Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH
(STUDI PENAFSIRAN Q.S. AL-NISĀ'[04]: 01, Q.S. AL-AN’ĀM[06]: 98, Q.S.
AL-A’RĀF[07]: 198, Q.S. LUQMĀN[31]: 28 DAN Q.S. AL-ZUMAR[39]: 06
PERSPEKTIF ROLAND BARTHES)
(SKRIPSI)
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Siti Zulfa
NIM: 1112034000088
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
SENIIOTIK,i',\iI,1,S IY.I H I D,4 Hrs I I Dt PF\.\FStR \\ Q.S. \t.-\tS i',J0-ll: 0t. Q.S. .\L- \\'.\\tlohl: 08.
Q.s. \L- \'R \H|l7l: r'rE. Q.S. Lt QI ir1.t1 1, 23 D \\ e.\. .\t.-ZUNI,\RI-l9l : 06 PERSPEKTIT ROL.{ND IIAR'tHES)
\\ti1'.i
Diajukan kcparla Fakultas Ushuluddill
LlDtuk Memenuhi Persyrratan Nlempcrolch
Gelar Saqana Aganra Islam (S.Ag)
Olch:
Siti Zulfa
NIM: 1l l20l:1000088
Pclnbinrbing
Kusmana. P)r.D
NIP. 19650424 199503 1001
PROGRAM STUDI ILMU AI.QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF IIIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H I 2019 M
PENCESAHAN T'.{NII'I,\ U.I I,\N
Sklipsi berjudui Sf,XIIOIIKA I\FSIR \lAt ,I l//ID.lH (SftDIPENAFSIIL{N Q.S.,\L-NIS.\'l0.ll:01, Q.s. -\L--rrN'A II llrhl: tr8, Q.s.,\t--A'RAFI07]r 198, Q.S. LUQNTAN13II: 28 D.\N Q.S. .\L-ZUllARI3gl: 06P[ltsl'EKI IF ROL,\ND BARTIIES) telah clirlikan dalam sidanr mu aqasvahFirkullas Ushuluddirl UIN S)nrif flldalratullih Jakarta pacla tanggal lL) Jurli 2019.Skripsi ini tclah ditedma sebagai saleh satu svnrat rncmperoleh gelar SarjanirAgama (S.Ag) pada Prograot Strdi IlmLr al-Qur"an dan Tattir.
Jakana, 19 Juni 2019 M.
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Aiggote, Sekretais Mcrangkap Anggotr.
Anggote,
Penguji I Penguji Il
PembLmbing
,/ .r.' / -/,--4- )' t/,*a- /
Krsm:rna. Ph.DNIP: 1965042,1 199503 l00l
19670213 1999012 001
70213199203 I 002
,/'
LE]I{BAR PEItNYATA.4.N
Dcngan ini saya menyatakan bahwa:
1. Sk.ipli i1li merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk merlenuhi
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Sya fHidayatullah Jakarta.
l. Jika di kemudian hari terbukti bahlva karya ini bukan hasil karya saya atarL
rncrupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang bcrlaku di UIN SyarifHidayatullah Jaka a.
2019
Seultotun tttiop penulis:"Gih dku tilok biso, tt\!ra\ (li tilak puutus, bi\uliu hu )o nc rotik."
Roland Bllrthes, l'hc Pl?dsurc ol Tlte T^t
iv
ABSTRAK
Siti Zulfa
SEMIOTIKA TAFSIR NAFS WĀḤIDAH
(STUDI PENAFSIRAN Q.S. AL-NISĀ'[04]: 01, Q.S. AL-AN’ĀM[06]: 98,
Q.S. AL-A’RĀF[07]: 198, Q.S. LUQMĀN[31]: 28 DAN Q.S. AL-
ZUMAR[39]: 06 PERSPEKTIF ROLAND BARTHES)
Kajian ini membahas pemaknaan nafs wāḥidah dalam proses penciptaan
perempuan yang terdapat pada Q.S. al-Nisā'[04]: 01, Q.S. al-An‟ām[06]: 98, Q.S.
al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 Dan Q.S. al-Zumar[39]: 06 dalam
perspektif Roland Barthes. Penelitian ini di angkat, didasarkan pada asumsi bahwa
sebagian penafsir memaknai terma nafs wāḥidah secara diskriminatif, dengan
menempatkan perempuan di bawah laki-laki.
Dengan metode deskriptif-analitis, kajian ini berusaha menjawab
permasalahan besar ayat-ayat tersebut, agar dapat dimaknai lebih egaliter dengan
perspektif semiotik Roland Barthes. Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam al-
Qur‟an tidak dijumpai ayat-ayat secara rinci yang menceritakan asal-usul kejadian
perempuan. Kata Hawa yang selama ini dipersepsikan sebagai isteri Adam, sama
sekali tidak pernah ditemukan dalam al-Qur‟an, bahkan keberadaan Adam sebagai
manusia pertama masih dipermasalahkan.
Pembacaan semiotis terhadap terma nafs wāḥidah dilakukan melalui dua
tahap, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik
adalah pembacaan berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi
sistem semiotik tingkat pertama (denotatif). Pembacaan retroaktif atau
hermeneutik adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua, atau
berdasarkan konvensi di atas konvensi bahasa (konotatif). Dua pembacaan
tersebut menghasilkan tingkatan makna yang berbeda. Jika pada pembacaan
heuristik term nafs wāḥidah diartikan dengan Adam, dan dhamir minha diartikan
dengan “dari bagian tubuh Adam” kata zawj diartikan dengan Hawa, isteri Adam.
Maka, pada pembacaan tingkat kedua (pembacaan retroaktif/hermeneutik) term
nafs wahidah ditafsirkan dengan “roh” (soul). Dan dhamir “ha” pada kata minha
bukan bagian dari tubuh Adam tetapi dari jins (gen), unsur pembentuk Adam.
Berdasarkan dua proses pembahasan di atas, kajian ini menemukan bahwa
penggunaan term nafs wāḥidah juga memiliki makna konotasi lain yaitu manusia
memiliki tabiat yang sama, ciri-ciri yang sama. Tabiat itu yang membedakannya
dengan makhluk-makhluk lain. Hal ini bermakna, perempuan bertemu dengan
lelaki dalam ciri-ciri kemanusiaan yang umum, kendati terdapat perbedaan-
perbedaan dalam perincian ciri-ciri itu. Ini semua mengisyaratkan kesatuan
manusia – lelaki dan perempuan, dan mengisyaratkan pula kesatuan kehendak
pencipta jiwa yang satu itu dalam kejadian kedua jenis kelamin manusia.
Selain itu, skripsi ini menemukan bahwa para pria agar menghadapi
perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang
berbeda dengan pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap
tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu..
Kata kunci: Semiotika, Tafsir, Perempuan, nafs wāḥidah, denotasi,
konotasi, metabahasa, mitos.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillāh Rabb al-‘Ālamīn, segala puji dan sujud syukur kehadirat
Allah Swt seru sekalian alam, yang tiada sekutu bagi-Nya, tiada beranak dan tiada
diperanakkan. Maha Besar Allah yang telah menciptakan bumi manusia yang
indah dan subur tempat kita hidup mencari makan, bercocok tanam dan
berkampung halaman.
Maha Kuasa Allah juga yang telah membentangkan langit biru yang indah
dan bintang-bintang gemerlapan laksana atap kita bernaung diri. Berhiaskan bulan
di angkasa raya, diperlengkapi pula dengan matahari yang memancarkan
cahayanya, penuh manfaat bagi semua makhluk di seluruh alam semesta ini. Sang
Pencipta yang telah memberikan memberikan taufiq, hidayah dan inayah-Nya.
Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dalam bentuk skripsi dengan
judul:“Semiotika Nafs Wāḥidah: Studi Penafsiran Q.S. al-Nisā'[04]: 01, Q.S.
al-An’ām[06]: 98, Q.S. al-A’rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-
Zumar[39]: 06 Perspektif Roland Barthes”.
Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada junjungan kita
dan kekasih kita, Nabi Muhammad Saw., ayahandanya Sayyidah Fatimah az-
Zahra yang mulia. Beliau diutus oleh Allah Swt untuk mengajarkan manusia
tentang akhlak mulia. Rasul pilihan yang membawa cahaya kesadaran agama,
dengan ilmu pengetahuan, agar manusia menjadi hamba yang sholeh dan
sholehah, mengabdi kepada-Nya.
Untaian salam takzim dan do‟a, semoga selalu dilimpahkan kepada
Keluarga Nabi Muhammad Saw, para sahabat Nabi dan seluruh pengikutnya
sampai akhir zaman, yang telah sunggug-sungguh berjuang total dalam
mengembangkan ajaran-ajaran Rasululah Saw. Dan semoga kelak kita
mendapatkan syafa‟at Rasulullah Saw. Amin
Muncul berbagai hambatan selama penulis menjalani studi hingga
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terasa ringan berkat pertolongan,
bantuan, motivasi dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan penghormataan yang setinggi-tingginya dengan
rendah hati menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
vi
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Lc., MA, sebagai Rektor Universitas Islam
Negeri-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA, sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, sebagai Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir dan Dra. Banun Bina Ningrum, M.Pd, selaku Sekretaris
Jusuan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Kusmana, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi
ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan arahan,
motivasi, kebaikan serta perunjuk kepada penulis dengan ikhlas demi
keberhasilan penulis.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang dengan ketabahan hati dan
kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan dan
uswatun hasanah-nya kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada kedua orang tua penulis, yakni Ayahanda H. Abdul Muhyi,
Ibunda Hj. Ummu Muhimmah, ananda haturkan banyak terima kasih
atas do‟a suci dan pengorbanan tulus yang selalu diberikan kepada
penulis. Semoga Allah Swt berkenan memberikan keberkahan,
kemuliaan hidup serta usia yang panjang. Warḥam humā kamā
rabbayānī saghīra. Āmīn Allāhumma āmīn. Dan teruntuk adikku
tersayang, Zahra Rahmania, teruskan perjuangan, jangan lelah untuk
terus menimba ilmu.
7. Kanda tercinta, yang selalu memberikan spirit, semangat, motivasi dan
inspirasi kepada penulis setiap waktu tanpa jemu. Aku hanya mampu
mengucapkan fīka raghibtu dāiman.
8. Kepada teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Angkatan 2012 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terkhusus kepada
Ningrum Lestari, Nia Hidayati, Bu Ana Maryam, Ante Lia, Nur
Ashlihah, Dll. Terima kasih untuk semua pembelajaran dan perjalanan
hidup yang sangat berharga. Semoga Allah Swt, selalu memberikan
vii
kita waktu untuk senantiasa mempererat tali persahabatan hingga
jannah-Nya, meskipun raga tak lagi bersua.
9. Komunitas The Evanger End Game, terima kasih untuk kisah klasik di
akhir masa perjuangan, terlebih diskusi menarik di setiap pertemuan,
sampai jumpa lagi kawan! dan tak lupa kepada pemilik markas Dr.
Eva Nugraha, M.Ag beserta keluarga, semoga Allah membalas segala
jasa dengan balasan yang tak ternilai harga. Jazākumullāh khairul
jazā'.
10. Terakhir, kepada semua pihak yang selalu bertanya “kapan skripsi
selesai?, kapan wisuda?” dan mengingatkan untuk menyelesaikan
tugas akhir ini tanpa membantu, penulis hanya ingin menyampaikan.
“Terlambat lulus atau lulus tidak tepat waktu bukanlah tindak kriminal,
bukanlah aib, bukan pula kejahatan kemanusiaan. Alangkah kerdilnya
jika tolak ukur kepintaran dan tingkat keberhasilan seseorang di nilai
dari siapa yang cepat lulus. Bukankah sebaik-baik skripsi adalah
skripsi yang selesai?
Penulis berharap, semoga karya tulis ini menjadi sebuah refleksi dan dapat
memberikan sumbangan keilmuan, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
pembaca yang berminat dengan karya ini. Dan dengan harapan karya tulis ini
dapat dijadikan amal shaleh bagi penulis, Āmīn Yā Rabbal-‘Ālamīn.
Ciputat, 17 Mei 2019
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iii
ABSTRAK .........................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................v
DAFTAR ISI .....................................................................................................viii
PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..........................................5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................5
D. Kajian Pustaka .............................................................................6
E. Metodologi Penelitian .................................................................9
F. Sistematika Penulisan ..................................................................10
BAB II ROLAND BARTHES DAN SEMIOTIKA
A. Roland Barthes ............................................................................12
1. Latar Belakang ......................................................................12
2. Pendidikan .............................................................................12
3. Pemikiran ..............................................................................13
B. Semiotika ....................................................................................18
1. Pengertian dan Ruang Lingkup .............................................18
2. Sejarah ...................................................................................19
C. Analisis Semiotika dalam Kajian Teks .......................................24
1. Teori Tanda Ferdinand De Saussure .....................................24
ix
2. Pragmatisme Charles Sanders Pierce ....................................26
3. Semiologi dan Mitologi Roland Barthes ...............................29
BAB III NAFS WĀḤIDAH DALAM QUR’AN DAN TAFSIR
A. Pengertian Nafs Wāḥidah ............................................................34
B. Nafs Wāḥidah dalam Al-Qur'ān ..................................................37
C. Nafs Wāḥidah menurut Mufassir .................................................39
1. Tafsir Klasik (Tafsir al-Qurṭubī dan Tafsir al-Ṭabarī) ........40
2. Tafsir Modern (Tafsir al-Miṣbāḥ dan Tafsir al-Azhar) ........54
BAB IV TELAAH PENAFSIRAN DAN ANALISIS SEMIOTIS
TENTANG NAFS WĀḤIDAH
A. Analisis Makna Denotasi, Konotasi dan Metabahasa .................72
1. Nafs Wāḥidah pada surat al-Nisā'[04]: 01 .............................73
2. Nafs Wāḥidah pada surat al-An‟ām[06]: 98 .........................74
3. Nafs Wāḥidah pada surat al-A‟rāf[07]: 198 ..........................75
4. Nafs Wāḥidah pada surat Luqmān[31]: 28 ...........................76
5. Nafs Wāḥidah pada surat al-Zumar[39]: 06 ..........................77
B. Analisis Mitos .............................................................................78s
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................84
B. Saran-Saran..................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................86
LAMPIRAN .......................................................................................................
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
berpedoman pada Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) yang pertama
kali diterbitkan pada tahun 1991 dari American Library Association (ALA) dan
Library Congress (LC).
A. PadananAksara
Berikut adalah daftar aksra Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
- - Alif ا
ba‟ B Be ب
ta‟ T Te ت
tsa‟ Ts Te dan es ث
Jim J Je ج
ha‟ ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح
kha‟ Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Dzal Dz De dan zet ذ
ra‟ R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Shad ṣ Es (dengan titik di bawah) ص
Dhad ḍ De (dengan titik di bawah) ض
tha‟ ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
zha‟ ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ
ain „ Koma terbalik di atas„ ع
xi
Gain Gh Ge dan ha غ
fa‟ F Ef ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wawu W We و
ha‟ H Ha ه
Hamzah ‟ Apostrof ء
ya‟ Y Ye ي
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Kasrah ditulis I ـ
Fathah ditulis A ـ
Dhammah ditulis U ـ
2. Vokal Rangkap
Fathah + Ya‟ Mati ditulis Ai
ditulis Bainakum بينكم
Fathah + WawuMati ditulis Au
ditulis Qaulūn قولون
xii
3. Vokal Panjang
Fathah + Alif ditulis Ā
ditulis Jāhiliyyah جاهلية
Fathah + Ya‟ Mati ditulis Ā
ditulis Yas„ā يسعى
Kasrah + Ya‟ Mati ditulis Ī
ditulis Karīm كرمي
Dhammah + WawuMati ditulis Ū
ditulis Furūḍ فروض
4. Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis dirangkap:
Ditulis „iddah عدة
5. Kata Sandang
Kata sandang, dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf yaitu
dialih-aksarakan menjadi “al”, baik itu diikuti huruf syamsiyyah maupun
qamariyyah. Contoh: al-Rijāl bukan ar-Rijāl, al-Dīn bukan ad-Dīn.
C. Singkatan
Swt. = Subḥānahu wa Ta’ālā
Saw. = Ṣalla Allāh ‘alaihi wa sallama
Ra. = Raḍiya Allāh‘anhu
QS. = al-Qur‟an Surat
HR. = Hadis Riwayat
M. = Tahun Masehi
H. = Tahun Hijriyah
xiii
W. = Tahun Wafat
h. = Halaman
b. = Bin/ Ibn
bt. = Binti
ed. = Editor
Cet. = Cetakan
T.tp. = Tanpa tempat penerbit
T.pn. = Tanpa penerbit
T.t. = Tanpa tahun
no. = Nomor
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ungkapan nafs wāḥidah dalam Q.S. al-Nisā'[04]: 01, Q.S. al-An‟ām[06]:
98, Q.S. al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-Zumar[39]: 06,
menimbulkan banyak interpretasi dengan beraneka ragam penafsiran. Ada dua
kubu besar para mufassir berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan kata nafs
wāḥidah dalam ayat ini. Pertama, mayoritas mufassir memahaminya dalam arti
Adam a.s. Pendapat ini dalam Wawasan al-Qur‟an dijelaskannya mewakili antara
lain pendapat Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Ibn Katsīr, al-Qurṭubī, al-Biqā'ī, dan Abū al-
Su„ūd.1 Pendapat yang memahami kata nafs wāḥidah dengan Adam a.s.
Kemudian berpengaruh dengan pemahaman kata selanjutnya, zaujahā, yang
secara harfiah bermakna pasangan, yaitu istri Adam yang bernama Hawa. Kedua,
pandangan Syekh Muhammad Abduh, Jamāl al-Dīn al-Qāsimī, dan beberapa
ulama kontemporer lainnya yang memahami kejadian perempuan berasal dari
sperma laki-laki dan perempuan. Argumen-argumen yang dikemukakan adalah
sebagai berikut.2 Tafsir ayat dengan ayat lain, yaitu Al-An‟ām: 98
ي ٱوهو كم نو نذف لذنشأ
ل قد دع تو ومس تقر فهس حدة و س أ م ت لقو ي ألٱنا فصذ
٩٨قهون يف “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu)
ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-
tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām:
98)
Jika kita merujuk ke penjelasan Abduh yang disebut Quraish Shihab
mewakili kecenderungan argumen ulama kontemporer yang dikemukakannya
adalah munāsabah antar bagian dalam ayat (munāsabah fî alāyah), yaitu
ungkapan wa batstsa minhumā rijālan katsīran wa nisā yang menjelaskan
1 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan
Umat (Bandung: Penerbit Mizan, 2013) h. 299 2 M. Badrut Tamam, Telaah Penafsiran Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an (Skripsi s1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Sunan ampel Surabaya, 2016) h. 6
2
penyebaran manusia dari hasil keturunan memiliki korelasi dengan kelogisan jika
kata nafs wāḥidah bukan Adam, karena penyebaran yang luas tentu berasal dari
keturunan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.3 Yang menganggap
nafs wāḥidah adalah Adam a.s., maka akan berpengaruh dengan pemahaman
selanjutnya zaujaha yang sejarah harfiah barmakna pasangan yaitu istri Adam.
Pemahaman seperti ini melahirkan pemikiran bahwa Hawa yang notabenenya
adalah perempuan, dijadikan dari unsur yang bengkok. Implikasi ini semua
menimbulkan ketidakadilan pada perempuan dalam semua kehidupan. Menurut
Nasaruddin Umar, maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk didiskusikan,
karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap dan masih menjadi misteri.
Hal itu karena mufassir memang masih berbeda pendapat, apa sebenarnya yang
dimaksud dengan diri yang satu nafs wāḥidah, siapa yang ditunjuk pada kata ganti
(dhamir) dari padanya minha, dan apa yang dimaksud pasangan zauj pada ayat
tersebut.4 Dari penjelasan tersebut maka perlunya untuk mencari solusi
penyelesaian agar sesuai dengan tujuan al-Quran.
Pemahaman terhadap al-Qur‟an yang diyakini sebagai kitab shalih likulli
zaman wa makan selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai. Pemahaman
selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam
penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Dengan begitu, tidak semua doktrin dan
pemahaman agama berlaku sepanjang waktu dan tempat, mengingat gagasan
universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa yang bersifat lokal-
kultural serta terungkap dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya dari waktu ke
waktu selalu muncul ulama-ulama tafsir yang berusaha mengaktualkan pesan-
pesan al-Qur‟an yang tidak mengenal batas akhir. Al-Qur‟an kemudian menjadi
terbuka terhadap segala kemungkinan. Pembaca akan berhadapan dengan
pluralitas signifikasi.5
Pada titik ini, Roland Barthes mengkritik pendekatan tunggal yang selama
ini merupakan cara represif yang tidak produktif. Pergeseran pusat dari perhatian
3 Wardani, Penafsiran Kontemporer Nafsul Wāḥidah, h. 64
4 M. Badrut Tamam, Telaah Penafsiran Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an, h. 34
5 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996) h.96
3
author kepada reader merupakan konsekuensi logis dari semiologi Roland
Barthes yang menekankan semiologi derajat kedua memberi peran besar bagi
pembaca untuk memproduksi makna.6
Dengan menggunakan bahasa Arab sebagai media ekspresi pesan-pesan
Tuhan kepada manusia, eksistensi al-Qur‟an tidak dipungkiri telah menjadi lahan
subur bagi kajian semiotika. Semiotika adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang
tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan
merupakan merupakan sekumpulan tanda-tanda. Secara garis besar, ranah kajian
semiotika dibagi menjadi dua, semiotika signifikasi yang digerakkan oleh
Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan semiotika komunikasi yang dipelopori
oleh Charles Sanders Pierce (1839-1914). Adapun semiotika Roland Barthes
termasuk semiotika signifikasi, karena Barthes mengadopsi teori semiotika
Saussure dengan perluasan pada semiotika tingkat keduanya.
Dalam penelitian ini, objek material yang akan penulis angkat untuk di
baca menggunakan semiotika adalah term نفس واحدة dalam Q.S. al-Nisā'[04]: 01,
Q.S. al-An‟ām[06]: 98, Q.S. al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-
Zumar[39]: 06, di mana studi penafsiran terma tersebut di tinjau dari sudut
pandang Roland Barthes.
Semiotika, menawarkan metode yang pada dasarnya bersifat kualitatif-
interpretatif, memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya,
serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik
tanda dan teks tersebut. Metode analisis teks (textual analysis) adalah salah satu
dari metode interpretatif tersebut. Akan tetapi pada pembahasannya nanti,
perluasan dari metode semiotika ini lebih bersifat kualitatif-empiris, yang
memfokuskan dirinya pada subjek pengguna teks (pembaca, penonton, pemakai).
Bapak ilmu bahasa, Ferdinand De Saussure menjelaskan tanda sebagai
kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang -seperti halnya selembar
kertas- yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi;
dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna.
