SURIMI_Melita Mulyani_12.70.0080_A1_Unika Soegijapranata

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Surimi merupakan salah satu produk "perantara" dalam industri pengolahan ikan. Pada praktikum Teknologi Hasil Laut kloter A, surimi dibuat dengan menggunakan bahan dasar daging ikan tongkol.

Citation preview

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan WHC dan uji sensoris surimi dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. WHC dan Uji Sensoris SurimiKelompokPerlakuanWHC (mg H2O)Sensoris

KekenyalanAroma

A1Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%322243,25++++

A2Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1%273157,52+++++

A3Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%250864,98+++++

A4Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%256561,18+++

A5Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%275696,20+++

A6Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%266687,76++++

Keterangan :Aroma :Kekenyalan :+ : tidak amis+: tidak kenyal++: amis++: kenyal+++: sangat amis+++: sangat kenyal

Berdasarkan Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa surimi dengan perlakuan berbeda-beda pada masing-masing kelompok menghasilkan nilai WHC dan uji sensoris yang berbeda pula. Surimi pada kelompok A1 yang diberi perlakuan perlakuan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,1% memiliki nilai WHC tertinggi, yaitu sebesar 322243,25 mg H2O dengan tingkat kekenyalan rendah (tidak kenyal) dan aroma yang sangat amis. Pada kelompok A2 yang diberi perlakuan sama dengan kelompok A1 dihasilkan surimi dengan tekstur kenyal dan aroma sangat amis, serta bernilai WHC sebesar 273157,52 mg H2O. Nilai WHC terendah dihasilkan pada surimi kelompok A3 yang diberi perlakuan sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3%, yaitu sebesar 250864,98 mg H2O dengan tingkat kekenyalan tinggi (sangat kenyal) dan aroma amis. Pembuatan surimi kelompok A4 dan A5 diberi perlakuan yang sama dengan aroma tidak amis memiliki nilai WHC secara berurutan yaitu sebesar 275696,20 mg H2O dan 266687,76 mg H2O, sedangkan tingkat kekenyalan surimi yang dihasilkan berbeda, dimana pada kelompok A5 dihasilkan surimi yang kenyal dan surimi kelompok A6 sangat kenyal.5

1

2. PEMBAHASAN

Selain untuk mengetahui cara pembuatan surimi, praktikum kali ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan produk surimi, yaitu pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap daya ikat air (Water Holding Capacity) surimi, pengaruh konsentrasi polifosfat terhadap kekenyalan dan aroma surimi. Menurut Moeljanto (1994), pada umumnya ikan mengandung protein hewani yang tinggi, sehingga banyak dikonsumsi masyarakat karena harganya pun murah dan dapat dengan mudah didapatkan, namun ikan memiliki sifat perishable (cepat membusuk). Hal ini didukung pula oleh teori dari Liptan (2000) yang menyatakan bahwa ikan merupakan sumber bahan pangan bermutu tinggi karena ikan banyak mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia, namun ikan mudah busuk atau rusak, sehingga untuk memperpanjang umur simpan ikan, diperlukan adanya pengolahan produk ikan supaya menjadi tahan lama. Salah satu pengolahan ikan yang dapat dilakukan adalah dengan membuatnya menjadi produk setengah jadi atau yang sering disebut surimi. Pembuatan surimi ini akan memperpanjang umur simpan tanpa mengurangi kandungan gizi dari daging ikan, sehingga pembuatan surimi dapat meningkatkan nilai ekonomi dari ikan.

Pada praktikum kloter A ini, ikan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah jenis ikan tongkol. Menurut Collette & Nauen (1983), ikan tongkol (Euthynnus affinis) merupakan golongan dari ikan tuna kecil yang memiliki badan memanjang dan hanya bersisik pada garis rusuknya. Bahar (2004) menambahkan bahwa ikan tongkol memiliki kulit yang licin, berwarna abu-abu dengan daging yang tebal, serta dagingnya berwarna merah tua. Suzuki (1981) menyatakan bahwa kandungan gizi ikan tongkol sangat tinggi, diantaranya yaitu kadar air sebesar 71,00-76,76 %, protein 21,60-26,30%, lemak 1,30-2,10% , mineral 1,20-1,50% dan abu 1,45-3,40%. Namun secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) hanya berkisar antara 45-50 %.

Klasifikasi ikan tongkol dapat dilihat di bawah ini: Kingdom: Animalia Phylum: Chordata Sub Phylum: Vertebrata Class: Pisces Sub Class: Teleostei Ordo: Percomorphi Family: Scombridae Genus: Euthynnus Species: Euthynnus affinis (Saanin, 1984)

2.1. Surimi Irianto & Giyatmi (2009) mengungkapkan bahwa surimi merupakan produk olahan setengah jadi dari daging ikan yang terdiri dari konsentrat protein miofibril dan memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan. Irianto & Giyatmi (2009) menambahkan pula bahwa bagian terbesar dari daging ikan adalah protein miofibril yang memiliki daya guna tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, tropomiosin serta aktomiosin yang merupakan gabungan aktin dan miosin. Plastisitas dan daya ikat air daging, tekstur produk-produk perikanan, serta sifat fungsional daging lumat sangat dipengaruhi oleh keberadaan protein miofibril ini. Menurut Suzuki (1981), protein miofibril yang terdapat dalam ikan berfungsi untuk konstraksi otot. Protein miofibril dapat diekstrak dengan menggunakan garam netral yang berkekuatan ion sedang (>0,5M). Penampakan dari protein miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, namun lebih mudah kehilangan aktivitas ATP-ase dan laju agregasi lebih cepat.

