42
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Drama terbesar dan paling tragis dalam sejarah Indonesia tentulah drama kehidupan Soeharto. Setelah tiga dekade berkuasa, ditakuti, disembah bagai dewa, kini Soeharto paling terhujat di Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa dan negara Republik Indonesia, Pak Harto menjadi pusat perhatian dan sorotan, tidak saja dari semua warga Republik ini, tetapi oleh para pakar dan pemerhati politik dari manca negara. Rezim Orde Baru yang ia bangun selama berkuasa, banyak memunculkan kontroversi. Ada yang memuji kepemimpinan beliau sebagai Bapak Pembangunan dan lainnya namun banyak juga yang mengutuk dengan Gantung Soeharto. Bahkan ketika beliau sakit sampai akhirnya meninggal pada tanggal 28 Januari 2008 pada usia 86 tahun, ia masih menjadi bahan perbincangan yang menimbulkan banyak kontroversi. Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah satu komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan harmonis. Satu-satunya momentum yang tercipta bagi Indonesia terjadi pada tahun 1965, ketika kudeta militer menurunkan Soekarno. Namun kesempatan itu tidak memberikan peluang bagi lahirnya demokratisasi, karena militer tidak

Soeharto1

  • Upload
    la-mone

  • View
    35

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang Masalah

Drama terbesar dan paling tragis dalam sejarah Indonesia tentulah drama kehidupan Soeharto. Setelah tiga dekade berkuasa, ditakuti, disembah bagai dewa,

kini Soeharto paling terhujat di Indonesia. Sebagai pemimpin bangsa dan negara Republik Indonesia, Pak Harto menjadi pusat perhatian dan sorotan, tidak saja dari semua warga Republik ini, tetapi oleh para pakar dan pemerhati politik dari

manca negara. Rezim Orde Baru yang ia bangun selama berkuasa, banyak memunculkan kontroversi. Ada yang memuji kepemimpinan beliau sebagai �Bapak Pembangunan� dan lainnya namun banyak juga yang mengutuk dengan �Gantung Soeharto�. Bahkan ketika beliau sakit sampai akhirnya meninggal pada tanggal 28 Januari 2008 pada usia 86 tahun, ia masih menjadi bahan perbincangan yang menimbulkan banyak kontroversi.

Sudah menjadi pengetahuan umum, militer di Indonesia yang menjelma dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)-kini Tentara Nasional Indonesia (TNI) plus Polisi Republik Indonesia (Polri) adalah satu komponen negara yang memiliki nilai politis dan strategis tersendiri. Meskipun senantiasa

menampilkan citra solid dan independen, namun bukan rahasia lagi dalam tubuh lembaga militer tersebut hubungan di antara berbagai kelompok kepentingan di dalamnya tidak selalu berjalan harmonis.

Satu-satunya momentum yang tercipta bagi Indonesia terjadi pada tahun 1965, ketika kudeta militer menurunkan Soekarno. Namun kesempatan itu tidak memberikan peluang bagi lahirnya demokratisasi, karena militer tidak

memberikan ruang kepada sipil untuk mengkonsruksikan perubahan kedemokrasi. Militer malah mengambil alih kepeminpinan sipil dengan menggelar sidang parlemen (MPRS) tahun 1968 yang memberikan legitimasi kontitusional yuridis terhadap Jendral Soeharto. Kekuasaan Jendral Soeharto kemudian dikukuhkan dalam pemilu 1972, dimana Golkar sebagai partai politik bentukan militer dan gabungan kekaryaan memenangkan pemilu itu.

Ada beberapa yang mendorong militer secara aktif masuk kedalam arena politik dan memainkan peranan politik. Faktor-faktor ini lebih terletak pada kehidupan politik atau sistem politik, bukan pada militer dan dikelompokkan menjadi tiga.1 Yang pertama : adanya ketidak stabilan sistem politik. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang yang besar unutk menggunakan kekerasan didalam kehidupan politik. System politik yang peka ini pula yang paling sering mengakibatkan timbulnya hal-hal yang mendiskreditkan pemerintahan sipil. Termasuk didalam hal ini ialah ada tidaknya pola-pola legitimasi yang secara umum diterima dalam masyarakat yang menyangkut jalannya lembaga-lembaga sipil dan pemerintahan. Kedua : Yang bertalian dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik, bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menetukan. Yang menarik dalam kaitan ini adalah bahwa dalam beberapa hal dominasi militer di dalam politik justru �diundang� atau dipermudah oleh golongan sipil. Ini biasanya terjadi sewaktu kepeminpinan sipil mengambil keputusan untuk memperbesar jumlah personil angkatan bersenjatanya atau meningkatkan persenjatan militer karena diperlukan untuk menghadapi musuh

1 Yahya A Muhaimin, Perkembangan Militer Dalam Politik Indonesia1945-1966, Yoyakarta Gajah Mada University Press. 1982,hal.2.

dari luar negeri atau guna mengatasi pergolakan dalam negeri, sekalipun sering kali ancaman itu berupa dugaan atau bahkan mungkin hanya diada adakan belaka. Kapasitas militer dalam mempengaruhi kehidupan politik memang bergangtung pada kecakapan,perlengkapan, dan persenjataan yang dimilikinya sebab ketiganya disamping jumlah personil yang besar merupakan � sumber kekuatan politik�. Walaupun demikian tidak dapat dipastikan adanya hubungan langsung antara kemampuan berpolitik kaum militer dengan tingkah laku politik mereka, sebab tingkah laku politik militer lebih banyak ditentukan oleh sikap dan kenyakinan politik mereka. Ketiga : yang berhubungan dengan political perspectives kaum militer. Dan paling menonjol diantara beberapa prespectif politik mereka adalah yang bertalian dengan peranan dan status mereka didalam masyarakat, dan juga yang berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kepeminpinan kaum sipil dan terhadap sistem politik secara keseluruhan. Dalam satu keadaan dimana kepeminpinan poltik sipil dianggap oleh merka itu tidak beres, korup, lemah, tidak mampu melaksanakan tugas-tugas pokok pemerintahan maka dorongan unutk melakukan intervensi kedalam politik oleh golongan militer akan besar. Demikian pula bila mana kalangan politisi sipil dianggap akan mengambil tindakan atau kemungkinan akan mengambil tindakan yang merugikan kepentingan personil atau kepentingan organisasi militer, maka dorongan untuk melakukan tindakan politik oleh militer akan lebih besar lagi2.

2 Ibid. hal. 3-4.

Dalam Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, sebagaimana dikutip Bilveer Singh, disebutkan faktor-faktor yang mendasari konsep dwifungsi adalah :

3 Bilverr Singh, Dwifungsi ABRI, Jakarta: PT Gramedia, 1996 hal.67-73.

1. Kegagalan para politisi sipil memaksa ABRI untuk memainkan peren sosial politik lebih besar.

2. Peran ABRI tetap menentukan karena merupakan kekuatan satu-satunya yang dapat menjamin bahwa pancasila tetap menjadi idiologi nasional.

3. ABRI dipandang sebagai penyelamat nasional satu-satunya mengingat banyaknya krisis negara yang telah dialami 3 .

Persepsi militer adalah kegagalan pemerintahan sipil (orde lama) dikarenakan tiga faktor yakni instabilitas politik pasca pemilu 1955, terjadinya pelbagai pemberontakan didaerah serta terjadinya kriris ekonomi yang melanda Indonesia (mengalami inflasi 1000% lebih). Dengan persepsi kegagalan pemerintahan orde lama, militer Indonesia ingin menempatkan dirinya sebagai motor pembangunan sebagaimana penilaian lembaga militer di Amerika Latin yang berhasil meninggikan investasi asing, menyebabkan sebutan militer sebagai motor pembangunan, argumentasi didasarkan beberapa hal :

1. Militer dilihat sebagai bentengan pertahanan melawan ketidakstabilan dan persebaran komunisme di negara-negara berkembang.

2. Militer merupakan institusi yang terorganisir paling baik dalam negara (profesionalisme)

3. Militer dianggap sebagai institusi berorientasi rasional dan teknologi

4. Militer pun dianggap memiliki orientasi pembangunan bertata nilai modern.

5. Militer berperan sebagai pemimpin dalam proses politik sebuah bangsa yang mampu menghindari berbagai ekses partisipasi yang menjurus pada instabilitas.

6. Anggota militer dipandang berpendidikan, dengan pengetahuan teknis, kepakaran, dan pengetahuan organisatoris.

7. Militer dipandang sebagai institusi paling efisien dalam memberikan solusi permasalahan, karena pada keadaan darurat bisa menggunakan kekerasan

Terakhir, fungsi mililter yang � mempersatukan � dalam mengatasi konflik etnis, dipuji sebagai personifikasi bangsa.

