87
GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN KADAR SGOT DAN SGPT PADA ANAK EPILEPSI YANG MENDAPAT MONOTERAPI ASAM VALPROAT DI POLIKLINIK ANAK RSUDZA BANDA ACEH SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Oleh: MARKA BELA MONIKA NIM: 0907101050043 iv

Skripsi kadar SGOT dan SGPT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hghv.mmml

Citation preview

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN KADAR SGOT DAN SGPT PADA ANAK EPILEPSI YANG MENDAPAT MONOTERAPI ASAM VALPROAT DI POLIKLINIK ANAK RSUDZA BANDA ACEH

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna memperolehgelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

MARKA BELA MONIKANIM: 0907101050043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM BANDA ACEHTAHUN 2013LEMBAR PENGESAHANGAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN KADAR SGOT DAN SGPT PADA ANAK EPILEPSI YANG MENDAPAT MONOTERAPI ASAM VALPROAT DI POLIKLINIK ANAK RSUDZA BANDA ACEH

SKRIPSIDiajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi syarat-syarat guna memperolehGelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

MARKA BELA MONIKA NIM : 0907101050043Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaBanda Aceh, Maret 2013

Dosen Pembimbing I,Dosen Pembimbing II,

dr. Anidar, Sp.A dr. Azhari Gani, Sp.PD, KKV, FCIC, FINASIMNIP.140 345 948 NIP. 19631124 199601 1 002

Mengetahui: Dekan Fakultas Kedokteran Unsyiah,

Dr. dr. Mulyadi, Sp. P (K) NIP. 19620819 199002 1 001

Telah lulus Ujian Skripsi pada hari Kamis tanggal 21 Maret 2013ABSTRAKAsam valproat merupakan jenis obat antiepilepsi yang biasa digunakan pada anak-anak. Manajemen terapi epilepsi dapat berlangsung selama 2 tahun atau lebih. Terapi epilepsi yang lama akan menimbulkan efek samping yang merugikan. Salah satu efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan fungsi hati. Pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pemeriksaan serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan cross sectional yang dilakukan di Poliklinik Anak dan bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 33 sampel dan teknik pengambilan sampel dengan Total Sampling. Pengumpulan data didapatkan dari rekam medik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi hati pasien epilepsi anak yang menggunakan monoterapi asam valproat setelah terapi 6 bulan. Hasil penelitian ini adalah pasien yang terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah terapi 6 bulan sebesar 20 sampel atau 60,6%, dan semua sampel didapatkan peningkatan kadar SGOT dan SGPT kurang dari 2 kali nilai normal. Didapatkan usia yang paling sering adalah usia 1-5 tahun dan 5-10 tahun yaitu 40,0% (masing-masing 8 sampel) dan didapatkan lama terapi lebih dari 12 bulan yaitu 16 sampel atau 80,0% yang mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT.

Kata Kunci : Epilepsi Anak, terapi setelah 6 bulan, peningkatan kadar SGOT dan SGPT

ABSTRACT

Valproic acid is an antiepileptic drug that is commonly used in children. Management of epilepsy therapy can last for 2 years or more. Epilepsy therapy time will cause adverse side effects. One of the commonly reported side effects are liver dysfunction. Tests carried out in this study is the examination of serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) and serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). The study was a descriptive cross sectional study conducted at Children's Clinic and the Medical Records Regional General Hospital dr. Zainoel Abidin. The sample in this study amounted to 33 samples and sampling techniques with a total sampling. Data collection was obtained from medical records. This study aims to describe the patient's liver function epileptic children receiving valproic acid monotherapy after 6 months of therapy. The results of this study were patients with an increase in the levels of SGOT and SGPT after 6 months of therapy of 20 samples or 60.6%, and all samples found elevated levels of SGOT and SGPT less than 2 times the normal value. The most frequently obtained age is the age of 1-5 years and 5-10 years is 40.0% (8 samples each) and the duration of therapy gained more than 12 months at 16 samples or 80.0% who had elevated levels of SGOT and SGPT.

Keywords: Epilepsy Children, after 6 months of therapy, elevated levels of SGOT and SGPT

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat beriring salam penulis sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.Skripsi yang berjudul Gambaran Hasil Pemeriksaan Kadar SGOT dan SGPT Pada Anak Epilepsi yang Mendapat Monoterapi Asam Valproat di Poliklinik Anak RSUZA Banda Aceh dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan dan memperoleh gelar sarjana (Strata-1) pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:1. Dr. dr. Mulyadi, Sp.P (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.2. dr. Anidar, Sp.A dan dr. Azhari Gani, Sp.PD, KKV, FCIC, FINASIM selaku dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat kepada penulis.3. dr. Nova Dian Lestari, Sp.S dan dr. Vivi Keumala Meutiwati, Sp.PK, M.Kes serta dr. Istanul Badiri, MS, Sp.PA selaku dosen penguji I dan penguji II yang telah memberikan banyak saran dan masukan kepada penulis.4. dr. Feriyani, Sp.M selaku dosen wali yang turut membantu dan menuntun penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.5. Staf PBL dan Rumah Sakit Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama penelitian.6. Bapak dan Ibu Dosen pengajar Program Studi Pendidikan Dokter yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang sangat bermanfaat kepada penulis.7. Ayahanda M. Kasem Ibrahim, SE dan ibunda Marhamah yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.v

8. Kakanda tercinta Julianda Syahputra, SE dan adinda M. Rezha, Geuberi Akrama, Regina Sari, dan M. Sultan Michiel yang selalu menyemangati dan mendoakan penulis.9. Teman-teman tersayang, Maryamah, Fitri Rizki Ermalia, Fera Andriani, Nabila Maghfira, Imami Rusli Putri, Khaliza Maulina dan teman-teman seangkatan 2009 FK Unsyiah.10. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis.Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun orang yang membacanya.

Banda Aceh, Maret 2013

Penulis

vi

DAFTAR ISIHalamanHALAMAN JUDULiHALAMAN PENGESAHANiiABSTRAKiiiABSTRACTivKATA PENGANTARvDAFTAR ISIviiDAFTAR TABELixDAFTAR GAMBARxDAFTAR LAMPIRANxi

BAB I PENDAHULUAN1 1.1 Latar Belakang1 1.2 Rumusan Masalah4 1.3 Tujuan Penelitian4 1.4 Manfaat Penelitian4 1.4.1 Manfaat Teoritis4 1.4.2 Manfaat Praktis4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA5 2.1 Epilepsi5 2.1.1 Definisi Epilepsi5 2.1.2 Epidemiologi Epilepsi5 2.1.3 Etiologi Epilepsi6 2.1.4 Klasifikasi Kejang dan Epilepsi6 2.1.5 Patofisiologi Epilepsi9 2.1.6 Diagnosis Epilepsi11 2.1.7 Tatalaksana Epilepsi11 2.2 Terapi Epilepsidengan Asam Valproat13 2.2.1 Indikasi Pemakaian Asam Valproat14 2.2.2 Farmakologi Asam Valproat14 2.2.3 Farmakokinetik Asam Valproat15 2.2.4 Farmakodinamik Asam Valproat 15 2.2.5 Interaksi Obat dan Kontraindikasi Asam Valproat15 2.2.6 Bentuk Sediaan dan Dosis Asam Valproat16 2.2.7 Pemantauan Terapi Asam Valproat16 2.2.8 Efek Samping Asam Valproat16 2.3 Hubungan Gangguan Fungsi Hati dengan asam valproat16 2.4 Pemeriksaan fungsi hati20 2.4.1 Metode Pemeriksaa SGOT dan SGPT.21 2.4.2 Cara Pemeriksaan menurut RSUDZA Banda Aceh21 2.5 Kerangka Teori23

BAB III METODE PENELITIAN24 3.1 Jenis dan Desain Penelitian24 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian24 3.3 Populasi dan Sampel24 3.3.1 Populasi Penelitian24 3.3.2 Sampel Penelitian24 3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel25 3.4 Instrumen Penelitian26 3.5 Variabel Penelitian26 3.6 Definisi Operasional26 3.7 Teknik Pengumpulan Data26 3.8 Alur Penelitian27 3.9 Analisis Statistik27 3.10 Alur Penelitian27

BAB IV HASIL PENELITIAN29 4.1 Hasil Penelitian29 4.1.1 Prevalensi dan Insidensi Epilepsi Anak29 4.1.2 Karakteristik Umum Sampel 29 4.1.3 Karakteristik Khusus Sampel30 4.2 Pembahasan 33 4.3 Kelebihan Penelitian36 4.4 Keterbatasan Penelitian36BAB V PENUTUP38 5.1 Kesimpulan38 5.2 Saran38

DAFTAR PUSTAKA40LAMPIRAN45

DAFTAR TABEL HalamanTabel 2.1 Klasifikasi tipe kejang7 Tabel 4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan Lama Terapi30Tabel 4.2 Peningkatan Kadar SGOT dan SGPT Berdasarkan Waktu, Pertama Pemeriksaan dan Setelah lebih 6 Bulan Terapi31Tabel 4.3 Peningkatan kadar SGOT dan SGPT berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan Lama Terapi31Tabel 4.4 Peningkatan Kadar SGOT dan SGPT berdasarkan Karakteristik Subjek Penelitian Umum dan Subjek Penelitian Khusus32Tabel 4.5 Klasifikasi Peningkatan Kadar SGOT dan SGPT33

DAFTAR LAMPIRANHalamanLampiran 1 Lembar Data Sampel45Lampiran 2 Data Rekam Medik Pasien Epilepsi di Poliklinik Anak RSUDZA Banda Aceh 201246Lampiran 3 Surat Izin Penelitian Fakultas Kedokteran 48Lampiran 4 Surat Izin Penelitian RSUDZA Banda Aceh49Lampiran 5 Lembar Konfirmasi Izin Penelitian Ka. SMF Anak RSUDZA Banda Aceh50Lampiran 6 Lembar Konfirmasi Izin Penelitian Ka. Poliklinik Anak RSUDZA Banda Aceh51Lampiran 7 Lembar Konfirmasi Izin Penelitian Ka. Instalasi Rekam Medis RSUDZA Banda Aceh52Lampiran 8 Surat Selesai Penelitian RSUDZA Banda Aceh53Lampiran 9 Perencanaan Jadwal Kegiatan Penelitian54Lampiran 10 Biodata Peneliti55

