Upload
tranngoc
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
Skripsi
ANALISIS EKSPERIMENTAL EFEK AREA RATIO THROAT
TERHADAP ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR
REFRIGERATION SYSTEM
Untuk Memenuhi Salah Satu Persayaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Teknik Mesin Pada Jurusan Teknik Mesin Universitas
Sanata Dharma
Oleh:
GREGORIUS BRYAN HENDRIWAN RIYANTO
135214118
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
EXPERIMENTAL ANALYSIS OF AREA RATIO THROAT
EFFECT TO ENTRAINMENT RATIO OF STEAM EJECTOR
REFRIGERATION SYSTEM
FINAL PROJECT
As practial fulfillment of the requirements to obtain the Bachelor Degree in
Mechanical Engineering
By
GREGORIUS BRYAN HENDRIWAN RIYANTO
Student Number: 135214118
MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT
FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi ini dengan judul “Analisis
Eksperimental Efek Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio Steam Ejector
Refrigeration System” tidak terdapat karya yang pernah diajukan disuatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya dan
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 8 Agustus 2016
Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini saya mahasiswa Universitas Sanatah Dharma :
Nama : Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto
Nomor Mahasiswa : 135214118
Demi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:
ANALISIS EKSPERIMENTAL EFEK AREA RATIO THROAT
TERHADAP ENTRAINMENT RATIO STEAM EJECTOR
REFRIGERATION SYSTEM
Beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya namun memberikan
royalty kepada saya selama tetap menyantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Yogyakarta, 8 Agustus 2016
Yang menyatakan,
Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “Analisis Eksperimental Efek Area Ratio Throat Terhadap
Entrainment Ratio Steam Ejector Refrigeration System”.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat
memperoleh gelar sarjana bagi mahasiswa program S1 pada program studi
Program Studi Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Universtias Sanata
Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Selesainya
proposal ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan
ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung kepada:
1. Sudi Mungkasi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ir. P.K. Purwadi, M.T., selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma.
3. Stefan Mardikus, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing yang telah banyak
membantu dan memberikan bimbingan dalam pengerjaan Skripsi dan
Tugas Akhir ini.
4. Wibowo Kusbandono, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing skripsi dan
dosen pembimbing akademik, yang telah banyak membantu dan
memberikan bimbingan dalam pengerjaan Skripsi dan Tugas Akhir ini.
5. Seluruh dosen Teknik Mesin Fakultas Sains dan Teknologi Univertas
Sanata Dharma, yang telah memberikan pengetahuan selama kuliah.
6. Keluarga tercinta, F.X. Budhi Riyanto (Bapak), Theresia Maria Elly (Ibu),
Vanessa Maria Angela (Adik), Theodatus Kurniawan (Paman), dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Valensia Mariana (Nenek), yang selalu mendukung, memberikan doa,
semangat dan bantuan baik moril maupun materi kepada penulis.
7. Kelompok tugas akhir Aditia Pratama Abdi dan Gilang Arga Dyaksa yang
telah membantu menyelesaikan tugas akhir dan memberikan dukungan
kepada penulis.
8. Mas Ronny, Pak Intan, dan Pak Martono selaku laboran Teknik Mesin
yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pembuatan Tugas
Akhir.
9. Teman – teman seperjuangan: Oka, Vincent, Dede, David, dan Louis yang
telah membantu selama pengerjaan tugas akhir.
10. Teman – teman teknik mesin Sanata Dharma: Willy, Retta, Teguh, Rio,
Septian, Morgan, Daniel, Jepri, Karel, dan yang lain yang telah
memberikan dukungan selama pengerjaan skripsi.
11. Teman – teman kost griya kanna: Yosep, Putri, Cindy, Novi, Malla, Tasya,
Ningrum dan yang lain yang telah memberikan dukungan selama
pengerjaan skripsi.
12. Berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan
bantuan baik material maupun moril kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
terdapat banyak kekurangan, segala kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan untuk kesempuranaan penelitian dimasa yang akan datang. Akhir kata,
semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat berguna bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Yogyakarta, 8 Agustus 2016
Gregorius Bryan Hendriwan Riyanto
(135214118)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………….. iii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………….. v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ………………………..
vi
KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xvi
NOMENKULATUR ………………………………………………………… xvii
ABSTRAK …………………………………………………………………… xix
ABSTRACT ………………………………………………………………….. xx
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………… 5
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………. 5
1.4 Batasan Penelitian ………………………………………………… 6
1.5 Originalitas Penelitian …………………………………………….. 6
1.6 Manfaat Penelitian ………………………………………………... 7
BAB II LANDASAN TEORI ……………………………………………….. 9
2.1 Tinjauan Pustaka ………………………………………………….. 9
2.2 Aplikasi Steam Ejector ………………………………………….. 10
2.3 Pengertian dan Prinsip Kerja Steam Ejector …………………….. 11
2.4 Bagian – bagian Steam Ejector ………………………………….. 13
2.5 Tipe – tipe Steam Ejector Refrigeration System ………………… 15
2.6 Definisi Fluida …………………………………………………… 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
2.7 Teori Dasar Fluida ……………………………………………….. 19
2.8 Fenomena Aliran Pada Ejector …………………………………… 44
BAB III METODELOGI PENELITIAN …………………………………. 52
3.1 Diagram Alir Penelitian ………………………………………….. 52
3.2 Skema Alat Uji Penelitian ……………………………………….. 53
3.3 Material Penelitian ………………………………………………. 56
3.4 Alat Penelitian …………………………………………………… 57
3.5 Variabel Penelitian ………………………………………………. 62
3.6 Prosedur Penelitian ………………………………………………. 63
3.7 Skematika Penulisan ……………………………………………... 65
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………… 66
4.1 Pengaruh Primary Pressure dan Secondary Temperature Terhadap
Entrainment Ratio ………………………………………………..
66
4.2 Pengaruh Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio ………. 69
4.3 Pengaruh Expansion Ratio Terhadap Entrainment Ratio ………… 73
4.4 Pengaruh Entrainment Ratio Terhadap Coefficient of Performance
Steam Ejector Refrigeration System ……………………………..
78
BAB V PENUTUP ………………………………………………………….. 87
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 87
5.2 Saran ……………………………………………………………... 88
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Sifat – sifat air pada tekanan atmosfer ……………………………... 22
Tabel 2.2 Klasifikasi bilangan mach ………………………………………….. 41
Tabel 2.3 Ringkasan dari karakteristik shock wave normal ………………….. 50
Tabel 3.1 Spesifikasi sifat – sifat fisik air pada temperatur 15 °C dan tekanan
1 atm ………………………………………………………………..
56
Tabel 3.2 Spesifikasi sifat – sifat fisik air raksa pada 20 °C dan tekanan 1 atm 57
Tabel 3.3 Spesifikasi steam ejector …………………………………………... 58
Tabel 3.4 Spesifikasi water heater 2000 watt ………………………………… 59
Tabel 3.5 Spesifikasi water heater 1000 watt…………………………………. 59
Tabel 3.6 Spesifikasi thermocouple …………………………………………... 60
Tabel 3.7 Spesifikasi pressure gauge bourdon tube ………………………….. 62
Tabel 3.8 Spesifikasi temperature controller APPA …………………………. 62
Tabel 3.9 Tekanan dan temperatur kerja pada ejektor ………………...……… 63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Skema ejektor konvensional ……………………………………. 3
Gambar 2.1 Aplikasi liquid – gas ejektor pada proses klorinasi …………….. 10
Gambar 2.2 Aplikasi ejektor sebagai vacuum pump ………………………… 11
Gambar 2.3 Profil tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector …….. 12
Gambar 2.4 Grafik performa ejektor berdasarkan operational modes ………. 13
Gambar 2.5 Skema ejektor konvensional ……………………………………. 13
Gambar 2.6 Skema nozzle ……………………………………………………. 12
Gambar 2.7 Skema suction chamber …………………………………………. 12
Gambar 2.8 Skema mixing chamber …………………………………………. 15
Gambar 2.9 Skema diffuser ………………………………………………….. 15
Gambar 2.10 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan (b)
P-h diagram ………………………………………………………
16
Gambar 2.11 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejektor; (b) Skema
sistem; (c) P-h diagram ………………………………………….
17
Gambar 2.12 Combined Steam Ejector Refrigeration System …………………. 18
Gambar 2.13 Ilustrasi perbedaan molekul pada likuid dan gas ………………… 20
Gambar 2.14 Pengaruh temperatur terhadap rapat massa air ………………….. 21
Gambar 2.15 Deformasi zat cair ……………………………………………….. 24
Gambar 2.16 Hubungan antara tegangan geser dan gradient kecepatan ……….. 24
Gambar 2.17 Viskositas kinematik untuk fluida yang sering digunakan ………. 25
Gambar 2.18 Variasi tekanan dan pengaruh kavitasi pada pipa dengan variabel
penampang ……………………………………………………….
27
Gambar 2.19 Tekanan mutlak dan tekanan pengukuran ……………………….. 28
Gambar 2.20 Pengukuran tekanan bourdon ……………………………………. 29
Gambar 2.21 Cara kerja tabung bourdon ………………………………………. 30
Gambar 2.22 Aliran viskos dengan kecepatan seragam ……………………….. 31
Gambar 2.23 Ilustrasi tipe aliran fluida viskos ………………………………… 33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
Gambar 2.24 Perbedaan aliran laminar dan turbulen pada pipa (a) laminar (b)
turbulen ………………………………………………………….
34
Gambar 2.25 Tabung aliran untuk menurunkan persamaan kontinuitas ……… 36
Gambar 2.26 Persamaan kontinuitas pada pipa bercabang ……………………. 37
Gambar 2.27 Garis tenaga dan tekanan pada zat cair ideal ……………………. 38
Gambar 2.28 Profil perubahan pola kecepatan aliran dan tekanan pada suatu
sistem closed channel ……………………………………………
39
Gambar 2.29 Perubahan kecepatan dan tekanan melewati Bernoulli-type device 42
Gambar 2.30 Discharged coefficient pada plat orifis dengan sambungan D : 1/2
D …………………………………………………………………
44
Gambar 2.31 Efek perubahan bilangan Mach pada perubahan properti fluida
dengan perubahan luas penampang ………………………………
46
Gambar 2.32 Rasio luas penampang versus bilangan Mach untuk aliran
kompresibel dengan k = 1.4 ……………………………………...
47
Gambar 2.33 Fenomena aliran pada converging nozzle (a) geometri nozzle
menunjukkan perubahan tekanan (b) distribusi tekanan disebab-
kan oleh back pressure (c) laju aliran massa versus back flow
pressure ………………………………………………………….
48
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ………………………………………….. 52
Gambar 3.2 Skema sistem alat uji ……………………………………………. 53
Gambar 3.3 Skema steam ejector ……………………………………………. 54
Gambar 3.4 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 6.25 ………. 55
Gambar 3.5 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 12.5 ………. 55
Gambar 3.6 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 18.75 ……… 56
Gambar 3.7 Steam Ejector…………………………………………………….. 58
Gambar 3.8 Water heater daya 2000 Watt ……………………………………. 58
Gambar 3.9 Water heater daya 1000 Watt ……………………………………. 59
Gambar 3.10 Thermocouple tipe K ……………………………………………. 60
Gambar 3.11 Pressure gauge bourdon tube …………………………………… 60
Gambar 3.12 Orifice plate flowmeter ………………………………………….. 61
Gambar 3.13 Roll meter ……………………………………………………….. 61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
Gambar 3.14 Temperature controller APPA ………………………………….. 62
Gambar 3.15 Stopwatch ……………………………………………………….. 63
Gambar 3.16 Skema prosedur pengujian ………………………………………. 64
Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature
terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 6.25 ….
67
Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature
terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 12.5 ….
68
Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature
terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 18.75 …
69
Gambar 4.4 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio
pada secondary temperature 50 °C ………………………………
70
Gambar 4.5 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio
pada secondary temperature 60 °C ………………………………
71
Gambar 4.6 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio
pada secondary temperature 70 °C ………………………………
72
Gambar 4.7 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio
pada secondary temperature 80 °C ……………………………….
73
Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary pressure terhadap expansion ratio pada
ketiga variasi area throat ratio 6.25, 12.5, dan 18.75 ……………
74
Gambar 4.9 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada
primary pressure 100 kPa ………………………………………..
75
Gambar 4.10 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada
primary pressure 200 kPa ………………………………………..
76
Gambar 4.11 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada
primary pressure 300 kPa ………………………………………..
77
Gambar 4.12 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada
primary pressure 400 kPa ………………………………………..
78
Gambar 4.13 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 6.25 …………..
79
Gambar 4.14 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 12.5 …………..
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
Gambar 4.15 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 18.75 …………..
80
Gambar 4.16 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ……………
81
Gambar 4.17 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 12.5 …………..
82
Gambar 4.18 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 18.75 …………..
82
Gambar 4.19 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ……………
83
Gambar 4.20 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 12.5 ……………
84
Gambar 4.21 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 18.75 …………..
84
Gambar 4.22 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 6.25 ……………
85
Gambar 4.23 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 12.5 …………...
86
Gambar 4.24 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 18.75 ………...
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A.1 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 6.25............ 93
Lampiran A.2 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 12.5 ........... 94
Lampiran A.3 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 18.75 ……. 95
Lampiran B.1 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 6.25 ……. 96
Lampiran B.2 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 12.5 ……. 97
Lampiran B.3 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 18.75 …... 98
Lampiran C Contoh Perhitungan …….…………………………………... 99
Lampiran D Tabel Sifat Termodinamika Saturated Water ……………… 105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
NOMENKULATUR
Lambang Arti Satuan Halaman
a Kecepatan suara m/s 47, 70
A Luas m2 42, 52, 53, 54
β Rasio diameter orifice Dimensionless 49
COP Coefficient of Performance Dimensionless 10, 11, 24, 58, 85-94
Cd Discharged Coefficient Dimensionless 49, 50
D Diameter m 40, 48, 49, 50
ER Expansion Ratio Dimensionless 57, 70, 80 – 85, 94
g Gravitasi m/s2 28, 34, 35,
h Ketinggian m 34
K Modulus elastisitas MN/m2 29
L Panjang m 16, 17
m Laju aliran massa kg/s 42, 54,
M Modulus Bulk N/m2 29, 64,
Ma Bilangan Mach Dimensionless 47, 48, 53, 54, 70
P Tekanan Pascal 30
R Konstanta gas universal J/kg K 29, 54, 63, 64
Re Bilangan Reynold Dimensionless 41
σ Tegangan permukaan N/m 29
τ Tegangan geser N/m2 30, 31
s Waktu Sekon 38, 39
T Temperatur K 13, 29, 32, 56, 58, 70
ρ Massa jenis kg/m3 63, 64, 70
S Rapat jenis Dimensionless 29
γ Berat jenis N/m3 28
µ Viskositas Dinamik Nd/m2 29, 32, 70
ν Viskositas Kinematik m2/s 29, 32
v Kecepatan m/s 31, 34, 35, 36, 42, 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
V Volume m3 20
Q Debit m3/s 42, 49, 71
ω Entrainment Ratio Dimensionless 70, 73 - 94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
ABSTRAK
Pemanfaatan kembali waste heat dan low grade thermal energy telah
menjadi topik penelitian sejak energi jenis tersebut dapat diperoleh dari sisa
proses – proses industri, kolektor surya, dan gas buang kendaraan. Sistem
0refrijerasi ejektor uap merupakan suatu perangkat yang ekonomis dan ramah
lingkungan dimana sistem ini dapat beroperasi dari panas sisa dan refrijeran yang
fenomena pencampuran aliran serta performa dari ejektor uap. Dengan
memperbesar ruang pencampuran melalui throat yang dapat diubah – ubah, nilai
optimum rasio luas penampang throat pada ruang pencampuran akan diteliti
secara eksperimen.
Sebuah sistem refrijerasi ejektor uap berskala kecil telah dirancang dan
difabrikasi. Ejektor dirancang dalam suatu sistem terbuka dan boiler beroperasi
pada tekanan 100 – 400 kPa. Fluida didalam sebuah evaporator bertemperatur
antara 50 - 80°C, sedangkan temperatur kondenser dikondisikan pada 27°C.
Ruang pencampuran dengan diameter 8 mm dan 3 konfigurasi panjang (50 mm,
100 mm, 150 mm) diuji pada kondisi posisi NXP 0 mm dan diameter nosel 2 mm.
Dengan memvariasikan rasio luas throat pada ruang pencampuran, hasil
percobaan menunjukkan nilai optimum dari entrainment ratio didapatkan dengan
rasio luas throat 18.75 pada tekanan boiler 100 kPa dan temperatur evaporator
80°C dengan nilai ω = 1. Sedangkan, nilai rasio ekspansi optimum adalah 2.1 dan
koefisien performa dari sistem refrijerasi ejektor uap adalah 0.98.
Kata kunci: Waste heat, sistem refrijerasi ejektor uap, rasio luas penampang
throat, entrainment ratio.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
ABSTRACT
The utilization of waste and low-grade thermal energy has been of interest
to reaserchers ever since this type of energy is available from sources such as
industrial process waste, solar collectors, and automobile exhaust. Steam ejector
refrigeration system is an application, which is economically feasible and
environment-friendly as it can operates with waste heat and a harmless refrigerant
such as water. The aim of this paper is to investigate the entrainment behavior and
performance of steam ejector. Through enlarging the designed mixing chamber by
replaceable throats, optimum area ratio throat of mixing chamber is studied
experimentally.
A small scale steam ejector refrigeration system was designed and
manufactured. This ejector setup consist of an open loop configuration and the
boiler operated in the pressure range of Pp = 100 – 400 kPa. The typical
evaporator liquid temperatures range from Ts = 50 - 80°C while the condenser
temperature fixed at Tc = 27°C. The mixing chamber with 8 mm diameter and
three length configurations (50 mm, 100 mm, 150 mm) were tested while the
nozzle exit position remained unchanged at 0 mm and used 2 mm nozzle’s
diameter.
With variable area ratio throat of mixing chamber, experiments showed
that the optimum entrainment ratio was obtained by throat area ratio 18.75 at 100
kPa primary pressure and 80°C secondary temperature with ω = 1. Meanwhile, the
optimum expansion ratio was 2.1 and optimum coefficient of performance of
steam ejector refrigeration system was 0.98.
