97
UNVERSITAS INDONESIA PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM KONTRAK KOMERSIL PADA PERJANJIAN KEMITRAAN INTI-PLASMA (Analisis Hukum Terhadap Proses Pra dan Pembentukan Kontrak Sehubungan Dengan Keberadaan Klausul Pembatasan dan Penjaminan) TESIS MAYA HASANAH, SH 0906498181 FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN DEPOK JULI 2011 Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

  • Upload
    letu

  • View
    274

  • Download
    6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

UNVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITASDALAM KONTRAK KOMERSIL

PADA PERJANJIAN KEMITRAAN INTI-PLASMA

(Analisis Hukum Terhadap Proses Pra dan Pembentukan Kontrak SehubunganDengan Keberadaan Klausul Pembatasan dan Penjaminan)

T E S I S

MAYA HASANAH, SH0906498181

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

DEPOK

JULI 2011

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 2: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

i

UNVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITASDALAM KONTRAK KOMERSIL

PADA PERJANJIAN KEMITRAAN INTI-PLASMA

(Analisis Hukum Terhadap Proses Pra dan Pembentukan Kontrak SehubunganDengan Keberadaan Klausul Pembatasan dan Penjaminan)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar MagisterKenotariatan

MAYA HASANAH, SH0906498181

FAKULTAS HUKUM

MAGISTER KENOTARIATAN

DEPOK

JULI 2011

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 3: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

HALAMAN PERI\YATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip rnriupun dirujuk

telah saya nyatakan de'lrgan benar

Nama

NPM

Tanda Tangan

Tanggal

: MAYA HASANAH, S.H

:0906498181

: 18 Juli 201I

11

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 4: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

Judul Tesis : PENERAPAN ASAS pRopoRSIoNALITAS DALAM

Tesis ini diajukan oleh

Nama

NPM

Program Studi

Telah berhasil dipertahankan

bagian persyaratan yang

Kenotariatan pada Program

Universitas Indonesi a.

HALAMAN PENGESAIIAN

di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai

diperlukan untuk memperoleh gelar Magister

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

MAYA HASANAH, S.H

09064981 81

Magister Kenotariatan

KONTRAK KOMERSIL PADA PERJANJIAN KEMITRAANINTI-PLASMA(Analisis Hukum Terhadap proses pra dan pembentukan KontrakSehubungan Dengan Keberadaan Klausul pembatasan danPenjaminan)

Pembimbing

Penguji

Penguji

Ditetapkan di

Tanggal

DEWAN PENGUJI

Prof HikmahantoJuwana, S.H, LL.M,

Akhmad Budi Cahyono, S.H, M.H

Wenny Setiawati, S.H, M.LI

Depok

I I Juli 201I

lu

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 5: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas Rahmat serta Karunia-Nya yang tiada henti

hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari bahwa

tanpa bantuan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan hingga pada saat

penyusunan tesis ini, sangatlah tidak mungkin bagi penulis untuk menyelesaikan

tesis ini, oleh karena itu, dengan tulus penulis haturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Hikmahanto Juwana, S.H, LL.M, Ph.D, selaku pembimbing,

atas kesabaran, waktu, tenaga, dan pikiran yang beliau sediakan dalam

mengarahkan dan memberikan bimbingan serta masukan kepada penulis,

2. Para ’Guru Senior’ yang tak pernah kenal lelah mengajarkan nilai-nilai

kenotariatan dan kebijaksanaannya pada kami, Ibunda Darwani Sidi

Bakaroeddin, SH, Ibu Arikanti Natakusumah, SH, Ibu Dr.Roesnatitie

Prayitno, SH, Ibu Chaerunissa Said Selenggang, SH, MKn, Ibu Milly

Karmelia Sareal, SH.

3. Seluruh Staf Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, yang telah membagi ilmu serta

pengalamannya dengan tulus,

4. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H, M.H, selaku Ketua Program

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, atas

upayanya dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif dalam

proses belajar mengajar di Program Magister Kenotariatan FH-UI.

5. Para staf administrasi sekretariat program Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, atas segala bantuan, informasi dan

kemudahan yang diberikan: Bapak Suparman, Pak Aji, Mas Bowo, Pak

Daman.

6. Sahabat-sahabat yang selalu mendorong untuk terselesaikannya tesis ini:

Missi Ananda, Sendy Yudhawan, Lia Amalia, Fransisca Ani Hutasoit,

Ludwig Kriekhoff, Deddy Nurhidayat, Cucu Asmawati, Popi Oktaviani,

para zonaers, serta rekan-rekan mahasiswa/i Magister Kenotariatan FH-UI

2009 yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu dalam kata

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 6: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

v

pengantar ini, trima kasih atas kebersamaannya dan optimismenya dalam

berbagi suka dan duka selama proses ’menimba’ ilmu ini,

7. Almarhum Ayahanda M.Djaja Agoes atas teladan dan peninggalan buah

’kebijakan’nya yang telah menghantarkan penulis tumbuh dewasa. Ibunda

Sri Istuti Mamik atas segala daya upayanya mendidik dan atas setiap ucap

do’a yang dipanjatkannya untuk penulis,

8. Seluruh keluarga, supporter terhebat dalam proses belajar ini; Nines dan

Bude Sup, atas kerelaan dan ketulusannya untuk berbagi tugas,sehingga

segalanya bisa berjalan sesuai rencana kita. Seluruh kakak-kakak, baik dari

keluarga Malang dan Tumpang, yang yang tak hentinya memberi

dukungan morilnya kepada penulis. Serta segenap keluarga besar Pondok

Pesantren Surya Buana yang turut memberikan doa dan dorongannya

kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi ini.

9. Suamiku Hari Martana Wibowo, atas segala pengertian dan

pengorbanannya baik materiil maupun sprituil bagi keberhasilan studi

penulis serta ketulusannya dalam berbagi ’Hidup dan Kehidupan’, dan

Aldrichia Acmelaya Wibowo, penyejuk hatiku, semoga segala yang mima

lakukan ini bisa menginspirasimu untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Penulis juga sampaikan terimakasih kepada pihak-pihak lain yang turut

membantu dalam penulisan tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu.

Akhirnya ”tiada gading yang tak retak” dan penulis menyadari bahwa

penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga masukan, saran dan kritik

akan selalu penulis harapkan untuk peneyempurnaan penulisan ini. Akhir kata

penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan yang penulis

lakukan pada proses maupun dalam penulisan tesis ini. Semoga Allah SWT

mengampuni kesalah kita dan berkenan menunjukkan jalan yang benar.

Kampus UI-Depok, 1 Juli 2011

Penulis,

Maya Hasanah

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 7: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI TUGAS AKHIRTINTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

NamaNPMProgram StudiFakultasJenis karya

MAYA HASANAH0906498181Magister KenotariatanHukumTesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepadaUniversitas lndonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yangberjudul :

PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM KONTRAKKOMERSIL PADA PERJANJIAN KEMITRAAN INTI.PLASMA

(Analisis Hukum Terhadap Proses Pra dan Pembentukan Kontrak Sehubungan

Dengan Keberadaan Klausul Pembatasan dan Penjaminan)

beserta perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas RoyaltiNoneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menfmpan, mengalihmedia/ ---format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, danmernublikasikan fugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagaipenulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan daripihak manapun

Dibuat di : DepokPada tanggal : 18 Juli 201I

Yang menyatakan

( MAYA HASANAH, S.H )

vl

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 8: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

vii

ABSTRAK

Nama : MAYA HASANAHProgram Studi : Magister KenotariatanJudul : PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM

KONTRAK KOMERSIL PADA PERJANJIAN KEMITRAANINTI-PLASMA(Analisis Hukum Terhadap Proses Pra dan PembentukanKontrak Sehubungan Dengan Keberadaan Klausul Pembatasandan Penjaminan)

Tesis ini membahas mengenai beberapa klausul spesifik dalam PerjanjianKemitraan Inti-Plasma dengan menggunakan asas proporsionalitas sebagailandasan utama untuk menilai apakah perjanjian tersebut telah mengakomodirkepentingan para pihak secara fair. Penelitian ini adalah penelitian eksplanatorisdengan menggunakan metode yuridis-normatif, dimana dari data sekunder yangada dilakukan analisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwadalam hubungan kemitraan inti-plasma ini para pihak berada dalam ‘posisi tawar’yang tidak seimbang, sehingga pada tahap pra kontrak asas proporsional tidakterpenuhi, sedangkan pada tahap pembentukan kontrak terdapat klausul yangmemenuhi asas proporsionalitas, namun ada pula yang tidak memenuhi asasproporsionalitas. Pada akhirnya penulis menyarankan bahwa, diperlukanintervensi pemerintah untuk mengefektifkan program kemitraan inti-plasma ini,selain itu perlu adanya pembekalan wawasan akan aspek-aspek hukum kontrakserta konsekueansinya bagi para peternak/petani plasma, serta perlu dibentuksuatu organisasi peternak/petani plasma sebagai wadah advokasi/pendampinganpara anggotanya.

Kata Kunci:

Asas Proporsionalitas, Perjanjian, Kemitraan Inti-Plasma

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 9: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

viii

ABSTRACT

Name : MAYA HASANAHStudy Program : Magister of NotaryTitle : IMPLEMENTATION OF PROPORTIONALITY PRINCIPLE

IN COMMERCIAL CONTRACT FOR AN ‘INTI-PLASMA’PARTNERSHIP AGREEMENT(An Analysis To The Pre and Contract Process Related to TheRestriction Clause and The Guarantee Clause)

This thesis discusses about some specific clause in the ‘Inti-Plasma’Partnership Agreement using ‘the proportionality principle in commercialcontract’ as the primary basis for asessing whether the agreement hasaccommadate the interests of the parties fairly. This research is an explanatoryresearch which use ‘juridical-normative’ format were collected the data from theseccondary data which analysed by qualitative methods. The conclusion from thisstudy is, in the ‘inti-plasma’ relationship the parties are in a unbalance bargainingposition,so that in the stage of ‘pre-contract’ , that principle are not met, while atthe stage of ‘formation of contracts’ there are some clauses that met and does notmet with that principle. In the end, the researcher suggest that governmentintervention is needed to streamline the ‘inti-plasma partnership program’eficienly, in addition to the need for debriefing the ranchers/farmers about anyaspects of contract law and its consequences for their bussiness relation, besidethat it’s need to set up an organization of ranchers/farmers as a forum toaccommodate the inspirations and the interests of its member, so that throughthese forum can provide safeguards provisions for a fair contract although thecontract was made in the standard agreement.

Keyword:The proportionality principle, Agreement, ‘Inti-Plasma’ Partnership

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 10: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

ix

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 11: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................. iii

KATA PENGANTAR.............................................................................. iv

HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ............. vi

ABSTRAK ................................................................................................ vii

ABSTRACT.............................................................................................. viii

DAFTAR ISI............................................................................................. ix

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 12

1.4. Metode Penulisan ...................................................................... 12

1.5. Sistematika Penulisan ................................................................ 13

BAB 2. PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM KONTRAK

KOMERSIL TERHADAP PERJANJIAN KEMITRAAN INTI -

PLASMA

2.1. Hubungan Hukum dan Kedudukan Para Pihak dalam

Perjanjian Kemitraan Inti plasma................................................ 15

2.1.1. Hubungan Hukum dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma... 15

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 12: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

x

2.1.2. Kedudukan hukum Para Pihak dalam Perjanjian Kemitraan

Inti-Plasma. .............................................................................. 21

2.2. Perlunya Penerapan Asas Proporsionalitas dalam

Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma. .............................................. 24

2.3. Analisis Penerapan Asas Proporsionalitas dalam

Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma .............................................. 27

2.3.1. Penerapan Asas Proporsionalitas pada Tahap Pra-Kontrak

Pada Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma .................................. 29

2.3.2. Penerapan Asas Proporsionalitas pada Tahap Pembentukan

Kontrak Pada Perjanjanjian Kemitraan Inti-Plasma ................ 38

2.3.2.1. Penerapan Asas Proporsionalitas Pada Tahap Pembentukan

Kontrak ditinjau dari Syarat Sah Kontrak............................. 40

2.3.2.2. Analisa Penerapan Asas Proporsionalitas terhadap Klausul

Pembatasan dan Klausul Penjaminan.................................... 47

A. Klausul Pembatasan Penggunaan Bibit Ayam dan Sarana

Produksi Ternak dan Penjualan Hasil Ternak................. 47

B. Klausula Penjaminan Terhadap Pasokan Sapronak yang

Dianggap Sebagai Hutang .............................................. 54

2.4 Kendala-Kendala dalam Pembentukan Perjanjian Kemitraan

Inti-Plasma yang Proporsional ................................................. 59

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 13: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

xi

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................... 64

3.2. Saran .......................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 68

LAMPIRAN- LAMPIRAN

1. Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma yang dibuat oleh PT. Super

Unggas Jaya

2. Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma yang dibuat oleh PT. Nusantara

Unggas Jaya

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 14: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

1

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkembangan ekonomi yang kian cepat merupakan sualah satu indikator

keberhasilan pembangunan suatu bangsa, demikian juga yang terjadi di Indonesia.

Dewasa ini Perkembangan ekonomi di Indonesia berjalan dengan cepat, hal

tersebut berbanding lurus dengan makin banyak dan beragamnya aktivitas bisnis

komersial yang terjadi di Indonesia. Berbagai skema kerjasama bisnis muncul

dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bisnis masyarakat di

setiap lapisan. Demikian pula yang terjadi pada sektor agraris, yang mana sektor

ini memegang peranan penting bagi kehidupan perekonomomian bangsa

Indonesia.

Dibandingkan sektor lainnya (sektor manufaktur non pertanian), sektor

pertanian termasuk yang relatif bertahan dari goncangan krisis ekonomian 1998

ini, bahkan petani produsen beberapa jenis komoditas pertanian seperti kakao,

minyak sawit, udang, serta unggas (salah satunya ayam ras) telah mengalami

lonjakan pendapatan, karena sebagian besar untuk tujuan ekspor.1 Data Produk

Domestik Bruto CPDB dan BPS juga menunjukkan hal serupa, laju

pertumbuhan PDB sektor pertanian atas dasar harga konstan tahun 1993 adalah

sebesar 3,14% untuk tahun 1996, 1% Tahun 1997, 0,81% tahun 1998, dan

0,67% tahun 1999. Dalam tahun 1999 PDB tanaman bahan pangan tumbuh

sebesar 1,37%, tanaman perkebunan 3,26% ; peternakan 0,05% ; Kehutanan

turun 8,15%, dan perikanan 2,19%.2

1 Anonim, “Agrobisnis Pilihan Tepat di Saat Krisis” Kompas 23 Juli 2002, hal.8.2 Republik Indonesia, Panitia Statistik Pusat, “Data statistik Produk Domestik Bruto CPDB

dan BPS per tahun 2000”, 12 Februari 2003.<http://www.deptan.go.id./informasi/april2000/pdb/pdf>

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 15: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

2

UNIVERSITAS INDONESIA

Dibandingkan dengan PDB nasional, PDB sektor pertanian juga cukup

tinggi. Sebagai gambaran nilai PDB sektor pertanian, termasuk didalamnya

pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan tercatat sebesar

214,9 Trilyun atau sekitar 19,4% dari nilai total PDB nasional. PDB tersebut

meningkat pesat apabila dimasukkan nilai PDB yang dihasilkan industri

pengolah yang berbahan bukan hasil-hasil pertanian. Sebagai contoh nilai PDB

yang dihasilkan industri pengolahan yang berbahan baku komoditi primer

perkebunan adalah sebesar Rp.166,6 Trilyun, atau lebih dari empat kali lipat

nilai PDB komoditi primer perkebunan yang besarnya Rp. 37,6 Trilyun.3

Disisi lain realitas globalisasai memberikan sebuah tuntutan khususnya

dalam bidang ekonomi, yang mana setiap sektor usaha harus tampil pada tingkat

efisiensitas yang maksimal. Dengan melihat tuntutan globalisasi dan kondisi

petani kecil di Indonesia, membuat pemerintah memformulasikan sebuah

perpaduan antara kebijakan pemerintah yang has dan perkembangan teori

pembangunan internasional yang cenderung melahirkan dualisme kebijakan

pembangunan ekonomi. Dualisme kebijakan ini terlihat dari beberapa dikotomi

seperti ‘pertumbuhan versus pemerataan’, ‘modern versus tradisional’, ‘industri

versus pertanian’, bahkan ‘intervensi langsung pemerintah versus orientasi

mekanisme pasar’.4 Lebih lanjut salah satu bentuk kebijakan ekonomi yang

bersifat dualistik adalah kebijakan yang bermaksud untuk melakukan efisiensi

terhadap pertanian rakyat (petani kecil) dengan mengatur hubungan petani kecil

dan petani besar (perusahaan) dalam berbagi skema kemitraan, salah satunya

melalu pola Inti-Plasma. Skema kemitraan ini mengatur hubungan kerjasama yang

dituangkan dalam perjanjian kerjasama antar perusahaan penghasil produk-produk

yang terkait dengan penyediaan sarana produksi pertanian yang selanjutnya dalam

penelitian ini disebut sebagai ‘inti’ dengan petani kecil yang selanjutnya akan

disebut sebagai ‘Plasma’ dalam pola kemitraan Inti-Plasma. Dengan mana ‘inti’

sebagai pihak pertama berkewajiban untuk menyediakan sarana produksi dan

3 Anonim, loc.cit.4 Paramita Prananingtyas, “Pembaharuan Peraturan Perundang-undangan Mengenai

Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia,” (Makalah disajikan dalam seminar tentang Kajianperaturan Perundang-Undangan tentang Pengembangan Usaha Kecil Menengah, Jakarta, 26 Juli2001), hal.4.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 16: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

3

UNIVERSITAS INDONESIA

membeli hasil produksi dari plasmanya, sedangkan ‘plasma’ wajib menggunakan

sarana produksi yang dipasok oleh ‘inti’ serta menjual hasil produksinya kepada

inti.

Sepintas lalu pola kemitraan ini sungguh menguntungkan kedua pihak,

yakni baik perusaahaan sebgai ‘Inti’ maupun petani sebagai ‘Plasma’. Karena

melalui hubungan kerjasama demikian inti telah mendapatkan pasar yang tetap

untuk mendistribusikan hasil produksinya, sekaligus memperoleh sumber bahan

baku produk olahan yang lain. Sedangkan dari pihak ‘plasma’ akan mendapat

keuntungan yang pasti dengan memperoleh sarana produksi yang murah serta

pasar untuk mendistribusikan hasil produksinya secara tetap, sehingga terdapat

kepastian penjualan dalam hasil produksinya.

Bagi ‘plasma’ pengaturan demikian itu memang menawarkan sejumlah

keuntungan potensial dibandingkan dengan produksi untuk pasar terbuka.5

Sampai tingkat tertentu mereka dapat meramalkan pendapatan mereka secara

lebih pasti (jika pihak inti memberikan jaminan harga yang bersaing dan

mematuhi janjinya), melalui kaitan dengan pihak inti mereka dapat menikmati

ekonomi skala dalam mendapatkan sarana produksi dan jasa-jasa pendukung

(tetapi hanya jika penghematan tersebut diteruskan kepada mereka dalam bentuk

harga sarana yang lebih murah, dan harga hasil yang lebih tinggi daripada yang

ditawarkan di pasar terbuka), dan mereka memperoleh akses yang lebih luas

terhadap pasar untuk menjual hasilnya.6

Dalam Skema kemitraan ini diatur hubungan kerjasama antara perusahaan

penghasil produk-produk yang terkait dengan penyediaan sarana produksi

5 Pasar terbuka adalah pasar yang dalam mekanisme kerjanya penjual dan pembelidapat keluar dan masuk secara bebas tanpa dipengaruhi dengan adanya campur tanganpemerintah (dalam hal ini kebijakan) yang turut membatasi. Lihat Suherman Rosyidi,Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,1996). Hlm.370. Bandingkan dengan ketentuan Undang-Undang No.5Tahun Tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

6 A. Goldsmith, “The Private Sector and Rural Development: Can Agribusiness Help TheSmall Farmer?” dalam Tania Muray Li, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hlm.297.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 17: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

4

UNIVERSITAS INDONESIA

pertanian. Hubingan ini ternyata menimbulkan suatu hubungan kerjasama/bisnis

yang tidak seimbang, pasalnya pihak ‘inti’ sebagai pihak yang memiliki kekutan

modal (kapital power) lebih tinggi daripada ‘plasma’ serta dukungan politis

yang lebih kuat, akan lebih leluasa untuk menentukan segala tindakan yang

hendak dilakukan dalam kerjasama tersebut, sedangkan ‘plasma’ memiliki

kekuatan yang jauh berada dibawahnya, sehingga posisi tawar yang dimiliki

sangatlah rendah, bahkan dapat dikatakan tidak mempunyai posisi tawar yang

baik.

Hal ini Nampak pada kemampuan ‘inti’ yang secara sepihak dapat

melakukan pengendalian terhadap distribusi sarana produksi, pengolahan hingga

pemasaran, dengan demikian konsekuensi yang harus ditanggung oleh ‘plasma’

adalah harus membeli dan menggunakan sarana produksi yang telah dipasok dan

ditentukan oleh ‘inti’ serta menjual hasil produksinya kepada ‘inti’ dengan harga

tawar yang telah ditentukannya. Dengan demikian dalam skema kemitraan ini,

‘inti’ yang diharapkan dapat membina petani plasma justru memanfaatkan

‘power’ yang dimilikinya untuk menciptakan struktur pasar monopsonis.7 ‘Inti’

menjadi penentu harga (price determinator) untuk produk-produk yang

dihasilkan plasma, sedangkan para plasma hanya menjadi penerima harga (price

taker) karena kemampuan tawar yang demikian rendah.