BAB 1PENDAHULUAN

1.1Latar BelakangEpilepsi merupakan salah satu penyebab morbiditas terbanyak dibidang saraf anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-kembang dan menentukan kualitas hidup anak (Major dan Thiele, 2007). Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 jiwa, sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000 jiwa. Berdasarkan berbagai studi prevalensi epilepsi di Eropa setidaknya terdapat 0.9 juta dengan prevalensi 4.5-5.0 per 1000 (Forsgren et al., 2005). Hasil pendataan penduduk secara global diketahui bahwa terdapat 3,5 juta kasus baru setiap tahun berdasarkan golongan usia adalah 40% anak-anak, 40% dewasa dan 20% lainnya pada usia lanjut (Word Health Organization, 2009).Setiap tahun terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi di Indonesia, dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak. Selama 4 tahun terakhir di Indonesia terdapat epilepsi menurut penyebab terjadinya bangkitan dengan prevalensi 10.1%. Insiden yang terjadi pada laki-laki sedikit lebih tinggi yaitu 56,9%. Paling banyak terjadi pada kelompok umur 1-5 tahun yaitu 42% , dan 46% dijumpai pada umur kurang dari 1 tahun (Suwarba, 2011). Penatalaksanaan epilepsi terdiri dari pemberian obat-obatan dan pembedahan. Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik yang dimiliki. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan beberapa upaya antara lain, menghentikan bangkitan (kejang), mengurangi frekuensi kejang, mencegah timbulnya efek samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah timbulnya efek samping dari obat anti epilepsi (OAE) (Lowenstein et al., 2008). Beberapa jenis obat yang sering digunakan dalam terapi epilepsi antara lain: asam valproat, fenobarbital, primidone, klonazepam, diazepam, adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan karbamazepin (Gidal dan Garnett, 2005). Asam valproat merupakan pilihan lini pertama untuk terapi kejang umum dan parsial (Lacy, 2009). Asam valproat adalah jenis obat spektrum luas yang biasa digunakan pada anak (Benitez et al., 2010). Manajemen terapi epilepsi dapat berlangsung selama 2 tahun atau lebih (Kustiowati et al., 2012). Lamanya terapi epilepsi akan menimbulkan efek samping yang merugikan (Goldernberg et al., 2010).Sebelum memulai terapi direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan Serum Glutamic Oxaloacetic Trasaminase (SGOT) dan Serum Glutamate Pyruvate Transaminase (SGPT) terlebih dahulu. Pemeriksaan fungsi hati seperti SGOT dan SGPT biasa dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan pada hati. (Attilakos et al., 2006). Salah satu efek samping yang sering dilaporkan oleh beberapa penelitian adalah gangguan fungsi hati, seperti peningkatan aktivitas enzim-enzim hati dan sesekali terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Gangguan funsi hati yang diakibatkan oleh asam valproat biasanya timbul setelah 6 bulan terapi (Engel, 2008). Risiko terbesar terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun dan menggunakan politerapi epilepsi (Katzung et al., 2010). Mekanisme terjadi gangguan fungsi hati karena asam valproat mengakibatkan gangguan pada mitokondria dan menghambat beta-oksidasi menyebabkan reaksi perlemakan hati (Suchy et al., 2007). Efek samping asam valproat yang lain adalah gejala gastrointestinal, seperti anoreksia, mual dan muntah, efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, gagal hati akut, pankreatitis akut dan diskrasia darah (trombositopenia, anemia dan leukopenia). Gejala intoksikasi berupa mengantuk, vertigo dan perubahan prilaku. Efek pemberian kronik adalah perubahan prilaku, tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan dan rambut rontok (Engel, 2008). Adanya gangguan fungsi hati yang terjadi selama terapi harus menjadi perhatian dokter yang merawat pasien epilepsi, karena hal ini dapat memicu terjadinya berbagai masalah penyakit hati yang berbahaya, seperti nekrosis hati, hepatitis kronik, perlemakan hati, infark miokad dan sebagainya (Attilakos et al., 2006). Penelitian oleh Attilakos et al (2006) tentang efek monoterapi asam valproat terhadap konsentrasi asam urat serum dan fungsi hati menunjukkan bahwa setelah pemakaian monoterapi dengan asam valproat selama 6 dan 12 bulan atau lebih pada usia 1-15 tahun, terjadi kenaikan SGPT yang bermakna secara statistika (p>0.05) dibandingkan dengan kadar SGPT sebelum terapi asam valproat. Penelitian oleh Salehiomran dan Kordkheily (2010) tentang efek antikejang (asam valproat) menunjukan setelah pemakaian asam valproat selama 3 sampai 6 bulan, terjadi kenaikan SGOT dan SGPT pada anak yang menggunakan antikejang, sebanyak 60% pasien mendapat terapi asam valproat mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT sebesar 1 kali dari nilai normal setelah 6 bulan terapi. Menurut penelitian Freudenmann et al (2012) dengan usia 0-16 tahun tentang penggunaan asam valproat pada anak yang epilepsi terjadi gangguan fungsi hati sebanyak 34,8% dibawah monoterapi asam valproat, sedangkan pemberian asam valproat dengan kombinasi obat lainnya menyebabkan kerusakan hati sebanyak 65,2%.Gangguan fungsi hati terjadi akibat selama pemakaian asam valproat jangka panjang. Peningkatan enzim hati 95% yang terjadi adalah peningkatan kadar SGOT dan SGPT sebesar 1-3 kali dari nilai normal, dalam keadaan ini obat harus diturunkan dosisnya dan dilakukan pemantauan. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT hingga 5 kali dari nilai normal obat harus dihentikan. Pemakaian terapi asam valproat lebih dari 6 bulan meningkatkan SGOT dan SGPT, biasanya pemantauan enzim hati dilakukan setiap 3 bulan sekali (Jackson dan Williams, 2012). Salah satu obat yang biasa digunakan pada anak untuk menurunkan kadar SGOT dan SGPT adalah kurkuma, yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT dan SGPT (Husnul, 2008). Terapi asam valproat kurang dari 6 bulan dapat juga menimbulkan efek samping, namun jarang terjadi tergantung pada imunitas setiap anak, karena efek samping yang berat akan timbul pada terapi jangka panjang (Engel, 2008).Data pemeriksaan terhadap gangguan fungsi hati akibat asam valproat belum ada di RSUDZA. Berdasarkan keadaan diatas penulis berminat untuk mengetahui Gambaran Hasil Pemeriksaan Kadar SGOT dan SGPT Pada Anak Epilepsi yang Mendapat Monoterapi Asam Valproat di Poliklinik Anak RSUDZA Banda Aceh.

1.2 Rumusan MasalahBagaimanakah gambaran hasil pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT pada anak epilepsi yang mendapat monoterapi asam valproat?

1.3 Tujuan Penelitian1.3.1Tujuan Umum Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT pada anak epilepsi yang mendapat monoterapi asam valproat.

1.3.2Tujuan Khusus 1. Mengetahui peningkatan kadar SGOT dan SGPT berdasarkan usia 2. Mengetahui peningkatan kadar SGOT dan SGPT berdasarkan jenis kelamin 3. Mengetahui peningkatan kadar SGOT dan SGPT berdasarkan lama terapi

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1Manfaat Teoritis 1.Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian tentang Monoterapi asam valproat.. 2.Penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti dan menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2Manfaat Praktis 1.Sebagai bahan informasi bagi manajemen RSUDZA kota Banda Aceh tentang gambaran hasil pemeriksaan SGOT dan SGPT anak epilepsi dengan monoterapi asam valproat, yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memberikan pengobatan epilepsi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi. 2.Dapat menambah pengetahuan kepada pasien tentang efek samping asam valproat.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Epilepsi2.1.1Definisi Epilepsi Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hipokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan saraf yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia (Harsono, 2001). Epilepsi menurut Word Health Organization (2009) adalah sebuah penyakit kronik yang ditandai oleh adanya bangkitan kejang berulang. Bangkitan terjadi secara tiba-tiba dan biasanya singkat, terjadi akibat gangguan listrik dalam sel otak (saraf). Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) (Hirsch dan Pedley, 2006).Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, jenis serangan, faktor pencetus, dan nyeri kronik (Soetomenggolo dan Imael, 1999).

2.1.2Epidemiologi EpilepsiEpilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 jiwa sementara di negara berkembang mencapai 100/100.000 jiwa (Pinzon, 2007). Epilepsi pada anak terjadi sekitar 2-3 % pada populasi anak di Amerika Serikat (Childrenmercy, 2012). Insiden epilepsi per 100.000 populasi pada usia 1-5 tahun didapatkan 62 anak, pada usia 5-9 tahun didapatkan 50 anak serta pada usia 10-14 tahun 39 Anak. Pada 65% pasien epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak (Alper et al., 2006). Prevalensi epilepsi- menurut penyebab terjadinya bangkitan selama 4 tahun terakhir di Indonesia didapatkan 13.0% (Suwarba, 2011).

2.1.3 Etiologi EpilepsiDitinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu : (Ozuna dan Sivren, 2005; Tarwoto et al., 2007). 1.Epilepsi idiopatik Epilepsi jenis ini tidak diketahui penyebabnya, kurang lebih 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai kelainan bawaan, awitan biasanya pada usia di atas 3 tahun. Perkembangan ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat-alat diagnostik yang canggih menyebabkan makin sedikit kasus yang ditemukan dari kelompok ini.2. Epilepsi simptomatik Epilepsi ini disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Seperti trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asfiksia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol dan obat) dan kelainan neurodegeneratif.

2.1.4 Klasifikasi Kejang dan EpilepsiKlasifikasi kejang dan epilepsi adalah suatu metode identifikasi pengelompokan kejang dan epilepsi berdasarkan berbagai aspek, sehingga mempermudah dalam melakukan diagnosis, penanganan dan prognosis gangguan kejang (Brashers, 2007). Klasifikasi kejang demam dan epilepsi bermanfaat untuk mengetahui dan memahami informasi mengenai kejang dan demam, tidak hanya terbatas pada kepentingan akademik dan teoritis semata (Alper et al., 2006). Klasifikasi epilepsi ada dua yang direkomendasikan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989 (Brodie dan Diechter, 1996). International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi).

Tabel 2.1 Klasifikasi Tipe Kejang I. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)

A. Kejang Parsial Sederhana 1. Dengan gejala motorik 2. Dengan gejala somato sensorik atau sensori khusus 3. Dengan gejala otonomik4. Dengan gejala psikisB. Kejang Parsial Komplek1. Dimulai dengan kejang parsial sederhana kemudian berkembang kegangguan kesadaran2. Dengan gangguan kesadaran sejak pertama kali serangan

II. Kejang UmumA. 1. Kejang Absence 2. Kejang Atypical AbsenceB. Kejang MioklonikC. Kejang KlonikD. Kejang TonikE. Kejang Tonik-Klonik F. Kejang Atonik

Sumber : (Katzung et al., 2010).

International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1989 juga menetapkan klasifikasi epilepsi berkaitan dengan letak fokus.1. Berkaitan dengan letak fokus a.Idiopatik1. Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsi with centro temporal spike) 2. Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital b.Simptomatik: Lobus temporalis, frontalis, parietalis, oksipitalis.2. Umum a. Idiopatik: kejang neonatus familial benigna, kejang neonatus benigna, kejang epilepsi mioklonik pada bayi, epilepsi absans pada anak, epilepsi absans pada remaja, epilepsi mioklonik pada remaja, epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga, epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak.b. Simptomatik: sindroma West (spasmus infantil) dan sindroma Lennox Gastaut. 3.Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2): Serangan neonatal. 4.Epilepsi yang berkaitan dengan situasi: kejang demam, berkaitan dengan alkohol dan obat-obatan, eklampsia, serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi).Konsep bermanfaat yang muncul dari klasifikasi baru tahun 2005 adalah pengakuan bahwa kejang dapat dibagi menjadi dua tipe dasar: kejang yang asalnya parsial atau fokal dan kejang yang tampaknya generalisata sejak semula. Kejang parsial dibagi lagi menjadi kejang dengan kesadaran utuh (kejang parsial sederhana) dan kejang dengan kesadarannya terganggu atau hilang (kejang parsial kompleks). Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang generalisata (kejang generalisata sekunder) (Alpers et al., 2006).a. Kejang ParsialKejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya kortek serebrum. Gejala kejang bergantung pada lokasi fokus otak (Price, 2006). Pada kejang parsial, beberapa pasien akan mengalami gangguan motorik atau sensorik saja. Kejang parsial sederhana berasal dari gangguan yang spesifik pada suatu daerah otak dimana pasien tetap sadar atau setengah sadar dengan keadaan sekitar. Walaupun demikian, beberapa pasien akan mengalami tanda berupa gejala kompleks seperti sendawa, kecemasan, pusing atau gerakan involuntir. Hal ini dikenal dengan kejang parsial kompleks dan biasanya susah untuk ditegakkan diagnosis mengingat banyaknya manifestasi klinis yang muncul (WHO, 2009). Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum sekunder. Kejang umum sekunder biasanya tonik klonik (Brashers, 2007).b. Kejang UmumKejang umum terjadi ketika seluruh bagian otak mengalami kelainan dan terdapat kehilangan kesadaran. Kejang dapat bersifat konvulsif (contohnya kejang umum tonik-klonik) atau nonkonvulsif (contohnya mioklonik, tonik atau atonik dan absens). Kejang umum dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan gejala klinis (Rohkamm, 2004).

