92
STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF SKRIPSI Diajukan Kepada fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Nur Azmi Fadhillah NIM: 1113044000099 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44825...Tujuan penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui dan memahami status perwalian

Embed Size (px)

Citation preview

STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM DALAM

PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

SKRIPSI

Diajukan Kepada fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Nur Azmi Fadhillah

NIM: 1113044000099

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

i

ii

iv

Abstrak

Nur azmi Fadhillah 1113044000099 dengan judul skripsi Status Perwalian

Anak Hasil Sewa Rahim Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Posisf .

Hukum Keluarga, Akhwal Asy-Syakhsiyyah, Fahultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negri Jakarta, 2018/1439 H,

Tujuan penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui dan memahami

status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum

positif. Apakah dalam hukum Islam dan hukum positif memperbolehkan atau

melarang adanya sewa rahim, dan bagaimna status kejelasan perwalian dan nasab

seorang anak yang dilahirkan dari hasil sewa rahim.

Metode penelitian yang dipakai dalam menyusun skripsi ini menggunakan

penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kepustakaan (library research).

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu masuk kedalam katagori jenis

penelitian hukum normatif, karena penelitian normatif disini membandingkan

antara hukum Islam dan hukum positif mengenai perwalian anak hasil sewa

rahim. Sumber data yang diguakan adalah sumber data primer dan sekunder untuk

mendapatkan informasi yan akurat dan obyektif. Teknik pengumpulan data

penulis menggunakan metode kepustakaan (library risearch) yaitu

mengumpulkan hasil data yang telah dikumpulkan. Adapun dalam analisis data

penulis melakukan penelitian ini ini melalui pengelola bahan-bahan hukum yang

telah dikumpulkan terlebih dahulu kemudian disusun secara sistematis dan

terarah.

Dalam hukum Islam dan hukum positif melakukan sewa rahim pada

wanita lain sangatlah dilarang tidak diperbolehkan (haram). Mengenai status

nasab dan perwalian seorang anak hasil sewa rahim dalam hukum Islam hanya

kepada ibunya dan keluarga ibunya. Adapun ayah bilogisnya tidak bisa menjadi

wali untuk anak tesebut. Namun dalam pandangan hukum positif status anak yang

lahir dari ibu pengganti dalam kaitannya dengan peraturan Undang-Undang

Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak tersebut, anak sah dari ibu

pengganti dan bukan anak dari orang tua yang menitipkan benih.

Kata kunci: perwalian anak, sewa rahim, hukum Islam, hukum positif

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang merajai alam

semesta yang telah memberikan kenikmatan kepada semua hambanya-Nya

sehingga dengan nikmat tersebut kita masih dalam lindungan-Nya, yakni nikmat

iman, Islam, dan kesehatan.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW yang menjadi teladan bagi semua manusia tak terkecuali penulis sendiri,

semoga kita semua selalu mendapatkan syafa’atnya dihari akhirat.

Akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul

“Status Perwalian Anak Hasil Sewa Rahim Dalam Pandangan Hukum Islam

dan Hukum Positif”. Penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana stara satu (S-1) pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universutas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan sekripsi

ini penulis menyadi masih banyak kesalahan, kekurangan dan jauh dari sempurna

karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata.

Keberhasilan penulis menyelsaikan skripsi ini tidak terlepas berkat

dukungan, doa, moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam

kesempatan yang bahagia ini penulis ingin mengucapkan terimakasih sedalam-

dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Dr. Abdul Halim. M.Ag selaku Ketua Program Studi Hukum

Keluarga dan Bapak Indra Rahmatullah S.H.I, M.H selaku Sekretasi

Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi

3. Ibu Rosdiana M.Ag sekalu Dosen Pembimbing skripsi yang telah sabar

membimbing dan memberi arahan mengenai skripsi ini hingga

terselesaikannya skripsi ini.

4. Bapak Nur Rohim Yunus, LLM sekalu Dosen Pembimbing akademik

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik

dan memberikan bekal ilmu kepada penulis selama masa kuliah, baik

secara langsung maupun tidak langsug.

6. Pimpinan perpustakaan baik kepada pihak Perpustakaan Utama maupun

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri

Jakarta, Perpustakanan Jakarta, dan Perpustakaan Nasional, yang telah

membatu memberikan pinjaman buku-buku sebagai bahan acuan penulis

untuk menyusun skripsi ini.

7. Terkhusus dan teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda

Mafrudho Badruddin dan ibunda Nur Mulyati yang telah mengasuh,

membersarkan, mendoakan, seta mendidik serta memberikan semangat

juga dan bantuan baik moril maupun materil kepada penulis. Pengorbanan

dan kesabaran yang diberikan selama mendampingi perjuangan penulis

dalam mengapai cita-citanya. Rasanya tidak pernah cukup untuk berterima

kasih, semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat kepada keduanya.

Semoga penulis menjadi kebanggaan bagi kedunya sesuai yang

diharapkan. Butiran doa tiada henti penulis panjatkan untuk ibunda dan

ayahanda, semoga Allah menggangkat derajatnya dan memberi balasan

kebaikan dunia akhirat kelak Amin Allahumma amin.

8. Kepada kakak tersayang Mimi Mardhotillah S.Pd dan adik-adik saya Nur

Azifah Mawaddah Rahmah, Ibnu Ahmad Nur Jammi, dan Ibnu Ahmad

Dzikrulla, yang dari kecil hingga sekarang telah berjuang da hidup

bersama. Melangkah bersama untuk menuju kecerdasan dan kesuksesan

dunia akhirat. Yang menjadi tempat betukar fikiran, semoga Allah selalu

mengijabah semua doa dan penjuangan kita semua untuk dapat bahagia,

berilmu, sukses, dan mensukseskan orang lain. Semoga kita dapat menjadi

vii

anak yang selalu berbakti kepada kedua orang tua, menjadi wanita yang

shalehah, yang taat, serta bermanfaat, amin.

9. Kepada orang terdekat seperjuangan As’ad Nur Shodiqin yang hadir

memberikan pencerahan kepada penulis, menyediakan waktu untuk

berdiskusi mengenai judul-judul yang tepat, dan banyak memberikan

saran-saran yang membangun dan memotivasi hingga dapat terselesainya

skipsi ini.

10. Kepada seluruh teman-teman hukum keluarga khususnya SAS C angkatan

2013 yang telah berjuang bersama dan memberikan motivasi yang

membangun untuk membangkitkan semanagat belajar dan menyelesaikan

studi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik

bentuk, isi, maupun teknik penyajiannya. Oleh sebab itu kritikan yang bersifat

membangun dari berbagai pihak penulis terima dengan terbuka serta sangat

diharapkan. Semoga skripsi ini memenuhi sasaran.

Jakarta, Desember 2018

Penulis

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i

PENGESAHAN PENGUJI ................................................................................. ii

LEBAR PERNYATAAN.................................................................................... iii

ABSTRAK .......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Pembatan dan Perumusan Masalah ....................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6

D. Manfaat Penelitian ................................................................ 7

E. Metodelogi Penelitian ........................................................... 7

F. Teknik Penulisan .................................................................. 9

G. Studi Review Terdahulu ........................................................ 10

H. Sistematika Penulisan ........................................................... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN

STATUS ANAK ........................................................................ 12

A. Pengertian Perkawinan .......................................................... 12

1. Menurut Hukum Islam .................................................... 13

2. Menurut Hukum Positif .................................................. 16

B. Tujuan Perkawinan................................................................ 20

C. Status Anak Dalam Perkawinan ............................................ 21

D. Maqasid Syariah .................................................................... 28

BAB III TEORI SEWA RAHIM ............................................................... 36

A. Pengertian Sewa Rahim ........................................................ 36

B. Ruang Lingkup Sewa Rahim ................................................ 38

C. Proses Dan Pelaksanaan Sewa Rahim................................... 40

ix

D. Pendapat Ahli Kesehatan Mengenai Sewa Rahim ................ 41

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

TERHADAP .STATUS PERWALIAN ANAK HASIL

SEWA RAHIM ........................................................................... 46

A. Status Perwalian Anak Hasil Sewa Rahim............................ 46

1. Dalam Pandangan Hukum Islam ..................................... 46

2. Dalam Hukum Positif ...................................................... 58

B. Status Nasab Anak Hasil Sewa Rahim.................................. 60

1. Dalam Pandangan Hukum Islam ..................................... 60

2. Dalam Pandangan Hukum Positif ................................... 63

C. Sewa Rahim Dalam Pandangan Hukum Islam dan

Hukum Positif ....................................................................... 64

D. Analisis .................................................................................. 67

BAB V PENUTUP ................................................................................... 71

A. Kesimpulan ........................................................................... 71

B. Saran ...................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 77

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama yang suci (hanif), diturunkan oleh Allah SWT

sebagai rahmatan lil „alamin. Setiap makhluk hidup mempunyai hak

menikmati kehidupan, baik hewan maupun tumbuhan, dipermukaan bumi ini.

Oleh karena itu, Islam sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal

yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap manusia diciptakan oleh

Allah SWT tidaklah dapat hidup secara sendirian. Manusia dikenal sebagai

makhluk social, oleh karena itu manusia adalah makhluk yang bergantung satu

sama lain dalam memenuhi segala kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan

dan melangsungkan kehidupannya manusia memerlukan aktivitas kehidupan

sosial, salah satu aktivitas manusia dalam melangsungkan dan menjalankan

kehidupannya untuk mendapatkan keturunan yaitu dengan cara jalan

perkawinan.

Tujuan dari perkawinan itu sendiri untuk mewujudkan kehidupan

tumah tangga yang sakinah (tentram, damai) mawaddah (kasih) dan rahmah

(sayang). Perkawinan juga akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi

hak dan kewajiban serta saling tolong menolong.

Menikah juga merupakan salah satu kebutuhan manusia yang menjadi

kebutuhan rohani dan jasmani yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa dengan

jenis perempuan dengan seorang laki-laki dengan saling mengenal dan

mencintai satu sama lain untuk hidup bersama. Perkawinan yang disyariatkan

supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju

kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat dalam naungan cinta kasih dan

ridho Ilahi1.

Perkawinan bukan hanya sekedar untuk menyalurkan hasrat nafsu

seksual menurut cara yang sah, melainkan ia mengandung nilai-nilai yang

1Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Idonesia, (Bandung: Vorkik Van Hoeven,

1959) hal. 7

2

luhur yang ingin dicapai dengan perkawinan. Salah satu tujuan utama

perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan. Keturunan yang jelas

silsilah nasabnya, dan itu hanya diperoleh dengan jalan perkawinan. Menurut

Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan “ Perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”2.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah

(tentram, damai) mawaddah (kasih) dan rahmah (sayang)3. Saling memberi

nasihat, terutama bagi suami isteri mempunyai peranan yang sangat besar

dalam menciptakan keharmonisan rumah tangga, menyelaraskan kelabilan dan

menyelesaikan kesalah pahaman. Namun banyak diantara para suami yang

beranggapan bahwa isteri tidak layak memberikan nasihat kepadanya. Seorang

suami yang hanya beranggapan kepada pendapatnya sendiri, tanpa mau

menengok pendapat isterinya, tentu tidak akan banyak memberikan manfaat

dalam menciptakan kebahagiaan. Bukan karena apa-apa, tapi karena ia

beranggapan bahwa mengajak seorang wanita bermusyawarah, akan

mengurangi kewajiban sebangai pemimpin rumah tangga4.

Sebuah rumah tangga akan terasa gersang dan kurang sempurna tanpa

adanya anak-anak, sekalipun rumah tersebut berlimpah harta dan benda. Anak

sangat diharapkan keberadaannya tidak saja karena ia diharapkan dapat

memberikan kepuasan batin ataupun juga dapat menunjang kepentingan-

kepentingan duniawi, tetapi dari pada itu anak dapat memberikan manfaat bagi

orang tuanya kelak jika sudah meninggal.

Mendapatkan anak merupakan fitrah manusia dari perkawinannya,

sebab anak merupakan tumpuan harapan orang tua. Kehadirannya akan

2Sastroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1978), cet. II, hal. 83 3Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pradilan Agama Jakarta: PT Raja Drafindo

Persada, 2002, cet ke II, hal 27 4Nasir Ibnu Sulaiman Al‟Umr, Sendi-Sendi Kebahagiaan Suami Istri, Jakarta: Pustaka,

1993, hal. 42

3

menambah semaraknya kehidupan. Sepasang suami isteri belum merasa

tentram jikalau perkawinannya belum mendapatkan anak. Dengan adanya

anak sebagai amanat Allah SWT dapatlah diwariskan apa yang dimiliki, ilmu

serta amalan yang bermanfaat untuk diteruskan kegenerasi mendatang.

Dalam pasal 42 UU perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan

bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

dari perkawinan yang sah5. Dengan hadirnya anak di tengah-tengah keluarga,

diharapkan sebagai kebahagiaan rumah tangga dapat dicapai. Anak yang

merupakan pancaran dan bukti cinta kasih sejati dari pasangan suami isteri

diharapkan sebagai sumber kerutunan dan kebahagiaan rumah tangga.

Tidak semua pasangan suami isteri dapat mempunyai keturunan

sebagaimana yang diharapkan. Secara de facto, karena hal ini kehidupan

rumah tangga sering kali kandas. Tidak mempunyai anak pada saat

melangsungkan rumah tangga bukanlah akhir dari hidup rumah tangga, akan

tetapi suatu anugerah yang tertunda yang telah direncanakan Allah SWT sang

pencipta. Tugas manusia adalah berikhtiar kepadanya-Nya, niscaya Allah pasti

akan mendengarkannya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang isteri tidak dapat

mengandung atau hamil, salah satunya ialah kemandulan baik penyebabnya

dari suami maupun dari isteri itu sendiri. Kemandulan dari pihak laki-laki

maupun perempuan tidak dapat diprediksi oleh siapa pun, hanya Allah yang

dapat mengetahui dan mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Sebagaimna

firman Allah SWT dalam QS. Asy-syura (42): 49-50

Artinya:”Milik allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa

yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia

kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.

5 Niniek Suparni, KItab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), (Jakarta: Rineka

Cipta, 2007), h. 62

4

Atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan

mandul kepada siapa yang Dia kehendaki, Dia Maha Mengetahui, Maha

Kuasa (Q.S. Asy-Syura (42): 49-50).

Dengan banyaknya pasangan suami isteri yang mengalami kemandulan

ataupun masalah yang lainnya seperti menjaga kesehatan isteri atau karena

pasangan tersebut belum mampu mengambil konsekuensi dalam masa-masa

kehamilan dan mengasuh anak. Dan terkadang seorang perempuan tidak mau

memiliki anak karena ingin menjaga bentuk tubuh supaya tetap seimbang.

Sehingga menjaga suaminya agar tetap menyanginya6.

Meskipun sewa rahim memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat

rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika apabila orang yang tidak

beragama dan beriman, sehingga potensial berdampak negatif dan fatal.

Kaidah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan

teknologi ini, sebab pengunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai

menurut agama, etika dan hukum yang berlaku dimasyarakat7. Oleh karena itu

banyak yang menimbulkan pro dan kontra mengenai sewa rahim yang muncul

berbagai masalah, diantaranya adalah perwalian anak yang lahir dari hasil

sewa rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum perdata yang berlaku

di Indonesia.

Dalam kasus di atas, selain kemadulan yang dialami pasangan suami

isteri, fenomena lain yang sering kita temui yaitu banyaknya di daerah

perkotaan, seorang wanita yang ingin mempunyai anak namun tidak ingin

merasakan kehamilan dan melahirkan, dengan alasan menjaga tubuhnya agar

tetap ideal dan terlihat bagus. Wanita yang hamil akan mengalami perubahan

pada tubuhnya perutnya yang semakin lama akan membesar dan tubuhnya

tidak akan ideal lagi. Oleh karena itu banyaknya wanita yang ingin

mempunyai anak namun tubuhnya tetap terlihat bagus dan ideal denga cara

menyewa rahim wanita lain agar mendapatkan keturunan dan menjaga

keutuhan rumah tangganya.

6 Syaikh Mutawali as-Sya‟rawi, Fiqh Perempuan (Muslimah) Busana dan Perhiasan

Pengormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karir. Jakarta: AMZAH, 2003, hal. 78 7Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporen), (Jakarta:

Gema Insani Press, 2003), cet. I, hal. 188

5

Islam sangat menjaga nasab anak, dalam perkawinan yang sah akan

memiliki keturunan yang sah pula. Beda halnya yang didapat dengan jalan

sewa rahim. Ketika pasangan suami isteri menanamkan benih dari hasil

pembuahan yang ditanamkan dirahim wanita lain. pasangan suami isteri yang

menyewa rahim perempuan lain dengan alasan karena si isteri tidak dapat

mengandung seorang anak, maka akan muncul suatu permasalahan dimana

status perwalian seorang anak hasil sewa rahim yang harus diperjelaskan. Oleh

karena itu, kejelasan perwalian anak hasil sewa rahim akan tetap jatuh kepada

ayah biologisnya atau kepada ibu yang mendonorkan sel telur dan bagaimana

status kejelasan ibu yang sudah mengandung dan melahirkannya.

