34
101 BAB IV ANALISA ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA A. Sidang BPUPKI-PPKI Sebagai Landasan Tindakan Komunikatif Tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI-PPKI secara sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah sudah menjadi ketentuan ada proses memberi dan menerima sebelum keputusan bersama atau mufakat itu dapat dicapai. Dalam persidangan BPUPKI-PPKI, seperti yang telah dijelaskan pada bab tiga, mengalami begitu banyak perdebatan serius tentang nasib negara baru yang akan dibentuk. Salah satunya adalah perdebatan mengenai dasar negara. Perdebatan ini mempunyai perjalanan hingga mencapai suatu kesepakatan antar para pendiri negara untuk bersama menggunakan Pancasila dan segala isi peraturannya menjadi landasan bersama untuk hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada persidangan BPUPKI telah muncul perdebatan sengit yang menjadi fokus perhatian sampai kepada Proklamasi Kemerdekaan. Pembicaraan awal sidang BPUPKI ialah mengenai dasar negara yang akan digunakan. Arah model negara ingin dibawa menjadi negara agama (Islam) dan di sisi lain ingin dibawa menjadi negara nasional (kesatuan). Melalui pidato-pidato mereka pada awal persidangan dapat dilihat bahwa dasar negara menjadi titik tolak model negara apa yang akan dipilih.

Studi tentang Alasan Penerimaan Para Pendiri Negara terhadap Pancasila … · 2014. 3. 27. · 101 BAB IV ANALISA ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 101

    BAB IV

    ANALISA ALASAN PARA PENDIRI NEGARA MENERIMA PANCASILA

    SEBAGAI DASAR NEGARA

    A. Sidang BPUPKI-PPKI Sebagai Landasan Tindakan Komunikatif

    Tidak tepat untuk membaca pendapat para anggota BPUPKI-PPKI secara

    sepotong-sepotong. Dalam bermusyawarah sudah menjadi ketentuan ada proses

    memberi dan menerima sebelum keputusan bersama atau mufakat itu dapat dicapai.

    Dalam persidangan BPUPKI-PPKI, seperti yang telah dijelaskan pada bab tiga,

    mengalami begitu banyak perdebatan serius tentang nasib negara baru yang akan

    dibentuk. Salah satunya adalah perdebatan mengenai dasar negara. Perdebatan ini

    mempunyai perjalanan hingga mencapai suatu kesepakatan antar para pendiri negara

    untuk bersama menggunakan Pancasila dan segala isi peraturannya menjadi landasan

    bersama untuk hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Pada persidangan BPUPKI telah muncul perdebatan sengit yang menjadi fokus

    perhatian sampai kepada Proklamasi Kemerdekaan. Pembicaraan awal sidang BPUPKI

    ialah mengenai dasar negara yang akan digunakan. Arah model negara ingin dibawa

    menjadi negara agama (Islam) dan di sisi lain ingin dibawa menjadi negara nasional

    (kesatuan). Melalui pidato-pidato mereka pada awal persidangan dapat dilihat bahwa

    dasar negara menjadi titik tolak model negara apa yang akan dipilih.

  • 102

    Melalui data-data yang penulis dapatkan, terutama dalam Risalah Sidang

    BPUPKI-PPKI, pidato Soekarno seakan-akan telah menjadi persetujuan sebahagian

    besar peserta sidang melalui tepuk tangan riuh dari para sidang rapat tersebut. Dalam

    penjelasan pidato Soekarno juga terlihat jelas bahwa ia tidak mengusung model negara

    agama, melainkan negara kesatuan yang mengusung nilai Ke-Tuhanan.

    Pidato Soekarno ini mendapat perhatian khusus dari Ketua Radjiman dan

    membentuk Panitia Kecil dengan beberapa anggotanya guna merumuskan kembali

    Pancasila yang diucapkan Soekarno itu. Melalui Panitia Kecil ini dugaan penulis

    terdapat perdebatan antara peserta yang masih bertekad untuk membentuk negara Islam

    dan di pihak lain ada yang masih berupaya menatap Indonesia ini menjadi negara

    kesatuan. Hal ini tersirat dari dibentuknya panitia kecil lagi dengan sebutan “panitia

    sembilan” untuk menghasilkan suatu rumusan kolektif dari kedua golongan (Islam dan

    Kebangsaan). Rumusan kolektif ini kelihatan nyata bahwa ada upaya mengangkat

    ideologi Islam di dalamnya, a.l. sebagai berikut:

    1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-

    pemeluknya;

    2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;

    3. Persatuan Indonesia;

    4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

    permusyawaratan perwakilan;

    5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Penulis mengatakan demikian karena ada beberapa hal alasannya, a.l. keberatan

    Golongan Islam dengan peletakan prinsip Ke-Tuhanan pada sila terakhir. Mereka

    memandang prinsip Ke-Tuhanan ini sebagai skala prioritas, serta penambahan kalimat

    “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan

  • 103

    dasar negara telah terbentuk untuk sementara di dalam kesepakatan Panitia Sembilan

    yang dinamakan Piagam Jakarta sebagai hasil kompromis antara golongan Islam dan

    golongan Kebangsaan.

    Kesepakatan ini pada awalnya merupakan termasuk dalam teori tindakan

    teleologis. Hal ini disebabkan melalui tindakan strategis yang turut memperhitungkan

    sarana dan langkah-langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama

    (tentunya dengan persetujuan aktor/anggota sidang lainnya). Penulis mengatakan

    melalui tindakan strategis karena dalam perbincangan sebelum-setelah panitia sembilan

    ini ada pembicaraan mengenai jumlah mayoritas penduduk yang memeluk agama Islam

    mencapai 90-95%. Ada kecenderungan bahwa suasana pengambilan keputusan (pada

    panitia sembilan) bukan dalam pemahaman general will, melainkan the will of all.

    Sedikit-banyaknya pokok diskusi rapat panitia sembilan seputar mengenai

    pertimbangan suara rakyat yang lebih banyak menganut agama Islam.

    Rumusan ini dilemparkan kepada forum ketika dimulai rapat sidang BPUPKI

    kembali. Pembicaraan pada sidang tersebut mencakup beberapa hal, yakni (1) panitia

    perancang hukum dasar, (2) panitia perancang keuangan, (3) panitia perancang

    pembelaan tanah air. Pada tiga pembahasan ini ada tiga pokok perdebatan yang timbul,

    yaitu: (1) Di dalam Republik apakah menjadi unitarisme atau federalisme?; (2)

    Keberatan dengan “tujuh kata” anak kalimat; (3) Perhatian pada isu Hak Asasi Manusia

    (HAM).

    Pada keberatan pertama dan ketiga kesepakatan yang dicapai tidak terlalu

    mengalami kesukaran persetujuan karena pengalaman sosial dan dalam bidang politik

    pemerintahan mempunyai banyak persamaan terlebih lagi sama-sama berangkat dari

  • 104

    perjuangan melawan penjajah. Pada kenyataan taraf ini – unitarisme dan isu HAM –

    para pendiri negara telah mencapai kesepakatan model tindakan komunikatif, karena

    perjuangan mereka terhadap rasa nasionalis dan kemanusiaan mengindikasikan bahwa

    setiap interpretasi mereka terhadap keadaan yang terjajah dan sama-sama merindukan

    kemerdekaan yang bersatu dan bebas dari ketertindasan (menjunjung tinggi nilai-nilai

    kemanusiaan) ialah interpretasi definisi-situasi yang sama.

    Namun, lain halnya dengan ideologi agama yang tidak dapat disatukan dengan

    ideologi atau konsep lainnya. Penulis mencatat ada beberapa percakapan mengenai

    perdebatan-perdebatan tersebut. Pertama, keberatan ini diajukan oleh Latuharhary (11

    Juli) tentang “tujuh kata” anak kalimat. Baginya hal ini merupakan benih-benih atau

    kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa macam-macam, dan menimbulkan

    perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan. Kemudian

    ditambah lagi dengan terjadinya benturan pada adat-istiadat karena agama Islam dalam

    menjalankan Syariat Islam harus murni tanpa ada unsur adat-istiadat.