2.1.5 PatofisiologiSampai saat ini belum diketahui dengan baik mekanisme terjadinya bangkitan epilepsi. Faktor yang ikut berperan diantaranya : gangguan pada membran sel neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinap dan pasca sinap, serta gangguan pada sel glia (Soetomenggolo dan Imael, 1999). 1. Gangguan pada membran sel neuron. Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Potensial membran ini dapat terganggu dan berubah oleh berbagai hal, misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis atau kimiawi, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, dan pengaruh kelainan genetik (Soetomenggolo dan Imael, 1999). Keseimbangan yang terganggu dan sifat semi-permeabel yang berubah akan menyebabkan ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial-aksi terbentuk di permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabilitas ion meningkat pada bangkitan epilepsi banyak dianut saat ini. Tampaknya semua kejang apapun pencetus atau penyebabnya disertai berkurangnya ion kalium dan meningkatnya konsentrasi ion natrium di dalam sel (Soetomenggolo dan Imael, 1999).2. Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinap dan pasca-sinap. Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinap-sinap. Potensial-aksi yang terjadi pada satu neuron dihantarkan melalui neuroakson yang kemudian membebankan zat transmiter pada sinap yang mengeksitasi atau menginhibisi membran pascasinap. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamic acid) mengakibatkan depolarisasi zat transmiter inhibisi GABA (gama amino butyric acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinap (Soetomenggolo, 1999). Keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi terjadi dalam keadaan normal. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang (Raharjo, 2007). Kejang terjadi akibat interaksi sinkron sejumlah besar neuron yang memiliki pola lepas muatan yang abnormal (Alpers, 2006). Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi, eksitasi yang lebih unggul dan dapat menimbulkan bangkitan epilepsi. Fosfat-piridoksal penting untuk sintesis GABA, defisiensi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan kejang pada bayi (Pinzon, 2007). 3. Gangguan pada sel glia. Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra-selular di sekitar neuron dan terminal presinap. Suatu keadaan cedera fungsi glia atau gliosis, yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstraselular dapat terganggu dan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitasnya sel neuron di sekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstraselular dibanding intraselular dapat mendepolarisasi membran neuron (Pinzon, 2007). Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih dalam cairan interstisial yang mengitari sel neuron (Soetomenggolo dan Imael, 1999). Kelompok sel neuron yang abnormal ini yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi yang umum maupun yang fokal (parsial). Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan, maka didapatkan 3 kemungkinan: 1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya melainkan terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut, kemudian berhenti (kejang parsial) 2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu namun tidak melibatkan seluruh otak kemudian menjumpai tahanan dan berhenti (kejang parsial3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak dan kemudian berhenti (kejang umum) (Raharjo, 2007).Sel neuron masih imatur pada bayi dan anak-anak sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi dan infeksi. Efek ini dapat berupa gangguan atau kerusakan neuron serta sel glia, yang kemudian dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi dan gangguan metabolisme, semuanya dapat berkembang menjadi epilepsi. Anak tanpa kematian atau kerusakan sel-sel otak dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Pada keadaan itu proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, terjadi melalui mekanisme yang sama (Raharjo, 2007).

Gambar 2.1. Mekanisme epilepsi (Katzung et al., 2010)

2.1.6 Diagnosis EpilepsiDiagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat penyakit pasien secara dilakukan dengan anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan neurologi, dan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) (Sunaryo, 2007).

2.1.7 Tatalaksana epilepsiTatalaksana epilepsi meliputi obat-obatan, pembedahan, diet khusus, terapi komplemen atau stimulasi nervus vagus (Lowenstein et al., 2008). Kebanyakan kasus epilepsi dapat sembuh diobati dengan obat antiepilepsi (OAE) (Word Health Organization, 2009). Keluarga yang memiliki anak yang menderita epilepsi memiliki hak mengetahui secara jelas dan tepat tentang informasi mengenai kondisi sindrom epilepsi dan pengobatannya. Sebuah survei telah melaporkan bahwa sampai dengan 90% dari mereka ingin informasi lebih lanjut tentang penyebab epilepsi, efek dan interaksi obat-obatan anti epilepsi agar terhindar dari situasi yang perpotensi membahayakan pasien (Shorvon, 1995)Prinsip pengobatan epilepsi adalah Start low go slow yaitu memulai monoterapi dengan dosis kecil yang kemudian dinaikkan secara bertahap tergantung dengan respon pasien lalu menurunkan dosis secara perlahan sebelum berhenti mengkonsumsi OAE. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mencapai pengontrolan kejang secara maksimal dengan efek samping minimal (Gidal dan Garnett, 2005). Penggunaan OAE merupakan metode terapi yang paling penting dalam penanganan pasien epilepsi (Word Health Organization, 2009). Sebanyak 70% dari semua pasien epilepsi dengan kejang dapat dikendalikan secara menyeluruh dengan menggunakan obat. Sedangkan 20-25% sisa nya mengalami penurunan frekuensi dan keparahan setelah menggunakan OAE. Umumnya hanya dengan penggunaan 1 jenis OAE dapat mengatasi kejang yang timbul pada pasien epilepsi (Lowenstein et al., 2008).Obat anti epilepsi sendiri memiliki berabagai macam variasi. Berdasarkan ketersediaannya OAE terbagi menjadi 2 yaitu obat dengan half-lives yang panjang seperti fenitoin, fenobarbital, dan etosusimid sehingga obat ini cukup dikonsumsi 1 kali sehari. Asam valproat dan carbamazepine memilik half-lives yang lebih pendek sehingga konsumsinya pun lebih dari 1 kali sehari. Setiap OAE memiliki efektifitas yang berbeda-beda pada tipe kejang tertentu (Ropper dan Brown, 2005). Asam valproat adalah jenis yang paling sering digunakan pada anak, hal ini dipertimbangkan berdasarkan tingkat efektifitas obat dalam mengontrol kejang (Benitez et al., 2010). Terapi harus dimulai dari satu jenis obat, walaupun untuk anak dengan lebih dari satu tipe kejang, karena sebagian obat relatif lebih efektif untuk beberapa tipe kejang daripada yang lain. Pemilihan obat harus dilakukan dengan selalu mengingat tipe kejang anak (Alper et al., 2006).Manejemen terapi epilepsi berlangsung selama 2 tahun atau lebih (Kustiowati et al., 2012). Sering pula terjadi bahwa terapi selama bertahun-tahun memberikan hasil yang baik kemudian mengalami kemunduran dimana serangan tidak dapat dikontrol lagi oleh obat yang selama ini diberikan. Dalam keadaan tersebut perlu diselidiki kepatuhan penderita minum obat, dosis obat yang diberikan atau adanya faktor lain yang mengurangi efek pengobatan (Fajriman, 2011).Penggunaan OAE harus hati-hati dan tidak sembarangan pada waktu menghentikan konsumsi obat tersebut. Penghentikan konsumsi OAE secara tiba-tiba dapat menyebabkan peningkatan frekuensi kejang atau status epileptikus (Ropper dan Brown, 2005). Penghentian pengobatan dilakukan bila penderita dalam 2 tahun terakhir tidak mengalami serangan dan EEG menjadi normal atau tidak menunjukkan kelainan non spesifik. Penghentian obat anti epilepsi tidak boleh tiba-tiba, akan tetapi secara bertahap yaitu dosis diturunkan sekitar 25% dari dosis sebelumnya setiap 2-3 bulan dan dalam jangka waktu 6-9 bulan (Mathew, 2008).

2. 2 Terapi Epilepsi dengan Asam ValproatAsam valproat adalah OAE spektrum luas, sejenis asam lemak atau karboksilat aktif yang mempunyai aktivitas antiepilepsi. Kemampuan paling kuat terdapat pada senyawa dengan rantai karbon panjang sampai 5 atau 8 atom (Katzung et al., 2010). Nama asam valproat adalah nama generik dari obat antiepilepsi digunakan secara luas. Asam valproat di Amerika Serikat dan Kanada dikenal dengan nama merek depakene, nama merek di Inggris adalah convulex (Fagundes, 2008). Nama merek yang digunakan di negara lain termasuk fepakine, orfiril, valporal, dan valprosid. Mekanisme kerjanya berdasarkan hambatan enzim yang menguraikan GABA (y-amino-butyric acid) sehingga kadar neurotransmiter ini meningkat di otak (Vlase et al., 2008). Berdasarkan monografi Katzung et al (2010), asam valproat memiliki struktur molekul sebagai berikut : CH3 CH2 CH2 CH COOH CH3 CH2 CH2

Gambar 2.2 Stuktur Molekul Asam Valproat (Sumber : Katzung et al., 2010).

Gambar diatas merupakan cabang rantai sederhana dari asam karboksilat. Rantai cabang asam karboksilat berpotensi mirip dengan asam valproat dalam mengantagonis kejang. Penambahan jumlah atom C ke-9 memperlihatkan kemampuan sedatif dari obat ini. Asam dengan rantai lurus aktivitasnya kecil atau tidak memiliki aktivitas sama sekali. Farmakologi asam valproat sama dengan karbamazepin dan fenitoin (Verrotti et al., 2010).

2.2.1 Indikasi Pemakaian Asam ValproatAsam valproat adalah OAE yang efektif sebagai pengobatan terhadap berbagai macam tipe kejang pada dewasa maupun anak (Verrotti et al., 2010). Asam valproat mempunyai kemampuan yang unik dalam mengontrol kejang mioklonik tertentu, dalam beberapa kasus memperlihatkan hasil yang sangat baik. Obat ini efektif dalam mengobati beberapa pasien dengan serangan atonik yang dapat berespon dengan baik, dan beberapa bukti menunjukkan bahwa obat ini efektif untuk kejang parsial (Katzung et al., 2010).

