Upload
dokhanh
View
231
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
STUDI PEMBUATAN SOSIS BERBASIS JAMUR MERANG
Volvariella volvaceae
Oleh:
USMAN
F24103105
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
STUDI PEMBUATAN SOSIS BERBASIS JAMUR MERANG
Volvariella volvaceae
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
USMAN
F24103105
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
STUDI PEMBUATAN SOSIS BERBASIS JAMUR MERANG
Volvariella volvaceae
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
USMAN
F24103105
Dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1985
di Banjarnegara, Jawa Tengah
Tanggal Lulus: 7 September 2009
Menyetujui,
Bogor, September 2009
Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono
Pembimbing
Mengetahui,
Bogor, September 2009
Dr. Ir. Dahrul Syah
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Usman. F24103105. 2009. Studi Pembuatan Sosis Berbasis Jamur Merang
(Volvaria volvaceae). Di bawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono
Ringkasan
Jamur merang merupakan salah satu sayuran yang memiliki kandungan serat
cukup tinggi (4% b/b). Selain itu, jamur merang Volvariella volvaceae memiliki
tekstur dan cita rasa yang khas serta nilai gizi yang cukup lengkap. Berdasarkan
nilai gizi yang dikandung jamur merang tersebut maka jamur merang sangat
potensial untuk dijadikan bahan baku pada produk-produk makanan olahan.
Salah satu produk makanan olahan yang ada di Indonesia adalah sosis.
Sosis merupakan makanan olahan dari daging khususnya daging sapi dan daging
ayam sehingga dijadikan sebagai salah satu pangan sumber protein. Saat ini belum
ada produk sosis yang dijadikan sebagai sumber serat. Oleh karena itu,
diversifikasi jamur merang menjadi produk sosis merupakan salah satu solusi
untuk menghadirkan produk sosis sebagai salah satu pangan sumber serat.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengembangkan formulasi sosis
berbahan baku jamur merang serta untuk mengetahui sifat-sifat organoleptik dan
fisikokimianya. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pengembangan
formulasi dan metode sosis jamur merang, dan tahap optimasi formula sosis jamur
merang. Tahap formulasi sosis jamur merang dilakukan untuk mengetahui
komposisi bahan baku serta proses pembuatan sosis jamur merang yang tepat.
Tahap optimasi dilakukan untuk menentukan formulasi sosis jamur merang
terpilih.
Formulasi terbaik sosis jamur merang adalah sosis jamur merang dengan
komposisi tepung maizena 10%, karagenan 6%, isolat protein kedelai 3%, garam
2,5%, minyak nabati 4%, dan putih telur 35%, bawang merah 0,5%, bawang putih
0,25% lada 0,1%, gula pasir 1,5%, pala 0,05%, MSG 0,1% dan jahe 0,5%. Nilai
rata-rata kesukaan secara overall sosis jamur merang berkisar 3,87-4,87 (agak
tidak sukar sampai agak suka). Produk terpilih yang diperoleh melalui uji
pembobotan yaitu sosis jamur merang dengan tepung maizena 15%, pemasakan
15 menit. Sosis jamur merang terpilih memiliki kadar air sebesar 81,22% (bb),
kadar abu 2,97% (bb), kadar protein 5,62% (bb), kadar lemak 1,89% (bb), kadar
karbohidrat 8,3% (bb), dan kadar serat kasar 26,20% (bb). Berdasarkan uji fisik,
sosis jamur merang terpilih memiliki nilai kekenyalan 0,74 Kgf, kehilangan
padatan akibat pemasakan (cooking loss) sebesar 4,44 % (bb), dan daya ikat air
sebesar 52,59%. Berdasarkan literature yang ada untuk produk sosis olahan
daging dimana tingkat kekenyalan berkisar dari 0,5 Kgf sampai 0,8 Kgf, maka
tingkat kelayakan sosis jamur merang pada penelitian ini sudah baik.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis bernama Usman, dilahirkan di Banjarnegara,
Jawa Tengah pada tanggal 12 Agustus 1985. Penulis
merupakan anak kedua dari pasangan Miski dan
Rohpini. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar
pada tahun 1997 di SDN 04 Petang Jakarta Utara,
kemudian melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat
pertama di SLTP Negeri 116 Jakarta hingga tahun
2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah
atas di SMU 13 Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003, penulis
diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Taknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB.
Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti
beberapa organisasi antara lain: Unit Kegiatan Mahasiswa Pramuka (2003-2007),
Badan Eksekutif Mahasiswa Fateta (2004-2005), Dewan Perwakilan Mahasiswa
Fateta (2005-2006), dan Forum Bina Islami Fateta (2006-2007). Selain itu,
penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan. Sebagai tugas akhir,
penulis melaksanakan penelitian dengan judul “ Pembuatan Sosis Berbasis Jamur
Merang ( Volvariella volvaceae ” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Maggy T.
Suhartono.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Ucapan terima kasih
ingin penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Ayah (Miski) dan Ibu (Rohpini) atas doa yang tidak pernah terputus dan
kasih sayang yang selama ini diberikan. Rohman,Susi Ratna Sari,
Rismanto dan Irfan Julianto, adik-adik kebanggaanku yang terus menjadi
penyemangat dalam hidup ini.
2. Prof. Dr. Ir. Maggy T. Suhartono, selaku dosen pembimbing yang banyak
memberikan arahan dan bimbingannya.
3. Dr. Ir. Sukarno dan Ir. Sutrisno Koswara , MSi atas kesediannya untuk
menguji.
4. Teman-teman seperjuangan Senior Residence Putra dan Putri di asrama
TPB – IPB.
5. Sahabat karibku Sarwo, Arga, Susanto, Triatma, Ali, dan Sofwan yang
selalu memberikan dorongan moral selama ini.
6. Teman-teman ITP angkatan 2003 (angkt’ 40) serta semua pihak yang telah
membantu penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
7. Semua keluarga besar UKM Pramuka IPB yang selalu memberikan
semangat dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga kritik
dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir
kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran
khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................. i
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1
B. TUJUAN .............................................................................................. 2
II. TINJUAN PUSTAKA
A. JAMUR MERANG .............................................................................. 3
B. KARAGENAN .................................................................................... 5
C. PUTIH TELUR ..................................................................................... 7
D. SOSIS DAN SISTEM EMULSI SOSIS .............................................. 8
E. PEMBUATAN SOSIS .......................................................................... 12
1. Bahan-bahan Utama Pembuatan Sosis .............................................. 12
2. Bahan Tambahan Sosis ..................................................................... 14
3. Selongsong Sosis ............................................................................... 17
4. Proses Pembuatan Sosis .................................................................... 17
F. SOSIS SEHAT NON DAGING............................................................ 19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................... 20
B. METODE PENELITIAN ..................................................................... 20
1. Pengembangan Formula dan Metode Sosis Jamur Merang ............ 20
2. Optimasi Formula Sosis Jamur Merang .......................................... 22
C. METODE ANALISIS .......................................................................... 23
1. Analisis Kadar Air ........................................................................... 23
2. Analisis Abu Total .......................................................................... 24
3. Analisis Kadar Protein .................................................................... 24
4. Analisis Kadar Lemak ..................................................................... 25
5. Analisis Kadar Karbohidrat ............................................................. 25
6. Analisis Kadar Serat Kasar ............................................................. 26
7. Pengukuran Kekenyalan .................................................................. 26
8. Penentuan Susut Masak ................................................................... 27
9. Penentuan Daya Ikat Air ................................................................. 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENGEMBANGAN FORMULASI DAN METODE SOSIS
JAMUR MERANG ............................................................................... 28
B. OPTIMASI FORMULA SOSIS JAMUR MERANG .......................... 36
1. Uji Organoleptik.............................................................................. 36
2. Uji Pembobotan ............................................................................... 44
C. ANALISIS PRODUK TERPILIH ........................................................ 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ..................................................................................... 49
B. SARAN ................................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 50
LAMPIRAN ..................................................................................................... 57
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi kandungan zat gizi jamur dalam % per 100 g bahan ........ 4
Tabel 2. Kandungan asam amino esensial jamur merang ................................. 5
Tabel 3. Syarat mutu karagenan ........................................................................ 6
Tabel 4. Komposisi kimia putih telur ................................................................ 7
Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi telur. ............................ 8
Tabel 6. Jenis-jenis sosis ................................................................................... 9
Tabel 7. Syarat mutu sosis daging..................................................................... 10
Tabel 8. Formulasi dasar pembuatan sosis ........................................................ 21
Tabel 9. Formulasi optimasi sosis jamur merang.............................................. 23
Tabel 10. Kadar proksimat jamur merang, bahan pengikat, dan bahan pengisi
sosis jamur merang. ............................................................................ 31
Tabel 11. Formulasi ke-1 sosis jamur merang .................................................. 31
Tabel 12. Formulasi ke-2 sosis jamur merang .................................................. 33
Tabel 13. Formulasi ke-3 sosis jamur merang. ................................................. 34
Tabel 14. Formulasi ke-4 sosis jamur merang.. ................................................ 35
Tabel 15. Nilai total pembobotan pada setiap atribut sosis jamur merang ....... 44
Tabel 16. Nilai rata-rata tiap sampel pada setiap atribut penilaian. .................. 44
Tabel 17. Nilai analisis produk terpilih sosis jamur merang. ............................ 46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Proses pembuatan sosis jamur merang ............................................ 20
Gambar 2. Persiapan bahan baku sosis jamur merang ...................................... 28
Gambar 3. Hasil formulasi pertama sosis jamur merang .................................. 31
Gambar 4. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi kedua ..................... 32
Gambar 5. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi ketiga ..................... 34
Gambar 6. Penampakkan melintang sosis hasil formulasi keempat ................. 33
Gambar 7. Hubungan antara sampel dengan skor rata-rata kesukaan panelis
berdasarkan atribut warna. ................................................................ 36
Gambar 8. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis
berdasarkan atribut aroma. ............................................................... 37
Gambar 9. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis
berdasarkan atribut kekenyalan ........................................................ 38
Gambar 10. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis
berdasarkan atribut kekompakkan.................................................... 39
Gambar 11. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis
berdasarkan atribut kadar minyak .................................................. 40
Gambar 12. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis
berdasarkan atribut rasa .................................................................. 41
Gambar 13. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan panelis
berdasarkan atribut over all ............................................................ 42
Gambar 14. Hasil uji pembobotan tiap sampel pada berbagai perlakuan ......... 44
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Form uji organoleptik ................................................................... 57
Lampiran 2. Form uji organoleptik (lanjutan)................................................... 58
Lampiran 3. Form uji organoleptik (lanjutan) ................................................. 59
Lampiran 4. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut warna pada sosis jamur
merang ......................................................................................... 60
Lampiran 5. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut aroma pada sosis jamur
merang ......................................................................................... 61
Lampiran 6. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut kekenyalan pada sosis jamur
merang ......................................................................................... 62
Lampiran 7. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut kekompakkan pada
sosis jamur merang ...................................................................... 63
Lampiran 8. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut kadar minyak pada
sosis jamur merang .................................................................... 64
Lampiran 9. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut rasa pada sosis jamur
merang ....................................................................................... 65
Lampiran 10. Hasil sidik ragam dan uji lanjut atribut over all pada sosis
jamur merang ............................................................................. 66
Lampiran 11. Lembar (form) penilaian pada uji pembobotan .......................... 67
Lampiran 12. Hasil penilaian terhadap uji pembobotan ................................... 68
Lampiran 13. Hasil perhitungan terhadap uji pembobotan ............................... 69
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masih banyak orang kurang memahami jika serat makanan mempunyai
peranan vital bagi kesehatan. Selain untuk kesehatan pencernaan dan
memudahkan buang air besar, beberapa jenis penyakit dapat dicegah
kehadirannya, termasuk penyakit berat seperti penyakit jantung koroner, diabetes,
kolesterol darah yang tinggi, kanker, dan penyakit lainnya. Serat makanan (diatery
fiber) adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik
menjadi bagian-bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan. Serat secara
alami terdapat dalam tanaman.
Belum ada patokan baku atas konsumsi serat untuk setiap orang. Anjuran
biasanya ditujukan untuk kelompok tertentu. US FDA menganjurkan Total
Dietary Fiber (TDF) 25 g/2000 kalori atau 30 g/2500 kalori. The American
Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic
Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan.
Konsensus nasional pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan 25 g/hari
bagi orang yang berisiko menderita dibetes melitus. PERKI (Perhimpunan
Kardiologi Indonesia) 2001 menyarankan 25-30 g/hari untuk kesehatan jantung
dan pembuluh darah. American Academy of Pediatrics menyarankan kebutuhan
Total Dietary Fiber sehari untuk anak adalah jumlah umur (tahun) ditambah
dengan 5 gram (http://www.edumuslim.com).
Jamur merang merupakan salah satu sayuran yang memiliki kandungan
serat cukup tinggi (4% b/b). Selain itu, jamur merang Volvariella volvaceae
memiliki tekstur dan cita rasa yang khas serta nilai gizi yang cukup lengkap.
Berdasarkan nilai gizi yang dikandung jamur merang tersebut maka jamur merang
sangat potensial untuk dijadikan bahan baku pada produk-produk makanan
olahan.
Salah satu produk makanan olahan yang ada di Indonesia adalah sosis. Sosis
merupakan makanan olahan dari daging khususnya daging sapi dan daging ayam
sehingga dijadikan sebagai salah satu pangan sumber protein. Saat ini belum ada
produk sosis yang dijadikan sebagai sumber serat. Oleh karena itu, diversifikasi
jamur merang menjadi produk sosis merupakan salah satu solusi untuk
menghadirkan produk sosis sebagai salah satu pangan sumber serat.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari proses pembuatan sosis kaya serat
berbahan baku jamur merang Volvariella volvaceae serta menganalisis sifat-sifat
organoleptik dan fisikokimianya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Jamur Merang
Jamur merang Volvariella
volvaceae merupakan jamur bersifat
saprofit yang dapat dimakan dan sudah
dibudidayakan secara meluas baik di daerah
tropis maupun subtropis di Asia, meliputi
Hongkong, Thailang, Taiwan, Indonesia,
Malaysia, dan Filiphina (Chang, 1972).