Naiknya Soeharto banyak kalangan menilai merupakan buah dari kudeta militer, bukan dari mandat SUPERSEMAR. Sejarah penyerahan estapet pemerintahan dari tangan Soekarno ketangan Soeharto masih menyimpan banyak misteri. Dominasi militer dalam pemerintahan orde baru, harus dilihat pula sebagai upaya Soeharto mempertahankan kekuasaanya. Pandangan ini sangat relevan ketika Soeharto secara pribadi tampil dominan didalam tubuh Golkar sebagai ketua dewan pembina ataupun mendorong militer untuk mendominasi struktur Golkar agar memastikan Golkar dapat keluar sebagai pemenang sehingga bisa melanggengkan kekuasaan Soeharto. Keinginan Soeharto melanggengkan kekuasaan bertemu dengan ketaatan dan hasrat kekuasaan para perwira militer, apa yang dilakukan militer disatu sisi memperlihatkan bentuk ketaatan terhadap otoritas politik untuk memberikannya peran yang dominan dalam perpolitikan, namun, ketaatan yang ada diliputi pula hasrat kekuasaan yang kuat. Tentunya kalangan militer mempunyai hasrat kekuasaan yang sama kuatnya dengan

kalangan sipil. Kondisi militer seperti ini menjadi kecenderungan global. Banyaknya purnawirawan ataupun perwira militer yang pensiun dini (alih satus) sebagai persyaratan maju dalam Pilpres ataupun pemilihan kepala daerah menunjukkan hasrat tersebut.

Pergantian rezim pemerintahan di Indonesia, serta tidak langsung telah membawa gambaran tentang pentingnya suatu pemerintahan di suatu negara. Kesalahan pemerintahan yang sangat buruk terhadap perkembangan dan juga proses perubahan bangsa. Perebutan kekuasaan yang selalu ditandai dengan proses-proses politik dan sosial yang sangat menyentuh kehidupan masyarakat, telah membawa suatu pelajaran yang sanat berharga betapa kekuasaan tetap menjadi faktor utama yang ingin diraih. Tujuannnya adalah hanya untuk mendapatkan dan juga mempertahankan kekuasaan. Dalam hal ini proses politik masih merupakan corong yang lebar unutk mendukung dan memberikan jalan yang seluas-luasnya untuk proses perolehan dan mempertahankan kekuasaan tersebut.

Pemerintahan Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun,telah menjadi pelajaran dan sejarah baru pada bangsa indonesia, untuk lebih memperhatikan betapa kekuasaan adalah faktor utama untuk mencapai pemerintahan yang absolut dan militerristik. Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat banyak anggapan yang menyatakan bahwa pemerintahlah yang paling benar dan tidak bisa untuk dikritik. Dan bagi mereka yang mencoba unutk mengkritiknya dan juga memberikan alternative yang lebih baik terhadap kekuasaan yang akan dianggap sebagai penyerang kehormatan kekuasaan,dan merudsak wibawa kekuasaan dan

oleh sebab itu harus dimusuhi dan ditindas dan dianggap sebagai penghianat negara dan ditangkap dan dipenjara.

Pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Soeharto menempatkan militer pada tempat spesial baik atas dasar ikatan psikologis ataupun keyakinan atas militer sebagai motor pembangunan dan penilaian atas ketidakmampuan pemerintahan sipil. Salah satu keistimewaan yang diberikan kepada militer adalah

menempatkanya pada posisi strategis pemerintahan, legislatif ataupun posisi strategis Golkar.

Pada akhir 1970-an, separuh anggota kabinet dan sepertiga jabatan gubernur dijabat oleh militer Pada tingkat bupati dan walikota, 56% adalah militer, direktur jenderal 70%, dan sekretaris menteri 84% diduduki oleh militer. Vatikiotis menyatakan, � More importantly, the military dominated the affairs of

every cabinet departement.� Sementara itu data yang diperoleh Jenkins pada tahun

1980, jumlah anggota ABRI yang berada di luar organisasi militer sebagai berikut: di pemerintahan pusat, menteri dan pimpinan lembaga tinggi negara 47%, sekretaris jenderal 73,6%, inspektur jenderal 29,5%, direktur jenderal 70,9%, sekretaris menteri dan wakil menteri 84%. Dipimpinan daerah, gubernur 70,3%, dan bupati 56,6%. Diperwakilan luar negeri, duta besar 44,4% dan konsul 34,3%. Menurut data Harold Crouch, pada tahun 1968, jumlah Gubernur yang berasal dari militer sebanyak 17 Gubernur (71 % ). Sesudah pemilihan umum tahun 1971, dari 26 propinsi hanya menyisakan 4 (15 %) posisi Gubernur untuk orang sipil. Sedangkan pada tingkat kabupaten pada tahun 1969 jumlah Bupati dan Walikota di seluruh Indonesia sebanyak 271. setelah pemilu 1971 imbangannya mencapai

4 Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto,Yogyakarta ; Pustaka Yogya Mandiri,2004,hal.126.

5 Ibid.hal.,126.

Pada tahun 1966 dari 27 anggota kabinet yang diangkat 44% menteri merupakan anggota ABRI, 6 erasal dari TNI AD dan 6 menteri lainnya berasal dari panglima-panglima angkatan lain. Pada tahun 1968 komposisi anggota ABRI yang duduk dikabinet berubah atau turun menjadi 23 orang. Keterlibatan militer dalam birokrasi lokal selain melalui jabatan Bupati dan Gubernur adalah keterlibatan pimpinan militer melalui Muspida dan Muspika yang berfungsi mengendalikan kehidupan masyarakat daerah terutama dalam kegiatan-kegiatan politik seperti mobilisasi rakyat untuk pembangunan dan untuk Pemilihan Umum. dua pertiga. Sampai dengan tahun 1998, sebanyak 4000 anggota militer menduduki posisi jabatan sipil.

Kondisi yang sangat memprihatinkan ini juga ditambah lagi dengan tidak adanya kebebasan press dan proses politik yang demokratis. Manipulasi dalam bidang politik dijalankan oleh suatu rezim yang absolut dan cenderung militeristik. Untuk mendapat dan mempertahankan kekuasaannya, soeharto menggunakan beberapa instrumen yang sangat berpengaruh terhadap kondisi pertahanan dan keamanan negara. Isntrumen kekuasaan yang digunakan oleh Soeharto mencakup beberapa oknum salah satunya adalah militer4. Berkaitan dengan hal tersebut juga terdapat istilah yang dinamakan dengan arsitek Soeharto. Arsitek Soeharto adalah orang yang terlibat langsung dalam usaha merangkai kekuasaan soeharto menjadi sebuah bentuk yang cita-citakan5. Peranan militer yang terlibat dalam situasi politik adalah merupakan suatu kenyataan dalam pemerintahannya yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan dominasi militer sebagai

salah satu kekuatan politik negara dapat menjangkau melebihi dan peran dan fungsi militer yang sebenarnya.

Peniadaan peran sosial-politik militer setidaknya didasari oleh dua pertimbangan, pertama , ada kekhawatiran bahwa peran sosial-politik ABRI akan mengurangi profesionalisme ABRI sehingga memperlemah daya tempur mereka dalam menghapi ancaman keamanan konvensional. Kedua, peran sosial-politik ABRI dinilai menghambat proses demokratisasi. Organisasi militer yang sangat hierarkis dan disiplin yang sangat ketat akan mempersulit partisipasi massa yang

menuntut adanya kebebasan menyatakan pendapat dan kemampuan bertindak secara otonom

Dampak dominasi militer pada masa orde baru sebagai berikut :

a. munculnya rezim otoriter sebagai penghambat demokratisasi

Banyak kalangan melihat intervensi militer kedalam wilayah politik merupakan bagian faktor terbesar penyebab pelbagai persoalan bangsa dan faktor pendorong terciptanya zaman otoriterism. Menurut Abdul Rohim Ghazali, posisi militer pada masa orde baru mempunyai 4 (empat) dampak . Pertama, peran sosial politik TNI yang melampaui batas telah mengakibatkan tersumbatnya wadah aspirasi masyarakat. Kedua, campur tangan pihak TNI yang terlalu jauh di berbagai sektor kehidupan telah mengakibatkan semakin rumit dan berlarut-larutnya beberapa konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Ketiga, intervensi TNI yang terlalu jauh di bidang hukum telah mengakibatkan semakin lunturnya penghargaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum dan peradilan. Akibat keterlibatan �oknum� TNI/ABRI, banyak kasus hukum yang masih misterius hingga sekarang, seperti pada kasus tewasnya Marsinah dan wartawan Bernas Fuad Muhammad

6 Alfred C Stepan, Terjemahan dalam Bahasa Indonesia, Militer dan Demokratisasi,Pengalaman Brazil dan Negara lain,Penerbit Grafiti,Jakarta,1996 hal.100

7 Eep Saefullah Fatah , Masalah dan prospek Demokrasi di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta,1993 hal.131.

Syafruddin alias Udin. Keempat, keterlibatan TNI dalam bidang ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkrutnya sektor ini. Bahwa banyak unit-unit bisnis yang melibatkan militer atau �oknum� militer yang biasanya dibungkus dengan kata �kerja sama� dengan sipil yang berujung pada kebangkrutan di pihak sipil.