2.2.2 Farmakologi Asam ValproatAsam valproat mempunyai kandungan asam karboksilat memiliki daya antikejang diperkirakan bekerja dengan menghambat kerja neurotransmitter, asam valproat digunakan secara klinis untuk mengendalikan berbagai jenis kejang termasuk grandmal, petit mal dan parsial kompleks (Anderson, 2002; Sacher et al., 2004).Lama kerja antikejang tidak banyak berkorelasi dengan kadar obat asli dalam darah atau jaringan. Penelitian Loscher (2002) menyebutkan bahwa jenis atau cara kerja asam valproat menimbulkan banyak spekulasi, seperti fenitoin dan karbamazepin, asam valproat menghambat cetusan berulang frekuensi tinggi dari saraf kultur yang sesuai dengan kadar obat untuk terapi. Kemampuannya terhadap kejang parsial barangkali akibat efeknya terhadap arus Na+. Perhatian telah banyak diberikan terhadap pengaruh asam valproat terhadap GABA. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan GABA di otak setelah pemberian valproat meskipun mekanismenya belum jelas. Konsentrasi asam valproat yang tinggi dapat meningkatkan konduktan membran kalium, sebaliknya konsentrasi rendah akan menimbulkan hiperpolarisasi potensial membran. Penemuan ini menimbulkan spekulasi bahwa valproat bekerja secara langsung pada saluran kalium membran. Asam valproat bekerja dengan spektrum luas melalui beberapa mekanisme molekular (Katzung et al., 2010).2.2.3 Farmakokinetik Asam ValproatWaktu kerja asam valproat mencapai 2-4 hari, dibutuhkan beberapa minggu untuk dapat mencapai kadar terapi maksimal. Kadar serum yang dianjurkan untuk epilepsi adalah 50120 mg/L (350830 mol/L), namun beberapa pasien dapat mentoleransi kadar serum hingga 150 mg/L. Tremor, iritabilitas, kebingungan dan kelelahan mungkin dapat muncul pada kadar serum >100150 mg/L. Bioavailabilitas kapsul oral 93 13% dengan level puncak 1-2 hari setelah dikonsumsi dan 80 7% untuk 250 mg suposutoria (Anderson, 2002). Asam valproat diabsorbsi dengan cepat dan utuh setelah pemberian oral. Puncak konsentrasi plasma 1-4 jam, walaupun dapat menjadi lebih lambat jika diberikan dalam bentuk tablet salut atau diberikan bersama makanan. Volume distribusinya 0,2 L/Kg ikatan protein plasma 90%, fraksi obat yang terikat berkurang bila konsentrasi total asam valproat ditingkatkan selama terapi. Umumnya 95% metabolisme terjadi di dalam hati melalui glukoronoid dan beta oksidasi mitokondria, dengan kurang dari 5% diekskresikan secara utuh melalui urin (Anderson, 2002).

2.2.4 Farmakodinamik Asam ValproatAsam valproat terionisasi penuh pada pH tubuh sehingga bentuk aktif obat tersebut diperkirakan adalah ion valproat tanpa menghiraukan apakah asam valproat atau garamnya yang diberikan. Asam valproat menghambat penguraian neurotransmiter inhibitorik GABA dengan cara hambatan terhadap enzim GABA-aminotransferase kenaikan GABA di sinaps (Katzung et al., 2010).

2.2.5 Interaksi Obat dan Kontraindikasi Asam Valproat Academy American of Pediatrics (AAP) melarang pemberian asam valproat sebagai politerapi pada anak kurang dari 3 tahun (Soetomenggolo dan Imael, 1999). Pasien dengan penyakit hati atau disfungsi hati (Goldenberg, 2010), pasien dengan hipersensitif (Fagundes, 2008). Kerja asam valproat dapat diperlambat dengan pemberian bersamaan karbamazepin, lamotrigin, fenitoin atau rifampin. Pemberian bersamaan dengan aspirin, klorpromazin, simetidin dan felbamat dapat meningkatkan kerja asam valproat. Kerja lamotrigin dan fenobarbital dapat ditingkatkan dengan pemberian asam valproat (Katzung et al., 2010).

2.2.6 Bentuk Sediaan dan Dosis Asam ValproatAsam valproat tersedia dalam bentuk kapsul 250 mg; sirup 50 mg/L dan injeksi 100 mg/L (Anderson, 2002). Asam valproat dapat diberikan 1, 2 atatu 3 kali sehari. Dosis awal yang biasa diberikan 400-500 mg perhari dan dapat dinaikkan sebanyak 200-250 mg setiap minggu, Sedangkan untuk dosis rumat biasanya untuk pasien dewasa berkisar antara 600-1500 mg sehari dan anak-anak 30-50 mg/kgBB/hari (Shorvon, 2005).

2.2.7 Pematauan Terapi Asam ValproatPemeriksaan fungsi hati dan platelet dilakukan sebelum dimulainya terapi dan selama terapi khususnya pada 6 bulan pertama penggunaan. Pemantuan kadar asam valproat di dalam serum diperlukan secara periodik, yaitu untuk mengetahui perlukannya pergantian dosis dan sebagai evaluasi terhadap efek samping yang merugikan (Katzung et al., 2010).

2.2.8 Efek samping Asam Valproat Efek samping yang paling sering terjadi adalah gangguan fungsi hati, dan gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual dan muntah yang mencapai 16% pasien. Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, gagal hati akut, pankreatitis akut dan diskrasia darah (trombositopenia, anemia dan leukopenia). Gejala intoksikasi berupa mengantuk, vertigo dan perubahan prilaku. Efek pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan prilaku, tremor, bertambahnya berat badan, rambut rontok dan penyakit perdarahan (Engel, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Attilakos et al (2006) efek samping gangguan fungsi hati dapat terjadi 95% setelah 6 bulan terapi, namun umumnya terjadi pada 3 bulan masa terapi.

2.3Hubungan Ganggguan Fungsi Hati dengan Asam valproatGangguan fungsi hati adalah kerusakan atau jejas pada sel hati akibat penggunaan obat atau bahan kimiawi. Secara umum mekanisme gangguan fungsi hati akibat obat dapat terjadi pada beberapa gangguan diantaranya adalah (Sudoyo et al., 2009). 1. Kerusakan hepatositIkatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang aktin pada permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit. 2. Gangguan transport proteinObat yang mempengaruhi transport protein pada membran kanalikuli dapat mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan pompa transport misal multidrug resistanceassociated protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis. 3.Aktivasi sel T sitolitikIkatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan sel T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset. 4. Apoptosis hepatositAktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF Menyebabkan berkumpulnya caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis). 5. Gangguan mitokondriaBeberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada I-oksidasi (mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat sintesis dinucleotide adenine nicotinamide dan dinucleotide adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi ATP) dan enzim rantai respirasi. 6. Kerusakan duktus biliarisMetabolit racunnya diekresikan diempedu dapat menyebabkan kerusakan epitel duktus biliaris.Pemakaian asam valproat dapat mengakibatkan gangguan pada mitokondria dan beta-oksidasi. Asam valproat adalah OAE spektrum luas sebagai obat lini pertama terapi epilepsi. Terapi epilepsi berlangsung hingga bertahun-tahun menyebabkan timbulnya efek samping yang berbahaya yaitu kerusakan hati (Silva et al., 2008).

Gambar 2.3 Mekanisme Asam Valproat dalam Kerusakan hati(sumber : Silva et al., 2008 )

Asam valproat merupakan sejenis asam lemak rantai panjang. Asam valproat umumnya 95% di metabolisme terjadi di dalam hati melalui glukoronoid dan beta-oksidasi mitokondria. Asam valproat sangat terikat pada protein plasma sehingga menghambat aktivitas glucose transport 1 (GLUT-1) akibatnya terjadi gangguan pada mitokondria. Mitokondria adalah badan energi sel yang berisi protein, fungsinya sebagai pembentukan Adenosine Trihosphate (ATP) dan metabolisme oksidatif. Asam valproat mengalami metabolisme melalui jalur endogen di dalam mitokondria dengan fasilitasi karnitin, asam valproat menguras cadangan karnitin sehingga karnitin mengalami penipisan dan menyebabkan penurunan karnitin terutama pada terapi jangka panjang. Penurunan karnitin dapat mengganggu pengangkutan rantai panjang asam lemak kedalam mitokondria sehingga proses beta-oksidasi dalam memproduksi asetil koenzim ATP berkurang (Silva et al., 2008). Untuk memperoleh energi, asam lemak dapat dioksidasi dalam proses yang dinamakan beta-oksidasi. Sebelum dikatabolisir dalam beta-oksidasi, asam lemak harus diaktifkan terlebih dahulu menjadi asil-KoA. Dengan adanya ATP dan Koenzim A, asam lemak diaktifkan dengan dikatalisir oleh enzim asil-KoA sintetase (Tiokinase). Apabila proses beta-oksidasi ini terganggu maka kemampuan metabolisme lemak untuk menghasilkan ATP berkurang dan lemak akan tertimbun didalam sel (Sylvia dan Lorraine, 2006). Penelitian yang dilakukan Suchy et al (2007) juga menyebutkan bahwa kerusakan hati yang disebabkan oleh asam valproat terjadi akibat asam valproat menghambat proses beta-oksidasi dari asam lemak sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak non-esterifikasi serta menghambat proses glukoneogenesis akibat berkurangnya kadar serum karnitin, yakni suatu metabolit yang berkaitan pada proses masuknya asam lemak ke membran dalam mitokondria untuk proses beta-oksidasi. Kekurangan karnitin dapat berakibat terjadinya reduksi pada metabolisme asam lemak, sehingga terjadi penimbunan dengan lemak di hati. Karnitin merupakan suatu bentuk derivat dari asam amino meteonin dan lisin. Karnitin merupakan kofaktor yang memfasilitasi perpindahan asam lemak rantai panjang yang melewati mitokondria. Karnitin sangat berperan penting dalam proses oksidasi asam lemak agar bisa masuk kedalam mitokondria, asam lemak merupakan sumber energi yang sangat penting (Mahan dan Escott, 2008).Attilakos et al ( 2006) dalam penelitiannya tentang efek monoterapi asam valproat terhadap konsentrasi asam urat serum dan fungsi hati pada 28 anak epilepsi menyebutkan bahwa setelah pemakaian monoterapi dengan asam valproat selama 6 dan 12 bulan atau lebih dengan usia 1-15 tahun, terjadi kenaikan SGPT yang bermakna secara statistik (p>0.05) dibandingkan dengan kadar SGPT sebelum terapi asam valproat. Penelitian yang dilakukan oleh Solehiomran dan Kordkheily (2010) tentang efek antikejang (fenobarbital dan asam valproat) dengan total sampel 123 anak epilepsi menunjukan bahwa setelah pemakaian asam valproat selama 3 sampai 6 bulan, terjadi kenaikan SGOT, akan tetapi lebih meningkat SGPT pada anak yang menggunakan antikejang. Sebanyak 60% pasien mendapat terapi asam valproat mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT sebesar 1 kali dari nilai normal setelah 6 bulan terapi. Laporan penelitian oleh Freudenmann et al (2012) menyebutkan dari total sampel 130 kasus yang terdiri dari 76 perempuan dan 54 laki-laki dengan usia 0-16 tahun. Penggunaan asam valproat pada anak yang menderita epilepsi terjadi kerusakan hati sebanyak 34,8% dengan monoterapi asam valproat, sedangkan pemberian asam valproat dengan kombinasi obat lainnya menyebabkan kerusakan hati sebanyak 65,2%.Penelitian di atas menyebutkan bahwa pemakaian terapi asam valproat jangka panjang akan mengakibatkan kerusakan hati. Kerusakan hati terjadi 95 % setelah terapi lebih dari 6 bulan. Risiko ini lebih tinggi pada anak kurang dari 2 tahun yang diberikan terapi asam valproat. Pemantauan fungsi hati harus direkomendasikan saat awal pemberian terapi. Kerusakan hati dapat bersifat reversibel pada beberapa kasus jika obat ini dihentikan kegunaannya. Pengukuran tes fungsi hati seperti SGOT dan SGPT dilakukan setiap 3 bulan sekali selama masa terapi. Jika peningkatan sebesar 1 sampai 3 kali nilai normal obat harus diturunkan dosisnya sampai nilai kembali normal dan dilakukan pemantauan ulang, bila terjadi peningkatan 5 kali dari nilai normal maka obat harus dihentikan (Jackson dan Williams, 2012).