Keywords: waste heat, steam ejector refrigeration system, area ratio throat,
entrainment ratio
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan
perkembangan jenis dan jumlah industri meningkat dalam satu dekade terakhir
(Kementrian Keindustrian Republik Indonesia, 2015). Hal ini sebanding dengan
peningkatan konsumsi listrik di Indonesia yang cukup signifikan. Berdasarkan
data statistik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada tahun 2012,
konsumsi listrik di Indonesia pada kurun waktu 2000 – 2012 mengalami
peningkatan rata – rata 6,2% per tahun. Menurut Cullen (2012), meningkatnya
konsumsi energi listrik berbanding lurus dengan peningkatan waste heat yang
disebabkan oleh inefficiency proses pembakaran dan heat transfer pada power
plant.
Waste heat adalah satu bentuk energi yang dihasilkan oleh panas sisa
dengan temperatur antara 80°C - 200°C (Chandra et. al., 2014). Menurut Clemens,
et. al (2016), waste heat dapat dihasilkan dari proses industri manufaktur, power
plant, dan gas buang kendaraan. Berdasarkan data U.S. Department of Energy,
sebanyak 20 – 50% energy losses pada proses manufaktur merupakan waste heat
dimana energi tersebut berpotensi untuk dimanfaatkan kembali. Berdasarkan
penelitian Richard Law (2015), pemanfaatan waste heat pada industri manufaktur
di Amerika Serikat dapat menghasilkan 14 TWh yang setara dengan 100 juta
poundsterling per tahun. Terkait potensi tersebut, waste heat dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi pada absorption chiller, electrical heat pump, absorption
heat pump, dan non mechanical refrigeration system (Hongyou Lu, 2016 dan
Chandra et. al., 2014).
Steam ejector refrigeration system merupakan salah satu non-mechanical
refrigeration system yang menjadi topik penelitian selama beberapa dekade
terakhir. Sistem pendinginan ini pertama kali dikembangkan oleh Le Blanc dan
Parson pada 1901. Steam ejector refrigeration system memiliki kesamaan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
sistem pendinginan konvensional yang menggunakan kompresor, namun pada
steam ejector refrigeration system fungsi kompresor digantikan dengan boiler dan
ejektor, Meyer (2008). Siklus refrijerasi ini menjadi menarik untuk diteliti karena
sistem ini tidak memiliki komponen yang bergerak (kecuali pompa) sehingga low
maintenance dan memiliki konstruksi yang sederhana. Keunggulan lainnya adalah
sistem ini lebih ramah lingkungan karena menggunakan air sebagai refrijeran dan
waste heat sebagai sumber energi utama (Chandra et. al., 2014).
Ejektor merupakan bagian vital dari steam ejector refrigeration system
oleh karena itu optimalisasi desain dan performa ejektor merupakan hal yang
sangat penting. Ejektor yang juga dikenal sebagai vacuum jet, jet pump,atau
thermo-compressor merupakan pumping device yang menggunakan efek venturi
untuk mengubah energi tekanan dari fluida primer menjadi energi kinetik (Zhu,
2013). Gambar 1 menampilkan skema ejektor konvensional. Sebuah ejektor terdiri
dari beberapa bagian antara lain: nozzle, suction chamber, mixing chamber dan
diffuser. Menurut Sriveerakul (2006), prinsip kerja ejektor yaitu panas
ditambahkan pada boiler sehingga menyebabkan air sebagai fluida kerja berubah
menjadi uap bertekanan dan bertemperatur tinggi (primary fluid). Uap tersebut
berekspansi melewati nozzle dan menghasilkan tekanan yang sangat rendah pada
kecepatan tinggi (supersonic velocity). Perbedaan tekanan antara ujung nozzle dan
evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap pada temperatur rendah dan
menghasilkan refrigeration effect. Air (secondary fluid) yang terhisap kemudian
bercampur dengan primary fluid pada mixing chamber ejektor pada tekanan
konstan. Campuran fluida berekspansi melewati diffuser dan mengalami kenaikan
tekanan serta penurunan kecepatan (subsonic velocity).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Gambar 1 Skema ejektor konvensional (Chen et. al., 2012).
Performa dari steam ejector refrigeration system bergantung pada proses
pencampuran antara primary fluid dan secondary fluid sehingga didapatkan nilai
entrainment ratio yang tinggi (Sriveerakul et. al., 2009). Entraiment ratio (ER)
adalah rasio pencampuran kedua fluida yang dinyatakan dalam perbandingan laju
aliran massa secondary fluid terhadap primary fluid (Chandra et. al., 2014).
Menurut Kong F. S., et. al., (2013), turbulensi pencampuran fluida,
compressibility effect, dan ketidakstabilan aliran merupakan permasalahan –
permasalahan yang sering terjadi pada ejektor. Terkait permasalahan tersebut,
peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian terhadap parameter – parameter
yang dapat meningkatkan ER sebuah ejektor. Parameter – parameter tersebut
antara lain mass flow rate, critical back pressure, dan desain ejektor (Jia, 2011;
Kong F. S., et. al., 2013; Chunnanond K., et. al., 2003; Chen et. al., 1997).
Mass flow rate adalah laju aliran massa fluida kerja yang dipengaruhi oleh
masa jenis fluida, kecepatan aliran, dan luas penampang (Zhu, 2013). Berdasarkan
penelitian Chunnanond (2003), mass flow rate pada primary nozzle dipengaruhi
oleh operating condition dari boiler. Penurunan saturated pressure pada boiler
menyebabkan mass flow rate primary fluid menurun sehingga entrainment ratio
ejector meningkat. Pada penelitian yang sama, ukuran dari nozzle dapat
mempengaruhi mass flow rate primary fluid karena kecepatan primary fluid
sangat dipengaruhi oleh diameter ujung nozzle.
Critical back pressure pada ejektor dapat mempengaruhi COP dari steam
ejector refrigeration system secara signifikan (Chandra et. al., 2014 dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Chunnanond K., et. al., 2003). Menurut Sriveerakul (2006), back pressure adalah
tekanan balik yang dipengaruhi oleh tekanan kerja kondenser dan evaporator.
Back pressure yang melebihi batas critical back pressure dapat menyebabkan
malfunction pada ejektor karena campuran kedua fluida mengalir kembali menuju
evaporator (Chunnanond K., et. al., 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sriveerakul, kenaikan pada tekanan evaporator dapat menaikkan
nilai critical back pressure. Sedangkan kenaikan tekanan kondenser berbanding
lurus dengan back pressure. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa back pressure
ejektor dapat diatur dengan temperatur cooling-water pada kondenser (Chen,
1997).
Parameter terakhir yang mempengaruhi performa dari ejektor adalah
desain geometri ejektor (Jia, 2011; Yadav, et. al., 2008; dan Aphornratana, 1997).
Menurut Aphornratana, jarak nozzle terhadap mixing chamber (NXP) memiliki
pengaruh terhadap COP dari siklus refrijerasi ejektor. Hasil penelitian
menunjukkan semakin dekat jarak nozzle dengan mixing chamber maka akan
terjadi penurunan entrainment ratio. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yadav
(2008) menunjukkan bahwa projection ratio pada suction chamber, diameter
suction chamber, dan sudut konvergen pada suction chamber memiliki pengaruh
yang cukup signifikan terhadap entrainment ratio. Kenaikan projection ratio (PR)
dapat meningkatkan driving force pada suction chamber yang disertai dengan
kenaikan entrainment ratio. Namun apabila kenaikan PR melebihi 5, maka hal
tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap performa ejektor karena
terbentuknya radial flow pada suction chamber. Bentuk geometri dari suction
chamber memiliki fenomena serupa dengan PR, dimana apabila bentuk dari
suction chamber melebihi nilai optimumnya akan terbentuk radial flow yang
menghambat driving force pada ujung primary nozzle.
Mixing chamber pada ejektor merupakan bagian ejektor yang penting
karena pada bagian konstan tersebut terdapat fenomena perubahan tekanan dan
kecepatan seiring pencampuran kedua fluida (Zhu, 2013). Sedangkan berdasarkan
studi literatur sebelumnya belum banyak peneliti yang membahas mengenai area
ratio throat pada mixing chamber. Oleh sebab perlu untuk diteliti pengaruh area
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
ratio throat pada mixing chamber terhadap entrainment ratio serta fenomena
aliran yang terjadi sepanjang ejektor.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan masalah pada penelitian
ini, antara lain:
1. Bagaimanakah pengaruh tekanan dan temperatur kerja boiler dan
evaporator terhadap entrainment ratio dari steam ejector?
2. Bagaimanakah pengaruh area ratio throat pada mixing chamber terhadap
entrainment ratio dari steam ejector?
3. Bagaimanakah pengaruh expansion ratio dan area ratio throat pada
mixing chamber terhadap entrainment ratio dari steam ejector?
4. Bagaimanakah hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of
performance dari steam ejector refrigeration system?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, maka
tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi primary pressure
dan secondary temperature steam ejector.
2. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi area ratio throat
pada mixing chamber steam ejector.
3. Mengetahui entrainment ratio maksimum dari variasi area ratio throat
pada mixing chamber dan expansion ratio steam ejector.
4. Mengetahui coefficient of performance maksimum dari variasi area ratio
throat pada mixing chamber steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.4 Batasan Penelitian
Batasan-batasan yang ditentukan dalam melakukan eksperimen steam
ejector adalah :
1. Menggunakan fluida kerja air (R718) baik di boiler sebagai fluida primer
maupun evaporator sebagai fluida sekunder.
2. Primary fluid dikondisikan pada tekanan 100 kPa, 200 kPa, 300 kPa, dan
400 kPa.
3. Temperatur secondary fluid dikondisikan pada temperatur 50 °C, 60 °C,
70 °C, dan 80 °C.
4. Temperatur kerja kondensor dikondisikan pada temperatur 27oC.
5. Variasi area ratio throat pada mixing chamber menggunakan
perbandingan ukuran 6.25, 12.5, dan 18.75.
6. Menggunakan geometri steam ejector yang sudah ditentukan
7. Tidak memperhitungkan rugi – rugi gesekan dinding.
8. Tidak memperhitungkan pressure losses pada sambungan dan belokan.
9. Peneliti menggunakan referensi jurnal dalam melihat dan menganalisa
fenomena yang terjadi di dalam steam ejector.
1.5 Originalitas Penelitian
Penelitian serupa telah dilakukan sebelumnya oleh Dirix (1990), Bando et.
al (1990), dan Li, C., et al. (2011) mengenai pengaruh rasio panjang dan diameter
pada mixing chamber ejector. Penelitian ini memiliki originalitas penelitian bila
dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Pada penelitian – penelitian
sebelumnya, tipe ejektor yang digunakan adalah multi – phase ejector sedangkan
pada penelitian ini digunakan ejektor tipe single phase ejector menggunakan
fluida kerja air (R718). Selain jenis ejektor yang berbeda, penelitian ini
menggunakan geometri ejektor yang berbeda dengan penelitian – penelitian
sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan tentang
pemanfaatan gas buang terhadap efisiensi energi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
2. Menambah kajian ilmu yang mempelajari tentang pemanfaatan waste heat.
3. Mengetahui nilai efisiensi penggunaan steam ejector yang baik dengan
mengacu perbandingan length / diameter dari mixing chamber dan model
steam ejector yang sudah ditentukan oleh peneliti.
1.6.2 Manfaat Praktis
Dalam manfaat praktis terdapat tiga hal yaitu: manfaat bagi Universitas,
manfaat bagi peneliti, dan manfaat bagi pembaca atau peneliti selanjutnya.
1.6.2.1 Bagi Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana dalam mendukung
pencapaian visi dan misi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, antara lain :
a. Menjadi penggali kebenaran yang unggul dan humanis demi terwujudnya
masyarakat yang semakin bermartabat.
b. Menciptakan masyarakat akademik Universitas yang mampu menghargai
kebebasan akademik serta otonomi keilmuan, mampu bekerja sama lintas
ilmu, dan mampu mengedepankan kedalaman dari pada keluasan wawasan
keilmuan dalam usaha menggali kebenaran lewat kegiatan pengajaran,
penelitian, dan pengabdian masyarakat.
c. Menghadirkan pencerahan yang mencerdaskan bagi masyarakat melalui
publikasi hasil kegiatan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada
masyarakat, pengembangan kerjasama dengan berbagai mitra yang
memiliki visi serta kepedulian sama, dan pemberdayaan para alumni
dalam pengembangan keterlibatan nyata di tengah masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
1.6.2.2 Bagi Peneliti
a. Penelitian ini dapat memperluas wawasan mengenai pemanfaatan energi
waste heat pembakaran terhadap efisiensi penggunakan energi untuk
menjaga kelestarian lingkungan sekitar.
b. Menambah wawasan tentang efisiensi energi sehingga dalam penggunaan
energi ketika di industri dapat mengimplementasikan ilmu pengetahuan
tentang efisiensi energi untuk mengurangi biaya maupun bahan.
c. Supaya peneliti dapat memperoleh gelar Sarjana Teknik Mesin setelah
melakukan penelitian ini.
1.6.2.3 Bagi Pembaca atau Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk
dapat diteliti lebih lanjut sehingga hasil dari penelitiannya lebih baik dari peneliti
terdahulu dan diharapkan penelitian ini dapat menjadi wawasan dan pengetahuan
mengenai steam ejector refrigeration system.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Mixing chamber memiliki efek yang signifikan pada pencampuran
primary fluid dan secondary fluid baik pada single phase ejector maupun gas –
liquid ejector (Li, C., et al., 2010). Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu
ditemukan bahwa ejektor memiliki variasi bentuk geometri optimum berdasarkan
operating condition dan tipe ejektor (Li, C., et al., 2010; Dirix et. al., 1990; Bando
Y. et. al., 1990; dan Valle, J. G., et. al., 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Dirix (1990) mengenai “Mass transfer in
jet loop Reactors” mempelajari tentang pencampuran oksigen dari air dengan gas
nitrogen pada liquid – gas ejector. Hasil penelitian membuktikan bahwa penting
untuk mendesain ejektor yang sesuai dengan operating condition pada kedua
reaktor. Terkait dengan desain geometri, belum ditemukan perubahan entrainment
ratio yang signifikan pada variasi area ratio throat pada mixing chamber antara
nilai 2 sampai dengan 10. Pada penelitian lebih lanjut, Dirix menunjukkan bahwa
mass transfer pada seluruh sistem reaktor tergantung pada pola aliran di dalam
ejektor.
Bando et al. (1990) dengan jurnal yang berjudul “The characteristics of a
bubble column with a gas-suction type, simultaneous gas–liquid injection- nozzle”
menunjukkan peningkatan entrainment rate dari liquid – gas ejector sebanding
dengan peningkatan area ratio throat pada mixing chamber. Hasil penelitian
menunjukkan nilai optimum dari area ratio throat adalah 20 sampai dengan 30,
dimana entrainment rate mencapai niai maksimum dan akan turun pabila area
ratio throat melebihi 30.
Jurnal “Investigation of entrainment behavior and characteristics of gas-
liquid ejector based on CFD simulation” yang ditulis oleh Li, C., et al.
(2010),menunjukkan bahwa tekanan fluida primer dan tekanan fluida sekunder
mempengaruhi entrainment ratio pada gas – liquid ejektor. Selain tekanan
optimum, rasio panjang dan diameter mixing chamber juga memiliki pengaruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
yang cukup signifikan pada entrainment rate ejektor. Li (2011) membandingkan
nilai optimum area ratio throat pada single phase ejector dan double phase
ejector. Pada double phase ejector area ratio throat mixing chamber memiliki
nilai rasio optimum 1 sampai 2 sedangkan untuk single phase ejector 5 sampai 7.
2.2 Aplikasi Steam Ejector
Steam ejector pertama kali ditemukan oleh Le Blanc dan Parson pada
tahun 1901 dengan nama vacuum augmentor. Vacuum augmentor digunakan
sebagai perangkat untuk membuang gas - gas non-condensable dari kondenser
pada steam machine. Kemudian pada tahun 1918, Le blanc mematenkan nama
steam ejector sebagai perangkat sistem refrijerasi pada gedung – gedung besar dan
kereta api (Cardemill, J.M., 2012). Steam ejector refrigeration system merupakan
aplikasi dari ejektor yang paling sering ditemukan dan banyak menjadi bahan
penelitian. Sistem refrijerasi ini banyak diteliti karena ramah lingkungan, low
maintenance dan murah (Jia, Yan, et al., 2011). Seiring perkembangan industri,
ejektor juga banyak dijumpai pada industri kimia sebagai pompa untuk fluida
korosif dan debu. Selain itu ejektor dapat digunakan untuk mengektraksi likuid,
absorbsi gas - gas, stripping, fermentasi, hydrogenation, chlorination, dll. (Yadav,
et al., 2008).
Gambar 2.1 Aplikasi liquid – gas ejector pada proses klorinasi
(http://www.ipt.com.my/products-instrumentation-hydro.php)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Gambar 2.2 Aplikasi ejektor sebagai vacuum pump
(http://www.gdnash.com/classic_pumps_compressors/)
2.3 Pengertian dan Prinsip Kerja Steam Ejector
Ejektor merupakan pumping device yang menggunakan efek venturi untuk
mengubah energi tekanan dari primary fluid menjadi energi kinetik melewati
nozzle (Zhu, 2013). Waste heat dimanfaatkan oleh boiler untuk menghasilkan uap
bertekanan. Uap tersebut berekspansi melewati nozzle dan menghasilkan tekanan
yang sangat rendah pada kecepatan tinggi (supersonic velocity). Perbedaan
tekanan antara ujung nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator
terhisap pada temperatur rendah dan menghasilkan refrigeration effect. Air
(secondary fluid) yang terhisap kemudian bercampur dengan primary fluid pada
mixing chamber ejektor pada tekanan konstan. Campuran fluida berekpansi
melewati diffuser dan mengalami kenaikan tekanan serta penurunan kecepatan
(subsonic velocity). Gambar 2.3 menampilkan profil tekanan dan kecepatan di
dalam steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Gambar 2.3 Profil tekanan dan kecepatan aliran di dalam steam ejector
(Chunnanond, 2003).
Menurut Zhu (2013), steam ejector memiliki tiga mode operasi
berdasarkan karakteristik alirannya yaitu critical mode, subcritical mode, dan
back flow mode. Performa ejektor menurun secara linear ketika bekerja pada
kondisi subcritical dan back flow mode. Gambar 2.4 menampilkan grafik
performa ejektor berdasarkan operational modes.
Pada critical mode, aliran primary fluid berekspansi setelah melewati
nozzle dan menghasilkan aliran bertekanan sangat rendah dengan kecepatan tinggi
(supersonic velocity) pada suction chamber. Perbedaan tekanan antara ujung
nozzle dan evaporator menyebabkan air pada evaporator terhisap ke suction
chamber. Secondary fluid mengalami akselerasi aliran sampai pada sonic velocity.