Sementara itu, Alfred C. Stepan meniliti bahwa hak-hak istimewa kelembagaan militer yang tinggi cenderung menyebabkan kemungkinan terjadinya konflik antara sipil-militer, daripada terciptanya akomodasi sipil. Begitu juga pengembangan dan penyebaran teknologi militer yang tinggi juga menyebabkan terbukanya kemungkinan penyalahgunaan kekuatan militer untuk menghambat proses demokratisasi pemerintahan baru yang sedang berkembang6. Eep Saefullah Fatah7 menyatakan bahwa demokrasi dan militer adalah sebuah oxymoron : dua buah kata yang tidak mungkin dipadukan. Oleh karenanya, keterlibatan militer dalam politik adalah sumber dari segala sumber penyakit sistem politik dan demokratisasi hanya dapat dijalankan oleh kekuatan sipil dengan terlebih dahulu membersihkan sistem politik dari intervensi militer. Sedangkan menurut Ikrar Nusa Bhakti dkk, Keterlibatan militer dalam politik akan merusak kompetisi politik, mendistorsi kebijakan politik, serta menciptakan

berbagai kerusuhan dan keresahan sosial dalam rangka bargaining politik keamanan.

Pada masa pemerintahan orde baru, dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia dimana hampir posisi strategis pemerintahan dikuasi oleh militer

membawa dampak bagi kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat. Militer melakukan kontrol terhadap media massa ataupun aktivitas politik yang dilakukan partai politik maupun masyarakat umum. Kontrol militer yang berlebihan terhadap aktivitas masyarakat menyebabkan terjadinya kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Setidaknya ada 6 kasus kemanusiaan yang terjadi sebagai implikasi pendekatan kekerasan. Dimulai dari kasus malari (1971), Tanjung Priuk (1984), Talang Sari Lampung (1989), DOM Aceh (1989-1998), Kudatuli 27 Juli 1996, rentetan kekerasan ditutup dengan peristiwa penculikan aktivis 1998 dan tragedi trisakti I. Menurut data yang dimiliki Kontras (komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan) kejadian tersebut menelan korban tidak kurang dari 9085 orang. Menurut Fajrul Falaakh, suramnya penyelesaian masalah perburuhan dan pertanahan, juga operasi militer ditimor-timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priuk, merupakan bukti-bukti yang selalu diungkap sebagai keburukan peran non-militer ABRI. Dominasi militer pada kepemimpinan pemerintahan daerah berimplikasi pula, tidak ada netralitas birokrasi dan penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan sejak 1971-1997. Investasi militer dalam netralitas birokrasi dan pemilu hanya terbatas pada fungsi kontrol

atau memastikan birokrasi solid untuk mendukung Golkar. Keberadaan militer didalam DPR/MPR dan Golkar menghilangkan fungsi check dan balance dalam penyelenggaraan Negara.

b. mempengaruhi profesionalisme militer

Huntington menegaskan :

8 Samuel P.Hutington, Prajurit dan Negara, Jakarta : Grasindo, Jakarta, 2003.hal 11-18.

Politik menangani tujuan-tujuan kebijakan negara, kemampuan dalam bidang ini terdiri dari pengetahuan yang luas mengenai elemen-elemen dan kepentingan yang mempengaruhi sebuah keputusan dan dalam menjalankan otoritas yang sah untuk membuat keputusan. Politik berada di luar lingkup kemampuan militer, dan partisipasi perwira militer di dalam politik merusak profesionalisme mereka, membatasi kemampuan profesional mereka, memisah-misahkan profesi mereka sendiri, dan menggantikan nilai-nilai profesional dengan nilai-nilai asing. Perwira militer harus netral secara politis. � komandan militer jangan pernah mengizinkan pandangan militer yang dimilikinya terbungkus oleh asas manfaat politik8 � .

Bermasalahnya profesionalisme militer tergambar dari kompetensi prajurit dalam hal pertahanan serta buruknya penerapan sistem pertahanan. Kesibukan militer dalam mengurusi pemerintahan pada masa orde baru menyebabkan lemahnya kemampuan militer saat ini dalam melindungi aset ataupun kedaulatan wilayah pada daerah-daerah perbatasan . Pengembangan sistem dan struktur militer pada masa orde baru lebih berorientasi pada kepentingan politik sehingga

berimplikasi pada kesiapan tempur strukturnya serta lalai dalam mengembangkan kekuatan udara dan laut. Pendekatan pengembangan struktur militer pada masa orde baru lebih menitik tekankan, bagaimana militer mampu mempunyai mekanisme yang kuat dalam mengawasi aktivitas politik sampai dengan tingkat pedesaan, oleh karenanya menjadi wajar ketika prajurit militer sebagian besar tidak memiliki kemampuan tempur dan sistem pertahanan saat ini berada pada kondisi yang menyedihkan. Hal ini tergambar dari kelambatan MABES TNI dalam menyiapkan prajuritnya dalam merespon kebijakan darurat militer di Aceh

9 H.Inu Kencana syafie, Sistem Politik Indonesia, Bandung : Refika Aditama,2002,hal.32

10 Ibid.hal.32

11 Ibid, hal.32

12 Arief Yulianto,Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah Pusaran Demokrasi,Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,2002,hal.248.

13 Arief Budiman, Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia,Yogyakarata:Brgraf, 2000,hal,ix.

yang diputuskan pada pemerintahan Megawati. Pertanyaan apakah militer Indonesia mampu menangkal serangan atau agresi dari negara lain menjadi sangat tidak relevan, pertanyaan yang relevan adalah seberapa lama militer Indonesia saat ini mampu bertahan dari agresi negara lain. Permasalahan sistem pertahanan tentunya tidak bisa dipisahkan dari masalah anggaran, akan tetapi peranan non militer yang dominan yang dilakukan ABRI pada masa orde baru menjadi faktor yang semakin memperparah keadaan.

Pada mulanya, militer dibentuk untuk mempertahankan negara pada berbagai pemerintahan, sudah tentu militer dibentuk di bawah eksekutif yang panglimanya disederajatkan dengan para menteri kabibet9. Hanya saja beberapa aparat militer yang cukup Propesional tidak menutup kemungkinan untuk ikut berpolitik10. Dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan negara dan serta mempertahankan Pancasila dan undang-undang dasar 1945 dari kemungkinan perubahannya oleh MPR/DPR RI maka ABRI ikut berpolitik. Hal ini dianggap sebagai pengabdian mereka kepada bangsa dan negara yang kemudian disebut dengan Dwi Fungsi ABRI11.

Diangkatnya Jendral Soeharto sebagai presiden tahun 1986 oleh MPRS membawa militer keposisi yang dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan12. Peran militer, menempati posisi sentral dalam politik indonesia, khususnya sejak

penggulingan soekarno menuju kepemerintahan soeharto13. Dalam kerangka

14 ibid,hal ix

15 ibid,hal.ix

16 Ibid,hal x

inilah ABRI benar-benar mengimplementasikan peran yang lama didambakannya sebagai peserta didalam dan menjaga negara14. Bagaimanapun sebagai sebuah lembaga yang tidak dipilih yang tidak sering menjadi kekuatan pemaksa dalam menentukan masalah sosial politik, militer tetap bertindak gaya penengah, lebih banyak menindas dibandingkan membantu rakyat dan banyak hal menjadi pelaku praktek korupsi dan nepotisme,dan pelanggar HAM dan pada puncaknya menjadi kekuatan penentu dalam urusan politik negeri ini15. Hingga 1998,kecuali kelompok-kelompok pemberontak didaerah yang jauh dari pusat, tak seorangpun berani menentang militer(ABRI) secara langsung16.

Dengan bergantinya pemerintahan dan format politik tahun 1998, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dituntut untuk dapat mengabdikan dirinya untuk bangsa dan negara Indonesia secara optimal sebagaimana dimaksudkan oleh para founding fathers, TNI telah dan sedang melakukan proses reorientasi postur, tugas, fungsi, dan perannya dalam kehidupan bangsa dan negara. Banyak pihak yang telah membahas bahwa selama tiga dekade sejak tahun 1965 bersama-sama dengan kekuatan politik lainnya, TNI pernah menjalankan peran sebagai penopang utama bagi sebuah pemerintahan yang sangat sentralistik. Dengan segala kompleksitas dan konsekuensinya, posisi TNI pada waktu itu menjalankan peran yang sangat dominan, bukan saja dibidang pertahanan dan keamanan tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lainnya khususnya dibidang politik, sosial, ekonomi dan ketatanegaraan.

Sebelum jatuhnya rezim Orde Baru, posisi-posisi penting penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga tingkat desa banyak diduduki oleh para personel-personil TNI. Kebijakan pemerintah dan politik negara, banyak diwarnai oleh pendekatan keamanan, dimana TNI sebagai tulang punggung pelaksananya. Sehingga memunculkan kritik dan sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat. Keadaan demikian menyebabkan terjadinya pergeseran cara pandang para prajurit TNI yang semula berorientasi pada aspek pertahanan keamanan menjadi lebih berorientasi pada politik praktis, jabatan-jabatan publik, bahkan kepentingan bisnis yang tidak selamanya konsisten dengan misi utama tentara sebagai penjaga kedaulatan negara.