2.4 Pemeriksaan fungsi hatiPemeriksaan fungsi hati bisa membantu mengevaluasi kesehatan hati dan mengindikasi kemungkinan penyakit lain. Pemeriksaan fungsi hati pada umumnya termasuk dalam kelompok tes darah yang bertujuan untuk mengukur enzim atau protein tertentu dalam darah (Sherlock dan Dooley, 2002). Pemeriksaan ini dapat membantu mendeteksi, mengevaluasi, dan memantau penyakit atau kerusakan hati. Peningkatan atau penurunan kadar protein dan enzim tertentu dalam darah di luar kadar normal mengindikasikan adanya masalah di hati (Dufour et al., 2007). a. Serum Glutamic Piruvic Transaminase (SGPT)Enzim SGPT ditemukan terutama di dalam sel hati. Serum Glutamic Piruvate Transaminase membantu metabolisme protein dalam tubuh. dalam kondisi normal kadar SGPT rendah di dalam darah. Tingginya kadar SGPT mengindikasikan adanya kerusakan hati. Nilai normal SGPT adalah : 0-37 U/L.a. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT)Enzim SGOT berperan dalam metabolisme alanine. Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase ditemukan dalam kadar yang tinggi di sel-sel hati, jantung dan otot-otot lainnya. Kadar SGOT ditemukan tinggi di dalam darah mengindikasikan adanya kerusakan atau penyakit hati. Nilai normal SGOT adalah : 0-31 U/LPemeriksaan SGOT dan SGPT diperiksa menggunakan metode International Federation of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine (IFCC), diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri, semiotomatis dan otomatis (Sardini, 2007). Enzim SGOT dan SGPT mencerminkan keutuhan sel hati. Adanya penigkatan enzim hati mencerminkan tingkat kerusaka sel hati. Semakin tinggi kadar enzim SGOT dan SGPT akan semakin berat kerusakan sel hati (Cahyono dan Suharjo, 2009). Peningkatan nilai rujukan SGOT/SGPT dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Canta et al., 2005) :1. Ringan , kurang dari 2 kali nilai normal Perlemakan hati, sirosis laennec, sirosis biliaris, toksisitas obat2. Sedang, 2-5-kali nilai normalInfeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif, sumbatan empedu ekstra hepatik3. Berat, di atas 5 kali nilai normal Hepatitis viral akut, nekrosis hati dan dapat disebabkan oleh toksisitas obat atau bahan kimia

2.4.1 Metode Pemeriksaan SGOT dan SGPT Kinetik enzim adalah ilmu yang mempelajari sifat kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim. Kecepatan reaksi enzimatik sebagian diatur oleh konsentrasi enzim dan konsentrasi substratnya (Sardini, 2007). Metode ini digunakan pada laboratorium di rumah sakit ataupun di laboratorium klinik, Rumah sakit Zainoel Abidin Banda Aceh menggunakan metode ini, dengan reagen yang sesuai kebutuhan metode dan alat yang digunakan.

2.4.2 Cara Pemeriksaan RSUDZA Banda Aceh a. Pembuatan Serum 1. Tabung yang berisi sampel darah dimasukkan dalam termos es agar darah membeku.2 Menyentrifus darah yang sudah membeku dengan kecepatan 3600 rpm selama 10 menit. .3 Mengambil supernatan (bagian yang bening) dari hasil sentrifus dan memasukkannya ke dalam tabung yang bersih dan kering. b. Pemeriksaan Kadar SGPT/SGOT 1. Persiapan Reagen 2. Mencampur 4 bagian dari R1 dengan 1 bagian dari R2. Untuk melakukan pemeriksaan terhadap satu sampel diperlukan perbandingan 800 ul R1 + 200 ul R2 = monoreagen, sehingga untuk 30 sampel diperlukan campuran R1 dan R2 sebesar 24.000 ul R1 + 6.000 ul R2. c. Prosedur Pemeriksaan kadar SGPT/SGOT 1. Campur, membaca absorbansi setelah 1 menit. Membaca absorbansi 1, 2 dan 3 pada panjang gelombang 340 nm, faktor 1745, program K.20 dan pada suhu 37 0C.

2.5 Kerangka TeoriEpilepsi

Pengobatan Monoterapi asam valproatEngel, 2008-Efek samping -gangguan gastrointestinal -kenaikan berat badan -intoksikasi -idiosintratik -gangguan fungsi hati

Silva et al., 2008-Gangguan fungsi hatiAsam ValproatMetabolisme di hatiTerikat pada proteinKadar protein menurunGangguan pada mitokondriaMenghambat proses -oksidasiPenurunan karnitinAsam lemak meningkatMenghambat proses glukoneoginesisPenimbunan asam lemakPeningkatan SGOT dan SGPT

Gambar 2.4 Kerangka TeoriKeterangan : : Melalui jalur penelitian : Tidak melalui jalur penelitian

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian berupa observasional yang bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Anak dan Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh. Pengambilan data awal dimulai dari Juli 2012 hingga Desember 2012. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 05 Februari s/d 28 Februari 2013.

Kerangka Konsep :Asam ValproatHasil SGOT dan SGPT

Variabel Independen Variabel Dependen Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Penderita epilepsi yang datang berobat di bagian Poliklinik Anak RSUDZA Banda Aceh sejak 01 Januari hingga 31 Desember 2012.

3.3.2 Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah pasien epilepsi yang berobat di bagian poliklinik anak RSUDZA pada periode 1 januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2012 berjumlah 142 anak dan yang menggunakan monoterapi asam valproat hanya 69 anak.

3.3.3 Teknik Pengambilan Subjek PenelitianPengambilan subjek penelitian pada penelitian ini adalah dengan metode total sampling, yaitu seluruh pasien yang datang ke poliklinik anak RSUDZA Zaenoel Abidin pada periode 1 januari 2012 sampai dengan 31 Desember 2012 yang telah memenuhi kriteria inklusi (Notoatmodjo, 2010).Kriteria Inklusi :1. Pasien anak yang telah didiagnosis epilepsi oleh Dokter Spesialis2. Usia 1-15 tahun3. Mendapat monoterapi asam valproat setelah lebih dari 6 bulan pengobatan4. Pasien anak yang telah dilakukan pemeriksaan SGOT dan SGPT5. Memiliki data rekam medik lengkap untuk keperluan penelitianKriteria Eksklusi :1. Pasien anak yang tidak mendapatkan monoterapi asam valproat2. Pasien anak yang menderita penyakit hati sebelumnya3. Pasien anak yang tidak dilakukan pemeriksaan SGOT dan SGPT

3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui data umum pasien, riwayat pengobatan, riwayat pemeriksaan SGOT dan SGPT dan riwayat penyakit epilepsi (lama menderita epilepsi, jenis bangkitan epilepsi, usia awitan, lama pengobatan, jenis obat antiepilepsi: asam valproat) peneliti mengambil data dari rekam medik pasien. 2. Untuk mengetahui peningkatan enzim transaminase (SGOT dan SGPT) melihat nilai rujukan peningkatan dari SGOT dan SGPT.

3.5 Variabel Penelitian Variabel independen adalah variabel bebas, dalam penelitian ini adalah penggunaan monoterapi asam valproat, sedangkan variabel dependen adalah variabel terikat, dalam penelitian ini adalah pemeriksaan SGOT dan SGPT.

3.6 Definisi Operasional 3.6.1Penggunaan Monoterapi Asam Valproat Penggunaan monoterapi asam valproat adalah keadaan dimana pasien hanya mengkonsumsi asam valproat saja sebagai terapi epilepsi. Alat ukur yang digunakan adalah lembar data sampel, pengukuran dilakukan dengan membaca rekam medik. Hasil ukur dapat dikategorikan atas: a. Ya b. Tidak Skala pengukuran : Nominal

3.6.2Pemeriksaan SGOT dan SGPTPemeriksaan SGOT dan SGPT adalah suatu pemeriksaan untuk melihat adanya gangguan pada hati. Alat ukur yang digunakan adalah Data Rekam Medik yang telah dilakukan pemeriksaan SGOT dan SGPT. Pengukuran dilakukan dengan membaca rekam medik, Hasil ukur dapat dikategorikan atas :4. Ringan, kurang dari 2 kali nilai normal5. Sedang, 2-5-kali nilai normal6. Berat, di atas 5 kali nilai normal7. Normal SGOT : 0-31 U/L Normal SGPT : 0-37 U/LSkala pengukuran : Ordinal

3.7 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi. Data pada penelitian ini adalah data sekunder. Peneliti mengambil data penelitian dari rekam medik pasien.

3.8Alur Penelitian 1.Peneliti mengajukan surat izin pengambilan data penelitian ke Bagian Rekam Medik dan Bagian Poliklinik Anak RSUDZA Banda Aceh. 2.Memilih sampel yang menggunakan monoterapi asam valproat berdasarkan data pada buku register di Bagian Poliklinik Anak RSUDZA Banda Aceh. 3.Memilih rekam medik sesuai sampel ke Bagian Rekam Medik RSUDZA Banda Aceh. 4.Mencatat data yang diperlukan dalam penelitian. 5. Hasil data dibandingkan dengan kriteria peningkatan enzim SGOT dan SGPT. 6.Melakukan analisis statistik.

3.9 Analisis Statistik 1. Sebelum dianalisis data akan dilakukan pengeditan, diberikan pengkodean, mentabulasi dan dimasukkan kedalam program SPSS di komputer. 2. Data seperti umur, jenis kelamin, Riwayat pemeriksaan SGOT saat lebih dari 6 bulan terapi, lama terapi, dan saat terakhir pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT, dibuat sebagai tabel frekuensi, gambaran dan persentase. 3.Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa univariat, yaitu analisis yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelilitia.

3.10 Alur PenelitianPengajuan Surat Izin Pengambilan Data

Mencatat Nomor Rekam Medik Pasien Epilepsi Anak yang Menggunakan Monoterapi Asam Valproat

Mengambil Rekam Medik Pasien Epilepsi Anak yang Menggunakan Monoterapi Asam Valproat

Memilih Rekam Medik Pasien Epilepsi Anak yang Sesuai Dengan Kriteria Inklusi

Mencatat Nilai SGOT dan SGPT Sebelum dan sesudah terapi

Mencatat Data yang Diperlukan

Melakukan Analisis Statistik

Melaporkan Hasil Penelitian

Gambar 3.2 Alur Penelitian

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil PenelitianPenelitian ini dilakukan di Bagian Poliklinik Anak dan Bagian Instalasi Rekam Medik RSUDZA Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari 2013 di RSUDZA Banda Aceh dengan menggunakan metode Total Sampling yaitu sebanyak 33 subjek penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder dan diambil berdasarkan catatan pada buku registrasi Poliklinik serta catatan pada rekam medik. Data yang diambil terdiri dari data demografi dan data riwayat pengobatan epilepsi. Data demografi meliputi nomor registrasi, nama, jenis kelamin dan tanggal lahir. Data riwayat pengobatan epilepsi meliputi jenis bangkitan epilepsi, tanggal pertama menggunakan monoterapi asam valproat, riwayat pemeriksaan serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) dan serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) serta tanggal kunjungan ketika menggunakan monoterapi asam valproat lebih dari 6 bulan.4.1.1Prevalensi dan Insidensi Epilepsi AnakJumlah kunjungan di Poliklinik Anak RSUDZA Banda Aceh periode Januari-Desember 2012 adalah 5890 kunjungan; 1072 diantaranya adalah kunjungan subdivisi Neurologi dengan 738 kunjungan kasus epilepsi. Jumlah pasien epilepsi anak yang datang berkunjung adalah sebanyak 142 anak. Jumlah pasien epilepsi anak yang menggunakan monoterapi asam valproat adalah 69 subjek penelitian, berdasarkan jumlah tersebut, penelitian ini hanya didapatkan 33 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.