6 Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES (Magelang: IndonesiaTera, 2001) h.91
Penanda Tanda
4
Berkaitan dengan piramida pertandaan Saussure ini, perlunya penekanan
semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang
mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan
adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa.7
Pembacaan terhadap terma nafs wāḥidah dilakukan melalui dua tahap,
yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah
pembacaan berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat pertama (denotatif). Pembacaan retroaktif atau hermeneutik
adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua, atau berdasarkan
konvensi di atas konvensi bahasa (konotatif). Dua pembacaan tersebut
menghasilkan tingkatan makna yang berbeda.8 Jika pada pembacaan heuristik
term nafs wāḥidah diartikan dengan Adam, dan dhamir minha diartikan dengan
“dari bagian tubuh Adam” kata zawj diartikan dengan Hawa, isteri Adam. Maka,
pada pembacaan tingkat kedua (pembacaan retroaktif/hermeneutik) term nafs
wāḥidah ditafsirkan dengan “roh” (soul). Dan dhamir “ha” pada kata minha
bukan bagian dari tubuh Adam tetapi dari jins (gen), unsur pembentuk Adam.9
Berangkat dari penjelasan di atas, penulis mencoba menawarkan
pembacaan baru dalam memahami term nafs wāḥidah yang telah diinterpretasikan
oleh para mufassir. Adapun analisis tafsir yang telah dirangkum secara eksplisit
ini, menerapkan teori semiotik Roland Barthes. Maka penulis menuangkannya
dalam sebuah skripsi yang berjudul “Semiotika Tafsir Nafs Wāḥidah (Studi
Penafsiran Q.S. Al-Nisā'[04]: 01, Q.S. Al-An’ām[06]: 98, Q.S. Al-A’rāf[07]:
198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. Al-Zumar[39]: 06 Perspektif Roland
Barthes)”.
7 Yasraf Amir Piliang, HIPERSEMIOTIKA Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna
(Percetakan Jala Sutra, Bandung: 2003) h. 258 8 Ali Imran, Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf (Teras,
Yogyakarta: Teras, 2011) h. vi 9 Agus Salim, Penafsiran Ibn Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam al-
Qur‟an (Studi atas Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adzhim), (Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, 2012) h. 96
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini terfokus pada tema yang diharapkan,
penulis membatasi pada masalah konsep semiologi Roland Barthes sebagai
pendekatan untuk membaca dan menganalisa term nafs wāḥidah pada ayat-ayat
yang terdapat terma tersebut dalam al-Qur‟an. Selama ini, terdapat
kesimpangsiuran mengenai studi penciptaan perempuan dalam al Qur‟an, karena
terdapat loncatan atau missing link dalam kisah tersebut. Al-Qur‟an bercerita
tentang asal-usul sumber manusia pertama dari “gen yang satu” (nafs al-
wāḥidah). Gen yang melahirkan spesies makhluk biologis seperti jenis manusia,
jenis binatang, dan jenis tumbuh-tumbuhan. Konsep teologi yang menganggap
Hawa/Eva berasal usul dari tulang rusuk Adam, membawa implikasi psikologis,
sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari sumber-sumber ajaran agama
mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa dijelaskan secara tuntas oleh ilmu
pengetahuan. Sehingga melalui pendekatan ini diharapkan mampu membaca dan
mengungkap pesan dari nafs wāḥidah.
Untuk mempermudah menguraikan skripsi ini, penulis membatasi masalah
yang diteliti yaitu: Roland Barthes dan semiotika, Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an
dan tafsir, telaah penafsiran dan analisis semiotis tentang Nafs Wāḥidah.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka yang jadi permasalahan
dalam penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana semiotika
Roland Barthes dapat digunakan dalam mengungkap pesan atau makna nafs
wāḥidah yang terkandung di dalam al-Qur‟an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan
sebagai berikut: Menguraikan signifikasi nafs wāḥidah di dalam tafsir al-Qur‟an,
di tinjau dari perspektif semiotika Roland Barthes.
Penelitian ini juga mempunyai manfaat sebagai berikut :
1) Pengembangan berbagai perspektif dalam ranah kajian tafsir dan
ulumul Qur‟an.
6
2) Sebagai persyaratan dalam memenuhi derajat sarjana s1 pada Fakultas
Ushuluddin Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir pada Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Adapun kajian pustaka dalam penelitian ini, terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama, seputar semiotika Roland Barthes. Kedua, seputar al-Qur‟an dan tafsir,
khususnya untuk beberapa ayat yang didalamnya terkadung term nafs wāḥidah.
Dan yang terakhir tentang semiotika al-Qur‟an. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut :
1) Kajian seputar semiotika
Adapun buku-buku yang membahas semiotika, khususnya semiotika
Roland Barthes adalah buku karya Kurniawan yang berjudul Semiologi Roland
Barthes10
. Buku ini menjelaskan pikiran-pikiran pokok semiotika Roland Barthes.
Dalam bukunya tersebut, ia mencoba mengemukakan dan menjelaskan pemikiran
Roland Barthes tentang retorika, ideologi dan mitologi. Buku selanjutnya adalah
karya Roland Barthes yang berjudul Elements of Semiology yang telah
diterjemahkan oleh Kahfie Nazaruddin ke dalam bahasa Indonesia menjadi
Elemen – Elemen Semiologi11
, elemen-elemen yang ditampilkan dalam buku ini,
dikelompokkan ke dalam empat konsep utama yang di pinjam dari linguistik
struktural yaitu bahasa dan tuturan, penanda dan petanda, sintagma dan sistem,
yang terakhir adalah denotasi dan konotasi.
2) Kajian seputar al-Qur‟an dan Tafsir
Sejauh menyangkut nafs wāḥidah dalam al-Qur‟an, terdapat sejumlah
karya ilmiah yang cukup menarik untuk membahas tema ini. Bahasan tentang nafs
wāḥidah secara teoritik dapat ditemui misalnya pada skripsi Siti Munasaroh dalam
judul “Penciptaan Perempuan dalam Al Manar”. Penelitian ini hanya meneliti
pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang hanya difokuskan pada
surat an-Nisa„ ayat 1. Sedangkan penelitian penulis ini meneliti teori yang
10
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Indonesiatera, 2001) 11
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi Penerjemah Kahfie Nazaruddin
(Yogyakarta: Jalasutra, 2012)
7
dilakukan mufassir dalam menafsirkan nafs wāḥidah dalam beberapa ayat al-
Qur‟an sekaligus membacanya dengan menggunakan metode semiotika.
Beberapa skripsi lain yang membahas tentang nafs wāḥidah adalah skripsi
M. Badrut Tamam dengan judul Telaah Penafsiran Nafs wāḥidah dalam al-
Qur‟an”.12
Ahmad Muhajir dengan skripsinya yang berjudul Makna Nafs
wāḥidah dalam al-Qur‟an : Studi Analisis Komparatif Penafsiran Rashid Rida
dan Ibn kathir.13
Agus Salim dengan skripsinya yang berjudul Penafsiran Ibn
Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam al-Qur‟an (Studi atas Tafsir
Al-Qur‟an Al-„Adzhim).14
Dari berbagai karya tulis yang ada di atas, semuanya
memiliki kesamaan pada objek material yang di bahas yaitu tentang penciptaan
perempuan dari kata nafs wāḥidah dalam al-Qur‟an.
Ada pula jurnal perempuan, agama dan gender dari Fakultas Hukum UIN
Sultan Syarif Kasim Riau yang berjudul Misteri Nafs al-Wāḥidah dalam Al-
Qur‟an15
karya Jumni Elli yang mengupas makna nafs wāḥidah dari sisi mufassir
dan ahli bahasa.
3) Kajian Seputar Semiotika Al-Qur‟an
Sementara itu penerapan teori semiotika dalam studi Islam, terutama untuk
kajian penafsiran al-Qur‟an telah banyak dilakukan, khususnya oleh para mufassir
kontemporer, bahkan oleh kaum orientalis. Hal ini sebagaimana tampak pada
karya-karya tulis mereka. Termasuk salah satunya Muhammad Syahrur, seorang
sarjana muslim kontemporer asal Syiria yang berusaha manyajikan tafsir dengan
menerapkan teori-teori linguistik modern dalam penafsiran al-Qur‟an. Ide dan
gagasannya tertuang dalam buku al-Kitab wa al-Qur‟an: Qira‟ah al Mu‟ashirah.
Walaupun teori-teori yang diusung Syahrur tidak langsung berkiblat ke arah
12
M. Badrut Tamam, Telaah Penafsiran Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an (Skripsi s1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Sunan ampel Surabaya, 2016) 13
Ahmad Muhajir, Makna Nafs Wāḥidah dalam al-Qur‟an : Studi Analisis Komparatif
Penafsiran Rashid Rida dan Ibn kathir, (Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin dan fisafat, Universitas
Islam Negri Sunan Ampel Surabaya, 2017) 14
Agus Salim, Penafsiran Ibn Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam al-
Qur‟an (Studi atas Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adzhim), (Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, 2012) 15
Jumni Elli, Misteri Nafs al-Wāḥidah dalam Al-Qur‟an, Jurnal Perempuan, Agama dan
Gender Fakultas Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau
8
barat. Tapi implementasi menunjukkan kesamaan dengan proses kerja semiotika
yang dikembangkan oleh pemikir barat.
Di Indonesia sendiri dapat ditemukan beberapa upaya mengkaji teks al-
Qur‟an dengan semiotika dalam bentuk skripsi, Muhammad Allaji dengan
judulnya “Struktur Dan Semiotik Surat Hud (Analisis Strukturalisme Dan
Semiotika Dalam Al-Qur‟an)”.16
Dalam skripsi tersebut penulis menerapkan teori
semiotik Roland Barthles untuk menganalisis surah Hud yang ada dalam al-
Qur‟an. Hampir serupa dengan Ulumuddin yang membahas “Kisah Nabi Luth
dalam al-Qur‟an; Pendekatan Semiotika Roland Barthles”.17
Analisis yang
dilakukannya melakukan dua langkah pembacaan yaitu pembacaan heuristik dan
pembacaan retroaktif.
Adapun kajian lain yang menggunakan semiotika adalah Ali Imran dalam
tesisnya “Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf”.18
Objek kajian dalam karya ini sama-sama menggunakan kandungan ayat-ayat suci
dari al-Qur‟an, perbedaannya adalah penulis hanya menggunakan term nafs
wāḥidah pada surat yang berbeda-beda, sedangkan karya tersebut menggunakan
satu surat penuh yaitu surat Yusuf. Di samping itu, kesamaan secara metodologis,
juga menggunakan pendekatan semiotika. Namun, yang membedakan adalah
tokoh yang dijadikan acuan. Ali Imran cenderung berkiblat pada teori Charles
Sanders Pierce, sedangkan penulis menggunakan semiotika Roland Barthes
sebagai pisau bedah analisanya. Perbedaan frame of reference tersebut berimbas
pada teori, metode dan cara kerjanya. Seperti yang telah diketahui bersama, Pierce
lebih menekankan produksi tanda secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa
akhir (semiosis). Sementara Barthes menekankan analisa mitosnya. Dari
perbedaan tersebut, kemungkinan akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Dari sisi pustaka tersebut, sepanjang pengamatan penulis belum ada yang
membahas tentang penafsiran nafs wāḥidah yang dianalisa menggunakan metode
16
Muhammad Allajji, Struktur Dan Semiotik Surat Hud: Analisis Strukturalisme Dan
Semiotika Dalam Al-Qur‟an (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014) 17
Ulumuddin, Kisah Nabi Luth dalam al-Qur‟an; Pendekatan Semiotika Roland Barthles
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013) 18
Ali Imran, Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf (Teras,
Yogyakarta: Teras, 2011)
9
semiotika. Dengan begitu jelas posisi dan kontribusi penelitian ini di tengah
karya-karya monumental cendekiawan muslim kontemporer yang menerapkan
teori semiotika dalam studi keislaman.
E. Metodologi Penelitian
1) Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan
data-data kepustakaan (library research), karena yang menjadi objek utama dalam
penelitian ini adalah penafsiran atas teks al-Qur‟an. Maka penulis akan
berkonsentrasi untuk mendapatkan dan mengelola data-data pustaka, baik
berbentuk buku, jurnal, ataupun artikel yang berhubungan dengan teori-teori
semiotika yang nantinya akan digunakan untuk mengkaji tafsir nafs wāḥidah pada
ayat tersebut.
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Akademik Program
Strata 1 2012-2013 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2) Sumber Data
Sumber data dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Data primer
adalah tafsir-tafsir klasik dan modern. Yakni, tafsir al-Qurṭubī dan tafsir al-Ṭabarī
dalam kategori tafsir klasik. Tafsir al-Miṣbāh dan tafsir al- Azhar pada kategori
tafsir modern. Sedangkan, data sekunder adalah buku-buku yang berkaitan
tentang semiotika Roland Barthes.
3) Objek dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, objek material yang akan penulis angkat untuk di
baca menggunakan semiotika adalah term نفس واحدة dalam Q.S. al-Nisā'[04]: 01,
Q.S. al-An‟ām[06]: 98, Q.S. al-A‟rāf[07]: 198, Q.S. Luqmān[31]: 28 dan Q.S. al-
Zumar[39]: 06, di mana studi penafsiran terma tersebut di tinjau dari sudut
pandang Roland Barthes. Sedangkan, objek formalnya adalah analisis semiotik
Roland barthes terhadap term nafs wāḥidah pada penafsiran ayat-ayat di atas.
Pembacaan terhadap terma nafs wāḥidah dilakukan melalui dua tahap,
yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah
pembacaan berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi sistem
10
semiotik tingkat pertama (denotatif). Pembacaan retroaktif atau hermeneutik
adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua, atau berdasarkan
konvensi di atas konvensi bahasa (konotatif). Dua pembacaan tersebut
menghasilkan tingkatan makna yang berbeda.19
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semiotika.
Semiotika, menawarkan metode yang pada dasarnya bersifat kualitatif-
interpretatif, memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya,
serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik
tanda dan teks tersebut. Metode analisis teks (textual analysis) adalah salah satu
dari metode interpretatif tersebut. Akan tetapi pada pembahasannya nanti,
perluasan dari metode semiotika ini lebih bersifat kualitatif-empiris, yang
memfokuskan dirinya pada subjek pengguna teks (pembaca, penonton, pemakai).
4) Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara deskriptis-analitis,
yakni menjelaskan tafsir nafs wāḥidah dari tafsir-tafsir al-Qur‟an yang ada baik
klasik ataupun modern lalu dianalisis menggunakan semiotika Roland Barthes
untuk kemudian dieksplorasi dan diberikan kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah (sisthematic),
menyeluruh (comprehensive), dan terpadu (coheren). Maka skripsi ini disusun
menjadi lima bab yang terbagi ke dalam beberapa sub-bab, dengan sistematika
sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahulan yang mengantarkan kita kepada
pembahasan secara keseluruhan. Bab ini terdiri atas enam sub-bab, yaitu: Latar
belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini
berusaha memberikan gambaran umum mengenai masalah yang akan dibahas
pada bab-bab selanjutnya.
19 Ali Imran, Semiotika al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusuf (Teras,
Yogyakarta: Teras, 2011) h. vi
11
Bab kedua berisi tentang pengertian dan ruang lingkup semiotik Roland
Barthes secara umum dan menyeluruh, konsep-konsep semiotika yang di
kembangkannya, serta kajian teks dalam semiotika. Bab ini menjelaskan bahwa
teori semiotika Roland Barthes terdiri dari dua penandaan. Semiotika tingkat
pertama yang menjadi penanda dari nafs wāḥidah. dan semiotika tingkat kedua
yang menjadi petanda dari nafs wāḥidah.
Bab ketiga berisi tentang penafsiran term nafs wāḥidah dalam al-Qur‟an
menurut para mufassir, baik itu mufassir klasik maupun mufassir kontemporer.
Dalam bab ini diuraikan penjelasan tentang nafs wāḥidah sesuai dengan konvensi
bahasa yang merujuk pada tafsir-tafsir secara keseluruhan, yang nantinya akan
dijadikan rujukan untuk penafsiran semiotis dalam bab empat.
Bab keempat berisi tentang uraian keseluruhan penjelasan deskriptif-
analisis dalam menafsirkan term nafs wāḥidah yang telah diinterpretasikan oleh
para mufassir. Adapun analisis tafsir ini telah dirangkum secara eksplisit dengan
menerapkan teori semiotik Roland Barthes yang telah dirumuskan di bab dua.
Bab kelima penutup atau kesimpulan. Bab ini menjawab masalah
penelitian dan memberikan koherensi penelitian lebih lanjut atau kemampuan
pragmatis untuk penelitian ini.
12
BAB II
ROLAND BARTHES DAN SEMIOTIKA
A. Roland Barthes
1. Latar Belakang
Roland Barthes lahir di tahun 1915 dari keluarga kelas menengah
Protestan di Cherboug, dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di
sebelah barat daya Perancis dan Paris. Ayahnya seorang perwira Angkatan Laut
yang terbunuh dalam tugas saat usianya belum genap satu tahun. Sepeninggal
ayahnya, ia kemudian di asuh oleh ibu, kakek dan neneknya.1
Barthes hobi bermain piano karena bibinya adalah seorang guru piano,
sehingga dia dapat bermain piano kapan pun dia suka. Masa hidupnya dilatari oleh
budaya borjusi dan dia sering mendengarkan para nyonya bergosip waktu minum
teh. Ketika berusia sembilan tahun, dia pindah ke Paris bersama ibunya yang
bergaji kecil sebagai penjilid buku.
2. Pendidikan
Pada tahun 1954, Barthes berencana masuk Ecole Normale Superiure,
tetapi penyakit TBC terlebih dahulu menghinggapinya, sehingga dia harus berobat
ke Pyrenees. Setahun kemudian dia kembali ke Paris dan masuk universitas
Sorbonne dengan mengambil studi bahasa Latin, sastra Perancis dan klasik
(Yunani dan Romawi). Selama kuliah, Barthes sempat menampilkan drama-drama
klasik bersama kelompok yang dibentuknya. Ketika perang di mulai pada tahun
1939, Barthes dibebastugaskan dan bekerja di Lycees di Biarritz dan Paris.
Pada tahun 1955, TBC nya kumat lagi, maka selama lima tahun dia berada
di sanatorium Alps. Selama itu dia mengaku sebagai seorang Marxian dan
Sartrean. Kemudian, Barthes diposisikan menjadi pengajar luar negeri; pertama di
Rumania kemudian di Mesir tempat dia diajari linguistik modern oleh seorang
1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013) h.
63.
13
mitranya, Algirdas Julien Greimas, ia mengajar di Ecole des Hautes Etudes en
Sciences Sociales.2
Sekembalinya ke Perancis, dua tahun dia bekerja di Centre National de
Recherche Scientifique (Pusat Nasional untuk Penelitian Ilmiah) divisi pelayanan
budaya pemerintah yang memperhatikan pengajaran ke luar negeri. Melalui
lembaga penelitian ini, Barthes banyak mengabdikan dirinya dalam pelbagai
penelitian di bidang sosiologi dan leksikologi, di sini dia banyak menulis tentang
sastra.3
Pada tahun 1952, Barthes mendapat beasiswa untuk mengerjakan tesis
leksikologi (tentang kamus debat sosial di awal abad XIX). Dia membuat sedikit
kemajuan pada tesisnya, tetapi dia malah mempublikasikan dua kritik sastra: Le
Degree Zero de l’Ecriture (1953) yang mengkritik kebudayaan borjuis dan
Michelet par Lui-Meme (1954). Tahun 1956 dia membaca Kursus Linguistik
Umum Saussure dan mulai menyadari kemungkinan untuk menerapkan semiologi
di bidang-bidang lain. Namun, berbeda dengan Saussure, Barthes beranggapan
bahwa semiologi termasuk linguistik dan tidak sebaliknya.4
Pada tahun 1960, Barthes menjadi asisten dan kemudian menjadi
Directeur d’Etudes (direktur studi) dari seksi keenam Ecole Pratique des Hautes
Etudes, sambil mengajar tentang sosiologi tanda, simbol, dan representasi kolektif
serta kritik semiotika. Pada 1976, Barthes di angkat sebagai professor untuk
“semiologi literer” di College de France. Dan tepat pada tahun 1980, dia
meninggal pada usia 64 tahun, akibat di tabrak mobil dijalanan Paris sebulan
sebelumnya.5
3. Pemikiran
Menurut Barthes, domain tanda menempati tempat yang sangat luas
dengan kompleksitas makna yang diwakilinya. Heterogenitas dan kompleksitas
tanda ini disinyalir Barthes dalam paparannya bahwa:
2 Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES (Magelang: IndonesiaTera, 2001) h. 43
– 45. 3 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64.
4 Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES, h. 44.
5 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 64.
14
“The world is full of signs, but these signs do not all have the fine
simplicity of the letters, of the alphabet, of highway signs, or military uniforms:
they are infinitely more complex”.6
Merujuk pada tesis Barthes ini, setiap sesuatu yang terkait dengan
kebudayaan manusia dapat diposisikan menjadi sebuah tanda.
a) Penanda (Signifier), Petanda (Signified), dan Signifikasi (Signification)
Menurut Barthes, tanda (sign) merupakan satuan dasar bahasa yang
tersusun dari dua relata yang tidak terpisahkan, yaitu citra-bunyi (acoustic image)
sebagai unsur penanda (signifier), dan konsep sebagai petanda (signified).7
Hakikat penanda (signifier) sama saja dengan petanda (signified), secara murni
adalah sebuah relatum yang batasannya tak dapat dipisahkan dari petanda
(signified). Substansi penanda (signifier) senantiasa bersifat material, baik berupa
bunyi-bunyi, objek-objek, imaji-imaji dan sebagainya.8 Sementara itu, petanda
(signified) merupakan aspek mental dari tanda-tanda, yang biasa juga disebut
konsep (concept). Petanda (signified) bukanlah sesuatu yang diacu oleh tanda
(sign), melainkan semata-mata representasi mental dari apa yang diacu.9
Terminologi yang digunakan Barthes dalam mendeskripsikan fenomena
tanda (sign) pada sistem semiologi tingkat pertama adalah bentuk (form),
substansi (concept), dan signifikansi (signification). Pada sistem semiotika tingkat
kedua, Barthes menggunakan term penanda (signifier), petanda (signified), dan
signifikasi (signification). Bentuk (form) yang dalam semiologi tingkat pertama
merupakan aspek material, bentuk akuistis, sama posisinya dengan penanda
(signifier) pada tingkat kedua. Sedangkan substansi (concept) yang pada tingkat
pertama didefinisikan sebagai aspek mental, citra akuistis, sama posisinya dengan
6 Dunia ini penuh dengan tanda-tanda, tetapi tanda-tanda ini tidak semuanya punya
kesederhanaan murni, dari huruf-huruf, alphabet, tanda lalu lintas, atau seragam militer: mereka
secara tak terbatas lebih kompleks. Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 81-82. Roland
Barthes, The Semiotic Challege (New York: Hill and Wang, 1948) h. 158. 7 Dikotomi tanda menjadi signifier dan signified bukanlah gagasan murni Roland Barthes,
melainkan gagasan Ferdinand De Saussure. Lihat Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2006) h. 46-47. Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 30-31. 8 Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, (Jogjakarta: Jalasutra, 2012) h. 38-39. Lihat
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 58. 9 Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, (Jogjakarta: Jalasutra, 2012) h. 42-44. Lihat
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h. 57.
