangthai (1,7%); Filipina (0,83%);Brunei (0,26%); dan Singapura (0,25%).

Dalam neraca perdagangannya dengan negara-negara industri baru (NIC’s) di Asia Timur; Jepang secara tetap mengalami surplus besar. Pada 1988, Jepang menikmati surplus sebesar $3,615 miliar atas Korea Selatan dengan Korea Selatan, dengan Taiwan sebesar $S8,739 miliar, dan dengan

20

Page 21: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Hongkong sebesar $9,587 miliar. Neraca perdagangan Jepang dengan NIC’s juga tak seimbang. Nilai total perdagangan Korea Selatan dan Jepang adalah 24,2% berbanding 0,60%; Taiwan-Jepang (20,9% : 0,51%); Hongkong-Jepang (10,8% : 0,71%). Kondisi ini diperkuat dengan kemampuan Jepang membuat jaringan terhadap kendala impor nontarif yang dapat mencegah terciptanya pembagian pasaran untuk persaingan barang-barang impor. Pada waktu yang bersamaan, dengan nilai yen yang masih di bawah nilai won Korea, won Taiwan, dan dolar Hongkong, Jepang memangkas keuntungan yang ingin dicapai oleh ketiga negara NIC’s ini. Kebijakan Seoul dan Taipei untuk berinvestasi pada industri berat dan teknologi tinggi ataupun Hongkong dalam industri yang padat karya, pada akhirnya hanya akan membuat mereka semakin tergantung pada impor perangkat modal Jepang.

Hubungan dagang Jepang dengan Cina dan Vietnam secara statistik bisa dikatakan sangat berbeda. Pada tahun 1988, hampir tiga dekade sesudah protes Cina terhadap perdagangan Jepang yang selalu tetap surplus besar, impor Jepang dari Cina bernilai $9,861 miliar, sedikit di atas ekspor Jepang ke Cina, senilai $9,347 miliar. Keseimbangan ini bisa teralisir akibat dijalankannya protes yang terus-menerus, kebijakan ekonomi yang baik dari Beijing, di samping revaluasi nilai yen. Ke Vietnam, Jepang secara tetap melakukan ekspor senilai $194 miliar, senilai dua kali lebih besar dari impor Jepang sebesar $96 miliar. Walaupun begitu, hubungan dagang antara kedua negara dengan Jepang tetap sama, yaitu pola neokolonial klasik, dimana Jepang mengekspor modal dengan nilai tambah tinggi dan barang-barang konsumer; sedangkan di pihak lain, dia hanya mengimpor bahan baku mentah belaka.

Dari sekian banyak kawasan dari negara-negara berkembang, Asia Timur tetap merupakan prioritas investasi Jepang. Aliran investasi Jepang ke kawasan ini secara tetap adalah meningkat, meskipun tidak sekuat arus modal Jepang ke negara-negara industri maju. Kawasan ini juga secara sangat cepat tergantung pada Jepang dengan besarnya nilai modal asing Jepang yang tertanam pada masing-masing negara yang bersangkutan. Kecuali di Filipina, para investor Jepang saat ini menikmati bagian terbesar dari modal yang mereka investasikan pada seluruh negara-negara di kawasan Asia Timur. Masuknya modal Jepang ke kawasan ini berlangsung dalam tiga gelombang dala volume yang makin lama makin besar.

Gelombang modal pertama, pada tahun 1960-an, ditanam lebih banyak pada industri padat karya, seperti pada industri tekstil dan alat-alat elektronika. Sampai tahun 1966, total investasi perusahaan Jepang di ASEAN sebesar $166 juta, tidak sampai seperempat investasi Amerika. Gelombang modal kedua, pada awal 1970-an, lebih banyak dimanfaatkan pada industri kimia, baja dan industri pengolahan sumber daya alam; dengan berbagai ekses terhadap lingkungan. Sampai tahun 1976, Jepang menginvestasikan 75% atau sebesar $4 miliar, atau lebih dari sepertiga lebih investasi Amerika di kawasan yang sama. Pertengahan 1980-an, lembaga-lembaga ekonomi seperti bank dan asuransi merupakan sasaran utama gelombang modal ketiga modal Jepang. Pada 1985, 1986, dan 1987 tertanam dana sebesar $1,43 miliar, $2,32 miliar, dan $4,86 miliar; pada tahun yang sama Amerika menanam modal sebesar $55 juta, $405 juta, dan $2,2 miliar. Pada tahun 1988, total penanaman modal asing Jepang berjumlah $5,5 miliar. Sepanjang 1951 hingga 1988, Kementerian Perdagangan Jepang memperkirakan angka kumulatif investasi Jepang di Asia Timur berjumlah $30 miliar, atau sekitar 21% dari total penanaman modal asing. Angka ini bisa membengkak apabila data penanaman modal ulang (reinvestasi) Jepang yang jumlahnya mencapai setengah dari total investasi Jepang di kawasan ini.

Meskipun dipengaruhi oleh berbagai kendala termasuk infsrastruktur yang kurang memadai, produktivitas yang lambat dan rendah, serta ketidakpastian politik dan ekonomi sebagai akibat peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen, Juni 1990 lalu, Cina tetap menjadi negara yang paling penting bagi penanaman modal Jepang di Asia Timur setelah Muangthai. Dengan adanya tenaga kerja yang murah, ditambah adanya peraturan berupa kemudahan untuk bisa berpartisipasi pada pasaran senilai $1,2 miliar yang dikeluarkan pemerintah Cina, merupakan daya tarik yang sangat menggiurkan para investor Jepang. Dengan demikian, akibat tingginya biaya produksi,

21

Page 22: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

terutama upah tenaga kerja dan meningginya nilai mata uang Korea dan Taiwan, membuat banyak para penanam modal Jepang yang mengalihkan operasi mereka dari kedua negara ini ke daratan Cina. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah Cina yang mengikuti langkah yang dijalankan oleh negara-negara Asia Timur lainnya, yakni memperbolehkan para investor asing untuk bisa beroperasi dengan bebas pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) miliknya, maka semakin banyak pula perusahaan Jepang yang beroperasi tidak atas dasar kerja-sama dengan pihak luar, tapi sepenuhnya berstatus modal asing, atau PMA-yang dimiliki langsung oleh pemilik Jepang.

Sama dengan bidang-bidang usaha lainnya, sektor industri jasa atau pelayanan Jepang juga merupakan elemen yang semakin penting dalam total keseluruhan investasi mereka di luar negeri. Tidak dapat dibantah bahwa pusat-pusat perbelanjaan Jepang sudah mulai mendirikan cabang-cabangnya di berbagai penjuru Asia Tenggara, dan hasilnya, menguasai hampir semua pasaran lokal dimana mereka beroperasi. Dalam tahun 1988, ada 13 pusat perbelanjaan Jepang yang beroperasi di Hongkong; 7 di Singapura; 5 di Bangkok; dan 1 di Kuala Lumpur dan Taipei. Pada pasaran Singapura, pusat-pusat perbelanjaan Jepang ini telah menguasai antara 35 sampai 45% dari total 100% yang tersedia, dan secara tetap dan terencana terus meningkatkan penguasaan atas pasar dengan menjalankan strategi mematikan dan membeli pusat-pusat perbelanjaan yang dimiliki oleh pemilik lokal yang menghindari kebangktrutan akibat tidak mampu bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan Jepang. Situasi yang dihadapi Jakarta dan Manila pun tidak berbeda, Jepang tidak menyia-menyiakan potensi pasar yang dimiliki oleh kedua kota besar ini. Meskipun pasaran Jakarta pada tahun 1988 masih terabaikan untuk dimasuki, apakah karena memang tidak bisa ditembus oleh Jepang, atau sedang dalam keadaan penjajakan, yang jelas pada tahun 1992 sudah berdiri dengan megahnya pusat-pusat perbelanjaan Jepang seperti Shogo, dan Yaohan.

Walaupun penguasaan pasaran dagang di kawasan Asia Tenggara oleh jaringan kuat pusat perbelanjaan Jepang merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, satu hal perlu diingat ialah, kemungkinan itu bisa terealisasi akibat kebijakan perniagaan yang Tokyo jalankan. Pada saat dimana perkembangan pangsa pasar di kawasan ini menjadi suatu faktor penarik dari jaringan pusat perbelanjaan Jepang, maka faktor pendorong utamanya adalah adanya kebijakan Undang-undang Dagang Skala Besar (Large-Scale Retail Law), yang diciptakan pemerintah untuk melindungi ribuan pedagang eceran skala kecil Jepang dari kehancuran akibat tidak mampu bersaing dengan pusat-pusat perbelanjaan besar, aturan ini mengharuskan pusat-pusat perbelanjaan besar menaati jumlah hari dan jam kerja tertentu, yang diharapkan dapat menjadi hari dan jam bagi pedagang eceran kecil yang jumlahnya ribuan tadi. Sebagai konsekwensinya, pusat-pusat perbelanjaan ini harus meningkatkan perhatiannya ke luar negeri dalam pengembangan dan keuntungan. Faktor pendukung lain yang mendorong ekspansinya pusat-pusat perbelanjaan Jepang ke luar negeri ini adalah mahalnya harga tanah dan biaya pembangunan gedung di Jepang, sebab Tokyo merupakan daerah yang termahal di dunia. Penanaman modal di sektor ini dipercepat dengan adanya kenaikan nilai tukar yen pada pertengahan sampai akhir 1980-an. Setelah beroperasi, para turis Jepang merupakan jumlah terbesar dari pemakai jasa pusat perbelanjaan ini. Mereka bisa membeli produk Jepang pada harga dasar, karena aturan bersama dari pedagang Jepang yang diberlakukan bagi para konsumen dalam negeri tidak dapat diterapkan secara ketat di luar negeri. Sehingga dengan naiknya nilai tukar yen, memberikan kemampuan beli yang sangat kuat bagi manusia Jepang di luar negeri. Di Hongkong, 25 sampai 30% dari seluruh nilai penjualan pusat perbelanjaan berasal dari orang Jepang, dan mereka, semuanya berbelanja pada pusat perbelanjaan Jepang.