Jamur ini merupakan organisme heterotrop yang mengambil zat organik dari
tanaman atau bahan lain untuk keperluan hidupnya. Tubuh jamur merang
berwarna cokelat gelap sampai hitam dengan bentuk seperti telur. Tubuh jamur ini
dilapisi sebuah selaput yang dinamakan selubung atau kulit jamur. Ciri-ciri
lainnya adalah tudungnya berwarna abu-abu cokelat berbentuk bulat cembung
dengan diameter sekitar 5-10 cm, batang dari tubuh buahnya dapat mencapai 4,5-
14 cm, berwarna putih sampai cokelat dan bagian bawahnya sedikit membesar.
Di bawah tudung terdapat bilah-bilah (lamella) yang merupakan tempat
pembentukan spora-spora untuk berkembang biak (Gunawan, 1992)
Menurut Chang (1982), jamur merang adalah jamur bertudung besar dan
berwarna abu-abu tua dengan diameter kurang lebih 8 cm apabila terbuka penuh.
Selama pertumbuhannya, jamur dibagi dalam enam tahap pertumbuhan yaitu :
jarum pentul (pinhead), kancing kecil (tiny button), kancing (button), telur (egg),
pemanjangan (elongation) dan dewasa ( mature).
Jenis-jenis jamur yang dapat dimakan pada umumnya mengandung
karbohidrat, protein lemak, dan mineral. Jamur merang selain mempunyai rasa
yang lezat, juga memiliki nilai gizi yang tinggi. Kadar protein jamur merang lebih
tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis sayuran dan buah-buahan lainnya
(Tranggono et al., 1983).
Tabel 1. Komposisi kandungan zat gizi jamur merang per 100 g bahan.
Komposisi Kondisi segar Kondisi kering
Air (%) 87,7 14,9
Energi (kal) 39,0 274,0
Protein (gram) 3,8 16,0
Lemak (gram) 0,6 0,9
Total karbohidrat (gram) 6,0 64,6
Serat (gram) 1,2 4,0
Abu (gram) 1,0 3,6
Kalsium (mg) 3,0 51,0
Besi (mg) 1,7 6,7
Thiamin (mg) 0,11 0,09
Riboflavin (mg) 0,17 1,06
Niacin (mg) 8,3 19,7
Asam askorbat (mg) 8,0 -
Fosfor (mg) 94,0 223,0
Sumber : Karjono (1992)
Asam amino esensial yang terdapat pada jamur ada 10 jenis dari 20 asam
amino yang dikenal yaitu lisin, metionin, triptofan, treonin, valin, leusin,
isoleusin, histidin, arginin, dan fenilalanin. Kandungan asam amino esensial pada
jamur merang disajikan pada Tabel 2. Senyawa-senyawa karbohidrat yang
terkandung dalam jamur meliputi gula reduksi, gula amino, gula alkohol, dan gula
asam. Senyawa-senyawa ini memyebabkan rasa manis pada jamur. Fraksi protein
maupun non protein yang mengandung nitrogen dari jamur sangat mempengaruhi
citarasa jamur. Sedangkan fraksi lemak jamur ada hubungannya dengan rasa dan
aroma, dengan adanya asam lemak tak jenuh seperti palmitat, oleat, dan linoleat.
Tabel 2. Kandungan asam amino esensial jamur merang
Asam amino Kandungan (mg/g protein)
Leusin 3,5
Isoleusin 5,5
Valin 6,8
Histidin 2,1
Triptofan 1,1
Lisin 4,3
Fenilalanin 4,9
Threonin 4,2
Arginin 4,1
Metionin 0,9
Sumber : Chang (1982)
2.2. Karagenan
Karagenan merupakan polisakarida berantai lurus dari D-galaktosa dan
3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung sulfat yang diekstrak dari rumput laut
merah (Fardiaz, 1989). Menurut Towle (1973) yang dikutip Nussinovitch (1997),
karagenan dihasilkan dari rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan
alkali panas yang diikuti proses dekolorisasi dan pengeringan. Karagenan
diekstrak dari spesies tertentu kelas Rhodophyceae (alga merah) umumnya dari
marga Eucheuma, yaitu Eucheuma cotonii, Eucheuma spinosum, dan Chondrus
crispus.
Karagenan serta garam-garamnya diklasifikasian dalam kategori GRAS
( 21 CFR 182.7255) dan telah disetujui oleh Food and Drug Adinistration (FDA)
sebagai bahan tambahan pangan (21 CFR 172.620). Karagenan ini digunakan
pada tahap GMP (Good Manufacturing Practice) yaitu suatu jumlah bahan yang
ditambahkan ke dalam makanan tidak lebih dari jumlah yang dibutuhkan untuk
mendapatkan pengaruh yang dinginkan (Nussinovitch, 1997).
Tabel 3. Syarat mutu karagenan
Kadungan Batas
Arsenik (as) Tidak lebih dari 3 ppm (0,0003%)
Abu (tidak larut asam) Tidak lebih dari 1,0%
Abu (total) Tidak lebih dari 35%
Logam berat (Pb) Tidak lebih dari 40 ppm (0,004%)
Timah hitam Tidak lebih dari 10 ppm (0,001 %)
Kehilangan pada pengeringan Tidak lebih dari 12%
Sulfat Antara 18 dan 40% (berat kering)
Kekentalan dari larutan 15% Tidak kurang dari 5 cps pada 75oC
Sumber : Food Chemical Codex III, 1981 yang dikutip Mukti, 1987).
Karagenan merupakan polisakarida yang diekstrak dari beberapa anggota
Rhodophyceae dengan menggunakan air panas (Greer et al, 1984, diacu dalam
Harun, 1993). Berdasarkan unit penyusunnya, karagenan dapat dibagi menjadi
lima kelompok, yaitu : kappa-, iota-, lamda-, mu-, dan nu-karagenan. Dari lima
kelompok tersebut hanya tiga yang memiliki nilai ekonomis yaitu kappa-, iota-,
dan lamda-karagenan (Towle, 1973).
Karagenan dapat digunakan sebagai bahan penstabil karena mengandung
gugus sulfat yang bermuatan negatif di sepanjang rantai polimernya dan bersifat
hidrofilik yang dapat mengikat air atau gugus hidroksil lainnya (Moraino, 1977).
Berdasarkan sifatnya yang hidrofilik tersebut, maka penambahan karagenan dalam
produk emulsi akan meningkatkan viskositas fase kontinu sehingga emulsi
menjadi stabil (Frasier dan Parker, 1985 dikutip Widodo, 2008).
Karagenan akan stabil pada pH 7 atau lebih tinggi, sedangakan pada pH
yang lebih rendah dari 7 stabilitas karagenan menurun, khususnya dengan
peningkatan suhu. Pada pH yang lebih rendah dari 7, polimer karagenan
terhidrolisa sehingga kemampuan membentuk gel menjadi hilang. Namun
demikian, dalam praktek penerapanya, suatu gel terbentuk pada pH kurang dari 7
dan hidrolisa terjadi tidak lama sehingga gel dapat stabil (Glicksman, 1983).
Tidak adanya 3,6 anhydro-D-galaktosa dalam karagenan hanya akan
menyebabkan larutan menjadi kental dan tidak membentuk gel (Gree et at , 1984
diacu dalam Harun, 1993).
2.3. Putih Telur
Putih telur terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda kekentalannya, yaitu
lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan encer dalam, dan lapisan kental
dalam (Powrie,1977). Selanjutnya, Powrie (1977) menerangkan bahwa putih telur
merupakan sistem protein yng tersusun oleh serabut-serabut ovomusin di dalam
larutan aquoeus dari sejumlah protein globular. Komposisi kimia putih telur
disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 4. Komposisi kimia putih telur
Komponen Persentase
Protein 9,7 – 10,6
Lipid 0,03
Karbohidrat 0,4 – 0,9
Abu 0,5 – 0,6
Sumber : Powrie (1977)
Baldwin (1977) melaporkan bahwa koagulasi protein disebabkan karena
molekul-molekul protein mengalami agregasi dan terbentuknya ikatan-ikatan antar
molekul, seperti ikatan hidrofobik, ikatan hidrogen, dan ikatan disulfida. Adanya
ikatan-ikatan antar molekul tersebut menyebabkan protein menjadi tidak larut.
Koagulasi putih telur oleh panas dipengaruhi oleh beberapa kondisi pemanasan.
Koagulasi putih telur dimulai pada suhu 62oC dan putih telur tidak bersifat
mengalir lagi pada suhu 65oC. pada suhu 70
oC gumpalannya teguh tetapi lunak
dan menjadi sangat teguh pada suhu yang lebih tinggi. Pengenceran menaikkan
suhu koagulasi telur. Jika cairan yang ditambahkan berlebihan maka
konsistensinya akan menyerupai bubur yang mungkin terpisah selama pemasakan.
Jika cairan ditambahkan terlalu sedikit dan telur dimasak terlalu lama maka akan
menghasilkan konsistensi yang kenyal.
Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi koagulasi telur.
Faktor Pengaruh
Suhu Putih telur mulai terkoagulasi pada suhu 62oC
Pengenceran Menaikkan temperatur koagulasi
Garam Secara alami, garam penting untuk koagulasi. Penambahan
garam mempercepat koagulasi
Gula Menaikkan temperatur koagulasi
Asam Menurunkan temperatur awal koagulasi
Basa Membentuk gel jernih pada pH di atas 11,9
Sumber : Baldwin (1977)
2.4. Sosis dan Sistem Emulsi Sosis
Sosis berasal dari bahasa latin yaitu salsus yang secara harfiah berarti
daging yang disiapkan melalui penggaraman, karena pada awal pembuatannya
sosis dibuat melalui penggaraman dan pengeringan daging (Rust, 1987). Proses
pembuatan sosis saat ini tidak lagi sebatas memberikan garam dan melakukan
pengeringan pada daging, namun sekarang ini sosis dibuat dari daging yang
digiling dan diberikan bumbu dan biasanya dibentuk menjadi bentuk yang
simetris (Tauber, 1985)
Sosis segar dibuat dari daging segar, dicacah, dilumatkan atau digiling,
diberi garam dan bumbu-bumbu, dimasukkan, dan dipadatkan di dalam
selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan. Sosis masak dibuat dari daging
segar, bisa ditambahkan bahan-bahan lain atau tidak, dimasukkan, dan dipadatkan
di dalam selongsong, tidak diasap dan setelah dibuat harus segera dimasak. Sosis
kering dan agak kering dibuat dari daging yang ditambahkan bahan-bahan lain
dan dikeringkan udara, dapat diasap sebelum pengeringan serta dapat dikonsumsi
dalam keadaan dingin atau setengah masak (Soeparno, 1994)
Berdasarkan metode pembuatannya, sosis dikelompokkan ke dalam enam
kelas yaitu : sosis segar, sosis tidak dimasak tapi diasap, sosis dimasak dan diasap,
sosis masak, sosis kering dan semi kering serta difermentasi dan sosis spesialis
daging masak (Kramlich, 1971).
Tabel 6. Jenis-jenis sosis
Jenis Karakteristik Contoh
Sosis segar Dari daging segar, tidak
dikuring, digiling,
berbumbu, dibungkus,
dimasak sebelum
dihidangkan.
Sosis babi segar,
Bratwurst, Bockwurst
Sosis kering, semi
kering
Daging kuring, mengalami
proses pengeringan, dapat
diasap sebelum pengeringan
atau dapat pula dihidangkan
langsung.
Genoa salami,
Pepperoni, Lebanon
bologna
Sosis masak Dikuring atau tidak,
digiling, berbumbu,
dibungkus, dimasak dan
kadang-kadang diasap,
dapat langsung
dihidangkan.
Sosis hati,
Braunchweiger
Sosis masak, dan diasap Daging kuring, digiling,
berbumbu, dibungkus,
dimasak, dapat langsung
dihidangkan
Frankfurters,
Bologna, Cotto salami
Sosis tidak masak, tetapi
diasap
Daging segar,
dikuring/tidak, dibungkus,
diasap, harus dimasak
sebelum dihidangkan.
Mettwurst, Kielbasa
Bola daging (cooked
meat specialities)
Daging mutu tinggi,
dikuring/tidak, dimasak,
jarang diasap, dapat
langsung dihidangkan
Loaves, Scrapple,
Meat balls.
Sumber : Kramlich (1971)
Tabel 7. Syarat mutu sosis daging
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan
1.1 Bau - Normal
1.2 Rasa - Normal
1.3 Warna - Normal
1.4 Tekstur -
2 Air % bb Maks 67,0
3 Abu % bb Maks 3,0
4 Protein % bb Min 13,0
5 Lemak % bb Maks 25,0
6 Karbohidrat % bb Maks 8
7 Bahan tambahan makanan Sesuai dengan
SIN 01-0222-1995 7.1 Pewarna
7.2 Pengawet
8 Cemaran logam
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 2,0
8.2 Tembaga (cu) mg/kg Maks 20,0
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 40,0
8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks 40,0 (250,0*)
8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks 0,03
9 Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 0,1
10 Cemaran mikroba
10.1 Angka total lempeng Koloni/g Maks 105
10.2 Bakteri bentuk koi APM/g Maks 10
10.3 Eccherichia coli APM/g <3
10.4 Enterococci Koloni/g 102
10.5 Clostridium perfringens - Negatif
10.6 Salmonella - Negatif
10.7 Staphilococcus aureus Koloni/g Maks 102
Sumber : SNI-01-3820-1995
Emulsi adalah suatu dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan yang
lain, yang molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi
saling antagonik. Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur
tetapi saling ingin terpisah karena memiliki berat jenis yang berbeda. Suatu emulsi
biasanya terdapat tiga bagian utama yaitu bagian terdispersi yang terdiri dari butir-
butir yang biasanya terdiri dari lemak, bagian kedua disebut media pendispersi
yang juga dikenal sebagai fase kontinyu, yang biasanya terdiri dari air, dan bagian
ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tetap
tersuspensi di dalam air (Winarno, 1997). Jika air sebagai fase pendispersi dan
minyak sebagai fase terdispersi, emulsi ini disebut sebagai emulsi minyak dalam
air (O/W), sebaliknya jika minyak sebagai fase pendispersi dan air sebagai fase
terdirperasi maka emulsi ini disebut emulsi air dalam minyak (W/O) (deMan,
1997)
Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam sistem emulsi
atau terdapat keseragaman molekul fase pendispersi dan fase terdispersi dalam
kondisi baik. Kestabilan emulsi terjadi apabila suatu partikel terdispersi yang
terdapat dalam bahan tidak mempunyai kecenderungan untuk bergabung dengan
partikel lain dan membentuk lapisan yang terpisah. Untuk mendapatkan emulsi
yang pekat dan stabil dari kedua cairan, baik sistem minyak dalam air (o/w)
maupun air dalam minyak (w/o), maka diperlukan komponen ketiga yaitu bahan
pengemulsi. Fungsi dari komponen ketiga adalah untuk mempercepat atau
mempermudah terjadinya proses emulsi dan memberikan atau meningkatkan
kestabilan emulsi. Pengemulsi merupakan senyawa aktif permukaan yang mampu
menurunkan tegangan antar permukaan, antara permukaan udara-cairan dan
cairan-cairan. Kemampuan ini merupakan akibat dari struktur molekul pengemulsi
yang mengandung dua bagian yang jelas, satu bagian mempunyai sifat polar atau
sifat hidrofil, bagian yang lain bersifat non polar atau hidrofob. Jumlah
pengemulsi yang dibutuhkan tergantung dari besarnya ukuran partikel emulsi.