Peranginangin, et al. (1999) mengatakan bahwa surimi adalah daging ikan yang dilumatkan, dibersihkan, dan dicuci berulang-ulang, sehingga sebagian besar komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Dalam penyimpanannya, surimi harus disimpan beku dan ditambahkan bahan antidenaturasi atau cryoprotectant. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan bahwa secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi, akan tetapi ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur, dan tidak terlalu amis, serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang lebih baik. Sedangkan menurut Sonu (1986), surimi adalah bentuk olahan daging ikan lumat yang terbuat dari daging yang telah dipisahkan dari bagian ikan yang lainnya (kulit, tulang, dan usus). Surimi ini telah dibuat mulai pada tahun 1980-an dan berasal dari bahasa Jepang. Surimi memiliki karakteristik khusus yang berhubungan dengan kemampuan membentuk gel dan tekstur, waktu stabilitasnya di dalam penyimpanan beku, serta pengaruh penambahan gula sebagai cryoprotectant. Surimi merupakan produk antara, sehingga surimi masih dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan dan dapat pula digunakan sebagai campuran olahan mulai dari bakso, sosis ikan, kamaboko (daging ikan kukus), hanpen, tempura, satsunage, chikuwa, burger ikan, imitasi daging kepiting, dan produk olahan lainnya. Suzuki (1981) menjelaskan bahwa berdasarkan kandungan garamnya, surimi dibedakan menjadi dua jenis yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam), serta ada pula yang disebut dengan na-ma surimi (surimi mentah yang tidak mengalami proses pembekuan). Suzuki (1981) juga menambahkan bahwa ikan yang ditangkap pada fase bertelur, pada musim panas dan berukuran kecil akan lebih cepat mengalami denaturasi daripada ikan yang ditangkap pada fase tidak bertelur, pada musim semi dan berukuran besar. Peranginangin, et al. (1999) mengatakan bahwa penyimpanan surimi harus dalam keadaan beku dengan adanya penambahan bahan anti denaturasi atau cryoprotectant, namun, walaupun disimpan pada suhu sangat rendah, akan tetap terjadi perubahan pada produk. Hal ini didukung oleh teori Nopianti, et al. (2011) yang mengungkapkan bahwa selama penyimpanan beku, masalah yang sering timbul adalah menurunnya kekuatan gel. Hal ini dapat terjadi karena protein miofibril pada surimi mentah cepat rusak selama proses penyimpanan beku. Selama proses penyimpanan beku juga akan terbentuk kristal es, sehingga protein miofibril akan mengalami hidrasi, penurunan pH, perubahan konsentrasi garam, hingga terdenaturasi.

Berdasarkan jurnal A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel yang ditulis oleh Jafarpour, et al. (2012), tekstur surimi yang tepat dapat diperoleh dengan meningkatkan proses gelasi protein ikan, karena sifat fungsional surimi seperti warna, WHC, kelembaban, dan kekuatan gel merupakan aspek penting dalam penerimaan produk berbasis surimi oleh konsumen. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi memodifikasi proses pembuatan surimi-tradisional atau untuk teknik pengolahan surimi dengan mengoptimalkan beberapa tahapan pembuatan surimi. Salah satunya adalah dengan mengubah sifat tekstur dan mobilitas air dari surimi. Tekstur surimi yang bersifat gel ini tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas daging ikan tetapi juga oleh berbagai bahan tambahan. Pada penelitian dalam jurnal ini, putih telur merupakan salah satu bahan tambahan yang digunakan dalam langkah-langkah persiapan surimi dalam rangka untuk mengubah sifat-sifat tekstur yang dihasilkan gel. Putih telur ini berfungsi sebagai inhibitor enzim untuk menghambat fenomena pelunakan gel selama proses gelasi termal, sehingga akan membuat produk surimi lebih elastis.

2.2. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas SurimiMenurut Suzuki (1981), kualitas surimi dapat dilihat dari kekuatan gel yang dipengaruhi oleh jenis ikan; umur; kematangan gonad; tingkat kesegaran ikan; pH; kadar air; volume, konsentrasi, dan jenis penambahan anti denaturan (cryoprotectant); serta frekuensi pencucian. Jenis, umur, kematangan gonad, dan kesegaran ikan dalam pembuatan surimi yang sesuai telah diatur oleh SNI 01-2694-1992 yang membahas syarat mutu bahan baku yang digunakan untuk membuat surimi. Menurut SNI 01-2694-1992, bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi harus bersih, bebas dari bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang menurunkan mutu, serta tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, berdasarkan SNI tersebut, untuk mempertahankan mutu surimi beku, bahan baku harus secepatnya diolah. Apabila terpaksa harus menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0C-5C). Karakteristik tingkat kesegaran menurut SNI 01-2694-1992 sekurang-kurangnya harus bersih, berwarna dan berbau daging spesifik tergantung pada jenis ikan, elastis padat, dan kompak dalam hal daging, serta netral agak manis dalam hal rasa. Berdasarkan teori Arfat & Benjakul (2012), jenis ikan juga mempengaruhi kualitas dari ikan karena tidak semua ikan dapat dijadikan bahan dasar pembuatan surimi. Ikan yang mengandung enzim proteolitik dalam jumlah yang tinggi dapat menghambat pembentukan gel pada produk surimi. Sehingga daging ikan yang tidak segar, pH yang tidak sesuai, jenis ikan yang mengandung banyak enzim proteolitik dapat menurunkan kualitas produk surimi.