4.1.2Karakteristik Umum Subjek PenelitianPenelitian ini mempunyai karakteristik umum subjek penelitian yang diteliti adalah usia dan jenis kelamin, jenis bangkitan dan lama terapi. Usia dibagi dalam 3 kelompok yakni kelompok 1-5 tahun, kelompok diatas 5-10 tahun dan kelompok diatas 10-15 tahun. Jenis bangkitan epilepsi dikelompokkan menjadi tipe umum dan tipe parsial. Lama terapi obat dikelompokkan menjadi kelompok lama pengobatan 6-12 bulan dan kelompok lama pengobatan diatas 12 bulan.Data karakterikstik umum subjek penelitian dapat dilihat pada tabel. 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1 Karakteristik Umum Subjek Penelitian Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan Lama TerapiKarakteristikn(33)%

Usia

a. 1-5 tahun1236,4

b. >5-10 tahun1545,5

c. >10-15 tahun618,2

Jenis Kelamina. Laki-lakib. Perempuan211263,636,4

Lama Terapi a. 6-12 bulanb. >12 bulan102330,369,7

Keterangan : n= Jumlah, %= Persentase

Hasil penelitian ini secara umum didapatkan jumlah pasien terbanyak pada penelitian ini adalah kelompok usia diatas 5-10 tahun, yaitu sebesar 15 (45,5%) subjek penelitian, sedangkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Jumlah pasien berjenis kelamin laki-laki sebesar 21 (63,6%) subjek penelitian. Penelitian ini didapatkan lama terapi pada terapi lebih dari 12 bulan, yaitu sebesar 23 (69,7%) subjek penelitian.

4.1.3Karakteristik Khusus Subjek PenelitianKarakteristik khusus yang akan dijelaskan pada penelitian ini adalah peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah lebih dari 6 bulan mengunakan asam valproat, tingkatan kenaikan nilai kadar SGOT dan SGPT berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin dan lama terapi.Peningkatan nilai kadar SGOT dan SGPT dalam penelitian ini diklasifikasikan berdasarkan penelitian Marrone et al (2005) yaitu peningkatan ringan kurang dari 2 kali nilai normal, peningkatan sedang 2-5 kali nilai normal, dan peningkatan berat di atas 5 kali nilai normal. Data distribusi frekuensi karakteristik khusus subjek penelitian akan ditampilkan dalam Tabel 4.2, Tabel 4.3, Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 di bawah ini.Tabel 4.2 Peningkatan SGOT dan SGPT Berdasarkan Waktu Pertama Pemeriksaan dan Setelah Lebih Dari 6 Bulan TerapiPeningkatan SGOT/SGPTWaktu Pemeriksaan SGOT/SGPT

nAwalnSetelah >6 bulan

Normal33100%1339,4%

Meningkat 002060,6%

Total3310033100

Keterangan: n= Jumlah, %= Persentase

Dari data di atas, dapat dinyatakan secara persentase bahwa waktu pertama kali dilakukan pemeriksaan nilai kadar SGOT dan SGPT masih dalam keadaan normal sebanyak 33 (100%) subjek penelitian, sedangkan peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah lebih dari 6 bulan terapi terjadi peningkatan adalah sebesar 20 (60,6%) subjek penelitian. Karakteristik lain yang dilihat dalam penelitian ini adalah peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah lebih dari 6 bulan terapi berdasarkan usia, jenis kelamin dan lama terapi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.3 Peningkatan kadar SGOT dan SGPT berdasarkan Usia, Jenis Kelamin dan Lama Terapi. Karakteristikn (20)%

Usia a. 1-5 tahunb. >5-10 tahunc. >10-15 tahun88440,040,020,0

Jenis Kelamina. Laki-lakib. Perempuan13765,035,0

Lama Terapia. 6-12 Bulanb. > 12 Bulan41620,080,0

Keterangan : n = Jumlah, % = Persentase

Data di atas memperlihatkan bahwa pasien yang mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah lebih dari 6 bulan terapi berdasarkan kelompok usia tertinggi adalah usia 1-5 tahun dan diatas 5-10 tahun, untuk jenis kelamin laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dan lama terapi dalam penelitian ini terbanyak yang mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada terapi lebih dari 12 bulan di Poliklinik anak RSUDZA Banda Aceh.Dari data di atas akan dicari kembali persentase hasil peningkatan kadar SGOT dan SGPT berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin dan lama terapi pada karakteristik umum lalu di bagi dengan kelompok usia, jenis kelamin dan lama terapi pada karakteristik yang telah mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT, akan ditampilkan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 4.4 Peningkatan Kadar SGOT dan SGPT berdasarkan Karakteristik Subjek Penelitian Umum dan Subjek Penelitian KhususKarakteristiknNormal%Meningkat%Total

Usiaa. 1-5 Tahunb. > 5-10 Tahunc. > 10-15 Tahun12 15 647233,446,6 33,488466,653,466,6

100100100

Jenis Kelamina. Laki-lakib. Perempuan21128438,041,613762,058,4100100

Lama Terapia. 6-12 Bulanb. > 12 Bulan10236 760.030,541640,069,5100100

Keterangan : n = Jumlah, % = Persentase

Dari data di atas, dapat dinyatakan secara persentase bahwa peningkatan kadar SGOT dan SGPT berdasarkan kelompok usia 1-5 tahun didapatkan sebesar 8 (66,6%) dari 12 subjek kelompok tersebut. Kelompok usia diatas 5-10 tahun didapatkan sebesar 8 (53,4%) dari 15 subjek, sedangkan kelompok usia diatas 10-15 tahun didapatkan sebesar 4 (66,6%) dari 6 subjek penelitian. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki didapatkan sebesar 13 (62,0%) dari 21 subjek, untuk jenis kelamin perempuan didapatkan sebesar 7 (58,4%) dari 12 subjek penelitian. Berdasarkan lama terapi, kelompok lama terapi 6-12 bulan didapatkan sebesar 4 (40,0%) dari 10 subjek, dan kelompok lama terapi diatas 12 bulan didapatkan 16 (69,5%) dari 23 subjek penelitian.

Tabel 4.5 Klasifikasi Peningkatan kadar SGOT dan SGPT Klasifikasi Peningkatan SGOT/SGPTn (33)%

Normal 1339,4

Ringan, 5 x normal00

Keterangan: n= Jumlah, %=Persentase

Dari data di atas, dapat dinyatakan secara persentase bahwa klasifikasi peningkatan kadar SGOT dan SGPT dalam penelitian ini lebih berada pada klasifikasi ringan dibawah 2 kali nilai normal peningkatan yaitu sebesar 20 (60,6%) subjek penelitian, sedangkan pada klasifikasi sedang 2-5 kali nilai normal dan peningkatan berat tidak ditemukan. Dari data tersebut di atas dapat memperlihatkan bahwa pasien yang mengalami gangguan fungsi hati terbanyak di RSUDZA Banda Aceh berada pada klasifikasi ringan yaitu dibawah 2 kali nilai normal peningkatan kadar SGOT dan SGPT.4.2PembahasanPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menilai peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada pasien epilepsi anak yang mendapatkan monoterapi asam valproat lebih dari 6 bulan terapi. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca 142 rekam medik berdasarkan nomor registrasi yang tertera pada buku registrasi Poliklinik anak periode Januari 2012-Desember 2012 dan didapatkan 33 rekam medik yang memenuhi kriteria inklusi. Pemantauan fungsi hati sangat penting bagi pasien yang menggunakan monoterapi asam valproat jangka panjang. Pemantauan dengan pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT setiap 3 bulan terapi sangat dianjurkan untuk menilai adanya gangguan pada hati (Jackson dan Williams, 2012). Hasil penelitian ini yang dilakukan pada 33 pasien yang datang berobat dengan monoterapi asam valproat yang memenuhi kriteria penerimaan, menunjukan bahwa peningkatan kadar SGOT dan SGPT didapatkan sebanyak 20 (60,6%) pasien yang mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah terapi lebih dari 6 bulan. Peningkatan ini disebabkan pemberian asam valproat menghambat proses beta-oksidasi dari asam lemak sehingga terjadi peningkatan kadar asam lemak non-esterifikasi serta menghambat proses glukoneogenesis akibat berkurangnya kadar serum karnitin, yakni suatu metabolit yang berkaitan pada proses masuknya asam lemak ke membran dalam mitokondria untuk proses beta-oksidasi. Kekurangan karnitin dapat berakibat terjadinya reduksi pada metabolisme asam lemak, sehingga terjadi penimbunan lemak di hati . litelatur lainnya juga menyebutkan bahwa Efek samping yang diakibatkan oleh asam valproat 95% umumnya terjadi setelah 6 bulan terapi (Suchy et al ., 2007).Hal ini mendukung pernyataan dari Attlilakos et al (2006) yang menyebutkan bahwa terapi 6-12 bulan atau lebih terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT yang bermakna secara statistik (p>0.05) dibandingkan dengan kadar SGOT dan SGPT sebelum terapi. Kajian oleh Solehiomran dan Kordkheily (2010) tentang efek antikejang (fenobarbital dan asam valproat) dengan total sampel 123 anak epilepsi menunjukan bahwa setelah pemakaian asam valproat selama lebih dari 6 bulan terapi terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT Sebanyak 60% pasien mendapat terapi asam valproat. Namun dalam penelitian ini kadar SGOT lebih banyak meningkat dari pada kadar SGPT. Penelitian ini menemukan kadar SGPT hanya berjumlah 2 pasien yang mengalami peningkatan kadar SGPT, sedangkan sisanya hanya mengalami peningkatan pada kadar SGOT. Hal ini disebabkan karena SGOT ditemukan dalam kadar yang tinggi di sel-sel hati, jantung dan otot-otot lainnyaBerdasarkan kelompok usia, pasien yang paling banyak adalah kelompok usia 1-5 tahun yaitu sebanyak 8 (40,0%), kelompok usia diatas 5-10 tahun yaitu sebanyak 8 (40,0%) dan diatas 10-15 tahun sebanyak 4 (20,0%) pasien yang mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah lebih dari 6 bulan terapi dengan asam valproat. Peningkatan pada usia 1-5 tahun dan diatas 5-10 tahun ini disebabkan oleh karena pada usia tersebut, sistem imunitas tubuh anak belum bekerja begitu optimal sehingga tidak mampu menahan agen kimia yang masuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Attilakos et al (2006) menyebutkan bahwa peningkatan kadar SGOT dan SGPT lebih banyak terjadi pada usia tersebut. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Somnez et al (2006) bahwa peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah lebih dari 6 bulan terapi, dalam penelitiannya juga mendapatkan usia 1-13 tahun terjadi peningkatan SGOT dan SGPT secara statistik.Berdasarkan jenis kelamin, peningkatan kadar SGOT dan SGPT paling tinggi ditemukan pada jenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 13 (65,0%) pasien, hal ini disebabkan oleh karena penelitian ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Sedangkan pada perempuan hanya 7 (35,0%) pasien. Hal ini sesuai dengan pernyataan Solehiomran dan Kordkheily (2010) bahwa insiden lebih banyak pada anak laki-laki sebesar 44,4% dan 15,6% adalah perempuan. Namun hal ini berbeda dengan pernyataan Freudenmann et al (2012) yang menyebutkan kelompok perempuan lebih tinggi dari pada pada laki-laki. Karakteristik lain yang dinilai dalam penelitian ini adalah lama terapi. Berdasarkan lama terapi, nilai peningkatan kadar SGOT dan SGPT dengan lama terapi didapatkan terapi diatas 12 bulan lebih tinggi, yaitu sebanyak 16 (80,0%) dibandingkan dengan lama terapi 6-12 bulan hanya berjumlah 4 (20,0%) pasien. Hal ini sesuai dengan penyataan Jackson dan Williams (2012) yang menyebutkan bahwa lamanya terapi berkaitan dengan terjadi peningkatan kadar SGOT dan SGPT. Berdasarkan klasifikasi peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada penelitian ini didapatkan paling banyak berada pada klasifikasi ringan yaitu sebanyak 20 (60,6%) pasien, peningkatan pada klasifikasi sedang dan berat pasien tidak ditemukan. Jadi penelitian ini hanya mendapatkan pasien dalam klasifikasi ringan. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Solehiomran dan Kordkheily (2010) yang mendapatkan hasil klasifikasi peningkatan ringan sebanyak peningkatan 1 kali dari nilai normal. Namun peningkatan kadar SGOT dan SGPT ini bisa saja banyak terdapat pada klasifikasi sedang atau berat, tergantung pada kerusakan hati yang terjadi.Peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada penelitian ini dapat dipengaruhi oleh toksisitas obat. Silva et al (2008) menyatakan bahwa asam valproat memiliki efek pada gangguan fungsi hati tetapi pada literatur lainnya juga disebutkan bahwa asam valproat juga memiliki efek mual dan muntah (Goldenberg, 2010) serta dapat meningkatkan berat badan (Engel, 2008).