Kondisi ini disebut sebagai choking. Pencampuran primary fluid dan secondary
fluid menyebabkan kecepatan aliran primary fluid melambat sedangkan kecepatan
aliran secondary fluid terus meningkat hingga supersonic velocity. Pada saat
campuran fluida memasuki area konstan (mixing chamber), aliran mengalami
shock wave karena tekanan yang tinggi dan menyebabkan compression effect.
Compression effect mengakibatkan aliran berubah dari supersonic velocity
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
menjadi subsonic velocity pada ujung mixing chamber. Perubahan kecepatan
aliran ini disebut sebagai choking, karena melewati batas sonic velocity.
Fenomena ini dikenal sebagai double choking, karena terjadi pada suction
chamber dan mixing chamber (Cardemil, 2012). Pada subcritical mode, aliran
tidak mencapai choking condition pada mixing chamber sehingga disebut single
choking.
Gambar 2.4 Grafik performa ejektor berdasarkan operational modes (Cardemil,
2012).
2.4 Bagian – bagian Steam Ejector
Secara umum steam ejector terdiri dari 4 bagian utama: nozzle, suction
chamber, mixing chamber / throat, dan diffuser seperti yang ditampilkan pada
gambar 2.5.
Gambar 2.5 Skema ejektor konvensional (Chandra, et al., 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
2.4.1 Nozzle
Nozzle merupakan bagian terkecil pada ejektor yang berfungsi untuk
mengonversi energi tekanan pada primary fluid menjadi energi kinetik. Pada
bagian ini, fluida akan mengalami shock wave sebagai akibat dari perubahan
tekanan dan kecepatan secara mendadak (Yinhai Zhu, 2013).
Gambar 2.6 Skema nozzle (Chandra, et al., 2014).
2.4.2 Suction Chamber
Suction chamber merupakan bagian inlet kedua fluida pada ejektor. Pada
bagian suction chamber, secondary fluid dari evaporator terhisap karena
compression effect yang dihasilkan oleh shock wave dari primary fluid. Pada
bagian ini, kedua fluida belum mengalami pencampuran (Yinhai Zhu 2013).
Gambar 2.7 Skema suction chamber (Chandra, et al., 2014).
2.4.3 Mixing Chamber
Bagian ini memiliki luasan area yang konstan, dimana terjadi
pencampuran kedua fluida bertekanan konstan pada subsonic velocity (Yadav et.
Nozzle
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
al., 2008). Dari beberapa penelitian sebelumnya, bagian mixing chamber
mempengaruhi entrainment ratio sebuah sistem (Dirix et. al., 1990).
Gambar 2.8 Skema mixing chamber (Chandra, et al., 2014).
2.4.4 Diffuser
Diffuser merupakan bagian outlet dari ejektor yang berfungsi untuk
meningkatkan tekanan. Fluida yang mengalir di bagian ini adalah aliran campuran
dari energi kinetik diubah menjadi energi tekan, sehingga membuat kecepatan dari
aliran akan berkurang dan tekanan akan bertambah (Sriveerakul T., et. al., 2006).
Gambar 2.9 Skema diffuser (Chandra, et al., 2014).
2.5 Tipe-tipe Steam Ejector Refrigeration System
Menurut Jianyong Chen et. al. (2015), steam ejector refrigeration system
diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: conventional ejector refrigeration system
(CERS), Advanced Ejector Refrigeration System, dan Combined Steam Ejector
Refrigeration System.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2.5.1 Conventional Ejector Refrigeration System (CERS)
Gambar 2.10 menunjukan sistem refrijerasi konvensional dan diagram P-h
dengan dua model ejector yang digunakan dalam teknologi refrijerasi, yaitu:
model konstan area pencampuran dan model konstan tekanan pencampuran.
Secara umum sistem tersebut mempunyai penggunaan energi yang kecil (Qg) yang
disalurkan di generator untuk penguapan. Tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
generator (primary flow) dan tekanan rendah dari evaporator (secondary flow)
masuk ke ejector. Pencampuran dari kedua fluida mengalami perubahan tekanan
dan kecepatan pada mixing chamber, kemudian masuk menuju ke kondensor
untuk proses pelepasan panas ke lingkungan (Qc). Fluida yang terkondensasi akan
dipompakan ke generator dan sisa uap akan masuk ke katub ekspansi lalu
disalurkan ke evaporator (Jianyong, et. Al., 2015).
Gambar 2.10 (a) Conventional Ejector Refrigeration System (CERS) dan
(b) P-h Diagram (Chen J., et. Al., 2014).
Conventional ejector refrigeration system (CERS) telah diteliti selama
kurun waktu 100 tahun terakhir dan menjadi topik yang menarik sampai sekarang.
Fenomena dari aliran yang ada di ejector juga belum terpecahkan dan desain dari
geometri ejector juga tidak mudah untuk dipastikan. Hal ini disebabkan performa
dari ejector mempunyai banyak faktor yang mempengaruhi, yaitu fluida kerja,
dimensi ejector, kondisi pengoperasian terutama temperatur. Meskipun CERS
menkonsumsi listrik dalam jumlah yang sangat sedikit, CERS mempunyai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
kekurangan ketika dibandingkan dengan absorption refrigeration system yaitu
mempunyai COP yang rendah dan sulit untuk digunakan di berbeda kondisi
pengoperasian (Chen J., et. Al., 2014).
2.5.2 Advanced Ejector Refrigeration System
Dalam menyikapi CERS yang mempunyai nilai COP yang rendah, banyak
peneliti mencoba untuk mencari Advanced Ejector Refrigeration System yang
mempunyai nilai COP yang tinggi dalam simulasi dan eksperimen. Cara untuk
memperoleh nilai COP yang tinggi dengan mengubah konfigurasi / struktur dari
ejector, menggunakan multi-stage ejector, tidak menggunakan pompa mekanik
dalam pengoperasian sistem, dan menggunakan regenerasi dan/atau pre-cooler
(Chen J., et. al., 2014). Dalam Gambar 2.11 ditampilkan sistem refrijerasi pada
multi stage ejector refrigeration system.
Gambar 2.11 Dua tingkat sistem refrigerasi (a) Konfigurasi ejector;
(b) Skema sistem; (c) P-h Diagram (Chen J., et. al., 2014).
2.5.3 Combined Steam Ejector Refrigeration System
Ejector juga dapat di kombinasikan dengan tipe sistem refrijerasi yang lain
contohnya: vapor compression refrigeration system, absorption system dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
absorbtion system, heat pipe and power generation system. Dalam penggunaan
combined steam ejector refrigeration system digunakan khusus pada
kondisilingkungan tertentu agar tercapai efisiensi yang baik (Chen J., et. al.,
2014).
Gambar 2.12 Combined Steam Ejector Refrigeration System (Chen J., et. al.,
2014).
2.5 Definisi Fluida
Fluida adalah zat – zat yang mampu mengalir dan yang menyesuaikan diri
dengan bentuk wadah tempatnya. Bila berada dalam keseimbangan, fluida tidak
dapat menahan gaya tangensial atau gaya geser. Semua fluida memiliki suatu
derajat kompresibilitas dan memberikan tahanan kecil terhadap perubahan bentuk.
(Ranald V. Giles, 1986).
2.6 Teori Dasar Fluida
Dari sudut pandang mekanika fluida, semua zat diklasifikasikan menjadi
dua bentuk, padat dan fluida. Perbedaan teknis antara kedua zat terletak pada
reaksinya terhadap gaya geser maupun tangensial yang diberikan. Zat padat dapat
menahan tegangan geser dengan bentuk deformasi statis, sedangkan fluida
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
meneruskan gaya tersebut kedalam bentuk energi kinetik / gerak (Frank M. White,
1998).
Fluida diklasifikasikan secara umum kedalam dua bentuk yaitu likuid dan
gas. Perbedaan antara kedua bentuk fluida tersebut terletak pada reaksi setiap jenis
terhadap gaya yang diberikan. Likuid tersusun dari molekul – molekul yang
berikatan secara berdekatan serta memiliki gaya kohesif yang kuat. Gaya kohesif
tersebut menyebabkan likuid cenderung mempertahankan volume dan bentuk
yang mengikuti wadahnya. Sedangkan fluida gas memiliki jarak molekul yang
renggang dan memiliki gaya kohesif yang sangat lemah, sehingga gas bebas untuk
berekspansi. Sifat kedua jenis tersebut kemudian dikenal sebagai compressible
and incompressible. Karena fluida tidak mampu menahan gaya geser maupun
tangensial, maka gaya yang diberikan pada suatu fluida akan diteruskan pada
dinding – dinding wadah / vessel ke segala arah. Kondisi ini dikenal dengan
hydrostatic condition.
Fluida merupakan kumpulan dari molekul – molekul, dimana gas memiliki
jarak antar molekul yang sangat renggang, dan likuid memiliki jarak antar
molekul yang lebih dekat. Jarak antar molekul jauh lebih besar daripada besar
diameter molekul tersebut. Molekul - molekul pada fluida tidak diam pada satu
kondisi namun cenderung bergerak satu sama lain. Gambar 2.13 menunjukkan
ilustrasi bentuk molekul pada gas dan likuid.
Gambar 2.13 Ilustrasi perbedaan molekul pada likuid dan gas.
[http://sciencelearn.org.nz/Science-Stories/Strange-Liquids/States-of-matter]
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
2.6.1 Sifat – sifat Fluida Likuid
Menurut Triatmodjo (2014), secara umum fluida likuid memiliki beberapa
sifat – sifat utama antara lain:
a. Apabila ruangan lebih besar dari volume zat cair, akan terbentuk
permukaan bebas horizontal yang berhubungan dengan atmosfer.
b. Mempunyai rapat massa dan berat jenis.
c. Dapat dianggap tidak termampatkan (incompressible).
d. Mempunyai viskositas (kekentalan).
e. Mempunyai kohesi, adhesi, dan tegangan permukaan.
2.6.1.1 Rapat Massa
Kerapatan sebuah fluida, dilambangkan dengan huruf Yunani ρ,
didefinisikan sebagai massa fluida (m) per satuan volume (v) dan dapat
dinyatakan dengan persamaan (1.1). Kerapatan biasanya digunakan untuk
mengkarakteristikkan massa sebuah sistem fluida. Dalam sistem SI Unit
(International System of Unit) kerapatan, ρ mempunyai satuan kg/m3 (White,
1998)
V
m (2.1)
Kerapatan dapat bervariasi cukup besar pada suatu fluida. Kerapatan gas
sangat dipengaruhi tekanan dan temperaturnya, sementara pada zat cair variasi
tekanan dan temperatur umumnya hanya memberikan pengaruh kecil terhadap
nilai ρ (Harinaldi, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Gambar 2.14 Pengaruh temperatur terhadap rapat massa air (Munson et. al, 2009).
2.7.1.2 Berat Jenis dan Rapat Relatif
Berat jenis yang diberi notasi γ (gamma) adalah berat benda tiap satuan
volume pada temperatur dan tekanan tertentu. Berat suatu benda adalah hasil kali
antara massa dan percepatan gravitasi. Terdapat hubungan antara berat dan rapat
massa dalam persamaan berikut:
g (2.2)
dengan:
γ : berat jenis (N/m3 untuk satuan SI atau kgf/m
3 untuk satuan MKS).
ρ : rapat massa (kg/m3 untuk satuan SI atau kgm/m
3 untuk satuan MKS).
g : percepatan gravitasi, 9.801 (m/s2).
Berat jenis air pada 4 °C dan pada tekanan atmosfer adalah 9,81 kN/m3
atau 1000 kgf/m3 atau 1 ton/m
3.
Rapat relatif didefinisikan sebagai perbandingan antara rapat massa suatu
zat dan rapat massa air. Karena g maka rapat relative dapat juga
didefinisikan sebagai perbandingan antara berat jenis suatu zat dan berat jenis air
pada 4°C dan tekanan atmosfer. Bilangan ini tidak berdimensi dan diberi notasi S,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
air
zatcair
air
zatcairS
(2.3)
Perubahan rapat massa dan berat jenis zat cair terhadap temperatur dan
tekanan adalah sangat kecil sehingga dalam praktek perubahan tersebut diabaikan.
Pada Tabel 2.1 ditampilkan beberapa sifat air pada tekanan atmosfer dan pada
beberapa temperatur (White, 1998).
Tabel 2.1 Sifat – sifat air pada tekanan atmosfer (Triatmodjo, 2014).
Suhu,
°C
Rapat
massa, ρ
(kg/m3)
Viskositas
Dinamik, µ
(Nd/m2)
Viskositas
Kinematik,
ν (m2/s)
Tegangan
Permukaan,
σ (N/m)
Modulus
Elastisitas,
K (MN/m2)
0 999,9 1,792 x 10-3
1,792 x 10-6
7,56 x 10-2
2040
5 1000 1,519 1,519 7,54 2060
10 999,7 1,308 1,308 7,48 2110
20 998,2 1,005 1,007 7,36 2200
30 995,7 0,801 0,804 7,18 2230
40 992,2 0,656 0,661 7,01 2270
50 988,1 0,549 0,556 6,82 2300
60 983,2 0,469 0,477 6,68 2280
70 977,8 0,406 0,415 6,50 2250
80 971,8 0,357 0,367 6,30 2210
90 965,3 0,317 0,328 6,12 2160
100 958,4 0,284 x 10-3
0,296 x 10-6
5,94 2070
2.7.1.3 Hukum Gas Ideal
Gas – gas sangat mudah dimampatkan dibandingkan dengan zat cair,
dimana perubahan kerapatan gas berhubungan langsung dengan perubahan
tekanan dan temperatur melalui persamaan 2.4.
RTp (2.4)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
dimana p adalah tekanan mutlak, ρ kerapatan, T temperatur mutlak dan R adalah
konstanta gas. Persamaan 2.4 biasanya disebut sebagai hukum gas ideal atau gas
sempurna, atau persamaan keadaan gas ideal. Perilaku ini diketahui sangat
mendekati perliaku gas – gas riil di bawah kondisi yang normal apabila gas – gas
tersebut tidak mendekati keadaan pencairannya (Munson et. al, 2009).
Tekanan dalam sebuah fluida dalam keadaan diam didefinisikan sebagai
gaya normal per satuan luas yang diberikan pada sebuah permukaan bidang (nyata
atau semu) yang terendam dalam fluida dan terbentuk dari tumbukan permukaan
tersebut dengan molekul – molekul fluida. Tekanan mempunyai dimensi FL-2
, dan
dalam satuan BG dinyatakan sebagai lb/ft2 (psf) pascal, disingkat Pa dan tekanan
biasanya dinyatakan dalam pascal. Tekanan dalam hukum gas ideal harus
dinyatakan dalam mutlak, yang berarti bahwa tekanan tersebut diukur relatif
terhadap tekanan nol mutlak. Tekanan atmosfer standar pada permukaan laut
(menurut kesepakatan internasional) adalah 14,696 psi (abs) atau masing – masing
menjadi 14,7 psi dan 101 kPa (Munson et. al, 2009).
2.7.1.4 Viskositas
Kekentalan adalah sifat dari zat cair untuk melawan tegangan geser pada
waktu bergerak / mengalir. Kekentalan disebabkan karena kohesi antara partikel
fluida. Fluida ideal tidak mempunyai kekentalan. Fluida kental, seperti sirup atau
oli, mempunyai nilai viskositas yang besar. Sedangkan pada fluida encer, seperti
air, mempunyai nilai viskositas yang kecil (Munson et. al, 2009).
Gambar 2.16 menunjukkan zat cair yang terletak diantara dua plat sejajar
yang berjarak sangat kecil Y. Plat bagian bawah pada posisi diam sedangkan plat
atas bergerak dengan kecepatan U. Partikel fluida yang bersinggungan dengan plat
yang bergerak mempunyai kecepatan yang sama dengan plat tersebut. Tegangan
geser antara dua lapis zat cair adalah sebanding dengan gradient kecepatan dalam
arah tegak lurus dengan gerak (du/dy).
dy
du (2.5)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Gambar 2.15 Deformasi zat cair (www.princeton.edu)
dengan µ (mu) adalah kekentalan dinamik (Nd/m2) dan τ (tau) adalah tegangan
geser (N/m2). Zat cair yang mempunyai hubungan linier antara tegangan geser dan
gradient kecepatan disebut dengan fluida Newtonian. Pada fluida ideal, tegangan
geser adalah nol dan kurvanya berhimpit dengan absis. Untuk fluida non-
newtonian, tegangan geser tidak berbanding lurus dengan gradient kecepatan
(Munson et. al, 2009).
Gambar 2.16 Hubungan antara tegangan geser dan gradien kecepatan (Munson et.
al, 2009).
Sangat sering dalam persoalan aliran fluida, viskositas muncul dalam
bentuk yang dikombinasikan dengan kerapatan sebagai:
(2.6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Perbandingan ini disebut sebagai viskositas kinematik dan dilambangkan
dengan huruf Yunani ν (nu). Dimensi dari viskositas kinematik adalah L2/T, dan
satuannya dalam sistem SI adalah m2/s. Nilai viskositas kinematik untuk beberapa
zat cair dan gas yang umum diberikan dalam Tabel 2.1 dan grafik – grafik yang
menunjukkan variasi viskositas dinamik dan kinematik terhadap temperatur untuk
berbagai fluida juga diberikan pada Gambar 2.17.
Grafik 2.17 Viskositas kinematik untuk fluida yang sering digunakan (Munson et.
al, 2009).
2.7.1.5 Tekanan Uap
Dari ilmu termodinamika diketahui bahwa fludia dapat berubah fase dari
cari menjadi gas yang dikenal sebagai proses penguapan. Peristiwa penguapan
yang mudah diamati adalah jika cairan dalam sebuah bejana terbuka dipanaskan.
Akibat tambahan energi dari pemanasan molekul cairan di permukaan mempunyai
cukup momentum untuk mengatasi gaya kohesi antar molekul dan melepaskan
diri ke atmosfer. Seandainya bejana ditutup dengan sedikit ruang di atas
permukaannya dan ruang ini kemudian divakumkan, maka tekanan akan terbentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
di atas permukaannya dan ruangan ini kemudian divakumkan, maka molekul yang
terus melepaskan diri sampai suatu kondisi kesetimbangan tercapai. Saat
setimbang, jumlah molekul yang meninggalkan permukaan sama dengan
jumlahnya yang masuk kembali ke dalam cairan. Uap tersebut dikatakan telah
jenuh dan tekanan yang terbentuk disebut tekanan uap (dilambangkan pv). Karena
pembentukan tekanan uap sangat berkaitan dengan aktivitas molekuler, nilai dari
tekanan uap untuk suatu zat cair tertentu tergantung pada temperatur (Harinaldi,
2015).