Menurut Mahawanich (2008) dalam jurnalnya yang berjudul Preparation and Properties of Surimi Gels from Tilapia and Red Tilapia juga menyatakan bahwa jenis ikan akan mempengaruhi kualitas dari surimi yang dihasilkan karena masing-masing ikan memiliki kemampuan pembentukan gel yang berbeda. Surimi merupakan produk antara yang digunakan dalam pembuatan berbagai produk makanan. Surimi diperoleh dengan mencincang daging ikan, lalu dicuci untuk menghilangkan komponen larut dalam air, darah, dan enzim. Kemudian ditambahkan dengan krioprotektan untuk mencegah denaturasi protein selama penyimpanan beku. Di dalam jurnal dijelaskan bahwa surimi yang berkualitas adalah surimi yang mengandung protein dalam jumlah yang tinggi, rendah lemak, berwarna putih, tidak berbau amis, dan memiliki kemampuan pembentukan gel yang baik.

Sifat fungsional yang penting bagi kualitas produk surimi adalah sifat pembentukan gel dan daya ikat air. Adanya protein miofibril akan menyebabkan terjadinya pembentukan gel dan emulsi, dimana hal ini penting dalam stabilisiasi produk-produk olahan daging ikan. Faktor lain yang mempegaruhi sifat fungsional produk surimi adalah dari proses pengolahannya seperti misalnya proses pencucian, penambahan cryoprotectant, dan polifosfat yang ditambahkan, serta proses pembekuan. Untuk menjaga kualitas produk surimi, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu pada saat proses pembentukan gel akibat terbukanya lipatan protein dan reaksi antar molekul protein yang berdekatan, sehingga membentuk ikatan intermolekular; daya ikat air, dimana air yang diikat oleh protein melalui interaksi antara molekul air dan gugus hidrofilik dari gugus samping protein terjadi melalui ikatan hidrogen; serta proses emulsifikasi yang mengekstrak lapisan protein miofibril larut (Nurkhoeriyati et al., 2008). Schwarz & Lee (1988) menambahkan bahwa selama proses pembuatan surimi, faktor utama yang juga perlu diperhatikan adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan karena jumlah protein larut air yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Hal ini dikarenakan suhu air yang lebih tinggi dari 15C akan lebih banyak melarutkan protein yang larut air.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Phu, et al. (2010) dengan judul Gel-forming Characteristics of Surimi from White Croaker under the Inhibition of the Polymerization and Degradation of Protein juga dijelaskan bahwa kemampuan pembentukan gel pada surimi merupakan salah satu kebutuhan fungsional yang paling penting dalam menentukan kualitas yang baik pada produk berbasis surimi. Karakteristik pembentukan gel ini meliputi sifat-sifat khusus dari protein, seperti polimerisasi Myosin Heavy Chain (MHC) oleh ikatan silang dan ikatan disulfide enzim transglutaminase (TGase), serta degradasi MHC oleh protease. Pada penelitian jurnal ini, ikan yang digunakan adalah jenis ikan croaker putih, dimana dapat diketahui bahwa kemampuan pembentukan gel dari protein ikan tersebut terjadi pada pemanasan selama 20 menit pada suhu 40C dan 50C yang memberikan kontribusi terhadap efek gel yang dihasilkan.

Menurut jurnal Evaluation on Utilization of Small Marine Fish to Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents to Increase the Quality of Surimi yang ditulis oleh Agustini, et al. (2008), penambahan agen cryoprotective seperti sebagai bahan anti denaturasi protein sangat penting selama penyimpanan surimi beku. Penelitian dalam jurnal ini menggunakan 3 jenis agen cryoprotective, diantaranya sukrosa, gula stevia, dan sorbitol untuk melihat pengaruh penggunaanya terhadap kualitas ikan surimi beku berdasarkan nilai pH, daya ikat air (WHC), kekuatan gel, dan uji organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 jenis bahan anti denaturasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap surimi sebelum penyimpanan, namun setelah penyimpanan dalam suhu beku, surimi dengan perlakuan penambahan 3 jenis bahan anti denaturasi yang berbeda memberikan pengaruh yang signifikan terhadap WHC dan kekuatan gel yang dihasilkan, namun tidak terlalu berpengaruh pada nilai pH. Kualitas surimi beku yang paling baik jika dilihat dari nilai WHC dan kekuatan gel, yaitu pada surimi dengan penambahan agen cryoprotective gula stevia.