Pada pasal 42 UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang dikatakan

anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari

perkawinan yang sah, karena sudah jelas nasab dan perwaliannya. Dari pasal

tersebut sudah jelas bahwa anak yang sah adalah dari perkawinan yang sah

dan mempunyai hubungan wali nasab kepada kedua orang tuanya yang sah.

Namun apabila anak yang lahir dari hasil sewa rahim juga berasal dari

benih atau pembuahan sel sperma dan sel telur dari pasangan suami isteri yang

sah pula, akan tetapi hanya penanamannya saja di rahim wanita lain, anak

hasil sewa rahim tidak dapat digolongkan sebagai anak sah karena diluar

perkawinan yang tidak diakui. Dari permasalahan tersebut maka timbul

masalah ketika wanita yang disewa rahimnya berstatus terikat pada

perkawinan yang sah (mempunyai suami) dan berstatus gadis ataupun janda.

Jika terjadi kasus seperti di atas, dimana pasangan suami isteri yang

mendonorkan sel sperma dan sel ovumnya kepada wanita lain yang berstatus

sudah menikah ataupun masih gadis, lalu bagaimana dengan status kejelasan

perwalian pada anak tersebut. Kepada siapa perwalian anak tersebut akan

dinisbathkan?

Berdasrkan pemaparan dan penjelasan di atas, maka penulis tertarik

untu menjadikan bahan kajian dalam skripsi dengan judul : “STATUS

PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM DALAM PANDANGAN

HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ”

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih terarah dan menghindari persepsi dari pembaca, maka

penulis membatasi penelitian skripsi ini dalam ruang lingkup bahwa

hukum status perwalian anak hasil sewa rahim sebagai berikut:

a. Status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum

Islam dan hukum positif

b. Stasus nasab anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum Islam

dan hukum positif

c. Hukum sewa rahim ditinjau dari pandangan hukum Islam dan

hukum positif

2. Perumusan Masalah

Setiap peneliti tidak terlepas dari rumusan-rumusan tertentu yang

senantiasa terkait dengan pokok masalah yang menjadi inti pembahasan

dan selanjutnya dapat dipergunakan sehingga dapat pula diambil

manfaatnya. Adapun penyusunan skripsi ini menyusun rumusan sebagai

berikut:

1. Bagaimana status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan

hukum Islam dan hukum positif ?

Untuk melengkapi skripsi tersebut, penulis membuat pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

2. Bagaimana status nasab pada anak terhadap sewa rahim dalam

pandangan hukum Islam dan hukum positif ?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap sewa

rahim ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam melakuakan penilitian yang berkaitan dengan sewa rahim baik

sewa rahim itu dari sel sperma dan sel telur dari pasangan suami isteri itu

sendiri yang ditanam didalam rahim wanita lain, ataupun dari sel sperma dari

7

si suami dan sel telur wanita lain yang ditanam di rahim wanita lain yang

bukan isterinya.

Penulis mengemukakan tujuannya untuk mengetahui bagaimana

hukum Islam dan hukum positif menanggapi permasalahan tersebut apakah

dalam hukum Islam diperbolehkan ataupun sebaliknya, dan bagaimana hukum

positif melihat permasalahan tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Secara Teoritis

Secara teroritis hasil penelitian ini adalah dalam rangka untuk

mengembangkan wawasan ilmu khususnya dalam bidang hukum Islam

dan hukum positif yang berakaitan dengan status perwalian, nasab,

terhadap hasil sewa rahim.

b. Secara Praktis

Secara Praktis dari hasil penelitian ini adalah untuk memperluas

pengetahuan diri penulis dan sebagai bahan bacaan serta informasi bagi

masyarakat luas dapat mengetahui pandangan hukum Islam tentang nasab

anak dari hasil sewa rahim. Dalam menyikapi perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi reproduksi serta untuk memenuhi syarat

akademis dalam rangka memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian

kualitatif, yaitu dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library

research). Metode kepustakaan (library research) berdasarkan dengan

mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penelitian melalui studi

kepustakaan yang diperoleh melalui kajian undang-undang dan peraturan

8

peraturan yang ada dibawahnya serta bahan-bahan yang lain yang

berhubungan dengan data-data penelitian8.

1. Jenis Penelitian

Dari latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas,

bahwa jenis penelitian masuk ke dalam katagori penelitian hukum

normatif, karena dalam analisisnya menggunakan bahan bahan

kepustakaan sebagai sumber data penelitian9. Penelitian normatif disini

tentang perbandingan hukum Islam dan hukum positif tentang status

perwalian anak hasil sewa rahim.

Penelitian ini tergolong penelitain pustaka atau literature. Dalam

penelitian hukum, jenis ini masuk ke dalam katagori penelitan yuridis

normatif atau penelitian hukum kepustakaan, oleh karena itu dalam

penelitian ini bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu

penelitian digolongkan sebagai data sekunder.

2. Sumber Data

Sumber data adalah objek dari mana data itu diperoleh karena

penelitian ini adalah tergolong penelitian pustaka, maka keseluruhan data

adalah data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum. Oleh karena

itu, penelitian ini merupakan penelitian normatif dimana bahan pustaka

merupakan dasar dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data

sekunder.

a. Data Primer

Penelitian ini memperoleh dari sumber asli mengenai pokok

permasalahan yang menjadi pembahasan pada penulis ini10

. Sumber

data dapat dapat diperoleh melalui:

1. Al-Qur‟an

2. Kitab Hukum Islam

3. Hadist

8Lexy J. Meleong Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosdakaya, 2006), h. 29

9 Afif Fauzi Abbas, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Adelina Offiset, 2010), h. 158

10 Peter Muhammad Marzuki, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pranada Media

Group, 2005), h. 20

9

4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

5. Fatwa Majlis Ulama Indonesia

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka

berisikan informasi tentang bahan primer dengan mengadakan studi

kepustakaan mengenai data-data yang diharapkan seperti buku-buku,

karya ilmiah, jurnal, artikel, dll11

.

3. Teknik Pengumpulan Data.

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan maka

menggunakan metode libaray research (kepustakaan). Pengumpulan data

ini penulis mengumpulkan hasil yang data yang telah dikumpulkan12

.

4. Menganalisis Data

Analisis yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini adalah melalui

pengelola bahan-bahan hukum yang telah dikumpulakan terlebih dahulu

kemudian disusun secara sistematis dan terarah. Langkah-langkah dalam

melakukan penelitian hukum di atas merupakan sebuah analisis bahan

hukum terhadap sebuah penelitian hukum yang telah menggunakan tipe

penelitian yuridis normatif. Tujuan analisis bahan hukum tersebut adalah

untuk menemukan jawaban atas permasalahan pokok yang dibahas. Dalam

analisis terkait masalah skripsi ini dengan menganisis buku-buku, karya

ilmiah, surat kabar, artikel, majalah, dan lain-lain mengenai pandangan

yang terkait pada skripsi ini. Adapun yang terakhir hasil analisis penulis

terkait status perwalian anak hasil sewa rahim dalam pandangan hukum

Islam dan hukum positif.

F. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan pada buku pedoman penulisan

11

Peter Muhammad Marzuki, Pengantar Penelitian Hukum, h. 20 12

Soemitro Romy H, Metode Penelitian Hukim, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71

10

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta 2017.

G. Review Study Terdahulu

Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi secara khusus membahas

judul sama seperti judul yang penulis ajukan atau yang serupa khususnya di

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dan Fakultas

Hukum di Universitas lainnya. Ada beberapa karya tulis lain yang

berhubungan dengan skripsi ini khusnya di Fakultas Syariah dan Hukum tapi

hanya sekedar membahas status anak hasil inseminasi buatan. Diantaranya

sebagai berikut.

Pertama, study perbadingan tentang “Kedudukan Anak Dalam

Kandungan Sebagai Hasil dari Zina dan Inseminasi Buatan Untuk Menerima

Harta Warisan Hukum Islam dan BW (KUHperdata)”. Dalam penelitian ini

membahas status anak hasil inseminasi buatan yang dikehendaki oleh kedua

pasangan. Menurut BW (KUHperdata) pasal 250-251 anak tersebut menjadi

sah karena dikehendaki kedua pasangan.

Kedua, inseminasi buatan kedudukan anak hasil dalam perwalian

menurut perspektif hukum Islam. Dalam penelitan ini membahas tenang anak

hasil inseminasi buatan yang dibekukan embrionya yang dikehendaki,

kemudian ditanamkan ke dalam rahim isteri setelah melewati masa iddah

suami meninggal dunia apakah anak tersebut menjadi anak yang sah dari

perkawinan anak zinah.

H. Sistematika Penulisan

Agar penulis skripsi ini lebih sistematis maka untuk menyusun

membagi menjadi lima bagian yang akan dipaparkan sebagai berikut:

BAB I: pada bab I ini berisi tentang pendahuluan, yang mencangkup latar

belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, teknik penulisan, study terdahulu, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

11

BAB II: Tinjauan umum tentang perkawinan dan status anak,yang meliputi

pengertian perkawinan dalam hukum Islam dan hukum Positif,

tujuan perkawinan, stasus anak dan maqasid syariah (hifz Nasl)

BAB III: pada bab ini akan membahas tentang fenomena sewa rahim yang

meliputi pengertian sewa rahim, ruang lingkup sewa rahim, proses

dan pelaksanaan sewa rahim, pendapat ahli kesehatan mengenai

sewa rahim.

BAB IV: sedangkan pada bab empat, penulis akan melakukan analisis

tentang status perwalian anak hasil sewa rahim menurut pandangan

hukum Islam dan hukum positif, status nasab anak hasil sewa

rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif, sewa

rahim dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif,

BAB V: Pada bab ini berisikan penutup yang membahas tentang kesimpulan

dan saran

12

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN STATUS ANAK

A. Pengertian Perkawinan

Nikah menurut bahasa mengumpulkan dan mengabungkan. Menurut

Al-Zuhri sebagaimana dikutip oleh Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin

Muhammad Al-Khusaini dalam kitab Kifayatul Al-Akhyar Fi Halli Ghayati

Al-Ikhtishori bahwa asal nikah dalam perkataan orang arab punya arti Al-

wath‟i (hubungan badan) walaupun kadang-kadang nikah berarti akad1.

Nikah menurut terminologi akad yang mengandung beberapa rukun

dan syarat yang memperbolehkan wath‟i dengan lafadz النكاح atau تزويج.2

Golongan ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti

akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki). Pendapatnya berarti juga untuk

hubungan kelamin, namun dalam arti tidak sebenarnya (arti majzi).

Sebaliknya, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung

arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk yang

lainnya seperti untuk akad dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan

untuk maksud tersebut3.

Dalam perkawinan dapat memberikan jalan bagi manusia yang aman

pada naluri sesksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga

harga diri agar ia tidak laksana rumput yang dapat dimakan oleh binatang

ternak maupun dengan seenaknya4.

1. Perkawinan Menurut Hukum Islam

Ta‟rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan

membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-

1 Imam TaqiyuddinAbu Bakar bin Muhammad Al-Khusaini Al-Dimasku, Kifayatul Akhyar

fi Halli Rohyatul Khissor, (Semarang: Maktabah Thoha Putra), Jilid-2, h. 36 2 Syakh Ibrahim Al-Bajuri, Khasiyah Al-Bajuri Ala Ibnu Qosim Al-Ghazali, (Al-

Kharamain), h. 91 3 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟I, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2008), cet 1, h. 449

4 Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.289

13

laki dan seoarang perempuan yang bukan mahram5. Sebagaiman Firman

Allah dalam Q.S. An-Nisa:4 3:

Artinya:”Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil

terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya, maka

nikahilah perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi jika

kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil maka (nikahilah) seorang

saja, atau hamba sahaya perempuan yang kami miliki yang demikian itu

lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (Q.S. An-Nissa:4:3)

Maksud ayat di atas menjelaskan sebuah pernikahan, pasangan suami

isteri yang telah menikah mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing.

Selain melaksakan hak dan kewajiban mereka, pernikahan juga merupakan

sunah Nabi, menikah juga akan menambah pahala kepada pasangan suami

isteri. Dalam sebuah pernikahan juga akan tibul rasa saling tolong menolong

antara keduanya, dengan menikah kita juga bisa menjaga pandangan kita

terhadap lawan jenis dan membatasi diri kita terhadap yang bukan mahram

kita.

Nikah adalah suatu asas pokok hidup yang paling utama dalam

pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja

merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah

tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai suatu jalan menuju

pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainya, dan perkenalan

itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara yang satu

dengan yang lainnya6.

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya

dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami isteri dan

5 H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), Cet-56, h. 375

6 H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet-I, h. 45

14

keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak, dari baiknya

pergaulan antara si isteri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindah

kebaikan itu kepada semua keluarga , dari keluarga belah pihaknya, hingga

mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-menolongan sesamanya

dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu

dengan pernikahan seorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya7.

Sebagaimana hadist yang dikutip oleh imam Ibnu Hajar As-Qolani dalam

kitab Bulughul Mahram Minadlitil Ahkam Dari Ibnu Mas‟ud ra, Nabi SAW

bersabda:

ج. فانه اغض للبصر, واحضر للف باب هن الستطاع هنكن الباءة فليتزو رج يا هعشر الش

وم (فا نه له وجاء )هتفق عليه وهن لن يستطع فعليه با الص8

Artinya: “Hai pemuda-pemuda, barang siapa diantara kamu yang mampu

serta berkeinginan hendak menikah, hendaklah ia menikah. Karena

sesungguhnya pernikahan itu dapat merundukan pandangan mata terhadap

orang yang tidak halal dilihatnya, dan akan memeliharanya dari godaan

syahwat. Dan barang siapa yang tidak mampu menikah, hendaklah ia puasa,

karena dengan puasa hawa nafsu terhadap peremuan akan berkurng. (HR.

Bukhari dan Muslim)

Mahmud Yunus mengemukakan pengertian nikah itu adalah aqad

antara calon suami dan calon istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut

yang diatur oleh syariat9.

Dengan adanya suatu perkawinan, maka seorang laki-laki yang

menjadi suami memperoleh berbagai hak suami dalam berkeluarga. Begitupun

seorang wanita yang mengikatkan diri sebagai isetri dalam suatu perkawinan

memperoleh berbagai hak pula. Disamping itu sebagaimana lazim dan

wajarnya memikul pula kewajiban-kewajiban akibat menggabungkan dan

mengikatkan diri dalam keluarga hasil perkawinan itu. Hak dan kewajiban itu

ditegaskan dalam Al-Qur‟an dan hadits Rasulullah saw.10

7 H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,h, 374

8 Hafidz bin Hajar Al-Asqolani, Bulughul Maram, (Surabaya: Darul Ilmi), h. 200

9 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,

1990), h. 1 10

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI-Press,1986), h. 73

15

Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan

terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya.

Berhubung oleh undang-undang Perkawian dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya, maka bagi umat Islam ketentuan mengenai terlaksananya

akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang menentukan untuk

syah atau tidak sahnya suatu perkawinan11

. Adapun rukun dan syarat dalam

perkawinan yaitu:

a. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun dalam perkawinan itu terdiri

atas12

:

1) Adanya calon mempelai laki-laki

2) Calon mempelai wanita

3) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita

4) Adanya dua orang saksi

5) Sighat akad nikah, yaitu ijab dan qabul yang diucapkan oleh wali atau

wakilnya, dan dijawab oleh pengantin laki-laki.

b. Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.

Apabila syarat sahnya terpenuhi maka perkawinan itu sah dan

menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami isteri.

Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua yaitu13

:

1) Calon mempelai perempuan halal dinikahkan oleh laki-laki yang ingin

menjadikan isterinya. Jadi, perempuannya itu bukan orang yang haram

dinikahi, baik karena haram untuk dinikahi untuk sementara maupun

selamanya.

11

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan slam di Indonesia: Antar Fiqih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 59 12

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat,h. 46 13

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005), h. 27

16

2) Akad nikahnya dihadiri para saksi. Diantaranya adalah persetujuan

para pihak.

2. Perkawinan Menurut Hukum Positif

a. KUHPerdata

Perkawinan dalam pasal 26 BW ialah pertalian sah antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. UU

memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan. Sedangkan

dalam pasal 104 BW yaitu sebagai suatu perbuatan untuk

melangsungkan perkawinan. Dan perbuatan setelah perkawinan14

.

Ketentuan mengenai perkawinan ini diatur adalam

KUHPerdata pada pasal 26 sampai dengan pasal 102 KUHPerdata.

Ketentuan umum mengenai perkawinan hanya terdiri dari satu pasal

yang disebutkan dalam pasal 26 BW, yang menyatakan bahwa undang-

undang memandang perkawinan hanya didalam hubungan

keperdataannya saja. Ketentuan ini berimplikasi bahwa suatu

perkawinan hanya sah jika memenuhi persyaratan serta peraturan

agamanya dikesampingkan15

.