Semakin kecil ukuran partikel emulsi maka jumlah pengemulsi yang dibutuhkan
akan meningkat (deMan, 1997).
Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi,
ukuran partikel lemak, pH, viskositas emulsi, jumlah dan tipe protein yang larut.
Penggilingan dan pemanasan yang berlebihan serta terlalu cepat akan
mengakibatkan terjadinya perpecahan emulsi. Hal ini disebabkan oleh diameter
pertikel lemak yang semakin kecil dan luas permukaan lemak semakin besar,
sehingga protein tidak cukup untuk menyelubungi semua partikel lemak. Lemak
yang tidak terselubungi akan keluar dari emulsi sehingga akan terpisah dan keluar
dari sosis (Kramlich, 1971).
2.5. Pembuatan Sosis
2.5.1. Bahan-bahan utama pembuatan sosis
Sosis merupakan salah satu produk daging giling yang diberi bumbu
dan dapat mengalami proses kuring, pemanasan, dan pengasapan
(Forrest et al., 1975). Sosis umumnya dibuat dari daging, lemak, bahan
pengisi dan pengisi, air, garam dapur, dan bahan tambahan lain, seperti
bumbu-bumbu dan zat aditif.
Bahan pengikat dan bahan pengisi adalah bahan bukan daging yang
ditambahkan ke dalam sosis dengan tujuan untuk meningkatkan kestabilan
emulsi, mengurangi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan,
memperbaiki citarasa serta mengurangi biaya produksi (Kramlich, 1971).
Bahan pengikat dan bahan pengisi ditambahkan ke dalam formulasi
pembuatan sosis dengan tujuan untuk : (1) Mengurangi harga formulasi, (2)
Memperbaiki hasil masakan, (3) Memperbaiki karakteristik irisan, (4)
Memperbaiki aroma, (5) menambah kandungan protein, (6) Memperbaiki
stabilitas emulsi, (7) Memperbaiki proses pengikatan lemak, dan (8)
Meningkatkan pengikatan air (Tauber, 1985).
Bahan pengisi yang ditambahkan ke dalam pembuatan sosis terdiri
dari tepung-tepungan yang memiliki kandungan pati yang tinggi, namun
kandungan proteinnya rendah. Bahan pengisi mempunyai kemampuan untuk
mengikat sejumlah besar air, namun kemampuan emulsifikasinya rendah
(Albert, 2001). Bahan pengisi yang umumnya digunakan dalam pembuatan
sosis adalah tepung serealia, ekstrak pati, dan sirup jagung atau padatannya.
Kandungan pati dalam bahan tersebut tinggi tetapi kadar proteinnya rendah,
sehingga mempunyai kemampuan untuk mengikat air, tetapi tidak berperan
dalam mengemulsi lemak (Wilson, 1981)
Bahan pengikat merupakan bahan bukan daging yang ditambahkan ke
dalam pembuatan sosis yang mempunyai kemampuan untuk mengikat air dan
mengemulsi lemak. Bahan pengikat menurut asalnya dibedakan menjadi
bahan pengikat hewani dan bahan pengikat nabati. Bahan pengikat hewani
merupakan produk susu yang meliputi susu bubuk tanpa lemak, susu bubuk
tanpa lemak rendah kalsium, dadih susu, dan sodium kaseinat. Bahan
pengikat nabati yang sering digunakan dalam pembuatan sosis adalah produk
kedelai (Kramlich, 1971).
Untuk menghasilkan sosis masak yang stabil, lemak dipreemulsikan
dalam air dengan penambahan protein seperti isolat protein kedelai. Metode
ini menghasilkan daya ikat air dan minyak yang lebih tinggi, stabilitas emulsi
yang lebih tinggi, dan hilangnya rasa berminyak dalam produk akhir (Cross
dan Overby, 1988). Isolat protein kedelai adalah produk dari protein kedelai
bebas lemak atau berlemak rendah (bisa dibuat dari kedelai utuh) yang diolah
sedemikan rupa sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut definisinya,
kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95%. Isolat protein
kedelai sangat dibutuhkan dalam industri pangan, karena banyak sekali
digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Yang diinginkan dari
isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan
pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan
(Koswara, 2005).
Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling
murni karena kadar proteinnya minimum 95% dalam berat kering. Produk ini
hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya
lebih baik dibandingkan dengan konsentrat dan tepung kedelai (Koswara,
2005). Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai bahan campuran
dalam makanan olahan daging dan susu. Isolat protein kedelai baik sekali
digunakan dalam formulasi berbagai produk makanan, juga sebagai bahan
pengikat dan pengemulsi dalam produk-produk daging (Koswara, 2005).
2.5.2. Bahan tambahan
Bahan tambahan atau bahan pembantu adalah bahan yang sengaja
ditambahkan ke dalam suatu adonan dengan maksud atau tujuan tertentu,
misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, citarasa, mengendalikan
keasaman dan kebasaan, serta memantapkan bentuk dan rupa (Winarno et al,
1988).
1). Garam
Garam bisa terdapat secara alami dalam makanan atau
ditambahkan dalam pengolahan dan penyajian makanan. Penggunaan
garam dianjurkan tidak terlalu banyak karena akan menyebabkan
terjadinya penggumpalan atau salting out dan rasa produk menjadi
terlalu asin (Buckle et al , 1987). Secara umum pada pembuatan sosis,
jumlah garam yang ditambahkan adalam 2-3% (Rust, 1987).
Nilai penting dalam keberhasilan pembuatan sosis adalah
kemampuan dari garam untuk melarutkan protein. Kelarutan protein ini
menjalankan fungsi sebagai emulsifier di mana akan menyelubungi
partikel lemak dan mengikat air serta dalam menjaga kestabilan emulsi
sosis. Dalam menjalankan fungsi membantu mengikat air, garam juga
membantu mempertahankan produk yang dihasilkan (Kramlich, 1971).
2). Gula
Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap
karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri
pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang
diperoleh dari bit atau tebu (Buckle et al, 1987).
Pemberian gula akan mempengaruhi citarasa yaitu
meningkatkan rasa manis, kelezatan, aroma, tekstur daging, dan mampu
menetralisir garam yang berlebihan serta menambah energi. Selain itu
gula memiliki daya larut yang tinggi, kemampuan mengurangi
keseimbangan kelembaban relatif (ERH) dan mengikat air sehingga
dapat berfungsi sebagai pengawet. Adanya glukosa, sukrosa, pati, dan
lain-lain dapat menigkatkan citarasa pada makanan serta menimbulkan
rasa khusus pada makanan (Buckle et al., 1987). Gula jika dipanaskan
akan bereaksi dengan asam amino sehingga terbentuk warna coklat
yang membuat bahan lebih menarik (Winarno, 1997).
Gula berfungsi untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar
air yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme.
Konsentrasi gula yang tinggi dalam curring berfungsi sebagai bahan
pengawet (Soeparno, 1994).
3). Bawang putih.
Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan
untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih
mengandung senyawa pembentuk aroma dan juga senyawa-senyawa
berkhasiat lainnya. Bawang putih merupakan bahan alami yang
biasanya ditambahkan ke dalam makanan atau produk sehingga
diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Bau khas
pada bawang putih berasal dari senyawa allisin.
4). Air atau es
Air merupakan salah satu bahan yang umumnya ditambahkan
dalam adonan sosis. Jumlah air yang ditambahkan ke dalam adonan
sosis adalah 20%-30% dari berat daging dan umumnya air yang
ditambahkan dalam bentuk es (Forrest et al. 1975). Penambahan air
dalam bentuk es atau air es bertujuan untuk 1) melarutkan garam dan
mendistribusikan secara merata ke seluruh bagian massa daging, 2)
memudahkan ekstraksi protein serabut otot, 3) membantu pembentukan
emulsi, 4) mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama
penggilingan dan pembuatan adonan (Kramlich, 1971). Penambahan air
yang terlalu banyak akan menyebabkan tekstur sosis menjadi lunak,
demikian pula sebaliknya. (Morisson et al., 1971)
5). Lemak
Penambahan lemak pada pembuatan sosis bertujuan untuk
memperoleh produk sosis yang kompak, tekstur empuk, serta rasa dan
adonan yang lebih baik. Jumlah penambahan lemak dalam penambahan
pembuatan sosis berkisar antara 5-25% (Amano, 1965). Menurut
Kramlich (1971), jika jumlah lemak tidak tepat maka akan dihasilkan
emulsi yang tidak kuat. Lemak berfungsi sebagai fase diskontinyu dari
emulsi sosis, oleh karena itu lemak merupakan salah satu komponen
yang penting. Keempukan dan kebasahan (juiceness) sosis juga
dipengaruhi oleh kandungan lemak.
Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang dengan jumlah
air dan protein. Apabila jumlah yang ditambahkan terlalu sedikit, maka
akan menghasilkan sosis keras dan kering, sebaliknya apabila
penambahan lemak berlebihan, maka akan menghasilkan sosis yang
keriput dan lunak, karena selama pemasakan terjadi kehilangan lemak
(cooking loss) yang tinggi sehingga sebagian lemak akan terpisah
(Wilson et al., 1981). Jumlah penambahan lemak dalam pembuatan
sosis dibatasi untuk mempertahankan teksur selama pengolahan dan
penanganan. Jumlah yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% dari
bobot daging (Kramlich, 1971).
Jenis lemak juga mempengaruhi kestabilan emulsi. Lemak
dengan asam lemak jenuh dan trigliserida berantai pendek lebih mudah
membentuk emulsi dibandingkan dengan yang berantai panjang.
Sedangkan pada rantai karbon yang sama, asam lemak dengan satu
ikatan rangkap lebih mudah teremulsi dibandingkan dengan asam lemak
dengan dua ikatan rangkap (Cristian dan Suffle, 1967)
6). Bumbu
Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis dimaksudkan
untuk menambah citarasa sesuai selera konsumen. Bumbu yang
digunakan dalam pembuatan sosis adalah merica, bawang putih,
bawang merah, pala, jahe, dan MSG. Menurut Soeparno (1994),
penambahan bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk
menambah atau meningkatkan rasa, karena bahan penyedap dapat
meningkatkan dan memodifikasi flavour yang berbeda. Beberapa
bumbu ini bersifat antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan
serta memiliki akivitas antimikroba sehingga dapat menghambat
pertumbuhan mikroba merugikan.
2.5.3. Selongsong
Selongsong atau casing adalah sarung pembungkus yang digunakan
untuk membungkus dan membentuk sosis. Karakteristik casing akan
berpengaruh terhadap kualitas sosis yang dihasilkan. Casing yang umumnya
digunakan dalam industri adalah casing sintetis dan casing kolagen.
Penggunaan casing ini menggantikan casing alami dari usus hewan yang
bersifat kurang awet dan keseragaman ukuran yang rendah. Casing kolagen
terbuat dari agar-agar atau kulit hewan sehingga dapat dimakan. Sedangkan
casing sintetis umumnya terbuat dari plastik polyamide sehingga tidak dapat
dimakan. Ada juga casing sintetis yang terbuat dari film vinylidene chloride
dan rubber hidrochloride yang bisa tahan pada suhu pemasakan 100oC
selama 1-2 jam. Film vinylidene kloroda bersifat kurang permeable,
transparan, dan tidak bereaksi secara kimia tetapi kurang tahan terhadap
kerusakan mekanik. Film rubber hidroklorida lebih elastis dan kuat, tetapi
tidak transparan dan kurang permeable terhadap gas (Suzuki, 1981).
Penggunaan casing sintetis ini lebih menguntungkan karena karakteristiknya
(pori, ketahanan panas, dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, dapat
diprinting atau diwarnai, dan keseragaman ukurannya yang tinggi.
2.5.4. Proses Pembuatan Sosis
Menurut Tauber (1985), tahap-tahap pengolahan secara lengkap untuk
membuat sosis adalah pemilihan bahan-bahan yang akan digunakan dalam
pembuatan sosis, penggilingan, pencampuran (termasuk ke dalamnya adalah
pencacahan dan pengemulsian), pemasukan dalam selongsong, pengikatan,
penggantungan, pemasakan (pengasapan dan/atau perebusan), pendinginan
(penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin), pengupasan atau
pemotongan, dan pengemasan.
Pembuatan sosis dimulai dengan penggilingan daging sehingga
diperoleh daging yang halus dan seragam ukurannya. Menurut Tauber (1985),
tujuan penggilingan adalah untuk menghasilkan daging yang mempunyai
komposisi daging dan lemak merata. Umumnya daging yang akan digiling
telah didinginkan terlebih dahulu sampai temperatur -2oC. Menurut Wilson
(1960), kondisi tersebut diupayakan agar temperatur penggilingan dapat
dipertahankan tetap di bawah 22oC untuk mencegah terdenaturasinya protein
sebagai emulsifier utama. Kemudian dilanjutkan dengan tahap pengadukan
atau pencampuran. Pada tahap ini diharapkan butiran lemak yang
ditambahkan akan terdistribusi secara merata, biasanya digunakan mesin
pencacah dan atau mesin penggiling yang merupakan gabungan dari sistem
penggilingan dan pencacah (Tauber, 1985). Pada tahapan ini bahan kuring
seperti serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat, dan bahan-
bahan tambahan lainnya juga ditambahkan sehingga dapat terdistribusi
merata dan temperatur adonan yang terbentuk dipertahankan serendah
mungkin sekitar 3oC sampai 11
oC (Kramlich, 1971) agar diperoleh stabilitas
emulsi yang maksimum.
