105
SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI PENAFSIRAN Q.S. AL-NISĀ'[04]: 01, Q.S. AL-AN’ĀM[06]: 98, Q.S. AL-A’RĀF[07]: 198, Q.S. LUQMĀN[31]: 28 DAN Q.S. AL-ZUMAR[39]: 06 PERSPEKTIF ROLAND BARTHES) (SKRIPSI) Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Siti Zulfa NIM: 1112034000088 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH

(STUDI PENAFSIRAN Q.S. AL-NISĀ'[04]: 01, Q.S. AL-AN’ĀM[06]: 98, Q.S.

AL-A’RĀF[07]: 198, Q.S. LUQMĀN[31]: 28 DAN Q.S. AL-ZUMAR[39]: 06

PERSPEKTIF ROLAND BARTHES)

(SKRIPSI)

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Siti Zulfa

NIM: 1112034000088

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

SENIIOTIK,i',\iI,1,S IY.I H I D,4 Hrs I I Dt PF\.\FStR \\ Q.S. \t.-\tS i',J0-ll: 0t. Q.S. .\L- \\'.\\tlohl: 08.

Q.s. \L- \'R \H|l7l: r'rE. Q.S. Lt QI ir1.t1 1, 23 D \\ e.\. .\t.-ZUNI,\RI-l9l : 06 PERSPEKTIT ROL.{ND IIAR'tHES)

\\ti1'.i

Diajukan kcparla Fakultas Ushuluddill

LlDtuk Memenuhi Persyrratan Nlempcrolch

Gelar Saqana Aganra Islam (S.Ag)

Olch:

Siti Zulfa

NIM: 1l l20l:1000088

Pclnbinrbing

Kusmana. P)r.D

NIP. 19650424 199503 1001

PROGRAM STUDI ILMU AI.QUR'AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF IIIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H I 2019 M

Page 3: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

PENCESAHAN T'.{NII'I,\ U.I I,\N

Sklipsi berjudui Sf,XIIOIIKA I\FSIR \lAt ,I l//ID.lH (SftDIPENAFSIIL{N Q.S.,\L-NIS.\'l0.ll:01, Q.s. -\L--rrN'A II llrhl: tr8, Q.s.,\t--A'RAFI07]r 198, Q.S. LUQNTAN13II: 28 D.\N Q.S. .\L-ZUllARI3gl: 06P[ltsl'EKI IF ROL,\ND BARTIIES) telah clirlikan dalam sidanr mu aqasvahFirkullas Ushuluddirl UIN S)nrif flldalratullih Jakarta pacla tanggal lL) Jurli 2019.Skripsi ini tclah ditedma sebagai saleh satu svnrat rncmperoleh gelar SarjanirAgama (S.Ag) pada Prograot Strdi IlmLr al-Qur"an dan Tattir.

Jakana, 19 Juni 2019 M.

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Aiggote, Sekretais Mcrangkap Anggotr.

Anggote,

Penguji I Penguji Il

PembLmbing

,/ .r.' / -/,--4- )' t/,*a- /

Krsm:rna. Ph.DNIP: 1965042,1 199503 l00l

19670213 1999012 001

70213199203 I 002

,/'

Page 4: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

LE]I{BAR PEItNYATA.4.N

Dcngan ini saya menyatakan bahwa:

1. Sk.ipli i1li merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk merlenuhi

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN SyarifHidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Sya fHidayatullah Jakarta.

l. Jika di kemudian hari terbukti bahlva karya ini bukan hasil karya saya atarL

rncrupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang bcrlaku di UIN SyarifHidayatullah Jaka a.

2019

Page 5: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

Seultotun tttiop penulis:"Gih dku tilok biso, tt\!ra\ (li tilak puutus, bi\uliu hu )o nc rotik."

Roland Bllrthes, l'hc Pl?dsurc ol Tlte T^t

Page 6: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

iv

ABSTRAK

Siti Zulfa

SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH

(STUDI PENAFSIRAN Q.S. AL-NISĀ'[04]: 01, Q.S. AL-AN’ĀM[06]: 98,

Q.S. AL-A’RĀF[07]: 198, Q.S. LUQMĀN[31]: 28 DAN Q.S. AL-

ZUMAR[39]: 06 PERSPEKTIF ROLAND BARTHES)

Kajian ini membahas pemaknaan nafs wāḥidah dalam proses penciptaan

perempuan yang terdapat pada Q.S. al-Nisā'[04]: 01, Q.S. al-An‟ām[06]: 98, Q.S.

al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 Dan Q.S. al-Zumar[39]: 06 dalam

perspektif Roland Barthes. Penelitian ini di angkat, didasarkan pada asumsi bahwa

sebagian penafsir memaknai terma nafs wāḥidah secara diskriminatif, dengan

menempatkan perempuan di bawah laki-laki.

Dengan metode deskriptif-analitis, kajian ini berusaha menjawab

permasalahan besar ayat-ayat tersebut, agar dapat dimaknai lebih egaliter dengan

perspektif semiotik Roland Barthes. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam al-

Qur‟an tidak dijumpai ayat-ayat secara rinci yang menceritakan asal-usul kejadian

perempuan. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai isteri Adam, sama

sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur‟an, bahkan keberadaan Adam sebagai

manusia pertama masih dipermasalahkan.

Pembacaan semiotis terhadap terma nafs wāḥidah dilakukan melalui dua

tahap, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik

adalah pembacaan berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi

sistem semiotik tingkat pertama (denotatif). Pembacaan retroaktif atau

hermeneutik adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua, atau

berdasarkan konvensi di atas konvensi bahasa (konotatif). Dua pembacaan

tersebut menghasilkan tingkatan makna yang berbeda. Jika pada pembacaan

heuristik term nafs wāḥidah diartikan dengan Adam, dan dhamir minha diartikan

dengan “dari bagian tubuh Adam” kata zawj diartikan dengan Hawa, isteri Adam.

Maka, pada pembacaan tingkat kedua (pembacaan retroaktif/hermeneutik) term

nafs wahidah ditafsirkan dengan “roh” (soul). Dan dhamir “ha” pada kata minha

bukan bagian dari tubuh Adam tetapi dari jins (gen), unsur pembentuk Adam.

Berdasarkan dua proses pembahasan di atas, kajian ini menemukan bahwa

penggunaan term nafs wāḥidah juga memiliki makna konotasi lain yaitu manusia

memiliki tabiat yang sama, ciri-ciri yang sama. Tabiat itu yang membedakannya

dengan makhluk-makhluk lain. Hal ini bermakna, perempuan bertemu dengan

lelaki dalam ciri-ciri kemanusiaan yang umum, kendati terdapat perbedaan-

perbedaan dalam perincian ciri-ciri itu. Ini semua mengisyaratkan kesatuan

manusia – lelaki dan perempuan, dan mengisyaratkan pula kesatuan kehendak

pencipta jiwa yang satu itu dalam kejadian kedua jenis kelamin manusia.

Selain itu, skripsi ini menemukan bahwa para pria agar menghadapi

perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang

berbeda dengan pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap

tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu..

Kata kunci: Semiotika, Tafsir, Perempuan, nafs wāḥidah, denotasi,

konotasi, metabahasa, mitos.

Page 7: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillāh Rabb al-‘Ālamīn, segala puji dan sujud syukur kehadirat

Allah Swt seru sekalian alam, yang tiada sekutu bagi-Nya, tiada beranak dan tiada

diperanakkan. Maha Besar Allah yang telah menciptakan bumi manusia yang

indah dan subur tempat kita hidup mencari makan, bercocok tanam dan

berkampung halaman.

Maha Kuasa Allah juga yang telah membentangkan langit biru yang indah

dan bintang-bintang gemerlapan laksana atap kita bernaung diri. Berhiaskan bulan

di angkasa raya, diperlengkapi pula dengan matahari yang memancarkan

cahayanya, penuh manfaat bagi semua makhluk di seluruh alam semesta ini. Sang

Pencipta yang telah memberikan memberikan taufiq, hidayah dan inayah-Nya.

Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk skripsi dengan

judul:“Semiotika Nafs Wāḥidah: Studi Penafsiran Q.S. al-Nisā'[04]: 01, Q.S.

al-An’ām[06]: 98, Q.S. al-A’rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-

Zumar[39]: 06 Perspektif Roland Barthes”.

Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada junjungan kita

dan kekasih kita, Nabi Muhammad Saw., ayahandanya Sayyidah Fatimah az-

Zahra yang mulia. Beliau diutus oleh Allah Swt untuk mengajarkan manusia

tentang akhlak mulia. Rasul pilihan yang membawa cahaya kesadaran agama,

dengan ilmu pengetahuan, agar manusia menjadi hamba yang sholeh dan

sholehah, mengabdi kepada-Nya.

Untaian salam takzim dan do‟a, semoga selalu dilimpahkan kepada

Keluarga Nabi Muhammad Saw, para sahabat Nabi dan seluruh pengikutnya

sampai akhir zaman, yang telah sunggug-sungguh berjuang total dalam

mengembangkan ajaran-ajaran Rasululah Saw. Dan semoga kelak kita

mendapatkan syafa‟at Rasulullah Saw. Amin

Muncul berbagai hambatan selama penulis menjalani studi hingga

akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terasa ringan berkat pertolongan,

bantuan, motivasi dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin

menyampaikan penghargaan dan penghormataan yang setinggi-tingginya dengan

rendah hati menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Page 8: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

vi

1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc., MA, sebagai Rektor Universitas Islam

Negeri-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA, sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, sebagai Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir dan Dra. Banun Bina Ningrum, M.Pd, selaku Sekretaris

Jusuan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Kusmana, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi

ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan arahan,

motivasi, kebaikan serta perunjuk kepada penulis dengan ikhlas demi

keberhasilan penulis.

5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan ketabahan hati dan

kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan dan

uswatun hasanah-nya kepada penulis selama menempuh pendidikan di

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada kedua orang tua penulis, yakni Ayahanda H. Abdul Muhyi,

Ibunda Hj. Ummu Muhimmah, ananda haturkan banyak terima kasih

atas do‟a suci dan pengorbanan tulus yang selalu diberikan kepada

penulis. Semoga Allah Swt berkenan memberikan keberkahan,

kemuliaan hidup serta usia yang panjang. Warḥam humā kamā

rabbayānī saghīra. Āmīn Allāhumma āmīn. Dan teruntuk adikku

tersayang, Zahra Rahmania, teruskan perjuangan, jangan lelah untuk

terus menimba ilmu.

7. Kanda tercinta, yang selalu memberikan spirit, semangat, motivasi dan

inspirasi kepada penulis setiap waktu tanpa jemu. Aku hanya mampu

mengucapkan fīka raghibtu dāiman.

8. Kepada teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir

Angkatan 2012 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terkhusus kepada

Ningrum Lestari, Nia Hidayati, Bu Ana Maryam, Ante Lia, Nur

Ashlihah, Dll. Terima kasih untuk semua pembelajaran dan perjalanan

hidup yang sangat berharga. Semoga Allah Swt, selalu memberikan

Page 9: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

vii

kita waktu untuk senantiasa mempererat tali persahabatan hingga

jannah-Nya, meskipun raga tak lagi bersua.

9. Komunitas The Evanger End Game, terima kasih untuk kisah klasik di

akhir masa perjuangan, terlebih diskusi menarik di setiap pertemuan,

sampai jumpa lagi kawan! dan tak lupa kepada pemilik markas Dr.

Eva Nugraha, M.Ag beserta keluarga, semoga Allah membalas segala

jasa dengan balasan yang tak ternilai harga. Jazākumullāh khairul

jazā'.

10. Terakhir, kepada semua pihak yang selalu bertanya “kapan skripsi

selesai?, kapan wisuda?” dan mengingatkan untuk menyelesaikan

tugas akhir ini tanpa membantu, penulis hanya ingin menyampaikan.

“Terlambat lulus atau lulus tidak tepat waktu bukanlah tindak kriminal,

bukanlah aib, bukan pula kejahatan kemanusiaan. Alangkah kerdilnya

jika tolak ukur kepintaran dan tingkat keberhasilan seseorang di nilai

dari siapa yang cepat lulus. Bukankah sebaik-baik skripsi adalah

skripsi yang selesai?

Penulis berharap, semoga karya tulis ini menjadi sebuah refleksi dan dapat

memberikan sumbangan keilmuan, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi

pembaca yang berminat dengan karya ini. Dan dengan harapan karya tulis ini

dapat dijadikan amal shaleh bagi penulis, Āmīn Yā Rabbal-‘Ālamīn.

Ciputat, 17 Mei 2019

Penulis

Page 10: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................i

LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iii

ABSTRAK .........................................................................................................iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................v

DAFTAR ISI .....................................................................................................viii

PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................................5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................5

D. Kajian Pustaka .............................................................................6

E. Metodologi Penelitian .................................................................9

F. Sistematika Penulisan ..................................................................10

BAB II ROLAND BARTHES DAN SEMIOTIKA

A. Roland Barthes ............................................................................12

1. Latar Belakang ......................................................................12

2. Pendidikan .............................................................................12

3. Pemikiran ..............................................................................13

B. Semiotika ....................................................................................18

1. Pengertian dan Ruang Lingkup .............................................18

2. Sejarah ...................................................................................19

C. Analisis Semiotika dalam Kajian Teks .......................................24

1. Teori Tanda Ferdinand De Saussure .....................................24

Page 11: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

ix

2. Pragmatisme Charles Sanders Pierce ....................................26

3. Semiologi dan Mitologi Roland Barthes ...............................29

BAB III NAFS WĀḤIDAH DALAM QUR’AN DAN TAFSIR

A. Pengertian Nafs Wāḥidah ............................................................34

B. Nafs Wāḥidah dalam Al-Qur'ān ..................................................37

C. Nafs Wāḥidah menurut Mufassir .................................................39

1. Tafsir Klasik (Tafsir al-Qurṭubī dan Tafsir al-Ṭabarī) ........40

2. Tafsir Modern (Tafsir al-Miṣbāḥ dan Tafsir al-Azhar) ........54

BAB IV TELAAH PENAFSIRAN DAN ANALISIS SEMIOTIS

TENTANG NAFS WĀḤIDAH

A. Analisis Makna Denotasi, Konotasi dan Metabahasa .................72

1. Nafs Wāḥidah pada surat al-Nisā'[04]: 01 .............................73

2. Nafs Wāḥidah pada surat al-An‟ām[06]: 98 .........................74

3. Nafs Wāḥidah pada surat al-A‟rāf[07]: 198 ..........................75

4. Nafs Wāḥidah pada surat Luqmān[31]: 28 ...........................76

5. Nafs Wāḥidah pada surat al-Zumar[39]: 06 ..........................77

B. Analisis Mitos .............................................................................78s

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................84

B. Saran-Saran..................................................................................85

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................86

LAMPIRAN .......................................................................................................

Page 12: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

berpedoman pada Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama

kali diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan

Library Congress (LC).

A. PadananAksara

Berikut adalah daftar aksra Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

- - Alif ا

ba‟ B Be ب

ta‟ T Te ت

tsa‟ Ts Te dan es ث

Jim J Je ج

ha‟ ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح

kha‟ Kh Ka dan ha خ

Dal D De د

Dzal Dz De dan zet ذ

ra‟ R Er ر

Zai Z Zet ز

Sin S Es س

Syin Sy Es dan ye ش

Shad ṣ Es (dengan titik di bawah) ص

Dhad ḍ De (dengan titik di bawah) ض

tha‟ ṭ Te (dengan titik di bawah) ط

zha‟ ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ

ain „ Koma terbalik di atas„ ع

Page 13: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

xi

Gain Gh Ge dan ha غ

fa‟ F Ef ف

Qaf Q Qi ق

Kaf K Ka ك

Lam L El ل

Mim M Em م

Nun N En ن

Wawu W We و

ha‟ H Ha ه

Hamzah ‟ Apostrof ء

ya‟ Y Ye ي

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Kasrah ditulis I ـ

Fathah ditulis A ـ

Dhammah ditulis U ـ

2. Vokal Rangkap

Fathah + Ya‟ Mati ditulis Ai

ditulis Bainakum بينكم

Fathah + WawuMati ditulis Au

ditulis Qaulūn قولون

Page 14: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

xii

3. Vokal Panjang

Fathah + Alif ditulis Ā

ditulis Jāhiliyyah جاهلية

Fathah + Ya‟ Mati ditulis Ā

ditulis Yas„ā يسعى

Kasrah + Ya‟ Mati ditulis Ī

ditulis Karīm كرمي

Dhammah + WawuMati ditulis Ū

ditulis Furūḍ فروض

4. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis dirangkap:

Ditulis „iddah عدة

5. Kata Sandang

Kata sandang, dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf yaitu

dialih-aksarakan menjadi “al”, baik itu diikuti huruf syamsiyyah maupun

qamariyyah. Contoh: al-Rijāl bukan ar-Rijāl, al-Dīn bukan ad-Dīn.

C. Singkatan

Swt. = Subḥānahu wa Ta’ālā

Saw. = Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallama

Ra. = Raḍiya Allāh‘anhu

QS. = al-Qur‟an Surat

HR. = Hadis Riwayat

M. = Tahun Masehi

H. = Tahun Hijriyah

Page 15: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

xiii

W. = Tahun Wafat

h. = Halaman

b. = Bin/ Ibn

bt. = Binti

ed. = Editor

Cet. = Cetakan

T.tp. = Tanpa tempat penerbit

T.pn. = Tanpa penerbit

T.t. = Tanpa tahun

no. = Nomor

Page 16: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ungkapan nafs wāḥidah dalam Q.S. al-Nisā'[04]: 01, Q.S. al-An‟ām[06]:

98, Q.S. al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-Zumar[39]: 06,

menimbulkan banyak interpretasi dengan beraneka ragam penafsiran. Ada dua

kubu besar para mufassir berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan kata nafs

wāḥidah dalam ayat ini. Pertama, mayoritas mufassir memahaminya dalam arti

Adam a.s. Pendapat ini dalam Wawasan al-Qur‟an dijelaskannya mewakili antara

lain pendapat Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Ibn Katsīr, al-Qurṭubī, al-Biqā'ī, dan Abū al-

Su„ūd.1 Pendapat yang memahami kata nafs wāḥidah dengan Adam a.s.

Kemudian berpengaruh dengan pemahaman kata selanjutnya, zaujahā, yang

secara harfiah bermakna pasangan, yaitu istri Adam yang bernama Hawa. Kedua,

pandangan Syekh Muhammad Abduh, Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, dan beberapa

ulama kontemporer lainnya yang memahami kejadian perempuan berasal dari

sperma laki-laki dan perempuan. Argumen-argumen yang dikemukakan adalah

sebagai berikut.2 Tafsir ayat dengan ayat lain, yaitu Al-An‟ām: 98

ي ٱوهو كم نو نذف لذنشأ

ل قد دع تو ومس تقر فهس حدة و س أ م ت لقو ي ألٱنا فصذ

٩٨قهون يف “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu)

ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-

tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām:

98)

Jika kita merujuk ke penjelasan Abduh yang disebut Quraish Shihab

mewakili kecenderungan argumen ulama kontemporer yang dikemukakannya

adalah munāsabah antar bagian dalam ayat (munāsabah fî alāyah), yaitu

ungkapan wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā yang menjelaskan

1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan

Umat (Bandung: Penerbit Mizan, 2013) h. 299 2 M. Badrut Tamam, Telaah Penafsiran Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an (Skripsi s1

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Sunan ampel Surabaya, 2016) h. 6

Page 17: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

2

penyebaran manusia dari hasil keturunan memiliki korelasi dengan kelogisan jika

kata nafs wāḥidah bukan Adam, karena penyebaran yang luas tentu berasal dari

keturunan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.3 Yang menganggap

nafs wāḥidah adalah Adam a.s., maka akan berpengaruh dengan pemahaman

selanjutnya zaujaha yang sejarah harfiah barmakna pasangan yaitu istri Adam.

Pemahaman seperti ini melahirkan pemikiran bahwa Hawa yang notabenenya

adalah perempuan, dijadikan dari unsur yang bengkok. Implikasi ini semua

menimbulkan ketidakadilan pada perempuan dalam semua kehidupan. Menurut

Nasaruddin Umar, maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan,

karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap dan masih menjadi misteri.

Hal itu karena mufassir memang masih berbeda pendapat, apa sebenarnya yang

dimaksud dengan diri yang satu nafs wāḥidah, siapa yang ditunjuk pada kata ganti

(dhamir) dari padanya minha, dan apa yang dimaksud pasangan zauj pada ayat

tersebut.4 Dari penjelasan tersebut maka perlunya untuk mencari solusi

penyelesaian agar sesuai dengan tujuan al-Quran.

Pemahaman terhadap al-Qur‟an yang diyakini sebagai kitab shalih likulli

zaman wa makan selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai. Pemahaman

selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam

penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan

pemahaman agama berlaku sepanjang waktu dan tempat, mengingat gagasan

universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa yang bersifat lokal-

kultural serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya dari waktu ke

waktu selalu muncul ulama-ulama tafsir yang berusaha mengaktualkan pesan-

pesan al-Qur‟an yang tidak mengenal batas akhir. Al-Qur‟an kemudian menjadi

terbuka terhadap segala kemungkinan. Pembaca akan berhadapan dengan

pluralitas signifikasi.5

Pada titik ini, Roland Barthes mengkritik pendekatan tunggal yang selama

ini merupakan cara represif yang tidak produktif. Pergeseran pusat dari perhatian

3 Wardani, Penafsiran Kontemporer Nafsul Wāḥidah, h. 64

4 M. Badrut Tamam, Telaah Penafsiran Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an, h. 34

5 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:

Paramadina, 1996) h.96

Page 18: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

3

author kepada reader merupakan konsekuensi logis dari semiologi Roland

Barthes yang menekankan semiologi derajat kedua memberi peran besar bagi

pembaca untuk memproduksi makna.6

Dengan menggunakan bahasa Arab sebagai media ekspresi pesan-pesan

Tuhan kepada manusia, eksistensi al-Qur‟an tidak dipungkiri telah menjadi lahan

subur bagi kajian semiotika. Semiotika adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang

tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan

merupakan merupakan sekumpulan tanda-tanda. Secara garis besar, ranah kajian

semiotika dibagi menjadi dua, semiotika signifikasi yang digerakkan oleh

Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan semiotika komunikasi yang dipelopori

oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914). Adapun semiotika Roland Barthes

termasuk semiotika signifikasi, karena Barthes mengadopsi teori semiotika

Saussure dengan perluasan pada semiotika tingkat keduanya.

Dalam penelitian ini, objek material yang akan penulis angkat untuk di

baca menggunakan semiotika adalah term نفس واحدة dalam Q.S. al-Nisā'[04]: 01,

Q.S. al-An‟ām[06]: 98, Q.S. al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-

Zumar[39]: 06, di mana studi penafsiran terma tersebut di tinjau dari sudut

pandang Roland Barthes.