Ali Affandi menyimpulkan bahwa menurut KUHPerdata,

pengertian perkawinan adalah persatuan seorang pria dengan seorang

wanita secara hukum untuk hidup bersama selama-lamanya. Ketentuan

ini dengan tidak tegas dijelaskan dalam suatu pasal, akan tetapi

disimpulkan dari esensi mengenai perkawinan16

.

b. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Pengertian perkawinan di Indonesia menurut Undang-undang

No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai seorang suami isteri dengan tujuan membentuk

14

Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), h. 23 15

Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdat, h. 23 16

Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1997), h. 94

17

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan

yang Maha Esa17

.

Nikah itu dianggap sah apabila setiap akad yang memenuhi

rukun dan syarat pelaksanaan nikah serta kedua orang tua yang

berakad itu telah memenuhi syarat sebagai orang yang cakap dimuka

umum. Berdasarkan pengertian di atas, maka jika kedua orang yang

merdeka, baligh serta berakal mengadakan suatu akad nikah serta

seluruh syarat dan rukun nikah tersebut terpenuhi dan berupa

pernyataan menerima18

.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

perkawinan, misalnya disebutkan syarat-syarat perkawinan berikut

ini19

:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai

2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal

dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya,

maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang

tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan

kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam

keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin

diperoleh dari wali, orang yang memelihara keluarga yang

mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas

selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan

kehendaknya.

17

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPeradat), (Jakarta: Rineka

Cipta, 2007), h. 8 18

Benyamin Asri, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: PT. Tarsito , 1998),

Cet I, h. 15 19

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,(Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005), h. 97

18

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang

disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang

atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka

pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan

melangsungkan perkawinan atau permintaan orang tersebut dapat

memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang

tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4).

6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini

berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Disebutkan dalam undang-undang republik Indonesia No. 1

Tahun 1974 pasal 6 ayat (1) tentang syarat perkawinan menyebutkan

bahwa “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah

pihak”. Jadi perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan kedua calon

suami dan isteri seperti nikah dibawah umur yang didesak oleh

masyarakat atas dasar hukum adat yang tejadi karena batal dan

menyalahi peraturan Islam dan perundang-undangan tentang syarat

perkawinan20

.

Terkait dengan pernikahan dini dalam UU perkawinan No. 1

tahun 1974 dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 yang berbunyi:“perkawinan

hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan

Belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (Enam Belas)

tahun21

.

Apabila tidak mencapai usia tersebut, maka dapat

melangsungkan perkawinan kecuali ada dispensasi dari pengadilan

atau penjabat lain yang telah ditempuh oleh kedua wali atau kedua

belah pihak. Hal ini sesuai dengan UU pasal 7 ayat 2 yang berbunyi

“Dalam Hal penyimpangan terhadap pasal 1 ayat ini dapat diminta

20

MR. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 8 21

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), h. 9

19

dispensasi kepada pengadilan atau penjabat lain yang diajukan oleh

kedua orang tua pria dan wanita”22

.

c. Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagai

salah satu ibadah muamalah. Ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Kompilasi

Hukum Islam meyatakan, perkawinan dilihat dari segi keagamaan

adalah suatu “perikatan jasmani dan rohani” yang membawa akibat

hukum tehadap agama yang dianut keduanya calon mempelai beserta

keluarga kerabatnya. Perkawinan dalam arti “ikatan jasmani dan

rohani” berarti suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang

selamat bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat, bukan saja lahiriyah

tetapi juga batiniyah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya

tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa. Oleh karenanya

pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan

yang berlangsung tidak seagama23

.

pengertian perkawinan maupun dasar hukum masalah

perkawinan yang disebutkan di atas berarti memberikan ketentuan

bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan suci yang memerlukan

aturan-aturan untuk mengaturnya oleh karena, apabila Islam mengatur

masalah perkawinan sangat teliti dan terperinci untuk membawa

manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat

mulia ditengah makhluk-makhluk Allah yang lain24

.

Berbeda dengan UU No.1 Tahun 1974 KHI ketika membahas

tentang rukun perkawinan tampakya mengikuti sistematika fikih yang

mengkaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Kendati pun

KHI menjelaskan lima rukun perkawinan sebagaimana fikih, ternyata

dalam uraian persyaratanya. KHI mengikuti UUP yang melihat syarat

22

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), h. 10 23

H. Ahmad Rofir, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada,

2013), cet-I, h. 29 24

Muhammad Amirudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinan Grafika,

1996), h. 24

20

hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batas

umur25

.

Melihat persyaratan perkawinan itu hanya menyangkut

persetujuan kedua calon dan batas umur serta tidak adanya halangan

perkawinan antar kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat

menentukan untuk mencapai tujuan perkawinan itu sendiri26

.

Persetujuan kedua calon meniscayakan perkawinan itu tidak didasari

oleh paksaan.

B. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi

petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang sakinah (damai,

tenteram) mawaddah (kasih) dan rohmah (sayang). Selain membentuk

keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, tujuan perkawinan juga

untuk melangsungkan keturunan27

.

Bagi setiap muslim untuk mengkaji dan mengetahui tujuan pernikahan

dalam Islam, agar dapat berjuang untuk mewujudkannya. Adapun tujuan dari

disyariatkannya perkawinan atas umat Islam diantaranya adalah:

1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi

yang akan datang.

2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan

rasa kasih sayang28

.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kerusakan dan

kejahatan.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak

serta kewajiban, juga bersunggung-sungguh untuk memperoleh harta

kekayaan yang halal.

25

Muhammad Amirudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 31 26

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-Undangan

Hukum Adat dan Hukum Agama,(Bandung: Mandar Maju,

1990), h. 45-46 27

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, 28

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 46

21

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram

atas dasar cinta dan kasih sayang29

.

C. STATUS ANAK DALAM PERKAWINAN

1. Pengertian Anak

Pengertian anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

anak adalah keturunan kedua30

. Dalam konsideran UU No. 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, dikatakan anak adalah amanah dan Karunia

Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat

sebagai manusia seutuhnya31

.

Pengertian anak sebagaimana yang disimpulkan oleh Prof. Dr. Hj.

Chuzaemah Tahido Yanggo dalam bukunya Fiqih Anak yaitu Ash-

Shaghir menurut bahasa berarti anak kecil adalah lawan dari al-kabir

(orang dewasa/yang besar). Asal kantanya dari fi‟il shaghura, shaghir

(shifah musyabbahah) dan jamaknya adalah shighar. Sedangkan,

ashgharahu ghayruhu, shaghgharahu tashghiran, dan istashgharagu

artinya menganggap anak kecil atau hina. Sementara kata ash-shaghra

adalah bentuk mu‟annas (feminine gender) dari ashghar (lebih kecil)32

.

Dalam pandangan Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada

kedua orang tua, masyarakat bangsa dan Negara yang kelak akan

memakmurkan dunia sebagai rahmatanlil „alamin (kasih sayang seluruh

umat) dan sebagai pewaris ajaran Islam pengertian ini mengandung arti

bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan

sebagai implementasi amalan yang diterima oleh orang tua, masyarakat,

bangsa dan Negara33

.

29

H. Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat , h. 22 30

Muhammad Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Amani), h. 10 31

M. Taufik Makarao, Hukum Perlindungan anak dan Pengahpusan Kekerasan Dalam

Rumah Tanggga, (Jakarta: Rineka Cipta, 20140, h. 62 32

Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2004), h. 1,

mengutip dari Mukhtar ash-Shihhah, h. 363, karangan ar-Razy, Yakni , Muhammad bin Abu

Bakar bin Abdul Qadir ar-Razy. 33

Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, h. 2

22

Kedudukan anak berdasarkan UUD 1945 terdapat dalam pasal 34

yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh

Negara” hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari

hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk

mencapai kesejahteraan anak34

. Dengan kata lain, anak tersebut

merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Berdasarkan UU Peradilan anak dalam UU No.3 Tahun 1997

tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “anak adalah orang dalam

perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah

menikah35

.

Setelah mengetahui dari pengertian anak yang telah dijelaskan di

atas, dalam kajian hukum ada beberapa sebutan pada anak yaitu antara

lain:

a. Anak Sah

Menurut ketentuan pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 (UU No.1/1974) anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam

atau sebagai akibat perkawinan yang sah36

. Menurut penjelasan pasal

tersebut dinyatakan cukup jelas. Padahal sebenarnya, kalau dicermati

kalimat tersebut masih menimbulkan persepsi yang berbeda.

Perbedaan persepsi tersebut dipicu oleh kata “dalam “ dalam kalimat

“dalam perkawinan yang sah” ketentual pasal 42 tersebut memberikan

pemahaman tentang dua jenis anak yang sah, yaitu anak yang lahir

dalam perkawinan yang sah, serta anak yang dilahirkan sebagai akibat

perkawinan yang sah37

.

34

Departemen Agama RI, UUD 1945, pasal 34 35

UU No. 3 Tahun 1997, Tentang Peradilan Anak Tercantum Dalam Pasal 1 Ayat (2) 36

NIniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), h. 62 37

H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan

Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), g. 81

23

Pemahaman yang berbeda tersebut akan sirnah jika membaca

pasal berikutnya yaitu pasal 43 ayat (1) UU No.1/1974, yang

menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya38

. Dari

ketentuan ini dapat dipahami bahwa pengertian yang dikehendaki oleh

pasal 42, dengan jenis anak sah yang pertama adalah anak yang

dilahirkan dalam perkawinan, bukan anak yang dilahirkan diluar

perkawinan, sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 43 diatas.

Adapun pengertian anak sah menurut Perdata Barat adalah

anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan memperoleh

suami sebagai ayahnya. Menurut Vollmar, anak sah adalah anak yang

dilahirkan atau dibesarkan didalam perkawinan. Subekti juga

mengatakan, seorang anak sah ialah, anak yang dianggap lahir dari

perkawinan yang sah antara ibu dan ayahnaya39

.

Perbedaan antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi

Hukum Islam mengenai pengertian anak sah selain apa yang

ditentukan dalam pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 yang hampir sama

isinya dengan pasal 99 sub (a) KHI bahwa anak yang sah adalah anak

yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah40

. KHI

menambahkan dengan hal yang kedua itu hasil pembuahan suami isteri

yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

38

H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan

Agama,(Jakarta: Raja Grafindo Perdasa, 2001), h. 81 39

Huraimati Natadimaja, Hukum Perdata Menegenai Hukum Perorangan dan Hukum

Benda, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h. 29 40

H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan

Agama, h.81

24

b. Anak Zina

Menurut Abdul Qadir Audah zina adalah hubungan seksual

yang diharamkan itu, adalah memasukkan penis laki-laki ke vagina

perempuan baik seluruh mapun sebagian (iltiqa khitaanain)41

.

Zina adalah perbuatan yang berupa melakukan hubungan

kelamin sebagai hubungan suami isteri antara seorang pria dengan

seorang wanita tanpa adanya ikatan perakawinan. Tanpa didahului

adanya ijab kabul, dalam melakukan perkawinan tanpa dihadiri oleh

dua orang saksi dan tanpa adanya wali bagi wanita42

.

Dalam bukunya Wahbah Zuhaily yang dimaksud zina adalah

menurut bahasa dan istilah syara‟ mempunyai pengertian yang sama,

yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki perempuan

pada kemaluan depannya tanpa dilandasi tali kepemilikan dan syubhat

kepemilikan43

.

Oleh karena itu anak dilahirkan dari hasil perzinaan hanya

dinasabkan kepada ibunya dan keluarga ibunya saja (pasal 43 UU

No.1/1974)44

. Anak yang jelas dilahirkan dari hasil perzinaan tidak

dapat diupayakan untuk dijadikan sebagai anak yang bukan zina,

dengan cara motif apapun termasuk didalamnya melalui pengakuan.

c. Anak Li’an

Dipersamakan dengan anak zina adalah anak lahir dari

perempuan yang di li‟an. Li‟an adalah sumpah yang diucapkan seorang

suami terhadap isterinya, bahwa isterinya telah melakukan zinah.

Ucapan tersebut dilakukan sebanyak 4 kali. Kemudian kelima kalinya

dikukuhkan dengan suatu pernyataan bahwa laknat Allah akan

41

Abdul Qadir „Audah, Criminal Law Of Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1999), vol-3,

Improved Edition, h. 5 42

Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo

Persada, 1994, h. 24 43

Wahbah Zuhaily, Al-Fiqih Al-Islami Wa Adillatukhu, 10, (Jakarta: Gema insani, 2011),

cet-I, h. 681 44

Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, h. 24

25

menimpa dirinya, jika tuduhan terhadap isterinya berbohong. Jika

isterinya menolak dan dengan mengucapkan sunpah yang sama, maka

terjadilah perceraian melalui li‟an. Apabila ada proses sumpah li‟an

tersebut, si isteri dalam keadaan mengadung, lalu melahirkan anak,

maka anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada seorang laki-laki

yang telah sumpah li‟an kepada ibunya tersebut. Anak tersebut harus

dinasabkan kepada ibunya yang melahirkan dan keluarga ibunya.

Tetapi menurut Abu Hanifah dan Ahmad, anak yang dikandung tetap

dinasabkan kepada suami, naik itu dilahirkan dalam masa kandungan

enam bulan atau kurang dari itu45

.

d. Anak Perkawinan Batal/Fasid

Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh

akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan

antara suami dan isteri46

. Suatu pernikahan fasakh yang telah

menghasilkan keturunan (anak), maka anak tersebut tetap dinasabkan

kepada suami ibunya yang nikahnya fasid itu47

.

Menurut Amir Syarifudin, fasakh adalah putusnya perkawinan

atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya

sesuatu pada suami dan atau pada isteri yang menandakan tidak

tepatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan48

.

Jika pelakunya tidak mengatahui fasid atau batalnya nikah yang

dilakukan itu, maka anak yang dilahirkan dari perkawinan itu

dinasabkan kepada pria yang menikahinya itu49

.

e. Anak Persetubuhan Syubhat

Senggama atau persetubuhan syubhat adalah hubungan seksual

antara laki-laki dan perempuan yang terjadi bukan karena perkawian

sah dan bukan pula karena perzinaan. Apabila persetubuhan

45

Sarmin, Terjemahan rahmatul Ummah, (Jakarta: Raja Grafindo, 1991), h. 402 46

Andi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: UII Press, 2004), h. 72 47

K. wancik Shaleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: UII Press, 2004), h. 72 48

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Pranada Media, 2006), h.197 49

Abdul karim bin Amir Abdat, Dikutib dari Kitab “Menanti Buah Hati Untuk Yang

Dinanti, (Jakarta: Darul Qolam, 2002), Cet. 1, h. 84

26

menyebabkan lahirnya keturunan (anak) maka anak tersebut

dinasabkan kepada pria yang menyetubuhinya dengan syarat kelahiran

anak tersebut terjadi setelah 6 bulan dari terjadinya persetubuhan. Jika

anak lahir sebulum masa minimal kehamilan, maka tidak dinasabkan

kepada pria tersebut. Sebab, sangat mungkin wanita yang melahirkan

tersebut telah hamil sebelum terjadinya persetubuhan syubhat, dengan

laki-laki lain50

.

f. Anak Kawin Hamil

Kawin hamil adalah kawin dengan atau terhadap wanita yang

hamil diluar nikah, baik dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya

maupun laki-laki lain, yang bukan menghamilinya51

.

Dalam menyikapi kasus tersebut ulama fiqih berbeda pendapat.

Empat imam mazhab berpendapat, bahwa perkawinan keduanya

(suami isteri tersebut) sah dan keduanya boleh bercampur sebagai

suami isteri dengan ketentuan, bila laki-laki itu yang menghamilinya

dan kemudian ia baru mengawininya52

.

Ulama hukum Islam berbeda pendapat dalam menyikapi

perkawinan demikian. Dalam pendapat yang menyatakan sah tersebut,

terdapat pendapat yang mensyaratkan, selama anak yang dikandung

wanita belum lahir, si pria belum boleh melakukan hubungan seksual

dengan wanitanya. Dan ada yang mengsyaratkan, setelah anak lahir

harus dilakukan pernikahan ulang53

. KHI tampaknya mengambil

pendapat yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut sah dan tidak

perlu pernikahan ulang sebagaimana dinyatakan dalam pasal 53 ayat

(3), bahwa dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita

hamil tersebut tidak perlu perkawinan ulang setelah yang dikandung

50

Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo

Persada, H. 28 51

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Sianr Jaya, 2010) h. 124 52

Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, h. 10 53

Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo

Persada, h. 30

27

lahir54

. Perlu ditegaskan bahwa yang boleh menikahi wanita hamil

diluar nikah hanyalah pria yang menghamilinya, bukan pria lain yang

bukan menghamilinya.

Perkawinan wanita hamil diluar nikah oleh pria yang

menghamilinya dianggap sebagai perkawinan yang sah, maka

akibatnya anak yang diahirkannya sebagai anak yang sah. Hal ini

berbeda jika status hukum terhadap perkawinan tersebut hukumnya

haram, maka status hukum anak yang dilahirkannya juga menjadi

haram. Jika anak dianggap sebagai anak yang sah, maka

konsekuensinya anak tersebut harus dinasabkan kepada pria yang

dinikahi wanita tersebut.

g. Anak Angkat

Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian anak angkat

sebagai anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,

biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang

tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan55

.

