91
REFERAT Syok pada Anak Disusun oleh: Kevin Edward Santoso (07120110052) Pembimbing: dr. Azis Masduki SpA. Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Shock Pada Anak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

as

Citation preview

REFERAT

Syok pada Anak

Disusun oleh: Kevin Edward Santoso (07120110052)

Pembimbing: dr. Azis Masduki SpA.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Marinir Cilandak

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

Periode 1 Juni – 7 Agustus 2015

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II SYOK 4

BAB III SYOK KARDIOGENIK 21

BAB IV SYOK HIPOVOLEMIK 26

BAB V SYOK ANAFILAKTIK 36

BAB VI SYOK NEUROGENIK 48

BAB VII SYOK SEPTIK 51

1

BAB I

PENDAHULUAN [1,2,3]

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi dengan akibat

ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolik lain ke jaringan serta

kegagalan pembuangan sisa metabolisme. Syok merupakan salah satu penyebab

utama dari morbiditas dan mortalitas pada anak yang harus ditangani dengan cepat

dan efektif oleh tenaga medis yang tepat. Penilaian dan penanganan syok yang

lambat menyebabkan perkembangan penyakit yang buruk dari syok yang

terkompensasi dan reversibel menjadi syok yang tidak terkompensasi dan tidak

reversibel dengan adanya kegagalan fungsi organ bahkan sampai kematian.

Menurut WHO dalam penilaian dari tahun 2000 sampai 2003, terdapat enam

penyebab syok terbesar yang menyebabkan kematian pada anak-anak dengan

umur kurang dari 5 tahun. Penyebab syok yang terutama adalah pneumonia

(19%), diare (18%), malaria (8%), pneumonia atau sepsis pada neonatus (10%),

persalinan prematur (10%), dan asfiksia saat lahir (8%). Penelitian epidemik di

negara Asia Tenggara, sindroma syok hemoragik sangat dominan pada anak-anak

dengan umur 15 tahun kebawah dengan penyebak utamanya adalah sindroma

syok dengue. Dari sekitar 3.185 anak-anak yang dipilih secara acak dari sekolah-

sekolah dan rumah-rumah, sekitar 7 dari 1000 menderita sindroma syok dengue.

Dalam penelitian di Amerika, setiap tahunnya, terdapat sekitar 0,56 kasus dalam

1000 anak dengan syok dirawat di rumah sakit. Dari kasus-kasus yang tercatat,

kebanyakan merupakan kasus syok pada bayi-bayi dengan berat badan rendah

atau sangat rendah. Angka mortalitas sekitar 10,3% dari sepsis berat dengan

adanya kegagalan fungsi organ. Penelitian yang diadakan di Nevada pada tahun

1998 sampai 2006 membuktikan bahwa dari 147 kasus syok pada anak, 57%

disebabkan atau merupakan syok septik, syok hipovolemik disebabkan karena

gastroenteritis, penyakit metabolik, kasus bedah, atau perdarahan dan mewakili

24%, 14% disebabkan oleh syok distributif dan 5% oleh syok kardiogenik.

Secara umum syok atau kegagalan perfusi secara klinis dapat ditegakkan

dengan adanya: (1) hipotensi (dengan kata lain, tekanan darah sistolik kurang dari

2

90 mmHg atau tekanan rata-rata arteri atau mean arterial pressure atau MAP

kurang dari 60 mmHg atau berkurang lebih dari 30% dalam setidaknya 30 menit),

(2) oligouria (dengan kata lain, produksi urin kurang dari 20 ml per jam atau 0,3

ml/kg/jam dalam 2 jam berturut), dan (3) perfusi perifer yang buruk (seperti

contohnya, kulit atau akral terasa dingin atau pengisian kapiler yang lambat).

3

BAB II

SYOK

2.1 Definisi [1,5,6]

Syok merupakan satu keadaan yang mengancam nyawa yang

dikarakteristikan dengan kurangnya pemasokan oksigen di dalam sirkulasi

mikro yang menyebabkan hipoksia pada jaringan dan gangguan seluler.

Guyton dkk mendefinisikan syok sebagai syok sirkulasi dengan adanya

aliran darah yang tidak adekuat di dalam tubuh sampai dengan adanya

pengrusakan jaringan-jaringan terutama disebabkan karena oksigen dan

nutrisi-nutrisi lainnya yang terlalu sedikit. Syok adalah sindrom klinis akibat

kegagalan sistem sirkulasi dengan akibat ketidakcukupan pasokan oksigen

dan substrat metabolik lain ke jaringan serta kegagalan pembuangan sisa

metabolisme.

2.2 Etiologi [5,6,7]

Syok dapat dibagi menjadi empat kategori atau klasifikasi besar dengan

penyebab masing-masing seperti dibawah ini:

6.1 Syok kardiogenik

Infark miokard

Kardiomiopati

Penyakit pada katup jantung

Ruptur ventrikel

Gangguan jantung kongenital

Ruptur otot papiler

6.2 Syok obstruktif

Emboli paru

Kardiak tamponade

Tension pneumothorax

Aneurisma aorta

6.3 Syok hipovolemik

4

Perdarahan akut

Dehidrasi karena muntah atau diare

Penggunaan diuretik berlebihan

Luka bakar

Pankretitis

6.4 Syok distributif

Anafilaksis

Trauma saraf atau syok neurogenik

Trauma tulang belakang

Anastesi spinal

Sepsis atau syok septik

2.3 Patofisiologi [5,6,7]

Syok ditandai dengan adanya ketidak-seimbangan antara pemasokan

oksigen dan kebutuhan oksigen di dalam sel. Ketika sel tidak memiliki

jumlah oksigen dan nutrisi yang cukup, sel tidak dapat mencukupi

kebutuhan metabolisme tubuh. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia di

dalam sel yang kemudian menyebabkan kegagalan fungsi dan kemudian

berlanjut pada kerusakan organ yang irreversible dan terakhir pada

kematian. Secara umum syok dibagi menjadi empat klasifikasi besar seperti

yang sudah disebut di atas. Syok kardiogenik disebabkan karena gangguan

pada jantung yang menyebabkan pengeluaran jantung berkurang tanpa

diiringi dengan gangguan volume darah. Syok obstruktif terjadi ketika

adanya penyumbatan pada sistem sirkulasi yang mengganggu kerja jantung

seperti pada emboli paru atau kardiak tamponade. Syok obstruktif sangat

berhubungan dengan syok kardiogenik karena sama-sama berbasis pada

kerja jantung yang tidak baik, dengan demikian banyak sumber yang

memasukkan syok obstruktif ke dalam syok kardiogenik. Syok hipovolemik

dihubungkan dengan hilangnya volume darah akibat dari perdarahan atau

hilangnya cairan ekstrasel secara berlebihan akibat muntah-muntah, diare

atau diuresis yang berlebih. Syok distributive ditandai dengan meningkatnya

ruang vaskuler karena adanya vasodilatasi patologis. Contoh dari syok ini

5

adalah syok anafilaktik, neurogenik, dan septik yang masing-masisng

memiliki karakter tersendiri seperti pada tabel 1, namun semuanya

dihubungkan dengan gangguan oksigenasi jaringan yang dapat berlanjut

pada syok refrakter dan gagal organ.

TABEL 1 PERBANDINGAN PENEMUAN KLINIS PADA TIPE-TIPE SYOK YANG BERBEDA

PARAMETER KARDIOGENI

K

HIPOVOLEMIK SEPTIK

Hipotensi Ya Ya Ya

Systemic vascular

resistance

↑ ↑ ↓

Cardiac output ↓ ↓ ↑

Cardiac preload ↑ ↓ ↓

Saturasi oksigen

vena

↓ ↓ ↑

Output urin ↓ ↓ ↓

Suhu akral Dingin Dingin Hangat

Kerusakan Oksigenasi di dalam Jaringan

Faktor terpenting dan terutama di dalam semua klasifikasi syok adalah

rusaknya penggunaan oksigen di dalam sel yang kemudian merusak fungsi

organ dan jika menjadi parah dapat terjadi kematian sel, disfungsi organ,

dan perangsangan reaksi inflamasi.

Penyebab dari kerusakan penggunaan oksigen di dalam sel berbeda-

beda menurut jenis syoknya, namun hasil akhirnya tetap sama. Pemasokan

oksigen yang terus-menerus sangat dibutuhkan oleh setiap sel untuk

memproduksi energy yang cukup dalap bentuk ATP atau adenosine

triphosphate. Kurangnya jumlah oksigen yang tersedia di dalam sel akan

dengan cepat merusak metabolisme aerobik dari glukosa, asam lemak, dan

asam amino dan menyebabkan setiap sel tersebut harus bergantung pada

glikolisis yang tidak efisien dalam memproduksi ATP. Glikolisis adalah

6

satu proses berbasis kerja enzim yang mengubah glukosa menjadi piruvat

dengan hasil bersih dua molekul ATP untuk setiap molekul glukosa. Jika

oksigen tersedia, piruvat akan masuk ke dalam mitokondria dan masuk

kedalam siklus asam sitrat. Di dalam keadaan kurang oksigen, siklus ini

terinhibisi dan piruvat akan berakumulasi di dalam sitoplasma. Akumulasi

jumlah piruvat akan dengan cepat menghambat proses glikolisis lainnya dan

menutup produksi ATP seluruhnya, jika tidak maka piruvat akan diubah

menjadi laktat. Laktat akan berdifusi dari dalam sel ke daerah ekstraseluler

dan menumpuk di dalam aliran darah (biasanya ditandai dengan kadar laktat

lebih dari 5-6 mmol/L) dan ini merupakan tanda dari adanya hipoksia

jaringan.

Pemasokan ATP yang tidak adekuat menghambat fungsi dan kerja sel

khususnya untuk yang membutuhkan energy termasuk pengaturan

keseimbangan konsentrasi ion-ion di dalam dan di luar sel. Karena

terjadinya gradien ion yang timpang, ion natrium dan kalsium cenderung

untuk bocor ke dalam sel. Dalam tahap ini pompa-pompa ion yang

bergantung pada ATP di dalam sel membran harus memompa ion-ion yang

bocor secara terus-menerus ke luar. Kegagalan dari kerja pompa ini

menyebabkan natrium dan air untuk berakumulasi di dalam sel atau sering

disebut dengan hydrophic swelling dan banyak terdapat ion kalsium bebas

di dalam sel. Kalsium bebas di dalam sel merangsang kaskade sel yang

kemudian akan terus-menerus menambah kerusakan produksi energy dan

merusak integritas membran. Kematian sel dari kekurangan oksigen akan

secara bertahap berlangsung dari hitungan menit sampai beberapa jam

tergantung dari kecepatan aktivitas metabolisme sel. Namun, kekurangan

oksigen dalam satu periode yang cepat sudah dapat memulai kaskade-

kaskade di dalam sel yang kemudian berakhir pada kerusakan sel.

Mekanisme kerusakan sel ini dapat dilihat pada skema 1. Dua aspek yang

paling penting di dalam kaskade ini adalah (1) pembentukan radikal bebas

oksigen, dan (2) pembentukan sitokin-sitokin inflamasi.

Sel-sel yang kekurangan oksigen dalam dalam masa iskemik dapan

menghasilkan radikal bebas khususnya jika pasokan oksigen kembali.

7

Proses ini disebut dengan injuri reperfusi. Molekul-molekul oksigen yang

reaktif adalah seperti superoxide (O2-), peroksida (H2O2), radikal hidroksil

(OH-), dan oksigen singlet (O). Molekul-molekul ini tidak stabil dan akan

menyerang struktur membran, mengdenaturasi protein-protein, dan merusak

DNA. Sumber lain dari radikal-radikal bebas adalah sel-sel imun terutama

neutrofil yang biasanya dipanggil dan berkumpul di area injuri. Dengan

demikian, injuri pada sel dapan terus berlangsung dan secara bertahap

terjadi dalam jangka waktu yang lama setelah keadaan hipoksik teratasi.

Skema 1: Syok merupakan satu proses yang kompleks dengan adanya hipoksia selular,

pembentukan radikal bebas, dan inflamasi sistemik. Semua jenis syok dapat dihubungkan

dengan gangguan oksigenasi jaringan yang merangsang kaskade yang berakhir pada injuri

jaringan dan kematian. ATP = Adenosine triphosphate.

Peranan sitokin-sitokin imun di dalam syok sudah lama menjadi topik

pembelajaran terutama di dalam syok septik. Peranan dari sitokin-sitokin

diperkirakan sama dengan tahap akhir dari jenis syok lainnya. Makrofag dan

8

sel-sel di dalam jaringan distimulasi untuk mengeluarkan sitokin inflamasi

karena adanya injuri hipoksik di jaringan dan pada kasus septik syok, karena

adanya endotoxin atau antigen dari mikroorganisme yang menginvasi.

Kadar tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) telah

dibuktikan meningkat di dalam pembuluh darah dari pasien dengan syok

septik dan sangat penting sebagai mediator dari kegagalan vaskuler dan

kerusakan organ yang berkelanjutan. Beberapa sitokin imun lainnya dapat

dihubungkan ke dalam patogenesis syok seperti pada tabel 2. Mediator-

mediator ini dapat menjadi salah satu cara pengobatan untuk di kemudian

harinya.