15
petanda (signified).10
Signifikansi (signification) pada tingkat pertama sama
dengan signifikansi (signification) pada tingkat kedua. Perbedaan diantara
keduanya hanya terletak pada mekanisme kerja, dimana pada sistem semiologi
tingkat kedua mengalami dinamika yang cukup signifikan dengan terjadinya
proses deformasi pada salah satu aspeknya.11
Menurut Barthes, bentuk (form) adalah apa yang dapat dilukiskan secara
mendalam, sederhana dan koheren (kriteria epistemologis) oleh linguistik tanpa
melalui premis ekstra linguistik. Sedangkan substansi (concept) adalah
keseluruhan rangkaian aspek-aspek fenomena linguistik yang tidak dapat
dilukiskan secara mendalam tanpa melalui premis ekstra linguistik.12
Barthes mencontohkan dengan kata “a bunch of roses”. A bunch of roses
itu menjadi penanda (signifier) dan gairah (passion) adalah petanda (signified).
Pada level analisis, kombinasi keduanya menghasilkan istilah ketiga; seikat
mawar sebagai sebuah tanda (sign). Sebagai sebuah tanda (sign), penting
dipahami bahwa seikat mawar itu sungguh-sungguh berbeda dari seikat mawar
sebagai penanda (signifier), seikat mawar adalah kosong. Sedang sebagai tanda
(sign), seikat mawar itu penuh.13
Jika digambarkan dalam bentuk diagram, maka konsep sistem tanda yang
dikemukakan oleh Barthes dapat disusun sebagai berikut:
Tanda (Sign)
Bentuk (Form) Substansi (Concept)
Citra Bunyi Konsep
Barthes tidak menekankan aspek aktif dari penanda dalam menunjuk
petanda, melainkan hubungan aktif (act) dari keduanya, yang diistilahkannya
10
Teori ini Barthes adopsi dari Louis Hjelmslev, seorang Saussurean dari Denmark. Lihat
ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002) h. 50. 11
Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill and Wang, 1983) h. 114. 12
The form is what can be described exhaustively, simply and coherently
(epistemological criteria) by linguistics without resorting to any extralinguistic premise; the
substance is the whole set of aspects of linguistic phenomena which cannot be described without
resorting to extralinguistic premise. Roland Barthes, Elements of Semiology, h. 40. Lihat
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h.56. 13
Roland Barthes, Mythologies, h. 113. Lihat Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, h.
22.
16
dengan signifikasi (signification).14
Jadi, sebuah fungsional tanda dapat dilihat
dalam proses signifikasinya (signification). Merupakan ranah di mana tanda (sign)
menjelma menjadi tanda (sign), karena petandanya (form) berdampingan dengan
penandanya (concept). Suatu form, yang dapat berupa tanda-tanda linguistik
maupun tanda-tanda di luar non linguistik (other than language) menyatu dengan
concept dalam proses relasi yang bernama signification.15
Signifikasi (Signification)
Bentuk (Form) Substansi (Concept)
Signifikasi bisa dikonsepkan sebagai suatu proses. Signifikasi adalah akta
(tindakan) yang menyatukan penanda dan petandanya, akta yang menjadi
produknya adalah sign. Distingsi ini tentu saja hanya memiliki nilai klasifikator
(dan bukan nilai fenomenologis). Pertama, karena penyatuan penanda dan petanda
tidak menghabiskan akta semantis, sebab signe juga memiliki nilai lewat
hubungannya dengan tanda-tanda lain disekelilingnya. Selanjutnya, distingsi ini
hanya memiliki nilai klasifikator karena untuk melahirkan tanda, pikiran tidak
melakukannya lewat konjungsi melainkan lewat pemotongan (decoupage).
Sebenarnya signifikasi (semeiosis) bukanlah menyatukan makhluk-makhluk
unilateral, signifikasi tidak mendekatkan dua terma, sebab penanda dan petanda
masing-masing adalah sekaligus terma dan hubungan. Ambiguisitas ini menjadi
persoalan bagi representasi grafis untuk signifikasi, padahal representasi ini harus
ada dalam diskursus semiologis.16
b) Trilogi Hubungan Tanda
Makna suatu tanda bukanlah “innate meaning” (makna bawaan, alamiah,
tak berubah) melainkan dihasilkan lewat sistem tanda yang dipakai dalam
kelompok orang tertentu (jadi historis). Dalam sistem tanda, suatu tanda dapat
menghasilkan makna karena prinsip perbedaan (difference). Dengan kata lain,
makna dihasilkan oleh sistem perbedaan atau sistem hubungan tanda-tanda. Oleh
14
ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002) h. 49. 15
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 82-83. 16
Roland Barthes, PETUALANGAN SEMIOLOGI (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR,
2007) h. 46-47.
17
karena itu, dalam analisis semiotik, sistem hubungan ini menduduki tempat yang
tempat penting, karena tugas analisis semiotik adalah merekonstruksi sistem
hubungan yang secara kasat mata tidak kelihatan.
Sejalan dengan prinsip perbedaan dan hubungan tersebut, kita bisa melihat
tiga macam hubungan serta tiga kesadaran dan tiga corak gejala budaya yang
dihasilkan oleh masing-masing hubungan tersebut. Barthes, sebagaimana kita
baca dalam tulisan “The imagination of the sign” (1962), menyebut ketiga
hubungan tersebut sebagai hubungan simbolik, hubungan paradigmatik, dan
hubungan sintagmatik. Hubungan paradigmatik dan hubungan sintagmatik
merupakan temuan Saussure, sementara relasi simbolik merupakan hasil dari
refleksi Barthes sekaligus dekonstruksi terhadap semiologi yang telah
diketengahkan oleh Saussure.
Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan dirinya sendiri
(hubungan internal); hubungan paradigmatik adalah hubungan tanda dengan tanda
yang lain dari satu sistem atau satu kelas, dan hubungan sintagmatik adalah
hubungan tanda dengan tanda lain dari satu struktur (kedua macam hubungan
terakhir ini disebut juga hubungan eksternal).
Hubungan simbolik juga ia sebut sebagai koordinat simbolik dan dua
lainnya adalah koordinat klasifikasi atau koordinat taksonomik. Setiap tanda atau
objek selalu masuk ke dalam persilangan dua koordinat ini. Macam-macam
hubungan ini merupakan pengetahuan dasar yang harus kita ketahui dalam
semiotika. Dalam mempelajari semiotika Saussurean (khususnya sebagaimana
yang dikembangkan oleh Barthes) orang biasanya hanya terfokus pada dua
macam hubungan terakhir (paradigmatik dan sintagmatik). Padahal dalam
perjalanan semiotiknya, di kemudian hari, Barthes lebih tertarik pada hubungan
yang pertama (simbolik). Sehungga dia terkesan (dilihat dari konsepnya tentang
tanda) lebih ortodoks, pra-Saussurean.17
17
ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002) h. 45-46.
18
B. Semiotika
1. Pengertian dan Ruang Lingkup
Semiotika berasal dari bahasa Inggris semiotics18
. Semiotics menurut
Hornby adalah: “The study of signs and symbols and of their meaning and use”
(kajian tanda-tanda dan simbol-simbol, juga makna dan penggunaannya). Kata
semiotics diambil dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda atau seme yang
berarti penafsir tanda.
Berikut ini sejumlah definisi semiotika (semiologi) yang dilontarkan para
ahli, termasuk dua pendirinya, Charles S. Pierce dan Ferdinand de Saussure.
a) Charles S. Peirce dalam Hawkes mengungkapkan bahwa batasan
semiotika adalah sebagai berikut: “Logic, in its general sense, is as I believe I
have shown, only another name of semiotics, the quasi-necessary, or formal
doctrine of sign”. (Dalam pengertiannya yang umum, logika – sebagaimana yang
saya yakini dan saya tujukkan – merupakan nama lain dari semiotika, yaitu
doktrin tanda yang “pura-pura penting” atau doktrin tanda yang formal). Lebih
lanjut Pierce menjelaskan bahwa yang dimaksud doktrin tanda adalah tanda yang
lahir dari pengamatan kita terhadap sifat-sifat tanda yang betul-betul kita ketahui.
Pengamatan tersebut kita sebut suatu abstraksi. Kita dapat mengatakan bahwa
pengamatan tersebut bisa saja salah. Untuk itu, pada pengertian lain, kita
tambahkan kata “tidak penting” (pura-pura penting) untuk sesuatu yang mesti
menjadi sifat-sifat semua tanda yang digunakan oleh inteligensi saintifik
(kecerdasan ilmu pengetahuan) atau kecerdasan untuk dapat belajar lewat
pengalaman.
b) Ferdinand de Saussure mendefinisikan semiologi sebagai suatu
ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Ilmu ini merupakan
bagian dari psikologi sosial. Sedangkan linguistik merupakan cabang dari
semiologi.
18
“S” pada semiotic(s) bukanlah morfem jamak pada kata book(s). “S” pada semiotics
merupakan singkatan dari science (ilmu), sebagaimana pada economics, mathematics dan
sebagainya. Lihat Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an (Bandung:
Penerbit Yrama Widya, 2016) h. 1
19
c) Aart van Zoest mendefinisikan semiotika sebagai cabang ilmu
yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan
tanda.
d) Umberto Eco, ahli semiotika mazhab Peircean, memberi batasan
semiotika sebagai berikut: “Semiotics is concerned with everything that can be
taken as a sign. Semiotics in principle is the discipline studying everything which
can be used in order to lie.” (Semiotika adalah ilmu tentang segala sesuatu yang
dapat di anggap sebagai tanda. semiotika juga pada prinsipnya mempelajari segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk mengelabui atau berbohong). Lebih lanjut
Eco menegaskan, jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengekspresikan
kebohongan, maka ia juga tidak bisa di pakai untuk mengekspresikan kebenaran.
Dengan kata lain, ia tidak bisa digunakan untuk mengungkapkan apa-apa.
e) Hjlemslev, linguis Denmark dan merupakan pengikut Saussure,
mendefinisikan semiotika sebagai berikut: “Semiotics is a hierarchy, any of
whose components admits further analysis into classes defined by mutual
relation.” (Semiotika merupakan sebuah hirarki, yang komponen-komponennya
bisa dianalisis lebih jauh ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan lewat hubungan
antar komponen).
f) Roland Barthes, pengembang semiotika Saussure, memberi batasan
semiologi dengan ilmu tentang bentuk-bentuk. Oleh karena itu, menurut Barthes
mempelajari “pertandaan” terlepas dari kandungannya.19
2. Sejarah
Semiotika telah dirintis sejak zaman Yunani kuno oleh kedua filsuf besar,
yaitu Plato (428-348 SM) dan muridnya Aristoteles (384-322 SM). Kajian
semiotika terdapat dalam karya Plato, Cratylus yang mengkaji asal usul bahasa.
Pemikiran semiotik Plato dalam Cratylus dapat diringkas sebagai berikut: (1)
tanda-tanda verbal, apakah natural (alamiah) atau konvensional (kesepakatan)
tidak akan mewakili penuh atas sesuatu, (2) kajian tentang kata yang tidak
19
Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an (Bandung: Penerbit
Yrama Widya, 2016) h. 1-2
20
mengungkap apa-apa tentang asal-usul segala hal sejak alam ide, yang terpisah
dari representasinya dalam bentuk kata, (3) pengetahuan dimediasi dengan tanda
secara tidak langsung dan tanda merupakan bagian bawah dari pengetahuan.
Semiotika juga ditemukan dalam karya Aristoteles, Poetics dan On
Interpretation.20
Sejak zaman Yunani, tanda telah menjadi perdebatan sebagaimana yang
dilakukan oleh penganut mazhab Stoik dan kaum Epikurean di Athena kira-kira
abad 300 SM. Inti perdebatan mereka berkaitan dengan perbedaan antara “tanda
natural” (yang terjadi secara alami) dan “tanda konvensional” (yang khusus di
buat untuk komunikasi). Bagi kaum Stoik, tanda paling utama adalah apa yang
sekarang di kenal dengan gejala medis. Selanjutnya, gejala penyakit menjadi
model bagi studi-studi tanda di zaman klasik.21
Pada tahun 330-264 SM, masalah semiotika telah di kaji oleh Zeno, filsuf
aliran Stoa yang berasal dari Kition di pulau Cyprus. Zeno melakukan penelitian
tanda-tanda tangis dan tawa. Penelitiannya ini menghasilkan perbedaan tanda dari
aspek penanda dan petandanya. Hasil pengamatan Zeno, tangis seseorang yang
terlihat dalam bentuk penampilannya merupakan penandanya. Hal itu disebabkan
ekspresi tangis secara cepat dapat diamati melalui gerak, penampilan, suara dan
nadanya. Di balik ekspresi lahiriah itu terdapat makna, maksud dan tujuan
menangis adalah petandanya.22
Pada abad pertengahan, St. Agustinus (354-430 SM) mengembangkan
teori tentang signa data. Teorinya ini di anggap sebagai teori tanda pertama. Ia
membagi tanda menjadi tanda alamiah dan tanda konvensional. Tanda alamiah
adalah tanda yang ditemukan di alam, seperti gejala fisik, pergesekan daun-daun,
warna tumbuhan, dan sinyal yang dikeluarkan binatang untuk merespons keadaan
fisik dan emosional tertentu. Sedangkan tanda konvensional adalah tanda yang di
buat manusia, seperti kata, isyarat dan symbol. St. Agustinus menegaskan bahwa
20
Paul, Jansz dan Litza Cobley, Mengenal Semiotika for Beginners (Bandung: Mizan,
2002) h. 4 21
Paul, Jansz dan Litza Cobley, Mengenal Semiotika for Beginners, h. 5-6 22
Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an (Bandung: Penerbit
Yrama Widya, 2016) h. 7
21
tanda konvensional akan memenuhi kebutuhan psikologis fundamental manusia,
sehingga dapat mengurai dan mengingat dunia. St. Agustinus juga mengenalkan
tanda suci seperti mukjizat sebagai tanda yang memuat pesan Tuhan. Tanda ini
dapat dipahami melalui keimanan. Ia menandaskan bahwa keseluruhan proses
memahami makna sebuah tanda, sebagiannya berdasarkan konvensi sosial dan
sebagian lainnya berdasarkan reaksi individual terhadap konvensi tersebut.
Pemikiran Agustinus ini tidak di kenal hingga abad ke-11, ketika minat terhadap
kajian tanda dibangkitkan kembali oleh para sarjana Arab yang telah
menerjemahkan karya-karya filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles. Gerakan
mereka di kenal dengan skolastisisme. Dengan Aristoteles sebagai sumber
inspirasinya, mereka menyatakan bahwa tanda menangkap kebenaran dan bukan
mengonstruksi kebenaran.
Gerakan tersebut mendapat pengikut yang dinamakan kaum nominalis.
Mereka berargumen bahwa kebenaran adalah pandangan subjektif dan tanda
hanya dapat menangkap kebenaran manusia yang ilusif dang sangat beragam. Di
antara tokohnya adalah John Duns Scotus (1266-1308) dan Willian of Ockham
(1285-1349). Mereka menekankan bahwa tanda hanya merujuk pada tanda lain,
bukan pada tanda-tanda nyata. Namun, pasangan ini di sanggah oleh teolog
ternama St. Thomas Aquinas (1225-1274) yang mengatakan bahwa tanda merujuk
pada benda nyata, karena ia diperoleh dari kesan (impresi) indrawi. Akan tetapi,
sebagaimana St. Agustinus, ia beranggapan bahwa tanda suci akan mengungkap
kebenaran yang melampaui pemahaman rasional sehingga harus diterima dengan
keimanan.23
Empat abad kemudian, filsuf Inggris, John Locke (1632-1704)
memperkenalkan kajian formal tanda pada filsafat dalam tulisannya yang berjudul
Essay Concerning Human Understanding pada tahun 1690. Ia menyebutnya
sebagai semiotics untuk yang pertama kalinya. Locke betul-betul menginspirasi
agar semiotika memungkinkan para filsuf mengkaji hubungan antara konsep
dengan kenyataan secara lebih akurat. Namun demikian, formula yang ia
tuangkan belum terumuskan secara eksplisit sebagai sebuah ilmu hingga di akhir
23
Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, h. 8
22
abad ke-19 ketika seorang ahli bahasa Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913)
dan filsuf Amerika, Charles S. Pierce merumuskan semiotika sebagai sebuah ilmu
(1839-1914).24
Kedua tokoh tersebut dianggap sebagai bapak semiotika modern.
Kenyataan bahwa mereka berdua berbeda keilmuan dasar dan tidak saling
mengenal satu sama lain karena berbeda benua, menyebabkan terjadinya
perbedaan-perbedaan yang tajam dalam teori yang mereka rumuskan. Saussure
mendasarkan teori tandanya pada linguistik (ilmu bahasa) dan tinggal di Eropa,
sedangkan Pierce mendasarkan teori tandanya pada logika (filsafat) dan tinggal di
Amerika.
Saussure mengajukan nama semiologi untuk kajian tanda ini. Yang paling
khas dari teori tandanya adalah anggapan bahwa bahasa adalah sistem tanda.
Tanda-tanda linguistik harus berada di bawah teori tanda secara umum yang ia
sebut semiologi. Sebaliknya, Pierce mengusulkan nama semiotika sebagai sinonim
kata logika. Menurut Pierce, logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar.
Penalaran itu, menurut hipotesisnya yang mendasar, dilakukan dilakukan melalui
tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan
orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.25
Dengan demikian, pada dasarnya, baik semiologi maupun semiotika adalah sama
saja. Hanya orientasi atau pendekatan dari keduanyalah yang berbeda. Semiologi
cenderung ke psikologi, sedang semiotika lebih cenderung ke filsafat dan
keduanya bisa saling melengkapi.
Pada periode selanjutnya, di abad ke-20, muncul sejumlah tokoh penting
yang mengembangkan semiotika menjadi sebuah disiplin ilmu mandiri seperti
sekarang ini. Di antara para ahli semiotika abad ke-20, sebagaimana diulas Danesi
adalah sebagai berikut:
a) Charles Morris (1901-1979) seorang ahli semiotika Amerika yang
telah membagi metode semiotika menjadi tiga: (1) studi hubungan antara tanda
dan tanda-tanda lain yang di sebut sintaktik; (2) studi hubungan antara tanda-tanda
24
Marcel Danesi, Pesan Tanda dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 11 25
Aart Van Zoest, Semiotika (Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya), (Bandung: Yayasan Sumber Agung, 1993) h. 1-2
23
dan makna dasarnya, yang disebut semantik; dan (3) studi hubungan antara tanda-
tanda dan penggunanya yang di sebut pragmatic.
b) Roman Jakobson (1896-1982), ahli semiotika Amerika kelahiran
Rusia yang mengedepankan konsep penting “tanda termotivasi”
mendefinisikannya sebagai kecenderungan untuk membuat tanda-tanda yang
merepresentasikannya dunia melalui simulasi.
c) Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika Prancis mempraktikkan
semiotika sebagai instrument untuk membongkar struktur makna tersembunyi
dalam kebudayaan masyarakat modern, seperti tontonan, pertunjukkan sehari-hari
dan konsep-konsep umum.
d) A.J. Greimas (1917-1992) mengembangkan cabang semiotika yang
dikenal sebagai naratologi. Narotologi didefinisikan sebagai studi mengenai cara
manusia (dari budaya yang berbeda-beda) menemukan jenis-jenis naratif yang
sama (mite, kisah dan sejenisnya) dengan karakter, motif, tema, alur yang betul-
betul sama.
e) Thomas A. Sebeok (1920-2001) adalah figure penting dalam
perluasan paradigma semiotika hingga meloputi studi tentang sistem pertandaan
binatang yang ia sebut biosemiotics. Sebeok juga menekankan bahwa metode
semiotika harus selalu berkembang dalam tren indisipliner. Dengan kata lain,
pendekatan khas semiotika adalah pendekatan campuran dalam hal gagasan,
penemuan, serta wacana ilmiah dari ranah yang beragam.
f) Umberto Eco (1932-) seorang ahli semiotika Italia, berkontribusi
penting bagi pemahaman tentang hubungan tanda dengan realitas. Eco
menuangkan uraian semiotiknya dalam tulisan ilmiah akademik dan karya fiksi
popular, yaitu novel best seller-nya yang berjudul The Name of Rose, tahun 1982,
yang kemudian difilmkan.26
26
Wildan Taufiq, Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur’an, h. 2.
24
C. Analisis Semiotika dalam Kajian Teks
1. Teori Tanda Ferdinand De Saussure
Pendiri linguistik modern adalah seorang sarjana dan tokoh besar asal
Swiss yaitu Ferdinand de Saussure, seseorang yang paling layak menyandang
predikat tersebut. Saussure memang terkenal karena teorinya tentang tanda. ia
sebetulnya tidak pernah mencetak pemikirannya menjadi buku. Catatan-
catatannya dikumpulkan oleh murid-muridnya menjadi sebuah outline. Karyanya
yang di susun dari tiga kumpulan catatan kuliah saat ia memberi kuliah linguistik
umum di universitas Jenewa pada tahun 1907, 1908-1909 dan 1910-1911 ini
kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Course in General Linguistics.
Karya ini di kemudian hari merupakan sumber teori linguistik yang paling
berpengaruh. Kita mengenalnya dengan istilah “strukturalisme”. Banyak aliran
lingusitik yang berlainan dapat dibedakan pada waktu ini, tetapi semuanya secara
langsung atau tidak langsung dipengaruhi (dengan berbagai tingkat) oleh course
de Saussure.
Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang menjadi peletak dasar
dari Strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan
signified (petanda); form (bentuk) dan content (isi); langue (bahasa) dan parole
(tuturan, ujaran); synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); serta
syntagmatic (sintagmatik) associative (paradigmatik).
a) Signifier dan Signified
Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada teori
Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah sistem tanda,
dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda) dan
signified (petanda). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda
(sign). Suara-suara, baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian, hanya bisa
dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa bilamana suara atau bunyi
tersebut mengekspresikan, menyatakan, atau menyampaikan ide-ide, pengertian-
pengertian tertentu. Untuk itu, suara-suara tersebut harus merupakan bagian dari
sebuah sistem konvensi, sistem kesepakatan dan merupakan bagian dari sebuah
sistem tanda.
25
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dangan
sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang
bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material
dari bahasa: apa yang dikatakan atau di dengar dan apa yang di tulis atau di baca.
Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek
mental dari bahasa. Kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Tanda bahasa
selalu mempunyai dua segi: penanda dan petanda; signifier dan signified;
signifiant atau signifie. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa, karena
itu tidak merupakan tanda. “Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti
dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure.
b) Form dan Content
Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi) ini oleh Gleason diistilahkan
dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea.
Memang demikianlah wujudnya. Saussure membandingkan form dan content atau
substance itu dengan permainan catur. Dalam permainan catur, papan dan biji
catur itu tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi,
aturan-aturan permainannya. Jadi, bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur
yang ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya.
c) Langue dan Parole
Saussure dianggap cukup penting oleh Recoeur, khususnya dalam teori
wacana. Hal ini pun diakui Roland Barthes yang menyatakan bahwa “konsep
(dikotomis) langue/parole sangat penting dalam pemikiran Saussure dan pasti
telah membawa pembaruan besar pada linguistik sebelumnya.”
Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis: langage, langue
(sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran) terpaksa kita mengambil alih istilah-
istilah yang diberikan oleh buku Saussure sendiri, sebab di bidang ini kekhususan
bahasa Prancis tidak mudah diterjemahkan oleh bahasa-bahasa lain. Langage
mengacu kepada bahasa pada umumnya yang terdiri atas langue dan parole.
Langage adalah suatu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap
manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan
26
dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya, langage adalah
bahasa pada umumnya.
Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa
pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada
tingkat individu. Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode,
maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa
sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan
pemakaiannya “tidak disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka
parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Jika unit dasar
langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat. Jika langue bersifat
sinkronik dalam arti tanda atau kode itu dianggap baku sehingga mudah disusun
sebagai suatu sistem, maka parole boleh dianggap bersifat diakronik dalam arti
sangat terikat oleh dimensi waktu pada saat terjadi pembicaraan.
d) Synchronic dan Diachronic
Menurut Saussure, linguistik harus memperhatikan sinkronis sebelum
menghiraukan diakronis. Apakah yang di maksud dengan kedua istilah ini? Kedua
istilah ini berasal dari kata Yunani khronos (waktu) dan dua awalan syn- dan dia-
masing-masing berarti “bersama” dan “melalui”. Salah satu dari banyak
perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang diperkenalkan ke dalam
linguistik oleh Sauusure adalah perbedaan antara studi bahasa sinkronis dan
diakronis (perbedaan itu kadang-kadang digambarkan dengan membandingkan
“deskriptif” dan “historis”. Yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa
adalah deskripsi tentang keadaan tertentu bahasa tersebut (pada suatu “masa”).
Jadi, bisa dikatakan bersifat horizontal.
Adapun yang dimaksud dengan diakronis adalah menelusuri waktu. Jadi,
studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan
sejarah (melalui waktu). Atau dengan kata lain, linguistik diakronis adalah
subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke
masa. Dapat kita katakan bahwa studi ini bersifat vertikal.
27
e) Syntagmatic dan Associative
Satu lagi struktur bahasa yang di bahas dalam konsepsi besar Saussure
tentang sistem pembedaan di antara tanda-tanda adalah mengenai syntagmatic dan
associative (paradigmatic), atau antara sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan-
hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-
kata sebagai konsep.
Jika kita mengambil contoh sederhana dari sekumpulan tanda “seekor
kucing berbaring di atas karpet”: Maka satu elemen tertentu, kata “kucing”,
misalnya menjadi bermakna sebab ia memang bisa dibedakan dengan “seekor”,
“berbaring”, atau “karpet”. Sekarang kita bisa lihat, bagaimana kemudian kata
“kucing” dikombinasikan dengan elemen-elemen lainnya. Kini digabungkan
dengan “seekor”, “berbaring”, “di”, “atas”, atau “karpet”. Kata “kucing”
menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang
berurut secara logis). Melalui cara ini, “kucing” bisa dikatakan memiliki
hubungan paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan “singa”
dan “anjing”.27
2. Pragmatisme Charles Sanders Pierce
Charles Sanders Pierce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensional. Pierce adalah seorang pemikir yang argumentatif,
Pierce sangat temperamental, sifat pemarah dan sulit di atur itu di duga karena
penyakit sarafnya yang sering kambuh dan kerusakan kulit di sekitar wajahnya
yang agak parah.
Kerap kali disebut bahwa selain menjadi seorang pendiri pragmatism.
Pierce memberikan sumbangan yang penting pada logika filsafat dan matematika,
khususnya semiotika. Yang jarang disebut adalah bahwa Pierce melihat teori
semiotiknya (karyanya tentang tanda) sebagai yang tak terpisahkan dari logika.
Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam ruang lingkup semiotika,
Peirce, seringkali mengulang-ngulang bahwa secara umum tanda adalah yang
mewakili sesuatu bagi seseorang. Bagi Pierce, tanda “is something which stands
27
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013)
h. 44-55
28
to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan
agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut ground. Konsekuensinya, tanda
(sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground,
object dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi
tanda. Tanda yang dikaitkan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign dan
legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar,
keras, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa
yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata
air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Legisign
adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang
menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), symbol (simbol). Ikon adalah tanda, di mana hubungan antara penanda
dan petandanya bersifat bersamaan dengan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain,
ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan;
misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya
hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang
paling jelas adalah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu ke
denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang
biasa disebut symbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan
alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat
arbitrer atau semena, hubungan konvensi (perjanjian) masyarakat.
Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rheme,
dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan
orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang matanya merah
dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita sakit mata,
atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau
dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering
terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan di pasang rambu lalu lintas yang
29
menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang
langsung memberikan alasan tentang sesuatu.28
3. Semiologi dan Mitologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra Prancis yang ternama; eksponen penerapan
strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Ia disebut sebagai tokoh yang
memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an.29
Sederhana dan tetap selaras dengan etimologi kata mitos adalah tipe
wicara.30
Mitos bukanlah sembarang tipe, bahasa membutuhkan syarat khusus
agar bisa menjadi mitos. Bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep,
atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. Ini bukan
berarti wicara mitis harus diperlakukan seperti halnya bahasa; mitos pada
dasarnya adalah salah satu wilayah dari sebuah ilmu yang umum, berdampingan
dengan linguistik, yakni semiologi.31
Mitos berasal dari bahasa Yunani mutos, berarti cerita, biasanya dipakai
untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak mempunyai
kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap dibutuhkan agar
manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.32
Mitos didefinisikan Barthes sebagai a type of speech (tipe tuturan). Setiap
tipe tuturan, baik berupa sesuatu yang tertulis atau sekedar representasi, verbal
atau visual, secara potensial dapat menjadi mitos. Mitos dipakai untuk mendistorsi
atau mendeformasi kenyataan (meaning atau signification) pada tingkat pertama,
sehingga objek (pembaca) tidak menyadarinya.33
Dengan kata lain, mitos
berfungsi untuk menaturalisasikan sesuatu yang sesungguhnya tidak natural. Yang
tidak natural tersebut adalah konsep yang muncul pada zaman, tempat dan
28
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2013)
h. 39-42. 29
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63. 30
Berbagai pengertian lain dari kata “mitos” bisa jdi berseberangan dengan definisi ini.
Namun yang coba didefinisikan di sini adalah sesuatu, bukan kata. 31
Roland Barthes, Mitologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2015) h. 155. 32
ST Sunardi, Semiotika Negativa, h. 103. 33
Roland Barthes, Mythologies, h. 109-111.
30
masyarakat tertentu. Dengan mitos, konsep tersebut dipakai menjadi seolah-olah
natural. Konsep yang dimaksud tak lain adalah ideologi. Dengan demikian, mitos
dimaksudkan untuk membongkar ideologi yang bersemayam dalam masyarakat
modern, atau dikenal juga sebagai kritik ideologi.
Sebelum membicarakan persoalan ideologi, Barthes terlebih dahulu
mencari titik terang tentang keberadaan mitos, Barthes membangun sistem
semiologi bertingkat melalui konsep denotasi dan konotasi. Denotasi adalah nama
bagi sebuah sistem tanda tingkat pertama, dan konotasi adalah nama bagi sebuah
sistem tingkat kedua. Sistem ini dibangun dengan bantuan konsep Saussure
dengan beberapa modifikasi yang dilakukan Barthes.34
Sistem lapis tingkat pertama (denotasi) akan menjadi penanda (signifier)
bagi sistem tanda lapis kedua (konotasi). Layaknya denotasi, konotasi juga
tersusun dari serangkaian tanda yang didalamnya memuat penanda (signifier),
petanda (signified) dan tanda (sign). Dalam sistem konotasi, Barthes
menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsure tersebut, yaitu form, concept
dan signification. Jadi, form yang dalam semiologi tingkat pertama merupakan
aspek material, bentuk akuistis, sama posisinya dengan penanda (signifier) pada
tingkat kedua. Sedangkan concept yang ada pada tingkat pertama didefinisikan
sebagai aspek mental, citra akuistis, sama posisinya dengan petanda (signified).
Tanda (sign) pada tingkat pertama sama dengan signifikasi (signification) pada
tingkat kedua. Pembedaan istilah ini disengaja oleh Barthes karena proses
signifikasi (signification) dalam sistem tingkat pertama dan tingkat kedua tidak
persis sama. Perbedaan di antara keduanya terletak pada mekanisme kerja, di
mana pada sistem tingkat kedua mengalami dinamika yang cukup signifikan
dengan terjadinya proses deformasi pada salah satu aspeknya.35
34
Sebagaimana diketahui, Barthes merupakan salah satu pengagum dan pengembang
semiologi yang dipopulerkan oleh Saussure. Kekaguman Barthes atas semiologi mendorongnya
menulis sebuah buku berjudul Elements of Semiology. Dalam buku tersebut, Barthes
menghadirkan dan juga mengulas konsep semiologi Saussure dan para pembandingnya. Lihat
Elements of Semiology. Penerjemah. Annete Lovers dan Collin Smith (New York: Hill and Wang ,
1968). 35
Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill and Wang, 1983) h. 114.
31
Sistem pertama merupakan sistem linguistik. Sedangkan sistem kedua
merupakan sistem mitis yang memiliki keunikan tersendiri, karena tidak semua
prinsip yang berlaku pada sistem pertama berlaku pada sistem kedua, meskipun
sistem kedua mengadopsi sistem pertama.
Jika dideskripsikan dalam bentuk diagram, maka posisi elemen-elemen
yang ada dalam semiologi tingkat pertama maupun tingkat kedua adalah sebagai
berikut:36
Sistem Tingkat Pertama
Sistem Tingkat Kedua
Dalam konteks ini, materi wicara mitis (bahasa, fotografi, lukisan, ritual,
objek, dll) meskipun pada awalnya berbeda, direduksi menjadi fungsi penandaan
murni begitu mereka ditangkap oleh mitos. Mitos melihat mereka (materi-materi
wicaranya) hanya sebagai bahan mentah; sehingga kesatuannya adalah bahwa
mereka semua berubah status hanya menjadi bahasa. Mitos hanya ingin melihat
sekumpulan tanda didalamnya, sebuah tanda global, istilah terakhir (ketiga) dari
rangkaian semiologi tingkat pertama. Istilah terakhir inilah yang akan menjadi
istilah pertama dari sistem yang lebih besar yang ia bentuk. Apa yang terjadi
adalah seolah-olah mitos memindahkan sistem formal penandaan pertama ke
pinggir. Pemindahan ini adalah yang terpenting dalam analisa mitos.
Dalam mengkaji fenomena mitos atau kritik mitos, Barthes menggunakan
analisa semiologi tingkat kedua. Di sini, mitos mengambil sistem tingkat pertama
yang berupa sistem linguistik sebagai landasannya. Tanda (sign) diambil oleh
sistem tingkat kedua menjadi form. Sementara concept diciptakan oleh pembuat
atau pengguna mitos. Sign yang diambil untuk dijadikan form diberi nama lain,
yaitu meaning karena tanda hanya diketahui oleh maknanya. Alhasil, seperti
36
Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill and Wang, 1983) h. 115.
1. Signifier 2. Signified
3. Sign (Meaning)
I. Signifier (Form)
II. Signified
(Concept)
III. Sign (Signification)
32
terlihat dalam bagan, meaning mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai sign
(kebahasaan), kedua sebagai form (sistem mitis). Sistem ini disebut sebagai sistem
tanda konotatif.
Berikut skema sistem konotasi seperti dikonseptualisasikan oleh Barthes.
Sistem Tingkat
Pertama
(denotation)
Sistem Tingkat
Kedua
(connotation)
Myth
Selain sistem tanda konotatif, terdapat juga sistem tanda metabahasa
dalam mengkaji fenomena mitos atau kritik mitos. Hal ini terjadi jika sistem
tingkat pertama dijadikan signified atau concept. Dalam struktur metabahasa,
sistem tingkat pertama tidak disebut dengan denotasi, melainkan bahasa-objek
(language-object). Jika konotasi menggunakan denotasi untuk membicarakan
sesuatu hal yang lain, maka metabahasa digunakan untuk berbicara tentang
bahasa-objek.
Berikut bagan metabahasa seperti dikonseptualisasikan oleh Barthes.
Sistem Tingkat Pertama
(language-object)
Sistem Tingkat Kedua
(metalangue) Myth
Signifier
(expression)
Signified
(content)
Sign
(meaning)
Signifier
(form
Signified
(concept)
Sign
(signification)
Signifier
(expression)
Signified
(content)
Sign
(meaning)
Signified
(concept)
Signifier
(form)
Sign
(signification)
33
Pada skema di atas, Barthes menggunakan istilah-istilah konsep yang
dipergunakan oleh Hjemslev dalam menjelaskan tanda (sign), Barthes
menggambarkan konotasi sebagai perluasan content baru. Dengan demikian,
relasi expression dengan content menjadi berubah sesuai dengan apa yang
diberikan pemakai konotasi.
Sedangkan metabahasa terjadi dengan cara pengembangan segi expression
dengan content yang sama dalam sistem tingkat kedua. Metabahasa terjadi pada
wilayah ilmu pengetahuan, di mana content tetap dipertahankan hubungan-
hubungannya dengan expression meskipun expression itu berubah-ubah.
Misalnya, hal itu terjadi pada peristilahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menggunakan berbagai istilah / nomenklatur (tata nama), tetapi tetap menegaskan
kejelasan hubungan dengan content. Jadi, sifat hubungan antara content dan
expression tetap konsisten bertolak dari bahasa objek pada sistem denotatif.37
Jadi,
kalau sistem semiologi tingkat pertama dijadikan content bagi sistem semiologi
tingkat kedua, akan didapati sebuah sistem metabahasa.38
37
Roland Barthes, Mythologies, h. 91. 38
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Arab (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009) h. 201-202.
34
BAB III
NAFS WĀḤIDAH DALAM AL-QUR’AN DAN TAFSIR
Bab ini berisi tentang pengertian term nafs wāḥidah sesuai dengan
konvensi bahasa secara general dan menyeluruh. Dalam bab ini pula diuraikan
penjelasan tentang nafs wāḥidah menurut al-Qur‟an dan para mufassir, baik itu
mufassir klasik maupun mufassir kontemporer, yang nantinya akan dijadikan
rujukan untuk penafsiran semiotis dalam bab empat.
A. Pengertian Nafs Wāḥidah
Nafs secara bahasa Arab dalam kamus al-Munjid, nafs (mufrod dari kata
nufūs dan anfus) berarti ruh dan „ain (diri sendiri).1 Sedangkan dalam kamus al-
Munawwir disebutkan bahwa kata nafs (jamak dari kata anfus dan nufūs)
bermakna ruh dan jiwa, juga berarti al-Jasad (badan, tubuh). Menurut Dawam
Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur‟an disebutkan bahwa dalam al-Qur‟an nafs
yang jamaknya anfus dan nufūs diartikan jiwa, diri, pribadi, hidup, hati atau
pikiran, di samping juga dipakai untuk beberapa lainnya.2
Menurut kitab Lisān al-„Arab, Ibn Manẓūr menjelaskan bahwa kata nafs
dalam bahasa arab digunakan dalam dua pengertian. Yakni nafs dalam pengertian
nyawa, nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya
menunjuk kepada diri pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, yaitu nafs akal
dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir
namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh,
menyebabkan hilangnya kehidupan.3
Kata nafs dalam al-Qur‟an terdapat 140 ayat. Yang menyebutkan nafs
dalam bentuk jamaknya nufūs terdapat dua ayat, dan dalam bentuk jamak lainnya
anfus terdapat 153 ayat. Berarti dalam al-Qur‟an kata nafs disebutkan sebanyak
295 kali. Kata ini terdapat dalam 63 surat, yang terbanyak terdapat dalam surat al-
1 Lewis makluf, al-Munjīd fi al-Lughah wa A‟lam (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986) h. 826.
2 M. Dawam Raharjo, Ensiklopedia al-Qur‟an: tafsir sosial berdasarkan konsep konsep
kunci (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 250. 3 Ibn Manzur Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Al-Lisan al-„Arab Juz III (Kairo:
Dar al-Misriyah li al-Ta‟lif wa al-Tarjamah, 1968) h.119-120.
35
Baqarah (35 kali), Āli Imrān (21 kali), Al-Nisā' (19 kali), Al-An‟ām dan al-
Taubah (masing-masing 17 kali), serta al-A‟rāf dan Yusūf (masing-masing 13
kali).4
Istilah nafs secara umum diterjemahkan dengan kata „diri‟ dan bentuk
jamaknya adalah anfus. Namun, kata ini hanya digunakan untuk proses penciptaan
manusia. Secara teknis penggunaan kata nafs dalam al-Qur‟an menunjukkan
bahwa seluruh umat manusia memiliki asal usul yang sama sekalipun beragam
bangsa, serta suku budaya yang tersebar di seluruh dunia. Secara tata bahasa nafs
merupakan bentuk muannats (female). Sedangkan secara konseptual nafs
mengandung arti netral bukan bentuk laki-laki ataupun perempuan.5
Nafs dalam al-Qur‟an menurut paham filsafat dan sufisme dalam Islam
diartikan „jiwa‟. Sebuah substansi yang terpisah dari tubuh. Kebanyakan merujuk
pada “diri sendiri” (laki-laki atau perempuan) dan jamaknya anfus walaupun pada
konteksnya merujuk pada “manusia” atau “manusia batiniah”. Sebenarnya tubuh
yang mempunyai pusat kehidupan dan kecerdasanlah yang merupakan identitas
batiniah atau personalitas manusia. Adapun nafs menurut pendapat Amina Wadud
Muhsin yang dipengaruhi oleh konsep nafs dalam istilah filsafat, ia mengatakan
bahwa nafs adalah bagian terpenting dari setiap laki-laki dan perempuan.6
Menurut Muhammad al-Razi bahwa sifat muannats (feminism) juga
memiliki maushuf mudzakkar (sifat maskulin) atau sebaliknya, sebagaimana kata
nafs dapat ditemukan pada ayat al-Qur‟an yang lain (al-Kahfi: 74), ia mengatakan
syair Arab juga terdapat ungkapan serupa misalnya, kata “khilafah” di sini di
anggap sebagai feminine (muannats). Dengan kata lain, al-Razi ingin menyatakan
bahwa kata maskulin (mudzakkar) bisa saja disifati dengan kata feminin.
Walaupun hal ini merupakan pengecualian dalam tradisi Arab.7
4 Muhammad Fuad Abd Al-Baqi, Mu‟jam Al Mufahrash li Lafdli al-Qur‟an al-Karim
(Beirut: Dar al-Fikr, 1994) h. 881-885. 5 Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci (Yogyakarta: Pilar Media, 2005) h. 202
6 Amina Wadud, Qur‟an Menurut Perempuan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006) h.
43 7 Muhanndis Az-Zuhri, Ayat-ayat Bias Gender dalam Surat an-Nisa Vol. 4 No. 1 (Juni,
2009) h. 3
36
Kata nafs wāḥidah sebagai “asal usul kejadian” terulang lima kali tetapi itu
semua tidak mesti berarti Adam, karena pada ayat lain (Q.S. Al-syūra [41]: 11),
nafs itu juga menjadi asal usul binatang. Kalau dikatakan nafs wāḥidah ialah
Adam, berarti Adam juga menjadi asal-usul kejadian hewan dan tumbuh-
tumbuhan?
Term nafs wāḥidah menggunakan bentuk nakirah/indefinite “dari satu
diri” (min nafsin) bukan dalam bentuk ma‟rifah/definite (min al-nafs) berarti
menunjukkan kekhususan (yufīd al-takhṣiṣ) lalu diperkuat (ta'kīd) dengan kata
“yang satu” (wāḥidah) sebagai sifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan
kepada substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Ādam,
bukan Adamnya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya
yang dimaksud pada kata nafs adalah Adam, mengapa tidak menggunakan kata
wāhidin dengan bentuk laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata
Wāḥidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata
nafs masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism alam lainnya. Akan
tetapi dalam al-Qur‟an sering dijumpai sifat itu menyalahi bentuk mausuf-nya
kemudian merujuk ke hakekat yang di-sifat-i, jika yang di-sifat-i nya itu hendak
ditekankan oleh si pembicara (mukhatab).
Kata nafs wāḥidah dalam ayat al-Qur‟an boleh jadi suatu genus dan salah
satu spesiesnya adalah Adam dan pasangannya (pria/zauj-nya) (Q.S. Al-A‟rāf
[07]: 189), sedangkan spesies lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q.S. Al-
Syūra [41]: 11) serta tumbuh-tumbuhan dan pasangannya (Q.S. Ṭāha [20]: 53).8
Tentang penciptaan dalam kisah al-Qur‟an Allah tidak pernah secara
gamblang menyebutkan penciptaan manusia dengan seorang laki-laki dan juga
tidak pernah menunjukkan asal usul manusia pada Adam.9
8 Misalnya dalam Q.S. Al-A‟rāf [7]: 56 (Inna rahmat-a „l-Lah-i qarib-un min al-
muhsinin), mestinya dikatakan qaribah sebagai sifat dari rahmah yang berbentuk mu‟annats, akan
tetapi karena sifat men-sifat-i hakekat mausuf yakni al-ihsan yang berbentuk mudzakkar maka
sifat pun harus mudzakkar lalu digunakanlah kata qarib. Lihat Jumni Eli, Misteri Nafs Wāhidah
dalam al-Qur‟an, h. 96 9 Amina Wadud, Qur‟an Menurut Perempuan, h. 43
37
B. Nafs Wāḥidah dalam Al-Qur’ān
Di dalam al-Qur‟ān terdapat lima ayat yang berkaitan langsung dengan
-yaitu surat al-Nisā'(4) ayat 01, surat al-An‟ām(6) ayat 98, surat al ,فظ واحذة
A‟rāf(7) ayat 189, surat Luqmān(31) ayat 28 dan al-Zumar(39) ayat 06.
ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل ي ٱت خ ي جف ل ل ل ة و س حد ي ق او خ
و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن
ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (Q.S. Al-Nisā' [04]: 01).