Alasan penting untuk meninjau tekanan uap adalah karena dari berbagai
pengamatan di dalam fluida yang sedang mengalir kerap terbentuk gelembung uap
di dalam massa fluida. Hal ini dapat terjadi ketika tekanan mutlak di dalam fluida
mencapai tekanan uapnya. Misalnya fenomena ini mungkin terjadi pada aliran
yang melalui saluran yang tidak menentu, mengecil (nozzle), pada sebuah katup
atau pompa dimana tekanan yang terbentuk sangat rendah sampai mencapai
tekanan uapnya. Apabila gelembung – gelembung tersebut terseret kedalam
daerah yang bertekanan lebih tinggi, gelembung – gelembung tersebut akan pecah
dengan intensitas yang cukup tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan struktur.
Pembentukan yang dilanjutkan dengan pecahnya gelembung uap di dalam fluida
mengalir yang disebut kavitasi ini meruakan fenomena aliran fluida yang sangat
penting dalam sistem fluida. Gambar 2.19 menampilkan profil tekanan dan
kavitasi pada daerah yang memiliki variabel area (Munson et. al, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Gambar 2.18 Variasi tekanan dan pengaruh kavitasi pada pipa dengan variabel
penampang (Munson et. al, 2009).
2.7.2 Statika Fluida
Konsep statika fluida mendasari banyak sistem fluida, terutama sistem
yang bekerja berdasarkan prinsip hidrostatik, misalnya pada peralatan – peralatan
hidrolik. Menurut prinsip hidrostatik energi dipindahkan melalui fludia tertutup
oleh tekanan yang diberikan oleh sebuah gaya pada fluida tersebut (Harinaldi,
2015).
2.7.2.1 Tekanan Hidrostatik
Tekanan hidrostatik dapat didefinisikan sebagai tekanan yang terjadi pada
massa fluida static (yang diam) akibat pengaruh gaya gravitasi. Dengan demikian
tekanan hidrostatik dapat dianggap terjadi akibat bekerjanya gaya berat suatu
kolom fluida. Tekanan hidrostatik fluida bergantung pada kedalaman (ketinggian)
kolom fluida dari permukaan, kerapatan dan percepatan gravitasi yang
dirumuskan dengan persamaan:
ghph (2.7)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
dimana ph adalah tekanan hidrostatik (N/m2 atau Pa), ρ adalah kerapatan fluida
(kg/m3), g adalah percepatan gravitasi (m/s
2), dan h adalah kedalaman fluida (m)
(Munson et. al, 2009).
2.7.2.2 Tekanan Mutlak dan Tekanan Pengukuran
Tekanan fluida merupakan suatu karakteristik penting dalam sebuah
sistem fluida sehingga banyak sekali instrument dan teknik - teknik yang
digunakan untuk mengukurnya. Tekanan pada sebuah titik dalam massa fluida
dapat dinyatakan dengan tekanan mutlak (absolute pressure) atau tekanan
pengukuran (gauge pressure) (Harinaldi, 2015).
Tekanan mutlak selalu bernilai positif karena diukur relatif terhadap
keadaan hampa udara sempurna tanpa tekanan (tekanan nol mutlak). Sedangkan
tekanan pengukuran diukur relatif terhadap tekanan atmosfer setempat. Jadi,
tekanan pengukuran nol sama dengan tekanan atmosfer setempat, sedangkan
pengukuran bernilai positif jika besarnya diatas tekanan atmosfer dan negatif jika
di bawah tekanan atmosfer (Harinaldi, 2015). Gambar 2.19 memperlihatkan
representasi grafik konsep tekanan mutlak dan tekanan pengukuran.
Gambar 2.19 Tekanan mutlak dan tekanan pengukuran (Munson et. al, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2.7.2.3 Peralatan Pengukur Tekanan Mekanik
Manometer sangat banyak digunakan, namun alat ukur tekanan ini tidak
cocok untuk mengukur tekanan – tekanan yang sangat tinggi, atau tekanan –
tekanan yang berubah sangat cepat menurut waktu. Tambahan lagi manometer
memerlukan pengukuran satu atau lebih ketinggian kolom, yang meskipun tidak
terlalu sulit, namun sangat memakan waktu. Untuk mengatasi beberapa masalah
tersebut banyak jenis lain instrumen pengukur tekanan telah dikembangkan.
Kebanyakan alat ini memanfaatkan prinsip bahwa jika suatu tekanan bekerja pada
sebuah struktur yang elastis, struktur itu akan berdeformasi, dan deformasi ini
dapat dikaitkan dengan besarnya tekanan (Munson et. al, 2009).
Tabung bourdon (bourdon gauge) merupakan alat ukur tekanan mekanik
seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.20. Elemen mekanik yang paling
penting pada alat ukur ini adalah tabung berongga lengkung elastis (tabung
bourdon) yang dihubungkan dengan sumber tekanan. Dengan meningkatnya
tekanan di dalam, maka tabung akan cenderung menjadi lurus, dan meskipun
deformasinya kecil, hal tersebut dapat diubah menjadi gerakan dari sebuah
penunjuk pada sebuah skala ukur seperti yang diilustrasikan. Karena yang
menyebabkan pergerakan dari tabung adalah perbedaan tekanan antara tekanan di
luar tabung (tekanan atmosfer) dengan tekanan di dalam, maka tekanan yang
ditunjukkan adalah tekanan pengukuran (gauge pressure).
Gambar 2.20 Pengukur tekanan Bourdon (Munson et. al, 2009).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Gambar 2.21 Cara kerja tabung Bourdon (White, 1998).
2.7.3 Kinematika Fluida
Dalam aplikasi bidang teknik yang berkaitan dengan sistem fluida,
umumnya fluida yang terlibat berada dalam keadaan bergerak atau lebih dikenal
dengan istilah “mengalir”. Kinematika fluida mempelajari berbagai aspek gerakan
fluida tanpa meninjau gaya – gaya yang diperlukan untuk menghasilkan gerakan
tersebut. Kajian kinematika dari gerakan tersebut meliputi kecepatan, percepatan
medan aliran serta penggambaran dan visualisasi gerakan tersebut. Pemahaman
tentang kinematika aliran fluida merupakan dasar penting untuk memahami
dinamika fluida (Harinaldi, 2015).
2.7.3.1 Aliran Invisid dan Viskos
Aliran invisid adalah aliran dimana kekentalan zat cair, µ, dianggap nol
(zat cair ideal). Sebenarnya zat cair dengan kekentalan nol tidak ada di alam,
tetapi dengan anggapan tersebut akan sangat menyederhanakan permasalahan
yang sangat kompleks dalam hidarulika. Karena zat cair tidak mempunyai
kekentalan maka tidak terjadi tegangan geser antara partikel zat cair dan antara zat
cair dan bidang batas. Pada kondisi tertentu, anggapan bahwa µ = 0 dapat diterima
untuk zat cair dengan kekentalan kecil seperti air (Bambang Triatmodjo, 2014).
Aliran viskos adalah aliran di mana kekentalan diperhitungkan (zat cair
riil). Keadaan ini menyebabkan timbulnya tegangan geser antara partikel zat cair
yang bergerak dengan kecepatan berbeda. Apabila zat cair riil mengalir melalui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
bidang batas yang diam, zat cair yang berhubungan langsung dengan bidang batas
tersebut akan mempunyai kecepatan nol. Kecepatan zat cair akan bertambah
sesuai dengan jarak dari bidang tersebut. Apabila medan aliran sangat
dalam/lebar, di luar suatu jarak tertentu dari bidang batas, aliran tidak lagi
dipengaruhi oleh hambatan bidang batas. Pada daerah tersebut kecepatan aliran
hampir seragam (fully developed velocity). Gambar 2.22 menampilkan aliran
viskos dengan kecepatan seragam (fully developed velocity).
Gambar 2.22 Aliran viskos dengan kecepatan seragam (Munson et. al, 2009).
2.7.3.2 Aliran Tunak dan Tak-tunak
Aliran tunak (steady flow) terjadi jika kecepatannya tidak terpengaruh oleh
perubahan waktu. Dengan demikian jika ditinjau pada titik yang sama, kecepatan
aliran selalu konstan dari waktu ke waktu. Secara matematika kondisi aliran tunak
ini dapat dinyatakan dengan:
0
t
V
(2.8)
Sedangkan aliran tak-tunak (unsteady flow) terjadi jika kecepatannya
terpengaruh oleh perubahan waktu. Dengan demikian jika ditinjau pada titik yang
sama, kecepatan aliran berubah-ubah dari waktu ke waktu. Secara matematika
kondisi aliran tunak ini dapat dinyatakan dengan:
0
t
V
(2.9)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
2.7.3.3 Aliran Seragam dan Tak Seragam
Aliran seragam (uniform flow) terjadi jika kecepatannya tidak terpengaruhi
oleh perubahan tempat. Dengan demikian jika ditinjau pada waktu yang sama,
kecepatan aliran selalu sama di seluruh titik. Jika s mewakili koordinat aliran,
secara matematika kondisi aliran seragam ini dapat dinyatakan dengan:
0
s
V
(2.10)
Aliran tak seragam (non-uniform flow) terjadi jika kecepatannya
terpengaruhi oleh perubahan tempat. Dengan demikian jika ditinjau pada waktu
yang sama, kecepatan aliran tidak selalu sama di seluruh titik. Secara matematika
kondisi aliran tak seragam ini dapat dinyatakan dengan:
0
s
V
(2.11)
2.7.3.4 Aliran Kompresibel dan Tak Kompresibel
Semua fluida (termasuk zat cair) adalah kompresibel sehingga rapat
massanya berubah dengan perubahan tekanan. Pada aliran mantap dengan
perubahan rapat massa kecil, sering dilakukan penyederhanaan dengan
menganggap bawah zat cair adalah tak kompresibel dan rapat massa adalah
konstan. Oleh karena zat cair mempunyai kemampatan yang sangat kecil, maka
dalam analisis aliran mantap sering dilakukan anggapan zat cair tak kompresibel.
Tetapi pada aliran tak mantap melalui pipa di mana bisa terjadi perubahan tekanan
yang sangat besar, maka kompresibilitas zat cair harus diperhitungkan.
2.7.3.5 Aliran Laminer dan Turbulen
Aliran viskos dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu aliran laminar dan
turbulen. Dalam aliran laminar, partikel – partikel zat cair bergerak teratur
mengikuti lintasan yang saling sejajar. Aliran ini terjadi apabila kecepatan kecil
dan/atau kekentalan besar (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Kekentalan memiliki pengaruh yang singnifikan untuk meredam gangguan
yang dapat menyebabkan aliran menjadi turbulen. Dengan berkurangnya
kekentalan dan bertambahnya kecepatan aliran maka daya redam terhadap
gangguan akan berkurang, yang sampai pada suatu batas tertentu akan
menyebabkan terjadinya perubahan aliran dari laminar ke turbulen.
Pada aliran turbulen, gerak partikel – partikel zat cair tidak teratur. Aliran
ini terjadi apabila kecepatan besar dan kekentalan zat cair kecil. Dalam Gambar
2.23 ditampilkan profil aliran laminar dan turbulen suatu fluida berdasarkan
percobaan yang dilakukan oleh Osborne Reynolds (Munson et. al, 2009).
Gambar 2.23 Ilustrasi tipe aliran fluida viskos (Munson et. al, 2009).
Percobaan yang dilakukan oleh Osborne Reynolds menunjukkan sifat –
sifat aliran laminar dan turbulen. Reynolds menunjukkan bahwa untuk kecepatan
aliran yang kecil di dalam pipa kaca, zat warna akan mengalir dalam satu garis
lurus seperti benang yang sejajar dengan sumbu pipa. Apabila kecepatan aliran
bertambah besar, benang warna mulai bergelombang dan akhirnya pecah dan
menyebar pada seluruh aliran di dalam pipa.
Menurut Reynolds, ada tiga faktor yang mempengaruhi keadaan aliran
yaitu kekentalan zat cair µ (mu), rapat massa zait cair ρ (rho), dan diameter pipa
D. Hubungan antara µ, ρ, dan D yang mempunyai dimensi sama dengan kecepatan
adalah µ / ρD (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Reynolds menunjukkan bahwa aliran dapat diklasifikasikan berdasarkan
suatu angka tertentu. Angka tersebut diturunkan dengan membagi kecepatan
aliran di dalam pipa dengan nilai µ / ρD, yang disebut dengan Reynolds Number
(Re). Reynolds Number mempunyai bentuk:
VDRe (2.12)
dengan ν (nu) adalah kekentalan kinematik. Dari percobaan yang dilakukan untuk
aliran air melalui pipa, Reynolds menetapkan untuk angka Reynolds di bawah
2000, gangguan aliran dapat diredam oleh zat cair, dan aliran pada kondisi
tersebut adalah laminar. Aliran akan turbulen apabila angka Reynolds lebih besar
dari 4.000. Apabila angka Reynolds berada di antara kedua nilai tersebut (2000 <
Re < 4000), maka aliran disebut transisi. Angka Reynolds pada kedua nilai diatas
(Re = 2000 dan Re = 4000) disebut dengan batas kritis bawah dan atas. Gambar
2.25 menunjukkan perbandingan profil kecepatan aliran laminar dan turbulen di
dalam sebuah pipa (Munson et. al, 2009).
Gambar 2.24 Perbedaan aliran laminar dan turbulen pada pipa (a) laminar (b)
turbulen (White, 1998).
2.7.3.6 Debit Aliran
Jumlah zat cair yang mengalir melalui tampang lintang aliran tiap satu
satuan waktu disebut aliran dan diberi notasi Q. Debit aliran biasanya diukur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
dalam volume zat cair tiap satuan waktu, sehingga satuannya adalah meter kubik
per detik (m3/s) (Triatmodjo, 2014).
Di dalam zat cair ideal, dimana tidak terjadi gesekan, kecepatan aliran V
adalah sama di setiap titik pada tampang lintang. Apabila tampang aliran tegak
lurus dengan arah aliran, maka debit aliran dapat dirumuskan:
Q = A v (2.13)
dimana A adalah luas penampang bidang (m2) yang dilewati oleh aliran fluida,
dan v adalah kecepatan aliran (m/s).
2.7.3.7 Laju Aliran Massa
Laju aliran massa adalah jumlah massa suatu zat cair yang mengalir
melalui tampang lintang aliran tiap satuan waktu. Laju aliran massa diberi notasi
m dengan satuan SI (kg/s) (Munson et. al, 2009). Laju aliran massa dari sebuah
sisi keluar diberikan oleh debit aliran pada suatu nilai kerapatan fluida yang
dinyatakan dengan persamaan:
Qm (2.14)
2.7.3.8 Tekanan Dinamik
Tekanan dinamik adalah tekanan yang dihasilkan oleh energi kinetik per
unit volume suatu fluida (Munson et. al, 2009) yang dapat dirumuskan sebagai:
2
2vPd
(2.15)
2.7.4 Persamaan Kontinuitas (Hukum Konservasi Massa)
Apabila zat cair tak kompresibel mengalir secara kontinyu melalui pipa
atau saluran terbuka, dengan tampang aliran konstan ataupun tidak konstan, maka
volume zat cair yang lewat tiap satuan waktu adalah sama di semua tampang.
Keadaan ini disebut dengan hukum kontinuitas aliran zat cair (Triatmodjo, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Tabung pada Gambar 2.26 menampilkan aliran satu dimensi dan steady,
dengan kecepatan rata – rata v dan tampang aliran A. Aliran tersebut mengalir
dari titik 1 pada v1 dan A1, ke titik 2 pada v2 dan A2.
Gambar 2.25 Tabung aliran untuk menurunkan persamaan kontinuitas
(Triatmodjo, 2014).
Volume zat cair yang masuk melalui tampang 1 tiap satuan waktu: V1 dA1
Volume zat cair yang keluar dari tampang 2 tiap satuan waktu: V2 dA2.
Oleh karena tidak ada zat cair yang hilang di dalam tabung aliran, maka:
2211 dAvdAv (2.16)
atau
.21 constQQ (2.17)
atau
.21 constmm (2.18)
Persamaan 4.1 dan 4.2 disebut dengan persamaan kontinuitas untuk zat
cair incompressible. Apabila pipa bercabang seperti yang ditunjukkan dalam
Gambar 2.26, berdasarkan persamaan kontinuitas, debit aliran yang menuju titik
cabang harus sama dengan debit yang meninggalkan titik tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Gambar 2.26 Persamaan kontinuitas pada pipa bercabang (Triatmodjo, 2014).
321 QQQ (2.19)
atau
321 mmm (2.20)
2.7.5 Persamaan Bernoulli
Penurunan persamaan Bernoulli untuk aliran sepanjang garis arus
didasarkan pada hukum II Newton tentang gerak ( maF ). Persamaan ini
diturunkan berdasarkan anggapan sebagai berikut:
a. Zat cair adalah ideal, jadi tidak mempunyai kekentalan (kehilangan energi
akibat gesekan adalah nol).
b. Zat cair adalah homogen dan tidak termampatkan (rapat massa zat cair
adalah konstan).
c. Aliran adalah kontinyu dan sepanjang garis arus.
d. Kecepatan aliran merata dalam suatu penampang.
e. Gaya yang bekerja hanya gaya berat dan tekanan.
Persamaan Bernoulli dapat dituliskan sebagai berikut:
CV
zp 2
2
(2.21)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Persamaan Bernoulli menyatakan bahwa jumlah dari tekanan piezometric
(p+γz) dan tekanan kinetik (ρV2/2) konstan sepanjang streamline untuk aliran
mantap dan incompressible (White, 1998).
Konstanta integrasi C adalah tinggi energi total, yang merupakan jumlah
dari tinggi tempat, tinggi tekanan, dan tinggi kecepatan, yang berbeda dari garis
arus yang satu ke garis arus yang lain. Oleh karena itu persamaan tersebut hanya
berlaku untuk titik – titik pada suatu garis arus. Gambar 2.27 menampilkan garis
tenaga tekanan pada zat cair ideal, berdasarkan persamaan Bernoulli.
Gambar 2.27 Garis tenaga dan tekanan pada zat cair ideal (White, 1998).