Semiotika, menawarkan metode yang pada dasarnya bersifat kualitatif-

interpretatif, memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya,

serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik

tanda dan teks tersebut. Metode analisis teks (textual analysis) adalah salah satu

dari metode interpretatif tersebut. Akan tetapi pada pembahasannya nanti,

perluasan dari metode semiotika ini lebih bersifat kualitatif-empiris, yang

memfokuskan dirinya pada subjek pengguna teks (pembaca, penonton, pemakai).

Bapak ilmu bahasa, Ferdinand De Saussure menjelaskan tanda sebagai

kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang -seperti halnya selembar

kertas- yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi;

dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna.

6 Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES (Magelang: IndonesiaTera, 2001) h.91

Penanda Tanda

Page 19: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

4

Berkaitan dengan piramida pertandaan Saussure ini, perlunya penekanan

semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang

mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan

adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa.7

Pembacaan terhadap terma nafs wāḥidah dilakukan melalui dua tahap,

yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah

pembacaan berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi sistem

semiotik tingkat pertama (denotatif). Pembacaan retroaktif atau hermeneutik

adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua, atau berdasarkan

konvensi di atas konvensi bahasa (konotatif). Dua pembacaan tersebut

menghasilkan tingkatan makna yang berbeda.8 Jika pada pembacaan heuristik

term nafs wāḥidah diartikan dengan Adam, dan dhamir minha diartikan dengan

“dari bagian tubuh Adam” kata zawj diartikan dengan Hawa, isteri Adam. Maka,

pada pembacaan tingkat kedua (pembacaan retroaktif/hermeneutik) term nafs

wāḥidah ditafsirkan dengan “roh” (soul). Dan dhamir “ha” pada kata minha

bukan bagian dari tubuh Adam tetapi dari jins (gen), unsur pembentuk Adam.9

Berangkat dari penjelasan di atas, penulis mencoba menawarkan

pembacaan baru dalam memahami term nafs wāḥidah yang telah diinterpretasikan

oleh para mufassir. Adapun analisis tafsir yang telah dirangkum secara eksplisit

ini, menerapkan teori semiotik Roland Barthes. Maka penulis menuangkannya

dalam sebuah skripsi yang berjudul “Semiotika Tafsir Nafs Wāḥidah (Studi

Penafsiran Q.S. Al-Nisā'[04]: 01, Q.S. Al-An’ām[06]: 98, Q.S. Al-A’rāf[07]:

198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. Al-Zumar[39]: 06 Perspektif Roland

Barthes)”.

7 Yasraf Amir Piliang, HIPERSEMIOTIKA Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna

(Percetakan Jala Sutra, Bandung: 2003) h. 258 8 Ali Imran, Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf (Teras,

Yogyakarta: Teras, 2011) h. vi 9 Agus Salim, Penafsiran Ibn Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam al-

Qur‟an (Studi atas Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adzhim), (Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, 2012) h. 96

Page 20: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

5

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada tema yang diharapkan,

penulis membatasi pada masalah konsep semiologi Roland Barthes sebagai

pendekatan untuk membaca dan menganalisa term nafs wāḥidah pada ayat-ayat

yang terdapat terma tersebut dalam al-Qur‟an. Selama ini, terdapat

kesimpangsiuran mengenai studi penciptaan perempuan dalam al Qur‟an, karena

terdapat loncatan atau missing link dalam kisah tersebut. Al-Qur‟an bercerita

tentang asal-usul sumber manusia pertama dari “gen yang satu” (nafs al-

wāḥidah). Gen yang melahirkan spesies makhluk biologis seperti jenis manusia,

jenis binatang, dan jenis tumbuh-tumbuhan. Konsep teologi yang menganggap

Hawa/Eva berasal usul dari tulang rusuk Adam, membawa implikasi psikologis,

sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama

mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu

pengetahuan. Sehingga melalui pendekatan ini diharapkan mampu membaca dan

mengungkap pesan dari nafs wāḥidah.

Untuk mempermudah menguraikan skripsi ini, penulis membatasi masalah

yang diteliti yaitu: Roland Barthes dan semiotika, Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an

dan tafsir, telaah penafsiran dan analisis semiotis tentang Nafs Wāḥidah.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka yang jadi permasalahan

dalam penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana semiotika

Roland Barthes dapat digunakan dalam mengungkap pesan atau makna nafs

wāḥidah yang terkandung di dalam al-Qur‟an?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan

sebagai berikut: Menguraikan signifikasi nafs wāḥidah di dalam tafsir al-Qur‟an,

di tinjau dari perspektif semiotika Roland Barthes.

Penelitian ini juga mempunyai manfaat sebagai berikut :

1) Pengembangan berbagai perspektif dalam ranah kajian tafsir dan

ulumul Qur‟an.

Page 21: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

6

2) Sebagai persyaratan dalam memenuhi derajat sarjana s1 pada Fakultas

Ushuluddin Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir pada Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Adapun kajian pustaka dalam penelitian ini, terbagi menjadi tiga bagian.

Pertama, seputar semiotika Roland Barthes. Kedua, seputar al-Qur‟an dan tafsir,

khususnya untuk beberapa ayat yang didalamnya terkadung term nafs wāḥidah.

Dan yang terakhir tentang semiotika al-Qur‟an. Beberapa diantaranya adalah

sebagai berikut :

1) Kajian seputar semiotika

Adapun buku-buku yang membahas semiotika, khususnya semiotika

Roland Barthes adalah buku karya Kurniawan yang berjudul Semiologi Roland

Barthes10

. Buku ini menjelaskan pikiran-pikiran pokok semiotika Roland Barthes.

Dalam bukunya tersebut, ia mencoba mengemukakan dan menjelaskan pemikiran

Roland Barthes tentang retorika, ideologi dan mitologi. Buku selanjutnya adalah

karya Roland Barthes yang berjudul Elements of Semiology yang telah

diterjemahkan oleh Kahfie Nazaruddin ke dalam bahasa Indonesia menjadi

Elemen – Elemen Semiologi11

, elemen-elemen yang ditampilkan dalam buku ini,

dikelompokkan ke dalam empat konsep utama yang di pinjam dari linguistik

struktural yaitu bahasa dan tuturan, penanda dan petanda, sintagma dan sistem,

yang terakhir adalah denotasi dan konotasi.

2) Kajian seputar al-Qur‟an dan Tafsir

Sejauh menyangkut nafs wāḥidah dalam al-Qur‟an, terdapat sejumlah

karya ilmiah yang cukup menarik untuk membahas tema ini. Bahasan tentang nafs

wāḥidah secara teoritik dapat ditemui misalnya pada skripsi Siti Munasaroh dalam

judul “Penciptaan Perempuan dalam Al Manar”. Penelitian ini hanya meneliti

pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang hanya difokuskan pada

surat an-Nisa„ ayat 1. Sedangkan penelitian penulis ini meneliti teori yang

10

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Indonesiatera, 2001) 11

Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi Penerjemah Kahfie Nazaruddin

(Yogyakarta: Jalasutra, 2012)

Page 22: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

7

dilakukan mufassir dalam menafsirkan nafs wāḥidah dalam beberapa ayat al-

Qur‟an sekaligus membacanya dengan menggunakan metode semiotika.

Beberapa skripsi lain yang membahas tentang nafs wāḥidah adalah skripsi

M. Badrut Tamam dengan judul Telaah Penafsiran Nafs wāḥidah dalam al-

Qur‟an”.12

Ahmad Muhajir dengan skripsinya yang berjudul Makna Nafs

wāḥidah dalam al-Qur‟an : Studi Analisis Komparatif Penafsiran Rashid Rida

dan Ibn kathir.13

Agus Salim dengan skripsinya yang berjudul Penafsiran Ibn

Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam al-Qur‟an (Studi atas Tafsir

Al-Qur‟an Al-„Adzhim).14

Dari berbagai karya tulis yang ada di atas, semuanya

memiliki kesamaan pada objek material yang di bahas yaitu tentang penciptaan

perempuan dari kata nafs wāḥidah dalam al-Qur‟an.

Ada pula jurnal perempuan, agama dan gender dari Fakultas Hukum UIN

Sultan Syarif Kasim Riau yang berjudul Misteri Nafs al-Wāḥidah dalam Al-

Qur‟an15

karya Jumni Elli yang mengupas makna nafs wāḥidah dari sisi mufassir

dan ahli bahasa.

3) Kajian Seputar Semiotika Al-Qur‟an

Sementara itu penerapan teori semiotika dalam studi Islam, terutama untuk

kajian penafsiran al-Qur‟an telah banyak dilakukan, khususnya oleh para mufassir

kontemporer, bahkan oleh kaum orientalis. Hal ini sebagaimana tampak pada

karya-karya tulis mereka. Termasuk salah satunya Muhammad Syahrur, seorang

sarjana muslim kontemporer asal Syiria yang berusaha manyajikan tafsir dengan

menerapkan teori-teori linguistik modern dalam penafsiran al-Qur‟an. Ide dan

gagasannya tertuang dalam buku al-Kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah al Mu‟ashirah.

Walaupun teori-teori yang diusung Syahrur tidak langsung berkiblat ke arah

12

M. Badrut Tamam, Telaah Penafsiran Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an (Skripsi s1

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Sunan ampel Surabaya, 2016) 13

Ahmad Muhajir, Makna Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an : Studi Analisis Komparatif

Penafsiran Rashid Rida dan Ibn kathir, (Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin dan fisafat, Universitas

Islam Negri Sunan Ampel Surabaya, 2017) 14

Agus Salim, Penafsiran Ibn Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam al-

Qur‟an (Studi atas Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adzhim), (Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, 2012) 15

Jumni Elli, Misteri Nafs al-Wāḥidah dalam Al-Qur‟an, Jurnal Perempuan, Agama dan

Gender Fakultas Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau

Page 23: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

8

barat. Tapi implementasi menunjukkan kesamaan dengan proses kerja semiotika

yang dikembangkan oleh pemikir barat.

Di Indonesia sendiri dapat ditemukan beberapa upaya mengkaji teks al-

Qur‟an dengan semiotika dalam bentuk skripsi, Muhammad Allaji dengan

judulnya “Struktur Dan Semiotik Surat Hud (Analisis Strukturalisme Dan

Semiotika Dalam Al-Qur‟an)”.16

Dalam skripsi tersebut penulis menerapkan teori

semiotik Roland Barthles untuk menganalisis surah Hud yang ada dalam al-

Qur‟an. Hampir serupa dengan Ulumuddin yang membahas “Kisah Nabi Luth

dalam al-Qur‟an; Pendekatan Semiotika Roland Barthles”.17

Analisis yang

dilakukannya melakukan dua langkah pembacaan yaitu pembacaan heuristik dan

pembacaan retroaktif.

Adapun kajian lain yang menggunakan semiotika adalah Ali Imran dalam

tesisnya “Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf”.18

Objek kajian dalam karya ini sama-sama menggunakan kandungan ayat-ayat suci

dari al-Qur‟an, perbedaannya adalah penulis hanya menggunakan term nafs

wāḥidah pada surat yang berbeda-beda, sedangkan karya tersebut menggunakan

satu surat penuh yaitu surat Yusuf. Di samping itu, kesamaan secara metodologis,

juga menggunakan pendekatan semiotika. Namun, yang membedakan adalah

tokoh yang dijadikan acuan. Ali Imran cenderung berkiblat pada teori Charles

Sanders Pierce, sedangkan penulis menggunakan semiotika Roland Barthes

sebagai pisau bedah analisanya. Perbedaan frame of reference tersebut berimbas

pada teori, metode dan cara kerjanya. Seperti yang telah diketahui bersama, Pierce

lebih menekankan produksi tanda secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa

akhir (semiosis). Sementara Barthes menekankan analisa mitosnya. Dari

perbedaan tersebut, kemungkinan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.

Dari sisi pustaka tersebut, sepanjang pengamatan penulis belum ada yang

membahas tentang penafsiran nafs wāḥidah yang dianalisa menggunakan metode

16

Muhammad Allajji, Struktur Dan Semiotik Surat Hud: Analisis Strukturalisme Dan

Semiotika Dalam Al-Qur‟an (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014) 17

Ulumuddin, Kisah Nabi Luth dalam al-Qur‟an; Pendekatan Semiotika Roland Barthles

(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013) 18

Ali Imran, Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf (Teras,

Yogyakarta: Teras, 2011)

Page 24: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

9

semiotika. Dengan begitu jelas posisi dan kontribusi penelitian ini di tengah

karya-karya monumental cendekiawan muslim kontemporer yang menerapkan

teori semiotika dalam studi keislaman.

E. Metodologi Penelitian

1) Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan

data-data kepustakaan (library research), karena yang menjadi objek utama dalam

penelitian ini adalah penafsiran atas teks al-Qur‟an. Maka penulis akan

berkonsentrasi untuk mendapatkan dan mengelola data-data pustaka, baik

berbentuk buku, jurnal, ataupun artikel yang berhubungan dengan teori-teori

semiotika yang nantinya akan digunakan untuk mengkaji tafsir nafs wāḥidah pada

ayat tersebut.

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Akademik Program

Strata 1 2012-2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2) Sumber Data

Sumber data dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Data primer

adalah tafsir-tafsir klasik dan modern. Yakni, tafsir al-Qurṭubī dan tafsir al-Ṭabarī

dalam kategori tafsir klasik. Tafsir al-Miṣbāh dan tafsir al- Azhar pada kategori

tafsir modern. Sedangkan, data sekunder adalah buku-buku yang berkaitan

tentang semiotika Roland Barthes.

3) Objek dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, objek material yang akan penulis angkat untuk di

baca menggunakan semiotika adalah term نفس واحدة dalam Q.S. al-Nisā'[04]: 01,

Q.S. al-An‟ām[06]: 98, Q.S. al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-

Zumar[39]: 06, di mana studi penafsiran terma tersebut di tinjau dari sudut

pandang Roland Barthes. Sedangkan, objek formalnya adalah analisis semiotik

Roland barthes terhadap term nafs wāḥidah pada penafsiran ayat-ayat di atas.

Pembacaan terhadap terma nafs wāḥidah dilakukan melalui dua tahap,

yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah

pembacaan berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi sistem

Page 25: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

10

semiotik tingkat pertama (denotatif). Pembacaan retroaktif atau hermeneutik

adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua, atau berdasarkan

konvensi di atas konvensi bahasa (konotatif). Dua pembacaan tersebut

menghasilkan tingkatan makna yang berbeda.19

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika.

Semiotika, menawarkan metode yang pada dasarnya bersifat kualitatif-

interpretatif, memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya,

serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik

tanda dan teks tersebut. Metode analisis teks (textual analysis) adalah salah satu

dari metode interpretatif tersebut. Akan tetapi pada pembahasannya nanti,

perluasan dari metode semiotika ini lebih bersifat kualitatif-empiris, yang

memfokuskan dirinya pada subjek pengguna teks (pembaca, penonton, pemakai).

4) Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara deskriptis-analitis,

yakni menjelaskan tafsir nafs wāḥidah dari tafsir-tafsir al-Qur‟an yang ada baik

klasik ataupun modern lalu dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes

untuk kemudian dieksplorasi dan diberikan kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah (sisthematic),

menyeluruh (comprehensive), dan terpadu (coheren). Maka skripsi ini disusun

menjadi lima bab yang terbagi ke dalam beberapa sub-bab, dengan sistematika

sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahulan yang mengantarkan kita kepada

pembahasan secara keseluruhan. Bab ini terdiri atas enam sub-bab, yaitu: Latar

belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini

berusaha memberikan gambaran umum mengenai masalah yang akan dibahas

pada bab-bab selanjutnya.

19 Ali Imran, Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf (Teras,

Yogyakarta: Teras, 2011) h. vi

Page 26: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

11

Bab kedua berisi tentang pengertian dan ruang lingkup semiotik Roland

Barthes secara umum dan menyeluruh, konsep-konsep semiotika yang di

kembangkannya, serta kajian teks dalam semiotika. Bab ini menjelaskan bahwa

teori semiotika Roland Barthes terdiri dari dua penandaan. Semiotika tingkat

pertama yang menjadi penanda dari nafs wāḥidah. dan semiotika tingkat kedua

yang menjadi petanda dari nafs wāḥidah.

Bab ketiga berisi tentang penafsiran term nafs wāḥidah dalam al-Qur‟an

menurut para mufassir, baik itu mufassir klasik maupun mufassir kontemporer.

Dalam bab ini diuraikan penjelasan tentang nafs wāḥidah sesuai dengan konvensi

bahasa yang merujuk pada tafsir-tafsir secara keseluruhan, yang nantinya akan

dijadikan rujukan untuk penafsiran semiotis dalam bab empat.

Bab keempat berisi tentang uraian keseluruhan penjelasan deskriptif-

analisis dalam menafsirkan term nafs wāḥidah yang telah diinterpretasikan oleh

para mufassir. Adapun analisis tafsir ini telah dirangkum secara eksplisit dengan

menerapkan teori semiotik Roland Barthes yang telah dirumuskan di bab dua.

Bab kelima penutup atau kesimpulan. Bab ini menjawab masalah

penelitian dan memberikan koherensi penelitian lebih lanjut atau kemampuan

pragmatis untuk penelitian ini.

Page 27: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

12

BAB II

ROLAND BARTHES DAN SEMIOTIKA

A. Roland Barthes

1. Latar Belakang

Roland Barthes lahir di tahun 1915 dari keluarga kelas menengah

Protestan di Cherboug, dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di

sebelah barat daya Perancis dan Paris. Ayahnya seorang perwira Angkatan Laut

yang terbunuh dalam tugas saat usianya belum genap satu tahun. Sepeninggal

ayahnya, ia kemudian di asuh oleh ibu, kakek dan neneknya.1

Barthes hobi bermain piano karena bibinya adalah seorang guru piano,

sehingga dia dapat bermain piano kapan pun dia suka. Masa hidupnya dilatari oleh

budaya borjusi dan dia sering mendengarkan para nyonya bergosip waktu minum

teh. Ketika berusia sembilan tahun, dia pindah ke Paris bersama ibunya yang

bergaji kecil sebagai penjilid buku.

2. Pendidikan

Pada tahun 1954, Barthes berencana masuk Ecole Normale Superiure,

tetapi penyakit TBC terlebih dahulu menghinggapinya, sehingga dia harus berobat

ke Pyrenees. Setahun kemudian dia kembali ke Paris dan masuk universitas

Sorbonne dengan mengambil studi bahasa Latin, sastra Perancis dan klasik

(Yunani dan Romawi). Selama kuliah, Barthes sempat menampilkan drama-drama

klasik bersama kelompok yang dibentuknya. Ketika perang di mulai pada tahun

1939, Barthes dibebastugaskan dan bekerja di Lycees di Biarritz dan Paris.

Pada tahun 1955, TBC nya kumat lagi, maka selama lima tahun dia berada

di sanatorium Alps. Selama itu dia mengaku sebagai seorang Marxian dan

Sartrean. Kemudian, Barthes diposisikan menjadi pengajar luar negeri; pertama di

Rumania kemudian di Mesir tempat dia diajari linguistik modern oleh seorang

1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013) h.

63.

Page 28: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

13

mitranya, Algirdas Julien Greimas, ia mengajar di Ecole des Hautes Etudes en

Sciences Sociales.2

Sekembalinya ke Perancis, dua tahun dia bekerja di Centre National de

Recherche Scientifique (Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah) divisi pelayanan

budaya pemerintah yang memperhatikan pengajaran ke luar negeri. Melalui

lembaga penelitian ini, Barthes banyak mengabdikan dirinya dalam pelbagai

penelitian di bidang sosiologi dan leksikologi, di sini dia banyak menulis tentang

sastra.3

Pada tahun 1952, Barthes mendapat beasiswa untuk mengerjakan tesis

leksikologi (tentang kamus debat sosial di awal abad XIX). Dia membuat sedikit

kemajuan pada tesisnya, tetapi dia malah mempublikasikan dua kritik sastra: Le

Degree Zero de l’Ecriture (1953) yang mengkritik kebudayaan borjuis dan

Michelet par Lui-Meme (1954). Tahun 1956 dia membaca Kursus Linguistik

Umum Saussure dan mulai menyadari kemungkinan untuk menerapkan semiologi

di bidang-bidang lain. Namun, berbeda dengan Saussure, Barthes beranggapan

bahwa semiologi termasuk linguistik dan tidak sebaliknya.4

Pada tahun 1960, Barthes menjadi asisten dan kemudian menjadi

Directeur d’Etudes (direktur studi) dari seksi keenam Ecole Pratique des Hautes

Etudes, sambil mengajar tentang sosiologi tanda, simbol, dan representasi kolektif

serta kritik semiotika. Pada 1976, Barthes di angkat sebagai professor untuk

“semiologi literer” di College de France. Dan tepat pada tahun 1980, dia

meninggal pada usia 64 tahun, akibat di tabrak mobil dijalanan Paris sebulan

sebelumnya.5

3. Pemikiran

Menurut Barthes, domain tanda menempati tempat yang sangat luas

dengan kompleksitas makna yang diwakilinya. Heterogenitas dan kompleksitas

tanda ini disinyalir Barthes dalam paparannya bahwa:

2 Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES (Magelang: IndonesiaTera, 2001) h. 43

– 45. 3 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64.

4 Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES, h. 44.

5 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64.