Dalam hubungan kerjasama tersebut, sudah jelas terlihat bahwa hubungan

antara ‘inti’ dan ‘plasma’ merupakan suatu hubungan kerjasama/bisnis yang tidak

seimbang, pasalnya pihak ‘inti’ sebagai ‘pihak’ yang memiliki kekuatan modal

(capital power) lebih tinggi dari pada ‘plasma’ serta mempunyai dukungan politis

yang lebih kuat, akan lebih leluasa untuk menentukan segala tindakan yang

hendak dilakukan dalam kerjasama tersebut, sedangkan ‘plasma’ memiliki

kekuatan yang jauh berada dibawahya sehingga posisi tawar yang dimiliki

sangatlah rendah, bahkan dapat dikatakan tidak mempunyai posisi tawar yang

baik. Hal ini tampak pada kewenangan ‘inti’ yang secara sepihak dapat

melakukan pengendalian terhadap ditribusi sarana produksi, pengolahan hingga

7 Kondisi pasar yang monopsonis adalah kondisi pasar dimana hanya terdapat satu orangatau kelompok pembeli dengan beberapa produsen atau penjual, sehingga pembeli dapatdengan leluasa menentukan harga atas suatu barang atau jasa.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 18: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

5

UNIVERSITAS INDONESIA

pemasaran, dengan demikian konsekuensi yang harus ditanggung oleh ‘plasma’

adalah hanya dapat membeli dan menggunakan sarana produksi yang telah

dipasok dan telah ditentukan oleh ‘inti’ serta menjual hasil produksinya kepada

‘inti’ dengan harga tawar yang telah ditentukannya. Dengan demikian dalam

perjanjian kemitraan inti-plasma ini, posisi tawar antara para pihak yang secara

sosiologis sejak awal tidak seimbang tersebut meskipun telah didukung oleh

intervensi pemerintah tetap menghasilkan suatu hubungan kerjasama yang tidak

seimbang.

Sehingga menurut beberapa studi empiris terhadap beberapa komoditas

pertanian dengan pola inti-plasma (coorporate farming) telah membuktikan

ternyata model kemitraan ini ‘mempersubur’ fenomena kegagalan pasar yang

sangat tidak sehat, struktur pasar monopoli, atau lebih tepatnya oligopoli yang

menjurus kartel lebih banyak dijumpai.

Kekuatan dan privilege perusahaan inti sebenarnya atas bantuan dan

fasilitas tertentu yang diberikan oleh birokrasi pemerintah. Menariknya, pola

inti-plasma ini sangat digemari oleh birokrat, politisi, dan tentunya perusahaan

swasta, karena disamping secara ekonomis feasible, menguntungkan, dan mudah

dilaksanakan, juga secara politis justifiable, karena seakan-akan telah

mengembangkan pola kemitraan yang baik.

Jika fenomena di atas dikaitkan dengan penyebab makin melemahnya

kekuatan petani yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa pola

inti-plasma sebagai bentuk kemitraan antara petani kecil atau plasma dengan

perusahaan atau inti, bukan merupakan suatu jawaban atau solusi yang

memuaskan bagi peningkatan kesejahteraan petani kecil. Namun hal ini malah

menimbulkan ‘masalah di atas masalah’ yakni yang sebelumnya muncul

ketidakmapanan ekonomi dan ketidakefisienan petani plasma akhirnya ditambah

dengan masalah monopoli, yang makin mempertajam masalah ketidakmapanan

ekonomi.

Kondisi ini tentunya sangatlah bertentangan dengan arah kebijakan

ekonomi yang tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara Republik Indondesia,

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 19: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

6

UNIVERSITAS INDONESIA

yakni yang secara eksplisit dinyatakan dalam Bab IVb angka 11 TAP MPR

Nomor IV/1999 tentang GBHN Tahun 2000-2004, yakni:

“Memberdayakan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi agar lebih

efisien, produktif, dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha

yang kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya. Bantuan fasilitas

dari Negara diberikan secara selektif terutama dalam bentuk perlindungan

dari persaingan yang tidak sehat, pendidikan, dan pelatihan, informasi

bisnis dan teknologi, permodalan, dan lokasi berusaha”.

Lebih lanjut dalam hal ini diwujudkan melalui kebijakan pemerintah yang

diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil

dan Menengah yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro kecil dan Menengah, yang salah satunya

dimaksudkan untuk mendukung efisiensi terhadap usaha pertanian rakyat. Hal

yang perlu digaris bawahi dari arah kebijakan ekonomi di atas adalah, adanya

perlindungan dari pemerintah bagi pengusaha kecil (dalam hal ini plasma),

namun pada kenyataannya masalah yang penting bagi petani dalam keadaan

yang terisolasi dari pasar terbuka terletak pada pembagian nilai tambah antara

mereka sendiri dengan pihak Inti yang dirasa tidak seimbang. Untuk semua

rantai komoditas makanan, penentuan harga pada berbagai mata rantai produksi,

pengolahan dan pemasaran, bukanlah berdasarkan nilai tambah yang nyata atau

interaksi penawaran-permintaan, melainkan lebih mencerminkan kekuatan

relatif tawar-menawar secara sosial/politis dari para pihak yang terlibat di

dalamnya. Pertanian kontrak, dengan melembagakan hubungan

monopoli/monopsoni antara usaha tani kecil adan agribisnis, dapat

mencerminkan sifat dasar pasar nyata ini secara berlebihan.8

Menurut Riza Damanik, setidaknya terdapat tiga hal keuntungan yangdiperoleh ‘inti’ sekaligus kerugian dipihak 'plasma’.9 Pertama, dalam hal

8Goldsmith, op.cit., hlm.298.9Riza Damanik mencontohkan pada pola kemitraan inti-plasma yang dijalankan oleh

para petambak udang di lampung dengan PT. Dipasena. M Riza Damanik, “Pendapat Politik-UUUMKM.” Bisnis Indonesia 24 Oktober 2008. 20 maret2011.<http://pkbl.bumn.go.id/index/detail/id/189>.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 20: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

7

UNIVERSITAS INDONESIA

peningkatan kapasitas permodalan. Adanya kewajiban setiap plasma untukmengagunkan sertifikat tanah miliknya kepada Bank pemberi kredit untukmendapatkan modal usaha, telah membuat perusahaan (inti) menjadi gemukmodal. Di tahap awal dana pinjaman tersebut diserap oleh pihak inti gunamemulai pembangunan sarana-prasarana. Kedua, dalam hal pengembangan unitusaha, dengan adanya kewajiban setiap plasma membeli seluruh sarana-prasaranausaha seperti pakan, bibit, pupuk, hingga jasa penyuluhan maupun unit rumahyang disediakan inti; maka dengan sendirinya inti telah memperluas kegiatanusahanya tidak hanya terbatas pada ‘processing’ usaha terkait, penjual pakan,pupuk, dan bibit, hingga sebagai pusat jasa pendidikan dan pelatihan usaha.Bahkan bisnis “ikutan” ini jauh lebih menjanjikan, karena seluruh plasma adalahkonsumen yang wajib membeli produk tersebut. Ketiga, mengurangi resiko usaha.meski modal usaha yang merupakan wujud dari pinjaman plasma ke Bankpemberi kredit tidak berada dibawah kendali plasma dalam pengelolaannya,namun setiap plasma diwajibkan untuk membayar kewajiban yang ditimbulkandari proses kredit tersebut kepada Bank melalui inti. Hal ini bisa menggambarkan,bahwa resiko kegagalan panen yang sangat mungkin terjadi dalam kegiatan usahabukan berada pada inti; atau bahkan tidak pula resiko tersebut dipegang olehkedua pihak, ‘inti’ dan ‘plasma’ secara seimbang; namun plasma-lah yang justrumenjadi perisai dari kemungkinan kerugian yang terjadi. Terakhir, keempat,kewajiban setiap plasma yang mengharuskan menjalankan usahanya sesuaidengan aturan main yang dikeluarkan oleh inti, telah membuat plasma yangseyogyanya sebagai pemilik usaha berubah menjadi pekerja aktif perusahaan;yang harus tunduk patuh dengan aturan inti, identitas sebelumnya sebagai pemilikyang berdaulat, berubah menjadi buruh tani.10

Namun bagaimanapun juga hubungan bisnis dengan skema kemitraan inti-

plasma ini merupakan hubungan komersial, dimana hubungan tersebut dibangun

dengan orientasi untuk mencapai keuntungan. Dengan demikian sudah barang

tentu hubungan tersebut akan diwujudkan dalam suatu kontrak komersil’. Dalam

aktivitas bisnis komersil, adanya pertukaran kepentingan yang melahirkan hak

dan kewajiban bagi masing-masing pihak dalam suatu bisnis senantiasa

dituangkan dalam bentuk kontrak atau perjanjian, yang nantinya menimbulkan

10 Loc.Cit.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 21: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

8

UNIVERSITAS INDONESIA

suatu perikatan yang harus dipenuhi dan berlaku sebagai hukum bagi para pihak

dalam bisnis tersebut.

Agus Yudha Hernoko11 menyampaikan bahwa adagium atau ungkapan

“Setiap langkah bisnis adalah langkah hukum” adalah landasan utama yang harus

diperhatikan para pihak dalam berinteraksi di dunia bisnis, dimana kontrak

merupakan simpul utama yang menghubungkan kepentingan para pihak.

Meskipun acapkali para pelaku bisnis tidak menyadarinya namun perlu diingat

bahwa setiap pihak yang memasuki belantara bisnis pada dasarnya melakukan

langkah-langkah hukum dengan segala konsekuensinya. Tentunya bisnis yang

beradab senantiasa mengacu pada nilai-nilai moral etis dalam bingkai hukum

(kontrak/perjanjian). Hubungan bisnis yang terjalin diantara para pihak pada

umumnya karena mereka bertujuan saling bertukar kepentingan. J.Van Kan dan

J.H.Beekhuis menyatakan bahwa semua janji-janji antara para pihak senantiasa

terkait dengan kepentingan-kepentingan terutama harta benda.12

Sementara itu, salah satu pilar utama di bidang hukum tempat bertumpunya

solusi terhadap persoalan-persoalan hukum dalam kegiatan perekonomian dan

perdagangan adalah hukum kontrak (hukum perjanjian) yang sampai sekarang

masih, dan akan terus berfungsi sebagai bidang hukum utama yang harus mampu

menjawab kebutuhan akan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat pelaku

perdangan dan bisnis. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hukum kontrak

di Indonesia maupun di Negara-negara kawasan Asia Tenggara umumnya masih

secara konvensional bersumber pada sumber-sumber hukum nasional dan

dikembangkan sebagai subsistem hukum nasional yang dimaksudkan untuk

menjawab persoalan-persoalan hukum domestik (domestic laws built for domestic

solutions).13

11 Agus Yudha Hernoko, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Kontrak, FakultasHukum Universitas Airlangga Surabaya, 1 Mei 2010.

12 Loc.cit.13 Bayu Seto, Lex Mercatoria Baru dan Arah Pengembangan Hukum Kontrak Indonesia di

dalam Era Perdagangan Bebas Tinjauan Singkat Tentang Kedudukan Hukum Perjanjian Nasionaldan Prospek Pengembangannya Dalam Konteks Harmonisasi Hukum Kontrak di Kawasan ASEAN,Makalah disampaikan pada LUSTRUM ke IX Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,Bandung, 18 September 2003.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 22: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

9

UNIVERSITAS INDONESIA

Sejumlah prinsip atau asas hukum merupakan dasar bagi hukum kontrak .

Dalam lapangan Hukum Kontrak atau juga disebut sebagai hukum perjanjian

tidak terlepas dari faham individualisme, sebagaimana ternyata dalam hukum

positif Indonesia, yakni Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUH Perdata), sebagai ciri khas hukum perjanjian atau kontrak, yaitu

dalam hal kebebasan, kesetaraan, dan keterikatan kontraktual.14 Sehingga dapat

ditarik suatu pemahaman mengenai prinsip utama atau asas hukum dalam hukum

kontrak adalah: asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak, dan asas

“kekuatan mengikat persetujuan”. 15

Ketiga prinsip tersebut diharapkan dapat menciptakan keadilan, sebagai

tujuan utama dari keberadaan hukum. Adapun keadilan dalam berkontrak harus

dianalisis berdasarkan perpaduan konsep kesamaan hak dalam pertukaran

(prestasi dan kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan

komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan

kontraktual. Oleh karena itu asas keseimbangan harus pula diterapkan dalam

hukum kontrak, namun jika terjadi ketidakseimbangan posisi dari para pihak, hal

tersebut akan menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak, sehingga diperlukan

suatu intervensi otoritas tertentu (pemerintah).

Dengan demikian asas keseimbangan pada dasarnya tidak akan

menciptakan suatu keadilan yang diharapkan dalam suatu kontrak, sehingga

dalam hal asas kesimbangan tersebut, Agus Yudha Hernoko menarik suatu

interpretasi terhadap pemaknaan dan daya kerja azas keseimbangan, adalah:16

14 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi ManusiaModern, Refika aditama,Bandung, 2004., hal.51.

15 ‘Asas kebebasan berkontrak’ dan sekaligus asas keterikatan kontraktual atau ‘asaskonsensualitas’ sebagaimana ternyata dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “ semuaperjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yangmembuatnya”, sedangkan asas konsensualitas tertuang dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata,berbunyi “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”,

16 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian ; Asas Proporsionalitas dalam KontrakKomersial, cet-1, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2010), hal.83.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 23: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

10

UNIVERSITAS INDONESIA

a. Pertama lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak , artinya

dalam hubungan kontraktual tersebut, posisi para pihak diberi muatan

keseimbangan.

b. Kedua, kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan

kontraktual seolah-olah tanpa memperhatikan proses yang berlangsung

dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut.

c. Ketiga, keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir dari sebuah

proses;

d. Keempat, intervensi Negara merupakan instrumen pemaksa dan

mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak;

e. Kelima, pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat

dicapai pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).

Dengan demikian asas keseimbangan tidak dapat digunakan sebagai tolak

ukur untuk mencapai keadilan dalam perjanjian kemitraan inti-plasma. Di sisi

lain, dewasa ini berkembang pembahasan mengenai penerapan asas

proporsionalitas dalam kontrak komersial, ruang lingkup dan daya kerja asas

proporsionalitas tampak lebih dominan pada kontrak bisnis komersial. Dengan

asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak bisnis komersial menempatkan posisi

para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para pihak yang berorientasi pada

keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban

yang fair (proporsional). Asas proporsionalitas tidak dilihat dari konteks

keseimbangan matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan mekanisme

pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.17

Peter Mahmud Marzuki18 menyebutkan azas proporsionalitas dengan istilah

“equitability contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna “equitability”

menunjukkan suatu hubungan yang setara (kesetaraan), tidak berat sebelah, dan

adil (fair), artinya hubungan kontraktual tersebutpada dasarnya berlangsung

secara proporsional dan wajar. Dengan merujuk pada azas aequitas praestasionis,

17 Agus Yudha Hernoko, “Prinsip-Prinsip dalam Hukum Kontrak dan AsasProporsionalitas”, Jurnal Hukum Bisnis , Vol.29, No 2, 2010, hal. 12.

18 Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Yuridika, Volume 18No.3, Mei 2003, hal.205.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 24: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

11

UNIVERSITAS INDONESIA

yaitu azas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium,

yaitu kepantasan menurut hukum. Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para

pihak tidak pernah ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk ke dalam kontrak

berada dalam keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidaksamaan tersebut tidak

boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya

secara tidak memadai kepada pihak lain. Dalam situasi semacam inilah azas

proporsionalitas bermakna equitability19. Asas proporsionalitas merupakan asas

yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai

proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. Asas proporsionalitas

mengandaikan pembagian hak dan kewajiban yang diwujudkan dalam seluruh

proses hubungan kontraktual, baik dalam fase pra kontraktual, pada saat

pembentukan kontrak, maupun pada saat pelaksanaan kontrak (pre

contractual,contractual, post contractual).

Sehubungan dengan adanya pola kemitraan inti-plasam yang telah

dipaparkan sebelumhya, sekiranya asas proporsionalitas ini akan tepat jika

digunakan sebagai landasan untuk menelaah kembali apakah perjanjian kemitraan

inti-plasma yang selama ini dilakukan dalam skema bisnis komersil tersubut

sesungguhnya telah mencerminkan suatu pertukaran hak dan kewajiban yang fair

atau tidak. Maka melalui rancangan tesis ini, penulis bermaksud untuk melakukan

kajian terhadap penerapan asas proporsionalitas dalam perjanjian kemitraan inti-

plasma, dengan memfokuskan pada tahap pra dan pembentukan kontrak, terlebih

lagi sehubungan dengan adanya ‘klausul pembatasan’ dan ‘klausul penjaminan’,

yang secara spesifik terdapat pada perjanjian-perjanjian dengan pola kemitraan

inti-plasma, dengan mengambil contoh pada perjanjian kerja sama (PKS) dalam

pola kemitraan inti-plasma yang selama ini dilakukan oleh ; PT. Super Unggas

Jaya dengan para peternak ayam ras pedaging di Tangerang dan PT.Nusantara

Unggas Jaya dengan para peternak ayam ras pedaging di KabupatenMalang.

19 Ibid. hal.28

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 25: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

12

UNIVERSITAS INDONESIA

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan Latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah yang

akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah:

1. Bagaimanakah hubungan hukum serta kedudukan hukum para pihak

(pihak inti/perusahaan besar dan pihak plasma/peternak ) dalam skema

kemitraan Inti-Plasma berdasarkan perjanjian yang telah ada?

2. Bagaimanakah perlunya diterapkan asas proporsionalitas pada

perjanjian tersebut?

3. Bagaimanakah penerapan asas proporsionalitas pada perjanjian

kemitraan inti-plasma, pada tahap pra kontrak dan pembentukan

kontrak?

4. Kendala-kendala apa yang ada, sehubungan dengan diterapkannya

asas proporsionalitas dalam pembentukan perjanjian kemitraan inti-

plasma tersebut?

C. METODE PENELITIAN

Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian eksplanatoris, yang

bertujuan untuk menjelaskan lebih dalam tentang suatu gejala yaitu mengenai

keadilan yang proporsional dalam berkontrak, guna mempertegas penelitian yang

telah dilakukan dan telah ada mengenai asas proporsionalitas dalam kontrak bisnis

komersial, jika asas tersebut tersebut diterapkan dalam suatu perjanjian kerjasama

yang mana posisi para pihak tidak seimbang, dalam hal ini adalah perjanjian

kemitraan inti-plasma.

Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian

kepustakaan, yaitu penelitian akan menekankan pada penggunaan data sekunder

berupa norma hukum tertulis serta asas-asas hukum yang hidup dalam sumber

hukum tertulis tersebut, serta didukung oleh wawancara dengan informan, yaitu

para pelaku usaha atau para pihak dalam perjanjian kemitraan inti-plasma serta

nara sumber yang menguasai dan mengamati hukum kontrak di Indonesia.

Dengan demikian jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu

data yang diperoleh langsung melalui penelusuran kepustakaan atau dokumentasi,

terdiri dari sumber hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait,

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 26: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

13

UNIVERSITAS INDONESIA

sumber hukum sekunder yang meliputi laporan penelitian, makalah dan buku-

buku hukum, serta Sumber Hukum Tersier yang membantu dalam menjelaskan

sumber hukum primer dan sekunder berupa kamus, bibliografi, dan buku indeks.

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi dokumen

yakni mencari dan mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan

Keabsahan Perjanjian dan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak sehat. Selain Itu peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa

narasumber ahli untuk mendapatkan suatu pendapat atau pandangan hukum,

terkait dengan perikatan, perjanjian, dan praktek monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat.

Kesemua data yang ada akan di analisis dengan pendekatan kualitatif dan

“content analysis”, yaitu teknik untuk menganilasa tulisan atau dokumen dengan

cara mengidentifikasi secara sistematik ciri dan karakter, pesan dan maksud yang

terkandung dalam suatu tulisan atau dokumen.20

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Tesis ini akan ditulis, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Latar belakang dan alasan

yang mendasari dari dipilihnya topik pembahasan dalam tesis ini,

dengan mengemukakan berbagai fakta mengenai perkembangan

hukum kontrak dan pendapat para ahli terkait dengan asas

proporsionalitas dan pemaparan mengenai bentuk perjanjian

kemitraan inti-plasma. Kemudian diikuti dengan rumusan masalah,

metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 Bab ini akan berisi mengenai telaah dan pembahasan mengenai

penerapan asas proporsionalitas dalam kontrak bisnis komersial

terhadap perjanjian kemitraan inti-plasma, secara berturut turut

20 Sri Mamudji, et.all. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan PenerbitFakutas Hukum Universitas Indonesia, 2005, hal. 20.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 27: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

14

UNIVERSITAS INDONESIA

akan dipaparkan dalam 4 (empat) sub-bab, yaitu: terlebih dahulu

dalam sub-bab pertama akan dibahas mengenai Pola hubungan

Hukum Serta Hak dan Kewajiban Masing-Masing Pihak Dalam

Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma. Berdasarkan sub-bab pertama

tersebut, maka pada sub-bab kedua akan dibahas mengenai urgensi

dan dan kegunaan dari penerapan asas proporsionalitas dalam

perjanjian kemitraan inti-plasma. Setelah mengetahui urgensi dari

penerapan asas proporsionalitas, maka selanjutnya (dalam sub bab

ketiga) akan dibahas mengenai penerapan Asas Proporsionalitas

Dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma Yang Telah Ada, yakni

dengan melakukan analisa terhadap dua klausul spesifik dalam

perjanjian kemitraan inti-plasma yang bentuk bakunya telah dibuat

oleh PT.Super Unggas Jaya dan PT.Nusantara Unggas Jaya,

dengan menganlisa penerapan asas proporsionalitas pada tahap pra

kontrak dan pada tahap pembentukan kontrak, dan pada sub-bab

yang terakhir, dari apa yang telah dibahas sebelumnya penulis akan

menguraikan mengenai kendala-kendala yang muncul pada saat

diterapkannya asas proporsionalitas tersebut.

BAB 3 Bab ini merupakan bagian penutup dari tesis ini, yang mana akan

berisi hasil analisa berupa kesimpulan dan saran/rekomendasi.

Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap

permasalahan yang diajukan dalam tesis ini, sedangkan saran

merupakan hal-hal yang dapat dilakukan dengan melihat

kesimpulan serta kendala yang ada, yang akan memaparkan

rekomendasi, yang didasarkan atas penelitian penulis mengenai

bentuk perjanjian yang sesuai dengan asas proporsionalitas.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 28: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

15

UNIVERSITAS INDONESIA

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 29: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

15

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Pola Hubungan Hukum Serta Hak dan Kewajiban Masing-Masing

Pihak Dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma

2.1.1 Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma

Kerjasama bisnis atau usaha yang dilakukan oleh petani/peternak

sebagai ‘plasma’ dengan perusahaan besar sebagai ‘inti’ merupakan suatu

peristiwa hukum yang terjadi karena perbuatan hukum, yang selanjutnya

perbuatan hukum tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian. Menurut

Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji

kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. 21 Dalam peristiwa ini, timbullah suatu hubungan

antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini

menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam

bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Persesuaian kehendak atau pernyataan kehendak dapat dinyatakan

dengan lisan, tulisan atau surat-surat lain. Pihak yang satu menawarkan atau

mengajukan ‘usul’ atau ‘penawaran’, serta pihak yang lain menerima atau

menyetujui usul tersebut, maka dalam persetujuan terjadi penerimaan atau

persetujuan usul. Dengan adanya penawaran atau usul serta persetujuan oleh

pihak lain atas usul tersebut, lahirlah “persetujuan” atau “kontrak” yang

mengakibatkan “ikatan hukum” bagi para pihak. Pada umumnya ikatan

hukum yang diakibatkan persetujuan adalah saling “memberatkan” atau

“pembebanan” kepada para pihak.

21Subekti, Hukum Perjanjian, intermasa:Jakarta, 1963, hal.1.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 30: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

16

UNIVERSITAS INDONESIA

Pada pola kemitraan inti-plasma ini, mekanisme pertukaran hak dan

kewajiban yang terjadi secara garis besar dapat digambarkan dalam dua

tahap berikut; 1) Pada tahap pertama ‘inti’ menyerahkan sejumlah barang,

berupa sarana produksi ternak (selanjutnya dalam penulisan ini disebut

sapronak) dan ‘plasma’ melakukan pemeliharaan dan pemanfaatan

sapronak tersebut untuk menghasilkan produksi usaha ternak. 2) Pada

tahap kedua, ‘plasma’ menyerahkan hasil ternak kepada ‘inti’ dan ‘inti’

membayar harga hasil ternak tersebut berupa uang tunai.

Sehingga secara umum, dapat dipahami bahwa dalam pola kemitraan

inti-plasma tersebut, hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan ‘jual-

beli’. Karena pada dasarnya terdapat peristiwa penyerahan barang dan

pembayaran atas harga barang tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh

Subekti,22 bahwa jual-beli (menurut KUH Perdata), adalah suatu

perjanjian timbal balik dimana salah satu pihak berjanji untuk

menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya

berjanji untuk membayar imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Selanjutnya dengan memposisikan hubungan hukum dalam pola

kemitraan inti-plasma ini sebagai hubungan ‘jual-beli’ maka mekanisme

jual beli antara ‘inti’ dan ‘plasma’ dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, ‘inti’ sebagai penjual. ‘Inti’ menjual kepada ‘plasma’ sarana

produksi ternak (selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai sapronak)

berupa bibit (DOC), makanan ternak, , obat-obatan , dan lain sebagainya,

dengan ketentuan;

1. ‘Plasma’ mengikuti harga sapronak yang ditentukan oleh ‘inti’.

2. ‘Plasma’ dilarang untuk menggunakan sapronak terutama bibit

yang tidak direkomendasikan oleh ‘inti’.

3.Pembayaran terhadap sapronak akan diperhitungkan kemudian

setelah produksi, dengan cara dikurangi dengan total biaya

usahatani yang bersangkutan.

22 Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya: Bandung, Cetakan X, 1995, hal.1.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 31: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

17

UNIVERSITAS INDONESIA

Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi pihak ‘inti’ selaku

penjual sapronak untuk menyerahkan sapronak kepada ‘plasma’ selaku

pembeli.

Kedua, ’plasma’ sebagai pembeli. Setelah ‘plasma’ menerima

sapronak dari ‘inti’, maka untuk selanjutnya ‘plasma’ sebagai pembeli

mempunyai keawajiban untuk membayar sejumlah harga dari sapronak

kepada ‘inti’. Selain daripada itu, ‘plasma’ memiliki kewajiban yang lebih

khusus lagi yaitu menyediakan lahan (areal) khusus untuk pelaksanaan

usaha tani/ternak dan melaksanaakan kegiatan peternakan serta

pemeliharaan secara intensif yang diusahakan dibawah pembinaan dan

pengawasan teknis ‘inti’.

Disini pada pokoknya kewajiban penjual menurut pasal 1474 BW

adalah menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. Sedangkan

kewajiban pembeli adalah kewajiban membayar harga (pasal 1513 BW).

Dan pada tahap ini kewajiban sebagai penjual telah dilaksanakan oleh

‘inti’, dan kewajiban sebagai pembeli telah dilakukan oleh ‘plasma’

dengan melakukan pemeliharaan.

Ketiga, ‘Plasma’ selaku penjual. Pada masa pasca produksi, ‘plasma’

menjual hasil usaha ternak , dengan ketentuan:

1. ‘Plasma’ harus menjual seluruh hasil produksi kepada’inti’,

2. ‘Plasma’ menjual seluruh hasil produksinya berdasarkan grade dan

harga yang telah ditetapkan oleh ‘inti’.

Keempat, ‘Inti’ sebagai pembeli. Pada masa pasca produksi,’inti’

membeli hasil produksi dengan ketetuan;

1. ‘inti’ wajib membeli seluruh hasil produksi dari ‘plasma secara tunai.

2. Harga pembelian hasil ternak merupakan harga yang ditent

Sedangkan harga yang dimaksud merupakan harga yang telah

ditetapkan secara sepihak oleh pembeli atau ‘inti’. Dalam hal ini ‘plasma’

tidak dapat menawarkan harga layaknya jual beli dalam transaksi jual beli

pada umumnya dan hanya bisa menerima berdasarkan grade/harga yang

telah ditetapkan tersebut.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 32: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

18

UNIVERSITAS INDONESIA

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan hukum yang

terjadi adalah hubungan hukum jual beli, namun jual beli tersebut

dilakukan dengan beberapa syarat khusus. Adapun kekhusussan dari

hubungan tersebut terletak pada;

a. Adanya syarat tertentu;

Dalam perjanjian jual beli antara ‘inti’ dengan ‘plasma’ terdapat

beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

- ‘Inti’ yang menetapkan harga sapronak, dimana penentuan harga

dihitung berdasarkan grade/harga yang dibuat pihak ‘inti’,

- Pembayaran sapronak maupun hasil produksi dilakukan setelah

proses produksi,yang akan dilakukan setelah dikurangi dengan total

biaya usaha ternak.

- ‘Plasma’ dilarang untuk menerima atau mendapatkan sarana

produksi dari pihak lain terutama bibit (DOC/Day Old Chicken)

tanpa ada rekomendasi dari ‘inti’.

- ‘Inti’ mengupayakan tersedianya sarana produksi (sapronak)

seperti bibit ayam (DOC), obat-obatan, pakan ternak dan lain-lain

yang diperlukan selama berlangsunya kegiatan.

- ‘Inti’ melaksanakan bimbingan teknis dan memberikan manajemen

usaha terhadap ‘plasma’.

b. Adanya peralihan kedudukan hukum,

Pada awalnya ‘inti’ berkedudukan sebagai penjual sapronak

sedangkan ‘plasma’ berkedudukan sebagai pembeli sapronak tersebut

pada ‘inti’.

Kemudian pada waktu pasca produksi, ‘inti’ beralih kedudukannya

sebagai pembeli hasil produksi, sedangkan ‘plasma’ beralih menjadi

penjual hasil produksi ternak ayam.

c. Adanya peralihan hak milik,

Pada waktu ‘inti’ berkedudukan sebagai penjual dan ‘plasma’

sebagai pembeli, maka dalam hubungan jual beli tersebut terjadi

peralihan hak milik secara ‘semu’. Dikatakan semu, karena walaupun

‘plasma’ telah secara nyata menguasai barang yang telah dibeli akan

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 33: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

19

UNIVERSITAS INDONESIA

tetapi ‘plasma’ harus menggunakan barang tersebut sesuai dengan

petunjuk/apa yang telah ditentukan oleh perusahan pengelola selaku

‘inti’.

Padahal dalam jual beli pada umumnya, yang harus diserahkan

penjual kepada pihak pembeli adalah hak milik atas barangnya dan

bukan sekedar kekuasaan atas barangnya saja. Sebagiamana yang

diatur dalam ketentuan pasal 1459KUHPerdata yaitu ‘hak milik’ atas

barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli selama

penyerahannya belum dilakukan”. Maka yang tersirat dalam ketentuan

pasal ini, bahwa yang diserahkan tidak hanya barangnya, tetapi juga

beserta hak milik atas barang yang dijual tersebut.

Sementara itu dalam praktek perdagangan sehari-hari dikenal

adanya istilah “sale” dan “agreement to sell”, adapun yang

membedakan antara “sale” dan “agreement to sell” , sale adalah jual

beli dimana hak milik atas barang seketika berpindah kepada pembeli

misalnya dalam jual beli tunai di toko, sedangkan agreement to sell

adalah jual beli barang dimana pihak-pihak setujua bahwa hak milik

atas barang akan berpindah kepada pembeli pada suatu waktu yang

akan datang. 23

Merujuk pada pengertian tersebut di atas, maka perjanjian kemitraan

usaha ternak ayam antara peternak ayam sebagai plasma dan perusahaan

penyedia sapronak sebagai ‘inti’ dapat dikategorikan dalam “Agreement to

Sell”, yaitu jual beli barang dimana pihak perusahaan penyedia sarana

produksi dan peternak ayam sepakat bahwa hak milik atas barang akan

berpindah kepada pembeli pada suatu waktu yang akan datang, karena

adanya waktu tunggu antara pembuatan perjanjian dengan berpindahnya

‘hak milik’ atas barang yang bersangkutan.

Maka jelaslah bahwa dalam jual beli selain adanya penyerahan

barang juga secara serta merta atau otomatis dibarengi dengan adanya

penyerahan ‘hak milik’ atas barang yang dijual. Dalam pasal 612

23 Ibid, hal.22.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 34: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

20

UNIVERSITAS INDONESIA

KUHPerdata dijelaskan bahwa: “Penyerahan barang bergerak dilakukan

dengan penyerahan yang nyata atau menyerahkan kekuasaan atas

barangnya”, disini ‘inti’ menyerahkan sarana produksi ternak (sapronak)

kepada ‘plasma’ , namun yang menjadi permasalahannya adalah terhadap

hak milik atas barang yang dijual, ’plasma’ tidak dapat berbuat bebas

terhadap barang yang dibelinya dan tidak harus mengikuti segala

ketentuan dari ‘inti’ sebagaimana ditentukan oleh pasal 570 KUHPerdata

yaitu:

“Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan

dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu

dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan

undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu

kekuasaan yang berhak meratakannya, dan tidak mengganggu hak-

hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi

kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum

berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan

pembayaran ganti rugi”.

Sehingga, terhadap hak milik setiap orang mempunyai hak untuk

bebas mempergunakan kebendaan itu. Namun dalam hal ini peternak ayam

selaku ‘plasma’ tidak dapat berbuat bebas terhadap sapronak yang telah

dibelinya dari perusahaan penyedia sarana produksi selaku ‘inti’, baik

untuk menjual atau mengalihkannya kepada pihak lain serta adanya

kewajiban untuk mengalihkannya kepada pihak lain serta adanya

kewajiban untuk menjual hasil produksi kepada ‘inti’, dengan demikian

dapat dikatakan hak milik atas barang beralih secara semu.

Namun lain halnya pada saat ’inti’ berkedudukan sebagai pembeli

ayam (hasil produksi) dan ‘plasma’ sebagai penjual. Pada posisi ini betul-

betul terjadi peralihan ‘hak milik’. ‘Plasma’ menyerahkan barang yang

dijual berupa ayam dan ketika itu pula hak milik atas barang beralih pada

‘inti’. Perusahaan pengelola dapat berbuat bebas terhadap ayam hasil

produksi tersebut, baik untuk diolah ataupun dijual kepada pihak lain.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 35: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

21

UNIVERSITAS INDONESIA

Dengan demikian dalam perjanjian kemitraaan inti-plasma ini hubungan

hukum yang ada dalam perjanjian kemitraan inti-plasma merupakan

hubungan jual beli secara khusus.

2.1.2 Kedudukan Hukum serta Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam

Perjanjian Inti-Plasma

Selanjutnya berdasarkan pengamatan awal yang telah dilakukan

bahwa dalam struktur perjanjian kemitraan inti-plasma, khususnya pada

usaha ternak ayam ini, terlihat adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh

perusahaan pengelola selaku ‘inti’ terhadap peternak ayam selaku ‘plasma’.

Hal ini dapat dilihat bahwa peternak ayam tidak mempunyai kesempatan

dalam mengakomodir haknya untuk turut menentukan isi perjanjian.

Padahal, terkait dengan penentuan isi dari perjanjian, asas kebebasan

berkontrak mengakui adanya kebebasan bagi siapapun juga untuk

menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, maupun dalam

memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan.

Sebagaimana dikutip oleh Ridwan Khairandy24 dari berbagai pernyataan

ahli hukum di dunia, bahwa menurut doktrin klasik hukum kontrak Prancis,

kontrak berkaitan dengan kemauan bebas (free will). Kontrak merupakan

manifestasi kemauan bebas para pihak. Sebagaimana halnya dengan

legislasi yang merupakan manifestasi kemauan Negara, kontrak juga

merupakan suatu hukum khusus yang dibuat para pihak sendiri yang

menghubungkan kehendak mereka. Otonomi kehendak bermakna bahwa

memiliki kehendak untuk menentukan hukumnya sendiri, kewajiban

kontraktual bersumber dari kehendak para pihak sendiri dan secara bebas

menciptakan kontrak dengan segala akibat hukumnya. Kehendak para pihak

inilah yang menjadi dasar atau fondasi kontrak. Doktrin otonomi kehendak

tersebut menekankan kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak

24 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca SarjanaFakultas Hukum Universitas Indonesia; Jakarta, cetakan I, 2003, hal 30.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 36: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

22

UNIVERSITAS INDONESIA

bernama (onbenoemde,innominaat contracten). Sepanjang tidak

bertentangan dengan ketertiban umum, para pihak bebas membuat kontrak

yang mereka inginkan.

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa beradasarkan asas kebebasan

berkontrak tersebut, sesungguhnya kedudukan hukum para pihak pada

dasarnya adalah sama dan seimbang. Lebih lanjut, pada tataran ‘lex

specialis’ hal ini dipertegas oleh ketentuan pasal 36 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2008 yang berbunyi : “ Dalam melaksanakan kemitraan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 para pihak mempunyai kedudukan

hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia”.

Ketentuan pasal ini dengan tegas dan jelas dikatakan bahwa antara

pihak inti dengan pihak plasma mempunyai kedudukan yang setara.Inti dan

plasma sama-sama berkedudukan sebagai subyek hukum25 yang dapat

melakukan perbuatan hukum.

‘Plasma’ sebagai pembawa hak (subyek) mempunyai hak-hak dan

kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. Ia dapat

mengadakan persetujuan dan lain sebagainya. Demikian pula dengan ‘inti’

disamping manusia pribadi sebagai pembawa hak, hukum memberi status

“persoon” pada suatu badan/organisasi yang mempunyai hak dan

kewajiban26 seperti manusia yang disebut badan hukum atau “recht

persoon”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peternak ayam dan

25 Tentang Subyek Hukum menurut R. Soeroso, Subyek hukum adalah sesuatu yangmenurut hukum berhak/berwenang untuk melakukannya perbuatan hukum atau siapa yangmempunyai hak dan cakap untuk bertindak.–Subyek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasabertindak menjadi pendukung hak (rechtsbevaegdheid).–Subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban.Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja untukmenimbulkan hak dan kewajiban.-Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan subyek hukum (manusia/badan hukum) yangakibatnya diatur oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yangmelakukan. R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika; Jakarta, 2001, hal.227.

26 Lihat Satjipto Rahardjo dalam bukunya Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,2000, hal. 53-55.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 37: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

23

UNIVERSITAS INDONESIA

perusahaan pengelola adalah setara kedudukannya dan sama-sama

mempunyai hak untuk menentukan isi perjanjian kemitraan tersebut.

Dengan berpedoman pada pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20

tahun 2008 tersebut di atas, maka tidak dibenarkan jika dalam pembuatan

perjanjian kemitraan, peternak ayam selaku plasma tidak mempunyai hak

sama sekali untuk ikut atau dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.

Namun pada kenyataannya, adanya bentuk perjanjian yang telah

dibuat dalam format formulir yang kemudian disodorkan oleh ‘inti’ kepada

‘plasma’ sebagai suatu perjanjian yang bersifat ‘take it or leave it’

merupakan suatu indikasi bahwa terdapat ketimpangan atau

ketidakseimbangan kedudukan. Dimana secara sosiologis, ternyata kedua

belah pihak berada pada posisi tawar yang tidak seimbang. Hal ini

dikarenakan adanya berbagai keunggulan yang dimiliki oleh pihak

perusahaan pengelola selaku ‘inti’, diantaranya:

1) Dari segi permodalan, inti sebagai perusahaan besar tentunya memiliiki

sumber dana modal yang relative besar,

2) Dari segi jaringan usaha atau organisasi,

3) Dari segi fasilitas,

4) Dari segi manajemen, skill dan pengalaman.

Sedangkan ‘plasma’, merupakan petani/peternak tradisional yang hanya

memiliki lahan dan kemampuan untuk beternak (secara tradisional).

Sehingga dengan demikian dapat dipahami, bahwa pada dasarnya semua

pihak memiliki kedudukan hukum yang sama dalam berkontrak, namun

sehubungan dengan perjanjian kemitraan inti-plasma ini, kondisi sosiologis

para pihak yang menempatkan para pihak pada posisi yang tidak seimbang

mengakibatkan kedudukan hukum dalam hubungan kontraktual tersebut

menjadi tidak seimbang.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 38: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

24

UNIVERSITAS INDONESIA

2.2 Kebutuhan akan Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian

Kemitraan Inti-Plasma

Perjanjian kemitraan merupakan perjanjian khusus yang tidak diatur secara

eksplisit dalam Bab III KUHPerdata, namun selanjutnya dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, disinggung

tentang ‘perjanjian kemitraan’ dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1, yaitu sebagai

berikut: “Perjanjian Kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang

sekurang-kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak, dan kewajiban masing-masing

pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, dan penyelesaian perselisihan”.

Selanjutnya baik dalam penjelasan undang-undang Nomor 20 Tahun 2008

maupun dalam peraturan pelaksananya tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai

perjanjian kemitraan tersebut.

Hal tersebut diperjelas dalam ketentuan pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 44 Tahun 1997 disebutkan sebagai berikut:

“Dalam pola inti-plasma, Usaha besar dan atau usaha menengah sebagai

inti membina dan mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasmanya dalam ;

a. Penyediaan dan penyiapan lahan,b. Penyediaan sarana produksi,c. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi,d. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan,e. Pembiayaan, danf. Pemberian bantuan lainnya yang dperlukan bagi peningkatan

efisiensi dan produktivitas usaha.

Selanjutnya dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997

tentang Kemitraan disebutkan bahwa “Menteri atau menteri teknis memberikan

bimbingan atau bantuan lainnya yang diperlukan usaha kecil bagi

terselenggaranya kemitraan”, dan dalam penjelasan, dijelaskan bahwa “bimbingan

dan bantuan tersebut meliputi antara lain penyusunan perjanjian dan

persyaratannya”.

Apabila diperhatikan ketentuan pasal 3 dan pasal 19 PP Nomor 44/1997

tersebut dan penjelasannya, maka hal ini akan sangat bermanfaat bagi ‘plasma’.

Namun dalam kenyataannya tidak pernah ada bimbingan dalam penyusunan

perjanjian dan persyaratannya, karena perjanjian tersebut telah disiapkan oleh

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 39: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

25

UNIVERSITAS INDONESIA

‘inti’ dalam bentuk formulir perjanjian yang telah tercetak baku kemudian

disodorkan kepada ‘plasma’ untuk ditandatangani. Sehingga adanya kebijakan

(intervensi pemerintah) untuk mengarahkan terbentuknya suatu perjanjian

kemitraan inti-plasma yang dapat mengakomodir kepentingan ekonomis dari

pihak ‘inti’ maupun ‘plasma’ menjadi tidak bermanfaat.

Sementara itu, azas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang

melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai

proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual”27. Asas

proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam

seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra-kontraktual (pre-

contractual) , pembentukan kontrak (contractual) maupun pelaksanaan kontrak

(post-contractual). Asas proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks

hubungan dan kepentingan para pihak (menjaga kelangsungan hubungan agar

berlangsung kondusif dan fair).

Oleh karena itu, untuk menilai suatu perjanjian kemitraan inti-plasma,

yang sejak awal para pihaknya tidak memiliki posisi tawar yang seimbang,

diperlukan suatu penilaian yang berorientasi terhadap penerapan asas

proporsionalitas. Karena asas proporsionalitas tidak berorientasi pada hasil akhir

yang sama secara matematis, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak

dan kewajiban antara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut (fair

and reasonable). Asas proporsionalitas berfungsi untuk menjaga bahwa setiap

pihak akan menerima berdasarkan apa yang telah dilakukan.

Dalam beberapa produk perundang-undangan di Indonesia kandungan asas

proporsionalitas telah diadoptir sebagai pedoman dalam menyusun kontrak-

kontrak komersial tertentu. Penerimaan asas proporsionalitas dalam produk

perundangan tersebut menunjukkan bahwa asas ini telah menjadi bagian yang

inheren dalam proses bisnis mereka.Hal ini sejalan dengan tujuan kontrak sebagai

instrument pengaman transaksi bisnis.

27 Agus Yudha Hernoko, Ibid. hal,101.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 40: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

26

UNIVERSITAS INDONESIA

Berkaitan dengan hubungan kemitraan, menurut hemat penulis, perlu

ditelaah mengenai makna dari kemitraan itu sendiri. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1

PP Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, menjelaskan definisi, yaitu:

“ kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan UsahaMenengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan danpengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar denganmemperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan salingmenguntungkan”.