    Perdebatan ini memicu beberapa anggota angkat bicara, seperti: Agus Salim

    (menyangkal ketakutan Latuharhary dengan mengatakan bahwa ketakutan itu berlaku

    pada orang Islam yang umur agamanya masih muda. Orang Minangkabau yang sudah

    menganut Islam sejak lama tidak lagi kesulitan tentang hal tersebut); Wongsonagoro

    (tujuh kata jangan diubah, tetapi ditambahkan “bagi pemeluk-pemeluk agama lain

    dengan jalan lain menurut agamanya masing-masing); Djajadiningrat (tujuh kata itu

    bisa menimbulkan fanatisme, seperti memaksa sembahyang, shalat, dan lain-lain); dan

    Wachid Hasjim (memberi solusi pada Djajadinigrat kalau hal itu terjadi, akan ada

    wadah perwakilan rakyat untuk menyelesaikan paksaan-paksaan itu dan menyarankan

    untuk tidak lagi memperpanjang perdebatan tersebut). Perdebatan ditutup oleh

  • 105

    Soekarno dengan mengatakan bahwa rumusan itu adalah hasil kompromis antara dua

    golongan dan menegaskan kembali bahwa kompromi itu telah diterima oleh Panitia.

    Upaya-upaya dari beberapa tokoh ini merupakan tindakan ilokusi. Hal ini dapat

    dilihat pada upaya penjelasan yang diberikan oleh Salim, Wongsonagoro, dan W.

    Hasjim agar pendengar dapat memahami dan menerimanya (tentu dengan maksud agar

    dapat menjadi aturan yang normatif). Dalam pengertian bahwa segala tindakan yang

    akan dilakukan di masyarakat Indonesia mengacu pada kesepakatan-kesepakatan

    tersebut.

    Hal yang ingin dicapai bukan berdasarkan pada pendapat dan alasan pribadi,

    melainkan untuk mempertahankan kesepakatan Piagam Jakarta itu sendiri. Keteguhan

    Wachid Hasjim terhadap ajaran dan ideologi Islam terlihat kembali ketika ia

    mengusulkan perubahan pada pasal 4 dan pasal 29. Hasjim menjelaskan bahwasannya

    hal itu erat berhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang

    berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya

    boleh diserahkan buat ideologi agama.

    Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan perlokusioner pembicara melalui

    tindakannya akan mengarahkan pendengar untuk mencapai pemahaman, artinya tujuan

    ini hanya bisa dipahami lewat maksud dari pembicara. Djajadinigrat mampu

    menyimpulkan tujuan perlokusioner dari konteks atau keadaan pada saat itu.

    Perdebatan ini untuk kesekian kalinya diangkat lagi dalam persidangan

    berikutnya, 14 Juli 1945. Dalam percakapan itu ada keberatan yang diajukan oleh

    Hadikoesoemo dan itu ditangkis oleh Soekarno. Pada kalimat Soekarno nampak sekali

    terdapat masalah koordinasi tindakan. Rumusan Rancangan UUD masih belum dapat

  • 106

    diterima oleh peserta. Soekarno berusaha mencapai pemahaman dalam bahasa yang

    direpresentasikan pada model subjek secara teleologis, yang saling mempengaruhi yaitu

    tindakan rasional-bertujuan. Artinya ada tindakan-tindakan individu yang

    diorientasikan pada harapan untuk mancapai pemahaman demi suatu makna yang

    dimaksud.

    Hadikoesoemo bersikeras dengan pendapatnya yang nasionalistik terhadap

    kalimat tersebut sampai empat kali. Dalam pandangan Habermas ini bukan merupakan

    komunikasi karena ketidaksetujuannya terhadap rumusan itu. Ia dengan jelas

    mengutarakan “ketidakenakan” terhadap warga yang bukan umat Islam karena ada

    pengkhususan di salah satu golongan yang mengakibatkan akan ada dua peraturan yakni

    satu untuk umat Islam dan satu untuk yang bukan Islam di dalam satu negara. Hal ini

    bisa diartikan bahwa kesepakatan dalam rumusan itu merupakan sikap orientasi kepada

    keberhasilan.

    Secara mekanismenya rumusan tersebut mencapai suatu pemahaman tapi ketika

    banyak perdebatan mengenai ini terlihat ada penghubungan rencana tindakan terstruktur

    dengan kombinasi tindakan individu yang terlebih dahulu ke dalam kompleks interaksi.

    Penulis mengamati melalui beberapa pendapat yang memberikan sesuatu untuk

    dipahami kepada subjek lainnya dan secara tidak langsung menyuruhnya membentuk

    opini tertentu atau menjalankan kehendak tertentu.

    Lagi-lagi perdebatan ini muncul kembali. Kali ini usul diutarakan oleh Abd.

    Pratalykrama yang mencoba mengusulkan perubahan supaya presiden minimal usia 40

    tahun dan beragama Islam. Usul ini ditambahkan oleh Masjkoer supaya kalo tidak dapat

    diubah tentang presiden, pasal 28 menjadi “Agama resmi bagi Republik Indonesia ialah

  • 107

    agama Islam”. Upaya-upaya seperti ini dapat dijadikan alasan bahwa beberapa orang

    bersikeras mengiginkan menjadi negara Islam. Usul-usul ini membuat Soekarno

    mengambil keputusan pada keesokan harinya.

    Melalui keputusan ini, penulis melihat bagaimana cara Soekarno

    mengompromiskan kedua golongan ini agar memperoleh suatu pencapaian pemahaman

    yang komunikatif. Pertimbangan banyaknya penduduk lebih diutamakan. Menurut

    Soekarno, ini merupakan jalan tengah. Jalan tengahnya ada pada permohonan khusus

    kepada kaum kebangsaan, terutama kepada yang beragama non-Islam, yang merelakan

    dan berkorban untuk pasal tertentu ada dikaitkan Islam, namun, pada pasal lainnya, 29

    ayat ke-2 menggambarkan tindakan bijak dari Soekarno agar pihak Islam tidak terlalu

    memiliki kekuasaan besar yang menindas agama lainnya, melainkan bisa hidup

    berdampingan.

    Pada kalimat kompromis Soekarno ini, dapat dikategorikan sebagai suatu

    tindakan untuk mencapai klaim validitas. Kesepakatan harus diterima atau diyakini

    validitasnya oleh para partisipan. Kesepakatan terletak pada keyakinan bersama.

    Keyakinan yang dimaksud adalah jika orang lain menerima tawaran yang ada dalam

    pembicaraan dengan “ya“ atau “tidak” terhadap klaim validitas dan mendasarkan

    keputusannya masing-masing pada alasan-alasan potensial. Hal ini dapat dilihat pada

    model percakapan, di mana akan dianalisa maksud kedua subjek untuk sampai kepada

    pemahaman satu sama lain. Habermas menyatakan bahwa pada dasarnya percakapan

    dan pemahaman tidak terkait satu sama lain seperti antara sarana dan tujuan.

    Keterkaitan itu baru dapat dilihat dan dijelaskan jika menspesifikasikan tujuan dari

    penggunaan kalimat yang menjadi maksud komunikatif.

  • 108

    Keterkaitan sarana dan tujuan Soekarno mengatakan hal itu ada pada kalimat:

    a. “Kepada kaum yang dinamakan kaum kebangsaan Indonesia, saya minta dengan

    tegas, supaya suka menjalankan sesuatu pengorbanan, menjalankan suatu offer kepada

    keyakinan itu,”

    b. “Terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis

    yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya

    sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan bangsa kita,

    pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya

    Indonesia Merdeka bisa lekas damai.”

    Ini merupakan kalimat komunikatif, keputusan yang ia ambil lebih condong

    kepada golongan kaum Islam karena pertimbangan banyaknya jumlah penduduk dan

    butuh pengorbanan dari pihak lainnya. Respons peserta terhadap kalimat kompromis

    Soekarno ini lebih condong kepada menyepakatinya dengan sikap tidak dipertentangkan

    lagi. Kemungkinan besar maksud komunikatif-nya ada pada kalimat “pengorbanan

    untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka

    bisa lekas damai”, walaupun ada tiga orang bangsa Tiong Hoa tidak mufakat.

    Perdebatan ini berakhir pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 setelah

    Proklamasi Kemerdekaan. Keberatan terakhir pada sidang tersebut datang dari

    masyarakat Indonesia Timur yang meminta anak kalimat “dengan kewajiban

    menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik

    Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Keberadaan kalimat-

    kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai rakyat yang

  • 109

    beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan adanya golongan

    minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

    Kesepakatan yang dianggap sah dan disepakati pada 16 Juli menuai protes pada

    keberatan yang sama. Keberatan ini masuk dalam kegagalan klaim validitas normatif,

    klaim validitas kebenaran, dan klaim validitas kejujuran. Pada tataran klaim validitas

    normatif, masyarakat Indonesia Timur meragukan validitas norma-normanya bahwa

    kesepakatan tersebut tidak mencakup dunia sosial keseluruhan bangsa Indonesia. Pada

    tataran klaim validitas kebenaran, masyarakat Indonesia Timur mengungkapkan

    ketidaksukaannya terhadap suatu kondisi yang ingin diciptakan dari kesepakatan

    tersebut. Hal ini dapat dilihat pada respons mereka yang mengatakan bahwa

    keberadaan kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya

    mengenai rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang

    mengakibatkan adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar

    Republik Indonesia.