TABEL 2 SITOKIN-SITOKIN IMUN DAN NEUROHORMON YANG DAPAT DIASOSIASIKAN DENGAN SYOK

MEDIATOR DISFUNGSI YANG TERASOSIASI

IL-1α Inflamasi, vasodilatasi, kebocoran vaskularIL-1β Inflamasi, vasodilatasi, kebocoran vaskularIL-6 Demam, peningkatan protein fase akutTNF-α Inflamasi, aktivasi neutrofilIL-10 Anti-inflamasi, dapat menekan syokTGF-β Fibrosis, edema paruPAF Aktivasi platelet, kemotaksisPAL-1 Peningkatan proses pembekuan, trombosisSubstansi P Pro-inflamasi

KemokinPemanggilan neutrofil dan pengikatan dengan endothelial pembuluh darah

Nitric oxide VasodilatorC5a KemotaksisProtein C Menghambat pembentukan trombus

VasopresinMemperbaiki tonus vascular dan respon terhadap norepinefrin/epinefrin

Kortisol Anti-inflamasi dan respon terhadap norepinefrin/epinefrinEndotelin VasokonstriksiAdrenomedulin VasodilatasiNorepinefrin VasokonstriksiEpinefrin Inotropik, bronkodilatasiLeukotriene Inflamasi, bronskospasmeHistamin Meningkatkan permeabilitas vaskuler, edemaHeparin Menghambat kerja histaminAngiotensin II Vasokonstriksi

9

Protein heat-shock

Menjaga struktur protein dan fungsinya, menghambat apoptosis

Kunci dari syok adalah kegagalan dari sirkulasi mikro tanpa adanya

gangguan pada aliran darah atau sistem regulasi darah. Jaringan yang

normal dapat menyesuaikan aliran darah dengan kebutuhan metabolisme di

interval tekanan darah yang bervariasi. Mekanisme ini memastikan bahwa

aliran darah didistribusikan secara adil ke jaringan sesuai dengan kebutuhan

metabolismenya. Padas yok, sistem autoregulasi ini gagal yang

menyebabkan adanya distribusi aliran darah yang tidak normal. Beberapa

ruang kapiler mendapatkan aliran yang tidak adekuat sehingga berangsur-

angsur menjadi hipoksik dan di lain ruang aliran darah begitu banyak

sehingga terdilatasi dan mendapatkan aliran berlebih. Dengan kemajuan

teknologi, sudah dapat dibuktikan adanya gangguan perfusi di sirkulasi

mikro. Gangguan-gangguan ini berbeda menurut penyebab utama dari syok

itu sendiri. Dalam kasus output kardiak yang berukarang pada syok

hipovolemik atau syok kardiogenik, keduanya sama-sama memiliki

penurunan aliran darah melalui arteriol-arteriol, kapiler-kapiler, dan venul-

venul yang secara langsung menambah derajat berat dari penurunan output

kardiak. Di dalam syok distributif, seperti pada syok septik, aliran darah

mikro bermacam-macam di dalam setiap jaringan. Beberapa jaringan

mempunya kapiler yang tertutup dan lainnya memiliki kapiler yang terbuka.

Sering juga terjadi adanya laku aliran yang tinggi melalui venul-venul dan

derajat berat gangguan sirkulasi mikro tidak berhubungan dengan

hemodinamika sistemik. Secara umum, ketidakseimbangan ini

menyebabkan yang dapat disebut dengan ‘hutang oksigen’ di dalam

jaringan. Hutang ini dapat dapat diperkirakan secara klinis dengan kadar

laktat pada serum dan derajat asidosis metabolik. Dua indicator ini

menandakan adanya perpindahan dari metabolisme anaerobik karena

jaringan-jaringan yang kekurangan oksigen.

Pada syok septik, sitokin-sitokin imun dipercaya sebagai akar dari

masalah distirbusi sirkulasi mikro yang tidak normal. TNF-α, IL-1, dan

mediator inflamasi lainnya menyebabkan sel-sel vascular untuk

10

memproduksi vasodilator yang berlebihan yaitu nitric oxide. Kadar dari

nictric oxide dalam batas normal dipercayai mempunyai sifat protektif pada

saat syok, namun sebaliknya jika berlebih dapat membahayakan. Nitric

oxide diproduksi oleh sel-sel endotel dan otot halus pada vaskuler darah

oleh dua enzim yaitu: nitric oxide sintase (NOS) dan nitric oxide sintase

yang dapat diinduksi (iNOS). TNF-α dan IL-1 menambah aktivitas dari

iNOS yang menyebabkan sintesis dari nitric oxide yang berlebih. Hal ini

dapat dilihat pada skema 2.

Skema 2: Produksi nitric oxide berlebih menjadi mekanisme yang penting untuk kegagalan

vaskular di dalam syok. TNF-α dan IL-1 menjadi mediator yang menyebabkan sintesis

nitric oxide meningkat. Sitokin-sitokin ini dikeluarkan oleh makrofag yang diaktivasikan

oleh injuri pada jaringan atau toksin-toksin.

Tindakan untuk mengurangi hutang oksigen di dalam sirkulasi mikro dan

untuk mengembalikan distribusi aliran darah dengan tanda dari konsentrasi

laktat dan keseimbangan asam-basa menjadi patokan utama dalam terapi

semua tipe syok.

11

Mekanisme Kompensasi dan Tahapan Syok

Beberapa respon kompensasi terjadi untuk mengembalikan perfusi

jaringan dan oksigenasi pada tahap awal dari syok. Respon terhadap syok

dapat dibagi menjadi tiga tahapan klinis yaitu: syok terkompensasi, syok

progresif, dan syok refrakter. Walaupun tahapan-tahapan ini penting dalam

menilai prognosis dan kesembuhan pasien, syok dilihat sebagai satu

perjalanan dimana fungsi kompensasi menjadi tidak efektif selama sirkulasi

semakin dirusak.

Output kardiak yang tidak cukup dan penurunan perfusi jaringan

merupakan tahap awal dari semua jenis syok. Output kardiak yang tidak

cukup dapat disebabkan dari pompa yang tidak efektif (pada syok

kardiogenik dan syok obstruktif) atau kurangnya volume darah untuk

mengisi ruang vaskular (pada syok hipovolemik dan syok distributif).

Beberapa mekanisme kompensasi dicetuskan oleh kurangnya output kardiak

dalam membalikkan tekanan perfusi ke jaringan. Hal ini dapat dilihat pada

skema 3. Baroreseptor terletak di dalam aorta dan arteri karotis yang secara

cepat akan merasakan adanya penurunan pada tekanan dan mengirimkan

sinyal ke pusat vasomotor di medulla. Rangsangan saraf simpatetik

menghasilnya peningkatan pada output kardiak dan hambatan vaskular.

Karena tekanan darah ditentukan oleh hasil dari output kardiak dan

hambatan vaskular, maka peningkatan di salah satu atau kedua faktor

tersebut akan mengembalikan tekanan darah. Saraf simpatetik

meningkatkan output kardiak melalui beberapa mekanisme. Medulla di

adrenal dapat dirangsang untuk mengeluarkan sejumlah katekolamin berupa

epinefrin dan norepinefrin yang akan bersirkulasi ke jantung dan

merangsang reseptor β1. Reseptor ini bertanggung jawab untuk

meningkatkan laju nadi dari jantung dan memaksa kontraksi untuk

meningkatkan output kardiak. Saraf simpatetik juga meningkatkan arus

balik vena ke dalam jantung dengan vasokonstriksi pembuluh darah kecil

yaitu arteriol dan venul. Vasokonstriksi dari arteri mengurangi aliran ke

ruang-ruang kapiler dan menyebabkan tekanan hidrostatik dari kapiler

12

menurun. Cairan akan diserap kembali dari ruang interstisial dan membantu

meningkatkan volume darah dan memperbaiki preload. Pembuluh darah di

kulit, ginjal, dan saluran pencernaan akan berkonstriksi dan membuka darah

ke jantung dan otak.

Skema 3: Mekanisme kompensasi yang dicetuskan di dalam syok untuk membantu

menjadi tekanan darah arteri walaupun adanya penurunan output kardiak. HR = nadi. SNS

= sistem saraf simpatetik.

Saraf simpatetik akan merangsang sel-sel di dalam ginjal untuk

memproduksi renin yang akan mencetuskan kerja dari sistem renin-

angiotensin-aldosteron. Renin juga disekresikan dari ginjal karena adanya

penurunan aliran darah dan tekanan darah pada arterio aferen. Rening

mencetuskan pembentukan angiotensin II yang merupakan vasokonstriktor

dan juga merangsang nefron-nefron ginjal untuk mempertahankan natrium

dan air. Pertahanan volume air dari ginjal ini dikuatkan dengan kerja

aldosterone yang disekresikan dari korteks adrenal karena kerja dari

13

angiotensin II. Pennyerapan kembali air di dalam ginjal dapat membantu

meningkatkan volume darah dan meningkatkan arus balik vena ke jantung.

Hormon lainnnya, hormon antidiuresis atau vasopressin yang dikeluarkan

dari pituitari posterior karena penurunan dari volume darah. Hormon

antidiuretic merangsang tubulus-tubulus ginjal untuk menyerap kembali air

dan memperbaiki respon vaskuler terhadap katekolamin. Pada saat syok,

jumlah urin yang keluar akan turun sampai dengan titik nol karena ginjal

mencoba untuk mempertahankan cairan untuk menjaga volume darah dan

output kardiak. Namun sayangnya, tubulus-tubulus ginjal sering

mendapatkan kerusakan atau injuri dari kurangnya aliran darah ke tubulus

yang merupakan komplikasi yaitu gagal ginjal akut.

Mekanisme-mekanisme kompensasi ini bekerja dengan baik pada tahap

awal dari syok hipovolemik dan akan menjaga tekanan darah di interval

normalnya sampai volume dari darah yang hilang menjadi berlebihan. Hal

ini dapat dilihat pada skema 4.

Skema 4: Pada tahap awal dari hipovolemia, tekanan darah masih stabil walaupun output

kardiak sudah mulai menurun. Ketika volume darah hilang sekitar 25% dari total volume

darah, tekanan darah turun secara cepat.

Pada syok jenis lain mekanisme kompensasi tidak begitu efektif dalam

mengembalikan output kardiak. Pada syok kardiogenik respon kompensasi

dapat memperburuk preload yang sudah tinggi dan menambah kerja dari

jantung yang sudah gagal. Pada syok distributif, sistem vaskular tidak

14

respon terhadap sinyal dari saraf simpatik untuk konstriksi. Darah akan

berkumpul di jaringan perifer yang kemudian akan membuat jantung

menjadi susah untuk menjaga output kardiak walaupun ada stimulasi

simpatetik untuk meningkatkan kontraksi dan kecepatan gerak jantung.

Kompensasi dan tahap awal dari syok sangat susah untuk dideteksi

secara klinis. Keadaan kompensasi dapat dilihat pada skema 5.

Skema 5: Manifestasi klasik pada syok. ADH = hormone antidiuretic. SBP = tekanan

darah sistolik

Kecurigaan tinggi diperlukan pada pasien dengan gagal jantung, trauma,

perdarahan dan infeksi berat. Sebagai tambahan, beberapa penemuan klinis

seperti di bawah ini biasanya ditemukan pada pasien:

1. Pulse pressure yang sempit dengan atau tanpa hipotensi

2. Takikardia lebih dari 100 denyut per menit

3. Pernapasan cepat dan dalam

4. Volume urin yang berkurang

5. Peningkatan spesifik gravity pada urin

6. Kulit dingin dan clammy

7. Penurunan kesadaran

8. Dilatasi pupil

Manifestasi klinis sangat bervariasi dan berbeda-beda diantara masing-

masing individu menurut umurnya, penyakit yang menyertai atau komorbid,

15

dan etiologi spesifik dari syok itu sendiri. Ada satu ketika dimana karena

begitu besarnya varietas di dalam pasien, mekanisme kompensasi tidak

dapat lagi mempertahankan perfusi yang cukup ke dalam jaringan dan sel

sehingga injuri hipoksik dimulai. Pada tahap inilah disebut dengan tahap

progresif di dalam syok. Pengobatan dan intervensi medis yang aktif

diperlukan pada tahap ini atau pasien biasanya tidak dapat diselamatkan.

Seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa kurangnya pemasokan oksigen

ke dalam jaringan menghasilnya injuri hipoksik, kerusakan akibat radikal

bebas dan stimulasi respon inflamasi. Asidosis laktat juga dapat terjadi pada

tahap progresif ini. Kemudian sebagai tanda dari metabolisme anaerobik,

laktat dapat mengubah keseimbangan asam-basa di dalam darah dan

menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik menambah beban

pada sistem pernapasan dan sistem ginjal dan dapat berangsur-angsur

menyebabkan gangguan organ lainnya. Asidosis metabolik dapat

mempengaruhi keseimbangan elektrolit dan mengakibatkan gangguan ritme

serta sistem konduksi jantung. Beberapa faktor depresi otot jantung juga

dikeluarkan sehingga kontraksi otot jantung menjadi terganggu. Faktor-

faktor inilah yang berkontribusi dalam penurunan output kardiak dan

menjadi siklus yang tidak selesai-selesai dan berangsur-angsur memperberat

hipoksia.

Ketika keadaan syok ini berlangsung terus-menerus, kegagalan sistem

vaskular mulai terjadi. Arteriol menjadi tidak responsive terhadap

katekolamin dan semua ruang vaskular yang tadinya terkonstriksi menjadi

dilatasi. Dilatasi dari pembuluh darah yang menyeluruh serta adanya output

kardiak yang rendah akan menghasilkan keadaan hipotensi yang berat.

Tekanan darah yang rendah tentu saja tidak dapat secara adekuat

memberikan perfusi ke organ-organ. Pada saat inilah syok berada pada

tahap dimana pengaruh dari syok memberikan proses-proses syok yang

berakumulasi dan berkelanjutan. Kerusakan pada jaringan akan

mengaktivasi kaskade pembekuan yang akan berkontribusi pada aliran

darah yang lambat, trombosis di dalam pembuluh darah dan menyebabkan

iskemia organ yang banyak. Mediator-mediator inflamasi yang diproduksi

16

dengan adanya oklusi vaskular akan menyebabkan gagal organ. Beberapa

organ yang sangat rentan adalah ginjal, hati, dan paru-paru. Pada tahap

inilah dimana syok refrakter terjadi dan pasien menjadi tidak responsif

terhadap intervensi obat.