Hal ini dapat dilihat bahwa kenyataan yang ada di Negara Indonesia, kedudukan sipil belum mampu mempersatukan bangsa ini dan hanya militerlah yang mampu merebut kemerdekaan dari tangan penjajah pada saat itu. Oleh karena itu militer menjadi sangat berkuasa atas rakyat sipil dengan konsep �Dwi Fungsi ABRI� nya yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan Negara dan sebagai kekuatan sosial politik.

Aspek � aspek utama dari kekududukan ABRI sebagai pejuang adalah : Pertama, Oleh karena tugas pejuang tidak ada habis-habisnya, maka ABRI sebagai pejuang tidak mungkin berhenti tetapi harus berjalan terus dan ikut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup masyarakat dan negara yang berdaasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kedua, Sebagai kelompok rakyat pejuang bersenjata,bersama sama dengan rakyat pejuang lainnya,ABRI telah membuktikan dirinya berhasil menegakkan dan membela kemerdekaan bangsa dan negara. Sebagai kelanjutanya sekarang ABRI berkewajiban secara bahu-

membahu dan bersama-sama kekuatan-kekuatan sosial lainnya dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan untuk mengisi kemerdekaan tersebut dengan usaha-usaha disegala bidang. Ketiga, Bangsa Indonesia bertekad hendak membangun kehidupan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945. pembangunan itu mengkehendaki ikut sertanya semua kekuatan yang mempunyai potensi nyata yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan, yaitu kekuatan-kekuatan dalam bidang sosial-budaya, ekonomi, agama dan lain-lain. Jelaslah turut sertanya ABRI dalam kegiatan � kegiatan sosial-politik, dalam pemerintahan dan dalam pembangunan, bukanlah unutk kepentingan ABRI sendiri apalagi unutk membangun suatu kekuasaan atau pemerintahan militer,melainkan dalam rangka pembinaan kehidupan yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD1945. Keempat, dengan demikian semua bidang kehidupan terbuka bagi ABRI dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Proses ikut sertanya adalah menurut prosedur demokratis

sesuai dengan aturan yang berlaku bagi bidang yang bersangkutan. Di Indonesia sejarah politik militer dapat dibagi menjadi 4 ( empat ) tahap. Tahap Pertama, dari tahun 1945-1959, dicirikan oleh satu transisi dari � aksi � menjadi � akomodasi � tahap Kedua, dari tahun 1959-1966, ditandai oleh pergeseran dari � akomodasi � menjadi � dominasi � tahap Ketiga, dari tahun 1966-1998, militer membuat transisi dari � dominasi � menjadi � hegemoni � dan Tahap Terakhir, setelah kejatuhan Soeharto di Tahun 1998, hegemoni militer telah ambruk dan militer masuk ke dalam krisis yang berkepanjangan. Menurut Singh, keterlibatan militer Indonesia dalam politik bermula dari kemerdekaan. Politik militer diakomodasi secara legal dan konstitusional di dalam sistem politik yang diciptakan oleh

Soekarno atas dasar dekrit presiden 1959. Di bawah � Demokrasi Terpimpin � militer mendapat beberapa kursi di DPR Gotong Royong dan sepertiga dari jumlah menteri dalam kebinet kerja adalah anggota militer. Akomodasi politiknya bergeser menjadi dominasi, ketika Soeharto berkuasa, militer adalah tulang punggung pemerintahan Orde Baru, dan melalui program Ideologi dan Budayanya, dominasi berubah menjadi hegemoni. Jatuhnya Soeharto menyebabkan hegemoni militer mengalami krisis legitimasi.

Militer sangat mendominasi perpolitikan Indonesia pada masa Orde Baru dengan menempati posisi strategis pemerintahan pusat ataupun daerah. Militer juga mendominasi struktur Golkar sampai dengan Munaslub 1998 serta mendapat perlakuan istimewa dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang fluktuatif, militer mendapatkan jatah melalu mekanisme pengangkatan. Kondisi ini menyebabkan pelbagai dampak, khususnya terkait tersumbatnya peluang demokrasi atau berbaliknya Indonesia menjadi rezim otoriter serta menurunkan profesionalisme militer, ini bisa dirasakan sampai saat ini, dimana Indonesia memiliki kompentensi tempur prajurit yang rendah dan sistim pertahanan yang lemah. Lemahnya sistim pertahanan menjadi salah satu faktor melemahnya posisi Indonesia dalam melakukan diplomasi dengan Negara-Negara tetangga. Faktor penyebab dominasi militer dalam perpolitikan Indonesia disebabkan 2 faktor yakni faktor Internal ; hasrat kekuasaan para perwira termasuk di dalam upaya Soeharto mempertahankan kekuasaan, memperjuangkan kepentingan militer khususnya terkait dana serta kesalahan memahami konsep stabilitas sebagi prasyarat pembangunan. Sedangkan faktor Eksternal terkait dengan kegagalan

pemerintahan orde lama.(instabilitas politik, pemberontakan didaerah dan krisis ekonomi).

Dan secara spesifik ada tiga pertanyaan penting yang harus kita ketahui kita bahas. Pertama, Mengapa Presiden Soeharto tidak membangun TNI/ABRI, birokrasi, institusi politik DPR dan MPR yang kredibel dan independent, untuk mengakhiri penyimpangan politik yang dilakukan Soekarno pada pertengahan 1960-an? Kedua, Mengapa Presiden Soeharto hanya mengkonsentrasikan pengaruh kekuasaannya sendiri untuk mempunyai kontrol yang kuat atas ABRI / TNI, Birokrasi dan Golkar? Ketiga, Mengapa kuatnya lembaga kepresidenan yang dibangun Soeharto (Dimana Soeharto langsung memberikan komando dan mendominasi ABRI, Birokrasi, dan Golkar) tidak mampu mengantisipasi secara efektif krisis finansial yang amat parah yang dialami Indonesia pada era 1997-1999?

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Soeharto mampu mengelola militer dan kebijakan - kebijakan yang di jalankan sehingga menjadi penopang kekukuasaan selama 32 tahun atau selama Orde Baru berkuasa?

2. Bagaimana hubungan Soeharto dan ABRI selama berkuasanya rezim Orde Baru?

3. Bagaimana kedudukan atau keterlibatan militer di pemerintahan selama rezim Orde Baru.

3. Batasan Masalah.

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas maka penulis memberikan ruang lingkup penelitian yaitu:

1. Peneliti mengkaji tentang militer sebagai penopang utama selama Soeharto berkuasa, Sterutama dalam mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya.

2. Peneliti menitik beratkan pada Gaya dan Cara yang dipakai Soeharto sehingga Militer bisa tunduk dan terus mendukung Soeharto selama berkuasa.

3. Peneliti juga megkaji kedudukan atau keterlibatan militer di pemerintahan selama rezim Orde Baru.

4. Tujuan Penelitian.

Adapu tujuan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Bagaimana Soeharto dapat memodifikasi dan memberikan ruang pada militer selama berkuasa melalui kebijakan-kebijakan Soeharto.

2. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis instrumen yang digunakan Soeharto dalam menjalankan roda pemerintahan Orde Baru.

3. untuk mengetahui seberapa besar peluang militer dalam pentas politk Indonesia selama Soeharto berkuasa.

5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu memperluas dan memperdalam pemahaman penulis dalam bidang yang lebih terspelialisasi, melatih penulis dalam membuat sebuah karya ilmiah, dan melalui

penelitian ini penulis dibiasakan unutk lebih banyak membaca dan memahami serta lebih kritis terhadap sebuah bacaan maupun karya tulis yang ada.

2. Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pendukung dalam pengembangan dari pada teori-teori politik yang telah ada seperti, Sistem Politik Indonesia, Pemikiran Politik Indonesia, Pembangunan dan Perubahan Politik Indonesia , dan Analisa Kekuatan Politik, Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia dan teori-teori politik yang berhubungan dengan bidang penelitian ini.

3. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana unutk memberi kritikan yang positif terhadap profesionalisme Militer, Departemen Pertahanan Indonesia dalam menjalankan tugas-tugas dan tanggung jawab dalam kinerjanya.

6. Kerangka Pemikiran

6.1 Dwifungsi ABRI

6.1.1 Sejarah Dwifungsi ABRI

Latar belakang sejarah sebagai langkah yang mengawali timbulnya dwifungsi ABRI adalah diawali dari konsep Jalan Tengah Nasution yang bersifat perorangan itu diubah oleh Jendral Soerharto sejak ia memegang kendali pemerintahan. Soeharto merumuskan dwifungsi menurut Kharis Suhud, istilah Dwifungsi untuk pertama kali digunakan oleh Jendral Ahmad Yani ketika ia berceramah didepan perwira-perwira dibangdung yang sangat beda dengan jalan

17 Salimsaid, Tumbuh dan Berkembangnnya Dwi Fungsi, Yojakarta : Askara Kurnia 2002.hal 221.

tengah yang dirumuskan oleh Nasution17. Perumusan dan implemenasti dwifungsi ABRI selama pemerintahan Soeharto ialah menjadi TNI-ABRI secara organisatoris unutk menduduki jabatan-jabatan strategis dilingkungan pemerintahan.