2.7.6 Aliran Open Channel dan Closed Channel
Baik aliran turbulen maupun laminar dapat ditemukan pada saluran
terbuka (open channel) maupun saluran tertutup (closed channel). Aliran pada
closed channel atau dapat disebut internal flow, dibatasi oleh dinding – dinding
dan efek kekentalan akan meluas ke seluruh aliran tersebut. Pada Gambar 2.28
menampilkan aliran closed channel pada saluran pipa panjang. Terdapat daerah
masuk atau entrance region dimana aliran hulu yang berupa inviscid mengumpul
dan memasuki pipa. Lapisan batas kekentalan terlihat di sisi hilir, memperlambat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
aliran aksial u (r,x) di dinding dan mempercepat aliran pada pusat untuk menjaga
kontinuitas incompressible fluida (White, 1998).
constuDAQ (2.22)
Pada jarak tertentu dari sisi inlet, lapisan batas kekentalan terdispersi dan
inti aliran yang berupa invisid menghilang. Aliran dalam pipa tersebut menjadi
kental seluruhnya, dan kecepatan aksial menjadi stabil sampai pada x = Le.
Fenomena ini disebut fully developed velocity (White, 1998).
Gambar 2.28 Profil perubahan pola kecepatan aliran dan tekanan pada suatu
sistem closed channel (White, 1998).
2.7.7 Kecepatan Suara dan Bilangan Mach (Mach Number)
Akibat kemampu-mampatan fluida, sebuah gangguan yang diberikan di
suatu titik dalam fluida akan menjalar dengan kecepatan tertentu. Sebagai contoh,
jika air yang sedang mengalir dalam pipa tiba – tiba katup keluarannya mendadak
ditutup sehingga menimbulkan gangguan lokal. Maka pengaruh penutupan katup
tidak segera langsung terasa di hulunya. Diperlukan waktu beberapa saat tertentu
bagi peningkatan tekanan akibat penutupan katup untuk menjalar ke lokasi di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
hulu. Ini sama halnya, saat diafragma sebuah pengeras suara menyebabkan
gangguan setempat saat bergetar dan perubahan kecil tekanan yang ditimbulkan
oleh gerakan diafragma tersebut menjalar melalui udara dengan kecepatan
tertentu. Kecepatan menjalarnya gangguan kecil ini disebut sebagai kecepatan
akustik atau kecepatan suara, a. Kecepatan suara tersebut berhubungan dengan
perubahan tekanan dan tempertur (White, 1998)
RTa (2.23)
untuk udara (γ= 1.4 dan massa molekul = 38.966 kg/kg-mol), persamaan (2.23)
dapat disederhanakan menjadi:
Ta 046.20 m/s (T dalam K) (2.24)
Bilangan Mach (Mach Number) merupakan bilangan tak berdimensi yang
ditemukan oleh Ernst Mach pada tahun 1870. Bilangan Mach merupakan satuan
kecepatan yang umum digunakan untuk mengekspresikan kecepatan aliran relatif
terhadap kecepatan suara. Rasio tersebut dinyatakan dalam persamaan:
a
vMa (2.25)
Bilangan Mach merupakan parameter yang dominan dalam analisis aliran
compressible, dengan pengaruh yang berbeda tergantung pada besarannya. Para
ahli aerodinamik secara khusus membuat perbedaan di antara berbagai rentang
bilangan Mach. Klasifikasi bilangan Mach secara detil dapat dilihat pada Tabel
2.2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Tabel 2.2 Klasifikasi Bilangan Mach (White, 1998)
Bilangan Ma Keterangan
Ma < 0,3 Aliran incompressible, pengaruh kerapatan dapat diabaikan
0,3 < Ma < 0,8 Aliran subsonic, pengaruh kerapatan adalah penting tetapi tidak
ada gelombang kejut yang muncul
0,8 < Ma < 1,2 Aliran transonic, terdapat adalah gelombang kejut (shock
wave) pada sisi hulu. Aliran transonic merupakan pemisahan
daerah aliran supersonic dan subsonic.
1,2 < Ma < 3,0 Aliran supersonic, terdapat gelombang kejut (shock wave)
tetapi tidak ada daerah subsonic
3,0 < Ma Aliran hypersonic, gelombang kejut (shock wave) dan aliran
lainnya berubah secara sangat kuat.
2.7.8 Pengukuran Debit Aliran
Pada analisis fluida, sering dijumpai pengukuran yang mengintegrasi
antara massa dan laju volume (debit) yang melewati suatu pipa. Ada dua jenis alat
ukur yang memanfaatkan fenomena hambatan aliran pada pipa sehingga
menyebabkan penurunan tekanan. Fenomena ini dapat dimanfaatkan untuk
mengukur fluks aliran (White, 1998).
Jenis – jenis alat ukur tersebut antara lain:
a. Bernoulli-type devices:
1. Plat orifis
2. Nozzle
3. Tabung venturi
b. Friction-loss devices:
1. Tabung kapiler
2. Porous plug
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
2.7.8.1 Teori Hambatan Bernoulli (Bernoulli Obstruction Theory)
Gambar 2.29 menampilkan skema aliran yang dihambat pada sebuah pipa.
Aliran pada pipa berdiameter D bergerak melewati sebuah hambatan dengan
diameter d, dimana β merupakan rasio geometri yang merupakan parameter kunci
pada alat ukur debit (White, 1998).
Gambar 2.29 Perubahan kecepatan dan tekanan melewati Bernoulli-type device
(Frank M. White, 1998).
D
d (2.26)
Setelah melewati hambatan, aliran menyempit kembali melalui vena
contracta dengan diameter D2<d. Dengan menggunakan persamaan Bernoulli dan
kontinuitas, maka debit aliran dapat dinyatakan dengan persamaan:
2/1
4
21
1
/)(2
pppACQ td (2.27)
dimana subskrip t menotasikan throat dari hambatan. Koefisien tanpa dimensi, Cd
(discarged coefficient) memiliki fungsi terhadap nilai β dan ReD. Nilai Cd
bergantung pada jenis Bernoulli-type device (White, 1998).
)Re,( Dd fC dimana
DVD
1Re (2.28)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
2.7.8.2 Plat Orifis
Plat orifis dapat dibentuk dengan nilai β antara 0,2 sampai 0,8, dengan
catatan diameter d > 12,5 mm. Plat orfis menggunakan tiga konfigurasi
sambungan yang umum digunakan:
a. Sambungan menyudut, dimana plat orifis menyambung langsung dengan
dinding pipa.
b. Sambungan D : ½D, dimana plat orifis menyambung dengan jarak D pada
pipa hulu, dan ½D pada pipa hilir.
c. Sambungan flens.
Untuk plat orifis dengan sambungan D : ½D, nilai Cd dapat didapatkan
dari Gambar 2.30. Namun nilai Cd dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan yang disepakati oleh ISO:
2
3
14
475.05.2 0337,0
1
09,0Re71,91)( FFfC Dd
(2.29)
dimana: 81.2 184,00312,05959,0)( f (2.30)
untuk sambungan menyudut, nilai F1 dan F2 adalah:
F1 = 0 F2 = 0
untuk sambungan D : ½ D, nilai F1 dan F2 adalah:
F1 = 0,4333 F2 = 0,47
untuk sambungan flens, nilai F1 dan F2 adalah:
)(
12
inDF 1F
0.4333
D > 2,3 in
2,0 D 2,3 in
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Gambar 2.30 Discharged coefficient pada plat orifis dengan sambungan D : ½D
(White, 1998).
2.8 Fenomena Aliran Pada Ejektor
Pada ejektor terdapat fenomena – fenomena aliran, dimana primary fluid
mengalami ekspansi tekanan dan kenaikan kecepatan menjadi supersonic velocity
dengan melewati nozzle. Primary fluid dalam penelitian ini merupakan gas
bertekanan tinggi yang dikategorikan sebagai aliran compressible. Secondary fluid
disisi lain merupakan air (incompressible fluid) yang terhisap kedalam suction
chamber akibat fenomena perbedaan tekanan. Proses entrainment, pencampuran
fluida, perubahan tekanan dan kecepatan akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab
ini.
2.8.1 Compressible Flow
Ketika sebuah fluida bergerak pada kecepatan suara, kerapatan (density)
fluida dapat berubah secara signifikan dan aliran dapat dikategorikan sebagai
compressible. Aliran compressible sulit untuk diperoleh pada likuid, dimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dibutuhkan tekanan yang sangat tinggi (1000 atm) untuk menghasilkan kecepatan
suaran (sonic velocity). Sebaliknya, gas hanya membutuhkan rasio tekanan 2 : 1
untuk menghasilkan sonic velocity. Terdapat dua efek yang sangat penting dan
khas pada aliran compressible antara lain:
1. Chocking, dimana laju aliran pada sebuah pipa sangat dibatasi oleh
kondisi kecepatan suara (sonic condition).
2. Shock wave, merupakan suatu properti yang selalu berubah – ubah pada
aliran supersonic.
2.8.2 Pengaruh dari Variasi Luas Penampang Aliran Compressible
Ketika fluida mengalir secara tunak melalui sebuah saluran yang
mempunyai luas penampang aliran yang berubah sepanjang jarak aksial,
persamaan kekekalan massa (kontinuitas)
.constAvm (2.31)
dapat digunakan untuk menghubungkan laju aliran pada berbagai bagian yang
berbeda. Untuk aliran incompressible, kerapatan fluida tetap konstan dan
kecepatan aliran dari satu bagian ke bagian lainnya bervariasi secara terbalik
dengan luas penampangnya. Namun demikian, apabila fluidanya compressible,
maka kerapatan, luas penampang, dan kecepatan aliran semuanya dapat bervariasi
dari satu bagian ke bagian lain (White, 1998).
Aliran compressible yang memiliki kecepatan subsonic (Ma < 1), akan
mengalami perubahan kecepatan saat luas penampang diperkecil (Subsonic
Nozzle) dan berlaku sebaliknya untuk perbesaran luas penampang akan disertai
dengan penurunan kecepatan aliran (Subsonic diffuser). Namun apabila aliran
compressible memiliki kecepatan supersonic (Ma > 1), perbesaran luas
penampang akan disertai dengan kenaikan kecepatan (supersonic nozzle) dan
berlaku juga sebaliknya untuk pengecilan luas penampang akan disertai dengan
penurunan kecepatan (supersonic diffuser). Fenomena ini dijelaskan pada Gambar
2.31 dan persamaan (2.32) (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
)1(
12MaA
dA
V
dV
(2.32)
Gambar 2.31 Efek perubahan bilangan Mach pada perubahan properti fluida
dengan perubahan luas penampang (White, 1998).
2.8.3 Fenomena Choking
Pada Gambar 2.32 menampilkan pengaruh rasio luas penampang pada
suatu saluran / duct terhadap bilangan Mach. Pada gambar tersebut dapat dilihat
bahwa rasio luas penampang naik dari nol pada Ma = 0 sampai mencapai
keseimbangan (A/A* = 1) saat Ma = 1. Kemudian nilai rasio luas penampang akan
kembali ke nol saat nilai Ma lebih besar. Maka untuk kondisi stagnasi yang telah
ditentukan, laju aliran massa maksimal yang dapat melewati pipa terjadi ketika
kondisi kritis atau sonic condition. Pipa disebut pada kondisi choked dan tidak
dapat membawa laju aliran massa lebih banyak, kecuali luasan throat diperlebar.
Jika panjang throat dibatasi, maka laju aliran massa yang memasuki throat harus
dikurangi (White, 1998).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Gambar 2.32 Rasio luas penampang versus bilangan Mach untuk aliran
kompressible dengan k = 1.4 (White, 1998)
Laju aliran massa maksimum yang dapat melewati suatu pipa / duct pada
k = 1.4 (ideal gas) dapat dirumuskan dalam persamaan:
2/1
0
0
max)(
*6847.0
RT
Am
(2.33)
dengan ρ0 adalah kerapatan stagnasi fluida (kg/m3), A* adalah luas penampang
kritis (m2), R adalah konstanta gas universal = 287, dan T0 adalah temperatur
stagnasi. Dari persamaan (2.33), laju aliran massa maksimum diperoleh dengan
memperbesar luas penampang throat dan menurunkan temperatur stagnasi
(operating condition) (White, 1998).
2.8.4 Fenomena Aliran Pada Converging dan Diverging Nozzle
Pada Gambar 2.33 ditampilkan skema converging nozzle dimana aliran
hulu dengan kondisi tekanan stagnasi (P0) mengalir melewati saluran yang
mengalami pengecilan penampang. Pada hilir, tekanan aliran mengalami
penurunan akibat back pressure (Pb) yang besarnya lebih kecil dari tekanan
stagnasi (Pb< P0). Penurunan tekanan pada sisi hilir terjadi pada kondisi – kondisi
dari a sampai e seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.33a. Profil perubahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
tekanan dan penampang ditampilkan pada Gambar 2.33b, sedangkan profil
perubahan laju aliran massa ditampilkan pada Gambar 2.33c (White, 1998).
Gambar 2.33 Fenomena aliran pada converging nozzle (a) geometri nozzle
menunjukkan perubahan tekanan (b) distribusi tekanan disebabkan oleh back
pressure (c) laju aliran massa versus back flow pressure (White, 1998).
Pada penurunan back pressure secara moderat untuk kondisi a dan b,
tekanan pada throat lebih tinggi dari tekanan kritis (P*), dimana hal tersebut
menyebabkan aliran didalam nozzle subsonic dan aliran sisi outlet (Pe) sama
dengan back pressure (Pb).
Pada kondisi c, nilai back pressure sama dengan tekanan kritis (P*) pada
throat. Aliran didalam nozzle menjadi sonic (Ma = 1), aliran outlet sama dengan
back pressure (Pe = Pb)
Jika tekanan Pb menurun lebih jauh dibawah tekanan kritis (P*) untuk
kondisi d dan e, aliran pada nozzle tidak dapat mengalami perubahan lebih lanjut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
karena nozzle mengalami choking. Kecepatan aliran pada throat nozzle tetap pada
sonic dengan Pe = P* dan distribusi tekanan pada nozzle sama dengan kondisi c.
Aliran sisi outlet berekspansi secara supersonic sehingga outlet jet pressure dapat
turun dari P* ke Pb (White, 1998).
2.8.4 Fenomena Shock Wave Normal
Shock wave normal adalah gelombang kejut dengan bidang tegak lurus
terhadap garis – garis arus aliran. Gelombang kejut normal dapat terjadi dalam
aliran supersonik melalui saluran konvergen – divergen dan penampang konstan.
Shock wave dapat menyebabkan perlambatan aliran dari supersonik menjadi aliran
subsonik, kenaikan tekanan, dan kenaikan entropi. Pada aliran sonik dan subsonik,
shock wave tidak dapat terbentuk karena perubahan tekanan dan temperatur sangat
kecil. Perubahan kecepatan akibat shock wave dapat dirumuskan melalui
persamaan (2.34):
)1(2
2)1(2
2
2
kkM
MkM
x
xy (2.34)
dimana notasi x menunjukkan posisi inlet dan y menunjukkan posisi outlet pada
sebuah saluran / duct (Crowe, Clayton T., et. al., 2010).
Selain kecepatan, shock wave juga dapat mempengaruhi beberapa
parameter fluida lainnya antara lain yaitu tekanan, kerapatan, dan temperatur.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui persamaan (2.35), (2.36), dan (2.37)
(Munson et. al, 2009).
1
1
1
2 2
k
kMa
k
k
P
Px
x
y (2.35)
2
2
]2/)1[(1
]2/)1[(1
y
x
x
y
Mak
Mak
T
T
(2.36)
y
x
x
x
x
y
V
V
Mak
Mak
2)1(
)1(2
2
(2.37)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Tabel 2.3 menampilkan ringkasan karakteristik dari Shock Wave Normal
pada beberapa parameter penting suatu aliran. Fenomena ini hanya dapat terwujud
ketika bilangan Mach pada sisi inlet berupa supersonic dan subsonic pada sisi
outlet (Munson et. al, 2009).
Tabel 2.3 Ringkasan dari Karakteristik Shock Wave Normal (Munson et. al, 2009).
Parameter Perubahan Melintasi Gelombang Kejut Normal
Bilangan Mach Berkurang
Tekanan statik Meningkat
Tekanan stagnasi Berkurang
Temperatur static Meningkat
Temperatur stagnasi Konstan
Kerapatan Meningkat
Kecepatan Berkurang
2.8.5 Entrainment Ratio
Entraiment ratio (ω) adalah rasio pencampuran kedua fluida yang
dinyatakan dalam perbandingan laju aliran massa secondary fluid terhadap
primary fluid (Chandra et al., 2014).
p
s
m
m
(2.38)
2.8.6 Expansion Ratio
Expansion ratio (ER) didefinisikan sebagai rasio tekanan pada boiler
(primary fluid) dengan tekanan pada evaporator (secondary fluid) (Chandra et. al.,
2014).
s
p
P
PER (2.39)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
2.8.7 Back Pressure
Back pressure didefinisikan sebagai tekanan balik pada ejektor yang
disebabkan oleh tekanan pada kondser (Alexis, G.K., Katsanis, J.S., 2004). Selain
itu, back pressure juga dipengaruhi oleh temperatur cooling-water pada kondenser
(Chen, et al., 1997). Hubungan antara tekanan dan temperatur pada kondenser
dengan back pressure dapat dirumuskan melalui persamaan (2.40).
),( ccb tpfP (2.40)
2.8.8 Coefficient of Performance (COP)
Coefficient of performance dari steam ejector refrigeration system
ditunjukkan oleh rasio dari jumlah beban pendinginan evaporator dengan jumlah
energi yang ditambahkan ke boiler. Pesamaan COP dapat dirumuskan melalui
persamaan (2.41)
condfboilerg
condfevapg
hh
hhCOP
(2.41)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram Alir Penelitian
Pada penelitian ini langkah – langkah penelitian mengacu pada diagram
alir pada Gambar 3.1 berikut:
START
Studi pustaka dan membuat desain
ejektor
Konsultasi desain ejektor dengan pembimbing
Persiapan alat dan bahan
Pembuatan alat:
1. Boiler
2. Evaporator
3. Ejektor
4. Kondenser
5. Bed mesin
Pengambilan data dengan variasi
area ratio throat
Tendensi hasil
pengujian sesuai
referensi jurnal?
No
A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.
3.2 Skema Alat Uji Penelitian
3.2.1 Skema Sistem
Skema sistem yang digunakan untuk mengetahui performa steam ejector
yang dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Skema sistem alat uji.