Anak angkat ialah seorang anak dari sorang ibu dan bapak

diambil oleh manusia lain untuk dijadikan anak sendiri. Anak angkat

tidak menjadikan anak tersebut sebagai ahli waris bagi bapak

angkatnya tentu sangat sejalan dengan ajaran agama Islam, yang selalu

memerintahkan kepada pemeluknya untuk senantiasa melakukan

tolong-menolong dalam kebaikan, menolong orang-orang dalam hidup

kekurangan seperti menyantuni orang-orang miskin, membantu orang-

orang yang lemah, memelihara dan menyantunin yatim piatu,

memberikan sedekah kepada mereka yang lemah dan sebagainya56

.

Kemudian Islam mengharamkan pengambilan anak itu selama-

lamanya dan membatalkan perbuatan itu dan juga menghapus

54

H. Abdul Manan, dan M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Peradata Wewenang Peradilan

Agama, h. 85 55

Pasal 171 Huruf H Kompilasi Hukum Islam 56

Muhammad al-Hanif, Anak dan Masalah dalam Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo

Persada, h. 32

28

pengambilan anak angkat itu sebagai salah satu cara untuk menetapkan

seorang anak sebagai anak, keturunan dari seorang ayah. Dan

pemberian hak anak angkat sebagai hak anak kandung, itu adalah suatu

hal yang dusta yang merupakan kebohongan57

.

D. MAQASID SYARIAH

1. Pengertian Maqasid Syariah

Ditinjau dari segi bahasa, kata maqashid merupakan jama‟ dari

kata maqashid yang berarti kesulitan dari apa yang ditunjukkan atau

dimaksud58

. Secara akar bahasa maqashid berasal dari kata qashada,

yaqdisu, qasdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang

teguh dan sengaja59

. Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia60

, kata

maqashid diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada

ilaihi).

Sedangkan kata syari‟ah adalah mashdar yang berarti syar‟ berarti

sesuatu yang dibuka untuk mengambil yang ada didalamnya, dan syari‟ah

adalah tempat yang didatangi oleh manusia atau hewan untuk minum air61

.

Selain itu juga berasal dari akar kata syara‟a, yasyri‟u. syara‟an, yang

berarti memulai plaksanaan suatu pekerjaan62

. Kemudian Abdur Rahman

mengartikan syari‟ah sebagai jalan yang harus diikuti atau secara harfiah

berarti jalan kesuatu mata air63

.

Sementara itu Al-Syabiti mengartikan Syari‟ah sebagai hukum-

hukum Allah yang mengikat atau mengelilingi para mukhalaf, baik

57

Hj. Chuzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak,h, 13 58

Ahsan Lihasanah, “Al-Fiqh Al-Maqashid „Inda Al-Imam Al-Syabiti”, (Mesir: Dar Al-

Salam, 2008), h. 11 59

Ahsan Lihasanah, “Al-Fiqh Al-Maqashid „Inda Al-Imam Al-Syabiti”, h. 11 60

Muhammad Yunus, kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Muhammad Yunus

wazduryah, 1990), h. 234 61

Abu Al-Husain Ahmad bin Farisbin Zakariyah, Mu‟jam maqayis Al-Lughah, h. 262 62

Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer,(Jakarta: gaung Persada Press, 2007), h. 36 63

Abdur Rahman I, Doi, Syari‟ah Kodifikasi Hukum Islam, terj. (Jakarta: Rineka Cipta,

1993), h. 1

29

perbuatan-perbuatan, perkataan-perkataan ataupun I‟tiqad-i‟tiqad-nya

secara keseluruhan terkandung didalamnya64

.

Dengan mengabungkan kedua kata di atas, maqashid dan syari‟ah,

serta mengetahui arti secara bahasa maka secara sederhana maqashid

syari‟ah dapat didefinisikan sebagai maksud atau tujuan allah dalam

mensyari‟atkan suatu hukum.

Sedangkan menurut syariah dalam kajian tetang hukum Islam, al-

Syabiti sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum Islam berarti

kesatuan dalam asal-usulnya yang terlebih lagi kesatuan dalam tujuan

hukumnya. Untuk menekan tujuan hukum ini al-Syabiti mengemukakan

konsepnya tentang maqashid al syari‟ah, dengan penjelasan bahwa tujuan

hukum adalah suatu yakni kebaikan dan kesejahteraan umat manusia65

.

Maqashid al syari‟ah berarti tujuan Allah SWT dan Rasulullah

SAW dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri

ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis sebagai

rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat

manusia.

Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup

manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.

Kemaslahatan itu tidak hanya untuk dunia saja tetapi juga untuk kehidupan

kekal diakhirat kelak. Abu Ishak Al-Syabiti merumuskan lima tujuan

hukum Islam yakni66

:

a. Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama)67

Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama dalam hukum

Islam. Sebabnya karena agama merupakan pedoman hidup manusia,

dan di dalam agama Islam komponen-komponen kaidah yang

merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariat yang

64

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah, Juz I, (Beirut: Dar Al-

Ma‟rifah0, h. 88 65

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah, h. 6 66

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah, h. 8-10 67

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah

30

merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam hubungan dengan

Tuhannya maupun berhubungan dengan manusia lain dalam

masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama

yang dianut oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang

beribadah menurut keyakinannya.

b. Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa)68

Untuk tujun ini Islam melarang pembunuhan dan pelaku

pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas (pembalasan yang

seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum

melakukan pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang

dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga mati atau jika orang yang

dibunuh itu tidak mati tetap hanya cedera, maka si pelakunya juga

akan cedera.

Mengenai hal ini terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S A-

Baqarah (2): 178-179

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

(melasanakan) qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.

Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba

sahaya , wanita dengan wanita. Maka barang siapa memperoleh maaf

dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan

membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik pula. Yang

demikian itu salah satu keringanan dan rahmat dari Tuhamu. Barang

siapa melampaui batas sesudah itu, maka ia mendapatkan azab sangat

pedih. Dan dalam qishash itu ada jaminan kehidupan bagi kamu, agar

kamu bertaqwa. (Q.S. Al-Baqarah (2):178-179)

68

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah

31

c. Hifdz Al‟Aql (Memelihara Akal)69

Manusia adalah makhluk Allah ta‟ala, ada dua hal yang

membedakan manusia dengan makhluk yang lain, pertama, Allah SWT

telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik,

dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk yang lain hal ini telah

dijelaskan oleh Allah ta‟ala sendiri dalam Al-qur‟an At-Tin:95:4

Artinya:”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam

bentuk sebaik-baiknya (Q.S. At-Tin:95:4)

Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak ada gunanya, kalau

tidak ada hal yang kedua yaitu akal. Oleh karena itu Allah ta‟ala

melanjuta Firman-Nya dalam surat At-Tin:95:5-6 yang berbunyi

Artinya:“kemudian kami kembalikan dia ketempat serendah

rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan

kebajikan, maka mereka akan mendapakan pahala yang tidak putus-

putusnya”. (Q.S. At-Tin:95:5-6)

Akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia

dibandingkan dengan makhluk-makhluknya yang lain. Dengan akal

manusia dapat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di

dunia.

d. Hifdz Al-Mal (Memelihara Harta)70

Harta merupakan salah satu yang mendapatkan perhatian dalam

Islam dan satu dari lima al masalih ad-daruriyyah (kemaslahatan

primer) dan hizl al-mal (menjaga harta) merupakan salah satu asas dari

69

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah 70

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah

32

maqashid syari‟ah (prinsip dan tujun dasar penetapan syari‟at71

.

Dengan kata lain Islam melindungi harta milik dan mengharamkan

cara-cara yang bathil dalam penguasaan harta milik (Q.S. Al-

Baqharah:2: 188) .

Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan

jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu

kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan

sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu

mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah:2:188)

Kita harus mentaati aturan dalam mendapatkan harta dan

membelajakan harta dijalan Allah. Allah berfirman dalam surat An-

Nisa:4:29

Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling

memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil (tidak benar)

kecuali dalam perdangan yang berlaku atas dasar suka sama suka

diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu sungguh Allah

maha penyayang kepadamu.”. (Q.S. An-Nisa:4:29

e. Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan)72

Hifdz an-Nasab artinya menjaga keturunan demi menjaga

kelestarian umat diperlukannya adanya aturan-aturan yang berkaitan

dengan keberlangsungan atau eksistensi hidup, sebagai makhluk yang

dipercaya oleh Allah menjadi khalifah dimuka bumi ini perlu kiranya

manusia menyadari bahwa populasi sangat diperlukan.

Pernikahan dalam Islam sebagai salah satu jalan untuk

memelihara keturunan. Hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali

71

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), h. 289 72

Abu Ishak Al-syabiti, Al-Muwaafaqat Fi Ushu Al-Syar‟iyah

33

darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah. Hubungan

seorang dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan anak itu

tersebut menjadi salah satu anggota keluarga dari keturunan itu dan

dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat

adanya hubungan nasab atau adanya keturunan dari ayah tersebut.

Perkawinan yang sah menurut hukum Islam adalah perkawinan

yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya. Oleh karena itu, bagaimana pun bentuk dan model

suatu perkawinan, jika telah memenuhi syarat sah dan rukun

perkawinan maka perkawinan itu dianggap sah.

Penetapan nasab berdasarkan perkawinan yang sah, para ulama

sepakat bahwa yang dilahirkan dari seorang wanita dalam suatu

perkawinan yang sah dapat dinasabkan kepada suami wanita tersebut.

Islam sangatlah memperhatikan hubungan nasab antar seorang

anak dengan ayahnya. Suatu hubungan perkawinan yang sah yang

memenuhi rukun dan syarat dalam hukum Islam juga akan

mendapatkan keturunan yang sah pula. Sebagaimana dalam firman

Allah SWT yang terdapat dalam surah Al-Furqan(25):54

Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia

jadikan manusia itu (mempunyai) keturunan dan mushaharah dan

Tuhan-mu adalah Maha Kuasa”. (Q.S. Al-Furqan:25:54)

Untuk melegalisasi status anak yang sah, ada tiga syarat yang

harus dipenuhi antara lain:

a. Kehamilan seorang isteri bukanlah hal yag mustahil, artinya

normal dan wajar untuk hamil. Ini adalah syarat yang disetujui

oleh mayoritas ulama kecuali Imam Hanafi. Menurutnya

meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual,

apabila anak lahir dari seorang isetri yang dikawini secara sah,

maka anak tersebut adalah anak yang sah.

34

b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan

sedikitnya enam bulan sejak perkawinan diaksanakan tentang

ini terjadinya ijma‟ para pakar hukum Islam sebagai masa

terpendek dari suatu kehamilan.

c. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li‟an.

Jika seorang laki-laki ragu-ragu tentang batas minimal tidak

terpenuhi dalam masa kehamilan atas batas masa kehamilan

terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari

anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li‟an.

Salah satu penemuan dari teknologi modern yang sangat

bermanfaat bagi manuia adalah penemuan inseminasi buatan pada

manusia. Inseminasi buatan yang dimaksud adalah penghamilan buatan

yang dilakukan terhadap seorang wanita tanpa melalui cara alami

melainkan dengan cara memasukkan sperma laki-laki ke dalam rahim

wanita tersebut dengan bantuan dokter. Istilah yang semakna adalah

kawin suntik, penghamilan buatan.

Penemuan ini sangat bermanfaat bagi manusia, terutama bagi

pasangan suami isteri yang tidak bisa mendapatkan dengan cara alami.

Namun dalam kaca mata hukum syari‟at, praktik inseminasi buatan ini

menuntut kita sebagai sarjanah muslim untuk berfikir dan bertidak

secara objektif dalam menetapkan hukum sesuai maksud dan tujuan

syari‟at agama Islam, karena masalah ini merupakan masalah

kontemporer (ijtihadiyah) karena tidak terdapat hukumnya secara

spesifik dalam al-Qur‟an dan as-Sunah, bahkan dalam kajian fiqih

klasik pun.

Apalagi ketika inseminasi ini beralih kepada sewa rahim, yaitu

usaha manusia untuk mengadakan pembuahan dengan

mempertemukan sel telur (ovum) dengan spermatozoa antara suami

isteri kedalam sebuah gelas kemudian ditransplantasikan kedalam

rahim wanita lain yang disewakan rahimnya sesuai perjanjian, yang

mengakibatkan adanya hubungan kasih sayang antara wanita yang

35

mengandung (disewa rahimnya) dengan anak yang dikandungnya. Hal

tersebut dilakukan baik melalui suatu akad bisnis atau perjanjian

dengan persyaratan tertentu maupun berdasarkan sama-sama rela.

Peraktik sewa rahim ini akan menimbulkan kemudharatan yang

jauh lebih banyak dari pada manfaat yang didapat. Penentuan nasab

pada anak hasil sewa rahim dari embrio pasangan suami isteri yang sah

akan tetapi penanamannya dirahim wanita lain atau ibu pengganti.

Ataupun sperma dari suami dan sel telur dari wanita lain dan

ditanamkan dirahim wanita lain, maka hemat penulis bahwa anak hasil

sewa rahim tidak termasuk dalam anak yang lahir dari perkawinan

yang sah melainkan nasab anak tersebut anak hasil dari zinah.

Secara logis anak yang dilahirkan oleh si ibu pengganti dan

adanya sewa rahim tersebut, adalah anak dari pasangan suami isteri

tersebut hanya saja dilahirkan melalui perempuan lain. Anak akan

menjadi anak yang sah jika status wanita surrogatenya terikat dalam

perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan

adalah anak yang sah dari pasangan suami yang disewakan rahimnya.

Namun dalam kenyataannya dalam hukum Islam anak hasil

sewa rahim tidak mempunyai hubungan kepada kedua orang tuanya.

Anak yang lahir dari hasil sewa rahim hanya mempunyai nasab kepada

wanita (ibu) yang telah mengandungnya dan melahirkannya, karena

anak yang lahir dari proses tersebut adalah anak yang tidak sah atau

sama dengan anak zina yang hanya dihubungkan dengan ibu yang telah

melahirkannya. Perwalian terhadap anak tersebut ketika masih kecil dan

belum dewasa. Perwalian ini terhadap diri dan harta anak.

36

BAB III

TEORI SEWA RAHIM

A. Pengertian Sewa Rahim

Sewa rahim dalam bahasa arab dikenal dengan banyak istilah, tetapi

lebih dikenal dengan ta’jirul Arham. Ta’jirul arham adalah penitipan sel

ovum dan sel sprema dengan cara disuntikan kedalam rahim perempuan lain

sampai bisa mengandung darinya dan akhirnya melahirkan dari hasil penitipan

tersebut1. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal surragote mother (ibu

pengganti). Surragote mother adalah wanita yang mengunakan rahimnya

untuk hamil dari janin yang dikandungnya tersebut milik wanita lain dan

setelah bayi itu lahir hak kepemilikan atau hak asuh bayi terebut diserahkan

kepada wanita lain tersebut atau ayah dari bayi tersebut2.

Dalam Bahasa Arab, sewa rahim dikenal berbagai macam istilah

diantaranya:

1. Al-‘ummu al-musta’jir (ibu pinjam) yaitu wanita yang didalam

rahimnya dimasukan sel telur yang telah diinseminasi atau dibuahi. Ia

juga disebut dengan mu’jirah al-bathni (wanita yang mewekan

perutnya.

2. Syatlul janin (penanaman janin) yaitu seorang suami mencampuri

isterinya yang tidak layak hamil kemudian spermanya dipindahkan

dari isterinya kedalam rahim wanita lain yang mempunyai suami

melalui metode kedokteran. Selanjutnya wanita ini mengandungnya

sampai melahirkan.

Inseminasi buatan yang berasal dari bantuan donor sperma, jumhur

ulama menghukuminya haram karena sama hukumnya denga zina yang akan

mencampur adukan nasab dan sebagai akibat hukumnya anak tersebut tidak

sah nasabnya hanya berhubungan ibunya yang melahirkan3.

1Hindun Al-Hauli¸ Ta’jir Al-Arham Fii Al-Fiqh Islamy, (Jakarta: Rajawali Pres, 1995), h. 2

2 H. Dezriza Ratman, Surragote Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah

Sewa Rahim di Indonesia., (Jakarta: Raja Grafindo, 1994), h. 56 3 H. Sapiudin Shidiq, Fiqih Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2017), h. 116

37

Pembuahan diluar rahim, dimana pembuahannya diambil dari sel

sperma dan ovum suami isteri, kemudian dititipkan di rahim wanita lain.

Sekali lagi, jumhur ulama menghukuminya haram karena disamakan dengan

zina, yaitu mendapatkan keturunan dari bibit yang tidak sah4.

Dalam kitab Syafi’iyah dikenal dengan teori “Istikdhal” yaitu teori

yang menggabungkan nasab melalui pembuahan sel sperma dan sel telur

diluar hubungan seksual (Wat’i). Istikdhal adalah memasukan sel sprema

kedalam vagina tanpa melakukan hubungan seksual antara pemilik sperma dan

pemilik vagina teori ini mengakui adanya penishbatan anak kepada laki-laki

pemilik sprema.