Dwifungsi ABRI merupakan sebuah system yang telah diselewengkan oleh Soeharto dari doktrin awal Nasution. Pandangan besar yang lain yang mewakili oposisi terhadap doktrin Dwifungsi ini adalah Dwifungsi ABRI secara murni memang hanya untuk memastikan legitimasi kepentingan penguasa terhadap ekonomi politik tentara dari sturktur nasional sampai yang terrendah, sehingga sewaktu legitimasi tersebut dicabut, berbagai respon pun dari bagian-bagian tentara ikut mempengaruhi politik dan keamanan Negara.

TNI adalah suatu alat pertahanan Negara sebenarnya telah mempunyai konsep yang baik dalam perannya sehingga stabilitas politik dan keamanan didalam negeri, yaitu Dwifungsi ABRI. Dwifungsi ABRI merupakan konsep dasar TNI yang dalam menjalankan peran social politik mereka di Negara ini. Adapun latar belakang lain tentang lahirnya konsep Dwifungsi ABRI harus kita lihat kembali. Doktrin Hankamrata yang masih digunakan sekarang masih sangat berhubungan dengan Dwifungsi ABRI.

Dwifungsi ABRI yang kita ketahui oleh masyarakat diluar TNI adalah sebagai sebuah bentuk militerisme, campur tangan militer dalam permasalah politik, campur tangan militer dalam permasalahan-permasalah Negara lainnya yang penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dwifungsi ABRI dilihat sebagai sebuah intervensi militer dan legitimasi militer untuk melakukan

18 Soebijiono DwiFungsi ABRI.Yoyakarta ; Gajah Mada University Press 1992.hal 46.

19 Pada tahun 1958 dibentuk Dewan Perancang Nasional dengan dasar UU No.8 Tahun 1958 tangga28 Oktober 1958. dalam Dapernas itu duduk pula wakil-wakil ABRI bersama dengan wakil-wakil golongan fungsional lainnya. Ibid.hal.47

20Ibid.hal.48

21Ibid,hal 48

tindak kekerasan terhadap rakyat. Dwifungsi berarti masuknya militer dalam posisi / jabatan penting dan mengurangi jatah sipil.

Selain itu dalam kenyataanya kekuatan politik sipil yang lemah dihadapkan pada kondisi stagnasi yang dilahirkan oleh sistem demokrasi parlementer, mudah bagi militer untuk mengambil posisi strategis dalam panggung politik pada waktu itu. Dalam pemerintahan Soeharto militer Indonesia memainkan peran politiknya secara luar biasa. Dari hal tersebuat dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Kondisi masyarakat dalam pemerintahan Soeharto belum berubah, sehingga belum memberi perhatian.

2. Peran sosial politik ABRI dapat berkiprah leluasa karena budaya politik yang tidak mampu membangun sistem kontrol politik yang efektif. Hal ini memungkinkan berkembangnya konsepsi Dwifungsi ABRI sehingga melebihi proporsi sebagaimana tahap kelahirannya.

Seperti yang diuraikan diatas, ABRI lahir dalam kancah revolusi sejak semula melaksanakan fungsi sosial politik18. Pengakuan yuridis dari bangsa Indonesia tentang fungsi sosial politik ABRI terlihat sejak berlakunya Undang-undang No.80 tahun 195819. Dengan berlakunya kembali UUD45, maka Dwifungsi ABRI, khususnya fungsi sosial politik mempunyai landasan kontitusional20. Landasan kontitusional dari dwifungsi ABRI tersebut kemudian disahkan lebih mantap dengan ketapan MPRS/MPR21. Setelah MPR hasil pemilu

22 Ibid,hal 48

23 Syarwan Hamid,Kepeminpinan ABRI dalam Prespektif Sejarah,Yogyakarta: Gajah Mada Press 1998.hal 134-135.

24 Arief Budiman Op.cit.,hal175

25 Soebijono Op.Cit.,hal 1

26 Ibid.,hal 94

1971, maka fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial selalu dicantumkan dalam TAP MPR22. Dalam setiap TAP MPR tentangGBHN Bab IV tentang pola umum pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan sejak TAP MPR No.IV/1981 tentang GBHN dalam Bab II dinyatakan bahwa sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional yang dimiliki rakyat dan bangsa Indonesia adalah ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat dan bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan Negara. Selain itu Dwifungsi ABRI pun dilegalkan dengan adanya UU No.20/1982 tentang pokok-pokok Hankam Negara yang kemudian disempurnakan dengan UU No.I/1989 dan UU No.2/1988 tentang pokok-pokok keprajuritan23. Campur tangan ABRI berdasarkan doktrin tersebut menjadaikan bias mendominasi pola pengelolaan di Indonesia. Konsep Dwifungsi ABRI dimanfaatkan kepeminpinan ABRI sendiri serta selalu mengedepankan aspek kuntitas dan mengabaikan aspek kualitas.24

6.1.2 Dwifungsi ABRI sebagai Konsep Sosial Politik.

Dwifungsi ABRI merupakan konsep politik yang menempatkan ABRI baik sebagai kekuatan Hankam maupun kekuatan social politik dalam supra maupun infra struktur politik sekaligus25. Dari penjabaran konsepsi mengenai fungsi sosial politik ABRI, dapat disimpulkan bahwa peranan ABRI dalam konsep Negara pada dasaranya adalah 26: Pertama, Ikut sertanya ABRI dalam penentuan haluan Negara serta pengendalian politik dan strategi nasional. Kedua,

27 Ibid.,hal 56

28 Ibid.,hal 58

29 Ibid.,hal 84

Sebagai pelopor, dinamisator dan stabilisator dalam memelihara dan memantapkan stabilitas nasional disemua bidang. Ketiga, Ikut sertanya dalam pembangunan nasional terutama dalam menyehatkan demokrasi pancasila dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi, meratakan pembangunan unutk mewujudkan keadailan social.

ABRI dengan Dwifungsinya yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan maupun sebagai kekuatan social politik bergerak bersamaan dalam 2 lingkungan politik yaitu dalam pemerintah (supra) dan dalam masyarakat27. Dwifungsi ABRI sebagai konsep sosial politik dapat dilihat dalam kehidupan politik RI28. Pergolakan-pergolakan yang terjadi terutama dibidang politik, ekonomi, telah memaksa ABRI dan kekuatan lain yaitu golongan fungsional untuk berperan aktif, kelahiran fungsi sosial ABRI melekat bersamaan dengan kelahiran ABRI sendiri yang telah lahir dari zaman revolusi, walaupun belum dalam bentuk seperti sekarang29. Implementasi dari konsep Dwifungsi ABRI dapat dilihat dalam ABRI dan kegiatan politik pada masa pemerintahan Soeharto. Sebagai konsep sosial politik ABRI juga terlibat dalam lembaga legislative dan juga pada Birokrasi pemerintahan, bahkan mereka juga ikut berperan aktif dalam pemilu dan juga sebagaio kenderaan politik pemerintahan soeharto dengan masuk kedalam Golongan Karya.

Peran ABRI di MPR dimasa pemerintahan Soeharto, hubungan antara ABRI dan Presiden sendiri amatlah kolutif. Adapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto akan disambut baik oleh TNI. Bahkan bila perlu akan dilakukan berbagai cara, akibatnya Soeharto dapat bertahan dalam kekuasannya.

30 www,transparasi.or.id

31 Mabes ABRI abad XXI: Redefenisi,Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa,Jakarta : Jasa Buma,1999,hal.144

Semasa pemerintahan Soeharto MPR dijadikan sumber legitimasi kelanggengan pemerintahan Soeharto. Hal ini yang terlihat pada masa pemerintahan Soekarno, ketika MPR digunakan unutk memperkukuh ideology manipol usdek dan menyatakan presiden Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Selama pemerintahan Soeharto, salah satu hal yang paling sering dikritik adalah kemudahan mempengaruhi MPR melalui anggota-anggotanya baik yang diangkat maupun dipilih melalui pemilu dengan mekanisme yang menguntungkan penguasa30.

Sidang umum MPR pada tahun 1983 menertibkan TAP MPR No.II/MPR/1983 tentang pemilu yang antara lain menetapkan bahwa31 Pertama: Jumlah anggota MPR/DPR dan DPRD disesuaikan dengan jumlah penduduk dan perkembangan daerah. Kedua : Anggota DPR dan DPRD terdiri atas anggota kekuatan social politik peserta pemilu dan golkar. Berdasarkan ketentuan UU tentang susunan dan kedudukan MPR,DPR dan DPRD yang berlaku sekarang (kemudian diubah dengan UUD No 2/1985), keterlibatan ABRI secara langsung dalam politik paling nyata, dimana ABRI tidak hanya mempengaruhi tetapi juga menduduki, adalah melalui penunjukan perwira militer aktif menjadi anggota legislative ditingkat nasional dan regional.