4.3Kelebihan PenelitianDalam penelitian ini mendapatkan data dari peningkatan kadar SGOT dan SGPT ketika 3 bulan pertama menggunakan monoterapi asam valproat yaitu sebesar 11 (33,3%) dari 33 subjek penelitian, klasifikasi saat 3 bulan pertama yaitu berada pada klasifikasi Ringan atau peningkatan kurang dari 2 kali nilai normal didapatkan 11 subjek penelitian. Hal ini sesuai dengan teori Suchy et al (2008) yang menyebutkan bahwa peningkatan kadar SGOT dan SGPT terjadi pada saat lebih dari 6 bulan terapi, tapi umunnya terjadi peningkatan saat 3 bulan pertama terapi. Dalam penelitian ini juga mendapatkan data penurunan kadar SGOT dan SGPT setelah pemberian suplemen kurkuma yaitu sebesar 7 (35,0%) dari 20 (60,6%) subjek penelitian yang mengalami peningkatan kadar SGOT dan SGPT setelah lebih dari 6 bulan terapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Puneet et al (2011) bahawa suplemen kurkuma (mengandung bahan aktif berasal dari rimpang kunyit) sebagai upaya meningkatkan kembali fungsi hati, kurkumin yang terdapat di dalam kunyit mempunyai efek anti peradangan, antioksidan dan imunostimulan yang dapat berfungsi melindungi hati. Kurkumin yang terkandung di dalam kunyit mempunyai sifat anti hepatotoksik yang berkasiat dan terbukti sangat bermanfaat untuk mengembalikan fungsi hati.

4.4 Keterbatasan PenelitianData yang tidak lengkap pada rekam medik maupun buku register menjadi kendala yang berpengaruh pada validitas penelitian ini. Banyak data pada penelitian ini tidak tercantum pada buku register dan maupun rekam medik sehingga terdapat beberapa sampel yang harus di eksklusi agar memenuhi persyaratan.Kehilangan rekam medik juga menjadi kendala karena banyak sampel yang tidak ditemukan rekam medik nya sehingga membuat sampel berkurang. Keterbatasan lainnya dalam penelitian ini adalah referensi yang masih sangat minim sehingga peneliti agak kesusahan dalam menjelaskan fenomena hasil penelitian.Rancangan desain penelitian ini pun masih belum mampu mewakili data peningkatan kadar SGOT dan SGPT penderita epilepsi anak yang mendapatkan monoterapi asam valproat. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan tingkatan yang lebih tinggi dan validitas optimal untuk dapat menjelaskan permasalahan yang ada pada penelitian ini.

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

5.1KesimpulanBerdasarkan hasil kajian dan analisis data tentang peningkatan kadar SGOT dan SGPT penderita epilepsi anak yang mendapatkan monoterapi asam valproat, maka peneliti mengambil kesimpulan sebagai berikut:a. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada penderita epilepsi anak yang menggunakan monoterapi asam valproat terjadi pada 60,6% subjek penelitian.b. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT lebih tinggi ditemukan pada kelompok usia 1-10 tahun.c. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT lebih tinggi ditemukan pada jenis kelamin laki-lakid. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT lebih tinggi ditemukan pada kategori lama terapi lebih dari 12 bulan.

5.2SaranBerdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran dengan harapan dapat mengembangkan serta meningkatkan upaya pelayanan pasien epilepsi anak, antara lain kepada pihak:1. Rumah Sakita. Mampu memberikan perhatian dalam upaya pendeteksian dini terhadap gangguan fungsi hati pasien epilepsi anak yang mendapatkan monoterapi asam valproat.b. Mampu meningkatkan kualitas kelengkapan rekam medik sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit.2. Fakultas KedokteranMampu meningkatkan pembelajaran dan pendidikan kepada mahasiswa agar lebih mengetahui tentang efek terapi jangka panjang khususnya penyakit epilepsi.

3. Peneliti selanjutnyaPerlunya penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga dapat menyempurnakan penelitian dan memberikan hasil yang lebih representatif.

DAFTAR KEPUSTAKAANAlper, K; Lafrance Jr, W.C; Babcock, D; J. Barry, J.J; Benbadis, S; Caplan, R;. 2006. Review: Nonepileptic seizures treatment workshop summary Epilepsy & Behavior. 8(3):451-461.Anderson, G.D. 2002. Children Versus Adults : Pharmacokinetic and Adverse-Effect Differences. Washington, Blackwell Publishing, Inc. Attilakos, A; Papakonstantinou, E; Schulpis, K; Voudris. K; Katsarou, E; Mastroyianni, S and Garoufi, A. 2006. Early effect of sodium valproate and carbamazepine monotherapy on homocysteine metabolism in children with epilepsy. Epilepsy Research. 71(2):229-32.Benitez, J; Gervasini, G and Carrillo, J.A. 2010. Pharmacogenetic testing and therapeutic drug monitoring are complementary tools for optimal individualization of drug therapy. European Journal of Clinical Pharmacology, 66:755-774.Brashers, V.L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan dan Manajemen. Edisi ke-2. Jakarta, EGC. Brodie, M.J and Dichter, M.D. 1996. Antiepileptic Drugs. New England Journal of Medicine, 334(3):168-75.Cahyono, B dan Suharjo, J.B. 2009. Hepatitis A. Yogyakarta, Kanisius. Canta, F; Marrone, R; Bonora, S; DAvolio, A; Sciandra,M; Sinicco, A;. 2005. Pharmacokinetics and hepatotoxicity of lopinavir/ritonavir in non-cirrhotic HIV and hepatitis C virus (HCV) co-infected patients. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 164(24):10149. Childrensmercy. 2012. Pediatric Epilepsy : What Is It And How Are Children Affected?http://www.childrensmercy.org/healthykidscolumns/view.aspx?id=212 [diakses 11 januari 2013]Dufour, D.R; Lott, J.A; Nolte, F.S; Gretch, D.R; Koff, R.S and Seeff, L.B. 2007. Laboratory Medicine Practice Guidelines. Laboratory Guidelines for Screening, Diagnosis and Monitoring Hepatic Injury. Clinical Chemistry Journal, 46(12): 2050-2068. Engel, J. 2008. Epilepsy. 2nd Edition. Philadelphia, Lippincott-Raven.Fagundes, S.B.R. 2008. Valproic Acid. Neurocienc. 16(2):130-136.Fajriman. 2011. Pengaruh jenis obat, dosis dan lama pemberian obat antiepilepsi terhadap profil lipid pasien epilepsi. Tesis, Universitas Diponegoro.Freudenmann, R.W; Keller, F; Schmid, M.M; Connemann, B.J; Hiemke, C; Gahr1. 2012. Non-Fatal and Fatal Liver Failure Associated with Valproic Acid. Pharmacopsychiatry. New York, Georg Thieme Verlag KG Stuttgart.Forsgren ,L; Saveta, D; Popa; Muntean, D and Leucuta. 2005. The Epidemiology Of Epilepsy in Europe a Systematic review. Volume 12. No 4. [online]: http://www.ncbi.nlm.nih gov/pubmed/15804240 [diakses 16 september 2012]Gidal, B.E and Garnett, W.R. 2005. Epilepsy Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 6th Edition. New York, McGraw-Hill. Goldenberg, M.M. 2010. Overview of Drugs Used For Epilepsy and Seizures: Etiology, Diagnosis, and Treatment. Pharmacy and Therapeutics. 35(7):392-415.Harsono. 2001. Epilepsi : Edisi 1. Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Husnul, M., 2008. Sirosis Hati (Sirosis Hepatis). Available from http://cetrione.blogspot.com/2008/05/sirosis-hati-sirosis-hepatis.html.Hirsch, L.J and Pedley, T.A. 2002. Perioperative Seizures : Prevention and Management. In: Batjer, H and Loftus, C (eds), Textbook of Neurological Surgery. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.Jackson ,P.T and Williams. 2012. Hepatotoxicity to sodium valproate. Gut, 25:673-681.Katzung, B.G; Trevor, A.J and Masters, S.B. 2010. Pharmacology : Examination and Board Review. 9th Edition. San Francisco, The McGraw-Hill Companies.Kustiowati, E; Hartono, B dan Bintoro, A.A. 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.Lacy, C.F. 2009. Drug Information Handbook 2009-2010. 18 th Edition. Lexicomp.Lowenstein, D.H; Stern, B.J and Schuh, L.A. 2008. Neurology Education Research. Hagerstown, Lippincott Williams & Wilkins.Loscher W. 2002. Basic Pharmacology of Valproate: A review after 35 years of clinical use for the treatment of epilepsy. CND Drugs, 16:669. Major, P and Thiele, E.A. 2007. Thiele Seizures in Children: Laboratory Diagnosis and Management. American Academy of Pediatrics. 28; 405-414.Mathew, J.L. 2008. Tapering of anticonvulsant therapy in children. Evidencethat is Understandable, Relevant, Extendible, Current, Andappraised (under IAP- RCPCH Collaboration). Indian Pediatrics, 45:845-848.Mahan LK and Escott, S. 2008. Krauses Food and Nutrition Therapy. 12th ed. USA. Elsevier, 30(11):45-6Notoatmodjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Citra.Ozuna, J and Sirven, J.I. 2005. Diagnosing Epilepsy in Older Adults. Geriatrics. 60(10):30-5.Pinzon, R. 2007. Dampak Epilepsi pada Aspek Kehidupan Penyandangnya. Cermin Dunia Kedokteran, 157:192-195.Price, S.A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta, EGC. Puneet, G; Zeba, K and Nivedita, C. 2011. Soluble Curcumin: A Promising Oral Supplement For Health Management: Journal of Applied Pharmaceutical Science, 01 (02) 01-07Raharjo, T.B. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun. Tesis. Universitas Diponegoro. Rohkamm, R. 2004. Color Atlas of Neurology. New York, Thieme.Ropper, A.H and Brown, R.H. 2005. Epilepsy and other seizures. In: Adams and Victors principles of neurology. 8th Edition. New York , McGraw Hill Companies. Sacher, R.A and Mcpherson, R.A. alih bahasa : Pendit, B.U dan Wulandari, D (eds) Hartanto, H. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi ke-11. Jakarta, EGC. Sardini, S. 2007. Penentuan Aktivasi Enzim SGOT dan SGPT dalam Serum dengan Metode Reaksi Kinetik Enzimatik Sesuai IFCC. Jakarta, BatanSalehiomran, M.R and Kordkheily, S.E.H. 2010. Research Article: The Effect of Anticonvulsant Drugs (Phenobarbital and Valproic Acid) on The Serum Level of Cholesterol, Triglyceride, Lipoprotein and Liver Enzymes in Convulsive Children. Iranian Journal Child Neurology, 4(3), 33-38.Sherlock, S and Dooley, J. 2002. Diseases of the Liver and Biliary System. 11th Edition. Oxford, Blackwell Science Ltd. Silva, M. F. B ; Aires ,P. B. M ; Luis ,J. P. N ;Ruiter L. IJlst ; M. Duran,R. J. A ; Wanders I; Tavares de Almeida. 2008. Valproid acid metabolism and its effect on mitochondrial fatty acid oxidation, J Inherit Metab Dis, 31:205-215.Sylvia A.P dan Lorraine M.W. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6, Volume 1. Jakarta, EGC.Shorvon, S.D and Hart, Y.M. 1995. The Nature of Epilepsy in The General Population. 2nd Edition. London, Medical Care. Shorvon, S.D. 2005. Epilepsy Treatment : Forms, Causes and Therapy in Children and Adults. 2nd Edition. London, Medical Care.Soetomenggolo, T.S dan Imael, S. 1999. Neorologi Anak. Jakarta, BP IDAI. Sonmez, F.M; Demir, E; Orem, S; Yildirmis, Orhan, F; Aslan, S and Topbas, M. 2006. Effect of antiepileptic drugs on plasma lipids, lipoprotein (a), and liver enzymes. Journal Child Neuro, 21(1), 70-74.Suchy F.J; Sokol R.J and Balistreri W.F. 2007. Liver Disease in Children. Hills Road, Cambride Medicine.Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B.G; Alwi, I; Simadibrata, M dan Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta, Internal Publishing. Sunaryo, U. 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah FK Wijayakusuma. Surabaya, 1(1), 1-68.Suwarba, I.G.N.M. 2011. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari Pediatri, 13(2), 123-8.Tarwoto; Watonah dan Suryati, E.S. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta, Sagung Seto. Verroti, A; Paris, P; Bruni, O; Villa, M.P; Miano, S; Lushetti, A and Curatolo, P. 2010. The Relationship Between Sleep and Epilepsy: The Effect on Cognitive Functioning in Children. Rome, Developmental Medicine & Child Neurology.Vlase, L; Saveta, D; Popa; Muntean, D and Leucuta, S. 2008. Research article : A New High- Throughput LC-MS/MS Assay for Therapeutic Level Monitoring of Valproic Acid in Human Plasma. Vienna, Scientia Pharmaceutica. Word Health Organization. 2009. Epilepsy: epidemiology, etiology, and prognosis. http://www.who.int /mediacentre/factsheets/fs999/en/index.html [diakses 23 September 2012].