Adapun menurut mazhab Imamiyah nasab dari anak yang dilahirkan

melalui inseminasi buatan tidak dikaitkan dengan suami (dari wanita yang

mengandung) sebab dia tidak dilahirkan dari spermanya. Tetapi juga tidak bisa

dikaitkan dengan laki-laki pemilik sperma, sebab laki-laki ini tidak secara baik

sebagai seorang suami maupun melalui hubungan syubhat. Anak tersebut

dikaitkan kepada ibu yang mengandungnya, sebab secara hakiki dia adalah

anaknya, yang dengan demikian itu adalah anak yang sah, sampai terbukti hal

sebaliknya5.

Dalam masalah sewa rahim ada beberapa hal yang perlu dicermati

untuk menentukan hukum yang sesuai dengan tujuan dan maksud syariat,

memperhatikan kemaslahatan serta mempertimbangkan dampak buruknya,

karena dalam prosesnya sewa rahim melibatkan beberapa pihak yang saling

berhubungan mereka yaitu, pemilik sperma, pemilik ovum, dan pemilik rahim.

Dari sudut hukum Islam, masalah sewa rahim tidak dapat dilepaskan

dari norma-norma dalam Hukum Kekeluargaan Islam, Hukum Perkawinan,

dan Hukum Kewarisan Islam. Hal tersebut dikarnakan melibatkan subjek

hukum yang diikat oleh lembaga hukum, yaitu perkawinan sepasang suami

isteri yang ingin mendapatkan anak.

4 H. Sapiudin Shidiq, Fiqih Kontemporer, h. 117

5 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Ja’fari Hanafi Maliki Syafi’i

Hambali, (Jakarta: Lentera, 199), h. 409

38

B. Lingkup Sewa Rahim

1. Penyebab Kemandulan Pada Pria dan Wanita

Kemandulan adalah ketidak mampuan seseorang untuk mempunyai

keturunan atau anak. Kemandulan terjadi bukan hanya pada wanita saja,

akan tetapi pria juga bisa mengalami kemandulan. Banyak orang yang

mengkaitkan bahwa kemadulan berarti sama dengan ketidak suburan

seorang wanita atau pria. Kemadulan adalah momok yang sangat

menakutkan bagi setiap pasangan yang telah menikah. Karena kemandulan

berarti menyulitkan mereka untuk mempunyai keturunan6.

Pasangan suami istri yang sudah lama menikah namun belum

diberikan anak tidak selalu mengalami kemandulan, tetapi yang lebih

sering terjadi adalah pasangan yang infertil. Infertile dapat terjadi pada

salah satu pasangan atau bisa terjadi pada keduanya. Sampai saat ini

kemandulan tidak bisa diatasi kecuali dengan pengobatan yang relative

mahal. Karena kamdulan adalah kerusakan permanen pada bagian sperma

dan indung telur sehingga tidak dapat menghasilkan spermatozoa dan sel

telur7.

Adapun beberapa penyebab kemandulan yang dialami pria dan

wanita sebagai berikut8:

a. Pada pria, dapat disebabkan karena jumlah sperma lebih sedikit,

atau bahkan tidak menghasilkan sel sperma sama sekali. Apabila

sel sperma mengalami gangguan maka akan terjadi pada bentuk

sperma yang dihasilkannya. Jika sperma yang dihasilkan tidak

normal maka pergerakannya pun menjadi tidak normal. Hal ini

sangat mempengaruhi sel sperma untuk mencapai sel telur dan

mengalami pembuahan.

b. Kemadulan pada wanita disebabkan karena saluran tuba tertutup.

Tertutup saluran tuba ini bisa dikarnakan endrometriosis (radang

6 Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Bandung: Nuha Medika, 2014), h. 24

7 Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, h. 24

8 Rita Yuniarti, Penyebab Kemandulan Pada Pria dan Wanita, arikel yang diakses pada 25

April 2013 dari http://www.ritayuniati.com/tag/infertil.

39

selaput lendir) infeksi dan oprasi pengangkatan kehamilan diluar

kandungan. Hal ini yang menyebabkn kemandulan pada wanita

adalah Mioma Uteri dan gangguan rahim. Kemadulan dapat diobati

dengan pengobatan khusus, inseminasi atau pembedahan dan bayi

tabung. Pada keadaan tertentu semua cara akan digabungkan untuk

mengobati kemandulan. Namun hasilnya spertiga dari pasangan

yang mengalami kemandulan berhasil memiliki anak setelah

mengalami serangkaian pengobatan ini9.

2. Macam-macam Penggunaan Rahim

Ada beberapa bentu praktek penyewa rahim yang kini telah banyak

dilakukan10

:

a. Benih istri atau ovum disenyawakan dengan benih suami (sprema),

kemudan dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Praktik ini

digunakan pada isteri yang memiliki ovum yang baik, tetapi rahimnya

dibuang karena pembedahan, kecacatan karena akibat penyakit yang

kronis atau sebab lainnya.

b. Sama dengan bentuk pertama, tetapi benih yang telah disenyawakan

dibekukan lalu dimasukan kedalam rahim ibu pengganti setelah

kematian pasangan suami isteri.

c. Ovum isteri disenyawakan dengan sperma laki-laki yang lain (bukan

suaminya) dan dimasukan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini

terjadi karena suami mandul dan isteri memiliki halangan atau

kecacatan pada rahimnya tetapi benih isri dalam keadaan baik.

d. Sperma suami disenyawakan dengan wanita lain, kemudian

dimasukkan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini terjadi apabla

isteri menderita penyakit pada ovarium dan rahimnya tidak mampu

memikul tugas kehamilan, atau isteri telah mencapai berhentinya siklus

haid (monopoause)

9 Idries AM, Aspek Medikolegal Pada Insemeinasi Buatan/Bayi Tabung , (Jakarta: Bina

Rupa Aksara Khaer, 2002), h. 90 10

Salim HS, Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, h. 9

40

e. Sperma suami dan ovum istri disenyawakan, kemudian dimasukkan

kedalam rahim isteri yan lain dari suami yang sama. Dalam keadaan

hal ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari

isteri yang tidak boleh hamil

C. Proses Pelaksanaan Sewa Rahim

Untuk menjelaskan proses pembuahan yang dilakukan diluar rahim,

oleh sepasang suami isteri yang sah, yang kemudian akan ditanamkan dirahim

wanita lain. Perlu disediakannya ovum sel telur dan sperma. Ovum diambil

dari tuba fallopi (kandung telur) seorang ibu dan sel sperma diambil dari

ejakulasi seorang ayah. Sperma tersebut diperiksa terlebih dahulu apakah

mengandung benih yang memenuhi persyaratan atau tidak. Begitu juga

dengan sel telur seorang ibu, dokter berusaha menentukan dengan tepat saat

ovulasi (bebasnya sel telur dari kandungan) dan memeriksa apakah terdapat

sel telur yang masuk atau tidak. Bila pada saat ovulasi terdapat sel-sel yang

benar-benar masak, maka sel telur dihisap dengan jenis jarum suntik melalui

sayatan pada perut, sel itu kemudian diletakan dalam suatu tabung kimia agar

telur tetap dalam keadaan hidup, sel telur tersebut disimpan dilaboratorium

dan diberi suhu menyamai panas badan seorang wanita11

.

Lebih tepatya didalam proses pelaksanaan inseminasi buatan pada

teknik Fertilisasi In Vitro (FIV) Transfer Embrio khususnya, terdiri dari

bebrapa tahapan. In vitri vertilization adalah sebuah teknik pemindahan

dimana sel telur dibuahi di luar tubuh wanita. Proses ini terdiri dari

mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur dari

ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah meium cair12

. Dalam

melakukan pembuahan diluar rahim transfer embrio dilakukan dalam tujuh

prosedur dasar yang dilakukan oleh petugas medis yaitu13

:

11

Sonny Dewi Judiasih, Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,

(Jakarta: Sinar Grafika 2006), h. 25 12

Sonny Dewi Judiasih, Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,

h.27 13

Purwoto S. Gandasubrata, Perkembangan teknologi Reproduksi Baru dan Implikasi

Hukumnya, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2011), h. 12

41

1) Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk merangsang

indung telur, sehingga dapat mengeluarkan banyak ovum dan cara ini

berbeda dengan cara biasa, hanya satu ovum yang berkembang dalam

setiap siklus haid. Obat yang diberikan kepada isteri dapat berupa obat

makan atu obat suntik yang diberikan setiap hari sejak permulaan haid dan

baru dihentikan setelah ternyata sel-sel telurnya matang. Pematangan sel-

sel telur dipantau setiap hari dengan pemeriksaan darah isteri, dan

pemeriksaan ultrasonografi (USG).

2) setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur tersebut dibuahi

dengan sel sperma suami yang telah diproses sebelumnya dan dipilih yang

terbaik

3) Sel telur dan sperma yang telah dipertemukan didalam cawan petri

kemudian dibiarkan didalam incubator. Pemantauan dilakukan 18-20 jam

kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah terjadi pembuahan sel.

4) Embrio yang berada dalam tingkatan pembelahan sel ini kemudian

ditransplantasikan ke dalam rahim wanita. Pada priode ini tinggal

menunggu terjadinya kehamilan.

5) Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio ditransplantasikan tidak terjadi

menstruasi dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan dan

seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi.

D. Pendapat Ahli Kesehatan Mengenai Sewa Rahim

program bayi tabung mendapat sarana untuk semakin berkembang

dengan diperkenalkannya teknik dengan penyimpanan embrio didalam rahim

isteri itu sendiri ataupun wanita lain. Namun berbagai sikap yang meramaikan

aplikasi dari penemuan itu lebih lanjut. Karena memang dari penemuan teknik

bayi tabung termasuk inseminasi buatan dari teknik pembekuan embrio serta

sewa rahim. Hal ini terbuka kemungkinan luas penggunaannya yang mengarah

pada penyimpanan dari ketentuan etika kedokteran, sosial dan agama yang

42

berlaku secara universal. Penyimpangan yang terjadi mulai dari yang kadarnya

ringan hingga yang kadarnya berat14

.

Sikap dunia kedokteran mengenai bank sperma, bayi tabung, donor sel

telur, dan pembukuan embrio. Masyarakat di Negara Barat umumnya banyak

yang menggunakan sperma dan donor sel telur, yang kemungkinan seseorang

wanita menyewakan rahimnya untuk mengandungkan embrio dari pasangan

suami isteri yang lainnya15

.

Dalam kalangan kesehatan terutama di Indonesia mungkin istilah sewa

rahim/surrogate mother asing didengar dan tidak senter seperti bayi tabung.

jika kalangan medis ditanyakan mengenai masalah sewa rahim/surrogate

mother tentu tidak semua mengetahui, paham dan mengerti akan hal

tersebut16

.

Dalam artikel Perlu Payung Hukum Sewa Rahim yang dimuat

suaramerdeka.com, pakar hukum kesehatan Undip, dokter Sofwan Dahlan

mengatakan praktik sewa rahim secara medis sangat mungkin dilakukan

mengingat proses garis besar sama dengan bayi tabung.

Perdebatan diseputar sewa rahim atau ibu pengganti menjadi

perdebatan panjang dikalangan masyarakat, baik muslim maupun non muslim.

Hal ini antara lain disebabkan karena hukum bayi tabung, tidak ada

pembahasannya dengan nash maupun kitab-kitab klasik. Banyak masyarakat

Islam yang menolak keras adanya kasus sewa rahim ini. Sebagaimana fatwa

ulama yang mengharamkan adanya sewa rahim yaitu:

a) Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah

Setelah Al-Lajnah mempelajari (prosedur meminjam rahim), maka Al-

Lajnah memutuskan bahwa sahnya tidak boleh atau (haram) karena akan

muncul kerusakan dalam syariat17

.

14

Sudikno Mortokusumo, Bayi Tabung Ditinjau Dari Hukum, (Yogyakarta: Intermasa,

1998), h. 39 15

Ali Akbar, Etika Kedokteran dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1998), h. 40 16

Yuni Ika Wati dan Dini Kasdu, Bayi Tabung Sebagai Harapan Baru, h. 171 17

Ulumin Rusydi, Kumpulan Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Sinar Media, 1994),

h.57

43

b) Mu’tamar Tarjih Muhammadiyah

Menurut Mu’tamar Tarjih Muhammadiyah, tidak dibenarkan menurut

hukum Islam sebab menanam benih pada rahim wanita lain hukumnya

haram18

.

Menurut hemat penulis dari dua pendapat di atas mengharamkan

adanya sewa rahim, karena apabila melakukan sewa rahim akan menimbulkan

kerancuan pada nasab anak yang dilahirkan dari hasil sewa rahim. Kejelasan

terkait status perwalian anak juga membawa pengaruh besar terhadap sianak.

Selain dari segi nasab dan perwalian, permasalahan seorang ibu juga menjadi

polemik bagi anak yang dihasilkan dari sewa rahim, siapakah yang berhak

menjadi ibu dari bayi tesebut, apakah wanita yang memiliki sel telur atau kah

wanita yang menyewakan rahimnya.

Dalam dunia kedokteran kasus sewa rahim juga sangatlah dilarangan,

karena selain bertentangan dengan syariat agama juga bertentangan dengan

kode etik dalam dunia kedokteran. Namun dalam dunia modern ini banyak

yang mengharuskan para dunia kedokteran yang melakukan kasus sewa rahim

karena permintaan para pasiennya. Para pasien yang sudah menempuh

berbagai cara untuk mendapatkan keturunan namun tetaplah gagal yang pada

akhirnya mereka melakukan jalan dengan cara sewa rahim, yang mana

pasangan suami isetri yang menyewa rahim kepada wanita untuk mengandung

dan melahirkan baik yang masih gadis maupun yang sudah bersuami.

Dari hasil wawancara penulis bersama para dokter yang menangani

sewa rahim ada 25 % dari 75 % yang melakukan sewa rahim dan sebagian

dari 25 % itu melakukan program bayi tabung. Adapun hasil kesimpulan

wawancara penulis bersama dokter yang menangani sewa rahim yaitu :

1. Dr. H. Lambona, Kes, mengatakan bahwa hukum melakukan sewa rahim

adalah “haram”. Karena, pada prinsipnya sewa rahim adalah menolong

wanita infertilitas yang tidak dapat mengandung dan melahirkan. Menurut

beliau sewa rahim juga bertentangan dengan UU Perkawinan No. 1 Tahun

18 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos

Phublishing House, 1995), h. 45

44

1974 pada pasal 42, disebutkan anak yang sah adalah anak yang anak yang

dilahirkan dalam perkawinan atau sebagai akibat dari perkawinan yang

sah. Sedangkan anak yang dilahirkan dari hasil sewa rahim tidak

berdasarkan pada perkawinan yang sah, melainkan embrio dari pasangan

suami isteri yang sah ditanamkan pada rahim wanita lain, atau sel sprema

dari si suami sedangan sel telur dari wanita lain dan ditanamkan di rahim

wanita lain, maka anak tersebu bisa katagorikan menjadi anak zinah

karena tidak adanya ikatan perkawinan sebelumya19

.

2. Dr. Abu Hanif. S.pOG, beliau mengatakan sewa rahim dalam hukum

Islam adalah haram, apabila kita melakukan sewa rahim maka hukumnya

melakukannya adalah “haram”20

.

3. Dr. Muhammad Adam. S.Ked, mengatakan bahwa hukumnya

melaksanakan sewa rahim adalah haram. Karena dalam kasus ini adanya

pemanfaatan rahim dan melihat banyaknya mudharat yang ditimbulkan.

Yaitu kekacauan pada status ibu yang dapat mempengaruhi kedudukan

anak dan terjadi persengketaan antara kedua ibu tersebut, yakni keduanya

berkeinginan memiliki anak tersebut, selain itu akan terjadi kekacauan

terhadap nasab, perwalian dan waris pada anak tersebut yang mana

nantinya berdampak negatif pula21

.

4. Dr. Evy Dwi Lestari, bahwa hukumnya adalah haram. Asalannya beliau

mengatakan karena etika, karena hukum di Indonesia terhadap sewa rahim

belum diperbolehkan karena sebab-sebab yang dilarang oleh agama dan

dilihat dari beberapa aspek. Diperbolehkannya sewa rahim itu tergantung

pada agama masing-masing apakah meneyetujui atau tidaknya, karena

berhubungan dengan inseminasi buatan yang dimana sperma dan sel telur

19

Hasil Wawancara Dr. H. Lambona MH, Kes, Mitra Keluara Bekasi, diakses pada Tanggal

1 Januari 2018 20

Hasil Wawancara Dr. Abu Hanif, S.pOG, Mitra Keluarga Bekasi, diakses pada Tanggal 1

Januari 2018 21

Hasil Wawancara Dr. Ayunindia, S.pOG, RS. Porli Jakarta, diakses pada Tanggal 3

Januari 2018

45

berasal dari pasangan suami istri yang sah lalu ditanamkan di rahim wanita

lain22

.