6.1.3. Dwifungsi ABRI pada Masa Orde Baru.

Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer) yaitu suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme, irrasionalisme, nasionalisme dan korporatisme. Ciri-ciri dari pemerintahan neo-

32 Ibid.hal 145

33 Ibid,hal 145

fasisme (militer) ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan organisasi-organisasi massa (kekutan sipil) dan menghilangkan semua gerakan militan.

Peranan militer sangat dominan dan tidak dapat terlepas dari keterlibatannya dalam bidang politik. Sebagai alat untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaannya, militer mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pertahanan dan juga keamanan Negara. Militer dalam hal ini adalah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Adanya peranan ABRI dalam bidang politik Soeharto, menggabungkan Angkatan Kepolisian dan Tentara Nasional (TNI). Pasal 10 UUD 1945 mengatakan bahwa : presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Laut,dan Udara ternyata ikut memanipulasi rezim Soeharto juga membangun opini masyarakat tentang sejarah ABRI, seakan-akan pada masa lalu ABRI, khususnya pihak TNI (Militer) sudah ikut menentukan nasib Negara secara politik32.

Dalam prakteknya, peranan ABRI telah mengjangkau seluruh kehidupan masyarakat. Adanya kondisi inilah yang kemudian mengukuhkan adanya doktrin Dwi Fungsi ABRI.

Sri Bintang Pamungkas mendefenisikan Dwi Fungsi ABRI yaitu peranan ABRI yang tidak hanya terbatas dalam bidang pertahanan (peranan militer)dan keamanan (peranan kepolisian) saja, tetapi dalam bidang sosial dan politik, atau

lebih umum lagi berperan banyak diluar bidang pertahanan dan keamanan itu sendiri33.

34 Ibid ,hal 146

35 Maruto MD&Anwari WMK, Reformasi Politik & Kekuatan Masyarakat, Jakarata : LP3ES,2002,hal.65.

36 Ibid,hal 66

Penonjolan Dwi Fungsi ABRI dalam pemerintahan Soeharto, secara tidak langsung telah membawa pada sikap eksklusifisme peran ABRI di lingkungan masyarakat dan politik penyelenggaraan negara34. Implementasi Dwi Fungsi ABRI seperti yang telah dipaparkan diatas menjadi sebuah faktor pendorong terjadinya militerisme. Tujuannya ialah untuk memcapai pembangunan dan menjalankan kekuasaan Negara.

Banyak alasan mengapa militer melibatkan diri dalam percaturan politik terutama pada masa pemerintahan Soeharto. Contohnya adalah alasan historis, obsesi pada stabilitas dan kepentingan instusi mereka35. Ada alasan yang bersifat subyektif dan dapat diperinci lebih lanjut menjadi beberapa unsur, terutama sejarah perjuangan dan doktrin keamanan. Di Indonesia peruwujudan peran militer dalam politik telah melewati suatu perjalanan panjang dengan derajat keterlibatan yang pasang surut. Militer sebagai suatu institusi yang kuat dan kemudian menguasai srtuktur politik36.

Selama berlangsungnya rezim yang otoriter tidak banyak yang dapat dilakukan oleh rakyat sipil, karena militer sebagai penguasa yang siap menelan rakyat sipil ketika mereka melawan terhadap penguasa. Setelah bangsa Indonesia dipimpin oleh pemimpin dari militer selama 32 tahun, pada akhirnya menumbuhkan dan menciptakan watak-watak atau jiwa militeristik dalam setiap ruang gerak sosial masyarakat dan struktur sosial.

Telah kita ketahui bersama bahwa ada 3 peran militer pada masa Orde Baru yang berakibat bagi kehidupan demokrasi. Ketiga peran itu antara lain adalah :

1. Militer menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati dll. Dengan banyaknya anggota militer yang menduduki jabatan atau posisi di parlemen akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat.

2. Militer menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil.

Misalnya pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Hal ini dapat diartikan bahwa sebagai salah satu upaya mengendalikan kekuatan intelektual (sipil) melalui sebuah lembaga. Tentu saja pengertian ini sangat bertentangan dengan hakekat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis.

3. Militer melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Selama ini militer telah kehilangan kewibawaannya dimata masyarakat yang disebabkan oleh kejanggalan penanganan pada berbagai kasus.

6.2. Kekuatan politik

6.2.1. Defenisi Kekuatan Politik

Kekuatan politik adalah segala sesuatu yang berperan dan pengaruh didalam dunia politik. Kekuatan politik dapat juga dikatakan sebagai segala sesuatu yang terlibat secara aktif dalam kekuatan politik tertentu. Kekuatan politik terbagi menjadi dua, kekuatan politik yang terorganisir dan yang tidak terorganisir. Kumpulan dari orang-orang yang peduli pada isu-isu yang ada,

37 Bahtiar Effendy. Teologi Brau Politik Islam, Yogyakarta,Galang Press,hal 202

maupun yang berideologi atau persepsi sama kemudian saling mempengaruhi dan berinteraksi satu sama lain, sehingga menghasilkan suatu keputusan bersama.

Kekuatan politik sangat berperan didalam sistem politik di Indonesia. Ada banyak kekuatan politik di Indonesia, namun yang benar-benar berpengaruh dan menonjol hanya beberapa saja. Kekutan-kekutan politik tersebut adalah TNI atau ABRI, POLRI, Organisasi Kecendekiaan, Lembaga-lembaga Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Organisasi Penelitian, kekuatan politik yang tersebar di daerah-daerah, kelompok kemasyarakatan yang berbasis pada Agama (NU, Muhammadiyah, dll), Buruh dan Pekerja, Mahasiswa, Partai-partai politik37, dan masih banyak lagi kekuatan-kekuatan politik lainnya di Indonesia. Kekuatan politik Indonesia dapat berupa institusi maupun individu.

Semua kekuatan politik yang ada harus dapat dikuasai atau dimonopoli dengan baik seperti apa yang terjadi pada era Orde Baru pimpinan Soeharto. Setelah 32 tahun lamanya Soeharto menjabat sebagai Presiden RI, rezimnya akhirnya runtuh karena ia kehilangan kuasa atas hal-hal penting yang menjadi penopang pemerintahan pimpinannya. Ketika itu kabinet pemerintahan terpecah belah, DPR menarik dukungannya bahkan sampai memintanya mengundurkan diri, pengusaha-pengusaha swasta yang menjadi penopang modal menjadi tidak tertarik dengan usaha-usaha lokal, bahkan semakin banyak yang menanamkan modal di Luar Negeri, selain itu militer sedang dihadpakan dengan oleh konflik internal sehingga menjadi terpecah belah. Karena itulah kekuatan-kekuatan politik tersebut harus benar-benar diperhatikan dalam membentuk pemerintahan, bukan

berarti harus dimonopoli namun lebih tepat dikatakan harus diselaraskan agar dapat membangun pemerintahan menuju keutuhan dan keselarasan.

6.2.2 Militer sebagai Kekuatan Politik Indonesia

Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan dapat dikatakan sebagai kekuatan yang berpengaruh besar. Pada awalnya dibentuk dengan nama Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu diubah lagi menjadi Tentara Keamanan Indonesia (TKI), kemudian diubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga pada bulan November 1958 TNI akhirnya diubah lagi menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI terbagi lagi dalam Angkat Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolisian. Pada dasarnya, meskipun telah melewati perjalanan panjang dalam pembentukannya dan beberapa kali melakukan perubahan nama, kekuatan politik ini dari dulu hingga sekarang bergerak dibidang keamanan dan pertahanan di Indonesia.

Dalam masa Orde Baru dimana kepeminpinan Soeharto, ABRI berperan cukup sentral dalam kehidupan sosial-politik. Berdasarkan aturan perundang-undangan yang ada, ABRI bukan hanya diperbolehkan, melainkan juga �bersama kekuatan sosial-politik� lainnya diharapkan terlibat dalam kehidupan kenegaraan.

Dengan mengacu pada doktrin dwifungsinya, selain kekuatan pertahanan dan keamanan (Hamkam), ABRI pun merupakan kekuatan sosial-politik. Dalam UU No.20/1982 tentang Hankam, ABRI baru dinyatakan sebagai �kekuatan sosial�.