Tahap progresif dari syok ditandai dengan beberapa manifestasi klinis

seperti dibawah ini:

1. Tekanan darah rendah biasanya kurang dari 90 mmHg

2. Pulse pressure yang sempit

3. Takikardia

4. Gagal ginjal akut dengan tanda oligouria, peningkatan kadar urea

darah dan kreatinin di dalam serum

5. Penurunan kesadaran

6. Peningkatan laju napas

7. Asidosis metabolik dan respiratorik dengan hipoksemia

2.4 Komplikasi Syok [6,7]

Proses patologis dari keadaan syok dan pengaruhnya terhadap banyak

organ dapat mengakibatkan komplikasi-komplikasi yang mengancam

keselamatan pasien. Pada syok berat dengan etiologi manapun terutama

pada syok septik, reaksi inflamasi umum dapat terjadi dan dipercayai

berkontribusi pada kerusakan organ yand dihubungkan dengan syok.

Komplikasi yang dapat dihubungkan dengan syok adalah sindroma gawat

nafas akut, disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut,

dan sindroma gagal organ multipel atau multiple organ dysfunction

syndrome (MODS). Kerusakan pada sistem organ dapat tetap terjadi

walaupun masalah utama dari syok sudah teratasi. Sitokin-sitokin inflamasi

dipercayai memperantarai kerusakan organ dengan mengubah metabolisme,

memanggil neutrofil, menginisiasi kaskade koagulasi, dan mengubah

permeabilitas kapiler.

Sindroma Gawat Nafas Akut

17

Sindrom gawat nafas merupakan satu bentuk kegagalan sistem

respiratori yang sering dihubungkan dengan syok septik. Sindroma gawat

nafas ditandai dengan adanya hipoxemia refrakter, penurunan

pengembangan paru, dan hasil radiologic yaitu adanya edema paru yang

diasosiasikan dengan preload kardiak yang normal atau edema paru non-

kardiogenik. Angka mortalitas pada pasien dengan syok yang memiliki

komplikasi sindroma gawat nafas adalah sekitar 34% sampai 64%.

Penyebab kematian utama pada pasien dengan sindroma gawat napas adalah

karena kegagalan organ menyeluruh bukan karena hipoksemia berat.

Paru-paru merupakan sasaran yang paling sering dari kerusakan yang

dimediasi oleh imun di dalam segala jenis syok. Iskemia pada jaringan

bahkan pada jaringan yang jauh dari paru-paru, akan berakhir pada migrasi

neutrofil ke kapiler di paru-paru. Neutrofil-neutrofil akan mengeluarkan

enzim proteolitik yang bersifat destruktif, mengeluarkan radikal bebas, dan

mengeluarkan mediator-mediator inflamasi yang membuat kapiler di paru-

paru bocor. Eksudat yang kaya dengan protein akan masuk ke ruang

interstisial dan juga alveoli di dalam paru-paru yang kemudian akan

mengganggu pertukaran udara. Proses inflamasi juga akan merusak sel

pneumosit tipe II yang biasanya memproduksi surfaktan. Kekurangan

surfaktan akan mengubah tekanan permukaan pada alveoli dan

menyebabkan alveolus-alveolus kecil tidak berkembang. Kerja untuk

bernafas sangat meningkat pada pasien dengan gawat nafas terutama karena

edema paru dan keluluhan alveolar atau atelektasis.

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

DIC merupakan komplikasi yang serius di dalam syok septik yang

ditandai dengan pembentukan bekuan di dalam sirkulasi mikro di seluruh

tubuh yang tidak normal. DIC dihasilkan dari aktivasi imun pada kaskade

pembekuan. Penyumbatan aliran darah oleh bekuan-bekuan kecil di dalam

sirkulasi mikro dapat menyebabkan kerusakan jaringan dikarenakan

keadaan iskemia. Derajat berat dari DIC dipertambah dengan kurangnya

faktor-faktor pembekuan dan platelet sehingga akan meninggalkan pasien

18

dalam keadaan rentan untuk perdarahan. Pemeriksaan laboratorium sangat

diperlukan dalam menegakkan dan mengawasi keadaan pasien dengan DIC.

Beberapa pemeriksaan yang penting adalah jumlah platelet dan fungsi

pembekuan. Jumlah platelet dan kadar fibrinogen biasanya rendah disertai

dengan kadar produk-produk degradasi fibrin seperti D-dimer yang

meningkat. Pemeriksaan faktor pembekuan intrinsik dan ekstrinsik

menunjukan adanya peningkatan PTT dan PT.

Manifestasi klinis pada DIC sangat bervariasi tergantung dari letak dan

derajat berat bekuan atau trombi darah. Penyumbatan dari pembuluh darah

dapat menyebabkan keadaan iskemik akut pada jari-jari tangan dan kaki

dengan rasa nyeri, warna kulit menjadi pucat, dan pengisian kapiler yang

buruk. Penyumbatan pada ginjal, hati, limpa, dan paru-paru karena bekuan

darah dapat menghasilkan keadaan dengan gagal organ. Pasien juga dapat

mempunyai perdarahan yang luas. Terjadi perdarahan spontan di tempat-

tempat yang sebelumnya tidak berdarah.

Gagal Ginjal Akut

Padas yok, ginjal mengalami periode hipoperfusi yang lama.

Vasokonstriksi pada arteriol-arteriol aferen menyebabkan penurunan aliran

darah ke dalam glomerulus, penurunan tekanan hidrostatik di glomerulus

dan penurunan laju filtrasi pada glomerulus. Kerusakan pada sel akibat

hipoksia biasanya terjadi setelah 15 sampai 20 menit dari iskemia akut dan

menyebabkan nekrosis pada sel-sel epitel di daerah tubular. Nekrosis

tubular akut (ATN) biasanya ditandai dengan penurunan ekskresi produk-

produk sampah melalui urin seperti kreatinin dan urea. Peningkanan kadar

urea di dalam darah dan juga kadar kreatinin di dalam serum merupakan

satu tanda yang mengindikasikan terjadinya ATN.

Pengeluaran urin dengan cepat akan turun sampai ke titik nol atau tidak

kencing sama sekali dan ginjal tidak akan respon terhadap cairan maupun

diuretic. Adanya sel-sel epitel di dalam urin menandakan adanya kerusakan

pada sel-sel tubular. ATN dapat menjadi reversibel dan sembuh walaupun

fungsi ginal harus didukung dengan dialisa darah. Penyembuhan dari fungsi

19

tubular biasanya dimulai sekitar satu sampai dua minggu setelah injuri dan

dapat sampai sekitar 1 tahun untuk benar-benar sembuh.

Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS)

Ketika gagal organ mencapai dua sampai lebih sistem maka diagnosis

MODS dapat digunakan. Ketika pasien memiliki kegagalan organ yang

banyak karena kerusakan primer seperti trauma, maka diagnosis MODS

primer dapat digunakan. MODS sekunder dapat dihubungkan dengan

keadaan sindroma respon inflamasi sistemik (SIRS) dan biasanya

bermanifestasi beberapa hari sampai minggu sejak infeksi pertama kali.

Syok septik dan sepsis merupakan etiologi yang paling sering ditemukan

pada syok sekunder. Mortalitas dari MODS berbeda-beda menurut organ

yang terkena, jika dua organ yang terkena, mortalitas adalah sekitar 54%,

dan jika organ yang terkena adalah lima organ maka mortalitas mencapai

100%. Dalam MODS, tubuh pasien tidak dapat menjaga homeostasis dan

biasanya terapi yang intensif sangat diperlukan.

Seperti pada manifestasi lainnya pada syok septik, MODS dipercayai

menjadi proses awal pada mekanisme imun yang sangat overaktif dan

destruktif. Sitokin-sitokin imun akan berdampak pada sel endotel di seluruh

tubuh dan menyebabkan pemanggilan neutrofil dan aktivasi inflamasi

khususnya di ruang-ruang vaskuler. Inflamasi yang berkelanjutan akan

berakhir pada destruksi sel dan disfungsi organ. Sitokin-sitokin inflamasi

dan hormon-hormon stress akan merangsang peningkatan metabolisme

tubuh yang menambah beban kerja metabolik pada organ yang sudah gagal.

20

BAB III

SYOK KARDIOGENIK

Syok kargiogenik pada anak-anak dapat disebabkan dari gangguan kontraksi

otot jantung, gangguan irama jantung, atau gangguan aliran darah akibat dari

penyakit jantung kongenital yang kemuadian berakhir pada gangguan kontraksi

jantung juga. Gangguan jantung kongenital yang muncul bersamaan dengan syok

biasanya adalah dengan obstruksi aliran darah ventrikel kiri dan sangat jarang

pada shunting kiri-ke-kanan yang besar. Neonatus yang lahir dengan sindroma

hipoplastik jantung kiri tidak memiliki CO sama sekali karena adanya penurunan

di dalam tahanan pendarahan paru-paru yang mencuri kemampuan jantung kanan

untuk mengganti kerja pemasokan darah sistemik. Kekurangan pemasokan dari

jantung menyebabkan kontraksi yang berkurang. Kebanyakan cairan pada sisi kiri

jantung dapat disebabkan dari shunting kiri-ke-kanan akibat dari gangguan

septum ventrikel, paten duktus arteriosus, atau gangguan endocardial cushion.

Biasanya etiologi-etiologi dari syok kardiogenik sangat berhubungan dengan

adanya gagal jantung kronik. Penurunan dari kontraksi otot jantung biasanya

terjadi pada koarktasio atau stenosis yang parah pada aorta atau penyakit pada

miokard seperti miokarditis, kardiomiopati, iskemia miokard, atau bypass

kardiopulmonal [8].

3.1 Patofisiologi [8,9,10,11]

Syok kardiogenik merupakan hasil dari perubahan sistem sirkulasi

sementara atau permanen. Kegagalan memompa pada ventrikel kiri

merupakan mekanisme primer yang paling sering terjadi pada syok

kardiogenik, namun bagian-bagian lain dari sistem sirkulasi dapat juga

berkontribusi pada syok dengan kompensasi yang tidak adekuat atau

gangguan tambahan. Kebanyakan pada kelainan yang terjadi biasanya

bersifat setengah reversibel atau bahkan sama sekali tidak dapat kembali

normal lagi.

21

Ventrikel Kiri

Derajat disfungsi miokard yang memulai syok kardiogenik seringkali,

tetapi tidak selalu, bersifat berat. Disfungsi ventrikel kiri di dalam syok

menunjukan injuri baru yang tidak reversibel, iskemia reversibel, dan

kerusakan dari infark sebelumnya. Keunikan dari jantung adalah sebagai

organ yang diuntungkan dari tekanan darah rendah karena pengurangan

kerja afterload dan juga dirugikan dari tekanan darah rendah karena

kurangnya aliran darah coroner. Sehingga keadaan ini dapat memberikan

efek hemodinamis yang baik dan juga buruk. Pada skema 6 digambarkan

penurunan perfusi koroner menurunkan output kardia yang kemudian

mengurangi perfusi jantung dan organ-organ lainnya.

Skema 6: Konsep patofisiologi syok kargiogenik. Penjelasan klasik untuk patogenesis syok

kardiogenik ditunjukan dengan panah hitam. Injuri miokard menyebabkan disfungsi sistolik

dan diastolik. Penurunan output kardiak menyebabkan penurunan perfusi sistemik dan

koronari. Hal ini memperparah iskemia dan menyebabkan kematian sel pada daerah infark

dan sekelilingnya di sel miokard. Perfusi yang tidak adekuat akan mengaktifkan refleks

vasokonstriksi yang biasanya tetap tidak adekuat. Inflamasi sistemik dapat menghambat

respon kompensasi pembuluh darah di perifer dan juga berpengaruh pada disfungsi

miokard. Revaskularisasi akan memperbaiki iskemia. IL-6 = Interleukin-6. TNF-α = tumor

necrosis factor-α. LVEDP = Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri.

22

Aliran koronari dapat diperberat dari adanya aterosklerosis di dalam

pembuluh darah selain dari arteri yang infark. Gangguan kebutuhan

metabolic terjadi pada miokard di sekeliling dan di dalam daerah infark.

Hipoperfusi menyebabkan pengeluaran katekolamin yang akan

meningkatkan kontraksi dan aliran darah perifer, namun katekolamin dapat

meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dan meningkatkan irama jantng

serta dampak miokardiotoksik.

Bahan-bahan inotropik dan vasokonstriktor akan memperbaiki output

kardiak dan perfusi perifer sementara tetapi tidak mengganggu siklus dari

syok sendiri. Pompa dalam bentuk balon di dalam aorta atau rapid intra-

aortic balloon pump (IABP) dapat digunakan sementara untuk mengatasi

iskemia dan menjaga sirkulasi. Namun IABP bukan merupakan terapi

definitif untuk syok kardiogenik. Mengatasi penyumbatan koronari melalui

PCI atau operasi dapat lebih membantu dan menyelamatkan pasien.

Ventrikel Kanan

Disfungsi ventrikel kanan dapat menyebabkan syok kardiogenik. Syok

yang disebabkan karena ventrikel kanan mewakili sekitar 5% dari kasus

syok kardiogenik yang disertai dengan infark miokard. Kegagalan ventrikel

kanan dapat membatasi pengisian ventrikel kiri melalui penurunan output

kardiak. Penanganan pasien dengan gangguan ventrikel kanan dan syok

berpusat pada penjagaan tekanan pengisian jantung kanan untuk menjaga

output kardiak dan preload ventrikel kiri yang adekuat. Namun, pasien

dengan syok kardiogenik akibat disfungsi ventrikel kanan mempunya

tekanan akhir diastolik ventrikel kanan yang tinggi melebihi 20 mmHg.