    Sedangkan pada tataran klaim validitas kejujuran, kesepakatan tersebut tidak

    menunjukkan adanya kompromitas yang komunikatif di antara kedua golongan. Ciri

    khas dari klaim kejujuran ini ialah bagaimana kesepakatan tersebut merupakan

    perjumpaan dan pertunjukkan. Kesepakatan tersebut bersifat konstitutif bagi interaksi

    sosial secara umum selama dalam kesepakatan itu terdapat aspek pribadi-pribadi yang

    berjumpa satu sama lain. Pada kenyataannya, kesepakatan hasil kompromis itu tidak

    menjadi wadah Konstitusi yang komunikatif karena bagaimana mungkin bisa berjumpa

    satu sama lain jikalau sudah didiskriminasi melalui Konstitusi.

  • 110

    Terjadi percakapan di mana Hatta bersama Ki Bagoes Hadikoesoemo, Teuku

    Muhammad Hassan, dan Kasman Singodimedjo menjelang pembukaan rapat pertama

    PPKI. Percakapan itu mencapai kesepakatan pada sidang rapat bahwa sungguh

    menggambarkan kuatnya keinginan para pendiri negara untuk menjaga keutuhan bangsa

    sehingga mengganti anak kalimat yang dipermasalahkan itu menjadi “Ke-Tuhanan

    Yang Maha Esa”. Ucapan Kasman pada rapat kecil yang mereka buat mengatakan

    bahwa upaya terakhir dilakukan olehnya dengan mengajukan argumen, bahwa dalam

    situasi krisis, di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan

    kemerdekaan Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan

    golongan Islam harus bisa mengalah.

    Proses sidang ini penulis jadikan sebagai landasan model tindakan komunikatif

    karena media linguistik begitu terlihat jelas di dalamnya. Tercapainya pemahaman

    dalam bahasa dipandang sebagai mekanisme yang mengoordinasikan tindakan.

    Pengoordinasian tindakan di sini meliputi seluruh proses persidangan sehingga sering

    didapat ketika di satu pihak ada Rancangan UUD yang berbicara A, maka dalam pasal

    lainnya yang berhubungan dengan itu akan mengacu kepada A tersebut. Lalu

    bagaimana proses penerimaan para pendiri negara terhadap Pancasila sebagai dasar

    negara bisa menjadi beberapa tahap (ada dalam bagian “B” bab ini) dan apakah

    konsensus pada tahap terakhir merupakan model tindakan komunikatif atau bukan

    dengan meninjau kepentingan politik dan ideologi di dalamnya? Penjabaran analitis ada

    di bagian berikut.

  • 111

    B. Analisa Terhadap Alasan Para Pendiri Negara dalam Menerima Pancasila

    Telah penulis kemukakan pada bab III mengenai Pancasila dalam dokumen-

    dokumen sejarah. Pancasila secara kronologis mengalami perjalanan panjang untuk

    menjadi yang sesuai dengan kepribadian dan rasa kebangsaan rakyat Indonesia.

    Perjalanan itu menjadikannya mengalami tiga tahap dari awal lahirnya sampai rapat

    sidang PPKI, yaitu: (1) dalam pidato 1 Juni 1945; (2) dalam alinea IV naskah politik

    bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang kemudian dijadikan naskah Rancangan

    Pembukaan UUD 1945; (3) dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.

    Pertama, dalam pidato 1 Juni 1945 Soekarno mencetuskan ide tentang Pancasila

    sebagai landasan atau dasar negara. Ide Soekarno tentang Pancasila ini tidak dapat

    dihindari dari pengalaman sosio-historis kehidupannya dan paham-paham yang

    mempengaruhi pola pikirnya. Pola pikir Soekarno sedikit-banyak terpengaruh oleh

    Mitologi Jawa yang memuat kepercayaan tentang Ratu Adil, yang berkenaan dengan

    frustasi, harapan, dan kedatangan juru selamat. Situasi penjajahan pada masa itu yang

    sangat membuat rakyat menderita dan membentuk pengharapan kepada datangnya

    keadilan dan kebebasan.

    Selain itu, Soekarno menawarkan Pancasilanya dengan berdalih pada

    pemahamannya mengenai Islamisme, Nasionalisme, dan Marxisme. Ketiga paham ini

    merupakan nyawa pergerakan rakyat. Di satu sisi rakyat sama-sama menyadari

    penjajahan yang terjadi di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu keinsafan rakyat

    bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Pada lain sisi Soekarno memahami

    agama yang ia anut ialah agama yang mendukung pergerakan-pergerakan rakyat yang

    nasionalistis, yang secara nasionalis dan sosialis selalu anti-kolonialisme. Sedangkan di

  • 112

    pihak lainnya Soekarno menemukan paham sosialis yang menentang penjajahan,

    borjuasi, dan kapitalisme yang ada dalam diri si penjajah.

    Soekarno sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal

    yang pokok sebagai cita-cita persatuan nasionalnya. Satu-satunya kelebihan yang

    dimiliki Indonesia ketika berhadapan dengan penjajah adalah kelebihannya dalam

    jumlah penduduk, pemanfaatan ini bergantung pada persatuan nasional. Melalui

    paparan ini, tindakan Soekarno mengusung Pancasila penulis yakini adanya relasi antara

    aktor dengan keadaan yang sedang terjadi pada saat itu.

    Pancasila pada 1 Juni ini merupakan klaim validitas kebenaran dan klaim

    kejujuran. Klaim validitas kebenaran ini dimotori oleh tindakan teleologis oleh

    Soekarno yang bertindak strategis dengan membekali dirinya melalui kemampuan

    kognitif untuk membentuk keyakinan tentang segala keadaan yang melalui persepsinya

    sendiri dan mengembangkan maksud-maksudnya dengan tujuan mewujudkan hal-hal

    yang diinginkannya dalam sistem pengambilan keputusan. Klaim validitas kejujuran

    dapat dilihat ketika Soekarno menjelaskan kelima sila ini berdasarkan pergumulan

    rakyat Indonesia. Klaim validitas kejujuran ditekankan melalui dua sisi, yaitu

    perjumpaan dan pertunjukkan. Pada aspek perjumpaan, Soekarno di sini sebagai aktor

    yang menampilkan diri di hadapan sidang dengan menampilkan penilaian

    subjektivitasnya. Hal ini mengakibatkan pembentukan ekspresi pengalaman sendiri

    melalui ketiga –isme yang diusung Soekarno. Ide ini akan menjadi konstitutif bagi

    interaksi sosial karena Pancasila yang dicetuskan Soekarno ini memberikan ruang bagi

    tiap orang Indonesia untuk berjumpa satu sama lain. Pada aspek pertunjukkan atau

    penampilan diri, Soekarno sebagai aktor mengekspresikan pengalaman yang

  • 113

    dimilikinya sehingga nyata jelas bahwa Pancasila yang dicetuskan Soekarno merupakan

    asli pemikiran Soekarno.

    Pancasila pada 1 Juni belum sampai mencapai kemufakatan yang menjadi klaim

    validitas normatif karena pada sidang pertama BPUPKI, yang diakhiri dari pidato

    Soekarno ini, tidak ada perumusan dasar negara apa yang hendak digunakan. Akan

    tetapi, panitia kecil yang dipilih oleh Ketua Radjiman menuntaskan perumusan ini dan

    diberitakan ke forum pada sidang selanjutnya. Menurut pengakuan beberapa tokoh

    yang mengatakan bahwa panitia kecil tersebut dibentuk untuk mengolah Pancasila

    Soekarno menjadi rumusan dasar negara, dapat diartikan sebagai adanya klaim validitas

    normatif “sementara”. Tidak ada catatan dari para pendiri bangsa yang berkeberatan

    untuk merumuskan Pancasila yang diusung oleh Soekarno pada tugas panitia kecil itu.

    Soekarno, dalam tinjauan Habermas telah melakukan klaim validitas kejujuran dan

    klaim validitas kebenaran.