Bagi satu negara, kepentingan politik dan ekonomi luar negeri yang dijalankan merupakan kebijakan yang saling berkaitan - dan kepentingan-kepentingan ini akan semakin diperkuat dengan apa yang disebut Dana Bantuan (Aid). Kebanggaan yang ada di benak kebanyakan rakyat Amerika Serikat sebagai negara donor terbesar bagi negara-negara di kawasan Asia Timur pada tahun 1970-an hilang, posisinya digantikan Jepang, dan secara tetap sejak 1970-an menjadi negara donor terbesar bagi kawasan ini. Sejak itu, secara bertahap Jepang mulai mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara donor terbesar di dunia. Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya sejak dana bantuan

22

Page 23: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

luar negeri ini dicanangkan setelah Perang Dunia, Jepang menghentikan, kalau bisa dikatakan mempermalukan Amerika Serikat. Dana bantuan luar negeri Jepang pada tahun 1989 ini berjumlah $8,9 miliar, sedangkan Amerika Serikat hanyalah $7,6 miliar.

Bila dilihat dari strategi yang dijalankan oleh kedua negara ini dalam menjalankan kebijakan bantuan luar negeri mereka pada Asia Timur, maka terlihat adanya perbedaan yang menyolok, hal ini terefleksi dalam orientasi ekonomi dan kebijakan luar negeri masing-masing. Bantuan luar negeri Amerika pada dasarnya dijalankan untuk suatu kebijakan yang saling berkaitan guna menciptakan ekonomi global yang liberal dan sebagai alat penahan gerak laju komunisme. Sedangkan bantuan luar negeri Jepang semata-mata adalah bersifat dagang, yang dirancang untuk mencapai tujuan geo-ekonomi Jepang. Tinggi rendahnya derajat kepentingan dari Amerika Serikat dan Jepang terhadap Asia Tenggara tercermin dalam jumlah total dana bantuan luar negeri yang mereka cucurkan ke kawasan ini. Hampir setengah dari total dana bantuan luar negeri Jepang mengalir ke kawasan ini, sedangkan bagi Amerika Serikat hanya 10% dari total bantuan luar negerinya. Pada tahun 1981 dan 1982, lima besar negara penerima dana bantuan luar negeri pemerintah (ODA) Jepang adalah negara-negara di kawasan Asia Timur ini. 37,5% dari total ODA Jepang diterima oleh 6 negara di kawasan ini, Indonesia (11,4%), Korea Selatan (6.7%), Muangthai (6,2%), Cina (5,9%), Filipina (5,8%), dan Malaysia (2,6%). Sedangkan sebaliknya, Amerika Serikat boleh dikatakan memberikan bantuan ODA-nya dalam jumlah yang cukup berarti hanya pada 2 negara di kawasan ini, yakni pada Indonesia (1,9%), dan Filipina hanya menerima 0,9% dari seluruh bantuan ODA Amerika Serikat. Dalam tahun 1990, negara-negara yang tergabung dalam NEC’s menerima 29% dari total ODA Jepang. Di lain pihak, yang diterima oleh mereka dari Amerika Serikat hanya 11%.

Dengan tercapainya sasaran Jepang, yaitu menciptakan daerah Asia Timur kedalam kawasan pengaruh ekonominya, timbul pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban, masihkah ada ambisi lain yang dimiliki Tokyo terhadap kawasan ini selain dari prinsip penghisapan demi mempertahankan kemakmuran ekonominya belaka? Berangkat dari adanya keterkaitan yang erat antara kepentingan ekonomi dan politik luar negeri suatu negara; ditambah dengan pengadaan dana bantuan luar negeri yang dijalankan, akan bisa memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai sepak terjang Tokyo dalam proses pencapaian ambisi lain ini.

Sejak dipulihkannya status Jepang dalam perjanjian perdamaian San Fransisco tahun 1951, negara ini berhasil (sekali lagi atas bantuan Amerika Serikat) keluar dari berbagai kendala internal dan eksternal akibat kalah dalam Perang Dunia II. Dengan cara yang sangat brilian, setelah keadaan ekonominya kembali membaik, Jepang mempelopori ide berdirinya Bank Pembangunan Asia (ADB) pada tahun 1966 - karena ide dan dana terbesar yang terhimpun oleh ADB ini berasal dari Jepang, maka pimpinan tertinggi atau presiden dari bank yang bersangkutan merupakan hak prerogatif Jepang. Sejak saat itu, Jepang mulai terlibat dalam pembicaraan mengenai berbagai isu-isu regional. Jepang mencoba memainkan peran sebagai pengganti bagi kekosongan kekuatan yang terjadi di Asia Tenggara pada tahun 1970an, ini terlihat jelas dengan penarikan mundur tentara Amerika Serikat dari daratan Vietnam, jatuhnya Indo Cina ke tangan Komunis, dan usaha untuk memperkuat dan memperdalam kerjasamanya dengan negara-negara yang tergabung dalam blok ASEAN pada tahun 1977.

Di pengujung tahun 1970 dan di sepanjang tahun 1980-an, Jepang bertindak sebagai penengah untuk menyelesaikan friksi antara ASEAN dan Vietnam. Motif Jepang memainkan peranan ini bermacam-macam. Di satu pihak, seperti juga ASEAN, Jepang menghadapi ketakutan yang sama terhadap kekuatan dan kemampuan ekspansinya komunisme Vietnam, yang kemungkinannya akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan ekonomi dan politik regional, dan pada akhirnya kalau hal ini memang benar-benar terjadi, maka tentu akan merugikan kepentingan Jepang sendiri. Di pihak lain, yang tidak kalah pentingnya dengan ketakutan Jepang ini adalah pangsa pasar Vietnam yang sangat potensial sekali sifatnya. Dengan jumlah penduduk yang 65 juta jiwa, permintaan dalam skala besar untuk melakukan renovasi dan rekonstruksi terhadap semua aspek kehidupan akibat perang, membuat Jepang tidak bisa tidak harus bisa menjadi pihak, yang kalau dapat, menjadi satu-satunya

23

Page 24: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

mitra kerja dalam mengatasi berbagai kendala yang dihadapi oleh Vietnam. Ini hanya akan bisa dicapai apabila Jepang bisa berpartisipasi dalam mengatasi sengketa yang tercipta, baik antara fraksi internal Vietnam sendiri, maupun antara Vietnam dean negara tetangganya, syukur-syukur kalau partisipasi yang diambil membuahkan hasil yang baik pada semua pihak yang bersengketa. Fakta berbicara, Jepang dianggap berhasil menjadi penengah dalam masalah internal dan eksternal Vietnam, menjadi negara donor terbesar dalam membantu pulihnya ekonomi negara ini, dan tentu saja sekaligus, Jepang mendapat berbagai konsesi terhadap proyek-proyek yang, baik langsung dan tidak langsung, berasal dari pemerintah Vietnam. Pada kurun waktu 1980an ini, dalam forum internasional seperti pada pertemuan tahunan negara-negara industri maju (G-7) misalnya, Jepang juga memproklamirkan perannya sebagai juru bicara dari negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Namun demikian, apa yang menjadi motif bagi Jepang untuk menjadi juru bicara bagi negara-negara di kawasan ini adalah mendua sifatnya. Jepang boleh dikatakan tidak banyak tertarik untuk menyalurkan aspirasi dan pandangan dari negara-negara di kawasan Asia Timur ini, malahan, Jepang berusaha agar perhatian dan kritikan yang berasal dari negara-negara di kawasan ini, negara-negara industri maju lainnya terhadap terus berlangsungnya rintangan untuk masuk ke pasaran domestik Jepang, dan kritik terhadap praktek neo-merkantilis Jepang lainnya bisa dialihkan atau dihilangkan.

Ada juga yang melihat bahwa Tokyo mengambil alih dan memimpin kawasan Asia Timur ini sebagai sarana untuk mengimbangi blok ekonomi perdagangan yang sudah terlebih dahulu ada, yakni Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) di Eropa Barat, dan juga untuk menghadapi muncul dan berfungsinya blok perdagangan Amerika Utara (NAFTA). Terlepas dari adanya pandangan ini, status perwakilan yang diemban Jepang terasa kurang kuat bila dilihat dalam arti apa yang menjadi ambisi mereka sebagai pemimpin, Jepang memang berkeinginan dan berambisi menjadi pemimpin bagi kawasan ini. Yang jelas, cita-cita Tokyo untuk menjadi pemimpin di kawasan ini adalah semata-mata untuk dagang belaka - Jepang menginginkan diperolehnya keuntungan ekonomi dan wibawa politik atas hegemoni yang mereka ciptakan pada kawasan ini, akan tetapi hanya bersedia membayar pada standar minimal terhadap biaya-biaya yang tercipta secara politik, ekonomi dan militer untuk mempertahankan statusnya.

Kalau dirinci, sejak 1980an sudah banyak studi yang dilakukan tidak saja oleh pihak swasta, pemerintah, baik secara pribadi maupun kelompok, yang mengkaji bagaimana Jepang dengan kemampuan yang dimiliki, akan bisa menyatukan berbagai sistem ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing negara yang ada di kawasan Asia Timur ini menjadi satu blok ekonomi regional yang berada di bawah kepemimpinan Jepang. Beberapa masalah mendasar yang terungkap dari hasil studi yang dilakukan ini berupa pertanyaan tentang; apa dan bagaimana seharusnya bentuk dari organisasi ekonomi yang akan diterapkan di Asia Timur? Negara-negara mana yang bisa dan tidaknya menjadi anggota dari blok ekonomi ini? Haruskah Jepang dengan kemampuan ekonominya yang kuat tampil sebagai pemimpin, atau, akibat adanya trauma masa lalu terhadap Jepang yang masih menghantui negara-negara di kawasan ini, perlukah kiranya sistem kepemimpinan dari blok ekonomi ini dibuat dengan sistem kolektif (kepemimpinan bersama)? Tidak lebih dan tidak pula kurang pentingnya, apa pertanggungjawaban yang muncul dan harus dipikul dari risiko sebagai pimpinan blok ekonomi ini?