Keterangan:
1. Boiler
2. Evaporator
Analisa hasil dan pembahasan
Kesimpulan
END
Yes
A
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
3. Ejector
4. Kondenser
5. Reservoir
6. Pompa
7. Pressure gauge
8. Orifice flow meter
9. Elemen pemanas
3.2.2 Skema Steam Ejector
Penelitian ini menggunakan tipe ejector conventional dengan variasi
konfigurasi vertikal. Design steam ejector menggunakan program SolidWork
2014 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Skema steam ejector.
1. Primary Nozzle
2. Suction chamber
3. Convergence area
4. Mixing chamber
5. Diffuser
Primary Fluid dari
Boiler
Secondary Fluid
dari Evaporator
Mixed Fluid
menuju
Kondenser
1
2
3 4
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
3.2.2.1 Mixing chamber
a. Area Ratio Throat (L/D) = 6,25
Gambar 3.4 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 6,25.
b. Area Ratio Throat (L/D) = 12,5
Gambar 3.5 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
c. Area Ratio Throat (L/D) = 18,75
Gambar 3.6 Desain mixing chamber dengan area ratio throat = 18,75.
3.3 Material Penelitian
Pada penelitian ini akan digunakan air (R718) sebagai refrijeran pada
steam ejector refrigeration system. Sifat – sifat fisik air sebagai refrijeran dapat
dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Spesifikasi sifat – sifat fisik refrijeran air (R718) pada temperatur 15 °C
dan tekanan 1 atm (Crowe, Clayton T., et. al., 2010).
No Parameter Nilai Satuan
1 Massa jenis 1,22 kg / m3
2 Viskositas kinematic 1,46 x 10-5
m2/s
3 Konstanta gas, R 287 J / kg K
4 Cp 1004 J / kg K
Material yang digunakan dalam menkonstruksi boiler dan evaporator
adalah besi baja dengan ketebalan pipa 10 mm. Sedangkan untuk kondenser,
material yang digunakan adalah stainless steel dengan ketebalan 2 mm. Ejector
dikonstruksikan menggunakan material baja lunak (mild steel) dengan diameter
raw material 3 inchi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Sedangkan untuk material yang digunakan pada pipa – U untuk mengukur
debit aliran melalui orifice meter adalah mercury atau air raksa. Sifat – sifat fisik
air raksa dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Spesifikasi sifat – sifat fisik air raksa pada 20 °C dan tekanan 1 atm
(White, 1998).
No Parameter Nilai Satuan
1 Massa jenis 13,550 kg / m3
2 Viskositas kinematic 1,56 x 10-5
m2/s
3 Konstanta gas, R 287 J / kg K
4 Bulk Modulus 2,55 x 1010
N/m2
3.4 Alat Penelitian
Alat – alat yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Steam ejector single phase dengan konfigurasi vertikal.
2. Water heater dengan daya 2000 watt pada boiler dan 1000 watt pada
evaporator.
3. Alat ukur temperatur (thermocoupel) dipasang pada boiler, pada
evaporator, pada input dan output kondenser.
4. Alat pengukur tekanan manometer tabung bourdon (pressure gauge) pada
boiler, pada evaporator, pada ejektor, dan pada kondenser.
5. Alat pengukur debit aliran dengan plat orifis pada boiler dan pada
evaporator.
6. Roll meter untuk orifice boiler dan orifice evaporator.
7. Temperature controller APPA.
8. Stopwatch.
3.4.1 Steam Ejector
Steam ejector yang digunakan pada penelitian ini berjenis single phase
ejector dengan konfigurasi vertikal, dapat dilihat pada Gambar 3.7. Spesifikasi
steam ejector dapat dilihat pada Tabel 3.3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Gambar 3.7 Steam ejector.
Tabel 3.3 Spesifikasi steam ejector.
Parameter Ukuran
Diameter nozzle 2 mm
Jarak NXP 0 mm
Diameter pipa secondary 33 mm
Diameter suction chamber 26,5 mm
Sudut konvergen suction chamber 18º
Diameter mixing chamber 8 mm
Sudut divergen diffuser 18,5º
Diameter diffuser 24 mm
Panjang steam ejector (tanpa
mixing chamber)
218,8 mm
Panjang mixing chamber a. 50 mm
b. 100 mm
c. 150 mm
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
3.4.2 Water Heater
Water heater yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar
3.8 dan 3.9. Spesifikasi alat dapat dilihat pada Tabel 3.4 dan 3.5.
Gambar 3.8 Water heater daya 2000 watt.
Tabel 3.4 Spesifikasi water heater 2000 watt.
Product Name Water Heater Element
Main Material Stainless Steel
Rated Voltage AC 220 V
Power 2 kW
Tube Diameter 10 mm / 0.39"
Overall Size(Approx.) 28 x 8,5 x 2.3 cm/ 11" x 3,3" x
0.9"(L*D*H)
Screw Dia 4 mm / 0,16"
Male Thread Diameter 16 mm / 0,6"
Color Silver Tone
Weight 252 g
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Gambar 3.9 Water heater daya 1000 watt.
Tabel 3.5 Spesifikasi water heater 1000 watt.
Product Name Electric Heating Tube
Design U Shape
Material Stainless steel
Rated voltage AC 220 V
Power 1 kW
Bar Diameter 10 mm/0.39”
Heater Size 22 x 8 cm / 8.7” x 3,1” (L*W)
Thread diameter 15 mm / 0,59”, 4 mm / 0,16
Weight 212 g
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
3.4.3 Thermocouple
Thermocouple yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar
3.10 dan spesifikasi alat pada Tabel 3.6.
Gambar 3.10 Thermocouple tipe K.
Tabel 3.6 Spesifikasi Thermocouple.
Specification Value
Thermocouple Type K
Overall Range, °C -270 to 1370
0,1 °C resolution -270 to 1370
0,025 °C resolution 270 to 1370
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
3.4.4 Pressure Gauge Bourdon Tube
Pressure Gauge yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar
3.11 dan spesifikasi alat pada Tabel 3.7.
Gambar 3.11 Pressure gauge bourdon tube.
Tabel 3.7 Spesifikasi pressure gauge bourdon tube.
Specification Value
Bourdon Tube Type Tekiro AU PG100C
Overall range, Bar 0 to 6
Overall range, psi 0 to 80
Resolution, Bar 0,25
Resolution psi 2,5
3.4.5 Orifice Plate Flowmeter
Orifice plate adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur
laju aliran masa dari aliran, prinsip kerjanya aliran melewati orifice plate
kemudian akan mengecil dan membentuk suatu daerah yang disebut vena
contracta selanjutnya akan terjadi perbedaan tekanan aliran antara sebelum dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
setelah melewati orifice plate dan setelah itu laju aliran massa dari aliran dihitung
menggunakan persamaan Bernoulli dan persamaan kontinuitas. Orifice plate dapat
dilihat pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12 Orifice plate flowmeter.
3.4.6 Roll Meter
Roll meter yang digunakan sebagai alat bantu ukur flowmeter dapat dilihat
pada Gambar 3.13
Gambar 3.13 Roll meter.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
3.4.6 Temperature Controller
Temperature controller yang digunakan pada penelitian adalah digital
termometer APPA dapat dilihat pada Gambar 3.14 dengan spesifikasi temperature
controller pada Tabel 3.8.
Gambar 3.14 Temperature controller APPA.
Tabel 3.8 Spesifikasi temperature controller APPA.
Type
APPA
Measurement
Range
Resolution K-type Accuracy Temperature
Coefficient
53II -200ºC to
1372ºC
0.1ºC ≤
1000ºC
±0.3% + 1.1ºC at -
210ºC to -100ºC;
±0.1% + 0.8ºC at -99ºC
to -999.9ºC;
±0.3% + 1ºC at -1000ºC
to -1200ºC
0.1 x (Spec
Acc.) / ºC,
< 18ºC or >ºC
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
3.4.8 Stopwatch
Alat pencatat waktu disini digunakan untuk mengukur debit cooling water
pada kondenser yang dapat dilihat pada Gambar 3.15.
Gambar 3.15 Stopwatch.
3.5 Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memilih variabel bebas dan variabel terikat
sesuai dengan referensi penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Variabel bebas dan variabel terikat yang digunakan dalam penelitian
ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Meyer, A.J. et. al.,
2008 dan Bando, et. al., 1990.
Variabel bebas:
a. Tekanan pada primary flow 100 kPa, 200 kPa, 300 kPa, dan 400 kPa.
b. Suhu pada secondary flow adalah 50 °C, 60 °C, 70 °C dan 80 °C.
c. Panjang mixing chamber 50 mm, 100 mm, dan 150 mm.
Variabel terikat
a. Viskositas dinamik (dynamic viscosity)
b. Massa jenis (density)
c. Kecepatan (v)
d. Bilangan Renolds (Re)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
e. Laju aliran massa ( m )
f. Expansion ratio (ER)
g. Entrainment ratio (ω)
3.6 Prosedur Penelitian
Prosedur pengujian ditampilkan melalui diagram alur pada Gambar 3.16.
Tekanan dan temperatur kerja pada ejektor mengacu pada penelitian Meyer, A.J.
et. Al., 2008 dan Bando, et. Al., 1990, seperti yang ditampilkan pada Tabel 3.9
Tabel 3.9 Tekanan dan temperatur kerja pada ejektor.
Tekanan Boiler Temperatur Evaporator Temperatur Kondenser
400 kPa 80 °C
27 °C 300 kPa 70 °C
200 kPa 60 °C
100 kPa 50 °C
Prosedur penelitian dibagi menjadi tiga bagian penting, yaitu persiapan
sistem, pengambilan data, dan rekondisi dan sirkulasi sistem. Persiapan sistem
penelitian berupa proses input air ke dalam boiler, evaporator, dan kondenser;
proses pemanasan boiler dan evaporator; dan setting nol alat ukur. Kemudian
dimulai proses pengambilan data, dimana laju aliran massa primary fluid dan
secondary fluid diukur dengan melihat perbedaan tekanan pada manometer pipa
U. Selain itu temperatur pada boiler, evaporator, kondenser, dan ejektor diukur
menggunakan thermocouple dan tekanan boiler diukur menggunakan pressure
gauge. Prosedur pengambilan data ditampilkan pada Gambar 3.16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
START
Setting hingga tekanan boiler, temperatur evaporator,
dan temperatur kondenser sesuai Tabel 3.9
Input air pada boiler, evaporator, dan kondenser. Konfigurasi area
ratio throat: 6,25
Heater boiler dan evaporator dihidupkan
Tekanan boiler dan
temperatur evaporator
sesuai?
No
Primary valve dibuka, selisih ketinggian merkuri
pada pipa U diukur untuk menghitung debit (Q).
Primary temperature diukur dengan temperature
controller.
Yes
Secondary valve dibuka, selisih ketinggian merkuri pada pipa U
diukur untuk menghitung debit (Q). Perubahan temperatur secondary
diukur dengan temperature controller.
A
Tekanan pada outlet ejektor diukur dengan manometer pipa U.
Temperatur pada outlet ejektor diukur dengan temperature controller
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Gambar 3.16 Skema prosedur pengujian.
3.7 Skematika Penulisan
Penulisan laporan penelitian ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu
pendahuluan, landasan teori, metodologi penelitian, hasil dan pembahasan,
kesimpulan, daftar pustaka, dan lampiran. Pendahuluan berisi mengenai latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, originalitas
penelitian, dan manfaat penelitian. Landasan teori mengenai tinjauan pustaka yang
berkaitan dengan informasi penelitian terdahulu steam ejector dan efek variasi
mixing chamber pada ejector. Metodologi penelitian berisi tentang persiapan
pengujian dan proses pengujian. Hasi dan pembahasan berisikan data – data hasil
pengujian dan analisa data berdasarkan teori yang ada dari berbagai sumber.
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran yang diambil dari hasil analisis pada
bagian hasil dan pembahasan. Daftar pustaka berisi semua referensi yang
digunakan atau diacu dalam pembuatan penelitian. Lampiran memuat hal – hal
yang perlu disertakan untuk lebih memperjelas isi penelitian.
Mengganti mixing chamber dengan area ratio throat: 12,5 dan 18,75
END
Mengganti konfigurasi tekanan dan temperatur kerja
ejektor sesuai dengan variasi pada Tabel 3.9
A
Setting ulang tekanan dan temperatur boiler, evaporator, dan
kondenser. Kemudian mengulang langkah percobaan dari awal untuk
setiap variasi throat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Primary Pressure dan Secondary Temperature Terhadap
Entrainment Ratio
Pengaruh primary pressure dan secondary temperature pada steam ejector
dengan area ratio throat 6,25 ditunjukkan pada Gambar 4.1. Hasil percobaan
menunjukkan terjadi kenaikan entrainment ratio pada tekanan 200 kPa untuk
semua kondisi secondary temperature, kemudian terjadi penurunan entrainment
ratio seiring bertambahnya primary pressure.
Peningkatan primary pressure yang melewati nozzle menyebabkan
penurunan entrainment ratio dari steam ejector pada semua kondisi secondary
temperature. Hal tersebut disebabkan karena semakin tinggi primary pressure
maka sudut ekspansi dari aliran primary fluid yang keluar dari ujung nozzle akan
semakin besar. Sudut ekspansi yang semakin besar menyebabkan entrainment
region pada suction chamber semakin kecil, sehingga secondary fluid lebih
sedikit terhisap (Chandra, et al., 2014). Selain itu kenaikan primary pressure
secara langsung menyebabkan mass flow rate dari primary fluid meningkat
sehingga nilai entrainment ratio menurun.
Ejektor memiliki nilai optimum entrainment ratio pada primary pressure
200 kPa dan secondary temperature 70 °C dengan nilai ω = 0,62. Fenomena ini
terjadi disebabkan karena aliran primary fluid pada tekanan 100 kPa belum
memiliki sudut ekspansi yang memadai untuk mengasilkan entrainment region
(Chunnanond, K., 2004). Hal tersebut juga menyebabkan entrainment ratio pada
tekanan 100 kPa bernilai negatif, karena aliran primary fluid masuk ke dalam
evaporator.
Nilai secondary temperature pada percobaan dengan variasi area ratio
throat 6,25 tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan
entrainment ratio. Hal tersebut disebabkan karena panjang throat terlalu pendek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
sehingga perpindahan momentum antara kedua aliran primary dan secondary
tidak terjadi secara sempurna (Li, C, et al., 2011).
0 100 200 300 400
-1.2
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
En
train
tmen
t R
ati
o
Primary Pressure (kPa)
Secondary temp. (°C) 80
Secondary temp. (°C) 70
Secondary temp. (°C) 60
Secondary temp. (°C) 50
Gambar 4.1 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature
terhadap entrainmenmet ratio pada variasi area ratio throat 6,25.
Hasil percobaan untuk variasi area ratio throat 12,5 ditunjukkan pada
Gambar 4.2. Nilai entrainment ratio steam ejector menurun seiring dengan
kenaikan primary pressure. Kenaikan primary pressure secara langsung
menyebabkan mass flow rate dari primary fluid meningkat sehingga nilai
entrainment ratio menurun. Selain itu fenomena tersebut terjadi karena semakin
tinggi primary pressure maka sudut ekspansi dari primary fluid yang keluar dari
ujung nozzle semakin besar. Sudut ekspansi yang semakin besar menyebabkan
entrainment region pada suction chamber semakin kecil, sehingga secondary fluid
lebih sedikit terhisap (Chandra, et al., 2014). Hal tersebut juga terjadi untuk hasil
percobaan pada variasi area ratio throat 18,75.
Nilai entrainment ratio maksimum pada variasi area ratio throat 12,5
diperoleh pada primary pressure 100 kPa dan secondary temperature 80 °C
dengan nilai ω = 0.97. Fenomena ini terjadi karena throat lebih panjang dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
variasi sebelumnya sehingga aliran primary fluid memasuki daerah fully
developed flow region. Selain itu aliran primary fluid memiliki sudut ekspansi
yang optimum sehingga menghasilkan entrainment region yang cukup besar
untuk menghisap secondary fluid.
Secondary temperature memiliki pengaruh yang cukup signifikan
terhadap nilai entrainment ratio pada percobaan dengan variasi area ratio throat
12,5. Kenaikan secondary temperature menyebabkan nilai critical back pressure
semakin meningkat, sehingga back pressure yang terjadi tidak sampai melebihi
batas critical back pressure dari ejektor (Chandra, et al., 2014). Namun terjadi
fenomena dimana pada secondary temperature 50 °C, nilai entrainment ratio
tetap berada diatas nilai 0. Hal tersebut dapat disebabkan oleh back pressure yang
terjadi didalam mixing chamber tidak melebihi nilai critical back pressure pada
kondisi temperatur 50 °C.
0 100 200 300 400
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
1.2
En
train
men
t R
ati
o
Primary Pressure (kPa)
Secondary temp. (°C) 80
Secondary temp. (°C) 70
Secondary temp. (°C) 60
Secondary temp. (°C) 50
Gambar 4.2 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature
terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 12,5.
Gambar 4.3 menunjukkan pengaruh primary pressure dan secondary
temperature terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 18,75.
Sama seperti variasi sebelumnya, terjadi penurunan nilai entrainment ratio seiring
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dengan kenaikan primary pressure. Secondary temperature memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap nilai entrainment ratio seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4.3. Hal tersebut disebabkan karena kenaikan secondary temperature juga
meningkatkan nilai critical back pressure pada ejektor (Chandra, et al., 2014).
Nilai optimum ejektor dengan variasi area ratio throat 18,75 terjadi pada primary
pressure 100 kPa dan secondary temperature 80 °C dengan nilai ω = 1.
0 100 200 300 4000.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Primary Pressure (kPa)
Secondary Temp. C) 80
Secondary Temp. C) 70
Secondary Temp. C) 60
Secondary Temp. C) 50
Gambar 4.3 Grafik pengaruh primary pressure dan secondary temperature
terhadap entrainment ratio pada variasi area ratio throat 18,75.