Peningkatan ini dapat menyebabkan pertukaran melalui septum antar-

ventrikel ke ruang ventrikel kiri dan meningkatkan tekanan atrial kiri namun

memperburuk pengisian ventrikel kiri. Dengan demikian penanganan awal

dengan menggunakan resusitasi cairan yang agresif pada disfungsi ventrikel

kanan tidak dianjurkan. Terapi dengan inotropik sangat dianjurkan pada

gagal ventrikel kanan. Pemberian inhalasi dengan nitric oxide (NO)

23

bermanfaat untuk menurunkan tahanan vaskuler paru-paru dan memperbaiki

aliran darah.

Syok dengan disfungsi ventrikel kanan mempunyai angka mortalitas

yang kurang lebih sama dengan syok dengan kegagalan ventrikel kiri.

Fungsi revaskularisasi mempunyai dampak dan keuntungan yang kurang

lebiih sama pada kedua jenis syok kardiogenik ini.

Vaskulatur Perifer, Neurohormon, dan Inflamasi

Hipoperfusi dari ekstremitas dan organ-organ vital merupakan kunci

dari patogenesis syok kardiogenik. Penurunan output kardiak yang

disebabkan oleh infark miokard dan dijaga dengan pengeluaran katekolamin

yang berakibat konstriksi pada arteriol perifer untuk menjaga perfusi. Kadar

vasopressin dan angiotensin II meningkat pada keadaan infark miokard dan

syok yang meningkatkan perfusi perifer dan koroner dengan adanya

peningkatan afterload yang kemudian akan merusak fungsi miokard.

Aktivasi dari kaskade neurohormon akan membuat retensi dari garam dan

air. Hal inilah yang akan memperbaiki perfusi namun memperparah edema

paru. Reflek mekanise yang meningkatkan tahanan vaskuler sistemik tidak

begitu efektif. Pada beberapa pasien terutama pada syok septik, tahanan

vaskuler sistemiknya rendah.

Infark pada miokard dapat menyebabkan SIRS yang menyebabkan

vasodilatasi yang tidak normal. SIRS dapat memperburuk perfusi ke saluran

cerna yang kemudian akan membuat banyak bakteri tumbuh dan manifestasi

sepsis. SIRS sering terjadi dengan bertambahnya durasi syok pada pasien.

Sitokin-sitokin inflamasi dapat menyebabkan disfungsi endotel pada

pembuluh darah koroner yang kemudian akan mengganggu aliran darah.

Syok Kardiogenik dapat Merupakan Suatu Penyakit Iatrogenik

Sekitar tiga per empat dari pasien dengan syok kardiogenik yang

disertai dengan infark miokard biasanya mendapatkan syok setelah

kunjungan ke rumah sakit. Beberapa obat yang diberikan dapat

menimbulkan manifestasi syok. Beberapa jenis obat yang digunakan untuk

24

mengobati infark miokard seperti β-blocker, ACE inhibitor dan morfin.

Walaupun penggunaan dini obat-obat ini hanya memberikan resiko yang

kecil untuk menjadi syok, beberapa pasien yang mendapatkan terapi ini

memiliki potensi yang cukup besar.

Obat-obat diuretic juga dapat menyebabkan syok pada pasien dengan

infark miokard seperti pada skema 7.

Skema 7: Syok iatrogenik. Patofisiologi dari syok iatrogenik yang menyebabkan banyak

pengobatan untuk infark miokard dan edema paru dapat dilihat di skema. Edema paru akut

adalah satu keadaan dimana distribusi intravaskuler berubah ke ruang ekstravaskuler di

dalam paru-paru. Ketika stabilitas hemodinamis tidak seimbang, penurunan tambahan pada

volume plasma oleh diuretik dapat menambah gagal jantung dan keadaan menjadi syok.

Takikardia biasanya merupakan mekanisme kompensasi dalam meningkatkan jumlah

output kardiak. Penggunaan obat seperti β-blocker dapat menurunkan irama jantung dan

output kardiak sehingga menyebabkan syok. Dekompensasi juga dapat terjadi bila seorang

pasien yang sudah masuk ke dalam tahap kompensasi diberikan obat ACE inhibitor. Nitrat

juga diperkirakan dapat memperparah keadaan ke arah syok karena pembesaran pembuluh

darah.

25

26

BAB IV

SYOK HIPOVOLEMIK

Syok hipovolemik sering terjadi pada anak-anak namun sering sekali

dikesampingkan. Deteksi dan penanganan dini pada syok merupakan hal

terpenting untuk mengembalikan keadaan hipoksia dan iskemia pada sel sebelum

terjadinya kerusakan organ yang tidak kembali. Sudah dalam 150 tahun yang lalu,

syok hipovolemik tetap menjadi penyebab tersering untuk syok pada anak.

Penyakit diare yang menyebabkan dehidrasi menyebabkan sekitar 30% pada

kematian anak-anak dan diperkirakan sekitar 8.000 anak-anak kurang dari umur

lima tahun mati setiap harinya karena dehidrasi yang tidak ditangani. Di negara

seperti Amerika Serikat, syok hipovolemik masih mewakili sekitar 10% dari

penyebab anak dirawat di rumah sakit ketika umur kurang dari lima tahun.

Beberapa penyebab syok hipovolemik lainnya adalah paska operasi dan

perdarahan akibat trauma.

4.1 Patogenesis Syok Hipovolemik dengan Dehidrasi [12]

Kunci dari kelainan fungsi kardiovaskular yang melandasi syok

hipovolemik adalah penurunan dari volume di dalam pembuluh darah.

Kehilangan atau penurunan dari preload ketika kembali ke jantung

menurunkan output kardiak. Dehidrasi dapat didefinisikan sebagai

kurangnya volume air dari dalam tubuh. Dehidrasi merupakan tipe syok

hipovolemik yang paling sering terjadi. Dehidrasi dapat diklasifikasikan

berdasarkan derajat dari hilangnya air dan didalamnya pengurangan berat

bada menjadi tanda primer yang mendefinisikan derajat berat dehidrasi. Hal

ini dapat dilihat pada tabel 3. Kemudia, dehidrasi bisa menjadi isonatremik,

hiponatremik atau hipernatremik berdasarkan perubahan dalam osmolaritas

di dalam serum. Kebanyakan pasien anak datang ke rumah sakit dengan

dehidrasi dan kadar ion natrium yang normal. Pemeriksaan yang dalam dan

akurat perlu dilakukan untuk mengetahui apakah ada pemberian cairan yang

terdilusi yang dapat meningkatkan resiko hiponatremia. Penyebab dari

27

dehidrasi dan syok hipovolemik pada anak-anak bervariasi seperti pada

tabel 4. Namun secara umum, penyebabnya dapat digolongkan menjadi

penurunan asupan cairan, kehilangan cairan dari saluran cerna yang

berlebih, kehilangan cairan dari saluran kencing yang berlebih, atau

pemindahan cairan tubuh dari dalam sistem vaskular.

TABEL 3 DERAJAT KEHILANGAN CAIRAN & TANDA-TANDA KLINIS YANG DIASOSIASIKAN DENGAN DEHIDRASI

PARAMETERDERAJAT DEHIDRASI

Ringan Ringan-Sedang Berat

Penurunan berat badan

Anak besar

Bayi

3% (30 ml/kg)

5% (50 ml/kg)

6% (60 ml/kg)

10% (100 ml/kg)

9% (90 ml/kg)

15% (150 ml/kg)

Nadi Normal Sedikit meningkat Takikardia

Kualitas denyut nadi Normal Sedikit lemah Lemah, tidak reguler

Pengisian kapiler Normal Kurang lebih 2 detik Lebih dari 3 detik

Volume Urin Normal Menurun Anuria

Fontanel Datar Mudah ditekan Cekung

Mata Normal Normal Cekung

Air mata Normal Berkurang Tidak ada

Mukosa Normal Kering Pecah-pecah

TABEL 4 PENYEBAB SYOK HIPOVOLEMIK PADA ANAK-ANAK

Kehilangan melalui

saluran cerna

o Muntah-muntah

o Diare

Kehilangan melalui

saluran kencing

o Ketoasidosis diabetikum

o Diabetes insipidus

o Insufisiensi adrenal

o Penggunaan diuretik

Penurunan asupan cairan o Stomatitis, faringitis

o Anoreksia, kekurangan air

Pemindahan cairan di

dalam tubuh

o Obstruksi usus halus

o Peritonitis

o Pankreatitis akut

o Luka bakar

28

o Asites

o Sindroma nefrotik

Kemudian, demam dan takipneu dapat menyertai penyakit-penyakit

pada anak yang menyebabkan hipovolemia yaitu dengan peningkatan

kehilangan cairan insensible. Selain itu bayi juga memiliki karakter

fisiologis yang sangat unik yang membuat mereka lebih rentan pada syok

hipovolemik terutama karena jumlah cairan butuh yang lebih tinggi,

peningkatan kebutuhan metabolisme, ginjal yang tidak matur, dan belum

bisa mencukupi kebutuhan cairan sendiri.

4.2 Manifestasi Klinis dan Evaluasi Laboratorium pada Syok Hipovolemik

dengan Dehidrasi [12]

Manifestasi klinis pada anak dengan syok hipovolemik adalah

merupakan reaksi tubuh dalam menjaga aliran darah ke organ-organ vital

karena adanya output kardiak yang menurun. Aktivasi dari saraf simpatetik

dan pengeluaran katekolamin menyebabkan takikardia. Peningkatakan

denyut nadi saja tidak spesifik menandakan adanya syok hipovolemik. Bisa

saja takikardia disebabkan oleh demam, agitasi, nyeri atau anemia yang

menyertai keadaan pasien tersebut. Vasokonstriksi pada pembuluh darah

perifer juga merupakan satu mekanisme untuk menjaga aliran koroner dan

perfusi otak. Dengan demikian biasanya pasien akan bermanifestasi dengan

ekstremitas yang dingin, denyut nadi pada bagian distal yang lemah, dan

pengisian kapiler yang terlambat. Dengan adanya tahanan pada darah

sistemik, anak-anak pada syok hipovolemik dapat menjaga tekanan darah

dalam batas normal sampai derajat kehilangan cairan menajadi berat.

Dengan demikian hipotensi merupakan manifestasi pada syok hipovolemik

yang berkelanjutan atau tahap akhir. Tachypneu dengan tidak adanya

patologis pada paru-paru merupakan mekanisme kompensasi untuk

terjadinya asidosis metabolic. Penurunan perfusi ginjal dengan aktivasi

sitem renin-angiotensi-aldosteron dengan pengeluaran hormone anti-diuretik

dari pituitari posterior akan mengurangi pengeluaran urin. Namun,

pengeluaran urin dalam menjadi rancu di dalam syok hipovolemik sekunder

29

akibat kehilangan cairan melalui saluran kencing seperti pada ketoasidosis

diabetikum atau insufisiensi adrenal. Ketika keadaan syok semakin panjang,

kesadaran pasien dapat berubah dari gelisah menjadi lemas tidak berdaya.

Penemuan klinis yang lainnya dapat dilihat pada tabel 3.

Pemeriksaan laboratorium pada anak-anak dengan syok hipovolemik

biasanya akan menunjukan keadaan asidosis metabolik dengan adanya

anion gap yang meningkat (>14 mEq/L). Hal ini menandakan adanya

perubahan ke arah metabolisme anaerobik dan produksi asam laktat. Dalam

anak-anak, bisa juga didapati asidosis metabolik dengan anion gap normal.

Hal ini bisa terjadi bila pengeluaran saluran cerna pasien atau BAB cukup

dalam membuang bikarbonat. Keadaan hipokalemia juga dapat menyertai

pada keadaan syok hipovolemik yang didasari oleh kehilangan saluran

cerna. Marker-marker laboratorium lainnya dari kehilangan cairan adalah

dengan peningkatan perbandingan BUN terhadap kreatinin dan peningkatan

specific gravtity pada urin. Selain dari pemeriksaan laboratorium yang telah

disebutkan, pemeriksaan gula darah sangat penting karena menurut hasil

penelitian, sepertiga pasien yang datang dengan syok hipovolemik

mempunyai keadaan hipoglikemia yang signifikan (<60 mg/dL).

4.3 Penanganan Syok Hipovolemik dengan Dehidrasi [12]

Anak-anak dengan dehidrasi ringan ke sedang merupakan kandidat

yang tepat untuk terapi rehidrasi oral (ORT). Jumlah cairan rehidrasi kecil

dapat diberikan secara bertahap. Cairan untuk ORT yang tepat adalah

dengan cairan yang memiliki kandungan kurang lebih 60 mEq/L natrium

dan 2-2,5% dekstrosa. Biasanya transporter gula-natrium di dalam usus akan

menyerap kandungan dari cairan rehidrasi dan secara tidak langsung air juga

akan diserap. Jumlah cairan yang dapat diberikan biasanya dimulai dengan

jumlah sekitar 1-2 ml/kg yang diberikan kurang lebih setiap lima menit.

Jumlah dan frekuensi pemberian dapat ditambahkan jika pasien dapat

menerima sampai ke total pemasukan cairan sekitar 50 ml/kg untuk

dehidrasi ringan dan 100 ml/kg untuk dehidrasi ringan-sedang.