Satu studi yang paling bisa mendekati gambaran ideal tentang strategi yang tepat dalam pencapaian status bagi Jepang sebagai pemimpin blok ekonomi ini tercermin dalam kajian mendalam Badan Perencana Ekonomi Jepang (EPA), berjudul "Promoting Comprehensive Economic Cooperation in the International Economic Environment Undergoing Upheaval: Towards the Creation of an Asian Network". Dalam kajiannya, EPA secara eksplisit menyatakan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah mengintegrasikan negara-negara NIC’s dan negara-negara ASEAN ke dalam satu sistem ekonomi regional yang didominasi oleh Jepang. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan ini adalah 'san-i-ittai' (tiga bagian dalam satu tubuh), analogi yang diambil adalah tubuh manusia. Jika blok ekonomi yang diinginkan sudah tercapai atau terbentuk, dia adalah tubuh. Sedangkan otak, dan sebagian besar otot yang berfungsi untuk mengoperasikan tubuh tadi

24

Page 25: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

berlokasi di Tokyo. Otak bertanggung-jawab untuk mengkoordinasikan baik kebijakan makro-ekonomi dan industri yang ada di seluruh negara anggota, dalam prakteknya, otak ini adalah gabungan dari peran yang dipunyai oleh kementerian keuangan (MOF), serta kementerian industri dan perdagangan internasional (MITI) yang sangat berperan dalam pembangunan ekonomi Jepang.

Walaupun begitu, apa yang dilakukan oleh EPA ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kajian yang telah disebutkan di atas. Boleh dikatakan hampir semua kementerian yang berkaitan dengan ekonomi (Ekuin), melakukan hal yang sama dan memajukan hasil yang telah mereka temukan. Kelompok pemikir MOF yang dikenal dengan nama 'komite riset Asia-Pasifik', diketuai oleh mantan presiden Bank Pembangunan Asia, Yoshida Taroichi, juga berhasil dengan baik memformulasikan rancang bentuk bagi rencana penciptaan blok ekonomi regional versi mereka sendiri. Komite ini melibatkan perwakilan dari semua kementerian Jepang yang saling terkait, dan diorganisasikan kedalam sekitar 9 sub-komite. Dalam analisa buku putih MITI tahun 1988 terlihat bahwa integrasi yang diinginkan sebenarnya sudah mulai terjadi, dan mengajukan strategi untuk merangsang terciptanya integrasi yang lebih luas. Apa yang diketengahkan oleh MITI ini dapat dimengerti, sebab pembicaraan untuk menciptakan integrasi regional sudah begitu sering dilakukan, dan menjadi tema dalam setiap pembicaraan tingkat tinggi antar pejabat pemerintah dari negara-negara di kawasan ini, seperti dalam pertemuan Konperensi Kerjasama Ekonomi Pasifik (PECC); Forum Jepang-ASEAN; Pertemuan antar Menteri Ekonomi; dan banyak lagi pertemuan tak resmi lainnya, baik dari kalangan dunia akademis, maupun kalangan bisnis.

Bagi Jepang, yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan rencana yang sudah dibuat ini bisa terealisir. Hal yang paling sukar untuk ditembus dalam usaha membentuk satu blok ekonomi yang berskala regional adalah, bagaimana negara-negara anggota bisa diyakinkan bahwa keuntungan yang diperolehnya akan lebih banyak dari biaya yang harus dikeluarkan. Untuk mencapai sasaran ini, Jepang melaksanakan apa yang biasa dijalankan oleh manusia, dan perusahaan Jepang untuk bisa

tetap bertahan hidup. Istilah untuk hal ini adalah sebagai dikenal dengan strategi nemawashi (rekayasa), tidak saja untuk pihak dalam negeri, tetapi juga pemerintah dari negara-negara yang memang perlu dilibatkan dalam proses pembentukan blok ekonomi regional ini.

Sasaran akhir tentu saja adalah penguasaan menyeluruh terhadap blok ekonomi regional yang sudah terintegrasi dengan baik tersebut. Apa kebijakan yang dijalankan Jepang terhadap Asia pada dekade 1990-an tidak ada bedanya dengan strategi yang mereka gunakan pada saat pembentukan Bank Pembangunan Asia di pertengahan 1960an, yakni, seolah-olah tidak tertarik untuk melakukan atau membuat sesuatu organisasi, tapi secara diam-diam dan hati-hati justru menyiapkan cetak biru dari organisasi yang ingin dibentuk tadi, dan dalam cetak biru tadi tentu saja Jepang yang bertindak sebagai pemimpin. Dengan kata lain, Jepang merekayasa agar pemerintah dari negara lainlah yang mengharapkan terbentuknya blok ekonomi regional bagi kawasan negara yang bersangkutan, setelah itu baru Jepang mengajukan rencana dan bentuk dari organisasi regional yang diinginkan, dan sekali lagi, Jepanglah yang menduduki singgasana organisasi ini. Dengan demikian, pembentukan organisasi ekonomi regional ini hanya membutuhkan formalitas belaka untuk bisa beroperasi, dan yang lebih penting, kritik terhadap Jepang pun bisa dieliminir sedemikian rupa.

Satu contoh menarik dari kasus di atas bisa terlihat dari cara Tokyo menanggapi apa yang dilontarkan oleh mantan PM Australia Bob Hawke pada tahun 1988 tentang perlunya dibentuk OECD bagi Asia. Sikap Jepang ketika itu adalah berpura-pura, walaupun sebenarnya sangat ingin agar hal itu menjadi kenyataan. Kondisi ini tercermin dari apa yang dilontarkan oleh pejabat senior kementerian luar negeri Jepang, "Kita tidak berniat untuk merealisasikan rancangan yang diajukan Hawke, tapi kita bisa melihat dan mengerti apa manfaat dari ide yang dia ajukan, dan kita berharap bisa saling bahu membahu memikirkan dan menjawab pertanyaan tentang bagaimana cara mengatasi dan menjalankan kerjasama regional. Penyebab utama mengapa Jepang mengambil sifat seperti ini tidak lain karena dia tidak ingin dianggap sebagai negara yang mempelopori apapun bentuk kerjasama pada tingkat bilateral ataupun regional di Asia, sebab kalau kondisi ini yang muncul ke

25

Page 26: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

permukaan, niscaya Jepang akan dikritik dan bahkan mungkin akan mendapatkan serangan yang keras dari Masyarakat Amerika Utara dan Masyarakat Ekonomi Eropa yang memang tidak suka dengan neomerkantilisme Jepang. Sehingga dengan strategi nemawashi, ketakutan Jepang terhadap kritik dan tanggapan yang datang dari luar bisa dihindari.

Cara Tokyo dalam mencapai sasaran untuk suatu kawasan yang dikuasai Jepang dengan cara sekedar mengambil kekayaan yang ada di kawasan tertentu melalui biaya yang seminimal mungkin menuju ke pembentukan suatu blok ekonomi, menunjukkan peralihan kebijakan yang menuju pada prinsip neomerkantilisme yang semakin sempurna. Sebagai contoh, strategi yang Jepang jalankan dalam memberikan dana bantuan luar negerinya tetap saja neomerkantilisme. Akan tetapi, penekanannya tidak lagi sekedar bantuan yang sifatnya mengikat terhadap barang dan jasa Jepang, atau memperbanyak dan memperkuat jaringan penanaman modal Jepang, tapi sudah sampai pada tahap melakukan resturkturisasi total terhadap perekonomian di kawasan yang bersangkutan, sehingga kawasan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika ekonomi Jepang. Dengan kata lain, bantuan yang diberikan akan sangat berarti bagi usaha memajukan seluruh dimensi perekonomian Jepang. Sehingga bisa dikatakan, bahwa kawasan yang mendapat bantuan Jepang tidak saja dilihat sebagai lokasi bagi seluruh perusahaannya yang memproduksi bahan baku mentah, energi, komponen harga rendah, dan barang-barang jadi; tapi juga sebagai pangsa pasar yang sangat luas dan wilayah yang merupakan pengaruh dari produk-produk Jepang. Kondisi seperti inilah yang dialami oleh negara-negara di kawasan terdekat Jepang seperti kawasan Asia Timur, ASEAN, dan sebagainya.

Strategi integrasi regional terhadap satu kawasan ini terlihat dalam "New Asian Development Plan and the ASEAN-Japan Development Fund", yang merupakan kajian MITI tentang rencana pembentukan suatu struktur kebijakan bagi kerjasama ekonomi Jepang dengan negara lain untuk masa yang akan datang. Keadaan ini menggambarkan alur yang berubah dari bentuk bantuan luar negeri Jepang dari hanya sekadar proyek-proyek infrastruktur tertentu, misalnya dam dan pembangunan jalan; sampai pada usaha untuk mendukung pembangunan sektor industri tertentu dan pembentukan struktur ekonomi yang sesuai bagi pengembangan industri ini. Langkah utama yang dijalankan Jepang untuk mencapai sasaran ini adalah melakukan pembicaraan resmi antar pejabat pemerintah Jepang dan pemerintah negara yang diberi bantuan secara bilateral, dan ini berguna bagi pembentukan rencana yang diinginkan. Setelah ada kesepakatan, pejabat Jepang akan menjalankan studi secara intensif terhadap keadaan dalam negeri negara yang ingin dibantu, dan menentukan sasaran industri strategis yang berpeluang besar dalam pengembangan perekonomian, dan tentu saja tidak akan bersaing dengan strategi industri yang Jepang miliki. pada akhirnya, baik master plan dari kebijakan ekonomi makro, maupun kebijakan industri yang dibahas ini kemudian disampaikan kepada panitia pengarah (steering committee), yang anggotanya terdiri dari para pejabat pemerintah kedua negara yang berasal dari kementerian ekonomi dan organ lainnya yang terkait. Panitia pengarah ini akan bertumpu dan dibuat harus menggunakan semua instrumen dari kebijakan-kebijakan industri Jepang, yang dianggap berhasil dalam pelaksanaannya, instrumen-instrumen ini antara lain riset, impor, ekspor, harga dan jumlah produksi, hambatan impor, pajak, dan sebagainya. Dengan menggunakan strategi ini, maka Jepang melalui jaringan lembaga dana bantuan luar negerinya seperti OECF, JICA, JETRO, dan sebagainya berlomba-lomba mencari jalan untuk menangkap mangsa di berbagai belahan bumi ini.