Tahap berikutnya adalah pemasukan adonan ke dalam mesin pengisi
(filler) dan dimasukkan ke dalam selongsong sosis (casing). Pemasukan
adonan sosis ke dalam selongsong menggunakan alat khusus (Tauber, 1985)
dan bertujuan untuk membentuk dan mempertahankan kestabilan emulsi
(Kramlich, 1971) serta mengurangi terbentuknya kantong-kantong udara yang
akan mempengaruhi mutu sosis.
Pemasakan bertujuan untuk mengkoagulasikan protein sehingga
menghasilkan sosis dengan tekstur yang kompak, pembentukkan flavor,
pengawetan, dan pembentukan warna. Pemasakan dapat meningkatkan atau
menurunkan keempukan sosis tergantung pada temperatur, lama pemasakan,
dan jenis daging (Lawrie, 1974)
Pemasakan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti perebusan,
pengukusan, pengasapan, atau kombinasi dari cara-cara tersebut (Effie,
1980). Pengasapan dapat memberikan flavor spesifik terhadap daging.
Menurut Desrosier dan Desrosier (1977), pengasapan atau penggunaan asap
pada pemasakan terutama bertujuan untuk memberikan flavor yang khas,
mengawetkan, menghasilkan produk khas, memberikan warna khas, dan
mencegah oksidasi. Berbagai senyawa berperanan dalam pembentukan flavor
tersebut, namun yang paling penting adalah senyawa fenolik. (Mountney,
1976).
Pendinginan sosis setelah pemasakan dengan cara penyemprotan
dengan air dingin selain untuk menurunkan temperatur internal sosis secara
cepat, juga untuk menghilangkan resin dan residu asap yang menempel pada
permukaan selongsong dan mempermudah pengelupasan selongsong pasca
produk sosis yang tidak dapat dimakan.
2.6. Sosis Sehat Non Daging (Sosis Tempe dan Sosis Tahu)
Menurut Fardiaz (1986), di Jepang telah beredar produk sosis analog yang
berasal dari tempe. Bentuk serta penampakan tempe sudah hilang sama sekali
tetapi citarasa tempe masih terasa meskipun sudah ditambahkan citarasa daging.
Tempe merupakan makanan yang berasal dari kacang kedelai dimana kedelai
merupakan sumber protein berkualitas tinggi. Protein kedelai mempunyai
kandungan lisin yang tinggi. Komposisi sosis tempe menurut Tejopranoto (1998)
terdiri dari tempe, putih telur, bahan pengisi, minyak, dan bumbu-bumbu.
Sosis tahu terbuat dari tahu dengan penambahan gellan gum dan bahan
pengisi (Harisan, 1996). Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1980), tahu memiliki
daya cerna yang tinggi (sekitar 95%) sehingga tahu dapat dikonsumsi dengan
aman oleh semua golongan umur dari bayi sampai orang tua, termasuk orang yang
mengalami gangguan pencernaan. Lu et al., (1980) menemukan kandungan
protein tahu sebagnyak 7,5 sampai 7,8%. Tahu mempuyai kadar kalori dan
karbohidrat rendah, sehingga tahu sangat baik sebagai menú orang yang menjalani
diet karbohidrat. Setiap 200 g tahu mengandung kalori sekitar 144 kal atau sekitar
7,2% dari kebutuhan kalori orang dewasa. (Shurtleff dan Aoyagi, 1980)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain jamur
merang, karagenan, garam, isolat protein kedelai, tepung tapioka, tepung maizena,
putih telur, gula, minyak goreng, lada bubuk, bawang putih, bawang merah, dan
monosodium glutamat (MSG). Jamur yang digunakan diperoleh dari Toko. Agro
Lestari, Babakan Raya, Bogor. Karagenan dan isolat protein yang digunakan
diperoleh dari Toko Kimia Setia Guna, Bogor. Casing yang digunakan adalah
casing tipe non edible yang terbuat dari bahan plastik yang dibeli dari Pilot Plant
Seafast, IPB.
Bahan yang akan digunakan untuk análisis yaitu heksana, H2SO4, K2SO4,
HgO, NaOH, NaOH-Na2SO4, H3BO3, HCl 0,02N, indikator metilen merah dan
biru. Alat-alat yang akan digunakan untuk membuat sosis antara lain refrigerator,
penggiling daging, pembuat adonan (food processor), pengisi manual (stuffer),
dan waterbath. Alat yang akan digunakan untuk análisis yaitu peralatan gelas
(labu Kjeldahl, labu Soxhlet, kertas saring, pipet tetes, pipet volumetrik, gelas
ukur, tabung reaksi, gelas piala, labu takar), oven, tanur listrik, desikator,
timbangan analitik, cawan, penjepit cawan, pemanas listrik (hot plate), Texture
Analyzer, pengepres hidraulik, tabung reaksi, pipet mohr, inkubator, bunsen, dan
cawan.
B. METODE PENELITIAN
1. Pengembangan Formulasi dan Metode Pembuatan Sosis Jamur Merang
Penentuan formula sosis jamur merang dilakukan secara trial and
error dengan mengacu pada formula dasar pembuatan sosis daging
(Hermanianto et al., 1999). Parameter utama yang dikaji pada tahap ini
adalah kekenyalan, kekompakan, dan kadar minyak. Produk sosis yang
diharapkan adalah sosis yang kenyal, menyatu dengan kadar minyak
sedikit. Formula dasar hasil modifikasi untuk pembuatan sosis jamur
merang disajikan pada tabel 4. Proses pembuatan sosis jamur merang pada
penelitian ini tetap merujuk pada pembuatan sosis oleh Hermanianto et al.
(1999) yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 8. Formulasi dasar pembuatan sosis
Bahan Komposisi (g)
Jamur merang 300
Tepung tapioka 60
Garam 10
Minyak nabati 60
Sumber : modifikasi formula Hermanianto et al. (1999)
Pembersihan
Penghancuran menggunakan Food Processor
Pemasukan ke dalam plastik
Pembekuan (minimal 2 jam)
Penghalusan dengan grinder
Pemasakan (75-80oC)
Pendinginan
Gambar 1. Proses pembuatan sosis jamur merang
garam, telur,
minyak, ISP
karagenan tepung
tapioka/tepung
maizena, bumbu
Jamur merang
( diameter ± 4 cm)
Cutting
Pencampuran
Filling
2. Optimasi Formula Sosis Jamur Merang
Optimasi formula dan metode sosis jamur merang dilakukan dengan
menggunakan uji organoleptik. Setelah didapatkan formula sosis sesuai
dengan parameter yang diharapkan pada tahap pengembangan formula dan
metode sosis jamur merang, hasil tersebut akan dievaluasi dari aspek
organoleptik oleh panelis untuk menentukan formula terbaik sosis jamur
merang. Uji coba formula sosis jamur merang dilaksanakan dengan berbagai
perlakuan formulasi. Uji yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik
dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan atau kesukaan konsumen
terhadap perlakuan produk yang dibuat. Uji hedonik menggunakan skala
numerik 7 dengan rentang 1 (sangat tidak suka) sampai 7 (sangat suka)
dengan nilai 4 sebagai rasa antara (netral). Skala numerik tersebut adalah 1 =
sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak
suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Parameter uji organoleptik yang digunakan
adalah warna, aroma, rasa, kekenyalan, kadar minyak, kekompakkan dan
overall.
Rancangan percobaan yang digunakan pada uji organoleptik ini adalah
rancangan acak lengkap. Model rancangannya adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + i + ßi + εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan
μ = nilai rata-rata umum
αi = pengaruh taraf ke-i faktor α
ßi = pengaruh taraf ke-i faktor ß
εijk = galat percobaan
Rancangan percobaan diatas menggunakan 2 faktor peubah yaitu
jumlah tepung maizena yang ditambahkan dan lama pemasakan dengan tiga
taraf perlakuan. Agar lebih jelas, jumlah tepung maizena yang ditambahkan
dan lama pemasakan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.
Tabel 9. Formulasi optimasi sosis jamur merang
Formula Maizena (%) Lama Pemasakan (menit)
A
1 5 15
2 5 30
3 5 45
B
1 10 15
2 10 30
3 10 45
C
1 15 15
2 15 30
3 15 45
Agar lebih teliti, maka dilakukan uji pembobotan terhadap atribut
warna, aroma, rasa, kekenyalan, kadar minyak, kekompakkan dan overall
untuk mendapatkan produk terpilih. Uji pembobotan dilakukan oleh 30
panelis. Panelis diminta mengurutkan atribut dari yang sangat penting (no.
1) sampai yang sangat tidak penting (no. 6) yang mempengaruhi
penerimaan panelis terhadap mi hotong.
C. METODE ANALISIS
1. Analisis Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit,
didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang.
Sejumlah sampel (kurang lebih 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan
yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke
dalam oven bersuhu 105°C selama kurang lebih 6 jam atau sampai
beratnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan
rumus:
Kadar air (% bb) = W1 – W2 x 100%
W1
Keterangan :
W1 = berat sampel sebelum dikeringkan
W2 = berat sampel setelah dikeringkan
%1001
21
oWW
WW
2. Kadar Abu Total dengan Metode Pengabuan Total (AOAC, 1995)
Cawan porselin dibakar dalam tanur selama 15 menit kemudian
didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, berat cawan kosong
ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram dan dimasukkan ke
dalam cawan porselen. Selanjutnya cawan yang berisi sampel
dipijarkan diatas pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi.
Pengabuan dilakukan di dalam tanur listrik pada suhu 400 oC – 550
oC
selama 4 - 6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Cawan
yang berisi sampel tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Perhitungan kadar abu dilakukan sebagai berikut:
Kadar abu (% bb) = x 100 %
3. Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl-mikro (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak ± 0,2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl
0,01N/0,02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30
ml. Lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat,
dan batu didih. Sampel kemudian didekstruksi selama 1-1.5 jam hingga
jernih dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 2 ml air yang
dimasukkan secara perlahan ke dalam labu dan didinginkan kembali.
Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dimasukkan ke dalam alat destilasi
dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat
destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator
(Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat
destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan
H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi
dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ± 50 ml. Larutan dalam
erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi
ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu.
Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko.
Kadar N (%)
(Wcawan + abu) – (Wcawan)
Berat sampel (gram)
%100
007.14
W
CVbVs
Kadar protein (% b/b) = % N x faktor konversi (6.25)
Keterangan:
Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml)
Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml)
C = Konsentrasi HCl (N)
W = Berat sampel (mg)
4. Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet (AOAC, 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven,
didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel dalam bentuk
tepung ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring
kemudian ditutup kapas bebas lemak, lalu dimasukkan ke dalam alat
ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu pada ujung-
ujungnya. Lalu dimasukkan pelarut heksana ke dalam alat dan sampel.
Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan pelarut yang ada
di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi
lemak hasil ekstruksi dikeringkan dalam oven bersuhu 105 °C hingga
beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
Kadar lemak (% b/b)
Keterangan : a = berat labu dan sampel akhir (g)
b = berat labu kosong (g)
c = berat sampel awal (g)
5. Kadar Karbohidrat dengan Metode By Difference (AOAC, 1995)
Kadar karbohidrat (% b/b) = 100 % - (A + B + P + L)
Keterangan : A = kadar air (% b/b)
B = kadar abu (% b/b)
P = kadar protein (% b/b)
L = kadar lemak (% b/b)
%100
c
ba
6. Kadar Serat Kasar (Fardiaz et al., 1989)
Dua gram bahan ditimbang (A) dan diekstraksi lemaknya dengan
soxhlet. Pindahkan bahan ke dalam erlenmeyer 600 ml. Kedalamnya
ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25% kemudian didihkan selama 30
menit dengan menggunakan pendingin tegak. Setelah itu tambahkan 50
ml NaOH 3,25% dan didihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan
panas, cairan dalam erlenmeyer disaring menggunakan corong Buchner
yang berisi kertas saring tak berabu yang telah dikeringkan dan
diketahui bobotnya (B). Endapan yang terdapat pada kertas saring
dicuci berturut-turut dengan menggunakan H2SO4 1,25% panas, air
panas, dan etanol 95%. Kertas saring beserta isinya diangkat dan
dimasukkan ke dalam wadah timbang yang telah diketahui bobotnya.
Kemudian dikeringkan pada suhu 105oC, didinginkan dan ditimbang
sampai bobotnya konstan (C). Setelah itu kertas saring dan isinya
dipijarkan di dalam tanur sampai menjadi putih dan dinginkan kembali
serta timbang ( D ) gram. Adapun rumus penentuan kadar serat kasar
sebagai berikut:
Kadar serat kasar = {(C-D-B)/A} x 100%
7. Pengukuran Kekenyalan (Faridah et al., 2006)
Pengukuran tekstur dilakukan menggunakan Texture Analizer
TA-XT2i. Pengukuran daya iris dilakukan dengan meletakkan sampel di
bawah probe pisau dengan kecepatan 2 mm/s dengan jarak 30 mm.
Pengukuran kekenyalan dilakukan dengan meletakkan sampel di bawah
probe tumpul dan sampel ditekan sebanyak 25% selama 60 detik.
Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg. Texture analizer TA-
XT2i dinyalakan lalu dipasang probe. Komputer dinyalakan untuk
menjalankan program Texture Analizer TA-XT2i kemudian dilakukan
setting kondisi pengukuran.
8. Penentuan Susut Masak (Modifikasi dari Soeparno, 1994)
Sampel ditimbang sebelum dan sesudah dimasak pada suhu 80-
83oC selama 20 menit. Kehilangan yang terjadi menunjukkan
banyaknya air dan lemak yang hilang selama pemasakan. Cooking Loss
dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Cooking loss =
Keterangan : a = Bobot sampel sebelum dimasak (g)
b = Bobot sampel sesudah dimasak (g)
9. Penentuan Daya Ikat Air (Soeparno, 1994)
Sampel sosis sebanyak 0,3 gram diletakkan di antara 2 kertas
saring Whatman kemudian dijepit dengan carver press, yaitu diantara
dua plat jepitan berkekuatan 35 kg setiap cm2 kg selama 5 menit. Luas
area basah adalah luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan,
yaitu selisih luas lingkaran luar dan dalam kertas saring. Pengukuran
lingkaran dilakukan dengan planimeter. Bobot air bebas dapat
dilakukan dengan rumus sebagai berikut :
mg H2O =
% air bebas =
Dengan mengetahui kadar air total sosis maka kadar air terikat
atau Water Holding Capacity dapat ditentukan dengan rumus :
Daya Ikat Air (%) = kadar air total (%) – kadar air bebas (%)
(a-b) x 100%
a
Luas area basah (cm2)
0,0948
- 8,0
mg H2O
300 mg x 100%
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengembangan Formula dan Metode Sosis Jamur Merang
Proses pembuatan sosis dari jamur merang dilakukan dengan beberapa
tahap yaitu persiapan bahan, cutting, pencampuran bahan, stuffing, dan
pemasakan sosis. Jamur merang yang digunakan dalam penelitian ini adalah
jamur merang yang langsung dibeli di pasar. Persiapan bahan yang dilakukan
yaitu hanya membersihkan jamur merang dari kotoran dengan cara
mencucinya dengan air mengalir.