Berdasarkan definisi kemitraan tersebut diatas, bahwasannya hubungan

kemitraan ini, merupakan hubungan bisnis yang dibagun diatas prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Ketiga prinsip

tersebut yang akan menjadi pijakan dalam menentukan derajat proporsi dari

kontrak atau perjanjian kemitraan. Maka dari itu, seperti yang dijelaskan

sebelumnya, bahwa asas proporsionalitas tidak melihat suatu hasil akhir secara

matematis, namun mengatur hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau

bagiannya. Sehingga jika suatu perjanjian kemitraan itu dapat mengakomodir

kepentingan para pihak, sudah barang tentu akan menciptakan suatu hubungan

yang saing memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan, maka

pada saat itulah asas proporsional diterapkan.

Oleh karena ‘langkah hukum adalah langkah bisnis’, maka keberhasilan

suatu kemitraan inti-plasma sebagaimana di cita-citakan oleh undang-undang28

dapat terwujud, jika perjanjian kemitraan inti-plasma disusun dan dibuat

berdasarkan asas proporsionalitas, yang mana prinsip-prinsip tersebut diterapkan

meliputi seluruh tahap kontrak, yakni sejak dalam proses atau tahap pra –kontrak,

pembuatan kontrak maupun pelaksanaan kontrak.Sehingga penerapan asas

proporsionalitas dalam perjanjian kemitraan inti-plasma memiliki perlu diterapkan

guna menjamin pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsung secara

28 Sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dinyatakan bahwaTujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: a. mewujudkan strukturperekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan; b. menumbuhkan danmengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguhdan mandiri; dan c. meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunandaerah, menciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, danpengentasan rakyat dari kemiskinan.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 41: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

27

UNIVERSITAS INDONESIA

proporsional bagi para pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan

kontraktual yang adil dan saling menguntungkan.29

2.3 Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Kemitraan Inti-

Plasma

Perjanjian kemitraan inti-plasma seyogianya merupakan merupakan suatu

kontrak bisnis komersial.30 Terkait dengan kontrak bisnis komersial yang

berorientasi keuntungan para pihak, fungsi azas proporsionalitas menunjukkan

pada karakter kegunaan yang ‘operasional dan implementatif’31 dengan tujuan

mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak. Dengan demikian fungsi azas

proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksaan kontrak

bisnis komersial adalah:

a. Dalam tahap pra kontrak, azas proporsionalitas membuka peluang

negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban

secara fair. Oleh karena itu adalah tidak proporsional dan harus ditolak

proses negosiasi dengan itikad buruk;

b. Dalam pembentukan kontrak, azas proporsional menjamin kesetaraan hak

serta kebebasan dalam menentukan/mengatur proporsi hak dan kewajiban

para pihak berlangsung secara fair;

29 Agus Yudha Hernoko, Op.cit, hal.7.30 Ibid, hal. 35-36. Definisi kontrak komersial jika merujuk pada pendapat beberapa

sarjana dan rumusan UPICC (UNIDROIT Principles for International Commercial Contracts), makakontrak komersial adalah kontrak yang dicirikan dengan unsur-unsur sebagai berikut: a) Parapihak umumnya berorientasi pada “Profit motive”, b)Hubungan kontraktual antara para pihakdianggap setara atau seimbang dalam posisi tawar-menawar, c)Akseptasi syarat dan ketentuandalam kontrak dapat dinegosiasikan oleh para pihak, atau dengan bentuk-bentuk lain yangdisepakati, d)Karakter bisnis (saling mencari keuntungan) lebih menonjol, e) Pertukaran hak dankewajiban tidak dilihat dari konteks keseimbangan matematis,tetapi pada proses serta hasilpertukaran hak dan kewajiban yang fair (proporsional), f) Bukan merupakan kontrak konsumen,artinya salah satu pihak bukan merupakan “end user” atau pengguna akhir dari produk, g)Apabila dalam kontrak konsumen adanya intervensi (campur tangan) otoritas tertentu bertujuanuntuk memberikan perlindunga hukum bagi konsumen, maka dalam kontrak komersial dalam halterdapat intervensi pengaturan hal itu lebih ditujukan untuk memberikan dasar hukum bagiterciptanya aturan main yang fair diantara para pihak.

31 Karakter ‘operasional dan implementatif’ dari azas proporsionalitas hendaknya tidakdiartikan bahwa azas ini dengan sendirinya berlaku mengikat para pihak. Sesuai degan sifatnya,azas berkedudukan sebagai meta norma sehingga tidak dapat langsung mengikat para pihak.Namun yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah seyogyanya para pihak menuangkan danmengimplementasikan azas proporsionalitas ini ke dalam klausul-klausul kontrak yang merekabuat.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 42: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

28

UNIVERSITAS INDONESIA

c. Dalam pelaksanaan kontrak, azas proporsionalitas menjamin terwujudnya

distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang

disepakati/dibebankan pada para pihak;

d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, harus dinilai

secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental

(fundamental breach) sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar

kontrak atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor

important). Oleh karena itu pengujian melalui azas proporsionalitas sangat

menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan sampai

terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul

kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah satu

pihak dengan merugikan pihak lain;

e. Bahkan dalam hal terjadi sengeketa kontrak, azas proporsionalitas

menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus

dibagi menurut pertimbangan yang fair.32

f. Daya kerja azas proporsionalitas meliputi proses pra kontrak,

pembentukan maupun pelaksanaan kontrak. Asumsi kesetaraan posisi para

pihak, terbukanya peluang negosiasi serta aturan main yang fair

menunjukkan bekerjanya mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang

proporsional. Problematika mengenai ada atau tidaknya keseimbangan

para pihak pada dasarnya di sini kurang relevan lagi diungkapkan, karena

melaui kesetaraan posisi para pihak, terbukanya peluang negosiasi, serta

aturan main yang fair, maka substansi keseimbangan itu sendiri telah

tercakup dalam mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang

proporsional.33

Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada nilai-

nilai kesetaraan (equitability), kebebasan, distribusi-proporsional, tentunya juga

tidak dapat dilepaskan dari azas atau prinsip kecermatan (zorgvuldigheid),

kelayakan (redelijkheid;reasonableness), dan kepatuhan (billijkheid;equity).

32 Agus Yudha Hernoko, Azas proporsionalitas Dalam Kontrak Bisnis:Upaya MewujudkanHubungan Bisnis dalam Perspektif KOntrak yang Berkeadilan, Jurnal Hukkum Binsia, Vol 29 No-2,2010, hal. 13-14.33 Ibid, hal.15.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 43: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

29

UNIVERSITAS INDONESIA

Selain itu, secara khusus dalam pola hubungan kemitraan inti-plasma, harus

diselaraskan dengan prinsing saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan.

Untuk menemukan azas proporsionalitas dalam kontrak dengan menggunakan

kriteria ukuran nilai-nilai tersebut diatas, hendaknya tidak diartikan akan

diperoleh hasil temuan berupa angka-angka matematis, namun lebih menekankan

proporsi pembagian hak dan kewajiban antara para pihak yang berlangsung secara

layak dan patut (fair and reasonable).34 Pembagian hak dan kewajiban ini

seyogianya dilakukan pada saat pra dan pembentukan kontrak, oleh karena itu

dalam pembahasan selanjutnya, penulis akan memfokuskan analisa terhadap

penerapan asas proporsionalitas pada tahap pra-kontrak dan pada tahap

pembentukan kontrak, dengan menggunakan prinsip-prinsip kemitraan35 sebagai

ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban.

2.3.1 Analisis Penerapan Asas Proporsionalitas pada Tahap Pra Kontrak

dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma

Sebelum suatu kontrak bisnis dilakukan dan dituangkan dalam klausul-

klausul yang mengikat para pihak, maka tahapan pra-kontrak adalah tahapan yang

harus dilalui guna menemukan persesuaian kehendak antara para pihak secara fair,

dan sejak saat itulah penerapan asas proporsionalitas harus sudah diterapkan. Asas

proporsionalitas pada tahap pra-kontrak memiliki fungsi untuk menjamin

terwujudnya proses negosiasi kontrak yang berjalan secara adil.

Negosiasi merupakan syarat mutlak bagi tercapainya persesuaian

kehendak tersebut, sehingga nantinya diharapkan dapat melindungi kepentingan

kedua belah pihak sehingga pertukaran hak dan kewajiban dapat berjalan secara

34 Ibid, hal. 14.35Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP No 44 Tahun 1997 dapat dipahami bahwasannya

dalam kemitraan berlaku; 1) prinsip saling memerlukan, 2) saling memperkuat dan, 3) salingmenguntungkan.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 44: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

30

UNIVERSITAS INDONESIA

baik, yang pada akhirnya akan mengikat dan wajib dipenuhi oleh masing-masing

pihak.

Dalam setiap proses negosiasi kontrak, sasaran atau tujuan para pihak

sebenarnya hanya satu, yaitu untuk mencapai kata sepakat36. Perumusan hubungan

kontraktual pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara

para pihak. Proses negosiasi dapat terjadi sekali saja untuk masalah tertentu,

namun juga berulang-ulang (simultan) untuk masalah yang lebih rumit dan

kompleks. Bagi pelaku bisnis modern, negosiasi merupakan bagian yang

“inhheren” dengan ritme dan kinerja mereka37.

Negosiasi ditandai dengan komunikasi yang berkelanjuatan untuk

mencapai kata sepakat ketika para pihak mempunyai kepentingan yang saling

dipertukarkan. Dengan demikian negosiasi mempunyai jangkauan sangat luas ,

dalam berbagai aktivitas dan transaksi bisnis dengan melibatkan pihak-pihak yang

berkepentingan untuk mencapai kesepakatan diantara mereka.38

Di Belanda, pratek pengadilan melihat negosiasi sebagai fase yang

menentukan apakah suatu kontrak mempunyai daya kerja mengikat para pihak

atau sebaliknya. Hal ini dapat dicermati dala putusan Hoge Raad terkait perkara

PalsVs Valburg, HR 18 Juni 1982, Nj 1983,723, yang memutuskan bahwa proses

negosiasi dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:39

a. Tahap pertama (initial stage), selama proses negosiasi berjalan kerugian

yang timbul tidak menimbulkan hak gugat atas ganti rugi yang diderita.

Pada tahap ini para pihak bebas untuk menghentikan negosiasi, dan tidak

ada kewajiban untuk member ganti rugi.

b. Tahap kedua (continuing stage), memasuki tahap ini negosiasi dapat

dihentikan oleh salah satu pihak, dengan konsekuensi pihak yang

menghentikan proses negosiasi tersebut wajib memberikan ganti rugi;

36 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Negosiasi Kontrak, Jakarta:Grasindo, 1999,hal.9.37 Agus Yudha Hernoko, op.cit, hal. 150.38 Dennis A. Howver, How to Improve your Negotiation Skills,New York: Alexander

Hamilton Institutes Incorporated, 1982, hal.1-2.39 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2003, Hal.256.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 45: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

31

UNIVERSITAS INDONESIA

c. Tahap ketiga (final stage), pada tahap ini para pihak tidak dapat

menghentikan negosiasi yang bertentangan dengan itikad baik.

Pelanggaran terhadap kewajiban ini membawa akibat timbulnya kewajiban

memberi ganti rugi kepada pihak lain (meliputi segala biaya yang telah

dikeluarkan maupun kehilangan keuntungan yang diharapkan).

Dalam tahap pra-kontrak pada perjanjian kemitraan inti plasma, antara

peternak ayam sebagai plasma dengan perusahaan pengelola sebagai inti yang

dibahas dalam tesis ini, berdasarkan wawancara terhadap beberapa informan

dikemukakan bahwa kesempatan negosiasi tidak pernah diberikan oleh pihak inti

kepada pihak plasma. Peternak ayam tidak mempunyai hak yang sama dalam

menentukan isi perjanjian. Perusahaan pengelola selaku inti yang menentukan

semua isi perjanjian baik mengenai hak dan kewajiban para pihak, kelalaian

petrnak, hak perusahaan pengelola untuk meninjau kembali baik secara berkala

maupun secara periodik untuk menarik kembali atau membatalkan jumlah fasilitas

dana yang akan atau telah diberikan kepada petani, jangka waktu pembayaran

hasil produksi ternak, harga sapronak, mutu (grade) hasil ternak dan lainnya.

Pembuatan perjanjian kemitraan tersebut telah disiapkan dalam satu formulir

perjanjian yang telah tercetak baku oleh perusahaan pengelola selaku ‘inti’

disodorkan untuk ditandatangani oleh pihak petani selaku ‘plasma’ dengan tidak

ada kebebasan untuk melakukan negosiasi.

Masalah pokok dalam negosiasi adalah menciptakan, mengendalikan dan

mengakhiri gerak ke arah suatu kesepakatan yang sama-sama memuaskan.

Namun pada pola kemitraan inti-plasma ini bukan melalui proses negosiasi yang

seimbang antara kedua belah pihak, melainkan pihak yang satu telah menyiapkan

suatu syarat baku pada suatu formulir perjanjian dan pihak lainnya tinggal

menyetujui tanpa diberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lain untuk tawar-

menawar (bargaining) atas syarat-syarat yang telah disodorkan. Perjanjian

demikian disebut perjanjian baku atau perjanjian standar.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 46: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

32

UNIVERSITAS INDONESIA

Drooglever Fortuijin40 merumuskan definisi perjanjian baku sebagai

perjanjian yang bagian pentingnya dituangkan dalam susunan perjanjian.

Sedangkan Mariam Darus Badrulzaman merumuskan perjanjian baku sebagai

perjanjian yang di dalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan dituangkan dalam

bentuk formulir dengan ciri-ciri sebagai berikut :41

a) Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relative lebih

kuat;

b) Kreditur lebih kuat dari debitur;

c) Debitur sama sekali tidak menentukan isi perjanjian;

d) Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

e) Bentuknya tertulis;

f) Disiapkan terlebih dahulu secara massal atau individu.

Adapun kontrak baku menurut Munir Fuady42 adalah suatu kontrak

tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan

seringkali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-

formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut

ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif

tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya,

dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau

hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula

yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku

sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut

tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi

“take it or lieve it”.

40 Drooglever Fortuijin didalam Mariam Darus Badrulzaman, Ibid.41 Mariam Darus Badrulzaman, Ibid, Hal.50.42 MunirFuady, 2003, Hukum Kontrak (dari sudut pandnag Hukum Bisnis),Buku Kedua,

Citra Aditya Bakti; Bandung,2003, hal.76.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 47: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

33

UNIVERSITAS INDONESIA

Berdasarkan uraian dan beberapa rumusan perjanjian baku di atas, maka

dapatlah disimpulkan karakteristik utama perjanjian baku, yaitu bahwa perjanjian-

perjanjian semacam itu :43

a. Dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi-transaksi

tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam aktivitas

transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi;

b. Dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi pembuatnya

dan/atau pihak-pihak yang akan mengikatkan diri di dalamnya;

c. Demi pelayanan yang cepat, sebagian besar atau seluruh persyaratan di

dalamnya diterapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk

digandakan dan ditawarkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan;

d. Biasanya isi dan persyaratannya distandarisasi atau dirumuskan terlebih

dahulu secara sepihak oleh pihak yang langsung berkepentingan dalam

memasarkan produk barang atau layanan jasa tertentu kepada masyarakat;

e. Dibuat untuk ditawarakan kepada publik secara massal dan tidak

memperhatikan kondisi dan/atau kebutuhan-kebutuhan khusus dari setiap

konsumen, dan konsumen hanya perlu menyetujui, atau menolak sama

sekali seluruh persyaratan yang ditawarkan.

Dari hal tersebut di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan posisi

para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada

peternak untuk mengadakan “ real bargaining” dengan pengusaha. Peternak

tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam

menentukan isi perjanjian baku ini. Hal ini disebabkan karena peternak pada

umumnya mempunyai kedudukan yang lemah di bidang ekonomi, baik karena

kedudukannya, maupun karena ketidaktahuannya, sehingga petani hanya dapat

menerima atau menolak isi perjanjian secara utuh atau keseluruhan (take it or

leave it).

Berdasarkan adanya fakta mengenai kedudukan antara peternak dan

pengusaha yang tidak seimbang ini, maka perlu dipahami bahwa berdasarkan

43 Laboratorium Hukum FH Unpad, Ketrampilan Perencanaan Hukum, PT.Citra AdityaBhakti; Bandung, 1999, Hal.182.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 48: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

34

UNIVERSITAS INDONESIA

Pasal 1 ayat 1 PP Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, menjelaskan definisi,

yaitu:

“ kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha

Menengah dan atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan

pengembangan oleh Usaha Menengah dan atau Usaha Besar dengan

memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling

menguntungkan”.

Berdasarkan definisi kemitraan tersebut diatas, bahwasannya hubungan

kemitraan ini, merupakan hubungan bisnis yang dibagun diatas prinsip saling

memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Maka dari itu,

seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa ‘langkah hukum adalah langkah

bisnis’, maka seharusnya pula prinsip-prinsip tersebut diterapkan sejak dalam

proses atau tahap pra –kontrak, yaitu dengan memberikan kesempatan bagi

peternak untuk melakukan negosiasi.

Dengan demikian kalaupun peternak tidak diberikan kesempatan untuk

melakukan negosiasi dengan alasan efektifitas (karena banyak peternak yang jika

diberikan kesempatan negosiasi pun tidak bisa memanfaatkannya dengan baik,

dikarenakan adanya keterbatasan pengatahuan tentang hukum), setidaknya

perusahaan pengelola wajib melakukan pembinaan untuk memberikan

pemahaman mengenai apa yang ada dalam kontrak serta konsekuensinya kepada

Peternak, serta memperhatikan asas-asas hukum baik asas umum dalam perjanjian

maupun dalam perjanjian kemitraan pada khususnya.

Namun pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit direalisasikan. Karena

bagaimanapun pengusaha yang dalam tindakan bisnisnya selalu berpedoman pada

prinsip ekonomi, yaitu dengan modal sekecil-kecilnya memperoleh keuntungan

yang sebesar-besarnya, dan selalu memandang sesuatu dari sudut efisiensi, selalu

akan mencari celah untuk memperkuat dirinya. Sedangkan disisi lain peternak

yang marjinal, sangat membutuhkan bantuan permodalan untuk melangsungkan

usaha ternaknya. Sehingga pada setiap hubungan kontraktual yang dilakukan

diantara mereka, selalu terdapat ketidakseimbangan posisi tawar. Oleh karena itu

disini diperlukan suatu media untuk mengakomodir hak-hak petani/peternak

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 49: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

35

UNIVERSITAS INDONESIA

‘plasma’ untuk dapat melaksanakan haknya dalam berkontrak, salah satunya

melalui organisasi peternak/petani plasma.

Sebagai contoh dan sekaligus perbandingan, yakni pada hubungan

kontraktual antara majikan (pengusaha) dengan buruh (tenaga kerja), pada

hubungan tersebut para pihaknya selalu berada dalam posisi tawar yang tidak

seimbang, dimana majikan (pengusaha) sebagai pihak yang kuat secara modal dan

organisasi berhadapan dengan buruh (tenaga kerja) yang membutuhkan sumber

penghidupan .Kondisi ini mengakibatkan buruh-buruh tersebut tidak mungkin

dapat memperjuangkan hak-haknya ataupun tujuannya secara perorangan tanpa

mengorganisir dirinya dalam suatu wadah yang dapat membantu mereka untuk

mencapai tujuan itu. Wadah yang dimaksudkan itu saat ini disebut dengan Serikat

Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).44

Berdasarkan pasal 1 ayat 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa;

“Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh

dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan,

yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab

guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan

pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan

keluarganya.”

Selanjutnya Pasal 104 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa Setiap pekerja/buruh berhak membentuk

dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Adapun tujuan dari Organisasi Buruh atau yang sekarang disebut dengan

Sarikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) antara lain adalah melindungi dan

membela hak dan kepentingan kaum buruh. Dengan tujuan ini Imam Soepomo

mengatakan:

“Melindungi dan memperjuangkan kepentingan buruh hendaknya jangan

diartikan semata-mata sebagai usaha keluar untuk melindungi kepentingan

44 Soekarno MPA, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan PerburuhanPancasila, Bandung: PT.Alumni, 1980, Hal.3.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 50: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

36

UNIVERSITAS INDONESIA

buruh dan memperjuangkan kepentingan buruh kepada majikan, tetapi

harus pula diartikan sebagai usaha dalam bentuk meringankan kehidupan

buruh dengan jalan mengadakan koperasi, memajukan pendidikan,

kebudayaan, kesenian, dan sebaginya”.

Selain tujuan yang tersebut dalam pengertian organisasi Buruh menurut Dirjen

Pembinaan Hubungan Perburuhan dan Perlindungan Tenaga Kerja di atas,

Organisasi Buruh juga mempunyai tujuan/program umum sebagaimana tertuang

dalam apa yang disebutkan sebagai Pancakarya, yaitu:45

1. Mengembangkan serta mengadakan konsolidasi organisasi;

2. Meningkatkan partisipasi kaum buruh dalam memperbesar produksi dalam

rangka mensukseskan pembangunan;

3. Membela hak-hak serta kepentingan kaum buruh sesuai dengan asas-asas

keadilan;

4. Aktif dalam usaha-usaha untuk mengatasi masalah pengangguran serta

usaha untuk memperluas lapangan kerja;

5. Meningkatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi bburuh

Internasional sejalan dengan politik luar negeri bebas aktif dari pemerintah

Kelima tujuan/program Organisasi Buruh tersebut diatas dirinci lagi menjadi

delapan sasaran sebagai berikut;46

1. Pembinaan Organisasi,

2. Pendidikan dan Latihan Buruh

3. Peningkatan dan Pembinaan hubungan perburuhan,

4. Kesejahteraan sosial ekonomi buruh,

5. Kesadaran hukum dan pembinaan perundang-undangan ,

6. Partisipasi sosial dalam pembangunan,

7. Perlindungan buruh remaja dan wanita,

8. Hubungan kerjasama Internasional.

45 Ibid, Hal. 127.46 Zainal Asikin, et.al, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal.54.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 51: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

37

UNIVERSITAS INDONESIA

Lebih lanjut Undang- Undang nomor 21 Tahun 2000 secara khusus

mengatur mengenai serikat pekerja.serikat buruh, yang maa dalam pasal 4

dinyatakan sebagai berikut:

(1) Serikat Pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat

pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan

hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak

bagi pekerja/buruh dan keluarganya.