PenutupMelihat strategi dan kemampuan yang Jepang miliki, ditambah dengan kelemahan dari

pemerintah-pemerintah negara Dunia Ketiga, sukar disangkal bahwa pengaruh Jepang atas negara-negara ini akan semakin kuat untuk masa-masa mendatang. Cara lama yang diterapkan Jepang melalui militerisme terbukti gagal. dengan cara baru, yakni menjalankan praktek neomerkantilisme - pada awalnya memisahkan ekonomi dan politik dalam praktik, tapi kemudian, setelah keadaan ekonomi terkuasai dan ada situasi yang membahayakan posisi Jepang, antara ekonomi dan politik

26

Page 27: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

bertautan dengan erat. Jepang berhasil mencapai semua tujuan politik dan ekonomi atas kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara dengan biaya seminimal mungkin. Kawasan ini tetap akan menjadi lokasi utama bagi praktek neomerkantilisme Jepang.

KEBIJAKAN BANTUAN LUAR NEGERI JEPANGDALAM PERSPEKTIF HUBUNGAN AS-JEPANG

Oleh M. Mossadeq Bahri

Selain faktor internal, kebijakan bantuan luar negeri Jepang juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu yang menyangkut hubungan Amerika Serikat, dan perkembangan situasi regional dan internasional khususnya pada periode 1989-1992.

Hubungan AS-Jepang

Hubungan Amerika Serikat dan Jepang merupakan hubungan dua negara yang tidak dapat dipisahkan dalam membahas kehadiran keduanya di Asia Pasifik. Dalam hubungannya dengan abad Pasifik, Jepang memang diramalkan akan menyaingi posisi Amerika Serikat sebagai negara adidaya di kawasan ini. Sebagian pengamat merasa yakin bahwa abad 21 ini adalah abad Jepang dan mengatakan bahwa Jepang akan tampil sebagai negara adidaya yang besar.18 Kekuatan ekonomi Jepang akan terus tumbuh dan bahkan akan dapat melampaui Amerika Serikat. Bahkan ada pengamat yang beranggapan bahwa era Amerka Serikat telah berakhir dan era yang akan muncul kemudian adalah era Jepang.

Isu yang paling dominan mengenai abad Pasifik ini adalah menyangkut peran Jepang di masa mendatang, yaitu apakah Jepang akan dapat menggantikan Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemoni yang paling dominan saat ini. Mengenai isu ini muncul beberapa pandangan yang optimis dan yang pesimis terhadap peran dan posisi Jepang baik dalam lingkup kawasan Asia Pasifik maupun dalam lingkup global.19

Kemunduran kapabilitas AS sebagai negara adidaya di akhir abad XX, memang mendorong munculnya Jepang sebagai kekuatan baru di Asia Pasifik. Ogura Kazuo, mantan Menteri Luar Negeri Jepang juga melihat bahwa AS telah mulai kehilangan pengaruhnya dalam ekonomi global.20

Kemunduran kapabilitas AS ini di antaranya terlihat dari berkurangnya daya saing industri-industri di AS yang sangat mendukung perekonomiannya.21 Sebelumnya, AS selalu unggul dalam persaingan dengan industri-industri negara-negara lain. Industri AS kehilangan keunggulan komparatifnya (comparative advantage). Sebelumnya, AS merupakan negara kreditor terbesar di dunia, tapi saat ini AS menjadi negara debitor terbesar.

Dengan semakin terlihatnya kemunduran kapabilitas AS ini Jepang semakin dituntut untuk berperan lebih banyak dalam masalah-masalah internasional terutama yang menyangkut ekonomi kawasan

18 Clide Prestowitz, Time Magazine, 4 Juli 1988.19 Alan Rix, “Japan and the Region : Leading from Behind”, Pasific Economic Relation in the 1990s, 1992.20 Chalmers Johnson, “History Restarted : Japanese-American relation at the End of the Century”, Pacific Economic Relation in the 1990s, 1992.21 Hideo Sato, “Maintaining Peace and Prosperity in East Asia After the Cold War and the US Economic Hegemony : an Inquiry into the Role of Japan”, International Studies, 1992.

27

Page 28: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Asia Pasifik. Yoichi Funabashi misalnya, mengemukakan bahwa peran baru yang akan dimainkan Jepang salah satunya adalah didasari oleh kenyataan bahwa Jepang akan mengungguli AS, khususnya dalam bidang ekonomi pada abad XXI mendatang.22

Pada tahun 1989, Jepang mengungguli Amerika Serikat dalam hal pengeluarannya untuk bantuan luar negeri (ODA, Official Development Assistance).23 Bahkan sejak tahun 1985, sudah terlihat tanda-tanda bahwa Jepang akan mengungguli Amerika Serikat dalam hal bantuan luar negeri ini, terlebih ketika Jepang mengumumkan rencana penggandaan bantuan (aid doubling plan) yang juga di dukung oleh apresiasi nilai yen pada saat itu.

Kondisi di atas mendukung perubahan peran yang harus dipikul oleh Jepang sebagai negara yang dianggap sebagai calon negara adidaya menggantikan Amerika Serikat yang mulai menurun kapabilitasnya, khususnya kapabilitas ekonominya. Hal ini akan mendorong Jepang untuk lebih berperan dan berpartisipasi dalam masalah-masalah internasional, khusus yang menyangkut ekonomi internasional.

Tuntutan Peran Internasional Jepang

Bagi Jepang, usainya perang dingin tampaknya membawa implikasi politik dan strategi yang lebih rumit. Masalah pokoknya berkisar pada bagaimanakah Jepang mengkonsepsikan peranan dan merumuskan kebijaksanaannya dalam masalah-masalah internasional.

Sebenarnya masalah di atas bukanlah sesuatu yang bagi Jepang, dan beberapa kali dalam perubahan-perubahan situasi internasional Jepang selalu berhasil merumuskan kebijaksanaan luar negeri yang menggambarkan perimbangan antara tuntutan kepentingan nasional (dan juga semangat pasifis dalam negeri) dan tuntutan eksternal terutama dari Amerika Serikat.

Kini masalah peranan dan kebijaksanaan luar negeri Jepang kembali menjadi sorotan publik baik dari dalam negeri maupun masyarakat internasional. Di dalam negeri masalah di atas melahirkan perdebatan sangat di kalangan politis dan masyarakat Jepang. Sementara itu dalam masyarakat internasional dewasa ini muncul tekanan yang lebih aktif dalam masalah-masalah internasional termasuk masalah keamanan (security), sepadan dengan kekuatan ekonominya.24

Sejauh yang menyangkut aspek ekonomi, hampir semua pihak sependapat bahwa Jepang telah memberikan sumbangan positif bagi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Bahkan bantuan ekonomi Jepang kemudian dikaitkan dengan masalah stabilitas dan keamanan. Dari sinilah lahir istilah bantuan strategis (strategic aid). Konsep ini menunjuk pada kebijaksanaan luar negeri Jepang melalui saluran hubungan ekonomi sebagai hasil koordinasi dengan Amerika Serikat dalam persaingan global dengan Uni Soviet. Dimensi keamanaan dan strategis dari strategic aid direalisir dalam bentuk bantuan kepada countries bordering conflict dan areas which are important to the maintenance of the peace and stability of the world. 25 Karena itu aktivitas ekonomi Jepang tidak

22 Chalmers Johnson, Japan in Search of a Normal Role, Deadalus, 1990.23 Robert M. Orr Jr., “Collaboration or Conflict ? Foreign Aid and US Japan Relation”, Pacific Affairs, Vol 62 No. 4, 1990.24 Lihat misalnya himbauan Perdana Menteri Swedia Ingvar Carlson agar Jepang memaikan peranan dalam pasukan perdamaian PBB Mainichi Daily News (18 Maret 1991); Kenichi koyama, “Time for Japaan’s Initiarive, “The Japan Ties (5 Maret 1991); lihat pula tulisan seorang anggota Parlemen Jepang dan direktur National Derence Division LDP (Liberal Democratic Party) Koji Kazaikawa, “Create An Asian Peacekeeping Force,”The Japan Times (17 April 1991).

28

Page 29: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

semata-mata bersifat ekonomis, melainkan juga sebagai salah satu cara untuk menopang stabilitas dan keamanan internasional.

Tekanan internasional dan perdebatan dalam politik domestik tentang peran internasional Jepang mempertanyakan kembali diplomasi ekonomi Jepang dalam masalah politik dan keamanan internasional. Krisis Teluk menunjukkan bahwa kekuatan dan diplomasi ekonomi saja tidak cukup, sebagai contoh, walaupun Tokyo telah memberikan sumbangan sebanyak US $13 miliar; suatu jumlah yang melebihi jumlah total ODA Jepang pada tahun 1990, namun masih banyak kritik yang ditujukan terhadap Jepang. Kuwait, misalnya menyatakan terima kasihnya tidak kepada Jepang, tetapi kepada negara-negara yang telah membebaskan negara tersebut dari pendudukan Irak. Jajak pendapat yang dilakukan oleh ABC News dan Washington Post menunjukkan bahwa 30% masyarakat AS kehilangan respek terhadap Jepang.26 Bahkan Jepang tidak diikutsertakan secara langsung dalam pembicaraan antara Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis dan Jerman untuk membahas langkah-langkah bersama menghadapi Irak selama krisis berlangsung. 27

Masalah Bantuan Luar Negeri Dalam Hubungan AS-Jepang

Dalam hubungannya dengan bantuan luar negeri, kerjasama antara Amerika Serikat dan Jepang dalam pembangunan Asia Tenggara merupakan bentuk kemitraan yang kelihatannya logis.28 Kedua negara tersebut merupakan kekuatan ekonomi utama dunia dan negara donor terbesar. Kedua negara tersebut juga sering terlihat dalam pembangunan ekonomi dan politik di Asia Tenggara. Kolaborasi antara Jepang, yang merupakan negara donor yang relatif masih baru tetapi memiliki anggaran bantuan luar negeri yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan Amerika Serikat, negara donor yang sudah berpengalaman dalam memberikan bantuan luar negerinya guna pembangunan negara-negara berkembang tetapi sedang dililit oleh permasalahan keuangan dalam negerinya, merupakan suatu hal yang sangat diharapkan.