    Kedua, dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945, yang

    kemudian dijadikan naskah Rancangan Pembukaan UUD 1945. Naskah politik ini lebih

    dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Menurut data yang penulis peroleh bahwa

    dalam rapat Panitia Sembilan ini ada beberapa masukan bagi Pancasila Soekarno,

    seperti: perpindahan urutan sila-sila Pancasila yang terutama pada prinsip Ke-Tuhanan

    dan penambahan anak kalimat pada prinsip Ke-Tuhanan. Bunyinya menjadi yang

    tertera sebagai berikut:

    1. Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-

    pemeluknya;

    2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;

    3. Persatuan Indonesia;

  • 114

    4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

    permusyawaratan perwakilan;

    5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

    Hasil kompromi pada Piagam Jakarta ini merupakan kesatuan gagasan terhadap

    perbedaan pendapat antara golongan Islam dan Kebangsaan. Kata kompromi ini

    pertama kali dilontarkan pertama kali oleh Ketua Panitia, Soekarno ketika menghadapi

    pertanyaan Latuharhary yang juga sempat ditanggapi oleh peserta sidang lain

    sebelumnya.

    Kompromis merupakan proses persilangan pendapat yang telah mendapat suatu

    persetujuan, jalan damai. Sinyal-sinyal adanya kompromi ini sudah ada pada

    perumusan Pancasila pertama pada pidato Soekarno. Sebelum pidato Soekarno, sudah

    ada lebih dulu beberapa tokoh yang mengusulkan dasar negara dengan rangkaiannya

    mendasarkan pada ideologi/ajaran Islam dan negara kesatuan. Soekarno jeli melihat

    permasalahan ideologis ini sehingga ia memasukkan ide/gagasan kompromis pada

    prinsip ketiga, di mana ia mengatakan: “dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal

    juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di

    dalam Badan Perwakilan Rakyat.”

    Pada kajian berikutnya, penulis beranggapan bahwa ide/gagasan kompromis

    Soekarno pada prinsip ketiga ini tidak serta-merta memuaskan pihak Islam, sehingga

    pada Piagam Jakarta ditambah beberapa kalimat lagi yang menunjukkan ide Islam.

    Artinya, di dalamnya ada persetujuan (aras kompromis) yang dimufakati dengan

    pertimbangannya, yaitu isu mayoritas penduduk.

    Pada taraf Piagam Jakarta ini, Pancasila bukan merupakan tindakan komunikatif.

    Dapat dikatakan hampir karena harus diakui adanya perundingan di dalam panitia

  • 115

    sembilan yang mencari kompromi berbagai pihak dengan cara menoleransi berbagai

    alasan/keyakinan etis-politis. Dalam hal ini keseimbangan ditemui karena adanya

    kompromi tersebut. Akan tetapi, ide mayoritas di dalamnya tidak menjadikan Piagam

    Jakarta ini model tindakan yang bebas tekanan, sama rata sama rasa. Artinya, ada yang

    ditonjolkan salah satu pihak dalam institusional, yaitu pihak Islam. Jadi Piagam Jakarta

    ini merupakan tindakan model teleologis karena orientasinya pada tujuan keputusan

    dengan memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat, dalam hal ini ialah ide

    mayoritas penduduk (klaim kebenaran).

    Pancasila dalam alinea IV naskah politik bersejarah tanggal 22 Juni 1945 ini

    diberitakan ke forum agar mendapat berbagai tanggapan dan lekas diterima untuk

    menjadi Pembukaan UUD. Perdebatan yang paling menonjol dalam sidang BPUPKI

    ialah mengenai negara dan agama, a.l. sebagai berikut:

    a. Soekarno. Menurut teori Habermas, Soekarno melakukan tindakan rasionalitas-

    bertujuan, artinya alasannya menerima Piagam Jakarta ini sebagai alasan

    ideologinya yang nasionalis, yang menjadi tujuan dasarnya.

    b. Agoes Salim. Menurut teori Habermas, Salim melakukan tindakan rasionalitas-

    bertujuan dengan ide nasionalisnya dan ia meyakini bahwa Piagam Jakarta ini

    menghasilkan model tindakan yang diatur secara normatif. Piagam Jakarta

    diharapkan oleh Salim sebagai wadah untuk pemenuhan perilaku terhadap

    norma yang disepakati. Tidak mendeskriminasikan golongan lain, dengan

    kalimatnya: “Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?”

    c. Wachid Hasjim. Menurut teori Habermas, Hasjim melakukan tindakan

    teleologis yang memanfaatkan sarana dan penerapan cara yang tepat. Sarana

  • 116

    tersebut adalah Piagam Jakarta sebagai rancangan konstitusi, dan penerapannya

    melalui pemasukan ideologi Islam di dalamnya.

    d. Hoessein Djajadiningrat. Menurut teori Habermas, Djajadiningrat melakukan

    koordinasi tindakan, untuk sebelum terjadinya tindakan komunikatif. Setiap

    pertanyaannya melalui tujuan spesifik menurut situasi dan keadaan, sesuai

    dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang mungkin muncul.

    Pencapaian tujuan yang ia maksudkan mengidentifikasikan sebuah objek itu

    harus tergantung kepada situasi karena tidak bisa lepas dari konteks. Selain itu,

    makna perilaku melalui peran fungsional yang dimainkan dalam sistem pola

    perilaku dapat memahami simbol yang sama dengan makna yang sama dalam

    konteksnya. Artinya dengan penduduk mayoritas Islam, bagi Djajadiningrat

    kemungkinan besar akan mewujudkan Pasal 4 ayat 2 tanpa mencantumkannya di

    dalam batang tubuh UUD.

    e. Ki Bagoes Hadikoesoemo. Menurut teori Habermas, Hadikoesoemo telah

    melakukan tanda-tanda/sinyal-sinyal model tindakan yang diatur secara

    normatif. Segala yang diputuskan dalam sidang akan menjadi kesepakatan yang

    siap dijalankan pada konteks sosial Indonesia. Ia melihat adanya pertanda

    perpecahan ketika dasar negara yang dipilih tidak berada pada posisi yang jelas

    sehingga menimbulkan kerancuan dalam koordinasi tindakan tiap individu.

    f. Abikoesno. Menurut teori Habermas, Abikoesno mengambil tindakan teleologis

    dalam melihat perumusan Piagam Jakarta. Kompromi final dari rapat panitia

    sembilan dirasa telah termasuk dalam proses perhitungan sarana dan langkah-

    langkah yang tepat diambil untuk mencapai tujuan bersama.

  • 117

    g. Soepomo. Menurut teori Habermas, orientasi Soepomo kepada persatuan

    nasional ini menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis yang

    mengarah kepada model tindakan komunikatif. Bagi Soepomo panitia sembilan

    merupakan arena diskursus untuk mencapai konsensus. Arena di mana setiap

    orang memandang diri mereka sendiri sebagai mahluk rasional yang mampu

    berargumentasi atas pernyataan mereka. Setelah keputusan Piagam Jakarta

    dibuat maka itu adalah hasil keputusan kolektif pada saat itu.

    h. Yamin. Menurut teori Habermas, orientasi Yamin kepada persatuan nasional ini

    menandakan bahwa ia sedang melakukan tindakan teleologis. Bagi Yamin

    panitia sembilan merupakan ajang kompromi untuk mencapai konsensus.

    i. Mohammad Hatta. Menurut teori Habermas, ideologi kebangsaan Hatta berada

    pada posisi pengajuan klaim-klaim yang mengarah kepada model tindakan

    komunikatif. Hatta pernah angkat bicara ketika ada diskusi yang berkaitan

    dengan agama dalam sidang BPUPKI, yang menyatakan ketegasannya bahwa ia

    tidak sepakat dibentuk negara Islam.

    j. Abdul Fatah Hasan. Menurut teori Habermas, tindakan A.F. Hasan dapat

    dikategorikan sebagai tindakan teleologis. A.F. Hasan menggunakan model

    tindakan strategis yang memperhitungkan sarana.

    k. Pratalykrama. Tokoh ini juga memiliki gaya pemikiran yang sama dengan A.F.

    Hasan. Pratalykrama dalam kategori teori Habermas termasuk melakukan

    tindakan strategis, di mana ia bertindak berdasar aspek aturan-aturan pilihan

    rasional dalam mempengaruhi keputusan lawan yang rasional.

    l. Masjkoer. Menurut teori Habermas, hal ini merupakan koordinasi tindakan.