Penggunaan berbagai jenis cryoprotectant sebagai bahan anti denaturasi protein dalam pembuatan surimi beku juga dilakukan oleh Nopianti, et al. (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Effect of Different Types of Low Sweetness Sugar on Physicochemical Properties of Threadfin Bream Surimi (Nemipterus spp.) During Frozen Storage. Jenis cryoprotectant yang digunakan adalah jenis gula dengan tingkat kemanisan yang rendah, seperti aktitol, maltodexrin, palatinit, polydextrose, dan trehalose. Ikan yang digunakan dalam pembuatan surimi adalah jenis ikan threadfin bream. Setelah surimi ikan ini disimpan dalam keadaan beku selama 6 bulan, karakteristik kadar air, pH, WHC, warna, kekuatan gel, kelembaban, dan tekstur dianalisis. Umumnya, efektivitas dari cryoprotectant dalam mendenaturasi protein menurun selama penyimpanan, namun jika dibandingkan antara surimi yang menggunakan jenis cryoprotectant yang berbeda, surimi dengan polydextrose sebagai cryoprotectant menghasilkan surimi dengan kualitas yang paling baik.

2.3. Cara KerjaPembuatan surimi pada praktikum ini mula-mula dilakukan dengan mencuci ikan hingga bersih dengan air mengalir. Kemudian dilanjutkan dengan pemisahan bagian yang bukan daging, seperti kepala, isi perut, insang, sisik, sirip, tulang, ekor, dan kulit, sehingga didapatkan fillet daging ikan. Pembuangan bagian bukan daging yang dilakukan ini sesuai dengan prosedur dari Peranginangin, et al. (1999) yang menyatakan bahwa kepala, isi perut ikan, dan sisik dari ikan yang akan dibuat surimi harus dihilangkan dan dicuci bersih. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Fortina (1996) yang menjelaskan bahwa tahap ini dilakukan karena bagian yang tidak diperlukan pada pembuatan surimi, seperti kepala dan isi perut mengandung banyak minyak dan lemak yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis pada produk surimi. Selain itu, menurut Miyake, et al. (1985), isi perut juga mengandung enzim protease yang dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel dari produk surimi. Amalia (2002) mengungkapkan bahwa pencucian ikan perlu dilakukan untuk menghilangkan komponen larut air, lemak dan darah, serta dapat meningkatkan kekuatan gel dan memperbaiki penampakan.

Setelah dipisahkan dan dicuci maka sebesar 100 gram daging putih ditimbang dan kemudian di haluskan dengan blender. Selama penggilingan ditambahkan es batu agar suhu ikan tetap terjaga rendah. Menurut Arpah (1993), tujuan dari proses penggilingan ikan adalah untuk memperluas permukaan daging ikan, sehingga penyerapan bahan-bahan lain lebih mudah dan optimal. Penambahan es batu pada proses ini berdasarkan teori Irianto (1990) bertujuan agar menjaga kesegaran daging ikan dan protein tidak mengalami denaturasi. Gaman & Sherrington (1994) berpendapat pula bahwa penggunaan es batu dapat meminimalkan tumbuhnya mikroorganisme pembusuk karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim yang mempercepat kerusakan ikan. Oleh karena itu, penambahan es batu sangat penting karena ikan sangat mudah sekali mengalami kerusakan akibat kandungan air yang tinggi, dan pH yang mendekati netral (Zaitzev, et al, 1969).

Selanjutnya daging ikan yang telah dihancurkan, dicuci kembali dengan air es sebanyak 3 kali. Matsumoto & Noguchi (1992) mengungkapkan bahwa proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan surimi karena frekuensi dari pencucian dapat mempengaruhi kekuatan gel dari produk dan dapat mencegah protein miofibril terdenaturasi selama penyimpanan beku. Hal tersebut juga sesuai dengan teori Nopianti, et al., (2011) yang mengatakan bahwa kualitas produk dipengaruhi pula oleh proses ini karena dapat menghilangkan lemak, darah, pigmen, dan komponen penyebab bau, selain itu pencucian juga dapat membuat peningkatan kemampuan dari konsentrasi protein miofibril dan memperbaiki kemampuan pembentukan gel. Penggunaan air dalam keadaan dingin pada proses pencucian juga bertujuan agar meminimalisir kerusakan ikan.