Proses cutting pada pembuatan sosis dari jamur merang terbagi atas 2
tahap. Waktu pada setiap tahapan cutting tidak distandarkan, tetapi dilakukan
modifikasi yakni tiap proses cutting dilakukan hingga adonan tercampur
merata. Menurut hasil pengamatan waktu terlama proses cutting terjadi pada
tahap cutting keempat yaitu selama 5 menit. Menurut Kramlich et al.(1973),
pada tahap penggilingan bahan kuring ditambahkan sehingga dapat
terdistribusi secara merata dan suhu adonan yang terbentuk dipertahankan
serendah mungkin sekitar 3-11oC agar diperoleh stabilitas emulsi maksimun.
Berdasarkan hasil pengamatan dalam penelitian ini, suhu akhir adonan pada
proses cutting secara keseluruhan yaitu 5oC. Sehingga, kondisi agar tercipta
sistem emulsi yang maksimum telah terpenuhi pada pembuatan sosis jamur
merang ini.
Proses cutting pertama yaitu proses penghancuran jamur merang segar
menggunakan food processor. Jamur segar yang telah dibersihkan
dihancurkan menggunakan food processor agar terbentuk potongan-potongan
jamur merang yang lebih kecil. Penghancuran jamur segar menjadi potongan-
potongan kecil ini bertujuan untuk mempersingkat waktu jamur merang
ketika akan dibekukan nanti. Jamur merang yang telah dihancurkan menjadi
potongan-potongan yang lebih kecil kemudian disimpan dalam freezer lemari
es selama kurang lebih 3 jam agar membeku. Hal ini untuk memudahkan
pada saat jamur merang akan dihaluskan menggunakan grinder.
Proses cutting kedua yaitu, proses penghalusan jamur beku
menggunakan mesin grinder. Jamur merang beku tidak perlu dithawing
karena mesin grinder tidak mampu mendorong jamur merang apabila jamur
merang tidak dalam keadaan beku. Selain itu, kristal es yang ada akan
menjaga protein jamur merang agar tidak terdenaturasi oleh panas yang
dihasilkan oleh mesin. Manfaat lainnya apabila jamur merang beku tidak
dithawing yaitu, air yang terkandung dalam jamur merang tidak banyak
terbuang pada saat dihaluskan menggunakan mesin grinder. Ini dikarenakan,
air jamur merang yang telah dihaluskan masih dalam bentuk kristal es
sehingga dapat mempertahankan suhu dingin jamur merang pada saat proses
cutting selanjutnya. Pengukuran menggunakan termometer menunjukkan
suhu jamur merang yang telah dihaluskan yaitu ±5oC.
Gambar 2. Persiapan bahan baku sosis jamur merang
Proses selanjutnya yaitu proses pencampuran jamur merang dengan
bahan-bahan lain antara lain, garam, minyak nabati, isolat protein kedelai dan
putih telur. Putih telur pada penelitian ini mulai ditambahkan ke dalam
adonan sosis pada formula kedua dan seterusnya. Bahan-bahan yang
ditambahkan pada tahap ini dimaksudkan agar terbentuk emulsi sosis yang
baik. Es yang biasanya ditambahkan pada pembuatan sosis daging tidak
ditambahkan pada proses ini dikarenakan jamur merang masih dalam keadaan
dingin, sekitar ±5oC. Proses ini merupakan proses yang sangat penting,
karena kualitas emulsi sosis sangat ditentukan di tahap ini. Selanjtnya yaiut
proses pencampuran bahan pengisi dan bumbu ke dalam adonan. Bahan
pengisi yang digunakan pada penelitian ini antara lain karagenan, tepung
tapioka, dan tepung maizena. Bumbu-bumbu yang digunakan antara lain
bawang merah, bawang putih, lada, jahe, gula pasir, pala, dan monosodium
glutamate (MSG). Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sosis,
kuantitas isian sosis, dan cita rasa sosis jamur merang.
Proses stuffing adalah proses memasukkan adonan sosis ke dalam
selongsong sosis. Stuffer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu stuffer
manual karena kapasitas adonan yang tidak cukup banyak untuk dimasukkan
ke dalam stuffer. Kelemahan dari alat ini yaitu mudah terbentuknya kantung
udara di dalam selongsong ketika adonan sosis dimasukkan ke dalam
selongsong sosis.
Proses terakhir dari pembuatan sosis jamur merang dalam penelitian
ini yaitu pemasakan sosis. Pemasakan ini bertujuan menyatukan komponen
utama adonan sosis (Lawrie, 1961), mengompakkan sosis karena denaturasi
protein dan dehidrasi sebagian, serta mempasteurisasi sosis (Kramlich, 1971).
Pemasakan sosis jamur merang dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
merebus sosis pada air bersuhu 75-80oC selama 30 menit. Kisaran suhu
perebusan yang dilakukan agar tercapai kecukupan panas pada titik coldest
point sosis yaitu sebesar 72-75oC sehingga produk sosis aman dikonsumsi
(Pearson and Tauber 1984). Berdasarkan hasil pengukuran suhu internal
sosis, pencapaian suhu internal sosis 72oC pada coldest point tercapai setelah
menit kelima. Sehingga apabila diperhitungkan kecukupan pasteurisasi, maka
perebusan pada suhu 75-80oC selama 30 menit sudah cukup untuk
mempasteurisasi sosis. Menurut Heinrickson (1978), pemasakan sosis paling
baik dilakukan pada kisaran suhu optimal 70-80oC dengan waktu yang
sesingkat mungkin sehingga sosis matang. Pemasakan sosis sampai suhu
80oC akan meningkatkan kekenyalan sosis dan pemasakan sosis sampai lebih
dari 100oC akan menurunkan elastisitas atau sosis menjadi rapuh dan lemak
akan keluar (Amano, 1965). Setelah sosis masak, sosis didinginkan dengan
air mengalir.
Tabel 10. Kadar proksimat jamur merang, bahan pengikat, dan bahan pengisi
sosis jamur merang.
Jenis Bahan Air
(% bb)
Protein
(% bk)
Lemak
(% bk)
Abu
(% bk)
Karbohidrat
(% bk)
Jamur Merang1)
88,58 30,67 6,57 9,48 50,71
Isolat Protein
Kedelai2)
5,91 88,30 2,32 0,87 1,60
Tepung Tapioka3)
12,00 0,50 0,30 0,20 86,90
Tepung Maizena3)
5,46 9,89 1,29 0,61 85,75
1) Suwaida (1991)
2) Ockerman (1983)
3) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1989)
Formula awal yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada
formula dan proses daging sapi metode Hermanianto et al. (1999), dengan
asumsi protein pada jamur merang dapat berfungsi sebagai emulsifier.
Formula awal hasil modifikasi metode Hermanianto et al. (1999), dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Formulasi ke-1 sosis jamur merang
Komposisi Jumlah (gram)
Jamur merang 300
Tepung tapioka 60
Garam 10
Minyak 60
Formula Tabel 11 menghasilkan bentuk sosis yang terpisah antara
padatan minyak dan air.. Sosis yang dihasilkan lembek dengan kadar minyak
sangat tinggi. Hal ini diduga karena perbedaan jenis serta kurangnya protein
pada jamur merang yang berfungsi sebagai emulsifier serta komposisi antara
minyak air, dan padatan yang belum tepat. Menurut Fennema (1985), jenis
protein pada daging yang berfungsi sebagai emulsifier adalah protein aktin
dan miosin. Hasil pembuatan sosis jamur merang formula pertama dapat
dilihat pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Hasil formulasi pertama sosis jamur merang.
Pengembangan formula selanjutnya dilakukan penambahan jumlah
protein, pengikatan air, dan pengurangan kadar minyak. Penambahan protein
dilakukan dengan menambahkan putih telur dan isolat protein kedelai,
sedangkan pengikatan air dilakukan dengan menambahkan tepung
karagenan. Penambahan putih telur dan karagenan dilakukan agar diperoleh
bentuk sosis yang menyatu, kompak, tidak pecah ketika ditekan, dan kadar
minyak yang tidak berlebihan. Penambahan isolat protein kedelai dilakukan
dikarenakan isolat protein kedelai berfungsi sebagai bahan pengikat sehingga
air tidak terpisah pada sistem emulsi sosis. Formula kedua sosis jamur
merang dapat dilihat pada Tabel 12.
Hasil penelitian Rukmana (2001) dalam pembuatan sosis dari tempe
kedelai diperlukan penambahan albumin dari empat butir telur ayam untuk 75
gram tempe yang digunakan. Empat butir telur ayam mengandung albumin
kurang lebih sebanyak 125 gram, sehingga untuk 300 gram tempe dibutuhkan
sebanyak 50 gram albumin atau kurang lebih 2 butir telur. Fadilah (2003),
menyatakan bahwa tempe kedelai memiliki kadar air sebesar 68,3% (b/b) dan
protein sebesar 14% (b/b). Sedangkan jamur merang memiliki kadar air
sebesar 87,7% (b/b) dan protein sebesar 3,8% (b/b). Berdasarkan
pertimbangan perbedaan komposisi kadar air dan protein antara jamur merang
dan tempe kedelai, maka penambahan albumin pada pembuatan sosis jamur
merang lebih banyak daripada jumlah albumin yang ditambahkan pada
pembuatan sosis dari tempe.
Tabel 12. Formulasi ke-2 sosis jamur merang
Komposisi Jumlah
Jamur merang 300
Tepung tapioka 15
Tepung karagenan 15
Isolat protein kedelai 9
Garam 7,5
Minyak 30
Putih telur 75
Gambar 4. Penampakan melintang sosis hasil formulasi kedua.
Penambahan putih telur pada formula kedua pembuatan sosis jamur
merang ternyata efektif dalam membentuk sosis yang kenyal dan kompak. Ini
dikarenakan salah satu sifat fisikokimia putih telur yang penting dalam
pembentukan sosis yang kompak yaitu koagulasi. Koagulasi yaitu penurunan
daya larut dari molekul-molekul protein atau perubahan bentuk dari cairan
(sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel). Protein yang terkandung
dalam putih telur diduga dapat berperan sebagai emulsifier pada sistem
emulsi sosis. Ini terlihat dari penampakan melintang sosis yakni sosis tidak
mengalami pemisahan antara air dan minyak.
Karagenan digunakan sebagai bahan pengisi karena dapat menyerap
air lebih banyak dibandingkan dengan tepung tapioka. Karagenan
memberikan tekstur yang kenyal pada sosis jamur merang dengan
membentuk gel yang kuat pada strutur sosis. Penambahan karagenan juga
berpengaruh pada stabilitas emulsi sosis. Karagenan dapat digunakan sebagai
bahan pengisi pada sosis karena berasal dari golongan polisakarida, stabil
pada pH netral yakni daging umumnya juga memiliki yang pH netral.
Produk-produk karagenan umumnya cocok bereaksi dan berfungsi baik
dengan pati, gula, gum, dan lain-lain sehingga banyak diaplikasikan untuk
produk pangan seperti digunakan sebagai bahan penstabil pada berbagai
produk olahan pangan susu dan daging (Imeson, 2000)
Hasil sosis formulasi kedua masih memiliki kelemahan antara lain
tingkat kekenyalan yang kurang baik, kadar minyak yang masih tinggi, dan
struktur sosis yang belum kompak (rapat). Oleh karena itu, dilakukan
perbaikan formula pembuatan sosis dengan melakukan penambahan jumlah
tepung tapioka, karagenan dan putih telur serta pengurangan kadar minyak
pada formula ketiga. Formula ketiga dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini.
Tabel 13. Formulasi ketiga sosis jamur merang.
Komposisi Jumlah
Jamur merang 300
Tepung tapioka 30
Tepung karagenan 18
Isolat protein kedelai 9
Garam 7,5
Minyak 30
Putih telur 105
Gambar 5. Penampakan melintang sosis hasil formulasi ketiga.
Sosis jamur merang yang dihasilkan dari formulasi ketiga lebih baik
dibandingkan sosis hasil formulasi sebelumnya. Kekenyalan dan kekompakan
yang dihasilkan cukup baik. Namun permukaan sosis masih berminyak.
Selain itu, setelah diuji dengan pemasakan lanjut, kekenyalan dan
kekompakan sosis menurun. Oleh karena itu, dibuat formulasi selanjutnya
dengan menurunkan kadar minyak dan mengganti tepung tapioka menjadi
tepung maizena. Alasan pemilihan tepung maizena karena ukuran granula
tepung maizena lebih kecil daripada ukuran granula tepung tapioca. Ini
mengakibatkan kemampuan tepung maizena dalam mengikat air lebih tinggi
daripada tepung tapioka karena luas permukaan tepung maizena yang lebih
basar. Formula keempat sosis jamur merang dapat dilihat pada Tabel 14 di
bawah ini.
Tabel 14. Formulasi keempat sosis jamur merang.
Komposisi Jumlah (gram)
Jamur merang 300
Tepung maizena 30
Tepung karagenan 18
Isolat protein kedelai 9
Garam 7,5
Minyak 12
Putih telur 105
Gambar 6. Penampakan melintang sosis hasil formulasi keempat.
Sosis hasil formula keempat memiliki karakteristik kekenyalan dan
kekompakan yang baik serta kadar minyak permukaannya yang sedikit.
Setelah diuji dengan pemasakan lanjut, kestabilan sosis tidak berubah. Oleh
karena itu, sosis hasil formulasi keempat inilah yang dipilih untuk diuji
organoleptik
B. Optimasi Formula Sosis Jamur Merang
1. Uji organoleptik
Hasil pengembangan formulasi sosis jamur merang kemudian diuji
secara organoleptik. Agar diperoleh hasil penilaian organoleptik yang efektif,
maka diperlukan penambahan bumbu pada formulasi sosis untuk uji
organoleptik. Bumbu yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada
komposisi bumbu sosis daging oleh Sugiyono (1992) yaitu bawang merah
0,5%, bawang putih 0,25%, lada 0,1%, gula pasir 1,5%, pala 0,05%, MSG
0,1%, dan jahe 0,5%.