    Tindakan sosial dapat dirujuk melalui mekanisme koordinasi tindakan individu

  • 118

    dengan apa relasi sosialnya didasarkan kepada kepentingan semata atau

    didasarkan pada kesepakatan normatif.

    m. Moezakir. Moezakir berpikir tentang kepentingan ideologi persatuan-kesatuan

    dan politik agar tidak terjadi kerancuan dalam menjalani pemerintahan dan

    bertangung jawab kepada rakyat. Menurut teori Habermas, Moezakir ini

    mengambil model tindakan koordinasi.

    n. Ahmad Sanoesi. Menurut teori Habermas, Sanoesi mengambil tindakan model

    proses tindakan komunikatif (koordinasi tindakan). Sanoesi melakukan

    interpretif keadaan pada sidang rapat dan menginterpretasikannya menjadi

    mekanisme pengoordinasian tindakan agar bagaimana negara Indonesia ke

    depannya sehingga permintaannya agar proses pengambilan keputusan pada saat

    itu tidak tergesa-gesa, membuatnya menjadi salah satu pendiri negara yang

    mempunyai pemikiran model tindakan komunikatif, Sanoesi penulis hargai

    sebagai pendiri negara yang menekankan pentingnya mufakat (bukan dengan

    vote).

    Pancasila pada Piagam Jakarta ini telah disepakati sebagai hasil kompromis

    antara kedua pihak antara golongan Islam dan kebangsaan. Jikalau dilihat dengan

    seksama, ternyata perselisihan paham antara kedua golongan ini tidak hanya terjadi di

    dalam tubuh panitia sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta. Perselisihan paham

    itu pun juga ada dalam tubuh peserta sidang BPUPKI.

    Namun, kedua golongan ini sama-sama memiliki rasa superioritas bagi

    terbentuknya suatu negara yang akan keluar dari cengkeraman penjajahan. Rasa

    superioritas ini yang terkadang dapat disalahartikan oeh beberapa pendiri bangsa ketika

    mengambil bentuk dasar negara apa yang akan digunakan. Tidak dapat dipungkiri

  • 119

    bahwa pola dasar pemikiran mereka untuk bangsa yang sebesar Indonesia dengan

    jumlah terbanyak penduduknya, dan salah satu golongan terpaut besar kuantitasnya

    hingga 90-95%, ialah mengambil bentuk negara berdasar atas satu agama atau

    golongan.

    Pada awal perumusan Piagam Jakarta, Soekarno memilih sembilan orang yang

    sudah sekaligus menjadi wakil dari dua pihak golongan. Harapan Soekarno dalam

    perumusan ini ialah benar-benar menjadi kompromis di antara kedua pihak tersebut.

    Namun, begitu disajikan di forum persidangan BPUPKI hal ini tidak dapat berjalan

    sesuai dengan apa yang telah dirembukkan dalam panitia sembilan. Momen ini dapat

    dikategorikan sebagai masih adanya pola diri yang masih membekali dirinya sendiri

    dengan maksud-maksud tertentu merujuk kapada tercapainya pemahaman. Ketika

    dipetakan menurut jenis-jenis tindakannya, tindakan teleologis-lah yang paling banyak

    terlontar di percakapan sidang yang secara timbal balik saling memengaruhi dan

    akhirnya membentuk kesepakatan sidang pada 16 Juli 1945. Kesepakatan yang

    demikian tidaklah gagal. Kesepakatan demikian sangat memerlukan tenaga ekstra

    dalam pelaksanaannya. Kesadaran tentang komplementaris sungguh dibutuhkan demi

    menjaga validitas normatif yang telah terbentuk. Namun, kesadaran komplementaris ini

    menimbulkan kompetitif rasional dalam bersosialisasi yang membuat posisi mereka

    tidak menentu, seperti ada yang merasa di atas sebagai warga kelas satu, sedangkan

    yang lain merasa menjadi substitusi sebagai warga kelas dua.

    Pada akhir kesepakatan Piagam Jakarta ini pergolakan di tubuh peserta sidang

    BPUPKI ini semakin terasa dan semua itu berputar pada: (1) hal-hal teknis yang akan

    dilakukan dan terjadi di masyarakat ketika Piagam Jakarta itu digunakan sebagai dasar

    konstitusi negara ketika ada permakluman bagi salah satu golongan yang mendapat hak

  • 120

    istimewa masuk dalam UUD; dan (2) Piagam Jakarta ini menjadi diskriminatif dalam

    memperlakukan rakyat Indonesia.

    Piagam Jakarta ini dapat ditinjau berdasar teori tindakan komunikatif. Sebelum

    terjadinya tindakan komunikatif, setiap orang membekali dirinya sendiri dengan pola

    tindakan sendiri-sendiri. Pada titik peralihan pertama relasi yang diciptakan bukan

    relasi kepada antar pribadi, melainkan relasi yang merujuk kepada tercapainya

    pemahaman di dalam bahasa. Artinya aktivitas yang bertujuan dari subjek yang

    bertindak sendiri-sendiri. Tercapainya pemahaman dalam bahasa direpresentasikan

    pada model subjek yang bertindak secara teleologis, yang secara timbal balik saling

    memengaruhi, yaitu tindakan rasional-bertujuan oleh tindakan-tindakan individu yang

    diorientasikan pada harapan untuk mencapai pemahaman demi suatu makna yang

    dimaksud. Tindakan sosial dapat dibedakan menurut mekanisme koordinasi tindakan

    individu, misalnya: apakah suatu relasi sosial didasarkan pada posisi kepentingan

    semata atau didasarkan pada kesepakatan normatif.

    Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk melalui kepentingan yang saling

    melengkapi dapat secara normatif ditata ulang dengan cara melakukan validitas yang

    didasarkan pada kesepakatan. Interaksi yang didasarkan pada kepentingan yang saling

    melengkapi tidak hanya berbentuk adat kebiasaan, namun juga pada level perilaku

    kompetitif rasional, di mana partisipan telah membentuk suatu kesadaran yang jelas

    tentang komplementaritas (melengkapi) sekaligus ketidakmenentuan posisi kepentingan

    mereka sendiri. Inilah yang disebut sebagai masalah koordinasi tindakan. Jadi menurut

    pisau analisa Habermas, kesepakatan Pancasila pada tataran ini belum mencapai model

    tindakan komunikatif karena beberapa alasan yang telah penulis kemukakan di atas.

  • 121

    Dalam pisau analisa Rousseau, kesepakatan dalam Piagam Jakarta ini

    merupakan the will of all. Hasil kompromis yang dijunjung tinggi oleh beberapa tokoh

    pendiri bangsa dalam persidangan BPUPKI terlihat hanya berlandaskan alasan bahwa

    ini adalah hasil kompromis dua pihak golongan yang sama-sama telah disepakati dan

    diterima dengan terbuka. Hasil kompromis ini mengalami beberapa kali mentah

    kembali ke dalam perdebatan. Ideologi paham ke-Islaman menjadi ideologi yang

    menempati posisi sentral. Bahkan untuk memperkuat alasan mengapa ideologi ini

    menempati posisi sentral dalam perdebatan ialah dikarenakan jumlah penduduk Islam di

    Nusantara terpaut jauh perbedaannya mencapai 90-95%. Isu mayoritas ini terus

    didengungkan sehingga setiap ada pertanyaan tentang masuknya ideologi Islam dalam

    Piagam Jakarta seolah-olah diperhadapkan dengan 90-95% rakyat. Lain halnya lagi

    ketika pengaruh ideologi Islam masuk dalam Rancangan Pembukaan UUD, ada

    beberapa tokoh yang menghendaki sampai ke dalam Perancangan Batang Tubuh UUD

    juga disusun segala hal yang berhubungan dengan ke-Islaman.

    Sebenarnya perjalanan suasana rapat ini dapat dipahami sedikit-banyaknya

    ketika membaca risalah sidang BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945, di mana ada keluar

    perkataan di dalamnya bahwa suasana pada saat itu ditakutkan sampai kepada suasana

    yang berbau agama.1 Suasana yang menjurus kepada rasialisme ini segera dihadang

    oleh pendapat Hadikoesoemo dan beberapa tokoh lainnya hingga mencapai sebuah

    perkataan:

    “kalau ideologie Islam tidak diterima, tidak

    diterima! Jadi, nyata negara ini tidak berdiri atas

    agama Islam dan negara akan netral…. Jangan

    diambil sedikit kompromis … untuk keadilan dan

    kewajiban tidak ada kompromis, tidak ada….

    1 Istilah “berbau agama” ini merupakan pernyataan Sanoesi menanggapi perdebatan sengit pada

    tanggal 15 Juli 1945.