Langkah berikutnya adalah penyaringan menggunakan kain saring. Menurut Kimball (1992), penyaringan dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak diharapkan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Suyitno (1989) yang menyatakan bahwa dengan penyaringan maka partikel padat dengan partikel cair akan terpisah. Partikel padat yang dimaksudkan pada praktikum ini adalah daging ikan, sedangkan partikel cair adalah air yang digunakan dalam tahap pencucian. Setelah disaring, kemudian dilakukan penambahan sukrosa, dimana pada kelompok A1, A2, dan A3 ditambahkan sebanyak 2,5%; pada kelompok A4, A5, dan A6 ditambahkan sukrosa sebesar 5% dari berat daging ikan, lalu ditambahkan pula garam sebesar 2,5% dari berat daging pada semua kelompok dan dilakukan penambahan polifosfat sebanyak 0,1% pada kelompok A1 dan A2; pada kelompok A3 dan A4 ditambahkan sebanyak 0,3%; sedangkan pada kelompok A5 dan A6 ditambahkan sebesar 0,5% dari berat daging ikan. Penambahan sukrosa pada praktikum ini telah sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Suzuki (1981) bahwa penambahan sukrosa berperan sebagai bahan anti denaturasi protein surimi (cryoprotectant), sedangkan tujuan penambahan garam adalah untuk melarutkan protein miofibril. Pelarutan protein miofibril dilakukan agar miosin mudah berikatan dengan aktin membentuk aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel. Oleh karena dilakukan penambahan garam, maka jenis surimi yang dibuat pada praktikum ini adalah jenis surimi ka-en. Penambahan garam sebanyak 2,5% juga sesuai dengan teori Tan, et al. (1988) dan Shimizu & Toyohara (1992) yang menyatakan bahwa konsentrasi garam yang paling umum digunakan untuk membuat produk surimi adalah 2-3%. Cryoprotectant dalam bentuk sukrosa sangat penting dalam hal menstabilkan produk surimi dan melindungi produk surimi dari denaturasi selama proses pembekuan dan penyimpanan beku karena cryoprotectant dapat meningkatkan tegangan permukaan air maupun pengikatan energi, serta menjaga pengambilan molekul air dari protein sehingga dapat menstabilkan protein pada surimi. Sedangkan penambahan polifosfat atau dalam bentuk sodium tripolifosfat (STTP) ini ditujukan untuk memperbaiki sifat surimi terutama sifat elastisitas dan kelembutannya. Suzuki (1981) menambahkan bahwa polifosfat juga bermanfaat untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) serta memberikan sifat lembut pada produk surimi. Menurut Shaviklo, et al. (2010), tujuan penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi adalah untuk meningkatkan efek cryoprotectant, karena polifosfat dapat memberi efek buffer pada pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat atau pengikat ion logam. Perbedaan konsentrasi sukrosa dan polifosfat pada masing-masing kelompok dilakukan untuk mengetahui konsentrasi tepat yang menghasilkan surimi paling baik dan hubungan antara konsentrasi bahan tambahan dengan karakteristik surimi.

Setelah semua bahan tambahan berupa sukrosa, garam, dan polifosfat dimasukkan, maka daging yang dihasilkan dimasukkan kedalam plastik dan kemudian dibekukan di dalam freezer pada suhu -10oC hingga -20oC selama semalam. Menurut Winarno (1993) penyimpanan surimi dalam freezer bertujuan agar kualitas surimi tetap optimal karena pada suhu rendah, aktivitas mikroba akan terhambat akibat tidak aktifnya enzim-enzim dalam mikroba. Murniyati (2005) menambahkan bahwa pembekuan sangat berperan penting dalam proses pembuatan surimi karena dengan pembenkuan maka dapat mempertahankan kualitas atau mutu surimi saat penyimpanan. Sedangkan tujuan dari pengemasan adalah dengan plastik adalah untuk menghindari kontak dengan udara. Setelah itu, menurut Lee (1984), sebelum diolah lebih lanjut, maka surimi harus di thawing terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan praktikum yang dilakukan, dimana pada sebelum dilakukan pengujian, surimi di thawing terlebih dahulu selama kurang lebih 1 jam. Setelah tidak adanya kristal es dalam surimi, pengujian sensoris surimi (tingkat kekenyalan dan aroma) dilakukan terlebih dahulu oleh 1 orang panelis dan kemudian surimi ditekan dengan alat press untuk selanjutnya digambar di atas kertas millimeter block, sehingga dapat dihitung Water Holding Capacity pada produk jadi (kelompok A1-A6).

2.4. Hasil Pengamatan2.4.1. Water Holding Capacity (WHC)WHC (Water Holding Capacity) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi produk seperti surimi yang akan berdampak, baik secara ekonomi maupun kualitas produk akhir itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan, nilai WHC yang didapat pada masing-masing kelompok berbeda-beda. Nilai WHC tertinggi terjadi pada surimi kelompok A1, yaitu sebesar 322243,25 mg H2O, sedangkan nilai WHC terendah diperoleh pada surimi kelompok A3, yaitu sebesar 250864,98 mg H2O. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Lilis & Rudy (2011) bahwa seharusnya dengan semakin meningkatnya kadar anti denaturan dan garam, maka nilai WHC (Water Holding Capacity) juga semakin meningkat karena mekanisme kerja dari cryoprotectant adalah menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku, sehingga dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen (Fennema, 1985). Menurut Winarno, et al. (1980), penambahan sukrosa dapat berpengaruh terhadap daya ikat dari air atau WHC, dimana semakin banyak sukrosa yang ditambahkan maka WHC akan semakin tinggi. Sukrosa dapat berperan sebagai agen untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena sifat sukrosa yang dapat mengikat air sehingga menurunkan kadar Aw. Shaviklo, et al. (2010) menambahkan pula bahwa penambahan sukrosa dan garam secara bersamaan seharusnya dapat meningkatkan WHC, sehingga seharusnya yang memiliki nilai WHC tertinggi adalah surimi pada kelompok A5 dan A6. Nilai WHC pada praktikum ini menunjukkan besarnya kemampuan sukrosa dalam mengikat air pada produk surimi. Selain konsentrasi garam dan sukrosa yang berpengaruh dalam hasil nilai WHC yang didapat, konsentrasi polifosfat juga berpengaruh, dimana penambahan sukrosa dan polifosfat juga akan berpengaruh pada nilai WHC surimi, hal ini disebabkan karena penambahan polifosfat pada daginng giling lumat akan mempertahankan pH dan apabila pH terjaga hal ini akan berdampak pada peningkatan WHC. Ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori disebabkan karena tekanan dan waktu pemberian pressing pada surimi masing-masing kelompok berbeda dan ketidaktepatan konsentrasi dalam penambahan garam, sukrosa maupun polifosfat.