4.2 Pengaruh Area Ratio Throat Terhadap Entrainment Ratio
Pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio ditunjukkan pada
Gambar 4.4 untuk kondisi secondary temperature 50 °C. Hasil percobaan
menunjukkan peningkatan entrainment ratio yang signifikan untuk variasi area
ratio throat 12,5 dan 18,75. Fenomena ini disebabkan karena pada variasi area
ratio throat 6,25 panjang throat terlalu pendek sehingga perpindahan momentum
antara kedua aliran primary dan secondary tidak terjadi secara sempurna (Li, C.,
et al., 2011). Sedangkan untuk variasi lain, perpindahan momentum terjadi lebih
baik karena memiliki throat yang lebih panjang sehingga menghasilkan nilai
entrainment ratio yang lebih tinggi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Nilai entrainment ratio optimum pada variasi secondary temperature
50 °C terjadi pada primary pressure 100 kPa dan pada variasi area ratio throat
12,5 dengan nilai ω = 0,71. Fenomena ini terjadi karena panjang throat pada
variasi area ratio throat 18,75 menyebabkan penurunan tekanan mixed fluid yang
diakibatkan oleh gesekan yang cukup besar pada daerah sebelum terjadinya
pseudo shock. Pseudo shock adalah gelombang kejut atau shock wave yang
dihasilkan oleh penurunan tekanan secara tiba – tiba yang diakibatkan oleh
pengecilan penampang pada ujung nozzle (Li, C., et al., 2011). Sedangkan untuk
variasi area ratio throat 12,5 tidak terjadi gesekan yang terlalu besar sehingga
transfer momentum terjadi secara sempurna (Dirix, et al., 1990).
0 100 200 300 400
-1.2
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Primary Pressure (kPa)
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.4 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada
secondary temperature 50 °C.
Hasil percobaan untuk variasi secondary temperature 60 °C ditunjukkan
oleh Gambar 4.5. Secara keseluruhan hasil percobaan menunjukkan fenomena
yang serupa seperti variasi secondary temperature 50 °C, dengan nilai
entrainment ratio optimum pada ω = 0,77 untuk variasi area ratio throat 12,5.
Namun terlihat nilai entrainment ratio yang selalu positif untuk variasi area ratio
throat 18,75. Hal tersebut terjadi karena aliran mixed fluid yang memasuki throat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
mixing chamber merupakan fully developed flow. Aliran fully developed dapat
dicapai jika panjang throat memadai sesuai dengan Gambar 2.29 yang
menjelaskan teori aliran dalam pipa. Aliran yang berupa fully developed
menyebabkan shock wave yang terjadi di dalam mixing chamber lebih kecil,
sehingga nilai entrainment ratio lebih tinggi daripada variasi yang lain (Li, C, et
al., 2011).
0 100 200 300 400
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
1.2
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Primary Pressure (kPa)
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.5 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada
secondary temperature 60 °C.
Hasil percobaan untuk variasi secondary temperature 70 °C dan 80 °C
ditunjukkan oleh Gambar 4.6 dan 4.7. Kedua hasil percobaan menunjukkan
fenomena yang hampir sama, dimana entrainment ratio untuk semua variasi
primary pressure selalu menunjukkan nilai positif untuk area ratio throat 18,75.
Pada variasi secondary temperature 70 °C, nilai optimum entrainment ratio
terjadi pada variasi area ratio throat 12,5 pada tekanan 100 kPa dengan nilai ω =
0,91. Sedangkan untuk kondisi secondary temperature 80 °C nilai optimum
entrainment ratio terjadi pada area ratio throat 18,75 dan tekanan 100 kPa
dengan nilai ω = 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
0 100 200 300 400
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
En
train
men
t R
ati
o
Primary Pressure (kPa)
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.6 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada
secondary temperature 70 °C.
0 100 200 300 400
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
En
train
men
t R
ati
o
Primary Pressure (kPa)
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.7 Grafik pengaruh area ratio throat terhadap entrainment ratio pada
secondary temperature 80 °C.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
4.3 Pengaruh Expansion Ratio Terhadap Entrainment Ratio
Expansion ratio merupakan rasio perbandingan antara primary pressure
terhadap secondary pressure, dimana hubungan kedua kondisi tersebut
ditampilkan pada Gambar 4.8. Hasil percobaan menunjukkan bahwa semakin
tinggi primary pressure maka nilai expansion ratio akan semakin naik. Nilai
secondary pressure sangat ditentukan oleh temperaturnya, karena tekanan dan
temperatur berbanding lurus (White, 1998). Semakin rendah secondary
temperature maka semakin tinggi nilai expansion ratio karena memiliki hubungan
perbandingan terbalik.
0 100 200 300 4000
7
14
21
28
35
Exp
an
sion
Rati
o
Primary Pressure (kPa)
Secondary temp. (°C) 80
Secondary temp. (°C) 70
Secondary temp. (°C) 60
Secondary temp. (°C) 50
Gambar 4.8 Grafik pengaruh primary pressure terhadap expansion ratio
pada ketiga variasi area throat ratio 6,25, 12,5, dan 18,75.
Pengaruh expansion ratio pada ketiga jenis variasi area ratio throat pada
tekanan 100 kPa ditampilkan pada Gambar 4.9. Nilai entraiment ratio optimum
terjadi pada variasi area ratio throat 18,75 dengan nilai ω = 1. Pada tekanan 100
kPa, nilai entrainment ratio untuk variasi area ratio throat 6,25 selalu berada
pada nilai negatif, hal ini disebabkan panjang throat terlalu pendek sehingga
perpindahan momentum antara kedua aliran primary dan secondary tidak terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
secara sempurna (Li, C, et al., 2011). Namun pada kedua variasi yang lain,
perpindahan momentum terjadi dengan baik dan menghasilkan nilai entrainment
ratio yang selalu positif. Kenaikan nilai expansion ratio menyebabkan penurunan
entrainment ratio. Fenomena ini terjadi karena turunnya nilai critical back
pressure yang berbanding lurus dengan secondary temperature (Li, C, et al.,
2011).
Nilai entrainment ratio optimum diperoleh pada nilai expansion ratio
(ER) 2,1 dengan variasi area ratio throat 18,75. Fenomena ini terjadi karena pada
expansion ratio tersebut kondisi secondary temperature yang paling tinggi (high
critical back pressure) dan mixing chamber memiliki throat yang paling panjang
sehingga aliran berupa fully developed (White, 1998). Aliran yang melewati
throat memiliki shock wave yang lebih kecil sehingga memperbesar momentum
transfer antara kedua fluida sehingga meningkatkan entrainment ratio (Li, C, et
al., 2011).
0.0 2 4 6 8
-1.8
-1.2
-0.6
0.0
0.6
1.2
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Expansion Ratio
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.9 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada
primary pressure 100 kPa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada tekanan 200
kPa untuk ketiga jenis variasi area ratio throat ditunjukkan pada Gambar 4.10.
Nilai optimum entrainment ratio untuk tekanan 200 kPa adalah 0,68 dengan
variasi area ratio throat 12,5 dan expansion ratio 4,2. Hasil percobaan secara
keseluruhan menunjukkan fenomena yang serupa seperti pada variasi tekanan 100
kPa, dimana terjadi penurunan entrainment ratio seiring peningkatan nilai
expansion ratio. Namun pada variasi area ratio throat 6,25 nilai entrainment ratio
telah menunjukkan nilai positif. Hal ini disebabkan karena ejektor telah memiliki
compression effect pada tekanan 200 kPa walaupun throat memiliki panjang yang
paling pendek (Chandra, et al., 2014).
0 4 8 12 160.0
0.42
0.49
0.56
0.63
0.70
0.77
En
train
men
t R
ati
o
Expansion Ratio
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.10 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada
primary pressure 200 kPa.
Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada tekanan 300
kPa ditampilkan pada Gambar 4.11. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketiga
jenis variasi throat memiliki fenomena yang berbeda seiring dengan kenaikan
expansion ratio. Hasil percobaan menunjukkan nilai optimum entrainment ratio
pada tekanan 300 kPa dihasilkan oleh variasi area ratio throat 18,75 dan ER 6,3
dengan nilai ω = 0,59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Variasi area ratio throat 18,75 memiliki fenomena yang serupa dengan
variasi tekanan 100 kPa dan 200 kPa, dimana terjadi penurunan nilai entrainment
ratio dengan kenaikan expansion ratio. Namun pada variasi area ratio throat
12,5, terjadi peningkatan entrainment ratio seiring dengan kenaikan expansion
ratio. Fenomena ini dapat terjadi karena pada range ER 5 sampai 15 terjadi back
pressure yang melebihi nilai critical back pressure. Back pressure dapat
disebabkan oleh kenaikan suhu kondenser (Chandra, et al., 2014). Sedangkan saat
ER berada diatas 20, back pressure tidak melebihi nilai critical back pressure
karena air pada kondenser kembali disirkulasi dengan baik.
Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada variasi area
ratio throat 6,25 dengan tekanan 300 kPa memiliki fenomena yang berbeda
dengan variasi area ratio throat yang lain. Pada range ER 5 sampai 7, nilai
entrainment ratio menunjukkan nilai negatif. Hal ini dapat disebabkan karena
back pressure yang terjadi pada ejektor melebihi nilai critical back pressure. Back
pressure yang tinggi disebabkan oleh naiknya suhu kondenser karena terjadi
perpindahan kalor di dalam tangki kondenser. Sedangkan untuk range ER 10
sampai 25, nilai entrainment ratio bertanda positif karena nilai critical back
pressure yang lebih tinggi. Selain itu terjadi fenomena penurunan nilai
entrainment ratio yang serupa dengan variasi area ratio throat 18,75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
0 7 14 21 28
-0.9
-0.6
-0.3
0.0
0.3
0.6
0.9
En
tra
imen
t R
ati
o
Expansion Ratio
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.11 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada
primary pressure 300 kPa.
Pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio pada tekanan 400
kPa dengan tiga variasi area throat ratio ditunjukkan oleh Gambar 4.12. Nilai
entrainment ratio optimum diperoleh pada nilai 0,43 dengan ER 8,4 pada variasi
area ratio throat 18,75. Hasil percobaan pada variasi area ratio throat
menunjukkan fenomena yang serupa dengan variasi tekanan 100 kPa, 200 kPa,
dan 300 kPa. Sedangkan hasil percobaan dengan variasi area ratio throat pada
tekanan 400 kPa menunjukkan peningkatan entrainment ratio saat expansion ratio
melebihi 25. Hal tersebut dapat terjadi karena terjadi back pressure yang melebihi
nilai critical back pressure ejektor. Back pressure dipengaruhi oleh suhu air
kondenser yang meningkat karena perpindahan kalor (Chandra, et al., 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
0 8 16 24 32
-0.6
-0.3
0.0
0.3
0.6
0.9
En
tra
inm
ent
Ra
tio
Expansion Ratio
Area Ratio Throat 6.25
Area Ratio Throat 12.50
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.12 Grafik pengaruh expansion ratio terhadap entrainment ratio
pada primary pressure 400 kPa
4.4 Pengaruh Entrainment Ratio Terhadap Coefficient of Performance
Steam Ejector Refrigeration System
Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP)
steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 50 °C
ditunjukkan pada Gambar 4.13 sampai 4.15 untuk ketiga variasi area ratio throat.
Hasil percobaan menunjukkan peningkatan COP seiring dengan kenaikan nilai
entrainment ratio. Hal tersebut disebabkan karena besar laju aliran massa pada
evaporator dan laju aliran massa boiler sangat berpengaruh terhadap nilai kalor
(Q) evaporator dan boiler. Nilai COP dan entrainment ratio yang hampir sama ini
menyebabkan grafik berbentuk garis lurus dengan sudut kemiringan 45°. Nilai
COP tertinggi dari ketiga variasi area ratio throat pada secondary temperature
50°C diperoleh pada variasi area ratio throat 12,5 dengan nilai COP 0,68. Hasil
ini disebabkan karena aliran fluida yang melewati throat berupa fully developed
sehingga shock wave yang terjadi lebih kecil, sehingga menghasilkan nilai
entrainment ratio yang maksimum (Li, C, et al., 2011).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
-0.8 -0.4 0.0 0.4
-0.6
-0.3
0.0
0.3
0.6
0.9
En
train
men
t R
ati
o
COP
Area Ratio Throat 6.25
Gambar 4.13 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
0.0 0.28 0.42 0.56 0.700.0
0.22
0.33
0.44
0.55
0.66
0.77
En
train
men
t R
ati
o
COP
Area Ratio Throat 12.5
Gambar 4.14 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
0.0 0.33 0.44 0.55 0.660.0
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.15 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 50 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP)
steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 60 °C
ditunjukkan pada Gambar 4.20 sampai 4.22 untuk ketiga variasi area ratio throat.
Fenomena kenaikan COP disertai dengan peningkatan nilai entrainment ratio
terjadi serupa dengan percobaan sebelumnya pada kondisi secondary temperature
50 °C. Nilai COP tertinggi diperoleh pada variasi area ratio throat 12,5 dengan
nilai COP 0,74. Fenomena ini disebabkan karena aliran fluida yang melewati
throat berupa fully developed sehingga shock wave yang terjadi lebih kecil,
sehingga menghasilkan nilai entrainment ratio yang maksimum (Li, C, et al.,
2011). Hasil percobaan juga menunjukkan peningkatan COP dari variasi
secondary temperature sebelumnya 50 °C. Menurut Chandra, et al., (2014), hal ini
disebabkan oleh kenaikan critical back pressure seiring dengan naiknya
secondary temperature sehingga back pressure yang terjadi di dalam ejektor tidak
mempengaruhi entainment ratio.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
-0.8 -0.4 0.0 0.4
-0.75
-0.50
-0.25
0.00
0.25
0.50
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Ratio Throat 6.25
Gambar 4.16 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
-0.5 0.0 0.5 1.0
-0.56
-0.28
0.00
0.28
0.56
0.84
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Ratio Throat 12.5
Gambar 4.17 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
0.0 0.26 0.39 0.52 0.650.0
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.18 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 60 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP)
steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 70 °C
ditunjukkan pada Gambar 4.23 sampai 4.25 untuk ketiga variasi area ratio throat.
Fenomena kenaikan COP disertai dengan peningkatan nilai entrainment ratio
terjadi serupa dengan percobaan sebelumnya pada kondisi secondary temperature
50 °C dan 60 °C. Nilai COP tertinggi diperoleh pada variasi area ratio throat 12,5
dengan nilai COP 0,88. Fenomena tersebut sama seperti pada variasi secondary
temperature sebelumnya, dimana throat mampu menghasilkan aliran fully
developed sehingga dicapai nilai entrainment ratio maksimum.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
-1.6 -0.8 0.0 0.8
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Ratio Throat 6.25
Gambar 4.19 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
-0.5 0.0 0.5 1.0
-0.6
-0.3
0.0
0.3
0.6
0.9
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Ratio Throat 12.5
Gambar 4.20 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
0.0 0.39 0.52 0.65 0.780.00
0.42
0.56
0.70
0.84
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Throat Ratio 18.75
Gambar 4.21 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 70 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
Hubungan entrainment ratio terhadap coefficient of performance (COP)
steam ejector refrigeration system pada kondisi secondary temperature 80 °C
ditunjukkan pada Gambar 4.26 sampai 4.28 untuk ketiga variasi area ratio throat.
Fenomena kenaikan COP disertai dengan peningkatan nilai entrainment ratio
terjadi serupa dengan percobaan sebelumnya pada kondisi secondary temperature
50 °C, 60 °C, dan 70 °C. Nilai COP tertinggi diperoleh pada variasi area ratio
throat 18,75 dengan nilai COP 0,98. Fenomena yang terjadi berbeda dengan
ketiga variasi secondary temperature sebelumnya, dimana throat dengan area
ratio throat 18,75 mampu menghasilkan aliran fully developed pada temperatur
yang tinggi. Menurut Dirix, et al., (1990), kenaikan temperatur secondary fluid
menyebabkan perpindahan momentum yang lebih besar sehingga memerlukan
throat yang lebih panjang sehingga mixed flow mencapai fully developed pada
mixing chamber.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
-1.2 -0.6 0.0 0.6
-1.2
-0.8
-0.4
0.0
0.4
0.8
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Throat Ratio 6.25
Gambar 4.22 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 6,25.
-0.5 0.0 0.5 1.0
-0.6
-0.3
0.0
0.3
0.6
0.9
En
train
men
t R
ati
o
COP
Area Ratio Throat 12.5
Gambar 4.23 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 12,5.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
0.0 0.4 0.6 0.8 1.00.0
0.39
0.52
0.65
0.78
0.91
1.04
En
tra
inm
ent
Ra
tio
COP
Area Ratio Throat 18.75
Gambar 4.24 Hubungan entrainment ratio terhadap COP dengan secondary
temperature 80 °C pada variasi area ratio throat 18,75.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap pengaruh area
ratio throat pada mixing chamber steam ejector refrigeration system, maka dapat
disimpulkan sesuai dengan tujuan dari penelitian:
1. Variasi peningkatan primary pressure secara umum menyebabkan
menurunnya nilai entrainment ratio secara signifikan, hal ini disebabkan
karena semakin tinggi primary pressure maka mass flow rate primary fluid
akan semakin meningkat. Sedangkan peningkatan secondary temperature
secara umum menyebabkan kenaikan nilai entrainment ratio, fenomena ini
terjadi karena meningkatnya secondary temperature menyebabkan nilai
critical back pressure naik sehingga back pressure yang terjadi pada
ejektor tidak melebihi nilai critical. Hasil percobaan menunjukkan nilai
optimum entrainment ratio diperoleh pada variasi primary pressure 100
kPa dengan secondary temperature 80°C dengan nilai ω = 1,00.
2. Variasi peningkatan area ratio throat pada mixing chamber menyebabkan
peningkatan nilai entrainment ratio steam ejector secara signifikan. Nilai
entrainment ratio optimal steam ejector diperoleh pada variasi area ratio
throat 18.75 yang bekerja pada primary pressure 100 kPa dan secondary
temperature 80°C dengan nilai ω = 1,00. Fenomena ini terjadi diakibatkan
panjang throat pada area ratio throat 18,75 mampu menghasilkan fully
developed flow sehingga shock waves yang terjadi lebih sedikit dan
transfer momentum antara kedua fluida terjadi secara lebih sempurna.
3. Variasi peningkatan nilai expansion ratio menyebabkan penurunan nilai
entrainment ratio. Nilai entrainment ratio optimum tercapai pada nilai
expansion ratio / ER = 2,1 variasi area ratio throat 18.5 dengan nilai ω =
1,00.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
4. Kenaikan entrainment ratio mempengaruhi peningkatan coefficient of
performance dari steam ejector refrigeration system. Nilai entrainment
ratio pada semua variasi primary pressure, secondary pressure, dan area
ratio throat hampir sama dengan nilai COP semua variasi, dimana nilai
COP maksimum dari steam ejector refrigeration system adalah 0,98.
5.2 Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang perlu dicermati
dan diperbaiki yaitu sebagai berikut:
1. Hasil penelitian akan lebih maksimal bila menggunakan alat ukur digital
flowmeter dan thermodisplay yang sesuai, sehingga hasil pengukuran lebih
akurat bila dibandingkan dengan menggunakan orifice plate flowmeter
karena rugi – rugi gesekan sangat besar.