Page 29: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

14

“The world is full of signs, but these signs do not all have the fine

simplicity of the letters, of the alphabet, of highway signs, or military uniforms:

they are infinitely more complex”.6

Merujuk pada tesis Barthes ini, setiap sesuatu yang terkait dengan

kebudayaan manusia dapat diposisikan menjadi sebuah tanda.

a) Penanda (Signifier), Petanda (Signified), dan Signifikasi (Signification)

Menurut Barthes, tanda (sign) merupakan satuan dasar bahasa yang

tersusun dari dua relata yang tidak terpisahkan, yaitu citra-bunyi (acoustic image)

sebagai unsur penanda (signifier), dan konsep sebagai petanda (signified).7

Hakikat penanda (signifier) sama saja dengan petanda (signified), secara murni

adalah sebuah relatum yang batasannya tak dapat dipisahkan dari petanda

(signified). Substansi penanda (signifier) senantiasa bersifat material, baik berupa

bunyi-bunyi, objek-objek, imaji-imaji dan sebagainya.8 Sementara itu, petanda

(signified) merupakan aspek mental dari tanda-tanda, yang biasa juga disebut

konsep (concept). Petanda (signified) bukanlah sesuatu yang diacu oleh tanda

(sign), melainkan semata-mata representasi mental dari apa yang diacu.9

Terminologi yang digunakan Barthes dalam mendeskripsikan fenomena

tanda (sign) pada sistem semiologi tingkat pertama adalah bentuk (form),

substansi (concept), dan signifikansi (signification). Pada sistem semiotika tingkat

kedua, Barthes menggunakan term penanda (signifier), petanda (signified), dan

signifikasi (signification). Bentuk (form) yang dalam semiologi tingkat pertama

merupakan aspek material, bentuk akuistis, sama posisinya dengan penanda

(signifier) pada tingkat kedua. Sedangkan substansi (concept) yang pada tingkat

pertama didefinisikan sebagai aspek mental, citra akuistis, sama posisinya dengan

6 Dunia ini penuh dengan tanda-tanda, tetapi tanda-tanda ini tidak semuanya punya

kesederhanaan murni, dari huruf-huruf, alphabet, tanda lalu lintas, atau seragam militer: mereka

secara tak terbatas lebih kompleks. Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 81-82. Roland

Barthes, The Semiotic Challege (New York: Hill and Wang, 1948) h. 158. 7 Dikotomi tanda menjadi signifier dan signified bukanlah gagasan murni Roland Barthes,

melainkan gagasan Ferdinand De Saussure. Lihat Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2006) h. 46-47. Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 30-31. 8 Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, (Jogjakarta: Jalasutra, 2012) h. 38-39. Lihat

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 58. 9 Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, (Jogjakarta: Jalasutra, 2012) h. 42-44. Lihat

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 57.

Page 30: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

15

petanda (signified).10

Signifikansi (signification) pada tingkat pertama sama

dengan signifikansi (signification) pada tingkat kedua. Perbedaan diantara

keduanya hanya terletak pada mekanisme kerja, dimana pada sistem semiologi

tingkat kedua mengalami dinamika yang cukup signifikan dengan terjadinya

proses deformasi pada salah satu aspeknya.11

Menurut Barthes, bentuk (form) adalah apa yang dapat dilukiskan secara

mendalam, sederhana dan koheren (kriteria epistemologis) oleh linguistik tanpa

melalui premis ekstra linguistik. Sedangkan substansi (concept) adalah

keseluruhan rangkaian aspek-aspek fenomena linguistik yang tidak dapat

dilukiskan secara mendalam tanpa melalui premis ekstra linguistik.12

Barthes mencontohkan dengan kata “a bunch of roses”. A bunch of roses

itu menjadi penanda (signifier) dan gairah (passion) adalah petanda (signified).

Pada level analisis, kombinasi keduanya menghasilkan istilah ketiga; seikat

mawar sebagai sebuah tanda (sign). Sebagai sebuah tanda (sign), penting

dipahami bahwa seikat mawar itu sungguh-sungguh berbeda dari seikat mawar

sebagai penanda (signifier), seikat mawar adalah kosong. Sedang sebagai tanda

(sign), seikat mawar itu penuh.13

Jika digambarkan dalam bentuk diagram, maka konsep sistem tanda yang

dikemukakan oleh Barthes dapat disusun sebagai berikut:

Tanda (Sign)

Bentuk (Form) Substansi (Concept)

Citra Bunyi Konsep

Barthes tidak menekankan aspek aktif dari penanda dalam menunjuk

petanda, melainkan hubungan aktif (act) dari keduanya, yang diistilahkannya

10

Teori ini Barthes adopsi dari Louis Hjelmslev, seorang Saussurean dari Denmark. Lihat

ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002) h. 50. 11

Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill and Wang, 1983) h. 114. 12

The form is what can be described exhaustively, simply and coherently

(epistemological criteria) by linguistics without resorting to any extralinguistic premise; the

substance is the whole set of aspects of linguistic phenomena which cannot be described without

resorting to extralinguistic premise. Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 40. Lihat

Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h.56. 13

Roland Barthes, Mythologies, h. 113. Lihat Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h.

22.

Page 31: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

16

dengan signifikasi (signification).14

Jadi, sebuah fungsional tanda dapat dilihat

dalam proses signifikasinya (signification). Merupakan ranah di mana tanda (sign)

menjelma menjadi tanda (sign), karena petandanya (form) berdampingan dengan

penandanya (concept). Suatu form, yang dapat berupa tanda-tanda linguistik

maupun tanda-tanda di luar non linguistik (other than language) menyatu dengan

concept dalam proses relasi yang bernama signification.15

Signifikasi (Signification)

Bentuk (Form) Substansi (Concept)

Signifikasi bisa dikonsepkan sebagai suatu proses. Signifikasi adalah akta

(tindakan) yang menyatukan penanda dan petandanya, akta yang menjadi

produknya adalah sign. Distingsi ini tentu saja hanya memiliki nilai klasifikator

(dan bukan nilai fenomenologis). Pertama, karena penyatuan penanda dan petanda

tidak menghabiskan akta semantis, sebab signe juga memiliki nilai lewat

hubungannya dengan tanda-tanda lain disekelilingnya. Selanjutnya, distingsi ini

hanya memiliki nilai klasifikator karena untuk melahirkan tanda, pikiran tidak

melakukannya lewat konjungsi melainkan lewat pemotongan (decoupage).

Sebenarnya signifikasi (semeiosis) bukanlah menyatukan makhluk-makhluk

unilateral, signifikasi tidak mendekatkan dua terma, sebab penanda dan petanda

masing-masing adalah sekaligus terma dan hubungan. Ambiguisitas ini menjadi

persoalan bagi representasi grafis untuk signifikasi, padahal representasi ini harus

ada dalam diskursus semiologis.16

b) Trilogi Hubungan Tanda

Makna suatu tanda bukanlah “innate meaning” (makna bawaan, alamiah,

tak berubah) melainkan dihasilkan lewat sistem tanda yang dipakai dalam

kelompok orang tertentu (jadi historis). Dalam sistem tanda, suatu tanda dapat

menghasilkan makna karena prinsip perbedaan (difference). Dengan kata lain,

makna dihasilkan oleh sistem perbedaan atau sistem hubungan tanda-tanda. Oleh

14

ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002) h. 49. 15

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 82-83. 16

Roland Barthes, PETUALANGAN SEMIOLOGI (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,

2007) h. 46-47.

Page 32: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

17

karena itu, dalam analisis semiotik, sistem hubungan ini menduduki tempat yang

tempat penting, karena tugas analisis semiotik adalah merekonstruksi sistem

hubungan yang secara kasat mata tidak kelihatan.

Sejalan dengan prinsip perbedaan dan hubungan tersebut, kita bisa melihat

tiga macam hubungan serta tiga kesadaran dan tiga corak gejala budaya yang

dihasilkan oleh masing-masing hubungan tersebut. Barthes, sebagaimana kita

baca dalam tulisan “The imagination of the sign” (1962), menyebut ketiga

hubungan tersebut sebagai hubungan simbolik, hubungan paradigmatik, dan

hubungan sintagmatik. Hubungan paradigmatik dan hubungan sintagmatik

merupakan temuan Saussure, sementara relasi simbolik merupakan hasil dari

refleksi Barthes sekaligus dekonstruksi terhadap semiologi yang telah

diketengahkan oleh Saussure.

Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan dirinya sendiri

(hubungan internal); hubungan paradigmatik adalah hubungan tanda dengan tanda

yang lain dari satu sistem atau satu kelas, dan hubungan sintagmatik adalah

hubungan tanda dengan tanda lain dari satu struktur (kedua macam hubungan

terakhir ini disebut juga hubungan eksternal).

Hubungan simbolik juga ia sebut sebagai koordinat simbolik dan dua

lainnya adalah koordinat klasifikasi atau koordinat taksonomik. Setiap tanda atau

objek selalu masuk ke dalam persilangan dua koordinat ini. Macam-macam

hubungan ini merupakan pengetahuan dasar yang harus kita ketahui dalam

semiotika. Dalam mempelajari semiotika Saussurean (khususnya sebagaimana

yang dikembangkan oleh Barthes) orang biasanya hanya terfokus pada dua

macam hubungan terakhir (paradigmatik dan sintagmatik). Padahal dalam

perjalanan semiotiknya, di kemudian hari, Barthes lebih tertarik pada hubungan

yang pertama (simbolik). Sehungga dia terkesan (dilihat dari konsepnya tentang

tanda) lebih ortodoks, pra-Saussurean.17

17

ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002) h. 45-46.

Page 33: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

18

B. Semiotika

1. Pengertian dan Ruang Lingkup

Semiotika berasal dari bahasa Inggris semiotics18

. Semiotics menurut

Hornby adalah: “The study of signs and symbols and of their meaning and use”

(kajian tanda-tanda dan simbol-simbol, juga makna dan penggunaannya). Kata

semiotics diambil dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda atau seme yang

berarti penafsir tanda.

Berikut ini sejumlah definisi semiotika (semiologi) yang dilontarkan para

ahli, termasuk dua pendirinya, Charles S. Pierce dan Ferdinand de Saussure.

a) Charles S. Peirce dalam Hawkes mengungkapkan bahwa batasan

semiotika adalah sebagai berikut: “Logic, in its general sense, is as I believe I

have shown, only another name of semiotics, the quasi-necessary, or formal

doctrine of sign”. (Dalam pengertiannya yang umum, logika – sebagaimana yang

saya yakini dan saya tujukkan – merupakan nama lain dari semiotika, yaitu

doktrin tanda yang “pura-pura penting” atau doktrin tanda yang formal). Lebih

lanjut Pierce menjelaskan bahwa yang dimaksud doktrin tanda adalah tanda yang

lahir dari pengamatan kita terhadap sifat-sifat tanda yang betul-betul kita ketahui.

Pengamatan tersebut kita sebut suatu abstraksi. Kita dapat mengatakan bahwa

pengamatan tersebut bisa saja salah. Untuk itu, pada pengertian lain, kita

tambahkan kata “tidak penting” (pura-pura penting) untuk sesuatu yang mesti

menjadi sifat-sifat semua tanda yang digunakan oleh inteligensi saintifik

(kecerdasan ilmu pengetahuan) atau kecerdasan untuk dapat belajar lewat

pengalaman.

b) Ferdinand de Saussure mendefinisikan semiologi sebagai suatu

ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Ilmu ini merupakan

bagian dari psikologi sosial. Sedangkan linguistik merupakan cabang dari

semiologi.

18

“S” pada semiotic(s) bukanlah morfem jamak pada kata book(s). “S” pada semiotics

merupakan singkatan dari science (ilmu), sebagaimana pada economics, mathematics dan

sebagainya. Lihat Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an (Bandung:

Penerbit Yrama Widya, 2016) h. 1

Page 34: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

19

c) Aart van Zoest mendefinisikan semiotika sebagai cabang ilmu

yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan

dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan

tanda.

d) Umberto Eco, ahli semiotika mazhab Peircean, memberi batasan

semiotika sebagai berikut: “Semiotics is concerned with everything that can be

taken as a sign. Semiotics in principle is the discipline studying everything which

can be used in order to lie.” (Semiotika adalah ilmu tentang segala sesuatu yang

dapat di anggap sebagai tanda. semiotika juga pada prinsipnya mempelajari segala

sesuatu yang dapat digunakan untuk mengelabui atau berbohong). Lebih lanjut

Eco menegaskan, jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengekspresikan

kebohongan, maka ia juga tidak bisa di pakai untuk mengekspresikan kebenaran.

Dengan kata lain, ia tidak bisa digunakan untuk mengungkapkan apa-apa.

e) Hjlemslev, linguis Denmark dan merupakan pengikut Saussure,

mendefinisikan semiotika sebagai berikut: “Semiotics is a hierarchy, any of

whose components admits further analysis into classes defined by mutual

relation.” (Semiotika merupakan sebuah hirarki, yang komponen-komponennya

bisa dianalisis lebih jauh ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan lewat hubungan

antar komponen).

f) Roland Barthes, pengembang semiotika Saussure, memberi batasan

semiologi dengan ilmu tentang bentuk-bentuk. Oleh karena itu, menurut Barthes

mempelajari “pertandaan” terlepas dari kandungannya.19

2. Sejarah

Semiotika telah dirintis sejak zaman Yunani kuno oleh kedua filsuf besar,

yaitu Plato (428-348 SM) dan muridnya Aristoteles (384-322 SM). Kajian

semiotika terdapat dalam karya Plato, Cratylus yang mengkaji asal usul bahasa.

Pemikiran semiotik Plato dalam Cratylus dapat diringkas sebagai berikut: (1)

tanda-tanda verbal, apakah natural (alamiah) atau konvensional (kesepakatan)

tidak akan mewakili penuh atas sesuatu, (2) kajian tentang kata yang tidak

19

Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an (Bandung: Penerbit

Yrama Widya, 2016) h. 1-2

Page 35: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

20

mengungkap apa-apa tentang asal-usul segala hal sejak alam ide, yang terpisah

dari representasinya dalam bentuk kata, (3) pengetahuan dimediasi dengan tanda

secara tidak langsung dan tanda merupakan bagian bawah dari pengetahuan.

Semiotika juga ditemukan dalam karya Aristoteles, Poetics dan On

Interpretation.20

Sejak zaman Yunani, tanda telah menjadi perdebatan sebagaimana yang

dilakukan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena kira-kira

abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara “tanda

natural” (yang terjadi secara alami) dan “tanda konvensional” (yang khusus di

buat untuk komunikasi). Bagi kaum Stoik, tanda paling utama adalah apa yang

sekarang di kenal dengan gejala medis. Selanjutnya, gejala penyakit menjadi

model bagi studi-studi tanda di zaman klasik.21

Pada tahun 330-264 SM, masalah semiotika telah di kaji oleh Zeno, filsuf

aliran Stoa yang berasal dari Kition di pulau Cyprus. Zeno melakukan penelitian

tanda-tanda tangis dan tawa. Penelitiannya ini menghasilkan perbedaan tanda dari

aspek penanda dan petandanya. Hasil pengamatan Zeno, tangis seseorang yang

terlihat dalam bentuk penampilannya merupakan penandanya. Hal itu disebabkan

ekspresi tangis secara cepat dapat diamati melalui gerak, penampilan, suara dan

nadanya. Di balik ekspresi lahiriah itu terdapat makna, maksud dan tujuan

menangis adalah petandanya.22

Pada abad pertengahan, St. Agustinus (354-430 SM) mengembangkan

teori tentang signa data. Teorinya ini di anggap sebagai teori tanda pertama. Ia

membagi tanda menjadi tanda alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah

adalah tanda yang ditemukan di alam, seperti gejala fisik, pergesekan daun-daun,

warna tumbuhan, dan sinyal yang dikeluarkan binatang untuk merespons keadaan

fisik dan emosional tertentu. Sedangkan tanda konvensional adalah tanda yang di

buat manusia, seperti kata, isyarat dan symbol. St. Agustinus menegaskan bahwa

20

Paul, Jansz dan Litza Cobley, Mengenal Semiotika for Beginners (Bandung: Mizan,

2002) h. 4 21

Paul, Jansz dan Litza Cobley, Mengenal Semiotika for Beginners, h. 5-6 22

Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an (Bandung: Penerbit

Yrama Widya, 2016) h. 7

Page 36: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

21

tanda konvensional akan memenuhi kebutuhan psikologis fundamental manusia,

sehingga dapat mengurai dan mengingat dunia. St. Agustinus juga mengenalkan

tanda suci seperti mukjizat sebagai tanda yang memuat pesan Tuhan. Tanda ini

dapat dipahami melalui keimanan. Ia menandaskan bahwa keseluruhan proses

memahami makna sebuah tanda, sebagiannya berdasarkan konvensi sosial dan

sebagian lainnya berdasarkan reaksi individual terhadap konvensi tersebut.

Pemikiran Agustinus ini tidak di kenal hingga abad ke-11, ketika minat terhadap

kajian tanda dibangkitkan kembali oleh para sarjana Arab yang telah

menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles. Gerakan

mereka di kenal dengan skolastisisme. Dengan Aristoteles sebagai sumber

inspirasinya, mereka menyatakan bahwa tanda menangkap kebenaran dan bukan

mengonstruksi kebenaran.

Gerakan tersebut mendapat pengikut yang dinamakan kaum nominalis.

Mereka berargumen bahwa kebenaran adalah pandangan subjektif dan tanda

hanya dapat menangkap kebenaran manusia yang ilusif dang sangat beragam. Di

antara tokohnya adalah John Duns Scotus (1266-1308) dan Willian of Ockham

(1285-1349). Mereka menekankan bahwa tanda hanya merujuk pada tanda lain,

bukan pada tanda-tanda nyata. Namun, pasangan ini di sanggah oleh teolog

ternama St. Thomas Aquinas (1225-1274) yang mengatakan bahwa tanda merujuk

pada benda nyata, karena ia diperoleh dari kesan (impresi) indrawi. Akan tetapi,

sebagaimana St. Agustinus, ia beranggapan bahwa tanda suci akan mengungkap

kebenaran yang melampaui pemahaman rasional sehingga harus diterima dengan

keimanan.23

Empat abad kemudian, filsuf Inggris, John Locke (1632-1704)

memperkenalkan kajian formal tanda pada filsafat dalam tulisannya yang berjudul

Essay Concerning Human Understanding pada tahun 1690. Ia menyebutnya

sebagai semiotics untuk yang pertama kalinya. Locke betul-betul menginspirasi

agar semiotika memungkinkan para filsuf mengkaji hubungan antara konsep

dengan kenyataan secara lebih akurat. Namun demikian, formula yang ia

tuangkan belum terumuskan secara eksplisit sebagai sebuah ilmu hingga di akhir

23

Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, h. 8

Page 37: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

22

abad ke-19 ketika seorang ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913)

dan filsuf Amerika, Charles S. Pierce merumuskan semiotika sebagai sebuah ilmu

(1839-1914).24

Kedua tokoh tersebut dianggap sebagai bapak semiotika modern.

Kenyataan bahwa mereka berdua berbeda keilmuan dasar dan tidak saling

mengenal satu sama lain karena berbeda benua, menyebabkan terjadinya

perbedaan-perbedaan yang tajam dalam teori yang mereka rumuskan. Saussure

mendasarkan teori tandanya pada linguistik (ilmu bahasa) dan tinggal di Eropa,

sedangkan Pierce mendasarkan teori tandanya pada logika (filsafat) dan tinggal di

Amerika.

Saussure mengajukan nama semiologi untuk kajian tanda ini. Yang paling

khas dari teori tandanya adalah anggapan bahwa bahasa adalah sistem tanda.

Tanda-tanda linguistik harus berada di bawah teori tanda secara umum yang ia

sebut semiologi. Sebaliknya, Pierce mengusulkan nama semiotika sebagai sinonim

kata logika. Menurut Pierce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar.

Penalaran itu, menurut hipotesisnya yang mendasar, dilakukan dilakukan melalui

tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan

orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.25

Dengan demikian, pada dasarnya, baik semiologi maupun semiotika adalah sama

saja. Hanya orientasi atau pendekatan dari keduanyalah yang berbeda. Semiologi

cenderung ke psikologi, sedang semiotika lebih cenderung ke filsafat dan

keduanya bisa saling melengkapi.

Pada periode selanjutnya, di abad ke-20, muncul sejumlah tokoh penting

yang mengembangkan semiotika menjadi sebuah disiplin ilmu mandiri seperti

sekarang ini. Di antara para ahli semiotika abad ke-20, sebagaimana diulas Danesi

adalah sebagai berikut:

a) Charles Morris (1901-1979) seorang ahli semiotika Amerika yang

telah membagi metode semiotika menjadi tiga: (1) studi hubungan antara tanda

dan tanda-tanda lain yang di sebut sintaktik; (2) studi hubungan antara tanda-tanda

24

Marcel Danesi, Pesan Tanda dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 11 25

Aart Van Zoest, Semiotika (Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita

Lakukan Dengannya), (Bandung: Yayasan Sumber Agung, 1993) h. 1-2

Page 38: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

23

dan makna dasarnya, yang disebut semantik; dan (3) studi hubungan antara tanda-

tanda dan penggunanya yang di sebut pragmatic.

b) Roman Jakobson (1896-1982), ahli semiotika Amerika kelahiran

Rusia yang mengedepankan konsep penting “tanda termotivasi”

mendefinisikannya sebagai kecenderungan untuk membuat tanda-tanda yang

merepresentasikannya dunia melalui simulasi.

c) Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika Prancis mempraktikkan

semiotika sebagai instrument untuk membongkar struktur makna tersembunyi

dalam kebudayaan masyarakat modern, seperti tontonan, pertunjukkan sehari-hari

dan konsep-konsep umum.

d) A.J. Greimas (1917-1992) mengembangkan cabang semiotika yang

dikenal sebagai naratologi. Narotologi didefinisikan sebagai studi mengenai cara

manusia (dari budaya yang berbeda-beda) menemukan jenis-jenis naratif yang

sama (mite, kisah dan sejenisnya) dengan karakter, motif, tema, alur yang betul-

betul sama.

e) Thomas A. Sebeok (1920-2001) adalah figure penting dalam

perluasan paradigma semiotika hingga meloputi studi tentang sistem pertandaan

binatang yang ia sebut biosemiotics. Sebeok juga menekankan bahwa metode

semiotika harus selalu berkembang dalam tren indisipliner. Dengan kata lain,

pendekatan khas semiotika adalah pendekatan campuran dalam hal gagasan,

penemuan, serta wacana ilmiah dari ranah yang beragam.

f) Umberto Eco (1932-) seorang ahli semiotika Italia, berkontribusi

penting bagi pemahaman tentang hubungan tanda dengan realitas. Eco

menuangkan uraian semiotiknya dalam tulisan ilmiah akademik dan karya fiksi

popular, yaitu novel best seller-nya yang berjudul The Name of Rose, tahun 1982,

yang kemudian difilmkan.26

26

Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, h. 2.

Page 39: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

24

C. Analisis Semiotika dalam Kajian Teks

1. Teori Tanda Ferdinand De Saussure

Pendiri linguistik modern adalah seorang sarjana dan tokoh besar asal

Swiss yaitu Ferdinand de Saussure, seseorang yang paling layak menyandang

predikat tersebut. Saussure memang terkenal karena teorinya tentang tanda. ia

sebetulnya tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi buku. Catatan-

catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi sebuah outline. Karyanya

yang di susun dari tiga kumpulan catatan kuliah saat ia memberi kuliah linguistik

umum di universitas Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909 dan 1910-1911 ini

kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course in General Linguistics.

Karya ini di kemudian hari merupakan sumber teori linguistik yang paling

berpengaruh. Kita mengenalnya dengan istilah “strukturalisme”. Banyak aliran

lingusitik yang berlainan dapat dibedakan pada waktu ini, tetapi semuanya secara

langsung atau tidak langsung dipengaruhi (dengan berbagai tingkat) oleh course

de Saussure.

Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang menjadi peletak dasar

dari Strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan

signified (petanda); form (bentuk) dan content (isi); langue (bahasa) dan parole

(tuturan, ujaran); synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); serta

syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatik).

a) Signifier dan Signified

Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori

Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah sistem tanda,

dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan

signified (petanda). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda

(sign). Suara-suara, baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa

dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi

tersebut mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, pengertian-

pengertian tertentu. Untuk itu, suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari

sebuah sistem konvensi, sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah

sistem tanda.

Page 40: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

25

Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dangan

sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang

bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material

dari bahasa: apa yang dikatakan atau di dengar dan apa yang di tulis atau di baca.

Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek

mental dari bahasa. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Tanda bahasa

selalu mempunyai dua segi: penanda dan petanda; signifier dan signified;

signifiant atau signifie. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa, karena

itu tidak merupakan tanda. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti

dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.

b) Form dan Content

Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi) ini oleh Gleason diistilahkan

dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea.

Memang demikianlah wujudnya. Saussure membandingkan form dan content atau

substance itu dengan permainan catur. Dalam permainan catur, papan dan biji

catur itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi,

aturan-aturan permainannya. Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur

yang ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya.

c) Langue dan Parole

Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur, khususnya dalam teori

wacana. Hal ini pun diakui Roland Barthes yang menyatakan bahwa “konsep

(dikotomis) langue/parole sangat penting dalam pemikiran Saussure dan pasti

telah membawa pembaruan besar pada linguistik sebelumnya.”

Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis: langage, langue

(sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran) terpaksa kita mengambil alih istilah-

istilah yang diberikan oleh buku Saussure sendiri, sebab di bidang ini kekhususan

bahasa Prancis tidak mudah diterjemahkan oleh bahasa-bahasa lain. Langage

mengacu kepada bahasa pada umumnya yang terdiri atas langue dan parole.

Langage adalah suatu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap

manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan

Page 41: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

26

dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya, langage adalah

bahasa pada umumnya.

Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa

pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada

tingkat individu. Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode,

maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa

sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan

pemakaiannya “tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka

parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Jika unit dasar

langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat. Jika langue bersifat

sinkronik dalam arti tanda atau kode itu dianggap baku sehingga mudah disusun

sebagai suatu sistem, maka parole boleh dianggap bersifat diakronik dalam arti

sangat terikat oleh dimensi waktu pada saat terjadi pembicaraan.

d) Synchronic dan Diachronic

Menurut Saussure, linguistik harus memperhatikan sinkronis sebelum

menghiraukan diakronis. Apakah yang di maksud dengan kedua istilah ini? Kedua

istilah ini berasal dari kata Yunani khronos (waktu) dan dua awalan syn- dan dia-

masing-masing berarti “bersama” dan “melalui”. Salah satu dari banyak

perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang diperkenalkan ke dalam

linguistik oleh Sauusure adalah perbedaan antara studi bahasa sinkronis dan

diakronis (perbedaan itu kadang-kadang digambarkan dengan membandingkan

“deskriptif” dan “historis”. Yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa

adalah deskripsi tentang keadaan tertentu bahasa tersebut (pada suatu “masa”).

Jadi, bisa dikatakan bersifat horizontal.

Adapun yang dimaksud dengan diakronis adalah menelusuri waktu. Jadi,

studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan

sejarah (melalui waktu). Atau dengan kata lain, linguistik diakronis adalah

subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke

masa. Dapat kita katakan bahwa studi ini bersifat vertikal.

Page 42: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

27

e) Syntagmatic dan Associative

Satu lagi struktur bahasa yang di bahas dalam konsepsi besar Saussure

tentang sistem pembedaan di antara tanda-tanda adalah mengenai syntagmatic dan

associative (paradigmatic), atau antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-

hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-

kata sebagai konsep.

Jika kita mengambil contoh sederhana dari sekumpulan tanda “seekor

kucing berbaring di atas karpet”: Maka satu elemen tertentu, kata “kucing”,

misalnya menjadi bermakna sebab ia memang bisa dibedakan dengan “seekor”,

“berbaring”, atau “karpet”. Sekarang kita bisa lihat, bagaimana kemudian kata

“kucing” dikombinasikan dengan elemen-elemen lainnya. Kini digabungkan

dengan “seekor”, “berbaring”, “di”, “atas”, atau “karpet”. Kata “kucing”

menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang

berurut secara logis). Melalui cara ini, “kucing” bisa dikatakan memiliki

hubungan paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan “singa”

dan “anjing”.27

2. Pragmatisme Charles Sanders Pierce

Charles Sanders Pierce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling

orisinal dan multidimensional. Pierce adalah seorang pemikir yang argumentatif,

Pierce sangat temperamental, sifat pemarah dan sulit di atur itu di duga karena

penyakit sarafnya yang sering kambuh dan kerusakan kulit di sekitar wajahnya

yang agak parah.

Kerap kali disebut bahwa selain menjadi seorang pendiri pragmatism.

Pierce memberikan sumbangan yang penting pada logika filsafat dan matematika,

khususnya semiotika. Yang jarang disebut adalah bahwa Pierce melihat teori

semiotiknya (karyanya tentang tanda) sebagai yang tak terpisahkan dari logika.

Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam ruang lingkup semiotika,

Peirce, seringkali mengulang-ngulang bahwa secara umum tanda adalah yang

mewakili sesuatu bagi seseorang. Bagi Pierce, tanda “is something which stands

27

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013)

h. 44-55

Page 43: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

28

to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan

agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut ground. Konsekuensinya, tanda

(sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground,

object dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi

tanda. Tanda yang dikaitkan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign dan

legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar,

keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa

yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata

air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign

adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang

menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.

Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index

(indeks), symbol (simbol). Ikon adalah tanda, di mana hubungan antara penanda

dan petandanya bersifat bersamaan dengan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain,

ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan;

misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya

hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan

sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang

paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke

denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang

biasa disebut symbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan

alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat

arbitrer atau semena, hubungan konvensi (perjanjian) masyarakat.

Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme,

dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan

orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang matanya merah

dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita sakit mata,

atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau

dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering

terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan di pasang rambu lalu lintas yang

Page 44: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

29

menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang

langsung memberikan alasan tentang sesuatu.28

3. Semiologi dan Mitologi Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga

intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan

strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Ia disebut sebagai tokoh yang

memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an.29

Sederhana dan tetap selaras dengan etimologi kata mitos adalah tipe

wicara.30

Mitos bukanlah sembarang tipe, bahasa membutuhkan syarat khusus

agar bisa menjadi mitos. Bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep,

atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. Ini bukan

berarti wicara mitis harus diperlakukan seperti halnya bahasa; mitos pada

dasarnya adalah salah satu wilayah dari sebuah ilmu yang umum, berdampingan

dengan linguistik, yakni semiologi.31

Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos, berarti cerita, biasanya dipakai

untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai

kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar

manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.32

Mitos didefinisikan Barthes sebagai a type of speech (tipe tuturan). Setiap

tipe tuturan, baik berupa sesuatu yang tertulis atau sekedar representasi, verbal

atau visual, secara potensial dapat menjadi mitos. Mitos dipakai untuk mendistorsi

atau mendeformasi kenyataan (meaning atau signification) pada tingkat pertama,

sehingga objek (pembaca) tidak menyadarinya.33

Dengan kata lain, mitos

berfungsi untuk menaturalisasikan sesuatu yang sesungguhnya tidak natural. Yang

tidak natural tersebut adalah konsep yang muncul pada zaman, tempat dan

28

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013)

h. 39-42. 29

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63. 30

Berbagai pengertian lain dari kata “mitos” bisa jdi berseberangan dengan definisi ini.

Namun yang coba didefinisikan di sini adalah sesuatu, bukan kata. 31

Roland Barthes, Mitologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2015) h. 155. 32

ST Sunardi, Semiotika Negativa, h. 103. 33

Roland Barthes, Mythologies, h. 109-111.

Page 45: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

30

masyarakat tertentu. Dengan mitos, konsep tersebut dipakai menjadi seolah-olah

natural. Konsep yang dimaksud tak lain adalah ideologi. Dengan demikian, mitos

dimaksudkan untuk membongkar ideologi yang bersemayam dalam masyarakat

modern, atau dikenal juga sebagai kritik ideologi.

Sebelum membicarakan persoalan ideologi, Barthes terlebih dahulu

mencari titik terang tentang keberadaan mitos, Barthes membangun sistem

semiologi bertingkat melalui konsep denotasi dan konotasi. Denotasi adalah nama

bagi sebuah sistem tanda tingkat pertama, dan konotasi adalah nama bagi sebuah

sistem tingkat kedua. Sistem ini dibangun dengan bantuan konsep Saussure

dengan beberapa modifikasi yang dilakukan Barthes.34

Sistem lapis tingkat pertama (denotasi) akan menjadi penanda (signifier)

bagi sistem tanda lapis kedua (konotasi). Layaknya denotasi, konotasi juga

tersusun dari serangkaian tanda yang didalamnya memuat penanda (signifier),

petanda (signified) dan tanda (sign). Dalam sistem konotasi, Barthes

menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsure tersebut, yaitu form, concept

dan signification. Jadi, form yang dalam semiologi tingkat pertama merupakan

aspek material, bentuk akuistis, sama posisinya dengan penanda (signifier) pada

tingkat kedua. Sedangkan concept yang ada pada tingkat pertama didefinisikan

sebagai aspek mental, citra akuistis, sama posisinya dengan petanda (signified).

Tanda (sign) pada tingkat pertama sama dengan signifikasi (signification) pada

tingkat kedua. Pembedaan istilah ini disengaja oleh Barthes karena proses

signifikasi (signification) dalam sistem tingkat pertama dan tingkat kedua tidak

persis sama. Perbedaan di antara keduanya terletak pada mekanisme kerja, di

mana pada sistem tingkat kedua mengalami dinamika yang cukup signifikan

dengan terjadinya proses deformasi pada salah satu aspeknya.35

34

Sebagaimana diketahui, Barthes merupakan salah satu pengagum dan pengembang

semiologi yang dipopulerkan oleh Saussure. Kekaguman Barthes atas semiologi mendorongnya

menulis sebuah buku berjudul Elements of Semiology. Dalam buku tersebut, Barthes

menghadirkan dan juga mengulas konsep semiologi Saussure dan para pembandingnya. Lihat

Elements of Semiology. Penerjemah. Annete Lovers dan Collin Smith (New York: Hill and Wang ,

1968). 35

Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill and Wang, 1983) h. 114.

Page 46: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

31

Sistem pertama merupakan sistem linguistik. Sedangkan sistem kedua

merupakan sistem mitis yang memiliki keunikan tersendiri, karena tidak semua

prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pada sistem kedua, meskipun

sistem kedua mengadopsi sistem pertama.

Jika dideskripsikan dalam bentuk diagram, maka posisi elemen-elemen

yang ada dalam semiologi tingkat pertama maupun tingkat kedua adalah sebagai

berikut:36

Sistem Tingkat Pertama

Sistem Tingkat Kedua

Dalam konteks ini, materi wicara mitis (bahasa, fotografi, lukisan, ritual,

objek, dll) meskipun pada awalnya berbeda, direduksi menjadi fungsi penandaan

murni begitu mereka ditangkap oleh mitos. Mitos melihat mereka (materi-materi

wicaranya) hanya sebagai bahan mentah; sehingga kesatuannya adalah bahwa

mereka semua berubah status hanya menjadi bahasa. Mitos hanya ingin melihat

sekumpulan tanda didalamnya, sebuah tanda global, istilah terakhir (ketiga) dari

rangkaian semiologi tingkat pertama. Istilah terakhir inilah yang akan menjadi

istilah pertama dari sistem yang lebih besar yang ia bentuk. Apa yang terjadi

adalah seolah-olah mitos memindahkan sistem formal penandaan pertama ke

pinggir. Pemindahan ini adalah yang terpenting dalam analisa mitos.

Dalam mengkaji fenomena mitos atau kritik mitos, Barthes menggunakan

analisa semiologi tingkat kedua. Di sini, mitos mengambil sistem tingkat pertama

yang berupa sistem linguistik sebagai landasannya. Tanda (sign) diambil oleh

sistem tingkat kedua menjadi form. Sementara concept diciptakan oleh pembuat

atau pengguna mitos. Sign yang diambil untuk dijadikan form diberi nama lain,

yaitu meaning karena tanda hanya diketahui oleh maknanya. Alhasil, seperti

36

Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill and Wang, 1983) h. 115.

1. Signifier 2. Signified

3. Sign (Meaning)

I. Signifier (Form)

II. Signified

(Concept)

III. Sign (Signification)

Page 47: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

32

terlihat dalam bagan, meaning mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai sign

(kebahasaan), kedua sebagai form (sistem mitis). Sistem ini disebut sebagai sistem

tanda konotatif.

Berikut skema sistem konotasi seperti dikonseptualisasikan oleh Barthes.

Sistem Tingkat

Pertama

(denotation)

Sistem Tingkat

Kedua

(connotation)

Myth

Selain sistem tanda konotatif, terdapat juga sistem tanda metabahasa

dalam mengkaji fenomena mitos atau kritik mitos. Hal ini terjadi jika sistem

tingkat pertama dijadikan signified atau concept. Dalam struktur metabahasa,

sistem tingkat pertama tidak disebut dengan denotasi, melainkan bahasa-objek

(language-object). Jika konotasi menggunakan denotasi untuk membicarakan

sesuatu hal yang lain, maka metabahasa digunakan untuk berbicara tentang

bahasa-objek.

Berikut bagan metabahasa seperti dikonseptualisasikan oleh Barthes.

Sistem Tingkat Pertama

(language-object)

Sistem Tingkat Kedua

(metalangue) Myth

Signifier

(expression)

Signified

(content)

Sign

(meaning)

Signifier

(form

Signified

(concept)

Sign

(signification)

Signifier

(expression)

Signified

(content)

Sign

(meaning)

Signified

(concept)

Signifier

(form)

Sign

(signification)

Page 48: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

33

Pada skema di atas, Barthes menggunakan istilah-istilah konsep yang

dipergunakan oleh Hjemslev dalam menjelaskan tanda (sign), Barthes

menggambarkan konotasi sebagai perluasan content baru. Dengan demikian,

relasi expression dengan content menjadi berubah sesuai dengan apa yang

diberikan pemakai konotasi.

Sedangkan metabahasa terjadi dengan cara pengembangan segi expression

dengan content yang sama dalam sistem tingkat kedua. Metabahasa terjadi pada

wilayah ilmu pengetahuan, di mana content tetap dipertahankan hubungan-

hubungannya dengan expression meskipun expression itu berubah-ubah.

Misalnya, hal itu terjadi pada peristilahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

menggunakan berbagai istilah / nomenklatur (tata nama), tetapi tetap menegaskan

kejelasan hubungan dengan content. Jadi, sifat hubungan antara content dan

expression tetap konsisten bertolak dari bahasa objek pada sistem denotatif.37

Jadi,

kalau sistem semiologi tingkat pertama dijadikan content bagi sistem semiologi

tingkat kedua, akan didapati sebuah sistem metabahasa.38

37

Roland Barthes, Mythologies, h. 91. 38

Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Arab (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2009) h. 201-202.

Page 49: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

34

BAB III

NAFS WĀḤIDAH DALAM AL-QUR’AN DAN TAFSIR

Bab ini berisi tentang pengertian term nafs wāḥidah sesuai dengan

konvensi bahasa secara general dan menyeluruh. Dalam bab ini pula diuraikan

penjelasan tentang nafs wāḥidah menurut al-Qur‟an dan para mufassir, baik itu

mufassir klasik maupun mufassir kontemporer, yang nantinya akan dijadikan

rujukan untuk penafsiran semiotis dalam bab empat.

A. Pengertian Nafs Wāḥidah

Nafs secara bahasa Arab dalam kamus al-Munjid, nafs (mufrod dari kata

nufūs dan anfus) berarti ruh dan „ain (diri sendiri).1 Sedangkan dalam kamus al-

Munawwir disebutkan bahwa kata nafs (jamak dari kata anfus dan nufūs)

bermakna ruh dan jiwa, juga berarti al-Jasad (badan, tubuh). Menurut Dawam

Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur‟an disebutkan bahwa dalam al-Qur‟an nafs

yang jamaknya anfus dan nufūs diartikan jiwa, diri, pribadi, hidup, hati atau

pikiran, di samping juga dipakai untuk beberapa lainnya.2

Menurut kitab Lisān al-„Arab, Ibn Manẓūr menjelaskan bahwa kata nafs

dalam bahasa arab digunakan dalam dua pengertian. Yakni nafs dalam pengertian

nyawa, nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya

menunjuk kepada diri pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, yaitu nafs akal

dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir

namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh,

menyebabkan hilangnya kehidupan.3

Kata nafs dalam al-Qur‟an terdapat 140 ayat. Yang menyebutkan nafs

dalam bentuk jamaknya nufūs terdapat dua ayat, dan dalam bentuk jamak lainnya

anfus terdapat 153 ayat. Berarti dalam al-Qur‟an kata nafs disebutkan sebanyak

295 kali. Kata ini terdapat dalam 63 surat, yang terbanyak terdapat dalam surat al-

1 Lewis makluf, al-Munjīd fi al-Lughah wa A‟lam (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986) h. 826.

2 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia al-Qur‟an: tafsir sosial berdasarkan konsep konsep

kunci (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 250. 3 Ibn Manzur Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Al-Lisan al-„Arab Juz III (Kairo:

Dar al-Misriyah li al-Ta‟lif wa al-Tarjamah, 1968) h.119-120.

Page 50: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

35

Baqarah (35 kali), Āli Imrān (21 kali), Al-Nisā' (19 kali), Al-An‟ām dan al-

Taubah (masing-masing 17 kali), serta al-A‟rāf dan Yusūf (masing-masing 13

kali).4

Istilah nafs secara umum diterjemahkan dengan kata „diri‟ dan bentuk

jamaknya adalah anfus. Namun, kata ini hanya digunakan untuk proses penciptaan

manusia. Secara teknis penggunaan kata nafs dalam al-Qur‟an menunjukkan

bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul yang sama sekalipun beragam

bangsa, serta suku budaya yang tersebar di seluruh dunia. Secara tata bahasa nafs

merupakan bentuk muannats (female). Sedangkan secara konseptual nafs

mengandung arti netral bukan bentuk laki-laki ataupun perempuan.5

Nafs dalam al-Qur‟an menurut paham filsafat dan sufisme dalam Islam

diartikan „jiwa‟. Sebuah substansi yang terpisah dari tubuh. Kebanyakan merujuk

pada “diri sendiri” (laki-laki atau perempuan) dan jamaknya anfus walaupun pada

konteksnya merujuk pada “manusia” atau “manusia batiniah”. Sebenarnya tubuh

yang mempunyai pusat kehidupan dan kecerdasanlah yang merupakan identitas

batiniah atau personalitas manusia. Adapun nafs menurut pendapat Amina Wadud

Muhsin yang dipengaruhi oleh konsep nafs dalam istilah filsafat, ia mengatakan

bahwa nafs adalah bagian terpenting dari setiap laki-laki dan perempuan.6

Menurut Muhammad al-Razi bahwa sifat muannats (feminism) juga

memiliki maushuf mudzakkar (sifat maskulin) atau sebaliknya, sebagaimana kata

nafs dapat ditemukan pada ayat al-Qur‟an yang lain (al-Kahfi: 74), ia mengatakan

syair Arab juga terdapat ungkapan serupa misalnya, kata “khilafah” di sini di

anggap sebagai feminine (muannats). Dengan kata lain, al-Razi ingin menyatakan

bahwa kata maskulin (mudzakkar) bisa saja disifati dengan kata feminin.

Walaupun hal ini merupakan pengecualian dalam tradisi Arab.7

4 Muhammad Fuad Abd Al-Baqi, Mu‟jam Al Mufahrash li Lafdli al-Qur‟an al-Karim

(Beirut: Dar al-Fikr, 1994) h. 881-885. 5 Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Yogyakarta: Pilar Media, 2005) h. 202

6 Amina Wadud, Qur‟an Menurut Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006) h.

43 7 Muhanndis Az-Zuhri, Ayat-ayat Bias Gender dalam Surat an-Nisa Vol. 4 No. 1 (Juni,

2009) h. 3

Page 51: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

36

Kata nafs wāḥidah sebagai “asal usul kejadian” terulang lima kali tetapi itu

semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain (Q.S. Al-syūra [41]: 11),

nafs itu juga menjadi asal usul binatang. Kalau dikatakan nafs wāḥidah ialah

Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-

tumbuhan?

Term nafs wāḥidah menggunakan bentuk nakirah/indefinite “dari satu

diri” (min nafsin) bukan dalam bentuk ma‟rifah/definite (min al-nafs) berarti

menunjukkan kekhususan (yufīd al-takhṣiṣ) lalu diperkuat (ta'kīd) dengan kata

“yang satu” (wāḥidah) sebagai sifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan

kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Ādam,

bukan Adamnya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya

yang dimaksud pada kata nafs adalah Adam, mengapa tidak menggunakan kata

wāhidin dengan bentuk laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata

Wāḥidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata

nafs masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism alam lainnya. Akan

tetapi dalam al-Qur‟an sering dijumpai sifat itu menyalahi bentuk mausuf-nya

kemudian merujuk ke hakekat yang di-sifat-i, jika yang di-sifat-i nya itu hendak

ditekankan oleh si pembicara (mukhatab).

Kata nafs wāḥidah dalam ayat al-Qur‟an boleh jadi suatu genus dan salah

satu spesiesnya adalah Adam dan pasangannya (pria/zauj-nya) (Q.S. Al-A‟rāf

[07]: 189), sedangkan spesies lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q.S. Al-

Syūra [41]: 11) serta tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (Q.S. Ṭāha [20]: 53).8

Tentang penciptaan dalam kisah al-Qur‟an Allah tidak pernah secara

gamblang menyebutkan penciptaan manusia dengan seorang laki-laki dan juga

tidak pernah menunjukkan asal usul manusia pada Adam.9

8 Misalnya dalam Q.S. Al-A‟rāf [7]: 56 (Inna rahmat-a „l-Lah-i qarib-un min al-

muhsinin), mestinya dikatakan qaribah sebagai sifat dari rahmah yang berbentuk mu‟annats, akan

tetapi karena sifat men-sifat-i hakekat mausuf yakni al-ihsan yang berbentuk mudzakkar maka

sifat pun harus mudzakkar lalu digunakanlah kata qarib. Lihat Jumni Eli, Misteri Nafs Wāhidah

dalam al-Qur‟an, h. 96 9 Amina Wadud, Qur‟an Menurut Perempuan, h. 43

Page 52: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

37

B. Nafs Wāḥidah dalam Al-Qur’ān

Di dalam al-Qur‟ān terdapat lima ayat yang berkaitan langsung dengan

-yaitu surat al-Nisā'(4) ayat 01, surat al-An‟ām(6) ayat 98, surat al ,فظ واحذة

A‟rāf(7) ayat 189, surat Luqmān(31) ayat 28 dan al-Zumar(39) ayat 06.

ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل ي ٱت خ ي جف ل ل ل ة و س حد ي ق او خ

و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن

ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.” (Q.S. Al-Nisā' [04]: 01).

يٱو جف ل ك أ نش

أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا

ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada

tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-

tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām

[06]: 98).

ٱ ل ي ل يخ جف ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي

أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اث ي لل اء ج

يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia

menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah

dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia

merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya

(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya

jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang

yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).

ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل

Page 53: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

38

“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam

kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu

jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.

Luqmān [31]: 28).

جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج

ع ل ز خ م

أ ي ج و ي ة ه يلل

أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف

ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang

berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu

kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah

Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain

Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).

Nafs wāḥidah merupakan contoh ayat mutasyabih dalam al-Qur‟an, di

mana ayat tersebut membutuhkan penjelasan yang sangat akurat dan tidak

menjelaskan dengan tegas apakah makna tersebut untuk Adam atau untuk seluruh

manusia. Kemudian, istrinya diciptakan dari Adam itu, mayoritas ulama Indonesia

memahami hal tersebut berkaitan tentang Adam, sedangkan Hawa tercipta dari

tulang rusuk Adam, hal ini sesuai dengan Al-Qur‟an terjemahan Departemen

Agama.10

Nafs wāḥidah menurut al- Ṭabarī, al- Qurṭubī, al-Biqā‟ī, al-Su‟ūd dan lain-

lain. Bahkan al-Tabarsi (salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi‟ah abad ke-6

H) mengemukakan bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut

dengan Adam.11

Pendapat yang mengartikan bahwa nafs wāḥidah adalah Adam

berdasarkan kepada hadis nabi Muhammad yang mengatakan bahwa perempuan

tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Ketika mengartikan nafs wāḥidah adalah

Adam akan berdampak pada kata selanjutnya yaitu (و خهق يهب صوجهب( wa

khalaqa minhā zaujahā yang dalam hal ini diartikan Hawa oleh sebagian

10

Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-

Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999) h. 6-7 11

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan

Umat (Jakarta: Mizan, 1996) h. 293

Page 54: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

39

mufassir. Argument-argumen yang dikemukakan oleh Quraish Shihab adalah kata

nafs pada ayat ini menunjuk pada pengertian perorangan bukan jenis.

Al-Qaffal mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sesungguhnya Allah

telah menciptakan setiap orang di antara kalian berasal dari satu jiwa, kemudian

dia menjadikan istri untuknya yang diciptakan dari dirinya atau khitab

(pembicaraan), ayat ini ditunjukkan kepada kaum Quraisy yang hidup pada masa

nabi Muhammad, mereka adalah keluarga Qusay, yang dimaksudkan dengan nafs

Wāḥidah dalam ayat ini adalah Qusay sendiri.12

Menurut Nasaruddin Umar, term nafs terulang 295 kali dalam al-Qur‟an,

dengan berbagai bentuknya tidak satu pun secara tegas menunjukkan

pengertiannya kepada Adam.13

Dalam potongan ayat berbunyi “Dia telah

menjadikan kamu dari diri yang satu”. Ialah bahwa seluruh manusia itu, laki-laki

dan perempuan, di benua manapun mereka berdiam, betapapun warna kulitnya,

namun mereka adalah diri yang satu. Sama-sama berakal, sama-sama

menginginkan yang baik dan tidak menyukai yang buruk, sama-sama suka yang

elok dan tidak suka yang jelek. Oleh sebab itu, hendaklah memandang orang lain,

seperti kita memandang diri sendiri.14

C. Nafs Wāḥidah Menurut Mufassir

Nafs wāḥidah terdapat dalam beberapa ayat al-Qur‟an yaitu surat Al-Nisā'

(4) ayat 01, surat Al-An‟ām (6) ayat 98, surat Al-A‟rāf (7) ayat 189, surat Luqmān

(31) ayat 28 dan Al-Zumar (39) ayat 06. Tema nafs wāḥidah ini penting untuk

ditindaklanjuti untuk mengkontekstualisasikan penciptaan manusia pertama

apakah Ādam atau ada jenis jiwa sebelum Ādam sehingga menjadi Ādam. Dan

para mufassir menempuh cara yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur‟an,

mengenai makna nafs wāḥidah.

1. Tafsir Klasik (Tafsir al-Qurṭubī dan Tafsir al-Ṭabarī)

a) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-Nisā' (04): 01

12

Musṭafa Al-Marāghi, Tafsir al-Maraghi (Dar al-Fikr, Jilid 2) h. 175 13

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina, 1999) h. 241 14

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 4-5-6 (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982) h. 219

Page 55: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

40

ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل جف ٱت ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ

و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا ا نص ٱو ء و ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن

ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.”( Q.S. Al-Nisā' [04]: 01)

Menurut Imam al-Qurṭubī firman Allah, حذة و “Dari diri yang satu”,

disebutkan dalam pola ta‟nits (kata yang menunjuk pada jenis perempuan), karena

mengikuti kata sebenarnya yaitu انفظ, meskipun yang dimaksud adalah

mudzakkar. Kalimat itu bisa juga diungkapkan dengan ف حذة و ظ ي untuk

menjaga keaslian kalimat tersebut, dan maksud انفظ adalah Nabi Adam a.s.

Firman Allah, وبث “Memperkembang biakkan”, di ayat lain, Allah SWT

berfirman, يب ثىثت وصساب “Dan permadani-permadani yang terhampar.” (Q.S. Al

Ghaasyiyah [88]: 16), dan pembahasan tentang lafazh ini telah dijelaskan dalam

surat Al Baqarah.

Firman Allah, بي ه “Dari keduanya” maksudnya dari Adam dan Hawa.

Mujahid berkata, “Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok.” Hal

ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW,

ضهع عىجب شأة ي ء.خهقت ان

“Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok”.

Firman Allah: ثش سجبل ء ا وغب “Laki-laki dan perempuan yang banyak”,

maksudnya, meliputi keturunan Adam dan Hawa, baik yang berjenis kelamin pria

maupun wanita. Oleh karena itu, al khuntsa (yang memiliki dua kelamin) tidak

termasuk bagian dari kedua jenis itu. Meskipun demikian ia memiliki

kecenderungan sifat dan perilaku yang dapat mengembalikan identitas jati dirinya

yang sebenarnya, maka ketika itu ia bisa diidentifikasi sebagai pria atau wanita,

Page 56: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

41

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam surah Al Baqarah, berdasarkan

pertimbangan kekurangan atau kelebihan anggota tubuh.

Firman Allah SWT, ٱتقىا ٱو به نزي تغب ٱلل ٱو ۦءنى حبو س ل “Dan bertakwalah

kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” Pengulangan kata

takwa di sini merupakan penekanan dan peringatan kepada setiap jiwa yang

diperintahkan untuk memperhatikan hal tersebut, sedangkan kata نزيٱ “yang”

berada dalam posisi nashab (kata yang akhirnya diberi baris fathah) karena

mengikuti na‟at (kata sifat) sebelumnya. Lafazh ٱ حبو س ل (hubungan silaturrahim)

berkedudukan sebagai ma‟thuf, yang maknanya, bertakwalah kepada Allah dalam

rangka memelihara hubungan silaturrahim dikala kamu memutuskannya. Para

ulama Ahlu Madinah membaca lafazh dengan cara meng-idgham-kan تغأنى

huruf ta' ke dalam huruf sin, بءنى Sedangkan ulama Kufah membacanya .تغ

dengan membuang huruf ta', disebabkan bertemunya dua ta' dan men-takhfif-kan

pengucapan huruf sin, karena maknanya dapat dipahami dengan jelas عبءنى

sebagaimana firman Allah SWT, ٱعهى تعبوىا ى ث ل -Dan jangan tolong“ ول

menolong dalam berbuat dosa.” (Q.S. Al-Māidah [5]: 2), demikian juga pada

lafaẓ ل .dan yang sama dengannya تض

Firman Allah ٱإ عه ب بسقب كى لل , “Sesungguhnya Allah selalu menjaga

dan mengawasi kamu,” yaitu, Maha Pemelihara. Ibn Abbas dan Mujahid, Ibn

Zaid menafsirkannya: Maha Mengetahui. Pendapat lain mengatakan ب ب سق

ditafsirkan hafizhan “Pemelihara” dalam bentuk fa‟il, sedangkan Raqib adalah

salah satu sifat Allah SWT, dan Raqib juga berrati penjaga yang senantiasa

memantau.15

b) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-An‟ām (06): 98

15

Imam Al-Qurṭubī, Tafsir Al-Qurṭubī Jilid V. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,

dkk., h. 19-22

Page 57: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

42

يٱو جف ل ك أ نش

أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا

ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada

tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-

tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām

[06]: 98).

Menurut Imam Firman Allah Swt, ف نزي ٱوهى ى ي حذة و ظ أشأ “Dan

Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri.” Yang dimaksudkan dalam

ayat ini adalah adalah Adam a.s. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di awal

surah ini.

Firman Allah Swt, غ تقش ف “Maka (bagimu) ada tempat tetap.” Ibn Abbas,

Sa‟id bin Jubair, Hasan, Abu Amr, Isa, A‟raj, Syaibah dan al-Nakha'i membaca

dengan huruf qaf berharkat kasrah, yaitu تقش يغ . Sementara ahli qira'ah lainnya

membaca dengan huruf qaf berharkat fathah, yaitu تقش غ ي . Lafazh غ تقش ف berada

pada posisi rafa‟, sebab berfungsi sebagai mubtada‟ (subyek).

Diriwayatkan dari Ibn Abbas Ra juga, bahwa al mustaqarr adalah orang

yang telah diciptakan dan al mustauda‟ adalah orang yang belum diciptakan.

Demikian yang disebutkan oleh Al-Mawardi.

Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. bahwa al mustauda‟ (tempat simpanan)

itu berada di sisi Allah Swt.16

c) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-A‟rāf(07): 189

جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت فيفح ا خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي

أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اء اث ي لل ج

يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia

menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah

dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia

16

Imam al-Qurṭubī, Tafsir Al-Qurṭubī Jilid VII. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,

dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 117-119

Page 58: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

43

merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya

(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya

jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang

yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189)

Menurut Imam al-Qurṭubī ayat ini di bahas dua masalah, yaitu:

Firman Allah Swt, ف ٱهى حذة و ظ نزي خهقكى ي “Dialah Yang menciptakan

kamu dari diri yang satu,” maksudnya adalah Allah yang menciptakan manusia

dari satu jiwa saja, yaitu nabi Adam. جهبهب صو وجعم ي “Dan daripadanya Dia

menciptakan istrinya,” maksud istri di sini adalah Hawa. نغ إن هبك “agar dia

merasa senang kepadanya,” maksudnya adalah agar nabi Adam merasa tenang

dan senang dengan keberadaannya.

Semua hal tersebut diatas terjadi ketika mereka berdua masih berada di

dalam surga, kemudian kalimat ini dilanjutkan dengan kondisi yang berbeda, yaitu

ketika mereka telah diturunkan ke muka bumi.

ى ب تغش هبفه “Maka setelah dicampurinya,” maksudnya adalah setelah nabi

Adam mencampuri istrinya, Hawa. Lafazh ini sebenarnya adalah kiasan terhadap

makna berhubungan badan antara suami istri. هت ح بل خفف ح “Istrinya itu

mengandung kandungan yang ringan,” maksud kata م artinya segala sesuatu انح

yang di bawa dalam perut wanita atau sesuatu yang terdapat di atas pucuk pohon

(janin atau benih). Sedangkan untuk makna segala sesuatu yang di bawa di bagian

punggung (muatan atau barang bawaan), maka kata yang digunakan dalam bahasa

Arab adalah م .ح

Firman Allah Swt, ب عىا أث فه ٱقهت د ب نئ سبه لل هح تب ص ءات ي كى ب ن

نش ٱ كش “Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon

kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi

kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Kata أثقهت berarti ada beban berat ditubuhnya. Makna ini seperti ungkapan

ش انخم artinya pohon kurma itu berbuah. Namun beberapa ulama menyatakan ,أث

bahwa maknanya adalah ia telah memasuki masa berat badan yang berlebih.

Page 59: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

44

Makna ini seperti ungkapan أصبح, artinya hari telah memasuki pagi, atau juga

ungkapan أيغى, artinya hari telah memasuki sore.

Sedangkan yang di maksud dengan lafazh صبنحب adalah anak yang

sempurna.17

d) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Luqmān (31): 28

ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam

kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu

jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.

Luqmān [31]: 28).

Menurut Imam al-Qurṭubī, ب خه ف ثكى بع ول قكى ي حذة و ظ إل “Tidaklah Allah

menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan

hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” Al-Dhahhak

berkata, “Maknanya adalah, tidaklah permulaan penciptaan kalian kecuali seperti

kejadian satu jiwa dan tidaklah kebangkitan kalian pada Hari Kiamat kecuali

seperti kebangkitan satu jiwa.”

Al-Nuhas berkata, “Seperti inilah yang ditakdirkan oleh para ahli nahwu,

dengan makna kecuali seperti penciptaan satu jiwa. Seperti firman-Nya, وعئم

Dan tanyalah (penduduk) negeri.” (Q.S. Yusuf [12]: 82)“ انقشت

Mujahid berkata, “Karena Dia berfirman kepada sedikit dan banyak,

Selain itu, ayat ini turun pada Ubai bin Khalaf, Abi Asadain, Munabbih dan .فكى

Nabih, dua putra Hajjaj bin Sabaq. Mereka berkata kepada Rasulullah Saw,

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan kami dalam beberapa fase, yaitu air

mani, kemudian segumpal darah, lalu segumpal daging, lantas tulang, setelah itu

17

Imam al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī Jilid VII. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,

dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 853-855

Page 60: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

45

kamu berkata bahwa kami akan dibangkitkan sebagai makhluk baru dalam satu

waktu.”

Maka Allah Swt menurunkan firman-Nya, ب خه ف ثكى ول بع قكى ي حذة و ظ إل

Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu

melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.”

Karena tidak sulit bagi Allah, apa yang sulit bagi hamba. Penciptaan-Nya terhadap

alam sama seperti penciptaan-Nya terhadap satu jiwa.

ع ٱإ ع لل “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar,” terhadap apa yang

mereka katakan.

.Lagi Maha Melihat,” terhadap apa yang mereka perbuat“ بصش 18

e) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-Zumar (39): 06

جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج

ع ل ز خ م

أ ي ج و ي ة ه يلل

أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف

ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang

berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu

kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah

Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain

Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Az-Zumar [39]: 06).

Firman Allah SWT, ف حذة و ظ خهقكى ي “Dia menciptakan kamu dari

seorang diri,” yakni Adam. جهبهب صو ثى جعم ي “Kemudian Dia jadikan

daripadanya istrinya,” yakni untuk menghasilkan keturunan, dan ini telah

dijelaskan sebelumnya dalam tafsir surah Al-A‟raaf dan surah lainnya. ضل نكى وأ

عبو ثبت أصواج ال Dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang“ ي

berpasangan dari binatang ternak.” Allah Swt mengabarkan tentang pasangan-

pasangan yang diturunkan. Sebabnya, hewan-hewan tersebut tumbuh dengan

18

Imam al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī Jilid XIV. Penerjemah Fathurrahman Abdul

Hamid, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 183-184

Page 61: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

46

adanya tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan hidup dengan adanya air yang

diturunkan. Inilah yang disebut dengan gradualitas. Sama seperti firman-Nya, قذ

ب كى نببع ضنب عه ”.Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian“ أ

Ada yang mengatakan, “Anzala (menurunkan), bermakna ansya'a

(menciptakan) dan ja‟ala (menjadikan).”

ه هقكى خ أي ق خه تكى ف بطى ق ذ خه بع ب ي “Dia menjadikan kamu dalam perut

ibumu kejadian demi kejadian.” Qatadah dan Al-Suddi berkata, “Dari nuthfah (air

mani), lalu „alaqah (segumpal darah), kemudian mudhghah (sepotong daging),

kemudian („azhmaa) tulang-tulang dan kemudian (lahmaa) daging.” Ibn Zaid

berkata, ق خه ق ذ خه بع ب ي “kejadian demi kejadian,” penciptaan di perut ibu kamu

setelah sebelumnya penciptaan pada tulang punggung Adam As.

ت ف ظهث ثه “Dalam tiga kegelapan,” yakni kegelapan dalam perut,

kegelapan dalam rahim dan kegelapan dalam ari-ari. Demikian yang disebutkan

Ibn Abbas Ra, Ikrimah, Mujahid, Qatadah dan Adh-Dhahhak.

Ibn Jubair berkata, “Kegelapan masyiimah (kegelapan rahim dan

kegelapan malam).” Pendapat pertama lebih benar.

Ada yang mengatakan, “Kegelapan tulang punggung lelaki, kegelapan

perut ibu dan kegelapan rahim.” Ini pendapat Abu Ubaidah, yakni tidak ada

kegelapan yang mampu menahannya sebagaimana tidak seorang makhluk pun

yang mampu menahannya.

ٱنكى ر لل “Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah,” yakni yang

menciptakan semua ini. ه ن ٱنه سبكى ه إل هى إن ل ك “Tuhan kamu, Tuhan yang

mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia.” تص فأى شفى “Maka

bagaimana kamu dapat dipalingkan?” yakni bagaimana bisa kamu meninggalkan

penyembahan-Nya dan menyembah yang lain selain Allah SWT? Hamzah

membacanya, 'immihaatikum dengan hamzah dan kasrah mim.

f) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Al-Nisā' (04): 01

Page 62: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

47

ي ا ح ٱأ تلٱنلاس بل ر جف ٱا ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ

و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن

ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.”(Q.S. An-Nisā‟ [04]: 01).

Allah mensifati Dzat-Nya dengan (menyatakan) bahwa Dialah satu-

satunya Dzat yang menciptakan seluruh manusia dari sosok yang satu. Allah juga

memberitahukan hamba-hamba-Nya tentang awal penciptaan-Nya terhadap jiwa

yang satu itu, serta mengingatkan mereka bahwa mereka semua adalah keturunan

seorang laki-laki dan seorang perempuan, bahwa sebagian dari mereka berasal

dari sebagian yang lain, dan hak sebagian dari mereka merupakan kewajiban bagi

saudaranya (yang lain), sebab garis keturunan mereka menyatu pada sosok ayah

dan ibu yang sama.

Selain itu, kewajiban di antara mereka (hamba-hamba Allah) adalah

sebagian dari mereka harus memelihara hak sebagian yang lain, meskipun

kesatuan garis keturunan mereka pada nenek moyang yang menyatukan mereka,

sangatlah jauh, sebagaimana yang menjadi kewajiban mereka dalam konteks

keluarga (garis keturunan yang dekat). Mereka juga harus saling menyayangi agar

dapat saling berlaku adil dan tidak saling menzhalimi.

Menurut al-Ṭabarī, firman Allah Swt, ف ٱ حذة و ظ نزي خهقكى ي “Yang telah

menciptakan kamu dari diri yang satu,” maknanya adalah, Adam.

Riwayat-riwayat yang sesuai dengan makna tersebut adalah: Muhammad

bin Al Husain menceritakan kepada kami, ia berkata: Ahmad bin Mufadhdhal

menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami dari As-

Suddi, dia berkata, “Adapun firman Allah, ف حذة و ظ خهقكى ي “Telah

menciptakan kamu dari diri yang satu”, maknanya adalah, dari Adam a.s.

Page 63: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

48

Bisyr bin Mu‟adz menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid bin Zura‟i

menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari

Qatadah, (tentang) firman Allah ف ٱتقىا سبكى ٱنبط ٱأهب حذة و ظ نزي خهقكى ي “Hai

sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu

dari diri yang satu,” ia berkata, “Maknanya adalah, Adam a.s.”

Padanan firman Allah ف حذة و ظ ي “Telah menciptakan kamu dari diri

yang satu,” dan yang dimaksud darinya adalah seorang lelaki.

Allah Swt berfirman ف حذة و ظ ي “Dari diri yang satu.” (Allah

menggunakan lafazh حذة و karena lafazh ظ ف mu'annats, padahal yang dimaksud

(dari firman-Nya tersebut) adalah min rajulin waahid (dari laki-laki yang satu).

Seandainya dikatakan min nafsin waahidin yang menggunakan bentuk

mudzakkar, maka pengertian atau makna dari perkataan tersebut dianggap benar.

Menurut al-Ṭabarī akan firman Allah, جهبهب صو وخهق ي “Dan daripadanya

Allah menciptakan istrinya,” adalah Allah menciptakan dari jiwa yang satu itu

zauj-nya. Kata az-zauj artinya sosok yang kedua bagi jiwa yang satu itu, dan

menurut pendapat ahli takwil adalah istrinya, yaitu Hawa.

Riwayat yang sesuai dengan makna tersebut Al Mutsanna menceritakan

kepada kami, ia berkata: Abu Hudzaifah menceritakan kepada kami, ia berkata:

Syibil menceritakan kepada kami dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid, seperti riwayat

sebelumnya.19

Adapun takwil firman-Nya, ٱتقىا ٱ لل “Dan bertakwalah kepada Allah,”

wahai manusia, yang apabila sebagian kalian meminta kepada sebagian lainnya,

maka dia akan meminta dengan mempergunakan nama-Nya. Orang yang meminta

itu berkata kepada orang yang dipinta (misalnya), “Aku memintamu dengan

(nama) Allah.” Atau, “Aku memohon kepadamu dengan (nama) Allah.” Atau,

“Aku mendesakmu dengan (nama) Allah.” Serta yang lain.

Allah Ta‟ala berfirman, “Wahai sekalian manusia, sebagaimana kalian

mengagungkan Tuhan kalian dengan lidah-lidah kalian (sehingga kalian melihat

19

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid VI. Penerjemah Akhmad

Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 350-354

Page 64: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

49

bahwa siapa saja yang berjanji kepada kalian, kemudian dia melanggar janjinya

itu, maka dia telah melakukan dosa besar) maka agungkanlah Dia dengan ketaatan

kalian kepada apa yang diperintahkan-Nya terhadap kalian, serta dengan

penghindaran kalian atas apa yang dilarang-Nya atas kalian. Selain itu, hindarilah

siksaan-Nya yang diakibatkan oleh pelanggaran kalian terhadap perintah-Nya,

atau yang diakibatkan oleh pelanggaran kalian terhadap larangan-Nya.

Ahli takwil berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah, ٱو حبو س ل

“Dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.”