30

Stabilisasi pasien pediatrik dengan syok hipovolemik berat harus

dilakukan seperti pada penanganan pasien yang sedang kritis. Jalur napas

dan juga kerja napas pada anak harus didukung sebisa mungkin serta

melihat keadaan umum pasien apakah masih gelisah atau sudah tidak sadar.

Pengembalian volume darah yang bersirkulasi tetap menjadi kunci

pengobatan syok hipovolemik dari tahun 1960an sampai sekarang.

Pemberian terapi cairan intravena dapat mengurangi angka kematian akibat

syok hipovolemik sampai delapan kali. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa

pengenalan dini akan tanda-tanda hipovolemik sebelum terjadinya hipotensi

dan resusitasi cairan yang benar dan tepat sebelum terjadinya kerusakan

organ yang irreversible sangat penting dalam menentukan akhir perjalanan

penyakit pasien. Biasanya pemberian cairan dilakukan melalui kateter

intravena besar yang dimasukkan pada vena perifer ekstremitas atas. Bila

akses ini tidak dapat dilakukan oleh karena sebab-sebab tertentu maka

kateter ke dalam tulang dapat dilakukan pada bagian medial dari tibia

proksimal ke dalam pleksus vena sumsum tulang.

Pemberian cairan isotonik merupakan terapi cairan awal untuk syok

hipovolemik tidak peduli jenis dari syoknya. Untuk pasien dengan syok

hipotensif, cairan diberikan bolus dalam 20 ml/kg untuk mengembalikan

volume intravascular. Cairal RL atau NaCl 0,9% merupakan pilihan cairan

kristaloid yang dapat digunakan. Beberapa cairan salin lainnya dapat

menyebabkan asidosis metabolik tanpa anion gap dan dengan hiperkloremik

yang akan memperberat asidosis dan kemudian menambah perfusi jaringan

yang buruk. Cairan RL secara teori sangat bermanfaat karena dapat

melepaskan bikarbobat dari laktat dalam keadaan organ hati berfungsi

dengan baik. Menurut sejarahnya, banyak klinisi yang menyarankan untuk

memberikan cairan koloid dalam resusitasi syok hipovolemik karena sifat

dari cairan koloid yang lebih tahan di dalam sistem intravascular

dibandingkan dengan cairan kristaloid. Namun, banyak penelitian sekarang

bahwa tidak begitu adanya perbedaan yang signifikan yang terajadi. Dapat

penelitian di pasien anak-anak, Wills dkk. membandingkan pengaruh

pemberian cairan, antara cairanRL dan cairan dekstran 70, pada syok

31

dengue. Hasilnya tidak ada perbedaan yang signifikan yang mengharuskan

pemberian cairan koloid di grup studi tertentu, dan pemberian cairan

kristaloid sangat efektif dalam resusitasi cairan bahkan pada keadaan

dengan kebocoran kapiler yang berat. Bersamaan dengan resusitasi cairan

harus dipikirkan keadaan hipoglikemia yang menyertai dan jika memang

ada makan dekstrosa dapat diberikan secara bolus satu kali dalam 0,5 g/kg

menggunakan cairan 10% atau 25% dekstrosa.

Beberapa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan status klinis pasien

berkala sangat penting dalam memutuskan apakan resusitasi cairan yang

diberikan sudah adekuat. Dengan kembalinya cairan intravascular, denyut

jantung akan kembali normal, kualitas dari denyut nadi akan membaik, dan

pengisian kapiler akan kembali dibawah dari 2 detik. Pengeluaran urin akan

lebih besar dari 1 ml/kg/jam yang merupakan tanda bahwa perfusi ke ginjal

sudah kembali adekuat. Jika setelah resusitasi cairan terdapat tanda-tanda

seperti takipneu, rales pada basal, atau hepatomegaly maka resusitasi cairan

sudah terlalu berlebihan atau ada penyakit gangguan jantung yang menyertai

sebelumnya. Anak-anak dengan syok hipovolemik yang membutuhkan lebih

dari 60 ml/kg cairan resusitasi maka harus dipertimbangkan etiologi atau

diagnosis lain seperti sindroma kebocoran plasma pada syok septik.

Pada anak-anak biasanya cairan yang diberikan dapat melebihi dari

pemberian cairan resusitasi awalnya. Biasanya diperlukan pemberian cairan

tambahan untuk mengganti cairan yang hilang pada saat itu dan cairan

maintenance sampai pasien dapat minum dan makan. Pengawasan harus

dilakukan dengan benar untuk mencegah adanya hiponatremia yang

disebabkan secara iatrogenic pada masa perawatan. Pasien yang datang

dengan syok mempunyai banyak stimuli untuk pengeluaran ADH seperti

karena nyeri, stress, hipovolemia, hipoglikemia, dan penyakit sistem

respiratori. Skema 8 menyimpulkan penanganan syok hipovolemik pada

anak-anak dengan dehidrasi dan skema 9 menyimpulkan terapi cairan pada

dehidrasi hiponatremik dan hipernatremik.

4.4 Patogenesis Syok Hipovolemik dengan Perdarahan [12]

32

Syok hipovolemik dapat disebabkan karena perdarah akibat injuri

traumatik, perdarahan saluran cerna, penyakit koagulopati yang berat dan

kehilangan darah setelah operasi. Kehilangan darah juga menyebabkan

kurangnya pemasokan oksigen ke dalam jaringan selain juga mengurangi

volume di dalam vaskular. Kemudian, syok hemoragik dan resusitasi dapat

menyebabkan adanya inflamasi sistemik yang kemudian akan mengarah ke

keadaan MODS pada pasien.

Skema 8: Algoritma penatalaksanaan dehidrasi pada pasien anak-anak.

Skema 9: Penatalaksanaan dehidrasi hiponatremik dan hipernatremik.

33

Trauma

Injuri traumatik merupakan satu penyebab kematian yang paling banyak

yang terjadi pada anak-anak dan remaja. Luka atau trauma tumpul yang

lebih sering terjadi dibandingkan dengan luka tusuk dan juga perdarahan di

dalam yang terjadi yang kadang terlupakan. Beberapa sumber perdarahan

traumatic adalah luka laserasi berat dengan kehilangan darah eksternal,

perdarahan organ-organ di dalam abdomen dan retroperitoneal, patah tulang

pelvik atau tulang panjang, dan hemothoraks traumatik.

Resusitasi pada pasien pediatrik yang mengalami perdarahan traumatik

sama seperti yang sudah dijelaskan pada skema 8 diatas. Jika ada

perdarahan eksternal yang terlihat maka dapat dikontrol dengan penekanan

direk pada luka. Pemberian cairan resusitasi tetap menggunakan 2 kateter

intravenous besar. Syok yang tetap terjadi setelah pemberian bolus 2 kali

kristaloid biasanya memerlukan transfuse packed red blood cells (PRC).

Penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas setelah terjadinya

trauma adalah adanya MODS dan juga sindroma gawat nafas yang terjadi

sekunder akibat respon inflamasi.

Perdarahan Saluran Cerna

Perdarahan saluran cerna merupakan etiologi lain yang dapat

menyebabkan syok hemoragik berat. Beberapa sumber dari perdarahan

saluran cerna pada anak-anak dapat dilihat pada tabel 5. Secara anatomi

saluran cerna bagian atas dan bagian bawah dibatasi oleh ligament of Treitz.

Perdarahan saluran cerna bagian atas, atau bagian proksimal dari ligamen,

biasanya datang dengan keluhan muntah darah atau hematemesis dan

melena walaupun jika perdarahan sangat banyak bisa juga terjadi

hematokezia. Pengawasan harus dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan

dari hidung dan saluran pernapasan dalam kasus ini. Perdarahan saluran

cerna bagian bawah, terjadi di bagian distal dari ligamen, dapat

34

menyebabkan antara melena atau hematokezia tergantung dari kecepatan

perdarahan. Jumlah darah yang hilang dapat terjadi di dalam lumen usus dan

tetap tertutup dari observasi klinis. Kemungkinan ini harus dipikirkan pada

anak-anak dengan adanya penemuan klinis di abdomen dan jika ada

perburukan akut. Seperti pada semua jenis syok hipovolemik, penanganan

awal pada perdarahan saluran cerna adalah dengan mengembalikan volume

intravascular. Ditambah dengan pemasangan nasogastric tube untuk

membedakan perdarahan dari bagian atas atau bawah dan juga untuk

menilai adanya perdarahan yang sedang berlangsung.

TABEL 5 PENYEBAB PERDARAHAN SALURAN CERNA PADA ANAK-ANAK

Perdarahan saluran cerna

bagian atas

o Esofagitis

o Sindroma Mallory-Weiss

o Gastritis

o Ulserasi gastrik/ duodenal

o Varises esofageal dang aster

o Malformasi AV

Perdarahan saluran cerna

bagian bawah

o Alergi susu protein

o Enterokolitis infeksiosa

o Diverticulum Meckel

o Intussusepsi

o Polip juvenil

o Inflammatory bowel disease

o Henoch-Schonlein purpura

o Sindroma uremia hemolitik

o Malformasi AV

Pemeriksaan dengan endoskopik bukan hanya menjadi cara diagnosis yang

definitif untuk mencari sumber perdarahan tetapi juga dapat memberikan

pilihan-pilihan terapi yang ingin diterapkan. Profilaksis untuk penekanan

asam lambung harus diberikan untuk membantu menjaga pertahanan

mukosa. Beberapa pilihan farmakologi juga ada yang spesifik untuk

35

penanganan perdarahan varises sekunder terhadap hipertensi portal.

Ocreotide, merupakan analog somastatin, diberikan dalam infusan terus-

menerus (1-2 ug/kg/jam) untuk menghambat pengeluaran asam lambung

dan mengurangi aliran darah splanchnic. Efek sampingnya adalah keram

perut, diare dan hiperglikemia. Penggunaan vasopressin dapat juga

mengurangi aliran darah splanchnic pada pasien yang menderita perdarahan

saluran cerna yang berat. Jika pemberian obat-obatan gagal, maka bedah

eksplorasi masih menjadi pilihan terakhir untuk mengkontrol perdarahan.

Sindroma Massive Transfusion

Begitu banyaknya penyebab dari perdarahan, anak-anak yang menerima

banyak unit sel darah merah sangat beresiko untuk terjadinya sindroma

massive transfusion. Transfusi masif pada populasi orang dewasa

didefinisikan sebagai penerimaan sepuluh atau lebih packed RBC dalam 24

jam pertama. Di dalam kasus pediatrik, biasanya ketika seorang anak secara

akut mendapat lebih dari setengah volume darahnya atau kurang lebih 40

ml/kg. Penggantian dari darah yang hilang dengan sel darah merah

menyebabkan adanya dilusi pada platelet dan faktor-faktor pembekuan

dengan adanya trombositopenia dan koagulopati. Karena adanya efek ini

maka pasien yang diresusitasi dengan banyak tranfusi sel darah merah harus

dibarengi dengan pemberian fresh frozen plasma dan platelet. Selain itu

pasien juga harus diawasi ketat untuk terjadinya hipokalsemia dan

hyperkalemia.

Rekombinan Faktor VII

Beberapa penelitian terbaru meneliti penggunaan dari rekombinan

faktor VII yang teraktivasi untuk penanganan syok hemoragik yang

berkepanjangan. Sebelum ini penggunaan rekombinan faktor VII sudah

dipakai pada pasien dengan hemofilia untuk bekerja secara local di tempat

injuri dan mengubah protrombin menjadi trombin aktif. Beberapa penelitian

sudah menilai efektifitas penggunaan faktor VII untuk mengkontrol

perdarahan akut dan menghasilkan hasil yang berbeda-beda. Pada pasien-

36

pasien dewasa yang menjalani prostatektomi, pemberian dosis sebelum

operasi sangat efektif mengurangi kehilangan darah dan keperluan transfusi.

Sama seperti pasien dewasa yang menjalani operasi jantung mengalami

pengurangan keperluan transfusi ketika diberikan 90 ug/kg faktor VII.

BAB V

SYOK ANAFILAKTIK

5.1 Definisi [13, 15]

Sampai saat ini tidak ada persetujuan umum tentang definisi yang

paling tepat untuk anafilaksis. Pada tahun 2006, Simposium Kedua untuk

definisi dan manajemen anafilaksis merekomendasikan anafilaksis sebagai

satu reaksi alergi yang serius dengan onset sangat cepat dan dapat

menyebabkan kematian. Menurut Sicherer dkk. anafilaksis merupakan satu

reaksi mematikan dan terjadi secara akut yang biasanya dimediasi oleh

mekanisme imun yang meliputi immunoglobulin E yang menyebabkan

pengeluaran sel-mast dan mediator basophil seperti histamin dan triptase

secara sistemik. Anafilaksis dan reaksi anafilaktoid merupakan satu kondisi

alergi yang mengancam nyawa dan memerlukan satu intervensi pengobatan

yang cepat. Reaksi urtikaria yang lokal atau terisolasi bukan merupakan

reaksi anafilaktik. Hampir semua organ dapat dipengaruhi oleh reaksi

anafilaktik namun pengaruh yang paling sering adalah terhadap kulit,

pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan. Pengenalan dan penanganan

dini pada anafilaksis tentu menjadi kunci dan dapat mengurangi angka

mortalitas dan morbiditas.

5.2 Epidemiologi [13,14,15]

Data yang akurat tentang anafilaksis pada anak-anak di Amerika Serikat

masih menjadi hal yang rancu dan diperkirakan insiden terjadinya

anafilaksis bervariasi. Hal ini dikarenakan banyak faktor termasuk

kurangnya data atau kasus pada populasi pediatrik, kurangnya sistem koding

yang standard dan konsensus pada International Classification of Diseases

37

tentang definisi dari anafilaksis, dan kegagalan dalam melaporkan kejadian-

kejadian serius dan fatal. Pada tahun 2004, Bohlke dkk. memperkirakan

insiden dari anafilaksis yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan pada anak-

anak dan remaja adalah sekitar 10,5 episode per 100.000 orang per tahun.