Namun kenyataannya, kerjasama antara kedua negara donor tersebut dalam membantu pembangunan negara-negara di Asia Tenggara hanya terlihat mudah dalam teori saja, tidak dalam prakteknya.29

Program bantuan luar negeri kedua negara masing-masing memiliki prioritas dan tujuan yang berbeda, kepentingan yang berbeda, filosofi pembangunan yang berbeda, dan juga gaya manajemen yang berbeda pula. Akibatnya, kerjasama lebih lanjut di antara kedua negara tersebut dalam pembangunan negara-negara di Asia Tenggara akan sulit berjalan seperti yang diharapkan, karena dalam pelaksanaannya akan terjadi friksi-friksi yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan tersebut di atas.

Beberapa perbedaan dalam program bantuan luar negeri antara Jepang dan Amerika Serikat yang bisa diidentifikasi adalah :

25 Dennis T. Yasutomo, The Manner of Giving : Strategic Aid and Japanese Foreign Policy (Toronto D.C. Heath and Companya, 1986), hal. 41-57.26 Time (18 April 1991), hal. 20; Ayako Doi, “$13 Billion Should Buy Japan A Littler Respect,” Asian Wall Street Journal (21 Maret 1991).27 Mainichi Daily News 92 Maret 1991).28 John W. Sewell, W. patroick Murphy, “The United States and Japan in Southeast Asia : Is a Shared Development Agenda Possible ?”, dalam Kaoru Okuizumi, Kent E. Calder, Gemit W. Gong, eds, The US-Japan Economic Relationship in East and Southeast Asia : A Policy Framework for Asia Pasific Economic Cooperation, Vol. XIV, No. 1, Westview Press.29 Ibil.

29

Page 30: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Fokus wilayah yang berbeda. Amerika Serikat mengkonsentrasikan bantuan luar negerinya pada wilayah Timur Tengah, Eropa Selatan, dan Amerika Tengah. Bahkan program bantuan luar negeri yang batu pun dikonsentrasikan pada Eropa Timur, Panama, dan Nikaragua. Sedangkan kepentingan bantuan luar negeri Jepang terfokus pada wilayah Asia.

Tingkat bantuan luar negeri yang berbeda. Bagi Amerika Serikat, bantuan luar negeri semakin ditekan karena anggaran belanja pemerintah yang juga semakin terbatas, dan karena itu pula, program bantuan luar negeri tersebut tidak mungkin meningkat dalam tahun-tahun mendatang. Sedangkan Jepang, di lain pihak, hampir selalu meningkatkan anggaran bantuan luar negerinya setiap tahun. Pada periode 1980-1988 saja, Jepang hampir menggandakan nilai bantuan luar negerinya sampai tiga kali lipat dari anggaran sebelumnya. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, persentase pengeluaran Jepang untuk bantuan luar negeri terhadap GNP-nya lebih besar daripada Amerika Serikat.

Tujuan strategis yang berbeda. Amerika Serikat lebih menitikberatkan tujuan strategisnya untuk kepentingan militer dan keamanan, dan kurang mengkonsentrasikannya pada kepentingan-kepentingan ekonomi. Hal ini sangat berbeda dengan Jepang yang sangat menitik beratkan program bantuan luar negerinya tersebut pada kepentingan-kepentingan ekonomi. 30

Dalam hubungannya dengan Asia Tenggara bisa dikatakan bahwa perbedaan diantara keduanya semakin terlihat. Bantuan luar negeri Amerika Serikat ke wilayah ini menurun dari 16,4 milyar US dolar pada 1973 hingga 1,4 milyar US dollar pada 1989. Hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan negara-negara pemberi bantuan luar negeri lainnya (DAC, Development Assistance Committee countries), yang justru mempertahankan atau bahkan meningkatkan bantuannya ke wilayah Asia Tenggara ini. Penurunan ini disebabkan oleh kepentingan militer dan keamanan Amerika Serikat yang lebih difokuskan ke wilayah Timur Tengah dan Amerika Serikat.

Berbeda dengan Amerika Serikat, Jepang memprioritaskan bantuan luar negerinya ke wilayah Asia, khususnya Asia Tenggara. Kemudian, jika kepentingan militer dan keamanan menjadi kepentingan utama yang diprioritaskan oleh Amerika Serikat, Jepang memprioritaskan kepentingan ekonomi. Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, kerjasama antara Jepang dan Amerika Serikat memang akan lebih sulit dalam penerapannya.

Tekanan Amerika Serikat

Apakah karena para pembuat kebijaksanaan luar negeri Jepang harus memperhitungkan orientasi pasifis masyarakat Jepang, dan apakah karena Jepang harus mempertimbangkan kemungkinan munculnya reaksi negatif dari negara-negara Asia jika Jepang meningkatkan kekuatan militernya, yang pasti adalah sampai saat ini masalah militer dan keamanan dalam kebijaksanaan luar negeri Jepang masih sangat sensitif, sejauh hal ini dilakukan melalui jalan non – ekonomi.

Demikian pula, masih belum jelas apakah sikap yang ditempuh Jepang di atas merupakan penyebab lemahnya inisiatif mengembangkan kebijaksanan luar negeri ataukah justru sikap di atas ditujukan untuk membentuk suatu model diplomasi gaya Jepang. Tidak ada faktor tunggal yang memberikan penjelasan tentang hal diatas. Dari pihak Amerika Serikat sendiri juga tidak ada jawaban yang pasti tentang apa yang Washington inginkan dari Jepang jika memang Jepang akan mengembangkan peran militer dan keamanan dengan meningkatkan kekuatan militernya dalam rangka berbagi beban (burden-sharing). Nakasone pada tahun 1977 menyatakan bahwa :

30 Overseas Deelopment Council, “An Increased Japanese Role in Third Word Development”, Policy Focus series, No. 6, Washington DC, 1988 seperti yang dikutip dalam John W. Sewell, W. Patrick Murphy, Op. Cit. Hal. 116.

30

Page 31: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Some American argue that Japan is not doing enough for its own defence. Other American argue that a step up in Japanese defence capabilities would lead to a revival of militarism, Japanese are set a loss to know what to do. One side says get off the us; the other side says get on.31

Pada tahun 1987 Kongres AS meminta Jepang untuk mengalokasikan 3% dari GNPnya untuk belanja pertahanan.32 Ozaki, seorang pengamat masalah luar negeri Jepang, mempertanyakan apa yang diinginkan oleh AS dari Jepang dengan anggaran militer 3% dari GNP. Selanjutnya dikatakan seandainya anggaran militer Jepang adalah 2% dari GNP sampai dengan tahun 2000 anggaran tambahan militer akan terakumulasi US$ 300 milyar yang berarti mampu membangun 10 kapal induk dengan teknologi nuklir mutakhir. Tetapi jika ditanyakan kepada AS apakah demikian yang mereka inginkan, mereka akan menyataan tidak. 33

Jadi banyak variabel untuk menjelaskan mengapa Jepang tetap memberi takanan pada diplomasi ekonomi dalam kerangka keamanan menyeluruh, walaupun konsep ini sendiri juga memberi peluang peningkatan peran kekuatan militer dalam kebijaksanaan luar negeri Jepang, seperti yang dilakukan oleh Suzuki dengan kebijaksanaan perlindungan 1.000 mil laut dan kebijaksanaan Nakasone yang memecah trasidisi anggaran belanja militer dalam batas 1% GNP. Japan Diplomatic Blue Book 1989 menggambarkan penekanan diplomasi gaya Japan untuk memberi sumbangan pada perdamaian dan keamanan internasional.34

There is a wide spread opinion in the United States, especially in the Congress, that Japan and other allies should share the burden for the peace and prosperity of the world. Japan believes that the allies can contribute to the peace and prosperity of the world not in uniform way but hat it is important for each to fulfill its responsibility from its own standpoint not only in defense but also in many other areas.35

Sejak itu apa yang disebut tanggung jawab dan kontribusi Jepang terhadap perdamaian dan keamanan internasional dirumuskan dalam kebijaksanaan Japan Contributing to the World dengan mempromosikan International Cooperation Initiative pada tahun 1988 yang terdiri dari tiga pilar yaitu : kerjasama untuk perdamaian; perluasan dan peningkatan ODA; dan hubungan budaya antar bangsa.36

31 Yasuhiro Nakasone, “Japan Confronts the Future, “A paper presented at a meeting of the Sino-Soviet Institute, George Washington University, 26 September 1977, sebagaimana dikutip oleh Olsen, op. Cit., hal. 112.32 House Resolutin, 18 Juni 1987 dalam Hisahiko Okazaki, “The Restructuring of the U.S.-Japan Alliance, Japan Review of International Affairs, Vol. 2/2 (Fall/Winter 1988)33 Ibid., hal. 126.34 Pernyataan dalam Japan Diplomatic Blue Book 1989 ini tampaknya merupakan jawaban Jepang atas tekanan Kongres AS agar para sekutu menanggung burden-sharing yang lebih besar. Congressional Report 1988 mengritik Jepang dan negara-negara Eropa karena tidak memberikan kontribusi keamanan internasional sepadan dengan kekuatan ekonomi mereka. Secara otentik laporan tersebut menyatakan : “Alliances as a whole should play large role in deciding whether they view US Troops and bases in their territories as necessary for defence and, if so, should share or pay for all of additional cost incurred by the United States in sttaioning its forces overseas, “Interim Report of the Defense Burdensharing Panel of the Committee on armed Service, House of Representative, One Hundredth Congress, Second Session, Agustus 1988 (Sashington, D.C. : U.S. Government Printing Office, 1988), hal. 4-7, sebagaimana dikutip oleh Akaha, “Japans Security Policy.., “hal. 436.35 Japan Diplomatic Blue Book 1989 (Tokyo : ministry of Foreign Affairs), hal.61.36 Ibid. Lihat pula teks pidato Toshiki Kaifu pada Sidang Diet ke – 114 tangal 10 Februari 1989.