Analisis organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik
dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap produk sosis
jamur merang berdasarkan kriteria warna, aroma, rasa, kekenyalan,
kekompakan, kadar minyak, dan keseluruhan (overall), tanpa
membandingkan antar sampel. Panelis yang digunakan adalah panelis semi
terlatih sebanyak 30 orang. Skor penilaian yang digunakan yaitu pada kisaran
1 sampai 7. Skor 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4
= netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Lembar (form) penilaian
yang digunakan pada uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 3-5. Hasil
penilaian hedonik selanjutnya dianalisis secara statistik. Analisis statistik
yang dilakukan terdiri dari sidik ragam dan uji lanjut Duncan. Hasil pengujian
statistik dari uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 4-10.
a. Warna sosis
Warna merupakan parameter pertama yang terlihat oleh konsumen,
sehingga parameter ini dapat menjadi acuan pertama yang digunakan
konsumen dalam menilai mutu suatu produk pangan. Menurut Winarno
(1997), penilaian mutu bahan pangan sangat bergantung pada beberapa
faktor di antaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya. Akan tetapi
sebelum faktor-faktor ini dipertimbangkan, secara visual faktor warna
kadang-kadang sangat menentukan. Suatu produk pangan yang dinilai
bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila
memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah
menyimpang dari warna yang seharusnya. Warna dalam suatu makanan
umumnya dipengaruhi oleh formula bahan baku. Selain itu, proses
pengolahan juga mempengaruhi warna produk yang dihasilkan. Skor rata-
rata kesukaan panelis terhadap atribut warna dapat dilihat pada Gambar 7.
Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 7. Hubungan antara sampel dengan skor rata-rata kesukaan
panelis berdasarkan atribut warna.
Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan signifikansi dari
sampel adalah 0.739 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap warna
produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Formulasi
variasi maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi
warna yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan
terhadap warna sosis jamur merang ini berkisar 4,60-4,90 (netral
hingga agak suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula A3,
B2 dan C1.
b. Aroma
Salah satu pengujian kesukaan produk pangan dapat dilakukan
dengan pengujian aroma. Aroma suatu makanan dapat dinilai dengan
indera pembau/penciuman. Winarno (1997) menjelaskan bahwa aroma
makanan banyak menentukan kelezatan makanan tersebut dan pembauan
dapat mengenal enak tidaknya suatu makanan.
Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 8. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan
panelis berdasarkan atribut aroma.
Hasil sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan signifikansi dari
sampel adalah 0,12 (P<0,05), artinya nilai kesukaan terhadap aroma
produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Formulasi variasi
tepung maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi aroma
yang dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap
aroma sosis jamur merang ini berkisar antara 3,57-4,27 (tidak suka hingga
agak suka). Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula B3 (tepung
maizena 10%, lama pemasakan 45 menit).
c. Kekenyalan
Kekenyalan sosis jamur merang dapat dinilai dengan cara menekan
sosis jamur merang. Uji hedonik terhadap kekenyalan merupakan uji
kesukaan jamur merang menggunakan indera peraba. Kekenyalan
merupakan komponen yang sangat penting dalam penilaian organoleptik
produk sosis. Lawrie (1974) mengatakan, tekstur dan keempukan
mempunyai tingkatan paling penting bagi konsumen dan dicari walaupun
mengorbankan cita rasa, flavor, atau warna.
Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 9. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan
panelis berdasarkan atribut kekenyalan.
Hasil sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan signifikansi dari
sampel adalah 0.177 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap
kekenyalan produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
Formulasi variasi tepung maizena dan optimasi lama pemasakan tidak
mempengaruhi kekenyalan yang dihasilkan dari sosis jamur merang.
Rataan nilai kesukaan terhadap kekenyalan sosis jamur merang ini
berkisar 4,37-5,10 (netral hingga suka). Nilai kesukaan tertinggi
diperoleh oleh formula A1 (tepung maizena 5%, pemasakan 15 menit).
Dalam hal ini, kekenyalan sosis lebih banyak dipengaruhi oleh
penambahan karagenan dan putih telur.
d. Kekompakan
Kekompakan sosis jamur merang dapat terlihat dari
penampakan melintang bagian dalam sosis. Struktur sosis yang padat
menunjukkan bahwa sosis tersebut memiliki kekompakan yang baik.
Hasil sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan signifikansi dari sampel
adalah 0.257 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap kekompakan
produk tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 10. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan
panelis berdasarkan atribut kekompakan.
Formulasi variasi tepung maizena dan optimasi lama
pemasakan tidak mempengaruhi kekompakan yang dihasilkan dari
sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap kekompakan sosis
jamur merang ini berkisar 4,30-4,97 (netral hingga suka). Nilai
kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula A1 (tepung maizena 5%,
pemasakan 15 menit).
e. Kadar minyak permukaan
Penilaian kadar minyak pada sosis jamur merang dilakukan
dengan mengamati bagain permukaan sosis jamur merang. Hasil sidik
ragam (Lampiran 8) menunjukkan signifikansi dari sampel adalah
0.007 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap kadar minyak produk
tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Formulasi variasi
tepung maizena dan optimasi lama pemasakan tidak mempengaruhi
kadar minyak permukaan yang dihasilkan dari sosis jamur merang.
Rataan nilai kesukaan terhadap kadar minyak sosis jamur merang ini
berkisar 4,27-5,10 (netral hingga suka). Nilai kesukaan tertinggi
diperoleh oleh formula A1 (tepung maizena 5%, pemasakan 15 menit).
Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 11. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan
panelis berdasarkan atribut kadar minyak.
f. Rasa
Rasa merupakan faktor penting dalam menentukan penerimaan
konsumen terhadap produk tertentu setelah faktor warna produk.
Pengujian rasa pada makanan banyak melibatkan lidah (Winarno, 1997).
Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan signifikansi dari sampel
adalah 0.000 (P<0.05), artinya nilai kesukaan terhadap rasa produk
berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Formulasi variasi tepung
maizena dan optimasi lama pemasakan mempengaruhi atribut rasa yang
dihasilkan dari sosis jamur merang. Rataan nilai kesukaan terhadap kadar
minyak sosis jamur merang ini berkisar 3,43-4,90 (netral hingga suka).
Nilai kesukaan tertinggi diperoleh oleh formula B1 (tepung maizena 10%,
pemasakan 15 menit).
Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 12. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata kesukaan
panelis berdasarkan atribut rasa.
g. Over all
Pengujian hedonik secara keseluruhan (overall) digunakan untuk
mengukur seberapa besar tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan
atribut yang ada pada produk yang mencakup atribut warna , aroma, rasa,
dan tekstur. Pemilihan produk terpilih sosis jamur merang dapat diketahui
dengan pengujian overall. Skor rata-rata kesukaan panelis secara overall
dapat dilihat pada Gambar 13.
Ket: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang
tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 13. Hubungan antara sampel dengan skor rata- rata
kesukaan panelis berdasarkan atribut over all.
Berdasarkan hasil pengujian organoleptik (Gambar 13) dapat
diketahui bahwa tingkat kesukaaan keseluruhan berkisar antara 3,87-4,87
atau agak tidak suka sampai agak suka. Tingkat kesukaan panelis tertinggi
terdapat pada sampel B1 (tepung maizena 10%, pemasakan 15 menit)
sebesar 4,87 (agak suka).
2. Uji pembobotan
Berdasarkan skor dari hasil uji hedonik secara overall baik itu
terhadap sosis jamur merang, maka sampel B1 (maizena 10 % , lama
pemasakan 15 menit) merupakan sampel/produk terpilih karena memiliki
skor yang paling tinggi. Akan tetapi, agar lebih teliti, maka dilakukan uji
pembobotan untuk mendapatkan produk terpilih. Uji pembobotan ini
dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu atribut dari sosis jamur
merang yang memegang peranan penting dan sangat mempengaruhi
penerimaan panelis. Panelis mengurutkan atribut dari yang sangat penting
(skor 6) sampai sangat tidak penting (skor 1) yang mempengaruhi penerimaan
panelis terhadap sosis jamur merang.
Tabel 15. Nilai total pembobotan pada setiap atribut sosis jamur merang
Atribut Total Skor Bobot (%)
Warna 96 15.24
Aroma 128 20.32
Rasa 158 25.08
Kekenyalan 100.00 15.87
Kadar minyak 77.00 12.22
Kekompakan 71 11.27
Total Nilai 630 100.00
Tabel 16. Nilai rata-rata tiap sampel pada setiap atribut penilaian.
Atribut Sampel
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Warna 4,6 4,7 4,9 4,7 4,9 4,8 4,9 4,8 4,6
Aroma 3,6 3,7 4,3 4,1 4,0 4,2 4,1 3,6 3,6
Rasa 3,4 3,7 3,6 4,9 4,2 4,8 4,8 3,9 3,6
Kekenyalan 5,1 4,7 4,7 4,6 4,6 4,4 4,6 5,0 4,4
Kadar Minyak 5,1 4,5 4,7 4,4 4,3 4,4 4,9 4,7 4,4
Kekompakan 5,0 4,7 4,5 4,4 4,8 4,4 4,6 4,8 4,3
Nilai persentase dari masing-masing atribut (Tabel 15) ini kemudian
dikalikan dengan skor rata-rata kesukaan tiap atribut pada uji hedonik (Tabel
16) dan hasilnya dijumlahkan untuk masing-masing sampel (Lampiran 14).
Produk terpilih diperoleh dengan menilai pembobotan yang paling tinggi
(Gambar 14).Nilai tertinggi hasil uji pembobotan sosis jamur merang
diperoleh pada ssampel sosis C1 atau sosis jamur merang dengan
penambahan tepung maizena 15% dan lama pemasakan 15 menit.
Gambar 14. Hasil uji pembobotan tiap sampel pada berbagai perlakuan.
C. Analisis Produk Terpilih
Analisis yang dilakukan pada produk terpiih sesuai hasil uji pembobotan
terdiri dari analisis proksimat, analisis kadar serat kasar, uji kekenyalan, dan uji
water hoding capacity. Analisis proksimat dilakukan untuk memperoleh data
kasar mengenai komposisi kimia suatu bahan pangan. Analisis ini meliputi
kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Hasil
analisis produk terpilih sosis jamur merang terpilih dan beberapa jenis sosis
lainnya dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini.
Tabel 17. Nilai analisis produk terpilih sosis jamur merang.
No Parameter
Sosis
Jamur
Merang
Sosis
Komersila)
Sosis
Tempeb)
Sosis
Tahuc)
SNI
1 Kadar abu
(% bb) 2,97 1,34 - 3,04
2,23 6,25 Maks
3,0
2 Kadar air
(% bb) 81,22
24,35 -
49,77
49,6 58,91 Maks
67,0
3 Kadar lemak
(% bb) 1,89
5,14 -
54,57
11,15 21,12 Maks
25,0
4 Kadar protein
(% bb) 5,62
23,81 -
39,92
8,65 26,04 Min
13,0
5 Kadar karbohidrat
(% bb) 8,3 -
28,81 19,02 Maks 8
5 Kadar serat kasar
(% bb) 26,20 -
- -
6 Kekenyalan (Kgf) 0,74 - - -
7 Cooking loss (%) 4,44 - - -
8 WHC (%) 52,59 - - 25,75
a) Sumber : Marcos (1994)
b) Sumber : Tejopranoto (1988)
c) Sumber : Harisan(1996)
Kadar air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia
dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga
merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan air
dalam bahan makanan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan
bahan tersebut (Winarno, 1997). Kadar air yang terdapat pada suatu produk
mempengaruhi kerusakan terhadap mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis.
Rendahnya kadar air suatu bahan pangan merupakan salah satu faktor yang
dapat membuat produk pangan menjadi lebih awet. Hasil analisis proksimat
pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kadar air pada sosis jamur merang lebih
tinggi tinggi jika dibandingkan dengan sosis komersil dan sosis tempe.
Tingginya kadar air jamur merang ini tidak memenuhi syarat kadar air sosis
yang disyaratkat SNI yakni maksimal 67%. Tingginya kadar air sosis jamur
merang ini disebabkan kadar air jamur merang yang sangat tinggi yaitu sebesar
87,7% bb.
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari organik dan
air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal
sebagai zat anorganik atau kadar abu, karena dalam proses pembakaran, bahan-
bahan organik akan habis terbakar,sedangkan bahan anorganik tidak, itulah
sebabnya disebut dengan abu (Winarno, 1997). Abu merupakan residu
anorganik yang terdiri dari bermacam-macam mineral. Kadar abu yang
terdapat dalam suatu produk pangan menunjukkan jumlah kandungan mineral
(Faridah et al., 2006). Kadar abu sosis jamur merang sebesar 2,97 (bb) %.
Kadar abu sosis jamur merang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu
jamur merang segar (1,0 % bb). Peningkatan ini disebabkan adanya
penambahan NaCl sebagai penambahan mineral dari luar dan abu yang berasal
dari karagenan. Kadar abu sosis jamur merang telah memenuhi syarat kadar
abu yang disyaratkan SNI yaitu sebesar maksimal 3,0%.
Beberapa sifat fungsional penting dari protein dalam makanan
berhubungan dengan air dan protein. Sifat fungsional ini termasuk kelarutan,
penyerapan dan pengikatan air, kekentalan, dan gelasi (Hardman, 1989).
Penetapan kadar protein pada sosis jamur merang dilakukan dengan metode
mikro-Kjeldahl. Metode ini didasarkan pengukuran kadar nitrogen yang
terkandung dalam bahan. Kadar protein pada sosis jamur merang sebesar
5,62% bb. Kadar protein sosis jamur merang lebih tinggi dibandingkan jamur
merang segar karena adanya penambahan isolat protein kedelai, namun lebih
rendah daripada kadar protein sosis komersial maupun sosis tempe. Ini
dikarenakan kadar protein jamur merang jauh lebih rendah daripada kadar
protein daging maupun tempe (14,85% b/b).
Penambahan lemak berpengaruh terhadap tekstur dan rasa sosis, namun
juga dapat menjadi masalah dalam pengolahan, sehingga pada proses
pengolahan sosis, lemak harus dijaga agar tidak terjadi pemisahan. Kelembutan
dan kekerasan juga dipengaruhi oleh kandungan lemak (Price dan Bernand,
1987). Jenis dan jumlah lemak yang ditambahkan akan mempengaruhi emulsi
adonan sosis serta sifat fisika dan kimia dari sosis. Keseimbangan konsentrasi
lemak dan air merupakan bahan penolong untuk memperoleh produk emulsi
yang baik (Suffle, 1968).