Sebagian berpendapat bahwa maknanya adalah, “Bertakwalah kalian

kepada Allah, yang jika kalian meminta di antara kalian maka orang yang

meminta itu akan berkata kepada orang yang dipinta, „Aku meminta kepadamu

dengan (mempergunakan) nama-Nya dan (dengan) hubungan silaturrahim‟.”

Para ulama lain berpendapat bahwa makna firman Allah, ٱتقىا ٱو نزي ٱ لل

به تغب ءنى “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)

nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,” adalah “Takutlah kalian

memutus (hubungan) silaturrahim.”20

Takwil firman Allah: ٱإ عه ب بسقب كى لل (Sesungguhnya Allah selalu

menjaga dan mengawasi kamu). Maknanya adalah, “Allah senantiasa mengawasi

kalian.”

Ungkapan, بسقب (Maha Mengawasi) maknanya adalah Maha Memelihara,

Maha Memperhitungkan amal perbuatan kalian, dan Maha Mencermati

pemeliharaan serta pembinaan kalian terhadap keagungan silaturahim, atau

pemutusan dan penyia-nyiaan kemuliaannya.21

g) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Al-An‟ām (06): 98

20

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid VI. Penerjemah Akhmad

Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 355-357 21

Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir At-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid VI. Penerjemah Akhmad

Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 367-368

Page 65: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

50

يٱو جف ل ك أ نش

أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا

ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada

tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-

tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām

[06]: 98).

Menurut al-Ṭabarī Allah SWT menyatakan, “Wahai orang-orang yang

menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya, Ilah kalian adalah yang menciptakan

kalian, padahal sebelumnya tidak ada dari seorang pun di dunia kemudian ia

menciptakannya, yakni Adam.

Sebagian berpendapat bahwa maknanya adalah, “Dialah Allah yang telah

menciptakan kalian dari satu jiwa. Di antara kalian ada yang menetap dalam

rahim, dan ada yang disimpan dalam kubur sehingga Allah SWT

membangkitkannya pada Hari Kiamat.”

Sebagian yang lain berpendapat bahwa lafazh غتىدع artinya dalam ان

tunggal pinggul orang tua. Sedangkan lafazh غتقش artinya tempat tinggal dalam ان

perut wanita, perut bumi atau di atasnya.22

h) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Al-A‟rāf (07): 189

جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا ح فيفلا رت خ ف با ۦ ا ث ف ي

أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اث ي لل اء ج

يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia

menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah

dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia

merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya

(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya

jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang

yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).

22

Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid X. Penerjemah Akhmad

Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 297-302.

Page 66: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

51

Menurut al-Ṭabarī Allah berfirman, ف ٱهى حذة و ظ نزي خهقكى ي “Dialah

yang menciptakan kamu dari diri yang satu,” bahwa maksudnya adalah satu jiwa,

yaitu Adam. Yang berpendapat seperti itu adalah: Ibn Waki menceritakan

kepada kami, ia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku dari Sufyan, dari

seorang laki-laki, dari Mujahid, tentang ayat, ف ٱهى حذة و ظ نزي خهقكى ي “Dialah

yang menciptakan kamu dari diri yang satu,” ia berkata, “Maksudnya adalah

Nabi Adam.”

Makna ayat, نغ إن هبك “Agar Dia merasa senang kepadanya,” adalah

agar Adam merasa senang kepada Hawa, untuk menunaikan kebutuhannya dan

memperoleh kenikmatan. ى ب تغش هبفه “Agar Dia merasa senang kepadanya,”

ketika Adam berhubungan intim dengan Hawa. هت ح بل خفف ح “istrinya itu

mengandung kandungan yang ringan.” Dalam kalimat ini terdapat kata yang

dibuang, tidak perlu disebutkan, karena telah diketahui maksudnya. “Ketika

Adam berhubungan intim dengan Hawa, ia melaksanakan kebutuhannya terhadap

Hawa, lalu Hawa mengandung.”

Ahli takwil berbeda pendapat mengenai makna kata لح shalih” yang“ انص

dijadikan Adam dan Hawa sebagai sumpah, bahwa jika Allah memberikan mereka

anak yang shalih (yang masih ada dalam kandungan Hawa), maka mereka pasti

tergolong orang-orang yang bersyukur.23

Kata صبنحب mengandung banyak makna, diantaranya shalih dalam tingkah

laku, shalih dalam menjalankan agama, dan shalih dalam berpikir serta mengatur

segala sesuatu. Jika demikian, maka tidak ada khabar dari Rasulullah Saw yang

dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan suatu makna tertentu. Juga tidak

ada dalil akal yang mewajibkan itu. Oleh sebab itu, wajib diartikan secara umum,

sebagaimana disebutkan Allah. Jadi, Adam dan Hawa mengucapkan, “Jika

Engkau memberikan صبنحب kepada kami,” صبنحب dengan seluruh makna

keshalihan dan kebaikan.

23

Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XI. Penerjemah Akhmad

Affandi, h. 846.

Page 67: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

52

Makna firman Allah menurut al-Ṭabarī, ي كى نش ٱن كش “Tentulah kami

termasuk orang-orang yang bersyukur,” adalah sungguh kami pasti termasuk

orang yang bersyukur kepada-Mu atas anak shalih yang telah Engkau berikan

kepada kami.24

i) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Luqmān (31): 28

ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam

kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu

jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.

Luqmān [31]: 28).

Maksudnya adalah, wahai manusia, sesungguhnya Allah menciptakan dan

membangkitkanmu dari alam kubur bagi Allah hanyalah seperti menciptakan dan

membangkitkan satu jiwa saja, karena semua kehendak Allah pasti terlaksana.

Sama saja bagi Allah, apakah menciptakan dan membangkitkan satu jiwa,

atau menciptakan dan membangkitkan seluruh manusia.

Makna ayat, ف حذة و ظ إل “Melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan

membangkitkan) satu jiwa saja,” adalah خ فظ واحذة هق إل “Melainkan hanyalah

seperti menciptakan satu jiwa saja” karena kalimat ini telah mengandung kata

kerja yang dibuang. Orang Arab biasa melakukan itu pada kata dalam bentuk

mashdar.

Firman-Nya, ع ٱإ ع بصش لل “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar

lagi Maha Melihat.” Maksudnya adalah, Allah Maha Mendengar ucapan orang-

orang musyrik, dusta mereka terhadap Tuhan mereka, pernyataan mereka bahwa

Allah memiliki sekutu-sekutu, dan ucapan mereka yang lain dan ucapan orang-

orang selain mereka. Allah Maha Melihat perbuatan mereka serta perbuatan

orang-orang selain mereka, dan dia akan memberikan balasan kepada mereka.25

24

Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XI. Penerjemah Akhmad

Affandi, h. 850. 25

Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XX. Penerjemah

Akhmad Affandi, h. 796-798.

Page 68: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

53

j) Tafsir al- Ṭabarī Q.S. Al-Zumar(39): 06

ل ي ل جف خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج

ع ل ز خ م

أ ي ج و ي ة ه يلل

أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف

ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang

berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu

kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah

Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain

Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Az-Zumar [39]: 06).

Menurut al-Ṭabarī maksud ayat tersebut adalah, Allah berfirman: خهقكى,

“Dia menciptakan kamu,” wahai manusia. ف حذة و ظ ي , “Dari seorang diri.”

Maksudnya berasal dari Adam. جهبهب صو ثى جعم ي “Kemudian Dia jadikan

daripadanya istrinya.” Maksudnya, dari Adam itu Allah menciptakan Hawa

sebagai pasangannya. Allah menciptakan Hawa dari salah satu rusuk Adam.26

Firman-Nya, ه هقكى خ أي ق خه تكى ف بطى ق ذ خه بع ب ي “Dia menjadikan kamu

dalam perut ibumu kejadian demi kejadian,” ia berkata, “Maksudnya adalah,

Allah berfirman, “Wahai manusia, penciptaan kamu dimulai dalam perut ibu

kamu, kejadian demi kejadian; berawal dari sperma, kemudia Allah

menjadikannya segumpal darah, kemudian segumpal daging, kemudian tulang-

belulang, yang tulang –tulang itu dibalut oleh daging. Kemudian Allah

menjadikannya bentuk lain. Maha suci Allah. Demikianlah penciptaan manusia

yang dilakukan Allah, kejadian demi kejadian.”27

Firman-Nya ت ف ظهث ثه “Dalam tiga kegelapan,” maksudnya adalah

kegelapan perut, kegelapan rahim dan kegelapan ari-ari. Ahli takwil berpendapat

seperti pendapat yang kami sebutkan ini, di antaranya adalah: Hannah bin Al-Sirri

menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Al Ahwash menceritakan kepada

26

Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XXII. Penerjemah

Akhmad Affandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 285. 27

Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al- Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XXII. Penerjemah

Akhmad Affandi, h. 287-288.

Page 69: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

54

kami dari Simak, dari Ikrimah, tentang ayat ت ف ظهث ثه “Dalam tiga

kegelapan,” ia berkata, “Tiga kegelapan itu adalah, kegelapan perut, kegelapan

rahim, dan kegelapan ari-ari.”

Firman-Nya, تص فأى ه إل هى إن ل شفى “Tidak ada tuhan selain dia,”

maksudnya adalah, Allah berfirman, “Tidak ada yang layak sebagai sembahan

selain Allah. Tidak ada yang pantas untuk disembah dalam beribadah kecuali

Allah.”

Firman-Nya, تص فأى شفى “Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?”

maksudnya adalah, wahai manusia, mengapakah kamu tidak beribadah kepada

Tuhan kamu yang memiliki sifat-sifat yang telah Aku sebutkan? Mengapakah

kamu berpaling menyembah sesuatu yang tidak berkuasa menolak mudharat dan

mendatangkan manfaat untuk kamu?

Ahli takwil berpendapat seperti pendapat yang kami sebutkan ini. Di

antara mereka yang berpendapat seperti ini menyebutkan riwayat berikut ini:

30180. Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata: Ahmad menceritakan

kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami dari As-Suddi,

tentang ayat, تص فأى شفى “Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” ia

berkata, “Allah berfirman kepada orang-orang musyrik, “Mengapakah akal kamu

berpaling dari semua ini?”28

2. Tafsir Modern (Tafsir al-Miṣbāh dan Tafsir al-Azhar)

a) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Al-Nisā' (04): 01

ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل جف ٱت ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ

و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن

ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

28

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XXII. Penerjemah

Akhmad Affandi, h. 291-295.

Page 70: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

55

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.”(Q.S. Al-Nisā‟ [04]: 01).

Surah al-Nisā' mengajak agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang

antar seluruh manusia. karena itu, ayat ini turun di Madinah yang biasanya

panggilan ditujukan kepada orang yang beriman, namun demi persatuan dan

kesatuan, ayat ini mengajak semua manusia yang beriman dan yang tidak

beriman. Seperti dikemukakan di atas, ayat ini sebagai pendahuluan untuk

mengantar lahirnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat serta bantu

membantu dan saling menyayangi, karena semua manusia berasal dari satu

keturunan, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, kecil dan besar,

beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan

rasa aman dalam masyarakat, serta saling menghormati hak-hak azasi manusia.

Firman-Nya (من نفس واحدة), mayoritas ulama memahaminya dengan arti

Adam a.s. ada juga yang memahaminya dalan arti jenis manusia lelaki dan

wanita. Syekh Muhammad Abduh, Al-Qasimi, dan beberapa ulama kontemporer

lainnya memahaminya demikian, sehingga ayat ini sama dengan firman-Nya

dalam (Q.S. al-Hujurāt [49]: 13): “Hai sekalian manusia , sesungguhnya Kami

menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan

menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah

ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat al-Hujurāt memang berbicara tentang asal kejadian manusia yang

sama dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum/indung telur ibu.

Tetapi, tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang perorang, karena

setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses

kejadian mereka sama. Karena itu, tidak wajar seseorang menghina atau

merendahkan orang lain. Adapun ayat al-Nisā' ini, maka walaupun ia menjelaskan

kesatuan dan kesamaan orang perorang dari segi hakikat kemanusiaan, tetapi

Page 71: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

56

konteksnya untuk menjelaskan banyak dan berkembangbiaknya mereka dari

seorang ayah, yakni Adam, dan seorang ibu, yakni Hawa. Ini dipahami dari

pernyataan: Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan.

Ini tentunya baru sesuai jika kata nafsin Wāḥidah dipahami dalam arti ayah

manusia seluruhnya (Adam a.s.) dan pasangannya (Hawa) lahir darinya laki-laki

dan perempuan yang banyak.

Memahami nafsin wāḥidah sebagai Adam a.s. menjadikan kata ( جهبصو ),

yang secara harfiah bermakna pasangannya, adalah istri Adam a.s. yang popular

bernama Hawa. Agaknya, karena ayat itu menyatakan bahwa pasangan itu

diciptakan dari nafsin Wāḥidah yang berarti Adam, maka para mufassir terdahulu

memahami bahwa istri Adam itu diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini

kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan

bahwa perempuan bagian dari lelaki. Banyak penafsir menyatakan bahwa

pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok,

dan karena itu – tulis al-Qurṭubī dalam tafsirnya – perempuan bersifat ( عىجبء)

„aujā'/bengkok. Pandangan ini mereka perkuat dengan hadis Rasul Saw yang

menyatakan: “Saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita.

Karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan bila engkau

berupaya meluruskannya dia akan patah” (HR. al-Tirmidzi melalui Abu

Hurairah).

Hadis ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiah, namun

tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya dalam arti metafora, bahkan ada

yang menolak keshahihannya. Yang memahami secara metafora menyatakan

bahwa hadis itu mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan

bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang berbeda dengan

pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak

ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha,

maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Thabathaba‟i dalam tafsirnya menulis bahwa ayat di atas menegaskan

bahwa perempuan (isteri Adam a.s.) diciptakan dari jenis yang sama dengan

Adam, dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham yang beranggapan

Page 72: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

57

bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang tidak ada

petunjuk dari al-Qur‟an yang mengarah ke sana, atau bahkan mengarah kepada

penciptaan pasangan Adam dari unsur yang lain.

Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Sayyid Muhammad

Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian

II:21-22) yang menyatakan bahwa, “Ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh

Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging.

Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang

perempuan.

Tulis Rasyīd Riḍa: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan

Hawa dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang

menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah

akan terlintas dalam benak seorang muslim”.

Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang

rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa

demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria

dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita,

sebagimana bunyi surah al-Hujurāt di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya,

“Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain” (Q.S. Āli Imrān [03]: 195). Lelaki

lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu, tidak ada

perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan

oleh wanita dan kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus

lebih kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut kepada jarum. Kalau tidak, jarum

tidak akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan

tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.

Penegasan-Nya bahwa ( جهبهب صو خهق ي ) khalaqa minhā zaujahā/Allah

menciptakan darinya, yakni dari nafsin wahidāh itu pasangannya;mengandung

makna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri

yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalm cita dan

harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan

menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya perkawinan dinamai ( صواج ) zāwaj yang

Page 73: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

58

berarti “keberpasangan” di samping dinamai ( كبح ) nikah yang berarti penyatuan

ruhani dan jasmani. Suami dinamai ( صوج ) zauj dan istri pun demikian.

Kata ( بث ) batstsa mengandung makna menyebarluaskan dan membagi-

bagi sesuatu yang banyak, yakni mengembangbiakkan dengan banyak. Jika Anda

berkata menyebarluaskan, maka itu mengandung makna keluasan tempat.

Kata ( السحبو ) al-arhām adalah bentuk jamak dari raḥīm, yaitu tempat

peranakan. Disanalah benih anak tinggal, tumbuh dan lahir, selanjutnya

berkembang biak. Rahim adalah yang menghubungkan seseorang dengan lainnya,

bahkan melalui rahim terjadi persamaan sifat, fisik dan psikis yang tidak dapat

diingkari. Tepatnya, Allah menjalin hubungan yang erat antar manusia. Kata (

raqīb yang diterjemahkan dengan Maha Pengawas, merupakan salah satu ( سقبب

nama Allah yang indah. Akar katanya terdiri dari huruf-huruf Rā', Qāf, dan Bā'

yang makna dasarnya adalah tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu.

Pengawas adalah Raqīb, karena dia tampil memperhatikan dan mengawasi untuk

memelihara yang diawasi.29

b) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. al-An‟ām (06): 98

يٱو جف ل ك أ نش

أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا

ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada

tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-

tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām

[06]: 98).

Surah al-An‟ām melalui ayat ini – sebagaimana pada awal surah, berbicara

tentang manusia, dari segi kesamaan asal-usulnya. Ayat ini menjelaskan bahwa

Dan selain kekuasaan yang telah diuraikan pada ayat-ayat lalu Dia juga yang

menciptakan kamu wahai ummat manusia dari seorang diri yakni Adam a.s. yang

29

M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MIṢBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 313-320.

Page 74: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

59

melalui istrinya kamu berkembang biak atau menciptakan kamu dengan jenis

yang satu, maka ada bagi tiap-tiap orang di antara kamu tempat menetap dan ada

juga tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan dengan aneka macam

cara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Kami kepada orang-orang yang

mengetahui secara dalam dan teliti.

Kata ( فظ واحذة ) nafsin wāḥidah telah diuraikan dengan sedikit rinci

pada awal QS. al-Nisā'. Di sana antara lain penulis kemukakan bahwa mayoritas

ulama memahaminya dalam arti Adam a.s. dan ada juga – seperti Syekh

Muhammad Abduh, al-Qasimi dan beberapa ulama kontemporer – yang

memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita.

Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia yang sama dari seorang

ayah dan ibu atau sperma ayah dan ovum/indung telur ibu, tetapi tekanannya pada

persamaan hakikat kemanusiaan orang perorang karena masing masing walau

berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama.30

c) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Al-A‟rāf (07): 189

جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي

أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اث ي لل اء ج

يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia

menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah

dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia

merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya

(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya

jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang

yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).

Firman-Nya: Dialah Yang menciptakan kamu wahai putra putri Adam dari

jiwa yang satu, yakni ayah kamu dan darinya, yakni dari jenis jiwa yang satu itu/

Dia menciptakan pasangannya, yakni isterinya agar dia sang ayah atau pasangan

itu merasa tenang dan cenderung hatinya kepada pasangannya. Maka setelah

30

M. Quraish Shihab, TAFSIR AL- MIṢBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 4 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 207-208.

Page 75: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

60

dicampurinya sebagaimana layaknya suami isteri, dia yakin isterinya mengandung

kandungan yang ringan, dan itu berlanjut dengannya dalam keadaan beriman

beberapa waktu lamanya. Lalu tatkala dia merasa berat setelah janin membesar

dan beralih dari nutfah ke proses selanjutnya, keduanya, yakni pasangan itu

bermohon kepada Allah, Tuhan Pemelihara dan Pelimpah karunia buat mereka

berdua seraya berkata :”Demi kekuasaan dan keagunganMu jika Engkau

menganugrahi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk kelompok

orang-orang bersyukur”. maka tatkala Dia yakni Allah Swt. menganugrahi untuk

keduanya anak yang sempurna, maka keduanya yakni pasangan itu menjadikan

bagiNya sekutu seperti berhala bintang matahari alam dan lain-lain terhadap apa,

yaitu anak yang telah dianugerahkanNya kepada keluarganya. yakni mereka tidak

bersyukur bahkan menyatakan bahwa anak itu diperolehnya bukan sebagai

anugerah dari Allah semata, tetapi berkat berhala atau hukum-hukum alam. Maka

Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Lebih lanjut rujuklah ke Q.S Al-Nisā‟ (4) : 1 banyak informasi yang dapat

ditemukan di sana.

Kata فظ واحذة nafsin wāḥidah/ jiwa yang satu memberi kesan bahwa

pasangan suami isteri hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, arah dan tujuan,

sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati” bersama. Karena jiwa suami

adalah juga jiwa isterinya.

Kata نغك انهب liyaskuna ilaiha/agar ia merasa tenang kepadanya

walaupun dari segi redaksional bermakna agar suami merasa tenang dan

cenderung hatinya kepada isterinya, tapi pada hakikatnya sebaliknya pun

demikian, yakni agar isteri tenang dan cenderung hatinya kepada suaminya.

Kata ( عك ) sakana adalah ketenangan yang didahului oleh kegelisahan.

Ia terambil dari kata yang berarti “memotong”, karena ketenangan tersebut

memotong dan mengakhiri kegelisahan.

Kata ( تغشهب ) taghasysyāhā/mencampurinya dari segi bahasa terambil dari

kata ( غش ) gasyia yang berarti menutup. Kata tersebut adalah kiasan dari

hubungan seksual. Ia dipilih bukan saja untuk menghindari kata yang tidak wajar

Page 76: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

61

untuk melukiskan hubungan suci itu, tapi sekaligus untuk menggambarkan bahwa

hubungan itu hendaknya tertutup. Sehingga tidak wajar dilakukan dalam keadaan

tanpa busana sama sekali.

Kata ( انشب ش ) al-syākirīn terambil dari kata ( شكش ) syukur yang

hakikatnya menurut pengertian agama adalah “menggunakan nikmat Allah sesuai

dengan tujuan penganugerahannya”. Mensyukuri kehadiran anak, berarti

mendidiknya dengan mengembangkan potensi-potensinya, sehingga ia dapat

mengenal Allah Tuhan Yang Maha Esa dan berguna untuk masyarakatnya.

Di atas telah dikemukakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang makna

nafsin wāḥidah. Salah satu alasan yang melemahkan pendapat bahwa yang

dimaksud adalah Adam a.s. terdapat pada penutup ayat ini yang menggunakan

bentuk jamak. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Seandainya ayat ini berbicara tentang Adam a.s. dan isterinya, tentu redaksi ini

ayat ini akan berbunyi “apa yang keduanya persekutukan”, bukan “apa yang

mereka persekutukan”. Di sisi lain Adam a.s. adalah manusia pilihan Allah, yang

tidak pernah mempersekutukan-Nya.31

d) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Luqmān (31): 28

ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam

kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu

jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.

Luqmān [31]: 28).

Ayat ini membantah dalih yang biasa diucapkan oleh kaum musyrikin

menyangkut penolakan mereka atas keniscayaan hari kiamat. “Allah menciptakan

kita bertahap, dari nutfah bertahap hingga sempurna kejadian, orang perorang

maka bagaimana bisa Dia membangkitkan kita semua sekaligus, padahal kita

31

M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MIṣBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 4 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 326-329.

Page 77: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

62

manusia begitu banyak?”. Demikian keberatan sementara kaum musyirikin yang

dibantah ayat di atas.