31

Page 32: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Terlepas dari persoalan bahwa kebijaksanaan di atas ditujukan untuk melindungi kepentingan Jepang, terutama kepentingan ekonominya yang bersifat global, tampaknya kebijaksanaan itu diambil karena mendapat tekanan dari AS. Alexander Haig pernah menyatakan bahwa AS tidak melihat langkah-langkah ekonomi dan politik Jepang sebagai pengganti kontribusi dalam bidang pertahanan dalam rangka berbagi beban. Pada pemerintahan Reagan memang terjadi penurunan intensitas tekanan AS terhadap kebijaksanaan luar negeri Jepang, karena AS harus mendengarkan kekhawatiran negara Asia terutama Asia Timur dan Asia Tenggara. Kedua negara kemudian lebih menekankan aspek peran (role) dan misi (mission) daripada sekedar ukuran anggaran belanja militer dalam kerangka berbagi beban tadi.37 Tetapi sejalan dengan adanya friksi ekonmi akibat defisit perdagangan AS terhadap Jepang, Tokyo merasa tidak pernah lepas dari tekanan AS dalam menentukan kebijaksanaan luar negerinya. Selama krisis Teluk berlangsung seorang anggota Konggres AS menyatakan : “Jika Jepang tergantung AS dalam masalah keamanan, mereka harus membayar untuk itu (biaya operasi militer AS di Teluk).”38 Menanggapi reaksi Jepang terhadap tekanan AS, seorang pengamat baru-baru ini menyebut Jepang sebagai negara yang unik yang memberi justifikasi atas kebijaksanaan keamanannya bukan karena ancaman musuh (Uni Soviet), melainkan untuk melindungi dirinya dari pelindungnya, yaitu Amerika Serikat. 39 Friksi ekonomi menjadi saling terkait dengan tekanan AS dalam masalah kebijaksanaan keamanan dan politik luar negeri Jepang. Dari sini muncul tuduhan terhadap Jepang sebagai pembonceng gratis (free rider).

Tuduhan pembonceng gratis menuding Jepang tidak memberi sumbangan pada usaha menjaga stabilitas dan keamanan internasional sepadan dengan kekuatan ekonominya. Karena konsep security comprehensive dan International Cooperation Initiative dalam prakteknya banyak menekankan kekuatan ekonomi, misalnya melalui bantuan ODA, maka hal itu dipandang tidak cukup sebagai kontribusi Jepang dalam masalah stabilitas dan keamanan.40 Penjelasan-penjelasan strategis dan keamanan atas dasar ancaman Soviet memang mendapat validitas.41 Karena menurut Jepang pihak AS sendiri tidak memberi jawaban tentang apa yang sebenarnya mereka inginkan dari Jepang dengan berbagi beban, maka tuduhan pembonceng gratis pun pada akhirnya menjadi tuduhan yang fleksibel.

Masalah pembonceng gratis ini diperkuat lagi dengan fakta bahwa dalam struktur birokrasi pengambilan kebijakan bantuan luar negeri Jepang, kementerian Luar Negeri Jepang atau Ministry of Foreign Affairs (MOFA) merupakan jendela resmi bagi semua jenis bantuan luar negeri.42 MOFA memilik otoritas yang luas, dan memiliki kemampuan untuk mendapatkan gambaran luas tentang formulasi dan impementasi, dan dari manajemen hubungan luar negerinya. MOFA sering menggunakan tekanannya untuk menaikkan bargaining positon terhadap kemernterian lain untuk mencapai kepentingannya.

37 Olsen, op.cit., hal. 22.38 Asahi Evening News (22 Februari 1991).39 M. Kse, “Japan Pledge of Appeasement, “Asia Wall Street Journal (13 Februari 1991).40 Menunjuk kasus penyerbuah Kuwait oleh Irak Deputy Menteri Pertahanan AS Donald J. Aswood menyatakan : “Kuwait was economically secure, but poor armed, and proved no match for its heavily armed neighbor. Similarly, Japan/s ecnomic power alone is no guarantee of security. While there are many lessons to be learned from this still unfolding crisis, one is very clear. In today’s would, economic power alone is not enough to guarantee security. Security still requires military strength, “disampaikan pada Tokyo-American Club, Tokyo, 4 Oktober 1990.41 Lihat Richard H. Solomon, “The U.S. and Japan Between Two Eras : An Evolving Partnership, Teks pernyataan yang disampaikan pada The Foreign Correspondets Club, Tokyo 10 April 1990. Lihat pula pidato Deputy Menteri Pertahanan AS Donald J. Aswood, “The U.S. –Japan Security Relationship in A Changging World, “pada Tokyo – American Club, Tokyo 4 Oktober 1990.42 Alan Rix, Japan’s Economic Aid : Policy Making and Politics, Coom Helm : London, 1990, hal. 14.

32

Page 33: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

MOFA meruakan satu-satunya kementerian dalam birokrasi Jepang yang secara rutin berkonsultasi dengan Amerika Serikat perihal bantuan luar negeri Jepang. Memang, setelah Jepang muncul sebagai negara donor utama, pengaruh Amerika Serikat mungkin telah berkurang, tetapi pendekatan yang dilakukan Amerika Serikat tetap berjalan terus dan konstan.

Dalam bantuan luar negeri Jepang ke Indonesia, Amerika Serikat dan MOFA melakukan tekanan-tekanan pada pemerintah Jepang, dalam hal ini khususnya MITI, untuk mempertibangkan aspek politik dan kemanan juga dalam memberikan bantuan luar negerinya ke Indonesia, dan tidak hanya bedasarkan kepentingan ekonomi dan bisnis.

Dari bagan di atas terlihat peran Amerika Serikat (terutama NSC-National Security Council) yang berkoalisi dengan Kementerian Luar Negeri (MOFA) Jepang untuk menekan MITI dalam urusan

bantuaan luar negerinya ke Indonesia.27 kepentingan MOFA disini adalah sejalan dengan Amerika Serikat, yaitu menekankan aspek security dalam masalah bantuan luar negerinya ke Indonesia. Berbeda dengan pandangan MITI yang tetap menginginkan kepentingan ekonomi dan bisnis diprioritaskan apapun bentuk politik luar negeri Indonesia, dan walaupun negara-negara ASEAN dan

Amerika Serikat menantang kebijakan bantuan luar negeri tersebut.28 MITI bisa dikatakan tidak pernah mengkaitkan bantuan luar negeri Jepang dengan kepentingan politik. Bagi MITI, kepentingan komersial/bisnis dan ekonomilah yang harus diprioritaskan. Negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah merupakan negara-negara penerima bantuan yang diprioritaskan pertama.

Memang, dengan munculnya Jepang sebagai donor utama bantuan luar negeri, pengaruh Amerika Serikat terhadap bantuan luar negeri Jepang ini sedikit berkurang. Namun, MOFA masih sangat sensitif terhadap bagaimana bantuan luar negeri Jepang ini diinterprestasikan oleh masyarakat dunia, dan oleh karena itu, Amerika Serikat masih terus memainkan peranannya sebagai “anggota tidak

resmi” dalam pembuatan kebijakan bantuan luar negeri Jepang. 29

Inisiatif Jepang

Membicarakan inisiatif Jepang dalam masalah internasional yang dewasa ini menjadi sorotan publik baik dari dalam negeri maupun masyarakat internasional harus melihat tiga kenyataan. Pertama, Jepang adalah superpower ekonomi yang mempunyai kepentingan untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas global. Kedua, sentimen pasifis dan konstitusi damai. Secara normatif konstitusi damai dan semangat pasifis adalah sangat ideal. Namun kalaupun mereka dianggap kurang relevan karena hubungan internasional di dominasi oleh mazhab realis, setiap usaha revisi konstitusi akan dipandang sebagai bangkitnya militerisme Jepang baik oleh masyarakat domestik Jepang maupun negara-negara Asia. Karena itu kecil kemungkinan adanya revisi konstitusi. Kemungkinan yang paling realistis adalah menafsirkan kembali konstitusi. Ketiga, Jepang terikat aliansi keamanan dengan Amerika Serikat.

Dengan melihat kondisi-kondisi di atas tampaknya kontribusi dan inisiatif Jepang pada masa pasca

perang dingin akan berpusat pada tiga opsi.30 Pertama, inisiatif dalam PBB. Untuk pertama kalinya sejak perang dunia II Jepang telah membentuk kesatuan khusus penjaga perdamaian di bahwa PBB.

2

27 Robert M. Orr Jr., Op. Cit., hal. 123.28 Ibid., hal 37.329

33

Page 34: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

Ketiga partai politik (LDP, SDPJ, dan Komeito) telah mencapai kesepakatan mengenai hal di atas. Selain itu Jepang saat ini sedang merintis jalan untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan berusaha menghilangkan kata “enemy” dalam Piagam PBB. Kata “enemy” menunjuk pada negara-negara lawan sekutu dalam Perang Dunia II, yaitu Jepang dan Jerman. Usaha ini mendapat

dukungan Perdana Menteri Australia Bob Hawke.31 Usaha Jepang untuk menjadi anggota Dewan keamanan dikemukakan oleh Duta Besar Jepang untuk PBB Yoshio Hatano. Dengan keras Hatano menyatakan : “We don’t want people to make policy on these (international) matters and send us bill. Forty six years after the end of the Second World, Security Council should reflect the present reality. We are promoting the consensus that it is logical and reasonable that Japan be granted a special

place on the Security Council.”32 Walaupun masih dipertanyakan apakah Dewan Keamanan akan menjadi lebih efektif untuk memecahkan masalah internasional setelah masuknya Jepang, usaha Jepang di atas menggarisbawahi inisiatif yang lebih aktif di PBB dan memunculkan debat tentang perlu tidaknya PBB melakukan reformasi struktural setelah Perang Dingin berakhir.

Kedua, Jepang tetap mempertahankan aliansi dengan Amerika Serikat. Sepanjang Jepang mempertahankan komitmen pada konstitusi damai, Jepang tetap menemukan relevansi aliansi dengan Amerika Serikat. Kerena aliansi ini, Jepang tidak melakukan remiliterisasi dalam skala besar yang berorientasi untuk agresi dan invasi. Sebaliknya karena konstitusi, aliansi diterima sebagai kekuatan penangkal agresi dari luar. Jadi logikanya kalau Jepang meninggalkan salah satu dari mereka, maka adalah tidak mungkin mempertahankan eksistensi yang lain. Ada pendapat yang menyatakan bahwa untuk mempertahankan aliansi Jepang-AS, Jepang harus merevisi atau menanfsirkan kembali konstitusi untuk memberi peluang keterlibatan militer Jepang dalam masalah internasional. Namun sekali Jepang menempuh jalan ini, aliansi Jepang-AS menjadi kurang relevan. Belum lagi Tokyo harus menghadapi reaksi negera-negara Asia Timur dan Tenggara.