Data ini lebih rendah dibanding dengan populasi secara umum yang

dilaporkan oleh Yocum dkk pada tahun 1999 yaitu 21 dari 100.000 orang

per tahun. Data dari tahun 2001 diperkirakan anafilaksis dapat

mempengaruhi 1,2% sampai 16,8% dari total populasi di Amerika Serikat

dan 0,002% dari populasi dengan anafilaksis meninggal. Di Amerika

Serikat, kematian karena anafilaksis diperkirakan sekitar 1500 kasus per

tahun dan mayoritasnya sekitar 1300 kasus adalah karena obat. Hal ini

diikuti dengan makanan dan gigitan serangga dengan kasus sekitar 100

kematian setiap tahunnya. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa

Amerika Serikat mempunyai insiden anafilaksis yang lebih tinggi

dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini dikarenakan adanya

pelebaran makanan pada orang-orang amerika, penggunaan kacang-

kacangan, dan penggunaan sarung tangan berbahan lateks.

Anak-anak dan remaja dengan atopi, termasuk asma, eczema, dan rinitis

alergika merupakan resiko tinggi untuk anafilaksis. Derajat berat dari reaksi

sebelumnya tidak dapat memprediksi reaksi yang akan terjadi di kemudian

hari. Namun dapat dipastikan individu dengan anafilaksis sebelumnya

mempunyai resiko untuk terjadi berulang.

5.3 Etiologi [13,14,15,16]

Penyebab anafilaksis yang paling sering pada anak-anak adalah

makanan dan diikuti dengan obat, racun melalui hymenoptera, produk

darah, terapi imun, lateks, vaksin, dan media kontras radiografi.Penyebab

kejadian anafilaksis pada anak-anak dapat dilihat pada tabel 6. Makanan

merupakan penyebab utama pada semua reaksi anafilaksis yang ditangani di

bagian emergensi di Amerika Serikat. Anak-anak dapat mempunyai reaksi

alergi terhadap banyak makanan seperti susu, telur, dan susu kacang.

Namun, sensitivitas persisten dapat terlihat yang paling sering pada kacang,

38

dan makanan-makanan laut. Makanan-makanan inilah yang sering

dihubungkan dengan reaksi alergi yang fatal. Variasi makanan dan bentuk

makanan yang menyebabkan alergi sangan bervariasi sesuai dengan daerah

di negara. Di Australia, telur, kacang dan produk-produk susu merupakan

makanan yang paling sering menyebabkan alergi. Alergi pada makanan laut

paling sering terjadi pada negara-negara di Asia Tenggara.

TABEL 6 PENYEBAB ANAFILAKSIS PADA ANAK-ANAK

MakananKacang-kacangan, telur, susu sapi, makanan laut,

biji-bijian dan buah-buahan

Penguat rasa makanan Pewarnan makanan

Obat-obatan Antibiotik seperti contohnya penisilin,

sulfonamide, NSAIDs, aspirin, protamine, dan

obat-obat anastesia

Racun gigitan serangga Semut api, hymenoptera seperti pada gigitan

lebah

Terapi imun Ekstrak alergen

Transfusi produk-produk darah

Lateks

Vaksin

Media kontras radiografi

Idiopatik

Olahraga

Obat-obatan dan gigitan serangga merupakan kasus anafilaksis pada anak-

anak tersering yang tidak berhubungan dengan makanan. Penisilin dan

NSAIDs merupakan obat-obatan yang sering dihubungkan dengan

anafilaksis pada anak-anak. Individu yang alergi terhadap penisilin

mempunyai 4%-10% resiko untuk mengalami alergi terhadap sefalosporin.

Beberapa obat sedasi seperti propofol merupakan beberapa obat yang

mengandung bahan makanan seperti susu dan telur. Tipe alergi spesifik

pada satu alergen tidak menyatakan kecepatan reaksi alerginya. Namun rute

eksposur sangat mempengaruhi seperti contohnya racun dari gigitan

serangga yang dan obat-obatan parenteral bisanya lebih cepat.

39

Reaksi anafilaksis pada imunisasi diperkirakan sekitar 1,5 kasus dalam

satu juta pemberian. Beberapa imunisasi yang paling sering adalah yang

berkaitan dengan measles atau campak, mumps, dan rubella atau campak

jerman (MMR); influenza; diphtheria; pertussis; tetanus; dan rabies. MMR

dan influenza memiliki sediaan yang berasal dari sel unggas. MMR sedang

diteliti untuk disiapkan dari sel telur dan diberikan pada anak-anak yang

diketahui adanya alergi pada telur.

Anafilaksis pada alergi lateks terlihat banyak pada anak-anak dengan

spina bifida, defek atau anomaly urogenital, dan pembedahan multipel.

5.4 Patofisiologi [13,14,15,16]

Menurut sejarahnya, reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh IgE

menjelaskan mekanisme kerja anafilaksis. Alergen dikenalkan ke badan

melalui mekanisme yang berbeda-beda seperti contohnya melalui oral,

parenteral, inhalasi atau kontak kulit langsung. Pada waktu pertama seorang

individu terpapar oleh antigen, antibodi IgE spesifik akan dibentuk karena

rangsangan dari antigen luar atau antigen asing. Antibodi-antibodi ini akan

mengikat reseptor Fc yang memiliki daya ikat tinggi pada jaringan yaitu

dengan sel-mast dan pada darah yaitu dengan basophil. Pengikatan dari

antigen dengan antibodi IgE menyebabkan molekul-molekul ini untuk

menjembatani dan merangsang degranulasi dari sel-mast dan basophil.

Dengan demikian pengeluaran mediator-mediator kimia akan terjadi dengan

cepat dan masif. Histamin merupakan bahan kimia yang secara dominan

akan keluar. Mediator-mediator lain meliputi prostaglandin D2,

leukotrienes, faktor platelet-activating, triptase, faktor kemotaktik eosinofil

dan neutrofil. Faktor-faktor kimia inilah yang sangat berpotensi untuk

menimbulkan manifestasi dan gejala-gejala dari anafilaksis, termasuk

peningkatan permeabilitas vaskuler, bronkospasme, vasodilatasi, dan

mempengaruhi tonus otot halus. Mekanisme akhir dari degranulasi sel mast

dan basophil dengan pengeluaran mediator kimia dapat dicapai dengan

mekanisme lain seperti aktifasi dari sistem komplemen dan kerja langsung

sel mast dan basofil. Mekanisme kerja dari anafilaksis tidak dapat dibedakan

40

dengan mekanisme dari alergi atau hipersensitivitas tipe I atau reaksi

anafilaktik yang dimediasi oleh IgE yang klasik.

Reaksi Bifasik

Reaksi awitan lambat atau delayed reactions dapat terjadi selambat-

lambatnya 72 jam setelah reaksi awitan dini pada anak-anak. Dalam

penelitian terakhir dari anak-anak yang dirawat di rumah sakit karena

anafilaksis, 6% mempunyai reaksi bifasik dengan tidak mempunyai gejala

di antara 1,3 sampai 28,4 jam.

5.5 Diagnosis dan Evaluasi Laboratorium [13,14,15,16]

Penegakan diagnosis anafilaksis didasari penemuan klinis. Pencetus

reaksi yang spesifik dapat diketahui pada awal kedatangan pasien, namun

kebanyakan dapat teridentifikasi melalu anamnesis yang lengkap dan atau

tes imunologi. Pada tahun 1997, laporan tentang anafilaksis pada anak-anak

yang dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun memperlihatkan bahwa 69%

anak-anak dengan reaksi anafilaksis tidak mempunyai riwayat alergi

terhadap agen tertentu.

Spektrum, derajat berat dan onset dari gejala sangat bervariasi.

Sensitivitas, rute, kuantitas, dan laju administrasi dari antigen dari

mempengaruhi respon pasien. Gejala-gejala dapat timbul dalam waktu

beberapa detik sampai beberapa jam setelah paparan antigen. Pada anak-

anak biasanya gejala timbul dalam waktu 5 sampai 30 menit setelah

paparan. Secara umum, pemberian atau pencetus secara parenteral sangat

berhubungan dengan periode laten yang lebih cepat atau dalam hitungan

detik ke menit.

Kebanyakan anak-anak (80%-90%) akan mengalami gejala integument

atau kulit walaupun biasanya gejala ini hanya sementara dan tidak begitu

jelas ketika datang ke bagian emergensi. Beberapa yang harus diperhatikan

adalah adanya kemerahan atau flushing, pruritus, urtikaria, diaforesis, rasa

panas dan angioedema. Gejala-gejala respiratori terdapat pada anak-anak

41

sekitar 94%. Yang paling sering adalah rasa gatal atau pruritus di

tenggorokan, hoarseness, stridor, rasa mengikat pada dada atau

tenggorokan, wheezing, hipoksemia, dan dispneu. Gejala-gejala saluran

pencernaan dapat terjadi pada sekitar 10% sampai 46% pada anak-anak.

Biasanya alergi pada makanan yang sering dihubungkan dengan gejala

pencernaan. Mual, muntah, diare dan keram adalah gejala-gejala yang sering

dilaporkan. Gejala-gejala kardiovaskular juga sering sekitar ~30% dan

meliputi aritmia, perfusi jaringan yang kurang dan hipotensi. Infark miokard

dan cardiac arrest juga sering dilaporkan. Penyusutan fungsi kardiovaskular

sering terjadi pada tahap pre-arrest dan disebabkan oleh hipovolemia

relative dan absolut yang sekunder terhadap peningkatan permeabilitas

kapiler dan vasodilatasi. Dala, 10 menit, jumlah volume darah yang

bersirkulasi bisa menurun sampai 35% pada kasus anafilaksis. Gejala-gejala

lainnya dapat dilihat pada tabel 7.

TABEL 7 MANIFESTASI KLINIS ANAFILAKSIS

Sistem integument atau kulitDiaforesis, kemerahan atau flushing, pruritus,

urtikaria, rasa panas, dan angioedema

Sistem respiratori Tenggorokan; mulut atau bibir berasa geli atau

gatal; rasa mengikat pada tenggorok atau dada;

hoarseness; stridor; wheezing; dispneu; distres

napas, gagal dan arrest

Sistem gastrointestinal Mual, muntah, keram perut, diare yang terkadang

berdarah

Sistem kardiovaskular Aritmia, hipotensi, syok, dan henti jantung

Sistem neurologi Pusing, gangguan visual, treamor, disorientasi,

sincope, dan kejang

Sistem lainnya Angina pectoris, keram uterin, rasa mengecap

seperti bahan metal pada lidah, rinorea,

peningkatan lakrimasi

Pada bulan februari tahun 2006, di dalam symposium untuk definisi dan

manajemen anafilaksis dikembangkan kriteria klinis untuk mendiagnosis

42

anafilaksis yang dipercayai sekitar 95% dapat mendiagnosis kasus

anafilaksis. Kriteria ini dapat dilihat pada tabel 8.

Pada penanganan akut dari anafilaksis, pemeriksaan laboratorium tidak

diindikasikan. Jika terdapat ketidak-pastian pada diagnosis anafilaksis maka

peningkatan kadar triptase dapat membantu. Histamin dan β-triptase

merupakan komponen mayor yang dikeluarkan selama degranulasi sel mast,

sedangkan α-triptase dikeluarkan pada sel mast yang beristirahat. Basofil

mempunyai banyak histamine sedangkan tidak mempunyai triptase sama

sekali. Pengambilan dan pengukuran jumlah kadar histamin sangat susah

dilakukan sehingga menghambat penggunaannya untuk mendiagnosis

anafilaksis. Histamin mempunyai interval atau jarak yang yang sempit

untuk dideteksi abnormalitasnya; puncaknya ada dalam 5 sampai 10 menit

dan menurut dengan cepat dan kembali lagi ke basal dalam 15 sampai 60

menit. Sebaliknya kadar triptase mudah untuk diambil dan beberapa assay

tersedia secara komersial. Puncak triptase ada di dalam 1 sampai 2 jam dan

mempunyai waktu paruh sekitar 2 jam. Namun assay yang spesifik untuk β-

triptase tidak tersedia.

TABEL 8 KRITERIA DIAGNOSIS ANAFILAKSISAnafilaksis kemungkinan besar terjadi ketika salah satu dari 3 kriteria di bawah

ini terpenuhi:

1. Penyakit onset akut (menit sampai beberapa jam) dengan adanya

keterlibatan kulit dan/ atau jaringan mukosa dan paling tidak satu dari:

Gejala pernapasan seperti dispneu, wheeze, stridor, dan hipoksemia

Penurunan tekanan darah sistolik dan gejala-gejala hipoperfusi pada organ-

organ seperti sincope, inkontinens, dan hipotoni

2. Dua atau lebih dari di bawah ini yang terjadi secara cepat setelah adanya

eksposur pada alergen pasien (onsetnya dari menit ke beberapa jam):

Keterlibatan kulit dan/ atau mukosa seperti pada serangga: gatal-kemerahan; dan

bibir, lidah atau uvula bengkak

Keterlibatan respiratori

Penurunan tekanan darah sistolik dan gejala yang berhubungan dengan

hipoperfusi organ-organ

43

Gejala gastrointestinal yang persisten

3. Penurunan tekanan darah sistolik setelah adanya eksposur alergen (onset

menit ke beberapa jam):

Bayi berumur 1 bulan sampai 1 tahun, <70 mmHg

Anak-anak berumur 1 bulan sampai 1 tahun, <(70 mmHg + [2 x umur dalam

tahun])

Anak-anak berumur ≥ 11 tahun dan orang dewasa, <90 mmHg atau >30%

penurunan dari basal pasien.