Dalam hasil wawancara tersebut, banyak pihak kedokteran yang

melarang atau mengharamkan adanya sewa rahim. Karena selain banyaknya

mudharat yang ditimbulkan juga akan menimbulkan permasalahan mengenai

nasab, perwalian, serta wais pada anak. Dalam hukum Islam sangat

melegalkan adanya sewa rahim karena Islam sangat menjaga hubungan nasab,

apabila melakukan sewa rahim akan adanya pencapuran nasab, dan status anak

menjadi sangat membingunkan.

22

Hasil Wawancara Dr. Evy Dwi Lestari, S.pOG, RS. Porli Jakarta, diakses pada Tanggal 3

Januari 2018

46

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP

STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM

A. STATUS PERWALIAN ANAK HASIL SEWA RAHIM

1. Dalam Pandangan Hukum Islam

Secara etimologi (bahasa) kata perwalian berasal dari wali, dan

jamak “awliya” kata ini berasal dari kata bahasa arab yang berarti

“teman”, “kliean”, “sanak”, “pelindung”. Umumnya kata tersebut

menunjukan arti “sahabat Allah” dalam frase wilayah1.

Adapun pengertian perwalian menurut terminolgi para pakar

fuqaha (pakar hukum Islam )seperti di formulasikan Wabah Zuhaily

adalah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara

langsung melakukan suantu tindakan sendiri tanpa harus bergantung

(terikat) atas seizing orang lain. Orang yang mengurusi sesuatu

(akad/tansaksi)2.

Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah, yang berarti

penguasa dan perlindungan. Jadi arti dari perwalian menurut fiqih ialah

penguasa penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk

menguasai dan melindungi orang atau barang orang yang diberi kekuasaan

di sebut wali3.

Sayyid Sabiq mengatakan, wali adalah suatu ketentuan hukum

yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai bidang hukumnya,

selanjutnya menurut beliau wali ada yang khusus ada yang umum4.

Menurut Kompilasi Hukum Islam perwalian adalah “kewenagan

yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum

sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak

1H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru algensindo, 2012), h. 382

2H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, h. 382

3 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan) , (Yogyakarta: Liberty, 1986), h. 41 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 7, (Bandung, Al-Ma’arif, 1980), h. 7

47

mempunyai kedua orang tua, yang masih hidup tidak cakap perbuatan

hukum5. Dijelaskan dalam pasal selanjutnya: pasal 107 ayat 1 dan 2 yaitu :

1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 atau

belum pernah melangsungkan perkawinan

2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.

Pada dasarnya perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah

kekuasaan yang diberikan kepada seseorang untuk mewakili anak yang

belum dewasa dalam melakukan tindakan hukum demi kepintingan dan

kebaikan si anak meliputi perwalian terhadap diri juga harta kekayaannya.

Adapun anak belum dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak

yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah menikah.

Masalah perwalian juga mengenai wali anak kecil. Para ulama

mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya

tidak mempunyai hak perwalian, kecuali menurut pandangan sebagian

ulama Syafi’i6.

Hambali dan Maliki mengatakan: Wali sesudah ayah adalah orang

yang menerima wasiat dari ayah. Kalau ayah tidak mempunyi orang yang

diwasiati, maka perwalian jatuh ketangan hakim syar‟i. Sedangkan kakek

tidak mempunyai hak dalam perwalian, sebab kakek menurut mereka tidak

bisa mempercayai posisi seperti ayah. Kalau posisi kakek dari pihak ayah

sudah seperti itu, maka apalagi kakek dari pihak ibu. Hanafi mengatakan:

para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah.

Sesudah itu kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat

darinya, dan kalau tidak ada maka perwalian jatuh ketangan qadhi7.

Syafi’i mengatakan: perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dari

kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya, kepada

penerima wasiat kakek, dan sesudah itu kepada qodhi. Imamiyah

mengatakan: perwalian, pertama-tama berada ditangan ayah dan kakek

5 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Badung: CV Nuasa Aulia), h. 14

6 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Jafari, Hanafi, Maliki, Hambali),

(Jakarta: Lentera, 2001), h. 693 7 Muhammad Jawad Mughniyah, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 693

48

(dari pihak ayah) dalam derajat yang sama, dimana masing-masing mereka

berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat yang

lain. Bila tidak ada ayah dan kakek, perwalian jatuh ketangan orang yang

menerima wasiat dari ayah seorang diantara keduanya. Dalam hal ini

kakek didahulukan dari penerima wasiat ayah. Bila tidak ada ayah, kakek,

dan tidak pula menerima wasiat kedua orang tersebut, perwalian jatuh

ketangan hakim syar‟i8.

Oleh karena itu perwalian tersebut adalah suatu kewenangan yang

diberikan kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum

sebagai wali untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak

mempunyai kedua orang tua atau orang yang masih hidup tidak cakap

melakukan perbuatan hukum.

Masalah perwalian anak tidak terlepas dari suatu perkawinan,

karena dari hubungan perkawinanlah lahirnya anak dan bila pada suatu

ketika terjadi perceraian, salah satu orang tuanya atau keduanya meninggal

dunia, maka dalam hal ini akan timbul masalah perwalian, dan anak-anak

akan berada dibawah lembaga perwalian. Wali merupakan orang yang

mengatur dan bertanggung jawab terhadap kepentingan ank-anak tersebut

baik mengenai diri sendiri maupun harta benda milik anak tersebut9.

Mazhab Hanafi membagi perwalian kepada tiga bagian yaitu:

perwalian terhadap diri, perwalian terhadap jiwa, dan perwalian terhadap

harta. Sesungguhnya menurut mazhan hanafi tidak ada perwalian selain

perwalian mujbir, oleh sebab itu menurut pendapat mereka tidak ada

perwalian selain perwalian mujbir yang membuat akad pernikahan

bergantung kepadanya. Semua wali adalah wali mujbir. Perwalian menurut

mazhab Syafi’i perwalian terhadap seorang perempuan merupakan sebuah

syarat multak bagi sahnya salah satu akad perkawinan menurut Mazhab

8 Majdi bin Mashur bi Sayyid As-Syuri, Tafsit Imam Syafi‟I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003),

h. 50 9 Abdul aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Hoeve, 1996), Cet-I

Jilid 6, h. 26

49

Syafi’i. Sedangkan Mazhab Hambali pernikahan seorang perempuan tidak

sah kecuali dengan adanya wali10

.

Menurut mazhab Maliki jenis perwalian dibagi menjadi dua yakni

khusus dan umum. Perwalian khusus adalah yang dimiliki oleh orang-

orang tertentu. Adapun perwalian umum dimiliki dengan sebab, yaitu

Islam. Perwalian ini untuk semua orang Islam. Sedangkan menurut

mazhab Syafi’i jenis perwalian ada dua yakni perwalian ijbar dan

perwalian ikhtar. Perwalian ijbar adalah yang dimiliki oleh bapak dan

kakek ketika tidak ada bapak. Sedangakan perwalian ikhtiar dimiliki bagi

semua wali „ashabah dalam mengawinkan seorang perempua janda.

Seorang wali tidak boleh mengawinkan seorang janda kecuali izinnya11

.

Jumhur ulama menyatakan bahwa sesungguhnya akad pernikahan

hanya sah bila dilaksanakan oleh wali. Dan seorang perempuan tidak

memiliki hak untuk melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya atau

orang lain. Dan dia tidak memiliki hak untuk mewakilkan orang lain selain

bapaknya untuk melaksanakan akad pernikahan12

.

Perwalian menjadi peran penting karena, wali merupakan salah

satu dari rukun nikah. Izin wali sangatlah diperlukan dalam sebuah

perkawinan, tetapi seorang wali hanya ditunjukan kepada pengantin

perempuan saja, oleh karena itu ada beberapa penentuan wali yaitu13

:

a. Wali Nasab

Nasab artinya keturnan. Menurut ajaran patriliniar, nasab juga

diartikan kekeluargaan dalam garis keturunan patriliniar atau hubungan

darah. Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon

pengantin perempuan yang mempunyai hubungan darah patriliniar

dengan calon pengatin perempuan itu.

10

Wahbah Zuhaily, AL-Fiqih Al-islami wa „Adillatuhu, 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011),

Cet-I, h. 681 11

Muhammad Jawad Mughniyah, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 693 12

Moch Idris Ramulyo, Fiqih Islam Lengkap, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.

258 13

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UUI Press, 1974), h. 65-66

50

b. Wali Hakim

Wali hakim adalah penguasa atau wali penguasa yang berwenang

dalam bidang perkawinan. Biasanya penguhulu atau petugas lain dari

Departemen Agama. Hal ini ditemui kesulitan untuk hadirnya wali

nasab atau ada halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka

seorang calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan

wali hakim.

Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian,

Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya

pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharan terhadap harta anak

yatim yang telah ditinggal oleh orang tuanya. Selain adanya perintah untuk

menjaga anak yatim tersebut dalam konteks penjagaan jiwa dan

perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka. Dan Allah

sangat murka yang kemudian seseorang menjadi wali tidak dapat menjga

dan memelihara harta tersebut14

.

Di dalam hadits lain Rasulullah juga menyatakan tentang

kedudukan hukum tentang perwalian. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya

Nabi saw memutuskan wali bagi anak perempuan hamza kepada kepada

saudara perempuan ibunya, beliau bersabda: “Saudara perempuan

perempuan itu menempati kedudukan ibu” (HR. Bukhari).15

Perwalian bagi anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang

sah tentunya tidak akan menimbulkan permasalahan karena secara jelas

sudah diketahui nasabnya sehingga sederetan hak dan kewajiban anak dan

orang tuanya dapat dijamin tidak menimbulkan persoalan. Berbeda dengan

anak yang dilahirkan hasil sewa rahim, dimana sel sperma dan sel ovum

suami isteri lalu ditransplantasikan kerahim wanita lain yang tentunya

akan menimbulkan berbagai persoalan. Nasab anak hasil sewa rahim

menjadi tidak jelas sehingga membawa dampak yaitu tidak terjamin hak-

14

Syauti Thalib, (Jakarta: UUI Press, 1974), h. 45 15

Al-hafizd Dzaqiyuddin Abdul aziz bin Abdul Qawi Al-Mundziri, Mukhtashar Shahih

Bukhari dan Muslim, (Solo: Insan Kamil, 2012), h. 79

51

hak dan kewajiban antara anak dan orang tuanya. Salah satu hak dari anak

tersebut terhadap orang tuanya ialah terkait dengan hak perwalian16

.

Praktik pemindahan embrio kerahim wanita lain atau bisa disebut

juga dengan sewa rahim, berbeda dengan bayi tabung yang diperbolehkan

selama sel sprema dan sel telur dipertemukan dan ditanamkan kedalam

rahim sang isteri. Pemanfaatan rahim diluar perkawinan diharamkan,

disebabkan banyaknya mudharat dari pada manfaatnya17

.

Pelaksanaan sewa rahim biasanya dilakukan karena atas masalah-

masalah tententu yang tidak dapat dielakkan yaitu apabila isteri atau

wanita yang mempunyai sel telur tidak mampu atau tidak boleh hamil dan

melahirkan rahimnya tidak baik untuk mengandung, atau tidak

mempunayi rahim dengan alasan lain wanita yang mempunyai sel telur,

berkeinginan untuk menjaga kesehatan rahimnya menjaga keindahan

tubuh dan kecantikkannya ataupun dengan alasan lain.

Permasalahan sewa rahim dan pelbagai bentuknya merupakan

masalah kontenporari yang belum dibicarakan hukumnya oleh para fuqaha

silam. Para fuqaha setuju bahwasanya praktikal sewa rahim yang sel

sprema dan sel ovumnya oleh pasangan suami isteri kemudian ditanamkan

kepada wanita lain dalam keadaan apapun tidaklah diperbolehkan

(haram)18

.

Hasil ijtihad ahli fiqih dari pada pelosok dunia Islam pada tahun

1986 di Aman yang disenaraikan dalam ketetapan pada sidang ketiga dari

pada Majma'ul Fiqih Islamy Athfaalul Annabilb bayi tabung uji, yang

bermaksud: cara yang kelima dari pada itu dilakukan diluar kandungan

antara dua benih suami istri kemudian ditanamkan di rahim isteri lain (dari

pada suami) hal itu dilarang menurut hukum syara’19

. Hasil ijtihad tersebut

tersebut mengharamkan penggunaan taknik bayi tabung uji yang

16

Abdul Manar, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 85 17

Almen Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (JakartaK Grafika Jaya, 1992), h.48 18

H. Husni Thamrin, Aspek Hukum Bayi Tabung dan Sewa Rahim, (Jogjakarta: Aswaja

Grafindo, 2014), h. 79 19

Badrian Abu Al-Ainan Badrian, Huquq Fi as-Syariah Al-Islamy Al-Qanun, (Iskandaria:

Muasan Syabab Al-Jmiah), h. 16

52

menggunakan sel sprema dan sel ovum dari pasangan suami isteri lalu

embrionya ditransplantasikan kedalam rahim isteri yang lain (isteri kedua,

ketiga, atau keempat).

Selain itu Syekh Muhammad Syaltut berpendapat: cantuman

sperma yang dilakukan itu bukan dari pada sperma suami, maka tidak

diragukan lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali dan suatu

perbuatan yang sangat mungkar yang lebih hebat dari pada mengambil

anak20

.

Para ulama sepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam

keadaan berikut:

a. Menggunakan rahim wanita lain selain isteri

b. Pencampuran antara benih suami dengan wanita lain

c. Pencampuran benih isteri dengan laki-laki lain, dan

d. Memasukan benih yang disewakan selapas kematian suami isteri.

Sebagaimana yang dijelaskan sabda Rasulullah SAW yang

diriwayatkan Imam Abu Daud karangan Hafidz bin Hajar al-Asyqolani

dalam kitab Bulughul Maram sebagai berikut:

و وسلن قال : هللا عنو عن النب صلى هللا عل فع بن ثابت زض وعن زو

هسئ ؤهن بالل وال سه(. )زواه )الحل ال هاه شزع غ وم االخس ان سق

ابوا داود والتسهري(21

Artinya: “Tidak halal bagi sorang yang beriman kepada Allah SWT dan

hari akhir untuk menyiram spermanya ke dalam rahim orang lain”. (H.R.

Abu Daud)

Masalah sewa rahim menimbulkan beberapa permasalahan tantang

harkat dan ibu serta hakikat hubungan hukum antara orang tua dengan

anak yang besangkutan. Terikat tentang ini muncul permasalahan tentang

ibu apakah seorang ibu itu adalah wanita yang menghasilkan sel telur, atau

20

Syaikh Muhammad Shaltut, Kumpulan Fatwa-Fatwa Popula, (Jakarta: Pustaka Media,

1993), h. 67 21

Hafidz bin Hajar Al-Asyqolani, Buluqhul Maram, (Surabaya: darul Ilmi), h. 286

53

wanita yang mengandung anak serta melahirkan. Masalah lain ialah

mengenai hubungan hukum anak kandung dengan ayah biologisnya22

.

Agama Islam hanya mengakui hubungan darah dan ikatan

perkawinan sebagai landasan bagi keluarga. Jika perbuatan sewa rahim

dihalalkan maka dapat menimbulkan kekacauan pada konsep keluarga dan

hubungan kekeluargaan atau kekerabatan yang diatur secara ketat oleh

hukum Islam23

.

Dalam Al-Qur’an dinamakan ibu adalah yang wanita yang

melahirkan, dan ayah adalah suami dari ibu yang memiliki benih anak

yang bersanguktan (sperma). Anak adalah hasil dari perkawinan yang sah

antara ibu dan ayah. Oleh karena itu akibat dari perbuatan sewa rahim

kedudukan ayah dan ibu menjadi tidak jelas. Akibat yang paling menonjol

dari perbuatan ini adalah rusaknya harkat seorang ibu dan ayah serta

adanya ketidak pastian pada status anak24

.

Ayah mempunyai kedudukan yang penting suatu keluarga. Sebagai

kepala keluarga ayah mempunyai tanggung jawab yang besar pada isteri

dan anak-anaknya. Oleh sebab itu ayah sangat dihormati dan dibutuhkan

oleh anak-anaknya. Seorang ayah bisa menjadi wali terhadap anaknya

apabila mempunyai suatu hubungan yang sah dari perkawinan yang sah.

Adapun anak dari hasil zina atau sewa rahim tidak bisa di nisbathkan

kepada ayah biologisnya25

.