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat

pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat

buruh mempunyai fungsi :

a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan

penyelesaian perselisihan industrial;

b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaha kerja sama

dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya;

c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang

harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraaturan

perundang-undangan yang berlaku;

d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak

dan kepentingan anggotanya;

e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab

pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan

kepemilikan saham dalam perusahaan.

Salah satu fungsi dari Serikat Pekerja / Buruh adalah sebagai pihak dalam

pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB). PKB pada dasarnya merupakan suatu

perjanjian, yang mana perjanjian tersebut bersifat privat dan terbuka. Namun

dengan keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka diharapkan akan

menyeimbangkan posisi tawar dari buruh/pekerja, sehingga melalui serikat

pekerja/buruh para pekerja/buruh bisa mendapatkan kesempatan untuk

bernegosiasi dalam menentukan isi PKB yang berpihak pada kesejahteraannya.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 52: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

38

UNIVERSITAS INDONESIA

Maka secara analogi, hal tersebut dapat diterapkan dalam pola hubungan

kemitraan inti-plasma, karena keduanya (perjanjian kemitraan inti-plasma dan

perjanjian kerja bersama) memiliki persamaan yang krusial, yakni keduanya

sama-sama terdapat ketidakseimbangan posisi tawar. Sehingga kedepannya

dibentuknya suatu organisasi plasma, akan dapat memperkuat posisi tawar para

peternak ayam/plasma, sehingga melalui organisasi tersebut mereka dapat turut

aktif untuk memperjuangkan haknya untuk berhubungan dalam perjanjian yang

fair, dan memiliki kesempatan untuk bernegosiasi memperjuangkan

kepentingannya.

2.3.2 Penerapan Asas Proporsionalitas Pada Tahap Pembentukan Kontrak

Dalam tahap pembentukan kontrak, asas proporsionalitas berfungsi untuk

menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan isi kontrak.47

Dengan demikian menurut penulis, bahwasannya unsur-unsur yang harus

dipenuhi dalam penerapan asas proporsionalitas pada tahap pembentukan kontrak

ini adalah:

a. adanya kesetaraaan hak,

b. adanya kebebasan,

c. menentukan isi kontrak

Tercapainya unsur kesetaraan hak dan kebebasan tersebut diatas sejalan

dengan apa yang disyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyebutkan

bahwa :

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

3. Suatu hal tertentu,

4. Suatu sebab yang halal.”

47 Agus Yudha Hernoko, Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Bisnis (upaya MewujudkanHubungan BIsnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan), Jurnal Hukum Bisnis Volume29,Hal.18.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 53: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

39

UNIVERSITAS INDONESIA

Sedangkan sehubungan dengan unsur ‘menentukan isi kontrak’, disini perlu

dikaji lebih lanjut bahwasannya isi kontrak yang bagaimanakah yang

dimaksudkan oleh asas proporsionalitas? Sehubungan dengan isi kontrak yang

sesuai asas proporsionalitas, Agus Yudha Hernoko mengungkapkan bahwa salah

satu kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menemukan asas

proporsionalitas dalam kontrak adalah:

“….Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang

mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan

kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa

keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan

sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya

hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip distribusi-

proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu

pertukaran yang fair;….”

Sedangkan lebih lanjut Pengertian proporsional, dalam kamus besar bahasa

indonesia (KBBI) kata proporsional merupakan kata serapan yang berasal dari

dari kata proporsi (proportion-Inggris; proportie-Belanda) yang berarti

perbandingan, perimbangan, sedang “proporsional” (proportional-Inggris;

proportioneel-Belanda berarti sesuai dengan proporsi, sebanding, seimbang,

berimbang.48

Hal yang perlu digaris bawahi dari pemaparan tersebut diatas, adalah

berimbang sesuai proporsi, namun tidak dapat diukur secara matematis, namun

diukur sesuai proporsinya. Dalam konteks kemitraan yang dimaksud dengan

proporsi adalah sesuai dengan peran yang telah dilakukan. Sedangkan Pasal 1

angka 13 Undang-Undang UMKM, menyebutkan definisi kemitraan itu sendiri

sebagai berikut:

“……Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung

maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan,

48 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 54: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

40

UNIVERSITAS INDONESIA

mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.”

Dengan demikian, menurut hemat penulis, pada tahap pembentukan kontrak

ini, asas proporsionalitas akan dipenuhi jika syarat sah dalam terciptanya suatu

kontrak atau perjanjian sebagaimana apa yang disyaratkan undang-undang telah

terpenuhi, dan isi dari kontrak/perjanjian harus memenuhi prinsip-prinsip

kemitraan.

2.3.2.1 Penerapan Asas Proporsionalitas Pada Tahap Pembentukan Kontrak

ditinjau dari Syarat Sah Kontrak

Pada tahap pembentukan suatu kontrak, hal yang sangat krusial, yang akan

menentukan apakah kontrak tersebut dapat dilaksanakan (sah atau tidak sah, batal

atau dapat dibatalkan) serta mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak

adalah dengan melihat apakah syarat sah dalam sutu kontrak sebagaimana

disyaratkan oleh buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terpenuhi, yang

secara garis besar digolongkan sebagai berikut:49

a. Syarat shanya kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan

b. Syarat sahnya kontrak yang diatur di luar pasal 1320 KUHPerdata

(vide Pasal 1335, Pasal 1339, dan Pasal 1347).

Dalam pasal 1320 KUH Perdata terdapat 4 (empat) syarat yang harus

dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,

b. Kecakapan para pihak untuk membuat perikatan,

c. Suatu hal tertentu,

d. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan.

Ad.a. Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah

satu keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak

saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau

pernyataan pihak yang lain.

49 Agus Yudha Hernoko, Ibid, Hal. 157.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 55: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

41

UNIVERSITAS INDONESIA

Adanya kesepakatan ini merupakan perwujudan dari asas

konsensualisme50, yang merupakan asas yang dianut oleh hukum perjanjian dari

KUHPerdata, yang artinya adalah hukum perjanjian dari KUH Perdata itu

menganut sutau asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat

saja dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian “perikatan” yang

ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya

consensus sebagaimana dimaksudkan diatas. Pada detik tersebut perjanjian sudah

jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik yang lain yang terkemudian atau

yang sebelumnya.51

Suatu kontrak/perjanjian yang lahir dari kesepakatan, pada kondisi normal

adalah bersesuaian antara kehendak dan pernyataan. Namun demikian, tidak

menutup kemungkinan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat

kehendak (wilsgebreke). Kontrak yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh

adanya unsur cacat kehendak tersebut mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan

(vernietigbaar).

Mengenai kesepakatan ini, Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau

diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Maka dapat dimengerti bahwa,

dalam KUH Perdata terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan

kontrak berdasarkan pada cacat kehendak, yaitu:

a. Kekhilafan atau kesesatan atau dwaling (Lebih lanjut dijelaskan dalam

Pasal 1322 KUH Perdata)

b. Paksaan atau dwaang (lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1323 – 1327

KUH Perdata)

c. Penipuan atau bedrog (lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 1323 – 1327

KUH Perdata)

50 Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengankesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatupersesuaian kehendak, artinya; apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula dikehendakioleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut . tercapainya sepakat inidinyatakan oleh kedua pihak dengan mengucapkan kata-kata misalnya “setuju”…., Subekti,Aneka Perjanjian, Bandung; Citra Aditya Bhakti, hal.3.

51 Loc.Cit.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 56: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

42

UNIVERSITAS INDONESIA

Kekhilafan dalam Pasal 1322 KUH Perdata tersebut diatas ditekankan

pada kehilafan para pihak dalam memahami hakikat dari barang yang menjadi

objek perjanjian. Sementara itu “paksaan” disini lebih menekankan jika dalam

proses kesepakatan itu terjadi peristiwa yang menakutkan serta mengandung

ancaman yang membahayakan diri atau kekayaan salah satu pihak(pasal 1324).

Sedangkan penipuan menurut Pasal 1328 KUH Perdata

“…merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu-

muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa

hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat

perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.

Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.”

Dalam perjanjian kemitraan inti-plasma ini, pernyataan kesepakatandinyatakan dengan tegas pada bagian pembuka yang berisi sebagai berikut,

“Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, para pihak dengan ini sepakat , untuk

bekerja sama dalam suatu hubungan kemitraan usaha, menurut syarat-

syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut…”.

Dengan demikian jelas bahwa, para pihak secara sadar, tanpa adanya kekhilafan,

paksaan, dan penipuan telah sepakat dalam melangsungkan perikatan yang

diakibatkan oleh perjanjian tersebut.

Namun dalam perkembangan ilmu hukum dewasa ini, di Belanda dalam Niew

Burgerlijk Wetboek (NBW) telah memasukkan satu unsur baru cacat kehendak

yang dikarenakan adanya penyalahgunaan keadaan (Misbruik van

omstandighheid), sehingga alasan pembatalan kontrak menurut NBW meliputi:

a. Kesesatan (dwaling),

b. Paksaan (dwaang),

c. Penipuan (Bedrog),

d. Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandingheden).

Di Indonesia, meskipun ajaran penyalahgunaan keadaan belum masuk dalam

sumber hukum positif, namun praktik yurisprudensi (secara implisit) telah

menerimanya sebagaimana dalam putusan Mahkamah agung RI.No.1904

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 57: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

43

UNIVERSITAS INDONESIA

K/Sip/1982 (Luhur Sundoro/Ny. Oeie Kwie Lian c.s) dan No. 331 K/Sip/1985

(Sri Setyaningsih/ Ny.Boesono c.s). Putusan tersebut pada prinsipnya menyatakan

bahwa pernyataan kehendak yang diberikan sehingga melahirkan kontrak, apabila

dipengaruhi ‘penyalahgunaan keadaan’ oleh pihak lain merupakan unsur cacat

kehendak dalam pembentukan kontrak.52

Sebenarnya penggunaan doktrin ‘penyalahgunaan keadaan’ tersebut adalah

tepat untuk menilai adanya suatu kesepakatan yang utuh dalam perjanjian

kemitraan inti-plasma ini,karena adanya keadaan ketimpangan posisi tawar yang

sangat signifikan antara para pihak. Peternak yang sangat tergantung kepada

perusahaan pengelola disebabkan karena keterbatasan modal dan posisi inti yang

lebih kuat baik dari aspek pemilikan modal, manajemen, teknologi dan sumber

daya manusia yang cukup tersedia, hal inilah yang menyebabkan peternak ayam

dalam posisi yang sangat lemah jika berhadapan dengan perusahaan pengelola

selaku inti.

Salah satu akibat yang dapat ditimbulkan oleh keadaan yang tidak

seimbang tersebut adalah adanya pihak yang akan mendominasi terhadap jalannya

hubungan kemitraan tersebut. Pihak yang dominan biasanya akan berusaha untuk

memaksakan kehendaknya untuk diterima oleh pihak yang lemah. Hal ini senada

dengan apa yang diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo yaitu “Semakin tinggi

kedudukan suatu pihak itu secara ekonomi, semakin besar pula kemungkinannya

bahwa pandangan serta kepentingan akan tercermin dalam hukum”.

Merujuk kepada pembahasan sebelumnya tentang kedudukan para pihak

dalam perjanjian, yang menyatakan bahwa secara sosiologis-ekonomis para pihak

berada dalam kondisi yang tidak seimbang (posisi tawar yang tidak seimbang),

dengan adanya keunggulan Inti dalam hal:

1. Dari segi permodalan, inti sebagai perusahaan besar tentunya memiliki

sumber dana modal yang relative besar,

2. Dari segi jaringan usaha atau organisasi,

3. Dari segi fasilitas produksi yang dimiiki,

52 Ibid, Hal. 177-178.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 58: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

44

UNIVERSITAS INDONESIA

4. Dari segi manajemen skill dan pengalaman.

Sedangkan plasma, merupakan petani tradisional yang hanya memiliki lahan dan

kemampuan untuk beternak saja, yang sangat tradisional, serta memiliki sumber

permodalan yang sangat minim.

Dengan melihat fakta tersebut diatas, pada tahap pembentukan perjanjian

kemitraan inti-plasma ini sangat potensial untuk menciptakan terjadinya

“penyalahgunaan keadaan”. Sebagaimana dikutip oleh H.P.Panggabean, Van

Dunne membedakan penyalahgunaan keadaan menjadi dua hal, yakni

penyalahgunaan karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan, dengan

uraian sebagai berikut:

a) Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis:

1) Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang

lain,

2) Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.

b) Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan kejiwaan:

1) Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti

hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami dan

istri, dokter dan pasien, pendeta dan jemaat.

2) Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari

pihak lawan, seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman,

gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dan

sebagainya.53

Berdasarkan berbagai kasus terkait dengan ‘penyalahgunaan keadaan’ yang terjadi

di Negeri Belanda54, Van Dunne menyimpulkan berbagai pertimbangan hukum

yang berkaitan dengan masalah penerapan penyalahgunaan keadaan, dengan

membuat 4 pertanyaan:

1) Apakah pihak yang satu mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang

lain?

53 H.P.Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van omstandigheden) SebagaiAlasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda danIndonesia), Yogyakarta; Liberty, Edisi Revisi Kedua, 2010, hal. 51-52.

54 Kasus yang dimaksud adalah, antara lain: Kasus BOVAG II, HR 11 Januari 1957, NJ1959,57; Kasus BUMA/Brinkman, HR 24 Mei 1968,NJ 1968,252 ; Kasus ‘Pensiun Janda’, HR 29April 1971, NJ 1972, 336; Kasus Brandwijk/Bouwbureau Brandwijk BV, HR 2 Nopember 1979, NJ1980, 429.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 59: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

45

UNIVERSITAS INDONESIA

2) Adakah kebutuhan mendesak untuk mengadakan kontrak dengan pihak

yang secara ekonomis lebih berkuasa mengingat akan pasaran ekonomi

dan posisi pasaran pihak lawan?

3) Apakah kontrak yang telah dibuat atau syarat yang telah disetujui tidak

seimbang dalam menguntungkan pihak yang ekonomis lebih kuasa dan

dengan demikian berat sebelah?

4) Apakah keadaan berat sebelah semacam itu dapat dibenarkan oleh keadaan

istimewa pada pihak ekonomis lebih kuasa?

Jika dari tiga pertanyaan pertama dijawab dengan ya, dan yang terakhir dengan

tidak, diperkirakan sudah terjadi penyalahgunaan keadaan dan kontrak yang telah

dibuat atau syarat-syarat di dalamnya, sebagian atau seluruhnya dapat

dibatalkan.55

Ad. b. Kecakapan,

Kecakapan yang dimaksud di sini adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan

hukum, yaitu diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum

secara mandiri tanpa dapat diganggu gugat. Menurut J.H.Niewenhuis, Kecakapan

untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar berikut

ini:56

a. Persoon (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan,

b. Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan.

Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada diantaranya Pasal

39 jo Pasala 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,

maka usia kedewasaan seseorang adalah 18 Tahun.

Ad. c. Suatu Hal tertentu,

Lebih lanjut mengenai hal atau obyek tertentu ini dapat dirujuk dari

substansi pasl 1332, 1333, dan 1334 KUH Perdata, substansi dari pasal-pasal

55 HP.Panggabean, Op.Cit.hal.59.56 Agus Yudha Hernoko, Ibid, Hal.184.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 60: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

46

UNIVERSITAS INDONESIA

tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak harus dipenuhi hal atau

obyek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak

dapat dilaksanakan oleh para pihak.

Dalam kontrak atau perjanjian harus dipenuhi hal atau obyek tertentu, kata

‘tertentu’ disini tidak harus dalam artian gramatikal dan sempit harus ada ketika

kontrak dibuat, adalah dimungkinkan untuk hal atau obyek tertentu tersebut

sekedar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian

hari. Dalam perjanjian kemitraan inti-plasma hal ini juga dilakukan, karena

terdapat suatu klausul yang mengatur mengenai adanya penyerahan dan

pembayaran atas harganya hasil ternak ayam, yang pada saat dibuatnya perjanjian

‘hal tertentu’ berupa hasil ternak ayam tersebut belum ad, namun menyatukan

dalam satu syarat, yaitu perjanjain (kontrak) yang dilarang. Pasal 3:40 NBW

Mmengatur batas kebebasan berkontrak para pihak dengan merumuskan larangan

yang dibedakan dalam tiga hal yaitu:57

a. Larangan untuk membuat suatu kontrak, apabila bertentangan dengan

ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa atau dwingend recht,

b. Larangan tentang isi kontrak, artinya isi kontrak tidak boleh

bertentangan dengan kepatutan dan ketertiban umum,

c. Daya berlakunya suatu kontrak yang tidak dibenarkan, missal dengan

mengubah peruntukan dari perizinan.

Ad. d. Kausa yang Halal,

Pengertian kausa atau sebab (oorzaak) sebagimana dimaksud dalam Pasal

1320 KUHPerdata syarat 4, harus dihubungkan dalam konteks pasal 1335 dan

1337 KUHPerdata, meskipun undang-undang tidak memberikan penjelasan

mengenai apa yang dimaksud dengan sebab atau kausa, namun yang

dimaksudkan disini menunjuk pada adanya hubungan tujuan (kausa finalis) , yaitu

57 HP.Panggabean, Op.Cit, hal.30-33.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 61: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

47

UNIVERSITAS INDONESIA

apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup kontrak atau apa yang hendak

dicapai para pihak pada saat penutupan kontrak. 58

Berdasarkan pasal 1335 KUHPerdata dan Pasal 1337 KUHPerdata, suatu

kontrak tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (batal), apabila kontrak

tersebut:59

a. Tidak mempunyai kuasa,

b. Kausanya palsu,

c. Kausanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

d. Kausanya bertentangan dengan kesusilaan,

e. Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum.

2.3.2.3 Analisa Penerapan Asas Proporsionalitas terhadap Klausul

Pembatasan dan Klausul Penjaminan

Untuk menguji dan menganalisa daya kerja dari asas proporsionalitas pada

tahap pembentukan perjanjian, dilihat dari isinya, apakah telah atau belum

mencerminkan asas tersebut, penulis melihat pada beberapa contoh dari perjanjian

kemitraan inti-plasma, yang selanjutnya dalam pembahasan ini disebut sebagai

Perjanjian Kerjasama atau disingkat PKS, antara lain PKS antara PT/.Nusantara

Unggas Jaya dengan Peternak Ayam Ras di Kabupaten Malang – Jawa Timur,

PKS antara PT. Super Unggas Jaya (SUJA) dengan peternak-peternak ayam ras

pedaging di Banten dan Jawa Barat, PKS antara PT.Tunas Mekar Farm dengan

peternak-peternak ayam ras di bogor. Ketiga model PKS tersebut memiliki

karakteristik yang sama, secara spesifik ada dua jenis klausul yang patut disoroti

sehubungan dengan penerapan asas proporsionalitas, yaitu:

a) Klausul penggunaan bibit ayam dan sarana produksi ternak dan klausul

penjualan hasil ternak,

b) Klausul penjaminan

58 J.Satrio, Op.cit, Hal. 318-319.59 J. Satrio. Op.Cit, Hal. 320.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 62: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

48

UNIVERSITAS INDONESIA

A. Klausul Pembatasan Penggunaan Bibit Ayam dan Sarana Produksi

Ternak dan Penjualan Hasil Ternak

Dalam beberapa PKS yang menjadi bahan hukum sekunder dalam

penelitian ini, penulis melihat bahwa terdapat suatu klausul pembatasan

mengenai penggunaan bibit ayam dan sapronak. Berkaitan dengan masalah

sarana produksi ternak (sapronak), peternak ayam tidak mempunyai

kewenangan sama sekali terhadap harga bibit ayam (DOC), pakan dan obat –

obatan. Peternak ayam hanya mempunyai kewenangan untuk pemeliharaan

ayam ras pedaging di lokasinya. Adapun bunyi dari pasal 3 PKS yang dibuat

oleh PT.Super Unggas Jaya, adalah sebagai berikut:

“ Untuk menjamin hasil produksi yang baik selain mengikuti tata cara

budidaya dan pemeliharaan yang diarahkan oleh Pihak Pertama, Pihak

Kedua diperkenankan untuk menggunakan Apronak hanya dari Pihak

Pertama atau menggunakan Sapronak yang direkomendasikan atau

disetujui oleh Pihak Pertama.”

Menurut hemat penulis, berdasarkan klausula tersebut di atas berarti ; 1)

dalam perjanjian ini peternak ayam sebagai pihak kedua yang selanjutnya

disebut sebagai pihak plasma, tidak memiliki kesempatan untuk menentukan

pilihan mengenai bibit ayam dan saran produksi dari perusahaan mana yang

paling menguntungkan bagi usahanya yang akan digunakan. 2) Sehingga

perjanjian ini membuat pelaku usaha pesaing pihak pertama yang selanjutnya

disebut pihak inti, tidak mempunyai kesemptan untuk masuk ke dalam pasar

yang bersangkutan tersebut. Dengan demikian melalui pasal 3 PKS tersebut

dalam kegiatan usaha ini hanya terdapat satu penjual dengan banyak pembeli

dalam sebuah pasar yang bersangkutan, akibatnya penjual mempunyai “ruang”

yang sangat bebas untuk menentukan harga secara sepihak. Keadaan ini

merupakan indikasi dari terciptanya praktek monopoli. Namun dengan

demikian kita tidak bisa serta-merta menyatakan bahwa klausul ini dilarang

oleh undang-undang. Oleh karena itu terlebih dahulu, penulis akan membahas

permasalahn ini dengan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 63: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

49

UNIVERSITAS INDONESIA

(selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Anti Monopoli/UU-AM) sebagai

lex generali, dan UU-UMKM sebagai lex specialis.

Pasal 17 UUAM memuat ketentuan mengenai larangan terhadap kegiatan

atau praktek monopoli, yang selengkapnya menyatakan bahwa;

1) Pelaku Usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan ataupemasaran dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atasproduksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) apabila :a. Barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;

ataub. Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam

persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atauc. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai

lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barangatau jasa tertentu.

Maka berdasarkan uraian ketentuan tersebut diatas agar suatu

monopoli dapat dilarang haruslah memenuhi unsureunsur sebagai berikut:60

1) Melakukan penguasaan atas produksi atas suatu produk; dan atau

2) Melakukan penguasaan atas pemasaran suatu produk,

3) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli, dan atau

4) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek

persaingan usaha tidak sehat.