Namun lewat UU No.2/1982 mengenai prajurit ABRI, secara tegas disebutkan ABRI merupakan �kekuatan politik� juga disamping sebagai kekuatan hankam. Atas dasar legalitas diatas, dalam tiga masa tiga puluh tahun terakhir ini, ABRI

telah menjadi kekuatan penting dalam kepolitikan Orde Baru. Bersumber pada aspek legal empiric, ABRI baik secara kelembagaan maupun individual terlibat dalam berbagai kegiatan. Pertama, Salah satu pilar Orde Baru adalah duduknya ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Meski bukan partai politik, kehadiran ABRI dalam lembaga tersebut diwujudkan melalui pembentukan fraksi tersendiri. Hal ini menurut penidiri Orde Baru, kehadiran militer dalam lembaga legislative tersebut dimaksudkan untuk menjadi kekuatan penyeimbang dan bahkan pencegah bagi niat partai politik unutk melakukan tindakan yang mengancam jalanya pemerintahan. Sebagai kesatuan stabilitas, ABRI akan selalu berusaha mencegah keinginan politisi sipil yang berkeinginan melakukan perubahan UUD serta dasar Negara RI. Kedua, Sebagai stabilisator dan dinamisator pula kehadiran ABRI dalam politik diwujudkan melalui Golongan Karya. Demi menjamin terselenggaranya demokrasi di satu pihak dan peningkatan efektifitas pelaksanaan pembangunan dipihak lain, para konseptor politik Orde Baru berusaha melahirkan sebuah kekuatan politik yang dominan. Dengan demikian, perimbangan kekuatan antarpartai harus ditiadakan, karena akan mengganggu proses pengambilan keputusan yang memihak pembangunan. Oleh karena itulah ABRI harus berperan didalam lembaga legislative, baik dipusat maupun daerah. Dengan memberi dukungan pada salah satu kekuatan politik dalam hal ini Golkar, tujuan pembentukan kekuatan mayoritas dalam lembaga perwakilan rakyat akan tercapai. Rasanya semua paham bahwa kemenangan Golkar dalam enam pemilu

Orde Baru terutama sekali didukung peran ABRI didalamnya. Ketiga, ABRI pun hadir bukan hanya dilembaga legislative, juga di ekssekutif. Baik yang sudah purnawirawan maupun ABRI aktif tidak sedikit yang memperoleh jabatan kunci dipemerintahan pusat maupun daerah. Pada masa lalu bahkan cukup banyak perwira ABRI yang ditugaskaryakan menjadi duta besar dihampir semua Negara penting didunia ini. Keempat, Dalam rangka mendukung ABRI dan kesejahtraan anggotanya presiden Soeharto pun memberikan banyak kesempatan pada keluarga ABRI untuk aktif berbisnis. Mulai dari pengelolaan hak pengusahaan hutan sampai pelayanan angkutan udara, banyak yang menggunakan nama ABRI. Keterlibatan didalam bisnis ini dimaksudkan untuk lebih mengikat ABRI kedalam struktur politik yang berlaku saat itu. Meski diakui ABRI merupakan alat Negara dan idelogi perjuangannyapun �dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat�, karena

mendapatkan manfaat ekonomi dari penguasa politik yang ada, secara tidak langsung ABRI harus mendukung kebijakan politik penguasa. Kelima, Selain tugas-tugas kekaryaan dan usaha ekonomi seperti diatas ABRI pun aktif dalam memerankan fungsi modrenisasi didaerah tertinggal, ABRI masuk desa, dan lain-lain barulah contoh mutahir dari perbantuan tersebut. Disana peran-peran ABRI sebagai dinamisator diwujudkan dengan bertugas sebagai guru,penyuluh masyarakat. Yang pasti karena kadar disiplin dan keseragamannya, banyak anggota dan kesatuan ABRI yang ditempatkan didaerah terpencil unutk mendorong proses pembangaunan. Karena petimbangan keamanan, hanya anggota ABRI-lah yang paling mungkin bertugas didaerah rawan keamanan. Oleh karena itu begitu lengkapnya keterlibatan ABRI dalam masalah-masalah non-militer, ada kecurigaan bahwa ABRI telah menguasai lahan kelompok lain. Meski pengertian

38 Dr.Indira Samego Bila ABRI Mengkehendaki ; Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI, MIZAN,Bandung.1998 hal.94

Dwifungsi sebenarnya bukanlah kekaryaan, karena dalamnya kehadiran TNI pada masalah sosial-politik, perluasan peran tersebut telah ditafsirkan sebagai peruwujudan yang sesungguhnya dari dwiporsi

Dahulu Jenderal A.H. Nasution mengemukakan gagasan mengenai partisipasi ABRI dalam pemerintahan untuk ikut membina Negara tanpa ada niatan untuk memonopoli seluruh kekuasaan. Gagasan ini bertujuan agar ABRI dapat lebih menyatu dengan rakyat dan selalu siap membantu rakyat, tidak hanya mengenai soal keamanan dan pertahanan Negara saja tetapi disetiap permasalahan yang muncul di masyarakat. Gagasan Jenderal A.H. Nasution ini dikenal sebagai konsep �Jalan Tengah�38.

Pada saat ABRI lahir, ditengah-tengah kekuatan sosial dan politik yang kurang kuat, kekuatan ARBI sangat diperlukan untuk menutupi cela-cela dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul, agar pemerintahan tetap stabil. Pada era Orde Baru pimpinan Soeharto lahirlah konsep �Dwi- Sifat Dwi-fungsi ABRI bertujuan sebagai institusi formal yang bergerak dibidang pertahanan dan keamanan serta dibidang sosial-politik Indonesia. Fungsi ABRI ini kemudian diperkukuh melalui Undang-Undang. Hal ini tercantum dalam UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Keanggotaan MPR, DPR, dan DPRD serta dicantumkannya fungsi ABRI asebagai�alat negara dan kekuatan sosial�, UU No. 20 / 1982, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Negara, khususnya pasal 26 dan 28. Kemudian perihal mengenai Dwi-fungsi ABRI ini, diperkukuh kembali melalui landasan konstitusional dengan mencantumkannya dalam UUD

39 UUD 1945 pasal 2 ayat 1 mengenai keanggotaan MPR & Pasal 21mengenai hak DPR

1945. Tercantum dalam pasal 2 ayat (1) mengenai keanggotaan MPR, pasal 21 mengenai hak DPR mengajukan rancangan Undang-Undang, dan pasal 30 mengenai hak dan kewajiban warga Negara dalam usaha membela Negara39 kemudian Tap MPRS No. II / 1960 semakin menambah leluasa ruang gerak ABRI. Sebagai kelanjutan UU tersebut, dikeluarkan pula UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Dalam UU yang sama, pasal 6, disebutkan secara jelas bahwa ABRI mempunyai peran Dwi-fungsi, yaitu sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan sosial-politik.

Sebagai institusi militer, tidak dapat diingkari bahwa ABRI memegang posisi yang sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Hal ini dikarenakan, pemerintah mendukung sifat dwi-fungsi ABRI sehingga ABRI bisa lebih leluasa bergerak tidak hanya dibidang hankam tapi juga bidang sosial-politik terutama setelah diperkukuh melalui berbagai Undang-Undang. Peran ABRI dalam bidang hankam tidak perlu dipertanyakan lagi, dapat dilihat dari sejarah dimana ABRI menjadi salah satu faktor pendukunga yang kuat ketika Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya sejak dahulu. Ketika itu namanya memang belum menjadi ABRI, namun tetap merupakan institusi yang sama. Fakta lain bahwa ABRI menjalankan fungsi bidang hankam adalah ketika pemberontakan PKI dan gerakan-gerakan separatis lainnya di daerah-daerah menjadi reda. ABRI juga membantu Indonesia memperkukuh posisinya di dunia Internasional dengan pengiriman Pasukan Garuda ke barbagai negara untuk membantu menyelesaikan konflik-konflik di negara-negara tersebut.

Pada masa Orde Baru, kekuatan ABRI diberbagai bidang dapat dikatakan dominan, bahkan sampai berperan menjadi co-ruler. Undang-undang mengenai dwi-fungsi ABRI memudahkan para anggotanya untuk lebih leluasa bergerak dalam kehidupan sosial-politik baik dalam pemerintahan atau secara formal, maupun di luar pemerintahan atau secara informal. Selain jumlah anggota ABRI yang bergerak dibidang sosial-politik tergolong banyak, efek atau pengaruh yang dihasilkan juga besar bagi pemerintahan dan masyarakat Indonesia. Besar pengaruhnya dapat dilihat dari kemajuan yang dihasilkan dalam pembangunan. Secara gamblang dapat dikatakan bahwa ABRI ketika itu telah menguasai seluruh aspek-aspek yang ada, baik yang formal maupun informal.

Setelah semuanya berjalan cukup lama, kelamaan sifat Dwi-fungsi ABRI ini menjadi suatu doktrin yang menyebar menjadi sifat multi-fungsiABRI. Semakin lama kegiatan ABRI sebagai institusi militer formal, maupun aktivitas para anggotanya dalam berbagai aspek menjadi semakin meluas. Karena dapat bertindak secara leluasa, apalagi dengan pengukuhuan mengenai sifat Dwi-fungsi dalam Undang-Undang, mulai terlihat tindakan-tindakan penyelewengan terutama dari sisi Birokrasi kepemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya divisi-divisi dalam pemerintahan yang dikuasai ABRI mulai dari yang terendah hingga yang teratas. Selain dari sisi politik, dari sisi militer pun ABRI mulai terlihat semena-mena, padahal tujuan utama yang ingin dipenuhi dengan dibentuknya ABRI itu sendiri adalah untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara. namun yang dirasakan masyrakat justru tindak kekerasan terhadap segala bentuk protes atau demonstrasi yang dilakukan berbagai kalangan, selain itu ABRI sering kali menyelesaikan berbagai konflik dengan kekerasan tanpa melakukan pendekatan

yang lebih halus terlebih dahulu. Kelamaan masyarakat yang menerima perlakuan seperti itu melihat ABRI hanya sebagai alat kekerasan dan kekuasaan, karena ABRI menghalalkan segala cara agar dapat mempertahankan kekuasaannya. ABRI jadi terlihat sebagai rekan penguasa dibanding institusi militer yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara.