يٱو جف ل ك أ نش
أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا
ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada
tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-
tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām
[06]: 98).
ٱ ل ي ل يخ جف ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي
أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اث ي لل اء ج
يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang
yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).
ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل
38
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu
jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.
Luqmān [31]: 28).
جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج
ع ل ز خ م
أ ي ج و ي ة ه يلل
أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف
ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).
Nafs wāḥidah merupakan contoh ayat mutasyabih dalam al-Qur‟an, di
mana ayat tersebut membutuhkan penjelasan yang sangat akurat dan tidak
menjelaskan dengan tegas apakah makna tersebut untuk Adam atau untuk seluruh
manusia. Kemudian, istrinya diciptakan dari Adam itu, mayoritas ulama Indonesia
memahami hal tersebut berkaitan tentang Adam, sedangkan Hawa tercipta dari
tulang rusuk Adam, hal ini sesuai dengan Al-Qur‟an terjemahan Departemen
Agama.10
Nafs wāḥidah menurut al- Ṭabarī, al- Qurṭubī, al-Biqā‟ī, al-Su‟ūd dan lain-
lain. Bahkan al-Tabarsi (salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi‟ah abad ke-6
H) mengemukakan bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut
dengan Adam.11
Pendapat yang mengartikan bahwa nafs wāḥidah adalah Adam
berdasarkan kepada hadis nabi Muhammad yang mengatakan bahwa perempuan
tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Ketika mengartikan nafs wāḥidah adalah
Adam akan berdampak pada kata selanjutnya yaitu (و خهق يهب صوجهب( wa
khalaqa minhā zaujahā yang dalam hal ini diartikan Hawa oleh sebagian
10
Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-
Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999) h. 6-7 11
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat (Jakarta: Mizan, 1996) h. 293
39
mufassir. Argument-argumen yang dikemukakan oleh Quraish Shihab adalah kata
nafs pada ayat ini menunjuk pada pengertian perorangan bukan jenis.
Al-Qaffal mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sesungguhnya Allah
telah menciptakan setiap orang di antara kalian berasal dari satu jiwa, kemudian
dia menjadikan istri untuknya yang diciptakan dari dirinya atau khitab
(pembicaraan), ayat ini ditunjukkan kepada kaum Quraisy yang hidup pada masa
nabi Muhammad, mereka adalah keluarga Qusay, yang dimaksudkan dengan nafs
Wāḥidah dalam ayat ini adalah Qusay sendiri.12
Menurut Nasaruddin Umar, term nafs terulang 295 kali dalam al-Qur‟an,
dengan berbagai bentuknya tidak satu pun secara tegas menunjukkan
pengertiannya kepada Adam.13
Dalam potongan ayat berbunyi “Dia telah
menjadikan kamu dari diri yang satu”. Ialah bahwa seluruh manusia itu, laki-laki
dan perempuan, di benua manapun mereka berdiam, betapapun warna kulitnya,
namun mereka adalah diri yang satu. Sama-sama berakal, sama-sama
menginginkan yang baik dan tidak menyukai yang buruk, sama-sama suka yang
elok dan tidak suka yang jelek. Oleh sebab itu, hendaklah memandang orang lain,
seperti kita memandang diri sendiri.14
C. Nafs Wāḥidah Menurut Mufassir
Nafs wāḥidah terdapat dalam beberapa ayat al-Qur‟an yaitu surat Al-Nisā'
(4) ayat 01, surat Al-An‟ām (6) ayat 98, surat Al-A‟rāf (7) ayat 189, surat Luqmān
(31) ayat 28 dan Al-Zumar (39) ayat 06. Tema nafs wāḥidah ini penting untuk
ditindaklanjuti untuk mengkontekstualisasikan penciptaan manusia pertama
apakah Ādam atau ada jenis jiwa sebelum Ādam sehingga menjadi Ādam. Dan
para mufassir menempuh cara yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur‟an,
mengenai makna nafs wāḥidah.
1. Tafsir Klasik (Tafsir al-Qurṭubī dan Tafsir al-Ṭabarī)
a) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-Nisā' (04): 01
12
Musṭafa Al-Marāghi, Tafsir al-Maraghi (Dar al-Fikr, Jilid 2) h. 175 13
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (Jakarta: Paramadina, 1999) h. 241 14
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 4-5-6 (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982) h. 219
40
ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل جف ٱت ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ
و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا ا نص ٱو ء و ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن
ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”( Q.S. Al-Nisā' [04]: 01)
Menurut Imam al-Qurṭubī firman Allah, حذة و “Dari diri yang satu”,
disebutkan dalam pola ta‟nits (kata yang menunjuk pada jenis perempuan), karena
mengikuti kata sebenarnya yaitu انفظ, meskipun yang dimaksud adalah
mudzakkar. Kalimat itu bisa juga diungkapkan dengan ف حذة و ظ ي untuk
menjaga keaslian kalimat tersebut, dan maksud انفظ adalah Nabi Adam a.s.
Firman Allah, وبث “Memperkembang biakkan”, di ayat lain, Allah SWT
berfirman, يب ثىثت وصساب “Dan permadani-permadani yang terhampar.” (Q.S. Al
Ghaasyiyah [88]: 16), dan pembahasan tentang lafazh ini telah dijelaskan dalam
surat Al Baqarah.
Firman Allah, بي ه “Dari keduanya” maksudnya dari Adam dan Hawa.
Mujahid berkata, “Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok.” Hal
ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW,
ضهع عىجب شأة ي ء.خهقت ان
“Wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok”.
Firman Allah: ثش سجبل ء ا وغب “Laki-laki dan perempuan yang banyak”,
maksudnya, meliputi keturunan Adam dan Hawa, baik yang berjenis kelamin pria
maupun wanita. Oleh karena itu, al khuntsa (yang memiliki dua kelamin) tidak
termasuk bagian dari kedua jenis itu. Meskipun demikian ia memiliki
kecenderungan sifat dan perilaku yang dapat mengembalikan identitas jati dirinya
yang sebenarnya, maka ketika itu ia bisa diidentifikasi sebagai pria atau wanita,
41
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam surah Al Baqarah, berdasarkan
pertimbangan kekurangan atau kelebihan anggota tubuh.
Firman Allah SWT, ٱتقىا ٱو به نزي تغب ٱلل ٱو ۦءنى حبو س ل “Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” Pengulangan kata
takwa di sini merupakan penekanan dan peringatan kepada setiap jiwa yang
diperintahkan untuk memperhatikan hal tersebut, sedangkan kata نزيٱ “yang”
berada dalam posisi nashab (kata yang akhirnya diberi baris fathah) karena
mengikuti na‟at (kata sifat) sebelumnya. Lafazh ٱ حبو س ل (hubungan silaturrahim)
berkedudukan sebagai ma‟thuf, yang maknanya, bertakwalah kepada Allah dalam
rangka memelihara hubungan silaturrahim dikala kamu memutuskannya. Para
ulama Ahlu Madinah membaca lafazh dengan cara meng-idgham-kan تغأنى
huruf ta' ke dalam huruf sin, بءنى Sedangkan ulama Kufah membacanya .تغ
dengan membuang huruf ta', disebabkan bertemunya dua ta' dan men-takhfif-kan
pengucapan huruf sin, karena maknanya dapat dipahami dengan jelas عبءنى
sebagaimana firman Allah SWT, ٱعهى تعبوىا ى ث ل -Dan jangan tolong“ ول
menolong dalam berbuat dosa.” (Q.S. Al-Māidah [5]: 2), demikian juga pada
lafaẓ ل .dan yang sama dengannya تض
Firman Allah ٱإ عه ب بسقب كى لل , “Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu,” yaitu, Maha Pemelihara. Ibn Abbas dan Mujahid, Ibn
Zaid menafsirkannya: Maha Mengetahui. Pendapat lain mengatakan ب ب سق
ditafsirkan hafizhan “Pemelihara” dalam bentuk fa‟il, sedangkan Raqib adalah
salah satu sifat Allah SWT, dan Raqib juga berrati penjaga yang senantiasa
memantau.15
b) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-An‟ām (06): 98
15
Imam Al-Qurṭubī, Tafsir Al-Qurṭubī Jilid V. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,
dkk., h. 19-22
42
يٱو جف ل ك أ نش
أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا
ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada
tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-
tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām
[06]: 98).
Menurut Imam Firman Allah Swt, ف نزي ٱوهى ى ي حذة و ظ أشأ “Dan
Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri.” Yang dimaksudkan dalam
ayat ini adalah adalah Adam a.s. Hal ini seperti yang telah dijelaskan di awal
surah ini.
Firman Allah Swt, غ تقش ف “Maka (bagimu) ada tempat tetap.” Ibn Abbas,
Sa‟id bin Jubair, Hasan, Abu Amr, Isa, A‟raj, Syaibah dan al-Nakha'i membaca
dengan huruf qaf berharkat kasrah, yaitu تقش يغ . Sementara ahli qira'ah lainnya
membaca dengan huruf qaf berharkat fathah, yaitu تقش غ ي . Lafazh غ تقش ف berada
pada posisi rafa‟, sebab berfungsi sebagai mubtada‟ (subyek).
Diriwayatkan dari Ibn Abbas Ra juga, bahwa al mustaqarr adalah orang
yang telah diciptakan dan al mustauda‟ adalah orang yang belum diciptakan.
Demikian yang disebutkan oleh Al-Mawardi.
Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a. bahwa al mustauda‟ (tempat simpanan)
itu berada di sisi Allah Swt.16
c) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-A‟rāf(07): 189
جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت فيفح ا خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي
أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اء اث ي لل ج
يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
16
Imam al-Qurṭubī, Tafsir Al-Qurṭubī Jilid VII. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,
dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 117-119
43
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang
yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189)
Menurut Imam al-Qurṭubī ayat ini di bahas dua masalah, yaitu:
Firman Allah Swt, ف ٱهى حذة و ظ نزي خهقكى ي “Dialah Yang menciptakan
kamu dari diri yang satu,” maksudnya adalah Allah yang menciptakan manusia
dari satu jiwa saja, yaitu nabi Adam. جهبهب صو وجعم ي “Dan daripadanya Dia
menciptakan istrinya,” maksud istri di sini adalah Hawa. نغ إن هبك “agar dia
merasa senang kepadanya,” maksudnya adalah agar nabi Adam merasa tenang
dan senang dengan keberadaannya.
Semua hal tersebut diatas terjadi ketika mereka berdua masih berada di
dalam surga, kemudian kalimat ini dilanjutkan dengan kondisi yang berbeda, yaitu
ketika mereka telah diturunkan ke muka bumi.
ى ب تغش هبفه “Maka setelah dicampurinya,” maksudnya adalah setelah nabi
Adam mencampuri istrinya, Hawa. Lafazh ini sebenarnya adalah kiasan terhadap
makna berhubungan badan antara suami istri. هت ح بل خفف ح “Istrinya itu
mengandung kandungan yang ringan,” maksud kata م artinya segala sesuatu انح
yang di bawa dalam perut wanita atau sesuatu yang terdapat di atas pucuk pohon
(janin atau benih). Sedangkan untuk makna segala sesuatu yang di bawa di bagian
punggung (muatan atau barang bawaan), maka kata yang digunakan dalam bahasa
Arab adalah م .ح
Firman Allah Swt, ب عىا أث فه ٱقهت د ب نئ سبه لل هح تب ص ءات ي كى ب ن
نش ٱ كش “Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon
kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi
kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Kata أثقهت berarti ada beban berat ditubuhnya. Makna ini seperti ungkapan
ش انخم artinya pohon kurma itu berbuah. Namun beberapa ulama menyatakan ,أث
bahwa maknanya adalah ia telah memasuki masa berat badan yang berlebih.
44
Makna ini seperti ungkapan أصبح, artinya hari telah memasuki pagi, atau juga
ungkapan أيغى, artinya hari telah memasuki sore.
Sedangkan yang di maksud dengan lafazh صبنحب adalah anak yang
sempurna.17
d) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Luqmān (31): 28
ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu
jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.
Luqmān [31]: 28).
Menurut Imam al-Qurṭubī, ب خه ف ثكى بع ول قكى ي حذة و ظ إل “Tidaklah Allah
menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan
hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” Al-Dhahhak
berkata, “Maknanya adalah, tidaklah permulaan penciptaan kalian kecuali seperti
kejadian satu jiwa dan tidaklah kebangkitan kalian pada Hari Kiamat kecuali
seperti kebangkitan satu jiwa.”
Al-Nuhas berkata, “Seperti inilah yang ditakdirkan oleh para ahli nahwu,
dengan makna kecuali seperti penciptaan satu jiwa. Seperti firman-Nya, وعئم
Dan tanyalah (penduduk) negeri.” (Q.S. Yusuf [12]: 82)“ انقشت
Mujahid berkata, “Karena Dia berfirman kepada sedikit dan banyak,
Selain itu, ayat ini turun pada Ubai bin Khalaf, Abi Asadain, Munabbih dan .فكى
Nabih, dua putra Hajjaj bin Sabaq. Mereka berkata kepada Rasulullah Saw,
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan kami dalam beberapa fase, yaitu air
mani, kemudian segumpal darah, lalu segumpal daging, lantas tulang, setelah itu
17
Imam al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī Jilid VII. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,
dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 853-855
45
kamu berkata bahwa kami akan dibangkitkan sebagai makhluk baru dalam satu
waktu.”
Maka Allah Swt menurunkan firman-Nya, ب خه ف ثكى ول بع قكى ي حذة و ظ إل
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu
melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.”
Karena tidak sulit bagi Allah, apa yang sulit bagi hamba. Penciptaan-Nya terhadap
alam sama seperti penciptaan-Nya terhadap satu jiwa.
ع ٱإ ع لل “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar,” terhadap apa yang
mereka katakan.
.Lagi Maha Melihat,” terhadap apa yang mereka perbuat“ بصش 18
e) Tafsir al-Qurṭubī Q.S. Al-Zumar (39): 06
جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج
ع ل ز خ م
أ ي ج و ي ة ه يلل
أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف
ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Az-Zumar [39]: 06).
Firman Allah SWT, ف حذة و ظ خهقكى ي “Dia menciptakan kamu dari
seorang diri,” yakni Adam. جهبهب صو ثى جعم ي “Kemudian Dia jadikan
daripadanya istrinya,” yakni untuk menghasilkan keturunan, dan ini telah
dijelaskan sebelumnya dalam tafsir surah Al-A‟raaf dan surah lainnya. ضل نكى وأ
عبو ثبت أصواج ال Dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang“ ي
berpasangan dari binatang ternak.” Allah Swt mengabarkan tentang pasangan-
pasangan yang diturunkan. Sebabnya, hewan-hewan tersebut tumbuh dengan
18
Imam al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī Jilid XIV. Penerjemah Fathurrahman Abdul
Hamid, dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 183-184
46
adanya tumbuh-tumbuhan, dan tumbuh-tumbuhan hidup dengan adanya air yang
diturunkan. Inilah yang disebut dengan gradualitas. Sama seperti firman-Nya, قذ
ب كى نببع ضنب عه ”.Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian“ أ
Ada yang mengatakan, “Anzala (menurunkan), bermakna ansya'a
(menciptakan) dan ja‟ala (menjadikan).”
ه هقكى خ أي ق خه تكى ف بطى ق ذ خه بع ب ي “Dia menjadikan kamu dalam perut
ibumu kejadian demi kejadian.” Qatadah dan Al-Suddi berkata, “Dari nuthfah (air
mani), lalu „alaqah (segumpal darah), kemudian mudhghah (sepotong daging),
kemudian („azhmaa) tulang-tulang dan kemudian (lahmaa) daging.” Ibn Zaid
berkata, ق خه ق ذ خه بع ب ي “kejadian demi kejadian,” penciptaan di perut ibu kamu
setelah sebelumnya penciptaan pada tulang punggung Adam As.
ت ف ظهث ثه “Dalam tiga kegelapan,” yakni kegelapan dalam perut,
kegelapan dalam rahim dan kegelapan dalam ari-ari. Demikian yang disebutkan
Ibn Abbas Ra, Ikrimah, Mujahid, Qatadah dan Adh-Dhahhak.
Ibn Jubair berkata, “Kegelapan masyiimah (kegelapan rahim dan
kegelapan malam).” Pendapat pertama lebih benar.
Ada yang mengatakan, “Kegelapan tulang punggung lelaki, kegelapan
perut ibu dan kegelapan rahim.” Ini pendapat Abu Ubaidah, yakni tidak ada
kegelapan yang mampu menahannya sebagaimana tidak seorang makhluk pun
yang mampu menahannya.
ٱنكى ر لل “Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah,” yakni yang
menciptakan semua ini. ه ن ٱنه سبكى ه إل هى إن ل ك “Tuhan kamu, Tuhan yang
mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia.” تص فأى شفى “Maka
bagaimana kamu dapat dipalingkan?” yakni bagaimana bisa kamu meninggalkan
penyembahan-Nya dan menyembah yang lain selain Allah SWT? Hamzah
membacanya, 'immihaatikum dengan hamzah dan kasrah mim.
f) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Al-Nisā' (04): 01
47
ي ا ح ٱأ تلٱنلاس بل ر جف ٱا ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ
و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن
ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”(Q.S. An-Nisā‟ [04]: 01).
Allah mensifati Dzat-Nya dengan (menyatakan) bahwa Dialah satu-
satunya Dzat yang menciptakan seluruh manusia dari sosok yang satu. Allah juga
memberitahukan hamba-hamba-Nya tentang awal penciptaan-Nya terhadap jiwa
yang satu itu, serta mengingatkan mereka bahwa mereka semua adalah keturunan
seorang laki-laki dan seorang perempuan, bahwa sebagian dari mereka berasal
dari sebagian yang lain, dan hak sebagian dari mereka merupakan kewajiban bagi
saudaranya (yang lain), sebab garis keturunan mereka menyatu pada sosok ayah
dan ibu yang sama.
Selain itu, kewajiban di antara mereka (hamba-hamba Allah) adalah
sebagian dari mereka harus memelihara hak sebagian yang lain, meskipun
kesatuan garis keturunan mereka pada nenek moyang yang menyatukan mereka,
sangatlah jauh, sebagaimana yang menjadi kewajiban mereka dalam konteks
keluarga (garis keturunan yang dekat). Mereka juga harus saling menyayangi agar
dapat saling berlaku adil dan tidak saling menzhalimi.
Menurut al-Ṭabarī, firman Allah Swt, ف ٱ حذة و ظ نزي خهقكى ي “Yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu,” maknanya adalah, Adam.
Riwayat-riwayat yang sesuai dengan makna tersebut adalah: Muhammad
bin Al Husain menceritakan kepada kami, ia berkata: Ahmad bin Mufadhdhal
menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami dari As-
Suddi, dia berkata, “Adapun firman Allah, ف حذة و ظ خهقكى ي “Telah
menciptakan kamu dari diri yang satu”, maknanya adalah, dari Adam a.s.
48
Bisyr bin Mu‟adz menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid bin Zura‟i
menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa‟id menceritakan kepada kami dari
Qatadah, (tentang) firman Allah ف ٱتقىا سبكى ٱنبط ٱأهب حذة و ظ نزي خهقكى ي “Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu,” ia berkata, “Maknanya adalah, Adam a.s.”
Padanan firman Allah ف حذة و ظ ي “Telah menciptakan kamu dari diri
yang satu,” dan yang dimaksud darinya adalah seorang lelaki.
Allah Swt berfirman ف حذة و ظ ي “Dari diri yang satu.” (Allah
menggunakan lafazh حذة و karena lafazh ظ ف mu'annats, padahal yang dimaksud
(dari firman-Nya tersebut) adalah min rajulin waahid (dari laki-laki yang satu).
Seandainya dikatakan min nafsin waahidin yang menggunakan bentuk
mudzakkar, maka pengertian atau makna dari perkataan tersebut dianggap benar.
Menurut al-Ṭabarī akan firman Allah, جهبهب صو وخهق ي “Dan daripadanya
Allah menciptakan istrinya,” adalah Allah menciptakan dari jiwa yang satu itu
zauj-nya. Kata az-zauj artinya sosok yang kedua bagi jiwa yang satu itu, dan
menurut pendapat ahli takwil adalah istrinya, yaitu Hawa.
Riwayat yang sesuai dengan makna tersebut Al Mutsanna menceritakan
kepada kami, ia berkata: Abu Hudzaifah menceritakan kepada kami, ia berkata:
Syibil menceritakan kepada kami dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid, seperti riwayat
sebelumnya.19
Adapun takwil firman-Nya, ٱتقىا ٱ لل “Dan bertakwalah kepada Allah,”
wahai manusia, yang apabila sebagian kalian meminta kepada sebagian lainnya,
maka dia akan meminta dengan mempergunakan nama-Nya. Orang yang meminta
itu berkata kepada orang yang dipinta (misalnya), “Aku memintamu dengan
(nama) Allah.” Atau, “Aku memohon kepadamu dengan (nama) Allah.” Atau,
“Aku mendesakmu dengan (nama) Allah.” Serta yang lain.
Allah Ta‟ala berfirman, “Wahai sekalian manusia, sebagaimana kalian
mengagungkan Tuhan kalian dengan lidah-lidah kalian (sehingga kalian melihat
19
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid VI. Penerjemah Akhmad
Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 350-354
49
bahwa siapa saja yang berjanji kepada kalian, kemudian dia melanggar janjinya
itu, maka dia telah melakukan dosa besar) maka agungkanlah Dia dengan ketaatan
kalian kepada apa yang diperintahkan-Nya terhadap kalian, serta dengan
penghindaran kalian atas apa yang dilarang-Nya atas kalian. Selain itu, hindarilah
siksaan-Nya yang diakibatkan oleh pelanggaran kalian terhadap perintah-Nya,
atau yang diakibatkan oleh pelanggaran kalian terhadap larangan-Nya.
Ahli takwil berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah, ٱو حبو س ل
“Dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.”
Sebagian berpendapat bahwa maknanya adalah, “Bertakwalah kalian
kepada Allah, yang jika kalian meminta di antara kalian maka orang yang
meminta itu akan berkata kepada orang yang dipinta, „Aku meminta kepadamu
dengan (mempergunakan) nama-Nya dan (dengan) hubungan silaturrahim‟.”
Para ulama lain berpendapat bahwa makna firman Allah, ٱتقىا ٱو نزي ٱ لل
به تغب ءنى “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,” adalah “Takutlah kalian
memutus (hubungan) silaturrahim.”20
Takwil firman Allah: ٱإ عه ب بسقب كى لل (Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu). Maknanya adalah, “Allah senantiasa mengawasi
kalian.”