Lampiran 1LEMBAR DATA SAMPEL

Tanggal Penelitian: Kode Sampel:

I. IDENTITAS UMUM PASIEN1. Nama: 2. Tanggal Lahir:3. Jenis Kelamin:1. Laki-laki 2. Perempuan4. Alamat/Desa:II. IDENTITAS ORANG TUA1. Nama:2. Nomor yang bisa dihubungi:

III. HASIL PEMBACAAN REKAM MEDIK1. No Register/ No. RM :2. Jenis Epilepsi (Umum/ Parsial)3. Nilai normal SGPT dan SGOT menurut Laboratorium RSUDZA Banda aceh Normal SGOT : 0-31 U/LNormal SGPT : 0-37 U/LSaat pertama pemeriksaan:Setelah menggunakan Asam valproat > 6 bulan :4. Tanggal terakhir pemeriksaanSGOT :SGPT :5. Dosis Asam Valproat/ Depakene: 6. Riwayat Pengobatan Lainnya:7. Riwayat Penyakit Dahulu:8. DLL:

Lampiran 2Data Rekam Medik Pasien Epilepsi di Poli Klinik Anak RSUDZA Banda Aceh 2012NORMUmurJKSGOT/SGOT PP (U/L)3bln T(U/L)>6bln T(U/L)SGOT/SGPTTP(U/L)LTPK(U/L)

185552010 ThLKSGOT:31SGPT:30SGOT:37SGPT:22SGOT:37SGPT:2212Bln-

272453311ThLKSGOT:31SGPT:21SGOT:31SGPT:21SGOT:18SGPT:16SGOT:16SGPT:1118Bln-

38028001thPRSGOT:29SGPT:12SGOT:29SGPT:12SGOT:29SGPT:1212Bln-

408290346ThLKSGOT:29SGPT:10SGOT:7SGPT:3SGOT:7SGPT:319bln-

56538399ThPRSGOT:32SGPT:14SGOT:32SGPT:14SGOT:32SGPT:1413Bln-

688422210ThPRSGOT:21SGPT:9SGOT:35SGPT:12SGOT:21SGPT:913Bln-

77713025ThPRSGOT:31SGPT:15SGOT:31SGPT:15SGOT:22SGPT:2524Bln-

88519063ThLKSGOT:27SGPT:25SGOT:22SGPT:16SGOT:33SGPT:21SGOT:14SGPT:2812Bln-

978603515ThPRSGOT:14SGPT:17SGOT:28SGPT:28SGOT:28SGPT:288Bln-

108832498ThLKSGOT:17SGPT:7SGOT:40SGPT:16SGOT:31SGPT:7SGOT:31SGPT:79BlnSGOT:31SGPT:7

117822963ThPRSGOT:31SGPT:35SGOT:84SGPT:53SGOT:58SGPT:16SGOT:14SGPT:1317BlnSGOT:40SGPT:20

128727485ThPRSGOT:31SGPT:3SGOT:32SGPT:3SGOT:22SGPT:1215Bln-

138474303ThLKSGOT:15SGPT:16SGOT:46SGPT:7SGOT:24SGPT:11SGOT:25SGPT:118Bln-

148155853ThLKSGOT:31SGPT:29SGOT:52SGPT:21SGOT:38SGPT:2115BlnSGOT:38SGPT:21

158053552ThLKSGOT:22SGPT:11SGOT:48SGPT:13SGOT:33SGPT:7SGOT:26SGPT:925Bln-

16

8808022ThPRSGOT:25SGPT:17SGOT:49SGPT:34SGOT:30SGPT:21SGOT:30SGPT:2112BlnSGOT:30SGPT:21

177762587ThLKSGOT:6SGPT:13SGOT:40SGPT:9SGOT:24SGPT:930Bln-

188349774ThLKSGOT:26SGPT:23SGOT:36SGPT:23SGPT:18SGOT:1024Bln-

1980219410ThLKSGOT:21SGPT:13SGOT:58SGPT:15SGOT:29SGPT:28SGOT:5SGPT:1726Bln-

207493938ThPRSGOT:21SGPT:11SGOT:39SGPT:15SGOT:39SGPT:1528Bln-

218586726ThLKSGOT:14SGPT:22SGOT:15SGPT:17SGOT:15SGPT:1724Bln-

2212356715ThLKSGOT:21SGPT:19SGOT:46SGPT:16SGOT:50SGPT:16SGOT:21SGPT:1214BlnSGOT:10SGPT:12

2308767661ThPRSGOT:30SGPT:15SGOT:38SGPT:15SGOT:38SGPT:5SGOT:38SGPT:515Blb-

2407968838ThPRSGOT:14SGPT:16SGOT:53SGPT:19SGOT:16SGPT:10SGOT:11SGPT:1228BlnSGOT:16SGPT:10

2589375613ThLKSGOT:30SGPT:31SGOT:51SGPT:319Bln-

267267752ThLKSGOT:29SGPT:30SGOT:42SGPT:14SGOT:35SGPT:18SGOT:35SGPT:1812Bln-

2788880310ThLKSGOT:25SGPT:16SGOT:43SGPT:17SGOT:43SGPT:1714Bln-

288728058ThLKSGOT:30SGPT:16SGOT:28SGPT:27SGOT:28SGPT:2712Bln-

29 7693526ThLKSGOT:31SGPT:12SGOT:50SGPT:12SGOT:71SGPT:70SGPT:23SGPT:431BlnSGOT:50SGPT:11

308525496ThLKSGOT:20SGPT:11SGOT:44SGPT:18SGOT:9SGPT:518Bln-

318123527ThLKSGOT:20SGPT:20SGOT:27SGPT:18SGOT:19SGPT:10SGOT:20SGPT:814Bln-

3285190613ThLKSGOT:23SGPT:23SGOT:33SGPT:21SGOT:14SGPT:2818Bln-

3379982013ThPRSGOT:15SGPT:16SGOT:19SGPT:16SGOT:25SGPT:49SGOT:25SGPT:4914Bln-

Keterangan:RM : Rekam MedisJK : Jenis KelaminPP : Pertama PemeriksaanT : TerapiTP : Terarakhir PemeriksaanLT : Lama TerapiPK : Pemebrian Kurkuma

'Lampiran 9Perencanaan Jadwal Kegiatan PenelitianNo.Kegiatan 20122013

56789101112123

1.Studi Perpustakaan

2.Pengambilan data awal

3.Pembuatan Proposal

4.Seminar Proposal

5.Pelaksaan Penelitian

6.Pengolahan Data

7.Pembuatan Skripsi

8.Sidang

Lampiran 10BIODATA PENELITI

Nama: Marka Bela MonikaNIM: 0907101050043Tempat/Tanggal lahir: Sidojadi, 18 Oktober 1991Jenis Kelamin: PerempuanAlamat: Jl.tengku aliangan No 16 iemasen Kayee Adang, Banda AcehNo. HP: 085260191000Riwayat Pendidikan: SDN 1 Nagan Raya (2003)SMPN 1 Nagan Raya (2006)SMAN 1 Blangpidie(2009)Fakultas Kedokteran Universitas Syiah KualaNama Orang Tua :a. Ayah : M. Kasem Ibrahim, SEb. Ibu : MarhamahAlamat : Desa Karang Jati, Kec, Darul Makmur, Nagan RayaPekerjaan: a. Ayah : PNSb. Ibu : IRT

iv

vi

DAFTAR GAMBAR

HalamanGambar 2.1 Mekanisme Epilepsi11Gambar 2.2 Stuktur Molekul Asam Valproat13Gambar 2.3 Mekanisme Asam Valproat dalam Kerusakan Hati18Gambar 2.4 Kerangka Teori23Gambar 3.1 Kerangka Konsep24Gambar 3.2 Alur Penelitian28