Yang menjadi persoalan bagi Jepang adalah bahwa aliansi Jepang-AS tidak mempunyai dimensi global dalam masalah keamanan internasional. Lebih khusus aliansi tersebut tidak memberikan kerangka yang jelas tentang usaha Jepang untuk memelihara kepentingan keamanannya di luar batas nasional. Kelihatannya yang diperlukan oleh Jepang pada masa mendatang bukanlah merevisi aliansi tersebut, melainkan memberikan penafsiran yang fleksibel sehingga aliansi tersebut mempunyai

signifikansi global.33 Namun juga tidak mungkin mempetahankan aliansi tersebut tanpa memperhatikan kepentingan Amerika Serikat. Jadi harus ada kondisi dimana Amerika Serikat tetap memandang perlu eksistensi aliansi Kondisi-kondisi itu adalah pertama, pemeliharaan kepentingan keamanan dan ekonomi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Kedua, kesediaan pihak Jepang untuk memberikan share yang lebih besar dalam kerangkan berbagai beban yang lebih luas. Karena Asia Pasifik tumbuh menjadi kawasan ekonomi yang maju, kepentingan Amerika Serikat di kawasan ini akan lebih cenderung didefinisikan dalam kerangkan kepentingan ekonomi. Ini berarti Jepang harus memberikan perhatian serius pada masalah ekonomi dalam hubungan Jepang-AS. Dalam kaitan ini tampaknya Jepang harus menata kembali hubungan dagang dengan Amerika Serikat.

Opsi ketiga adalah memberikan perhatian yang lebih besar pada kawasan Asia, khususnya Asia Pasifik. Perang Dingin telah berakhir dibarengi dengan munculnya Jepang sebagai superpower

30 Terumasa Nakanishi, “Options in An Age of International Initiatives,”Economic Eye, vol. 12/1 (Spring 1991), hal 6-7.31 Stanley meisler, “Jepan’s Thorny U.N. Bid, “Japan Times (20 Mei 1991).

32 Ibid.33 Masahi Nishihara, “New Roles for the Japan-U.S. Security Treaty, “Jepan Review of International Affaris, vol. 5/1 (Spring/Summer 1991), hal. 34-35.

34

Page 35: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

ekonomi. Perkembangan ini berjalan bersamaan dengan semakin pentingnya peran Asia Pasifik bagi kepentingan ekonomi Jepang, terutama kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Karena itu ada dorongan yang bersifat imperatif pada pihak Jepang untuk memberikan sumbagnan terhadap pemecahan konflik-konflik regional di kawasan ini, seperti masalah Kamboja dan Semenanjung Korea. Untuk keperluan ini Jepang tampaknya harus memberikan rumusan komitmen dan visi yang jelas pada negara-negara Asia, terutama dalam hal bantuan pembangunan ekonomi. Misalnya pembukaan pasar di Jepang bagi komoditi luar negeri harus dilakukan bukan semata-mata karena tekanan Amerika Serikat, tetapi yang lebih penting sebagai langkah untuk memperkuat pentingnya Jepang bagi Asia.

Kebijaksanaan di atas sebenarnya memberikan kesempatan yang lebih besar kepada Jepang untuk menempatkan dirinya di kawasan Asia. Harus diakui sebagai kenyataan bahwa trauma masa lalu akibat pendudukan Jepang masih mewarnai persepsi Asia terhadap Jepang. Selama Perang Dingin trauma sejarah di atas “dikalahkan” oleh pertentangan liberalisme dan komunisme. Dalam hubungan kebijaksanaan Asia ini kita dapat menafsirkan pernyataan kaifu di Singapura tentang kesalahan Jepang terhadap negera-negara Asia Tenggara, sebagai usaha untuk mendatakan dukungan dari negara-negara Asia. Terlebih lagi jika pada periode yang akan datang Amerika Serikat harus mengurangi kehadirannya di kawasan Asia.

KONTROVERSI KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI JEPANGOverseas Development Assistance (ODA)

M. Mossadeq Bahri

Pelaksanaan politik luar negeri Jepang didasarkan atas tiga pilar utama yaitu: Official Development Assistance (ODA), Peace Keeping Operations (PKO) dan International Cultural Relations (ICR). Tiga pilar ini diumumkan sebagai Prakarsa Kerja sama Antar Bangsa Jepang oleh Perdana Menteri Takeshita Noburu di London, pada awal Mei 1988. Salah satu dari tiga pilar yang akan dibahas dalam paper ini adalah pilar yang pertama, yakni Overseas Development Assistance (ODA).

Kerangka TeoriK. J. Holsti mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai gagasan atau tindakan yang

dirumuskan oleh pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah atau untuk mempromosikan perubahan dalam kebijakan-kebijakan, sikap atau tindakan negara lain dalam ekonomi internasional atau dalam lingkungan fisik dunia (1992:. 82). Kebijakan luar negeri ditujukan untuk mempromosikan kepentingan nasional. Kepentingan nasional disini dinyatakan sebagai kepentingan suatu negara, di mana metode-metode dan aksi-aksi untuk mengusahakan terpenuhinya kepentingan nasional ini disebut kebijakan nasional.

Lebih lanjut Holsti menyatakan bahwa tujuan kebijakan luar negeri terdiri dari tiga kategori. Pertama, tujuan jangka pendek (disebut juga sebagai kepentingan inti) yaitu self preservation yang mengandung pengertian bahwa setiap negara akan selalu berupaya melindungi unit-unit politiknya dari ancaman atau gangguan faktor-faktor eksternal. Kedua, tujuan jangka menengah, yang terdiri dari tiga tipe. Tipe pertama adalah usaha-usaha pemerintah memenuhi tuntutan-tuntutan dan kebutuhan masyarakat akan kemajuan ekonomi melalui tindakan-tindakan internasional yang didalamnya terkandung pengertian bahwa untuk mencapai tujuan tersebut masing-masing negara harus berinteraksi karena adanya keterbatasan di tiap-tiap negara. Tipe kedua,

35

Page 36: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

meningkatkan prestise negaranya dalam sebuah sistem yang dapat diukur melalui perkembangan industri dan teknologi. Tipe ketiga, melakukan perpanjangan diri (self-extention) atau imperialisme yang dilakukan oleh negara. Ketiga, tujuan jangka panjang, yaitu rencana-rencana dan bayangan masa depan yang berkaitan dengan usaha pengaturan sistem internasional berdasarkan suatu ideologi tertentu (ibid: 144-157).

Terlepas dari pro dan kontra terhadap hasil yang tercipta dari bantuan luar negeri (Overseas Development Assistance - ODA) pada pembangunan nasional suatu negara, yang jelas, sejak program bantuan ini dilaksanakan pada awal usainya Perang Dunia II lalu, dia tetap, dan akan masih mengalir dari belahan dunia Barat atau Utara ke bagian Dunia Timur atau Selatan.

Dalam pedoman petunjuk pelaksanaan program bantuan luar negeri Jepang dinyatakan ketentuan dengan jelas sebagai berikut:

Japan is fully committed to its role in fulfilling the responsibility of the international community that the more advanced countries assist the developing countries, and has been making every effort to increase its economic assistance to contribute to the solution of the North-South problem. As a country that is commited to peace and as the second largest free-market economy in the world, Japan intends to contribute to the maintenance and promotion of international peace and security through economic assistance to the developing countries “Jepang sangat mentaati perannya dalam memenuhi kewajiban internasionalnya, bahwa negara maju harus membantu negara yang sedang berkembang, berusaha keras untuk meningkatkan bantuan ekonominya bagi penyelesaian masalah utara-selatan. Sebagai negara yang berkomitmen bagi perdamaian dan sebagai negara terbesar kedua dalam ekonomi pasar bebas di dunia. Jepang berkeinginan untuk berkontribusi dalam mempertahankan dan mempromosikan keamanan dan perdamaian internasional melalui bantuan ekonominya ke negara berkembang” (APIC, 1990:4).

Jika petunjuk pelaksanaan ini benar, lalu, apakah Jepang menjalankan prinsip ideal yang digariskan ini dalam memberikan bantuan luar negerinya? Atas dasar pertanyaan inilah, paper ini mencoba melihat praktek ODA Jepang melalui pandangan kritis dari ilmuwan yang mendalami ODA Jepang ke Indonesia.

Hasegawa Sukehiro (1975:11) dalam bukunya yang berjudul Japanese Foreign Aid: Policy and Practice menyatakan bahwa sejak Jepang melancarkan program bantuannya di awal 1950-an. Terdapat sedikitnya lima tujuan utama Jepang dalam pemberian bantuannya yaitu, (1) memacu proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jepang; (2) membina hubungan diplomatik antara Jepang dan negara tetangga; (3) mempertahankan sistem politik, ekonomi, dan sistem sosial, serta menstabilkan kebijakan dari negara penerima bantuan bagi keuntungan Jepang; (4) meningkatkan penerimaan perkapita Jepang; (5) mempertahankan dan meningkatkan pengaruh dan kepemimpinan Jepang di komunitas regional dan global.

Bahwa motif Jepang sebagai negara donor dalam mengalirkan bantuan luar negerinya lebih banyak bagi kepentingannya sendiri ini banyak mendapat kritikan dari banyak pihak. Dalam bukunya yang berjudul ODA Enjoo no Genjitsu (ODA: Fakta dan Realitas), Sumi Kazuo (1989) mengungkapkan bahwa bantuan luar negeri pemerintah Jepang kepada negara-negara berkembang lebih banyak menghasilkan sisi yang negatif. Segi positif yang diperlihatkan oleh sosok ODA Jepang hanyalah sekedar gambaran umum pada masyarakatnya bahwa Jepang banyak memberikan bantuan pada negara berkembang; bahwa banyak tenaga sukarelawan Jepang yang bersedia bekerja atas dasar kemanusiaan; bahwa ada bantuan pangan yang diberikan, dan sebagainya. Sebaliknya, tak ada hasil negatif yang ditimbulkan oleh ODA Jepang di negara berkembang ini yang diberitahukan pada masyarakatnya. ODA Jepang bukannya dapat mengangkat derajat atau perekonomian atau kondisi sosio ekonomi masyarakat yang ada di dunia ketiga, dia malah banyak menimbulkan problema baru

36

Page 37: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

yang sangat buruk bagi keberadaan dari masyarakat dunia ketiga itu sendiri. ODA Jepang banyak yang membuat terpuruknya masyarakat suku minoritas; ODA Jepang banyak membuat semakin buruknya kondisi polusi dari masyarakat dunia ketiga. ODA Jepang diberikan pada dunia ketiga adalah dalam rangka membuat pabrik yang dalam proses produksinya sangat berbahaya bagi lingkungan, dengan demikian, pabrik-pabrik yang terdapat di Jepang harus direlokasikan ke dunia ketiga, biarlah proses produksi yang berbahaya bagi lingkungan ini terjadi di luar Jepang, hasil produksinya baru dibawa ke Jepang. Jepang hanya mau menang sendiri. Keadaan seperti inilah yang seharusnya diberitahukan oleh pemerintah Jepang pada masyarakatnya, yang notabene setiap individu Jepang menyumbang setiap tahun sebanyak 11200 yen bagi kelangsungan ODA Jepang.

Dalam bukunya yang berjudul Nihon wa Sekai no Teki ni Naru: ODA no Hanzai (Jepang Musuh Dunia: Dosa ODA) Asano Kenichi (1994) menyatakan bahwa ODA Jepang hanyalah memberikan kekayaan atau memperkaya kelompok tertentu di negara berkembang. Dalam kupasannya yang rinci mengenai Indonesia, dia secara tegas mengungkapkan bahwa hanya elit (keluarga istana/royal family) dan kelompoknya yang menjadi kaya dengan adanya bantuan Jepang ke Indonesia. Setiap pengusaha Jepang yang menanamkan modalnya di Indonesia harus beraudiensi dengan presiden, lamanya berkisar antara 20 sampai 30 menit. Untuk itu, masing-masing pengusaha tadi harus menyerahkan upeti sebesar antara 200 ribu sampai 300 ribu yen. Audiensi ini terjadi tidak hanya sekali dalam setahun, kadang-kadang dua atau tiga kali. Begitu juga kalau ada perusahaan Jepang ingin dibuka dan dikunjungi oleh presiden, pengusaha yang bersangkutan harus mengeluarkan upeti sebesar satu milyar rupiah (1994:182). Di lain pihak, sikap manusia Jepang pun, apakah mereka sebagai tenaga ahli yang menangani proyek bantuan luar negeri Jepang (baik yang pinjaman ataupun yang hibah), apalagi mereka yang berasal dari berbagai perusahaan Jepang di Indonesia cenderung menciptakan kebobrokan pada nilai-nilai budaya masyarakat dimana mereka ditempatkan. Dengan uangnya, mereka melakukan kawin kontrak dengan wanita setempat, dan berlaku selama mereka bekerja disana. Praktek semacam ini pada hakekatnya sama dengan perlakuan tentara Jepang terhadap wanita Asia yang dijadikan sebagai pelacur (jugun ianfu) pada masa Perang Dunia II (ibid: 86).

kontroversi dari penyaluran dana bantuan yang Jepang berikan kepada negara penerima antara lain bisa diuraikan dalam penjelasan berikut:

Pertama, berhubungan dengan proses pembuatan kebijakan yang terlalu berbelit-belit. Negara donor lain memiliki institusi sendiri yang mengatur pemberian bantuan luar negeri. Amerika Serikat memiliki US Agency for International Development (USAID), sementara Kanada memiliki Canadian International Development Agency (CIDA). Di Jepang proses pemberian ODA melibatkan 19 kementerian, meskipun koordinatornya adalah Kementerian Luar Negeri.

Permasalahan kedua, terkait dengan prinsip "request-first" yang berarti calon negara penerima harus terlebih dahulu membuat permintaan formal kepada Jepang, baru setelah itu akan dipertimbangkan. Hal ini mengundang kritik bahwa ODA bersifat terlalu komersil dan sering tidak disalurkan ke orang-orang yang mengalami kemiskinan tapi justru ke kantong-kantong pemerintah di negara penerima.

Ketiga, terkait dengan penerapan ODA Charter. Kritik menyatakan bahwa Jepang tetap memberikan ODA ke negara yang terbukti melakukan penindasan hak asasi manusia, pengembangan senjata dan lainnya. Contohnya adalah Cina. Cina adalah negara nuklir dan terkena dengan penindasan HAM.

Keempat, terkait dengan sifat komersil dari ODA. Kritik menyatakan bahwa ODA hanya digunakan untuk memenuhi kepentingan ekonomi Jepang melalui kolusi dengan perusahaan- perusahaan dan konsultan, dan pada akhirnya justru menimbulkan penindasan HAM dan kerusakan lingkungan di negara penerima.

Kritik lain menyatakan bahwa Jepang hanya memberikan ODA ke negara-negara yang memiliki sumber daya alam yang dibutuhkan Jepang, namun tidak memberikan ODA ke negara-

37

Page 38: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

negara terbelakang (LDCs), seperti Ethiophia, yang tidak memiliki sumber daya alam yang dibutuhkan Jepang.

Terakhir, terkait dengan opini publik dalam negeri. Di Jepang sendiri sebenarnya masyarakat tidak bersikap kritis terhadap penyaluran ODA, yang sumber pendanaannya sebenarnya berasal dari pajak yang mereka bayar.

38

Page 39: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

International Cultural Relations in Japan’s Foreign Policy in the 1990s

by M. Mossadeq Bahri

Japan's profile in the world community changed a great deal in the 1980s. Japan has emerged as the world's second largest economy, its third largest trader and largest capital exporter. For the first time in the history of development aid, Japan replaced the US position as the world’s top donor country in 1989. Providing nearly $ 9 billion in ODA to Developing countries, while US with a $ 7.7 billion. The remarkably swift rise of Japan as an economic superpower has forced other countries to adjust. The process has helped to cast a spotlight on Japan's financial and political relations with the rest of the world. Japan attracts concern and interest, criticism and praise, suspicion and expectation, tempered with the historical and cultural caution. At a time of transition in the global balance of power, we can not deny the fact that Japan has become a major player on the world stage.

These conditions have forced Japanese leaders to develop a new outlook on the changing requirements of Japan's foreign policy. As Japan sheds its cloak of international political obscurity, there are signs that the nation is seeking to develop a more outward-looking foreign policy and a stronger international personality.

This paper will describe the recent development of Japan's international cultural relations policy. It considers the changing demands upon Japan's foreign policy that have accompanied Japan's "rising status" as a more powerful member of the international community. Japan's international relationship have become more complex. Japan's growing economic and, these days, its political involvement in the international arena continue to be met with anticipation and misgiving in many parts of the world. Behind international cultural relations policy development is recognition of the value of developing cultural links with other countries - to minimise tensions that mount in the wake of Japan's international ascendance and to maximise the potential for future overseas co-operation with Japan as a major player in the international system of states.

International cultural relations are by no means a new concept in Japan's international diplomacy. The Japanese government has long made extensive use of cultural instruments in the pursuit of national goals. Throughout the modernisation of the Japanese economy during the Meiji period, the dispatch of students provided a key sources of information and ideas. International exposition, for example "Crystal Palace Exhibition" in London in 1851, have also provided a concentrated opportunity for two Japan's principal concerns, that is, to absorb the latest innovations from abroad and advertise its own wares.

Since the end of the World War II, conflict avoidance has been one of the key directives of Japan's foreign policy. As a result, Japan's international cultural relations programs have been mostly associated with overseas public relations work.

The immediate postwar years saw Japanese government involvement in international cultural relations programs as parts of articulating Japan's resolve to transform into a peace-loving democratic nation. Over time excesses in Japan's economic pursuits prompted intensive programs, particularly in Southeast Asia, to soothe public opinion and enable less abrasive economic activities to continue. The Kokusai Koryu Kikin or the Japan Foundation was established in 1972 as a direct response to these image crises, upgrading the kokusai bunka shinkokai or the Institute for Promoting International Cultural Relations which had lingered in disarray from the pre-war period.

With Japan's growing involvement in international political, as well as economic affairs, the nation's image requirements have changed. Japan has developed an urgent need for a strong and favourable image as a non-military international power. International cultural relations is now employed to help satisfy these ends. In so doing cultural exchange can also help to secure

39

Page 40: Materi Sejarah Diplomasi Jepang FIB UI 2013

international friendships, to lubricate the passage of Japanese influence abroad and increase flows of information into Japan.

The late 1980s saw a number of concrete policy developments in Japan's international cultural relations. In early May 1988, the cabinet approved the Five year Economic Management Plan for Japan within the World. Promotion of international cultural relations programs ranked highly in the plan. Later that month, then Prime Minister Takeshita Noboru announced Japan's International Co-operation Initiative in London, specifying international cultural relations as one of its three "pillars" (hashira), the next two pillars are Official Development Assistance and Peace Keeping Operations. It was the first time that a Japanese Prime Minister had announced strengthening international cultural relations as one of the most important of Japan's foreign policies and was described by some Japanese as kakkiteki na koto.

A Prime Ministerial Private Advisory Committee on International Cultural Exchange was quickly set up to review te existing state of activities which had been criticised as piecemeal, haphazard and lacking both policy guidance and clear priorities in ministerial budgets. The Committee's final report in May 1989 called for a more comprehensive approach accross all areas of planning, implementation, staffing and financing. In its assesment, by comparison with other major industrial powers, Japan's overseas efforts in the cultural field were wanting on all scores.

One of the Report's detailed recommendations was that a long-range plan be drafted to steer Japan's cultural diplomatic activities. Four months later, in September 1989, the Council for the Promotion of International cultural relations released the Government's first Five Year International Cultural Relations Action Plan. The Action Plan has set the Advisory Committee's recommendations within the framework of an official government policy. Symbolically too, the late 1980s marked a watershed in the development of Japan's international cultural relations policy. In 1988 was labelled the "new year" of international cultural exchange and there was talk among Japanese officials of the "new era of grassroots cultural exchanges".

From what has been said, we see that the international cultural relations became one of the three "pillars" of Japan's international diplomacy to sustain and to propel Japan's rising status as a powerful nation state. The Japanese government has come to recognise the benefit of extensive cultural diplomacy that other international powers such as the US; former USSR; Great Britain, France and Germany have pursued for decades. International cultural relations is one important means for Japan to become further involved in steering regional and global affairs, as the world approaches the 21st century and a changing international power structure.

40