2.4.2. SensorisPengamatan secara sensoris pada surimi dilakukan untuk menentukan tingkat kekenyalan dan aroma. Menurut Heruwati, et al. (1995), salah satu kriteria penentuan mutu surimi dapat dilihat pada tingkat elastisitas dari produk yang dihasilkan (pembentukan gel ikan). Semakin kenyal surimi, maka kualitas yang dihasilkan akan semakin bagus. Nopianti, et al. (2011) menjelaskan bahwa fosfat merupakan komponen alami yang terdiri dari garam fosfor dan mineral lain. Komponen fosfat sodium tripolyphosphate (STTP), sodium pyrophosphate (SPP), sodium hexametaphosphate (SHMP), dan tetrasodium pyrophosphate (TSP) sering digunakan dalam produk surimi. Penggunaan bahan tambahan ini berfungsi sebagai penurun viskositas pasta. Selain itu, fosfat juga berfungsi untuk meningkatkan retensi air dan juga kemampuan untuk menyerap kembali cairan saat surimi di thawing.

Nopianti, et al. (2011) menambahkan bahwa berdasarkan tingkat kekenyalannya, semakin tinggi penambahan polifosfat hingga 0,3%, maka surimi yang dihasilkan semakin kenyal karena senyawa fosfat dapat meningkatkan pH yang berdampak membaiknya pembentukan gel, hal ini disebabkan karena peningkatan kemampuan daya ikat air umumnya terjadi pada pH yang tinggi, sedangkan penambahan polifosfat sebanyak 0,5% justru akan mengakibatkan pembentukan kekuatan gel yang tinggi, sehingga tekstur dari surimi semakin tidak kenyal, namun semakin keras. Hal ini tidak sesuai dengan hasil pengamatan sensoris pada tingkat kekenyalan kelompok A4 dan A6, dimana seharusnya pada penambahan polifosfat 0,3% pada kelompok A4 dihasilkan surimi dengan tingkat kekenyalan yang tinggi, sedangkan pada surimi kelompok A6 dihasilkan surimi dengan tingkat kekenyalan yang lebih rendah daripada kelompok A3 dan A4 karena jumlah penambahan polifosfat sebanyak 0,5%. Seharusnya tingkat kekenyalan surimi kelompok A1 juga sama dengan A2, A3 sama dengan A4, dan A5 sama dengan A6 karena jumlah penambahan polifosfat sama banyaknya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Peranginangin, et al. (1999) bahwa penambahan polifosfat yang baik yaitu sebesar 0,2 %-0,3% dalam bentuk garam natrium tripolifosfat yang berpengaruh terhadap kekenyalan surimi. Pernyataan tersebut sesuai dengan tingkat kekenyalan surimi kelompok A3, dimana dengan penambahan polifosfat 0,3%, maka dihasilkan tekstur surimi yang paling kenyal jika dibandingkan dengan surimi pada kelompok lain. Kekenyalan yang tinggi atau kekuatan gel yang besar juga merupakan salah satu indikator yang penting dalam kualitas produk surimi. Chen, et al. (1997) mengungkapkan bahwa kekuatan gel dan kekenyalan yang menurun pada praktikum kemungkinan disebabkan karena oksidasi yang mempercepat perubahan ikatan kimia, termasuk diantaranya ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein. Selain itu, ketidaksesuaian hasil dengan teori dan pada masing-masing kelompok yang menggunakan polifosfat dalam jumlah yang sama dapat terjadi dikarenakan penimbangan polifosfat yang tidak akurat, sehingga mempengaruhi tingkat kekenyalan surimi.