Unsur “melakukan penguasaan” Peter W.Hermann, patut dianggap

sinonim dengan istilah hukum “posisi dominan”.61 Dengan kata lain seorang

pelaku usaha akan dapat melakukan penguasaan, jika ia berada pada posisi

dominan.

Pasal 1 angka 4 UU-AM, menyatakan bahwa posisi dominan merupakan

keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berari di pasar

60 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli Menyongsong era Persaingan Sehat, Bandung;Citra Aditya, 1999, hal.76.

61 Knud Hansen, et.al, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan PersainganUsaha Tidak Sehat – Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair BusinessCompetetion, Jakarta: Katalis Publishing, 1999, Hal. 126.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 64: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

50

UNIVERSITAS INDONESIA

bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai atau pelaku

usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan

dalam kaitan dengan: a) kemampuan keuangan, b) kemampuan akses pada

pasokan atau penjualan, c) serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan

atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Kemampuan keuangan yang kuat mengakibatkan posisi dominan apabila

mempunyai dampak menghilangkan semangat pesaingnya, dalam arti bahwa

dengan demikian pesaing yang sudah ada tidak bersaing secara aktif

sedangkan pesaing potensial tidak masuk ke pasar.

Kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dapat membantu

menyimpulkan posisi pasar pelaku usaha bersangkutan. Terdapat posisi

dominan khususnya apabila pelaku usaha yang kuat (dalam kaitannya dengan

pangsa pasar), dapat mempersulit atau mencegah sama sekali akses pesaing

ke pasar tersebut (efek penutupan pasar akses ke pasar). Dengan melihat

keunggulan posisi tawar pada pihak inti, sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, 62tampak bahwa pihak inti dapat dianggap memiliki “posisi

dominan”, dan bila dikaitkan dengan klausul pembatasan penggunaan bibit

ayam dan sarana produksi ternak tersebut cukup untuk menjelaskan bahwa

pihak inti melalui kerjasama kemitraan ini memiliki kemampuan akses pada

pasokan. Klausul tersebut menyatakan adanya kepastian bahwa pihak plasma

akan hanya menggunakan sapronak yang merupakan hasil produksi dari pihak

inti, dengan demikian melalui klausul dalam perjanjian tersebut

mengakibatkan pihak inti telah memiliki akses untuk pasokan, yang mana

akses tersebut tertutup bagi pelaku usaha lain (pesaingnya). Maka jelaslah

bahwa pihak inti yang berada pada posisi dominan tersebut mempunyai

maksud untuk melakuka penguasaan atas pemasaran barang. Sehingga unsure

pertama dari monopoli yang dilarang telah terpenuhi.

Selanjutnya pada unsur kedua, yakni “dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”, Definisi praktek

monopoli sendiri dijelaskan secara implicit dalam pasal 1 angka 2 UU-AM,

62 Lihat halaman 42

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 65: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

51

UNIVERSITAS INDONESIA

dari definisi praktek monopoli dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa

praktek monopoli memiliki unsur-unsur:

1. Pemusatan kekeuatan ekonomi;

2. Satu atau lebih pelaku usaha;

3. Mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang

dan/atau jasa tertentu, sehingga;

4. Menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, dan;

5. Dapat merugikan kepentingan umum.

Sedangkan definisi ‘pemusatan kekuatan ekonomi’ dinyatakan dalam pasal

1 angka 3 bahwa “ pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan nyata atas

suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat

menentukan harga barang dan/atau jasa.

Dalam prakteknya , posisi kekuatan ekonomi suatu pelaku usaha, di

samping kemampuannya untuk menguasai produksi dan/atau jasa dicerminkan

melalui ruang gerak yang luas untuk menentukan harga. Hal ini disebabkan

karena dengan demikian pelaku usaha bersangkutan dapat menjalankan

strategi pasar mandiri63, terutama dari mitra pasarnya, dan dengan demikian

mampu menghalangi adanya persaingan efektif di pasar bersangkutan.64

Apabila pelaku usaha dapat menaikkan atau menurunkan harga melebihi

kebijakan harga yang umum tanpa membahayakan posisi dominannya di

pasar, maka dapat di duga terdapat pemusatan kekuatan ekonomi serta posisi

dominan di pasar. Persaingan usaha tidak dapat lagi memenuhi fungsi

pengendaliannya terhadap pelaku usaha yang bersangkutan, karena pelaku

usaha tersebut dapat bergerak bebas menghadapi pesaing lain, dan mempunyai

ruang gerak yang kurang mampu dikendalikan oleh persaingan.65

Dengan demikian adanya klausul penbatasan tersebut, memungkinkan

bagi pihak inti untuk dapat menentukan harga secara sepihak, karena mau atau

tidak mau pihak plasma harus membeli sapronak yang berasal dari pihak inti,

sehingga pihak inti dapat leluasa dalam menentukan harga.

63 Strategi Pasar Mandiri yaituapabila seorang pelaku usaha dapat leluasa mengambildan menentukan tindakan dalam kaitannya dengan strategi menjalankan usahanya, tanpadipengaruhi oleh keadaan apapun yang berasal dari mitra usahanya.

64 Knud Hansen, et,al., op.cit.Hal.32.65 Ibid, hal.33.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 66: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

52

UNIVERSITAS INDONESIA

Akan tetapi semua kriteria diatas belum cukup untuk mengatakan bahwa

suatu tindakan merupakan praktek monopoli, jika tindakan tersebut tidak

dapat merugikan kepentingan umum. Jadi harus terdapat unsur “merugikan

kepentingan umum”. Apabila pihak inti dapat menentukan harga secara

sepihak maka jelaslah bahwa keadaan ini sangat merugikan kepentingan

umum dalam hal ini pihak plasma, karena berdasarkan fakta yang ada, pihak

plasma tidak hanya terdiri dari satu atau beberapa orang dalam suatu wilayah

kabupaten, namun terdiri dari dari 150 peternak ayam yang tersebar dalam

satu kecamatan. Maka kepentingan pihak plasma dapat diasumsikan sebagai

kepentingan umum.

Menyangkut masalah grade atau harga karena belum ditentukan atau

sepakti dalam PKS dan akan ditentukan kemudian pada pasca produksi yaitu

pada waktu awal pembelian hasil ternak, dan sebenarnya apabila pihak inti

memberikan kesempatan yang seimbang bagi peternak ayam selaku plasma

untuk melakukan negosiasi dengan cara mengusulkan grade dan harga sendiri,

maka peternak akan memiliki bargaining position. Disini juga letak

bargaining power dari peternak dalam kermitraan usaha tersebut, oleh karena

itu dibutuhkan kesadaran akan adanya kesetaraan dan memberi kesempatan

untuk melakukan negosiasi yang seimbang agar hak-hak peternak dapat

terakomodir dalam perjanjian kemitraan inti-plasma tersebut.

Selanjutnya dari Pasal 17 ayat (2) UU-AM dapat dimengerti bahwa,

penguasaan atas produksidan atau pemasaran yang dapat mengakibatkan

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat tersebut dapat terjadi

salah satunya dengan cara yang dapat kita sebut sebagai “presumsi

monopoli”.66

Presumsi monopoli tersebut menyatakan bahwa oleh hukum dianggap

telah terjadi suatu monopoli dan atau persaingan curang,kecuali dapat

66 Loc.Cit.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 67: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

53

UNIVERSITAS INDONESIA

dibuktikan sebaliknya, dalam hal terpenuhinya salah satu dari criteria berikut

ini.67

1) Produk yang bersangkutan belum ada substitusinya;

2) Pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha

terhadap produk ysng sama;

3) Pelaku usaha lain tersebut adalah pelaku usaha yang mempunyai

kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar yang bersangkutan;

4) Satu pelaku usaha atau satu kelompok usaha telah menguasai lebih dari

50% (lima puluh persen) pangsa pasar dari satu jenis produk tertentu.

Sehubungan dengan muatan Pasal 3 PKS tersebut memberikan batasan

bahkan menutup akses bagi pelaku usaha lain (pesaingnya) untuk turut

dalam persaingan usaha terhadap produk yang sama, yakni sapronak.

Keberadaan klausul pembatasan ini (Pasal 3 PKS) menimbulkan hambatan

masuk bagi pelaku usaa pesaingnya, dengan demikian salah satu presumsi

monopoli yang disyaratkan oleh pasal 17 ayat (2) UUAM telah terpenuhi.

Maka keberadaan klausul tersebut dapat berdampak terhadap

terciptanya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Lebih

lanjut ketika menganalisa bentuk perjanjian kerjasama tersebut, ternyata

perjanjian tersebut dapat dikategorikan sebagai perjanjian tertutup.

Adapun perjanjian tertutup ini dilarang oleh UUAM secara per se. Oleh

karena itu pada dasarnya perjanjian dan perbuatan yang timbul akibat

Klausul pembatasan dalam PKS ini bertentangan dengan UUAM.

Namun disisi lain PKS ini merupakan wujud dari pola kemitraan

inti-plasma, yang dianjurkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008

(UU-UMKM). Dianjurkannya pola kemitraan ini oleh undang-undang

sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 5 UU-UMKM, yaitu

bahwa:

Tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah:

a.mewujudkan struktur perekonomian nasional yang

seimbang, berkembang, dan berkeadilan;

67 Ibid, hal 77.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 68: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

54

UNIVERSITAS INDONESIA

b.menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang

tangguhdan mandiri; dan

c.meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengahdalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan

kerja,pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan

pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Dalam rangka tercapainya tujuan tersebut di atas, maka melalui

UU UMKM ini pula pemerintah menganjurkan dilaksanakannya pola

kemitraan, dan dari definisi kemitraan yang telah pada pembahasan-

pembahasan sebelumnya dapat dimengerti bahwa dalam hubungan

kerjasama tersebut Usaha Besar harus melakukan pembinaan kepada usaha

mikro dan kecil. Sehingga nantinya diharapkan melalui pola kemitraan

inti-plasma ini usaha kecil makin maju dan mandiri.Maka daam hubungan

ini pihak inti memiliki kewajiban untuk melakukan pembinaan dan

pengembangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 PP No 44/1997

tentang kemitraan, sebagai berikut:

“Dalam pola inti plasma, Usaha Besar dan Usaha menengah

sebagai inti membina dan mengembangkan Usaha Kecil yang

menjadi plasmanya dalam :

a. Penyediaan dan penyiapan lahan;

b. Penyediaan sarana produksi;

c. Pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan

produksi;

d. Perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang

diperlukan;

e. Pembiayaan; dan

f. Pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi

peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha.”

Oleh karenanya Pasal 50 huruf a UUAM memberikan

pengecualian terhadap perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 69: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

55

UNIVERSITAS INDONESIA

melaksanakan peraturan Undang-Undang, sedangkan PKS ini merupakan

perjanjian yang dibuat dalam rangka melaksanakan apa yang dianjurkan

oleh Undang-Undang Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UU UMKM).

Maka menurut hemat penulis, adanya klausul pembatasan dalam

PKS ini tidak bisa dianggap serta merta merupakan perbuatan yang

melanggar undang-undang, namun klausul tersebut merupakan suatu

perwujudan keistimewaan yang patut didapat oleh pihak inti berdasarkan

apa yang telah dilakukan kepada pihak plasma, tentunya dengan batasan

jika ia melaksanakan segala kewajiban yang diharuskan oleh undang-

undang dalam rangka pembinaan guna mencapai pengembangan Usaha

Kecil yang maju dan mandiri. Maka secara propororsional Klausul ini

merupakan klausul yang wajar yang diterapkan dalam pola kemitraan inti-

plasma.

B. Klausula Penjaminan Terhadap Pasokan Sapronak yang Dianggap

Sebagai Hutang

Pencantuman klausul penjaminan, merupakan suatu klausul yang secara

spesifik terdapat dalam PKS. Sebagaimana yang telah dibahas pada subbab

sebelumnya, bahwa hubungan hukum yang ada dalam perjanjian ini adalah

hubungan Jual Beli dengan syarat khusus. Salah satu syarat khusus itu antara

lain, adalah adanya kewajiban bagi pihak plasma untuk menggunakan hak atas

tanah yang dimilikinya sebagai jaminan atas sapronak yang dipasok oleh inti,

yang dianggap sebagai hutang. Adapun bunyi dari klausul penjaminan tersebut

adalah sebagai berikut:

“Untuk menjamin pembayaran kembali segala hutang atau segalaapa yang harus dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertamaberdasarkan perjanjian ini dan perubahan-perubahannya,tambahan-tambahan atau perpanjangannya kemudian hari (apabilaada), Pihak kedua atau pembero jaminan dengam ini memberikanjaminan kepada pihak pertama, berupa:1. Bentuk/No.Dokumen:…………………………………………

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 70: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

56

UNIVERSITAS INDONESIA

Luas Tanah:…………………………………………………….Letak tanah :…………………………………………...............

2. Bentuk/No.Dokumen:……………………………………………Luas Tanah:………………………………………………Letak tanah :………………………………………….....

3. …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Dan memberi kuasa kepada pihak pertama,kuasa mana tidak dapatdicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab apapun juga,termasuk yang dinyatakan dalam Pasal 1813, 1814, dan 1816 KitabUndang-Undang Hukum Perdata, untuk melakukan penjualan atasbarang jaminan tersebut diatas, manakala pihak kedua melalaikankewajiban-kewajibannya kepada Pihak Pertama.”

Dalam klausul tersebut, disebutkan akan keberadaan hutang atau atas

segala apa yang harus dibayar oleh plasma kepada inti. Sebagaimana kita

ketahui, inti telah memasok sapronak kepada plasma, disini inti bertindak

sebagi penjual, selanjutnya plasma berkewajiban membayar akan harga

sapronak tersebut, pembayaran harga atas sapronak tersebut dilakukan dengan

menjual hasil ternak kepada inti, pada saat itu harga penjualan digunakan

sebagai pemenuhan atas harga sapronak dan bagi hasil/keuntungan, dan

sisanya menjadi hak atau keuntungan peternak. Maka jelas terlihat disini

bahwa inti telah ,melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu, namun hak

atas pembayar harga barang akan diperoleh pada periode tertentu, maka

secara umum tentunya inti membutuhkan suatu penjaminan bahwa harga atas

barang yang dijual akan dibayar dengan sesuai.

Dengan melihat apa yang dinyatakan dalam klausul penjaminan tersebut,

maka obyek penjaminan disitu adalah Hak atas Tanah, maka bentuk dari hak

jaminan yang wajib diberikan oleh plasma selaku pihak kedua adalah berupa

Hak Tanggungan. Mengenai hak tanggungan sendiri diatur dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, lebih lanjut disebut dengan

UUHT.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 71: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

57

UNIVERSITAS INDONESIA

Pasal 1 ayat (1) UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan” atas tanah

beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut

“Hak Tanggungan” sebagai berikut :

“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas

tanah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.

Ada beberapa unsur pokok dari hak tanggungan yang termuat di dalam

definisi tersebut. Unsur-Unsur pokok itu adalah:68

1) Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang,

2) Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA,

3) Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah)

saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang

merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu.

4) Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu,

5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor-kreditor lain.

Lebih lanjut Pasal 10 ayat (1) UUHTberbunyi sebagai berikut:

“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan

Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang

dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian

utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang

menimbulkan utang tersebut.”

Sutan Remy Sjahdeini, menjabarkan ketentuan diatas secara lebih sederhana,

bahwasannya timbulnya hak tanggungan hanyalah dimungkinkan apabila

sebelumnya telah diperjanjikan didalam perjanjian utang-piutang (perjanjian

68 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan Pokok dan Masalah yangDihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tangggungan), Bandung:Alumni, 1999, Hal.11.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 72: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

58

UNIVERSITAS INDONESIA

kredit) yang menjadi dasar pemberian utang (kredit) yang dijamin dengan hak

tanggungan itu bahwa akan diberikan hak tanggungan kepada kreditor.69

Sedangkan seperti diulas sebelumnya, penulis berpendapat bahwa

hubungan hukum dalam perjanjian kemitraan inti-plasma adalah jual beli

dengan syarat khusus. Kekhususan tersebut sesungguhnya terletak pada sifat

hubungannya yaitu kemitraan. Menurut Notoatmodjo, kemitraan adalah suatu

kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau

organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu.

Adapun unsur-unsur kemitraan menurut Notoatmodjo adalah :

a) Adanya hubungan (kerjasama) antara dua pihak atau lebih

b) Adanya kesetaraan antara pihak-pihak tersebut

c) Adanya keterbukaan atau trust relationship antara pihak-pihak

tersebut

d) Adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau

memberi manfaat70

Program kemitraan antara usaha besar dengan usaha mikro dan kecil,

merupakan salah satu bentuk pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Pasal 1

angka 8 menyebutkan bahwa:

“Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, PemerintahDaerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentukpenumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Usaha Mikro,Kecil, dan Menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadiusaha yang tangguh dan mandiri.”

Lebih lanjut dalam pasal 7 ayat (1) UU UMKM Pemerintah dan

Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan menetapkan peraturan

perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:…...d.

kemitraan;…….

Pasal 11 UU UMKM menyatakan, bahwa aspek kemitraan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d ditujukan untuk:

69 Ibid, hal.49.70 Di unduh dari http://ehsablog.com/pengertian-kemitraan.html, pada tanggal 16 Juni

2011

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 73: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

59

UNIVERSITAS INDONESIA

a) mewujudkan kemitraan antar-Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah;

b) mewujudkan kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil, Menengah,

dan Usaha Besar;

c) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan

dalam pelaksanaan transaksi usaha antar-Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah;

d) mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan

dalam pelaksanaan transaksi usaha antara Usaha Mikro, Kecil,

Menengah, dan Usaha Besar;

e) mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi Tawar

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

f) mendorong terbentuknya struktur pasar yang menjamin

tumbuhnya persaingan usaha yang sehat dan melindungi

konsumen; dan

g) mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha

oleh orang perorangan atau kelompok tertentu yang merugikan

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Selain itu seperti yang telah dikemukakan diatas,berdasarkan Pasal 1

angka 13 UU UMKM jo Pasal 1 angka 1 PP No 44/1997 tentang Kemitraan,

menyebutkan bahwa dalam kemitraan berlaku prinsip prinsip saling

memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.

Sementara itu, dalam hal peningkatan kapasitas permodalan. Adanya

kewajiban setiap plasma untuk mengagunkan sertifikat tanah miliknya

tersebut kepada pihak inti untuk mendapatkan modal usaha, telah membuat

perusahaan (inti) menjadi gemuk modal. Di tahap awal dana pinjaman

tersebut diserap oleh pihak inti guna memulai pembangunan sarana-prasarana

pendukung kegiatan usahanya. Dengan kata lain, sejak awal pihak plasma

telah menjadi motor kapital dari industeri tersebut.Maka dengan demikian

sudah barang tentu hal ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemitraan

tersebut diatas.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 74: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

60

UNIVERSITAS INDONESIA

Pada dasarnya kemitraan adalah suatu kerja sama yang pada kedudukan ini

para pihak berada pada posisi setara, dimana satu sama lain saling

memberikan keuntungan dan manfaat secara timbal balik, para pihak harus

saling mempercayai dan menjaga kepercayaan yang telah saling diberikan,

oleh karenanya tidak diperlukan suatu pengikatan akan penjaminan hak

kebendaan tertentu, karena seyogyannya dalam kemitraan, segala keuntungan

dan resiko yang didapat dalam suatu usaha bersama merupakan hasil atau

tanggungan bersama. Maka menurut pandangan penulis tidaklah tepat jika

hubungan hukum dalam perjanjian kemitraan inti-plasma itu dianggap

sebagai perjanjian utang piutang, sehingga seharusnya tidak diperlukan

adanya klausul penjaminan seperti tersebut diatas. Dengan demikian

penggunaan klausul penjaminan dalam Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma

adalah tidak memenuhi asas proporsionalitas.

2.4 Kendala-Kendala dalam Pembentukan Perjanjian Kemitraan Inti-

Plasma yang Proporsional

Asas merupakan nilai moral yang pada akhirnya diwujudkan dalam suatu

norma, dimana dalam konteks hukum perjanjian, norma yang dimaksud

merupakan norma yang mengikat para pihak dalam suatu kontrak/perjanjian yang

terwujud dalam tiap-tiap klausulnya. Penerapan asas proporsional ini diharapkan

mampu menjadi ‘filter’ bagi terciptanya suatu hubungan kontrak yang efisien dan

adil. Namun pada prakteknya terdapat berbagai kendala-kendala yang muncul,

baik yang bersifat internal (dari dalam diri para pihak), maupun yang bersifat

eksternal (yang berasal dari pihak luar maupun lingkungan), yang

membuatanggapan bahwa penerapan asas proporsionalitas adalah suatu keinginan

idealis semata yang sulit untuk diwujudkan.

Kesenjangan posisi tawar dari kedua pihak, merupakan pangkal

permasalahan yang ada. Keadaan ini selalu dimanfaatkan oleh pihak inti untuk

membuat suatu kontrak yang hanya mengedepankan kepentingan ekonomis

dirinya sendiri, yang mana hal tersebut sangat nyata terlihat dari perjanjian

kerjasama yang dibuat secara sepihak dan dalam bentuk baku oleh pihak inti.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 75: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

61

UNIVERSITAS INDONESIA

Sebenarnya bentuk perjanjian baku yang dibuat oleh pihak inti dibuat

dengan maksud efisiensi dan efektifitas, karena jika dilakukan proses negosiasi,

pada kenyataannya tidak efektif, karena hamper setiap petani/peternak plasma

yang dijumpai tidak paham akan apa yang menjadi kepentingannya. Kurangnya

wawasan akan aspek hukum dan akibatnya, serta kurangnya wawasan akan

manajemen yang terstruktur, membuat peternak/petani plasma tidak bisa

melakukan negosiasi. Pada akhirnya, diyakini adanya proses negosiasi hanyalah

akan membuang-buan waktu dan biaya. Sehingga dibuatlah suatu perjanjian baku

yang lebih simpel dalam bentuknya, padahal hal tersebut seringkali merugikan

pihak petani/peternak plasma.