Perbuatan sewa rahim sangatlah merusak kedudukan ayah, karena

keabsahan seorang anak ternyata ditentukan oleh kejelasan nasab dengan

ayahnya secara sah menurut hukum Islam. Seorang anak harus

dihubungkan nasabnya dengan ayah genetisnya, sebagaimana dalam Al-

Qur’an surah Al-Ahzab (33: 4-5)

22

Sony Dewi Djuasih, Aspek Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Islam Indonesia,

(Jakarta: Pustaka Jaya, 2013), h. 19 23

Musthafa Diibu Biigha, Ikhtisar Hukum-Hukum Islam Praktis, (Semarang: Asy-Syifa,

1994), h. 302 24

M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Tafsir Maudhu‟I atas Pelbagi

Persoalan Umat, (Surabaya: Mrga Jaya Abadi, 2007), h. 221 25

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 31

54

Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati

dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu

zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu

sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah

perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya

dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak

angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang

lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak

mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama

dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu

khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh

hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa akibat dari

perbuatan sewa rahim antara lain adalah adanya ketidak pastian dalam

menentukan status hukum atau perwalian si anak yang dilahirkan hasil

sewa rahim.

Hemat penulis akibat dari perbuatan sewa rahim adalah makna

keibuan menjadi tidak sesuai dengan makna ibu sebagaimana yang

diciptakan Allah dan yang dikenal manusia. Peran seorang wanita sebagai

ibu dimulai sejak ia menerima kehamilan dengan susah payah selama

sembilan bulan. Selama itu pula sang ibu mulai lebih memperhatikan

kesehatannya karena didalam rahimnya, tumbuh seorang anak. Setelah itu

ia akan berjuang melahirkan anaknya agar lahir dengan sehat. Semua

kegiatan tersebut merupakan suatu proses alami yang dikaruniakan Allah

kepada setiap perempuan dengan kemampuan reproduksi serta naluri

keibuan yang melakat kepadanya.

55

Perbuatan sewa rahim disatu pihak melibat seorang ibu yang

memproduksi dan melepaskan sel telur, namun ia tidak bersusah payah

untuk mengandung dan melahirkan. Di lain pihak, ada wanita lain sebagai

ibu pengganti yang menerima beban kehamilan benih tersebut dan

melahirkannya, ia harus menyerahkan anak tersebut kepada ibu yang telah

menyewa rahimnya26

.

Ibu yang sebenarnya adalah wanita yang mempunyai telur yang

dibuahi itu. Dari telur ibu inilah terjadinya janin dan kepadanya si anak

bernasab. Maka si ibu itulah yang paling berhak memeliharanya, dan

hanya kepadanyalah disandarkan segala hukum dan hak keibuan seperti

penghormatan, perlakuan baik, nafkah, kewarisan, dan sebaginya. Namun

makna keibuan itu semata-mata hanya terbentuk dri sel telur yang

dikeluarkan dari indung wanita kemudian dibuahi oleh sperma laki-laki,

padahal hakikat keibuan seharusnya mencurahkan, memberi, sabar, tabah,

bersusah payah, dan berletih lelah selama menjalani kehamilan dan

melahirkan bayinya27

.

Adanya sewa rahim menimbulkan konflik untuk menetukan status

hukum anak atau perwalian pada anak tersebut. Masalah ini adalah

menegenai status hukum anak, apakah si anak adalah anak sah dari

pasangan suami isteri pemilik benih atau anak sah dari ibu pengganti.

Dalam suatu perkawinan yang sah, anak bernasab pada orang tuanya

genetisnya, dan mempunyai hubungan perwalian kepada ayah biologisnya.

Ketentuan ini berlaku jika si anak memang dilahirkan oleh si isteri akibat

dan dalam suatu perkawinan yang sah28

.

Jika dikaitkan dengan hukum positif dalam membahas status

hukum anak yang dilahirkan akibat proses sewa rahim, yaitu berdasarkan

pasal 42 UU Perkawinan yang berisi pengertian anak sah, maka akan

26

Sony Dewi Djuasih, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2013) 27

Idries AM, Aspek Medikolegal Pada Inseminasi Buatan/Bayi Tabung, (Jakarta: Bima Rupa

Aksara, 1997), h. 20 28

Zabidi Ahmad R, Penyewaan Rahim Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo, 1996), h. 50

56

dilihat bahwa pasal tersebut belum meliputi kedudukan anak tersebut.

Pasal 42 UU Perkawinan menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak

yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah29

.

Menurut penulis, berdasarkan ketentuan pasal tersebut, dapat

ditarik suatu analogi bahwa sianak yang dilahirkan dari sewa rahim akan

tetap menjadi anak sah bagi pasangan suami isteri pemilik benih, karena

anak yang dilahirkan berasal dari pembuahan benih pasangan suami isteri

yang terikat perkawinan, dan si anak lahir ketika pasangan suami isteri

tersebut masih terikat perkawinan. Tetapi ketentuan undang-undang

tesebut tidak mengungkapkan bahwa anak sah harus dilahirkan oleh ibu

genetisnya.

Jika dari ketentuan hukum Islam, maka anak tersebut merupakan

anak dari ibu yang melahirkan dan hanya mempunyai hubungan perwalian

dengan yang melahirkan tersebut baik dia mempunyai suami ataupun

tidak, karena pada hakikatnya seorang ibu adalah perempuan yang

melahirkan anaknya sebagaimana dala Al-Qur’an surah Mujadillah (58: 2)

Artinya:“orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,

(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka

itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang

melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh

mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya

Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”. (Q.S. Al-Mujadilah 58:2)

Berdasarkan keputusan Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa

Majelis Ulama se-Indonesia ke II tahun 2006 tentang Masa‟il Waqtiyyah

Mu‟ashirah, dalam ketetapanya mengenai ketentuan hukum transfer

embrio kerahim titipan menetapkan bahwa anak yang lahir dari transfer

embrio kerahim titipan adalah anak laqith. Anak laqith adalah anak kecil

29

Chuzaimah T Yanggo Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer,

(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), h. 21

57

yang belum baligh yang didapati dijalan, atau yang tidak diketahui

nasabnya30

.

Ketentuan Majelis Fatwa Mathla’ul Anwar, H. Abdul Wahid

Sahari, mengungkapkan bahwa anak yang lahir dari penitipan janin pada

rahim ibu pengganti hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan

keluarga ibu yang melahirkannya, dalam hal ini sang ibu pengganti. beliau

mendasarkan pendapatnya tersebut dengan menyamakan anak yang

terlahir dari penitipan janin pada rahim ibu pengganti dengan anak yang

lahir karena perzinaan karena menurut beliau tindakan penitipan janin

pada rahim ibu pengganti dapat digolongkan sebagai perbuatan zina.

Menurut mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki, anak hasil zina dapat

dinikahi oleh ayah genetisnya, walupun dalam kenyataanya hal tersebut

belum pernah terjadi.

Menurut penulis, status anak yang lahir dari sewa rahim jika dilihat

dari hukum Islam adalah laqith, karena anak kecil yang belum baligh yang

belum jelas nasabnya, sebagaimana yang dijelaska dalam MUI dalam

keputusan Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-

Indonesia ke-II Tahun 2006 tentang Maasa‟il Waqityyah Mu‟ashirah.

Dengan demikian maka anak tersebut hanya mempuanyai hubungan darah

dengan ibu yang melahirkan bukan dengan pasangan suami isteri pemilik

benih (donor).

Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa menurut ketentuan hukum

Islam ketentuan hukum dari pelaksanaan inseminasi buatan dengan sel

sprema dan sel ovum yang ditransplantasikan kerahim wanita lain adalah

haram, anak yang lahir dari proses tersebut adalah anak yang tidak sah

atau sama dengan anak zina dan dia hanya dihubungkan dengan keluarga

ibu yang salah satunya ialah hak perwalian ketika masih kecil dan belum

dewasa. Perwalian ini meliputi terhadap diri dan harta anak. Perwalian

30

Keputusan Komisi B Ijtima’’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-Indonesia ke-II

Tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu’ashirah, “ketentuan hukum transfer embrio kerahim

titipan”, poin ke-4

58

terhadap seorang anak ini sesuai ini sesuai dengan maqasid asy-syari‟ah

yaitu hifz nasb.

2. Dalam Pandangan Hukum Positif

Hukum positif di Indonesia yang mengatur tentang status hukum

seorang anak telah diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

udang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun dalam

regulasi tersebut tidak terdapat ketentuan yang mengatur secara tegas

prihal kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi

tabung31

. oleh karena belum ada aturan didalamnya sehingga dapat

memunculkan masalah-masalahhukum dari teknologi reproduksi yang

telah disebutkan di atas, diantaranya menyangkut pelaksanaan (dokter,

ilmuwan, peneliti) suami, isteri, donor sperma donor ovum, ibu pengganti

dan bayi yang dilahirkan dengan proses tersebut32

.

Mengenai sewa rahim, sama kaitanya dengan perjanjian ataupun

kontrak sewa rahim. Dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, mengenal dua jenis kontrak perjanjian yaitu perjanjian nominat

sebagai istilah yang diberikan untuk jenis-jenis konflik yang dikenal oleh

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan perjanjian Innominat sebagai

istilah untuk digunakan jenis-jenis perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup

dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat, salah satunya

kontrak surogasi kontrak sewa rahim yang diklarifikasikan dalam jenis

kontrak diluar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Landasan hukum

mengenai kontrak sewa rahim memang belum diatur secara rinci dalam

peraturan perundang-undangan, namun secara yuridis terdapat beberapa

pasal dalam KUHPerdata yang dapat dipergunakan untuk mengkaji aspek

subtansial dari kontark sewa rahim, yaitu pasal 1320 dan pasal 1338

KUHPerdata33

.

31

Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (yoyakarta: Nuha Medika, 2014), h. 89 32

Idries AM, Aspek Medikolegal Pada Insaminasi Buatan /Bayi Tabung, (Jakarta: Bina

Rupa Askara, 1997), h. 20 33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Drai Perjanjian, (Jakrta:

Raja Garfindo, 2004), h. 55

59

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya

perjanjian yang terdiri dari beberapa unsur antara lain34

:

a. Kesepakatan pera pihak yang membuat perjanjian

b. Kecakapan dalam membuat perjanjian

c. Suatu hal terntu

Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan kajian ini

adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam pasal 50-54 UU No. 1

Tahun 1974 dan pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam KHI, yang

menyatakan bahwa perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk

melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan atau atas nama anak

yang orang tuanya telah meninggal dan tidak mampu melakukan perbuatan

hukum35

.

Sedangkan menurut hukum positif yakni sebagaimana mengacu

pada UU No. 23 Tahun 1993 pasal 16 ayat 1dan 2 tentang kesehatan.

Telah dijelaskan hukum tentang pemindahan embrio kedalam rahim

wanita lain36

. Adapun bunyi pasal yang dimaksud antara lain sebagai

berikut37

:

a. Pasal 16 ayat 1

“kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya

terakhir untuk membantu suami isteri mendapatkan keturunan ”.

b. Pasal 16 ayat 2

“upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam

ayat 1 hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah

dengan ketentuan: hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami

34

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Drai Perjanjian, h. 56 35

Soedharyo soimin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, Perspektif Hukum Perdata

Barat/BW, Hukum Islam dan Hukum Barat, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 82-83 36

Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan

Peradilan Agama, (Jakarta: al-Hikmah, 1993) h. 50 37

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdta), (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2007), h. 50

60

isteri yang bersangkutan ditanamkan kedalam rahim isteri dimana

ovum tersebut bersal38

.

Kedua ayat dari pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 tersebut di atas

memiliki arti bahwa pasangan suami isteri yang sah dapat melakukan

kehamilan dengan cara alami, yaitu jika secara medis mereka benar-benar

terbukti tidak dapat memperoleh keturunan secara alami, dan

pelaksanaanya dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah dengan

menggunakan sperma dan ovum pasangan tersebut serta harus sesuai

dengan segala norma yang berlaku di Indonesia.

Tidak diperbolehkannya sewa rahim wanita lain disebabkan

karena masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya

dan agama serta belum adanya hukum atau peraturan yang mengatur sewa

rahim39

. Meskipun pelaksanaanya menggunakan ibu pengganti khusus,

dilakukan dengan adanya suatu alasan tertentu maupun dengan satu

perjanjian dalam hal ini adalah sewa menyewa rahim yang dilakukan

dihadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai

dengan bunyi pasal 1548KUHPerdta yaitu40

:

“sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan nama pihak yang

satu mengikat dirinya untuk memberikan kepada pihak lain

kenikmatan suatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan

pembayaran suatu harga oleh pihak tersebut belakangan itu di

sanggupi pembayarannya”.

B. STATUS NASAB ANAK HASIL SEWA RAHIM

1. Dalam Pandangan Hukum Islam

kata nasab secra etimologi berasal dari bahasa arab نسب نسب تسبا

apabila terdapat kalimat نسب السجل berarti وصفو ذكس نسب memberikan ciri-

38

R. Subekti dan Tjitrosudibio R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.

Pradnya Paramita, 2001) 39

Wayan Artajana, Legalitas Suragosi Berkaitan dengan Asas Berkontrak, (Yogyakarta:

Kerta Wicaksana, 2010), h. 49 40

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003) , h. 30

61

ciri dan menyebutkan keturunan. Kata nasab bentuk tunggal yang

berbentuk jamaknya bisa nisab, seperti kata سدزة menjadi سدز dan bisa juga

nusab, seperti kata غسفت menjadi غسف.41

Istilah nasab telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan telah

masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dipakai sebagai bahasa

sehari-hari oleh banyak orang, nasab diartikan sebagai keturunan (terutama

dari pihak bapak) atau pertalian keluarga42

. Adapun pengertian nasab

secara terminologi nampaknya tidak bisa dipisahkan dengan pengertian

secara etimologi di atas yaitu keturunan atau kerabat.

Islam memperbolehkan melakukan hubungan seksual kepada

pasangan yang telah menikah, jika terjadi pembuahan maka akan jelas

hukum status pada anak tersebut. Karena anak yang sah adalah anak yang

lahir dari pernikahan yang sah. Begitu pun dengan anak yang tidak sah,

apabila melakukan hubungan suami isteri tanpa adanya ikatan yang sah

maka anak yang terlahir akan menjadi tidak sah. Sama halnya dengan

kasus sewa rahim, pasangan suami isteri yang menyewakan rahimnya

kepada wanita lain lalu sel sprema dan sel telur ditransplantasikan

kerahim wanita tersebut maka status anak tesebut menjadi tidak jelas.

Perdebatan diseputar sewa menyewa rahim atau ibu pengganti

menjadi perdebatan panjang dikalangan masyarakat baik muslim maupun

non muslim hal ini antara lain disebabkan karena hukum sewa menyewa

rahim tidak ada dalam nash Al-Quran yang melarang adanya sewa rahim.

Dalam buku fatwa-fatwa kontemporen jilid 3, ulama besar mesir

Dr. Yusuf Qordhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak

memperbolehkan penyewa rahim dalam berbagai bentuknya. Menurutnya,

para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan

fatwa yang memperbolehkan suami isteri atau salah satunya untuk

memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka

41

M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 1012), Cet-

I, h. 27 42

Sri Sukesi Adwimarta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),

Cet-I, h. 609

62

mewujudkan kelahiran anak. Namun mereka syaratkan sperma harus milik

sang suami dan sel telur milik isteri tidak ada pihak ketiga diantara

mereka43

.

Menempatkan benih suami pada rahim isteri baik dilakukan secara

alami maupun melalui perantara (dengan perangkat medis) maka menurut

ajaran Islam adalah halal, karena keduanya berada dalam ikatan yang sah,

sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah (2: 223)

Artinya: “isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok

tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana

saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan

bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan

menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”.

(Q.S. Al-Baqarah 2: 223)

Dalam kitab Fiqih Syafi’iyah dikenal dengan adanya teori

“Istikdhal” yaitu memasukan cairan mani kedalam rahim dengan cara yang

tidak alami biasanya disandingkan dengan kata wat‟i atau jima’ atau

dukhul yang bermakna hubungan seksual. Dalam fiqih Islam, praktik

istikdhal boleh dilakukan. Bahkan mayoritas ulama menyatakan nasab

hasil dari praktek Istikdhal sama dengan pratik wat‟i atau jima.

Nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi dan

memungkinkan dibentuk melalui tiga cara, yaitu44

a) Melalui perkawinan

b) Melalui nikah yang fasid atau bathil (termasuk nikah di bawah

tangan)

c) Melalui hubungan badan secara syubhat.

43

Yusuf Qordhawi, “Fatwa-Fatwa Kontemporen , Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2001),

h. 660 44

Wahbah Zuhaily, Al-Fiqih Al-Islami Wa „Adillatuhu, 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011),

Cet-1, h.681

63

Dari penjelasan di atas diluar tiga cara ini, semua anak yang

terlahir dari hasil sewa rahim dengan cara tidak sah, dimana sel telur isteri

diambil dan dikawinkan dengan sperma suami diluar perkawinan (tabung)

lalu ditanamkan pada rahim wanita lain (sewa rahim), maka nasab anak

pada ayah kandungnya tidak dapat dibentuk pada ayah biologisnya

2. Dalam Pandangan Hukum Positif

Anak yang dilahirkan dari perjanjian surrogate mother mempunyai

kemungkinan yang unik terkait dengan siapa yang dapat disebut sebagai

orang tua anak tersebut. Pada pasal 42 Undang-Undang Perkawinan

dimana dalam pasal tersebut menyatkan bahwa anak sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah45

.