Namun beberapa perhatian harus diberikan dengan adanya pengukuran

triptase untuk memastikan diagnosis anafilaksis. Beberapa penelitian

menyatakan sensitivitas yang rendah yaitu 0,20 sampai 0,55 untuk serum

triptase dalam mendiagnosis anafilaksis. Beberapa diagnosis pembanding

pada anafilaksis pada anak-anak meliputi reaksi vasovagal, angioedema

herediter, serangan panic, urtikaria pigmentosa, status asmatikus, croup,

tracheitis, supraglottits, pheochromocytoma, atau obstruksi saluran napas

atas karena benda asing.

5.6 Penatalaksanaan dan Pengobatan [13,14,15,16]

Penatalaksanaan yang tepat terhadap reaksi anafilaksis yang

mengancam nyawa adalah evaluasi dari keadaan pasien yang cepat serta

pemberian epinefrin. Pasien harus langsung dipasang monitor jantung dan

paru serta pulse oximetry. Pasien diposisikan tidur terlentang atau supine

dengan kedua kaki diangkat ketika ada tanda-tanda syok kecuali jika ada

dyspnea atau muntah. Pengawasan pertama harus dilakukan untuk

memastikan jalur napas, kerja napas dan juga sirkulasi yang efektif sesuai

dengan triase gawat darurat. Ketika jalur napas sudah terbuka dengan baik,

oksigen segera diberikan menggunakan nonrebreathing mask dengan

kecepatan 12-15 lpm awalnya dan diturunkan secukupnya. Jika

memungkinkan dapat dilakukan dengan segera konsultasi dengan spesialis

anastesia. Jika pembukaan jalur napas masih sulit untuk dilakukan,

pemasangan tuba endotrakeal dapat dilakukan segera mungkin. Pemasangan

intubasi dapat dilakukan secara dini dan langsung bila ada hoarseness dan

44

edema lidah atau orofaringeal yang menutup jalan napas. Keadaan ini dapat

terjadi dan berkembang dengan cepat dan intubasi tidak selalu dengan

mudah terpasang tergantung dari derajat edema yang terjadi. Dengan

demikian biasanya intubasi dengan sedasi tanpa paralisis dapat dilakukan.

Pemberian dosis epinefrin yang adekuat sangat penting untuk

mengurangi morbiditas dan mortalitas dari pasien. Walaupun epinefrin

memiliki indeks terapeutik yang sempit (perbandingan resiko-keuntungan),

epinefrin mempunyai sifat α1, β1, dan β2 agonis yang penting. Kerja dari α1

adalah untuk meningkatkan tahanan vaskuler pada perifer dengan

meningkatkan vasokonstriksi dan mengurangi edema mucosal.

Meningkatkan inotropi dan kronotropi adalah efek kerja dari β1 agonis.

Rangsangan pada reseptor β2 menyebabkan bronkodilasi dan mengurangi

pengeluaran mediator-mediator sel mast dan basofil. Rute pemberian

epinefrin sering dibahas dalam beberapa penelitian. Beberapa penelitian

sudah menyimpulkan pada anak-anak dan orang dewasa, pemberian secara

intramuscular lebih baik atau superior dibandingkan dengan pemberian

secara subkutan dalam mencapai puncak konsentrasi dapat plasma yang

lebih cepat dan lebih tinggi. Hal ini dikarenakan adanya penurunan perfusi

pada kulit karena tubuh berusaha untuk menjaga tekanan darah sistemik

selama anafilaksis terjadi. Konsentrasi epinefrin yang digunakan adalah

1:1000 untuk pemberian secara intramuscular dengan dosis 0.01 mg/kg

(0.01 ml/kg) dengan dosis maksimum 0.3 mg (0.3 ml). Jika dosis awal tidak

efektif maka dapat diulang dalam jangka waktu 5 sampai 15 menit.

Konsentrasi 1:1000 tidak diindikasikan untuk pemberian secara intravena.

Pemberian cairan kristaloid harus dilakukan dan diberikan sedini

mungkin. Pemberian biasanya secara bolus yaitu 20 ml/kg dan diulang jika

diperlukan. Jika pasien memiliki hipotensi maka harus diposisikan

Trendelenburg. Jika hipotensi tetap ada walaupun pasien sudah diposisikan,

sudah diberikan cairan yang agresif, dan sudah diberikan epinefrin secara

intramuscular, pemberian epinefrin dengan intravena harus dilakukan.

Pemberian secara intravena atau intraosseus adalah dengan konsentrasi

1:10.000 dengan 0.01 mg/kg (0.1 ml/kg) dengan dosis maksimal 1 mg.

45

Pemberian epinefrin terus-menerus mungkin diperlukan untuk menjaga

tekanan darah. Jika hipotensi terus ada walaupun sudah diberikan intervensi

seperti yang disebutkan maka pemberian vasopresin dapat diberikan seperti

contohnya pemberian glukagon.

Pemberian lini kedua yaitu antihistamin dan kortikosteroid dapat

dipertimbangkan. Namun harus dipikirkan bahwa antihistamin mempunyai

kerja yang lambat dan tidak dapat menghambat kerja dari pengeluaran

histamin yang sedang berlangsung. Pemberian H1 dan H2 antihistamin

secara bersamaan sudah dibuktikan untuk lebih efektif dibandingkan bilan

diberikan hanya H1 antihistamin saja. Dipenhidramin merupakan

antihistamin generasi pertama dari H1 antihistamin dan dapat diberikan

secara parenteral dan biasanya sering digunakan untuk penanganan

anafilaksis. Beberapa generasi kedua H1 antihistamin seperti loratadin dan

cetirizine belum memiliki sediaan yang dapat diberikan secara parenteral.

Karena itu pemberiannya masih belum digunakan untuk penanganan

anafilaksis akut. Ranitidin sebagai antihistamin H2 dapat diberikan pada

anak-anak dengan dosis parenteral ataupun oral.

Penggunaan kortikosteroid masih belum dapat dipastikan secara

percobaan klinis. Banyak penelitian yang membuktikan kerja dari

kortikosteroid dalam mengurangi dampak dari alergi namun belum ada yang

meneliti kerja dari kortikosteroid dalam penggunaan akut.

Periode observasi harus dilakukan pada semua pasien yang mengalami

reaksi anafilaktik. Reaksi yang panjang dapat terjadi pada sekitar 20% dari

pasien dan dapat terjadi selama 72 jam setelah reaksi awal. Panjangnya

waktu pengawasan tergantung dari derajat berat setelah terjadinya reaksi

awal, ketersediaan tenaga pengawasan, dan alat serta pengobatan yang

tersedia. Banyak peneliti yang menyarankan adanya waktu pengawasa

sekitar 6 sampai 8 jam dan dapat sampai 24 jam. Pasien-pasien dengan

resiko tinggi adalah pasien dengan riwayat reaksi bifasik sebelumnya, asma,

dan adanya kontah terhadap alergen yang terus menerus. Secara umum alur

kerja penanganan anafilaksis pada anak-anak dapat dilihat pada skema 10.

46

5.7 Pencegahan dan Penatalaksanaan Rawat Jalan [13,14,15,16]

Semua pasien yang dirawat jalan setelah mengalami reaksi anafilaktik

memerlukan edukasi umum tentang anafilaksis serta rencana-rencana gawat

darurat yang dapat dikerjakan bila reaksi ini kembali terjadi. Semua tenaga

medis atau yang mengurusi anak tersebut harus diberikan edukasi dan

pengertian yang baik tentang pengawasan dan pemantauan anak di sekolah

dan tempat-tempat lain.

47

Skema 10: Algoritma penatalaksanaan anafilaksis pediatrik. *Kembali pada tabel 8 untuk kriteria diagnosis. †Manajemen disritmia kardiak sesuai PALS guidelines. ‡Oksigen aliran tinggi dengan nonrebreather diberikan dengan titrasi sesuai kebutuhan. §Posisitidur dengan kaki diangkat dan posisi Trendelenburg jangan dilakukan untuk mencegah dispneu dan emesis. ||Epinefrin IM jangan terlambat, diberikan segera setelah dipasang monitor. ¶Pemberian terus-menerus epinefrin dengan 1:10.000 mulai dari 0,1 ug/kg per menit sampai 1 ug/kg per menit. Vasopresor lain dapat diperhitungkan meliputi: dopamine, vasopresin, dan norepinefrin. #Glukagon harus diberikan pada pasien hipotensi yang menerima beta-bloker. Pastikan adanya pengawasan jalur napas yang baik karena glukagon mencetuskan emesis. Pemberian intravena pada anak dengan berat badan kurang dari 20 kg 0,02-0,03 mg/kg sampai 0,5 mg/dosis; untuk anak dengan berat badan lebih dari 20 kg berikan 1 mg/dosis. **Dipenhidramin adalah pilihan pertama untuk antihistamin H1 secara IV. Dosis pediatric 1,25 mg/kg per dosis sampai 50 mg per dosis. Ranitidin (0,5-1 mg/kg sampai 50 mg per dosis) merupakan pilihan untuk antihistamin H2 secara IV. †† Methylprednisolone succinate dapat diberikan secara IV dengan dosis 1-2 mg/kg dengan maksimum dosis 125 mg. IO = Indikasi Intraosseus. NS = Normal Saline. LR = Ringer Laktat.

Beberapa autoinjector yang tersedia adalah dengan 2 dosis yaitu

1:1000, 0,15 mg dan 0,30 mg. Memiliki 2 dosis epinefrin yang siap dipakai

mengurangi angka kejadian sekitar 36% pada kasus anafilaksis. Dosis yang

dipilih dengan alat ini adalah mendekati 0,01 mg/kg per dosis. Rawat jalan

pada pasien dengan berat kurang dari 10 kg sangat berbahaya karena obat

yang tersedia tidak sesuai dengan dosis yang diperlukan.

Keluarga dan anak juga harus mengerti tentang penjauhan dari paparan

alergen yang kira-kira mencetuskan anafilaksis. Orang tua harus mengawasi

dan memantau kehidupan anaknya dari makanan yang dimakan, riwayat

alergen di dalam keluarga, riwayat alergi seperti gatal-gatal, bibir bengkak,

rinitis, dll, adanya penggunaan barang-barang terbuat dari plastik atau karet

yang menimbulkan reaksi alergi. Setelah itu perlu juga adanya pengawasan

yang ketat dan reguler ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan

pasien.

48

BAB VI

SYOK NEUROGENIK

Syok neurogenik dapat dijelaskan sebagai satu kehilangan secara tiba-tiba

tonus autonomik yang disebabkan karena adanya kerusakan atau injuri pada

tulang belakang atau spinal cord injury (SCI). Gangguan atau kerusakan pada

jaras simpatetik yang mengarah kebawah atau descending menyebabkan tonus

vagal yang tidak bekerja pada otot halus vaskuler yang menyebabkan adanya

penurunan tahanan vaskuler sistemik dan vasodilatasi. Hipotensi pada pasien

dengan syok neurogenic menyebabkan tingginya resiko iskemia pada tulang

belakang yang bersifat sekunder akibat adanya kegagalan autoregulasi. Walaupun

definisi dari syok neurogenik sering menjadi rancu, syok neurogenik menjelaskan

keadaan perubahan pada hemodinamika tubu dengan adanya SCI sedangkan syok

spinal dikarakteristikan dengan adanya penurunan fungsi sensori, motorik atau

refleks yang bersifat reversible dibawah dari tingkat kerusakan tulang belakang.

6.1 Manifestasi Klinis [17]

Syok neurogenic adalah merupakan bagian dari syok distributif, namun

harus menjadi diagnosis pembanding pada saat tahap awal dari resusitasi

traumatik setelah syok hemoragik dapat disingkirkan. Tidak ada tes

diagnostic yang definitif namun biasanya pasien datang dengan keluhan

hipotensi dan bradikardia relative. Bradikardia biasanya dicetuskan dengan

gerakan menghisap, defekasi, gerakan membalik dan hipoksia. Biasanya

kulit pasien akan berasa panas dan kemerahan pada tahap awal. Hipotermia

dapat berlangsung karena adanya vasodilatasi yang cukup dominan dan juga

kehilangan panas tubuh. Seringkali tekanan vena sentral turun akibat adanya

tahanan vaskular sistemik yang turun. Banyak fakta yang menunjukan

bahwa ada terjadinya hipertensi di dalam beberapa menit pertama SCI dan

dilanjutkan dengan hipotensi.

49

6.2 Epidemiologi [17]

SCI pada anak-anak terjadi sekitar 1,99 kasus dalam 100.00 anak-anak

di Amerika Serikan dan biasanya kasus baru ditemukan sekitar 1.500 kasus

per tahunnya di rumah-rumah sakit. Penyebab yang paling sering yaitu

sekitar 41-56% adalah karena trauma melalui benturan kendaraan bermotor

dan sekitar 67% dari kasus ini tidak dengan benar ditangani. Beberapa

penyebab lain dari SCI adalah anastesia spinal, sindroma Guillain-Barre,

neuropati-neuropati lain, dan toksin sistem saraf autonom. Beberapa

penyebab dari SCI yang unik di dalam populasi pediatric meliputi cedera

atau injuri saat lahir, transverse myelitis, dan kekerasan pada anak-anak.

Selain itu, subluksasi pada SCI servikal di anak-anak dapat ditemukan pada

kasus Trisomi 21, arthritis idiopathic juvenile, displasia skeletal dan

tonsilofaringitis. SCI pada servikal lebih sering ditemukan pada anak-anak

dibandingkan dengan orang tua, dikarenakan keadaan anatomi dari anak-

anak yang meliputi besar kepala yang lebih besar dan otot-oto leher yang

belum sepenuhnya berkembang. SCI servikal mempunyai mortalitas sekitar

18-27% pada anak-anak. Kehilangan tonus simpatetik, atau syok

neurogenic, yang paling sering terjadi ketika kerusakan berada diatas level

T6.