Sebagaimana telah disampaikan pada awal penulisan tesis ini,

bahwasannya adagium ‘langkah bisnis adalah langkah hukum’ adalah benar

adanya, sehingga perjanjian yang tidak dibuat secara fair tidak akan

mendatangkan keuntungan ekonomis bagi pihak yang tidak terlindungi

kepentingannya, sebagaimana disampaikan oleh Rita Yunus dalam penelitiannya

bahwa, dari sisi perhitungan untung-rugi, antara peternak pola kemitraan dan

peternak mandiri, terlihat bahwa berusaha secara mandiri memang lebih

menguntungkan dibandingkan dengan pola kemitraan, karena lemahnya posisi

tawar pihak peternak pola kemitraan (plasma) didalam menentukan isi perjanjian,

dalam hal penentuan harga sapronak dan harga output, sehingga peternak plasma

memang berada dalam kondisi yang lemah, yaitu lemah dalam permodalan,

teknologi dan keterampilan manajemen. Sehingga untuk lebih memberdayakan

diri, peternak pola kemitraan harus mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang mereka peroleh sebagai landasan untuk lebih memajukan usahanya

dengan efisien, produktif dan professional serta berorientasi pada mutu yang

sesuai dengan permintaan pasar. Proses ini bukan sepenuhnya tanggung jawab

peternak, tetapi secara bersama-sama dengan perusahaan inti (penyelenggara

kemitraan), sehingga peternak plasma bisa bekerja lebih professional dan tidak

merasa dimanfaatkan.71

71 Rita Yunus, “Analisis Efisiensi Produksi Usaha Peternakan ayam Ras Pedaging PolaKemitraan dan Mandiri di Kota Palu Sulawesi Tengah”( Tesis Magister Ilmu ekonomi dan StudiPembangunan Universitas Diponegoro, Semarang,2009), hal 116.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 76: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

62

UNIVERSITAS INDONESIA

Oleh karenanya kehadiran pihak ketiga sebagai penengah dalam proses

pembentukan perjanjian, atau setidaknya dalam menciptakan aturan riil tentang

batasa-batasan yang harus ada jika perjanjian dibuat dalam bentuk baku, adalah

sangat perlu. Pihak ketiga sebagai penengah yang sekaligus memahami aspek

hukum tentang perjanjian dan perikatan adalah notaris, dan sesungguhnya bentuk

perjanjian yang berupa akta notariil telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat (2 )PP

Nomor 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, sebagai salah satu alternatif bentuk

perjanjian ini, yang menyatakan bahwa, “Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dapat berupa akta dibawah tangan atau akta Notaris”. Namun hal tersebut

bukanlah kewajiban, akan tetapi sekedar alternatif, dan tentunya secara

perhitungan bisnis pengusaha/inti akan memilih jalan yang lebih efektif dan

menguntungkan dengan membuat perjanjian baku sesuai harapan dan

keinginannya.

Sementara itu sebagaimana kita ketahui, bahwa kemitraan inti-plasma ini

merupakan suatu hubungan kerjasama yang dianjurkan pemerintah untuk

menciptakan iklim berusaha yang diharapkan dapat mendukung perkembangan

dan kemandirian usaha mikro, kecil dan menengah. Sebagaimana ternyata dalam

considerans huruf c dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah, sebagai berikut:

“bahwa pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana

dimaksud dalam huruf b,72 perlu diselenggarakan secara menyeluruh,

optimal, dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim yang

kondusif, pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan

pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan

kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam

mewujudkan pertumbuhan ekonomi;pemerataan dan peningkatan

pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan

kemiskinan.”

72 Considerans huruf b berbunyi: “bahwa sesuai dengan amanat Ketetapan MajelisPermusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI/MPR-RI/1998 tentang Politik Ekonomidalam rangka Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah perlu diberdayakansebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategisuntuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang, berkembang, danberkeadilan;

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 77: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

63

UNIVERSITAS INDONESIA

Guna mewujudkan apa yang diharapkan tersebut diatas, lebih lanjut

undang-undang mengamanatkan kepada pemerintah (dalam hal ini menteri dan

menteri teknis yang bersangkutan) untuk berperan serta dalam melakukan

pengawasan terhadap pelaksanaan pembentukan perjanjian kemitraan inti-plasma,

sebagaimana ternyata dalam pasal 34 Undang-Undang Nomor 20/2008 berikut:

(1) Perjanjian kemitraan dituangkan dalam perjanjian tertulis yang

sekurang-kurangnya mengatur kegiatan usaha, hak dan kewajiban

masing-masing pihak, bentuk pengembangan, jangka waktu, dan

penyelesaian perselisihan.

(2) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaporkan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

(3) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

boleh bertentangan dengan prinsip dasar kemandirian Usaha

Mikro, Kecil, dan Menengah serta tidak menciptakan

ketergantungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah terhadap

Usaha Besar.

(4) Untuk memantau pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan (2), Menteri dapat membentuk lembaga

koordinasi kemitraan usaha nasional dan daerah.

Ketentutan tersebut merupakan wujud dari intervensi pemerintah, pada tataran

kebijakan namun pada pelaksanaannya sulit didapatkan. Intervensi pemerintah

merupkan hal yang sangat signifikan dalam menyeimbangkan posisi tawar ini.

Kurang aktifnya peran serta pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap

proses pembentukan perjanjian kemitraan inti-plasma ini, merupakan kendala

eksternal dalam menciptakan suatu perjanjian yang proporsional. Padahal

seharusnya pemerintah semestinya berperan aktif untuk mendampingi,membina

dan mengedukasi peternak/petani plasma. Selain itu pemerintah melalui political

will-nya, seharusnya mampu menciptakan kebijakan-kebijakan yang secara riil

dapat melindungi kepentingan peternak/petani plasma.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 78: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

64

UNIVERSITAS INDONESIA

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 79: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

64

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka dalam

penulisan tesis ini disimpulkan beberapa hal, yaitu:

1. Pola hubungan hukum dalam perjanjian kemitraan inti-plasma, lebih

mengarah pada hubungan jual beli dengan syarat-syarat khusus. Sifat

khusus dari perjanjian adalah karena adanya; 1)syarat tertentu, 2)Peralihan

kedudukan hukum; 3) Peralihan Hak milik; 4) Penjaminan.

Pada dasarnya, kedudukan hukum setiap pihak dalam kontrak adalah sama

dan seimbang. Namun dalam hubungan kemitraan inti-plasma ini, adanya

posisi tawar yang tidak seimbang, secara sosiologis menyebabkan

kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian kemitraan inti-plasma

menjadi tidak seimbang.

Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan posisi tawar diantara kedua pihak.

Dikatakan demikian, karena pada posisi ini Inti sebagai pihak yang secara

ekonomis lebih kuat (baik dari sisi permodalan, organisasi maupun

manajemen) dibandingkan plasma, sedangkan plasma yang yang secara

ekonomis jauh lebih lemah, sangat membutuhkan dukungan permodalan

untuk menjalankan usahanya.

2. Dengan melihat pola hubungan hukum dan kedudukan masing-masing

pihak tersebut di atas, maka perlu adanya penerapan asas proporsionalitas

dalam kontrak komersil terhadap perjanjian kemitraan inti-plasma

tersebut. Asas proporsionalitas sendiri merupakan penyempurna dari 4

asas hukum yang menjadi saka guru hukum kontrak,yaitu; 1) asas

kebebasan berkontrak, 2) Asas Konsensualisme, 3) Asas pacta sun

servanda, 4) Asas itikad baik. Asas proporsionalitas menjamin bahwa

pertukaran kehendak dalam kontrak, yang meiputi 3 tahap ( pra-kontrak,

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 80: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

65

UNIVERSITAS INDONESIA

kontrak, dan post-kontrak) dapat berlangsung secara fair sesuai proporsi

dari masing-masing pihak. Sehingga dengan penerapan asas

proporsionalitas, diharapkan dapat mengawal perjanjian kemitraan inti-

plasma tersebut menjadi perjanjian yang fair sesuai proporsi masing-

masing pihak.

3. Ketika asas tersebut diterapkan untuk menilai perjanjian kemitraan inti-

plasma yang ada (yang selanjutnya disebut dengan perjanjian kerjasama

atau disingkat menjadi PKS)

a. pada tahap pra-kontrak dalam perjanjian tersebut secara praktis

tidak pernah ada proses negosiasi, maka asas proporsionalitas

dalam tahap inipun tidak terpenuhi.

b. Sedangkan pada tahap kontrak/pembuatan kontrak, dalam

perjanjian yang ada terdapat beberapa klausul yang memenuhi asas

proporsional, namun disisi lain juga terdapat klausul yang tidak

memenuhi asas proporsional. Klausul pembatasan penggunaan

sarana produksi ternak (pasal 3 PKS) dan klausul pembatasan

penjualan (Pasal 6 ayat 2 PKS), merupakan klausul yang

memenuhi asas proporsionalitas.Walaupun klausul tersebut

sepintas lalu memberikan pembatasan kepada pihak plasma dan

mengarah pada terciptanya praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat, namun disisi lain UU Anti Monopoli juga memberikan

kelonggaran, bahwasannya perjanjian ini adalah perjanjian yang

dilakukan guna mendukung/melaksanakan Undang-Undang dalam

hal ini Undang-Undang Nomor 20/2008 tentang Usaha

Mikro,Kecil dan Menengah.

c. Selain itu hal ini secara ekonomis adalah wajar sebagai keuntungan

yang diperoleh dari upaya inti untuk menyertakan permodalan

untuk penyelenggaraan usaha ternak tersebut, sehingga

pembatasan-pembatasan yang termuat dalam pasal 3 dan 6(2) PKS

tersebut adalah hak previlige yang sudah sewajarnya. Sedangkan

klausul penjamin dalam Pasal 12 PKS, merupakan klausul yang

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 81: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

66

UNIVERSITAS INDONESIA

tidak memenuhi asas proporsionalitas, dilihat dari hubungan

hukum yang ada serta fungsi dan makna kemitraan itu sendiri.

d. Melihat kondisi tersebut diatas, maka diperlukan suatu upaya untuk

memperkuat posisi tawar dari pihak plasma, dengan membentuk

suatu perkumpulan atau ‘organisasi peternak/petani plasma’,

diharapkan dapat menjadi media atau wadah untuk menyalurkan

aspirasi untuk memperjuangkan keinginan dan kebutuhan mereka.

Sehingga sehubungan dengan harapan untuk terciptanya

kontrak/perjanjian kemitraan inti-plasma yang fair ‘organisasi

peternak/petani plasma’ tersebut setidaknya dapat membuat suatu

batasan mengenai muatan kontrak kemitraan inti-plasma sebagai

media ‘negosiasi’ sehingga tidak merugikan bagi pihak plasma.

Dengan demikian pihak inti tetap dapat menggunakan ‘perjanjian

baku’ yang diyakini sebagai cara paling efektif namun disisi lain

tetap dapat mengakomodir kepentingan kedua pihak secara

proporsional.

4. kendala-kendala yang ada jika dalam penerapan asas proporsionalitas

dalam perjanjian kemitraan inti-plasma ini adalah:1) Kendala external,

yaitu kurangnya pengawasan dan pembinaan yang secara riil dilakukan

oleh menteri dan menteriteknis yang bertanggung jawab untuk

memberikan pengawasan dan pembinaan dalam penyusunan dan

pelaksanaan perjanjian kemitraan inti-plasma; dan 2)Kendala internal,

yaitu lemahnya posisi tawar plasma, dan terlalu kuatnya posisi tawar inti,

serta kurangnya wawasan dan kesadaran hukum dari peternak/petani

plasma

3.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka penulis mengemukakan beberapa

saran sehubungan dengan penerapan asas proporsionalitas dalam kontrak komersil

khususnya terkait dengan perjanjian kemitraan inti-plasma adalah:

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 82: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

67

UNIVERSITAS INDONESIA

1. Diperlukan pembentukan suatu ‘Organisasi Peternak/Petani Plasma’,

sebagi wadah untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan plasma, yang

mana organisasi tersebut dapat memberikan rambu-rambu mengenai hal-

hal apa saja yang harus ada dalam suatu perjanjian baku yang dibuat inti

sebagai Perjanjian Kemitraan Inti-Plasma, yang nantinya harus ditaati oleh

kedua pihak.

2. Hendaknya pemerintah mengadoptir asas proporsionalitas dalam

kebijakannya untuk memberikan pedoman tentang penyusunan perjanjian

kemitraan inti-plasma.

3. Hendaknya dalam perjanjian kemitraan inti plasma tidak memuat

klausula penjaminan, yang mengharuskan ‘plasma’ menjaminkan aset

berupa tanah.

4. Hendaknya dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai penerapan

asas proporsionalitas pada tahap pelaksaanaan kontrak pada perjanjian

kemitraan inti-plasma.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 83: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

65

UNIVERSITAS INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul dan Didik J.Rachbini. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik.Jakarta:Grasindo, 2001.

Asikin, Zaenal. et.al. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Rajawali Pers,2010.

Atijah, PS. An Introduction to the Law of Contract. London: Oxford UniversityPress, 2002.

Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, HukumPerjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Bandung: CitraAditya Bakti, 2006.

Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya, 2002.

Fuady, Munir. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat.Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Hansen, Knud. Et.al,.Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli danPersaingan Usaha Tidak Sehat (Law Concerning Prohibition ofMonopolistic Practices and Unfair Business Competition). Jakarta: KatalisPublishing, 1999.

Hernoko, Agus Yudha. “Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Bisnis (Upayamewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yangBerkeadilan)”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas HukumUniversitas Airlangga, Surabaya, 2010.

__________________. Hukum Perjanjian; Asas Proporsionalitas dalam KontrakKomersial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu. Hukum Bisnis dalam Perspektif ManusiaModern. Bandung:Refika Aditama, 2004.

Khairandy, Ridwan. Itikad baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: UI Press,2003.

Li, Tania Muray. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia,Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Marzuki, Peter Mahmud, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak,” Yuridika Volume18 No.3, Mei 2003.

Panggabean, H.P .Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van omstandigheden)Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 84: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

66

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkembangan Hukum di Belanda dan Indonesia).Cetakan ke-3,Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2010.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya, 1991.

Rahman, Hasanuddin. Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis: ContractDrafting. Bandung: Citra Aditya, 2003.

Satrio, J. Hukum Perikatan: Perikatan pada Umumnya, Bandung: Citra Aditya ,cetakan ketiga, 1999.

______. Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung:Citraaditya, 1995.

______. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. Cetakan ke-5, Bandung: CitraAditya Bakti, 2007.

Seto, Bayu.et.al, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas; Meleaah KesiapanHukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas. Bandung:Citra aditya Bakti, 2003.

Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokokdan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian MengenaiUndang-Undang Hak Tanggungan). Cetakan Ke-2, Bandung:Alumni, 1999.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1986.

_______________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.

Soetrisno, Loekman. Pertanian Pada Abad ke-21. Jakarta, 1999

Sri Mamudji, et.all. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: BadanPenerbit Fakutas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta:Intermasa, 1991.

Subekti, Aneka Perjanjian. Cetakan ke-10, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Sumaryono, E. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas.Yogyakarta:Kanisius, 2002.

Smith, Len Young .et.all, Business Law, Minnesota: West Publishing, SeventhEdition, 1988.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 85: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

67

UNIVERSITAS INDONESIA

PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN

Kitab Undang – Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkanoleh P.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Jakarta: Pradnya Paramita, edisikeduabelas, 1980.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Usaha Kecil dan Menengah, Nomor 20Tahun 2008, LN No.93 Tahun 2008, TLN No. 4866.

Indonesia, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan UsahaTidak Sehat, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, LN No.33 Tahun1999, TLN No. 3817.

Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 8Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, TLN No.3821.

Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun2003, LN No. 42 Tahun 2003, TLN No.3911

Indonesia, Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-UndangNomor 21 Tahun 2000, LN No. Tahun 2000, TLN No.

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Kemitraan, Nomor 44 Tahun 1997, LNNo.91 Tahun 1997, TLN No.3718.

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 86: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

68

UNIVERSITAS INDONESIA

Lampiran 1

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 87: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

PERJANJIAN KERJASAMA KEMITRAANNo : lPerj.lKemitraan/2010

,.../

Perjanjian Kerjasama (selanjutnya disebut "Perjanjian") ini dibuat dan ditandatangani pada hari ini,tanggal, oleh dan antara:

1. Tuan Maimun, swasta, bertempat tinggal di Rt 07/02 JI Citra Raya Boulevard Blok Ml No28 Dukuh Cikupa Tangerang dalam hal ini bertindak selaku Kuasa dari Direksi PT SuperUnggas Jaya dan karenanya untuk dan atas nama perseroan terbatas PT Super Unggas Jayaberkedudukan di Serang, selanjutnya disebut "Pihak Pertama"; dan

n. NamaNomorKTPAlamatPekerjaanDalam hal ini bertindak untuk diri-sendiri, selanjutnya disebut "Pihak Kedua".

Pihak Pertama dan Pihak Kedua (selanjutnya bersama-sama disebut "Para Pihak") terlebih dahulumenerangkan:

a. Bahwa Pihak Pertama adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang, antara lain: distribusisarana produksi peternakan ("Sapronak"), perdagangan ayam hidup [dan budidaya ayam raspedaging, baik dengan usaha sendiri maupun melalui kemitraan dengan peternak;

b. Dalam rangka kemitraan sebagaimana dimaksud, Pihak Pertama dengan ini menunjuk PihakKedua sebagai mitra usaha Pihak Pertama dan Pihak Kedua dengan ini menerima penunjukantersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Para Pihak dengan ini sepakat untuk bekerja sama dalam suatuhubungan kemitraan usaha, menurut syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasall1.1 Pihak Kedua selaku peternak mitra usaha akan melakukan budidaya dan pemeliharaan ayam ras

pedaging di lokasipeternakan ayam Pihak Kedua, yaitu di [nama tempat], Desa [nama desa] ,Kecamatan [nama kecamatan], Kabupaten [nama kabupaten], Provinsi [nama provinsi], yangsetempat dikenal sebagai [Farm] [namafarm].

1.2 Untuk budidaya dan pemeliharaan ayam ras pedaging oleh Pihak Kedua tersebut, Pihak Pertama akanmenyediakan dan memasok Sapronak, berupa bibit ayam (DOC), pakan dan obat-obatan, yang secaradetail mengenai jenis dan harganya akan dibuat dalam daftar tersendiri, namun merupakan bagianyang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.

Pasal2Kandang-kandang ayam dan perlengkapannya serta tenaga kerja yang diperlukan untuk budidaya danpemeliharaan ayam ras pedaging tersebut akan disediakan oleh dan merupakan kewajiban PihakKedua.Kandang-kandang ayam dan perlengkapannya tersebut harus memenuhi persyaratan yang ditetapkanoleh Pihak Pertama.

Pasal3Untuk menjamin hasil produksi yang baik, selain mengikuti tata cara budidaya dan pemeliharaan yangdiarahkan oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua diperkenankan untuk menggunakan Sapronak hanya dariPihak Pertama atau menggunakan Sapronak yang direkomendasikan atau disetujui oleh Pihak Pertama.

q>etjanjUl1!7(etnitraan -I-

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 88: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

L.,..

Pihak Kedua dengan ini sepakat bahwa selama Perjanjian ini berlaku Pihak Kedua tidak akan memeliharaayam dari pihak lain dan tidak akan menggunakan Sapronak dari pihak lain.

Pasal44.1 Pihak Kedua bertanggung jawab dan berkewajiban untuk melaksanakan budidaya dan pemeliharaan

ayam dengan sebaik-baiknya menurut tata cara budidaya dan pemeliharaan yang baik, sebagaimanadiarahkan oleh Pihak Pertama.

4.2 Pihak Pertama dengan perantaraan kuasa, pegawai atau tenaga ahlinya, setiap waktu berhak untukmengadakan pengecekan, melihat, menyaksikan tempat pemeliharaan ayam ras pedaging PihakKedua dan berhak memberikan petunjuk, saran, pengarahan dalam melaksanakan budidaya danpemeliharaanayam pedaging, sepanjang tindakan-tindakan tersebut menurut pertimbangan PihakPertama diperlukan untuk menjamin hasil yang baik dari pemeliharaan ayam ras pedaging tersebut.

Pasal5Pihak Kedua tidak diperkenankan untuk mengalihkan kewajiban-kewajibannya yang timbul dariPerjanjian ini kepada pihak lain, tanpa persetujuan tertulis dari Pihak Pertama.

Pasal66.l Selama berlakunya Perjanjian ini, Pihak Pertama akan memberikan pinjaman atau kredit kepada

Pihak Kedua, kredit mana diberikan dalam bentuk Sapronak dengan nilai/jumlah setinggi-tingginyasebesar Rp [ ] ( rupiah), untuk setiap periode pemeliharaan.

6.2 Jumlah pinjaman dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kesepakatan Para Pihak, dengansyarat-syarat dan ketentuan-ketentuan bahwa pembayaran pinjaman atau kredit Sapronak tersebutakandiperhitungkan atau dipotong langsung oleh Pihak Pertama dari harga pembelian ayam yangdijual oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama. Pihak Kedua bisa menjual ayam hasil pemeliharaanberdasarkan kerjasama ini kepada pihak lain selain Pihak Pertama atas kesepakatan antara PihakPertama dan Pihak Kedua.

6.3 Dalam hal penjualan ayam kepada pihak lain seperti dimaksud dalam pasal 6 ayat 2 di atas adalahbahwa Pihak Kedua terlebih dahulu harus mendapatkan Surat Delivery Order yang diterbitkan olehPihak Pertama, dimana Pihak Kedua telah membayar kepada Pihak Pertama sejumlah uang yang telahdisepakati.

Pasal77.1 Pihak Kedua menyadari bahwa penyerahan Sapronak oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua

merupakan peralihan tanggung jawab atas pemeliharaan dan perawatan Sapronak, dan oleh karenanya. Pihak Kedua bertanggung jawab atas segala risiko, seperti kehilangan atau kerusakan, yang mungkin

terjadi atas Sapronak setelah penyerahan dimaksud.7.2 Pihak Kedua dengan ini memberikan kuasa kepada Pihak Pertama untuk menjual, mencarikan

pembeli atau dengan kata lain mengalihkan Sapronak Pihak Kedua yang belum digunakan kepadapihak lain yang memerlukan. .

Pasal88.1 Perjanjian ini berlaku untuk 6 (enam) periode pemeliharaan, tanpa mengurangi hak Pihak Pertama

untuk mengakhiri Perjanjian ini setiap saat berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10Perjanjian ini ataujika Pihak Kedua melanggar salah satu atau lebih ketentuan Perjanjian ini.