Terkait dengan anak yang lahir dari surrogate mother apabila

dihubungkan dengan peraturan, akan menjadi status seperti berikut:

a. Apabila anak itu dilahirkan dari surrogate mother yang terkait

dalam perkawinan (mempunyai suami) maka anak tersebut

berkedudukan sebagai anak sah dari wanita tersebut dan suaminya.

b. Apabila anak itu lahir dari (surrogate mother) yang tidak terkait

dalam perkawinan, maka anak tersebut berkedudukan sebagai anak

diluar kawin dari wanita tersebut46

.

Status anak yang ketika seorang wanita menikah hamil sebagai

hasil dari donor ovum atau donor embrio dalam proses implantasi dimana

sperma yang digunakan untuk pembuahan ovum dihasilkan oleh seorang

laki-laki selain dari suami wanita yang menikah tersebut dan wanita

tersebut menjalani prosedur dengan persetujuan dari suaminya yaitu:

a. Suami harus tahu untuk tujuan apaupun menjadi ayah dari setiap

anak dari kehamilan. Baik yang lahir maupun belum lahir.

45

R. Subekti dan Tjitrosudibio, KItab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.

Pradaya Paramita, 2001), h. 18 46

R. Subekti dan Tjitrosudibio, KItab Undang-Undang Hukum Perdata,, h. 78

64

b. Laki-laki yang menghasilkan sperma harus tidak menjadi ayah dari

setiap anak dari kehamilan baik yang lahir maupun yang tidak

lahir47

.

C. SEWA RAHIM DALAM HUKUM ISLAN DAN HUKUM POSISTIF

1. Dalam pandangan Hukum Islam

Dalam pandangan Islam, rahim wanita mempunyai kehormatan

yang sangat tinggi dan bukan barang hinaan yang boleh disewa atau

diperjual belikan48

. Karena rahim adalah anggota manusia yang

mempunyai hubungan yang kuat dengan naluri dan perasaan semasa

hamil. Manusia tidak berhak menyewakn rahimnya, karena akan

menimbulkan permasalahan dalam penentuan perwalian seorang anak jika

ia lahir nanti.49

Pada dasarnya tidak sah perlakuan apapun pada rahim kecuali

dengan pernikahan yang sah secara syariat Islam. Surragote mother

bukanlah sesuatu yang dapat disamakan dengan pernikahan, maka dalam

hal ini surragote mother tidak dibenarkan.50

Didalam al-Quran tidak kita jumpai suatu surah atau ayat yang

mengatur tentang kedudukan anak yang dilahirkan melalui proses bayi

tabung yang menggunakan sperma atau ovum dari pasangan suami isteri

lalu embrionya ditransplantasikan kedalam rahim ibu pengganti (surrogate

mother), tetapi yang jadi kesamaan dengan itu adalah anak susuan. Anak

susuan adalah yang dikandung dan dilahirkan dari pasangan suami isteri,

lalu disusui oleh wanita lain.51

Anak susuan diatur dalam Al-Qur’an surah

Al-Baqharah (2):233

47

Sony Dewi Judiasih, Aspek Hukum Sewa Rahim Dalam Perspektif Hukum Indonesia,h. 19 48

Majdi bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafi‟I, (Jakarta: Pustaka Azzam,

2003), h. 50 49

Imam Bajuri, Penitipan Pra Embrio Pada rahim Wanita Lain (sewa rahim) Menurut

Hukum Islam, (Ponorogo: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam, ISID, 2011), h. 269 50

H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 317 51

Badrian Abu Al-Ainain Badrian, Huquq Fi Asy-Syariah Al-Islamy wa Al-Qonun,

(Iskandaria: Muasan Syabab Al-Jmiah), h. 16

65

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua

tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan

kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan

cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar

kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena

anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban

demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan

kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas

keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka

tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut

yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah

Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Baqarah (2): 233).

Dalam hukum Islam, melakukan sewa rahim yang mana sel sperma

suami dan sel ovum isteri ditransplantasikan kedalam rahim wanita lain

sangantlah dilarang dan tidak diperbolehkan, karena akan menimbul

kerancuan pada wali dan nasab pada anak tersebut52

. Namun jika

menempatkan benih suami pada isteri yang baik dilakukan secara alami

ataupu melalui perantara (dengan perangkat medis) maka menurut ajaran

hukum Islam adalah halal, karena keduanya berada dalam ikatan yang sah.

MUI memberikan fatwa dalam masalah bayi tabung atau sewa

rahim ini (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juli 1997), yang mengatakan

bahwa dewan Pimpinan Majlis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai

berikut53

:

a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri

yang sah hukumnya mubah (boleh, berdasarkan kaidah agama).

52

53

Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Emir, 2015), h. 703

66

b. Bayi tabung dari pasangan suami isteri dan titipan rahim isteri

yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan kepada isteri

pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah sad az-zari‟ah

sebab hal ini menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya

masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan

ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian

melahirkannya dan sebaliknya.

c. Bayi tabung dari sperma dibekukan dari suami yang telah

meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah sad az-

zari‟ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik

dalam kaitannya penentuan nasab maupun kaitannya dengan hal

kewarisan.

d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain

pasangan suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu

statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis diluar

pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah sadd az-

zari‟ah, yaitu yang menghindari terjadinya perbuatan zina

sesungguhnya.

Tujuan hukum Islam untuk kemaslahatan dan kepentingan serta

kebahagiaan manusia (sebagai individu atau sebagai masyarakat)

seluruhnya, baik kebahagian di dunia ini maupun kebahgian di akhirat

kelak. Dilakukan dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan

mencegah atau menolak yang mudharat yaitu yang tidak berguna bagi

hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah

kemashlahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan

sosial.

2. Dalam Pandangan Hukum Positif

Sewa menyewa rahim pada prakteknya sangat berhubungan dengan

hukum perjanjian. Menurut pasal 1313 KUH Perdata perjanjian

67

didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa

orang lain. Kemudian dalam pasal 1233 KUH Perdata.54

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, jika

embrio ditransplantasikan kedalam rahim wanita lain yang bersuami maka

secara yuridis status anak itu adalah anak yang sah dari pasangan yang

mengandung dan melahirkan, bukan pasangan yang mempunyai benih55

.

Berdasarkan UU RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “ upaya kehamilan diluar cara alamiah

hanya dapat dilakukan dengan pasangan suami isteri yang sah.” Dengan

ketentuan”56

a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami isteri yang

bersangkutan ditanamkan dalam rahim isteri dari mana ovum

berasal.

b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan.

c. fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

Sudah jelas dalam UU RI Nomer 36 tentang kesehatan pada pasal

27 ayat (1) sebagaimana yang telah jelaskan, bahwa pembuahan diluar

secara alami hanya boleh dilakukan dengan pasangan suami isteri yang

sah, dalam ikatan perkawinan yang sah. Namun apabila melakukan

pembuahan diluar secara alami dengan ikatan yang tidak sah maka sangat

tidak diperbolehkan, karena sudah melanggar kode etik dalam dunia

kedokteran.

D. ANALISIS

Masalah perwalian anak tidak terlepas dari suatu perkawinan, karena

dari hubungan perkawinanlah lahirnya anak dan bila pada suatu ketika terjadi

perceraian, salah satu orang tuanya atau keduanya meninggal dunia, maka

dalam hal ini akan timbul masalah perwalian, dan anak-anak akan berada

54

Chairiman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h. 72 55

Pradjoko, Hukum Perdata,(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 54 56

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,(Jakarta: Intermasa, 2003), h. 66

68

dibawah lembaga perwalian. Wali merupakan orang yang mengatur dan

bertanggung jawab terhadap kepentingan ank-anak tersebut baik mengenai diri

sendiri maupun harta benda milik anak tersebut.

Perwalian bagi anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang sah

tentunya tidak akan menimbulkan permasalahan karena secara jelas sudah

diketahui nasabnya sehingga sederetan hak dan kewajiban anak dan orang

tuanya dapat dijamin tidak menimbulkan persoalan. Berbeda dengan anak

yang dilahirkan hasil sewa rahim, dimana sel sperma dan sel ovum suami

isteri lalu ditransplantasikan kerahim wanita lain yang tentunya akan

menimbulkan berbagai persoalan. Nasab anak hasil sewa rahim menjadi tidak

jelas sehingga membawa dampak yaitu tidak terjamin hak-hak dan kewajiban

antara anak dan orang tuanya. Salah satu hak dari anak tersebut terhadap orang

tuanya ialah terkait dengan hak perwalian

Kalau kita hendak mengkaji masalah sewa rahim dari segi hukum

Islam, maka harus dikaji dengan metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para

ahli ijtihad agar hukumnya sesuai dengan prinsip-psrinsip dan jiwa al-Qur’an

yang menjadi pegangan umat Islam. Meskipun pada dasar hukum sewa rahim

tidak dijelas secara menyeruluh di dalam al-qur’an.

Pada sub ini analisi penulis dari pandangan hukum Islam dan hukum

positif terhadap status perwalian anak hasil sewa rahim. Dalam proses

penyewa rahim terdapat manfaat atau maslahat yang besar, namun keburukan

atau mafaatnya yang diakibatkannya jauh lebih besar dari pada manfaatnya

Menempatkan benih suami pada rahim isteri baik dilakukan secara

alami maupun melalui prantara (dengan perangkat medis maka menurut ajaran

Islam adalah halal karena keduanya berada dalam ikatan yang sah.

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Al-Baqharah (2): 223

Artinya: “isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok

tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja

kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan

69

bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-

Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman”. (Q.S . Al-

Baqharah (2): 223)

Akan tetapi apabila dititipkan embrionya pada wanita lain akan

menimbulkan masalah perwalian pada anak. Kepada siapakah anak tersebut

dinasabkan? Apakah ayah pemilik sperma tersebut bisa menjadi wali?

Ayah bisa menjadi wali terhadap anak kandungnya hanya bisa terjadi

dan kemungkinan dibetuk melalui tiga cara yaitu:

1. Melalui perkawinan yang sah

2. Melalui perkawinan yang fasid atau bathil (termasuk dalam nikah

dibawah tangan)

3. Melalui hubungan badan secara syubhat

Diluar cara ini ayah biologis tidak dapat menjadi wali pada anak hasil

sewa rahim. Perwalian hanya kepada ibu yang mengandung dan

melahirkannya saja, karena hukum Islam perbuatan sewa rahim sama dengan

melakukan perbuatan zina yang mana anak hasil zina akan mempunyai

hubungan dengan ibu dan keluanganya.

Dalam hukum Islam, melakukan sewa rahim yang mana sel sperma

suami dan sel ovum isteri ditransplantasikan kedalam rahim wanita lain

sangantlah dilarang dan tidak diperbolehkan, karena akan menimbul

kerancuan pada wali dan nasab pada anak tersebut. Namun jika menempatkan

benih suami pada isteri yang baik dilakukan secara alami ataupu melalui

perantara (dengan perangkat medis) maka menurut ajaran hukum Islam

adalah halal, karena keduanya berada dalam ikatan yang sah.

Sedangkan sewa rahim dalam hukum positif mengacu kepada UU

No.23 Tahun 1993 pasal 16 ayat 1 dan 2 tentang Kesehatan. Sebagaimana

yang telah dijelaskan sebelumya hukum tentang pemindahan embrio kedalam

rahim wanita lain. Selain merujuk kepada undang-undang tersebut penulis

juga merujuk kepada UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana

status anak yang lahir dari ibu pengganti, bahwa anak tersebut merupakan

70

anak sah dari ibu pengganti dan bukan anak dari orang tua yang menitipkan

benih di rahim surrogate mother.

Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa menurut ketentuan hukum Islam

ketentuan hukum dari pelaksanaan inseminasi buatan dengan sel sprema dan

sel ovum yang ditransplantasikan kerahim wanita lain adalah haram, anak

yang lahir dari proses tersebut adalah anak yang tidak sah atau sama dengan

anak zina dan dia hanya dihubungkan dengan keluarga ibu yang telah

melahirkannya yang salah satunya ialah hak perwalian ketika masih kecil dan

belum dewasa. Perwalian ini meliputi terhadap diri dan harta anak. Perwalian

terhadap seorang anak ini sesuai ini sesuai dengan maqasid asy-Syari‟ah

yaitu hifz nasb. Sedangkan dalam hukum posistif anak tersebut merupakan

anak sah dari ibu pengganti, bukan anak dari ibu yang menitipkan benih

kepada ibu pengganti (surragote mother).

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perwalian anak yang lahir hasil sewa rahim dalam hukum Islam sama saja

dengan melakukan zina, dimana hubungan perwalian anak hanya kepada

ibu dan keluarga ibunya, jadi anak yang lahir hasil sewa rahim hanya

mempunyai hubungan dengan ibu yang mengandung melahirkan.

Sedangkan dalam hukum positif perwalian anak hasil sewa rahim

sebagaimana yang telah dijelaskan dalam UU. No.23 Tahun 1993 pasal 16

ayat 1 dan 2

2. Nasab anak hasil sewa rahim dalam hukum Islam tidak bisa dinisbatkan

kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ayah biologisnya. Ia hanya

mempunyai hubungan kepada ibu dan keluarga ibu yang telah

melahirkannya. Dalam hukum positif nasab anak hasil sewa raim mengacu

kepada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Hukum Islam melihat kasus anak hasil sewa rahim sama halnya dengan

zina, karena mendonorkan sperma bukan kepada isteri yang sah dan ini

sangan dilarang dan hukumnya menjadi haram karena melanggar

ketentuan syariat Islam. Sedangan dalam hukum positif, merujuk kepada

UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pasal 27 ayat 1.

B. Saran

1. Peratura perundang-undangan tentang kehamilan diluar cara alamiah harus

disosialisasikan kepada tenaga medis yang berkometen rumah sakit yang

melayani program Pelayanan Reproduksi Buatan, maka yang boleh

(program bayi tabung) dan yang tidak boleh surragote mother karena

apabila sudah berbicara atas nama hukum, maka harus ditaati

peraturannya. Dengan demikian tenaga medis jangan tergiur dengan

pembayaran yang mahal untuk melakukan program surragote mother,

walaupun atas nama ilmu pengetahuan.

72

2. Membuat pereturan perundang-undangan (UU) secara khus tentang

surragote mother yang membuat tentang larangan, sanksi, dan antisipasi.

3. Dilakukan pengkajian tentang kemungkinan praktik surragote mother ini

sebagai suatu alternatif terakhir dalam penanganan beberapa kasus

infertilitas tertentu dimana anak adalah satu-satunya pasangan suami isteri

untuk tidak bercerai, mengingat bisa saja beberapa tahun kedepan akan

terjadi pergeseran nilai norma yang berlaku dimasyarakat, yang

dipositifkan maupun penilaian dari norma agama terhadap adanya

pengecualian tersebut (walaupun sebenarnya norma agama adalah norma

yang paling sulit untuk berubah atau bergeser. Seperti diperbolehkannya

praktek surragote mother pada isteri kedua dengan aturan yang ketet,

seperti kapan suami boleh menggauli isteri keduanya setelah embrio yang

ditanamnya berhasil tumbuh.

77

LAMPIRAN-LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

78

LAMPIRAN 2

FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA TENTANG

BAYI TABUNG/INSEMINASI BUATAN

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

MEMUTUSKAN

Memfatwakan:

a. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah

hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan

kaidah-kaidah agama

b. Bayi tabung dai pasangan suami istri dan titipan rahim istri yang lain

(misalnya dari istri kedua dititipkan kepada istri pertama) hukumnya haram

berdasaikan kaidah sadd az-zari’ah sebab, hal ini menimbulkan masalah

yang rumit dalam kaitannya masalah warisan (khususnya antara anak yang

dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung

kemudian melahirkannya dan sebaliknya.

c. Bayi tabung dari sperma dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia

hukumnya haram berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan

79

menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya penentuan nasab

maupun kaitannya dengan hal kewarisan.

d. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami

istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan

kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah (zina), dan

berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah, yaitu yang menghindari pterjadinya

perbuatan zina sesungguhnya.

Jakarta, 13 Juni 1979

DEWAN PIMPINAN

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua umum

Ttd

Sekretaris

ttd

Ketua Komisi Fatwa

Ttd

80

LAMPIRAN 3

Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit Oleh

Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta Direktorat Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Tahun 2009

1. Pelayanan teknologi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sel

sprema suami-istri yang bersangkutan.

2. Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan

infertilitas sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari

pengelolaan pelayanan infertilitas secara menyeluruh.

3. Embrio dapat dipindahkan sewaktu kedalam rahim istri tidak lebih dari

tiga, boleh dipindahkan empat embri pada keadaan:

a. Rumah sakit memiliki tiga tingkat perawatan intensif bagi bayi yang

baru lahir.

b. Pasangan suami-istri sebelumya sudah mengalami sekurang-kurangnya

dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal, atau

c. Istri berumur lebih dari 35 tahun.

4. Dilarang melakukan surrogasi dalam bentuk apapun.

5. Dilaang melakukan jual beli embrio, ovum, dan spermatozoa.

81

LAMPIRAN 4

82

LAMPIRAN 5