6.3 Penatalaksanaan [17]

Tahanan vaskuler sistemik yang menurun menyebabkan adanya

hipovolemia relatif karena peningkatan kapasitas vena dan biasanya

pemberian cairan isotonic diperlukan. Namun hipotensi yang disebabkan

oleh syok neurogenic biasanya bersifat tidak membaik walaupun diberikan

resusitasi cairan. Namun hipotensi pada pasien dengan trauma tidak dapat

diasumsikan penyebabnya adalah syok neurogenic di tahap awal

pemeriksaan, bisa saja pasien di dalam masa syok hemoragik. Dengan

demikian pasien trauma dengan hipotensi harus ditangani dengan pemberian

cairan kristaloid atau koloid dan dievaluasi apakah ada perdarahan yang

terjadi. Pasien harus dengan adekuat diresusitasi dan diawasi perkembangan

50

hemodinamikanya sebelum mendapatkan dekompresi tulang belakang

secara teknik bedah.

Hipotensi harus ditangani dengan cepat untuk mengurangi adanya

iskemia sekunder SCI. SCI servikal biasanya sering ditemui pad apasien

yang juga mempunyai injuri otak traumatic dan hipotensi tidak dapat

ditoleransi juga pada pasien dengan injuri otak traumatik. Manitol tidak

boleh digunakan pada pasien yang syok dengan adanya trauma kepada atau

SCI.

Jika pasien yang hipotensi memiliki kronotropi dan inotropi yang

normal maka pemberian α1 agonis sebagai vasokonstriktor perifer seperti

phenylephrine diindikasikan. Norepinefrin juga dapat dipikirkan karena

mempunyai efek agonis terhadap kerja reseptor α1 dan β1. Epinefrin dan

vasopresin dapat digunakan pada keadaan hipotensi yang tidak selesai atau

refrakter.

Jika bradikardia dialami oleh pasien, pasien dapat diberikan dan

mungkin respon terhadap atropine, glikopirolat atau pemberian vasoaktif

dengan kerja kronotropik, vasokonstriktor dan inotropik seperti dopamin

atau norepinefrin.

51

BAB VII

SYOK SEPTIK

7.1 Patofisiologi [18,19]

Sepsis adalah respon sistemik yang terjadi di dalam tubuh yang salah

atau abnormal yang dikarenakan adanya invasi mikroorganisme patogenik

atau berpotensi patogenik pada jaringan yang steril. Dalam tabel 9 dapat

dilihat definisi dari sepsis, sepsis berat, dan syok septik.

TABEL 9 DEFINISI SEPSIS, SEPSIS BERAT, DAN SYOK SEPTIK

Sepsis: Infeksi ditambah manifestasi sistemik dari infeksi

Sepsis berat: Sepsis dengan disfungsi organ akibat sepsis atau hipoperfusi

jaringan

Sepsis-induced hypotension: Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg

atau tekanan arterial rata-rata kurang dari 70 mmHg, atau penurunan

tekanan darah sistolik lebih besar dari 40 mmHg tanpa adanya penyebab

lain dari hipotensi

Syok septik: Sepsis-induced hypotension yang terus terjadi setelah adanya

resusitasi cairan yang adekuat

Sepsis-induced tissue hypoperfusion: syok septik, peningkatan laktat lebih

dari nilai normal atau oliguria

Oliguria akut: Output urin kurang dari 0,5 ml/kg/jam sedikitnya 2 jam

walaupun adanya resusitasi cairan

Sepsis berat dan syok septik merupakan hasil akhir dari interaksi yang

kompleks antara organisme yang menginfeksi dan respon tubuh dan

mencerminkan respon yang abnormal dari tubuh host terhadap patogen. Hal

penting yang dapat menjelaskan patofisiologi dari syok septik adalah

ketidakcocokan dari respon host terhadap intensitas stimuli patogenik yang

akhirnya menyebabkan gangguan organ dengan atau tanpa hipotensi. Hasil

52

dari ketidakcocokan ini dapat menimbulkan gejala inflamasi atau yang

disebut dengan systemic inflammatory response syndrome (SIRS) atau

campuran atau disebut dengan mixed antagonistic response syndrome

(MARS) atau anti inflamasi atau disebut dengan compensatory anti-

inflammatory syndrome (CARS). Natur dari interaksi antara patogen dengan

host sangat kompleks di dalam jjaringan menyebabkan adanya inflamasi

yang berlebihan atau supresi imun, koagulasi dan aliran darah yang tidak

normal dan gangguan sirkulasi mikro yang menyebabkan kegagalan organ

dan kematian sel. Hal ini dapat dilihat pada skema 11.

Skema 11: Patofisiologi sepsis berat dan syok septik.

Kejadian yang kompleks yang terjadi pada syok septik secara umum

dapat dibagi menjadi komponen yang berhubungan dengan mikroorganisme

dan komponen yang berhubungan dengan host. Katergori ini kemudian

dibagi lagi menjadi komponen selular dan humoral. Keadaan dari

mikroorganisme dalam patofisiologi syok septik dimulai dari mekanisme

dimana mikroba dapat melewati imun sistem dari host dan menyebabkan

peningkatan morbiditas. Beberapa hal yang sering dibahas di dalam

patofisiologi syok septik adalah:

53

1. Peranan dari patogen

2. Gangguan fungsi imunoinflamatori yang mengarah kepada sepsis

berat

3. Gangguan disfungsi sirkulasi di dalam sepsis berat yang

menyebabkan perkembangan kea rah syok septik

Peranan Patogen

Mekanisme pertama di dalam sepsis berat dan syok septik adalah

adanya invasi pada jaringan-jaringan yang steril oleh mikroba patogenik.

Hubungan antara patogen dan sistem imun host dapat menyebabkan satu

proses infeksius yang terus berjalan di dalam tubuh dengan adanya

kerusakan jaringan yang minimal atau sepsis berat dan syok septik.

Kejadian atau respon yang tidak normal dari tubuh host yang dilihat di

dalam syok septik dapat disebabkan oleh bakteria, virus, atau jamur.

Menurut sejarahnya, pengertian tentang patofisiolofi di dalam sepsis

berpusat pada adanya respon dari tubuh host yang tidak sesuai yang

dimainkan oleh patogen yang menginvasi. Beberapa penelitian

membuktikan bahwa patogen yang berupa bakteri maupun yang bukan

bakteri mempunyai faktor virulensi yang dapat memiliki teknik untuk

melawan dan melewati imun sistem dari host serta berproliferasi di dalam

jaringan tubuh. Hal ini dapat dilihat pada tabel 10.

Setelah adanya perlengketan patogen pada permukaan epithelial

mekanisme pertahanan mukosa yang spesifik akan terangsang untuk

menekan proliferasi dan menjaga adanya invasi ke tembok epitel.

Rangsangan ini adalah adanya sekresi mukus, adanya peluruhan sel, dan

pengeluaran enzim-enzim seperti lisozim. Untuk membuat satu proses

infeksi di dalam tubuh manusia, bakteri tidak hanya dapat melewati sistem

imun tubuh, namun juga mengeluarkan faktor virulensi untuk memfasilitasi

invasi. Ekspresi dari faktor virulensi oleh satu bakteri kemungkinan besar

akan menghasilkan satu proses infeksi dengan kerusakan sel yang lebih

rendah. Dengan demikian populasi dari bakteri yang akan mempengaruhi

derajat berat dari infeksi. Densitas dari bakteri yang dibutuhkan untuk

54

memulai proses infeksi disebut dengan quorum. Bakteri mengembangkan

satu sistem komunikasi antar sel yang memungkinkan mereka untuk

mengatur densitas mereka dan bereaksi terhadap lingkungan sekitar sebagai

satu kesatuan. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah dari bakteri

untuk menyamai mekanisme host defense yang kuat.

TABEL 10 KARAKTERISTIK VIRULENSI DARI PATOGEN BAKTERIAL

Mekanisme perlengketan bakteri terhadap permukaan epitel

Adhesin: protein di dalam bakteri yang membuat organisme untuk mengikat

pada elemen di jaringan host.

Flagela, fimbrae, dan pili: berfungsi pada mobilitas dan perlengketan pada sel

Sistem sekresi tipe III: digunakan untuk mengenalkan protein bakteri pada sel

host dan mengubah kerja di sel host

Ligand mimicry: mengerluarkan protein yang sama seperti protein di dalam host.

Mekanisme invasi bakteri setelah perlengketan

Sistem sekresi protein: bakteria mengeluarkan transporter-transporter untuk

mengangkut produk-produk

Mekanisme bakteri melewati imun sistem

Anti-fagositosis

Pembentukan biofilm

Sistem komunikasi antar sel ini disebut dengan sistem quorum-sensing

atau QSSs dan menghasilkan aktivasi genetika dan ekspresi faktor virulensi

yang tinggi. QSSs di dalam bakteria Gram positif dan Gram negatif sangat

berpengaruh dan berperan di dalam sepsis pada manusia.

7.2 Penatalaksanaan Syok Septik pada Anak [20]

1. Resusitasi Awal

2. Antibiotik dan Kontrol Sumber Infeksi

3. Resusitasi Cairan

4. Inotropik/Vasopresor/Vasodilator

5. Oxigenasi Membran

6. Kortikosteroid

7. Produk Darah dan Terapi Plasma

55

8. Sedasi/Analgesia/Toksisitas obat

9. Kontrol Gula Darah

10. Terapi Diuretik dan Penggantian Renal

11. Profilaksi DVT

12. Profilaksi Stres Ulcer

13. Nutrition

56

REFERENSI

1. Pudjiadi A.H, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatri gawat

darurat. Indonesia: IDAI; 2013.

2. Sinniah D. Shock in children. IeJSME. 2012;6(1): 129-136.

3. Worthley L.I.G. Shock: a review of pathophysiology and management Part

I. Critical care and resusctation. 2000;2: 55-65.

4. Worthley L.I.G. Shock: a review of pathophysiology and management Part

II. Critical care and resusctation. 2000;2: 66-84.

5. Patricia M, Veiga C, Mello, Sharma V.K, Dellinger R.P. Shock overview.

Seminars in respiratory and critical care medicine. 2004;25(6): 619-628.

6. Copstead L.E, Banasik J. Pathophysiology. Misaori: Elsevier; 2010.

7. Hall E.J, Guyton and Hall textbook of medical physiology. Philadelphia:

Elsevier; 2011.

8. McKiernan C.A, Lieberman S.A. Circulatory shock in children an overview.

Pediatrics in Review. 2005;26(12): 451-459.

9. Reynolds H.R, Hochman J.S. Cardiogenic shock current concepts and

improving outcomes. Circahajournals. 2008;117: 686-697.

10. Tehrani S, Malik A, Hausenloy D.J. Cardiogenic shock and the ICU patient.

JICS. 2013;14(3): 235-243.

11. Califf R.M, Bengtson J.R. Cardiogenic Shock. NEJM. 1994;330(24): 1724-

1730.

12. Hobson M.J, Chima R.S. Pediatric hypovolemic shock. The Open Pediatric

Medicine Journal. 2013;7(1): 10-15.

13. Lane D.R, Bolte R.G. Pediatric anaphylaxis. Pediatric Emergency Care.

2007;23(1): 49-56.

14. Simons F.E.R, Ardusso L.R.F, Bilo M.B, El-Gamal Y.M, Ledford D.K,

Ring J, et al. World Allergy organization guidelines for the assessment and

management of anaphylaxis. WAO Journal. 2011;4: 13-37.

15. Sicherer S.H, Simons F.E.R. Self-injectable epinephrine for first-aid

management of anaphylaxis. AAP. 2007;119(3): 638-646.

57

16. Arroabarren E, Lasa E.M, Olaciregui I, Sarasqueta C, Munoz J.A, Yarza-

Perez E.G. Improving anaphylaxis management in a pediatric emergency

department. Pediatric Allergy and Immunology. 2011;22: 708-714.

17. Mack E.H. Neurogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal.

2013;7(1): 16-18.

18. Nduka O.O, Parrillo J.E, The Pathophysiology of Septic Shock. Crit Care

Clin. 2009;25: 677-702.

19. Biban P, Gaffuri M, Spaggiari S, Zaglia F, Serra A, Santuz P. Early

Recognition and management of septic shock in children. Pediatric report.

2012;4(13): 48-51.

20. Dellinger R.P, et al. Surviving sepsis campaign: international guidelines for

management of severe sepsis and septic shock: 2012. Ccmjournal.

2013;41(2): 580-637.

21. Guidelines for the retrieval & management of severe sepsis & septic shock

in infant & children. Southampton Paediatric Retrieval Service. Pg. 1-16.

22. El-wiher N, Cornell T.T, Kissoon N, Shanley T.P. Management and

treatment guidelines for sepsis in pediatric patients. Open Inflamm J.

2011;4: 101-109.

23. Dibb-Fuller E. Management of Paediatric Sepsis. ATOTW 278 management

of Paediatric Sepsis. 2013;278: 1-10.

24. Carmona F, Manso P.H, Silveira V.S, Cunha F.Q, De Castro M, Carlotti

A.P.C.P. Inflammation, myocardial dysfunction and mortality in children

with septic shock: an observational study. Pediatr Cardiol. 2014;35: 463-

470.

25. Larsen G.Y, Mecham N, Greenberg R. An emergency department septic

shock protocol and care guideline for children initiated at triage. Pediatrics.

2011;127(6): 1585-1592.

58