  • 122

    Siapa yang mufakat yang berdasar Islam, minta

    supaya menjadi satu negara Islam. Kalau tidak,

    harus netral terhadap agama. Itulah terang-

    terangan, itulah yang lebih tegas, kalau-kalau

    sudah nyata netral jangan mengambil-ambil

    perkataan Islam yang rupanya hanya dipakai

    ujung-ujung saja.”2

    Begitu nyata dalam hal ini usul beberapa tokoh ini merupakan sebagian dari

    kepentingan umum. Lain halnya dengan beberapa tokoh lainnya yang mempertahankan

    ideologi Islam dengan cara fanatik dalam sidang rapat BPUPKI, mereka mewakili

    sebagian dari kepentingan orang banyak.

    Kesepakatan hasil kompromis ini diakhiri oleh Soekarno yang meminta berbagai

    pengorbanan di kedua pihak dengan masuknya ideologi Islam di dalamnya.

    Kesepakatan semacam ini merupakan kesepakatan yang didapat melalui suara mayoritas

    – secara implisit. Kesepakatan ini akan memperbesar jumlahnya untuk dapat disepakati

    oleh semuanya melalui komunikasi atau lobying. Dalam hal ini, Piagam Jakarta ini

    seandainya menjadi konstitusi dalam RI, maka akan menjadi tindakan yang diatur

    secara normatif bagi yang tidak sepakat (bagian kecil) di dalam NKRI dan secara tidak

    sadar akan menjadi “seolah-olah” kepentingan bersama.

    Namun, ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri, yaitu proses deliberasi sangat

    nyata selama persidangan BPUPKI membahas Piagam Jakarta ini. Tujuan-tujuan

    kolektif yang selama sidang disepakati melalui diskursus-diskursus etis-politis, di mana

    masih dipersoalkan dengan menghadapkan kepentingan-kepentingan di dalamnya

    dengan asas universalisasi. Oleh karena banyak perdebatan, sanggahan, dan

    penerimaan selama sidang, para peserta sidang berupaya untuk menguji kontribusi-

    kontribusi yang masuk dengan pertanyaan apakah kontribusi-kontribusi itu dapat

    2 Ini adalah pernyataan Ki Bagoes Hadikoesoemo.

  • 123

    dijadikan acuan bersama sebagai kepentingan bersama (acuan etis-pragmatis).

    Diskursus seperti ini diharapkan sebagai diskursus moral karena pengujian tersebut

    diharapkan mengarahkan kepada kesepakatan yang melampaui perspektif yang dibatasi

    etnosentrisme, sehingga perundingan-perundingan itu akan menemukan keseimbangan

    bagi NKRI.

    Akan tetapi, hal ini juga harus diwaspadai terhadap opini mayoritas yang

    diklaim legitimitasnya menjadi opini publik. Oleh karena itu, diperlukan perundingan-

    perundingan yang sangat deliberatif karena dalam posisi deliberasi lebih dipentingkan

    prosedur dalam suatu diskursus dengan persoalan kesahihan keputusan-keputusan

    kolektif. Piagam Jakarta ini merupakan deliberasi yang tidak seimbang. Banyaknya

    perundingan-perundingan tentang keberadaan tujuh kata dan beberapa ideologi Islam

    dalam Batang Tubuh UUD. Perundingan-perundingan ini dianggap tidak sesuai dengan

    hasil kompromis karena keberatan selanjutnya ada di pihak Islam (yang sudah

    menyepakati bulat-bulat pada rapat panitia sembilan) jikalau keberadaan ketujuh kata

    tersebut dihilangkan.

    Kompromis ulang yang dibacakan oleh Soekarno pada 16 Juli 1945 merupakan

    kesepakatan kali kedua setelah Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Artinya beberapa

    perundingan dari para pendiri negara mengalami perkembangan. Alasan para pendiri

    negara menerima kompromis ulang 16 Juli ini lebih condong kepada menyepakati

    karena toh sebenarnya akar pembicaraan (mengenai keyakinan agama) tidak dapat

    disentuh secara mendalam, sehingga aras pemikiran atau pemahaman yang dicapai

    hanya pada tataran sosiologis (kesepakatan sosial untuk mencapi hidup bersama dan

    merdeka – alasan nasionalisme). Soekarno dalam hal ini melakukan tindakan teleologis

    dengan memanfaatkan ilokusioner untuk menciptakan pemahaman baru bagi peserta

  • 124

    sidang bahwa kemerdekaan pada saat itu lebih penting ketimbang urusan keyakinan

    yang tidak berujung dalam perdebatan sidang.

    Dalam teori Habermas, pada tanggal 16 Juli ini para pendiri negara telah

    mencapai kesepakatan atau konsensus ketika ditandai dengan tidak adanya keberatan

    pada sidang. Namun, apakah berarti telah nyata menjadi sesuatu yang normatif bagi

    Indonesia Merdeka? Ternyata belum. Rancangan Pembukaan UUD dan pasal-pasal

    yang akan disahkan pada 18 Agustus pun mengalami perubahan.

    Ketiga, dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945. Rumusan Pancasila pada masa

    sidang PPKI ini sudah mengalami beberapa pertimbangan lainnya di luar para peserta

    sidang BPUPKI tempo hari yang lalu. Ada beberapa percakapan di sini yang perlu

    diperhatikan, a.l. ialah:

    a. Moh. Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda.

    Keperluannya adalah mengungkapkan keberatan yang diajukan oleh sebagian

    masyarakat Indonesia Timur terhadap anak kalimat “dengan kewajiban

    menjalankan syariat Islam, bagi pemeluk-pemeluknya” dan “Presiden Republik

    Indonesia ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Keberadaan

    kalimat-kalimat ini dianggap tidak mengikat mereka karena hanya mengenai

    rakyat yang beragama Islam, ada diskriminasi di dalamnya yang mengakibatkan

    adanya golongan minoritas dan mereka lebih suka berdiri di luar Republik

    Indonesia.3

    Keberatan ini merupakan keberatan yang dirasakan sebagai tindakan

    diskriminatif bagi sebagian masyarakat Indonesia Timur. Respons dari keberatan ini

    3 Penulis belum mendapatkan percakapan antara Hatta dan Tuan Nishiyam. Keterangan ini

    didapat melalui buku dari Hatta yang menuliska otobiografinya.

  • 125

    tidak lagi diperpanjang oleh para peserta dari golongan Islam yang diajak oleh Hatta

    untuk berunding. Kemungkinan kuat karena ini berbicara mengenai wilayah (Indonesia

    Timur), maka Hatta memperhitungkan ini sebagai awal perpecahan nantinya.

    “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami

    mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang

    menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya

    dengan “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Apabila

    suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan

    keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil

    yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu

    tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada

    waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan

    persatuan bangsa.”

    Ini merupakan respons awal yang ditunjukkan oleh Hatta. Respons ini

    memengaruhi respons-respons selanjutnya, seperti dari Hasan yang mengaku bahwa dia

    meyakinkan Hadikoesoemo dengan alasan bahwa untuk sementara akan masuk dalam

    aturan peralihan; dan Kasman yang mengungkapkan bahwa bahwa dalam situasi krisis,

    di mana persatuan nasional sangat penting untuk menyelamatkan kemerdekaan

    Indonesia yang terancam oleh kedatangan pasukan sekutu, kepentingan golongan Islam

    harus bisa mengalah.

    Pengakuan Hasan dalam hal ini membingungkan penulis karena pada sidang-

    sidang BPUPKI sebelumnya Hadikoesoemo merupakan orang yang membela

    terbentuknya dasar negara yang tidak diskriminatif dengan dalil di Indonesia masih

    banyak perpecahan-perpecahan. Justru respons (perkiraan) Hadikoesoemo lebih

    cenderung menerima itu dengan persetujuan yang dilandaskan pada beberapa idenya

    yang dimunculkannya. Artinya tidak ada rasa keberatan denga permintaan masyarakat

    Indonesia Timur. Namun, pengakuan Hasan ini seolah-olah dengan kata “meyakinkan

    Hadikoesoemo”-nya membuat figur seorang Hadikoesoemo sebagai orang yang, bisa

    dikatakan, sebagai orang yang “susah” diajak untuk bersepakat. Melalui pendekatan ini

  • 126

    tokoh-tokoh Islam yang diajak berunding menyepakati perubahan kata tersebut.

    Namun, ada satu hal yang perlu diperhatikan ketika tidak adanya perwakilan golongan

    Islam yang ikut menandatangani Piagam Jakarta hadir dalam rapat PPKI pada tanggal

    18 Agustus 1945.

    b. Percakapan yang dilontarkan oleh I Gusti Ktut Pudja yang meminta untuk

    mengubah kata “Allah” pada Pembukaan UUD diganti dengan kata “Tuhan

    Yang Maha Kuasa”. Hal ini diangkat oleh Soekarno ke forum rapat dan

    disetujui oleh peserta.

    Dengan usulan I Gusti Ktut Pudja ini menambah daya tawar Pancasila yang

    disepakati kali ini benar-benar konsekuen terhadap bentuk persamaan derajat.

    Persamaan tersebut sampai kepada jenis tiap-tiap agama yang memiliki cara khusus

    memanggil Tuhan-nya. Penyebutan “Allah” akan memengaruhi salah satu kelompok

    agama di Indonesia melalui cara penyebutannya. Penyebutan Tuhan dirasa

    menyejajarkan antar agama untuk berkeyakinan terhadap Sang Tuhan.

    Menurut Penulis, perubahan pada 18 Agustus ini bermakna besar bagi rakyat Indonesia.

    Ada dua hal yang bisa diambil dari peristiwa 18 Agustus ini. Pertama, ketika dikaji

    berdasarkan penyebab perubahannya – ajuan keberatan dari Masyarakat Indonesia

    Timur dan usulan dalam sidang PPK oleh I Gusti Ktut Pudja – dapat disimpulkan

    bersama bahwa proses tersebut berlangsung dengan cepat. Perubahan ini diakibatkan

    karena dirasa kurang adilnya Rancangan Pembukaan UUD yang dikompromikan pada

    16 Juli lalu. Penulis cenderung memperkirakan adanya kaitan ajuan keberatan yang

    mengatasnamakan Masyarakat Indonesia Timur dengan beberapa tokoh Kristen dalam

    sidang BPUPKI 16 Juli, namun hal ini belum terlalu kuat karena data yang penulis

  • 127

    miliki belum terlalu sempurna untuk data seorang Latuharhary – salah satu tokoh

    Kristen dalam sidang itu.

    Dalam kajian ini alasan nasionalisme (ingin merdeka dan bersatu) cukup

    berpengaruh kuat untuk mendominasi semangat kesepakatan pada saat itu karena alasan

    utama dari ajuan keberatan tersebut ialah adanya beberapa pernyataan dalam

    pembukaan UUD dan pasal di dalamnya yang diskriminatif dan itu berakibat kepada

    tuntutan mereka untuk diubah atau mereka berdiri di luar RI. Artinya, Pancasila pada

    18 Agustus ini ialah model tindakan komunikatif yang dikatakan oleh Habermas.

    Kedua, ketika dilihat efeknya hingga saat ini, kesepakatan pada 18 Agustus

    bukan merupakan akhir dari kesepakatan. Kejadian-kejadian berulang seperti

    perubahan UUD, masalah sosial keagamaan, dan bahkan satu dekade yang lalu ada

    amandemen UUD yang mengubah pasal terkait dalam perdebatan pada masa sidang

    BPUPKI-PPKI, yaitu pasal mengenai presiden. Penulis ingin menjelaskan bahwa

    kesepakatan Pancasila terus mengalami perubahan. Kesepakatan rancangan Pembukaan

    UUD dan pasal-pasalnya pada 16 Juli yang hendak disahkan pada 18 Agustus

    mengalami perubahan. Apa penyebabnya mengenai hal ini dan apakah kaitan teori

    Habermas dengan perubahan-perubahan ini? Apakah bangsa Indonesia belum

    mencapai model mayarakat yang komunikatif dengan beberapa konsensus-konsensus

    yang dimilikinya? Apakah alasan nasionalisme tidak cukup kuat untuk menjelaskan

    konsensus-konsensus tersebut?

    Analisa penulis tidak dapat dilepaskan dari hasil Piagam Jakarta 22 Juni 1945

    (kompromi pertama), kesepakatan terhadap Rancangan Pembukaan UUD dan pasal-

    pasalnya pada 16 Juli 1945 (kompromi kedua), dan pengesahan Pembukaan UUD dan

  • 128

    pasal-pasalnya pada 18 Agustus. Menurut teori Habermas yang menjadi dasar kajian

    penulis, perubahan-perubahan dan perundingan-perundingan di dalamnya merupakan

    upaya-upaya pendiri negara untuk membentuk suatu konsensus atau kesepakatan yang

    komunikatif. Berbagai alasan diajukan untuk mencapai suatu titik temu supaya hidup

    berbangsa dan bernegara dapat adil, setara, dan sejahtera sosial. Melalui perjalanan

    historis ini apakah Pancasila pada 18 Agustus telah menemukan formulanya yang tepat,

    yang sesuai dengan Habermas sebagai model tindakan komunikatif? Ternyata masih

    belum.

    Ada beberapa pertimbangan yang mengacu pada problematik ini. Jikalau

    diperhatikan secara mendalam, proses perubahan Pancasila pada 18 Agustus tidak

    memakan banyak waktu seperti pada perundingan-perundingan sebelumnya. Penulis

    menjelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya kalau hal ini didasarkan pada alasan

    nasionalisme yang kuat dari para pendiri negara. Namun, akan menjadi lain artinya

    ketika alasan nasionalisme ini diperhadapkan dengan situasi pada saat itu yang sangat

    mendesak untuk mengesahkan UUD bagi bangsa Indonesia Merdeka. Bahkan, akan

    menjadi lebih lain lagi ketika perwakilan golongan Islam yang diajak berunding oleh

    Hatta menjelang rapat PPKI pada 18 Agustus bukan perwakilan Islam yang menyusun

    Piagam Jakarta.

    Tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan pada saat itu memang benar-

    benar karena alasan nasionalisme ketika memperhatikan sejenak pernyataan Hatta

    kepada perwakilan Islam yang diajak berunding, sehingga dalam kurun waktu 5-10

    menit dapat menghasilkan kesepakatan kecil. Pernyataan ini sangat didukung oleh

    pernyataan asli Hatta di dalam buku Otobiografinya dan oleh karenanya penulis berani

    mengangkat ini ke permukaan bab ini.

  • 129

    Tidak menutup kemungkinan juga ketika yang diajak berunding pada saat itu

    ialah lima orang perwakilan golongan Islam pada panitia sembilan, maka hasilnya akan

    berbeda. Namun, pada tataran sosial Pancasila 18 Agustus ini telah memenuhi syarat-

    syarat klaim kesahihan Habermas untuk menjadi masyarakat komunikatif. Apa artinya

    ini? Secara sosiologis para pendiri negara telah mencapai konsensus untuk mendirikan

    suatu negara. Akan tetapi, perdebatan religius – yang berkaitan dengan keyakinan

    agama – belum selesai hingga kini. Bahkan lebih prolematik lagi bahwa kehidupan

    religius ini membawa pengaruh kuat kepada kehidupan sosial rakyat Indonesia sebagian

    besar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sering dirundung oleh berbagai masalah

    sosial-keagamaan yang tidak kunjungi selesai. Tentunya dengan sadar bahwa

    kesepakatan tentang keyakinan agama pada aras kehidupan berbangsa dan bernegara

    belum tuntas. Kaitannya dengan ini bahwa bangsa Indonesia belum selesai mencapai

    kesepakatan atau konsensus.

    Tawaran model masyarakat komunikatif Habermas berhasil pada tataran

    rasional-sosiologis. Akan tetapi pada tataran religius-sosiologi (sosial-keagamaan),

    konsep masyarakat komunikatif Habermas belum menyentuh titik itu. Tindakan

    rasional memang sebagian besar dimiliki oleh kebudayaan Barat sehingga upaya

    pencapaian kesepakatan yang hanya berdasarkan pada titik rasional-sosiologis

    merupakan konsensus. Sungguh berbeda dengan kebudayaan yang dimiliki oleh

    masyarakat Indonesia, yang tidak hanya membutuhkan sisi rasional-sosiologis dalam

    mencapai konsensus, melainkan juga harus dalam tataran religius-sosiologi.

    Dalam pengamatan penulis Pancasila 18 Agustus 1945 dapat dijadikan

    konsensus (tanpa perubahan lagi) ketika melihat kenyataan Pancasila ini sebagai

  • 130

    kenyataan keyakinan agama. Penulis mencoba mengkajinya dari konsep masyarakat

    Durkheim:

    C. Adakah Nilai Kesakralan dalam Pancasila?

    Perundingan hebat antar permasalahan kedua golongan dalam sidang BPUPKI

    cukup banyak menyita pikiran dan waktu para pendiri negara. Maksud kalimat penulis

    ini tidak lain dari pengakuan penulis bahwa sosok Tuhan (red: agama) menempati skala

    prioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Merdeka. Soekarno

    dalam pidato 1 Juni-nya menyadari bahwa rakyat Indonesia memeluk agama dan

    kepercayaannya masing-masing, oleh karenanya prinsip Ke-Tuhanan yang ia usung

    merupakan pertanda bahwa setiap agama memperoleh tempat dalam kenyataan

    berbangsa dan bernegara.

    Fakta dalam perundingan mengenai perdebatan paham kedua golongan

    merupakan kenyataan sosial bangsa Indonesia. Hal ini sangat disadari oleh para pendiri

    negara bahwa kemerdekaan yang diperoleh ialah “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha

    Kuasa”. Pada awal Piagam Jakarta, kalimat ini ada dalam preambule yang disepakati

    oleh peserta sidang. Kemudian, pada rapat terakhir PPKI mengenai preambule ini juga

    terdapat kalimat ini.

    Menurut kacamata Durkheim, proses persidangan BPUPKI-PPKI ini merupakan

    proses terjadinya masyarakat yang akan disepakati. Individu-individu bersepakat di

    dalamnya untuk mencapai suatu tujuan yang hanya bisa dilakukan oleh masyarakat,

    bukan per-individu. Oleh karena itu, masing-masing individu bersedia untuk

    mengikatkan dirinya menjadi satu masyarakat. Lantas, apakah tujuan atau alasan

    mereka mengikatkan diri menjadi satu masyarakat?

  • 131

    Melalui analisa penulis di atas, begitu banyak macam alasan dan tujuan mereka.

    Masing-masing alasan mereka membawa tujuan mereka per individu, dan memang ada

    tujuan per individu yang merupakan bagian dari tujuan bersama. Kesepakatan para

    pendiri negara berujung pada Piagam Jakarta. Inilah model masyarakat yang siap

    dijalankan oleh bangsa Indonesia ke depannya. Perdebatan panjang dilalui bersama

    demi menemukan sebuah persetujuan. Kaitannya dengan persetujuannya ini ada

    baiknya memberangkatkan kajian ini mulai dari dorongan awal para pendiri negara.

    Dorongan awal pendiri negara ada dalam ajuan kompromi Soekarno pada 16 Juli

    1945. Soekarno meletakkan kompromi itu di dasar pengalaman bersama dan tujuan

    bersama, yaitu Indonesia Merdeka dengan bersatu. Para peserta sidang golongan

    keagamaan menerima usulan Soekarno dengan menciptakan jalan tengah, menurut

    Soekarno, yang memberi sedikit keistimewaan kepada mereka karena pertimbangan

    mayoritas penduduk. Para peserta golongan kebangsaan pun menerima usulan

    Soekarno karena inilah rupa-rupa jalan tengah tersebut, dalam hal ini Soekarno

    mengakui kalau ini merupakan pengorbanan yang sehebat-hebatnya (red: pengorbanan

    yang sangat besar). Kesepakatan ini akan menjadi persetujuan yang dimufakatkan.

    Dorongan bersatu menjadi satu masyarakat, yaitu masyarakat Indonesia Merdeka.

    Seiring berjalannya waktu, akan sah-lah bangsa Indonesia ini menjadi bangsa

    yang merdeka. Tepatnya 17 Agustus 1945 akan segera diproklamasikan kemerdekaan

    sebagai tanda sah bangsa ini menjadi bangsa Indonesia yang merdeka, menjadi satu

    masyarakat secara kenyataan pengakuan dunia. Keesokan harinya, 18 Agustus, bangsa

    Indonesia Merdeka siap menjadi satu masyarakat yang sama-sama terikat dan

    mempunyai tanggung jawab secara hukum dan sosial melalui pengesahan UUD sebagai

    landasan berbangsa dan bernegara.

  • 132

    Namun, sesuatu telah terjadi kepada bangsa yang ingin men-sah-kan

    keberadaannya ini di dalam landasan bersama. Sore hari setelah proklamasi

    kemerdekaan datang informasi mengenai keberatan masyarakat Indonesia Timur

    terhadap pengistimewaan salah satu kelompok agama di dalam Undang-undang Dasar

    Negara. Hatta yang mendapat informasi tersebut dengan sigap keesokan harinya

    mengajak beberapa peserta dari pewakilan golongan Islam. Perundingan mereka tidak

    memakan waktu begitu lama dan akhirnya mereka sepakat untuk menerima keberatan

    tersebut atas dasar supaya bangsa jangan pecah sebagai bangsa (persatuan dan

    kesatuan).

    Keberatan itu disampaikan kepada forum sehingga oleh karenanya diambil

    keputusan untuk menerima keberatan tersebut dengan menghapuskan ketujuh kata dan

    mengenai pernyataan tentang presiden. Pancasila yang disepakati menjadi seperti

    demikian:

    1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

    permusyawaratan perwakilan;

    5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

    dan pasal 6 ayat 1: “Presiden Indonesia ialah orang Indonesia Asli”.

    Kemudian, diajukan lagi usul oleh I Gusti Ktut Pudja bahwa kata “atas berkat

    rahmat Allah Yang Maha Kuasa” menjadi “atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha

    Kuasa”. Usul ini pun diterima oleh peserta sidang. Perubahan-perubahan ini diterima

    oleh para pendiri negara tanpa pemungutan suara, melainkan dengan MUFAKAT.

    Kemudian disahkan menjadi Undang-undang Dasar rakyat Indonesia bersama.

  • 133

    Dalam pandangan Durkheim bahwa kenyataan bangsa ini telah menjadi suatu

    masyarakat ialah ditanggalkannya seluruh kepentingan-kepentingan pribadi menuju

    kepentingan bersama. Segalanya telah diatur secara seimbang (tidak berat sebelah)

    dalam aturan-aturan pasal UUD Negara. Tidak ada lagi mayoritas dan minoritas.

    Segala proses dalam persidangan ini sampai dengan disahkannya menjadi

    kesepakatan bersama, bagi Durkheim, bukanlah semata-mata diciptakan untuk kepuasan

    pribadi. Akan tetapi, hal ini telah menjadi sesuatu yang harus dihormati dan junjung

    tinggi. Durkheim menyadari ada dorongan-dorongan dasariah dari masing-masing

    individu untuk mencapai kesepakatan. Apakah dorongan itu? Itulah kekuatan yang

    mengontrol manusia itu sendiri. Kekuatan yang demikian jauh dari kajian saintifik

    manusia. Artinya kekuatan ini dipahami sebagai kekuatan eksternal yang turut ambil

    bagian di dalam diri manusia karena langsung bersentuhan dengan mental (mental state)

    dan kesadaran (states of consciouness) manusia. Di sinilah letak kesakralan pancasila

    sebagai kekuatan yang menyatukan.

    Golongan Islam sejak awal menyertakan paham Ke-Tuhanan dalam kesepakatan

    dasar negara Indonesia Merdeka, yang memilki arti bahwa kesadaran mereka atar

    penyertaan Allah ada dalam setiap usaha mereka sampai Indonesia Merdeka. Ketika

    paham Ke-Tuhanan diangkat menjadi satu bagian yang sakral dalam landasan dasar

    negara, ini disepakati secara mufakat oleh seluruh aliran baik itu agama dan

    kebangsaan. Artinya sama-sama sepakat bahwa ada campur tangan Tuhan dalam usaha

    manusia Indonesia untuk merdeka yang hadir melalui roh-roh persatuan dan kesatuan

    dalam diri masing-masing sampai disahkannya landasan dasar negara Indonesia

    Merdeka.

  • 134

    Dengan demikian, di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai sosiologis dan nilai-

    nilai religius. Pada aras sosial, bangsa Indonesia telah resmi menjadi suatu masyarakat

    dengan aturan-aturan normatifnya yang komunikatif. Kenyataan sosial bangsa

    Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kesadaran terhadap kemajemukan. Pada aras

    religius seruan masyarakat Indonesia Timur ialah seruan ilahiah yang menyadarkan

    rakyat Indonesia tentang arti persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan

    yang membuka mata kepada keadilan dan kesetaraan. Alasan utama yang menjadi

    keberatan masyarakat Indonesia Timur pada saat itu – diskriminasi – seharusnya tetap

    menjadi musuh bangsa Indonesia selama negara ini menjunjung tinggi nilai-nilai

    kesatuan. Jika hal ini diingkari, tidak lain bahwa bangsa Indonesia telah menodai

    kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan

    samapai sekarang ini. Bagaimana seorang umat yang mengaku percaya kepada

    Tuhannya tapi tidak memelihara apa yang telah diberikanNya kepadanya?