Penetapan kadar lemak pada sosis jamur merang dilakukan dengan
metode ekstraksi soxhlet. Kadar lemak pada sosis jamur merang sebesar 1,89%
bb. Apabila dibandingkan dengan kadar lemak jamur merang segar (0.60% bb),
kadar lemak sosis jamur merang jauh mengalami peningkatan karena adanya
penambahan minyak nabati pada pembutan sosis jamur merang.
Karbohidrat selain sebagai sumber energi utama juga mempunyai
peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya
rasa, warna, dan tekstur (Winarno, 1997). Karbohidrat degan fungsinya yang
berganda memegang peran penting dalam berbagai pengolahan pangan.
Karbohidrat merupakan bahan yang secara alami memiliki fungsi memberikan
tekstur yang baik. Dalam berbagai produk baru, karbohidrat tetap dirancang
sebagai komponen yang memperkuat struktur produk pangan (Rompis, 1998).
Penentuan kadar karbohidrat dalam analisis proksimat dilakukan secara
by difference yaitu dengan cara mengurangkan 100% dengan total komponen
lain (air, abu, lemak, dan protein). Kadar karbohidrat sosis jamur merang (8,3%
bb) lebih rendah dibandingkan dengan sosis lainnya, namun meningkat jika
dibandingkan dengan kadar karbohidrat jamur merang segar. Sumber utama
kadar karbohidrat pada sosis jamur merang berasal dari tepung maizena dan
karagenan.
Istilah serat kasar (crude fiber) berbeda dengan serat pangan (dietary
fiber) yang biasa digunakan dalam analisa proksimat makanan. Serat kasar
adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan
kimia tertentu, seperti asam sulfat (H2SO4) dan natrium hidroksida (NaOH)
mendidih (Fardiaz et al., 1989). Menurut Van Soest dan Robertson (1977)
dalam Widodo (2008), analisa serat kasar tidak dapat menunjukkan nilai serat
pangan yang sebenarnya, sebab sekitar 20-50% selulosa, 50-80% lignin, dan
80-85% hemiselulosa hilang selama analisa. Hasil analisa serat kasar pada
sosis jamur merang pada Tabel 17 menunjukkan nilai 26,20%. Sumber serat
kasar pada sosis jamur merang terutama berasal dari jamur merang itu sendiri.
Kekenyalan merupakan sifat reologi yang menggambarkan daya tahan
produk untuk lepas atau pecah oleh adanya gaya tekan (Soekarto, 1990).
Menurut deMan (1997), kekenyalan adalah kemampuan bahan pangan yang
dimampatkan atau ditekan kembali ke kondisi awal setelah beban tekanan
dihilangkan. Sifat kenyal adalah adalah sifat reologi pada produk pangan
elastis yang bersifat deformasi. Besarnya dapat dianalisis menggunakan Textur
Analyzer yang memberikan gaya kepada bahan dengan besaran dan waktu
tertentu sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur (Faridah, et
al., 2006). Hasil pengukuran tingkat kekenyalan sosis jamur merang
menunjukkan nilai 0,74 Kgf. Tingkat kekenyalan pada produk sosis jamur
merang lebih banyak disumbangkan oleh putih telur dan karagenan dari pada
jamur merang itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Marcos (1994), produk
sosis komersil memiliki tingkat kekenyalannya berkisar dari 0,5 Kgf sampai
0,8 Kgf.
Cooking loss atau susut masak adalah berat yang hilang selama
pemasakan (Soeparno, 1994). Susut masak sosis dihitung sebagai persentase
penurunan berat sosis sebelum dimasak dibandingkan dengan berat sosis
setelah dilakukan proses pemasakan. Analisis ini dilakukan menggunakan
keranjang kawat agar pemisahan air dan zat-zat lain setelah pemasakan mudah
dilakukan sehingga susut masak dapat diukur. Berat sebelum dan sesudah
pemasakan adonan sosis dalam keranjang kawat ditimbang, sehingga
kehilangan air, minyak, dan zat-zat nutrisi lain selama pemasakan dapat
diketahui. Produk dengan persentase susut masak yang lebih rendah
mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan produk dengan
persentase susut masak yang lebih tinggi karena kehilangan nutrisi selama
pemasakan lebih sedikit (Soeparno, 1994). Nilai susut masak sosis jamur
merang yaitu 4,44%.
Water holding capacity merupakan istilah yang digunakan untuk
menjelaskan kemampuan dari matriks-matriks molekul-molekul terutama
makromolekul untuk mengikat sejumlah besar air sedemikan rupa sehingga
mencegah pengeluaran air dari bahan pangan (Fennema, 1985). Sifat ini
sangat penting dalam pembuatan produk emulsi seperti sosis dan dalam
pembuatan produk emulsi tersebut dibutuhkan WHC yang tinggi. Perhitungan
air bebas ini didasarkan pada banyaknya mg H2O yang dapat dibebaskan oleh
sampel. Kadar air bebas pada sosis jamur merang (52,59%) lebih tinggi jika
dibandingkan dengan sosis tahu (25,75%). Hal ini dikarenakan pemakaian
karagenan dan putih telur yang menghasilkan struktur gel sosis yang stabil.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Bahan-bahan yang dibutuhkan pada pembuatan sosis jamur merang
antara lain jamur merang, tepung maizena, karagenan, putih telur, garam
dapur, minyak nabati, isolat protein kedelai, bawang merah, bawang putih,
lada, jahe, gula pasir, pala, dan monosodium glutamate (MSG). Proses
pembuatan sosis jamur merang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan
bahan, cutting, pencampuran, stuffing, dan pemasakan sosis.
Pemakaian karagenan dan putih telur pada formulasi pembuatan sosis
jamur merang menghasilkan sosis dengan kekenyalan dan kekompakan yang
sangat baik. Penggantian tepung tapioka dengan tepung maizena
menghasilkan sosis jamur merang yang stabil setelah pemasakan lanjut.
Formula sosis yang dipakai untuk uji organoleptik yaitu formula sosis dengan
pamakaian tepung maizena 10%, karagenan 5%, isolat protein kedelai 2%,
garam 2,5%, minyak nabati 4%, dan putih telur 35%, bawang merah 0,5%,
bawang putih 0,25% lada 0,1%, gula pasir 1,5%, pala 0,05%, MSG 0,1% dan
jahe 0,5%.
Nilai rata-rata kesukaan terhadap warna sosis jamur merang berkisar
4,60-4,90 (netral hingga agak suka). Nilai rata-rata kesukaan terhadap aroma
sosis jamur merang berkisar 3,57-4,27 (tidak suka hingga agak suka). Nilai
rata-rata kesukaan terhadap kekenyalan sosis jamur merang berkisar 4,37-5,10
(netral hingga suka). Nilai rata-rata kesukaan terhadap kekompakkan sosis
jamur merang berkisar 4,30-4,97 (netral hingga suka). Nilai rata-rata kesukaan
terhadap kadar minyak sosis jamur merang berkisar 4,27-5,10 (netral hingga
suka). Nilai rata-rata kesukaan terhadap rasa sosis jamur merang berkisar
4,43-4,90 (netral hingga suka). Nilai rata-rata kesukaan secara overall sosis
jamur merang berkisar 3,87-4,87 atau agak tidak suka sampai agak suka.
Produk terpilih yang diperoleh melalui uji pembobotan yaitu sosis
jamur merang dengan tepung maizena 15%, pemasakkan 15 menit. Sosis
jamur merang terpilih memiliki kadar air sebesar 81,22% (bb), kadar abu
2,97% (bb), kadar protein 5,62% (bb), kadar lemak 1,89% (bb), kadar
karbohidrat 8,3% (bb), dan kadar serat kasar 26,20% (bb). Berdasarkan uji
fisik, sosis jamur merang terpilih memiliki nilai kekenyalan 0,74 Kgf,
kehilangan padatan akibat pemasakan (cooking loss) sebesar 4,44 % (bb), dan
daya ikat air sebesar 52,59%.
B. SARAN
Sosis jamur merang yang dihasilkan pada penelitian ini masih
memiliki kadar air yang sangat tinggi. Oleh karena itu perlu adanya penelitian
lanjut untuk mengurangi kadar air sosis jamur merang. Selain itu, perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui umur simpan dari sosis jamur merang.
V. DAFTAR PUSTAKA
Amano, K. 1965. Fish Sausages Manufacturing. In : Borgstrom. G. (Eds.). Fish as
Food Vol III. Academic Press, Inc, New York.
Albert, E. D. 2001. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co., Sans
Fransisco.
AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Official Analytical
Chemist, Inc. Arlington, Virginia
Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3820-
1995. Sosis Daging. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Baldwin, R. E. 1977. Fuctional properties in foods. In : W. J. Stadelam dan O. J.
Cotterill (Eds.). Egg Science and Technology. The AVI Publishing
Co.,Inc.,Westport, Connecticut.
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., Wooton, M. 1987. Ilmu Pangan.
Diterjemahkan oleh Hadi Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia,
Jakarta.
Chang, S. T. 1972. The Chinese Mushroom. The Chinese University ,
Hongkong.
Chang, S. T. 1982. Cultivation of Volvariella volvaceae in Southeast Asia. In : S.
T. Chang dan T. H. Quimio (Eds.) Tropical Mushrooms : Biological
Nature and Cultivation Methods. The Chinese University, Hongkong.
Cristian, J. A. dan R. L. Suffle. 1967. Plant and animal far and oils emulsified in a
model system with muscle salt-soluble protein. Food Techno. 21 : 1024.
Cross, H. R. dan A. J. Overby. 1988. Meat Science, Milk Science and
Technology. Elsevier Sci. Publisher, New York.
deMan, J. M. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah Kosasih Padmawinata, ITB,
Bandung.
Desrosier, N. W. dan J. N. Desrosier. 1997. The Technology of Food
Preservation. AVI Publ. Comp. Inc. Westport, Connecticut.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1989. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Effie. 1980. Pembuatan Sosis Ikan Cucut (Centroscymmus coelolepsi). Skripsi.
Departemen. Teknologi Hasil Pertanian, Fatemeta, IPB, Bogor.
Fadillah, R. I. N. 2003. Pemanfaatan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai dalam
Meningkatkan Kandungan Protein Beras-Ubi Kayu (Manihol esculenta
CRANTZ) semi instan. Skripsi. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Fardiaz, D. 1986. Pemanfaatan kedelain untuk industria pangan non tradicional.
Makalah pada Konsultasi Teknis Pengembangan Industri Pengolahan
Jagung dan Kedelai, 18 Maret 1986, Bogor.
Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Fardiaz, D., S. Apriyantono, N. L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto.
1989. Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Faridah, D.N., H.D. Kusumanigrum, N.Wulandari, dan D. Indrasti. 2006. Modul
Praktikum Analisis Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Fennema. O. R. 1985. Food Chemistry Second Edition. Revised And Expanded.
Marcel Dekker. Inc. New York.
Forrest, J. C., Aberlen, E. D., Hedrick, A. B., Judge, M.D., Merkel, R. A. 1975.
Principle of Meat Science. W. H. Freeman and Co. San Fransisco.
Glicksman, J. C. 1969. Gum Technology in The Food Industry. Food Science and
Technology Monograph. Academic Press, New York.
Gunawan, A. 1992. Budidaya Jamur Merang. Penerbit Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Hardman, T. M. 1989. Water and Food Quality. Elsevier Applied Science,
London.
Harisan, Dina. 1996. Pembuatan Sosis Tahu dan Pendugaan Umur Simpannya
dalam Kemasan Vakum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Bogor,
Bogor
Harun, R. R. 1993. Pengaruh konsentrasi KOH dan lama perendaman terhadap
rendemen mutu karagenan dari Eucheuma cottonii. Skripsi. Fakultas
Teknoogi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Henrickson, R. L. 1978. Meat, Poultry, and Seafood Technology. Prentice-Hall,
Inc., New York.
Hermanianto, Joko., E. Syamsir, F. M. Taqi, D. Tresnakusumah, dan S. Dewi.
1999. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan II. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Imeson, A. 2000. Thickening and Gelling Agents For Food. Blackie Academic
and Profesional, Glasgow.
Karjono. 1992. Jamur-jamur Konsumsi yang Dibudidayakan. Trubus , Agustus:
271-279
Koswara, S. 2005. Teknologi Pengolahan Kedelai : Menjadikan Makanan
Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Kramlich, W.E. 1971. Sausage Product. In : Price J.S. and B.S. Schweigert
(Eds).1987. The Science of Meat Products, P.485. W.H. Freeman and
Co., San Fransisco.
Lawrie, R. A. 1974. Meat Science, 2nd
ed. Pergamon Press. Oxford, New York,
Toronto.
Liu, K. 1997. Soybean. Chemistry, Technology, and Utilization. Chappman and
Hall, New York.
Lu, J. Y., E. Carter dan R. A. Chung. 1988. Use of calcium salt for soybean curd
preparation. In : Journal of Science., September-Oktober 1988, Vol 53,
No 5.
Marcos, A. 1994. Mutu Kimia, Organoleptik, dan Mikrobiologi beberapa merek
sosis sapi komersial di Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
IPB, Bogor.
Moirano, T.W. 1977. Sulphated Seaweed Polyshaccarides. In : Foof Colloids. The
AVI Publishing. West Port, Connecticut. P :347-381
Morisson, G. S., N. B. Webb, T. N. Blumer dan F. J. Ivey. 1971. Relationship
between composition on dispersibility of soy protein isolates and
properties of milk clots formed non-fat milk and treated soy protein
mixtures. J. Food Sci. 52 : 91
Mountney, G. J. 1976. Poultry Products Technology. The AVI Publishing. West
Port, Connecticut.
Mukti, E. D. W. 1987. Ekstraksi dan analisa sifat fisiko-kimia karagenan dari
rumput aut jenis Eucheuma cotonii. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, IPB, Bogor.
Nussinovitch, A. 1997. Hydrocolloid Application. Blackie Academic and
Professional, London.
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue, 10th
Ed. Departement of
Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agricultural
Research and Development Center, Ohio.
Pearson, A. M. dan F. W. Tauber. 1984. Processed Meat. The AVI Publishing
Co., Inc., Westport, Connecticut.