Ungkapan, بسقب (Maha Mengawasi) maknanya adalah Maha Memelihara,
Maha Memperhitungkan amal perbuatan kalian, dan Maha Mencermati
pemeliharaan serta pembinaan kalian terhadap keagungan silaturahim, atau
pemutusan dan penyia-nyiaan kemuliaannya.21
g) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Al-An‟ām (06): 98
20
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid VI. Penerjemah Akhmad
Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 355-357 21
Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir At-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid VI. Penerjemah Akhmad
Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 367-368
50
يٱو جف ل ك أ نش
أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا
ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada
tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-
tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām
[06]: 98).
Menurut al-Ṭabarī Allah SWT menyatakan, “Wahai orang-orang yang
menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya, Ilah kalian adalah yang menciptakan
kalian, padahal sebelumnya tidak ada dari seorang pun di dunia kemudian ia
menciptakannya, yakni Adam.
Sebagian berpendapat bahwa maknanya adalah, “Dialah Allah yang telah
menciptakan kalian dari satu jiwa. Di antara kalian ada yang menetap dalam
rahim, dan ada yang disimpan dalam kubur sehingga Allah SWT
membangkitkannya pada Hari Kiamat.”
Sebagian yang lain berpendapat bahwa lafazh غتىدع artinya dalam ان
tunggal pinggul orang tua. Sedangkan lafazh غتقش artinya tempat tinggal dalam ان
perut wanita, perut bumi atau di atasnya.22
h) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Al-A‟rāf (07): 189
جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا ح فيفلا رت خ ف با ۦ ا ث ف ي
أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اث ي لل اء ج
يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang
yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).
22
Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid X. Penerjemah Akhmad
Affandi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 297-302.
51
Menurut al-Ṭabarī Allah berfirman, ف ٱهى حذة و ظ نزي خهقكى ي “Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu,” bahwa maksudnya adalah satu jiwa,
yaitu Adam. Yang berpendapat seperti itu adalah: Ibn Waki menceritakan
kepada kami, ia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku dari Sufyan, dari
seorang laki-laki, dari Mujahid, tentang ayat, ف ٱهى حذة و ظ نزي خهقكى ي “Dialah
yang menciptakan kamu dari diri yang satu,” ia berkata, “Maksudnya adalah
Nabi Adam.”
Makna ayat, نغ إن هبك “Agar Dia merasa senang kepadanya,” adalah
agar Adam merasa senang kepada Hawa, untuk menunaikan kebutuhannya dan
memperoleh kenikmatan. ى ب تغش هبفه “Agar Dia merasa senang kepadanya,”
ketika Adam berhubungan intim dengan Hawa. هت ح بل خفف ح “istrinya itu
mengandung kandungan yang ringan.” Dalam kalimat ini terdapat kata yang
dibuang, tidak perlu disebutkan, karena telah diketahui maksudnya. “Ketika
Adam berhubungan intim dengan Hawa, ia melaksanakan kebutuhannya terhadap
Hawa, lalu Hawa mengandung.”
Ahli takwil berbeda pendapat mengenai makna kata لح shalih” yang“ انص
dijadikan Adam dan Hawa sebagai sumpah, bahwa jika Allah memberikan mereka
anak yang shalih (yang masih ada dalam kandungan Hawa), maka mereka pasti
tergolong orang-orang yang bersyukur.23
Kata صبنحب mengandung banyak makna, diantaranya shalih dalam tingkah
laku, shalih dalam menjalankan agama, dan shalih dalam berpikir serta mengatur
segala sesuatu. Jika demikian, maka tidak ada khabar dari Rasulullah Saw yang
dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan suatu makna tertentu. Juga tidak
ada dalil akal yang mewajibkan itu. Oleh sebab itu, wajib diartikan secara umum,
sebagaimana disebutkan Allah. Jadi, Adam dan Hawa mengucapkan, “Jika
Engkau memberikan صبنحب kepada kami,” صبنحب dengan seluruh makna
keshalihan dan kebaikan.
23
Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XI. Penerjemah Akhmad
Affandi, h. 846.
52
Makna firman Allah menurut al-Ṭabarī, ي كى نش ٱن كش “Tentulah kami
termasuk orang-orang yang bersyukur,” adalah sungguh kami pasti termasuk
orang yang bersyukur kepada-Mu atas anak shalih yang telah Engkau berikan
kepada kami.24
i) Tafsir al-Ṭabarī Q.S. Luqmān (31): 28
ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu
jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.
Luqmān [31]: 28).
Maksudnya adalah, wahai manusia, sesungguhnya Allah menciptakan dan
membangkitkanmu dari alam kubur bagi Allah hanyalah seperti menciptakan dan
membangkitkan satu jiwa saja, karena semua kehendak Allah pasti terlaksana.
Sama saja bagi Allah, apakah menciptakan dan membangkitkan satu jiwa,
atau menciptakan dan membangkitkan seluruh manusia.
Makna ayat, ف حذة و ظ إل “Melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan
membangkitkan) satu jiwa saja,” adalah خ فظ واحذة هق إل “Melainkan hanyalah
seperti menciptakan satu jiwa saja” karena kalimat ini telah mengandung kata
kerja yang dibuang. Orang Arab biasa melakukan itu pada kata dalam bentuk
mashdar.
Firman-Nya, ع ٱإ ع بصش لل “Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” Maksudnya adalah, Allah Maha Mendengar ucapan orang-
orang musyrik, dusta mereka terhadap Tuhan mereka, pernyataan mereka bahwa
Allah memiliki sekutu-sekutu, dan ucapan mereka yang lain dan ucapan orang-
orang selain mereka. Allah Maha Melihat perbuatan mereka serta perbuatan
orang-orang selain mereka, dan dia akan memberikan balasan kepada mereka.25
24
Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XI. Penerjemah Akhmad
Affandi, h. 850. 25
Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XX. Penerjemah
Akhmad Affandi, h. 796-798.
53
j) Tafsir al- Ṭabarī Q.S. Al-Zumar(39): 06
ل ي ل جف خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج
ع ل ز خ م
أ ي ج و ي ة ه يلل
أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف
ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Az-Zumar [39]: 06).
Menurut al-Ṭabarī maksud ayat tersebut adalah, Allah berfirman: خهقكى,
“Dia menciptakan kamu,” wahai manusia. ف حذة و ظ ي , “Dari seorang diri.”
Maksudnya berasal dari Adam. جهبهب صو ثى جعم ي “Kemudian Dia jadikan
daripadanya istrinya.” Maksudnya, dari Adam itu Allah menciptakan Hawa
sebagai pasangannya. Allah menciptakan Hawa dari salah satu rusuk Adam.26
Firman-Nya, ه هقكى خ أي ق خه تكى ف بطى ق ذ خه بع ب ي “Dia menjadikan kamu
dalam perut ibumu kejadian demi kejadian,” ia berkata, “Maksudnya adalah,
Allah berfirman, “Wahai manusia, penciptaan kamu dimulai dalam perut ibu
kamu, kejadian demi kejadian; berawal dari sperma, kemudia Allah
menjadikannya segumpal darah, kemudian segumpal daging, kemudian tulang-
belulang, yang tulang –tulang itu dibalut oleh daging. Kemudian Allah
menjadikannya bentuk lain. Maha suci Allah. Demikianlah penciptaan manusia
yang dilakukan Allah, kejadian demi kejadian.”27
Firman-Nya ت ف ظهث ثه “Dalam tiga kegelapan,” maksudnya adalah
kegelapan perut, kegelapan rahim dan kegelapan ari-ari. Ahli takwil berpendapat
seperti pendapat yang kami sebutkan ini, di antaranya adalah: Hannah bin Al-Sirri
menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Al Ahwash menceritakan kepada
26
Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XXII. Penerjemah
Akhmad Affandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) h. 285. 27
Abu Ja‟far Muhammad ibn Jarir Al- Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XXII. Penerjemah
Akhmad Affandi, h. 287-288.
54
kami dari Simak, dari Ikrimah, tentang ayat ت ف ظهث ثه “Dalam tiga
kegelapan,” ia berkata, “Tiga kegelapan itu adalah, kegelapan perut, kegelapan
rahim, dan kegelapan ari-ari.”
Firman-Nya, تص فأى ه إل هى إن ل شفى “Tidak ada tuhan selain dia,”
maksudnya adalah, Allah berfirman, “Tidak ada yang layak sebagai sembahan
selain Allah. Tidak ada yang pantas untuk disembah dalam beribadah kecuali
Allah.”
Firman-Nya, تص فأى شفى “Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?”
maksudnya adalah, wahai manusia, mengapakah kamu tidak beribadah kepada
Tuhan kamu yang memiliki sifat-sifat yang telah Aku sebutkan? Mengapakah
kamu berpaling menyembah sesuatu yang tidak berkuasa menolak mudharat dan
mendatangkan manfaat untuk kamu?
Ahli takwil berpendapat seperti pendapat yang kami sebutkan ini. Di
antara mereka yang berpendapat seperti ini menyebutkan riwayat berikut ini:
30180. Muhammad menceritakan kepada kami, ia berkata: Ahmad menceritakan
kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami dari As-Suddi,
tentang ayat, تص فأى شفى “Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” ia
berkata, “Allah berfirman kepada orang-orang musyrik, “Mengapakah akal kamu
berpaling dari semua ini?”28
2. Tafsir Modern (Tafsir al-Miṣbāh dan Tafsir al-Azhar)
a) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Al-Nisā' (04): 01
ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل جف ٱت ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ
و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن
ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
28
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabarī, Tafsir Ṭabarī Jilid XXII. Penerjemah
Akhmad Affandi, h. 291-295.
55
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”(Q.S. Al-Nisā‟ [04]: 01).
Surah al-Nisā' mengajak agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang
antar seluruh manusia. karena itu, ayat ini turun di Madinah yang biasanya
panggilan ditujukan kepada orang yang beriman, namun demi persatuan dan
kesatuan, ayat ini mengajak semua manusia yang beriman dan yang tidak
beriman. Seperti dikemukakan di atas, ayat ini sebagai pendahuluan untuk
mengantar lahirnya persatuan dan kesatuan dalam masyarakat serta bantu
membantu dan saling menyayangi, karena semua manusia berasal dari satu
keturunan, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, kecil dan besar,
beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk menciptakan kedamaian dan
rasa aman dalam masyarakat, serta saling menghormati hak-hak azasi manusia.
Firman-Nya (من نفس واحدة), mayoritas ulama memahaminya dengan arti
Adam a.s. ada juga yang memahaminya dalan arti jenis manusia lelaki dan
wanita. Syekh Muhammad Abduh, Al-Qasimi, dan beberapa ulama kontemporer
lainnya memahaminya demikian, sehingga ayat ini sama dengan firman-Nya
dalam (Q.S. al-Hujurāt [49]: 13): “Hai sekalian manusia , sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat al-Hujurāt memang berbicara tentang asal kejadian manusia yang
sama dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum/indung telur ibu.
Tetapi, tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang perorang, karena
setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses
kejadian mereka sama. Karena itu, tidak wajar seseorang menghina atau
merendahkan orang lain. Adapun ayat al-Nisā' ini, maka walaupun ia menjelaskan
kesatuan dan kesamaan orang perorang dari segi hakikat kemanusiaan, tetapi
56
konteksnya untuk menjelaskan banyak dan berkembangbiaknya mereka dari
seorang ayah, yakni Adam, dan seorang ibu, yakni Hawa. Ini dipahami dari
pernyataan: Allah memperkembangbiakkan laki-laki yang banyak dan perempuan.
Ini tentunya baru sesuai jika kata nafsin Wāḥidah dipahami dalam arti ayah
manusia seluruhnya (Adam a.s.) dan pasangannya (Hawa) lahir darinya laki-laki
dan perempuan yang banyak.
Memahami nafsin wāḥidah sebagai Adam a.s. menjadikan kata ( جهبصو ),
yang secara harfiah bermakna pasangannya, adalah istri Adam a.s. yang popular
bernama Hawa. Agaknya, karena ayat itu menyatakan bahwa pasangan itu
diciptakan dari nafsin Wāḥidah yang berarti Adam, maka para mufassir terdahulu
memahami bahwa istri Adam itu diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini
kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan
bahwa perempuan bagian dari lelaki. Banyak penafsir menyatakan bahwa
pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok,
dan karena itu – tulis al-Qurṭubī dalam tafsirnya – perempuan bersifat ( عىجبء)
„aujā'/bengkok. Pandangan ini mereka perkuat dengan hadis Rasul Saw yang
menyatakan: “Saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita.
Karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan bila engkau
berupaya meluruskannya dia akan patah” (HR. al-Tirmidzi melalui Abu
Hurairah).
Hadis ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiah, namun
tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya dalam arti metafora, bahkan ada
yang menolak keshahihannya. Yang memahami secara metafora menyatakan
bahwa hadis itu mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang berbeda dengan
pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak
ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha,
maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Thabathaba‟i dalam tafsirnya menulis bahwa ayat di atas menegaskan
bahwa perempuan (isteri Adam a.s.) diciptakan dari jenis yang sama dengan
Adam, dan ayat tersebut sedikitpun tidak mendukung paham yang beranggapan
57
bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang tidak ada
petunjuk dari al-Qur‟an yang mengarah ke sana, atau bahkan mengarah kepada
penciptaan pasangan Adam dari unsur yang lain.
Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian
II:21-22) yang menyatakan bahwa, “Ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh
Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging.
Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang
perempuan.
Tulis Rasyīd Riḍa: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan
Hawa dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan terlintas dalam benak seorang muslim”.
Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang
rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa
demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena semua pria
dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita,
sebagimana bunyi surah al-Hujurāt di atas, dan sebagaimana penegasan-Nya,
“Sebahagian kamu dari sebahagian yang lain” (Q.S. Āli Imrān [03]: 195). Lelaki
lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu, tidak ada
perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan lelaki dibutuhkan
oleh wanita dan kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus
lebih kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut kepada jarum. Kalau tidak, jarum
tidak akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan
tercipta pakaian yang indah, serasi dan nyaman.
Penegasan-Nya bahwa ( جهبهب صو خهق ي ) khalaqa minhā zaujahā/Allah
menciptakan darinya, yakni dari nafsin wahidāh itu pasangannya;mengandung
makna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu sehingga menjadi diri
yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalm cita dan
harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan
menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya perkawinan dinamai ( صواج ) zāwaj yang
58
berarti “keberpasangan” di samping dinamai ( كبح ) nikah yang berarti penyatuan
ruhani dan jasmani. Suami dinamai ( صوج ) zauj dan istri pun demikian.
Kata ( بث ) batstsa mengandung makna menyebarluaskan dan membagi-
bagi sesuatu yang banyak, yakni mengembangbiakkan dengan banyak. Jika Anda
berkata menyebarluaskan, maka itu mengandung makna keluasan tempat.
Kata ( السحبو ) al-arhām adalah bentuk jamak dari raḥīm, yaitu tempat
peranakan. Disanalah benih anak tinggal, tumbuh dan lahir, selanjutnya
berkembang biak. Rahim adalah yang menghubungkan seseorang dengan lainnya,
bahkan melalui rahim terjadi persamaan sifat, fisik dan psikis yang tidak dapat
diingkari. Tepatnya, Allah menjalin hubungan yang erat antar manusia. Kata (
raqīb yang diterjemahkan dengan Maha Pengawas, merupakan salah satu ( سقبب
nama Allah yang indah. Akar katanya terdiri dari huruf-huruf Rā', Qāf, dan Bā'
yang makna dasarnya adalah tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu.
Pengawas adalah Raqīb, karena dia tampil memperhatikan dan mengawasi untuk
memelihara yang diawasi.29
b) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. al-An‟ām (06): 98
يٱو جف ل ك أ نش
أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا
ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada
tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-
tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām
[06]: 98).
Surah al-An‟ām melalui ayat ini – sebagaimana pada awal surah, berbicara
tentang manusia, dari segi kesamaan asal-usulnya. Ayat ini menjelaskan bahwa
Dan selain kekuasaan yang telah diuraikan pada ayat-ayat lalu Dia juga yang
menciptakan kamu wahai ummat manusia dari seorang diri yakni Adam a.s. yang
29
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MIṢBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 313-320.
59
melalui istrinya kamu berkembang biak atau menciptakan kamu dengan jenis
yang satu, maka ada bagi tiap-tiap orang di antara kamu tempat menetap dan ada
juga tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan dengan aneka macam
cara tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Kami kepada orang-orang yang
mengetahui secara dalam dan teliti.
Kata ( فظ واحذة ) nafsin wāḥidah telah diuraikan dengan sedikit rinci
pada awal QS. al-Nisā'. Di sana antara lain penulis kemukakan bahwa mayoritas
ulama memahaminya dalam arti Adam a.s. dan ada juga – seperti Syekh
Muhammad Abduh, al-Qasimi dan beberapa ulama kontemporer – yang
memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita.
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia yang sama dari seorang
ayah dan ibu atau sperma ayah dan ovum/indung telur ibu, tetapi tekanannya pada
persamaan hakikat kemanusiaan orang perorang karena masing masing walau
berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama.30
c) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Al-A‟rāf (07): 189
جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي
أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اث ي لل اء ج
يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang
yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).
Firman-Nya: Dialah Yang menciptakan kamu wahai putra putri Adam dari
jiwa yang satu, yakni ayah kamu dan darinya, yakni dari jenis jiwa yang satu itu/
Dia menciptakan pasangannya, yakni isterinya agar dia sang ayah atau pasangan
itu merasa tenang dan cenderung hatinya kepada pasangannya. Maka setelah
30
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL- MIṢBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 4 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 207-208.
60
dicampurinya sebagaimana layaknya suami isteri, dia yakin isterinya mengandung
kandungan yang ringan, dan itu berlanjut dengannya dalam keadaan beriman
beberapa waktu lamanya. Lalu tatkala dia merasa berat setelah janin membesar
dan beralih dari nutfah ke proses selanjutnya, keduanya, yakni pasangan itu
bermohon kepada Allah, Tuhan Pemelihara dan Pelimpah karunia buat mereka
berdua seraya berkata :”Demi kekuasaan dan keagunganMu jika Engkau
menganugrahi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk kelompok
orang-orang bersyukur”. maka tatkala Dia yakni Allah Swt. menganugrahi untuk
keduanya anak yang sempurna, maka keduanya yakni pasangan itu menjadikan
bagiNya sekutu seperti berhala bintang matahari alam dan lain-lain terhadap apa,
yaitu anak yang telah dianugerahkanNya kepada keluarganya. yakni mereka tidak
bersyukur bahkan menyatakan bahwa anak itu diperolehnya bukan sebagai
anugerah dari Allah semata, tetapi berkat berhala atau hukum-hukum alam. Maka
Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Lebih lanjut rujuklah ke Q.S Al-Nisā‟ (4) : 1 banyak informasi yang dapat
ditemukan di sana.
Kata فظ واحذة nafsin wāḥidah/ jiwa yang satu memberi kesan bahwa
pasangan suami isteri hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, arah dan tujuan,
sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati” bersama. Karena jiwa suami
adalah juga jiwa isterinya.
Kata نغك انهب liyaskuna ilaiha/agar ia merasa tenang kepadanya
walaupun dari segi redaksional bermakna agar suami merasa tenang dan
cenderung hatinya kepada isterinya, tapi pada hakikatnya sebaliknya pun
demikian, yakni agar isteri tenang dan cenderung hatinya kepada suaminya.
Kata ( عك ) sakana adalah ketenangan yang didahului oleh kegelisahan.
Ia terambil dari kata yang berarti “memotong”, karena ketenangan tersebut
memotong dan mengakhiri kegelisahan.
Kata ( تغشهب ) taghasysyāhā/mencampurinya dari segi bahasa terambil dari
kata ( غش ) gasyia yang berarti menutup. Kata tersebut adalah kiasan dari
hubungan seksual. Ia dipilih bukan saja untuk menghindari kata yang tidak wajar
61
untuk melukiskan hubungan suci itu, tapi sekaligus untuk menggambarkan bahwa
hubungan itu hendaknya tertutup. Sehingga tidak wajar dilakukan dalam keadaan
tanpa busana sama sekali.
Kata ( انشب ش ) al-syākirīn terambil dari kata ( شكش ) syukur yang
hakikatnya menurut pengertian agama adalah “menggunakan nikmat Allah sesuai
dengan tujuan penganugerahannya”. Mensyukuri kehadiran anak, berarti
mendidiknya dengan mengembangkan potensi-potensinya, sehingga ia dapat
mengenal Allah Tuhan Yang Maha Esa dan berguna untuk masyarakatnya.
Di atas telah dikemukakan bahwa ulama berbeda pendapat tentang makna
nafsin wāḥidah. Salah satu alasan yang melemahkan pendapat bahwa yang
dimaksud adalah Adam a.s. terdapat pada penutup ayat ini yang menggunakan
bentuk jamak. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Seandainya ayat ini berbicara tentang Adam a.s. dan isterinya, tentu redaksi ini
ayat ini akan berbunyi “apa yang keduanya persekutukan”, bukan “apa yang
mereka persekutukan”. Di sisi lain Adam a.s. adalah manusia pilihan Allah, yang
tidak pernah mempersekutukan-Nya.31
d) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Luqmān (31): 28
ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu
jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.
Luqmān [31]: 28).
Ayat ini membantah dalih yang biasa diucapkan oleh kaum musyrikin
menyangkut penolakan mereka atas keniscayaan hari kiamat. “Allah menciptakan
kita bertahap, dari nutfah bertahap hingga sempurna kejadian, orang perorang
maka bagaimana bisa Dia membangkitkan kita semua sekaligus, padahal kita
31
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MIṣBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 4 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 326-329.
62
manusia begitu banyak?”. Demikian keberatan sementara kaum musyirikin yang
dibantah ayat di atas.
Penyebutan penciptaan dan pembangkitan mengandung isyarat tentang
kuasa Allah membagkitkan manusia, yakni kekuasaan-Nya mencipta adalah bukti
kekuasaan-Nya membangkitkan kembali. Bukankah membangkitkan kembali
“lebih mudah” daripada mencipta pertama kali? (Baca QS al-Rum [30]: 27).
Ayat di atas ditutup dengan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. Penutup ayat ini dapat dipahami dalam arti bahwa dalih-dalih yang
kamu tampilkan, sikap dan kelakuan kamu yang menunjukan penolakan dan
kedurhakaan, semua di dengar dan dilihat oleh Allah Swt. Bisa juga penutup ini
merupakan dalil lain tentang kuasa-Nya membangkitkan manusia, dari sisi bahwa
keberatan kaum musyirikin tentang adanya kebengkitan adalah keterbatasan
pengetahuan Allah, dibandingkan dengan apa yang akan dihimpun dan
dibangkitkan. Orang-orang yang meninggal dunia telah bercampur bagian-bagian
badannya dengan berbagai hal yang lain. Ada yang diterkam dan ditelan binatang
atau yang telah larut dalam tanah, atau terbagi dalam berbagai lokasi. Allah
menjawab bahwa ini mudah bagi-Nya karena Dia Maha Melihat.32
e) Tafsir al-Miṣbāh Q.S. Al-Zumar (39): 06
جف ل ي ل خ ة و س ثحد و ع ج و ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج
ع ل ز خ م
أ ي ج و ي ة ه يلل
أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف
ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).