Penyebutan penciptaan dan pembangkitan mengandung isyarat tentang

kuasa Allah membagkitkan manusia, yakni kekuasaan-Nya mencipta adalah bukti

kekuasaan-Nya membangkitkan kembali. Bukankah membangkitkan kembali

“lebih mudah” daripada mencipta pertama kali? (Baca QS al-Rum [30]: 27).

Ayat di atas ditutup dengan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi

Maha Melihat. Penutup ayat ini dapat dipahami dalam arti bahwa dalih-dalih yang

kamu tampilkan, sikap dan kelakuan kamu yang menunjukan penolakan dan

kedurhakaan, semua di dengar dan dilihat oleh Allah Swt. Bisa juga penutup ini

merupakan dalil lain tentang kuasa-Nya membangkitkan manusia, dari sisi bahwa

keberatan kaum musyirikin tentang adanya kebengkitan adalah keterbatasan

pengetahuan Allah, dibandingkan dengan apa yang akan dihimpun dan

dibangkitkan. Orang-orang yang meninggal dunia telah bercampur bagian-bagian

badannya dengan berbagai hal yang lain. Ada yang diterkam dan ditelan binatang

atau yang telah larut dalam tanah, atau terbagi dalam berbagai lokasi. Allah

menjawab bahwa ini mudah bagi-Nya karena Dia Maha Melihat.32

e) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Al-Zumar (39): 06

جف ل ي ل خ ة و س ثحد و ع ج و ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج

ع ل ز خ م

أ ي ج و ي ة ه يلل

أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف

ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang

berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu

kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah

Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain

Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).

32

M. Quraish Shihab, TAFSIR AL- MIṢBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 11 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 152-153.

Page 78: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

63

Mayoritas ulama memahami kata (فظ واحذة) nafsin wâhidah pada ayat di

atas dalam arti Âdam as. sayyid Quthub tidak menyinggung pendapat ini tetapi

menggaris bawahi bahwa manusia memiliki tabiat yang sama, ciri-ciri yang sama,

yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain dan dia menemukan juga

bahwa semua individu dari jenis manusia terhimpun dalam kesatuan ciri-ciri itu.

Karena itu jiwa seorang manusia adalah satu dalam ratusan juta manusia yang

tersebar di persada bumi ini dan yang dicakup oleh semua generasi diseluruh

tempat dan waktu. Pasangannya pun demikian. Perempuan bertemu dengan lelaki

dalam ciri-ciri kemanusiaan yang umum, kendati terdapat perbedaan-perbedaan

dalam perincian ciri-ciri itu. Ini semua mengisyaratkan kesatuan manusia – lelaki

dan perempuan, dan mengisyaratkan pula kesatuan kehendak pencipta jiwa yang

satu itu dalam kejadian kedua jenis kelamin manusia. Demikian lebih kurang

Sayyid Quthb. Rujuk jugalah ke QS. Al-Nisâ‟(4): 1

Ayat diatas menggunakan kata (خهق) khalaqa ketika berbicara tentang

penciptaan nafs dan menggunakan kata (جعم) ja‟ala ketika menjelaskan tentang

kejadian pasangan. Setelah memperhatikan kegunaan al-Qur‟an terhadap kedua

kata tersebut, penulis memiliki kesan bahwa kata (خهق) khalaqa bisa digunakan

untuk menekankan kehebatan Allah dalam ciptaan-Nya. Dalam konteks ayat ini

adalah penciptaan nafs. Sedangkan kata (جعم) ja‟ala digunakan untuk

menekankan manfaat yang diperoleh dan harus ditarik manusia dan dijadikannya

sesuatu itu. Dalam konteks ayat di atas adalah pasangan manusia.

Berbeda-beda pendapat ulama tentang makna firman-Nya: ( هقكى خ ف بطى

ه ق خه تكى أي ق ذ خه بع ب ي ت ف ظهث ثه ) yakhluqukum min butbûni ummahâtikum

khalqan min ba‟di khalqin fi zhulumâtin tsalâtsin/dia menjadikan kamu dalam

perut ibu kamu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Tim penyusun

Tafsir al-Muntakhab yang terdiri dari sejumlah pakar Mesir, mengomentari

penggalan ayat ini lebih kurang sebagai berikut: “Ovum berada pada salah satu

indung telur wanita. Ketika mencapai puncak kematangannya, ovum akan keluar

dalam indung telur untuk kemudia ditangkap oleh salah satu tabung valub. Di

Page 79: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

64

dalam saluran valub itu, ovum kemudian berjalan menuju rahim dan baru akan

sampai ke rahim setelah berapa hari. Pada masa berjalan menuju rahim itulah,

ovum dapat dibuahi oleh sperma laki-laki. Mulailah setelah itu, masa

perkembangannya. Fase selanjutnya dialami janin di dalam rahim, di mana janin

dilapisi oleh dua pembalut, charlon yang turun membantu plasenta, dan awnion

yang langsung melapisi janin.”

Selanjutnya Tim Penyusun Tafsir al-Muntakhab mengemukakan bahwa:

Mengenai penafsiran “tiga fase kegelapan” dalam ayat ini, memang terdapat

perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Di antaranya, bahwa yang dimaksud

dengan tiga fase kegelapan itu, adalah: a) perut, rahim dan plasenta atau selaput

pembalut janin pada umumnya, b) perut, charlon dan awnion, c) Perut, punggung

dan rahim, d) indung telur, saluran valub dan rahim. Mereka pada akhirnya

berkesimpulan bahwa: “Tampaknya, pendapat terakhirlah yang paling kuat karena

merupakan tiga masa yang terpisah dan berbeda-beda tempatnya. Sedangkan

pendapat yang lain pada kenyataannya hanya menunjukan satu fase gelap pada

satu tempat dengan beberapa tingkatan. Allah sang Pencipta, telah mengisyaratkan

fakta ilmiah ini didalam kitab suci-Nya pada saat orang belum menemukan ovum

pada binatang mamalia, serta perjalanannya di dalam tubuh wanita yang jauh dari

penglihatan mata.33

f) Tafsir al-Azhar Q.S. Al-Nisā' (04): 01

ي ا ح ٱأ بٱنلاس ر ا ل ت جف ٱل ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ

و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن

ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

33

M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MIṣBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 12 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 188-189.

Page 80: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

65

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.”(Q.S. Al-Nisā' [04]: 01).

“Hai sekalian manusia! Bertakwalah kamu kepada Tuhanmu, yang telah

menjadikan kamu dari satu diri”. Seruan Tuhan pada ayat ini tertuju kepada

sekalian manusia, tidak pandang negeri atau benua, bangsa atau warna kulit.

Diperingatkan di sini dua hal, pertama supaya takwa kepada Allah, kedua supaya

mengerti, bahwa semua manusia ini, di bagian bumi yang manapun mereka

berdiam, namun mereka adalah satu saja. Tegasnya, Allah adalah Satu dan

kemanusiaanpun satu.

“Dan daripadanya dijadikan-Nya isterinya.” Yaitu dari sisi yang satu itu

jugalah ditimbulkan pasangannya, isterinya.

Baik juga juta ketahui, bahwasannya tafsir yang umum sejak dahulu, ialah

bahwa yang dimaksud dengan diri yang satu itu ialah Adam, yang daripadanya

dijadikan jodohnya. Menurut tafsiran sebagian besar ahli tafsir ialah isteri Adam

yang bernama Hawa itu Ibn Abi Syaibah dan Abd bin Humaid, Ibn Jarir, Ibn al

Mundzir dan Ibn Abi Hatim menjelaskan, bahwa mujahid memang menafsirkan

demikian. Yaitu bahwa diri yang satu itu ialah Adam dan Mujahid menafsirkan,

bahwa jodohnya dijadikan daripadanya itu ialah Hawa, yaitu dari tulang rusuk

Adam. Ibn al Mundzir dan Abd bin Humaid menjelaskan lagi, bahwa tulang rusuk

Adam itu, ialah tulang rusuk kiri yang di bawah sekali.

Menurut riwayat Abu Syaikh dari Ibn Abbas, bahwa beliau (Ibn Abbas)

menafsirkan begitu pula. Oleh sebab itu ahli-ahli tafsir yang datang dibelakangpun

menurutlah akan jejak langkah ahli-ahli tafsir yang dahulu itu, belum ada ahli

tafsir yang lama menafsirkan lain dari itu. Padahal dalam ayat yang ditafsirkan itu

sendiri tidaklah ada tersebut. Bahwa diri yang satu ini adalah Adam dan isteri atau

jodoh yang dijadikan daripadanya itu ialah Hawa. Dan tidak tersebut sama sekali

tentang tulang rusuk itu.

Sumber pertama ialah sabda Nabi yang dirawikan Bukhāri dan Muslim,

yang dahulupun ketika menafsirkan Adam dengan isterinya dalam syurga,

didalam Surat al-Baqarah telah kita salinkan. Nabi memperingatkan benar-benar,

Page 81: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

66

supaya perempuan dipelihara baik-baik, sebab dia dijadikan dari tulang rusuk,

yang kalau tidak hati-hati memeliharanya, terlampau keras dia patah dan jika

dibiarkan saja dia tetap bengkok.

Ahli-ahli ijtihad itu tidak membantah hadis yang shahih ini, tetapi belum

dapat menumpangi paham, bahwa hadits ini dapat dijadikan alasan yang tepat

untuk mengatakan bahwa Hawa terjadi dari tulang rusuk sebelah bawah, sebelah

kiri Nabi Adam.

Setinggi-tingginya yang dapat di ambil dari hadis ini hanyalah, bahwa

tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau dikerasi akan

patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan dirinya yang dibuat dari

tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk. Dan yang jelas

sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam dunia ini tidaklah terjadi dari tulang

rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya. Yang menjadi pertikaian hanyalah

tentang Hawa itu sendiri. Bukan semua perempuan.

Dan coba pulalah renungkan baik-baik ayat ini sekali lagi. Dia adalah

dasar hidup dalam membangunkan masyarakat yang bertuhan dan

berperikemanusiaan. Dasar pertama, ialah percaya kepada Allah dan bertakwa

kepadaNya. Dia yang selalu menjadi isi pertanyaan antara kamu bila berjumpa

satu sama lain. Dan di dalam bertakwa kepada Tuhan itu pulalah dibina

silaturrahim antara sesama manusia. Sebab, pada hakekatnya kita ini sejak asal

semula jadi adalah dari satu diri.

Dengan ayat pertama ini dibuka Surat Al-Nisā'. Setelah ayat ini,

dipahamkan benar-benar, lalu masuklah kepada ayat yang kedua, yaitu tentang

memelihara anak yatim, tentang beristri lebih dari satu, dan setelah itu kelak

tentang pembayaran uang mahar atau mas nikah. Kelak tentang pernikahan,

perceraian, rumah tangga, pemeliharaan anak, bahkan sampai kepada urusan

perang dan damai. Semuanya hendaklah didasarkan kepada ayat pertama surat Al-

Nisā'. Pertama Takwa kepada Allah, kedua Rahim sesama keluarga

kemanusiaan.34

34

Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IV (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 276 & 284.

Page 82: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

67

g) Tafsir al-Azhar Q.S. Al-An‟ām (06): 98

يٱو جف ل ك أ نش

أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا

ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada

tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-

tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām

[06]: 98)

Menurut kepercayaan kita orang Islam, dan sejarah Ahlul-kitab, Yahudi

dan Nasrani, bahwasannya kita manusia ini adalah berasal dari satu diri, yaitu

Nabi Adam a.s. maka diri yang satu itulah yang berkembang biak memenuhi dan

meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan bahasa dan warna kulit karena

pengaruh iklim. Kita ditumbuhkan sejak dari setetes mani, lalu berangsur tumbuh

menjadi segumpal nuthfah, kemudian itu „alaqah, kemudian itu Mudhghah,

kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia. Maka sebagaimana tumbuhnya biji

kecil, sampai menjadi pohon besar yang rindang, demikian pulalah pertumbuhan

manusia. Kemudian itu ditetapkan untuk sementara waktu tinggal di dunia ini,

setelah itu akan ditumpangkan di dalam kubur yang sunyi sampai datang masa

panggilan.

Pertumbuhan manusia yang berasal hanya dari satu jiwa itu, sehingga

sampai berkembang biak memenuhi dunia ini, ada pula ayat Allah yang patut

menjadi fikiran bagi manusia sendiri. Makhluk Allah yang bernama Insan ini,

meskipun bahan kejadiannya sama saja dengan makhluk yang lain, sama-sama

dari tanah, namun manusia adalah istimewa di antara segala yang hidup. Dia

menjadi Khalifah Allah dalam bumi. Dengan akalnya manusia itu dapat

membongkar rahasia yang disembunyikan Allah dalam bumi, sehingga bertambah

nyata kekayaan Allah itu.35

h) Tafsir Al-Azhar Q.S. Al- A‟rāf (07): 189

35

Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 290-291.

Page 83: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

68

جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج اا ل ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي

أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اء اث ي لل ج

يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia

menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah

dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia

merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya

(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya

jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang

yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).

Setelah diperingatkan kepada kita, bahwa kiamat akan datang dengan tiba-

tiba dan Rasul Saw. Sendiripun tidak diberitahu apabila akan terjadinya. Dan

setelah diterangkan pula bahwa Rasul mempunyai kewajiban menyampaikan

peringatan kepada kita, yang berupa ancaman dan kabar gembira, untuk menjadi

pegangan bagi orang-orang yang percaya, sekarang dibawalah manusia kembali

kepada memikirkan kehidupannya sendiri. Sesudah ada rasa takut kalau-kalau

kiamat akan datang dalam sekejap mata. Disuruhlah kita kembali memikirkan

dasar hidup. Menunggu datangnya kiamat kita mesti meneruskan amal, dan

manusia mesti melanjutkan hidup. Berumahtangga, beranak-cucu. Maka

berfirman Allah:

“Dialah yang telah menciptakan kamu daripada diri yang satu, dan dia

jadikan daripadanya isterinya, supaya dia merasa tenang dengan dia.”(pangkal

ayat 189)

Sudah kita ketahui ketika menerangkan Surat al-Baqarah tentang kejadian

Adam dan Hawa, dan sudah kita ketahui pula tentang diri yang satu itu pada ayat

yang pertama dari Surat al-Nisā‟‟. Di sini tidak ada salahnya kalau kita ambil

jalan yang kedua, yaitu bahwasannya manusia itu, baik laki-laki ataupun

perempuan pada dasarnya adalah satu. Satu jiwa atau satu kejadian, yang bernama

jiwa insan. Yang membedakan di antara laki-laki dan perempuan hanya sedikit

perubahan pada kelamin saja. Sebab itu, baik laki-laki maupun perempuan, pada

hakikatnya adalah satu pada asal kejadiannya. Kemudian daripada diri yang satu

itulah dijadikan yang perempuan. Kita boleh berpendapat bahwa dari yang mula

terjadi adalah Adam. Sesudah Adam terjadilah Hawa yang diambil dari sebagian

Page 84: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

69

badannya. Tetapi, kita pun boleh memahamkan bahwa yang dimaksud dengan

ayat yang tengah kita bicarakan ini ialah seluruh manusia di dunia ini, bukan

khusus Adam saja. Dari bagian diri atau jiwa atau kemanusiaan yang satu itulah

diadakan bakal istrinya. Untuk bekal istri dari seorang laki-laki tidaklah dicarikan

dari makhluk lain, melainkan dari sesama manusia juga, sekedar dirubah

kelaminnya menjadi penerima (pasif) dan jenis si laki-laki menjadi pemberi

(aktif).36

i) Tafsir al-Azhar Q.S. Luqmān (31): 28

ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam

kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu

jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.

Luqmān [31]: 28).

“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam

kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu

jiwa saja.” (pangkal ayat 28). Artinya ialah bahwa cara Allah membangkitkan

manusia kembali, setelah menempuh alam barzakh akan menempuh hari kiamat

serupa saja juga dengan ketika menciptakannya. Manusia pada mulanya dijadikan

daripada sari tanah, yaitu makan-makanan yang semuanya berasal dari tanah; baik

sayur, atau buah-buahan ataupun daging. Makanan itu yang membentuk darah.

Darah yang menyarikan mani. Mani yang jadi nuthfah bila telah tergabung mani

laki-laki dan mani perempuan, lalu dipelihara di dalam rahim; jadi nuthfah, jadi

„alaqah, jadi mudhghah. Inilah yang berangsur jadi manusia, sampai lahir ke

dunia. Maka kelak bilamana mereka akan dibangkitkan kembali dalam hidup yang

kedua kali, mereka akan timbul kembali dengan cara yang lain, yang Tuhan saja

yang tahu bagaimana caranya.

Maka dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa bagi-Nya, baik

menciptakan ataupun membangkitkannya kembali, sama saja semuanya,

36

Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IX (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 206-207.

Page 85: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

70

bagaimana terjadi pada satu orang, terjadi pula pada semua orang. “Sesungguhnya

Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” Maha mengetahui apa yang dikatakan

dan apa yang dikeluhkan oleh manusia. Maha Melihat apa yang dikerjakan dan

apa yang mereka lalaikan.37

j) Tafsir al-Azhar Q.S. Al-Zumar (39): 06

جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج

ع ل ز خ م

أ ي ج و ي ة ه يلل

أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف

ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang

berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu

kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah

Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain

Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri.” (pangkal ayat 6). Pangkal

ayat ini dapat kita renungkan lebih dalam. Kita renungkan pada diri kita sendiri

dan kesendiriannya, dalam kesatuannya. Aku ukurkan sakit senangku, sedih dan

gembiraku dengan manusia yang lain. Ternyata kerapkali apa yang terjadi pada

diri orang lain dapat aku rasakan seakan-akan pada diriku sendiri. Sebab itu pada

hakikat manusia dan perikemanusiaan itu adalah satu. Rasa menjadi manusia sama

saja di antara laki-laki dengan perempuan.

“Kemudian Dia jadikan daripadanya akan isterinya.” Yaitu bahwasannya

yang dijadikan isteri dari manusia yang laki-laki adalah sesama manusia juga.

Sebab itu maka pada hakikatnya mereka itu adalah satu. Barulah lebih sempurna

kesatuannya bilamana mereka telah bersatu. “Dan Dia menurunkan untuk kamu

delapan sepasang.” Delapan sepasang artinya ialah empat pasang; yaitu unta

seekor jantan seekor betina, sepasang. Sapi dan sejenisnya seekor jantan seekor

betina; sepasang. Domba seekor jantan dan seekor betina, sepasang. Kambing

37

Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 145-146.

Page 86: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

71

seekor jantan dan seekor betina, sepasang. Binatang-binatang itu berjantan dan

berbetina, sebagaimana manusia pun berlaki-laki dan berperempuan.

“Dia menciptakan di dalam perut ibu-ibu kamu dalam keadaan suatu

ciptaan sesudah sesuatu ciptaan.” Ciptaan pertama bergabungnya dua mani dari

dua pihak laki-laki dan perempuan lalu menjadi nuthfah. Kemudian itu

berangsurnya mani yang telah menjadi nuthfah itu menjadi segumpal darah yang

bernama „alaqah. Kemudian, berangsurnya pula segumpal darah, „alaqah itu

menjadi daging segumpal yang bernama mudghah; “Dalam kegelapan yang

tiga.” Selama dalam tiga masa itu, nuthfah, „alaqah dan mudghah, manusia yang

dalam kandungan masih dalam suasana gelap; gelap dalam rahim, gelap dalam

keluntun yang dikelilingi air (ketuban) dan gelap dalam perut ibu itu sendiri.

Meskipun keadaan telah berubah tiga kali, namun gelap masih tetap tiga lapis

sebelum lahir.38

38

Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXVI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 12-13.

Page 87: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

71

BAB IV

TELAAH PENAFSIRAN DAN ANALISIS SEMIOTIS TENTANG NAFS

WĀḤIDAH

Bab ini berisi tentang uraian penulis mengenai keseluruhan penjelasan

deskriptif-analisis dalam menafsirkan terma nafs wāḥidah yang telah

diinterpretasikan oleh para mufassir menurut semiotika Roland Barthes. Adapun

analisis ini telah dirangkum secara eksplisit dengan menerapkan teori semiotik

yang telah dirumuskan.

A. Analisis Makna Denotasi, Konotasi dan Metabahasa

Sebelum membahas konsep mitos Roland Barthes serta telaah penafsiran

tentang نفس واحدة, akan digambarkan dengan model semiotika Barthes dengan

mengetahui:

a. Makna denotasi yang merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal

yang dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan.

b. Makna konotasi, makna tingkat kedua yang tercipta dengan cara

menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih

luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi

suatu formasi sosial tertentu.

c. Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi hegemoni,

atau dengan kata lain, telah diterima sebagai hal yang “normal” dan

“alamiah”, mereka akan berfungsi sebagai peta-peta makna yang disebut

dengan mitos.

Peta Konsep Mitos Roland Barthes

C1 C2

E1 C1

E1 C1

C1 E2

Pn = C : Penanda = Isi Pt = E : Petanda = Ekspresi

Page 88: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

72

Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola dua tanda: penanda dan

petanda. Dari gambar di atas dapat dilihat kalau dalam mitos terdapat dua sistem

semiologi, di mana salah satu sistem tersebut disusun berdasarkan keterpautannya

dengan yang lain: sistem linguistik, bahasa (atau mode representasi yang

dipandang sama dengannya) yang disebut dengan istilah bahasa-objek, sebab ia

adalah bahasa yang digunakan mitos untuk membentuk sistemnya sendiri; dan

mitos itu sendiri, yang disebut dengan metabahasa, karena ia adalah bahasa

kedua.1

Dengan mengacu pada konsep semiotika Roland Barthes serta telaah

penafsiran nafs wāḥidah, maka bisa dianalisis dan ditemukan makna yang ada

pada prosesi penciptaan perempuan. Dalam hal ini, dibagi menjadi lima analisis

semiotis sesuai dengan term nafs wāḥidah yang ada dalam Al-Qur‟an sebagai

berikut:

1. Nafs Wāḥidah Pada Surah al-Nisā'[04]: 01

ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل جف ٱت ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ

و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن

ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu.”(Q.S. Al-Nisā' [04]: 01).

Seruan Allah pada ayat ini tertuju kepada sekalian manusia, tidak pandang

negeri atau benua, bangsa atau warna kulit. Diperingatkan di sini dua hal, pertama

supaya takwa kepada Allah, kedua supaya mengerti, bahwa semua manusia ini, di

1 Lina Shobariah, KONSEP MITOS ROLAND BARTHES DALAM TELAAH

EKOFEMINISME DAN TRADISI MEMACE MASYARAKAT LINGKUNGAN GEMPOL WETAN

KELURAHAN PABEAN KECAMATAN PURWAKARTA CILEGON-BANTEN (Skripsi s1 Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016) h. 40-41.