Bau amis pada surimi dapat timbul karena adanya reaksi oksidasi pada ikan yang menyebabkan asam lemak berubah menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat tahap pencucian (Peranginangin, et al., 1999). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan sukrosa dan polifosfat, maka surimi yang dihasilkan semakin tidak berbau amis. Bau amis yang timbul sebenarnya tidak dipengaruhi oleh semakin tingginya konsentrasi sukrosa dan polifosfat, namun bau amis yang terjadi pada surimi kelompok A1 hingga A4 dikontribusi oleh senyawa trimetilamin yang masih terkandung dalam surimi, walaupun telah dilakukan proses pencucian. Hal ini menunjukkan bahwa proses pencucian surimi pada tahap awal produk tidak berjalan optimal sehingga masih terdeteksi bau amis. Irianto & Giyatmi (2009) mengungkapkan bahwa perlakuan pencucian seharusnya dapat menghilangkan bau / aroma yang tidak diinginkan, seperti bau yang disebabkan oleh senyawa trimetilamin (salah satu senyawa utama pembentuk aroma pada ikan). Teori ini didukung pula oleh Peranginangin, et al. (1999) yang mengatakan bahwa surimi merupakan daging ikan lumat yang telah dibersihkan dan dicuci berulang-ulang sehingga sebagian besar komponen bau, darah, pigmen dan lemak hilang. Peranginangin, et al. (1999) menambahkan pula bahwa aroma amis surimi juga dipengaruhi oleh bahan baku ikan. Jika bahan baku ikan yang digunakan untuk diolah menjadi surimi tidak terlalu amis, maka surimi yang dihasilkan juga tidak akan beraroma terlalu amis. Menurut Aitken, et al. (1982), metode sensoris memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah dapat diaplikasikan pada semua produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium lengkap, cepat, tidak merusak sampel untuk diolah lebih lanjut, dan sesuai dengan kriteria evaluasi yang mampu diterima oleh konsumen, sedangkan kekurangannya adalah sulit untuk distandarisasi karena penilaian bersifat subjektif. 22

20

3. KESIMPULAN

Surimi merupakan produk olahan ikan setengah jadi yang terdiri dari konsentrat protein miofibril dan memiliki daya guna tinggi. Kualitas produk surimi dipengaruhi oleh jenis ikan; umur; kematangan gonad; tingkat kesegaran ikan; pH; kadar air; volume, konsentrasi, dan jenis penambahan anti denaturan (cryoprotectant); serta frekuensi pencucian. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi harus bersih, bebas dari bau, bebas dari tanda dekomposisi, dan tidak membahayakan kesehatan. Sifat fungsional yang penting bagi produk surimi adalah sifat pembentukan gel dan daya ikat air yang tinggi. Pemisahan daging dan organ yang tidak diinginkan bertujuan untuk menghilangkan bagian yang berlemak yang dapat memicu kerusakan surimi. Proses pencucian berfungsi untuk menghilangkan bau amis, meningkatkan kekuatan gel, dan memperbaiki penampakan. Penggilingan daging dengan es batu bertujuan untuk memperluas luas permukaan daging ikan supaya tidak terjadi kerusakan. Sukrosa digunakan sebagai bahan anti denaturasi protein surimi (cryoprotectant). Penambahan garam bertujuan untuk melarutkan protein miofibril agar miosin mudah berikatan dengan aktin untuk pembentukan gel. Penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi bertujuan untuk memberikan efek buffer pada pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, garam, dan polifosfat yang ditambahkan, maka nilai WHC akan semakin meningkat. Semakin tinggi konsentrasi polifosfat yang ditambahkan, maka tingkat kekenyalan akan semakin meningkat, dimana penambahan polifosfat sebanyak 0,3% akan menghasilkan tekstur surimi yang paling kenyal.

Semarang, 21 September 2014Asisten Dosen : Dea Nathania

Melita Mulyani(12.70.0080)4. 5. DAFTAR PUSTAKA

Afrat Yasir, A. & Benjakul, S. (2012). Gelling Characteristics of Surimi from Yellow Stripe Trevally (Selaroides leptolepis). www.intaquares.com. Diakses pada tanggal 20 September 2014 pukul 18.17 WIB.

Agustini, T. W.; Y. S. Darmanto & Danar P. K. P. (2008). Evaluation on Utilization of Small Marine Fish to Produce Surimi Using Different Cryoprotective Agents to Increase the Quality of Surimi. Journal of Coastal Development Vol. 11, Number 3: 131-140.

Aitken, A.; I. M. Mackie.; J. H. Merrit & M. L. Windsor. (1982). Fish Handling and Processing 2nd Edition. Ministry of Agriculture, Fisheries, and Food. USA.

Amalia, Z. I. Z. (2002). Studi Pembuatan Kamaboko Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) dengan Berbagai Pencucian dan Jenis Pengikat [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.

Bahar, H. (2004). Sumber Daya Perikanan Indonesia. Galia Indonesia. Jakarta.

Chen H. H.; Chiu E. M. & Huang J. R. (1997). Color and Gel-Forming Properties of Horse Mackerel (Trachurus japonicus) as Related to Washing Conditions. Journal of Food Science. Vol. 62 (5): 985 991.

Collete, B. B. & Nauen C. E. (1983). FAO Species Catalogue Vol. 2. Scombrids of the World. An Annotated and Illustrated Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos and Related Species Known to Date. FAO Fish. Synop. 125 (2). Food and Agriculture Organization. Rome.

Fennema, O. W. (1985). Principle of Food Science, Food Chemistry, 2nd Edition. Marcel Dekker Inc. New York.

Fortina, Des. (1996). Pengaruh Penambahan Bahan Pembentuk Flavor, Lama Pelapisan (Coating) dan Lama Pengukusan Terhadap mutu Akhir Daging Rajungan Imitasi dari Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gaman, P. M & K. B. Sherrington. (1994). Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Heruwati E. S.; Murtini J.T.; Rahayu S. & Suherman. (1995). Pengaruh Jenis Ikan dan Zat Penambah terhadap Elastisitas Surimi Ikan Air Tawar. Jurnal Penelitian Perikanan Inonesia 1: 12-17.