32
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL- MIṢBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 11 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 152-153.
63
Mayoritas ulama memahami kata (فظ واحذة) nafsin wâhidah pada ayat di
atas dalam arti Âdam as. sayyid Quthub tidak menyinggung pendapat ini tetapi
menggaris bawahi bahwa manusia memiliki tabiat yang sama, ciri-ciri yang sama,
yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain dan dia menemukan juga
bahwa semua individu dari jenis manusia terhimpun dalam kesatuan ciri-ciri itu.
Karena itu jiwa seorang manusia adalah satu dalam ratusan juta manusia yang
tersebar di persada bumi ini dan yang dicakup oleh semua generasi diseluruh
tempat dan waktu. Pasangannya pun demikian. Perempuan bertemu dengan lelaki
dalam ciri-ciri kemanusiaan yang umum, kendati terdapat perbedaan-perbedaan
dalam perincian ciri-ciri itu. Ini semua mengisyaratkan kesatuan manusia – lelaki
dan perempuan, dan mengisyaratkan pula kesatuan kehendak pencipta jiwa yang
satu itu dalam kejadian kedua jenis kelamin manusia. Demikian lebih kurang
Sayyid Quthb. Rujuk jugalah ke QS. Al-Nisâ‟(4): 1
Ayat diatas menggunakan kata (خهق) khalaqa ketika berbicara tentang
penciptaan nafs dan menggunakan kata (جعم) ja‟ala ketika menjelaskan tentang
kejadian pasangan. Setelah memperhatikan kegunaan al-Qur‟an terhadap kedua
kata tersebut, penulis memiliki kesan bahwa kata (خهق) khalaqa bisa digunakan
untuk menekankan kehebatan Allah dalam ciptaan-Nya. Dalam konteks ayat ini
adalah penciptaan nafs. Sedangkan kata (جعم) ja‟ala digunakan untuk
menekankan manfaat yang diperoleh dan harus ditarik manusia dan dijadikannya
sesuatu itu. Dalam konteks ayat di atas adalah pasangan manusia.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang makna firman-Nya: ( هقكى خ ف بطى
ه ق خه تكى أي ق ذ خه بع ب ي ت ف ظهث ثه ) yakhluqukum min butbûni ummahâtikum
khalqan min ba‟di khalqin fi zhulumâtin tsalâtsin/dia menjadikan kamu dalam
perut ibu kamu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Tim penyusun
Tafsir al-Muntakhab yang terdiri dari sejumlah pakar Mesir, mengomentari
penggalan ayat ini lebih kurang sebagai berikut: “Ovum berada pada salah satu
indung telur wanita. Ketika mencapai puncak kematangannya, ovum akan keluar
dalam indung telur untuk kemudia ditangkap oleh salah satu tabung valub. Di
64
dalam saluran valub itu, ovum kemudian berjalan menuju rahim dan baru akan
sampai ke rahim setelah berapa hari. Pada masa berjalan menuju rahim itulah,
ovum dapat dibuahi oleh sperma laki-laki. Mulailah setelah itu, masa
perkembangannya. Fase selanjutnya dialami janin di dalam rahim, di mana janin
dilapisi oleh dua pembalut, charlon yang turun membantu plasenta, dan awnion
yang langsung melapisi janin.”
Selanjutnya Tim Penyusun Tafsir al-Muntakhab mengemukakan bahwa:
Mengenai penafsiran “tiga fase kegelapan” dalam ayat ini, memang terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Di antaranya, bahwa yang dimaksud
dengan tiga fase kegelapan itu, adalah: a) perut, rahim dan plasenta atau selaput
pembalut janin pada umumnya, b) perut, charlon dan awnion, c) Perut, punggung
dan rahim, d) indung telur, saluran valub dan rahim. Mereka pada akhirnya
berkesimpulan bahwa: “Tampaknya, pendapat terakhirlah yang paling kuat karena
merupakan tiga masa yang terpisah dan berbeda-beda tempatnya. Sedangkan
pendapat yang lain pada kenyataannya hanya menunjukan satu fase gelap pada
satu tempat dengan beberapa tingkatan. Allah sang Pencipta, telah mengisyaratkan
fakta ilmiah ini didalam kitab suci-Nya pada saat orang belum menemukan ovum
pada binatang mamalia, serta perjalanannya di dalam tubuh wanita yang jauh dari
penglihatan mata.33
f) Tafsir al-Azhar Q.S. Al-Nisā' (04): 01
ي ا ح ٱأ بٱنلاس ر ا ل ت جف ٱل ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ
و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن
ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
33
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MIṣBĀH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 12 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 188-189.
65
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”(Q.S. Al-Nisā' [04]: 01).
“Hai sekalian manusia! Bertakwalah kamu kepada Tuhanmu, yang telah
menjadikan kamu dari satu diri”. Seruan Tuhan pada ayat ini tertuju kepada
sekalian manusia, tidak pandang negeri atau benua, bangsa atau warna kulit.
Diperingatkan di sini dua hal, pertama supaya takwa kepada Allah, kedua supaya
mengerti, bahwa semua manusia ini, di bagian bumi yang manapun mereka
berdiam, namun mereka adalah satu saja. Tegasnya, Allah adalah Satu dan
kemanusiaanpun satu.
“Dan daripadanya dijadikan-Nya isterinya.” Yaitu dari sisi yang satu itu
jugalah ditimbulkan pasangannya, isterinya.
Baik juga juta ketahui, bahwasannya tafsir yang umum sejak dahulu, ialah
bahwa yang dimaksud dengan diri yang satu itu ialah Adam, yang daripadanya
dijadikan jodohnya. Menurut tafsiran sebagian besar ahli tafsir ialah isteri Adam
yang bernama Hawa itu Ibn Abi Syaibah dan Abd bin Humaid, Ibn Jarir, Ibn al
Mundzir dan Ibn Abi Hatim menjelaskan, bahwa mujahid memang menafsirkan
demikian. Yaitu bahwa diri yang satu itu ialah Adam dan Mujahid menafsirkan,
bahwa jodohnya dijadikan daripadanya itu ialah Hawa, yaitu dari tulang rusuk
Adam. Ibn al Mundzir dan Abd bin Humaid menjelaskan lagi, bahwa tulang rusuk
Adam itu, ialah tulang rusuk kiri yang di bawah sekali.
Menurut riwayat Abu Syaikh dari Ibn Abbas, bahwa beliau (Ibn Abbas)
menafsirkan begitu pula. Oleh sebab itu ahli-ahli tafsir yang datang dibelakangpun
menurutlah akan jejak langkah ahli-ahli tafsir yang dahulu itu, belum ada ahli
tafsir yang lama menafsirkan lain dari itu. Padahal dalam ayat yang ditafsirkan itu
sendiri tidaklah ada tersebut. Bahwa diri yang satu ini adalah Adam dan isteri atau
jodoh yang dijadikan daripadanya itu ialah Hawa. Dan tidak tersebut sama sekali
tentang tulang rusuk itu.
Sumber pertama ialah sabda Nabi yang dirawikan Bukhāri dan Muslim,
yang dahulupun ketika menafsirkan Adam dengan isterinya dalam syurga,
didalam Surat al-Baqarah telah kita salinkan. Nabi memperingatkan benar-benar,
66
supaya perempuan dipelihara baik-baik, sebab dia dijadikan dari tulang rusuk,
yang kalau tidak hati-hati memeliharanya, terlampau keras dia patah dan jika
dibiarkan saja dia tetap bengkok.
Ahli-ahli ijtihad itu tidak membantah hadis yang shahih ini, tetapi belum
dapat menumpangi paham, bahwa hadits ini dapat dijadikan alasan yang tepat
untuk mengatakan bahwa Hawa terjadi dari tulang rusuk sebelah bawah, sebelah
kiri Nabi Adam.
Setinggi-tingginya yang dapat di ambil dari hadis ini hanyalah, bahwa
tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau dikerasi akan
patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan dirinya yang dibuat dari
tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk. Dan yang jelas
sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam dunia ini tidaklah terjadi dari tulang
rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya. Yang menjadi pertikaian hanyalah
tentang Hawa itu sendiri. Bukan semua perempuan.
Dan coba pulalah renungkan baik-baik ayat ini sekali lagi. Dia adalah
dasar hidup dalam membangunkan masyarakat yang bertuhan dan
berperikemanusiaan. Dasar pertama, ialah percaya kepada Allah dan bertakwa
kepadaNya. Dia yang selalu menjadi isi pertanyaan antara kamu bila berjumpa
satu sama lain. Dan di dalam bertakwa kepada Tuhan itu pulalah dibina
silaturrahim antara sesama manusia. Sebab, pada hakekatnya kita ini sejak asal
semula jadi adalah dari satu diri.
Dengan ayat pertama ini dibuka Surat Al-Nisā'. Setelah ayat ini,
dipahamkan benar-benar, lalu masuklah kepada ayat yang kedua, yaitu tentang
memelihara anak yatim, tentang beristri lebih dari satu, dan setelah itu kelak
tentang pembayaran uang mahar atau mas nikah. Kelak tentang pernikahan,
perceraian, rumah tangga, pemeliharaan anak, bahkan sampai kepada urusan
perang dan damai. Semuanya hendaklah didasarkan kepada ayat pertama surat Al-
Nisā'. Pertama Takwa kepada Allah, kedua Rahim sesama keluarga
kemanusiaan.34
34
Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IV (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 276 & 284.
67
g) Tafsir al-Azhar Q.S. Al-An‟ām (06): 98
يٱو جف ل ك أ نش
أ ة و س ص حد ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا
ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada
tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-
tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām
[06]: 98)
Menurut kepercayaan kita orang Islam, dan sejarah Ahlul-kitab, Yahudi
dan Nasrani, bahwasannya kita manusia ini adalah berasal dari satu diri, yaitu
Nabi Adam a.s. maka diri yang satu itulah yang berkembang biak memenuhi dan
meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan bahasa dan warna kulit karena
pengaruh iklim. Kita ditumbuhkan sejak dari setetes mani, lalu berangsur tumbuh
menjadi segumpal nuthfah, kemudian itu „alaqah, kemudian itu Mudhghah,
kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia. Maka sebagaimana tumbuhnya biji
kecil, sampai menjadi pohon besar yang rindang, demikian pulalah pertumbuhan
manusia. Kemudian itu ditetapkan untuk sementara waktu tinggal di dunia ini,
setelah itu akan ditumpangkan di dalam kubur yang sunyi sampai datang masa
panggilan.
Pertumbuhan manusia yang berasal hanya dari satu jiwa itu, sehingga
sampai berkembang biak memenuhi dunia ini, ada pula ayat Allah yang patut
menjadi fikiran bagi manusia sendiri. Makhluk Allah yang bernama Insan ini,
meskipun bahan kejadiannya sama saja dengan makhluk yang lain, sama-sama
dari tanah, namun manusia adalah istimewa di antara segala yang hidup. Dia
menjadi Khalifah Allah dalam bumi. Dengan akalnya manusia itu dapat
membongkar rahasia yang disembunyikan Allah dalam bumi, sehingga bertambah
nyata kekayaan Allah itu.35
h) Tafsir Al-Azhar Q.S. Al- A‟rāf (07): 189
35
Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 290-291.
68
جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج اا ل ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي
أ ا ي تدع ٱل ى ئ ا ب ر اء اث ي لل ج
يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang
yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).
Setelah diperingatkan kepada kita, bahwa kiamat akan datang dengan tiba-
tiba dan Rasul Saw. Sendiripun tidak diberitahu apabila akan terjadinya. Dan
setelah diterangkan pula bahwa Rasul mempunyai kewajiban menyampaikan
peringatan kepada kita, yang berupa ancaman dan kabar gembira, untuk menjadi
pegangan bagi orang-orang yang percaya, sekarang dibawalah manusia kembali
kepada memikirkan kehidupannya sendiri. Sesudah ada rasa takut kalau-kalau
kiamat akan datang dalam sekejap mata. Disuruhlah kita kembali memikirkan
dasar hidup. Menunggu datangnya kiamat kita mesti meneruskan amal, dan
manusia mesti melanjutkan hidup. Berumahtangga, beranak-cucu. Maka
berfirman Allah:
“Dialah yang telah menciptakan kamu daripada diri yang satu, dan dia
jadikan daripadanya isterinya, supaya dia merasa tenang dengan dia.”(pangkal
ayat 189)
Sudah kita ketahui ketika menerangkan Surat al-Baqarah tentang kejadian
Adam dan Hawa, dan sudah kita ketahui pula tentang diri yang satu itu pada ayat
yang pertama dari Surat al-Nisā‟‟. Di sini tidak ada salahnya kalau kita ambil
jalan yang kedua, yaitu bahwasannya manusia itu, baik laki-laki ataupun
perempuan pada dasarnya adalah satu. Satu jiwa atau satu kejadian, yang bernama
jiwa insan. Yang membedakan di antara laki-laki dan perempuan hanya sedikit
perubahan pada kelamin saja. Sebab itu, baik laki-laki maupun perempuan, pada
hakikatnya adalah satu pada asal kejadiannya. Kemudian daripada diri yang satu
itulah dijadikan yang perempuan. Kita boleh berpendapat bahwa dari yang mula
terjadi adalah Adam. Sesudah Adam terjadilah Hawa yang diambil dari sebagian
69
badannya. Tetapi, kita pun boleh memahamkan bahwa yang dimaksud dengan
ayat yang tengah kita bicarakan ini ialah seluruh manusia di dunia ini, bukan
khusus Adam saja. Dari bagian diri atau jiwa atau kemanusiaan yang satu itulah
diadakan bakal istrinya. Untuk bekal istri dari seorang laki-laki tidaklah dicarikan
dari makhluk lain, melainkan dari sesama manusia juga, sekedar dirubah
kelaminnya menjadi penerima (pasif) dan jenis si laki-laki menjadi pemberi
(aktif).36
i) Tafsir al-Azhar Q.S. Luqmān (31): 28
ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu
jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.
Luqmān [31]: 28).
“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu
jiwa saja.” (pangkal ayat 28). Artinya ialah bahwa cara Allah membangkitkan
manusia kembali, setelah menempuh alam barzakh akan menempuh hari kiamat
serupa saja juga dengan ketika menciptakannya. Manusia pada mulanya dijadikan
daripada sari tanah, yaitu makan-makanan yang semuanya berasal dari tanah; baik
sayur, atau buah-buahan ataupun daging. Makanan itu yang membentuk darah.
Darah yang menyarikan mani. Mani yang jadi nuthfah bila telah tergabung mani
laki-laki dan mani perempuan, lalu dipelihara di dalam rahim; jadi nuthfah, jadi
„alaqah, jadi mudhghah. Inilah yang berangsur jadi manusia, sampai lahir ke
dunia. Maka kelak bilamana mereka akan dibangkitkan kembali dalam hidup yang
kedua kali, mereka akan timbul kembali dengan cara yang lain, yang Tuhan saja
yang tahu bagaimana caranya.
Maka dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa bagi-Nya, baik
menciptakan ataupun membangkitkannya kembali, sama saja semuanya,
36
Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IX (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 206-207.
70
bagaimana terjadi pada satu orang, terjadi pula pada semua orang. “Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” Maha mengetahui apa yang dikatakan
dan apa yang dikeluhkan oleh manusia. Maha Melihat apa yang dikerjakan dan
apa yang mereka lalaikan.37
j) Tafsir al-Azhar Q.S. Al-Zumar (39): 06
جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج
ع ل ز خ م
أ ي ج و ي ة ه يلل
أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف
ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ثص ف أ ٦فن
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri.” (pangkal ayat 6). Pangkal
ayat ini dapat kita renungkan lebih dalam. Kita renungkan pada diri kita sendiri
dan kesendiriannya, dalam kesatuannya. Aku ukurkan sakit senangku, sedih dan
gembiraku dengan manusia yang lain. Ternyata kerapkali apa yang terjadi pada
diri orang lain dapat aku rasakan seakan-akan pada diriku sendiri. Sebab itu pada
hakikat manusia dan perikemanusiaan itu adalah satu. Rasa menjadi manusia sama
saja di antara laki-laki dengan perempuan.
“Kemudian Dia jadikan daripadanya akan isterinya.” Yaitu bahwasannya
yang dijadikan isteri dari manusia yang laki-laki adalah sesama manusia juga.
Sebab itu maka pada hakikatnya mereka itu adalah satu. Barulah lebih sempurna
kesatuannya bilamana mereka telah bersatu. “Dan Dia menurunkan untuk kamu
delapan sepasang.” Delapan sepasang artinya ialah empat pasang; yaitu unta
seekor jantan seekor betina, sepasang. Sapi dan sejenisnya seekor jantan seekor
betina; sepasang. Domba seekor jantan dan seekor betina, sepasang. Kambing
37
Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 145-146.
71
seekor jantan dan seekor betina, sepasang. Binatang-binatang itu berjantan dan
berbetina, sebagaimana manusia pun berlaki-laki dan berperempuan.
“Dia menciptakan di dalam perut ibu-ibu kamu dalam keadaan suatu
ciptaan sesudah sesuatu ciptaan.” Ciptaan pertama bergabungnya dua mani dari
dua pihak laki-laki dan perempuan lalu menjadi nuthfah. Kemudian itu
berangsurnya mani yang telah menjadi nuthfah itu menjadi segumpal darah yang
bernama „alaqah. Kemudian, berangsurnya pula segumpal darah, „alaqah itu
menjadi daging segumpal yang bernama mudghah; “Dalam kegelapan yang
tiga.” Selama dalam tiga masa itu, nuthfah, „alaqah dan mudghah, manusia yang
dalam kandungan masih dalam suasana gelap; gelap dalam rahim, gelap dalam
keluntun yang dikelilingi air (ketuban) dan gelap dalam perut ibu itu sendiri.
Meskipun keadaan telah berubah tiga kali, namun gelap masih tetap tiga lapis
sebelum lahir.38
38
Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXVI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 12-13.
71
BAB IV
TELAAH PENAFSIRAN DAN ANALISIS SEMIOTIS TENTANG NAFS
WĀḤIDAH
Bab ini berisi tentang uraian penulis mengenai keseluruhan penjelasan
deskriptif-analisis dalam menafsirkan terma nafs wāḥidah yang telah
diinterpretasikan oleh para mufassir menurut semiotika Roland Barthes. Adapun
analisis ini telah dirangkum secara eksplisit dengan menerapkan teori semiotik
yang telah dirumuskan.
A. Analisis Makna Denotasi, Konotasi dan Metabahasa
Sebelum membahas konsep mitos Roland Barthes serta telaah penafsiran
tentang نفس واحدة, akan digambarkan dengan model semiotika Barthes dengan
mengetahui:
a. Makna denotasi yang merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal
yang dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan.
b. Makna konotasi, makna tingkat kedua yang tercipta dengan cara
menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih
luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi
suatu formasi sosial tertentu.
c. Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi hegemoni,
atau dengan kata lain, telah diterima sebagai hal yang “normal” dan
“alamiah”, mereka akan berfungsi sebagai peta-peta makna yang disebut
dengan mitos.
Peta Konsep Mitos Roland Barthes
C1 C2
E1 C1
E1 C1
C1 E2
Pn = C : Penanda = Isi Pt = E : Petanda = Ekspresi
72
Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola dua tanda: penanda dan
petanda. Dari gambar di atas dapat dilihat kalau dalam mitos terdapat dua sistem
semiologi, di mana salah satu sistem tersebut disusun berdasarkan keterpautannya
dengan yang lain: sistem linguistik, bahasa (atau mode representasi yang
dipandang sama dengannya) yang disebut dengan istilah bahasa-objek, sebab ia
adalah bahasa yang digunakan mitos untuk membentuk sistemnya sendiri; dan
mitos itu sendiri, yang disebut dengan metabahasa, karena ia adalah bahasa
kedua.1
Dengan mengacu pada konsep semiotika Roland Barthes serta telaah
penafsiran nafs wāḥidah, maka bisa dianalisis dan ditemukan makna yang ada
pada prosesi penciptaan perempuan. Dalam hal ini, dibagi menjadi lima analisis
semiotis sesuai dengan term nafs wāḥidah yang ada dalam Al-Qur‟an sebagai
berikut:
1. Nafs Wāḥidah Pada Surah al-Nisā'[04]: 01
ي ا ح ٱأ ٱنلاس بل ر ا ل جف ٱت ل ي ل خ ي ل ة و س حد ي ق او خ
و ز ب ح و ا الج رج ا در ن ا نص و ٱو ء ا ا ل ٱت ٱلل ا يت ص بل ٱو ۦء لن ام ر ل ح إن
ي ي ٱ ع ن ك لل ١ار قيبل“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”(Q.S. Al-Nisā' [04]: 01).
Seruan Allah pada ayat ini tertuju kepada sekalian manusia, tidak pandang
negeri atau benua, bangsa atau warna kulit. Diperingatkan di sini dua hal, pertama
supaya takwa kepada Allah, kedua supaya mengerti, bahwa semua manusia ini, di
1 Lina Shobariah, KONSEP MITOS ROLAND BARTHES DALAM TELAAH
EKOFEMINISME DAN TRADISI MEMACE MASYARAKAT LINGKUNGAN GEMPOL WETAN
KELURAHAN PABEAN KECAMATAN PURWAKARTA CILEGON-BANTEN (Skripsi s1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016) h. 40-41.
73
bagian bumi yang manapun mereka berdiam, namun mereka adalah satu saja.
Tegasnya, Allah adalah Satu dan kemanusiaanpun satu.2
Denotasi nafs wāḥidah pada ayat ini adalah seorang diri (Adam).
Konotasinya adalah jenis/unsur yang sama dengan Adam.
Metabahasa; Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan
kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat dari kain,
dan kain harus lebih lembut kepada jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan
berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta
pakaian yang indah, serasi dan nyaman.
2. Nafs Wāḥidah Pada Surah al-An‟ām[06]: 98
يٱو جف ل ك أ نش
أ ة حو س ص د ر ف مص ج ل و ي ك د د ع ج ف ص تي ألٱ ا
ف م ىل ح ن ٩٨ل “Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada
tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-
tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. Al-An‟ām
[06]: 98).
Pada ayat ini, bahwasannya kita manusia ini adalah berasal dari satu diri,
yaitu Nabi Adam a.s. maka diri yang satu itulah yang berkembang biak memenuhi
dan meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan bahasa dan warna kulit karena
pengaruh iklim. Kita ditumbuhkan sejak dari setetes mani, lalu berangsur tumbuh
menjadi segumpal Nuthfah, kemudian itu „Alaqah, kemudian itu Mudhghah,
kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia. Maka sebagaimana tumbuhnya biji
kecil, sampai menjadi pohon besar yang rindang, demikian pulalah pertumbuhan
manusia. Kemudian itu ditetapkan untuk sementara waktu tinggal di dunia ini,
setelah itu akan ditumpangkan di dalam kubur yang sunyi sampai datang masa
panggilan.3
Denotasi nafs wāḥidah pada ayat ini adalah seorang Diri (Adam).