Powrie, W. D. 1977. Chemistry of eggs and egss products. In : W. J. Stadelam dan
O. J. Cotterill (Eds.). Egg Science and Technology. The AVI Publishing
Co.,Inc.,Westport, Connecticut.
Price, J. F. dan Bernand, S. S. 1987. The Science of Meat and Meat Product.
Third Edition, San Fransisco.
Rompis, J. E. G. 1998. Pengaruh kombinasi bahan pengikat dan bahan pengisi
terhadap sifat fisik, kimia, serta palatabilitas sosis sapi. Tesis. Program
Pasca Sarcana, IPB, Bogor.
Rukmana, R. 2001. Membuat Sosis : Daging kelinci, daging ikan, tempe kedelai.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Rust, R.E. 1987. Sausage Product. In : The Science of Meat and Meat Product, 3rd
Ed. J. F. Price and B.S. Schweigert (Ed). Food and Nutrition Press, Inc.,
West Port, Conecticut.
Shurtleff, W. Dan A. Aoyagi. 1984. Tofu and Soymilk Productoin. The Book of
Tofu. Vol. II. The Soyfoods Center, Latayette, California.
Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan Mutu dan Standardisasi Mutu
Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Suffle, R. L. 1968. Meat Emulsion. Advance In Food Research. 10 : 105-160.
Sugiyono, 1992. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan Hewan.
Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB,
Bogor.
Suwaida, D. 1991. Mempelajari pengaruh kondisi kemasan dan pendinginan
terhadap daya simpan jamur merang (Volvaria volvaceae)segar. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Suzuki, 1981. Fish and Krill Protein : Processing Tecnology. Applied Science
Publishers Ltd., London.
Tauber. 1985. Sausage. Di dalam Disroisier Nw (Ed). Element of Food
Technology. Westport. The AVI Publishing Co., Conecticut.
Tejopranoto, S. 1998. Sifat-sifat analog sosis dari tempe. Skripsi. Departemen
Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertaniam, IPB, Bogor.
Tranggono, B., Suksmadji dan S. Kanoni. 1983. Beberapa Cara Pengawetan
Jamur Merang. Laporan Penelitian. Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Towle, G. A. 1973. Carrageenan. Industrial Gums. Academic Press, London.
Widodo, S. A. 2008. Karakter sosis ikan kurisi (Nemipterus nematophorus)
dengan penambahan isolat protein kedelai dan karagenan pada
penyimpanan suhu chilling dan freezing. Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB, Bogor.
Wilson, G. D. 1960. Sausage product. In : J. B. Evans, B. S. Scweigert, C. F.
Liven, dan D. M. Doty (Eds.), The Science of Meat and Meat Product.
W. H. Freeman Co., San Fransisco.
Wilson, N. R. P., Dyett, E. J., Hughes, R. B., dan Jones, C. R. V., 1981. Meat and
Meat Product : Factor Effecting Quaity Control. Aplied Science
Publisher, Ltd., London and New Jersey.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Lampiran 1. Form Uji Organoleptik
UJI HEDONIK
Nama :
Atribut : Warna
Instruksi :
1. Berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Anda untuk setiap kode
sampel. Jangan membandingkan antarsampel !
Penilaian Kode Sampel
862 223 756 544 681 199 918 335 447
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Atribut : Aroma
Instruksi :
1. Berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Anda untuk setiap kode
sampel. Jangan membandingkan antarsampel !
Penilaian Kode Sampel
862 223 756 544 681 199 918 335 447
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Atribut : Kekompakkan
Instruksi :
1. Berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Anda untuk setiap kode
sampel. Jangan membandingkan antarsampel !
Penilaian Kode Sampel
862 223 756 544 681 199 918 335 447
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Lampiran 2. Form Uji Organoleptik (lanjutan)
Atribut : Kekenyalan
Instruksi :
1. Berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Anda untuk setiap kode
sampel. Jangan membandingkan antarsampel !
Penilaian Kode Sampel
862 223 756 544 681 199 918 335 447
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Atribut : Kadar Minyak
Instruksi :
1. Berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Anda untuk setiap kode
sampel. Jangan membandingkan antarsampel !
Penilaian Kode Sampel
862 223 756 544 681 199 918 335 447
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Atribut : Rasa
Instruksi :
1. Netralkan lidah Anda dengan air putih yang disediakan (sebelum memulai dan
antarsampel)
2. Cicipilah sampel (diamkan selama 10 detik) dan berikan penilaian. Berikan tanda (√)
pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Anda untuk setiap kode sampel. Jangan
membandingkan antarsampel !
Penilaian Kode Sampel
862 223 756 544 681 199 918 335 447
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Lampiran 3. Form Uji Organoleptik (lanjutan)
UJI HEDONIK
Atribut : Overall
Instruksi :
1. Berikan tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan pilihan Anda untuk setiap kode
sampel. Jangan membandingkan antarsampel !
Penilaian Kode Sampel
862 223 756 544 681 199 918 335 447
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Lampiran 4. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan atribut warna pada sosis
jamur merang
Hasil sidik ragam atribut warna sosis jamur merang
Source
Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square F Sig.
Corrected
Model 267.137(a) 37 7.220 11.466 .000
Intercept 6153.781 1 6153.781 9773.157 .000
Sampel 3.252 8 .406 .646 .739
Panelis 263.885 29 9.099 14.451 .000
Error 146.081 232 .630
Total 6567.000 270
Corrected
Total 413.219 269
Hasil uji lanjut Duncan atribut warna sosis jamur merang
Sampel N Subset
1
Duncan(a,b) A1 30 4.60
C3 30 4.63
A2 30 4.70
B1 30 4.73
B3 30 4.77
C2 30 4.83
A3 30 4.90
B2 30 4.90
C1 30 4.90
Sig.
0.226
Lampiran 5. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan atribut aroma pada sosis
jamur
merang
Hasil sidik ragam atribut aroma sosis jamur merang
Source
Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square F Sig.
Corrected
Model 238.115(a) 37 6.436 6.365 .000
Intercept 4122.315 1 4122.315 4077.14
3 .000
sampel 20.319 8 2.540 2.512 .012
panelis 217.796 29 7.510 7.428 .000
Error 234.570 232 1.011
Total 4595.000 270
Corrected
Total 472.685 269
Hasil uji lanjut Duncan atribut aroma sosis jamur merang
Sampel N Subset
1 2
Duncan(a,b) A1 30 3.57
C2 30 3.57
C3 30 3.60
A2 30 3.73 3.73
B2 30 4.00 4.00
B1 30 4.07 4.07
C1 30 4.13 4.13
A3 30
4.23
B3 30
4.27
Sig.
0.060 0.073
Lampiran 6. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan atribut kekenyalan pada
sosis jamur merang
Hasil sidik ragam atribut kekenyalan sosis jamur merang
Source
Type III
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Corrected
Model 191.515(a) 37 5.176 4.308 .000
Intercept 5926.759 1 5926.759
4933.19
1 .000
sampel 13.941 8 1.743 1.450 .177
panelis 177.574 29 6.123 5.097 .000
Error 278.726 232 1.201
Total 6397.000 270
Corrected
Total 470.241 269
Hasil uji lanjut Duncan atribut kekenyalan sosis jamur merang
Sampel N
Subset
1 2
Duncan(a,b) C3 30 4.37
B3 30 4.40
B1 30 4.63 4.63
B2 30 4.63 4.63
C1 30 4.63 4.63
A3 30 4.67 4.67
A2 30 4.73 4.73
C2 30 5.00 5.00
A1 30
5.10
Sig.
0.056 0.161
Lampiran 7. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan atribut kekompakan pada
sosis jamur merang
Hasil sidik ragam atribut kekompakan sosis jamur merang
Source
Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square F Sig.
Corrected
Model 200.748(a) 37 5.426 4.323 .000
Intercept 5750.059 1 5750.059
4581.20
8 .000
sampel 12.807 8 1.601 1.275 .257
panelis 187.941 29 6.481 5.163 .000
Error 291.193 232 1.255
Total 6242.000 270
Corrected
Total 491.941 269
Hasil uji lanjut Duncan atribut kekompakan sosis jamur merang
Sampel N
Subset
1
Duncan(a,b) C3 30 4.30
B1 30 4.37
B3 30 4.40
A3 30 4.57
C1 30 4.60
A2 30 4.70
B2 30 4.77
C2 30 4.87
A1 30 4.97
Sig.
0.051
Lampiran 8. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan atribut kadar minyak pada
sosis jamur merang
Hasil sidik ragam atribut kadar minyak sosis jamur merang
Source
Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square F Sig.
Corrected
Model 264.448(a) 37 7.147 8.580 .000
Intercept 5667.293 1 5667.293
6803.35
8 .000
sampel 18.074 8 2.259 2.712 .007
panelis 246.374 29 8.496 10.199 .000
Error 193.259 232 .833
Total 6125.000 270
Corrected
Total 457.707 269
Hasil uji lanjut Duncan atribut kadar minyak sosis jamur merang
Sampel N
Subset
1 2 3
Duncan(a,b) B2 30 4.27
B3 30 4.37 4.37
B1 30 4.37 4.37
C3 30 4.40 4.40
A2 30 4.50 4.50
A3 30 4.67 4.67 4.67
C2 30 4.70 4.70 4.70
C1 30
4.87 4.87
A1 30
5.10
Sig.
0.116 0.068 0.095
Lampiran 9. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan atribut rasa pada sosis
jamur merang
Hasil sidik ragam atribut rasa sosis jamur merang
Source
Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square F Sig.
Corrected
Model 360.967(a) 37 9.756 7.317 .000
Intercept 4538.700 1 4538.700
3404.02
5 .000
sampel 80.000 8 10.000 7.500 .000
panelis 280.967 29 9.689 7.266 .000
Error 309.333 232 1.333
Total 5209.000 270
Corrected
Total 670.300 269
Hasil uji lanjut Duncan atribut rasa sosis jamur merang
Sampel N
Subset
1 2 3 4
Duncan(a,b) A1 30 3.43
A3 30 3.60 3.60
C3 30 3.63 3.63
A2 30 3.67 3.67
C2 30 3.93 3.93
B2 30
4.20 4.20
C1 30
4.77 4.77
B3 30
4.77 4.77
B1 30
4.90
Sig.
0.139 0.074 0.073 0.677
Lampiran 10. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan atribut over all pada sosis
jamur merang
Hasil sidik ragam atribut over all sosis jamur merang
Source
Type III
Sum of
Squares
df Mean
Square F Sig.
Corrected
Model 219.093(a) 37 5.921 6.686 .000
Intercept 5324.448 1 5324.448
6012.24
8 .000
sampel 21.652 8 2.706 3.056 .003
panelis 197.441 29 6.808 7.688 .000
Error 205.459 232 .886
Total 5749.000 270
Corrected
Total 424.552 269
Hasil uji lanjut Duncan atribut over all sosis jamur merang
Sampel N
Subset
1 2 3
Duncan(a,b) C3 30 3.87
A3 30 4.20 4.20
A1 30 4.37 4.37 4.37
A2 30
4.40 4.40
C2 30
4.43 4.43
B2 30
4.47 4.47
B3 30
4.57 4.57
C1 30
4.80
B1 30
4.87
Sig.
0.052 0.194 0.077
Lampiran 11. Lembar (Form) Penilaian pada Uji Pembobotan
Nama :
NRP :
Urutkan faktor yang mempengaruhi penilaian Anda dalam memilih produk sosis :
( ) Warna
( ) Aroma
( ) Kekenyalan
( ) Rasa
( ) Kekompakkan
( ) Kadar minyak
Keterangan:
1 : sangat mempengaruhi : diberi skor 6
2 : mempengaruhi : diberi skor 5
3 : agak mempengaruhi : diberi skor 4
4 : tidak mempengaruhi : diberi skor 3
5 : agak tidak mempengaruhi : diberi skor 2
6 : sangat tidak mempengaruhi : diberi skor 1
Lampiran 12. Hasil Penilaian Terhadap Uji Pembobotan
Panelis warna aroma rasa kekenyalan kadar minyak kekompakan
1 2 6 5 3 1 4
2 1 5 6 4 2 3
3 2 3 6 5 1 4
4 4 5 6 3 2 1
5 4 6 5 3 2 1
6 5 3 6 2 1 4
7 1 5 6 3 4 2
8 4 5 6 2 1 3
9 4 5 6 2 3 1
10 3 2 1 4 5 6
11 2 6 5 3 4 1
12 6 4 5 2 3 1
13 2 3 6 4 5 1
14 3 2 6 4 5 1
15 4 5 6 3 2 1
16 3 4 6 5 2 1
17 4 6 5 3 1 2
18 3 5 6 2 1 4
19 2 1 3 4 6 5
20 1 4 5 6 2 3
21 6 5 4 3 1 2
22 1 5 6 4 2 3
23 5 4 6 1 2 3
24 1 5 6 3 2 4
25 4 3 5 6 2 1
26 3 5 6 4 1 2
27 5 4 6 3 2 1
28 3 5 6 2 4 1
29 6 3 1 2 5 4
30 2 4 6 5 3 1
Total 96 128 158 100 77 71
Bobot (%) 15,24 20,32 25,08 15,87 12,22 11,27
Lampiran 13. Hasil Perhitungan Uji Pembobotan Pada Masing-Masing Atribut
Hedonik
Nilai rata-rata kesukaan untuk tiap sampel pada masing-masing atribut hedonik
Atribut Sampel
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Warna 4.6 4.7 4.9 4.7 4.9 4.8 4.9 4.8 4.6
Aroma 3.6 3.7 4.3 4.1 4.0 4.2 4.1 3.6 3.6
Rasa 3.4 3.7 3.6 4.9 4.2 4.8 4.8 3.9 3.6
Kekenyalan 5.1 4.7 4.7 4.6 4.6 4.4 4.6 5.0 4.4
Kadar Minyak 5.1 4.5 4.7 4.4 4.3 4.4 4.9 4.7 4.4
Kekompakkan 5.0 4.7 4.5 4.4 4.8 4.4 4.6 4.8 4.3
Total skor pembobotan tiap sampel
Atribut Sampel
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
Warna 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
Aroma 0.7 0.8 0.9 0.8 0.8 0.9 0.8 0.7 0.7
Rasa 0.9 0.9 0.9 1.2 1.1 1.2 1.2 1.0 0.9
Kekenyalan 0.8 0.8 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8 0.7
Kadar Minyak 0.6 0.5 0.6 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.5
Kekompakkan 0.6 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5
Total 4.3 4.2 4.3 4.5 4.4 4.5 4.6 4.4 4.1