Irianto B. (1990). Teknologi Surimi: Salah Satu Cara Mempelajari Nilai Tambah Ikan yang Kurang Dimanfaatkan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 9 (2): 35-39.

Irianto H. E. & Giyatmi S. (2009). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas Terbuka. Jakarta.

Jafarpour, A.; Habib-Allah H. & Masoud Rez aie. (2012). A Comparative Study on Effect of Egg White, Soy Protein Isolate and Potato Starch on Functional Properties of Common Carp (Cyprinus carpio) Surimi Gel. Journal Food Process Technol 3:190. Iran.

Kimball, J.W. (1992). Biologi jilid 1 Edisi 5. Erlangga. Jakarta.

Lee C. M. (1984). Surimi Process Technology. Journal Food Techonology 38 (11) : 69-80.

Lilis, S. & Rudy P. (2011). Sifat Fisik dan Kimia Nikumi Daging Kuda dengan Penambahan Antidenaturan dan Natrium. Jurnal Ilmu Ternak. Vol.11. No.1, p.6-12.

Liptan (Lembar Informasi Pertanian). (2000). Pengolahan Ikan Nila Merah. LPTP Puntikayu. Sumatera Selatan.

Mahawanich, Thanachan. (2008). Preparations and Properties of Surimi Gels from Tilapia and Red Tilapia. Naresuan University Journal. Vol 16(2) : 105-111.

Matsumoto J.J. & Noguchi S. F. (1992). Cryostabilization of Protein in Surimi. In: Lanier T.C. and Lee C.M. (eds). Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. New York.

Miyake, Y.; Y. Hirasawa & M. Miyanabe. (1985). Technology of Surimi Manufacturing. Infofish Marketing Digest 6:31-34. Kuala Lumpur.

Moeljanto. (1994). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Murniyati, A. S. (2005). Pembekuan Ikan. SUPM Tegal. Tegal.

Nopianti, R.; Huda, N.; Fazilah, A.; Ismail, N. & Easa, A. M. (2012). Effect of Different Types of Low Sweetness Sugar on Physicochemical Properties of Threadfin Bream Surimi (Nemipterus spp.) During Frozen Storage. International Food Research Journal 19 (3): 1011-1021. Malaysia.

Nopianti, R.; Nurul Huda & Noryanti Ismail. (2011). A Review on The Loss of The Functional Properties of Proteins During Frozen Storage and The Improvement of Gel-forming Properties of Surimi. American Journal of Food Technology Vol. 6 (1): 19-30.

Nurkhoeriyati, T.; Nurul Huda & Ruzita A. (2008). Perkembangan Terbaru Teknologi Surimi. Malaysia.

Peranginangin R; Wibowo S; Nuri Y. & Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

Phu, Ngo Van; Katsuji M. & Yoshiaki I. (2010). Gel-forming Characteristics of Surimi from White Croaker under the Inhibition of the Polymerization and Degradation of Protein. Journal of Biological Sciences 10 (5): 432-439. Japan.

Saanin, H. (1984). Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Bandung.

Schwarz M. D. & Lee C. M. (1988). Comparison of The Thermostability of Red Hake and Alaska Pollack Aurimi During Processing. Journal of Food Science. Vol. 53 (5): 1347-1351.

Shaviklo, G. R.; Gudjon T. & Sigurjon Arason. (2010). The Influence of Additives and Frozen Storage on Functional Properties and Flow Behaviour of Fish Protein Isolated from Haddock (Melanogrammus aeglefinus). Turkhish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 333-340.

Shimizu Y & Toyohara H. (1992). Surimi Production from Fatty and Dark-Fleshed Fish Species. In: Lanier TC, Lee CM, ed. Surimi Technology. Marcel Dekker, Inc. Page.425-442. New York.

Sonu S. C. (1986). Surimi. NOAA Technical Memorandum NMFS. Terminal Island. California.

Standar Nasional Indonesia. (1992). Surimi Beku. Badan Standarisasi Nasional [SNI 01-2694-1992]. Jakarta.

Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas. Jakarta.

Suzuki, T. (1981). Fish and Krill Protein. Applied Science Publ., Ltd. London.

Tan S. M.; Ng M. C.; Fujiwara T.; Kok K. H. & Hasegawa H. (1988). Handbook on the Processing of Frozen Surimi and Fish Jelly Products in Southeast Asia. Marine Fisheries. Research Department-South East Asia Fisheries Development Center. Singapore.

Winarno F. G. (1993). Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno F. G.; Fardiaz S. & Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Zaitsev, V.; I. Kizevetter; L. Lagunov; T. Makarova; L. Minder & V. Podselalov. (1969). Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.

6. 7. LAMPIRAN7.1. PerhitunganRumus perhitungan WHC (mg H2O):

Kelompok A1

Kelompok A2

Kelompok A3

Kelompok A4

Kelompok A5

Kelompok A6

7.2. Diagram Alir7.3. Laporan Sementara