2 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 313. 3 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 290.
74
Konotasinya adalah diri yang satu berkembang biak memenuhi dan
meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan bahasa dan warna kulit karena
pengaruh iklim.
Metabahasa; Manusia ditumbuhkan sejak dari setetes mani, lalu berangsur
tumbuh menjadi segumpal nuthfah, kemudian „alaqah, setelah itu mudhghah,
kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia. Maka sebagaimana tumbuhnya biji
kecil, sampai menjadi pohon besar yang rindang, demikian pulalah pertumbuhan
manusia.
3. Nafs Wāḥidah Pada Surah al-A‟rāf[07]: 189
جف ٱ ل ي ل يخ ل ة و س حد و ع و و ج از اىي ص إل ج ا ل ا ف ي ى ت غ ش ح ي ت ا فيفح خ رت لا ف با ۦ ا ث ف ي
ي أ ل ا ٱتدع ى ئ ا ب ر اء اث ي لل ج
يحص ىش ٱانل هج ١٨٩هري“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia
merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang
yang bersyukur". (Q.S. Al-A‟rāf [07]: 189).
Ketika menerangkan Surat al-Baqarah tentang kejadian Adam dan Hawa,
dan sudah kita ketahui pula tentang diri yang satu itu pada ayat yang pertama dari
Surat Al-Nisā'. Di sini tidak ada salahnya kalau kita ambil jalan yang kedua, yaitu
bahwasannya manusia itu, baik laki-laki ataupun perempuan pada dasarnya adalah
satu. Satu jiwa atau satu kejadian, yang bernama jiwa insan. Yang membedakan di
antara laki-laki dan perempuan hanya sedikit perubahan pada kelamin saja. Sebab
itu, baik laki-laki maupun perempuan, pada hakikatnya adalah satu pada asal
kejadiannya. Kemudian daripada diri yang satu itulah dijadikan yang perempuan.
Kita boleh berpendapat bahwa dari yang mula terjadi adalah Adam. Sesudah
Adam terjadilah Hawa yang diambil dari sebagian badannya. Tetapi, kita pun
boleh memahamkan bahwa yang dimaksud dengan ayat yang tengah kita
75
bicarakan ini ialah seluruh manusia di dunia ini, bukan khusus Adam saja. Dari
bagian diri atau jiwa atau kemanusiaan yang satu itulah diadakan bakal istrinya.
Untuk bekal istri dari seorang laki-laki tidaklah dicarikan dari makhluk lain,
melainkan dari sesama manusia juga, sekedar dirubah kelaminnya menjadi
penerima (pasif) dan jenis si laki-laki menjadi pemberi (aktif).4
Makna denotasi dari nafs wāḥidah adalah satu jiwa atau satu kejadian,
yang bernama jiwa insan.
Makna konotasinya adalah pasangan itu merasa tenang dan cenderung
hatinya kepada pasangannya. Pasangan suami isteri hendaknya menyatu menjadi
satu jiwa, arah dan tujuan, sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati”
bersama. Karena jiwa suami adalah juga jiwa istrinya.
Metabahasa; Pasangan itu merasa tenang dan cenderung hatinya kepada
pasangannya. Pasangan suami isteri hendaknya menyatu menjadi satu jiwa, arah
dan tujuan, sehingga mereka benar-benar sehidup dan “semati” bersama. Karena
jiwa suami adalah juga jiwa isterinya.
4. Nafs Wāḥidah Pada Surah Luqmān[31]: 28
ي اخ ب ع لل ل و ف دل ن إل ة و س حد يع ٱإن ش ٢٨ب صرلل “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam
kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu
jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Q.S.
Luqmān [31]: 28).
Dalam ayat ini, Tuhan menjelaskan bahwa bagi-Nya, baik menciptakan
ataupun membangkitkannya kembali, sama saja semuanya, bagaimana terjadi
pada satu orang, terjadi pula pada semua orang. Meskipun kita dapat mengetahui,
sebagaimana kejadian penciptaan itu, tetep tidak dapat ditiru. “Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” Maha mengetahui apa yang dikatakan
4 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IX (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 206-207.
76
dan apa yang dikeluhkan oleh manusia. Maha Melihat apa yang dikerjakan dan
apa yang mereka lalaikan.5
Makna denotasi nafs wāḥidah pada ayat ini adalah satu jiwa.
Makna konotasinya adalah Sari tanah, yaitu makan-makanan yang
semuanya berasal dari tanah; baik sayur, atau buah-buahan ataupun daging.
Makanan itu yang membentuk darah. Darah yang menyarikan mani.
Metabahasa; Setelah menempuh alam barzakh akan menempuh hari
kiamat serupa juga dengan ketika menciptakannya. Bagaimana terjadi pada satu
orang, terjadi pula pada semua orang. Meskipun kita dapat mengetahui,
sebagaimana kejadian penciptaan itu, tetap tidak dapat ditiru.
5. Nafs wāḥidah Pada Surah al-Zumar[39]: 06
جف ل ي ل خ ة و س حد و ع ج و ث ز ا ى ل ل ز أ و ا ٱج
ع ل ز خ م
أ ي ج و ي ة ه يلل
أ بطن ف ي جل لخ ي ب ع ا خ ظيم ق د ح خ ل ت ف
ذ ٱىل بل ر لل ي ل ٱل م إل ل إل ن ٦فن ثص ف أ
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan
daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang
berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu
kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah
Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain
Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan”. (Q.S. Al-Zumar [39]: 06).
Ayat ini dapat kita renungkan lebih dalam. Kita renungkan pada diri kita
sendiri dan kesendiriannya, dalam kesatuannya. Aku ukurkan sakit senangku,
sedih dan gembiraku dengan manusia yang lain. Ternyata kerapkali apa yang
terjadi pada diri orang lain dapat aku rasakan seakan-akan pada diriku sendiri.
Sebab itu pada hakikat manusia dan perikemanusiaan itu adalah satu. Rasa
menjadi manusia sama saja di antara laki-laki dengan perempuan.6
5 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 145-146. 6 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ XXVI (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 12-13.
77
Cara Allah membangkitkan manusia kembali, setelah menempuh alam
barzakh akan menempuh hari kiamat serupa saja juga dengan ketika
menciptakannya. Manusia pada mulanya dijadikan daripada sari tanah, yaitu
makan-makanan yang semuanya berasal dari tanah; baik sayur, atau buah-buahan
ataupun daging. Makanan itu yang membentuk darah. Darah yang menyarikan
mani. Mani yang jadi nuthfah bila telah tergabung mani laki-laki dan mani
perempuan, lalu dipelihara di dalam rahim; jadi nuthfah, jadi „alaqah, jadi
mudhghah. Inilah yang berangsur jadi manusia, sampai lahir ke dunia. Maka kelak
bilamana mereka akan dibangkitkan kembali dalam hidup yang kedua kali,
mereka akan timbul kembali dengan cara yang lain, yang Tuhan saja yang tahu
bagaimana caranya.7
Makna denotasi dari Nafs wāḥidah pada ayat ini adalah seorang diri
(Adam).
Adapun makna konotasinya adalah manusia memiliki tabiat yang sama,
ciri-ciri yang sama dan itu yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain.
Metabahasa; Perempuan bertemu dengan lelaki dalam ciri-ciri
kemanusiaan yang umum, kendati terdapat perbedaan-perbedaan dalam perincian
ciri-ciri itu. Ini semua mengisyaratkan kesatuan manusia – lelaki dan perempuan,
dan mengisyaratkan pula kesatuan kehendak pencipta jiwa yang satu itu dalam
kejadian kedua jenis kelamin manusia.
B. Analisis Mitos
Ide kelahiran Hawa dari tulang rusuk Adam, menurut Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha, timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian
II:21-22) yang menyatakan bahwa, “Ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh
Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging.
Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang
perempuan.
7 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IX (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 206-207.
78
Menurut kepercayaan yang sama pula, bahwasannya kita manusia ini
adalah berasal dari satu diri, yaitu Nabi Adam a.s. maka diri yang satu itulah yang
berkembang biak memenuhi dan meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan
bahasa dan warna kulit karena pengaruh iklim. Kita ditumbuhkan sejak dari
setetes mani, lalu berangsur tumbuh menjadi segumpal Nuthfah, kemudian itu
„Alaqah, kemudian itu Mudhghah, kemudian itu lahir ke dunia menjadi manusia.
Maka sebagaimana tumbuhnya biji kecil, sampai menjadi pohon besar yang
rindang, demikian pulalah pertumbuhan manusia.8
Tulis Rasyīd Ridhā: “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam
dan Hawa dalam Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan terlintas dalam benak seorang muslim”.9
Asal-usul penciptaan Hawa, dalam konteks ini akan menelaah nafs
wāḥidah dengan menggunakan semiotika Roland Barthes. Penulis telah
menganalisis makna denotasi, konotasi dan metabahasa yang merupakan langkah
awal yang dilakukan penulis dalam menganalisis mitos Roland Barthes.
Maka pada sub bab ini, penulis akan menganalisis mitos. Dari keseluruhan
penjabaran analisis makna denotasi, konotasi dan metabahasa,, terdapat tiga
bentuk ekspresi yang dapat ditarik menjadi satu makna, sehingga lahirlah mitos:
Pasangan Adam, Hawa, menurut beberapa literatur tafsir klasik diciptakan
dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita
selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan lelaki. Ini karena
semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan
wanita.10
Tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau
dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan dirinya
yang dibuat dari tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk.
8 Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 290-291. 9 M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 315. 10
M. Quraish Shihab, TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000) h. 313-320.
79
Dan yang jelas sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam dunia ini tidaklah
terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya. Yang menjadi
pertikaian hanyalah tentang Hawa itu sendiri. Bukan semua perempuan.11
Mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan bijaksana,
karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang berbeda dengan pria,
sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak ada
yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka
akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Dari keseluruhan uraian deskriptif analisis di atas, untuk lebih dipahami
akan penulis sajikan dalam bentuk tabel seperti di bawah ini.
Term
Kategori
Surah dan
Ayat dalam
Al-Qur‟an
Makna
Denotasi
Konotasi
Metabahasa
دةنفس واح
An-Nisā'[04]:
01
Seorang diri
(Adam)
Jenis yang sama
dengan Adam
Kekuatan
lelaki
dibutuhkan
oleh wanita
dan kelemah-
lembutan
wanita
didambakan
oleh pria.
Jarum harus
lebih kuat dari
kain, dan kain
harus lebih
lembut
kepada jarum.
Kalau tidak,
jarum tidak
akan
berfungsi, dan
kain pun tidak
akan terjahit.
11
Prof. Dr. hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ VII (Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983) h. 290-291.
80
Dengan
berpasangan,
akan tercipta
pakaian yang
indah, serasi
dan nyaman.
Al-An‟ām[06]:
98
Seorang diri
(Adam)
Diri yang satu
berkembang
biak memenuhi
dan meratai
dunia, dengan
berbagai bangsa
dan bahasa dan
warna kulit
karena pengaruh
iklim.
Manusia
ditumbuhkan
sejak dari
setetes mani,
lalu berangsur
tumbuh
menjadi
segumpal
nuthfah,
kemudian
„alaqah,
setelah itu
mudhghah,
kemudian itu
lahir ke dunia
menjadi
manusia.
Maka
sebagaimana
tumbuhnya
biji kecil,
sampai
menjadi
pohon besar
yang rindang,
demikian
pulalah
pertumbuhan
manusia.
Al-A‟rāf[07]:
189
Diri yang
satu
(Adam)
Satu jiwa atau
satu kejadian,
yang bernama
jiwa insan.
Pasangan itu
merasa tenang
dan
cenderung
hatinya
kepada
pasangannya.
Pasangan
suami isteri
hendaknya
menyatu
81
menjadi satu
jiwa, arah dan
tujuan,
sehingga
mereka benar-
benar sehidup
dan “semati”
bersama.
Karena jiwa
suami adalah
juga jiwa
istrinya.
Luqman[31]:
28
Satu jiwa
(Adam)
Sari tanah, yaitu
makan-makanan
yang semuanya
berasal dari
tanah; baik
sayur, atau
buah-buahan
ataupun daging.
Makanan itu
yang
membentuk
darah. Darah
yang
menyarikan
mani.
Setelah
menempuh
alam barzakh
akan
menempuh
hari kiamat
serupa juga
dengan ketika
menciptakann
ya.
Az-Zumar[39]:
06
Seorang diri
(Adam)
Manusia
memiliki tabiat
yang sama, ciri-
ciri yang sama.
Tabiat itu yang
membedakannya
dengan
makhluk-
makhluk lain.
Perempuan
bertemu
dengan lelaki
dalam ciri-ciri
kemanusiaan
yang umum,
kendati
terdapat
perbedaan-
perbedaan
dalam
perincian ciri-
ciri itu. Ini
semua
mengisyaratk
an kesatuan
manusia –
lelaki dan
perempuan,
82
dan
mengisyaratk
an pula
kesatuan
kehendak
pencipta jiwa
yang satu itu
dalam
kejadian
kedua jenis
kelamin
manusia.
Mitos nafs
wāḥidah
Tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang
kalau dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap
bengkok. Jadi bukan dirinya yang dibuat dari tulang rusuk,
melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk. Dan yang jelas
sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam dunia ini tidaklah
terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya.
Yang menjadi pertikaian hanyalah tentang Hawa itu sendiri.
Bukan semua perempuan.
Makna
Mitos nafs
wāḥidah
dalam
telaah
penafsiran
Mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang
berbeda dengan pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar
pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah
kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya
akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di bab-bab sebelumnya, kajian ini menemukan
bahwa mengacu pada konsep semiotika Roland Barthes serta telaah penafsiran
nafs wāhidah, maka dapat dianalisis dan ditemukan makna yang ada pada asal
usul penciptaan perempuan. Dalam hal ini, dari lima analisis semiotis sesuai
dengan term nafs wāhidah yang ada dalam Al-Qur’an dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: Denotasi nafs wāhidah adalah seorang diri (Adam). Konotasinya
adalah jenis yang sama dengan Adam, suatu genus, salah satu spesiesnya adalah
Adam dan pasangannya. Metabahasa; Kekuatan lelaki dibutuhkan oleh wanita dan
kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat dari kain,
dan kain harus lebih lembut kepada jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan
berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta
pakaian yang indah, serasi dan nyaman.
Kajian ini menemukan sesuatu berharga lain dari semiotika Roland
Barthes yaitu konsep mitos yang kemampuannya menguak makna universal yang
terdapat dalam al-Qur’an dengan penjelasan yang sistematis dan terstruktur,
sehingga terkuak nilai universal yang hendak disampaikan. Dengan menggunakan
perspektif semiologi Roland Barthes, penulis mendapatkan beberapa kesimpulan,
yakni dari analisa mitos Roland Barthes terhadap term نفس واحدة menghasilkan
nilai-nilai universal berupa:
1. Pasangan Adam, Hawa, menurut beberapa literatur tafsir klasik diciptakan
dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-
wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan
lelaki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari
gabungan antara pria dan wanita.
2. Tabiat, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau
dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan
dirinya yang dibuat dari tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai
84
tulang rusuk. Dan yang jelas sekali ialah, bahwa semua perempuan dalam
dunia ini tidaklah terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk
suaminya. Yang menjadi pertikaian hanyalah tentang Hawa itu sendiri.
Bukan semua perempuan.
3. Mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan bijaksana,
karena ada sifat dan kodrat bawaan perempuan yang berbeda dengan pria,
sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar.
Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang
berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang
rusuk yang bengkok.
B. Saran-saran
Semiotika Barthes banyak digunakan sebagai analisis iklan, pamflet, film,
majalah dan analisis teks-teks lainnya. Hal ini dipahami sebab kemunculannya
merupakan respon atas budaya-budaya borjuis di Prancis. Adapun objek material
selain teks-teks media seperti teks sastra maupun teks keagamaan masih sangat
jarang menggunakan pendekatan ini. Padahal, teks sastra dan teks keagamaan
khususnya al-Qur’an dipenuhi banyak tanda, baik itu struktur kalimat atau
struktur bahasa adalah lahan yang sangat potensial dikaji menggunakan
pendekatan semiotika Roland Barthes. Di samping itu, pendekatan ini menjadi
alternatif metode dalam kajian tafsir yang sering terjebak dengan krisis
metodologi.
Penelitian ini diharapkan menjadi stimulan bagi peneliti-peneliti di masa
yang akan datang untuk menerapkan pendekatan semiotika Roland Barthes dalam
kajian tafsir, karena pendekatan ini mampu menggali makna lebih dalam. Dengan
segala kekurangan dan kelebihannya, penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi
positif, dalam khazanah ilmu pengetahuan khususnya tafsir. Akhir kata, semoga
penelitian ini memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca.
85
DAFTAR PUSTAKA
Allajji, Muhammad. Struktur Dan Semiotik Surat Hud: Analisis Strukturalisme
Dan Semiotika Dalam Al-Qur‟an. Skripsi s1 Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Amir Piliang, Yasraf. HIPERSEMIOTIKA Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Bandung: Percetakan JalaSutra, 2003.
----------------. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: MATAHARI, 2010.
Arkoun, Muhammed. Kajian Kontemporer Al-Qur‟an, Penerjemah Hidayatullah,
Bandung: Penerbit Pustaka, 1998.
Baidan, Nashruddin. Tafsir bi Al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam
Al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1999.
Fuad Abd Al-Baqi, Muhammad. Mu‟jam Al Mufahrash li Lafdli al-Qur‟an al-Karim.
Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Fudhaili, Ahmad. Perempuan di Lembaran Suci. Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Van Zoest, Aart. Semiotika (Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya). Bandung: Yayasan Sumber Agung, 1993.
Elli, Jumni. Misteri Nafs al-Wahidah dalam Al-Qur‟an, Jurnal Perempuan,
Agama dan Gender Fakultas Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau.
Barthes, Roland. Elemen-Elemen Semiologi. Diterjemahkan oleh: Kahfie
Nazaruddin. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.
----------. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Diterjemahkan oleh: Ikramullah
Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
----------. Mitologi. Diterjemahkan oleh: Nurhadi, A. dan Sihabul Millah.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004.
----------. Petualangan Semiologi. Diterjemahkan oleh: Stephanus Aswar
Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Danesi, Marcel. Pesan Tanda dan Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Ghazali, Abd. Moqsith, dkk., Metodologi Studi Al-Qur‟an. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2009.
Hamka, TAFSIR AL AZHAR JUZ IV. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.
---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ VII. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.
86
---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ IX. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.
---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ XXI. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas, 1983.
---------. TAFSIR AL AZHAR JUZ XXVI. Bintaro: Penerbit Pustaka Panjimas,
1983.
H. Hoed, Benny. SEMIOTIK & Dinamika Siosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu, 2014.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina, 2012.
Kamil, Sukron. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Arab. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009.
Manzur Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Ibn. Al-Lisan al-„Arab Juz III. Kairo: Dar
al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968.
Mubarok, Husni. “Mitologisasi Bahasa Agama: Analisis Kritis dari Semiologi
Roland Barthes.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007.
Muhanif, Ali. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002.
Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama.
Malang: UIN Malang Press, 2007.
Imron, Ali. Semiotika Al-Qur‟an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf.
Yogyakarta: Teras, 2011.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan Dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap
Al-Quran. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
--------. Toshihiko. Konsep-Konsep Etika Religius dalam Al-Quran. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1997.
Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Abu. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi
Jilid VI. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid X. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid XI. Jakarta: Pustaka Azzam,
2008.
87
------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid XX. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
------------. Tafsir Ṭabarī. Penerjemah Akhmad Affandi Jilid XXII. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2008.
Jansz, Paul dan Litza Cobley, Mengenal Semiotika for Beginners. Bandung:
Mizan, 2002.
Kurniawan, SEMIOLOGI ROLAND BARTHES. Magelang: Yayasan
IndonesiaTera, 2001.
Makluf, Lewis. Al-Munjīd fi al-Lughah wa A‟lam. Beirut: Dār al-Masyriq, 1986.
Muhajir, Ahmad. Makna Nafs Wahidah dalam al-Qur‟an : Studi Analisis
Komparatif Penafsiran Rashid Rida dan Ibn kathir. Skripsi s1 Fakultas
Ushuluddin dan fisafat, Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya,
2017.
Muhanif, Ali, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Musṭafa al-Maraghi, Ahmad. Tafsir al-Maraghi, Jilid 2. Beirut: Dar-Fikr.
Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama.
Malang: UIN Malang Press, 2007.
Al-Qurṭubī, Imam. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid,
dkk. Jilid V. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
---------------. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid, dkk.
Jilid VII. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
---------------. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid, dkk.
Jilid XIV. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
---------------. Tafsir Al- Qurṭubī. Penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid, dkk.
Jilid XV. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.
Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedia al-Qur‟an: tafsir sosial berdasarkan konsep
konsep kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Al-Razi, Fakhruddin. At-Tafsîr al-Kabîr Aw Mafâtîh al-Ghayb, XIV/118. Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.
88
Rheinharz, Shulamit. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial. Jakarta:
Women Research Institute, 1992.
Salim, Agus. Penafsiran Ibn Katsir tentang Ayat-ayat Penciptaan Wanita dalam
al-Qur‟an (Studi atas Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adzhim). Skripsi s1 Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung, 2012.
Shihab, M. Quraish. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an
Volume 2. Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.
---------. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 4.
Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.
---------. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 11.
Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.
---------. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Volume 12.
Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000.
---------. Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan Umat.
Bandung: Penerbit Mizan, 2013.
Shobariah, Lina. Konsep Mitos Roland Barthes Dalam Telaah Ekofeminisme Dan
Tradisi Memace Masyarakat Lingkungan Gempol Wetan Kelurahan
Pabean Kecamatan Purwakarta Cilegon-Banten. Skripsi s1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2016.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.
Subayu, Rony. “Al-Qur‟an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland Barthes
Sebagai Metode Penafsiran Al-Qur‟an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Sunardi, ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik, 2004.
Tamam, M. Badrut Telaah Penafsiran Nafs Wahidah dalam al-Qur‟an. Skripsi s1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negri Sunan ampel
Surabaya, 2016.
Taufiq, Wildan. Semiotika untuk Kajian Sastra dan Al-Qur‟an. Bandung: Penerbit
Yrama Widya, 2016.
Ulumuddin, Kisah Nabi Luth dalam al-Qur‟an; Pendekatan Semiotika Roland
Barthles. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina, 1999.
89
Van Zoest, Aart. Semiotika (Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya). Bandung: Yayasan Sumber Agung, 1993.
Wadud, Amina. Qur‟an Menurut Perempuan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2006.
Zaki Mubarok, Ahmad. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-
Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur. Yogyakarta: El SAQ Press dan
TH Press, 2007.