2. Konstruksi pipa evaporator akan lebih baik juga ujung pipa sampai pada
dasar evaporator, sehingga air bisa terhisap dan memasuki ejektor.
3. Electric heater yang digunakan pada evaporator dan boiler dapat
ditingkatkan lagi dayanya sehingga mempercepat proses pre – heating.
4. Perlu diteliti lebih lanjut kontur tekanan dan kecepatan didalam ejector
karena dapat membantu proses analisis.
5. Penelitian dapat dikembangkan lagi untuk jenis refrigerant lain dan
menambah variasi area ratio throat.
6. Penelitian dapat dikembangkan lagi untuk meneliti pengaruh temperatur
kondenser terhadap entrainment ratio steam ejector.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
DAFTAR PUSTAKA
Alexis, G.K., Katsanis, J.S., 2004, Performance characteristics of a methanol
ejector refrigeration unit, Energy Conversion and Management, 45, 2729 –
2744.
Aphornratana, S., Eames, I. W., 1997, A small capacity steam –
ejectorrefrigerator: experimental investigation of a system using ejector
with movable primay nozzle, International Journal Refrigeration. 20(5),
352 –358.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2014, Outlook Energi Indonesia,
2014, Pengembangan Energi dalam Mendukung Program Substitusi BBM,
Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi (PTPSE), Jakarta.
Bando, Y., Kuraishi, M., Nishimura, M., Takeshita, I., 1990, The characteristics
of a bubble column with a gas-suction type, simultaneous gas–liquid
injection- nozzle. International Chemical Engineering, 30, 729 -737.
Cardemil, J.M., Colle, S., 2012, A general model for evaluation of vapor ejectors
performance for application in refrigeration, Energy Conversion and
Management, 64, 79 – 86.
Chandra, Vineet V., Ahmed, M.R., 2014, Experimental and computational studies
on a steam jet refrigeration system with constant area and variable area
ejectors, Energy Conversion and Management, 79, 377 – 386.
Chen, J., Havtun, H., Palm, B., 2014, Parametic Analysis of ejector working
characteristics in the refrigeration system, Applied Thermal Engineering,
69, 130 – 142.
Chen, Y.M., Sun, C.Y., 1997, Experimental study of the performance
characteristics of a steam-ejector refrigeration system, Experimental
Thermal and Fluid Science, 15, 384 – 394.
Chunnanond, K., Aphornratana, S., 2003, An experimental investigation of a
steam ejector: the analysis of the pressure profile along the ejector,
Applied Thermal Engineering, 24, 311 – 322.
Crowe, Clayton T., et. al., 2010, Engineering Fluids Mechanics, John Wiley &
Sons, Danvers, 412 – 415.
Cullen, J.M., Allwood, J.M., 2010, Theoretical efficiency limits for energy
conservation devices, Energy, 35, 2059 – 2069
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Dirix, C.A.M.C., van der Wiele, K., 1990, Mass transfer in jet loop Reactors,
Chemical Engineering Science, 45, 2333–2340.
Forman,C., Muritala, I. K., Pardemann, R., Meyer, B., 2016, Estimating the global
waste heat potential, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 57,
1568 – 1579.
Harinaldi, Budiarso, 2015, Sistem Fluida, Penerbit Erlangga, Jakarta, 7 – 19.
Hodge, B.K., Koening, Keith, 1995, Compressible Fluid Dynamics, Prentice Hall
International Editions, New Jersey, 29 – 30.
Jia, Yan, Wenjian, Cai, 2011, Area ratio effects to the performance of air cooled
ejector refrigeration cycle with R134a refrigerant, Energy Conversion and
Management, 53, 240-246.
Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2015, Laporan Kinerja Kementrian
Perindustrian Tahun 2014, Biro Perencaan, Jakarta.
Kong, F.S., et. al., 2013, Application of Chevron nozzle to a supersonic ejector
diffuser system, Procedia Engineering, 56, 193 – 200.
Lu, Hongyou, Price, Lynn, Zhang, Qi, 2015, Capturing the invisible resource:
Analysis of waste heat potential in Chinese industry, Applied Energy, 16,
497 – 511.
Li,C.,Li, Y.Z., 2010, Investigation of entrainment behavior and characteristics of
gas liquid ejectors based on CFD simulation, Chemical Engineering
Science, 66, 405-416.
Meyer, A.J., Harms, T.M., Dobson, R.T., 2008, Steam jet ejector cooling powered
by waste or solar heat, Renewable Energy, 34, 297 – 306.
Munson, Bruce R., Young, Donald F., Okiishi, Theodore H., 2003, Mekanika
Fluida, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Moran, Michael J., Shapiro, Howard N., 2006, Fundamental of Engineering
Thermodynamics, John Wiley & Sons, Inc.,West Susex, 720 – 721.
Olson, Reuben M., Wright, Steven J., 1998, Dasar – dasar Mekanika Fluida
Teknik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 422 - 423
Pereira, P.R., et. al., 2014, Experimental result with a variable geometry ejector
using R600a as working fluid, International Journal of Refrigeration, 46,
77 – 85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Sharifi, N., Sharifi M., 2014, Reducing energy consumption of a steam ejector
through experimental optimization of the nozzle geometry, Energy, 66,
860 – 867.
Sriveerakul, T., Aphornratana, S., Chunnanond, K., 2006, Performance predicton
of steam ejector using computational fluid dynamics: Part 1. Validation of
the CFD results, International Journal of Thermal Sciences,46, 812 – 822.
Triatmodjo, Bambang, 2014, Hidraulika, Beta Offset, Yogyakarta.
U.S. Department of Energy, 2008, Waste heat recovery: technology and
opportunities in the U.S. Industry, Industrial Technologies Program.
Valle, J. G., et. al., 2011, A one dimensional model for the determination of an
ejector entrainment ratio, International Journal of Refrigeration, 35,772 –
784
White, Frank M., 1998, Fluid Mechanics, WCB McGraw-Hill, Boston.
Yadav, R.L., Patwardhan, A.W., 2008, Design aspects of ejectors: Effects of
suction chamber geometry, Chemical Engineering Science,63, 3886 –
3897
Zhu, Yinhai, Jiang, Peixue, 2013, Experimental and numerical investigation of the
effect of shock wave characteristics on the ejectorperformance,
International Journal of Refrigeration, 40, 31 - 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Lampiran A.1 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 6.25
Boiler Evaporator Outlet Ejector
P
(kPa)
T
(°C)
Δh
(mm)
T₁
(°C)
T₂
(°C)
Δh
(mm)
T
(°C)
Δh (mm)
100.0
110.1 4.0 80.0 79.8 -0.1 96.9 0.4
112.6 3.0 70.0 69.4 -0.4 96.4 0.3
111.5 6.0 60.0 59.6 -0.3 96.5 0.2
113.2 5.0 50.0 49.5 -0.2 97.1 -0.1
200.0
120.5 13.0 80.0 79.8 0.0 93.4 0.8
118.3 11.0 70.0 69.9 0.1 95.1 0.6
122.0 14.0 60.0 59.6 0.1 94.7 0.4
123.0 12.0 50.0 49.8 0.2 96.8 0.2
300.0
130.4 20.0 80.0 79.5 -0.4 91.9 0.6
130.8 20.6 70.0 69.8 0.2 94.3 1.0
130.1 23.0 60.0 59.9 0.6 90.9 -0.4
129.5 20.0 50.0 49.6 0.4 90.3 -1.0
400.0
139.2 34.0 80.0 79.9 -1.0 91.6 0.5
140.8 31.0 70.0 69.3 -0.8 96.3 -0.2
141.6 35.0 60.0 59.6 -0.6 95.5 0.6
140.6 35.4 50.0 49.2 0.5 90.2 1.0
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Lampiran A.2 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 12.5
Boiler Evaporator Outlet Ejector
P (kPa) T
(°C)
Δh
(mm)
T₁
(°C)
T₂
(°C)
Δh
(mm)
T
(°C)
Δh (mm)
100.0
110.5 8.8 80.0 79.8 0.6 97.7 -0.6
109.8 8.0 70.0 69.7 0.7 96.6 -0.2
109.5 7.0 60.0 59.8 0.4 96.7 -0.2
110.0 7.2 50.0 49.5 0.7 97.2 -0.4
200.0
123.5 13.2 80.0 79.6 0.2 94.0 -0.5
123.1 14.6 70.0 69.6 0.3 93.9 -0.2
122.7 15.0 60.0 59.5 0.2 95.1 0.4
122.5 14.0 50.0 49.7 0.3 95.6 -0.5
300.0
131.1 20.0 80.0 79.8 -0.1 92.1 1.4
130.7 22.0 70.0 69.4 -0.3 96.5 0.4
131.5 20.6 60.0 59.6 -0.2 92.4 1.8
131.0 21.0 50.0 49.7 0.2 91.5 0.6
400.0
140.2 33.6 80.0 79.8 -0.2 89.6 2.0
140.5 34.8 70.0 69.7 -0.2 86.3 -0.5
139.3 34.2 60.0 59.8 -0.1 88.6 1.0
140.1 33.0 50.0 49.9 0.2 89.4 -0.5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Lampiran A.3 Data Hasil Percobaan Variasi Area Ratio Throat 18.75
Boiler Evaporator Outlet Ejector
P
(kPa)
T
(°C)
Δh
(mm)
T₁
(°C)
T₂
(°C)
Δh
(mm)
T
(°C)
Δh
(mm)
100.0
109.8 8.2 80.0 79.6 0.6 96.1 -0.5
110.4 7.2 70.0 69.6 0.2 98.3 -0.6
110.1 8.8 60.0 59.7 0.3 98.4 -0.4
110.0 8.0 50.0 47.8 0.6 97.4 -0.4
200.0
122.8 15.0 80.0 78.8 0.3 95.5 -0.8
122.5 14.0 70.0 69.2 0.4 98.2 -0.5
123.0 12.6 60.0 59.8 0.6 98.1 -0.5
122.7 14.2 50.0 49.5 0.3 95.1 -0.5
300.0
130.9 21.6 80.0 78.6 0.4 94.1 1.6
130.8 21.0 70.0 69.4 0.5 93.4 1.8
131.4 21.4 60.0 59.8 0.2 94.0 0.8
131.1 22.0 50.0 49.8 0.6 88.4 2.6
400.0
140.5 33.8 80.0 79.6 0.2 92.4 6.8
140.3 34.0 70.0 69.7 0.4 87.2 6.4
140.2 35.2 60.0 59.8 0.1 88.7 3.9
139.5 34.6 50.0 49.9 0.4 85.8 4.1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Lampiran B.1 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 6.25
Boiler Evaporator Entrainment
Ratio
Expansion
Ratio COP
P (kPa) T₁ (°C)
100.00
80.00 -1.10 2.11 -1.08
70.00 -1.34 3.21 -1.31
60.00 -0.79 5.02 -0.77
50.00 -0.70 8.10 -0.67
200.00
80.00 0.57 4.22 0.55
70.00 0.62 6.41 0.60
60.00 0.45 10.03 0.43
50.00 0.46 16.19 0.44
300.00
80.00 -0.62 6.33 -0.60
70.00 0.49 9.62 0.47
60.00 0.46 15.05 0.44
50.00 0.40 24.29 0.38
400.00
80.00 -0.55 8.44 -0.53
70.00 -0.48 12.82 -0.46
60.00 -0.38 20.06 -0.36
50.00 -0.31 32.39 -0.30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Lampiran B.2 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 12.5
Boiler Evaporator Entrainment
Ratio
Expansion
Ratio COP
P (kPa) T₁ (°C)
100.00
80.00 0.97 2.11 0.95
70.00 0.91 3.21 0.89
60.00 0.77 5.02 0.75
50.00 0.72 8.10 0.69
200.00
80.00 0.68 4.22 0.66
70.00 0.60 6.41 0.58
60.00 0.48 10.03 0.46
50.00 0.45 16.19 0.43
300.00
80.00 -0.50 6.33 -0.49
70.00 -0.50 9.62 -0.48
60.00 -0.41 15.05 -0.40
50.00 0.35 24.29 0.33
400.00
80.00 -0.43 8.44 -0.42
70.00 -0.37 12.82 -0.35
60.00 -0.29 20.06 -0.28
50.00 0.28 32.39 0.27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Lampiran B.3 Data Hasil Pengolahan Variasi Area Ratio Throat 18.75
Boiler Evaporator Entrainment
Ratio
Expansion
Ratio COP
P (kPa) T₁ (°C)
100.00
80.00 1.00 2.11 0.99
70.00 0.79 3.21 0.77
60.00 0.66 5.02 0.64
50.00 0.66 8.10 0.64
200.00
80.00 0.68 4.22 0.66
70.00 0.64 6.41 0.62
60.00 0.62 10.03 0.60
50.00 0.45 16.19 0.43
300.00
80.00 0.59 6.33 0.58
70.00 0.55 9.62 0.53
60.00 0.41 15.05 0.39
50.00 0.41 24.29 0.39
400.00
80.00 0.43 8.44 0.42
70.00 0.41 12.82 0.40
60.00 0.29 20.06 0.27
50.00 0.31 32.39 0.29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Lampiran C. Contoh Perhitungan
Diketahui:
Diameter pipa (D1) = 0,026 m
Diameter orifice (D2) = 0,0125 m
Konstanta gas universal, Λ = 8314 m2/s
2.K
Massa molekul H2O M = 18,016
Tekanan boiler (Pb) = 100 kPa
Temperatur boiler (Tb) = 383.1 K
µ fluida primer @ 383.1 K = 1.26 x 10-4
Pa.s
ΔH manometer pipa U – fluida primer = 82 mm
Tekanan evaporator (Pe) = 47.39 kPa
Temperatur evaporator (Te) = 353 K
µ fluida sekunder @ 353 K = 1.16 x 10-4
Pa.s
ΔH manometer pipa U – fluida sekunder = 6 mm
ρ coolant = 1130 kg/m3
ρ air raksa = 13.600 kg/m3
Ditanya:
ρp, ρs, νp, νs, V2p, V2s, V1p, V1s, Rep, Res, Cdp, Cds, Qp, Qs, ̇p, ̇s, h1p, h2p,
h1s, h2s, Qb, Qe, ω, ER, COP.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Jawab:
Perhitungan properti untuk fluida primer (Boiler)
Massa jenis fluida primerb
b
pTR
P
(Rumus gas ideal)
Dimana, KsmM
R ./47,461016,18
8314 22
3/565,01,38347,461
100000mkg
TR
P
b
b
p
Viskositas kinematik fluida primer,
smp
p
p /10222,25653,0
1026,1 244
ΔH air raksa = ΔP fluida primer = 82 mmHg = 10,93 kPa
Dengan menggunakan persamaan kontinuitas: 2211 VAVA
222
1
2
22
1
21 23,0 VV
D
DV
A
AV
Persamaan Bernoulli:
g
VZP
g
VZP
22
2
2122
2
1111
2
1
2
21
212
VVg
PP
2
2
2
2 )23,0(81,92
5653,010930 VV
Kecepatan fluida primer, V2p = 201,94 m/s & V1p = 46,44 m/s
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
99,545310222,2
026,044,46Re
4
1
p
P
DV
Rumus Coefficient Discharge pada orifice =
2
3
14
475,05,2 0337,0
1
09,0Re71,91)( FFfCd Pp
dimana untuk nilai 21 &,),( FFf adalah sebagai berikut:
48,0026,0
0125,0
1
2 D
D
602,0184,00312,05959,0)( 81,2 f
F1 = 0,433 & F2 = 0,47
)433,0()48,0(1
)48,0(09,0)99,5453()48,0(71,91602,0
4
475,05,2
pCd
)47,0()48,0(0337,0 3
Cdp = 0,6257
Rumus menentukan debit pada orifice:
2/1
4
2
2/1
4248,01
565,0/109302)0125,0(
46257.0
1
/2
p
pp
PACdQ
= 0,01 m3/s
skgQm ppp /00565,0565,001,0
Nilai entalpi fluida primer diinterpolasi dari tabel properti Saturated Water
Moran, Tabel A-2.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
kgkJkgkJkgkJK
Kh p /6.2691/5,2691/)5,26913,2706(
)383393(
)3831,383(1
h2p = hf condenser @ 27°C = 117,25 kJ/kg
Perhitungan properti untuk fluida sekunder (Evaporator)
Massa jenis fluida primers
s
sTR
P
(Rumus gas ideal)
Dimana, KsmM
R ./47,461016,18
8314 22
35 /1061,135347,461
47390mkg
TR
P
E
E
s
Viskositas kinematik fluida sekunder,
sms
s
s /17,71061,1
1016,1 2
5
4
ΔH air coolant = ΔP fluida sekunder = 6 mmAirCoolant = 66,486 Pa
Dengan menggunakan persamaan kontinuitas: 2211 VAVA
222
1
2
22
1
21 23,0 VV
D
DV
A
AV
Persamaan Bernoulli:
g
VZP
g
VZP
22
2
2122
2
1111
2
1
2
21
212
VVg
PP
2
2
2
2
5
)23,0(81,92
1061,1468,66 VV
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Kecepatan fluida sekunder, V2s = 2950,11 m/s & V1s = 681,8 m/s
47,217,7
026,08,681Re 1
S
S
DV
Rumus Coefficient Discharge pada orifice =
2
3
14
475,05,2 0337,0
1
09,0Re71,91)( FFfCd Sp
dimana untuk nilai 21 &,),( FFf adalah sebagai berikut:
48,0026,0
0125,0
1
2 D
D
602,0184,00312,05959,0)( 81,2 f
F1 = 0,433 & F2 = 0,47
)433,0()48,0(1
)48,0(09,0)47,2()48,0(71,91602,0
4
475,05,2
SCd
)47,0()48,0(0337,0 3
CdS = 8,03
Rumus menentukan debit pada orifice:
2/1
4
52
2/1
4248,01
1061,1/487,662)0125,0(
403,8
1
/2
p
S
PACdQ
= 2,91 m3/s
skgQm SSS /1068,41061,191,2 55
h1s = hg evaporator @ 353 K = 2643,7 kJ/kg
h2s = hf condenser @ 27°C = 117,25 kJ/kg
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Menentukan parameter Ejektor; ω, ER, dan COP
35
1028,800565,0
1068,4
P
S
m
m
11,247390
100000
Pe
PbER
005,025,1176,2691
25,1177,26431028,8 3
21
21
pp
ss
hh
hhCOP
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Lampiran D. Tabel Sifat Termodinamika Saturated Water (Moran, 2006)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI