Surimi_FellyciaDevi_B3_UNIKA_SOEGIJAPRANATA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Surimi merupakan produk setengah jadi berbahan dasar ikan untuk pembuatan nugget ikan, sosis ikan dan bakso ikan. Cara pembuatan surimi adalah dengan melumatkan daging ikan yang sudah dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan suhu rendah dan disimpan dalam suhu rendah yaitu pada suhu -10 oC hingga -20 oC.

Citation preview

12

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan karakteristik surimi terhadap penambahan sukrosa, garam dan polifosfat dapat dilihat pada Tabel 1. dibawah ini.

Tabel 1. SurimiKelPerlakuanWHC (mg H2O)Sensoris

KekenyalanAroma

B1Sukrosa 2,5 %Garam 2,5 %STPP 0,1 %240.028,06+++

B2Sukrosa 2,5 %Garam 2,5 %STPP 0,1 %285.154,75+++++

B3Sukrosa 2,5 %Garam 2,5 %STPP 0,3 %288.857,17++++

B4Sukrosa 5 %Garam 2,5 %STPP 0,3 %317.967,62+++

B5Sukrosa 5 %Garam 2,5 %STPP 0,5 %276.163,82++++

B6Sukrosa 5 %Garam 2,5 %STPP 0,5 %284.725,74+++

Keterangan:KekenyalanAroma+: Tidak kenyal+: Tidak amis++: Kenyal++: Amis+++: Sangat kenyal+++: Sangat amis

Berdasarkan Tabel 1., dapat dilihat bahwa nilai water holding capacity (WHC) dalam mg H2O, kekenyalan serta aroma dari surimi dengan bahan dasar daging tongkol didapati hasil yang berbeda-beda pada tiap perlakuan. Dapat dilihat bahwa dengan penambahan sukrosa, garam serta polifosfat tidak terlalu berpengaruh terhadap water holding capacity (WHC), kekenyalan serta aroma dari surimi. Namun, dapat dilihat bahwa data kelompok B4 didapati nilai WHC paling tinggi yaitu 317.967,62 mg H2O dan data kelompok B1 didapati nilai WHC paling rendah yaitu 240.028,06 mg H2O.

2. 2

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum Surimi kali ini, terdapat 3 perlakuan yang akan dilakukan yaitu penambahan sukrosa dan polifosfat dengan berbagai konsentrasi serta penambahan garam dengan konsentrasi yang sama. Terdapat beberapa parameter yang dilihat yaitu water holding capacity (WHC), kekenyalan serta aroma dari surimi itu sendiri. Kali ini, bahan utama dalam pembuatan surimi adalah ikan tongkol. Menurut Winarno (1993), daging ikan tongkol terdiri atas daging merah dan daging putih. Daging ikan tongkol yang berwarna merah biasanya digunakan sebagai bahan dasar pembuatan surimi. Sedangkan, menurut teori Flick et al., (1990), persyaratan bahan utama yang digunakan untuk membuat surimi adalah dengan menggunakan daging putih, sehingga pembuatan surimi dengan daging merah ikan tongkol memiliki kendala selama pembuatannya seperti kenampakan surimi dengan bahan dasar daging merah ikan tongkol kurang disukai, terjadi perubahan warna menjadi lebih gelap apabila daging merah ikan tongkol disimpan terlalu lama dan kandungan asam lemak bebas lebih besar yang akan memicu terjadinya oksidasi (Spinelli & Dassow, 1982). Teori tersebut juga didukung pula oleh teori Chen et al., (1997) yang mengatakan bahwa proses pembuatan surimi dengan bahan dasar daging merah terdapat kesulitan sewaktu proses pencucian karena kandungan lemak yang tinggi, protein larut air, pigmen serta kandungan trimetilamin oksida atau TMAO. Didukung pulah oleh teori Lo et al., (1991) dan Shimizu et al., (1992) dalam jurnal Gel Properties of Croaker-Mackerel Surimi Blend (2010), pemilihan warna daging ikan harus diperhatikan. Daging ikan yang cocok dijadikan surimi adalah daging ikan berwarna putih. Penggunaan daging ikan yang berwarna gelap dapat menurunkan nilai komersil dalam segi kenampakan warna karena warna surimi cenderung lebih gelap ketika mengalami penyimpanan.

Menurut teori dari Miyauchi (1970), surimi merupakan produk setengah jadi berbahan dasar ikan untuk pembuatan nugget ikan, sosis ikan dan bakso ikan. Menurut Andini (2006), cara pembuatan surimi adalah dengan melumatkan daging ikan yang sudah dibersihkan dan dicuci dengan menggunakan suhu rendah dan disimpan dalam suhu rendah yaitu pada suhu -10 oC hingga -20 oC. Didukung pula oleh teori Okada (1992) dalam jurnal Technology for Production of Surimi Powder and Potential of Applications (2012) yang mengatakan bahwa surimi merupakan ekstrak protein miofibril dari daging ikan yang telah terpisah dari tulang, kulit serta isi perut ikan. Surimi tidak hanya ditemukan dalam bentuk padat, namun juga dalam bentuk serbuk/bubuk. Surimi bubuk memiliki beberapa kelebihan, seperti mudah diproses, pendistribusian lebih mudah dan murah serta lebih mudah ditambahkan ke bahan pangan yang bersifat kering. Surimi bubuk juga memiliki sifat fungsional untuk gelasi, water holding capacity (WHC), pengemulsi dan pembusaan.

3.1. MetodePertama-tama, ikan tongkol dicuci bersih dan ditimbang beratnya. Setelah itu, dilakukan fillet pada daging ikan tongkol dengan cara membuang kepala, sirip, ekor, sisik, isi perut dan kulit ikan. Metode ini sesuai dengan teori Dahar (2003) yang mengatakan bahwa pembuatan surimi dilakukan dengan pemotongan kepala serta pembuangan isi perut ikan dan dicuci dengan menggunakan air dalam suasana dingin.

Lalu, 100 gram daging ikan tongkol ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Setelah itu, daging ikan dihaluskan dengan menggunakan blender dan ditambahkan es batu. Kemudian, daging ikan yang sudah halus diletakkan diatas kain saring dan dicuci dengan menggunakan air es sebanyak 3 kali. Menurut Irianto (1990), pencucian daging ikan dengan suhu rendah bertujuan untuk memisahkan darah, enzim, urea, bahan organik, serta memperbaiki aroma dan kenampakan warna. Tujuan dari penyaringan menurut Winarno (1993) yaitu agar padatan dan cairan dapat terpisah secara sempurna.

Setelah itu, ditambahkan sukrosa sebanyak 2,5% (untuk kelompok B1-B3) dan 5% (untuk kelompok B4-B6). Penambahan sukrosa sebanyak 2,5% dan 5% dari berat ikan yaitu 100 gram. Maka, kelompok B1-B3 menambahkan 2,5 gram sukrosa dan kelompok B4-B6 menambahkan 5 gram sukrosa. Menurut teori Niki & Igarashi (1982), penambahan sukrosa sebagai krioprotektan pada daging ikan dapat mencegah denaturasi protein. Didukung pula oleh teori Nopianti et al., (2010) yang mengatakan bahwa tujuan penambahan sukrosa dapat mencegah terjadinya denaturasi protein sehingga struktur gel surimi dapat terbentuk dengan baik, tahan lama dan kemampuan dalam mengikat air akan lebih baik.

Lalu, ditambahkan garam sebanyak 2,5% untuk seluruh kelompok. Teori Suzuki (1981) mengatakan bahwa terdapat 2 jenis surimi yaitu mu-en surimi yang berarti surimi tanpa penambahan garam dan ka-en surimi yang berarti surimi dengan penambahan garam. Pada praktikum kali ini, dilakukan penambahan garam untuk seluruh kelompok yang berarti kami membuat surimi jenis ka-en. Tujuan penambahan garam menurut teori Wibowo (2004) adalah untuk mempercepat keluarnya air pada surimi agar surimi tidak cepat rusak dan memiliki umur simpan yang lebih lama.

Setelah ditambah garam, ditambahkan pula sodium polyphosphate (STPP) sebanyak 0,1% (untuk kelompok B1-B2), 0,3% (untuk kelompok B3-B4) dan 0,5% (untuk kelompok B5-B6). Dalam jurnal A Review on the Loss of the Functional Properties of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming Properties of Surimi, Nopianti et al., (2011) mengatakan bahwa sewaktu proses penyimpanan beku, protein miofibril pada surimi harus dilindungi dengan menambahkan krioprotektan seperti sukrosa, sorbitol, polidextros, fosfat maltodextrin, sodium laktat, laktitol, litesse dan lainnya. Fosfat biasa ditambahkan pada surimi sebagai krioprotektan untuk menurunkan viskositas, meningkatkan kelembapan dan kemampuan protein dalam menyerap air (water holding capacity). Maka, langkah dari praktikum kali ini sudah benar karena penambahan STPP sebagai krioprotektan dapat menjadi barier dalam mencegah proses denaturasi. Didukung pula oleh teori Miyauchi (1970) yang mengatakan bahwa penambahan STPP dapat meningkatkan kekuatan/elastisitas gel, membantu dalam pembentukan gel serta tekstur menjadi lebih padat karena terjadi peningkatan pH serta kemampuan dalam mengikat air atau WHC. Berdasarkan teori Sultanbawa & Li-Chan (2001) dalam jurnal Effect of Polydextrose on Physicochemical Properties of Threadfin Bream (Nemipterus spp) Surimi During Frozen Storage (2013), penambahan krioprotektan dapat menjaga protein miofibril dari denaturasi protein pada saat penyimpanan pada suhu beku. Pabrik surimi biasanya menambahkan sukrosa, sorbitol serta 0,3% polifosfat pada surimi sebelum dilakukan penyimpanan pada suhu beku agar daging ikan tidak terdenaturasi saat penyimpanan.Setelah diberi STPP dengan berbagai konsentrasi, daging ikan yang sudah diberi perlakuan tadi dimasukkan ke dalam plastik bening dan dibekukan selama 1 malam. Setelah dibekukan, dilakukan thawing pada suhu refrigerator. Kemudian, dilakukan penghitungan water holding capacity (WHC) dan sensori terhadap kekenyalan dan aroma secara organoleptik. Menurut Winarno (1993), penyimpanan suhu beku harus diperhatikan, apabila surimi disimpan pada suhu yang kurang tepat, maka mutu surimi tidak dapat dipertahankan. Kerusakan surimi saat disimpan pada suhu yang kurang tepat seperti perubahan warna menjadi lebih gelap, timbul bau tidak sedap, surimi menjadi lebih lunak, pecahnya sel dalam surimi dan menyebabkan keluarnya cairan dari sel. Sewaktu penyimpanan suhu beku, terjadi perubahan pada protein miofibril seperti berkurangnya kemampuan mengikat air atau water holding capacity (WHC) sehingga kekuatan gel surimi akan semakin menurun. Teori Chen et al., (1997) menambahkan bahwa tekstur gel surimi akan semakin baik ketika water holding capacity (WHC) semakin baik. Teori Soekarto (1981) mengatakan bahwa pengamatan secara organoleptik menggunakan bantuan panelis yang dimaksudkan untuk mengenalkan alat indera akan sifat suatu benda dengan adanya rangsangan yang diterima seperti warna, rasa, bau dan lainnya. Menurut teori Meritt et al., (1982), metode sensoris secara organoleptik memiliki kelemahan atau kekurangan seperti hasil yang didapatkan adalah data yang bersifat subjektif bukan objektif. Menurut teori Peranginangin et al., (1999), aroma dari produk surimi tidak terlalu amis.

3.2. Water Holding Capacity (WHC)Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1., dapat dilihat bahwa nilai WHC pada tiap kelompok saling berbeda karena terdapat beberapa perlakuan yang dilakukan untuk masing-masing kelompok. Seiring dengan penambahan sukrosa dan STPP, data WHC pada surimi semakin meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok B1 hingga B4, namun pada kelompok B5 data WHC mengalami penurunan, kemudian data WHC mengalami kenaikan kembali pada kelompok B6 namun nilai WHC B6 tidak lebih besar dari data WHC kelompok B2. Untuk data B1-B4 sudah sesuai dengan teori Miyauchi (1970) bahwa semakin banyak penambahan STPP pada surimi maka kemampuan dalam mengikat air atau WHC semakin besar. Begitu pula pada teori Nopianti et al., (2010) yang mengatakan bahwa tujuan penambahan sukrosa dapat mencegah terjadinya denaturasi protein sehingga struktur gel surimi dapat terbentuk dengan baik, tahan lama dan kemampuan dalam mengikat air akan lebih baik. Namun, untuk kelompok B5 dan B6 tidak sesuai dengan teori. Hal ini dapat terjadi karena suhu yang digunakan pada saat pencucian masih kurang sesuai, ketidaksesuaian berat STPP sewaktu menimbang, selain itu ukuran ikan tongkol yang digunakan juga tidak semuanya sama (Santoso, 2009).

Dalam jurnal Effect of Wheat Fibre in Frozen Stored Fish Muscular Gels (2006), Sanchez-Alonso et al., (2006) mengatakan bahwa penambahan fiber gandum pada surimi dapat mempengaruhi bentuk gel surimi. Pada saat penyimpanan surimi pada suhu beku, terdapat penurunan air terikat (bound water) pada surimi dengan adanya penambahan fiber gandum tersebut. Semakin banyak fiber gandum yang ditambahkan, maka water holding capacity (WHC) pada gel surimi akan semakin menurun dan akan menyebabkan hilangnya tekstur gel surimi.

3.3. Sensoris (Kekenyalan dan Aroma)Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1., dapat dilihat pula parameter sensoris yang dilakukan oleh panelis secara organoleptik meliputi kekenyalan serta aroma surimi. Namun, dapat dilihat bahwa data kekenyalan serta aroma yang didapatkan tidak dapat dibahas karena perlakuan seluruh kelompok yang berbeda tidak menghasilkan data yang signifikan. Menurut Nopianti et al., (2010) semakin tinggi penambahan sukrosa pada surimi, maka dapat mencegah terjadinya denaturasi protein sehingga struktur gel surimi dapat terbentuk dengan baik. Berdasarkan pada teori tersebut, dapat dikatakan bahwa data yang didapatkan untuk seluruh kelompok mengenai parameter kekenyalan kurang sesuai dengan teori. Seharusnya, semakin banyak penambahan sukrosa pada surimi dapat meningkatkan kekenyalan pada surimi tersebut. Kesalahan ini dapat terjadi karena kelemahan dari metode sensori secara organoleptik yang bersifat subjektif (Merit et al., 1982).

Kemudian, untuk parameter aroma dapat dilihat pada Tabel 1., dapat dilihat bahwa data yang didapatkan untuk seluruh kelompok juga tidak dapat dibahas karena perlakuan seluruh kelompok yang berbeda tidak menghasilkan data yang signifikan. Dapat dilihat bahwa pada kelompok B1, B3, B4, B5 dan B6 memiliki aroma yang amis, sedangkan untuk kelompok B2 memiliki aroma yang sangat amis. Seharusnya, surimi yang diberi perlakuan penambahan sukrosa dan STPP lebih banyak akan memiliki aroma yang lebih amis karena fungsi dari sukrosa dan STPP adalah sebagai krioprotektan yang dapat melindungi surimi dari proses denaturasi (Nopianti et al., 2011 dan Sultanbawa & Li-Chan, 2001). Proses denaturasi akan membuat daging ikan menjadi lebih keras dan aroma amis akan hilang. Sedangkan pada seluruh kelompok tidak didapati surimi yang mengalami denaturasi, sehingga aroma yang dihasilkan seharusnya sangat amis. Kesalahan ini dapat terjadi sewaktu proses pencucian ikan yang kurang bersih dan dapat menyebabkan timbulnya bau amis yang masih melekat pada daging ikan (Irianto, 1990). Selain itu, kesalahan tersebut juga dapat terjadi karena kelemahan dari metode sensori secara organoleptik yang bersifat subjektif (Merit et al., 1982). 7

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan produk daging ikan halus yang didapatkan melalui proses pencucian, penambahan krioprotektan, pengemasan dan penyimpanan suhu beku. Surimi dibuat dengan bahan utama daging ikan putih yang memiliki kandungan lemak rendah. Pencucian surimi dilakukan sebanyak 3 kali dengan menggunakan air suhu rendah agar warna, aroma dan tekstur dapat dipertahankan. Penggilingan surimi dalam suhu rendah bertujuan untuk mempertahankan umur simpan surimi Penambahan sukrosa, garam serta STPP dapat mempengaruhi WHC, kekenyalan serta aroma dari surimi. Sukrosa dan STPP termasuk zat krioprotektan yang berperan sebagai antidenaturan, membuat tekstur surimi lebih kenyal dan kemampuan mengikat air semakin besar. Garam dapat mempercepat keluarnya air pada surimi agar surimi tidak cepat rusak dan memiliki umur simpan yang lebih lama. Semakin tinggi kadar sukrosa dan STPP maka semakin tinggi pula kemampuan mengikat air pada surimi. Aroma surimi akan semakin amis karena reaksi denaturasi tidak terjadi yang disebabkan adanya barier yang terbentuk oleh zat krioprotektan. Penyimpanan pada suhu beku dapat menghambat aktivitas enzimatis dan aktivitas mikrobial.

Semarang, 6 Oktober 2014Praktikan,Asisten Praktikum Dea Nathania

(Fellycia Devi Paramitha)12.70.01095.

4. DAFTAR PUSTAKA

Andini, Y.S. (2006). Karakteristik Surimi Hasil Ozonisasi Daging Merah Ikan Tongkol (Euthynnus sp.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Chen, H.H., Chiu, E.M., dan Huang, J.R. (1997). Color and gel-forming properties of horse mackerel (Trachurus japonicus) as related to washing conditions. Journal of Food Science. Vol. 62 (5): 985 991.

Dahar, D. (2003). Pengembangan Produksi Hasil Perikanan. Sidoarjo.

Flick, G.J., Barna, M.A., dan Enriquez, L.G. (1990). Processing finfish. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, editor. The Seafood Industry. New York: Van Nostrand Reinhold.

Irianto, B. (1990). Teknologi Surimi Salah Satu Cara Mempelajari Nilai Tambah Ikan-ikan yang Kurang Dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9(2): 35-39.

Lo, J. R., Mochizuki, Y., Nagashima, Y., Tanaka, M., Iso, N., dan Taguchi, T. (1991). Thermal transitions of myosins/subfragments from black marlin (Makaira mazara) Ordinary and dark muscles. Journal of Food Science, 56, 954957.

Merit, J. H, M. L. Windsor, A. Aitken, dan I. M. Mackie. (1982). Fish Handling and Processing Second Edition. Her Majestys Stationery Office. Edinburgh.

Miyauchi, D., George, K., dan Max P. (1970). Surimi-A Semi-Processed Wet Fish Protein. Pacific Fishery Products Technology Center.

Niki, H., dan Igarashi, S. (1982). Some factors in the production of active fish protein powder. Bulletin of Japanese Society of Scientific Fisheries 48 (8): 1133-1137.

Nopianti, R., Nurul, H., and Noryati I. (2011). A Review on the Loss of the Functional Properties of Proteins during Frozen Storage and the Improvement of Gel-forming Properties of Surimi.American Journal of Food Technology, 6: 19-30.

Nopianti, R., Nurul, H., Noryati, I., Fazilah A., dan Azhar M. E. (2013). Effect of Polydextrose on Physicochemical Properties of Threadfin Bream (Nemipterus spp) Surimi During Frozen Storage. Journal Food Science Technology, 50(4): 739-746.

Okada, M. (1992). History of surimi technology in Japan. In Lanier, T. C. and Lee, C. M. Eds). Surimi Technology, p. 321. New York: Marcel Dekker Inc.

9

Panpipat, W., Manat, C., dan Soottawat, B. (2010). Gel Properties of Croaker-Mackerel Surimi Blend. Elsevier Food Chemistry Journal, 1122-1128.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, dan Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta.

Sanchez-Alonso, I., Ramin, Haji-Maleki., dan A. Javier B. (2006). Effect of Wheat Fibre in Frozen Stored Fish Muscular Gels. European Food Research Technology, 233: 571-576.

Santana, P., Huda, N., dan Yang T. A. (2012). Technology for Production of Surimi Powder and Potential of Applications. International Food Research Journal 9(4): 1313-1323.

Santoso, W. (2009). Komposisi Mineral Makro dan Mikro daging Ikan Gurami (Osphronemous gouramy) pada Berbagai Waktu Pemeliharaan.

Shimizu, Y., Toyohara, H., dan Lanier, T.C. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, editor. Surimi Technology. New York: Marcel dekker. Page.425-442.

Soekarto, S. T. (1981). Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. PUSBANGTEPA / Food Technology Development Center. IPB. Bogor.

Spinelli, J., dan Dassow, J.A. (1982). Fish proteins: their modification and potential uses in the food industry. Di dalam: Martin RE, Flick GJ, Hebard CE, Ward DR, editor. Chemistry and Biochemistry of Marine Food Products. Connecticut: AVI Publishing Company.

Sultanbawa, Y., dan Li-chan, E. C. Y. (2001). Structural changes in natural actomyosin and surimi from ling cod (Ophiodon elongatus) during frozen storage in the absence or presence of cryoprotectants. Journal of Agriculture and Food Chemistry 49:47164725.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein: Processing Technology. London: Applied Science Publishers Ltd.

Wibowo, S. (2004). Pembuatan Bakso Ikan dan Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Winarno, F. G. (1993). Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

10

5.

6. LAMPIRAN

5.1. PerhitunganRumus:

11

LA = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + h4)LB = a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + h4)Luas Area Basah = LA LBMg H2O =

Kelompok B1 = 28233,33 = 5470,67Luas Area Basah = 28233,33 5470,67 = 22762,66Mg H2O = = 240028,06

Kelompok B2La = 32477 = 5436,33Luas Area Basah = 32477 5436,33 = 27040,67Mg H2O = 285154,75

Kelompok B3 = 33550,83Lb = 6159,17Luas Area Basah = 33550,83 6159,17 = 27391,66Mg H2O = 288857,17

Kelompok B4 = 38808 = 8705,67Luas Area Basah = 38808 8705,67 = 30102,33Mg H2O = 317967,62

Kelompok B5 = 31745,83Lb = 5557,50Luas Area Basah = 31745,83 5557,50 = 26188,33Mg H2O = 276163,82

Kelompok B6 = 33120 = 6120Luas Area Basah = 33120 6120 = 27000Mg H2O = 284725,74

5.2. Laporan Sementara

5.3. Diagram Alir