8.2 Apabila tidak diakhiri lebih dahulu dan masa berlakunya berakhir berdasarkan ketentuan 8.1 pasal ini,Perjanjian ini dengan sendirinya diperpanjang untuk 6 (enam) periode pemeliharaan berikutnya.

Pasal9

CPqanjian '1(pnitrtuln -2-

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 89: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

9.1 Apabila terjadi kerugian lebih dari 3 (tiga) periode pemeliharaan berturut-turut karenakesalahan/kelalaian Pihak Kedua, Pihak Pertama secara sepihak dapat menghentikan pengirimanSapronak dan menghentikan kerjasama berdasarkan Perjanjian ini.

9.2 Dalam hal terjadi penghentian kerjasama, Pihak Kedua wajib mengembalikan kepada Pihak Pertamadalam waktu 2 x 24 jam sisa Sapronak, termasuk peralatan petemakan (poultry equipment) yangmasih tersisa pada Pihak Kedua, yang akan diperhitungkan sebagai pembayaran hutang Pihak Keduakepada Pihak Pertama.

9.3 Apabila dalam waktu 2x24 jam tersebut, Sapronak belum dikembalikan, Pihak Pertama berhak dandiberi Kuasa untuk mengambil sendiri Sapronak tersebut dari Pihak Kedua.

9.4 Untuk peralatan petemakan yang dikembalikan atau diambil kembali, akan dilakukan penguranganbiaya penyusutan sebesar 20% per tahun yang dihitung dari harga jual.

9.5 Apabila dari pengembalian Sapronak dan peralatan petemakan tersebut masih ada sisa hutang PihakKedua kepada Pihak Pertama yang belum dibayar, maka seluruh hutang-hutang yang timbul darikerjasama ini harus dilunasi dalam tempo tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak dihentikannyahubungan kerjasama ini oleh Pihak Pertama.

PasallO10.IMenyimpang dari ketentuan Pasal 8 Perjanjian ini, yaitu mengenai jangka waktu berlakunya

Perjanjian, Pihak Pertama sewaktu-waktu berhak untuk mengakhiri Perjanjian ini secara sepihakapabila:a. Pihak Kedua tidak memenuhi dengan tepat, atau dengan tidak dengan semestinya, kewajiban-kewajibannya kepada Pihak Pertama berdasarkan Perjanjian ini.

b. Pihak Kedua tidak mengikuti semua petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Pihak Pertama dalambudidaya dan pemeliharaan ayam ras pedaging.

c. Pihak Kedua tidak berhak lagi untuk mengurus harta kekayaannya sendiri.d. Pihak Kedua melakukan tindakan tercela yang merugikan Pihak Pertama, seperti melakukanmenjual ayam kepada pihak lain, menjual pakan secara diam-diam tanpa melalui Pihak Pertama,danlatau memasukkan bibit ayam dari pihak lain selain dari Pihak Pertama.

e. Pihak Kedua terlibat tindak pidana yang mengakibatkan hukuman kurungan badan.f. Pihak Kedua meninggal dunia. -

10.2Dalam hal terjadinya pemutusan Perjanjian secara sepihak oleh Pihak Pertama tersebut, PihakPertama akan mengalihkan kemitraan usaha tersebut kepada pihak lain, sampai masa perrreliharaanperiode yang berjalan selesai, dan Pihak Kedua dengan ini berjanji untuk tidak melakukan tuntutanberupa apapun kepada Pihak Pertama berkaitan dengan pemutusan Perjanjian secara sepihak ini.

PasalllJika terjadi keadaan memaksa (forcemajeure), seperti bencana alam, huru hara, banjir, kebakaran, wabahpenyakit ayam yang serius dan lain-lain peristiwa di luar kemampuan Pihak Kedua, maka dalam waktupaling lambat 12 jam sejak terjadinya keadaan memaksa dimaksud, Pihak Kedua harus melaporkankepada Pihak Pertama mengenai keadaan tersebut, agar Pihak Pertama dengan segera mengambiltindakan sedini mungkin untuk mengurangi kerugianlkematian ayam dalam jumlah yang lebih besar.

Pasal12Untuk lebih menjamin pembayaran kembali segala hutang atau segala apa yang harus dibayar oleh PihakKedua kepada Pihak Pertama berdasarkan Perjanjian ini dan perubahan-perubahannya, tambahan-tambahan atau perpanjangannya kemudian hari (apabila ada), Pihak Kedua atau pemberi jaminan denganini memberikan jaminan kepada Pihak Pertama, berupa:

1. BentukINo.Dokumen: .Luas TanahLetak Tanah

CFerjanjiall1(pnitraan - 3 -

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 90: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

2. BentukINo.Dokumen : .Luas Tanah .Letak Tanah .

3 .

dan memberi kuasa kepada Pihak Pertama, kuasa mana tidak dapat dicabut kembali dan tidak akanberakhir karena sebab apapun juga, termasuk yang dinyatakan dalam Pasal 1813, 1814 dan 1816Kitab Undang-undang Hukum Perdata, untuk melakukan penjualan atas barang jaminan tersebut diatas, manakala Pihak Kedua melalaikan kewajiban-kewajibannya kepada Pihak Pertama.

Pasal1313.lPihak Kedua dan atau pemberi jaminan selanjutnya berjanji dan menjamin kepada Pihak Pertama

bahwa barang jaminan tersebut belum pernah dan tidak akan dialihkan kepada pihak lain, tidakdalam keadaan dijaminkan dalam bentuk apapun juga (termasuk pemberian jaminan dalam bentukpemberian kuasa seperti yang dinyatakan dalam perjanjian ini) kepada pihak lain se lain kepada PihakPertama.

13.2Surat-surat asli atas barangjaminan tersebut harus diserahkan kepada dan untuk disimpan oleh PihakPertama tersebut selama apa yang masih terhutang oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertamaberdasarkan Perjanjian ini berikut perpanjangannya, tambahan-tambahannya dan atau perubahan-perubahannya belum dibayar lunas seluruhnya.

Pasal1414.lSehubungan dengan Pasal 9 dan Pasal 10 Perjanjian ini, maka apabila dalam jangka waktu 60 (enam

puluh) hari sejak diakhirinya Perjanjian ini, Pihak Kedua belum juga melunasi segala apa yang wajibdibayarkan kepada kepada Pihak Pertama, maka Pihak Pertama berhak untuk menjual barangjaminan kepada Pihak lain tanpa diperlukan surat ijinlkuasa apapun lagi dari Pihak Kedua, denganharga dan syarat-syarat. yang akan ditetapkan sesuai dengan keadaan harga pada waktu itu gunamelunasi hutang-hutang Pihak Kedua kepada Pihak Pertama tersebut. Pihak Kedua dengan inibersedia, apabiJa diperlukan, untuk membantu penjualan jaminan, termasuk menandatangani akta-:akta dan dokumen-dokumen terkait dan memberikan dokumen-dokumen tambahan yang diperlukan.

14.2Jika hasil penjualan tersebut setelah dikurangi hutang Pihak Kedua berikut biaya-biaya sehubungandengan penjualan barang jaminan ternyata masih ada kelebihan, maka kelebihan tersebut akandikembalikan kepada Pihak Kedua tanpa Pihak Pertama diwajibkan untuk membayar bunga apapunjuga, sedangkan jika dari hasil penjualan barang jaminan tersebut masih belum cukup untuk melunasihutang-hutang Pihak Kedua maka kekurangan pembayaran tersebut tetap menjadi kewajiban dariPihak Kedua untuk melunasinya seketika dan sekaligus lunas berdasarkan permintaan dari PihakPertama.

Pasal15Jika Pihak Kedua sudah mampu mandiri, Pihak Pertama memberikan hak kepada Pihak Kedua untukberusaha secara mandiri sepanjang yang bersangkutan sudah menyelesaikan hak dan kewajiban sebagaimitra usaha dengan pemberitahuan secara tertulis 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa perjanjian.

~erjanjiall 'l(pnitflUlll - 4-

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 91: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

Pasal1615.1Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam perjanjian ini, akan diatur berdasarkan

kesepakatan Para Pihak, bila perlu akan dituangkan dalam Perjanjian tersendiri yang merupakanbagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.

15.2Apabila ternyata ada ketentuan dalam Perjanjian ini menjadi tidak berlaku karena tidak sesuaidengan peraturan yang berlaku, maka ketentuan lain tetap berlaku sebagaimana mestinya dan ParaPihak akan segera mengganti ketentuan yang tidak berlaku itu dengan ketentuan yang disepakati dandapat dijalankan oleh Para Pihak.

15.3Jika terjadi sengketa mengenai Perjanjian ini, maka akan diselesaikan dengan cara musyawarahuntuk mufakat, dan jika cara tersebut tidak dapat ditempuh, maka Para Pihak akanmenyelesaikannya melalui Pengadilan Negeri [ ]

Demikian Perjanjian ini dibuat pada hari dan tanggal tersebut diatas, dan ditandatangani oleh Para Pihak,pemberijaminan (apabila ada), dengan dihadiri oleh saksi-saksi:

Saksi-saksi:

1. ( ) Alamat .

2 ( Alamat .)

PIHAK PERTAMAPT .

PIHAKKEDUA

MateraiRp. 6.000,-

NamaJabatan

Nama

PEMBERI JAMINAN:

Nama:Alamat:

DiketahuiDinas Peternakan Tk: 11.Setempat.

'i'erjanjian 'l(pnitraan - 5 -

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 92: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

69

UNIVERSITAS INDONESIA

Lampiran 2

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 93: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

r51.. #:'r'a?n4

Surat Perjanjia n I(erjasama

hari ini ......!*gg.l ...... .bulan...............tahun... .telahakati untuk mengadakin.perjanjian kerjasama aa., uia*g fi;il;;a produksi, pemeliharan dan peinasaran-ayam pedagrng antara kedua belahyang bcrtandatangan dibawah ini : e

una : Drh. Darmansyahamat : Jln.

-Mayjend sungkono l(ompleks Darmo park I Blok ttl B/09Surabaya

)atan : Branch Manager pT NUSANTARA I,TNGGAS JAYA

Dari dan dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pr NUS$ITARA9^f^ JAYA' berkedudukan di surabaya, selaniutnya disebut PIHAKrJYl]21..-......---.*

.ma

amalke{aan

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas namanya sendiri, selanjutnlh disebut

hua PIFIAK PERTAT,TA merupakan .lerusalraan yang menyediakap,sarana

, produlsi alap F1g,re, uni,tc hai terscb,rt rirti iEnr pERTAI,IA

*sud mengadakan kcrjasaga dengan PIH.AK IGtuA aur.* r,ur;;,,i;u]'[:rvam dan obat-obatan ylk ayam pedaging teneuut dan iurer PERTAT4Auemasarkan hasit orodu$i gyam p.a"g,r,g airi prrer lcniilii.,;;;,=hnjutrrva kedua uhan pihaf ilffi;; iep,4ot ,ntuk;r;s;;rid"ffi*j*ilBa yang diatur dengari sararsyarat sebagai ilrikud-:::-:::::-_.. _ _-_ -_-

-. -'-_- __paSal l_--_.- .-..--.- - _rr-.----

;H-tTlYt menunjuk PU{AI( rGDU- A sebagai p.t",,i *r._"rH.i-ry*fjgsrijlg-*11;*dtr&i"y;";;fiI'it'ri1f",'nmya discdiakan oleh pIHAK PERTAI\IA ai Desi ... ....::-.... _:.,_:.:.:...::

ieaa PIHAK {FDUI pbrs; prr-i ilt ",;k tersebut tidak dapat{it,w}e q /diatit*an kepada pihak iain i.oup*. *_ _-_--_::::i--i-:::--:

untukr dan

ii

I7

I

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 94: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

IAK KEDUA dalam hal dan bentuk apapun juga selama bertakunya perjanjianlak diperkenankan untuk memetihara ayain aiau memakai sarana iroaufsi iariahaan lain, selain dari sarana produksi PIHAK PERTAMA tersebut.

pssd l-

ian PIIIAK PERTAIIA

;;;;;,;;;;' ilil-ifr1''1;;**;;;;*,*- *-,^" ^r di tempat PII{AK KEDUA di Desa ...Kecamatan.........

{AK KEDUA berkewajiban untuk menyediakan kandang-kandang berikurn perlengkapannya serta tenaga kerja yang diperlukan untuk-pemetihiran ,y.rning tersebut secara atau dalarn bentuk dan syarat-syarat yang memadai menurut

ptgn.., k*--------#

--*--Pasal5.-%%;iko aks sarana p_roduksi tersebut beralih kepada PIHAK KEDUA sejak diserahrkan sarana produksi tersebut oleh pIHAK PERTAT4A ke pIHAK KEDUAn ketentuan seperti dalam pasal 4 diatas.-

-----*pasal6....--LAK PERTAMA dergan perantaraan kuasa atau pegawainya (tenaga ahlinya)waktu berhak untuk.mengag*y tslg.et an, melihat, menyaksi[an t.rp.i

iharaan ayam pedaging pIHAK KED-UA dan pIHA* peRrnMA berhakerikan petunjuk, pcngaraban bagi pIHAK KEDUA datam metatcsanataniharaan ry-1T pedaging sepanjang tindakan-tindakan tersebut,. menurutbangan PIHAK PERTAMA diplrlukan unutk menjamin u.rt.rijnvuiharaan ayam pedaging tersebul.--- -----

----_-_-Pasal7_--__- -_*..d_--janjian-kerjasama ini telah diterima bteh kedua belah pihak untuk waklu yangditcntukan lamanya, terhitung scjak tanggal.........:..........dan tetaD akan<at kedua belah pihak sclama kcrjasama ini dilatsanakan dengan iti:ria U.L-aling. menguntungkan diantara para- pihak, sedangkan pengheni;n k d;;;>erakhir satu dan lain sesuai dengan kctentuan pada pasai ldpcrjanjian ini.---

_-___-_pasal 8..-rma berlakunya perjanjiqn ini PIHAK PERTAI,IA bersedia memberikan kredit)crupr sarans produksi 8yT'n p:+grng tersebut kepada PIHAK I(EDUA yangs8rnpl dcnganjumlah sctinggi-tinggrnya/sebesar itp... .........1pUoair mengingat ketentuan-ketentuan seUagai berikut :

t.dggn*t,t.g

J

J

,::

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 95: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

berian pinjanran bcrupa sarana produksi ayam pedaging sampai dengan

lah Rp...... .........lperiodE tcrsebut dapat diarnbil PIIIAK KEDUAra bcrangsur-angsur.--; pinjaman berupa sarana produksi ayam pedaging tersebut tidak dikenakanga bcrupa apapun juga olch PIHAK PERTAIvIA .-"-AK KEDUA bcrkcwajiban memelihara serta menggunakan sarana produksi

n pedaging dari PIIIAK PERTAIVIA dengan sebaik-baiknya sesuai dengan

ran yang diberikan oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA.-*-AK IGDUA tidak diperkehankan dengan alasan apapun juga memindah

3ankan sarana produksi ayam pedaging dari PIHAK PERTAMA kepada pihak

manap[n.- "-" "' - ""'---"'+ ---'--'-"'-3"'AK KEDUA berkewajiban untuk membayar jumlah pinjaman'yang terhutang

r PIHAK KEDUA tersebut diatas yaitu dengan menyerahkan seluruh hasil

luksinya kepada PIHAK PERTAMA berupa ayam pedaging yang hidup dan

rt, pada wahu yang telah ditentukan oleh PIHAK PERTAN{A tersebut untukuarkan(dijual).sih harga dari hasil produksi yang dibeli oleb PIHAK PERTAIIIA dari PIHAKDUA, dengan pinjaman sarana produlcsi oleh PIHAK KEDUA dari PIHAKfTAlv{A sepenuhnya menjadi hakPIHAK KEDUA'ga pcnjualan hasil produksi PIHAK KEDUA ke,pada PII{AK PERTAMA,.rnin otitr suatu harga dasar yang disetujui oleh kedua belah pihak pihak.--'-:r terjadi berjangkitnya wabah atau.penyakit ayam, maka dalam waltu 12 jam

LAK KEDUA harus segera mciaporkan sesam tertulis kepada PIHAKITAIvIA, agar PIIIAK PERTAILA' dengan segera ilaPat mengambil tindakanini mungkintAK KEDUnapun juga,RTAMA.--..

untuk mcngurangi kcrugiarukematian yang lcbih !65aL..._--A tidak diperkenanlcan menjual hasil produlsinya kepada pihakselain PIHAK PERTAIVIA kecuali atas ijin tertulis dari PIIIAK

;il;ffi;.*6-;;' #'\?A;;' "r", ,-,.n,K PERTAMA sepihak dapat mcnghcntikan pcngiriman slrana produksi dan

rentikan kerjasama sepqrti yang,'dimaksud dalam pcrjanjian ini. Dan atas

3.hutang PIHAK XfpUe pada PII{.{K PERTAI{A yang tirnbul kJrcnanyadilunasi dalam tempo tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak dihentikannyargan kerjasama antara kedua bclah pihak.

;il;;;;;;;;;ls"'oiunya pcrjanjian iui maka PIHAK PERTAI,IA sswaktrwaktu berhak utukhentikan perjaojiur kerjasama ini apabilaterjadi hal-hal scbagai krikut :@3AK KEDUA tidakrdasarkan pcrj anj ian ini.

mcmenuhi deagan tepat kewaj$an-kewajibannya

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 96: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

rmana PIHAK KEDUA menghentikan aktifitas usahanya sebagai petani

:rnak pcmeliharaan ayam pedaging dari PIHAK PERTAMA,mana PIHAK KEDUA tidak berhak lagi mengurus harta kekayaannya sendiri.rmana terjadi perubahan harga garansi yang tidak disepakati oleh kedua belah

rmana PIHAK KBDUA meninggal dunia, kecuali (para) ahli warisnyabersedia

anjutkan kerjasama tersebut dan tunduk kepada semua ketentuan'

:ntuanyang dimaksud dalam perjanjian ini.hal terjadinya pemberhentian tersebut, maka seluruh jumlah uang yang

ng oleh i'lHef KEDUA kepada PIHAK PERTAIvIA, berdasarkan perjanjian

rrikut perpanjangan-perpanjangannya, tambahantambahannyg psrulihan-trannya jika ada yang berhubungan dengan perjanjian ini, harus dibayar

<a dan sekaligus lunas.

.----------Pasal I Ina lebih menjamin frembayaran kembali segala hutang atau segala'aPa yang

dibayar oleh PIIIAK KEDUA kepada PIHAK PERTAIv{A berdasarkanjian ini atau perubahan-perubatrannya, tambahan-tambahannya atau

rjangannya kemudian, maka PIHAK KEDUA dan atau pemberi jaminan

n ini memberikan jaminan kcpada PIHAK?ERTAI/IA, berupa:-'---------

nemberi kuasa kepada PIHAK PERTAIvIA yang tidak dapat dicabut kembalidak akan berakhir karena sebab apapun juga untuk melaktrkan penjualan atas 'g jaminan tesebut diatas, manakala PII{AK KEDUA melalaikan kewajiban-ibannya kepada PIHAK PERTAII,TL

.--.----Pasal 12

HAK KEDUA dan atau pemberi jaminan selanjutnya berjanji dan menjaminrhadap PIHAK PERTAI4A bahwa buang jaminan bslum pernah dan tidak akan

alihkan kepada pihak lairt tidak tersangkut dalam suatu perkara, bebas daritaan dan tidak dalam keadaan dijaminkan dalam bentuk apapun juga (termasuk

:nrberian jarninan dalam bentuk pcntberian kuasa ssperti yang dinyatakan dalam:rjanjian ini) kcpada pihak lain sclain dari pada PIHAK PERTAN,IA 1s1ss!u1.-

urat-surat atas barang jaminan tersbbut harus diserahkan kepada,simpan oleh PIHAK PERTAIUA tcrscbut sctama apa yang masih terutang olehIHAK KEDUA terhadap PIHAK PERTAIvIA berdasarkan perjanjian ini berikut

dan untuk

4.1

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.

Page 97: T 29636-Penerapan asas-full text.pdf

anj angannya, tambahan-tambahann ya dan atau perubahannya belurn dibayars seluruhnya oleh PIHAK KEDUA,

,b s"" *'"r,;1ffi'.1hdiil-.k*dit';;'*d;rr.h,crum pJnh) turi scjak dihentikannya pcrjanjian kerjasama'ini, PEIAK)UA bclwr juga melunasi apa yang wajib dibayarnya kepada PIHAKTAI'vIA rrlaka PIHAK PERTAIv{A berhak untuk menjual barang jaminang discrahkan olch PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAIvIA tersebut padak I'iq tanpe suatu ijir/hnsa apapun lagi dari PIHAK PERTAIvIA, dengana drn syarat-syarat yang ukan ditetapkan sesuai dengan keadaan harga padail itu, guna melunasi hutanghutang PIIIAK KEDUA kcpada PIHAKTAI,IA tersebut.---3----------

iih dad harga penjualan barang jaminan tersebut apabila setelah diloranging PIFIAK KEDUA berikut biayatiaya sehuburgan dengan penjualanSut ternyata mas.ih ada kclebihan, maka kelebihan tersebut al<anmbalikan pada PIIIAK KEDUA tanpa PIIIAK PERTAIvIA diwajibkan untukrbayar apapun juga" sedang apabila ternyata harga barang jaminur tenebutih bclum cukup untuk meluuasi hutang-butang PIHAK KEDUA makarangan pembayaran tersebut tetap mcnjadi kewajiban PIILAK KEDUA untuk-rnasinya seketika dan sckaligus lunas.

----Pasal l4--%3tentuan yang belum diatur atau belurn cukup diatur dalam perjanjian ini akanemudian oleh kedua belah pihak secan muspwarah dan mufakat dan halmerupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjisn ini.-..--- *

:ntang perjanjian ini dcngan segala akibatrrya kedua belah pihak memilihkediaman yang umum.dan tidak berubah dikepaniteraan Pcngadilan Ncgcri

emikian perjanjian kerjasama ini dibuat dan diterima serta ditanda tanganiclah pihak di ...... ......,...pada bari dan tanggal scperti tersebut..padan awal perjanjian ini dengan dihadiri olch saksisaksi :--------

KEDUA

)

PII{AK PERTAMA

(

*si: I2

tiD

Penerapan asas..., Maya Hasanah, FH UI, 2011.