Page 89: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

73

bagian bumi yang manapun mereka berdiam, namun mereka adalah satu saja.

Tegasnya, Allah adalah Satu dan kemanusiaanpun satu.2

Denotasi nafs wāḥidah pada ayat ini adalah seorang diri (Adam).

Konotasinya adalah jenis/unsur yang sama dengan Adam.

Metabahasa; Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan

kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat dari kain,

dan kain harus lebih lembut kepada jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan

berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta

pakaian yang indah, serasi dan nyaman.

2. Nafs Wāḥidah Pada Surah al-An‟ām[06]: 98

يٱو جف ل ك أ نش

أ ة حو س ص د ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا

ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada

tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-

tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām

[06]: 98).

Pada ayat ini, bahwasannya kita manusia ini adalah berasal dari satu diri,

yaitu Nabi Adam a.s. maka diri yang satu itulah yang berkembang biak memenuhi

dan meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan bahasa dan warna kulit karena

pengaruh iklim. Kita ditumbuhkan sejak dari setetes mani, lalu berangsur tumbuh

menjadi segumpal Nuthfah, kemudian itu „Alaqah, kemudian itu Mudhghah,

kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia. Maka sebagaimana tumbuhnya biji

kecil, sampai menjadi pohon besar yang rindang, demikian pulalah pertumbuhan

manusia. Kemudian itu ditetapkan untuk sementara waktu tinggal di dunia ini,

setelah itu akan ditumpangkan di dalam kubur yang sunyi sampai datang masa

panggilan.3

Denotasi nafs wāḥidah pada ayat ini adalah seorang Diri (Adam).

2 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 313. 3 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 290.

Page 90: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

74

Konotasinya adalah diri yang satu berkembang biak memenuhi dan

meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan bahasa dan warna kulit karena

pengaruh iklim.

Metabahasa; Manusia ditumbuhkan sejak dari setetes mani, lalu berangsur

tumbuh menjadi segumpal nuthfah, kemudian „alaqah, setelah itu mudhghah,

kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia. Maka sebagaimana tumbuhnya biji

kecil, sampai menjadi pohon besar yang rindang, demikian pulalah pertumbuhan

manusia.

3. Nafs Wāḥidah Pada Surah al-A‟rāf[07]: 189

جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي

ي أ ل ا ٱتدع ى ئ ا ب ر اء اث ي لل ج

يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia

menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah

dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia

merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya

(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya

jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang

yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).

Ketika menerangkan Surat al-Baqarah tentang kejadian Adam dan Hawa,

dan sudah kita ketahui pula tentang diri yang satu itu pada ayat yang pertama dari

Surat Al-Nisā'. Di sini tidak ada salahnya kalau kita ambil jalan yang kedua, yaitu

bahwasannya manusia itu, baik laki-laki ataupun perempuan pada dasarnya adalah

satu. Satu jiwa atau satu kejadian, yang bernama jiwa insan. Yang membedakan di

antara laki-laki dan perempuan hanya sedikit perubahan pada kelamin saja. Sebab

itu, baik laki-laki maupun perempuan, pada hakikatnya adalah satu pada asal

kejadiannya. Kemudian daripada diri yang satu itulah dijadikan yang perempuan.

Kita boleh berpendapat bahwa dari yang mula terjadi adalah Adam. Sesudah

Adam terjadilah Hawa yang diambil dari sebagian badannya. Tetapi, kita pun

boleh memahamkan bahwa yang dimaksud dengan ayat yang tengah kita

Page 91: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

75

bicarakan ini ialah seluruh manusia di dunia ini, bukan khusus Adam saja. Dari

bagian diri atau jiwa atau kemanusiaan yang satu itulah diadakan bakal istrinya.

Untuk bekal istri dari seorang laki-laki tidaklah dicarikan dari makhluk lain,

melainkan dari sesama manusia juga, sekedar dirubah kelaminnya menjadi

penerima (pasif) dan jenis si laki-laki menjadi pemberi (aktif).4

Makna denotasi dari nafs wāḥidah adalah satu jiwa atau satu kejadian,

yang bernama jiwa insan.

Makna konotasinya adalah pasangan itu merasa tenang dan cenderung

hatinya kepada pasangannya. Pasangan suami isteri hendaknya menyatu menjadi

satu jiwa, arah dan tujuan, sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati”

bersama. Karena jiwa suami adalah juga jiwa istrinya.

Metabahasa; Pasangan itu merasa tenang dan cenderung hatinya kepada

pasangannya. Pasangan suami isteri hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, arah

dan tujuan, sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati” bersama. Karena

jiwa suami adalah juga jiwa isterinya.

4. Nafs Wāḥidah Pada Surah Luqmān[31]: 28

ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam

kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu

jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.

Luqmān [31]: 28).

Dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa bagi-Nya, baik menciptakan

ataupun membangkitkannya kembali, sama saja semuanya, bagaimana terjadi

pada satu orang, terjadi pula pada semua orang. Meskipun kita dapat mengetahui,

sebagaimana kejadian penciptaan itu, tetep tidak dapat ditiru. “Sesungguhnya

Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” Maha mengetahui apa yang dikatakan

4 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IX (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 206-207.

Page 92: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

76

dan apa yang dikeluhkan oleh manusia. Maha Melihat apa yang dikerjakan dan

apa yang mereka lalaikan.5

Makna denotasi nafs wāḥidah pada ayat ini adalah satu jiwa.

Makna konotasinya adalah Sari tanah, yaitu makan-makanan yang

semuanya berasal dari tanah; baik sayur, atau buah-buahan ataupun daging.

Makanan itu yang membentuk darah. Darah yang menyarikan mani.

Metabahasa; Setelah menempuh alam barzakh akan menempuh hari

kiamat serupa juga dengan ketika menciptakannya. Bagaimana terjadi pada satu

orang, terjadi pula pada semua orang. Meskipun kita dapat mengetahui,

sebagaimana kejadian penciptaan itu, tetap tidak dapat ditiru.

5. Nafs wāḥidah Pada Surah al-Zumar[39]: 06

جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج

ع ل ز خ م

أ ي ج و ي ة ه يلل

أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف

ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ٦فن ثص ف أ

“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan

daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang

berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu

kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah

Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain

Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).

Ayat ini dapat kita renungkan lebih dalam. Kita renungkan pada diri kita

sendiri dan kesendiriannya, dalam kesatuannya. Aku ukurkan sakit senangku,

sedih dan gembiraku dengan manusia yang lain. Ternyata kerapkali apa yang

terjadi pada diri orang lain dapat aku rasakan seakan-akan pada diriku sendiri.

Sebab itu pada hakikat manusia dan perikemanusiaan itu adalah satu. Rasa

menjadi manusia sama saja di antara laki-laki dengan perempuan.6

5 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 145-146. 6 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXVI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 12-13.

Page 93: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

77

Cara Allah membangkitkan manusia kembali, setelah menempuh alam

barzakh akan menempuh hari kiamat serupa saja juga dengan ketika

menciptakannya. Manusia pada mulanya dijadikan daripada sari tanah, yaitu

makan-makanan yang semuanya berasal dari tanah; baik sayur, atau buah-buahan

ataupun daging. Makanan itu yang membentuk darah. Darah yang menyarikan

mani. Mani yang jadi nuthfah bila telah tergabung mani laki-laki dan mani

perempuan, lalu dipelihara di dalam rahim; jadi nuthfah, jadi „alaqah, jadi

mudhghah. Inilah yang berangsur jadi manusia, sampai lahir ke dunia. Maka kelak

bilamana mereka akan dibangkitkan kembali dalam hidup yang kedua kali,

mereka akan timbul kembali dengan cara yang lain, yang Tuhan saja yang tahu

bagaimana caranya.7

Makna denotasi dari Nafs wāḥidah pada ayat ini adalah seorang diri

(Adam).

Adapun makna konotasinya adalah manusia memiliki tabiat yang sama,

ciri-ciri yang sama dan itu yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain.

Metabahasa; Perempuan bertemu dengan lelaki dalam ciri-ciri

kemanusiaan yang umum, kendati terdapat perbedaan-perbedaan dalam perincian

ciri-ciri itu. Ini semua mengisyaratkan kesatuan manusia – lelaki dan perempuan,

dan mengisyaratkan pula kesatuan kehendak pencipta jiwa yang satu itu dalam

kejadian kedua jenis kelamin manusia.

B. Analisis Mitos

Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Sayyid Muhammad

Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian

II:21-22) yang menyatakan bahwa, “Ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh

Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging.

Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang

perempuan.

7 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IX (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 206-207.

Page 94: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

78

Menurut kepercayaan yang sama pula, bahwasannya kita manusia ini

adalah berasal dari satu diri, yaitu Nabi Adam a.s. maka diri yang satu itulah yang

berkembang biak memenuhi dan meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan

bahasa dan warna kulit karena pengaruh iklim. Kita ditumbuhkan sejak dari

setetes mani, lalu berangsur tumbuh menjadi segumpal Nuthfah, kemudian itu

„Alaqah, kemudian itu Mudhghah, kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia.

Maka sebagaimana tumbuhnya biji kecil, sampai menjadi pohon besar yang

rindang, demikian pulalah pertumbuhan manusia.8

Tulis Rasyīd Ridhā: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam

dan Hawa dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang

menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah

akan terlintas dalam benak seorang muslim”.9

Asal-usul penciptaan Hawa, dalam konteks ini akan menelaah nafs

wāḥidah dengan menggunakan semiotika Roland Barthes. Penulis telah

menganalisis makna denotasi, konotasi dan metabahasa yang merupakan langkah

awal yang dilakukan penulis dalam menganalisis mitos Roland Barthes.

Maka pada sub bab ini, penulis akan menganalisis mitos. Dari keseluruhan

penjabaran analisis makna denotasi, konotasi dan metabahasa,, terdapat tiga

bentuk ekspresi yang dapat ditarik menjadi satu makna, sehingga lahirlah mitos:

Pasangan Adam, Hawa, menurut beberapa literatur tafsir klasik diciptakan

dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita

selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena

semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan

wanita.10

Tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau

dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan dirinya

yang dibuat dari tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk.

8 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 290-291. 9 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 315. 10

M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 313-320.

Page 95: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

79

Dan yang jelas sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam dunia ini tidaklah

terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya. Yang menjadi

pertikaian hanyalah tentang Hawa itu sendiri. Bukan semua perempuan.11

Mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan bijaksana,

karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang berbeda dengan pria,

sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak ada

yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka

akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Dari keseluruhan uraian deskriptif analisis di atas, untuk lebih dipahami

akan penulis sajikan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini.

Term

Kategori

Surah dan

Ayat dalam

Al-Qur‟an

Makna

Denotasi

Konotasi

Metabahasa

دةنفس واح

An-Nisā'[04]:

01

Seorang diri

(Adam)

Jenis yang sama

dengan Adam

Kekuatan

lelaki

dibutuhkan

oleh wanita

dan kelemah-

lembutan

wanita

didambakan

oleh pria.

Jarum harus

lebih kuat dari

kain, dan kain

harus lebih

lembut

kepada jarum.

Kalau tidak,

jarum tidak

akan

berfungsi, dan

kain pun tidak

akan terjahit.

11

Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983) h. 290-291.

Page 96: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

80

Dengan

berpasangan,

akan tercipta

pakaian yang

indah, serasi

dan nyaman.

Al-An‟ām[06]:

98

Seorang diri

(Adam)

Diri yang satu

berkembang

biak memenuhi

dan meratai

dunia, dengan

berbagai bangsa

dan bahasa dan

warna kulit

karena pengaruh

iklim.

Manusia

ditumbuhkan

sejak dari

setetes mani,

lalu berangsur

tumbuh

menjadi

segumpal

nuthfah,

kemudian

„alaqah,

setelah itu

mudhghah,

kemudian itu

lahir ke dunia

menjadi

manusia.

Maka

sebagaimana

tumbuhnya

biji kecil,

sampai

menjadi

pohon besar

yang rindang,

demikian

pulalah

pertumbuhan

manusia.

Al-A‟rāf[07]:

189

Diri yang

satu

(Adam)

Satu jiwa atau

satu kejadian,

yang bernama

jiwa insan.

Pasangan itu

merasa tenang

dan

cenderung

hatinya

kepada

pasangannya.

Pasangan

suami isteri

hendaknya

menyatu

Page 97: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

81

menjadi satu

jiwa, arah dan

tujuan,

sehingga

mereka benar-

benar sehidup

dan “semati”

bersama.

Karena jiwa

suami adalah

juga jiwa

istrinya.

Luqman[31]:

28

Satu jiwa

(Adam)

Sari tanah, yaitu

makan-makanan

yang semuanya

berasal dari

tanah; baik

sayur, atau

buah-buahan

ataupun daging.

Makanan itu

yang

membentuk

darah. Darah

yang

menyarikan

mani.

Setelah

menempuh

alam barzakh

akan

menempuh

hari kiamat

serupa juga

dengan ketika

menciptakann

ya.

Az-Zumar[39]:

06

Seorang diri

(Adam)

Manusia

memiliki tabiat

yang sama, ciri-

ciri yang sama.

Tabiat itu yang

membedakannya

dengan

makhluk-

makhluk lain.

Perempuan

bertemu

dengan lelaki

dalam ciri-ciri

kemanusiaan

yang umum,

kendati

terdapat

perbedaan-

perbedaan

dalam

perincian ciri-

ciri itu. Ini

semua

mengisyaratk

an kesatuan

manusia –

lelaki dan

perempuan,

Page 98: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

82

dan

mengisyaratk

an pula

kesatuan

kehendak

pencipta jiwa

yang satu itu

dalam

kejadian

kedua jenis

kelamin

manusia.

Mitos nafs

wāḥidah

Tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang

kalau dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap

bengkok. Jadi bukan dirinya yang dibuat dari tulang rusuk,

melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk. Dan yang jelas

sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam dunia ini tidaklah

terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya.

Yang menjadi pertikaian hanyalah tentang Hawa itu sendiri.

Bukan semua perempuan.

Makna

Mitos nafs

wāḥidah

dalam

telaah

penafsiran

Mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan

bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang

berbeda dengan pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar

pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah

kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya

akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Page 99: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

83

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di bab-bab sebelumnya, kajian ini menemukan

bahwa mengacu pada konsep semiotika Roland Barthes serta telaah penafsiran

nafs wāhidah, maka dapat dianalisis dan ditemukan makna yang ada pada asal

usul penciptaan perempuan. Dalam hal ini, dari lima analisis semiotis sesuai

dengan term nafs wāhidah yang ada dalam Al-Qur’an dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut: Denotasi nafs wāhidah adalah seorang diri (Adam). Konotasinya

adalah jenis yang sama dengan Adam, suatu genus, salah satu spesiesnya adalah

Adam dan pasangannya. Metabahasa; Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan

kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat dari kain,

dan kain harus lebih lembut kepada jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan

berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta

pakaian yang indah, serasi dan nyaman.

Kajian ini menemukan sesuatu berharga lain dari semiotika Roland

Barthes yaitu konsep mitos yang kemampuannya menguak makna universal yang

terdapat dalam al-Qur’an dengan penjelasan yang sistematis dan terstruktur,

sehingga terkuak nilai universal yang hendak disampaikan. Dengan menggunakan

perspektif semiologi Roland Barthes, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan,

yakni dari analisa mitos Roland Barthes terhadap term نفس واحدة menghasilkan

nilai-nilai universal berupa:

1. Pasangan Adam, Hawa, menurut beberapa literatur tafsir klasik diciptakan

dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-

wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan

lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari

gabungan antara pria dan wanita.

2. Tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau

dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan

dirinya yang dibuat dari tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai

Page 100: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

84

tulang rusuk. Dan yang jelas sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam

dunia ini tidaklah terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk

suaminya. Yang menjadi pertikaian hanyalah tentang Hawa itu sendiri.

Bukan semua perempuan.

3. Mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan bijaksana,

karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang berbeda dengan pria,

sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar.

Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang

berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang

rusuk yang bengkok.

B. Saran-saran

Semiotika Barthes banyak digunakan sebagai analisis iklan, pamflet, film,

majalah dan analisis teks-teks lainnya. Hal ini dipahami sebab kemunculannya

merupakan respon atas budaya-budaya borjuis di Prancis. Adapun objek material

selain teks-teks media seperti teks sastra maupun teks keagamaan masih sangat

jarang menggunakan pendekatan ini. Padahal, teks sastra dan teks keagamaan

khususnya al-Qur’an dipenuhi banyak tanda, baik itu struktur kalimat atau

struktur bahasa adalah lahan yang sangat potensial dikaji menggunakan

pendekatan semiotika Roland Barthes. Di samping itu, pendekatan ini menjadi

alternatif metode dalam kajian tafsir yang sering terjebak dengan krisis

metodologi.

Penelitian ini diharapkan menjadi stimulan bagi peneliti-peneliti di masa

yang akan datang untuk menerapkan pendekatan semiotika Roland Barthes dalam

kajian tafsir, karena pendekatan ini mampu menggali makna lebih dalam. Dengan

segala kekurangan dan kelebihannya, penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi

positif, dalam khazanah ilmu pengetahuan khususnya tafsir. Akhir kata, semoga

penelitian ini memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca.

Page 101: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

85

DAFTAR PUSTAKA

Allajji, Muhammad. Struktur Dan Semiotik Surat Hud: Analisis Strukturalisme

Dan Semiotika Dalam Al-Qur‟an. Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

Amir Piliang, Yasraf. HIPERSEMIOTIKA Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna. Bandung: Percetakan JalaSutra, 2003.

----------------. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: MATAHARI, 2010.

Arkoun, Muhammed. Kajian Kontemporer Al-Qur‟an, Penerjemah Hidayatullah,

Bandung: Penerbit Pustaka, 1998.

Baidan, Nashruddin. Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam

Al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999.

Fuad Abd Al-Baqi, Muhammad. Mu‟jam Al Mufahrash li Lafdli al-Qur‟an al-Karim.

Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembaran Suci. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Van Zoest, Aart. Semiotika (Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita

Lakukan Dengannya). Bandung: Yayasan Sumber Agung, 1993.

Elli, Jumni. Misteri Nafs al-Wahidah dalam Al-Qur‟an, Jurnal Perempuan,

Agama dan Gender Fakultas Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau.

Barthes, Roland. Elemen-Elemen Semiologi. Diterjemahkan oleh: Kahfie

Nazaruddin. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.

----------. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Diterjemahkan oleh: Ikramullah

Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.

----------. Mitologi. Diterjemahkan oleh: Nurhadi, A. dan Sihabul Millah.

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.

----------. Petualangan Semiologi. Diterjemahkan oleh: Stephanus Aswar

Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Danesi, Marcel. Pesan Tanda dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Ghazali, Abd. Moqsith, dkk., Metodologi Studi Al-Qur‟an. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2009.

Hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IV. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.

---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ VII. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.

Page 102: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

86

---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ IX. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.

---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ XXI. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.

---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ XXVI. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,

1983.

H. Hoed, Benny. SEMIOTIK & Dinamika Siosial Budaya. Depok: Komunitas

Bambu, 2014.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.

Jakarta: Paramadina, 2012.

Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Arab. Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2009.

Manzur Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Ibn. Al-Lisan al-„Arab Juz III. Kairo: Dar

al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968.

Mubarok, Husni. “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi

Roland Barthes.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2007.

Muhanif, Ali. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2002.

Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama.

Malang: UIN Malang Press, 2007.

Imron, Ali. Semiotika Al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf.

Yogyakarta: Teras, 2011.

Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan Dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap

Al-Quran. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.

--------. Toshihiko. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Al-Quran. Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1997.

Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Abu. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi

Jilid VI. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid X. Jakarta: Pustaka Azzam,

2008.

------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid XI. Jakarta: Pustaka Azzam,

2008.

Page 103: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

87

------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid XX. Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008.

------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid XXII. Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008.

Jansz, Paul dan Litza Cobley, Mengenal Semiotika for Beginners. Bandung:

Mizan, 2002.

Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES. Magelang: Yayasan

IndonesiaTera, 2001.

Makluf, Lewis. Al-Munjīd fi al-Lughah wa A‟lam. Beirut: Dār al-Masyriq, 1986.

Muhajir, Ahmad. Makna Nafs Wahidah dalam al-Qur‟an : Studi Analisis

Komparatif Penafsiran Rashid Rida dan Ibn kathir. Skripsi s1 Fakultas

Ushuluddin dan fisafat, Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya,

2017.

Muhanif, Ali, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Musṭafa al-Maraghi, Ahmad. Tafsir al-Maraghi, Jilid 2. Beirut: Dar-Fikr.

Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama.

Malang: UIN Malang Press, 2007.

Al-Qurṭubī, Imam. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,

dkk. Jilid V. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

---------------. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid, dkk.

Jilid VII. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

---------------. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid, dkk.

Jilid XIV. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

---------------. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid, dkk.

Jilid XV. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedia al-Qur‟an: tafsir sosial berdasarkan konsep

konsep kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Razi, Fakhruddin. At-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, XIV/118. Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.

Page 104: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

88

Rheinharz, Shulamit. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial. Jakarta:

Women Research Institute, 1992.

Salim, Agus. Penafsiran Ibn Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam

al-Qur‟an (Studi atas Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adzhim). Skripsi s1 Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, 2012.

Shihab, M. Quraish. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an

Volume 2. Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.

---------. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 4.

Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.

---------. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 11.

Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.

---------. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 12.

Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.

---------. Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan Umat.

Bandung: Penerbit Mizan, 2013.

Shobariah, Lina. Konsep Mitos Roland Barthes Dalam Telaah Ekofeminisme Dan

Tradisi Memace Masyarakat Lingkungan Gempol Wetan Kelurahan

Pabean Kecamatan Purwakarta Cilegon-Banten. Skripsi s1 Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

Subayu, Rony. “Al-Qur‟an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland Barthes

Sebagai Metode Penafsiran Al-Qur‟an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Sunardi, ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik, 2004.

Tamam, M. Badrut Telaah Penafsiran Nafs Wahidah dalam al-Qur‟an. Skripsi s1

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Sunan ampel

Surabaya, 2016.

Taufiq, Wildan. Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur‟an. Bandung: Penerbit

Yrama Widya, 2016.

Ulumuddin, Kisah Nabi Luth dalam al-Qur‟an; Pendekatan Semiotika Roland

Barthles. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina, 1999.

Page 105: SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH (STUDI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46877...menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Dengan metode deskriptif-analitis, kajian

89

Van Zoest, Aart. Semiotika (Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita

Lakukan Dengannya). Bandung: Yayasan Sumber Agung, 1993.

Wadud, Amina. Qur‟an Menurut Perempuan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

2006.

Zaki Mubarok, Ahmad. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-

Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur. Yogyakarta: El SAQ Press dan

TH Press, 2007.