Meskipun demikian, hal ini bukan sepenuhnya menjadi kesalahan ABRI Pemerintah Orde Baru juga telah banyak membuat ABRI berada di posisi terpojok antara menjalankan kewajiban - atau lebih tepatnya membela majikannya - dibanding berdiri sebagai stabilisator atau pun sebagai dinamisator bagi masyarakat.ABRI, seperti kita ketahui, selama 32 tahun ini telah menjadi alat untuk mempertahankan status quo pemerintahan Soeharto lewat cara militernya. Hal ini lama-kelamaan menjadi sorotan yang cukup tajam di Indonesia. Konflik ABRI, peran dan kekaryaannya yang diimplementasikan lewat doktrin Dwi-fungsinya telah membawa pro dan kontra di kalangan masyarakat politik, bahkan masyarakat awam sekalipun, yang kemudian mengakibatkan banyaknya demo yang bermaksud untuk menumbangkan peran Dwifungsi ABRI.

6.2.3 Peran Militer dalam Keamanan dan Politik

Pada masa pemerintahan Soeharto, militer terkenal dengan nama Dwifungsi ABRI yang mempunyai peran dalam proses politik dan keamanan, maka dari itu militer mempunyai hak dalam masuk wilayah-wilayah sipil. Kekuasaan militer seperti struktur dalam sistem politik yang ada di masyarakat. Militer juga mempunyai struktur yang jelas antara lain BABINSA, KODAM, KOREM yang mempunyai hak mengontrol pemerintahan sipil yang dianggap

makar terhadap pemerintahan. Kadang kala para militer dan para pemimpin militer menduduki kedudukan strategis seperti, Bupati, Lurah, Camat dan lain-lain. Dalam hal ini juga proses militerisasi militer mulai masuk ke wilayah sipil, sipil dengan watak militeristik seperti, menyelesaikan konflik dengan kekerasan,

anti dialog.

Negara militer adalah aliran paling kuat antara tiga aliran lainnya. Dengan format Negara militer, karena militer mendominasi seluruh lembaga pengambil keputusan baik di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Soeharto mengelola konflik yang terjadi di tubuh militer. Konflik laten yang terjadi selama kekuasaan Jenderal Soeharto, adalah antara Soeharto dan Ali Murtopo sebagai promoter pada awal tahap kekuasaan soeharto. Setelah Ali Murtopo meninggal, dia direpresentasikan oleh Jendral Beni Moerdani sebagai kader. Sejak saat itu, Soeharto mutlak mengendalikan sistem politik yang ada , selama ini kanter yang didalami oleh Ali

Murtopo ambruk. Pada prinsipnya, Soeharto dan Moerdani itu satu, sampai saat-saat terakhir tidak ada pernyataan-pernyataan Moerdani yang berlawanan dengan Soeharto. Moerdani adalah tentara loyalitas, bila disuruh untuk menghabisi mahasiswa atau Soeharto, dia akan memilih membunuh mahasiswa. Tetapi kemudian muncul berbagai friksi antara Soeharto dan Moerdani. Penyebab konflik yang mendasar antara Soeharto dan Moerdani adalah persoalan kepentingan, salah satunya adalah kepentingan ekonomi.

Agar tidak terlalu ketergantungan dengan Beni Moerdani, Soeharto mengangkat dan mempromosikan kelompok Soehartois yang mengedepankan Wiranto dan kawan-kawan. Wiranto sebenarnya diposisikan sebagai putra

mahkota. Penonjolan Wiranto bukannya tanpa masalah. Karena Soeharto menghadapi Prabowo Subianto, menantunya, yang sama-sama berambisi menjadi putra dan berambisi menduduki jabatan tinggi. Karena tidak ada persaingan dalam perpolitikan.

Proses kekuasaan sentralistik memang tidak mulus pada awalnya. Memang terjadinya perebutan kekuasaan yang akibatnya kekuasaan militer dan rezim militeristik dan birokrasi yang dikuasai oleh para kekuasaan yang korup. Kekuasaan lawan politik direpresif kekuatan militer dan rezim diktator Soeharto,

kekuasaan legilatif, eksekutif dan yudikatif yang dikuasai oleh militer dan politik di daerah yang dikontrol militer yang mempunyai tugas dan peran yang begitu dominan dalam struktur masyarakat yang terpola dengan sentralistik. Persoalan ini juga berkuasa selama 32 tahun yang membentuk watak dan karakter masyarakat yang militeristik, maka pemahaman sipil yang merindukan oleh kemanan yang dirindukan oleh masyarakat.

Kekuasaan yang menjadi ketakutan masyarakat merupakan momok yang menjadi persoalan dari rezim Soeharto mengakibatkan krisis ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, represifitas militer terhadap masyarakat yang menyebabkan problem kebebasan masyarakat terbelenggu oleh kekuasaan militeristik yang tidak memberikan kebebasan berpikir. Dari hal itu masyarakat mulai melakukan pemberontakan atas ketidakadilan yang dilakukan pemerintah. Kekuasaan rezim Soeharto mulai melemah akibat dari problem yang diakibatkan pemerintah yang menimbulkan keresahan akibat pembangunan tidak merata,

40 Mardalis, Metoda Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hal.26

urbanisasi desa kekota. Pemberontakan masyarakat mulai memanas dan militer menarik dukungan dari kekuasaan yang despotic.

Kejatuhan Presiden memang tidak terlepas dari kondisi internal militer yang pada saat itu mengalami perpecahan, yaitu antara Wiranto dan Prabowo yang notabene adalah pendukung Soeharto. Ditambah dengan keyakinan yang menjakiti masyarakat bahwa Seharto dan militer hanya dapat disingkirkan melalui people power dan puncaknya adalah pemberontakan Mei 1998, yang memakan korban jiwa dari rakyat sipil. Saat itu juga, menjadi waktu kekosongan kekuaasaan para militer, tetapi tidak begitu saja militer melepaskan kekuasaannya. Karena kepentingan militer dari sosio-politik menjadi kehidupan yang memakmurkan. Seperti kasus-kasus militer menangani kerusuhan di daerah-daerah yang rawan, militer pasti ikut di dalam yang menjadi super hero atau pahlawan dalam menyelesaikan, padahal kepentingan militer sebagai aparat yang menjaga modal dan perusahan menjadi perjalanan sejarah militer Indonesia menjadi kepentingannya sebagai asset yang empuk oleh para perwira militer.

7.Metode Penelitian

7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini mempunyai tujuan yaitu mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan interpretasi kondisi � kondisi yang terjadi. Atau dengan kata lain, tujuannya memberi informasi mengenai keadaan yang saat ini terjadi dan melihat variabel yang ada40. Data dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk kalimat atau uraian. Penelitian

41 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah,Jakarta:PT.Gramedia 1992,hal3

deskriptif sendiri biasanya mempunyai dua tujuan, antara lain. Pertama, Mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekwensi terjadinya suatu aspek fenomena tertentu. Kedua, Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu. Pada umumnya penelitian kualitatif tidak mempergunakan angka atau nomor dalam mengolah data yang diperlukan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan penulis dan deskripsi keadaan, kejadian,

interaksi, dan kegiatan. Dengan menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati data sehingga mampu mengembangkan komponen-komponen keterangan yang analisis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

7.2 Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah liberary research (penelitian kepustakaan). Kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan data dari berbagai sumber seperti buku-buku, makalah-makalah, dan dokumen-dokumen serta sarana informasi lainya yang dianggap dapat menjadi informasi dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini41.

7.3 Analisis Data

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai situasi atau kondisi yang terjadi. Data-data yang terkumpul,baik data yang berasal dari kepustakaan dan sumber lain akan dieksplorasikan menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan sejarah secara mendalam tentang masalah yang akan diteliti.

7.4 Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Bab I terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, manfaat penelitian, tujuan penelitian, landasan pemikiran dan juga penjelasan tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian.

BAB II : Rezim Orde Baru

Pada Bab ini menjelaskan berbagai hal Latar Belakang Pemerintahan Soeharto terutama Srtategi Pemerintahan rezim Soeharto (Orde Baru) dan Kebijakan-kebijakan yang dibuat Soeharto dalam Pemerintahannnya yang sangat berambisi untuk berkuasa selama - lamanya.

BAB III : Pembahasan atau Analisis

Pada Bab ini akan berisi tentang uraian yang terdiri dari Kekuasaan pada masa Pemerintahannya, (dilihat dari Sifat dan Alat yang digunakan dalam mendapatkan dan mempertahankan Kekuasaan), kondisi Militer pada masa Pemerintahannnya, dan Keterlibatan / peran Militer pada masa Pemerintahan Soeharto.

BABIV : Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi mengenai kesimpulan yang didapatkan dari penelitian. Dan juga berisi tentang beberapa saran yang mempunyai hubungan dengan penelitian.